Aam Amrullah
Kutemukan Cinta di Mesjid Impian
Penerbit Nulisbuku.com
Kutemukan Cinta di Mesjid Impian Oleh: (Aam Amrullah) Copyright © 2012 by (Aam Amrullah)
Penerbit (Nulisbuku.com) (www.nulisbuku.com) (
[email protected])
Desain Sampul: (Aam Amrullah)
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Ucapan Terimakasih:
BISMILLAHIRROHMANNIRROHIM
ALHAMDULILLAH, FOR MY FAMILY AND BEST FRIEND ESPECIALLY FOR TANZ EDOGAWA THANK’S FOR YOUR IDEA.
(For my best friends:‘TANZ EDOGAWA dan ‘Mesjid Impiannya’)
3
Mesjid adalah tempat suci, berada didalamnya sungguh menyejukkan. Impianku berada di Masjidil Haram tempat kiblat sholatku dan tempatku mendekatkan diri bersama-Nya. Tempat yang tenang karena didalamnya tiada kata selain memuja-Nya tiada perbuatan selain untuk menyembah-Nya dan tiada yang membebani urusan duniawi selain mengejar akhirat dan menemukan keridhoan-Nya. Mesjid yang menjadi impian semua orang untuk berada disana melaksanakan rukun Islam yang terakhir, itulah Mesjid Impian setiap muslim.
4
DAFTAR ISI I.
Impian Zaenab
II.
Tempat Kuliah Iman
III.
Perjalanan Pulang
IV.
Awal baru yang Indah
V.
Pengakuan yang mengejutkan
VI.
Filosofi Abah
VII.
Sosok Azam
VIII. Impian tidak selalu persis seperti kenyataan IX.
Kumpulan Puisi 2009-2010 -Bonus Sms lebaran -Kata-kata mutiara -Profil
5
I. Impian Zaenab
“suara adzan berkumandang begitu syahdu, disini di mesjid impianmu ini akan kuteruskan impian abah „tuk menegakkan kalimat tauhid di bumi Alloh ini.”
Tak terasa sudah menginjak 20 tahun lebih mesjid impian kami berdiri tegak. Mesjid yang didirikan atas sumbangsih semua warga. Aku, Zaenab kini beranjak dewasa seperti baru kemarin saja abah meninggalkan kami berempat, kakakku yang pertama kak Sarah telah berkeluarga dan kini ia menetap di daerah Subang bersama suaminya. Abah meninggal di usianya yang menginjak 80 tahun lebih telah banyak mengenal asam garam kehidupan dan juga mengajari kami anak-anaknya untuk terus bersabar dan bersabar. Karena hanya bersabarlah semuanya akan menjadi indah pada saatnya. Dengan kesabaran juga Abah menutup usia bagai tidur nyenyak seorang balita, ya dalam sholatnya Abah telah dipanggil sang maha pencipta. Waktu itu baik Ummi maupun aku dan Iman tidak pernah merasa pertanda atau sesuatu atas kepergian Abah. Hanya keihlasan Ummilah yang membuat aku dan 6
Iman tabah menjalani kehidupan ini tanpa adanya Abah. Tinggal aku, adikku Iman juga Ummiku yang masih tetap tegar dan sabar mengurus kami walau abah tak ada mendampingi. Abah adalah sosok yang sederhana semenjak kecil tinggal di sebuah desa Cimanggung yang letaknya jauh dari perkotaan, suasana pedesaan yang asri dengan hamparan persawahan yang hijau menguning bak permadani. Rumah Abah kecil dulu hanya berupa ‘gubuk kecil’, rumah yang jika dinilai jaman sekarang kurang layak bahkan jauh dari mewah, merupakan istana yang megah bagi Abah dan keluarga. Abah adalah anak tertua dari lima bersaudara. Tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Sementara sosok ayah Abah atau kakekku orang yang sangat tegas dan mandiri. Sosok yang disegani di desa, kakekku bernama Riswan Azzam sedangkan abah bernama Abdullah Khair, kakek menikah dengan nenekku Siti Nur Sifa pada usia mereka yang terbilang masih muda. Sudah menjadi keharusan disebuah desa ketika remaja atau anak sudah mencapai akil baligh maka mereka harus dinikahkan dan begitu pula yang dialami kakek dan nenekku ini. Sementara kehidupan di desa hanya bergantung pada sawah hasil garapan saja, terkadang hanya memiliki bagian setengah dari hasil panen tiba. Karena harus berbagi dengan pemilik ladang.
7
Alhamdulillah, walaupun serba kekurangan tapi mereka tetap tawakal dan hidup ala kadarnya saja, bahkan untuk sekolah saja Abah hanya sampai tamatan sekolah dasar karena tidak mampu membiayai sampai tingkat paling atas. Walau begitu Abah tidak berkecil hati, ia mengerti keadaan orangtuanya. Abah sebenarnya cerdas dan cepat tanggap, ia bahkan hatam Al-Qur’an ketika berusia delapan tahun dan hapal Al-Qur’an semenjak berusia sepuluh tahun. Kalau aku sendiri menghapal satu suratpun sekarang susahnya minta ampun. Mungkin karena terlalu condong kearah keduniawian dan mengabaikan akhirat jadinya tidak hapal-hapal. Kata Abah kunci untuk menghapal Al-Qur’an adalah dengan cara mentadaburinya bukan hanya membaca tapi harus mengerti dan memaknai setiap arti dari ayatnya. Memang sulit juga apalagi pekerjaan tiap hariku yang berkutat dengan komputer semakin menjauhkanku dari hapalan ayat suci. Ingin rasanya seperti dulu ketika masih kecil, aku masih ingat ketika masih duduk di bangku sekolah dasar mungkin kelas dua, Abah setiap hari mengetesku hapalan surat-surat kecil atau Juz Amma dan aku selalu paling jago hapalannya ketimbang kakak dan adikku walaupun dulu aku belum mengerti artinya tapi aku sungguh merasakan kedekatanku dengan sang pencipta dengan hapalan ayat suci. Hati ini serasa tentram dan tiada pikiran-pikiran yang negatif atau merasa was-was akan sesuatu. Semuanya serasa tenang dan damai mengalir bagai air dan menentramkan bagai kehangatan mentari di pagi hari. 8
Sekarang baru terasa penyesalanku atas kepergian Abah, tiada lagi yang mengetes hapalan surat-surat itu, tiada lagi ketentraman batin itu dan sungguh sulit sekali ketika kita harus menghapal saat usia dewasa. Karena pikiran kita menjadi terpecah-pecah dengan pekerjaan belum urusan-urusan tetek bengek lainnya yang selalu menghalangi menghapal satu ayat saja. Abah pernah berkata ketika kamu nanti berumah tangga apa yang akan kamu ajarkan nanti pada anakmu kalau mengahapal surat pendek saja kamu lupa nab. Padahal dulu kamu jagoan Abah untuk hapalan surat sekarang kamu jadi pelupa. Aku merasa malu dan marah pada diriku sendiri saat itu, walau sekarang aku sering membaca dan mengikuti pengajiaan rutin setiap harinya tapi hapalan itu tidak pernah lekat lama paling bertahan seminggu terkadang dua jam kemudian sudah menghilang dan yang terbayang pekerjaan besok bagaimana?.
Abah memang benar, ketika beranjak dewasa untuk menghapal sesuatu bagai menulis di atas air cepat menghilang tetapi ketika kita kecil ingatan kita bak menulis diatas batu terus terukir dan terparti sampai mati. Tapi sekarang ketika aku beranjak dewasa semuanya serasa kabur, terkadang hanya sedikit atau setengah bagian saja dari ingatan masa kecilku yang aku ingat sampai sekarang dan terkadang pula hanya potongan-potongan dari kisah diriku saat kecil saja yang aku ingat sampai sekarang. Berbeda dengan Iman adikku ia cepat hapal walau membaca sekali 9
saja, mungkin itu anugerah dari yang maha kuasa, padahal dari kecil hapalannya jelek sekali dan sering kena marah Abah. Setiap habis sholat Maghrib Abah sudah siap dengan lidinya ketika kami sudah berkumpul satu persatu akan membaca tiap ayatnya sampai Abah bilang berhenti. Kami bertiga merasa takut terkena lidi Abah yang lumayan sakit seperti kak Sarah sering bilang karena ia pula yang sering terkena lidi Abah. Disatu sisi cara mengajar Abah membuat kami was-was akan terkena lidi-nya tapi disisi lain adalah bentuk kasih sayang Abah agar kelak di Yaumil Akhir tugasnya mengajarkan AlQur’an terselesaikan meskipun akhirnya kami lancar membaca di mesjid dan diajarkan Ustadz Soleh masih kerabat Abah pula yang tinggal 200 meter dari rumah kami. Mungkin ada hikmahnya juga ketika di rumah Abah akan mengajar dengan sistem paksa tetapi jika memilih di mesjid maka suasananya lebih menyenangkan dan santai. Meskipun begitu Abah tetap mengetes kami bertiga untuk melihat kemajuannya. Abah juga pernah bercerita ketika remaja ia sempat diajar oleh seorang ustadz tentang ilmu Fiqih dan sempat menjadi muridnya beberapa bulan. Ustadz itu sangat berkesan pada Abah karena Abah cepat tanggap dan cerdas kalau saja beliau masih hidup, beliau pasti menyekolahkan Abah ke pesantren dan Abah mungkin sekarang sudah menjai da’i terkenal bahkan lebih terkenal dengan da’i lainnya tapi mungkin Abah tidak akan bertemu Ummi dan tidak 10
akan melahirkan aku. Rencana Tuhan memang tidak ada yang mengetahui, ketika Abah menikahi Ummi ia kemudian hijrah ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih layak lagi karena adikadiknya juga nanti akan berkeluarga dan saat pindah Kakek dan Nenekku telah meninggal terlebih dahulu kemudian rumah dan sawah garapan diserahkan pada adik-adik abah. Walau begitu hubungan persaudaraan tetap dijaga Abah sampai akhir hayatnya ia selalu menyempatkan waktu untuk sekedar berkunjung ke desa baik sendiri maupun sekeluarga bersama ketika hari libur tiba. Di kota dulu didaerah Bandung mungkin sekitar tahun delapan puluhan khususnya masih banyak terdapat pepohonan dan bunga-bunga bermekaran disetiap sudut kota, pantas saja banyak orang menjulukinya sebagai Paris Van Java karena keasriannya. Tetapi sekarang dengan seiring jaman bergulir akan kemajuan satu persatu pepohonan mulai tumbang dan digantikan dengan gedunggedung tinggi menghiasi sudut kota. Bandung sekarang berubah drastis menjadi kota yang tidak asri kembali. Banyak gedung-gedung tua yang tidak terpakai dan dibiarkan begitu saja bahkan alun-alun kota sekarang tidak sesegar dulu meskipun sekarang sudah di bangun kembali menjadi lebih modern, banyaknya sampah berserakan dimana-mana yang menjadi persoalan pelik perkotaan menambah deretan kesemrawutan sebuah kota besar seperti Jakarta yang udaranya sangat panas. Walaupun lahan hijau di 11
Bandung masih banyak tapi aku khawatir lama kelamaan akan habis bahkan musnah seiring perjalanan waktu. Aku masih ingat dan menjadi hal yang tak terlupakan ketika Abah mengajak kami sekeluarga ke kebun binatang Bandung dari rumah dengan berjalan kaki, ya berjalan kaki bayangkan saja jaraknya yang cukup jauh belum rasa haus saat itu, tetapi kami sungguh senang apalagi hari libur banyak orang-orang bertamasya dan keluarga kami salah satunya. Walau dari rumah kami berjalan sampai ke tujuan namun saat itu di sekitar Bandung masih berjejer pepohonan yang rindang dan berjalanpun sangat menyehatkan kalau dibandingkan saat ini berbeda jauh sekali , jarak seratus meter saja aku enggan berjalan diteriknya matahari menyengat padahal masih jam delapan pagi tapi panasnya seperti pukul dua belas siang belum lagi debu dan polusi menyesakkan nafas. Lebih baik diam dirumah dan tidak kemana-mana. Abah bekerja sebagai seorang wiraswasta, bekerja membuat kursi atau lemari bahkan menjadi pegawai bangunanpun ia geluti demi sesuap nasi dan menyekolahkan kami sampai setingi-tingginya. Ia juga seorang yang dermawan dibalik wajahnya yang serius tersimpan hati seorang muslim yang mengasihi sesamanya bahkan tetangga dekat kami selau Abah bantu sebisa mungkin ia mampu walaupun dengan pendapatan pas-pasan, Abah selalu menyisihkan uangnya untuk keperluan sosial sampai impiannya 12
untuk mendirikan sebuah mesjid. Ya mesjid impian Abah, impian yang selalu menghantuinya selama ia hidup. Ia merasa takut kalau Tuhan akan memanggilnya sebelum impian mendirikan mesjid terlaksana maka usahanya mengumpulkan pendapatannya menjadi sia-sia. Tapi Alhamdulillah dengan do’a dan usahanya ia berhasil mengumpulkan sedikit demi sedikit penghasilannya untuk mendirikan sebuah mesjid. Mesjid yang nantinya akan ia sumbangsihkan pada warga disekitar untuk saling mempererat tali silaturahim umat muslim disekitar lingkungan kami dan memperdalam ajaran Islam. Sungguh suatu impian yang mulia walau memiliki tempat tinggal kecil yang jauh dari sederhana yang sering Abah sebut’gubug bilal’ tapi aku sangat tentram dan menikmati tinggal dirumah kecil kami. Abah tidak pernah mengajarkan bahwa dengan bahagia tidak selalu harus diukur dari kekayaan materi tapi dari kekayaan hati. Hati yang tulus ikhlas saling membantu sama lain tanpa harus membebani merupakan suatu karunia yang tiada tara. Abah kemudian membeli tanah kosong dibelakang rumah walau hanya luas beberapa meter persegi tapi itu adalah suatu kebanggaan untuk Abah untuk mendirikan sebuah masjid dari hasil kerja kerasnya. Bahkan ketika aku belum dilahirkan ke dunia ini saat berjualan satu set kursi Abah panggul dengan kedua tanggannya dari jarak ribuan kilometer, tak terbayang bagaimana kuatnya Abah jaman dulu. Dengan kerja keras Abah saat itu sampai membeli sebuah motor vespa berwarna biru yang dibelinya 13
dari orang lain. Meskipun bukan motor baru tetapi aku merasa bangga saat itu begitupun Abah terlihat dari matanya yang berbinar atas usaha kerja kerasnya selama ini. Kalau dibandingakan dengan aku sulit rasanya untuk berinvestasi. Hari-hari dimana Abah mendapatkan motor antiknya itu menyenangkan begitupun dengan Ummi kami selalu diantar ke sekolah dengan vespa Abah setiap harinya tetapi Abah hanya sempat memilikinya beberapa bulan karena saat kak Sarah mau melanjutkan ke SMP motor vespa antik Abah harus dijual untuk biaya masuk ke sekolah. Dengan berat hati motor itupun pergi demi kelangsungan pendidikan anak-anak Abah termasuk aku. Akupun sempat merengek ketika vespa Abah akan dijual tetapi dengan hangatnya Abah berkata kepadaku agar aku merelakannya dan untuk terakhir kalinya Abah mengajakku berkeliling kota, akhirnya akupun merelakan vespa Abah dijual untuk sekolah kak Sarah juga aku dan Iman. Untuk Abah sekolah adalah nomor satu dan menjadi prioritas paling penting untuk masa depan anakanaknya dan Abahpun rela membanting tulang untuk mengusahakan biaya sekolah kami sampai akupun tamat perguruan tinggi meskipun sampai tiga tahun tapi aku merasa bersyukur karenanya, karena tanpa Abah tidak mungkin aku menjadi sampai sekarang. Kalau melihat orang lain belum tentu aku akan seberuntung mereka, bisa jadi aku disuruh menjadi pengamen atau pemulung oleh orang tua mereka atau
14
bahkan lebih buruk lagi menjadi yang diharamkan oleh Alloh. Aku semasa kecil memang kurang banyak bergaul bahkan jika dibandingkan dengan kak Sarah atau Iman adikku lebih banyak mereka. Pantas aku sering di cap ‘kuper’ alias kurang pergaulan oleh kak Sarah. Meski begitu sahabatku dari kecil Dita selalu setia bermain denganku sampai kami SMU. Dita satusatunya sahabat karibku yang mengetahui aku luar dalam, rumahnyapun tidak jauh beberapa blok dari tempat tinggalku. Ada juga Sita, Desi dan Ratmi kami semua selalu bermain loncat tinggi kala itu dengan karet yang diikatkan satu dengan yang lainnya. Permainan yang mungkin jarang dimainkan saat ini menginggat lapangan luas sekarang sangat sulit dicari. Belum lagi bermain congkak atau biji tanjung yang mengkilap warnanya, aku sering merasa heran kenapa biji tanjung warnanya mengkilap. Dita memang teman dan sekaligus sahabat yang tidak akan tergantikan meski sempat saat SMU aku dan Dita mengambil sekolah yang berbeda tapi kami selalu bertemu baik saat pergi maupun pulang sekolah. Meski begitu saat lulus Dita terpaksa harus pergi ke Jogja untuk kuliah di UGM, ia siswi yang pintar bahkan saat ujian nasional ia meraih nilai terbaik di seluruh Kota Bandung. Berat rasanya berpisah dengan sahabatku ini. Walau dirumah ada kak Sarah dan Iman tapi tanpa Dita rasanya kurang lengkap. Dalam urusan cintapun Dita selalu menjadi 15