BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Keracunan memiliki dampak negatif, baik terhadap kesehatan maupun sosial-ekonomi. Keracunan akut maupun kronis akan menimbulkan gangguan kesehatan, misalnya kegagalan pernapasan dan paralisis akibat keracunan insektisida antikolinesterase, serta gangguan hepar dan gagal ginjal akibat keracunan asetaminofen. Gangguan kesehatan yang dialami oleh korban keracunan, secara sosial-ekonomi akan mengakibatkan penderitaan (rasa sakit), penurunan produktivitas dan pendapatan, serta peningkatan biaya perawatan kesehatan (DiPiro dkk., 2008). Kasus keracunan banyak terjadi di masyarakat, baik berupa kasus individu maupun massal. Kementerian Kesehatan RI melaporkan bahwa kasus keracunan pada tahun 2010 memiliki kontribusi sebesar 0,62% dari total jumlah korban yang timbul akibat kejadian bencana (Anonim, 2011a), sedangkan pada tahun 2011 jumlah korban akibat keracunan meningkat menjadi 4,88% dari total jumlah korban bencana (Anonim, 2012a). Data rekapitulasi kejadian keracunan beserta jumlah korban keracunan selama tahun 2010 dan 2011 disajikan dalam Tabel 1. Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa jumlah korban keracunan di Indonesia pada periode tahun 2010 dan 2011 mengalami peningkatan dari 640 orang menjadi 702 orang atau meningkat sebesar 9,69%.
1
Tabel 1. Rekapitulasi kejadian dan jumlah korban keracunan tahun 2010 dan 2011 (Anonim, 2011a); (Anonim, 2012a)
Tahun 2010 2011
Jenis Bencana Keracunan KLB keracunan makanan
Jumlah Provinsi 5 5
Jumlah Korban Rawat Rawat Meninggal Inap Jalan 4 317 319 4 412 286
Dalam Tabel 1 disebutkan bahwa kejadian keracunan dilaporkan oleh 5 provinsi di Indonesia, namun dalam rekapitulasi tersebut tidak dinyatakan secara terperinci provinsi pelapor (Anonim, 2011a); (Anonim, 2012a). Jumlah kasus keracunan di atas merupakan data yang dilaporkan ke Kementerian Kesehatan RI, dimana angka hasil laporan hanya menunjukkan gambaran sebagian kecil dari seluruh kasus keracunan yang sebenarnya terjadi. Hal ini dapat terjadi karena adanya prevalensi yang tersembunyi, misalnya kasus keracunan kronis yang dialami di tempat kerja yang tidak disadari oleh para pekerja yang bersangkutan, kasus keracunan individu yang tidak dilaporkan, serta kasus keracunan ringan yang tidak memerlukan penanganan medis di rumah sakit (Supraptini, 2002). Tingginya peningkatan jumlah korban keracunan dari tahun ke tahun mendorong dilakukannya penelitian untuk mengidentifikasi jenis agen toksik penyebab keracunan yang banyak terdapat di sekitar masyarakat serta karakteristik pasien keracunan yang dirawat di rumah sakit. Sedangkan semakin tingginya biaya pemeliharaan kesehatan merupakan alasan dilakukannya penelitian untuk mengetahui besarnya biaya medis langsung, khususnya dalam penatalaksanaan kasus keracunan.
2
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien keracunan, antara lain oleh Chen (Chen dkk., 2010) dengan perolehan data berupa rasio pria:wanita (1:1,04), usia rata-rata pasien keracunan (33,8 tahun), serta agen toksik penyebab keracunan yang meliputi alkohol (54,55%), terapi obat (25,95%), pestisida (5,65%), dan penyalahgunaan obat (4,88%). Selain itu, Yuantari (Yuantari, 2009) juga telah melakukan penelitian yang lebih spesifik mengenai kasus keracunan pestisida pada petani dan memperoleh hasil bahwa sebagian besar responden dengan usia produktif dan tingkat pendidikan tamat SD mengalami keracunan pestisida. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Afriyanto (Afriyanto, 2008) yang menyimpulkan bahwa salah satu faktor resiko yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida pada petani adalah variabel pengetahuan sikap. Penelitian oleh Yuantari (Yuantari, 2009) mengenai studi ekonomi lingkungan pada penggunaan pestisida menyimpulkan bahwa sebagian besar responden petani merasa mahal untuk biaya pengobatan atas keracunan yang dialami. Mahalnya biaya terapi ini perlu dianalisis lebih lanjut karena berdasarkan hasil penelitian Nurlaila (Nurlaila dkk., 2005), penatalaksanaan terapi pada beberapa kasus keracunan masih kurang tepat meskipun keberhasilan terapi tercapai 100%. Di Indonesia, pembiayaan kesehatan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kenaikan biaya kesehatan terjadi akibat penerapan teknologi canggih, karakter supply induced demand dalam pelayanan kesehatan, pola pembayaran tunai langsung ke pemberi pelayanan kesehatan, pola penyakit kronik dan
3
degeneratif, serta inflasi. Kenaikan biaya pemeliharaan kesehatan semakin sulit diatasi oleh kemampuan penyediaan dana pemerintah maupun masyarakat (Andayani, 2013). Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu alat untuk mendeskripsikan dan menganalisis
biaya
Farmakoekonomi
terapi
digunakan
obat untuk
pada
sistem
pelayanan
mengidentifikasi,
kesehatan.
mengukur,
dan
membandingkan antara biaya yang dikeluarkan dan konsekuensi yang meliputi klinis, ekonomi, dan humanistic produk serta jasa kefarmasian (Bootman dkk., 2005). Dalam kajian farmakoekonomi, biaya selalu dikaitkan dengan efektivitas terapi, dan lama tinggal pasien di rumah sakit (Length of Stay/LOS) merupakan salah satu parameter outcome untuk menilai efikasi terapi. Alasan tersebut mendasari Banerjee (Banerjee dkk., 2011) untuk melakukan penelitian dalam mengevaluasi
penatalaksanaan
terapi
pada
kasus
keracunan
insektisida
organofosfat dengan menetapkan LOS sebagai salah satu parameter yang diukur. Penelitian ini dilaksanakan di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten dan RSUP dr. Sardjito Yogyakarta karena lokasinya relatif berdekatan sehingga diharapkan memiliki kondisi sosiodemografi pasien yang relatif sama. Selain itu, kedua rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit vertikal milik pemerintah pusat sehingga diasumsikan jenis obat yang digunakan relatif sama, yaitu berupa obat generik. Dengan demikian, perbedaan biaya terapi relatif tidak signifikan. Di samping itu, analisis biaya dilakukan berdasarkan standar INA-CBG dalam hal tarif pelayanan dan rerata lama tinggal di rumah sakit (ALOS) untuk pasien
4
Jamkesmas, dimana sebagian besar pasien di kedua rumah sakit tersebut merupakan peserta Jamkesmas.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, akan diteliti beberapa permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana karakteristik pasien keracunan?
2.
Apa saja agen toksik penyebab keracunan?
3.
Bagaimana hubungan antara karakteristik pasien dengan jenis agen toksik penyebab keracunan?
4.
Bagaimana hubungan antara ketepatan penatalaksanaan terapi keracunan dengan biaya medis langsung dan lama tinggal pasien di rumah sakit (LOS)?
C. Keaslian Penelitian Penelitian yang dilakukan di Cina oleh Chen (Chen dkk., 2010) melaporkan data karakteristik pasien keracunan di Instalasi Gawat Darurat berupa rasio pria:wanita, usia rata-rata, serta agen toksik penyebab keracunan berupa alkohol, pengobatan (medication), pestisida, dan obat (drug). Di Indonesia, penelitian untuk memperoleh gambaran karakteristik pasien keracunan pestisida antara lain dilakukan oleh Yuantari (Yuantari, 2009) dan Afriyanto (Afriyanto, 2008) yang melaporkan data karakteristik pasien keracunan pestisida berupa kelompok usia pasien, tingkat pendidikan, serta faktor resiko yang berpengaruh terhadap terjadinya kasus keracunan pestisida.
5
Ketepatan penatalaksanaan terapi kasus keracunan telah dievaluasi oleh Nurlaila (Nurlaila dkk., 2005) dan menyimpulkan bahwa penatalaksanaan terapi keracunan pada pasien rawat inap relatif cukup baik meskipun pada beberapa kasus penatalaksanaannya kurang tepat. Ketidaktepatan tersebut terutama dikarenakan pemeriksaan laboratorium yang kurang lengkap serta pemilihan terapi yang tidak tepat. Sementara itu, hasil penelitian ekonomi lingkungan yang dilakukan oleh Yuantari (Yuantari, 2009) menyimpulkan bahwa pasien keracunan pestisida merasa mahal untuk membayar biaya pengobatan. Dari beberapa penelitian terdahulu, belum dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pasien dengan jenis agen toksik penyebab keracunan, serta hubungan antara ketepatan penatalaksanaan terapi pada kasus keracunan dengan biaya medis langsung dan lama tinggal di rumah sakit (LOS).
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini memberikan informasi mengenai karakteristik pasien keracunan, jenis agen toksik penyebab keracunan, ketepatan penatalaksanaan terapi keracunan, hubungan antara karakteristik pasien keracunan dengan agen toksik penyebab keracunan, serta hubungan antara ketepatan penatalaksanaan terapi keracunan dengan biaya medis langsung dan lama tinggal pasien di rumah sakit yang berguna dalam pengembangan ilmu toksikologi dan farmakoekonomi. Selain itu, peneliti dapat lebih memahami dan mendalami ilmu toksikologi dan
6
farmakoekonomi yang diperoleh pada Program Magister Ilmu Farmasi melalui penerapan penelitian di rumah sakit.
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui karakteristik pasien keracunan;
2.
Mengetahui berbagai jenis agen toksik penyebab keracunan;
3.
Mengetahui hubungan antara karakteristik pasien dengan jenis agen toksik penyebab keracunan;
4.
Mengetahui hubungan antara ketepatan penatalaksanaan terapi keracunan dengan biaya medis langsung dan lama tinggal pasien di rumah sakit (LOS).
7