MENINGKATKAN TRANSPARANSI & AKUNTABILITAS PUBLIK MELALUI KETERBUKAAN INFORMASI (Artikel ini telah dimuat di Buletin INTERNAL AUDIT, Edisi No.2 Tahun 2006, yang diterbitkan oleh Forum Komunikasi Satuan Pengawasan Intern/FK SPI Pusat) Oleh : Muh. Arief Effendi,SE,MSi,Ak,QIA Dalam era informasi, masalah transparansi dan akuntabilitas sudah merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang saat ini menjadi perhatian publik adalah masalah keterbukaan & pengungkapan (transparency & disclosure). Pada saat ini masyarakat / publik memerlukan keterbukaan informasi, terutama bagi perusahaan yang sudah go publik. Para pemegang saham dan stakeholder lainnya memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang relevan secara tepat waktu, akurat , seimbang dan kontinyu. Pengungkapan informasi perusahaanperlu dilakukan secara berimbang, artinya informasi yang disampaikan bukan hanya yang bersifat positif saja namun termasuk informasi yang bersifat negatif, terutama yang terkait dengan aspek risk management. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya informasi yang salah (disinformasi) serta informasi penting yang disembunyikan oleh perusahaan yang berakibat merugikan pihak lain, baik pemegang saham maupun stakeholders lainnya. Beberapa kasus yang terjadi di perbankan beberapa waktu yang lalu, antara lain adanya disinformasi yang disampaikan kepada publik. Informasi yang disampaikan kepada publik hanya yang baik-baik saja termasuk laporan keuangannya meskipun telah diaudit oleh eksternal auditor (Kantor Akuntan Publik), sehingga yang terjadi adalah banyak bank-bank yang bangkrut yang akhirnya terpaksa ditutup / dilikuidasi oleh Pemerintah, karena kelangsungan usahanya (going concern) tidak dapat dipertahankan. Kita masih ingat, pada saat itu banyak bank-bank yang termasuk dalam kategori Bank Beku Operasi (BBO), Bank Dalam Likuidasi, maupun Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Keterbukaal1 infonnasi
Prinsip corporate governance tentang disclosure & transparency, menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) harus memastikan bahwa pengungkapan yang tepat waktu dan akurat dilakukan terhadap semua hal yang material berkaitan dengan perusahaan"mencakup skondisi keuangan, kinerja, kepemilikan dan tata kelola perusahaan. Menurut OECD terdapat empat hal yang harus dipenuhi oleh perusahaan, yaitu, pertama, Pengungkapan (disclosure) mencakup, akan tetapi tidak terbatas pada, informasi yang material tentang hasil keuangan dan operasi perusahaan, tujuan perusahaan, kepemilikan saham utama dan hak-hak pemberian suara, Anggota Dewan Komisaris (board ofdirectors) & eksekutif kunci (key executive) serta remunerasinya, Faktor-faktor resiko material yang dapat diperkirakan, Isu material yang berkaitan dengan pekerjaan dan stakeholders yang lain sertei Struktur dan kebijakan tata kelola (governance structure & pOliClj). Kedua, Informasi harus disiapkan, diaudit, dan diungkapkan sesuai dengan standar akuntansi, pengungkapan finansial dan non finansial, dan audit yang bermutu tinggi. Ketiga, Audit tahunan harus dilaksanakan oleh auditor independen (eksternal auditor) agar memberikan keyakinan yang memadai dan obyektif atas laporan keuangan (financial report) yang disusun dan disajikan oleh manajemen. Keempat, Saluran penyebaran informasi (distribution information) harus memberikan akses yang wajar (fair), tepat waktu (timely) dengan biaya yang efisien (cost efficient) terhadap informasi yang relevan untuk para pem.akai (user).Informasi terdiri dari informasi finansial dan non finansial. Informasi finansial yang biasanya dipublikasikan perusahaan kepada publik antara lain, meliputi Neraca, Laporan Laba RUgi, Laporan
Perubahan ekuitas, Laporan Arus Kas (Cash Flow Statement) dan Catatan atas Laporan Keuangan. Informasi finansial yang utama terdapat pada Laporan Keuangan tahunan (annual report) dan Laporan keuangan interim (interim report), biasanya berupa laporan tengah tahunan dan laporan triwulanan. Informasi non finansial merupakan bagian tak terpisahkan dari informasi finansial dan bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah (value addecf) dari manfaat laporan keuangan. Informasi non finansial difokuskan pada pengungkapan (disclosure) risiko potensial (potential risk) yang dihadapi perusahaan saat ini serta alasan mengapa manajemen mengambil risiko tersebut. Terdapat empat tujuan utama pengungkapan informasi finansial dan non finansial, yaitu : pertama, menuju keterbukaan / transparansi dalam pemberian informasi yang lebih baik. Kedua, mendukung proses pembentukan GCG, termasuk pelaporan kepada stakeholder. Ketiga, menuntut kualitas manajemen perusahaan dan tenaga penunjang yang lebih professionaL Keempat, eksternal auditor dituntut untuk lebih memahami tentang analisa strategi dan risiko perusahaan. Komite Keterbukaan Informasi Salah satu wujud penegakan prinsip GCG adalah membuka akses informasi kepada publik sesuai dengan koridor keterbukaan dan transparansi informasi. Pada saat ini belum banyak perusahaan yang memiliki Komite Keterbukaan Informasi (KKI), karena banyak perusahaan yang belum mengetahui arti pentingnya KKI dalam rangka menjamin akurasi terhadap seluruh informasi material yang akan dipublikasikan kepada publik Beberapa perusahaan yang telah go publik telah memiliki KKI atau disclosure committee. PT. Indosat pada tanggal 14 Juni 2004 telah membentuk Komite Keterbukaan Informasi. Tanggungjawab KKI adalah menelaah tingkat materialitas dari informasi serta menjamin pengungkapan informasi (information disclosure) dilakukan secara tepat waktu dan up to date. Tugas utama KKI adalah mengelola proses pengungkapan informasi dan melakukan review untuk memastikan kepatuhan (compliance) seluruh aspek penting serta menjaga agar pengungkapan informasi tersebut tidak menyesatkan (bias) bagi para pengambil keputusan. Beberapa waktu yang lalu PT. Telkom juga telah membentuk disclosure committee yang diketuai oleh Direktur Keuangan. Disclosure committee bertugas mengelola proses sertifikasi laporan keuangan dan menilai kecukupan informasi perusahaan yang akan diungkapkan kepada publik. E-reporting Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat ikut memberikan andil berkembangnya suatu sistem pelaporan secara elektronik yang biasa disebut e-repornng. Penggunaan e-reporting di berbagai Bursa Saham dunia sudah merupakan hal yang umum dalam rangka menjaga penyampaian informasi yang cepat, transparan dan up to date. Penyampaian informasi melalui e-reporting telah membantu percepatan keterbukaan informasi emiten secara lebih merata dan dapat menjangkau pemakai laporan yang lebih luas. Pada saat ini perusahaan swasta dan BUMN sudah banyak yang memiliki website sendiri. Kementerian BUMN, sebai instansi Pemerintah yang berwenang mengendalikan seluruh BUMN juga telah memiliki website yaitu bumn-ri.com atau bumn.go.id. Oleh karena itu diharapkan BUMN-BUMN selain menyampaikan laporan keuangan melalui website masing-masing, diharapkan juga menyampaikan laporannya melalui website Kementerian BUMN tersebut, terutama laporan tahunan (annual report) BUMN, sehingga dapat diakses dengan mudah oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh otoritas Bursa (Bursa Efek Jakarta & Bursa Efek Surabaya), Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) maupun Kementerian BUMN dalam rangka penyampaian informasi perusahan sebagai akuntabilitas publik pefIu kita dukung bersama.
Akhirnya semoga semakin banyak perusahaan yang menyadari arti pentingnya keterbukaan informasi sebagai salah satu implementasi prinsip-prinsip GCG. ***
Penulis bekerja sebagai Senior Auditor Operasional PI. Krakatau Steel serta Staf Pengajar tidak tetnp pada beberapa Perguntan Tinggi di Jakarta (FE Universitas Trisakti, STIE Trisakti & FE Universitas Mereu Buana).
BAB III PENUTUP
Pedoman Bimbingan Teknis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ini diharapkan menjadi acuan dalam rangka bimbingan teknis yang dapat disempurnakan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.
Pedoman Bimbingan Telmis PP No. 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU KIP
30
- ,,
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku
Banisar, David. Freedom of Information and Access to Government Record Laws Around the World, Privacy International, 2001. Mendel, Toby. Kebebasan Memperoleh Informasi: Sebuah Survey Perbandingan Hukum (Judul Asli: Freedom of Information: A Comparative Legal Survey). Jakarta, UNESCO, 2004
2. Regulasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846). Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5149). Pedoman Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika Executive Order 13233, Further Implementation of The Presidential Records Act, November 1,2001. Executive Order 13292, Further Amendment to Executive Order 12958, as Amanded Classified National Security Information, March 2005, 2003 Freedom of Information Act 2000 of USA Law Concerning Access to Information Held by Administrative Organs of Japan Official Information Act 1982 of New Zealand The Right To Information Act 2005 Of India
.. 4W524%UAUJL
.• ql
Pedoman Bimbingan Teknis PP No. 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanartn UU KIP
31
MAKALAH PADA DISKUSI TERBUKA RUU RAHASIA NEGARA DAN ANCAMAN KEBEBASAN INFORMASI PUBLIK Hotel IBIS Tamarin, 18 Februari 2009 IDSPS Kebebasan Memperoleh Informasi dan Rahasia Negara Ifdhal Kasim' Setiap negara sudah dipastikan sangat memerlukan berfungsinya keamanan nasional (national security). Maka da1am rangka berfungsinya keamanan nasiona1 tersebut, berkaitan dengan informasi, negara diberikan kewenangan menentukan klasifikasi mengenai informasi-informasi apa saja yang bersifat rahasia (secrecy), yang dapat membahayakan keamanan nasiona1 apabila dibuka. Akses pub1ik untuk mendapatkan informasi yang serupa itu dengan demikian tertutup. Pembatasan ini dibenarkan derni perlindungan terhadap keamanan nasiona1, namun harus diseimbangkan dengan hak atas kebebasan memperoleh informasi. Be1um lama ini pemerintah telah mengajukan RUU Rahasia Negara (RUU RN) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pengajuan RUU RN ini juga didasarkan pada alasan keamanan nasiona1 --yang da1am bahasa RUU ini dirumuskan: "meme1ihara keda:u1atan, keutuhan, dan kese1amatan negara". Dengan RUU ini pemerintah mengharapkan, "akan tercipta kontrol terhadap penetapan rahasia agar tidak menimbulkan penyalahgunaan dalam menetapkan rahasia negara". Se1ain, "mengurangi hal-hal yang dirahasiakan dan lebih memperkuat perlindungan terhadap hal-hal yang telah ditetapkan sebagai rahasia negara". Tetapi DPR mengembalikan RUU RN ini kepada pemerintah dengan tujuan agar diperbaiki. RUU ini ke1ihatannya lebih mengutamakan kepentingan pemerintah dalam menentukan informasi yang rahasia (excessive secrecy by government), dan oleh karenanya mengancam akses publik terhadap informasi pemerintah. Tulisan ini ingin membahas RUU Rahasia Negara tersebut dari sudut pandang hak asasi manusia. Pertanyaannya adalah apakah RUU Rahasia Negara ini masih memberikan jarninan terhadap pemenuhan hak atas kebebasan memperoleh informasi.
I. Kebebasan Informasi 1. Hak atas Informasi
Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai bahwa hak ini penting bagi perjuangan hak-hak yang 1ainnya. Hak ini menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris, yang dengannya menyediakan jalan lempang bagi tersedianya jarninan pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya. Dengan pertimbangan itu pula, maka hak atas informasi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat kemudian dimasukkan ke da1am
• Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI.
1
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Di dalam Pasal 19 DUHAM dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Hak ini meneakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk meneari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah. Penguatan atas hak informasi ini dinyatakan dalam Kovenan Intemasional tentang Hakhak Sipil dan Politik 1966 (Kovenan Sipol) yang sudah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Di dalam Pasal 19 Kovenan Sipol dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk meneari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, ba:ik seeara lisan, tertulis atau dalam bentuk eetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya. Norma yang tereantum di dalam instrumen-instrumen pokok ini mengikat Negara Indonesia dan berlaku sebagai hukum nasional (supreme law of the land). Pemerintah Indonesia selanjutnya mempunyai kewajiban untuk menjalankan ketentuan-ketentuan tersebut. Kewajiban yang diembannya terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidal< melakukan intervensi, keeuali atas hukum yang sah (legitimate). Penegasan atas hak atas informasi dinyatakan dalam UU No. 39/1999 tentang HAM. Di dalam Pasal 14 dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk meneari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Hak ini diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial. Lebih lanjut pengaturan mengenai perlindungan hak ini dituangkan dalam UU No. 14/2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (UU KIP). Di dalam UU ini diatur tentang kewajiban-kewajiban badan publik, dalam melayani informasi publik sesuai dengan klasifikasinya, yaitu informasi serta merta, informasi reguler, dan informasi yang tersedia setiap saat. Misalnya, terhadap informasi yang bersifat serta merta, badan publik wajib mengumumkannya tanpa penundaan, sebab jika tidak diumumkan segera, akan mengakibatkan kerugian besar bagi kehidupan. Informasi dalam kategori ini antara lain informasi tentang beneana dan enderni suatu penyakit di daerah tertentu. Jika tidak menjalankan kewajiban, badan publik (lembaga pemerintah) dapat dikenakan sanksi. Dengan begitu, ke depan badan publik diharapkan akan jauh lebih terbuka. Keterbukaan ini akan membuka peluang bagi publik untuk melakukan kontrol terhadap tindakan dan kebijakan badan publik dalam penyelenggaraan negara. Semangat keterbukaan ini memang masih terganjal oleh adanya beberapa ketentuan di dalam UU KIP yang tidak mendukung keterbukaan informasi, diantaranya tidak dimasukkannya BUMN/BUMD dalam kategori badan publik dan ketentuan sanksi yang mengkriminalkan pengguna informasi. Namun terlepas daTi sejumlah kelemahannya, UU KIP meneiptakan ruang yang eukup bagi terciptanya akuntabilitas publik yang menjamin hak masyarakat u.ntuk mengetahui reneana pembuatan program kebijakan dan proses pengambilan keputusan publik serta alasan pengambilan suatu keputusan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Dengan demikian ia akan mendorong terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien. Di samping itu, UU ini juga akan mampu mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.
2
2. Klausula Pembatasan
Hak atas informasi tidak tergolong dalam nonderogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Oleh karena itu, pelaksanaan hak atas informasi dapat dibatasi sebagaimana dinyatakan dalam beberapa instrumen hukum intemasional maupun nasional, yaitu Pasal29 DUHAM, Pasal19 Kovenan Sipol, Pasal28J UUD 1945, dan Pasal70 UU No. 39/1999 tentang HAM. Di dalam Kovenan Sipol dinyatakan bahwa pelaksanaan hak atas informasi menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, yang dengannya dapat dikenakan pembatasan tertentu. Namun penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas informasi tidak bisa diberlakukan secara semena-mena. Menurut instrumen-instrumen hukum tersebut, pembatasan hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain atau melindungi keamanan nasional, ketertiban umum atau kesehatan, atau moral masyarakat. Di dalam UUD 1945 dan UU No. 39/1999 dinyatakan bahwa pembatasan hanya dapat oleh dan berdasarkan UU "semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis". Di dalam Siracusa Principles (Prinsip-Prinsip Siracusa) disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenangwenang. 1 Pasal5 Kovenan Sipol dan Pasal 74 UU No. 39/1999 juga menyiratkan bahwa "tidak satu ketentuan dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini". Dengan demikian, pembatasan HAM, termasuk hak atas informasi, yang dilakukan negara c.q. pemerintah harus tetap menjamin, bahkan memperkuat, perlindungan HAM. Salah satu alasan pembatasan hak atas informasi adalah keamanan nasional. Prinsipprinsip pembatasan atas alasan ini lebih rinci dituangkan para ahli hukum intemasional dalam Johannesburg Principles (Prinsip-Prinsip Johannesburg), yakni: (a) Pembatasan tidak dapat diterapkan jika pemerintah tidak dapat menunjukkan secara valid bahwa pembatasan tersebut sesuai dengan ketentuan hukum. dan diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah. Sebuah UU atau ketentuan hukum yang mengatur pembatasan hak atas informasi penting untuk melindungi hak tersebut sekaligus menjamin kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan; (b) Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak; (c) Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan harus menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah tersebut; Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dibatasi
1 Siracusa Principles atau Prinsip-prinsip Siracusa adalah prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan pengurangan hak yang diatur di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Prinsipprinsip ini dihasilkan oleh sekelompok ahli hukum internasional yang bertemu di Siracusa, Italia pada April dan Mei 1984. Lihat The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights, E/CN-4/19SS/4. Lihat pula General Comment No. 10 International Covenant on Civil and Political Rights
3
merupakan ancaman yang serius terhadap kepentingan keamanan nasional yang sah. Pembatasan yang dilakukan adalah sarana pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan tersebut. Pembatasan tersebut juga harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi; (d) Tidak sah suatu pembatasan jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingankepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional, termasuk, misalnya, untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial; (e) Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan tetapi hanya sampai pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh situasi tersebut dan hanya ketika hal tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum internasional; dan (f) Diskriminasi berdasarkan apapun tidak boleh menjadi dasar pembatasan hak atas informasi.
II. Mengamati RUU Rahasia Negara Perlindungan hak atas informasi di Indonesia menemukan titik terang setelah pada 2008 DPR mensahkan UU Keterbukaan lnformasi Publik (KIP). UU ini merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. UU KIP menekankan prinsip bahwa semua informasi yang dikelola pejabat publik adalah terbuka. Bahwa ada pengecualian atas beberapa jenis informasi, hal itu harus didasarkan dengan syarat dan ketentuan yang ketat dan terbatas. Dalam pemaparan awal sudah dinyatakan, bahwa hak atas informasi hanya boleh dibatasi apabila diatur menurut hukum (UU) dan dibutuhkan untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain atau melindungi keamanan nasional, ketertiban umum atau kesehatan, atau moral masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan untuk melakukan pembatasan hak harus berangkat dari pemikiran bahwa jika suatu informasi dibuka maka akan membahayakan keamanan nasional yang sah dan kepentingan publik yang lebih besar. Namun kebijakan itu tetap harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Sebagai wujud pertanggungjawaban itu, maka suatu informasi rahasia harus bisa dibuka setelah jangka waktu yang tidak lagi dinilai membahayakan publik. Pembatasan hak atas informasi itu tertuang dalam Pasal17 UU KIP yang menyebutkan mengenai informasi yang dikecualikan untuk dibuka kepada publik, yaitu informasi yang jika dibuka akan mengganggu proses penegakan hukum, hak atas kekayaan intelektual (HAKI), pertahanan dan keamanan negara, kekayaan alam Indonesia, ketahanan ekonomi nasional, hubungan luar negeri, dan rahasia pribadi. Tetapi Pasal pembatasan itu dianggap tidak cukup oleh pemerintah yang berupaya menggolkan RUU Rahasia Negara hingga hari ini. Pada bagian Menimbang RUU RN disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat ini belum memadai dan komprehensif untuk melakukan pengaturan terhadap rahasia negara.
1. Definisi Rahasia Negara Pasal 1 ayat 1 mengartikan rahasia negara sebagai "informasi, benda, dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan, yang apabila diketahui pihak yang tidak berhak dapat membahyakan 4
kedaulatan, keutuhan, keselamatan Negara Kesatuim Republik Indonesia dan/atau dapat mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, sumber daya nasional, dan/atau ketertiban umum, yang diatur dengan atau berdasarkan Undang-Undang ini", Definisi rahasia negara yang dirumuskan di atas tidak mengaitkan kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan negara dengan 'aneaman kekerasan bersenjata'. Dalam Prinsip-prinsip Johannesburg dinyatakan bahwa pembatasan hak atas informasi atas alasan keamanan nasional tidak sah keeuali "untuk melindungi keberadaan suatu negara atau integritas teritorialnya dari penggunaan atau ancaman kekerasan, atau kapasitasnya untuk bereaksi terhadap penggunaan atau ancaman kekerasan, baik yang berasal dari sumber eksternal seperti ancaman militer, maupun dari sumber internal seperti provokasi penggulingan pemerintah dengan cara kekerasan", Mengaitkan keamanan negara dengan aneaman kekerasan bersenjata penting jika mengamati pengalaman politik bangsa Indonesia pada masa lalu di mana tujuan sesungguhnya dari pembatasan HAM berupa pengekangan kebebasan ekspresi dan informasi adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional, melainkan untuk menindas oposisi politik derni mempertahankan dominasi dan kekuasaan pemegang otoritas terhadap masyarakatnya. Definisi yang tidak rinei, kabur, dan tidak terukur memberi ruang bagi pejabat publik untuk merahasiakan suatu informasi derni perlindungan kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan kepentingan nasional, rnisalnya derni memuluskan kepentingan-kepentingan politik jangka pendek. Pada masa lalu, praktek korupsi, pelanggaran HAM dan pelanggaran terhadap kebebasan dasar yang paling serius telah dijustifikasi oleh pemerintah sebagai sebagai suatu hal yang diperlukan untuk melindungi stabilitas nasional. 2. Tentang Jenis dan Cakupan Rahasia Negara Pasal 3 RUU RN menyebutkan 3 jenis rahasia negara, yaitu informasi, benda, dan aktivitas. Obyek yang menjadi rahasia negara ini pada pasal ini terlalu luas, longgar, dan membingungkan. Benda dan aktivitas sulit untuk dirahasiakan. Hal yang bisa dirahasiakan adalah informasi tentang benda dan aktivitas. Pasal ini akan mengakibatkan kesulitan teknis yang luar biasa di lapangan. Sedangkan Pasal 4 RUU RN menguraikan ruang lingkup rahasia negara yang meliputi pertahanan dan keamanan negara, hubungan luar negeri, proses penegakan hukum, ketahanan ekonorni nasional, persandian negara, intelijen negara, dan pengamanan asset vital negara. Pada bagian Penjelasan diuraikan masing-masing eakupan tersebut, sebagai berikut: (a) Rahasia negara di bidang pertahanan dan keamanan negara antara lain persenjataan, perbekalan, peralatan tempur dan penemuan teknologinya beserta riset pengembangan; (b) Rahasia negara di bidang hubungan luar negeri antara lain hasil analisis diplomat tentang masalah-masalah bilateral sebagai bahan kebijakan, Misalnya analisisi tentang kebijakan politik, ekonomi negara akreditasi; (c) Rahasia negara di bidang proses penegakan hukum antara lain informasi yang berkaitan dengan proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat kepolisian atau PPNS yang berkaitan dengankasusu tertentu; (d) Rahasia negara di bidang ketahanan ekonorni nasional antara lain Ketahanan Ekonorni Bidang Moneter (Jumlah intervensi BI terhadap pasar untuk menjaga kestabilan rupiah); Ketahanan ekonorni Bidang Fiskal (Penerimaan dan pengeluaran di bidang Pasar Modal, Perpajakan, Bea dan Cukai dan lain-Iainnya); Ketahanan Ekonomi Bidang Industri dan Perdagangan (komoditas-komoditas yang masih dalam pengaturan dan pengeawan); (e) Rahasia negara di bidang persandian
5
negara antara lain informasi yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan aplikasi persandian; (f) Rahasia negara di bidang intelijen negara antara lain sebagai berikut: 1. data intelijen kegiatan dan/ atau operasi yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan kegiatan dan/ atau operasi intelijen. 2. dukungan kegiatan dan/ atau operasi kepada instansi intelijen dan informasi yang berhubungan dengan intelijen termasuk informasi yang dimiliki atau yang ditransmisikan oleh instansi tersebut atau orang yang mendukungnya; (g) rahasia negara di bidang pengamanan aset vital negara antara lain instalasi rniliter, daerah pelatihan rniliter, pabrik senjata, dan sebagainya. Ruang lingkup rahasia negara dengan demikian sangat luas dan mencakup banyak bidang. Pada masing-masing bidang juga tidak dirinci secara jelas informasi tentang apa saja yang diklasifikasikan sebagai rahasia negara. Kata "antara lain" serta "dan sebagainya" menunjukkan pasal tentang ruang lingkup sangat longgar dan bisa diperluas sesuai kepentingan pejabat publik yang berwenang memegang rahasia negara. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip pembatasan hak atas informasi dalam Prinsip-prinsip Johannesburg yang menghendaki adanya prinsip maximum acces and limited exemption, dimana semua informasi yang dipegang pejabat publik pada dasamya adalah terbuka. Pengecualian bersifat ketat dan sangat terbatas semata-mata untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah, memperkuat kapasitas negara dalam menanggapi ancaman kekerasan bersenjata, dan tetap terjaminnya kepentingan publik. Selain itu ruang lingkup rahasia negara juga tidak disesuaikan dengan cakupan informasi rahasia yang dikecualikan dalam UU KIP. Hal ini menunjukkan bahwa para perumus RUU RN tidak menjadikan RUU KIP sebagai acuan dan pertimbangan utama dalam perumusan RN. Situasi ini dapat mengakibatkan hukum yang tumpang-tindih dan redundant (berlebih-Iebihan). Hal ini dapat berakibat jauh pada kontradiksi antarUU yang bermuara pada ketidakpastian hukum.
3. Rahasia Instansi Pasal 1 RUU RN menjelaskan bahwa instansi adalah institusi yang menyelenggarakan urusan negara di seluruh wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan republik Indonesia. Pasal 8 RUU menyatakan setiap instansi merniliki rahasia dengan tingkat kerahasiaan konfidensial yang apabila rahasia instansi tersebut diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat mengakibatkan terganggunya pelaksanaan tugas dan fungsi instansi. Masa retensi rahasia instansi ditentukan oleh instansi pernilik paling lama 5 (lima) tahun. Adapun pengelolaannya dilakukan berdasarkan standar pengelolaan rahasia negara. Pasal11 RUU RN berbunyi "Instansi memiliki wewenang menolak memberikan rahasia negara sesuai dengan masa retensinya kepada yang tidak berhak" . Ketentuan di atas menunjukkan semakin luasnya cakupan dan lembaga yang berwenang mengelola informasi yang dirahasiakan. Informasi yang dirahasiakan dari publik tak hanya hal-hal yang kalau dibuka akan membahayakan kedaulatan negara ataupun ketertiban umum. Cakupan informasi rahasia bisa tentang apa saja dan instansi yang berwenang menetapkan rahasia instansi bisa instansi manapun dari berbagai tingkatan. Ketentuan-ketentuan ini diduga kuat akan melegitimasi instansi-instansi pemerintah untuk memberikan label rahasia negara untuk semua informasi yang seharusnya dibuka kepada publik sesuai kepentingal:illya. Pasal 8 dan 11 RUU RN membangun benteng berlapis yang menghalangi siapapun, baik masyarakat maupun
6
lembaga perwakilan kepentingan, untuk memperoleh informasi publik. Pasal-pasal ini ballkan bisa menghalangi pula fungsi pengawasan dari lembaga-lembaga yang ada, baik DPR maupun lembaga pengawas di lembaga pemerintahan sendiri. Pemisahan rahasia instansi dari rahasia negara merupakan pengaburan kedudukan instansi sebagai pelaksana kebijakan dan negara sebagai pemegang otoritas. Negara adalah sebuah konsep abstrak yang pada dasamya berkaitan dengan otoritas, simbolsimbol kekuasaan, dan kehadirannya dalam sistem menampilkan dirinya dalam bentuk instansi. Setiap rahasia negara harus menjadi rahasia instansi, tidak sebaliknya.
4. Masa Retensi Pasal 10 ayat 1 dan 2 RUU RN menyatakan masa retensi untuk rahasia negara yang tingkat kerahasiaannya sangat rahasia ditetapkan selama 30 tahun, sedangkan untuk rahasia yang tingkat kerahasiaannya rahasia ditetapkan selama 20 tahun. Disebutkan pula pada ayat 4 pasal yang sama bahwa masa retensi tersebut tidak berakhir dengan bocomya rahasia negara. Pasal10 ayat 3 menyebutkan bahwa masa retensi untuk kedua jenis rahasia sebagaimana disebut paragraf 50 dapat diperpanjang dengan alasan membahayakan kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan negara, adanya keadaan perang atau kondisi darurat; danj atau membahayakan kepentingan umum yang lebih besar. Selain tidak ada penjelasan memadai tentang situasi khusus dan persyaratan yang diperlukan untuk perpanjangan masa retensi, RUU RN tidak memberi celah bagi peninjauan sebelum masa retensi berakhir yang memungkinkan adanya pemotongan masa retensi jika kepentingan publik untuk mengetahui informasi tersebut lebih besar daripada bahaya yang ditimbulkan karena pengungkapannya. RUU RN sarna sekali tidak mengatur mengenai pengecualian, padahal ini sangat diperlukan dalarn kondisi tertentu. Semata-mata untuk tujuan pengungkapan kejahatan luar biasa, seperti kejahatan HAM yang serius, kejahatan terorisme, dan kejahatan korupsi, suatu informasi yang diklasifikasikan sebagai rahasia negara seharusnya dapat dibuka aksesnya kepada pihak tertentu untuk tujuan dan waktu tertentu. Dalam konteks ini, pembukaan akses suatu informasi rahasia secara terbatas sangat penting untuk kepentingan publik yang lebih besar. Di samping itu, RUU RN tidak menetapkan informasi-informasi yang dengan alasan apapun tidak dapat dirahasiakan, misalnya informasi tentang bencana alam yang sangat penting bagi publik.
5. Ketentuan Pidana Ketentuan pidana diatur dalarn Pasal 35 -40 RUU RN. Ketentuan itu berlaku untuk setiap orang yang terbukti: a) menyebarkan informasi rahasia negara baik pada masa damai maupun perang; b) dengan sengaja dan melawan hukum mengetahui kemudian menyimpan, menerima, memberikan, menghilangkan, menggandakan, memodifikasijmerubah, memilikijmenguasai, memotret, merekarn, memalsukan, merusakjmenghancurkan, menyalin, mengalihkanj memindahkan atau memasuki (wilayah) atau mengintai (wilayah) benda rahasia negara; c) dengan sengaja melawan hukum mengetahui kemudian mengganggu atau menghalang-halangi atau memotret atau merekam aktivitas rahasia negara baik pada masa damai maupun perang; d) dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan atau melakukan permufakatan atau percobaan terjadinya tindak pidana rahasia negara; e) dengan sengaja menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena 7
jabatan atau kedudukannya melakukan tindak pidana rahasia negara; f) karena kelalaiaannya menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya mengakibatkan terjadinya tindak pidana rahasia negara; g) melakukan tindak pidana rahasia negara atas nama korporasi Sanksi pidana atas tindak pidana rahasia negara bervariasi. Pemberian sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pada paragraf 54 a - d adalah 5 tahun hingga hukuman mati dan denda antara 250 juta rupiah hingga 1 miliar rupiah. Bagi orang yang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana disebut pada paragraf 54 e, hukumannya ditambah 1/3 sedangkan bagi orang yang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana disebut pada paragraf 54 f dikurangi 1/3. Adapun terhadap pelaku tindak pidana sebagaimana disebut paragraf 54 g adalah tuntutan dan pidana terhadap korporasi danl atau pengurusnya. Pidana pokok berupa denda 500 juta rupiah hingga 1 miliar rupiah. Korporasi yang bersangkutan dapat dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang. Ketentuan pidana dalam RUU RN tidak memberi peluang bagi pengungkapan rahasia negara demi kepentingan publik yang lebih besar. Siapapun yang membocorkan dan menyebarluaskan rahasia negara dengan alasan apapun akan dikenai sanksi pidana sebagaimana disebut pada paragraf 55. Ketentuan ini tidak bersesuaian dengan Prinsip ke-15 dalam Prinsip-prinsip Johannesburg yang menegaskan bahwa, tidak seorang pun dapat dihukum dengan alasan keamanan nasional karena pengungkapan suatu informasi jika: a) pengungkapan tersebut tidak benar-benar membahayakan dan berkemungkinan kecil membahayakan kepentingan keamanan nasional yang sah, atau; b) kepentingan publik untuk mengetahui informasi tersebut lebih besar daripada bahaya yang ditimbulkan oleh pengungkapannya. RUU RN tidak mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap tertuduh tindak pidana rahasia negara. Dalam Prinsip-prinsip Johannesburg disebutkan bahwa setiap orang yang dituduh atas kejahatan berkaitan dengan keamanan sehubungan dengan ekspresi atau informasi berhak atas semua peraturan mengenai perlindungan hukum yang menjadi bagian dari hukum internasional. Selain itu Prinsip-prinsip Johannesburg juga menetapkan bahwa para tertuduh tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan nasional berhak untuk diadili oleh pengadilan independen yang menjamin keamanan tertuduh. Jika tertuduh itu sipil, maka ia tidak boleh diadili oleh pengadilan militer. Para tertuduh juga tidak boleh diadili oleh pengadilan nasional yang bersifat ad hoc atau yang dibentuk secara khusus.
6. Dewan Rahasia Negara (DRN) Pasal 24 dan 27 mengatur tentang keberadaan DRN yang menentukan kebijakan mengenai rahasia negara. Melekat pada lembaga ini beberapa kewenangan, yaitu: a). Memperpanjang masa retensi rahasia negara; b). Menerima atau menolak keberatan atas penolakan yang diajukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat 2; c). Memberi persetujuan atau penolakan kepada penyidik, jaksa, danl atau hakim unhlk mengetahui rahasia negara dalam proses peradilan; d). Menyatakan bocornya rahasia negara dan menentukan kebijakan terpadu untuk mencegah meluasnya kebocoran serta upaya mengatasi dampak akibat kebocoran rahasia negara.
8
Kewenangan DRN dalam menentukan kebijakan mengenai rahasia negara sebagaimana disebut paragraf 60 betul-betul sangat mandiri dan bebas dari campur tangan lembaga negara lainnya, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga pengawas pemerintah yang merepresentasikan kepentingan rakyat. Sebagai lembaga politik, DPR semestinya diberi ruang yang memadai dalam pengambilan keputusan mengenai rahasia negara. Pasal 25 RUU RN menyatakan bahwa Ketua DRN dijabat oleh Menteri Pertahanan dan Sekretaris DRN adalah Kepala Lembaga Sandi Negara yang bertanggung jawab kepada Presiden. Adapun anggota terdiri dari anggota tetap dan tidak tetap. Anggota tidak tetap ditunjuk oleh Ketua DRN, sedangkan anggota tetap terdiri dari komposisi sebagai berikut: Menteri Pertahanan; Menteri Dalam Negeri;Menteri Luar Negeri; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Menteri Komunikasi dan Informatika; Jaksa Agung; Panglima Tentara Nasional Indonesia; Kepala Kepolisian republik Indonesia; Kepala Badan Intelijen Negara; Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia; dan Kepala Lembaga Sandi Negara.
III. Catatan Akhir
Hak atas informasi merupakan hak dasar yang menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris, yang dengannya menyediakan jalan yang lempang bagi tersedianya jaminan pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya. Hak atas informasi hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU "semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis". Berdasarkan analisis terhadap ketentuan-ketentuan pokok dalam RUU RN dipaparkan dalam tulisan ini, dapat ditandaskan bahwa pembatasan hak atas informasi yang hendak diatur dalam RUU Rahasia Negara tidak mempertimbangkan secara seksama syarat-syarat yang ditetapkan oleh instrumen-instrumen hukum HAM nasional maupun intemasional. RUU RN tidak menjadi sebuah sarana pembatasan yang sempit untuk melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah dan kepentingan publik. Pemberlakuan RUU RN berpotensi membahayakan hak atas informasi dan mengancam kebebasan dasar lainnya. RUU RN mengandung kelemahan mendasar yang bersifat substansial. Oleh karena itu, perbaikan terhadap naskah RUU RN tidak bisa diperbaiki hanya dengan merevisi demi pasal, melainkan perlu perubahan total dengan mengubah prinsip dan paradigma yang menempatkan kepentingan publik (maximum acces dan limited exemption) dan hak asasi manusia sebagai sama pentingnya dengan kepentingan keamanan nasional yang sah. ***
9
I
V-N §v i;';
UNIVERSITAS MEReu BUANA
~t ~
'r',\'t
MEReu BUANA
No.Dokumen T I. Efektif
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
Q
120.423.4.010.00 Juni2008
UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2010/2011 Mata Kuliah / SKS Hari/Tanggal Waktu Sifat Ujian Dosen
: MANAJEMEN INFORMASI PUBLIK /3 SKS : SABTU/ 20 Nopember 2010
Nama NIM
: RAIDES ARYANTO
: TAKE HOME : AFDAL MANGKURAGA
: 552 0911 0006
SOAl UTS
-
Buatlah makalah keterbukaan informasi publik yang berkaitan dengan (pilih salah satu) :
--
1. 2. 3. 4.
Keterbukaan informasi dan Pemberantasan korupsi Keterbukaan Informasi Vs Rahasia negara Transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara Perbandingan pelaksanaan keterbukaan informasi dengan negara lain
• • •
Makalah anda hendaknya mengikuti kaidah penulisan ilmiah. Panjang makalah antara 7-10 halaman A4 Makalah mencakup Ide yang jelas, inovatif, dan mampu menyelesaikan masalah dengan cakupan luas, serta mampu mendeskripsikan contoh-contoh kasus
Acuan Pembuatan Soal: SAP 8-14
Ditinjau & Diverstifikasi Oleh
Soal Ujian Dibuat Oleh:
Kaprodi : M. Kom (Dr. Farid Hamid, M.SL)
Dosen : Afdal Mangkuraga Tanggal, 06 Nopember 2010
Hal. /1
Parameter Keberhasilan Keterbukaan Informasi Publik Rabu,28 April 2010 Tuesday, 20 April 2010 10:14 Jakarta 20/4/2010 (Kominfonewscenter) - Parameter yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik) No.14/2008 harus merujuk pada tujuan dari UU KIP itu sendiri. Pelaksana Bidang Infokom (Informasi dan Komunikasi) Ombudsman Patnuaji A Indrarto, 55 di Jakarta, 5elasa (20/4), mengemukakan bila merujuk pada ketetapan tujuan UU KIP seperti diatur Pasa13, implementasi UU KIP dikatakan berhasil jika warga negara betulbetul mendapatkan haknya untuk mengetahui rencana, program, dan proses pengambilan kebijakan dan keputusan publik beserta alasannya; Parameter keberhasilan lainnya menurut Aji adalahmasyarakat aktif berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan publik dan masyarakat berperan aktif turut mendorong terwujudnya badan publik yang baik. 5elain itu terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik, transparan, efektif dan efisien serta akuntabel serta masyarakat mengetahui alasan pengambilan kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. "Juga meningkatnya pengetahuan dan kecerdasan masyarakat dan atau meningkatnya kualitas pelayanan informasi oleh badan-badan publik," kata Aji. Ia mengatakan fungsi menjalankan UU KIP dan peraturan pelaksanaannya tidak hanya melekat pada Komisi Informasi. 5emua pihak yang menjadi objek hukum dalam suatu UU pada dasarnya mempunyai tanggungjawab untuk menjalankan UU itu sendiri beserta peraturan turunannya. Dalam konteks UU KIP, badan-badan publik sesungguhnya juga berperan menjalankan UU ini dengan cara menyediakan layanan informasi publik dan melakukan semua kewajiban yang diatur di dalamnya. Pengaturan fungsi Komisi Informasi secara spesifik tersebut lebih dimaksudkan untuk menonjolkan betapa pentingnya Komisi Informasi dalam memastikan berjalannya UU KIP. "Dapat dikatakan bahwa Komisi Informasi mempunyai posisi sangat penting dalam menentukan berjalan atau tidaknya implementasi UU KIP," kata Aji. (mnr) (sumber: kominfonewscenter.com, 20-4-2010)