Profil Calon Guru Sastra; Studi pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP-Unswagati Cirebon Abdul Rozak Unswagati Cirebon Disampaikan pada Seminar Nasional Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia, Bogor 27-28 November 2013 Abstrak Persiapan sebagai guru sastra ideal, yang diharapkan memerlukan waktu dan dana di samping program berkualitas yang dirancang berdasarkan gambaran kondisi yang ada. Bagaimana program pendidikan di LPTK diselenggarakan,khusus mendidik guru sastra pada akhirnya harus didasarkan pada wawasan dan kekuatan riset. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan sebagai upaya awal dalam menata program pembelajaran di FKIP-Unswagati Cirebon, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Apa yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa kerja lembaga perlu ditingkatkan karena kemampuan calon guru sastra ini masih jauh dari harapan. Pada penelitian ini terungkap penguasaan teoricalon guru sastra masih jauh dari yang diharapkan. Dalam hal minat masih memerlukan motivasi yang tinggi untuk sampai pada kriteria ideal. Calon guru sastra masih jauh dari yang diharapkan. Masih memerlukan motivasi yang tinggi untuk sampai pada kriteria ideal. Gambaran pengalaman baca calon guru sastra belum menunjukkan kekuatan yang cukup dan bervariasi. Pada umumnya mereka membaca buku-buku yang telah dikenalnya. Apa yang diperlihatkan para calon guru sastra belum menunjukkan arah yang menggembirakan. Mereka pada umumnya membaca buku-buku yang telah lama. Dalam hal keikutsertaan perkembangan sastra beberapa responden membaca buku-buku baru karena terbawa arus publikasi. Mereka belum mempunyai kriteria memilih buku yang baik sesuai dengan ketentuan tingkat kesastraan. Kata kunci : calon guru, sastra, teori, minat, pengalaman baca, keikutsertaan 1. Pendahuluan Calon guru Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia disiapkan sebagai guru bahasa dan sastra di sekolah menengah akan memilih bahasa sebagai materi ajar dibandingkan dengan sastra. Pilihan ini karena kondisi di lapangan memang seperti itu. Artinya ada yang mendesak keharusan mereka lebih berpihak pada pembelajaran bahasa. Apa yang terjadi di lapangan telah berjalan begitu adanya. Kebutuhan murid dalam kehidupan sehari-hari memaksa guru memokuskan pada kemampuan murid dalam berbahasa. Fokus pembelajaran bahasa diarahkan pada keterampilan berbahasa. Para guru menerjemahkan fokus itu dengan memberikan tekanan pada materi bahasa. Para murid dilatih menggunakan bahasa dengan diawali pemberian materi berupa toeri. Berdasarkan pengalaman para guru mengajarkan bahasa lebih mudah dibandingkan dengan mengajarkan sastra. 1
Pengalaman guru dapat diusut dengan membandingkan bahan ajar dan bagaimana
menyiapkan
pembelajarannya.
Nama
mata
pelajaran
sebetulnya
mengisyaratkan adanya keseimbangan. Dengan nama mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, dimaknai adanya keseimbangan dan saling berkontribusi. Seharusnya tidak ada pemilihan fokus yang berakibat pada ketidakseimbangan kompetensi murid. Para guru secara tidak sadar telah memupuk kekurangsenangan murid terhadap membaca. Minat baca yang diperlihatkan para murid kurang menggembirakan. Penumbuhan minat baca tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Ia harus “dipaksa” dengan pelatihan sistematis dan yang berpeluang melakukan hal itu adalah guru. Di kelas guru berkuasa menentukan aktivitas murid. Kekuasaan itu dijamin kurikulum. Lingkung kegiatan guru berarah pada bagaimana menerjadikan tujuan kurikulum. Segala kekuasaan yang dimilikinya seharusnyalah berakibat pada kompetensi murid seperti yang diharuskan kurikulum. Salah satu keharusan itu adalah kemampuan membaca murid meningkat, penghargaan murid terhadap karya sastra menjelma. Dengan kondisi yang berkembang sekarang di lapangan tugas guru sastra pada masa yang akan datang cukup berat. Persiapan harus dilakukan dengan matang dan sistematis dan perlu dicari cara pembinaan yang efektif. Salah satu dasar yang harus ditemukan adalah kondisi awal yang sekarang dimiliki oleh calon guru sastra. Dalam rangka itulah penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan kondisi yang dimiliki calon guru sastra. Permasalahan yang dimunculkan adalah bagaimana gambaran mahasiswa sebagai calon guru sastra dibandingkan dengan persyaratan guru sastra ideal. Permasalahan dipusatkan pada (1) bagaimana penguasaan calon guru terhadap teori, (2) bagaimana minat calon guru terhadap karya sastra, (3) bagaimana pengalaman bacan calon guru, dan (4) bagaimana keikutsertaan calon terhadap perkembangan sastra. Pemerolehan gambaran ini akan menjadi data untuk menentukan kebijakan untuk membina calon-calon guru sastra. Responden penelitian ini adalah mahasiswa yang akan melaksanakan PPL (semester 5) dan mahasiswa yang akan menyelesaikan tugas akhir (semester 7) 2. Kriteria Guru Sastra Ideal a.
Memahami teori sastra dan sejarah sastra. Teori sastra bukan untuk diajarkan. Guru harus menguasainya sebagai dasar agar berkemampuan memodifikasi materi ajar yang cocok disajikan kepada murid. Menurut Musthafa (2008:7) teori dapat membantu 2
memuaskan rasa keingintahuan tentang segala sesuatu, dapat membantu kita memperbaiki praktik pengerjaan tugas keseharian kita, memungkinkan kita bertumbuh secara profesional, dan memungkinkan kita dapat menjelaskan apa yang kita kerjakan kepada anak-anak, pembelajar, orang tua, dan masyarakat luas. Penentuan materi ajar dipengaruhi oleh seberapa jauh guru itu menguasai teori sastra yang cukup rumit. Pada saat menentukan meteri cerpen, misalnya, banyak hal harus dipertimbangkan. Teeuw (1983 : 12-13) memberikan syarat kepada pembaca harus menguasai beberapa kode, yaitu kode bahasa yang dipakai dalam teks, kode budaya, dan kode bersastra. b. Berminat pada sastra. Guru yang berkarakter ditandai dengan kepemilikan motivasi yang kuat, antusiasme, hangat, sedikit humor, kredibilitas, dan berorientasi pada kesuksesan (Lang & Evans, 2006:2). Karakter ini penting dimiliki guru sastra karena materi sastra cukup luas dan terus meluas setiap saat. Apa yang ada dalam kurikulum hanya selintas. Harus ada pengembangan dengan mengarah pada pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai siswa di sekolah, pengalaman apa yang disediakan agar lulusan bernilai, dan bagaimana pembelajaran akan dirancang, diukur, dan dievaluasi (Richard,2001:2). Bagaimana guru memilih salah satu puisi dalam kisaran waktu seperti itu? Beberapa buku telah dipublikasikan untuk membantu guru, seperti yang ditulis oleh Kratz (2000) yang menguraikan perjalanan sastra sejak awal 1928 hingga 2000. Bagaimana guru menentukan kedalaman isi karya sastra berbagai genre dalam kisaran waktu yang cukup jauh seperti itu? c. Pengalaman Baca. Mengajarkan sastra bukan hanya memberikan ajaran.Teks sastra mempunyai kekhasan; ia merupakan keseluruhan yang berhingga, yang tertutup, yang batasnya (awal dan akhirnya) diberikan dengan kebulatan, ia merupakan pandangan dunia yang koheren (Teeuw, 1983 : 2).Karya sastra bukanlah sebuah monumen yang mengungkapkan esensinya yang abadi dalam sebuah monolog (Selden, 1991 : 121). Teks (karya sastra) menyediakan pengalaman hidup (living through) bukan pengetahuan sederhana (Rosenblatt, 1988 : 38). Penyerapan makna karya sastra pertama-tama harus dilakukan guru. Perubahan tafsiran bisa terjadi kapan saja. Berkali membaca teks sastra, berkali itu dimungkinkan muncul pamaknaan baru. Guru harus menguasai bagamaimana mendekati karya sastra yang beragam, seperti diungkapkan oleh Hawthorn (2001: 133140), dan Eeagleton (2006). Pendekatan sastra yang meliputi tiga kategori, yaitu textual approaches, contextual approaches, dan ideological approaches. d. Mengikuti perkembangan karya sastra. Beberapa ahli sastra mendokumentasikan karya sastra dengan rinci. Suryadi (1987) menelusuri perkembangan puisi Indonesia 3
modern, Mahayana (2006) membahas cerpen-cerpen modern yang terbit pada tahun 2000-an, Ismail (2001) mengurai karya sastra (puisi, novel, drama, esai) sejak sastra melayu (Hamzah Fansuri) sampai dengan pengarang mutakhir (Eliza Fitri Handayani), dan harian Kompas selalu menerbitkan cerpen-cerpen terbaik setiap tahun yang dimuat dalam harian Kompas (sejak tahun 1994, Lampor, dan hingga kini tahun 2009). Bukubuku ini dapat menjadi salahsatu pilihan guru untuk mengikuti perkembangan sastra Indonesia 3. Metode Penelitian Penelitian itu bertujuan untuk memperoleh gambaran calon guru sastra ideal. Oleh karena itu, metode yang digunakan adalah deskriptif-analisis. Data yang diperoleh dideskripsikan dan dianalisis serta dikomparatifkan dengan stándar guru sastra ideal. Data diperoleh dengan menggunakan instrumen kuesioner. Data berupa jawabanjawaban dari reponden yang telah mengisi kuestioner. Adapun responden penelitian ini adalah mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia semester 5 dan semester 7. Data diolah dengan menggunakan analisis deskriptif 4. Hasil Penelitian 4.1 Penguasaan Teori a. Puisi Responden memiliki pengetahuan puisi dengan peringkat yang beragam. Paling banyak pada peringkat sedang (68,88%). Beberapa responden tidak mengetahui teori puisi (12,22%). Kondisi ini lebih banyak daripada posisi kurang (8,88%) dan baik (10%). Kondisi ini kurang baik karena calon guru sastra harus menguasai teori puisi
agar
dalam
pemilihan
materi
mempunyai
dasar
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Pilihan menentukan kualitas pembelajaran karena puisi sebagai salah satu materi ajar sastra tidak boleh dipinggirkan. Penguasaan guru yang kurang terhadap puisi dapat berdampak pada ajaran. Berdasarkan tingkat kesulitan dalam pemahaman puisi memang bagian yang cukup sulit. Akan tetapi, teori tidak pelik. Kemungkinan lain puisi kurang disenangi. b. Cerpen/Novel Cerpen/novel termasuk cerita rekaan yang cukup populer. Teori ini juga cukup menarik dan banyak hal yang dapat dibincangkan dalam teori ini karena banyak ragamnya. Beberapa ahli menyampaikan teorinya berdasarkan pandangan yang berbeda. Responden pada umumnya cukup memahami teroi cerpen/novel ini (60%).
4
Beberapa responden kurang menguasai (10%) dan cukup baik menguasai (8,8%). Di samping itu, beberapa repondens tidak menguasai teori ini (14,4%). c. Drama Dalam hal penguasaan teori drama pada umumnya responden menguasainya (55,5%). Beberapa responden kurang menguasai teori drama (15,5%) dan beberapa orang cukup baik menguasainya (10%). Di samping itu, beberapa responden tidak mengetahui teori ini (15,5%). Kondisi ini kurang baik, karena teori akan mengarahkan para guru menentukan dengan matang materi ajar drama. Teori pada intinya akan memberikan gambaran kepada (calon) guru untuk mengetahui lebih mendalam apa yang harus disiapkan untuk kelanjutan pembelajaran sastra. Teori dengan demikian menjadi bagian tidak terpisahka dari keberhasilan pembelajaran sastra pada umumnya. d. Pantun Pantun merupakan salah satu bentuk puisi lama yang menjadi ciri khas sastra Melayu/Indonesia. Responden pada umumnya cukup menguasai pantun (55.5%). Beberapa responden kurang menguasai (26,6%) dan beberapa responden cukup baik menguasai teori ini (11,11%) dan hanya beberapa responden yang tidak mengetahui teori ini (6,66%). e. Esai Salah bentuk sastra yang kurang populer adalah esai. Teori ini bagian yang cukup sulit dan jarang menjadi fokus para mahasiswa dan jarnag mahasiswa yang melakukan aktivitas ini. Hal tampak pada penguasaan responden. Pada umumnya responden kurang mengetahui teori dengan baik (85%). Beberapa responden cukup menguasai teori ini (24,4%) dan beberapa responden cukup baik menguasai teori ini (5,55%). f. Kritik Sastra Pada umumnya responden kurang menguasai teori kritik sastra (63,33%), beberapa responden cukup menguasai (33,33%) dan hanya sedikit yang penguasaannya cukup baik (2,22%). Kritik merupakan unsur yang cukup menguras pikiran dan perhatian. Di samping harus memahami secara baik unsur-unsur cerita rekaan, juga harus mendalami aliran-aliran yang berkembang dalam tatanan pergerakan pendekatan sastra 4.2 Keminatan a. Waktu Baca Karya Ssastra 5
Waktu merupakan salah satu yang harus diperhatikan oleh calon guru sastra. Berapa banyak mereka menyediakan waktu untuk membaca karya sastra atau teori sastra. Sebagian responden menyediakan waktu khusus (43,33%) dan sebagian lagi tidak menyediakan waktu khusus (52%). Jadi, pada umumnya mereka membaca karya sastra tidak terjadwal dalm jarak seminggu. b. Jumlah Bacaan Makin banyak jumlah karya sastra dapat diprediksi seberapa besar minatnya terhadap karya sastra. Pada umumnya responden telah membaca cerpen (44,44%), novel (42,22%) dan puisi (13,13%). Puisi paling sedikit yang dibaca responden. Hal ini gejala umum karena membaca puisi memerlukan keterampilan khusus dan pada umumnya beranggapan bahwa membaca puisi itu tidak menarik. c. Dana Karya Sastra Pada umumnya responden tidak menyediakan dana khusus untuk membeli karya sastra (58,88%). Sebagian kecil responden menyiapkan dana (9,99%). Data ini memberikan gambaran bahwa pada umumnya mereka mencari sumber lain, seperti meminjam di perpustakaan atau meminjam ke teman atau ke dosen. Akan tetapi, tidak sejalan dengan respons pada pertanyaan seterusnya ketika ditanya waktu khusus ke perpustakaan. Pada umumnya mereka tidak mempunyai waktu khusus berkunjung ke perpustakaan (70%) dan sebagian kecil yang memanfaatkan perpustakaan (16,66%). d. Perpustakaan Perpustakaan tempat alternatif untuk memperkaya wawasan dalam bidang sastra. Pada umumnya perpustakaan selalu menyediakan karya sastra yang cukup komplet, terutama perpustakaan kampus. Perpustakaan kampus memberikan layanan kepada mahasiswa per prodi. Beberapa novel terkenal, yang sudah menjadi kanon sastra dan karya sastra mutakhir disediakan. Jadi, sebenarnya responden sebagai mahasiswa dapat memanfaatkan perpustakaan kampus sebagai alternatif. 4.3 Pengalaman Baca
6
a. Pada umumnya (76,66%) responden pada saat membaca karya sastra tidak mempertimbangkan periodisasi sastra. Mereka membaca karena membaca. Beberapa responden mempertimbangkan periodisasi pada saat membaca karya sastra (8,88%). Beberapa responden kadang-kadang mempertimbangkan periodisasi karya sastra (14,44%). Periodisasi diperlukan bagi guru agar memperoleh gambaran perkembangan dan perjalanan aktivitas para pengarang atau penyair dalam berkarya. b. Ingatan manusia terbatas oleh waktu. Kekuatan ingatan terbentur pada waktu dan kemungkinan terlalu banyaknya yang harus diingat. Oleh karena itu, kekakterbatasan pada bacaan harus diimbangi dengan penyimpanan pada bahasa tulis. Beberapa responden menyusun ringkasan setelah membaca karya sastra (8,88%). Pada umumnya responden tidak menyusun ringkasan setelah membaca (53,33%) dan sebagian kecil responden kadang-kadang menyusun ringkasan (37,77%). c. Membaca karya sastra berbeda dengan membaca kary ilmiah. Ada strategi tertentu untuk membaca karya sastra. Pada umumnya responden mengetahui tata cara membaca karya sastra (47.77%), sebagain kecil tidak mengetahuinya (29,99%) dan beberapa responden kadang-kadang mengetahui cara membaca karya sastra (23,33%). d. Salah satu ciri membaca sastra adalah keterlibatan pembaca pada salah satu tokoh atau pada keseluruhan cerita berdasarkan alur yang tergambar jelas dalam penceritaan. Pada umumnya responden cenderung berpihak pda tokoh utama pada saat membaca prosa (47,77%). Beberapa responden kadangkadang berpihak pada tokoh utama (9,99%) dan sebagian kecil responden tidak berpihak terhadap tokoh utama (42,22%). Keragaman ini menunjukkan adanya latar beda di antara responden. Memabca karya sastra adalah kemerdekaan yang absolut. Pembaca dapat memulai dari mana saja, dapat berhenti kapan saja, dan dapat memberikan penilaian pada saat memabca atau dapat berpihak kepada siapa pun yang disukainya. e. Bahasa adalah media penyampaian gagasan para pengarang. Ada pembaca yang mudah mengartikan bahasa teks sastra dan ada juga yang sulit serta mungkin saja kadang-kadang pembaca sulit menerjemahkan cerita karena bahasa yang digunakan penngarang agak sulit dipahami. Kondisi ini yang dialami responden calon guru sastra pada saat ditanyakan kepada meraka 7
tentang sulit tidaknya memahami bahasa yang digunakan dalam teks sastra. Pada umumnya responden kadang-kadang sulit memahami bahasa teks sastra (56,66%). Beberapa responden sulit memahami bahasa teks sastra (17,77%) dan sebagian kecil tidak sulit memahami bahasa teks sastra (28,88%). f. Pada umumnya responden kadang-kadang sulit memahami unsur cerita (78,88%). Beberapa responden sulit memahami unsur cerita (11,11%) dan beberapa responden tidak sulit memahami unsur cerita (9,99%). Unsur cerita merupakan kerangka yang menyusun cerita dengan sistematis. Pemahaman fungsi unsur cerita pada saat membaca cerita sangat penting. Kaitan antara unsur akan memudahkan memahami alur pikir dan logika cerita. g. Puisi mempunyai bahasa khas. Ia terkadang merupakan kalimat tidak selesai. Oleh karena itu, membaca puisi memerlukan keterampilan khusus. Responden pada umumnya beranggapan bahwa membaca puisi lebih sulit dibandingkan dengan membaca prosa (54,44%). Di antara responden ada pula yang tidak beranggapan sulit (23,33%) dan beberapa resonden kadang-kadang memabca puisi lebih sulit dibandingkan dengan membaca prosa (22,22%). h. Pada umumnya responden mempelajari cara membaca puisi (65 %) dan beberapa responden tidak mempelajari khusus cara memabca puisi (26,66%). Beberapa responden kadang-kadang mempelajarinya (7,77%). Calon guru sastra perlu mempelajari memabca karya sastra, terutama puisi agar dalam pelibatan murid pada pembelajaran sastra berkualitas. i. Penerapan teori sastra dalam pembacaan karya sastra berpengaruh terhadap kemudahan membaca teks sastra. Pada umumnya responden memahami kepentingan teori dalam pembacaan teks sastra. Oleh karena itu, pada umumnya responden menggunakan teori yang diketahuinya pada saat membaca
teks
menggunakannya
sastra,
puisi
(34,44%)
(56,.66%), dan
beberapa
sebagian
kecil
rersponden
tidak
kadang-kadang
menggunakannya (8,88%). j. Cerpen merupakan bacaan yang paling disukai karena kependekannya, tidak memerlukan waktu yang lama, bahasanya jelas. Jika diminta memilih membaca cerpen atau puisi, pada umumnya orang akan memilih baca cerpen. Hal ini tergambar pada pendapat responden pada saat diminta lebih sulit mana membaca puisi dan cerpen. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa membaca puisi lebih sulit dibandingkan dengan membaca cerpen (59,99%) 8
dan sebagian kecil beranggapan sama saja (23,33%) dan kadang-kadang lebih sulit (27,77%). k. Responden pada umumnya tidak membaca teori sebelum membaca cerpen (67,77%). Beberapa responden mempelajarinya (24,44%) dan beberapa responden kadang-kadang mempelajarinya (5,55%). l. Teks sastra memberikan pengalaman yang berbeda kepada para pembacanya. Hal ini tergambar pada pernyataan responden pada saat diminta memberikan tanggapan tentang pengalaman baca prosa dan puisi. Pada umumnya mereka menemukan pengalaman berbeda pada saat membaca puisi dan prosa (64,44%). Beberap responden beanggapan sama saja (7,77%) dan beberapa responden tidak tertentu (16,66%). m. Pengetahuan yang melekat pada pembaca narasi ternyata berpengaruh terhadap tata cara baca teks narasi. Responden pada umumnya melakukan penilaian pada saat membaca teks narasi (68,88 %) sebagian responden tidak melakukannya (7,77 %) dan sebagian lagi kadang-kadang melaksanakan penilaian (23,33 %). Apa pun yang dilakukan oleh responden pada saat mereka
membaca
teks
narasi
terkait
dengan
bagaimana
mereka
memperlakukan teori yang telah dikuasainya pada saat membaca teks tersebut. n. Majalah horison satu-satunya majalah yang masih terbit sebulan sekali. Oleh karena itu, kepada responden ditanyakan apakah mereka selalu membaca majalah Horison. Beberapa responden membaca majalah Horison (3,33%) dan pada umumnya mereka tidak membacanya (57,77%). Menelusuri berbagai perkembangan karya sastra sebenarnya dapat diikuti melalui pembacaan majalah yang memuat berbagai karya sastra. Responden kurang mengikuti perkembangan karya sastra yang termuat dalam majalah. 4.4 Keikutan Perkembangan a. Teori Sastra Pada umumnya responden tidak membaca buku teori sastra (71,11%). Beberapa responden membaca buku teori sastra (12,22%). Perkembangan teori sastra memang tidak cepat. Mungkin responden beranggapan cukup bekal teori sastra yang diperolehnya pada saat kuliah. Beberapa ahli sastra memunculkan buku baru dan di dalamnya terkandung juga istilah-istilah yang mengarah pada pendekatan analisis sastra. Buku-buku semacam ini sebetulnya membantu calon guru sastra dalam menentukan dan menilai karya sastra yang 9
akan didialogkan kepada murid-muridnya. Beberapa responden yang membaca buku teori sastra memperolehnya dari perpustakaan (13,33%), dari teman (6,66%), dari dosen (5,55%), dan dari internet (2,22%). Di antara responden ada juga yang membeli buku tersebut dari toko (10%). Responden ini berupaya memiliki buku sebagai investasi. b. Puisi Pada umumnya responden tidak mengikuti perkembangan dalam bidang puisi. Hal ini terbukti dengan gambaran yang diperoleh dari respons para responden yang pada umumnya tidak membaca buku puisi (72,22%) dan sebagian kecil yang membaca buku puisi (16,66%). Kondisi ini cukup memprihatinkan karena begitu banyak puisi baru yang dipublikasikan. Pada umunya responden melewatkan kesempatan mengikuti perkembangan puisi, pada umumnya memperoleh puisi dari internet (12,22%). Beberapa responden yang mengikuti puisi, memperoleh dari toko buku (5,55%), dari perpustakaan (7,77%), dari koran (7,77%), dan dari majalah (2,22%). Data ini menggambarkan sedikitnya responden yang memiliki buku sendiri dan internet menjadi sumber yang cukup dimintai responden. Hal ini dapat dimaklumi karena internet menjadi media yang paling mudah. Apa lagi pada masa sekarang banyak situs yang memuat puisi. Bahkan beberapa puisi karya para penyair senior pun dapat diunduh. c. Cerpen Pada umunya responden mengikuti perkembangan publikasi cerpen (37,77%) dan sebagian besar tidak mengikutinya (52,22%). Cerpen sebenarnya merupakan salah satu karya sastra yang paling diminati karena kemudahan membacanya. Akan tetapi, responden yang mengikuti cerpen kurang begitu banyak. Responden yang mengikuti perkembangan cerpen memperolehnya dari majalah(16,66%), dari koran (14,44%), dari internet (6,66%), dari teman (3,33%), dan dari perpustakaan (6,66%). Dia antara mereka terdapat responden yang memiliki buku dengan membelinya dari toko buku (11,11%) d. Novel Pada umumnya responden tidak membaca novel yang dipublikasikan (50%) dan sebagian lagi mengikuti perkembangan novel (30%). Novel memang 10
karya sastra yang membutuhkan waktu pada saat membacanya karena tingkat ketebalannya. Di antara mereka memeroleh novel dari toko buku (17,77%), dari perpustakaan (7,77%), dari teman (7,77%), dari internet (11,11%), dari koran (5,55%), dari majalah (2,22%). Sumber perolehan novel dari internet mungkin saja, tatapi agak jarang novel dimuat penuh. Koran atau majalah memuat cerita bersambung, bukan novel secara utuh. Adapun yang menyebut dosen atau teman sebagi sumber, responden meminjam dan membacanya. Sebagian kecil yang berusaha memiliki novel dengan membelinya do tiko buku. Gambaran ini memerlukan pacuan yang lebih keras agar responden menyadari pentingnya membaca novel dan memilikinya sebagai bahan yang dapat digunakan pada saat pembelajaran, pada saat ia telah menjadi guru sastra. e. Drama Drama adalah salah satu karya sastra yang paling jarang dipublikasikan. Pada umumnya drama dipentaskan. Beberapa buku yang ditulis oleh beberapa pengarang terkenal dipublikasikan, seperti penulis W.S Rendra (almarhum), Putu Wijaya, Riantiarno, Arifin C. Noor (almarhum) dan buku-buku dari penulis angkatan pujangga lama, seperti Sanusi Pane, Achdiat Kartamihardja, dan Utus Tatang Sontani. Berdasarkan kenyataan seperti itu, dimaklumi pada umunya tidak membaca drama yang telah dipublikasikan (70%) dan beberapa responden membacanya (14,44%). Responden yang membacanya memperoleh dari teman (8,88%), dari internet (8,88%), dari koran (4,44%), dari majalah (6,66%). Perpustakaan mungkin jarang mengkoleksi drama sehingga hanya beberapa responden yang memperolehnya dari perpustakaan (2,22%). Kondisi ini cukup memprihatinkan. Apalagi hanya sedikit responden yang memiliki buku drama dengan memperolehnya dari toko buku (3,33%). 5. Pembahasan 5.1 Penguasaan Teori Teori itu sengat menentukan dalam penentuan pilihan-pilihan materi ajar. Guru sastra yang menguasai teori tidak akan pernah kesulitan menentukan materi ajar sastra dan ia akan menampilkannya dengan penuh variasi, tidak membosankan dan selalu akan mengajak para muridnya beroleh pengalaman bersastra. Apa yang terungkap dalam penelitian ini 11
menunjukkan bahwa calon guru sastra harus berusaha dengan kesungguhan untuk melengkapi dan menyiapkan dirinya memilih materi ajar sastra dengan baik dan benar. Pilihan guru bagaimanapun menuntut pertanggunggjawaban. Ia akan dituntut oleh banyak orang; murid, orang tua, masyarakat, dan terutama oleh dirinya sendiri kelak di akhirat. Kita harus ingat bahwa hidup ini akan dimulai setelah menjalani titah Allah di dunia ini. 5.2 Keminatan Mempelajari sastra tidak cukup dengan mengajarkan seadanya dan apa yang ada. Persiapan sebelum mengajarlah yang melelahkan karena banyak persiapan yang harus dilakukan. Memang pada umumnya guru yang berkualiats selalu menyiapkan waktu yang teratur sebelum melakasanakan pembelajaran. Bagi guru profesional persiapan adalah segalanya. Ia akan sangat menentukan pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, dengan berbagai cara dan usaha mereka akan menyiapkan waktu persiapan yang matang dan tertentu setiap waktu. Perencnaan telah disiapkan sebagai usaha pembaruan agar kebosanan tidak terjadi di ruang kelas. Pembelajaran sastra dapat menjadi pembelajaran yang sangat membosankan. Pengalaman selama ini di lapangan menujukkan bahwa pembelajaran sastra tidak diolah dengan baik, kering, dan tidak memunculkan minat pada diri para muridnya. Peminatan murid terhadap sastra akan muncul, jika guru memperlihatkan minatnya terhadap karya sastra. Guru sastra secara sadar harus menyiapkan waktu baca karya sastra. Waktu disedikan untuk membaca karya sastra pilihan yang setiap saat dipublikasikan. Guru sastra tidak akan mungkin membaca seluruh karya sastra yang dipublikasikan. Ia harus memilih dengan tepat, sesuai dengan kebutuhan pembelajaran sastra, waktu yang disiapkan guru sastra sebagai bagian tidak terpisahkan dari keharusan atau kewajibannya sebagai guru profesional. Penyediaan waktu ini yang belum terpenuhi oleh responden, calon guru sastra. Tidak semua reponden menyediakan waktu baca per minggu. Kualitas baca itu terasah dengan baik dalam keteraturan. Waktu tetap tidak harus berlama-lama. Satu jam setiap minggu membaca karya sastar secara bergantian sbenarnya telah memadai. Guru sastra tidak setiap minggu mengajarkan sastra karena bergantian dengan materi ajar bahasa. Dengan demikian tersdia waktu yang cukup dalam penyediaannya secara baik. 5.3 Pengalaman Baca 1. Pembaca yang berpengalaman selalu menggunakan pengetahuannya pada saat membaca teks. Latar belakang pengetahuannya digunakan untuk memahami teks 12
dengan saksama. Pilihan-pilihan apa yang harus dibaca pada periode tertentu salah satu bagian dari keterpilihan pembacaan teks sastra. Pembandingan antara periode akan mengantarkan pada keberhati-hatian. Responden harus memperbaiki hal ini. Mereka tidak akan memperoleh pengalaman dengan maksimal, bila membaca tanpa dukungan pengetahuan yang dapat menggiring pada aprsesasi tinggi. 2. Membaca harus bertanda. Pembaca yang berpengalaman tidak terlalau mengadnalkan
ingatannya
untuk
menyimpan
berbagai
hal.
Dia
akan
mengalihkannya pada tulisan yang mudah cibaca pada saat lupa. Kebiasaan menulis ringkasan yang dipadu dengan komentar pribadi akan memanjangkan ingatan pembaca. Responden sebagai calon guru sastra perlu memgubah cara baca. Harus ada catatan bahwa dia pernah membaca. Pada suatu saat catatan baca itu akan diperlukan. Saat memilih teks sastra, calon guru sastra dapat melihat catatan yang pernah disusunnya. Apa yang ditulis sendiri labih muah diingat. Apa yang dikerjakan sendiri sangat mudah diungkapkan ulang. Di samping itu, meringkas dapat dijadikan pelatihan menulis dengan baik, mengalihkan ingatan terhadap tulisan. 3. Membaca teks sastra memerlukan energi yang cukup, tetapi santai karena kita mengikuti
imajinasi
pengarang,
bukan
angka-angka
yang
melelahkan.
Kenikmatan diperoleh jika kita mengatahui tata cara membacanya. Membaca teks sastra ditektif berbeda dengan novel Putu Weijaya, atau Danarto. Kita yang lahir setelah masa Siti Nurbaya akan sedikit kesulitan karena bahasanya sangat berbeda. Oleh karena itu, cara membacanya berbeda. Guru sastra harus memahami bagaimana memerlakukan teks sastra dengan benar, dengan baik sehingga makna yang tersembunyinya dalam diraih dan dikomunikasikan dengan cara yang benar kepada para muridnya. 4. Membaca teks sastra memberikan peluang kapada pembaca untuk memulai dari sudut mana pun. Ia bisa memulai sesuai dengan skema yang sedang aktif. Hal ini dilakukan oleh responden, calon guru sastra. Hal ini menjadi pertanda yang baik, artinya dia harus memberikan peluang sebesar-besarnya juga kepada para muridnya untuk beraktivitas, untuk berkreativitas dalam berapresiasi dengan teks sastra. Dengan demikian akan terlihat jelas seperti apakah murid melakukan berbagai kegiatan yang beragam. Sastra pada intinya memberikan kebebasan yang beragam terhadap pembacanya. 13
5. Guru sastra tidak seharusnya bermasalah dengan bahasa yang digunakan dalam teks sastra. Ia harus menguasai dengan baik apa pun bahasa yang digunakan dalam teks sastra. Memang bahasa sastra memiliki kekhasan. Pengungkapan makna yang tepat dan beragam bermula dari pemahaman terhadap bahasa yang digunakan dalam teks tersebut. Pendekatan pemahaman bahasa dapat dilakukan dengan bebagai cara dan salah satu di antaranya adalah dengan memahami bahasa yang digunakannya. Pemahaman terhadap bahasa menjadi pokok karena teks sastra dimediasi dengan bahasa. Guru sastra telah dididik dalam bidang bahasa. Mereka diberi peluang sebesar-besarnya mengolah kemampuan berbahasa melalui berbagai aktivitas. Oleh karena itu, tidak seharusnya guru sastra bermasalah dengan bahasa yang digunakan dalam teks. Memang perlu berhati-hati pada saat memahami teks puisi. Bahasa puisi bukan bahasa biasanya, bukan bahasa yang seharusnya. Ia digunakan dalam rangkaian penyampaian amanat dengan bahasa yang bukan biasanya. Pembaca, calaon guru sastra seharusnyalah membedakan cara membaca teks puisi dibandingkan dengan membaca teks narasi. Namun, dengan frekuensi dan intensitas pembacaan teks puisi pada akhirnya akan dikuasai.
Pendekatan
penggunaan
bahasa
puisi
harus
dikuak
dengan
mendekatinya. 6. Kepahaman teori dapat mempengaruhi proses pembacaan teks sastra. Pendekatan terhadap teks sastra tidak dapat mengandalkan pada kemampuan pengalaman dan naluri baca. Teori dapat membawa pada kecepatan pemahaman teks karena pada saat membaca teks sastra sesungguhnya bersinergi antara teori dengan pengalaman baca sehingga kualitas baca dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang banyak menguasai teori tidak dapat menajamkannya tanpa membaca lebih banyak dan lebih sering. Pembacaan teks sastra merupakan praktik bagaimana calon guru sastra dapat menerapkan teori yang telah dikuasainya. Guru sastra harus menjadi pembaca cendikia, yang tidak biasa 5.4 Keikutan dalam Kemutakhiran Mengapa guru harus mengikuti perkembangan sastra? Banyak alasan yang dapat dikemukakan. Guru mempunyai tanggung jawab besar dalam hal pemberdayaan para murid yang menjadi tanggung jawabnya dan salah satu di antaranya dalam bidang sastra. Kelas dengan segala isinya menjadi tanggung jawab guru. Apa pun yang terjadi dalam kelas yang pertama diomintai pertanggungjawabannya adalah guru. Oleh karena 14
itu, guru harus mengikuti perkembangan para muridnya. Begitu pula dalam hal sastra. Apa yang disampaikan guru kepada para muridnya harus selalu berseiringan dengan kondisi kekinian. Mereka hidup pada masa sekarang dengan segala perkembangannya dan kecepatan perubahannya. Apa yang harus disiapkan guru adalah mempersiapkan kehidupan para murid agar dapat menjalani berbagai tantangan kehidupan yang menjelang. Dengan demikian guru harus sudah mempersiapkan dirinya untuk memberikan kesiapan kepada seluruh muridnya. Apa yang tergambar respons dari calon guru sastra cukup mengkhawatirkan. Banyak hal yang harus dipersipakan segera dengan dengan kesungguhan. Masalah pertama adalah pengikutan terhadap perkembangan publikasi mengenai teori sastra dan karya sastra. kedua adalah bagaimana cara memperoleh buku mutakhir. Sebagian besar calon guru sastra tidak mengikuti perkembangan mutkahir teori dan karya sastra. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Bagaimana bisa guru memberikan bimbingan kepada anak didiknya jika ia sendiri tidak mempunyai gambaran seperti apakah permasalahan yang dibahas dalam karya sastra mutakhir dan bagaimanakan cara memahami karya sastra dengan teori mutakhir. Apa yang akan disampaikan kepada para muridnya. Belajar yang baik akan selalu berorientasi ke depan, ke masa depan dan selalau maju berkelanjutan. Alakah tidak baiknya jika guru hanya memberikan apa yang diterimanya di kampus beberapa tahun lalu kepada para muridnya. Waktu lima tahun itu bukan waktu yang sebentar. Perubahan sekarang ini berjalan begitu cepat, dalam hitungan detik. Kita tidak akan dapat mengikuti perkembangan semuanya dengan sama baiknya. Guru sastra sebaiknya mencermati apa yang terjadi di dunia sastra, apa yang terjadi di dunia pengarang, penyair, dan kritikus sastra. alangkah lebih baiknya guru sastra juga mengikuti perkembangan sosial, ekonomi, budaya, agama, dan politik meski sedikit. Banyak cara yang dapat dilakukan. Kemauanlah yang akan menggerakkan langkah dan pikir. Tidak ada yang berat. Semua dapat dilakukan untuk kebaikan. Pengaturan waktu menjadi kunci kedua di samping kemauan yang kuat. Apa yang tertanam dalam diri guru adalah, sebaiknya bagaimana agar para muridnya menjadi anak bangsa yang akan berkontribusi terhadap kesejahteraan dan kecerdasan bangsa ini. Jika niat ini tidak muncul, semuanya akan berjalan biasa dan seperti biasanya, tidak ada lonjakan apalagi kejutan. Calon guru sastra dalam penelitian ini kurang meyakinkan akan memberikan kejutan yang membuat dunia pendidikan tercengang. Datar dan datar sehingga hasilnya tidak berbeda 15
dengan apa yang telah terjadi selama ini. Begitulah keadaannya dan begitulah kejadiannya. Kekurangperhatian pada perkembangan teori dan karya sastra diperluat dengan cara yang dilakukan responden dalam pengadaan buku teori dan karya sastra. Responden pada umumnya menunggu perpusatakaan dan pnjam kepada teman. Perpustakaan tidak dapat
diandalkan.
Buku-buku
yang
tersedia
di
perpustakaan
sangat
tidak
menggembirakan. Buku-buku baru berjangka sangat panjang dengan toko buku, mungkin bulanan. Apalagi perpustakaan yang berada di daerah, jauh dari pusat. Pemerintah daerah yang tidak peduli terhadap perpustakaan akan memperparah kondisi perbukuan. Selama calon guru sastra mengandalkan pada di luar kemampuan dirinya agak sulit memprediksi kualitas guru sastra pada masa yang akan datang. Calon guru sastra sebenarnya, jika mau dapat menyisihkan uang jajannya untuk membeli buku atau membaca secara bergantian. Di antara mereka, mahasiswa dapat membaca bersamasama buku yang berbeda. Setiap mahasiswa membeli satu buku yang berbeda kemudian saling meminjamkan. Cara seperti ini dapat meringankan beban biaya yang harus dikeluarkan oleh calon guru sastra. 6. Simpulan 1) Penguasaan teori. Calon guru sastra masih jauh dari yang diharapkan. Masih memerlukan motivasi yang tinggi untuk sampai pada kriteria ideal. Pada umumnya belum menguasai teori sastra. Setelah beberapa semester mengikuti kuliah belum terlihat kemajuan yang diharapkan. Pada posisi seperti yang sekarang dialami reponden seharusnya telah dikuasai beberapa buku teori dasar. Persiapan sebagai calon guru sastra belum serius. Buku-buku yang dibacanya tidak jauh dari apa yang diwajibkan para dosennya. Kondisi ini kurang membawa kabar baik bagi perubahan pembelajaran sastra pada masa yang akan datang. 2) Keminatan. Minat dapat membangkitkan pada dirinya untuk mencari dan mencari tanpa lelah demi kebahagian dirinya dan orang lain. Minat pada guru akan mengalirkan kepada para muridnya. Minat para calon guru sastra ini belum mengarah pada gambaran kualitas pembelajaran sastra pada masa yang akan datang, pada saat mereka menjadi guru. Beberapa responden memperlihatkan minatnya yang cukup, seperti menyediakan dana untuk membeli buku, tetapi pada umumnya mereka menunggu buku di perpustakaan. Hal ini berkaitan dengan kepemilikan buku teori dan karya sastra yang belum memberikan gambaran kuat tentang kualitas pembelajaran sastra pada masa yang akan datang. 16
3) Pengalaman baca. Tugas utama guru sastra adalah menularkan pengalaman bersastra kepada para muridnya. Pengalaman bersastra tidak dapat dengan tiba-tiba dimiliki para calon guru. Sejak sekarang seharusnya berinvestasi untuk masa yang akan datang. Gambaran pengalaman baca calon guru sastra belum menunjukkan kekuatan yang cukup dan bervariasi. Pada umumnya mereka membaca buku-buku yang telah dikenalnya. Padahal begitu banyak buku yang dipublikasikan dan itu harus diikuti oleh para calon guru sastra. 4) Keikutperkembangan. Apa yang dipraktikkan di kelas harus merupakan gambaran kreativitas guru agar para murid tidak bosan dalam mengikuti pembelajaran. Kondisi ini dapat terlaksana dengan kemampuan guru dalam mengikuti perkembangan karya sastra dan teori sastra. Apa yang diperlihatkan para calon guru sastra belum menunjukkan arah yang menggembirakan. Mereka pada umumnya membaca buku-buku yang telah lama. Beberapa responden membaca buku-buku baru karena terbawa arus publikasi. Mereka belum mempunyai kriteria memilih buku yang baik sesuai dengan ketentuan tingkat kesastraan. 7. Rekomendasi Persiapan sebagai guru sastra tidak dapat dialaksanakan secara tiba-tiba. Perencanaan matang dan komprehensif diperlukan. Beberapa aktivitas yang “memaksa” mahasiswa melibatkan dirinya perlu diatur dengan saksama dan sebaik-baiknya. Beberapa catatan di bawah ini dapat dipertimbangkan sebagi upaya meyiapkan calon guru sastra secara terarah, selama 8 semester. 1. Mata kuliah kesastraan perlu dipertimbangkan dengan matang, diseimbangkan dengan mata kuliah kebahasaan dan keterampilan berbahasa, tidak perlu disamakan karena dalam KTSP juga tidak diseimbangkan. Akan tetapi, mata ajar sastra harus merupakan bagian yang dapat memberikan ruh terhadap pembelajaran bahasa secara menyeluruh. Apa yang selama ini disiapkan program studi perlu ditambah dengan kritik sastra karena bagian ini yang kurang, masih harus diperkuat. Kajian-kajian karya sastra dapat dipraktikkan melalui mata kuliah ini. Kelemahan yang kentara dalam hal ini. Pemaksaan baca karya sastra dan menelaahnya akan mengayakan para mahasiswa. 2. Laporan baca harus menjadi bagian rutin dalam perkuliahan sastra. sebulan sekali dan pada semester selanjutnya seminggu sekali mahasiswa membuat laporan baca. Dosen menyiapkan buku-buku yang beragam. Mahasiswa memilih dengan 17
pertimbang-pertimbangan tertentu. Laporan baca ini menjadi prasyarat ujian akhir semester. 3. Lembaga perlu meyediakan berbagai buku teori sastra mutakhir dan karya sastra yang juga mutakhir. Perkenalan terhadap teori dan karya sastra harus dipaksakan pada awanya. Perkembangan karya sastra yang cukup cepat perlu diimbangi dengan kesigapan lembaga menyadiakan bacaan di perpustakaan. Lembaga harus memahami bahwa membeli novel belum menjadi kebutuhan mahasiswa dan lembaga harus menyadarinya karena tidak mungkin memaksakan mahasiswa mencukupi buku. Mereka masih memlilih buku teori. Oleh karena itu, perpustakaan jurusan perlu mempertimbangkan memperbanyak jumlah karya sastra. 4. Mahasiswa perlu dilatih berseminar dan berdebat dalam ruang terbuka. Dosen dapat memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan seminar terbatas di kelas dan kemudian berangsur dibawa ke ruang yang lebih luas. Mereka diberi kesempatan berbicara di lingkungan fakultas. Cara seperti ini akan melatih mahasiswa mengungkapkan gagasan-gagasannya secara terbuka. Di samping itu, pelatihan selanjutnya publikasi karya ilmiah. Dosen memilih karya terbaik mahasiswa untuk dikirimkan ke jurnal ilmiah. 5. Model pembelajaran dialog dapat dijadikan salah satu alternatif untuk menemukan pikiran-pikiran cemerlang dari mahasiswa. Karya sastra pada dasarnya harus didialogkan karena banyak mengandung amanat yang harus dipecahkan di dalamnya. Dialog ini diahrapkan dapat mendidikan mahasiswa untuk juga melakukan dialog pada saat melaksanakan pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN Eagleton, T. 2006. Teori Sastra. Yogyakarta : Jalasutra. Hamzah, A. 1957. Buku dan Penulis. Jakarta : balai Pustaka. Hawthorn, J. 2001. Studying The Novel. London : Arnold. Ismail, T. (Peny.). 2001. Dari Fansuri ke Handayani. Jakarta : Kaki Langit Horison Kratz, E.U. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia Lampor, Cerpen Pilihan Kompas 1994. 1994. Jakarta : Gramedia. 18
Lang, H.R. & Evans, D.N. 2006. Models, Strategies, and Methods. Boston, Madrid, New York : Pearson Mahayana, M.S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia, Sebuah Oreintasi Kritik. Jakarta : Bening Mahayana, M.S. 2006. Bermain dengan Cerpen Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia. Jakarta : Gramedia. Musthafa, B. 2008. Teori dan Praktik Sastra dalam Penelitian dan Pengajaran. Bandung : Sekolah Pascasarjana-Universitas Pendidikan Indonesia. Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian Cerpen Kompas Pilihan 2009. 2010. Jakarta : Kompas. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pradopo, R.D. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta : Gama Media. Rampan, K.L. 1980. Puisi Indonesia Kini : Serbuah Perkenalan. Yogyakarta : Nur Cahaya. Rosenblatt, L.M. (1988).Writing and Reading : The Transactional Theory. Technical Report N. 13. University of California, BerkeleyCA94720 Selden,
R.
(1991).
Panduan
Pembaca
Teori
Sastra
Masa
Kini.Yogyakarta
:
GadjahMadaUniversity Press. Suryadi, L. (Peny.). 1987. Tonggak, Antologi Puisi Indonesia Modern jilid 1-4. Jakarta : Gramedia. Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Toeri Sastra. Jakarata : Pustaka Jaya. Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia I. Flores : Nusa Indah Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta : Gramedia Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta : Pustaka Jaya. Teeuw, A. 1997. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Jakrta : Pustaka Jaya. Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
19