ABSTRAK Juwanda¹ Mudopar² Sobihah Rasyad³ Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unswagati Cirebon
Kajian alih kode merupakan salah satu pembahasan yang cukup menarik dalam ilmu sosiolinguistik. Fenomena bilingualisme ini dapat terjadi di berbagai negara. Di Indonesia misalnya, salah satu contoh fenomena bilingualisme ini terjadi di daerah pesisir utara (pantura), tepatnya di desa Parean Girang kecamatan Kandanghaur kabupaten Indramayu. Hasil observasi awal yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa masyarakat desa Parean Girang kecamatan Kandanghaur, menggunakan dua atau lebih bahasa dalam aktivitas sosialnya. Bahasa yang digunakan oleh mereka yakni bahasa sunda, jawa, jawa halus (bebasan) dan bahasa Indonesia. Bahasa sunda dan bahasa jawa mereka gunakan untuk berinteraksi di lingkungan masyarakat sekitarnya, sedangkan bahasa Indonesia cenderung mereka gunakan pada situasi-situasi resmi seperti dalam dunia pendidikan. Melihat kondisi tersebut kemudian peneliti mencoba melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui proses terjadinya fenomena kedwibahasaan di daerah itu. Adapun untuk mengumpulkan data tentang fenomena ini peneliti menerapkan beberapa metode. Metode yang digunakan oleh peneliti yakni dengan cara simak dan merekam, tanpa adanya keterlibatan antara peneliti dengan si penutur. Tujuan dari kegiatan menyimak dan merekam ini adalah untuk mendapatkan ujaran-ujaran yang mereka ucapkan. Aktivitas ujaran ini penulis peroleh pada saat mereka sedang melakukan proses jual beli, tepatnya di pasar desa Parean Girang kecamatan Kandanghaur kabupaten Indramayu. Dari hasil perekaman itu kemudian penulis analisis fenomena kedwibahasaannya melalui pereduksian, transkripsi hasil rekaman serta penyimpulan dari hasil analisis data.
Kata Kunci: bilingualisme, alih kode
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian Bangsa Indonesia memiliki berbagai ragam budaya, ras, etnik serta berbagai ragam bahasa yang dipakai untuk berkomunikasi antar anggota masyarakat. Berbicara tentang ragam bahasa maka muncullah istilah bilingualisme atau kedwibahasaan. Secara umum bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian,
Mackey
&
Fishman
(Abdul
Chaer,
2010:
84).
Fenomena
kedwibahasaan dapat terjadi di berbagai negara yang ada di dunia. Hal ini terjadi pula dalam masyarakat Indonesia. Poedjosoedarmo (1982: 526) menyatakan bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar adalah masyarakat yang dwibahasawaan. Salah satu contoh fenomena kedwibahasaan yang ada di Indonesia ini terjadi pula pada masyarakat tutur di daerah Indramayu, tepatnya di kecamatan Kandanghaur. Secara geografis wilayah kecamatan Kandanghaur adalah salah satu kecamatan yang terdapat di kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Kandanghaur terdiri dari 13 desa yang secara geografis terbagi menjadi dua wilayah, yakni daerah pertanian dan daerah pesisir (pantai). Ketigabelas desa tersebut adalah desa Curug, Pranti, Wirakanan, Karangmulya, Karanganyar, Wirapanjunan, Parean Girang, Bulak, Ilir, Soge, Eretan Wetan, Eretan Kulon dan Kertawinangun.
Dari
ketigabelas desa tersebut yang termasuk ke dalam wilayah pesisir adalah desa Bulak, Parean Girang dan desa Ilir, sedangkaan selebihnya adalah wilayah pertanian. Adapun bahasa atau tuturan yang mereka gunakan untuk melakukan komunikasi dengan anggota masyarakat yang lainnya yakni dengan menggunakan bahasa jawa, sunda, bebasan (jawa halus) dan bahasa indonesia. Melihat kondisi tersebut, kemudian penulis mencoba melakukan penelitian untuk menemukan data-data tentang fenomena bilingualisme yang terjadi di daerah tersebut. Adapun fokus utama yang menjadi objek kajian pada penelitian ini adalah fenomena alih kode yang terjadi pada masyarakat desa Parean Girang Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu. Dalam bidang kajian linguistik, kode bererti variasi tertentu dalam suatu bahasa dalam suatu pertuturan. Ohoiwutun (2007: 71) menyatakan bahwa alih kode (code switching), adalah peralihan pemakaian dari
suatu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Apple (Chaer, 2010: 107) ia menyatakan bahwa alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Sedangkan menurut Hymes (Widjakusuma, 1981: 200) menyatakan bahwa alih kode dan campur kode akan terjadi kalau keadaan berbahasa menuntut penutur untuk mengganti bahasa atau ragam seseorang atau mencampur dua bahasa atau ragam bahasa tersebut secara spontan dan bukan karena ditintut keadaan ragam bahasa. 2. KAJIAN TEORETIS 2.1 Alih Kode Gejala alih kode dan campur kode merupakan salah satu kajian dalam ilmu sosiolinguistik. Apple (Chaer, 2010: 107) menyatakan bahwa alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Ia juga menyatakan bahwa alih kode hanya terjadi antar bahasa saja. Berbeda dengan pendapat Apple yang menyatakan bahwa alih kode hanya terjadi antar bahasa saja, Hymes, 1875: 103 (Chaer 2010: 107) justru menyatakan bahwa alih kode tidak hanya terjadi antar bahasa saja, melainkan dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Sedangkan Ohoiwutun (2007: 71) menyatakan bahwa alih kode (code switching), yakni peralihan pemakaian dari suatu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lainnya. Alih bahasa ini sepenuhnya terjadi karena perubahanperubahan sosiokultural dalam situasi berbahasa. 2.2 Penyebab Terjadinya Alih Kode Dalam penggunaannya, terutama dalam sebuah percakapan, kode sering kali dipakai secara bergantian, baik secara sadar maupun secara tidak sadar. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa faktor. Adapun faktor-faktor terjadinya alih kode menurut Fishman, (Chaer, 2010: 108) yaitu “ siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa”. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain yaitu 1) pembicara atau penutur, 2) pendengar atau lawan tutur, 3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, 4) perubahan dari formal ke informal, 5) perubahan topik pembicaraan.
Senada dengan pendapat Fishman, Poedjosoedarmo, 1976 (Syamsudin, 2011: 84) mengatakan gejala alih kode timbul karena beberapa hal. Hal tersebut adalah sebagai berikut; a. faktor komponen bahasa yang bermacam-macam; b. kehendak; c. suasana hati 01 tiba-tiba terganti; d. ada 03 yang tiba-tiba muncul; e. suasana pembicaraan berganti; f.
pengaruh pokok pembicaraan yang lain;
g. 01 tidak begitu menguasai kode yang sedang dipakai; dan h. adanya pengaruh kalimat-kalimat atau kode yang baru saja diucapkan, yang macamnya lain dari kode semula. Chaer (2004:108) juga menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor terjadinya alih kode. Faktor-faktor tersebut adalah penutur, lawan tutur, hadirnya penutur ketiga, perubahan situasi, dan topik pembicaraan. Adapun faktof-faktor tersebut secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Penutur Perilaku atau sikap penutur, yang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena tujuan tertentu. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya. Kemudian ada juga penutur yang mengharapkan sesuatu dari mitra tuturnya atau dengan kata lain mengharapkan keuntungan atau manfaat dari percakapan yang dilakukanya. b. Lawan tutur Mitra tutur atau lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa lawan tuturnya. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan tutur kurang atau agak
kurang
karena
mungkin
bahasa
tersebut
bukan
bahasa
pertamanya. Jika lawan tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kemudian bila lawan tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
c. Hadirnya penutur ketiga Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode. Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. d. Perubahan situasi Perubahan situasi pembicaraan juga dapat mempengaruhi terjadinya laih kode. Situasi tersebut dapat berupa situasi formal ke informal atau sebaliknya e. Topik pembicaraan Topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Topik pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa nonbaku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya. Dari paparan para ahli tersebut dapat kita simpulkan bahwa penyebab terjadinya alih kode adalah karena adanya komponen bahasa yang beragam, hadirnya orang ketiga serta suasana atau kondisi dari si penutur
atau pun
pendengar untuk melakukan alih kode. 2.3 Jenis-Jenis Alih Kode Gejala alih kode memiliki dua sifat, yakni alih kode yang bersifat sementara dan alih kode yang bersifat permanen dengan frekuensi tinggi maupun rendah. Dalam masyarakat Jawa, petanda gejala alih kode sementara yang memiliki frekuensi tinggi apabila situasi bicara tidak formal, relasi pribadi 01 dengan 02 belum stabil, 01 dalam emosi tinggi, pokok pembicaraan biasanya tidak dilontarkan dengan kode-kode yang sedang dipakai penutur, dan 01 tidak begitu menguasai kode bahasa yaang seharusnya dipakai. Suwito (Chaer , 2004: 114) juga membagi alih kode menjadi dua jenis yaitu, alih kode intern dan alih kode ekstern. a.
Alih Kode Intern Alih Kode Intern yaitu alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Sumbawa, atau sebaliknya
b. Alih Kode Ekstern Sedangkan
alih
kode
ekstern
yaitu
alih
kode
yang
terjadi
antara
bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia ke bahasa Jepang, atau sebaliknya. Selanjutnya Poedjosoedarmo juga menyatakan bahwa ada lima belas alasan terjadinya alih kode sementara, yaitu: a.
adanya perubahan sikap atau daya tangkap pihak kedua (02);
b.
pihak pertama sedang menyetir (mengutip kalimat dari bahasaa lain);
c.
tiba-tiba
muncul
orang
lain
(pihak
ketiga
sementara
pembicaraan
berlangsung); d.
pihak pertama mempunyai maksud tertentu, misalnya melucu;
e.
untuk mendidik pihak kedua (anak) agar menguasai kode yang dianggap lebih tinggi (lebih baik / kode sopan);
f.
masih berada dalam taraf belajar berbahasa tertentu;
g.
ingin bersandiwara (berpura-pura);
h.
belum ajeg / telaten menggunakan suatu bahasa secara terus menerus;
i.
relasi pihak pertama dan kedua belum mantap;
j.
perbedaan status;
k.
ingin menyesuaikan diri dengan kode yang dikuasai pihak kedua;
l.
pengaruh topik pembicaraan;
m. pengaruh kalimat atau yang mendahuluinya; n.
situasi percakapan yang berganti; dan
o.
adanya basa-basi atau ungkapan-ungkapan tetap seperti salam, silakan, terima kasih.
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode Penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan gegunaan tertentu. Sugiyono (2012: 2). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Metode yang digunakan dalam penyediaan data adalah metode simak dan rekam. Cara memperoleh data pada metode simak dan rekam dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa pada masyarakat desa Parean Girang kecamatan Kandanghaur
. Dalam hal ini yang disimak dan direkam oleh peneliti adalah ujaran-ujaran atau percakapan masyarakat desa Parean Girang.
3.2 Teknik Penelitian Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti yaitu teknik simak bebas cakap. Teknik ini dipakai dikarenakan peneliti tidak terlibat secara langsung dalam dialog. Selain itu, peneliti tidak dapat menentukan pembentukan dan pemunculan calon data karena hanya berperan sebagai pengamat. 3.3 Pengumpulan Data Penelitian Teknik yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data penelitian adalah dengan teknik simak dan perekaman. Kedua teknik ini bertujuan untuk mendapatkan ujaran atau ucapan-ucapan percakapan masyarakat desa Parean Girang kecamatan Kandanghaur kabupaten Indramayu. 3.4 Data dan Sumber Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah ujaran-ujaran masyarakat desa Parean Girang kecamatan Kandanghaur kabupaten Indramayu. Dari data yang terkumpul kemudian peneliti menganalisisnya secara deskriptif tentang peristiwa alih kode yang terjadi dalam percakapan tersebut.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN DATA 4.1 Data dan Deskripsi Data Fenomena Alih Kode Pada Masyarakat Desa Parean Girang Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu Pada bagian
ini peneliti akan menguraikan data dan analisis data
penelitian yang berjudul
“Analisis Alih Kode Pada Masyarakat Desa
Kandanghaur Kabupaten Indramayu”. Data yang diperoleh penulis dari penelitian ini berupa situasi atau bentuk alih kode yang dilakukan oleh masyarakat
desa
Parean
Girang
kecamatan
Kandanghaur
Kabupaten
Indramayu, penyebab terjadinya alih kode serta jenis alih kode yang digunakan. Ketiga data tersebut diperoleh dari hasil observasi yang peneliti lakukan di sebuah warung, kantor kepala desa serta masjid yang ada di desa Parean Girang. Data penelitian yang akan penulis jabarkan juga merupakan jawaban dari rumusan masalah yang diajukan, yang kemudian data tersebut dianalisis melalui beberapa langkah.
1) Langkah 1 (reduksi data) Reduksi data ialah melakukan identifikasi keragaman pemilihan kode. Pada tahap ini peneliti memutar ulang hasil rekaman dan mengidentifikasi hasil rekaman berdasarkan kode yang digunakan di dalam peristiwa tutur tersebut. Reduksi data ini bermanfaat untuk mendapatkan data-data yang masuk dalam kategori penelitian, yakni tuturan yang mengandung unsur alih kode pada tuturan masyarakat desa Parean Girang kecamatan Kandanghaur kabupaten Indramayu. 2) Langkah 2 (Transkripsi data hasil rekaman) Setelah data direduksi, peneliti melakukan transkripsi data secara ortografis pada data yang masuk dalam kategori penelitian, yaitu dengan cara menuliskan data-data yang dapat didengar dari hasil rekaman. Pada transkripsi
data
ini,
peneliti
hanya
mentranskripsikan
hal-hal
yang
berhubungan dengan penelitian saja, maksudnya adalah peneliti tidak mentranskripsikan semua hasil rekaman secara mendetail hal-hal yang tidak relevan, misalnya transkripsi fonetik pada tuturan. 3) Langkah 3 (pengelompokkan data) Setelah dilakukan transkripsi hasil rekaman, langkah selanjutnya adalah pengelompokan kategori data yang berasal dari hasil rekaman dan catatan lapangan. Pengelompokan ini dilakukan dengan cara mengelompokkan data yang
berasal
dari
keragaman
kode
berdasarkan
ranah
sosial
berlangsungnya peristiwa tutur dan berdasarkan komponen tutur. 4) Langkah terakhir adalah penyimpulan pola pemilihan kode pada masyarakat tutur di Kecamatan Kandanghaur Indramayu.
4.1.1 Bentuk dan Deskripsi Alih Kode Pada Masyarakat Desa Parean Girang Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu
Pendeskripsian data tentang alih kode
dalam penelitian ini
memperhatikan pula konteks percakapannya. Konteks percakapan dalam pendeskripsian data ini meliputi kegiatan yang sedang dilakukan oleh penutur, tempat terjadinya penuturan, partisipan yang terlibat, situasi percakapan serta
kode yang digunakan oleh si penutur. Berikut adalah deskripsi data yang peneliti uraikan dari hasil penelitiannya Peristiwa Percakapan 1 Kegiatan
: Transaksi Jual Beli
Tempat
: Warung
Peserta
: Pedagang (B), pembeli (A), pembeli (C)
Situasi
: Nonformal
Kode Yang Digunakan
: Bahasa Sunda, Jawa, Indonesia
A. : “meuli..” B. : “naon?” A. : “bawang goreng sewu, asem sewu” B. : “asemna wis mateng” A. : “wis bagen…. minyak seperapat, kangkung..” B. : “apa maning?” A. :” talian heula ieu kangkung” B. : “patlima….lapan lima..” A. : “pira yu?.. Sabrang nemratus..” B. : “durung…” A. :” tomat sewu..” C. : “beli soffel…” B. : “yang mana?” C. : “yang oren” B. : “yang ini ya?” C. : “bukan… yang itu bu..” B. :” yang ini?” C. :” iya… empat aja bu.. berapa bu?” B. : “dua ribu… apa lagi?” C. : “udah itu aja bu” A. :”janganan sewu, karo salam yu” B. :”toli apa maning?” A. :”dualas rebu nya ?” B. :”mun teu salah”
Peristiwa percakapan tersebut diperoleh peneliti dengan cara perekaman. Peneliti dengan sengaja berpura-pura menjadi pembeli minuman di warung. Sekitar lima belas menit peneliti duduk di warung tersebut, kemudian muncullah ibu-ibu yang hendak berbelanja. Secara diam-diam peneliti menyadap atau merekam percakapan antara penjual dan pembeli itu. Pada penggalan percakapan pertama kode yang digunakan oleh pembeli A pada saat membuka percakapan yakni dengan menggunakan bahasa sunda “meuli”(beli). Penjual pun menjawabnya dengan menggunakan bahasa sunda pula “naon”(apa). Pertanyaan yang diungkapkan oleh si penjual dijawab oleh pembeli A dengan menggunakan bahasa jawa “bawang goreng sewu, asem sewu”(bawang goreng seribu, asem seribu). Berlanjut kemudian penjual menyatakan bahwa asam yang ada di warungnya pada saat itu hanya ada asam yang sudah matang dengan menggunakan campur kode “asemna wis mateng” (asamnya sudah matang). Ungkapan si penjual dipertegas oleh pembeli A dengan menggunakan bahasa jawa ““wis bagen…. minyak seperapat, kangkung.”. B. (1) : “meuli..” B. (2) : “naon?” A. (3) : “bawang goreng sewu, asem sewu” B. (4) : “asemna wis mateng” A. (5) : “wis bagen…. minyak seperapat, kangkung..”
Jika kita lihat dari situasi percakapan pada penggalan yang pertama terdapat dua buah peristiwa. Kedua peristiwa tersebut adalah peristiwa alih kode dan peristiwa campur kode. Peristiwa alih kode terjadi pada saat percakapan no 3, 4 dan 5 sedangkan peristiwa alih kode terjadi pada pertuturan nomor 4, dengan demikian dapat kita simpulkan pada penggalan percakapan pertama terjadi peralihan bahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa. Sama halnya dengan penggalan pertama, pada penggalan percakapan kedua terjadi pula peristiwa alih kode yang dilakukan oleh penjual dan pembeli A. Peristiwa alih kode yang terjadi yakni peralihan dari kode bahasa Sunda ke bahasa Jawa. Hal ini tercermin pada tuturan nomor 8. Pada awalnya penjual menanyakan kepada pembeli dengan menggunakan bahasa jawa “ apa maning” (apa lagi). Akan tetapi setelah dia melihat atau mendengan tuturan yang diungkapkan oleh pembeli A dengan menggunakan bahasa Suda ” talian heula ieu kangkung” (ikat dulu ini
kangkung) , ia pun langsung beralih kode dengan menjawab pertanyaan yang diutarakan
oleh
pembeli
dengan
menggunakan
bahasa
Sunda
pula
““patlima….salapan lima..”. ketika penjual sedang menghitung barang belanjaatnnya, si pembeli kemudian bertutur lagi dengan menggunakan bahasa jawa. Secara spontan penjual pun menjawab dengan bahasa jawa pula ““durung…”(belum). B. : “apa maning?” A. :” talian heula ieu kangkung” B. : “patlima….lapan lima..” A. : “pira yu?.. Sabrang nemratus..” B. : “durung…” A. :” tomat sewu..
Sekitar
sepuluh
menit
percakapan
anatara
penjual
dan
pembeli
A
berlangsung, muncullah pembeli C. Kode bahasa yang digunakan oleh pembeli C dalam percakapan transaksi jual belinya adalah kode bahasa Indonesia. Dalam situasi ini penjual B secara langsung melakukan alih kode, yang pada awalnya ia berbicara bahasa jawa dengan pembeli A beralih dengan menggunakan bahasa Indonesia. Adapun penggalan percakapan yang menunjukkan terjadinya alih kode tersebut adalah sebaagai berikut. C. : “beli soffel…” B. : “yang mana?” C. : “yang oren” B. : “yang ini ya?” C. : “bukan… yang itu bu..” B. :” yang ini?” C. :” iya… empat aja bu.. berapa bu?” B. : “dua ribu… apa lagi?” C. : “udah itu aja bu”
Setelah percakapan antara pembeli B selesai, kemudian pembeli A kembali memerintahkan kepada penjual bahwa dia ingin membeli bumbu untuk sayuran dan daun salam “”janganan sewu, karo salam yu”. Penjual B kemudian mengajukan pertanyaan kepada pembeli A bahwa apa lagi yang akan dibelinya ”toli apa
maning?”. Pembeli A menjawab pertanyaan yang diajukan oleh penjual B dengan menggunakan bahasa Sunda. Pada situasi ini kemudian si Penjual B langsung menjawabnya dengan kode bahasa Sunda pula. A. :”janganan sewu, karo salam yu” B. :”toli apa maning?” A. :”dualas rebu nya ?” B. :”mun teu salah”
Peristiwa Percakapan 2 Kegiatan
: Pembuatan Surat Keterangan
Tempat
: Kantor Kepala Desa
Peserta
: Sekdes (B), Sueb (A), Lugu (perangkat Desa) (C)
Situasi
: Nonformal
Kode Yang Digunakan
: Bahasa Sunda, Jawa, Indonesia
A. : “Lis aya kuwune?” B
: “Langko lagi metu, napa ana perlu tah?”
A
: “Iya, apan njaluk tandatangan bari stempele nggo surat keterangan”
B
: “Surat keterangan apa si?”
A
: “Ya iku, bocah ku jaluk bae memangkatan”
B
: “Ya wis tunda bae gah surate, mengko lamun kuwue teka tak upaih weruh. Paling jam setengah suwelas ge teka”
C
: “Mang Sueb....Piwe kabare?”
A
: “Alhamdulillah sehat Gu!”
C
: “Piwe, lancar kerjaane?”
A
: “Ya mengkonon-mengkonon bae gah”
Pemerolehan data peristiwa percakapan tentang alih kode yang kedua bertempat di kantor kepala desa. Siang itu, ketika peneliti melakukan kunjungan untuk mencari informasi tentang bahasa yang digunakan oleh masyarakat desa Parean Girang datanglah seorang bapak dengan membawa selembar kertas. Awal mula bahasa yang digunakan oleh si A tersebut yakni ia menanyakan dengan
menggunakan bahasa Sunda “Lis aya kuwune?”. Pertanyaan tersebut kemudian dijawab oleh si B (Jertulis atau sekertaris desa) dengan menggunakan bahasa Jawa “Langko lagi metu, napa ana perlu tah?”. Mendengar jawaban si B dengan menggunakan bahasa Jawa. Si A kemudian menjawab pula dengan bahasa Jawa “Iya, apan njaluk tandatangan bari stempele nggo surat keterangan”, hal itu membuktikan bahwa pada penggalan percakapan pertama terjadilah peralihan kode yang dilakukan oleh si A. Bentuk peristiwa tuturnya adalah sebagai berikut. B. : “Lis aya kuwune?” B
: “Langko lagi metu, napa ana perlu tah?”
A
: “Iya, apan njaluk tandatangan bari stempele nggo surat keterangan”
B
: “Surat keterangan apa si?”
A
: “Ya iku, bocah ku jaluk bae memangkatan”
B
: “Ya wis tunda bae gah surate, mengko lamun kuwue teka tak upaih weruh. Paling jam setengah suwelas ge teka”
Sedangkan pada penggalan percakapan kedua yang dilakukan oleh si A dan si C tidak ada peristiwa alih kode. Secara keseluruhan kode bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Jawa.
4.1.2 Deskripsi Penyebab Terjadinya Alih Kode Pada Masyarakat Desa Parean Girang Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu
Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi seseorang untuk melakukan alih kode. Faktor-faktor tersebut antara lain pembicara atau penutur, hadirnya orang ketiga, perubahan situasi hadirnya orang ketiga, dan perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya. Berdasarkan analisis data yang ada pada nomor 4.1.3 tentang pendeskripsian bentuk tuturan yang digunakan oleh masyarakat desa Parean Girang dapat kita tarik kesimpulan bahwa penyebab terjadinya alih kode lebih mengacu pada hadirnya orang ketiga. Adapun penjelasan penyebab terjadinya alih kode pada masing-masing bentuk percakapan adalah sebagai berikut. 1. Penyebab Alih Kode pada Percakapan 1 Fokus utama penutur yang dijadikan sebagai tolok ukur terjadinya alih kode adalah penutur (B) sebagai penjual. Jika dilihat dari latar belakang tempat tinggal
si B pada umumnya masyarakat dilingkungan sekitarnya menggunakan berbagai macam bahasa, dalam arti penyebab terjadinya alih kode yang dilakukan oleh si B merupakan faktor komponen bahasa yang bermacam-macam. Di awal telah disinggung pula bahwa desa Parean Girang Kecamatan Kandanghaur kabupaten Indramayu menggunakan empat macam bahasa. Keempat macam bahasa tersebut adalah bahasa Sunda, Jawa, Jawa halus (bebasan) dan bahasa Indonesia. Faktor kedua yang memengaruhi si B melakukan alih kode adalah hadirnya penutur ketiga. Pada percakapan 1 terdapat tiga pelaku. Ada penjual, pembeli 1 dan pembeli 2. Awalnya penjual berkomunikasi dengan pembeli 1 dengan menggunakan bahasa Jawa. Tidak lama kemudian ketika si penjual dan pembeli 1 (A) sedang menghitung barang belanjaannya, hadirlah si pembeli 2 (C). Pembeli 2 (C) bertanya kepada penjual dengan menggunakan bahasa Indonesia sehingga penjual yang tadinya menggunakan bahasa jawa kini beralih ke bahasa Indonesia. 2. Penyebab Alih Kode pada Percakapan 2 Ada tiga penutur yang terlibat dalam percakapan nomor 2. Penutur A bernama Sueb, penutur B (sekretaris desa) dan penutur C adalah perangkat desa. Sama halnya dengan percakapan atau penuturan 1, faktor utama yang menyebabkan si A melakukan alih kode adalah faktor komonen bahasa yang bermacam-macam di daerah tersebut. Pada awal percakapan, si A menyapa dengan menggunakan bahasa Sunda,
akan tetapi lawan tutur atau si B menjawabnya dengan
menggunakan bahasa Jawa. Hal ini disebabkan si B merupakan dwibahasawan pula. Oleh karena itu, alih kode terjadi pada percakapan tersebut.
4.1.3 Deskripsi Jenis Alih Kode yang Digunakan Oleh Masyarakat Desa Parean Girang Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu
Suwito (Chaer, 2004: 114) menyatakan bahwa terdapat dua jenis alih kode dalam pertuturan. Kedua jenis alih kode tersebut adalah alih kode intern dan alih kode ekstern. Dikatakan sebagai alih kode intern apabila si penutur melakukan alih kode dengan menggunakan bahasa nasionalnya sendiri, sedangkan disebut alih kode ekstern apabila si penutur beralih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa asing. Berdasarakan pendeskripsian pertuturan tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga situasi percakapan tersebut menggunakan jenis alih kode intern. Pada
percakapan nomor 1 penutur dan lawan tutur melakukan alih kode dari bahasa jawa ke bahasa Sunda serta dari bahasa Sunda dan Jawa beralih ke bahasa Indonesia. Pada percakapan nomor 2 penutur melakukan peralihan dari bahasa Sunda beralih ke bahasa Jawa. Hal serupa juga terjadi pada percakapan nomor 3 yakni peralihan kode bahasa Indonesia ke dalam kode bahasa Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge:Cambridge University Press. Indonesiasaram. 2007. Tentang Campur Kode (Lagi). dalam http://indonesia saram.wordpress.com/ \2007/04/22/tentang-campur-kode-lagi/. Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar . Jakarta: PT. Gramedia. Puspitasari, Emi. 2008. Objek Linguistik: Bahasa dalam http://cakrabuwana. files. wordpress.com/2008/09/emi-bab-iii1.pdf Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa : Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik. Yogyakarta : Duta Wacana University Press. Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda. Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta : Gdjah Mada University Press.