ABSES HEPAR A. PENDAHULUAN Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati .(1) Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400 SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936. (1) Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hati di daerah perkotaan. Di negara yang sedang berkembang abses hati amuba lebih sering didapatkan secara endemik dibandingkan dengan abses hati piogenik. Dalam beberapa dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologis, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya. (2) B. ANATOMI DAN FISIOLOGI HATI Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh, berat rata-rata sekitar 1.500gr atau 2 % berat badan orang dewasa normal. Letaknya sebagian besar di regio hipokondria dekstra, epigastrika, dan sebagian kecil di hipokondria sinistra. Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh fisura segmentalis kanan. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis. Di bawah
1
peritonium terdapat jaringan ikat padat yang disebut kapsula Glisson yang meliputi seluruh permukaan hati. Setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang
disebut sebagai lobulus, yang merupakan unit mikroskopis dan fungsional organ yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati dimana diantaranya terdapat sinusoid. Selain sel-sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh sel endotel khusus dan sel Kupffer yang merupakan makrofag yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati memiliki suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteria hepatika. (2,3,4)
Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di antaranya yaitu: (3,4,5,6) Pembentukan dan ekskresi empedu Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam empedu penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-lemak di dalam usus.
2
Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah penyerapan dari saluran pencernaan a. Metabolisme karbohidrat : menyimpan glikogen dalam jumlah besar, konversi galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme karbohidrat. b. Metabolisme lemak : oksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol,fosfolipid,dan sebagian besar lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat c. Metabolisme protein : deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, serta interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari asam amino. Penimbunan vitamin dan mineral Vitamin larut-lemak ( A,D,E,K ) disimpan dalam hati, juga vitamin B12, tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak disimpan dalam hati adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan B12 juga disimpan secara normal. Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin Sel hati mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin, yang dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun banyak. Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka besi akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan dalam bentuk ini di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam sirkulasi cairan tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin akan melepaskan besi. Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak Zat-zat yang dibentuk di hati yang digunakan pada proses koagulasi meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan
3
beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses metabolisme hati, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan X. Hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat lain Medium kimia yang aktif dari hati dikenal kemampuannya dalam melakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi sulfonamid, penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu. Beberapa hormon yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau dihambat secara kimia oleh hati meliputi tiroksin dan terutama semua hormon steroid seperti estrogen, kortisol, dan aldosteron. Hati berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi Hati adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat penampungan darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan mampu menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Sinusoid hati merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena cava (gagal jantung kanan). kerja fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris dari darah.
C. EPIDEMIOLOGI Di negara – negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene /sanitasi yang kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8 – 15 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29 – 1,47% sedangkan prevalensi di RS antara 0,008 – 0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi puncak pada dekade ke – 6. (1) Abses hati piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi
4
otopsi berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000 penderita. (2) Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi E.histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens amubiasis hati di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun. Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E.histolytica memiliki prevalensi yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk. (2,7)
D. ETIOLOGI D.1 Abses Hati Amebik Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan gejala amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain Entamoeba
histolytica
ini
menimbulkan lesi pada hati.
berbeda
berdasarkan
kemampuannya
(2)
5
Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar (8)
Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3 bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif, mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua stadium tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup komensal di dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri menjadi 2 atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya perlu bakteri atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak penting untuk penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim pencernaan. Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um yang berpseudopodia keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan. Bentuk tropozoit ini akan mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak diare/disentri tropozoit akan membentuk kista sebelum keluar ke tinja. (2,9) Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan, tahan asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke manusia lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding
6
kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan makanan atau perubahan osmolaritas media. (2,9) D.2 Abses Hati Piogenik Etiologi
AHP
adalah
enterobacteriaceae,
microaerophilic
streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes, fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida albicans,
aspergillus,
actinomyces,
eikenella
corrodens,
yersinia
enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Staphylococcus aureus biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan sebagai penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri dapat mengivasi hati melalui : 1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa menyebabkan fileplebitis porta 2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik 3. Komplikasi
infeksi
intra
abdominal
seperti
divertikulitis,
peritonitis, dan infeksi post operasi 4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau saluran-saluran
empedu.
Obstruksi
bilier
ekstrahepatik
menyebabkan kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan dengan
choledocholithiasis,
tumor
jinak
dan
ganas
atau
pascaoperasi striktur. 5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses piogenik.
7
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan diabetes atau kanker metastatik. (1,7,10,11)
E. PATOGENESIS E.1 Abses Hepar Amebik Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista, baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi adalah penularan melalui seks oral ataupun anal. (11,12) E.hystolitica
dalam 2 bentuk,
baik
bentuk
trofozoit
yang
menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum. Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam aliran darah melalui vena porta ke hati. Di hati E.hystolitica mensekresi enzim proteolitik yang melisis jaringan hati, dan membentuk abses. Di hati terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu, dan granuloma diganti dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus kanan (70% - 90%) karena lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya,bergantung pada lamanya penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste” dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah merah yang dicerna. (2,8,12,13)
8
E.2 Abses Hepar Piogenik Hati adalah organ yang paling sering untuk terjadinya abses. Dari suatu studi di Amerika, didapatkan 13% abses hati dari 48% abses viseral. Abses hati dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Bakteri piogenik dapat memperoleh akses ke hati dengan ekstensi langsung dari organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri hepatika. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi AHP. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi pembentukan pus. Lobus kanan hati lebih sering terjadi AHP dibanding lobus kiri, kal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik. (1,10)
9
F. GAMBARAN KLINIS F.1 Abses Hepar Amebik (2,8,9,13,) Gejala : a. Demam internitten ( 38-40 oC) b. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri epigastrium dan dapat menjalar hingga bahu kanan dan daerah skapula c. Anoreksia d. Nausea e. Vomitus f. Keringat malam g. Berat badan menurun h. Batuk i. Pembengkakan perut kanan atas j. Ikterus k. Buang air besar berdarah l. Kadang ditemukan riwayat diare m. Kadang terjadi cegukan (hiccup) Kelainan fisis : a. Ikterus b. Temperatur naik c. Malnutrisi d. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan atau disertai komplikasi e. Nyeri perut kanan atas f. Fluktuasi F.2 Abses hati piogenik (1,2,8,15) Gambaran klinis abses hati piogenik menunjukkan manifestasi sistemik yang lebih berat dari abses hati amuba. Keluhan :
10
a. Demam yang sifatnya dapat remitten, intermitten atau kontinyu yang disertai menggigil b. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dan kedua tangan diletakkan di atasnya. c. Mual dan muntah d. Berkeringat malam e. Malaise dan kelelahan f. Berat badan menurun g. Berkurangnya nafsu makan h. Anoreksia Pemeriksaan fisis : a. Hepatomegali b. Nyeri tekan perut kanan c. Ikterus, namun jarang terjadi d. Kelainan paru dengan gejala batuk, sesak nafas serta nyeri pleura e. Buang air besar berwarna seperti kapur f. Buang air kecil berwarna gelap g. Splenomegali pada AHP yang telah menjadi kronik
G. DIAGNOSIS G.1 Abses hati amebik (2,9) Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan trofozoit amuba. Diagnosis abses hati amebik di daerah endemik dapat dipertimbangkan
jika
terdapat
demam,
nyeri
perut
kanan
atas,
hepatomegali yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk diagnosis abses hati amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler.
11
a. Kriteria Sherlock (1969) 1. Hepatomegali yang nyeri tekan 2. Respon baik terhadap obat amebisid 3. Leukositosis 4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang. 5. Aspirasi pus 6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati 7. Tes hemaglutinasi positif b. Kriteria Ramachandran (1973) Bila didapatkan 3 atau lebih dari: 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Riwayat disentri 3. Leukositosis 4. Kelainan radiologis 5. Respons terhadap terapi amebisid c. Kriteria Lamont Dan Pooler Bila didapatkan 3 atau lebih dari: 1. Hepatomegali yang nyeri 2. Kelainan hematologis 3. Kelainan radiologis 4. Pus amebik 5. Tes serologi positif 6. Kelainan sidikan hati 7. Respons terhadap terapi amebisid G.2 Abses hati piogenik Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadangkadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik. Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan.
12
Tes serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis. (1)
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG H.1 Pemeriksaan Laboratorium Pada pasien abses hati amebik, pemeriksaan hematologi didapatkan hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-16.000/mL3 . pada pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,623,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan yang didapatkan pada amubiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang, leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E.histolityca pada feses dan pus penderita abses hepar. (2,7,9) Pada pasien abses hati piogenik, mungkin didapatkan leukositosis dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan fungsi hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan
enzim
transaminase,
serum
bilirubin,
berkurangnya
konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak ditemukan kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram negatif seperti Proteus vulgaris,
13
Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas aeruginosa, sedangkan kuman anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp, Bacteroides sp, atau Fusobacterium sp. (1,2) H.2 Pemeriksaan Radiologi Pada pasien abses hati amebik, foto thoraks menunjukkan peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan diafragma efusi pleura kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan air fluid level yang jelas, USG untuk mendeteksi amubiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amubiasis hati adalah bentuk bulat atau oval tidak ada gema dinding yang berarti ekogenitas lebih rendah dari parenkim hati normal bersentuhan dengan kapsul hati dan peninggian sonic distal. Gambaran CT scan : 85 % berupa massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca kontras tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta. (2)
Gambaran CT Scan pada abses hati amebic(8)
Pada pasien abses hati piogenik, foto polos abdomen kadang-kadang didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian diafragma kanan, efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses paru. Pada foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Secara angiografik abses merupakan
14
daerah avaskuler. Kadang-kadang didapatkan gas atau cairan pada subdiafragma kanan. Pemeriksaan USG, radionuclide scanning, CT scan dan MRI mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. CT scan dan MRI dapat menetapkan lokasi abses lebih akurat terutama untuk drainase perkutan atau tindakan bedah. Gambaran CT scan : apabila mikroabses berupa lesi hipodens kecil-kecil < 5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur, rim enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil. Apabila mikroabses > 10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak massa agak besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana hanya kapsul abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat hipodens dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses amoebiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh kuman Klebsiella. (1,2,)
Gambaran CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik pada segmen IV. Abses lainnya terdapat (8) pada segmen VII dan VIII.
Karateristik abses pada pemeriksaan MRI adalah lesi dengan penyengatan kontras yang berbentuk cincin dan bagian sentral yang tidak tampak penyengatan. Cincin penyengatan tetap terlihat pada fase tunda.(2) Sangat sukar dibedakan gambaran USG antara abses piogenik dan amebik.
15
Biasanya sangat besar, kadang-kadang multilokular. Struktur eko rendah sampai cairan ( anekoik ) dengan adanya bercak-bercak hiperekoik (debris) di dalamnya. Tepinya tegas, ireguler yang makin lama makin bertambah tebal. (16)
I. PENATALAKSANAAN I.1 Abses hati amebik (2,12,14,17) 1. Medikamentosa Abses hati amoeba tanpa komplikasi lain dapat menunjukkan penyembuhan yang besar bila diterapi hanya dengan antiamoeba. Pengobatan yang dianjurkan adalah: a. Metronidazole Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam. Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hati amoeba adalah 3 x 750 mg per hari selama 5 – 10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 3550 mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole lainnya yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg perhari selama 5 hari, untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal selama 3-5 hari. b. Dehydroemetine (DHE) Merupakan derivat diloxanine furoate. Dosis yang direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x 500 mg perhari selama 10 hari atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular (max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih aman karena ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah. Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal, dan anak-anak c. Chloroquin Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis ekstraintestinal ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2x150
16
mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari selama 20 hari. 2. Aspirasi Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara tersebut di atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG. 3. Drainase Perkutan Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan ancaman ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial. 4. Drainase Bedah Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha
dekompresi
perkutan
tidak
berhasil
Laparoskopi
juga
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi tcrjadinya ruptur abses amuba intraperitoneal. I.2 Abses hati piogenik (1,2,7,10) Pencegahan
17
Merupakan cara efektif untuk menurunkan mortalitas akibat abses hati piogenik yaitu dengan cara: a. Dekompresi pada keadaan obstruksi bilier baik akibat batu ataupun tumor dengan rute transhepatik atau dengan melakukan endoskopi b. Pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal Terapi definitif Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3 minggu diikuti pemberian oral selama 12 bulan. Antibiotik ini yang diberikan terdiri dari: a. Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV b. Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV c. Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten. d. Ampicilin-sulbaktam
atau
kombinasi
klindamisin-
metronidazole, aminoglikosida dan siklosporin. Drainase abses Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah drainase terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen ultrasound atau tomografi komputer. Drainase bedah Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik, aspirasi perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-abdomen yang memerlukan manajemen operasi.
18
J. KOMPLIKASI J.1 Abses Hepar Amoeba Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6 %. Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling umum terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa simpatik, pecahnya abses hati ke dalam rongga dada yang dapat menyebabkan empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk produktif dengan bahan nekrotik mengandung amoeba. Fistula bronkopleural mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya dikaitkan pecahnya abses pada lobus kiri hati dimana ini dapat menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat ke organ-organ peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika telah dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (12,13,14)
J.2 Abses Hepar Piogenik Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat seperti septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hati disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia, empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi rekurensi atau reaktifasi abses. (1)
K. PROGNOSIS Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau emetin, metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai
19
40-50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal. Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit, status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya komplikasi. Kematian terjadi pada sekitar 5%
pasien dengan infeksi
ektraintestinal, serta infeksi peritonial dan perikardium. (2,13) Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan dalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hati. Mortalitas abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila: terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis, keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain. (1,2) L. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS (18) Differential Diagnosis Hepatoma
Manifestasi Klinis Merupakan tumor ganas hati primer. Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas. Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit hati kronik.
20
Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali fosatase USG : lesi lokal/ difus di hati Kolesistitis akut
Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan. Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam. Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal, Murphy sign (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik. Laboratorium: leukositosis USG : penebalan dining kandung empedu, sering ditemukan pula sludge atau batu.
21
LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama
:
Tn.T
Umur
:
43 tahun
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Pekerjaan
:
Buruh bangunan
No. RM
:
481449
Alamat
:
Bontobila, Gowa
Ruangan
:
Lontara 1 Bawah,Kelas 3,Kamar 7, RSWS
Tanggal Masuk RS
:
1 Oktober 2011
CATATAN RIWAYAT PENYAKIT ANAMNESIS
: Heteroanamnesis
KELUHAN UTAMA
: Nyeri Perut Kanan Atas
ANAMNESIS TERPIMPIN : Nyeri dialami sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan dirasakan tembus sampai ke belakang. Nyeri dirasakan bertambah pada saat batuk atau saat ditekan dan nyerinya berkurang dengan posisi membungkuk. ANAMNESIS SISTEMATIS : Mual (-) muntah (-) nyeri ulu hati (-). Demam (+) dialami sekitar 10 hari terakhir sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, menggigil (-), dan turun dengan obat penurun panas. Batuk (-) sesak napas (-) nyeri dada (-). Nafsu makan mnurun sejak pasien sakit. BAK : lancar, warna kuning muda BAB : lancar, warna kuning/coklat, lendir (-), darah (-) RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA :
Riwayat DM (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat sakit kuning sebelumnya (-)
Riwayat batuk lama (-)
22
Riwayat BAB encer sebelumnya (+) dialami sekitar 2 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit selama 3 hari ; lendir (+) darah (+)
Riwayat konsumsi alkohol (+) , jenis ballo, sejak ± 10 tahun yang lalu, 1 – 2 botol/hari
Riwayat merokok > 20 tahun
Riwayat minum ramu-ramuan/jamu (-)
Riwayat konsumsi obat anti nyeri (-)
PEMERIKSAAN FISIK : Status Present : SS/GK/CM BB = 44 kg; TB = 158 cm; IMT = 17,62 kg/m2 Tanda Vital : TD = 110/70 mmHg; N = 92 x/i; P = 24 x/i; S = 37,9 oC Kepala : Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterus, bibir tidak sianosis Mulut : Tidak ditemukan bercak – bercak putih pada rongga mulut Leher : Tidak didapatkan massa tumor, tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening maupun kelenjar gondok. DVS R-2 cmH2O. Thoraks : Inspeksi
: Simetris kiri dan kanan, ikut gerak napas, bentuk normochest, penggunaan otot bantu pernapasan (-)
Palpasi
: Tidak ada massa tumor, tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus simetris kiri dan kanan.
Perkusi
: Sonor kedua lapangan paru, batas paru hepar sela iga V anterior dextra.
Auskultasi
: Bunyi pernapasan vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Jantung : Inspeksi
: Ictus cordis tampak di ICS V linea medioklavikularis sinistra
Palpasi
: Ictus cordis teraba di ICS V linea medioklavikularis sinistra
23
Perkusi
: Pekak, batas jantung kesan normal (batas jantung kanan terletak pada linea sternalis kanan, batas jantung kiri sesuai dengan ictus cordis terletak pada sela iga 5 – 6 linea medioklavikularis kiri)
Auskultasi
: Bunyi jantung I/II murni reguler, bunyi tambahan (-)
Abdomen : Inspeksi
: Datar, ikut gerak napas
Auskultasi
: Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi
: MT (-) NT(+) regio hipochondrium dextra
Hepar teraba ± 3 jari di bawah arcus costa, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul
Perkusi
Lien tidak teraba
: Tympani
Ekstremitas : Edema (-)/(-)
Diagnosis Sementara: Abses hepar Kolesistitis akut Hepatoma Penatalaksanaan Awal : Diet lunak IVFD NaCl 0,9% 20 tpm Metronidazole 0,5gr/8jam/IV Sistenol 3 x 500 mg Rencana Pemeriksaan : USG Abdomen Foto Thorax PA Darah rutin Urin rutin SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, gula darah sewaktu, bilirubin total, bilirubin direk, albumin, alkali fosfatase, LED, PT, aPTT Analisa feses
24
Pemeriksaan Laboratorium: Jenis Pemeriksaan
Tanggal Pemeriksaan 01/10/2011
04/10/2011
07/10/2011
10/10/2011
WBC
21,07x103/uL
12,98x103/uL
RBC
3,67x106/uL
4,03 x106/uL
HGB
10,5 g/dL
11,3 g/dL
HCT
33,0%
36,6%
MCV
89,9 fL
90,8 fL
DARAH
MCH
28,6 pg
28,0 pg
RUTIN
MCHC
31,8 g/dL
30,9 g/dL
PLT
384x103/uL
317x103/uL
-Leukositosis Kesan
-Leukositosis
-Anemia normositik normokrom
SGOT
58 u/l
SGPT
44 u/l
KIMIA
Ureum
34 mg/dl
DARAH
Kreatinin
0,6 mg/dl
Bil.total
0,39 mg/dl
Bil. Direk
0,20 mg/dl
GDS DM
102 mg/dl
GDP HbA1c
Lain-Lain
Na
138 mol/l
K
3,7 mmol/l
Cl
110 mmol/l
Makroskopik : Warna
Kuning
Konsistensi
Padat
Darah
(-)
Analisa
Lendir
(-)
Feses
Mikroskopik : Lekosit
(-)
Eritrosit
(-) Tdk
Telur cacing
ditemukan
25
Amoeba
(-)
Lain-lain
(-)
Radiologi
USG Abdomen ( 1 Oktober 2011 ) Hepar : Ukuran membesar, tampak lesi mixechoic dominan hipoechoic, batas tegas tepi reguler, ukuran 9,8 x 8,5 x 9,5 cm pada lobus kanan. Tidak tampak dilatasi vascular maupun bile duct. GB : Dinding tidak menebal, mukosa reguler. Tidak tampak echo batu. Pankreas : Bentuk, ukuran, dan echoparenkim dalam batas normal. Tidak tampak mass/cyst/lesi patologik lainnya. Lien : Bentuk, ukuran, dan echoparenkim dalam batas normal. Tidak tampak mass/cyst/lesi patologik lainnya. Kedua ginjal : Bentuk, ukuran dan echoparenkim dalam batas normal, tidak tampak dilatasi PCS, batu maupun mass/cyst. VU : sulit dievaluasi ( urin minimal ) Kesan : Abses hepar
26
Foto Thorax PA ( 1 Oktober 2011 ) Corakan bronchovasculer dalam batas normal Tidak tampak proses spesifik aktif pada kedua paru Cor dalam batas normal Kedua sinus dan diafragma kiri baik, diafragma kanan letak tinggi Tulang-tulang intak Kesan : Elevasi Diafragma Kanan ( Proses Intrahepatik ? )
27
FOLLOW UP Tanggal 03/10/2011
Perjalanan Penyakit
Instruksi Dokter
Perawatan Hari I
Diet hepar
KU : Nyeri perut kanan atas
IVFD NaCl 0,9% 20
T : 100/60 mmHg
S : demam (+) kadang-kadang
N : 94 x/i
BAB : biasa,warna kuning coklat.
P : 30 x/i
BAK : kesan lancar
S : 36,50C
tpm Inj.Metronidazole 0,5gr/8jam/IV (hari ke-2) Systenol 3x500 mg (KP)
O : SS/GK/CM
Pmon : DR, SGOT/SGP,
Kepala : Anemis (+), ikterus (-)
ur/cr/
bil.tot/direk,
Leher : MT (-), NT (-), DVS R–1
Scan abdomen
CT
cmH2O
Konsul subdiv. GEH
Thorax :
Konsul bedah digestive
BP : Br. Vesikuler, BT : Rh -/- Wh -/Cor : BJ I/II murni reg
menolak operasi EKG
Abd : Peristaltik (+) kesan normal ; Analisa feses hepar teraba 3 jari BAC, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul Ext : edema (-/-)
A : Abses Hepar lobus dextra 03/10/2011
Jawaban konsul subdivisi GEH
T : 100/60 mmHg
Pasien dengan nyeri perut kanan atas ±
N : 94 x/i
10 hari SMRS dan baru mengalami hal
P : 28 x/i
tsb. Nyeri seperti tertusuk-tusuk dan
S : 36,50C
tembus ke belakang. Mual (-) muntah (-) NUH (-). Demam (-) riwayat demam (-). Batuk (-) sesak (-) nyeri dada (-). BAB biasa, BAK lancar. RPS : riwayat penyakit kuning (-),
28
riwayat
penyakit
diare
sekitar
2
minggu SMRS. SP : SS/GK/CM Anemia (-) ikterus (-) sianosis (-) Leher : MT (-) NT (-) DVS R-2 cmH2O Thorax : BP vesikuler Rh (-) Wh(-) Jantung : BJ I/II murni regular Abdomen : I : datar ikut gerak napas P : MT (-) NT (-), hepar teraba 3 jari BAC, rata, kenyal, pinggir rata, NT (+), limpa ttb P : tympani, ascites (-) A : peristaltik kesan normal Eks : edema -/-
Hasil lab ( 01/10/2011 ) WBC : 21,07x103 , Hb : 10,5 g/dL, PLT : 384x103/uL, GDS : 102 mg/dl, ureum/kreatinin : 34/0,6 , GOT/GPT : 58/44
CXR : elevasi diafragma kanan USG
Abdomen
:
hepar
ukuran
membesar, tampak lesi mixechoic dominan hipoechoic, batas tegas tepi reguler, ukuran 9,8 x 8,5 x 9,5 cm pada lobus kanan. Kesan : Abses hepar
Kesan : Abses Hepar Amubiasis DD/
29
Pyogenik Usul : Metronidazole 0,5 gr/8 jam/drips Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV Kultur pus Konsul bedah digestive 03/10/2011
Jawaban konsul bedah digestive Dx : Abses hepar Setuju rawat sama Rencana : -
Lengkapi pemeriksaan
-
Informed Consent u/ tindakan operasi pasien belum setuju u/ tindakan operasi
04/10/2011
Perawatan Hari II
Diet hepar
KU : Nyeri perut kanan atas
IVFD NaCl 0,9% 20
T : 110/70
S : demam (+) kadang-kadang
N : 88 x/i
BAB : biasa,warna kuning coklat.
P : 24 x/i
BAK : kesan lancar
S : 36,7 0C
tpm Inj.Metronidazole 0,5gr/8jam/IV (hari ke-3) Systenol 3x500 mg (KP)
O : SS/GK/CM
Pmon
:
DR,
Kepala : Anemis (-), ikterus (-),
SGOT/SGPT,
ur/cr,
sianosis (-)
bil.tot/direct,
Leher : MT (-), NT (-), DVS R–1
abdomen
CT
Scan
cmH2O Thorax : BP : Vesikuler, Rh -/- Wh -/Cor : BJ I/II murni reg Abd : Peristaltik (+) kesan normal ; hepar teraba 3 jari BAC, konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul ; NT (+) di regio hipochondrium kanan
30
Ext : edema (-/-) Lab : Bilirubin total 0,39 mg/dl , bilirubin direk 0,20 mg/dl
A : Abses Hepar lobus dextra 05/10/2011
Perawatan Hari III
Diet hepar
KU : Nyeri perut kanan atas
IVFD NaCl 0,9% 20
T : 120/60 mmHg
S : Demam (+) kadang-kadang
N : 92 x/i
BAB : biasa, warna kuning kecoklatan
P : 24 x/i
BAK : kesan lancar
0
tpm Metronidazole 0,5gr/8jam/IV (hari ke-4 ) Systenol 3x500 mg (KP)
S : 36,6 C O: SS/GC/CM
Pmon : CT Scan abdomen
Kepala : Anemis (-), ikterus (-), sianosis (-) Leher : MT(-), NT (-), DVS R-1 cmH2O Thorax : BP : Br.vesikuler, BT : Rh (-), Wh (-) Cor : BJ I/II murni reguler Abd : peristaltik (+) normal, hepar teraba 3 jari BAC, konsistensi lunak, permukaan rata, tepi tumpul, NT (+) reg.epigastrium+hipochondrium dextra Ext : edema (-/-) 06/10/2011
A : Abses hepar lobus dextra Perawatan Hari IV
Diet hepar
T : 110/70 mmHg
KU : Nyeri perut kanan atas (+)
IVFD NaCl 0,9% 20
N : 84 x/i
S : Demam (+) kadang-kadang
P : 24 x/i
BAB : biasa, warna kuning kecoklatan
S : 36,7 0C
BAK : kesan lancar
tpm Metronidazole 0,5gr/8jam/IV (hari ke-5)
31
Systenol 3x500 mg ( bila
O: SP=SS/GK/CM Kepala : Anemis (-), ikterus (-),
demam ) Penolakan
sianosis (-) Leher : MT(-), NT (-), DVS R-1
o/
pihak pasien Rencana lapor subdivisi
cmH2O Thorax :
gastro
BP : vesikuler, Rh (-), Wh (-)
menolak
Cor : BJ I/II murni reguler
operasi
Abd
operasi
:
peristaltik
(+),
NT
kalau
pasien
melakukan
(+) Monitoring : DR hari
hipochondrium dextra
senin ( 10 oktober 2011 )
Ext : edema (-/-)
A : Abses hepar lobus dextra 07/10/2011
Perawatan Hari V
Diet hepar
KU : Nyeri perut kanan atas
IVFD NaCl 0,9% 20
T : 120/70 mmHg
S : Demam (+) kadang-kadang
tpm
N : 90 x/i
BAB : biasa, warna kuning kecoklatan
P : 24 x/i
BAK : kesan lancar
Metronidazole 0,5gr/8jam/IV (hari ke-6)
S : 36,5 0C
Systenol 3x500 mg ( bila O : SP=SS/GC/CM
demam )
Kepala : Anemis (-), ikterus (-), Monitoring : DR hari sianosis (-)
senin ( 10 Oktober 2011 )
Leher : MT(-), NT (-), DVS R-1 cmH2O Thorax : BP vesikuler, Rh (-), Wh (-) Cor : BJ I/II murni reguler Abd : Peristaltik (+), hepar teraba 3 jari
BAC,
konsistensi
lunak,
permukaan datar, dan tepi tumpul Ext : edema (-/-) Lab : Analisa feses Makroskopik :
32
Warna : kuning, konsistensi : padat, darah (-), lendir (-) Mikroskopik : Leukosit (-), eritrosit (-), telur cacing : tidak ditemukan, amoeba (-), lain-lain (-)
A : Abses hepar lobus dextra 08/10/2011
Perawatan Hari VI
Diet hepar
KU : Nyeri perut kanan atas (+)
IVFD NaCl 0,9% 20
T : 110/70 mmHg
S : Demam (+) kadang-kadang
tpm
N : 88 x/i
BAB : biasa, warna kuning kecoklatan
P : 24 x/i
BAK : kesan lancar
Metronidazole 0,5gr/8jam/IV (hari ke-7)
S : 36,6 0C
Systenol 3x500 mg (KP) Kontrol DR hari senin (10
O: SP=SS/GK/CM Kepala : Anemis (-), ikterus (-),
Oktober 2011)
sianosis (-) Leher : MT(-), NT (-), DVS R-1 cmH2O Thorax : BP : vesikuler, Rh (-), Wh (-) Cor : BJ I/II murni reguler Abd
:
peristaltik
(+),
NT
(+)
hipochondrium dextra Ext : edema (-/-)
A : Abses hepar lobus dextra 10/10/2011
Perawatan Hari VII
Diet hepar
KU: Baik
IVFD NaCl 0,9% 20
T : 120/70 mmHg
S : Nyeri perut kanan atas (-), mual (-)
N : 80 x/i
muntah (-)
P : 24 x/i
tpm Metronidazole 0,5gr/8jam/IV (hari ke-9)
33
S : 36,6 0C
O : SP = SS/GK/CM
Systenol 3x500 mg (KP)
Kepala : Anemis (-), ikterus (-), Monitoring : DR, urin sianosis (-)
rutin pengantar (+)
Leher : MT(-), NT (-), DVS R-1 cmH2O Thorax : BP : vesikuler, Rh -/- Wh -/Cor : BJ I/II reguler Abd : peristaltik (+), NT (+) regio hipochondrium dextra Ext : edema (-/-)
Lab : WBC : 12,98x103/uL , HGB : 11,3 g/dL , HCT : 36,6% , MCHC : 30,9 g/dL , PLT : 372x103/uL
A : Abses hepar lobus dextra 11/10/2011
KU: Baik
Metronidazole drips
S : Nyeri perut kanan atas (-), demam Curcuma 3x1 T : 110/70 mmHg
(-), mual (-) muntah (-)
Boleh pulang
N : 83 x/i P : 24 x/i 0
S : 36,5 C
O : SP = SS/GK/CM Kepala : Anemis (-), ikterus (-), sianosis (-) Leher : MT(-), NT (-), DVS R-1 cmH2O Thorax : BP : vesikuler, Rh -/- Wh -/Cor : BJ I/II reguler Abd : peristaltik (+), NT (+) regio hipochondrium dextra
34
Ext : edema (-/-)
A : Abses hepar lobus dextra
RESUME: Seorang laki-laki, 43 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut kanan atas, sejak 10 hari terakhir sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan tertusuk-tusuk dan tembus ke belakang. Nyeri dirasakan bertambah berat saat batuk atau saat ditekan. Pasien merasa lebih enak dengan posisi membungkuk. Mual (-) muntah (-) nyeri ulu hati (-). Demam (+) dialami sekitar 10 hari terakhir sebelum masuk rumah sakit, hilang timbul, menggigil (-), dan turun dengan obat penurun panas. Batuk (-) sesak napas (-) nyeri dada (-). Nafsu makan menurun sejak pasien sakit BAB : lancar, warna kuning/coklat, lendir (-) darah (-) BAK : Lancar, warna kuning muda
RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA :
Riwayat BAB encer sebelumnya (+) dialami sekitar 2 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit selama 3 hari, lendir (+) darah (+)
Riwayat konsumsi alkohol (+) , jenis ballo, sejak ± 10 tahun yang lalu, 1-2 botol/hari
Riwayat merokok > 20 tahun
Dari pemeriksaan fisis didapatkan gambaran umum: SS/GK/CM. Tanda vital: TD = 110/70 mmHg, nadi: 92x/menit, pernapasan: 24x/menit, suhu: 37,9 0C. Pada pemeriksaan kepala ditemukan konjungtiva anemis. Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan kesan perut datar, ikut gerak nafas, NT (+) di regio hipokondrium dextra, hepar teraba 3 jari di bawah arcus costa ( konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul ), dan peristaltik (+) kesan normal. Dari hasil pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah rutin didapatkan kesan leukositosis dan anemia normositik normokrom dengan WBC
35
21,07 x 103/uL, RBC 3,67 x 106 /uL, HGB 10,5 g/dL,HCT 33,0 % , PLT 384 x 103/uL. Pada pemeriksaan kimia darah, didapatkan SGOT 58 u/l, SGPT 44 u/l, ureum 34 mg/dl, kreatinin 0,6 mg/dl. Pada pemeriksaan gula darah, didapatkan GDS 102 mg/dl. Dari pemeriksaan USG Abdomen didapatkan hasil : ukuran hepar membesar, tampak lesi mixechoic dominan hipoechoic, batas tegas tepi reguler, ukuran 9,8 x 8,5 x 9,5 cm pada lobus kanan. Tidak tampak dilatasi vascular maupun bile duct dengan kesan abses hepar. Dan dari hasil pemeriksaan foto thorax didapatkan adanya kesan elevasi diafragma kanan ( proses intrahepatik ? ). Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan hasil laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya, maka pasien didiagnosis dengan abses hepar.
DISKUSI Pasien masuk dengan keluhan utama nyeri di perut bagian kanan atas. Banyak penyakit yang dapat menimbulkan nyeri perut kanan atas, antara lain abses hepar, hepatoma, kolesistitis, dan lain – lain. Pada kasus ini, diketahui bahwa pasien mengalami nyeri perut kanan atas seperti tertusuk-tusuk, tembus ke belakang dan bertambah berat saat batuk atau ditekan. Nyeri dirasa berkurang pada posisi membungkuk. Pasien juga mengalami demam 10 hari sebelum masuk rumah sakit yang hilang timbul, menggigil (-) dan turun dengan obat penurun panas. Semenjak sakit, nafsu makan pasien berkurang. Dari pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital: TD = 110/70 mmHg, nadi: 92x/menit, pernapasan: 24x/menit, suhu: 37,9 0C. Pada pemeriksaan kepala ditemukan konjungtiva anemis. Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan kesan perut datar, ikut gerak nafas, NT (+) di regio hipokondrium dextra, hepar teraba 3 jari di bawah arcus costa ( konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tumpul ), dan peristaltik (+) kesan normal. Dari pemeriksaan USG Abdomen didapatkan hasil : ukuran hepar membesar, tampak lesi mixechoic dominan hipoechoic, batas tegas tepi reguler, ukuran 9,8 x 8,5 x 9,5 cm pada lobus kanan. Tidak tampak dilatasi vascular maupun bile duct
36
dengan kesan abses hepar. Dan dari hasil pemeriksaan foto thorax didapatkan adanya kesan elevasi diafragma kanan ( proses intrahepatik ? ). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis, SGOT dan SGPT meningkat , serta bilirubin total dan bilirubin direk menurun. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologi, pasien kini lebih diarahkan dengan diagnosis abses hepar. Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal
yang
ditandai
dengan
adanya
proses
supurasi
dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati . Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hati amebik (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). Abses hati amebik disebabkan oleh Entamoeba histolytica sedangkan organisme yang paling sering ditemukan sebagai penyebab abses hati piogenik adalah E.Coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Penatalaksaan abses hepar berupa medikamentosa seperti antiamoeba (khususnya pada abses hepar amebik) dan antibiotik (khususnya pada abses hepar piogenik), aspirasi, maupun drainase perkutan atau drainase bedah. Antiamoeba dapat diberikan berupa metronidazole, DHE, maupun chloroquin, sedangkan untuk antibiotik dapat diberikan penisilin atau sefalosporin ( untuk coccus gram (+) dan gram (-) yang sensitif), aminoglikosida, klindamisin, dan kloramfenikol ( untuk bakteri anaerob), maupun ampicilin-sulbaktam.(2). Pasien dberikan terapi berupa diet hepar, IVFD NaCl 0,9% sebanyak 20 tpm karena pasien dalam keadaan demam, lemah, dan intake kurang sehingga kemungkinan elektrolit kurang, metronidazole 0,5gr/8jam/IV, dan sistenol 3 x 500 mg. Setelah diberikan terapi ini, demam pada pasien mulai turun pada hari ke I perawatan dan nyeri perut kanan atas dirasakan mulai berkurang pada hari ke IV perawatan. Tujuan diet hepar pada pasien ini adalah mencapai dan mempertahankan status gizi optimal tanpa memberatkan fungsi hati dengan cara meningkatkan regenerasi hati dan mencegah kerusakan lebih lanjut dan/atau meningkatkan
37
fungsi jaringan hati yang tersisa, mencegah katabolisme protein, mencegah penurunan berat badan atau meningkatkan berat badan bila kurang, mencegah atau mengurangi asites, varises esofagus, dan hipertensi portal, serta mencegah koma hepatik. Syarat-syarat diet hepar adalah energi tinggi untuk mencegah pemecahan protein yang diberikan bertahap sesuai kemampuan pasien yaitu 40-45 kkal/kgBB, lemak cukup yaitu 20-25 % dari kebutuhan energi total, dalam bentuk yang mudah dicerna atau dalam bentuk emulsi, protein agak tinggi yaitu 1,25-1,5 g/kgBB agar terjadi anabolisme protein, vitamin dan mineral sesuai dengan tingkat defisiensi, natrium diberikan rendah tergantung tingkat edema dan ascites, cairan diberikan lebih dari biasa, bentuk makanan lunak bila ada keluhan mual dan muntah atau makanan biasa sesuai kemampuan saluran cerna.(19) Aspirasi dilakukan bila pengobatan medikamentosa tidak berhasil (72 jam), lesi multipel, atau pada ancaman ruptur atau bila terapi dcngan metronidazol merupakan kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG. Drainase perkutan dilakukan dengan indikasi ancaman ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang, infeksi campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati. Selain itu, drainase perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum, dan perikardial. Drainase bedah diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak berhasil mcmbaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang tcrjadi tetapi mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses. Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila usaha dekompresi perkutan tidak berhasil. (1,2) Berdasarkan hasil laboratorium yang ditemukan pada pasien terdapat peningkatan enzim – enzim hati (SGOT dan SGPT) yang menunjukkan telah terjadinya gangguan fungsi hepar. Adanya proses infeksi dapat memicu peningkatan produksi enzim – enzim hati sehingga kadar enzim – enzim tersebut tinggi di dalam darah. Leukositosis sendiri muncul sebagai akibat dari proses infeksi, sebagai salah satu upaya sistem imun untuk melawan mikroorganisme
38
penyebab infeksi. Selain pemeriksaan laboratorium yang telah dilakukan, ada beberapa pemeriksaan yang belum dilakukan yang dapat mendukung diagnosis, di antaranya pemeriksaan alkali fosfatase, PT & aPTT, serta kadar albumin. Pada pemeriksaan fisis, didapatkan nyeri pada regio hipokondrium dextra, hal ini disebabkan oleh peregangan kapsula Glison pada hepar sebagai akibat adanya abses. Selanjutnya, pemeriksaan yang menjadi standar emas untuk penegakan diagnosis abses hepar adalah melalui kultur darah yang memperlihatkan bakteri penyebab. Pada pemeriksaan pus, bakteri penyebab misalnya bseperti Proteus vulgaris, Pseudomonas aeroginosa bisa ditemukan. Namun, pemeriksaan ini sulit dilakukan karena pengambilan pus dari hepar akan sangat menyakitkan bagi pasien. Pemeriksaan analisa feses juga dilakukan untuk menilai feses baik dari segi warna, konsistensi, ada atau tidaknya darah dan lendir, leukosit, eritrosit, telur cacing, amoeba, dan lain-lain.
39
DAFTAR PUSTAKA 1. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam : Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus. Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461. 2. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul. Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam : Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M. Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal 1, 80-83, 93-94, 487-491, 513-514. 3. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam : Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476. 4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906. 5. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565. 6. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at a glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter 27-28. 7. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver, biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In : Papadakis, Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current medical diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT. Soho Industri Pharmasi. 2008. Page 596, 1304-1306. 8. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In : Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain : GraphyCems,Navarra. 2001. Chapter 40-42 9. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya : Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
40
10. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November 1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182overview#showall. 11. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran. Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007. Hal 684. 12. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrison’s principles of internal medicine 17th edition. USA. 2008. Chapter 202. 13. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November 1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920overview#showall. 14. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1 November 2011. Diunduh dari : http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati%2 0amuba%20(dr%20arini).pdf. 15. Kliegman. Behrman. Jenson. Stanton. The digestive system. In : Nelson textbook of pediatric 18th edition. USA. 2007. Chapter 356. 16. Iljas, Mohammad. Ultrasonografi hati. Dalam : Rasad, Sjahriar. Radiologi diagnostik edisi kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 469. 17. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit UI. 2008. Hal 551-554. 18. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam : Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321324. 19. Almatsier, Sunita. Diet penyakit hati dan kandung empedu. Dalam : Penuntun diet edisi baru. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2010. Hal 120-122.
41