HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KEKERASAN DAN WAKTU PEMECAHAN DAGING BUAH KAKAO (THEOBROMA CACAO L)1) MUH. IKHSAN (G 411 09 272)2) JUNAEDI MUHIDONG dan OLLY SANNY HUTABARAT
3)
ABSTRAK Permasalahan kakao Indonesia sampai saat ini adalah mutu yang masih rendah. Hal ini disebabkan karena penanganan pasca panen kakao belum dipraktekkan dengan baik dan benar sehingga kakao yang dihasilkan oleh petani masih tercampur dengan benda-benda asing, pengeringan kurang sempurna dan pemecahan kulit buah yang masih kurang efektif. Desain alat pemecah kulit buah telah diintroduksi oleh banyak pihak. Namun demikian, informasi detail tentang perilaku tingkat kekerasan daging buah kakao belum banyak tersedia. Penelitian ini didesain untuk melihat tingkat kekerasan daging buah kakao beberapa hari menjelang panen dan pada saat hari panen. Penelitian ini mencoba mengobservasi perilaku tingkat kekerasan buah pada saat terjadi penundaan pemecahan kulit buah. Perubahan tingkat kekerasan daging buah untuk buah yang dipanen lebih awal menunjukkan pola kuadratik sepanjang penundaan waktu pengukuran (waktu pemecahan kulit). Penundaan waktu pemecahan kulit untuk kakao yang dipanen tepat waktu menunjukkan pengaruh yang sangat signifikan pada saat hari pemecahan kulit ditunda selama 15 hari. Penudaan yang kurang dari 15 hari tidak menunjukkan pengaruh yang berarti. Pola ini sejalan dengan pola perubahan kadar air daging buah dimana penundaan 15 hari menyebabkan penurunan kadar air daging buah yang signifikan. Pola tingkat kekerasan sepanjang daging buah menunjukkan bahwa tingkat kekerasan tertinggi dijumpai pada bagian tengah buah. Kata Kunci: Kakao, kadar air, tingkat kekerasan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kakao merupakan komoditas perkebunan yang penting bagi perekonomian nasional dengan perannya sebagai sumber penghasil devisa negara, menciptakan lapangan kerja, sumber pendapatan petani, pendorong perkembangan agroindustri dan agribisnis serta pengembangan wilayah. Dalam hal pemecahan buah, petani umumnya menggunakan pemukul kayu, pemukul berpisau, atau dengan pisau bagi yang sudah berpengalaman. Walaupun pemecahan dengan pisau tidak direkomendasikan karena beresiko merusak biji, tetapi pemecahan dengan cara ini paling umum dilakukan. Kerusakan biji segar karena terpotong pisau dapat meningkatkan biji terserang jamur. Oleh karena itu, syarat utama pemecahan adalah menghindari biji rusak oleh alat pemecah. Desain alat pemecah kulit buah juga telah diintroduksi oleh banyak pihak. Namun demikian, informasi detail tentang perilaku tingkat kekerasan daging buah kakao belum banyak tersedia. Penelitian ini didesain untuk melihat tingkat kekerasan daging buah kakao beberapa hari menjelang panen dan pada saat hari panen. Penelitian ini mencoba mengobservasi perilaku tingkat kekerasan buah pada saat terjadi penundaan pemecahan kulit buah. 1.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini didesain untuk mengetahui perilaku tingkat kekerasan daging buah kakao pada saat dilakukan penundaan pemecahan buah. Penelitian ini diharapkan akan memperkaya informasi yang lebih akurat tentang sifat fisik daging buah kakao yang dapat bermanfaat pada saat mendesain alat pemecah kulit buah kakao.
1. 2.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kakao Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berbentuk pohon yang berasal dari Amerika Selatan. Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai cokelat. Kakao merupakan tumbuhan tahunan (perennial) berbentuk pohon, dapat mencapai ketinggian 10m. Meskipun demikian, dalam pembudidayaan tingginya dibuat tidak lebih dari 5m tetapi dengan tajuk menyamping yang meluas. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak cabang produktif (Spillane, 1995). 2.2 Fisiologi Buah Kakao Permukaan kulit buah ada yang halus dan ada yang kasar, tetapi pada dasarnya kulit buah beralur 10 letaknya berselang seling. Buah kakao akan masak setelah berumur 5-6 bulan, tergantung pada elevasi tempat penanaman. Pada saat buah masak, ukuran buah yang terbentuk cukup beragam dengan ukuran berkisar 10-30 cm, diameter 7-15 cm, tetapi tergantung pada kultivar dan faktor-faktor lingkungan selama proses perkembangan buah (Sunanto, 1992). 2.3 Karakter Fisik 2.3.1 Kadar Air Biji kakao yang mempunyai kadar air tinggi, sangat rentan terhadap serangan jamur dan serangga. Keduanya sangat tidak disukai oleh konsumen karena cenderung menimbulkan kerusakan cita-rasa dan aroma dasar yang tidak dapat diperbaiki pada proses berikutnya. Standar kadar air biji kakao mutu ekspor adalah 6–7 %. Jika lebih tinggi dari nilai tersebut, biji kakao tidak aman disimpan dalam waktu lama, sedang jika kadar air terlalu rendah biji kakao cenderung menjadi rapuh.
Makalah yang disajikan dalam Seminar Hasil Penelitian Prodi Keteknikan Pertanian UNHAS Mahasiswa Jurusan Teknologi Pertanian, UNHAS 3. Dosen Jurusan Teknologi Pertanian, UNHAS
2.3.2 Ukuran Biji Makin besar ukuran biji kakao, makin tinggi randemen lemak dari dalam biji. Ukuran biji kakao dinyatakan dalam jumlah biji (beans account) per 100 g contoh uji yang diambil secara acak pada kadar air 6–7 %. Ukuran biji rata-rata yang masuk kualitas eskpor adalah antara 1,0–1,2 gram atau setara dengan 85–100 biji per 100 g contoh uji. Ukuran biji kakao kering sangat dipengaruhi oleh jenis bahan tanaman, kondisi kebun (curah hujan) selama perkembangan buah, perlakuan agronomis dan cara pengolahan (Wahyudi dkk, 2008). 2.3.3 Kadar Kulit Biji kakao dengan kadar kulit yang tinggi cenderung lebih kuat atau tidak rapuh pada saat ditumpuk di dalam gudang sehingga biji tersebut dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Sebaliknya, jika kadar kulit terlalu rendah, maka penjual (eksportir) biji kakao akan mengalami kerugian dalam bentuk kehilangan bobot. Jika kuantum pengiriman sangat besar, maka kehilangan kumulatif dari selisih kadar kulit menjadi relatif besar. Kadar kulit biji kakao dipengaruhi oleh jenis bahan tanaman dan cara pengolahan (fermentasi dan pencucian). Makin singkat waktu fermentasi, kadar kulit biji kakao makin tinggi karena sebagian besar sisa lendir (pulp) masih menempel pada biji (Wahyudi dkk, 2008). 2.3.4 Kadar Lemak Lemak kakao merupakan campuran trigliserida, yaitu senyawa gliserol dan tiga asam lemak. Lebih dari 70% gliserida yang terdiri dari tiga senyawa tidak jenuh tunggal yaitu oleodipalmitin (POP), oleodistearin (SOS) dan oleopalmistearin (POS). Lemak kakao mengandung juga di-unsaturated trigliserida dalam jumlah yang sangat terbatas. Komposisi asam lemak kakao sangat berpengaruh pada titik leleh dan tingkat kekerasannya. Titik leleh lemak kakao yang baik untuk makanan cokelat mendekati suhu badan manusia dengan tingkat kekerasan minimum pada suhu kamar (Wahyudi dkk, 2008). 2.3.5 Kadar Air Kadar air biji kakao ditentukan oleh cara pengeringan dan penyimpanannya. Kadar air biji kakao hasil pengeringan sebaiknya antara 6-7%. Namun, kadar air yang terlalu rendah juga tidak baik karena biji kakao menjadi sangat rapuh (Wahyudi dkk, 2008).
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Bahan Bahan yang digunakan adalah kakao jenis forastero yang diperoleh dari kebun petani di kelurahan Cabbengnge kecamatan Lilirilau kabupaten Soppeng. Lokasi ini dipilih mengingat kelurahan ini merupakan salah satu sentra kakao di Kabupaten Soppeng. 3.2.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah texture analyzer, desikator, oven, timbangan digital, kertas label, plastik kedap udara, kamera digital. 3.3 Prosedur Penelitian Mulai
Mensurvei dan menetapkan kebun kakao yang akan menjadi target sampel penelitian Memilih 20 pohon yang berbeda namun memiliki postur yang relative seragam.
Memanen 20 buah kakao yang berumur sekitar satu minggu sebelum siap panen yang berada pada batang utama dari ke 20 pohon sampel.
Mengambil kulit buah dan biji kakao masingmasing pada bagian pangkal, tengah dan ujung
Mengoperasikan alat teksture analyzer Mengukur tingkat kekerasan
Data Force, Distance dan Time Mengkonversi hasil grafik Mengukur berat awal kulit buah dan biji kakao dan memasukkan ke oven dengan suhu 105 0C selama 72 jam Pengukuran Berat Akhir Selesai
Gambar 1. Bagan Alir Prosedur Penelitian
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2012 di Laboratorium Processing Program Studi Keteknikan Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Page | 2
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
90
70
y = -1.147x + 85.74 R² = 0.954
60 50
KA-bb Klt KA-Bb Biji
y = -0.404x + 55.56 R² = 0.939
40 30 0
3
6
9
70 60
KA-bb Klt
y = 0.041x + 41.79 R² = 0.051
50
KA-Bb Biji
40 30 0
3
6
9
12
15
Waktu Tunda (Hari) Gambar 2. Grafik Hubungan Kadar Air saat Panen 4.2 Tingkat Kekerasan 7 Hari Sebelum Panen dan Saat Panen Hasil pengukuran untuk perilaku tingkat kekerasan satu minggu sebelum panen dapat dilihat pada gambar 3. Gambar ini menunjukkan perilaku dan perubahan tingkat kekerasan ketika dilakukan penundaan waktu pengkuran selama 0, 3, 6, 9, dan 12 hari setelah hari pemetikan buah. Pada gambar ini dapat kita lihat pola yang yang diikuti yaitu pola kuwadratik. Pengukuran tingkat kekerasan yang tertinggi terjadi pada 6 hari setelah waktu penundaan dengan nilai rata-rata F(N) yakni 26,747. Sedangkan untuk pengukuran tingkat kekerasan terendah terjadi pada 12 hari setelah waktu penundaan dengan nilai rata-rata F(N) yakni 17,231.
12
Waktu Tunda (Hari) Gambar 1. Grafik Hubungan Kadar Air 7 Hari sebelum Panen (early harvest) Gambar 2 menunjukkan perubahan kadar air kulit buah dan biji pada saat dilakukan penundanaan pengukuran selama 3, 6, 9, dan 15 hari setelah hari pemetikan buah. Pola penurunan untuk kulit buah mengikuti pola linear dengan nilai R2 yang cukup tinggi yakni 0,868. Sedangkan kadar air untuk biji terlihat stabil dengan nilai R2 yakni 0,051. Kadar air awal kulit buah sekitar 82%, sedangkan kadar air biji sekitar 41%. Kadar air dicapai setelah penundaan pengukuran selama 15 hari setelah pemetikan mencapai 75% untuk kulit buah dan 41% untuk biji. Informasi lainnya yang diperoleh adalah kadar air kulit buah menurun sepanjang waktu penundaan pengukuran. Sedangkan untuk kadar air biji terlihat cukup stabil selama hari penundaan. Penurunan kadar air kulit buah kakao ini disebabkan oleh waktu penundaan hari pengukuran. Semakin lama waktu penundaan pengukuran, maka semakin rendah pula kadar air kulit buah kakao.
30 Tingkat Kekerasan F(N)
KABB (%)
80
y = -0.533x + 82.7 R² = 0.868
80 KABB (%)
4.1 Kadar Air 7 Hari Sebelum Panen dan Saat Panen Gambar 1 menunjukkan perubahan kadar air kulit buah dan kadar air biji pada saat dilakukan penundanaan pengukuran selama 3, 6, 9, dan 12 hari setelah hari pemetikan buah. Pola penurunan kadar air baik untuk kulit buah maupun biji mengikuti pola linear dengan nilai R2 yang cukup tinggi yakni lebih besar atau sama dengan 0.939. Kadar air awal kulit buah sekitar 85%, sedangkan kadar air awal biji sekitar 55%. Kadar air yang dicapai setelah penundaan pengukuran selama 12 hari setelah pemetikan mencapai 70% untuk kulit buah dan 50% untuk biji. Informasi lainnya yang diperoleh adalah kadar air kulit buah dan biji memiliki penunrunan sepanjang waktu penundaan pengukuran. Penurunan kadar air kulit buah dan biji kakao ini disebabkan oleh waktu penundaan hari pengukuran. Semakin lama waktu penundaan pengukuran, maka semakin rendah pula kadar air kulit buah dan biji kakao.
90
25 20 15 10 Tingkat kekerasan
5 0 0
3
6
9
12
Waktu Tunda (Hari) Gambar 3. Tingkat Kekerasan 7 Hari Sebelum Panen (early harvest) Hasil pengukuran untuk perilaku tingkat kekerasan saat hari panen dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar ini menunjukkan perilaku dan perubahan tingkat kekerasan ketika dilakukan penundaan waktu pengkuran selama 0, 3, 6, 9, dan 15 hari setelah hari pemetikan buah. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa pengukuran yang dilakukan pada saat penundaan 0 sampai dengan 9 hari memperoleh hasil tingkat kekerasan yang cukup stabil dengan nilai F(N) rata-rata 24. Akan tetapi, setelah terjadi penundaan yang cukup lama yaitu 15 hari, terjadi
Page | 3
Tingkat Kekerasan F (N)
70 60 50 40 30
Tingkat Kekerasan
20
Pada bagian pangkal, tingkat kekerasan yang tertinggi diperoleh pada hari ke-15 dengan nilai F(N) yakni 62,105 dan tingkat kekerasan yang terendah diperoleh pada hari ke-3 dengan nilai F(N) yakni 22,222. 70 Tingkat Kekerasan F(N)
kenaikan tingkat kekerasan yang cukup drastis dengan nilai F(N) yakni 58,578. Kenaikan tingkat kekerasan ini disebabkan karena hari penundaan yang lama. Hal ini juga dapat kita lihat pada perubahan warna kulit buah kakao yang berubah menjadi agak kecoklatan setelah waktu penundaan 15 hari.
60 50 40 30
Pangkal
20
Tengah
10
Ujung
0 0
10
3
0 3 6 9 Waktu Tunda (Hari)
15
Gambar 4. Tingkat Kekerasan Saat Panen 4.3. Tingkat Kekerasan Sepanjang Daging Buah 7 Hari Sebelum Panen dan Saat Panen Pada gambar di bawah ini dapat kita lihat bahwa bagian tengah buah kakao cenderung memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi daripada bagian pangkal dan ujung buah. Untuk tingkat kekerasan yang lebih rendah ditunjukkan pada bagian ujung. Akan tetapi, setelah dilakukan penundaan waktu pengukuran, tingkat kekerasan pada bagian ujung meningkat dapat kita lihat pada hari ke-9. Pada bagian pangkal, tingkat kekerasan yang tertinggi diperoleh pada hari ke-6 dengan nilai F(N) yakni 26,701 dan tingkat kekerasan yang terendah diperoleh pada hari ke-12 dengan nilai F(N) yakni 16,063.
Tingkat Kekerasan F(N)
Pangkal Tengah
30 25 20 15 10 5 0
15
Gambar 6. Tingkat Kekerasan Sepanjang Daging Buah Saat Panen
Ujung
4.4 Hubungan Kadar Air Dengan Tingkat Kekerasan 7 Hari Sebelum Panen dan Saat Panen Hubungan antara tingkat kekerasan daging buah dengan kadar air daging buah untuk perlakuan pemanenan satu minggu sebelum hari panen disajikan pada Gambar 7. Dari gambar ini tampak bahwa tingkat kekerasan memiliki pola yang mendekati kuadratik sejalan dengan perubahan kadar air. Tingkat kekerasan tertinggi dicapai pada kadar air sekitar 80% yang terjadi pada penundaan pengukuran selama 6 hari. Tingkat kekerasan ini menurun pada penundaan pengukuran selama 9 dan 12 hari. 30 Tingkat Kekerasan F(N)
0
6 9 Waktu Tunda (Hari)
25 20 15
Kadar Air vs Tingkat Kekerasan
10 5 0 70
80
90
Kadar Air (%) 0
3
6 9 Waktu Tunda (Hari)
12
Gambar 5. Tingkat Kekerasan Sepanjang Daging Buah 7 Hari Sebelum Panen (early harvest) Pada gambar 6 ditunjukkan hubungan tingkat kekerasan kulit buah antara pangkal, tengah, ujung dengan masing-masing 5 sampel buah yang dilakukan pengukuran. Pada gambar tersebut dapat kita lihat bahwa bagian tengah buah kakao cenderung memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi daripada bagian pangkal dan ujung buah. Untuk tingkat kekerasan yang lebih rendah ditunjukkan pada bagian ujung.
Gambar 7. Hubungan Antara Tingkat Kekerasan Dengan Kadar Air 7 Hari Sebelum Panen (earlyharvest) Hubungan antara tingkat kekerasan daging buah dengan kadar air daging buah untuk perlakuan pada saat hari panen disajikan pada Gambar 8. Dari gambar tersebut dapat kita lihat bahwa perubahan kadar air terlihat stabil. Akan tetapi setelah penundaan pengukuran selama 15 hari, tingkat kekerasan meningkat pada kadar air sekitar 76%.
Page | 4
Tingkat Kekerasan F(N)
70 60 50
Tingkat Kekerasan vs KA
40 30 20 10 0 75
80
85
Kadar Air (%) Gambar 8. Hubungan Antara Tingkat Kekerasan Dengan Kadar Air Saat Panen V. PENUTUP 1.
2.
3. 4.
5.
Perubahan tingkat kekerasan daging buah untuk buah yang dipanen lebih awal menunjukkan pola kuadratik sepanjang penundaan waktu pengukuran (waktu pemecahan kulit). Penundaan waktu pemecahan kulit untuk kakao yang dipanen tepat waktu menunjukkan pengaruh yang sangat siginifikan pada saat hari pemecahan kulit ditunda selama 15 hari. Penudaan yang kurang dari 15 hari tidak menunjukkan pengaruh yang berarti. Pola ini sejalan dengan pola perubahan kadar air daging buah dimana penundaan 15 hari menyebabkan penurunan kadar air daging buah yang signifikan. Pola tingkat kekerasan daging buah menunjukkan bahwa tingkat kekerasan tertinggi dijumpai pada bagian tengah buah. Semakin lama waktu penundaan pengukuran maka semakin tinggi pula tingkat kekerasan kulit buah kakao. Hal ini disebabkan karena kadar air daging buah kakao semakin menurun selama waktu penundaan pengukuran. Jangan menyimpan buah kakao lebih dari 9 hari karena dapat mengakibatkan tingkat kekerasan semakin tinggi.
DAFTAR PUSTAKA J. Spillane, James Dr. 1995. Komoditi Kakao (Peranannya dalam Perekonomian) Kanisius. Yogyakarta. Sunanto, Hatta. 1992. Cokelat Pengolahan Hasil dan Aspek Ekonominya. Kanisius Yogyakarta. Wahyudi, T., T.R Pangabean., dan Pujianto. 2008. Panduan Lengkap Kakao Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.
Page | 5