A. Rita
Penerbit
Karya Cinta
Kenangan Perjalanan Jauh
Oleh: A. Rita Copyright © 2014 by A. Rita
Penerbit (Karya Cinta) (karyacinta-rita.blogspot.com) (
[email protected])
Desain Sampul: (A. Rita ) Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com 2
Look at these eyes, we know each other like our own skin and bone Look at these scars, how they got where they are in places no one else know -up in the stars
This book is dedicated to : My First, My Last “If you read this, you’ll know how much I love you” REMEMBER ME
3
Cermin Padang, Desember 2010… Tubuhku menghempas lantai dengan keras. Aku tidak bergerak beberapa saat, sampai penglihatanku yang terpecah seperti kaca retak menyatu kembali. Dan pintu sudah terbuka, Mama menghambur masuk, membantuku berdiri. Aku mulai meraba-raba mencari tempat berpegangan yang kokoh selain dari ibuku yang kehilangan dayanya karena melihatku jatuh. Dan dia tidak cukup kuat menahanku. "Kamu nggak apa-apa?", tanya dia, sambil memandangi lututku yang dibalut kain elastis berwarna coklat –tanda nyeri yang membuatku tertatih-tatih. Sejak tanda itu ada, aku harus terjatuh sampai 4 kali dengan cara yang sama. Pantatku mendarat duluan sampai rasanya tulang panggulku akan bergeser. Tapi, aku berhasil melindungi kakiku, sebelum aku benar-benar menjadi tidak berguna selamanya. Aku menghela nafas panjang, berpegangan pada tongkatku. Aku memandang wajahku yang menyedihkan di kaca yang seakan meledekku. Inilah kenyataan yang kamu benci, Diza. Dan di belakang bayanganku, aku melihat Alan yang sedang berdiri. Memandangku dengan tatapan dingin 4
yang biasa ia perlihatkan padaku. Aku memejamkan mataku, mengatur nafasku; dia sudah pergi ketika aku membukanya. Mama memapahku keluar. Membantuku duduk di sisi tempat tidur. Pintu tertutup, Mama pergi setelah memastikan aku tidak akan jatuh lagi. Sejak aku pulang ke rumah dengan tongkat sialan ini, aku selalu menyusahkannya. Andai saat itu aku mendengarkannya, mungkin aku masih akan bisa berlari dan berenang di dasar laut –mengarungi dunia tanpa suara itu. --Aku kembali memandang bayanganku pada kaca lemari yang ada di depanku. Bayangan itu meronta, memukul-mukul kaca dan menatapku marah. Sekali, aku memalingkan wajahku darinya, aku tidak dapat menahan rasa sakit di dadaku yang tercabik. Pernahkah kamu merasa terluka tanpa disadari dan itu membuatmu selalu ingin menangis? Ya, bayangan di cermin yang ada di depanku sekarang, tengah menangis. Aku bangkit dari sisi tempat tidur. Melangkah pelan, menghampirinya. Untuk mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja. Semua sudah berakhir. Aku sudah pulang ke tempat di mana seharusnya aku berada. Meski begitu, ketika aku menoleh ke belakang, 5
rasanya aku melihat hamparan pasir dan kedua temanku yang melambaikan tangannya, memanggil. Aku menggeleng sambil tersenyum pada mereka. Aku tertunduk lalu kembali menatap cermin. Dan mengatakan sekali lagi pada diriku, bahwa aku baikbaik saja. --“Diza?”, suara Mama yang memanggil dari balik pintu, mengembalikan suasana kamar sunyi yang membingkai aku yang berdiri di dekat jendela. Pintu terkunci. Aku tidak menjawab. Aku kembali ke halaman rumah yang membosankan dari seberang jendela. Dan suara Mama tak lagi terdengar. Mungkin mengira, aku tidur lagi –karena hanya itu yang bisa kulakukan sekarang. Kamar ini tidak terlalu besar, tapi kekosongan dalam jiwaku membuat ruangan ini menjadi luas hingga rasanya aku ingin berlari, berputar dan menari, dengan memperhatikan bayangan hitamku di lantai. Untuk mengingat, bahwa dulu aku tidak peduli dengan langkahku yang cepat dan membawaku ke mana pun yang aku inginkan. Aku hanya memikirkaan tempat untuk lari. Lari dari kenyataan. Lari dari Alan. Hingga malam naas itu mengirimku pulang –ditambah dengan sebuah tongkat yang sekarang menuntun langkahku yang terseok. Kamar ini telah menjadi saksi kepedihan pada tahuntahun yang aku rasakan dulu. Aku masih ingat sudut 6
di mana aku menangis karena kesepian dan terluka. Aku masih ingat saat aku tertawa sendiri dan melompat kegirangan di depan cermin. Dan… aku masih ingat sewaktu aku mengambil tas di sudut lemari dan memasukan beberapa helai pakaian dengan terburu-buru. Siang itu cerah, ayah dan ibuku tengah bercengkrama di halaman belakang. Dari dapur, dapat terdengar suara tawa mereka yang bercerita soal kelakuan lucu kedua keponakanku –Sarah dan Amar. Aku mengendap-endap memastikan bahwa mereka tidak akan mendengar suaraku membuka pintu depan hingga aku berlari secepat yang aku bisa sebelum menghilang di ujung gang. Mana aku tahu, malam ketika mereka pikir aku akan keluar dari kamar, karena kakak perempuanku – Rana, membawakan mie ayam kesukaanku, ibuku menangis. Aku pergi tanpa pamit, sama seperti saat aku menghilang dan semua orang mengira aku sudah mati dalam tragedi setahun yang lalu. Tapi, sekarang, aku kembali. Kembali dengan semua ini… Aku berharap menemukan orang lain yang menghentikan kelancangan angan-anganku yang berlebihan dan gila. Dan aku tidak pernah melewatkan kesempatan sekecil apapun untuk melepaskan diri darinya, walau hanya sedetik aku bernafas di luar eforia yang merobek diriku menjadi dua bagian. Yaitu aku yang realistis pada keadaanku 7
yang sekarang, Sedangkan sobekan yang lain masih terus mencintainya dan berharap dia akan datang… Aku ingin punya pekerjaan lagi dan tenggelam di dalamnya selama mungkin. Tapi, membayangkan bersabar adalah kunci dari pintu masuk dunia yang kurindukan, aku semakin tidak tentram. Karena ketika aku lebih banyak diam, dia kembali datang, membuatku teringat pada kehancuran diriku sebagai maha karyanya yang sempurna. Aku Gadiza Raim, aku 22 tahun sekarang. Setidaknya aku sudah lebih dewasa dari pertama kali bertemu dengannya. Dan ketika mengingat bagaimana gilanya aku tentang dia, mungkin kamu akan menggelengkan kepala dan berpendapat bahwa aku seorang pembohong. Tidak, percayalah. Tidak ada kebohongan dalam cinta yang tulus –percaya atau tidak. Kamu pasti mendapatkan apa yang pantas untuk kamu dapatkan. Aku seorang pembicara yang baik, aku berusaha mengungkapkan apa yang benar di balik kesalahan yang pernah kulakukan dengan cara yang masuk akal. Aku tidak pernah berharap orang akan mempercayaiku, tapi ini adalah kenyataan hidupku. Ini adalah kisahku. ----
8