ILMU PENYAKIT SARAF
ABSES CEREBRAL TOXOPLASMOSIS DisusunUntuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Syaraf RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
Disusun oleh : DWI YULIANNISA AMRI NIM : 2010 031 0133
Diajukan kepada : dr. Intan Rahayu, Sp. S
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016
HALAMAN PENGESAHAN
ILMU PENYAKIT SARAF
ABSES CEREBRAL TOXOPLASMOSIS Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Syaraf RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL Disusun Oleh: DWI YULIANNISA AMRI 20100310133 Telah dipresentasikan pada tanggal April 2016 Dokter Pembimbing
dr. Intan Rahayu, Sp. S BAB I PENDAHULUAN HIV ( Human Immodificiency Virus) adalah jenis retrovirus RNA yang menyerang reseptor CD4 yang berada di permukaan limfosit. Infeksi virus ini menyebabkan penekanan pada CD4 melalui beberapa mekanisme yang berujung kepada kelelahan respons sel limfosit T dan penurunan daya tubuh yang progresif. Disamping itu, infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dapat menyerang sistem saraf, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Pada system saraf pusat dapat mempengaruhi bagian-bagian meliputi berbagai derajat
gangguan neurokognitif, mielopati vakuolar, namun tidak terbatas pada gangguan tersebut diatas. Sedangkan sebagian PN (perifer neuropati) diakibatkan kerusakan pada sumbu serabut saraf (akson) yang mengirimkan stimulus pada otak. Kadang kala, PN disebabkan kerusakan pada selubung serabut saraf (mielin) dan ini mempengaruhi rangsang nyeri yang dikirim ke otak. Tahap akhir dari infeksi HIV dan dapat memperburuk keadaan penderita adalah AIDS, dimana seseorang yang terkena HIV akan didiagnosis AIDS ketika orang tersebut memiliki satu atau lebih infeksi oportunistik (infeksi yang mengambil manfaat dari lemahnya pertahanan kekebalan tubuh oleh karena penyakit HIV atau oleh beberapa jenis obat), seperti peumonia atau tuberculosis dan memiliki jumlah CD4+ Tcell yang sangat sedikit (lebih dari 200 sel/mm).
s BAB II PRESENTASI PASIEN
I.
II.
DATA PRIBADI Nama
: Tn. M
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 31 tahun
Bangsa
: Indonesia
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Alamat
: Karanggayam RT 5 Bantul
No RMK
: 45.62.32
ANAMNESIS Keluhan Utama : Nyeri Kepala Perjalanan Penyakit : Pasien mengeluhkan nyeri kepala terutama dibagian belakang kepala pasien seperti dipukul-pukul yang dirasakan sejak 1 minggu sebelum MRS, terasa makin lama makin memberat hingga tidak bisa beraktivitas. Gejala ini disertai dengan mual dan muntah. Muntah seperti menyemprot disangkal, kelemahan anggota gerak disangkal, badan kesemutan disangkal, kejang disangkal, pandangan menjadi dua disangkal dan demam disangkal. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mengalami kejang 1 bulan SMRS dan rawat inap di RSUP dr. Sarjito
Riwayat TB milier dengan pengobatan tidak tuntas.
Riwayat hepatitis B, candidiasis oropharing.
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat trauma kepala disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat gejala yang sama disangkal Riwayat diabetes mellitus disangkal Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat jantung disangkal
Anamnesis Sistem 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sistem serebrospinal Sistem kardiovaskuler Sistem respirasi Sistem gastrointestinal Sistem neuromuskular Sistem integumentum Sistem urogenital
: Nyeri kepala : tidak ada keluhan : tidak ada keluhan : tidak ada keluhan : tidak ada keluhan : tidak ada keluhan : tidak ada keluhan
III. PEMERIKSAAN FISIK STATUS INTERNA SINGKAT Keadaan Umum : Keadaan sakit
: tampak kesakitan
Kesadaran
: Komposmentis, GCS E4V5M6
Tensi
: 110/80 mmHg
Nadi
: 86 kali /menit
Respirasi
: 22 kali/menit
Suhu
: 37,1oC
BB
: 40 Kg
Kepala -
Reflek meningen
: Kaku kuduk (-).
-
GBM
: Bebas ke segala arah, pupil bulat isokor.
-
Reflek cahaya
: Pupil miosis normal.
-
Mata
: Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-).
-
Leher
: JVP meningkat (-), KGB tidak membesar.
Thoraks - Pulmo
: Suara napas vesikuler,wheezing (-/-) dan ronki (-/-).
- Cor
: S1S2 reguler, bising jantung (-)
Abdomen
: tampak datar, bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak teraba, massa (-)
Ekstremitas
: edema ka/ki(-/-), parese ka/ki (-/-), akral hangat
IV. STATUS PSIKIATRI SINGKAT Gambaran Umum
: Seseorang pria sesuai umur, rawat diri baik, berpenampilan sesuai umur dan jenis kelamin.
Orientasi
: Baik
Memori
: Baik
Mood dan afek
: Dismorfik, appropiate
Proses berpikir
: bentuk pikir realistik, progresivitas pikir baik. Ide curiga (+)
V.
Persepsi
: Halusinasi auditorik (+)
Kecerdasan
: Sesuai dengan pendidikan
Psikomotor
: normoaktif
Insight
:6
NEUROLOGIS A. Kesan Umum: Kesadaran
: GCS E4V5M6
Pembicaraan
: Disartri
(-)
Monoton
(-)
Scanning
(-)
Afasia :
Kepala : Besar
Muka :
Motorik
(-)
Sensorik
(-)
Anomik
(-)
: Normal
Asimetris
: (-)
Sikap Paksa
: (-)
Torticolis
: (-)
Mask/topeng
: (-)
Miophatik
: (-)
Fullmoon
: (-)
B. Pemeriksaan Khusus : 1.
Rangsangan Selaput Otak Kaku Tengkuk
: (-)
Kernig
: (-)/(-)
Laseque
: (-)/(-)
Bruzinski I
: (-)/(-)
Bruzinski II
: (-)/(-)
2. Nervus kranialis Nervus kranialis N.I N.II N.III
N.IV N.V
N.VI N.VII
Daya penghiduan Daya penglihatan Penglihatan warna Lapang pandang Ptosis Gerakan mata ke medial Gerakan mata ke atas Gerakan mata ke bawah Ukuran pupil Bentuk pupil Reflek cahaya langsung Reflek cahaya tidak langsung Strabismus divergen Gerakan mata ke lateral bawah Strabismus konvergen Menggigit Membuka mulut Sensibilitas muka Reflek kornea Trismus Gerakan mata ke lateral Strabismus konvergen Diplopia Kedipan mata Lipatan nasolabial Sudut mulut Mengerutkan dahi Mengerutkan alis
Kanan Baik Baik Baik Baik (-) (+) (+) (+) 3 mm Bulat (+) (+) (-) (+) (-) (+) (+) (+) (+) (-) (+) (-) Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn
Kiri Baik Baik Baik Baik (-) (+) (+) (+) 3 mm bulat (+) (+) (-) (+) (-) (+) (+) (+) (+) (-) (+) (-) (–) dbn dbn dbn dbn dbn
N.VII I
N.IX
N.X
N.XI
N.XII
3.
Menutup mata Meringis Menggembungkan pipi Daya kecap lidah 2/3 depan Mendengar suara berbisik Tes Rinne Tes Webber Tes Schwabach
Dbn
Arkus faring Daya kecap lidah 1/3 belakang Reflek muntah Sengau Tersedak Denyut nadi
Simetris (+) (+) Tidak dilakukan (+) (+) (+) (+) 82 x/ menit, isi cukup
Bersuara Menelan Memalingkan kepala Sikap bahu Mengangkat bahu Trofi otot bahu Sikap lidah Artikulasi Tremor lidah Menjulurkan lidah Trofi otot lidah
Jelas (+) Dbn Simetris Dbn Eutrofi Dbn Jelas (-) Dbn Eutrofi
Sistem Motorik Kekuatan Otot 5
5
5
5
Besar Otot : Atrofi
:-
Pseudohypertrofi
:-
Palpasi Otot : Nyeri
:-
Kontraktur
:-
Konsistensi
:-
dbn simetris dapat dilakukan Dbn Dbn (+) (+) Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
dbn
(-) Eutrofi
Tonus Otot :
Lengan
Tungkai
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Hipotoni
-
-
-
-
Spastik
-
-
-
-
Rigid
-
-
-
-
Rebound
-
-
-
-
phenomen
-
-
-
-
Gerakan Involunter Tremor :
Waktu Istirahat
: -/-
Waktu bergerak
: -/-
Chorea
: -/-
Athetose
: -/-
Balismus
: -/-
Torsion spasme
: -/-
Fasikulasi
: -/-
Myoklonik
: -/-
Koordinasi
: tdl
Gait dan station : tdl 4.
Sistem Sensorik Rasa eksteroceptik
Lengan
Tungkai
Tubuh
Nyeri superficial
:
N/N
N/N
N/N
Suhu
:
N/N
N/ N
N/N
Raba ringan
:
N/N
N/ N
N/N
Rasa propioceptik
Rasa getar
:
tdl
Rasa tekan
:
N/N
N/ N
N/N
Nyeri tekan
:
N/N
N/ N
N/N
Rasa gerak/posisi
:
N/N
N/ N
Rasa enteroceptik
tdl
tdl
Referred pain
:N
Rasa Kombinasi
Stereognosis
:N
Barognosis
:N
Graphesthesi
:N
Two point tactil discrimination
:N
Sensory extinction
: (-)
Loss of body image
: (-)
Fungsi Luhur
5.
Apraxia
: (-)
Alexia
: (-)
Agraphia
: (-)
Fingerosesthesia
: (-)
Membedakan kanan dan kiri
: (-)
Acalculia
: (-)
Refleks-refleks Refleks kulit
Refleks dinding perut
-
-
-
-
Refleks cremaster
: tdl
Refleks interscapularis
: tdl
Refleks gluteal
: tdl
Refleks anal
: tdl
Refleks Tendon
Refleks biceps
:0/ 0
Refleks triceps
:0/ 0
Refleks patella
:0/ 0
Refleks achilles
:0/ 0
Refleks Patologis
Tungkai
Refleks Babinsky
: (-) / (-)
Refleks Chaddock
: (-) / (-)
Refleks Rossolimo
: (-) / (-)
Refleks Gordon
: (-) / (-)
Refleks Schaefer
: (-) / (-)
Refleks Mendel Bacterew
: (-) / (-)
Refleks Stransky
: (-) / (-)
Refleks Gonda
: (-) / (-)
Refleks Hoffman Tromer
: (-) / (-)
Reflaks Leri
: (-) / (-)
Reflaks Meyer
: (-) / (-)
Lengan
Refleks Primitif
Graps refleks
: (-)
Snout refleks
: (-)
Sucking refleks
: (-)
Palmomental
: (-)/(-)
6. Susunan Saraf Otonom - Miksi
: inkontinensi (-)
- Defekasi
: konstipasi (-)
- Sekresi keringat : normal - Salivasi
: normal
- Gangguan tropik : Kulit, rambut, kuku : (-) 7. Columna Vertebralis Kelainan Lokal -
Skoliosis
: tidak ada
-
Khypose
: tidak ada
-
Khyposkloliosis
: tidak ada
-
Gibbus
: tidak ada
-
Nyeri tekan/ketuk
: tde
Gerakan Servikal Vertebra : - Fleksi
: normal
- Ekstensi
: normal
- Lateral deviation
: normal
- Rotasi
: normal
- Gerak Tubuh
: tdl
Keterangan : -
Tde : Tidak dapat dievaluasi
-
Sde : Sulit dievaluasi
-
Tdl : tidak dilakukan
-
N : normal
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil laboratorium
Parameter Hematologi Hemoglobin Leukosit Eritrosit Hematokrit Trombosit Hitung jenis Eosinofil Basofil Batang Segmen Limfosit Monosit GDS Fungsi hati SGOT SGPT Protein total
DARAH RUTIN Hasil Pemeriksaan
Nilai Rujukan
13,5 10.04 4.61 42.3 363
14,0-18,0 g/dl 4,0-11 Ribu/ul 4,5-5,5 juta/ul 42-52 % 150-450 ribu/ul
4 2 0 67 19 8 117
2-4 % 0-1% 2-5 % 51-67 % 20-35 % 4-8 % 80-200 mg/dl
21 22 8.27
0-46 U/L 0-45 U/L 6.20-8.40 g/dl
Albumin Globulin
4.30 3.97
3.50-5.50 g/dl 2.80-3.20 g/dl
1.19 25 6.19
0.90-1.30 mg/dl 17-43 mg/dl 3.60-8.20 mg/dl
140.8 5.11 105.2
137-145 mmol/l 3.50-5.10 mmol/l 98.0-107.0 mmol/l
Fungsi Ginjal Creatinin Ureum Asam Urat Elektrolit Natrium Kalium Chlorida Sero Imunologi TORCH Ig G anti Toxoplasma
159.00
Ig M anti Toxoplasma
0.21
Toxoplasma Ig G Aviditas
0.653
CD4 (tgl 20 feb 2016)
Neg :<4 Equivocal :4-8 Positip : > 8 Neg :<0.55 Equivocal : =0.55-<0.65 Positip : > =0.65 Neg :<0.20 Equivocal : 0.20-<0.30 Positip : > =0.30
14
CT-Scan Kepala tanggal 20 Februari 2016 Uraian hasil pemeriksaan : Telah dilakukan pemeriksaan Head MSCT scan tampilan axial, coronal, dan sagital , tanpa dengan bahan kontras. Hasil : -
Tak tampak soft tissue swelling extracranial Gyri, sulci dan fissura sylvii tak prominent Batas cortex dan medulla tegas Tampak lesi hyperdens multiple di hemisphere bilateral, batas tegas, tepi licin, ukuran bervariasi kecil kecil dengan diameter terbesar lk 0.5 cm,
densitas 34 HU disertai dengan perifokal oedema - Tampak sistem lateralis sinistra menyempit - Midline di tengah, tak terdeviasi - SPN dan air celullae mastoidea normodense Kesan : Suspicious Brain Metastasis
VII. DIAGNOSIS Diagnosis Klinis
: Cephalgia Kronis Abses cerebri toxoplamosis
Diagnosis Etiologis
: Toxoplasmosis HIV/AIDS
Diagnosis Topis
: Cerebri
Diagnosis Banding
: Suspicious Brain Metastasis
VIII. PENATALAKSANAAN Terapi medikamentosa: 1. Inf. Nacl 0.9% 16 tpm 2. Inj Dexametason 1A/6 jam tappering off perhari 3. Inj Ranitidin 1A/12 jam 4. Inj Diazepam jika kejang 5. Primetamin 2 x 25 mg 6. Clindamisin 4x 300 mg
IX.
PROGNOSIS Ad vitam
: dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam Ad sanationam : dubia ad malam
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling sering terhadap abses serebral pada pasien-pasien ini. Toxoplasma gondii jugadapatmenimbulkanradang
pada
kulit,
kelenjar
getahbening,
jantung,
paru,mata, dan selaput otak. Infeksi paling umum dapat didapat dari kontak dengan kucing-kucing dan feces mereka atau daging mentah atau yang kurang masak. Penyakit ini bisa diobati dan bisa sembuh secara total, namun jika tidak dirawat, akan berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Parasit ini merupakan golongan protozoa yang bersifat parasit obligat intraseseluler yang menginfeksi sebagian besar populasi dunia dan merupakan penyebab tersering penyakit-penyakit infeksi otak pada pasien dengan HIV-AIDS. Infeksi toksoplasma gondii biasanya bersifat laten dan dormant asimptomatik pada individu baik dengan imunokompeten atau dengan HIV-AIDS. Namun pasien dengan HIV lebih cenderung terkena toksoplasmosis akut karena proses reaktivasi organisme ini apabila jumlah CD4 T sel mereka kurang di bawah 100sel/µL atau apabila jumlah CD4 T sel di bawah 200 sel/µL tetapi ada infeksiinfeksi oportunistik lainnya atau malignansi. Reaktivasi toksoplasma gondii yang laten pada pasien HIV-AIDS umumnya akan menyebabkan toksoplasmosis serebral dan bisa membahayakan jiwa jika diagnosis dan terapi tidak tepat. Penyakit ini cukup sulit didiagnosis dan diterapi, terutama di negara-negara berkembang di mana jumlah pasien HIV sangat tinggi. (1) Faktor resiko untuk terkena infeksi toksoplasma gondii pada pasien HIV termasuklah umur, ras dan faktor demografik lainnya. Berdasarkan gejala klinis dan terlibatnya organ sefal, menyebabkan kasus ini menjadi lebih serius dari toksoplasmosis ekstraserebral.[2]
Toksoplasma gondii dengan pewarnaan H.A. II. EPIDEMIOLOGI Prevalensi zat anti T. gondii berbeda di berbagai daerah geografik, seperti pada ketinggian yang berbeda di daerah rendah prevalensi zat anti lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tinggi. Prevalensi zat anti ini juga lebih tinggi di daerah tropik.Pada umumnya prevalensi zat anti T. gondii yang positif meningkat sesuai dengan umur, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Anjing sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi dari makan tinja kucing atau bergulingan pada tanah yang mengandung tinja kucing, yang merupakan instrumen penyebaran secara mekanis dari infeksi T. gondii. Lalat dan kecoa secara praktis juga penting dalam penyebarannya.[9] Di Indonesia, prevalensi zat anti T. gondii pada hewan adalah sebagai berikut:
kucing 35-73 %, babi 11-36 %, kambing 11-61 % anjing 75 % ternak lain kurang dari 10 % .[9]
III. ETIOLOGI Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa olehkucing, burung dan hewan lainyang dapat ditemukan pada tanahyang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentahataukurang matang. Apabila parasit masuk ke dalam sistemkekebalan, ia menetap di dalamtubuhtetapi sistem kekebalan pada orangyang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntasdandapatmencegah
penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bilamemakan daging babi atau domba yang mentahyang mengandungoocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yangterkontaminasi ataukontak langsung dengan feses kucing. Selain
itudapat
terjadi
transmisi
lewat
transplasental,
transfusidarah,
dantransplantasi organ. Infeksi akut pada individu yangimmunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia denganimunitas tubuh yang rendah dapat terjadi
reaktivasi
dariinfeksilaten. Yang
akan
mengakibatkan
timbulnya
infeksiopportunistik dengan predileksi di otak.[6]
Gambar 1 : Siklus Hidup Toxoplasmosis Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuktrofozoit, kista, danOokista:
Tachyzoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapatmenginvasi semua sel mamalia yang memiliki inti sel.Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa akut dariinfeksi. Bila infeksi menjadi kronis tachyzoit dalamjaringan akan membelah secara lambat dan disebutbradizoit.[6]
Gambar 2: Tachyzoit
Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringandengan jumlah ribuan berukuran 10-100 um. Kistapenting untuk transmisi dan paling banyak terdapatdalam otot rangka, otot jantung dan susunan syarafpusat.[6]
Gambar 3 : Kista
Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yangberukuran 10-12 um. Ookista terbentuk di sel mukosausus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feceskucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklusaseksual atau schizogoni dan siklus atau gametogenidan sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feces kucing. Kucing
yangmengandung
toxoplasma
gondii
dalam
sekali
ekskresiakan
mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista initertelan oleh pejamu perantara seperti manusia, sapi,kambing atau kucing maka pada berbagai jaringanpejamu perantara akan dibentuk kelompok-kelompoktrofozoit yang membelah secara aktif. Pada pejamuperantara tidak dibentuk stadium seksual tetapidibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makantikus yang mengandung kista maka terbentuk kembalistadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut.[6]
Gambar4:Ookista IV. PATOMEKANISME Penularanpadamanusia dimulaidengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinyasel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secaraberturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darahatau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitumencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan
sepanjanghidup
pejamu,danberpredileksi
untuk
menetap
pada
otak,myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Pada manusiadengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dariinfeksi laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksioportunistik denganpredileksi di otak. Tissue cyst menjadi rupturdan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akanmenghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.[5][8] Ookista (Daging mentah) Tachyzoit (usus)
Darah & Limfe
Imune Respon
Bradyzoit (otak, skeletal, myocard, retina) Immunocompromized →reaktivasi
Gambar5 :Patogenesis Toxoplasmosis Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapatmenjadi prediktor kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsionaldankualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utamayaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yangjuga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, selmakrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sellangerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatanvirus kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematianseldengan meningkatkan tingkat apoptosispada sel yangterinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV jugaberdampak pada sistem saraf dandapat mengakibatkan kelainanpada
saraf.
penurunankekebalantubuh tersebudapatmenyerang kesehatanselsaraf.
Infeksi
oportunistik
pada sistem
Mekanisme
saraf
dapat
terjadi
penderita
HIV/AIDS.
yang
membahayakanfungsi
bagaimana
HIV
menginduksi
akibat Infeksi dan infeksi
oportunistikseperti toxoplasmosissangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma; kegagalanaktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIVmenunjukkan
penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara invitro danpenurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadapT gondii.[10][16]
Tachyzoit
Aktivasi CD4 sel T
ekspresi CD154
sel dendritik dan makrofag
IL-12 Sel T→INF-y Respon antitoxoplasmik Gambar5 :ResponImun
PATOFISIOLOGI HIV/AIDS Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit Thelper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan
sel utama yang
terlibat
secara langsung maupun
tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse
transcryptae ia merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnyasel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik vir us.Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfositT4. setelah
beberapa
bulan
sampai
beberapa
tahun
kemudian,
barulah
pada penderita akan terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebu t.Masa antara terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubas) adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anakanak dan 60 bulan pada orang dewasa. Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang,
akibatnya
mudah
terkena penyakit-
penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkomakaposi.
HIV
mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf,menyebabkan kerusakan neurologis. Virus tampaknya tidak menyerang sel saraf secara langsung tetapi membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Peradangan yang diakibatkannya dapat merusak otak dan saraf tulang belakang dan menyebabkan berbagai gejala, contoh kebingungan dan pelupa, perubahan perilaku, sakit kepala berat, kelemahan yang berkepanjangan, mati rasa pada lengan dan kaki, dan stroke. Kerusakan motor kognitif atau kerusakan saraf perifer juga umum. Penelitian menunjukkan bahwa infeksi HIV secara bermakna dapat mengubah struktur otak tertentu yang terlibat dalam proses belajar dan pengelolaan informasi. Komplikasi sistem saraf lain yang muncul akibat penyakit atau penggunaan obat untuk mengobatinya termasuk nyeri, kejang, ruam, masalah saraf tulang belakang, kurang koordinasi, sulit atau nyeri saat menelan, cemas berlebihan, depresi, demam, kehilangan penglihatan, kelainan pola berjalan, kerusakan jaringan otak dan koma. Gejala ini mungkin ringan pada stadium awal
AIDS tetapi dapat berkembang menjadi berat. Di AS, komplikasi saraf terlihat pada lebih dari 40% pasien AIDS dewasa. Komplikasi ini dapat muncul pada segala usia tetapi cenderung berkembang secara lebih cepat pada anak-anak. Komplikasi sistem kekebalan dapat termasuk penundaan pengembangan, kemunduran pada perkembangan penting yang pernah dicapai, lesi pada otak, nyeri saraf, ukuran tengkorak di bawah normal, pertumbuhan yang lambat, masalah mata, dan infeksi bakteri yang kambuh. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus yang tergolong virus RNA (Ribonucleic Acid), yaitu virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik. HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang terdapat di dalam inti HIV dan akan mengubah informasi genetika dari RNA virus menjadi deoxy-ribonucleid acid (DNA). Enzim
ini adalah
polimerase
DNA yang mampu bergabung dengan kromosom tubuh. Sekali berintegrasi, ia digunakan sebagai pembawa pesan transkripsi untuk sintesis virus. HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus ke permukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut:
Infeksi virus (2-3 minggu) Sindrome retroviral akut (2-3 minggu) Gejala menghilang + serokonversi
Infeksi kronis HIV asimptomatik (rata-rata 8 tahun, di negara berkembang
lebih pendek) Infeksi HIV/AIDS simptomatik (rata-rata 1,3 tahun) Kematian
Berdasarkan hasil pemeriksaan CD4, infeksi HIV dapat dibedakan menjadi beberapa fase :
Fase I - Infeksi HIV primer ( infeksi HIV akut )
Fase II - Penurunan imunitas dini ( sel CD4 > 500/ µl )
Fase III - Penurunan imunitas sedang ( sel CD4 500-200 /µl )
Fase IV - Penurunan imunitas berat ( sel CD4 <200 /µl )
Infeksi HIV primer dapat bersifat asimptomatik, atau pada 50-70% penderita muncul dalam bentuk akut, self-limiting mononucleosis-like illness dengan demam, nyeri kepala, mialgia, malaise, lethargi, sakit tenggorokan, limfadenopati, dan bintik makulopapular. Infeksi akut ditandai dengan viremia, dijumpai angka replikasi virus yang tinggi, mudahnya isolasi virus dari limfosit darah perifer dan level serum antigen virus yang tinggi. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) didefinisikan sebagai suatu sindrome atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi imun yang berat, dan merupakan manifestasi stadium akhir infeksi HIV.
Kriteria diagnosis presumtif untuk indikator AIDS a. Kandidiasis esophagus: nyeri retrosternal saat menelan bercak putih di atas dasar kemerahan. b. Retinitis citomegalo virus c. Mikobakteriosis d. Sarkoma Kaposi: bercak merah atau ungu pada kulit atau selaput mukosa. e. Pneumonia pnemosistisis karini: sesak nafas/batuk non produktif dalam 3 bulan terakhir. f. Ensefalitis Toksoplasmosis. Manifestasi neurologis HIV dapat terjadi setiap saat dari akuisisi virus untuk tahap akhir AIDS; mereka bervariasi dan dapat mempengaruhi setiap bagian dari sistem saraf termasuk otak, sumsum tulang belakang, sistem saraf otonom dan saraf perifer. HIV mempengaruhi sistem saraf di 70-80% dari pasien yang terinfeksi. Efeknya mungkin karena efek langsung dari virus, infeksi oportunistik dan / atau keganasan. Untuk manifestasi neurologis tertentu etiologi tunggal bertanggung jawab sementara di lain itu adalah karena beberapa penyebab. Kebanyakan komplikasi neurologis yang mengancam kehidupan HIV terjadi sdi negara immunodeficiency parah dan diagnosis etiologi spesifik dalam pengaturan Ethiopia sering merupakan tantangan besar. Dengan demikian, unit ini mencoba
untuk memandu manajemen infeksi oportunistik umum dan kondisi yang dapat diobati lainnya dalam sistem saraf Diagnosis gangguan neurologis di HIV di pengaturan kami tergantung pada sejarah dan pemeriksaan neurologis standar. Dalam pandangan ini, penyedia layanan kesehatan harus mampu melakukan pemeriksaan fisik untuk mendeteksi kelainan neurologis. Ada dapat temuan neurologis normal satu atau beberapa pada pasien
yang
sama
memerlukan
evaluasi
neurologis
holistik.
Sehingga
pemeriksaan harus mencakup penilaian: •
Mental status comprising cognitive function, orientation and memory.
•
Cranial nerves
•
Motor function including DTR
•
Sensation
Syndrome Painful legs (extremities)
Difficulty walking
Severe headache +/focal neurological deficit +/seizure
Acute confusion
Possibilities Peripheral neuropathy, metabolic disorders or vascular insufficiency. Musculoskeletal disorders, Spinal cord lesions, Myopathies, peripheral neuropathies, or some brain lesions. Meningo encephalitis, Meningitis, CNS Toxoplasmosis, brain abscess, Tuberculoma, CNS lymphoma.
Diagnosis Hx, Px, NCT
1. Meningo-encephalitis 1Systemic infections like malaria, or septicaemia, 2Metabolic disorders: – electrolyte abnormalities, hypoglycemia, renal or liver failure
Blood film, CBC, blood culture, LP (CSF analysis) RFT, LFT, RBS electrolytes if diarrhoea or dehydration present
Chronic behavioral change PML* AIDS dementia, Chronic meningitis.
Spinal X-ray,, CT, MRI,CK, LDH LP when indicated
Imaging (CT, MRI) LP when indicated
Clinical CSF analysis
Tabel 6: Ringkasan neurologis terkait HIV umum dan sindrom terkait Kelainan Neurologi Pada Infeksi Hiv
Penyakit saraf sering terjadi pada seseorang yang terinfeksi HIV, sebanyak 3160%. Penelitian di Jakarta mendapatkan hasil bahwa 90% penderita HIV/AIDS mengalami kelainan pada sistem sarafnya. Kegagalan fungsi tubuh menyebabkan kerentanan seluruh sistem organ, termasuk sistem saraf sentral, perifer dan otot. Keterlibatan sistem saraf dapat sebagai akibat infeksi primer oleh virus atau infeksi oportunistik, efek imunosupresif atau keduanya. Kelainan neurologi yang timbul pada penderita AIDS secara umum dapat dikelompokkan menjadi: (a)
Infeksi HIV Primer Komplikasi langsung terlibat pada sistem saraf yang terinfeksi HIV dengan perubahan patologi diakibatkan langsung oleh HIV itu sendiri. Harus diingat
bahwa
lesi SSP
pada
AIDS
dapat
disebabkan proses neoplastik. Limfoma SSP primer ditemukan sekitar 3 % dari pasien AIDS, dan limfoma sistemik juga bisa menyebar pada mening. Beberapa sarkoma Kaposi yang metastase ke otak pernah dilaporkan. Contoh lainnya adalah AIDS Dementia (b)
dan neuropati perifer. Infeksi Oportunistik SSP Sekunder/komplikasi tidak langsung sebagai akibat dari proses immunosupresi konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma. Patogen viral Ensefalitis sitomegalovirus Leukoensefalopati tmultifokal progresif
Patogen non-viral Ensefalitis toksoplasmas Meningitis kriptokokus
HIV merupakan virus yang bersifat imunotropik dan neurotropik yang berarti organ targetnya selain sel imun juga menyerang sistem saraf. HIV melewati sawar darah otak melalui aksis makrofag-monosit. Mekanisme yang memungkinkan mencakup transport intraseluler melewati blood-brain barrier
dalam makrofag yang terinfeksi, penempatan virus bebas pada leptomeningens, atau virus bebas setelah replikasi dalam pleksus khoroideus atau epithelium vaskular. Infeksi virus herpes sering terlihat pada pasien AIDS. Pada orang yang terpajan dengan herpes zoster, virus dapat tidur di jaringan saraf selama bertahuntahun hingga muncul kembali sebagai ruam. Reaktivasi ini umum pada orang yang AIDS karena sistem kekebalannya melemah. Neurosifilis, akibat infeksi sifilis yang tidak diobati secara tepat, tampak lebih sering dan lebih cepat berkembang pada orang terinfeksi HIV. Neurosifilis dapat menyebabkan degenerasi secara perlahan pada sel saraf dan serat saraf yang membawa informasi sensori ke otak Seperti halnya penyakit infeksi yang lainnya, tuberkulosis pada penyakit AIDS juga infeksius ada individu sehat. Gejala klinisnya bervariasi tergantung pada tahap penyakit HIV-nya. Pada stadium awal, dimana relatif ada kekebalan dalam sel (cell mediated immunity), maka penyakit tuberkulosisnya akan menunjukkan gambaran penyakit primer klasik seperti pada orang dewasa yakni dengan adanya infiltrat di lobus atas dan adanya kavitasi; dimana tes tuberkulin biasanya akan positif. Bila penyakit HIV-nya melanjut maka cell mediated immunity akan rusak disertai gejala non spesifik, yaitu demam, turunnya berat badan dan fatigue (kelelahan), dengan atau tanpa adanya gejala batuk. Table 6: Summary of common HIV-associated neurological and related syndromes Syndrome Possibilities Diagnosis Painful legs (extremities) Peripheral neuropathy, Hx, Px, NCT metabolic disorders or vascular insufficiency. Difficulty walking Musculoskeletal disorders, Spinal X-ray,, CT, MRI, Spinal cord lesions, CK, LDH LP when Myopathies, peripheral indicated neuropathies, or some brain lesions. Severe headache +/focal Meningo encephalitis, Imaging (CT, MRI) LP neurological deficit +/Meningitis, CNS when indicated seizure Toxoplasmosis, brain abscess, Tuberculoma, CNS lymphoma.
Acute confusion
1. Meningo-encephalitis 1Systemic infections like malaria, or septicaemia, 2Metabolic disorders: – electrolyte abnormalities, hypoglycemia, renal or liver failure
Chronic behavioral change PML* AIDS dementia, Chronic meningitis.
Blood film, CBC, blood culture, LP (CSF analysis) RFT, LFT, RBS electrolytes if diarrhoea or dehydration present
Clinical CSF analysis
V.MANIFESTASI KLINIS CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel ini berfungsi dalam memerangi infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, jumlah CD4 berkisar antara 1400-1500 sel/μL. Pada penderita HIV/AIDS jumlah CD4 akan menurun dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik. Umumnya muncul jika dijumpai keadaan immunodefisiensi berat (jumlah limfosit CD4 < 200 sel/mm3).
Hubungan infeksi oportunistik dan jumlah sel CD4 pada penderita HIV (secara umum) :
JUMLAH
SEL PATOGEN
CD4 200-500/mcl
100-200/mcl
50-100/mcl
<50/mcl
S.pneumoniae, H.influenzae M.tuberculosis C.albicans HSV 1 dan 2 Virus Varicela-Zoster Virus Epstein-Barr Human Hervesvirus 8 Semua di atas, ditambah : P.carinii C.parvum Semua di atas, ditambah : T.gondii C.albocans C.neoformans H.capsulatum Microsporidia M.tuberculosis
MANIFESTASI Community-Aquired Pneumonia(CAP) TB paru Sariawan, candida vagina Herpes orolabial, genital, perirectal Ruam pada saraf Oral hairy leukoplakia Sarkoma Kaposi Pneumonia Diare kronik Ensefalitis Ensefalitis Meningitis Penyakit diseminata Diare kronik TB diseminata/
R.equi HSV 1 dan 2 Virus Varicella-Zoster Virus Epstein-Barr
Ekstrapulmoner Pneumonia HSV diseminata VZV diseminata Limfoma primer SSP
Semua di atas, ditambah : M.avium complex Cytomegalovirus
MAC diseminata Retinitis, diare, ensefalitis
Infeksi oportunistik pada SSP muncul secara tidak langsung sebagai akibat dari proses immunosupresi konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma. Dapat dibedakan menjadi Patogen viral Ensefalitis sitomegalovirus Leukoensefalopati multifokal progresif
Patogen non-viral Ensefalitis toksoplasmas
Meningitis kriptokokus Kelainan sistem saraf terkait AIDS mungkin secara langsung disebabkan oleh HIV, oleh kankerdan infeksi oportunistik tertentu (penyakit yang disebabkan oleh bakteri, jamur dan virus lain yang tidak akan berdampak pada orang dengan sistem kekebalan yang sehat), atau efek toksik obat yang dipakai untuk mengobati gejala. Kelainan saraf lain terkait AIDS yang tidak diketahui penyebabnya mungkin dipengaruhi oleh virus tetapi tidak sebagi penyebab langsung. V. GAMBARAN KLINIS Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk dibedakan dengan penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV akut. Toksoplasmosis dapatan tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Gejala yang ditemui pada dewasa maupun anak-anak umumnya ringan. Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti demam, nyeri otot, sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior, supraklavikula dan suoksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sefalgia, muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang.[4] Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan kelainan patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis didapat. Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat, masalah penglihatan, vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung kerna adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan sistem immunonya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.[4]
Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan gejala fokal nerologik. Walaubagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai kejang atau pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan percakapan sering ditemui sebagai gejala klinis awal. Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien akan mempamerkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun, lelah atau koma. Pengibatan medulla spinalis akan menghasilkan gangguan motorik dan sensorik bagi beberapa anggota badan serta kantung kemih atau kesakitan fokal.[4] VI. DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsi jaringan, isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.Pada pasien dengan suspek toxoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik Computed Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya digunakan untuk membuat diagnosis. Terapi empirik untuk toxoplasmosis cerebral harus dipertimbangkan untuk pasien yang terinfeksi HIV. Biopsi dicadangkan untuk diagnosis pasti atau untuk pasien yang gagal dengan terapi empirik.[1][13] Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang dalam beberapa minggu setelah infeksi.[13][15] Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang berguna dalam diagnosis toxoplasmosis cerebral dan tidak dilakukan secara rutin karena resiko dapat meningkatkan tekanan intrakranial dengan melakukan pungsi lumbal. Temuan dari pemeriksaan cairan serebrospinalmenunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan elevasi protein.[1] Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T gondii dapat berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. PCR untuk T gondii dapat
juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita toxopasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis pada penderita AIDS.[1][11] Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur cairan tubuh atau spesimen biopsi jaringan tapi diperlukan waktu lebih dari 6 minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Diagnosis pasti dari toxoplasmosis adalah dengan biopsi otak, tapi karena keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan. Upaya isolasi parasit dapat dilakukan dengan inokulasi mouse atau inokulasi dalam jaringan kultur sel dari hampir semua jaringan manusia atau cairan tubuh. Pasien dengan toxoplasmosis cerebral ditemukan histopatologitachyzoitpadajaringanotak.[1][15] Pada kebanyakan pasien imunodefisiensi dengan toxoplasmosis cerebral, CT scan menunjukkan gambaran beberapa lesi otak bilateral. Studi pencitraan biasanya menunjukkan beberapa lesi terletak di wilayah korteks serebral , corticomedullary junction , atau ganglia basal. Meskipun begitu, lesi tunggal juga kadang-kadang muncul pada penderita toxoplasmosis cerebral. Karakteristik toxoplasmosis cerebral adalah asimetris, yang memberi gambarn abses cincin dengan kedua CT dan MRI. CT scan tanpa kontras dapat memperlihatkan lesi hipodens dalam otak yang mungkin keliru pada lesi otak fokal tipe lain, namun , CT Scan ulang dengan kontras akan memperlihatkan lesi otak dengan gambaran khas ring enhancement dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. [14] Pada T1 – weighted MRI , toxoplasma memprelihatkn lesi dengan intensitas sinyal rendah berhubung dengan sisa dari jaringan otak . Pada T2 – weighted MRI , lesi biasanya dengan intensitas sinyal tinggi. MRI adalah modalitas pilihan untuk mendiagnosis dan memantau respon terhadap pengobatan toxoplasmosis karena lebih sensitif dari CT untuk mendeteksi beberapa lesi.[1][15] AAN
Quality
Standards
subcommittee
(1998)
merekomendasikan
penggunaan terapi empirik pada pasien yang diduga toxoplasmosis cerebral selama 2 minggu, kemudian dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara klinis maupun radiologik, diagnosis adanya toxoplasmosis cerebral dapat
ditegakkan dan terapi ini dapat di teruskan.Lebih dari 90% pasien menunjukkan perbaikan klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial selama 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk dilakukan biopsi otak.[1] VII. PENATALAKSANAAN Terapi utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah pirimetamin(obat anti malaria)
dan sulfadiazine. Kombinasi antara pirimetamin dengan sulfadiazin
(antibiotik) ini menunjukkan aktivitas sinergis dalam mengeradikasi toxoplasma gondii karena dapat menyebabkan inhibisi secara terus menerus terhadap jalur sintesis asam folat. Leucovorin haruslah ditambah untukmencegah komplikasi pendarahan karena efek samping untuk regimen kombinasi ini adalah penurunan jumlah trombosit atau trombositopenia. Pengobatan untuk ibu hamil yang terinfeksi toksoplasma gondii sama dengan individu-individu lain, tetapi para ibu haruslah diberi informasi bahwa sulfadiazine bisa menyebabkan bayinya hiperbilirubinemia dan kernikterus.[1] Terdapat regimen alternatif untuk pasien yang intoleransi terhadap sulfadiazin atau pirimetamin. Kombinasi yang sering dipakai dalam menangani kasus toksoplasma serebral selain pirimetamin dan sulfadiazin ialah trimetoprim dengan sulfamethoxazole, klindamisin dengan pirimetamin, dan claritromisin dengan pirimetamin. Klindamisin dengan pirimetamin diberikan pada pasien yang tidak bisa toleransi terhadap sulfonamid. [1][2]
Atovaquone adalah bagian dari naftoquinon yang unik dengan aktivitas antiprotozoa yang spektrumnya luas . Atovaquone telah dibuktikan efektif terhadap takizoit toksoplasma in vitro dan akan membunuh bradizoit dalam kista jika dalam konsentrasi yang tinggi. Atovaqoune sering digunakan dalam kombinasi obat-obat lain. Menurut penelitian atovaqoune menjadi lebih efektif apabila dikombinasikan dengan obat lain seperti pirimetamin, sulfodiazin, klindamisisn atau claritromisin.[2] Regimen terapi untuk toksoplasmosis serebral akut Terapi pilihan dan lama pengobatan
Regimen Alternatif
Pirimethamin inisial, mg/hari
(200-mg
dilanjutkan secara
oral
dengan
oral),
dosis 50–75
inisial, dilanjutkan dengan
sulfadiazine
mg/day
(1000–1500 mg
Lama pengobatan :6 minggu
secara
50–75
oral)
and
klindamisin(600 mg intravena [IV]
4 kali/hari), and leucovorin (10–20 mg/hari)
Pirimethamine (200-mg oral dosis
atau oral 4 kali sehari). TMP (5 mg/kg) and SMX (25
mg/kg) IV atau oral 2 kali sehari. Atovaquone* (1500 mg oral2 kali sehari) +
pirimethamin (50–75
mg/hari) dan leucovorin (10– 20
mg/hari). Atovaquone* (1500 mg oral dua kali sehari) + sulfadiazin (1000–1500
mg 4 kali sehari). Atovaquone* (1500 mg oral 2 kali
sehari) Pirimethamin (50–75 mg/hari) dan leucovorin
(10–20
azithromisin
mg/hari)
(900–1200
+
mg/hari
oral) Untuk pasien yang sakit berat dan tidak bisa toleransi terhadap medikasi oral, TMP (10 mg/kg/hari) and SMX (50 mg/kg/hari) IV. TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole. *Atovaquone harus diambil bersama makanan. Regimen profilaksis Indikasi Profilaksis primer
Terapi pilihan Regimen alternatif 1 kekuatan-ganda dua TMP- 1 kekuatan
tunggal
SMX (160 mg TMP/ 800 mg
TMP/SMX tablet setiap
SMX) tablet setiap hari
hari. Dapsone 50 mg tiap hari +
pirimethamin 50 mg tiap minggu dan leucovorin 25
mg tiap minggu. Atovaquone 1500 mg tiap hari.
Profilaksis sekunder
Sulfadiazine (500–1000 mg
Klindamisin (300–450 mg
oral
oral tiap 6–8 jam) +
4x/tiap
hari)
+
pirimethamin (25–50 mg/hari
pirimethamin
oral) dan leucovorin (10–25
mg/hari
mg/hari oral).
leucovorin (10–25 mg/hari
oral)
(25–50 dan
oral) Atovaquone (750 mg tiap 6–12 jam) dengan atau tanpa pirimethamin (25 mg/hari oral)+leucovorin (10 mg/hari oral)
TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole. Efek samping pirimetamin ialah timbulnya bercak-bercak merah yang menyebabkan pasien tidak mau meneruskan pengobatannya. Keadaan ini bisa ditangani dengan pemberian antihistamin secara bersamaan. Sulfadiazin juga bisa menyebabkan nefropati karena kristal. Pada pasien yang kritis, yang tidak bisa mengambil obat secara oral, trimethoprim(TPM) intravena 10mg/kg setiap hari bersama sulfamethoxazole (SMX) 50mg/kg setiap hari dapat diberikan.[1] Terapi akut harus lebih dari tiga minggu dan bisa 6 minggu jika bisa ditoleransi. Lebih panjang terapi akut diperlukan pada pasien dengan gejala klinis yang berat dan ada bukti terinfeksi pada foto radiologi. Hampir 65% hingga 90% pasien memberi respon terhadap terapi dengan pirimetamin, leucovorin dan sulfadiazine. Perbaikan klinis secara cepat dapat dilihat setelah memulai terapi yang tepat pada toksoplasmosis serebral akut. Setelah beberapa hari, 3.5% pasien menunjukkan perbaikan neurologis dan 9.1% menunjukkan perbaikan neurologis setelah hari ke empat belas. Perbaikan pada foto radiologi bisa dilihat pada
minggu ketiga terapi. Pada pasien yang tidak ada respon terhadap terapi dalam jangka waktu 10 hingga 14 hari, biopsi harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit limfoma.
Terapi kortikosteroid bisa diberikan pada pasien dengan
kondisi klinis yang memburuk dalam waktu 48jam atau pasien yang pada foto radiologinya terdapat perubahan garis tengah (midline shift) dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Dexametasone (4mg setiap 6jam) paling sering diberikan dan diturunkan dosisnya setelah beberapa hari. Penggunaan steroid pada pasien HIV-AIDS harus hati-hati karena obat ini bisa melindungi infeksi-infeksi oportunistik yang lain. Antikonvulsan dapat diberikan pada pasien yang kejang tapi tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin.[1] Terapi pemeliharaan dilanjutkan untuk mencegah penyakit kambuh kembali. Pasien-pasien yang tidak mendapatkan terapi pemeliharaan setelah mendapat terapi akut sering terjadi kekambuhan. Pasien harus mendapat terapi profilaksis sekunder yaitu dengan terapi pemeliharaan selama 6 minggu setelah terapi fase akut. Regimen terapi fase pemeliharaan sama dengan terapi fase akut, tetapi dosisnya minimal danmemberikan hasil yang efektif.(1) VIII. DIAGNOSA BANDING Diagnosa banding untuk lesi bentuk cincin (ring-enhancing lesions) di otak pada pasien dengan HIV ialah seperti berikut: [1] o o o o o o o o
Toksoplasmosis serebral akut Limfoma sistem saraf pusat primer Tumor otak primer Metastasis otak Penyakit demielinasi (misal: sklerosis multipel) Infeksi (misal : tuberkuloma) Infark multifokal Malformasi vena-arteri Penyebab abnormalitas sistem saraf pusat pada pasien HIV yang sudah
berat (CD4 T sel <50 sel/µL) termasuklah toksoplasmosis serebral (19% dari semua pasien dengan gejala lesi di otak), limfoma sistem saraf pusat primer (4%7%), leukoensefalopati multifokal progresif, HIV ensefalopati dan ensefalitis sitomegalovirus. Infeksi-infeksi dari etiologi lain ialah tuberkulosis, stafilokokkus,
streptokokkus, salmonella, kriptokokkus, histoplasmosis dan meningovaskuler syphilis.[1]
IX. PENCEGAHAN Non farmakologi Pemeriksaan antitoksoplasma IgG antibodi harus dilakukan sebaik mungkin pada pasien yang didiagnosis dengan HIV-AIDS untuk melihat faktorfaktor resiko terjadinya toksoplasmosis akut. Pasien dengan hasil laboratorium seronegatif harus diperiksa ulang apabila jumlah CD4 T sel menurun di bawah 100 sel/µL untuk melihat apakah telah terjadi serokonversi. Semua pasien dengan infeksi HIV harus diberikan edukasi mengenai cara menjaga makanan karena penularan toxoplasma gondii bisa melalui makanan.Jadi makanan yang dikonsumsi terutamadaging harus benar-benar masak (pada suhu 116 derajat celcius). Tangan harus dicuci sebelum dan setelah menyentuh makanan. Buahbuahan dan sayur-sayuran harus dicuci bersih.[1] Hindari menyentuh barang yang kemungkinan terkontaminasi dengan kotoran kucing.Jika ada kotoran kucing, maka harusdibersihkan untuk menghindari maturasi sel-sel telur toxoplasma gondii. Sewaktuberkebun, harus memakai sarung tangan untuk menghindari transmisi toxoplasma gondii yang ada di tanah ke tangan manusia.[1] Farmakologi Pada pasien dengan seropositif, profilaksis primer direkomendasikan pada pasien dengan T gondii seropositif yang memiliki jumlah CD4 T-sel <100/µL dan pada pasien dengan CD4 T-sel <200/µL yang mempunyai infeksi oportunistik atau malignansi.
Profilaksis
dengan
menggunakan
regimen
trimetoprim-
sulfamethoxazole pada pasien dengan jumlah CD4 T sel <100/µL menunjukkan pengurangan risiko terinfeksi toksoplasmosis sebanyak 73%.Pasien-pasien yang tidak mendapat terapi pemeliharaan selepas menjalani terapi fase akut mempunyai kadar kekambuhan antara 50%-80%. Mereka harus mendapat terapi pemeliharaan selepas 6 minggu menjalani terapi fase akut. Insiden infeksi oportunistik termasuk
toksoplasma serebral sudah berkurang,terutama di daerah di mana penggunaan antiretroviral terapi bisa didapatkan. Terapi HAART (Highly Active Anti Retro viral) berhasil mengurangi kekambuhan dan berhasil memperbaiki kualitas hidup pada pasien-pasien HIV. Hal ini dikarenakan terapi itu berhasil menekan replikasi virus dan meningkatkan jumlah CD4+ limfosit yang mana akan turut memperbaiki sistem imunitas pasien.[1] X. PROGNOSIS Jika tidak didiagnosis dan diterapi dengan tepat, toksoplasmosis serebral bisa menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Terapi profilaksis adalah kunci mencegah terjadinya onset penyakit. Dengan adanya terapi HAART (Highly Active Anti Retroviral Terapi), maka insiden kekambuhan infeksi toksoplasmosis serebral dapat dikurangi.[1] XI. KOMPLIKASI Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya adalah: 1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid 2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus 3. Edema otak 4. Herniasi oleh massa Abses otak
\
BAB IV PEMBAHASAN Pada kasus, dari anamnesa didapatkan keluhan utama pasien adalah nyeri kepala seperti dipukul pukul dan semakin memberat setiap harinya. Pasien merupakan penderita hiv/aids dengan jumlah CD4 14 cells. Dari hasil
pemeriksaan psikiatri didapatkan halusianasi auditorik dengan ide curiga, kemudia pemeriksaan neurologis tidak didapatkan adanya penurunan kekuatan otot maupun defisit neurologis lainnya. Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa darah rutin, fungsi ginjal, fungsi hati, gds, dan elektrolit dalam batas normal, akan tetapi dari hasil pemeriksaan serologi torch didapatkan IgG toxoplasmosis dan toxoplasmosis IgG Aviditas yang tinggi. Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling sering terhadap abses serebral pada pasien-pasien ini. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaaan fisik, pemeriksaan psikiatri dan penunjang, pasien dapat didiagnosis abses cerebri toxoplasmosis. Nyeri kepala terus menerus dan semakin bertambah sakit dari sebelumnya Hal ini didukung dengan adanya pernyataan bahwa gejala-gejala peningkatan tekanan itrakranial disebabkan
oleh
tekanan
yang
berangsur-angsur
terhadap
otak
akibat
pertumbuhan tumor sehingga terjadi nyeri kepala. Nyeri kepala yang dihubungkan dengan tumor otak disebabkan oleh traksi dan pergeseran struktur peka nyeri dalam rongga intrakranial. Hal ini dapat diperkuat dengan pasien menderita HIV/AIDS dengan jumlah CD4 14 cells dengan penyakit oppurtunistik toxoplasmosis. IgG Aviditas yang tinggi mengindikasikan bahwa pasein telah lama menderita toxoplasmosis.
Terapi dalam kasus ini diberikan inj dexamethason 1A/6 jam dimana menurut literarur pemberian golongan kortikosteroid diindikasi kan untuk oedema
vasogenik. Pemberian kortikosteroid yang bertujuan untuk memberantas edema otak. Pengaruh kortikosteroid terutama dapat dilihat pada keadaan-keadaan seperti nyeri kepala yang hebat, defisit motorik, afasia dan kesadaran yang menurun. Mekanisme kerja kortikosteroid belum diketahui secara jelas. Beberapa hipotesis yang dikemukakan: meningkatkan transportasi dan resorbsi cairan serta memperbaiki permeabilitas pembuluh darah. Perbaikan sudah ada dalam 24-48 jam. Jenis kortikosteroid yang dipilih yaitu glukokortikoid; yang paling banyak dipakai ialah deksametason, selain itu dapat diberikan prednison atau prednisolon. Dosis deksametason biasa diberikan 4-20 mg intravena setiap 6 jam untuk mengatasi edema vasogenik (akibat tumor) yang menyebabkan tekanan tinggi intrakrania. Pemberian Pirimethamine (200-mg oral dosis inisial, dilanjutkan dengan 50–75 mg/day secara oral) and klindamisin(600 mg intravena [IV] atau oral 4 kali sehari) sesuai dengan guideline, dimana pada kasus ini diberikan primetamin 2x 25 mg dan clindamisin 4x 300 mg.
DAFTAR PUSTAKA 1. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV Infection. Hospital Physician. 2008:17-24. 2. Nissapatorn V. Toxoplasmosis in HIV/AIDS: A Living Legacy. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2009;40(6):1158-70. 3. Madi D, Achappa B, Rao S, Ramapuram JT, Mahalingam S. Successful Treatment of Cerebral Toxoplasmosis with Clindamycin: A Case Report. Oman Med J. 2012;27(5):411-2. 4. Ganiem AR, Dian S, Indriati A, Chaidir L, Wisaksana R, Sturm P, et al. Cerebral Toxoplasmosis Mimicking Subacute Meningitis in HIV-Infected Patients; a Cohort Study from Indonesia. PLOS Neglected Tropical Disease J. 2013:1-6. 5. Communicable Disease Manageent Protocol : Toxoplasmosis. Mantoba Health Public Health. November 2001.
6. Advisory Commitee on the Microbiological Safety of Food: Risk profile in Relation to Toxoplasma in the Food Chain. 7. The Center for Food Security & Public Health: Toxoplasmosis. May 2005. 8. Chapter 2.9.10 TOXOLASMOSIS. OIE Terrrestrial Manual 2008 9. Ir.INDRA CHAHAYA S,Msi. EPIDEMIOLOGI “TOXOPLASMA GONDII”.
BagianKesehatanLingkunganFakultasKesehatanMasyarakat.
Universitasn Sumatera Utara. 10. Yasuhiro Suzuki. Immunopathogenesis of Cerebral Toxoplasmosis. Department of Biomedical Science and Pathology, Virginia. 2002. 11. Pereira-ChioccolaRoberta S. Nogueira, Roberto Focaccia and Vera LuciaOliveira, Adrián V. Hernandez, Francisco Bonasser-Filho,Fabio A. Colombo, José E. Vidal, Augusto C. Penalva de Oliveira. Diagnosis of Cerebral Toxoplasmosis in AIDS Patients in Brazil:
Importance of
Molecular and Immunological Methods Using Peripheral Blood Samples. Journal of Clinical Microbiology. 2005. 12. Sara Mathew George, MD, FRCPath, Ashok Kumar Malik, MD, FRCPath, Fayek Al Hilli, PhD. Cerebral Toxoplasmosis in an HIV Positive Patient: A Case Report and Review ofPathogenesis and Laboratory Diagnosis. Bahrain Medical Bulletin. June 2009. 13. Jose G. Montoya.The Journal of Infectious Diseases.Laboratory Diagnosis of Toxoplasma gondii Infection and Toxoplasmosis, Stanford University School of Medicine, Stanford California. 2002. 14. Dalton Silaban, KikingRitarwan, danRusliDhanu. MajalahKedokteran Nusantara
Volume
41.
DepartemenNeurologi,
FakultasKedokteran
USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Juni 2008. 15. Murat Hökelek, MD, PhD; Chief Editor: Burke A Cunha, MD. Toxoplasmosis Workup,Medscape.Diunduh dari:http://emedicine.medscape.com/article/229969-workup 16. Sushrut Kamerkarand Paul H. Davis. Toxoplasma Brain:Understanding Infection. August 2011.
Host-PathogenInteractions
in
on
Chronic
the CNS