TENTANG CINTA karya : Naura Laily
1. Friday I'm in Trouble -FannyFanny terkantuk-kantuk mendengar atasannya, Pambudi Suteja, a.k.a Pak Budi, bercuapcuap tentang rencana kerja sama dgn sjumlah perusahaan seperti PT Indigo Company, PT Starlight Indonesia, dan PT Surya Persada Jakarta. Sbenarnya, masih ada dua perusahaan lg yg akan diajak kerja sama, tp Fanny acuh tak acuh dgn smua pembicaraan dlm rapat. Dia bersikap begitu karna bosnya adalah orang yg menyebalkan. Dia tdk menaruh respek kepada pria itu. Jika berbicara kpada Fanny, suaranya sok dibuat lembut dan itu membuatnya risi. Selama sbulan pertama kerja, dia mengamati tingkah bosnya itu, apakah dia berbuat hal yg sama trhadap karyawan yg lain. Dan, stelah satu bulan brlalu, jawaban yg didpt adalah tidak. Itu berarti bosnya memperlakukan Fanny secara 'spesial'. Kalau saja Pak Budi bkn bosnya, dia sudah menjulukinya si Tambun karna tubuhnya bulat dan pendek. Fanny malas menyimak jalannya rapat. Kertas catatannya dipenuhi dgn coretan2 tdk berarti yg sengaja dia buat untuk mengusir rasa kantuknya. Sementara matanya sudah demikian berair lantaran berkali2 menguap. Namun berkali2 itu pula, Fanny dgn sekuat tenaga harus menyembunyikannya. Entah itu dgn tdk membiarkan mulutnya terbuka atau dgn berpura2 menduduk. 'Aduh, ngantuk bnget,' ucapnya dlm hati sambil menambah sejumlah coretan lg disudut bawah kertasnya. Permen. Ya, itulah yg terpikir olehnya untuk membuat dirinya tetap terjaga. Fanny menegakkan tubuhnya, lalu merogoh saku blazernya dgn harapan menemukan sbungkus permen yg mungkin saja pernh dia selipkan tanpa sadar sbelumnya. Sayangnya, dia tak menemukan satu pun. Fanny kembali disergap rasa kantuk. Perkataan bosnya seperti alunan lagu super slow 'Save the Best for Last' Vanessa William yg akan membuat kepalanya terkulai lemas diatas meja
dan matanya terpejam dgn sangat rapat. Kelopak mata Fanny terasa smakin berat dan itu menyiksa dirinya. Namun ditengah siksaan itu, muncul kenikmatan tersendiri yg melenakannya selama sesaat. Rasa itu begitu kuat sehingga dia tdk sanggup melawannya. Tiba2, ada sbuah lengan besar yg menyodok sikunya. Sodokan itu ternyata mampu membuat keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Kelopak matanya mendadak terasa ringan. Refleks Fanny menoleh ke kanan, kearah Bayu-salah seorang rekan kerjanya- yg telah berhasil membawanya kembali kealam nyata. Pria itu mengucapkan sbuah kata hanya melalui gerak bibir. Lesung pipit dipipi pria itu skilas muncul seiring dgn ucapan-tanpasuaranya. Fanny yg blm sadar spenuhnya tdk mengerti gerakan komat-kamit mulut Bayu. Akhirnya dia hanya bisa menanggapi dgn mengejap-ngejap bingung. " Saya optimis kerja sama kita kali ini akan membuahkan hasil yg lebih besar dgn periode yg lalu..." Begitulah sang Manajer Divisi Marketing terus berbicara dan spertinya akn terus melakukan hal itu sampai stidaknya lima belas menit kedepan. " Tapi, maaf pak, saya potong sbentar." Winda yg setia mengikuti jalannya rapat angkat bicara. " Ya, silakan, Winda." " Bgaimana kalau perusahaan2 yg pernah kita ajak kerja sama sbelumnya seperti PT Indotama atau PT Sukma Buana, kita ajak kerja sama kembali." Winda yg terobsesi untuk menjadi karyawan teladan sudah paham betul kalau salah satu tugas utama marketing communication adalah terus menjalin hubungan baik dgn klien. Dgn kepala yg ditopang dgn tangan kiri, Fanny menoleh kearah Winda. Dari bibir tipis wanita itu, trdapat sbuah seringai yg menandakan kebanggaan trhadap diri sendiri karna sudah melontarkan usulan yg menurutnya hebat. " Memang kerja sama pada periode yg lalu itu hasilnya tdk begitu besar," ucap Winda melanjutkan. Sementara Fanny yg berada diseberang Winda tdk peduli sama sekali dan kembali menekuri kertas catatannya untuk menorehkan grafiti2 dgn mata sendu karna rasa kantuk datang lg dan menggelayuti kelopak matanya. " Tp, menurut saya, itu perlu dilakukan untuk menjaga hubungan baik yg sudah terjalin sbelumnya."
Pak Budi mengangguk-angguk, menelaah perkataan Winda. Kepalanya yg botak memantul2kan cahaya lampu ruang rapat. " Boleh juga," ujar Pak Budi singkat. " Tp saya mau tanya pendapat audience yg lain dulu. Hmmm.., kalau menurut Anda bgaimana, Fanny?" kalimat tanya yg diajukan dilontarkan dgn nada sok manis yg memuakkan. Fanny yg mendengar namanya disebut spontan menegakkan kepala. Matanya yg tinggal dua watt kini kemabali berpijar. Kertasnya yg penuh dgn coretan tdk bermakna dia tutupi dgn tangannya. " I-iya, pak." " Bgaimana,?" 'Bgaimana apanya?' Dia menoleh kearah Winda yg kini bibirnya melontarkan senyuman mengejek. Dia lalu menoleh ke Bayu, memohon bantuannya melalui kontak mata. Pria baik hati itu mengerti dan menuliskan dua patah kata diatas kertas: " usulan Winda." Winda usul apa? " Uhmm..." Fanny memperhatikan smua peserta rapat dan tampak semua mata tertuju kearahnya. Dia kembali mengandalkan Bayu. Tapi tatapan teman2 yg lainnya membuatnya gugup. Komunikasinya dgn Bayu melalui kontak mata menjadi kacau-pesannya pun tak tersampaikan. Dia tahu dirinya sudah ditunggu. " Mungkin," kata Fanny lambat2. Otaknya bekerja keras mencari kalimat yg harus diucapkan. " Mungkin kita..," katanya lg dgn maksud mengulur-ulur waktu. 'Aduh mati aku! Aku harus ngomong apa'. Dilihatnya senyum mengejek Winda semakin trkembang. Dia tdk rela dirinya dihina seperti itu. " Mungkin, kita..." ulangnya lg. Fanny menghela napas panjang dan nothing to lose dia akhirnya mengatakan, " Saya tdk tahu pasti." Fanny masih takut2. " Tapi mungkin ada baiknya kita membahas kelebihan dan kekurangannya bersama2." Fanny slesai berkata2 dan dia bingung sendiri knpa kalimat seperti itu bisa meluncur dari mulutnya. 'Kekurangan dan kelebihan apa coba?' Dia pun pasrah menerima nasib. Ruang rapat hening sejenak, " Ada benarnya perkataan Fanny tadi." Pak Budi berdiri dari kursinya menuju papan tulis dan menorehkan sbuah garis mendatar dan sbuah garis
menurun yg tepat dibagian tengahnya trdapat titik perpotongan antara dua garis tersebut. " Kita analisis SWOT bersama2." Wajah Winda menampilkan ekspresi kecut. Dia jengkel karna si Bos menyetujui perkataannya. Fanny yg merasa diatas angin membalas ejekan Winda tadi dgn melontarkan senyum penuh kemenangan khas Mr. Bean karna tlah brhasil menebarkan kedukaan kpada orang2 disekitarnya. *** Rapat berakhir ketika jam menunjukan pukul 16.05. Fanny membereskan perlengkapan tulisnya, lalu bergegas berdiri dan berjalan meninggalkan ruang rapat. Kertas catatannya yg diletakan diatas buku agendanya terlihat penuh dgn tulisan tangannya yg rapi. Sejak Pak Budi memanggil namanya dan meminta pendapatnya, Fanny terus membuka matanya dan mencatat stiap hal yg menurutnya penting. Dia tdk mau lg menjadi bahan ejekan Winda. " Fan, Fanny!" Pak Budi memanggil. Fanny yg sudah hampir mencapai pintu langsung berhenti dan menoleh. Dilihatnya Pak Budi memberikan isyarat untuk mendekat. Winda yg jg mendengar nama Fanny dipanggil ikut menoleh. Api kedengkian tersulut. Bibirnya terkatup dan giginya gemertak. Dgn perasaan gerah, dia akhirnya meninggalkan ruang rapat. " Ada apa, Pak?" tanya Fanny sopan. " Saya mau lihat catatan kamu." " Catatan saya?" Untunglah ketika berjalan mendekati Pak Budi tangannya tanpa sengaja melipat kertas catatannya menjadi dua dan coretan isengnya trsembunyi dibgian dlm. " Tapi kan udah ada Monique." Monique adalah sekretaris manejer dan slalu bertugas sbgai notulis distiap rapat. Sementara Fanny sama seperti Winda-marketing communication yg mengurusi bgian eksternal. Dia, Winda, dan dua orang lainnya bertanggung jawab dlm menjaga hubungan baik dgn pihak luar seperti perusahaan partner, media, dan sejumlah komunitas tertentu yg ada di masyarakat.
" Ya. Memang, tp takutnya ada yg kelewat." Fanny menyengir kuda. Tdk mungkin dia menyerahkan kertas coretannya kpada atasannya. " Uhm.., catatan saya berantakan," dustanya. " Gmana kalau saya ketik dulu, nanti saya antar keruangan bpk." Fanny mencoba berkelit. " Oh, ya. Boleh." Pak Budi mengiyakan. " Saya tunggu diruangan saya." " Iya, pak. Permisi." " Hmm.., Fanny." Pak Budi mencegah Fanny kembali. Fanny refleks menghentikan langkahnya. " Ya. Ada apa lg, Pak?" " Pulang kantor kamu ada acara?" Fanny menggeleng. " Nggak ada, Pak. Tapi...." perasaan Fanny gundah, jangan2 atasannya menyuruh rapat lg dan mencegah karyawan2 lain untuk pulang. " Rencananya saya mau langsung pulang." 'Arrrggghhh, rapat sampai malm pd hari jum'at!' " Kalau boleh tahu, knpa ya, Pak?" tanya Fanny Khawatir sambil berharap dugaannya itu salah. " Oh, enggak kok. Nggak papa," jawab Pak Budi sambil mengemasi berkas2nya. " Ya udah, saya tunggu catatan kamu ya." " Iya, Pak. Segera saya antar, permisi." Kali ini Fanny melangkah menuju pintu tanpa dicegah untuk kali ketiganya. Fanny bergegas kembali kemeja kerjanya karna dia ingin cepat2 mengetik catatan rapatnya, menyerahkannya kepada Pak Budi, mengemasi barang2nya, dan mengangkat kakinya sesegera mungkin ketika jarum jam sampai pama pukul lima sore. Ada tiga hal yg memenuhi pikirannya saat ini: rumah, rumah, dan rumah. Ya... Walaupun ketika baru keluar kantor dia sudah dihadang oleh kemacetan yg mengulur dan mengular, stidaknya dia tdk berada ditempat terlarang pada waktu yg salah. Berada ditempat terlarang pada waktu yg salah disini maksudnya adalah berada dikantor pada hari jum'at sore. Itu merupakan sesuatu dosa besar baginya. Awalnya Fanny memang ingin segera duduk didpn komputer. Tp, tiba2 sinyal otaknya menyuruh kedua kakinya untuk berbelok menuju toilet. Ketika sampai dilorong sempit yg merupajan akses untuk menuju toilet, dia berpapasan dgn Bayu.
" Jawaban yg bagus." Suara Bayu yg berat memenuhi lorong sempit yg sepi itu. Fanny menyeringai, memamerkan deretan giginya yg rapi dan putih. " Improvisasi." Fanny segera masuk kedlm toilet dan keluar beberapa menit kemudian. Stelah selesai, dia mencuci tangannya di wastafel. Melalui cermin lebar yg ada dihadapannya, dia melihat bayangan dirinya, pada bayangan itu terlihat sepasang mata cokelat yg sdang memandang balik dirinya. Indra penglihatan itu dilengkapi dgn bulu mata lentik. Kemudian Fanny memperhatikan kulit wajahnya. Ketika sampai didagunya yg lancip, dia memekik karna ada jerawat yg tdk jauh dari bibir bawahnya. Fanny benci jerawat. Diapun menelaah apakahdia pernah lupa membersihkan muka atau memakan sesuatu yg tdk sehat. Tiba2, dia teringat karna jerawat ini adalah jerawat rutin yg biasa mampir stiap bulan. Fanny merapihkan rambutnya yg tergerai panjang sampai punggung dgn jemarinya. Stelah dirasa cukup memandangi bayangan dirinya dicermin, Fanny keluar toilet dan bergegas menuju ruang kerjanya. ** " Eeehh..., kirain Pak Budi!" cetus Violet sebal yg sudah siap kembali ke mejanya ketika Fanny muncul dari mulut lorong. Ruangan kerja yg senyap sejenak sontak gaduh kembali. Diruangan ini, terdapat sembilan orang. Lima perempuan-termasuk Fanny dan empat pria. Mereka semua bersuara. Ada yg bicara, ada yg tertawa. Tdk jelas apa yg mereka bicarakan karna suara mereka saling tumpang tindih layaknya suara kawanan lebah yg berdengung2 memenuhi seisi sarang. Namun ketika Fanny simak sbentar, akhirnya dia mengetahui apa yg menjadi topik pembicaraan mereka. Winda, Monique, dan Violet yg brkumpul dimeja Tasya sdang membicarakan rencana mereka untuk hang out sepulang kantor nanti. " Pokoknya, kita nanti Tenggo! Pukul lima teng. Go!" ujar Winda. " Tapi pasti kamu yg paling belakangan, paling repot, paling heboh." Violet menghitungi kelemahan Winda. " Kayak yg terakhir kita jalan. Kita smua sudah siap, eh kamu yg bolak-
balik ketoilet. Ya blm dandanlah, blm pake parfumlah!" cecer Violet. Tasya yg sdang membuka2 web menimpali, " Mobilku nggak bisa nunggu lama2." " Udah, Sha, tinggal aja kalau kelamaan." Monique menimpali tampak tdk tahan untuk sekedar menjadi pendengar. Violet, Moniqu, dan Winda rupanya sudah sepakat tdk membawa mobil hari ini karna mereka akan naik mobil Tasha untuk meluncur bersama2 menuju FX dibilangan Sudirman. Hal itu mereka lakukan atas nama efisiensi dan yg terpenting mereka dpt bergosip sesuka hati disepanjang jalan. Fanny yg sdang mengetik catatan rapatnya, diam2 memasang telinganya untuk menyimak obrolan mereka. Namun pada saat yg sama, tiba2 saja terbesit perasaan kecil hati karna keberadaannya tdk dianggap sama sekali. Namun baru berselang satu detik, perasaan itu segera ditampiknya jauh2. 'Terseralah mereka mau ngapain, aku nggak peduli dan nggak mau ambil pusing' Sementara diujung sana, Bayu, Angga, Galang, dan Romy asyik memperbincangkan seorang pemain bola Brazil dgn segudang prestasi yg berencana hengkang dar4 AC Milan- Ricardo Izecson Santos Leite atau yg lebih dikenal dgn nama Kaka. Saat mereka sdang sibuk dgn obrolan bola itu, Pak Budi datang dgn deheman yg menggema. Seketik, para pria itu kembali kemeja masing2. " Udah selesai?" tanya Pak Budi dgn ekspresi wajah melembut ketika tepat berada didpn meja Fanny. " Tinggal di print, Pak," jawab Fanny yg sdang menggerkan mouse kemudian mengeklik kotak bertuliskan 'OK'. Winda yg berada persis disamping kiri Fanny hanya memperhatikan dgn pandangan penuh selidik. Dan, ketika Fanny hampir mencapai pintu kayu berkaca untuk membukanya dan menyerahkan kertas yg baru saja dicetak itu-Winda melakukan kontak mata dgn Monique, Violet, dan Tasya. Monique menggelenkan kepalanya, Violet mengangkat bahunya, dan
Tasha membiarkan matanya mengantarkan Fanny hingga kedlm ruangan Pak Budi. " Permisi, Pak," cetus Fanny sambil menundukan kepalanya. " Ya. Masuk," sambut Pak Budi dgn mengumbar senyuman lebarnya. " Ini, pak, udah selesai." Fanny menyodorkan kertas itu. " Tapi, pas awal2 rapat, bnyak yg nggak saya catat," imbuhnya yg mengakui kekurangannya. Pak Budi yg membaca sekilas catatan Fanny mengangguk-angguk. " Ini sudah cukup." sanggah atasannya yg menempatkan kertas itu diatas berkas2 miliknya. " Tadi, kamu bilang kamu nggak ada acara abis jam kantor, kan?" " I-iya, Pak," sahut Fanny agak tergagap. " Bgaimana kalau kita makan malam?" Pak Budi akhirnya dpt mengutarakan keinginannya yg sudah cukup lama terpendam. " Makan malam?" Fanny balik bertanya. " Wah, dlm rangka apa, pak? Ulang tahun pernikahan ya, pak? Yg keberapa? Yg kedua puluh lima? Ulang tahun perak dong, Pak! Boleh,., boleh, kita makan dimana? Ibu datang kesini dulu atau langsung ketemu direstoran?" cerocos Fanny. " Kamu ngira hari ini ulang tahun pernikahan saya?" " Hmm, dlm rangka yg lain? Atau... Bpak mungkin dipromosikan?" Pak Budi membenamkan wajahnya dgn kedua telapak tangannya. Fanny telah salah menangkap maksud ajakannya. " Bukan karna hal itu, Fan." ucap Pak Budi dgn hati2. " Bukan?" tanya Fanny bingung-lebih tepatnya pura2 bingung. " Lalu, Karna apa, Pak?" " Saya nggak ajak istri saya atau karyawan yg lain." Pak Budi tdk menjawab pertanyaan Fanny. " Jadi,cuma kita berdua. Saya dan karyawati saya yg paling oke." Fanny tiba2 merasa dikirim ke Antartika. Tubuhnya kaku membeku dan dia sudah menjadi patung es- patung es dgn mulut melongo tentunya. " Soal restoran kamu aja yg pilih. Pokoknya terserah kamu." Pak Budi kelihatannya tdk dapat menerjemahkan ekspresi wajah Fanny. " Gmana?" tanyanya lg.
Lapisan es yg menyelubungi tubuh Fanny serta-merta retak dimulai dari ujung kepala yg terus menjalar hingga ujung kaki. Stelah retakan sudah mencapai titik jenuh, lapisan es itu meledak dan serpihan2 kecil yg beku sekaligus keras berhamburan keseluruh penjuru arah. Fanny memaksakan dirinya tersenyum walaupun bibirnya serasa digantungi beban sberat sepuluh kilogram. " Saya?" Pak Budi menanti dgn waswas. Diluauk hatinya yg terdalam, dia mengharapkan jawaban iya dari bibir Fanny. " Oh, ya ampun!" Fanny menempelkan telapak tangannya diatas kening. Pak Budi terpaksa harus menumda kegembiraannya. " Kenapa? Ada yg kelupaan?" Akting Fanny pun dimulai. " Iya, pak, saat meetimg td ada pesan yg masuk." Fanny sengaja berhenti sejenak, dia ingin melihat perubahan muka Pak Budi. " Tunangan saya ngundang makan bareng orangtuanya-hmm, calon mertua saya pak." Fanny mendapatkan apa yg diinginkanya. Wajah Pak Budi yg awalnya cerah berseri2 sontak berubah seratus delapan puluh derajat menjadi gelap karna dianungi awan kekecewaan. " kalau saya makan malam sama Bpk, trus batalin makan malam sama tunangan saya, hmmm...., gmana ya, pak?" Fanny tampak serius. " Masalahnya, ini menyangkut masa depan saya. Jadi..." kepala Pak Budi tertunduk lesu. " Maaf ya, Pak. Saya nggak bisa makan malam sama Bpk." Pak Budi berusaha menegakkan kepalanya. " Kalau kamu enggak bisa, nggak papa," katanya sambil pura2 bijaksana. Fanny merasa lega. " Kalau hari ini nggak bisa,mungkin dilain kesempatan kita lebih beruntung." Tawa kemenangan Fanny langsung berubah menjadi tangis kekalahan. 'Lain kesempatan?' ulangnya dlm hati. Dirinya seperti berada diarea pemakaman dgn warna hitam dan kelabu yg menyelimuti. 'Beruntung? Ada2 saja. Malapetaka, mungkin'. Mata Pak Budi lekat menatap Fanny seakan memintanya untuk menyetujui pernyataan yg baru saja dilontarkan. Namun, Fanny tdk ingin bilang iya. Dia bingung bgaimana seharusnya
dia bereaksi, sementara kedua kakinya sudah tdk sabar ingin segera mengambil langkah seribu.
2. Sunyi, Sepi, Sendiri -Fanny'Tapi, sbentar kemudian, mereka berhenti membicarakan dia, dan berganti dgn pembicaraan tentang siapa yg akn memenangkan Piala Nasional. Karena, seperti telah dikatakan Tuan Fergusson ketika dia di Luxor, bkn masa lalu yg penting, tetapi masa depan'. Fanny menutup novel karya Agatha Christie itu dan meletakannya diatas meja. Tampak pada sampul depan novel itu terdapat tulisan Death on the Nile-yg diterjemahkan dgn Pembunahan di Sungai Nil, lengkap dgn gambar sepucuk pistol dan tentu saja patung sphinx-yg menjadi landmark negeri para Firaun. Novel stebal 347 halaman itu akhirnya tamat hari ini. " One hundred point two JCfm-Jakarta City FM, this is your radio. You're still her with mewith Eva of course, and we still have two hours until six o'clock." Eva si Penyiar Radio JCfm kembali mengudara setelah jeda iklan dan lagu. " That was Beyonce with irreplacable yg diminta sama Kayla di Kelapa Gading." sementara dibelakang suara Eva salah satu personel Destiny's Child itu masih terus menyanyikan bait terakhir reff nya yg sudah hampir tiba dipenghujung. " Jujur, aku suka banget sama lagu ini. JClover lainnya pasti jg suka ya sama lagu ini." Eva berhenti sesaat karna ingin memberikan kesempatan bagi Beyonce untuk menyelesaikan lagunya. " You're irreplaceable," ujar Beyonce menutup salah satu lagu yg ada dialbum B'Day itu. Sorean ini, Fanny menjadikan JCfm menjadi sbgai penyemarak harinya selama dia membaca Death on the Nile. Eva si Penyiar terus berceloteh dan Fanny mendengarkannya hanya sambil lalu. Fanny beranjak dari meja menuju lemari buku untuk menyimpan kembali novelnya. Lemari buku itu berkaca sehingga dia bisa melihat koleksi bukunya dari luar tanpa takut ancaman debu. Fanny menahan sbuah barisan buku yg agak longgar dgn tangan kirinya dan menempatkan novel yg bersampul hitam itu diantara Cards on the Table dan
They Came to Baghdad-dua karya Agatha Christie lainnya. " kesempatan untuk request masih terbuka. Silakan JClover kirim SMS ke nomer 08118111xxx. Atau, mungkin mau kasih tahu info traffic terkini, jg silakan kirim ke nomer yg sama," ucap Eva mengumumkan. " Ada SMS dari Andre. Katanya, 'Mau malam mingguan didaerah Semanggi, tp kejebak macet di Jalan Raya Pasar Minggu yg menuju Pancoran.' Dia minta lagu The Cranbarries, 'Just My Imagination' untuk nemenin selama diperjalanan." Eva berhenti sejenak, menghirup napas baru. " Thank you, Andre atas infonya, sabar aja ya." Eva berhenti lagi. " Buat JClover lainnya yg mungkin mau bersenang2, well-having fun aja. Kayaknya abis siaran ini aku jg mau jalan sama teman2ku," gumam Eva sambil tergelak. " Hahaha.... Aku nggak mau kalah gitu ya. Pokoknya I Love Saturday, you love saturday, and absolutely we all love saturday. Wow!" jeda lg sesaat. " sbelum lagu untuk Andre, aku mau bacain request dari Adelia di Bintaro yg katanya dirumah lg ujan. Dia minta 'Be My Lady'. Emang enak bnget lg ujan2 dengerin lagu slow, skarang aku puterin lagunya, lalu lanjut dgn The Cranberries. So, JClover, check it out!" 'Be my lady, come to me and take my hand and be my lady' Fanny yg sdang mengikir kuku tangannya tiba2 berhenti. Matanya menerawang seperti sdang memutar kembali rekaman memorinya. Dan benar saja, lagu Martin Nievera yg sdang mengudara diradio membuatnya kembali kedua tahun yg lalu. Tepatnya, ketika rajutan cintanya dgn Theo mulai terjalin. *** Saat itu, Jum'at, 21 juli. Tanggal bersejarah buat Fanny karna skripsinya akan diuji. Didlm, Jorgi sdang berusaha memperjuangkan nasibnya, beradu argumen dgn para dosen yg siap membabat habis karya tulis monumentalnya selama dibangku kuliah. Skarang pukul 14.15, yg artinya Jorgi sudah berduel dgn para penguji selama empat puluh lima menit, sekaligus itu jg berarti lima belas menit lg Fanny akan masuk keruang eksekusi. Dlm diam, Fanny terduduk lemas diatas kursi. Perasaannya tdk keruan. Ini adalah kegiatan
menunggu yg paling merana dan paling menyengsarakan dlm hdupnya. Takut bercampur gugup, khawatir bercampur deg-degan. Rasanya kalau boleh memilih, tentu saja dia sudah lari meninggalkan gedung fakultas, menuju rumahnya, dan bersembunyi dibawah selimut. Tp, Fanny tdk bisa melakukannya. Tdk ada jalan kembali, dan tdk ada pilihan selain mengahadapi takdirnya. Fanny menarik nafas dalam2 dan menghembuskannya secara perlahan2 melalui mulut. Bukankah semuanya sudah dipersiapkan? Skripsi yg penyusunannya sudah dilakukan berbulan-bulan yg lalu, buku2 teori ilmu komunikasi yg telah ditelaah satu per satu, matepi presentasi yg sudah dibuat secara sistematis, bahkan tampilan fisiknya dari ujung kepala sampai ujung kaki tampak nyaris tanpa cela. " Aku yakin kamu bisa," hibur Rika-salah satu sahabeat Fanny-yg sudah sidang kemarin. Wajah bulatnya dihiasi dgn seulas senyum yg bersahab. Pipinya hari ini bersemu merah alami, sbgai tanda bahwa strees karna sidang skripsi sudah dapat dienyahkan dlm hdupnya. Fanny balik tersenyum. 'Fiuh! Rasanya pasti bahagia bnget kalau hari ini jadi Rika', pikirnya berandai2. Dia sangat ingin merasakan kelegaan karna sudah melewati masa kritis. Alin-sahabat Fanny yg satu lagi-jg tersenyum, meskipun wajahnya terlihat pucat dan mata rampingnya yg berkacamata menunjukan keletihan karna begadang semalaman. Metabolisme tubuhnya pun jd berantakan. Akibatnya, jerawat bermunculan di wajahnya yg sbelumnya mulus sempurna. Dia pun meyakinkan kalau Fanny akan keluar dari pintu kayu itu pada pukul 15.30 dgn selamat tanpa kurang satu apapun. Sementara Theo-yg menjadi dekat dgn Fanny dlm enam bulan terakhir karna tema skripsi yg diambilnya sama- berjalan bolak balik, lalu akhirnya mengenyakkan tubuhnya yg seperti galah dikursi yg sama dgn Fanny. Masih segar diingatannya ketika kuliag periklanan-salah satu mata kuliah jurusan ilmu komunikasi-Theo sering diledek bahwa dia cocok sbgai model 'before' pada iklan susu-penambah-berat-badan khusus untuk pria. " Lin, selasa dpn giliran kita nih," ujar Theo kpada Alin. Dia dan Alin akan disidang pada 25 juli nanti. " Iya. Siap nggak siap, harus siap!" sahut Alin sambil menguatkan dirinya.
" Fan, anggap aja lg ikut audish American idol." Theo yg selama satu semester ini sering menghabiskan waktu bersama Fanny seperti pergi ke perpustakaan bareng, saling berbagi refensi, dan jg berdiskusi, mencoba membuatnya merasa nyaman. " Pak Rendra mirip Simon Cowell. Ketus. Tp, aku yakin Bu Judith bakalan belain kamu. Beliau kan pembimbing kamu dan kamu punya hubungan baik sama beliau. Beliau jd Paula Abdul-nya." sontak saraf2 tegang dikepala Fanny mengendur dan beban berat yg membungkukkan pundaknya tiba2 lenyap. " Mau nyanyi lagu apa didlm?" tanya Theo yg masih menganalogikan sidang skripsi dgn udisi pencarian bakat. " Nggak tahu," jawab Fanny singkat yg masih merasa geli dgn analogi konyol itu. Meskipun bgitu, harus diakui ampuh untuk membuatnya jd lebih relaks. " kamu ada ide?" " Hmmm..., nyanyi lagunya Alicia Keys, bagus." Fanny terkesan. Theo menyebut salah satu penyanyi favoritnya, entah karna memang tahu atau tanpa sengaja semata, " Yang mana?" " Superwoman." Pintu ruang sidang terbuka. Muncul Jorgi dari dlm dgn ekspresi wajah yg sulit ditebak. Lega, tp sekaligus tertekan. Fanny pun berdiri, merapikan kemeja lengan panjangnya yg dimasukan ke dlm rok abu2ny. Sambil membawa berkas2 pentingnya, dan menyampirkan tas laptop dibahunya, Fanny berkata lirih kepad Theo, " Ya, aku akan nyanyiin 'Superwoman'. Dia pun menyenandungkan lagu itu dlm hati, 'Cause I am superwoman. Yes I am, yes she is', dan dlm waktu sekejap, kepercayaan dirinya timbul. Fanny sangat berterima kasih karna Theo sudah punya andil atas nilai A minus-nya. Walaupun bkn nilai sempurna, dia sudah sangat senang dgn pencapaiannya. Sejak saat itu, hubungan mereka semakin dekat. Mereka saling mengunjungi satu sama lain. Keluarga Fanny mengenal Theo, dan sebaliknya. Mereka jg sering hang out, menghabiskan waktu bersama dari satu mal ke mal lain. Dan pada suatu hari-tepatnya pd hari minggu pagi menjelang siang, Then menelpon, " Fan, kamu lg ngapain?" tanya Theo dgn nada agak gugup.
Fanny yg sdang sibuk sendiri tdk menyadari kegugupan Theo. " Aku lg siap2 mau pergi." jawab Fanny yg menjepit ponselnya dgn bahu karna dia sdang memasang jam tangan. " Oh, mau pergi, ya?" ucap Theo kecewa. " Iya, emang kenapa? Kamu mau mampir kerumahku? Atau mau ajak aku jalan?" tanya Fanny sambil memandang kecermin memeriksa make up nya. " Eeehhmmm....." Theo terdengar sdang berpikir mencari kata2 yg tepat. " Nggak sih, skarang kamu lg dengerin radio" dia tiba2 membelokkan arah pembicaraan. Fanny bingung, tp dia hanya menjawab, " Ya." " JCfm?" " Pastinya." Sbgai backsound, terdengar iklan salah satu operator telpone seluler. Sejak dekat dgn Fanny, Theo pun jg ikut menyukai stasiun radio yg sama. " Aku request lagu buat kamu." " Ooh, ya ampun. Aku kira apa," sahut Fanny sambil berjalan kesudut kamar untuk mengambil sandal yg diua diatas rak. " Emang request apa?" " Ada deh, kamu tungguin aja ya." " Hmmm..., nggak janji jg ya. Sbentar lg mau jalan nih," kata Fanny yg kini sudah menggantungkan tas dipundaknya. " Tapi dimobil, aku bakal nyetel JC kok," tambahnya cepat2 agar Theo tdk kecewa. " Oh, ya udah." Suara Theo terdengar melemah. " Besok gantian aku kirimin kamu lagu, ya?" " Oke. Ya udah, aku cuma mau ngomong itu aja sih. Yuk, bye." " Bye." 'Emang dia mau request lagu apa sih, pake rahasia sgala?" Fanny duduk diatas bangku riasnya karna ingin memasukan ponselnya ke tas. " Dibelakang Rizal, ada Theo dikemang yg request-nya spesial untuk Fanny." sang penyiar yg kini laki2, membacakan SMS request satu persatu. Fanny menegakan kepalanya tinggi2. 'Oh, itu request yg dikirim Theo'.
" Yg katanya, 'Fanny, I love you, so. Would you be my lady?'." Fanny benar2 terperanjat. Dia hampir tdk mempercayai pendengarannya. " Oh, that was so sweet," goda sang penyiar. Tidak lama kemudian, terputarlah 'everlasting love song' milik Martin Nievera. Fanny menunda keberangkatannya. Dia duduk diam terpaku menekuri kejadian yg baru saja dialaminya. *** Fanny terbangun dari lamunannya. Getaran ponselnya membuat dia kembali kedunia nyata. Dia merasa sudah berkelana ketempat yg jaraknya sangat jauh dan menghabiskan waktu berbulan2 lamanya. Namun ketika mendengar my love will last forever yg merupakan kalimat terakhir lagu 'Be My Lady', dia sadar kalau lamunannya berdurasi tdk lebih dari empat menit. 'Theo?'. " Hallo." " Lg ngapain?" " Mikirin kamu... Baru aja td denger lagu 'Be My Lady', trus aku keingetan yg kamu request buat aku," tutur Fanny sambil memandangi kuku2 jari tangannya yg baru selesai stengah. " Aku jg lagi mikirin kamu, makanya aku telepon. Kangen. Gmana kabar kamu hari ini?" " Hari ini aku nyelesaiin baca novelnya Agatha Christie. Akhirnya stelah skian lama, slesai jg. Kamu gmana di Surabaya?" Sudah dua hari ini Theo berada diluar kota. Sbuah perusahaan sampo mengajak EO-nya bekerja sama untuk mempromosikan produk2 terbarunya. Sejumlah road show disejumlah mal dikota2 besar di pulau Jawa, seperti mengundang penyanyi atau band2 terkenal, perawatan rambut gratis, dan pembagian sampel secara cuma2. Fanny sbenarnya sedih jika Theo harus tugas keluar kota, apalagi kalau weekend seperti ini. Mereka yg biasanya bertemu pada sabtu atau minggu, mau tdk mau menundanya hingga pekan mendatang. Sementara Theo, dia sangat mencintai pekerjaan ini. Bertemu dgn
orang2 baru atau mendatangi tempat2 asing-seperti yg skarang dia lakukan, membuat hdupnya terasa dinamis. Berpergian ke luar kota tdk menyulitkannya karna dia tipe pria simpel antirepot, easy going, dan pecinta travelling. " So far so good. Untuk acara hari ini baru aja selesai, nih lg beres2. Ntar malam terbang ke Yogya," lapor Theo. " Wah, sukses ya acaranya. Tp, jangan sampai kecapean. Jangan lupa minum vitamin juga," pesan Fanny. " Siap, Bos!" seru Theo. " Anyway, keadaan kamu gmana?" " Keadaanku?" Fanny tergelak. " Lho, kok ketawa sih? Kenapa?" Stelah Fanny menyelesaikan tawanya, diapun menjawab enteng, " Kalau The Cure nyanyiin 'Friday I'm in Love', aku nyanyiin 'Friday I'm in Trouble'." " Hah! Kamu kenapa?" Theo panik. " Kamu sakit? Atau, kamu nabrak orang terus orang itu nggak terima." Theo semain panik. " Jangan2,kamu sbenarnya lg dikantor polisi." Akhirnya, Fanny punya kesempatan untuk bicara. " Enggak kok, nggak separah itu masalahnya." Fanny tersenyum. " Aku cuma sebel sama Bosku." " Pak Budi?" tanya Theo yg suaranya sudah terdengar agak tenang. " He-eh." Fanny pun mulai menceritakan kejadian kemarin. Lengkap dgn patung es, pahlawan bertopeng, dan suasana kelam dipemakaman. " Ih, nggak tahu malu bnget sih. Udah tua juga!" Theo mulai geram. " Besok-besok, kalau aku dah balik dari luar kota, stiap hari aku jemput kamu. Biar dia tahu, dia berhadapan sama siapa." " Tenang..., tenang, The." Fanny menyambar cepat2. " Aku bisa atasin sendiri kok." " Orang kayak gitu nggak kapok2. Pasti dia bakalan tetep ngejar2 kamu." " Iya, emang. Tp aku punya trik kalau bosku mulai bertingkah. Aku bakal pura2 bodoh, pura2 nggak nyambung, dan jadi oran" kata Fanny sambil memikirkan triknya. " Aku yakin dia bakalan ilfil sendiri."
"tp aku nggak yakin. Mending kamu cari kerjaan baru." " Kerjaan baru?" tanya Fanny mengulang. " Ehmm.., kayaknya blm perlu deh. Aku masih bisa ngatasin sendiri," ucapnya lambat2. " Tapi, aku janji kalau ada apa2 aku pasti ceritain kekamu." Terdengar suara seseorang memanggik Theo. " Tunggu ya sebentar." sepertinya Theo sdang brbicara dgn orang yg td memanggilnya. " Honey, udahan dulu ya. Tapi, bener ya kalau ada apa2 kamu cerita ke aku." " Pastinya. Oke, see you, jangan lupa minum vitamin." " I love you." " I love you too." Mereka pun mengakhiri telepon. *** Fanny masih terngiang dgn pernyataan Theo, " Mendingan kamu cari kerjaan baru,". Fiuh... Fanny menghela napas keras2. 'Ah, nggak usah dipikirin sekarang'. Tiba2, sbuah ide hinggap dikepalanya. Cepat2 Fanny meraih ponselnya lg dan menggerakan ibu jarinya untuk mencari nama Rika. Sbuah nada sambung terdengar ditelinga kanan fanny. Dia berencana untuk mengajak Rika hang out-meskipun dia sbenernya tdk begitu yakin kalau Rika akn mengiyakan ajakannya. Karna hari ini, hari sabtu dan bisa saja dia sudah punya acara sendiri dgn Eros-pacar Rika. " Ya, Hallo," sapa Rika diseberang telepon sana. " Ka, malem ini kamu ada acara nggak?" " Yaaahh..., maaf bnget, Fan. Aku ada acara sama Eros." " Ooo, ya udah." " Sori ya, Fan." " Sip, nggak papa." " Eh, Fan," Rika mengambil jeda sesaat, " aku lg bingung nih," " Bingung kenapa?"
" Nggak tahu nih, kok nge-date kali ini aju rasanya gugup banget." " Emang kamu sama Eros mau nonton, makan, atau..." " Dia ngajak makan. Sekalian ngerayain setahun hari jadian. Katanya mau candle-light dinner." " Wow.... Eros romantis banget!" seru Fanny kencang2. Dlm hati, dia sangat mengharapkan Theo mengajaknya makan malam dgn diterangai temaram cahaya lilin. Selama dua tahun menjalin hubungan, blm pernah ada acara spesial sekelas candle light dinner untuk merayakan anniversary jadian mereka. " Aku bingung nih pake baju apa? Udah kayak bongkar lemari." ucap Rika lemas. Fanny membayangkan keadaan kamar Rika yg berantakan. Membongkar isi lemari memang mudah, tp mengembalikannya ketempat semula butuh waktu yg lebih lama. " kamu ada masukan nggak, bagusnya aku pake baju apa?" " Hmm.... Gmana kalau kamu pake el-be-di, little black dress?" Fanny teringat sbuah tip seputar fashion. " Little black dress?" tanya Rika mengulangi sambil menimbang2. " Tunggu,.., tunggu dah, kamu nggak keberatan kan kalat telponnya nggak ditutup dulu." " Oke." Fanny sudah bisa membayangkan Rika menghampiri gundukan bajunya lg dan cepat2 mencari baju yg disarankan olehnya. Akhairnya, sahabatnya itu menemukan sbuah gaun yg pas untuk acara malam ini. Gaun simpel tanpa lengan, selutut, dgn potongan leher kotak dgn aksen renda disekelilingnya. " Ya udah, kamu dandan yg cantik. Sukses ya CLD (si-el-di) nya?" " Apa?" tanya Rika spontan dgn kedua alis yg saling terpaut. " CLD-candle light dinner," sahut Fanny enteng. " Oh...." Fanny tergelak mereka menyudahi percakapan.
Fanny terdiam menatap ponselnya yg sudah tdk terhubung lg dgn Rika dan berpikir sejenak kira2 hal apa yg akan dilakukannya untuk mengisi hari sabtunya. 'In places no one would find all your feelings so deep inside ( deep inside)' Fanny tersadar kalau lagu 'Cry' yg dibawakan oleh Mandy Moore tengah memenuhi ruang dengarnya. Dia pun ikut menyanyikan baris selanjutnya. 'It was then that I realized that forever was in your eyes the moment I saw you cry' 'Kayaknya nonton DVD aja deh', pikir Fanny. Fanny beranjak menuju rak penyimpanan kepingan cakramnya,bersiap hanyut dlm film.
3. Tak Sabar -RikaGaun mini hitam rekomendasi Fanny membuat kepercayaan diri Rika mencapai batas maksimal. Kombinasi gaun beserta untaian kalung mutiara berhasil menonjolkan kelebihan leher jenjangnya. Rika jg melakukan trik shading pada hidungnya-trik itu wajib untuk orang yg terlahir dgn hidung mungil seperti dirinya. Rika menghela nafasnya. Sudah lima menit dia duduk diruang tamu dan seakan sudah menjadi seekor jerapah. Setiap menit dia menjulurkan kepalanya dan meregangkan ruas2 lehernya melewati pintu rumahnya yg terbuka lebar untuk memastikan apakah Eros sudah datang menjemput atau blm. Berkali2, Rika bangkit dari duduknya yg tdk tenang, lalu cepat2 mencapai teras ketika ada suara deru mobil yg melintas didpn rumahnya. Namun, berkali2 itu pula harapannya tdk sesuai dgn kenyataan. Kali ini, dia benar2 tdk sabar, mungkin disebabkan rasa gugup yg sudah dia rasakan sejak td sore. Tp sbenarnya, Rika adalah orang yg sabar-sabar dlm hal apapun, seperti sabar dlm menyelesaikan pekerjaan, sabar menghadapi orang yg menyebalkan, dan sabar ketika yg di cita2kan blm tercapai. " Aduh, mana sih Eros?" kakinya bergerak2 gusar. " Masih nungguin cowok kamu?" Edo-adiknya yg hanya terpaut satu stengah tahun, iseng2 bertanya. Adiknya itu chubby, berwajah bayi, memiliki binar mata kekanak-kanakan, dan manja-tipikal anak bungsu. Dia jg punya acara sendiri, dgn teman2nya. " Iya," sahut Rika dgn nada agak jutek. " Emang dia mau jemput pukul berapa?" " Pukul tujuh." " Ya elah, Burik! Pukul tujuh masih sepulug menit lg. Sabarlah." Burik adalah 'panggilan
sayang' Edo kepada Rika. " Suka2 aku dong, Dudung." timpal Rika tdk kalah sengit. Sama seperti Burik, Dudung adalah 'panggilan sayang' Rika kepada Edo yg berasal dari kata hidung. Edo punya alergi trhadap debu dan akan slalu bersin2 ketika partikel2 lembut itu menyerbu masuk kedlm organ penciumannya. Dia akn terus bersin meskipun wajahnya seolah mengatakan, 'Aku udah nggak sanggup lg'. Alhasil, hidungnya semerah hidung badut dan ada cairan bening yg mengalir turun dari dlm rongganya. " Mending kamu beresin kamar dulu yg udah kayak kapal pecah. Itu baju2 mau diloakin apa?" ujar Edo lg sambil memain-mainkan kunci mobil Toyota Rush-nya. " Udah, deh. Kalau mau pergi, pergi aja deh skarang." " Huuu! Sewot." Edo berbalik dan melenggang keruang tengah, " Mam, Edo pergi dulu ya!" serunya berpamitan. Sang mama yg sdang bermain dgn cucu pertamanya dari putri sulungnya, Helen-mendongak dan berbisik kpada Tiara, " Om Edo mau pergi." Tiara kecil pun ikut mendongak dan mengalihkan perhatiannya dari susunan balok leggonya. " Om Edo mau pelgi ya?" " Iyah," jawab Edo sembari mengangguk. " Tia mau ikut? Yuk!" " Enggak ah, Om, Tia disini aja main leggo sama Oma." " Ya udah, dadaaa." timpal Edo yg kemudian melambai-lambai. " Dadaaah, Om." Gadis cilik yg masih berusia empat tahun itu kembali berkonsentrasi dgn kontruksi bangunan yg masih stengah jadi. " Hati2 ya, Do,"
" Iya, Mam." Edo pun melangkah menjauhi ruang tengah. " Cabut duluan ya, Burik!" ucapnya kepada Rika. " Ya udah, sana," jawab Rika acuh tak acuh. " Daah Burik," Kata Edo sambil tiba2 menjawil rambut Rika yg dikucir tinggi. Rika hampir marah, tp sebenernya, aski Edo tdk memengaruhi tataan rambutnya. Namun Rika tetap merasa perlu kembali bercermin sambil menunggu Eros. *** Dalam heningnya penantian Rika, ponselnya berbunyi. Dia berharap itu adalah Eros, tp ternyata itu adalah Edo. " Eh, Burik. Cowokmu sbentar lg sampe." " Tahu darimana kamu?" tanya Rika heran. " Barusan aku papasan sama dia." " Oh." " Ya udah, aku cabut." Tdk lama berselang, mobil Ford Escape dgn warna hitam berhenti didpn rumah. Si pengumudi menggerakan tuas persenelingnya ke kanan lalu kebelakang. Perlahan2, kaki kirinya diangkat dari pedal kopling dan disambut dgn pedal gas yg diinjak menggunakan kaki kanan. Mobik itu pun bergerak mundur. Dgn bantuan kaca spion, pengemudi itu mengira2 jarak antara mobilnya dgn pagar rumah. Stelah jaraknya sesuai dgn yg diinginkan, dia menetralkan posisi tuas perseneling, kemudian menggerakannya keposisi gigi satu. Dgn cekatan, pengemudi itu memutar setir bersamaan dgn laju mobilnya. Kini mobil sudah terparkir rapi. Mesin mobil dimatikan tepat stelah pengemudi mematikan lampu dpnnya. Pintu kanan dpn terbuka, sbelah kaki menjejak jalanan aspal, disusul kakinya yg satu lg, dan bersiap untuk menjumpai seseorang yg sudah menunggunya.
Sesosok pria pemilik mobil produksi Amerika itu melenggang santai sambil menekan sbuah tombol pengaman yg ada pada kunci mobilnya. Seorang pria itu berbadan tegap dan berdada bidang, tampak lebih dewasa daripada usianya yg baru memasuki 25 thun. Kemeja yg dikenakannya pas badan sehingga sdikit bnyak menunjukan perutnya yg rata. Rika yg masih berada didlm rumah, segera mengenali siapa yg baru saja datang. Dgn senyum cerah yg berseri2, dia pun buru2 keluar rumah dan menyambut tamu istimewanya itu. Ya, siapa lg kalau bkn sang arsitek-kekasih tercintanya. Dia senang Eros sudah datang, dan itu berarti dia tdk lg menjadi seekor jerapah.
4. Candle-light Dinner -Rika" Aku pesan broccoli raisin salad," kata Rika dgn mata yg lekat menatap daftar menu. Sementara pramusaji yg dilengkapi bukt catatan dan sbuah pulpen, segera menulis apa yg baru saja dikatakan oleh Rika. " Terus minumnya, hmmm...., apa ya? Nah, ini aja,." telunjuk Rika berhenti pada tulisan spicial green tea with jasmine. " Lemon and peppermint tea," lanjutnya lg kpada wanita pramusaji yg bertubuh kurus itu. Eros memesan chicken fillet in mustard and lemon bettertdan cappuccino ice blended. Pramusaji itu mengangguk-angguk dgn pulpen yg terus menari diatas kertas, lalu membaca ulang pesanan mereka berdua, " Apa ada tambahan lain mungkin?" pramursaji itu mengarahkan pandangannya kpada mereka berdua. " Gmana, kamu suka nggak sama tempat ini?" tanya Eros stelah pramusaji dgn seragam merah-hitam itu menjauh. Rika menyapu pandangannya, " Ya, aku suka. Apalagi kamu milihnya yg outdoor." Dia tdk menyangka kalau suasana kencan kali ini bisa begitu menentramkan. Beberapa lilin yg ada dihadapannya turut menerangi hatinya yg sejak sore sudah begitu semarak karena cinta. Sementara angin sepoi2 yg sempat menggoyangkan-goyangkan lidah api kian menyejukan perasaannya. Rija jd ingat kencan pertamanya. Kencan yg didominasi dgn perasaan canggung dan kikuk itu tdk akan pernah hilang dari ingatannya. Ketika dia ingin menanyakan kabar pekerjaan Eros, ternyata pria itu jg ingin melakukan hal yg sama. Mereka pun tertawa. Mereka jg saling memberikan kesempatan bicara, tp tdk satupun yg menerimanya. Stelah sama2 berkeras mendahulukan lawan bicara, akhirnya Rika mengalah dan menerima kesempatan itu.
Ketika kali pertama Rika bertemu Eros, dia tdk merasakan seperti apa yg dilantunkan sejumlah lagu-cinta pada pandangan pertama-. Dia menganggap pria itu sbgaimana dia menganggap teman2 pria lainnya, sama sekali bkn seseorang yg spesial. Sementara Eros-yg seiring dgn perjalanan waktu-menaruh hati pada Rika. Pendekatan pun dilakukan secara natural, tdk berlebihan dan tdk ada kata2 gombal. Rika menyukai cara itu dan tdk lama berselang dia menerimanya sbgai kekasih. Hari ini tepat satu thun mereka bersama. Mereka merasa cocok satu sama lain. Tdk ada masalah yg berarti yg mampu menggoyangkan hubungan mereka. Semuanya berjalan begitu lancar dan harmonis hingga akhirnya hubungan mereka berusia dua belas bulan. Tiba2, ada sbuah pertanyaan yg menggaung dikepalanya. Apakah Eros adalah pria yg tepat untuknya? Rika yg blm mendapatkan jawabannya hanya bisa diam sambil mendongak memandangi pemandangan yg terhampar luas tak terbatas jauh diatas kepalanya. Langit malam memang sudah pekat. Namun, jarum jam yg menunjukan pukul 19.45 menandakan kalau malam masih disini. Terlebih lg, malam ini adalah malam minggu yg kata orang malam panjang. Langit boleh gelap, tp diantara gumpalan awan polusi dan semburan cahaya yg mencemari langit jakarta, masih terlihat titik2 bintang yg tersebar dan sesekali mengerlip malu2. " Tahu nggak, aku sering kebayang2 film Lion King kalau pas lihat bintang kayak gini," ujar Eros. " Lion King?" tanya Rika heran. Ia memutar ingatannya jauh kebelakang, ke bertahun2 yg lalu. Sama sekali tdk ada yg tertinggal dlm memorinya tentang film itu, kecuali original soundtrack yg dilantunkan Elton John, 'Can You Feel the Love Tonight'. " Iya. Pas dialog Timon, Pumba, sama Simba," jawab Eros. " Mereka ceritanya lg diskusi, sbenarnya bintang itu apa sih?" lanjut Eros yg menangkap wajah bingung kekasihnya. Rika masih blm ingat adegan yg dimaksud Eros. Tp, ketika mendengar tiga nama karakter
itu, sdikit demi sdikit kabut kebingungannya mulai tersibak. Ya-Tamon, dia ingat. Seekor hewan kecil-tp entahlah, Rika tdk tahu pasti jenis hewan apa Timon itu, tikus tanah atau tupai? Well, tdk terlalu penting. Lain halnya Pumba. Bayangan seekor babi hutan dgn taring bawah yg melengkung dan mencuat keatas, melintarg dipikirannya. Dan terakhir, Simba tentu saja si singa yg mewarisi kerajaan ayahnya. " Timon berpendapat kalau bintang itu adalah kunang-kunang yg terjebak dilangit." Rika diam saja menyimak Eros bicara. " Terus, kalau Pumba, katanya bintang itu bola2 gas yg terbakar dan jauhnya miliaran tahun cahaya dari bumi." " Pumba ilmiah bnget, ya." tukas Rika memberi tanggapan sambil tersenyum. " Iya, tp Timon justru ngetawain abis-abisan." " Terus kalau simon bgaimana?" Rika bertopang dagu dgn kedua tangannya, seperti anak kecil yg ingin tahu. " Dia bilang kalau di bintang2 sana, arwah para leluhurnya bersemayam." Rika tertawa. " Kalau kamu gmana, sayang? Menurut kamu bintang itu apa?" tanya Eros. " Hmmm...., apa ya? Nggak tahu, kayaknya aku nggak mikir macem2 soal bintang." " Kalau aku..." kata2 Eros terpotong karna pramusaji mengantarkan pesanan mereka. " Ya?" pinta Rika pada Eros stelah mengucap terima kasih kpada si pramusaji. " Iya, dulu aku nyangkain kalau bintang itu kayak stiker yg ditempel dilangit. Kalau siang dia menyerap cahaya sbanyak2nya, trus pas malam dia ngelepasin cahayanya." Rika mendengar sambil tersenyum dan membayangkan persis apa yg dikatakan Eros. " Lucu juga," ujarnya sambil mendekatkan mulutnya ke sedotan dan menyeruput minumannya sbanyak satu tegukan. Eros pun menertawakan ceritanya sendiri. " Sayang," kata Eros stelah tawanya reda. " Sbelum kita makan,aku mau nunjukin sesuatu." wajah Eros berubah menjadi serius.
" Apa?" tanya Rika lembut. Apakah ini saatnya? Dan, sesuatu itu adalah.... Namun, Rika tdk berani meneruskan kata2nya, dia tdk mau trlalu bnyak berharap. " Will you marry me?" tanya Eros sambil membuka sbuah kotak kecil yg dibungkus beledu merah. Tepat ditengah kotak yg terbuka itu, sbuah cincin tertancap. Pertanyaan Eros begitu menggetarkan sukma Rika. Ingin sekali rasanya dia meminta Eros untuk mengulangi kata2nya, tp tenggorokannya seakan tercekat dan lidahnya kelu sehingga dia hanya bisa membuka dan menutup mulutnya tanpa mengeluarkan suara sdikit pun. Sementara matanya berganti-gantian menatap antara wajah Eros dan cincin cantik yg disodorkannya sambil memegangi dadanya seolah memastikan apakah jantungnya masih berada di tempatnya atau justru jatuh melorot menuju perutnya. Eros menunggu jawaban Rika. Dia tahu kalau Rika sbenarnya sudah menunggu saat2 seperti ini sejak lama. Rika masih terpana. Sekali lg, dia menatap wajah Eros. Sebuah tatapan menyorot balik kpadanya dan menegaskan kalau dia sdang tdk bermimpi. Sontak tubuhnya melayang jauh, tinggi menuju luasnya angkasa. Dia pun begitu takjub, mengapa tubuhnya bisa seringan kapas. Dia trus melayang dan melambung hingga pada ketinggian tertentu, dia tiba2 berhenti. Rika masih blm berhenti takjub, bahkan smakin bertambah2 karna dia dikelilingi oleh bebatuan yg bercahaya. Stekah mengamati beberapa saat, Rika akhirnya tahu kalau bongkahan2 yg mengambang itu adalah bintang2 yg dipandanginya tadi ketika dia masih berada jauh dibawah sana. I'm flaying withouu wings, bisik Rika didlm hatinya. Dia masih blm bosan mengamati apa yg ada disekitarnya. Tiba2, sebongkah batu yg berada paling dekat dgnnya perlahan2 bersinar smakin terang. Perhatian Rika tertuju pada batu itu. Diapun tergelitik untuk menyentuhnya. Direntangkan tangannya dan kini dia sudah memegang batu yg ukurannya sdikit lebih besar dari genggaman telapak tangannya.
Rika menggenggam bintang. Ya, itulah yg dilakukannya. Dan betapa terkejutnya Rika ketika melihat permukaan bintang terukir sbuah tulisan yg sama seperti apa yg dikatakan Eros. Rika meraba tulisan 'Will you marry me' dgn ujung jarinya. Oh my God, it's written in the star. Tiba2, hukum gravitasi kembali berlaku. Rika terjun bebas dari ketinggian. Tdk hanya itu, dia bahkan merasa tersedot oleh sbuah vacuum cleaner raksasa dan dlm sekejap dia sudah kembali keatas kursinya seperti semula. Rika terkesiap. Sesaat, dia memperhatikan orang2 sekitar apakah mereka terheran2 melihatnya perlahan2 terbangmenuju langit, tp beberapa saat kemudian dgn kecepatan yg sangat tinggi dia jatuh kembali kebumi. Mereka smua bergeming dan tentu saja mereka begitu karna apa yg baru dialami Rika hanya di alam pikirannya. Ditatapnya kembali Eros yg masih terdiam menunggu jawabannya. Dgn rekah senyumnya yg termanis Rika akhirnya menjawab, " Yes, i do."
5. Berbagi Kebahagiaan -Fanny, Alin, RikaFanny berdiri diam dgn tangan bersedekap, memperhatikan lift mana yg lebih cepat menghampirinya. Sementara dibelakang ada Bayu, Angga, Galang, dan Romy yg sdang asyik membicarakan sepak bola. Mereka kini brdebat mengenai klub mana yg akn menjuari Liga Italia. Fanny tdk menghiraukan pembicaraan itu. Baginya, sepak bola seperti makhluk luar angkasa-sesuatu yg benar2 asing. Pintu lift yg berada dipaling kanan terbuka. Fanny segera menghampirinya diikuti dgn teman2nya. Obrolan empat pria yg tdi sempat terpotong kini dilanjutkan hingga lift mengantar mereka kelantai dasar. Fanny masih akn terus bersama mereka sampai pintu utama kantor. " Eh, hujan ya!" seru Romy. " waduh, nggak bawa mantel," imbuhnya sambil menepuk keningnya. " sama aku jg nggak bawa nih," sahut Bayu. Fanny tdk kaget kalau skarang sdang turun hujan. Dia sudah tau dari Theo. Kekasihnya itu sudah berada dipelataran parkir kantornya sejak sepuluh menit yg lalu. Mereka bersama akan pergi kesuatu tempat untuk melaksanakan sbuah agenda yg bernama triple date. Bagi Fanny, hari ketika sore harinya dia bisa bertemu dgn Alin dan Rika adalah hari yg menyenangkan. Terlebih lg mereka hari ini akan datang bersama pasangan masing2. Sore ini akn jadi sore yg sempurna. Pikirnya. " Aku udah didpn," kata Fanny ditelepon, memberi tahu Theo. " Oke," katanya lg, lalu menutup telepone. " Fan," panggil Bayu, " kamu nggak pulang?"
" Aku dijemput." Beberapa saat kemudian, Theo datang sambil membawa payung besar yg terombangambing karna embusan angin yg cukup kencang. " Duluan ya," pamitnya kepada teman2nya yg skarang tinggal berdua. Galang sudah pulang karna dia membawa mantel dan Angga hari ini membawa mobil. " Ya hati-hati," respons Bayu dan Romy hampir bersamaan. " Kamu dari kantor pukul brapa, Yang?" tanya Fanny ketika sudah berada didlm mobil Theo. " pukul empat. Td, aku udah nggak ada kerjaan, jdnya aku boleh keluar kantor duluan." Asyiknya, kantor Theo tdk terikat jam kerja yg saklek dan kaku seperti kantor Fanny. *** Fanny dan Theo bergabung dgn Alin, Rika, dan Eros di sbuah meja dgn enam kursi. Masih tersisa satu kursi dan itu sengaja dipersiapkan untuk Ditya-kekasih Alin. Fanny mengecup pipi Alin dan Rika, sementara Theo merangkul Eros sambil menepuk2 pundaknya, tdk ketinggalan pertanyaan apa kabar saling mereka lontarkan. " Maaf ya agak telat. Td pasti Alin yg duluan ya?" tanya Fanny yg kemudian menarik kursinya mendekati meja. " Iya. Aku," jawab Alin sambil memain-mainkan poni yg membingkai wajah tirusnya. Sore ini Alin mengombinasikan eyeshadow warna merah dan pink, lalu mengaplikasikannya dgn teknik tertentu sehingga mata rampingnya terlihat sdikit lebar. Dia jg melengkapi matanya dgn lensa kontak berwarna abu2. Mereka melanjutkan obrolan yg td sempat terpotong mengenai kesibukan Eros. Kekasih Rika itu menceritakan kalau dlm waktu dakat ini dia akn ditugaskan ke Medan untuk melakukan survei lapangan tahap awal. Dia dipercaya oleh atasannya untuk mendesain
sbuah gedung perkantoran disana. Diam2 Fanny memperhatikan Rika yg sepertinya resah, ingin menyampaikan kabar yg lebih dulu dia kabarkan lewat telepon kepada Fanny. " Ditya mana, Lin?" tanya Fanny. Rasanya tdk lengkap kalau Ditya blm hadir untuk mendengar kabar gembira dari Rika dan Eros. " Dia bilang bakal terlambat. Tp, nggak tahu berapa lama, soalnya dia lg nyetir." " Oh, gitu." mata Fanny bertemu dgn mata Rika. " Oiya, Lin. Ada yg mau kasih kabar gembira." " Oh ya?" Alin antusias. " kabar gembira apa? Aduh, aku pasti ketinggalan jauh bnget." Rika menceritakan malam ketika dia dilamar. Saat Rika menyodorkan jari manisnya, smua ikut antusias. " Waaaaa...!" jeret Alin. " Alin ya ampun, bikin heboh aja nih!" seru Fanny cepat2. " Ups, sori!" sahut Alin menutup mulutnya dan memutar2 bola matanya tanpa berani menengok2 untuk melihat reaksi orang disekitarnya. " Terus..., terus, gmana?" Alin bertanya tdk sabar mendengar jawabannya. " Ya.., aku terima," jawab Rika malu2. Alin kembali membuka mulutnya dan berniat mengeluarkan teriakannya. " Eit...,eit, jangan teriak lg!" Fanny buru2 mencegahnya. Fanny berhasil mencegahnya dan Alin kini sudah mengurungkan niatnya. " Sumpah! So sweet, so sweet, so sweet." karna dilarang berteriak, dia mengucapkan kata so sweet sbanyak tiga kali berturut dgn intonasi yg ditekan sbgai kompensasi karna dia tdk boleh teriak. Sbelum Rika menceritakan kabar gembiranya kpada Alin, dia sudah menceritakannya lebih dulu kpada Fanny. Rika melakukan hal itu tanpa maksud, itu hanya karna Alin baru akan pulang kejakarta minggu dpan. Reaksi Fanny pun sama seperti Alin, hanya saja waktu itu
Fanny tdk sampai membuat malu lantaran berteriak ditempat umum. " Rencana tanggal berapa?" " Kalau untuk tanggal blm ada keputusan. Tapi, kemungkinan tiga bln lg, doain ya." " Pasti. Kalau kamu butuh bantuan, aku siap membantu. Kapan aja. Mau siang, mau malam, pokoknya dua puluh empat jam." " Nggak cuma kamu doang kali," proter Fanny, " aku juga." " Benar nih dua puluh empat jam?" " Kayak baru kenal kemarin sore aja," sambar Alin. " Aduh, kalian tuh emang so sweet, so sweet, so sweet." Rika meminjam perkataan Alin lengkap dgn intonasi yg dibuat semirip mungkin. " Anyway, aku mau minta pendapat kalian. Mungkin lalu, aku datang ke resepsi pernikahan teman. Pas diakhir acara, pengantin wanitanya nyerahin trofi bergilir ke salah satu temannya yg sbentar lg mau nikah." papar Eros. " Kalau nanti diresepsi kita ada acara begitu, menurut kalian gmana?" " Ih, lucu. Baru dengar. Kayaknya seru." respons Fanny. " semoga kita ya, The, yg dapat trofi itu." " Eits," sela Alin, " aku dulu. Aku sama Ditya kan pacarannya lebih lama, udah tiga tahun. Sementara kalian, baru dua tahun." " Nggak mau tahu, pokoknya aku duluan." Rika memprediksi ini akan menjadi debat kusir yg tiada akhir antara Fanny dan Alin. Karna itu, dia buru2 mengambil posisi diantara mereka, " Tapi, bentuk trofinya harus yg unik. Jangan piala tujuh belasan." Lalu, sibuklah bercanda tentang bentuk trofi yg aneh2. " Kalau bisa, bener2 bertema wedding." Alin ikut angkat bicara. " Minta tolong sama teman kamu yg jago desain," kata Eros memberi saran. " Oh iya betul, Dion kan jg jago desain. Nanti aku bilang sama dia."
Theo tergelitik untuk bertanya, " Rencananya mau pakai jasa WO atau kepanitiaan keluarga?" Rika dan Eros berpandangan sesaat. " Belum tahu." " Kalau mau pake jasa WO, aku punya daftarnya. Semuanya recomended. Ya.., kali aja bisa buat refenrensi." " Boleh deh. Kirim ke email ku ya. Anyway, skarang gantian kamu dong, Lin, yg di introgasi. Cerita dong paris kayak apa?" " Oh, iya tuh kan, keasyikan ngobrolnya sampai lupa nih aku mau kasih oleh2." Alin mengeluarkan dua paperbag dan memberikannya kpada Fanny dan Rika. " Hmmm...., bau paris emang beda," ujar Fanny ketika melongok isi paperbag itu dan seolah dia benar2 mencium aroma Paris. Mereka terkesima dgn oleh2 yg dibawakan Alin. Parfum, dompet, jam tangan. Lemited edittion pula. " Tenang aja untuk para cowok, aku jg beliin untuk kalian," tutur Alin memberi pengumuman. " Eh, mana Ditya, katanya mau datang?" tanya Fanny sambil meletakan paperbag nya dibawah meja. " Nih dia barusan BBM, katanya sbentar lg sampe. Dia bilang td slesai jam kantor harus ketemu klien dulu," jawab Alin sembari memasukan kembali Blackberry nya kedlm tas. " Oh, iya Lin, td kamu blm cerita apa2." Rika kembali mengingatkan kembali topik pembicaraan yg td sempat terlupa. " Anyway, td kamu dari rumah?" " He-eh." " Kamu nggak kerja sama papi kamu lg?" " Kayaknya sih minggu dpan mau mulai lg. Ada proyek kecil2an. Ya..., aku bantu2 dikitlah, lumayan waktu." Alin anak pengusaha kaya raya, Sigit Prasetyo- yg memiliki sejumlah perusahaan besar di Indonesia. Smenjak lulus kuliah, dia memiliki khidupan yg berbeda dgn Fanny dan Rika. Kalau mereka berdua merasakan melamar pekerjaan, tes psikologi, dan diwawancarai oleh
orang HRD, maka Alin tdk pernah merasakan hal2 seperti itu. Dia bisa kpn saja minta pekerjaan kpada papinya dan dgn senang hati papinya memberikan pekerjaan padanya. " Kamu tuh beneran ke Paris sendirian ya kemarin?" tanya Rika. " Iya. Tp, ada sepupuku disana, Aurel." " Oh, Aurel yg tomboi itu?" tanya Fanny. " Iya. Eh, dia mau nikah, lho." " Oh, ya? Kpan? Aku kira dia nggak suka cowok." Fanny tergelak. " Sama orang sana?" " Yup. Rencananya akhir tahun." " Nanti kamu kesana lg?" tanya Rika. Alin mengangguk sambil menyeruput milkshake nya. " Oh, iya, hampir lupa," ucap Alin tiba2. " Aku mau ngomongin proyek- papiku kemarin cerita soal itu. Semacam proyek launching produk. Kalau kerja sama bareng kantor kamu, gmana Theo, bisa nggak?" Alin menatap Theo memohon. Theo mengangguk-angguk. " Dgn senang hati." " Kan pastinya komunikasi jd lebih gampang, kita udah sama2 kenal." Theo mengangguk tersenyum, " Kira2 launchingnya kpan?" " Masih blm tahu." " Kantorku lagi hectic ngurusin road show di mal2 se Makasar. Lusa aku mau kesana. Tp kalau emang jadi, itu bisa diatur." " Hi guys!" sapa seorang pria yg tiba2 mendekati meja mereka. " Sori, aku telat." Dia menggaruk-garuk kpalanya, lalu menatap Theo dan Eros secara personal. " Eh, sayang." wajah Alin langsung cerah ceria. " tadi, aku kira kamu nggak bisa datang." " Masa sih nggak datang. Udah nggak ketemu sebulan." ujar Ditya yg mengambil tempat duduk disamping Alin. " Tadinya, aku sempat negative thinking, Dit, apalagi nomernya nggak bisa dihubungin. Jangan2 kecantol bule Prancis." kata Fanny bergurau. " Wah, kalau sampe kayak gitu ceritanya, aku samperin kesana. Aku suruh pulang saat itu
juga," ujar Ditya sambil menggulung lengan kemejanya sbatas siku. " Tp, kenyataannya nggak kaya gitu kan?" timpal Alin tersenyum. Ditya hanya tersenyum kpada Alin tanpa berkata apa2. " Minggu lalu, Rika dilamar lho sama Eros," kata Alin memberi tahu Ditya. " Oh, ya? Wah selamat kalau gitu." Ditya menepuk2 bahu Eros. " Terus kamu kapan lamar aku?" tanya Alin dgn nada manja. Ditya tampak tertegun dan tdk mampu berkata apa2. Sunyi sesaat diantara mereka. " Malah bengong," canda Alin. " Uhmmm...." Ditya salah tingkah, " tunggu aja tanggal mainnya." " Kamu ketemu klien dmana tadi?" " Uhmm... Itu tdi dikantornya. Di.., dimana tuh namanya." salah tingkah Ditya smakin menjadi2. " Di Thamrin. Biasalah lobi-lobi." Ditya adalah salah seorang yg tergabung kedlm tim kreatif sbuah stasiun televisi. Dia brsama timnya dituntut untuk slalu punya ide2 segar dan terobosan baru dlm pembuatan progam tayangan yg bermutu dan disukai para pemirsa. Tdk jarang dia juga harus brtemu dgn sejumlah klien untuk kelancaran progam yg telah dibuat brsama timnya. " Oh. Thamrin...." Alin tampak mengangguk-angguk. Sementara, Fanny menangkap kejanggalan diwajah Ditya. Dia lalu memandang Theo, mungkin saja pacarnya itu juga merasakan hal yg sama. Namun, ketika dia mendapati kekasihnya menekan2 keypad ponselnya, dia tahu bahwa Theo tdk menyadarinya. Fanny lalu beralih ke Rika. Mata mereka beradu pandang sesaat, bsa jd dia menyadari ada sesuatu yg salah pada diri Ditya. Namun, apapun itu dia tdk mau kalau sampai merusak agenda yg menyenangkan ini. Momen kebersamaan ini terlalu berharga untuk ditukar dgn apa pun.
6. Sebuah Awal ? -RikaRika menyeruput teh hagatnya diteras belakang rumahnya. Dgn koran minggu pagi yg terselip dijari, dia membacanya sambil ditemani gemercik air yg berasal dari kolam ikan dihadapannya. Sebuah awal yg menyenangkan, pikir Rika kpada dirinya sendiri. Memulai minggu pagi yg cerah dgn secangkir teh beserta beberapa potong kue kering untuk tubuhnya dan setangkap surat kabar untuk otaknya. Sbagai pemanasan, dia membolak-balik koran itu. Dilihatnya lembaran2 berita itu secara sekilas. Dibgian tengah koran, trdapat sbuah artikel mengenai olahraga sepeda. Ingatannya langsung tertuju kpada Eros yg saat ini sdang tugas ke Medan. Ya, sang kekasih tercinta sangat menyukai olah raga itu. Jika dia berada dirumah tentu dia bersepeda berkeliling kompleks perumahannya. Rika telah selesai membolak-balik surat kabar harian itu dari awal hingga akhir halaman. Stelah itu, barulah dia mulai membaca sbuah berita yg paling menarik perhatiannya. " Dibalik kesegaran Buah Impor". Rika membaca judul besar artikel itu dlm hati. Selain sbagai pegawet, lapisan lilin juga membuat buat impor tampak lebih segar dan mengilat, lanjut Rika yg membaca kalimat penjelas yg tepat berada dibawah judul. Dgn tekun, Rika membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Ketika dia sampai pada paragraf ketiga, dia mengangguk-angguk dan menggumamkan kata, "Oooh." Antusias Rika meningkat. Dia pun semakin bersemangat untuk membaca paragraf selanjutnya. Begitu seterusnya. Dia tetap menunduk, menelaah baris demi baris yg berjejer rapi. Ketika dia mendapati kalimat yg kiranya menambah wawasannya, dia pun kembali
mengangguk-angguk dan menggumamkan kata, "Oooh." Lima menit berlalu sudah dan dia sudah selesai membaca artikel itu. Dgn sbuah kesimpulan yg telah didapatkannya, sekarang Rika membolak-balik halaman koran itu dan membaca beberapa berita pendek. Rika menenggak tehnya sampai habis, lalu menyelesaikan camilannya dan melipat korak itu menjadi empat bagian. Dia meregangkan tubuh sbentar dan bangkit dari duduknya menuju kolam ikan yg berada didpannya. Dgn posisi tubuh sdikit membungkuk dan kedua tangan ditempatkan di atas lutut, dia memandangi kawanan ikan yg berwarna-warni bergerak santai mengitari seputar kolam. Beberapa diantaranya memilih berenang dipermukaan dan sisinya lebih suka berdiam diri di dasar kolam. Selama beberapa saat Rika memandangi ikan2 itu, hingga akhirnya dia beralih kesbuah kotak plastik yg berisi makanan ikan. Rika menghampiri kotak itu, mengambil isinya, dan menaburkannya ke atar permukaan kolam layaknya sdang menaburkan mesis keatas permukaan roti tawar. Ikan2 yg berada dipermukaan air langsung melahap apa yg diberikan Rika. Sementara mereka yg tadi berada di dasar kolam, tampak kecewa ketika tahu makanannya sudah habis. Segera Rika kembali menjumput butiran2 kecil itu dan menaburkannya didekat ikan2 yg td belum mendapat bagian. " Wah, kayaknya udah kenyang." ucap Rika stelah beberapa kali memberikan makanan kpada ikan2 yg berenang didlm kolam sana. Rika berdiri tegak dan membersihkan telapak tangannya dari serpihan2 makanan ikan. Dia melangkah kedlm sambil membawa serta cangkir dan piringnya yg sudah kosong dgn kedua tangannya. Sementara koran yg sudah terlipat dikempitnya. " Sarapan, Rik." kata ibunya ketika Rika masuk ke dlm dapur. " Sarapan apa, Mam?" " Bubur," jawab sang Mama sambil sibuk meracik bubur ayam untuk dirinya dan sang Ayah. " Mau Mama bikinin sekalian?" " Enggak..., enggak usah, Mam. Masih agak kenyang." jawab Rika sambil mengusap-usap
perutnya. " Kalau nanti mau bikin sendiri, buburnya ada didapur ya," ucap sang Mama. " Oke,.. Makasih, Mam." Mama Rika keluar dapur sambil membawa sbuah baki kayu dgn dua mangkuk diatasnya. Sementara Rika menuju tempat cuci piring untuk mencuci cangkir dan piring yg tadi dipakainya. Dia memulai dari cangkir terlebih dahulu. Stelah benda itu sdikit dibahasi, dia meraih spons dgn tangan kanannya. Ketika dia ingin melumuri dgn buah sabun, tiba2 genggaman tangan kirinya mengendur dan cangkir kaca itu meloncat dan mendarat didasar bak cuci piring. Tak ayal, benda itu langsung terbelah dua. Rika kaget, jantungnya masih berdegup-degup kencang sewaktu melihat cangkir yg sudah tdk utuh lagi. Dia ingin membereskan kepingan2 itu, tp karna tdk hati2, ujung jarinya menyentuh bagian yg tajam. " Auuwww!" jerit Rika. Darah merah segar keluar dari lukanya yg terbuka. Sambil memaki kecerebohannya, Rika buru2 menghampiri kotak obat untuk mengobati lukanya. Stelah darah berhenti mengalir dia kembali kedapur untuk membereskan kekacauan yg sudah dibuatnya dgn lebih hati2. Selesai urusannya didapur, Rika beranjak keruang keluarga yg terlihat legang sambil meniupi jarinya yg terasa perih akibat terkena air tadi. Dia duduk sambil melamun. Ada2 saja, pagi2 malah kena pecahan kaca, pikirnya. Sempat terbesit hal buruk dibenaknya. Namun, dia segera menepisnya, berpikir kembali menikmati udara pagi. Rika duduk sendirian diruangan itu. Awalnya, dia mengira kalau orangtuanya sarapan sambil nonton televisi. Ternyata, mereka memilih teras dpan sambil asyik membincangkan beragam topik. Rika tersenyum melihat ayah dan ibunya, lalu asyik dgn dirinya sendiri lg. Dia bersandar diatas sofa empuk sambil menekan tombol power pada remote teve yg digenggamnya. Stasius televisi yg kali pertama muncul adalah salah satu televisi nasional yg menampilkan film kartun pada hari Minggu itu. Beberapa stasiun teve nasional lainnya
menayangkan film yg sejenis. Pilihan Rika terus berpindah dari satu channel ke channel lainnya. Merasa bosan dgn saluran teve nasional,dia pun beralih ke saluran satelit. HBO menjadi pilihan pertamanya. Siapa tahu dia beruntung film yg ditayangkan saluran ini baru mulai. Rika mengikuti sejenak film itu meskipun akhirnya dia tahu kalau sbenarnya sudah ketinggala. Furs: An Imaginary Portrait, batin Rika ketika sbaris tulisan kecil muncul disudut kiri bawah kotak televisinya. Rika mengabaikan film yg ditontonnya, tak paham alurnya. Ia sudah berada dibagian akhir film itu. " Ah, nggak ngerti!" gerutunya sendiri sambil beralih ke HBO Signature. Terlihat Chris Gardner-yg diperankan oleh Will Smith, memenuhi panggilan wawancara. Penampilannya yg berantakan sangat kontras dgn para karyawan yg berjalan hilir mudik dgn dasi dan stelan jas. Pursuit of Happiness adalah film yg bagus, tp Rika sudah menontonnya. Cinemax menjadi pilihan berikutnya. Sbuah film yg diliris pada tahun 1988 tersaji didpnnya. Arnold schwarzenegger kelihat begitu excited ketika tahu kalau dia punya saudara kembar. Rika sudah tahu siapa yg menjadi kembaran sang Terminator. Dia tdk lain dan tdk bkn adalah Danny DeVito. Rika juga tdk perlu menunggu sederetan tulisan yg muncul dikiri bawah kotak televisinya untuk mengetahui film judul itu-Twins. Cinemax jelas bkn saluran pilihannya. Rika pun kembali menjelajahi sejumlah saluran yg tersedia. Fashion TV, Cartoon Network, National Geographic, hingga akhirnya dia menekan saluran Chanel V. 'And I don't want the world to see me Cause I don't think that they'd understand When everything's made to be broken I just want you to know who I am'. Rika menonton vidio clip dari lagu yg dibawakan ulang oleh Ronan Keating, stelah selama bertahun2 tdk menontonnya. Rika kembali terkesima- sama seperti ketika kali pertama
melihatnya, bkn karna dia fans berat salah satu personel Boyzone itu, melainkan karna lokasi syuting vidio klip, Hotel Burj al-Arab (Menara Arab) yg berada di Dubai, Unit Emirat Arab. Hotel yg memiliki ketinggian 321 meter itu memiliki bentuk yg unik. Gedung itu memang sengaja dirancang menyerupai layar perahu tradisional Arab-dgn helipad bulat diatasnya. Beralih dari hotel Burj al-Arab, tp masih dikota yg sama, trdapat pulau2 yg dibuat dgn mengeruk pasir pantai dasar laut. Gugusan pulau itu disebut Palm Islands yg tampaknya disebut2 sbgai keajaiban dunia yg kedelapan. Begitulah yg pernah Rika baca pada salah satu koran nasional. Rika tdk berhenti berdecak kagum ketika koran yg dibacanya itu memuat foto Palm Islands yg diambil dari atas. Negeri Para peri. Begitulah Rika menjuluki Kota Dubai dgn sgala keajaiban dan kemewahannya. Mungkin, suatu hari nanti, dia dan Eros bisa berkunjung ketempat itu. Dia tersenyum sendiri memikirkan khayalannya. Bayangan tentang Negeri Para Peri tiba2 dibuyarkan oleh suara dering telepon yg berada disebelahnya. Rika terkesiap. Rika mengarahkan tubuhnya sdikit untuk meraih alat komunikasi yg terus berbunyi itu. " Halo." " Bisa bicara dgn Mbak Rika?" tanya suara diseberang sana. Rika heran, kira2 siapa perempuan yg menelponnya dgn suara sesegukan. " Ya. Ini Rika. Ini dari siapa ya?" " Ini dari Icha, Mbak." Rika memutar-mutar bola matanya sambil menduga-duga ini Ica Nurisa atau Ica Clarisa-dua orang Icha yg dikenalnya. Suaranya kurang jelas. Dia merasa tdk yakin. Akhirnya dari pada dia terus dlm ketidak pastian, Rika pun bertanya, " Ini Icha Nurisa atau Ica Clarisa?" tanya Rika hati2. Perempuan diujung telepon sana tdk langsung menjawab, sepertinya dia mengusahakan agar suaranya terdengar normal, tp ternyata tdk membuahkan hasil. " Ini Ica Clarisa," kata
Ica dgn suara bergetar. Clarisa atau yg lebih akrab dipanggil Ica adalah adik Eros. Pasti soal Anton, pikir Rika kpada dirinya sendiri. Anton adalah pacar Ica, dan Ica cukup sering berkonsultasi tentang cinta kpada Rika. Maklum saja, Ica adalah satu2nya anak perempuan di keluarga Eros. Tp, tumben2 amat dia nelpon kerumah.... " Kenapa, Ca? Anton bikin kamu sebal lagi kah?" " Bukan soal Anton, Mbak...." Ica smakin terisak-isak. " Ini soal Mas Eros, Mbak...." Eros? Jantung Rika berdetak keras dgn tiba2. " E... Eros?" Rika tergagap. Oh, God. Eros knapa? Pagi tdi, Eros baru sja mengabarkan kalau dia akan naik pesawat, kembali ke Jakarta stelah perjalajan dari Medan. " Iya Mbak, Mas E-ros.... Mas E-ros..." Ica tdk dpat menahan tangisnya. " Mas Eros meninggal, Mbak.... Pesawatnya kecelakaan...." Kehdupan Rika mendadak seperti Film yg tiba2 di pause. Dia masih blm mempercayai pendengarnya. Sontak, mata Rika dipenuhi air mata yg seakan sudah tdk sabar menetes. Sementara itu, langit2 rumahnya seakan runtuh menimpa kepalanya dan pada saat itu dia tahu kalau hari ini bknlah awal yg menyenangkan, melainkan akhir yg menyedihkan.
7. Berbagi Rasa -Fanny, Alin, Rika" Hai," sapa Fanny ketika membuka pintu kamar Rika. Alin dan Rika yg sdang berselonjor santai diatas tempat tidur spontan mengangkat kepala, melepaskan tatapan mereka dari monitor laptop. Sesaat, hati Fanny terasa ngilu sewaktu memandang balik sorot mata Rika yg lesu dgn lingkaran hitam disekelilingnya. Indra penglihatannya itu terlihat cekung dan seakam menyiratkan kelelahan yg teramat sangat. Dia merindukan sorot mata Rika yg ramah. Di jg kehilangan wajah bulatnya yg bersahabat, wajah yg slalu dihiasi dgn lengkungan senyum dibibirnya. Fanny bertanya2 apakah dia akn mendapati sorot mata dan ekspresi wajah Rika seperti sedia kala. " Hai, Fan," jawab Alin. " Gmana dijalan? Macet nggak?" Fanny hanya tersenyum, melepaskan tas ranselnya yg terlihat sarat muatan. Hari rabu ini Fanny dan Alin berencana untuk menginap dirumah Rika. Mereka ingin menemani Rika semalaman. Saling bertukar cerita atau sdikit bergurau untuk mengurangi kesedihan Rika. Tdk masalah bagi Fanny untuk berangkat kekantor bkn dari rumahnya sendiri. Terlebih lg Alin yg statusnya masih 'pengangguran'. Dia sudah datang dari tadi siang. " Rik," panggil Fanny, " Lg liat apa?" Rika tersenyum tanpa ekspresi. " Lg liat2 Video di Youtube. Td sempet liat video clip jadulMichael Jackson, Whitney Houston, Take That. Nostalgia." " Ngomong2 nostalgia, aku jd mau nunjukin sesuatu sekarang." Fanny duduk dilantai, membuka ranselnya. Mendadak dari dlm ransel, blus putih dgn motif garis, mencuat keluar. " Sebentar ya, baju buat besok nih." Fanny mengeluarkan baju itu dan merentangkannya diudara, lalu mengarahkan pandangannya kearah lemari pakaian Rika. Seolah bisa menerawang isi kepala Fanny, Rika pun berkata, " Hanger ya? Kayaknya ada deh
satu dilemari." Fanny membuka lemari Rika dan mendapati ada dua buah hanger kawat yg tdk digantungin pakaian. Sekilas pandangannya menangkap sbuah gaun hitam yg sepertinya familier. Rasa penasarannya mengalahkan tangannya untuk mengintip gaun itu. Potongan leher kotak dgn apliksi renda disekelilingnya. Ya. Tdk salah lg. Ini pasti gaun yg dipakai Rika ketika mlam dia dilamar. Tiba2, dada Fanny seperti ditancapkan pecahan kaca, lalu pecahan kaca itu ditarik kebawah dgn sekuat tenaga sehingga tinggallah luka yg menganga lebar. Rasanya sakit luar biasa pikir Fanny pilu. Pandangannya pun mengabur karna dipenuhi air mata, tp buru2 dia mendongakan air mata sambil berharap dua sahabatnya tdk curiga dgn apa yg dia lakukan. Seandainya saat ini keadaannya berbeda, pasti dia sudah meminta Rika untuk mereka ulang kehebohan disore harà itu. " Aku mau nunjukin ini ke kalian," cetus Fanny stelah urusan menggantung bajunya selesai. Dari tangan kanannya, dia menyodorkan sbuah foto dgn bingkai kayu bercat cokelat tua. " Nih." " Haaah, ya ampun." Alin memekik. Sorot mata Rika pun mendadak berubah. Seperti ada kehdupan baru disana. Dia pun melupakan laptop yg tadi ada dipangkuannya. " Ini kan waktu kita wisuda?" ucap Alin yg masih lekat memandangi foto mereka bertiga dgn baju toga. Fanny mengangguk-angguk penuh kemenangan. Misinya sukses dan dia ikut duduk nimbrung diatas tempat tidur Rika. Untuk beberapa saat, dia mendengarkan celotahan riang Alin dan memandangi seringai gembira Rika. Merela lalu membahas baju kebaya, make up, dan hair style mereka. Layaknya sbuah pesta, mereka pun menyiapkan kostum sejak jauh2 hari sbelumnya. Soal pipi Fanny yg masih tembem tdk luput dari pembahasan. Yaaaah,
bgaimana tdk tembem- proses penyusunan skripsi dan deadline nya yg menggila menjadikan makanan sbgai pelariannya. Ketika malam merambat naik, giliran Alin yg beraksi. Misinya adalah membawa beberapa DVD film komedi. Film drama cinta sangat teramat dilarang, bahkam shrek yg termasuk film komedi tp karna ada bumbu cinta, jd dimasukan dlm kategori film terlarang. Misi Alin pun menuai sukses. Rika hanyut dlm gelak tawa dan sementara waktu dia melupakan beban berat yg tengah ditanggungnya. Ketika pukul sembilan, Rika mulai menguap, dan tepat pukul stengah sepuluh, dia sudah jatuh tertidur. Mungkin karna kelelahan batinnya atau mungkin dia berencana untuk masuk kantor kembali stelah izin tiga hari. Alin bangkit perlahan2, -agar tdk mengagetkan Rika- untuk mematikan DVD player. Sementara Fanny memandangi wajh damai Rika dgn punuh sayang. Rasanya usahanya ini blm berarti apa2. Namun, mereka akan usahakan apapun untuk Rika. Fanny jd teringat peristiwa sbelum dan sesudah prosesi pemakaman Eros. Betapa Rika begitu lemah jiwa dan raganya shingga dia dan Alin harus slalu memegangi lengannya. Dia jg bersusah payah membujuk Rika untuk makan walaupun hanya sesuap. " Yuk, kita tidur jg, Fan...," ucap Alin, tangannya sudah bertengger disaklar lampu. " Lin." ujar Fanny dgn suara berbisik. Alin menatap Fanny yg tampak muram, mengurungkan niatnya untuk mematikan lampu lalu mengambil tempat didekat Fanny. " Ya?" " Kamu masih ingat mimpi kita bertiga? Impian untuk punya rumah yg berdekatan, stelah kita smua menikah. Eros mendesai rumah untuk kita bertiga- rumah dgn halaman belakang biar setiap bulan kita bisa memanggang barbekyu. Bulan pertama dirumahmu, bulan kedua dirumah Rika, bulan ketiga dirumahku, begitu seterusnya." mata Fanny menerawang. " Ketika kita punya anak nanti, kita ajak mereka ke acara bulanan kita. Kalau stiap kita punya
dua anak, berarti keluarga kita totalnya jadi dua belas orang," imbuhnya. " Seperti biasa; kita mengobrol, berbagi cerita, tertawa. Sementara anak2 kita berlari-larian dihalaman rumput; main kejar-kejaran, main petak umpet......." " Fan..., jangan terusi lg," pinta Alin yg sudah tdk kuasa menahan air matanya. " Sekarang smuanya kayak jadi mimpi buruk, ya, Lin...," sambung Fanny jg ikut menitikan air mata. " Soal ide Eros soal trofi bergilir." dia merasa kehilangan atas kepergian Eros. " Ide unik itu nggak akan jd kenyataan untuk selamanya." Selama beberapa saat, mereka membiarkan keheningan menguasai mereka. Dan, ketika mereka dirasa sanggup untuk menghentikan linangan air mata, Alin berkata, " Kita tdur sekarang, Fan..., takut Rika kebangun..." Fanny mengangguk, " Iya." Alin bangkit untuk mematikan lampu. " Goodnight, sist," ucapnya dlm gelap, lalu mengambil tempat berbaring disebelah kanan Rika. " Sleep well, Lin," timpal Fanny. Mereka pun menarik selimut hingga ke dada dan mencoba memejamkan mata.
8. Sebuah Rencana -Fanny, Alin, Rika'Sementara itu, pemirsa, pihak yg berwenang akhirnya kemarin mengumumkan ditemukannya kotak hitam yg merupakan kunci untuk menguak misteri kecelakaan yg menimpa pesawat yg bertolak dari Medan menuju Jakarta....' Rika meraih remot tv, kemudian menekan tombol merah, dan gambar seorang reporter wanita yg melaporkan langsung dari lapangan seketika hilang. Dia tdk sanggup menyimak berita itu lebih lama. Eros, calon suaminya, menjadi salah satu korban tewas dlm kecelakaan itu tepat seminggu yg lalu. " Apa rencana kamu habis ini?" tanya Fanny lembut yg menambatkan tangannya diatas pangkuan Rika. " Blm tahu, Fan.." Rika menarik napas panjang dan mengeluarkannya. " Tp yg jelas, aku butuh waktu untuk ngembaliin smua seperti semula." imbuhnya dgn nada setegar mungkin, tp tetap saja sesekali ada guratan kesedihan yg mengurangi kecantikan wajah Rika. Alin yg duduk disamping Rika melingkarkan lengannya, kemudian mengelus bahunya lembut." Kita tahu kalau ini berat bnget untuk kamu." kepala Rika tumbang dipundak Alin, " Aku pengin ngelakuin satu hal yg bisa membuat kesedihan kamu berkurang." Rika menegakan kepalanya, " Kalian ada disini aja, aku udah berterima kasih bnget." tutur Rika sambil menggenggam kedua tangan sahabatnya. *** " Halo,"
" Fan, kamu udah mau istirahat makan siang kan?" tanya Alin dari ujung telpon. Fanny melirik ke jam meja yg duduk manis disamping tumpukan berkas2nya. Kurang sepuluh menit menuju pukul 12. " Hmm..., iya sbentar lg." mendadak cacing2 diperutnya berunjuk rasa, mendesak agar tuntutannya segera dipenuhi. " Aku mau ngomong sama kamu. Aku skarang di food court di mal dpn kantor kamu." Fanny mendengarkan sambil menekan control S pada keyboard komputernya. " Aku mau ngomong soal Rika." " Oh, oke. Aku kesana. Sepuluh menit lg ya." *** " Fan, kira2 apa yg bikin Rika nggak sedih terus," kata Alin membuka topik pembicaraan ketika Fanny baru sampai di food court yg dimaksud. " Tp, aku salut bnget sama dia, dia masih bisa stegar itu didpn kita." " Iya, Lin. Kalau aku sendiri yg ngalamin hal kayak gitu, aku yakin nggak bisa stegar dia," kata Fanny. " Apalagi pas tahu Eros meninggal karna kecelakaan pesawat, aku langsung ingat Theo. Kamu tahu sendiri, akhir2 ini dia sering bolak-balik keluar kota. But, thank God! He's alright, he's fine.., at least, until now." Alin yg duduk diseberang Fanny hanya tersenyum. Dia tahu betul betapa perasaan sahabatnya begitu campur aduk. " Well, punya ide untuk Rika?" " Hmm..., apa ya?" Fanny menyandarkan punggungnya disandaran kursi. " Kalau aku lg suntuk, lg bete.., biasanya aku melarikan diri dari kehdupanku yg hiruk pikuk." " Berlibur maksud kamu?"
" Ya..., semacam itulah. Tp, kalau sengaja pergi liburan pas weekend, males macetnya. Jadi aku izin nggak masuk sehari, aku pergi sendiri kepuncak, aku liatin deh tuh hambaran kebun teh. Atau pergi ke Ancol. Aku liatin laut..., ya walaupun bnyak sampah sih, tp it works for me. Apalagi aku kan perginya pas hari kerja, jadinya enak, sepi. By the way, kamu mau ngajak Rika liburan?" Seorang pramusaji berhenti disamping meja mereka untuk mengantar pesanan Alin. "Fan, kamu nggak pesen makanan?" tanya Alin stelah dia mengucapkan terima kasih kpada pramusaji itu. " Iya, aku udah laper bnget." Fanny memesan nasi ayam goreng seperti Alin. " Jadi, kita ajak Rika liburan," ucap Alin sambil makan. " Oiya, kamu mau ngajak Rika liburan?" " Kalau itu bisa ngurangin kesedihannya, knapa nggak?" " Kemana?" " Kemana ya enaknya?" Alin berhenti mengunyah sejenak, dia sdang berpikir kemana enaknya mereka berlibur. " Atau enggak, biar Rika sendiri aja yg nentuin. Terserah dia mau kemana," ucap Alin sambil menyuap makanannya.
9. Bersama -Fanny, Alin, RikaTiga buah kursi berjemur diatur berjajar menghadap laut. Sama sekali bkn berjemur, karna bulan separuh menggantung tinggi diatas langit sana, mengisyaratkan waktu sudah stengah jam meninggalkan pukul tujuh. Walaupun keindahan pemandangan alam pantai Anyer telah diselimuti oleh pekatnya malam; suara debur ombak dan embusan angin yg membawa aroma garam; cukup menyadarkan Fanny, Alin, dan Rika bahwa mereka sdang berada diujung barat pulau Jawa. Tepat ketika matahari sdang terik2nya memancarkan sinar ultravioletnya, mereka sampai divila yg menjadi tempat tujuan mereka. Vila yg hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari bibir pantai ini milik keluarga Alin. Fanny terperangah dgn kedekatan jarak itu. Bayangkan, ketika membuka pintu dan jendela, hamparan pasir dan genangan raksasa air laut sekonyong-konyong hadir di dpn mata, layaknya pekarangan rumah. Sekitar dua jam lalu, masih diatas kursi yg sama, mereka sama2 menyaksikan pemandangan yg spektakuler dlm diam. Sinar semburat lembayung senja terpanjar dari sela2 awan jingga. Sementara air laut dgn begitu eksotiknya memantulkan bayangan terbenamnya matahari diperbatasan cakrawala. Serpihan2 cahaya yg berpencaran diangkasa ditangkap oleh cermin horizintal super besar, kemudian dibiaskan menjadi kilauan intan, permata,dan berlian yg bertebaran dimana2. Permukaan air laut yg kini disesaki oleh bebatuan indah cemerlang itu seakan trlihat begitu nyata didpn mata, dan turut menyemarakkan detik2 sang surya menuju ke peraduannya. Tenggorokan Fanny tercekat dan benaknya dipenuhi sensasi. Napasnya terasa mau putus selama menikmati panorama luar biasa itu. Matanya begitu rakus memandanginya seakan ini adalah hal yg terindah yg pertama kali dilihatnya. " Sweet escape," kata Fanny akhirnya pada Rika. Dia teringat lagu Gwen Stefani yg berduet dgn Acon. " pilihan kamu nggak salah, Rik."
" Ini karna vilanya,..., posisinya," timpal Rika, " dan ide brilian kamu." Fanny tertawa konyol. " Itu cuma ide kecil, ide sederhana." " Anyway, kamu cuti berapa hari, Fan?" " Seminggu. Tahu nggak, bulan ini pas bnget aku setahun kerja," jawab Fanny. " Ternyata, setahun itu sebentar. Bener2 nggak terasa," Rika mengangguk-angguk setuju. " The Jealous Club pasti ngomel2 nih lantaran kerjaanku mereka yg kerjaain." The Jealous Club yg dimaksud disini adalah teman2 seruangannya yg slalu merasa susah kalau Fanny sdang mendapat kesenangan. Siapa lg kalau bukan Winda, Violet, Tasha, dan Monique. "Pas masuk nanti aku harus bawa oleh2 nih, buat menyumpal mulut mereka biar mereka nggak bawel.., at least, didpnku." Rika tertawa. "Mau disumpal pakai apa, Fan?" Fanny pun ikut tertawa, tertawa karna Rika tertawa. Ada perasaan sukacita yg menggelegak didlm kalbunya. Rika tertawa. Ini keajaiban, pikirnya senang. Tiba2, tawa Fanny meledak. Dgn spontan dan tanpa didahului aba2 sama sekali, fantasi terliar mulai menguasainya. " Are you thinking what I'm thinking?" Sorot mata Rika berbinar menggoda. "Emangnya, kamu mikir apa?" " Kayaknya tiga genggaman pasir cukup untuk bikin mereka bungkam." "Tp, itu agak sdikit kejam, Fan." Rika terkikik. "Yaaah..., sekejam perlakuan mereka padaku." " Tapi aku salut sama kamu, Fan." gelak tawa masih mengiringi perkataan Rika. "Kamu bisa ya betah kerja disana. Padahal, temen2 kerja kamu sering nyebelin, blm lg bos kamu yg begitu." " Sebenarnya, betah nggak betah sih, Rik. Kalau soal temen2 kerja, sbisa mungkin aku menghindari cewek2 itu. Tp, untungnya temen2 aku yg cowok2 nggak resek." " Berarti kamu gaulnya sama cowok2 itu?" " Nggak juga sih. Obrolan mereka tentang bola terus, mana aku ngerti! Bisa jd kambing congek deh kalau ada diantara mereka. Tp, untungnya aku masih punya hubungan baik sama temen2 diruang akuarium-ruanganku yg lama. Jadinya kalau makan siang aku suka
bareng mereka." Ruang akuarium-smua orang dikantornya menyebutnya begitu karna ruangan persegi itu dikelilingi kaca bening. "Terus kalau soal bos, selama dia nggak kurang ajar, aku masih bisa atasin. Tapi, emang sih ya, Rik.., namanya jg orang kerja. Pasti ada resiko dan konsekuensinya. Kayak ditempat kerjaku yg dulu. Itu bosku, ya ampuuuuuunn..., dimata dia kerjaan nggak ada yg beres. Malah, dia cari2 kesalahan bawahannya gitu." " iya Fan, kamu bener bnget. Smua ada resiko dan konsekuensinya." " Temenku yg masuknya barengan sama aku ditempat yg dulu itu, skarang udah jadi staf ahli. Dia orangnya sabar bnget. Tp, bkn berartì he-eh-he-eh aja, kalau dia nggak sependapat atau ada yg salah, dia ngomong." Fanny jd teringat Lusy. Sudah lama meraka tdk saling brtukar kabar. "Emang ya, kesabaran itu membuahkan hasil bnget." ujar Fanny sambil menghalau rambutnya yg jatuh kematanya karna embusan angin. " Kalau kamu sesabar temen kamu itu, kamu udah jd staf ahli skarang." " Iya, kali ya. Tapi, aku jg nggak nyesel kerja ditempat yg skarang. Dibikin enjoy aja. Nggak usah terlalu dipusingin. Tanpa itu, beban hdupku sudah cukup berat." Fanny tergelak sendiri. "Hey girls, aku udah ngelewatin obrolan apa aja nih?" Sela Alin yg baru saja kembali dari toilet. " Biasalah, obrolan tentang kantorku yg nggak ada habisnya itu, Lin." sahut Fanny. Alin tergelak, lalu menjatuhkan tubuhnya dikursi. " Kalau bulannya bulan purnama," sambungnya sambil mendongak, "suara ombaknya lebih kenceng. Fanny langsung ingat dgn pelajaran SDnya dan sampai skarang dia masih blm berhenti trheran2, pasalnya bulan yg ukurannya jauh lebih kecil dari bumi dan jauhnya ratusan ribu kilometer, gravitasinya mampu membuat air laut pasang. " Besok pagi kita berenang ya. Atau, mau naik banana boat?" Alin memberikan pilihan. "Kano sama jet ski, kalau nggak salah jg ada deh." " Kayaknya banana boat lebih seru. Bisa rame2." Fanny menyumbang suara.
" Kamu sering kesini ya, Lin?" tanya Rika yg membuka topik obrolan baru. " Sering sih enggak. Cuma beberapa kali, dua atau tiga kali. Selalunya sih pas liburan anak sekolah. Sengaja, biar keponakan bisa ikutan smua." " Wow, rama bnget dong." " Begitulah. Si Rio, keponakanku yg paling gede, si ketua Geng Pasukan Kurcaci Heboh, pagi2 buta udah rame sendiri bangunin yg lainnya, ngajakin berenang. Namanya jg anak lg senang2nya main, trus bnyak temennya. Kalau jari blm keriput, bibir blm biru, blm mau udahan. Pokoknya mereka berenang udah kayak minum obat deh." " Sehari tiga kali dong!" tukas Fanny. " Iya. Atau malah lebih kali yg. Itu si Viska, kponakanku yg putih, sipit kayak orang cina jadi item, gosong! Sampe2 omanya yg dari papanya nggak ngenalin." " Kalau orang bule justru itu yg dicari," Rika menimpali. " Aduh, gue ngiri bnget deh sama kamu, Lin. Kamu punya lima kakak, delapan keponakan. Eh, bener kan delapan?" tanya Fanny takut salah. " Iya, delapan." " Kalau udah kumpul seru bnget. Kamu masih mending, Rik. Punya kakak satu, adik satu, keponakan satu. Akuuuuu???" ujar Fanny merana. "Aku anak semata wayang. Nggak bakal aku punya keponakan. Padahal pengin bnget bisa gendong2. Kalian beruntung bnget." " Ya udah gini aja. Sbentar lg, kakak iparku mau melahirkan. Kamu urusin aja deh keponakanku. Kalau nggak salah kamu perna bilang pengin cari tambahan," Kata Alin dgn lagak serius. " jadi baby sitter?" " Ya..., begitulah kira2." " Hmph!" degus Fanny. "Itu sih lain lg urusannya." *** " Kalian udah ngantuk ya?" tanya Rika. " Nggak juga," jawab Alin singkat. Fanny menguap, "Udah ngantuk dikit sih, tp aku merasa sayang kalau jam segini udah tidur."
" Aku jalan2 sebentar ya," ujar Rika bangkit dari duduknya. Rika berjalan menjauh, menyusuri pantai tanpa alas kaki. Vila disamping kanan kiri tampak menggelar pesta kecil2an. Pesta kembang api dan api unggun. Disebelah kanan, beberapa anak kecil berkejaran sambil memegangi kembang api. Samar2 trdengar suara cekikikan ketika salah seorang anak berhasil ditangkap. Sementara disebelah kiri, sejumlah mudamudi duduk disekitar api unggun. Satu orang memainkan gitar dan sisanya menyanyikan sbuah lagu yg layaknya sudah seperti national anthem untuk acara gitar2an seperti itu. " Rika mau kemana?" tanya Fanny penuh selidik. " Kayaknya dia butuh waktu sendirian," jawaeb Alin menerka-nerka. Rika berjalan diiringi suara tawa yg riuh rendah ketika melewati pesta kecil2an itu. Terkaan Alin benar, dia sdang butuh waktu untuk menyendiri. Rika terus berjalan sambil merapatkan kardigannya dan menikmati stiap butiran halus pasir yg menyentuh kulit kakinya. Ketika sampai didekat pohon kelapa yg tinggi menjulang dan agak jauh dari keramaian, dia menghentikan langkahnya, menghirup dlm2 udara laut dimalam hari, dan melemparkan pandangannya kesekitar. Rika memutar2 cincin tunangannya yg melingkar di jari manis kanannya. Hanya inilah satu2nya benda peninggalan Eros yg paling berharga. Dia pun teringat perkataan Eros yg berencana mengajaknya bulan madu kepantai. Perlahan2 cincin emas itu ditanggalkan. Jemarinya membolak-balik cincin itu dan ketika mencapai sudut tertentu, mata cincin itu berkilau diterpa cahaya temaram dari lampu2 vila. Stelah slesai membolak-balik, Rika mengarahkan pandangannya pada permukaan air laut yg berbuih dan senantiasa bergerak terus sampai kapanpun. Rika mendongak, menatap bulan keperakan yg agak tertutup oleh gumpalan2 awam. Tampak perlahan, tp pasti awan gemawan ingin menyelimuti sang dewi malam yg cantik itu. Cincin itu kini berada didlm genggaman Rika. Lalu ditempelkan didada kirinya-tempat
jantungnya berdetak, seakan menginginkan benda itu mendengarkan kepiluan yg bergemuruh. " Kamu akan selalu di hatiku, Eros." Perlahan2, air matanya menetes. Rika tdk menyekanya. Dia membiarkannya terus mengalir ke ujung dagu dan akhirnya jatuh membasahi pasir yg diinjaknya. Dgn masih menggenggam cincin, Rika menangis terisak, merasa ironis karna smua orang yg ada disini tertawa gembira. Mendadak Rika jatuh berlutut, tungkainya lemah, tdk sanggup menopang tubuhnya. Isakannya masih blm mau berhenti, begitu jg dgn air matanya. Hatinya dipenuhi deraan derita dan sengsara yg membara. Ketika smuanya terasa begitu kalut dan menyesakkan, tiba2 ada sentuhan lembut hinggap dibahunya. " Kita balik ke vila sekarang yuk," bisik Alin ditelinga kanan Rika. Lalu Fanny merangkul hangat tubuh Rika dan membantunya berdiri.
10. Trouble -Fanny, RikaSiang itu, diarea masuk sbuah gedung perkantoran mewah, Fanny mendaratkan kaki kanannya diatas lantai marmer hitam setelah menjejekan kaki kirinya diatas keset sintesis yg bertuliskan welcome. Dia keseni untuk menggantikan Winda. Tiba2 saja, Winda ada keperluan mendadak dan Fanny yg saat itu sdang tdk ada deadline diminta untuk menemui Pak Nugraha. Dia tdk keberatan menjadi orang yg ketempuhan karna dia tahu kalau ini adalah kantor advertising tempat Rika bekerja. Dikantor itu, Rika membidangi advertising desaign. Kreativitas menjadi modal utamanya disamping kemampuan berkomunikasi. Bekerja didunia kreatif seperti ini memang menyenangkan, tp adakalanya dia mengeluh bahwa indutri ini terasa begitu kejam karna memang persaingannya yg kompetitif. Jika sudah seperti ini, pilihannya hanya dua; bertahan atau tertinggal. Sbelum berangkat kesini, sempat terpikir oleh Fanny untuk mencari2 informasi tentang Pak Nugraha yg menjadi kliennya atau janjian makan siang bersama. Namun, pikiran2 itu ditepisnya karna dia khawatir akan mengganggu Rika. Seperti yg dilakukan di vila pd malam itu, Rika memisahkan diri dan memilih untuk menyendiri sejenak. Sepatu Fanny yg berujung lancip kini mengantarkan langkah kakinya ke dpn meja informasi. " Maaf, permisi." suara Fanny membuat satpam yg sdang mengisi buku teka-teki silang sontak mendongak. " Ya, Bu. Ada yg bisa saya bantu," jawab satpam sambil berdiri dan menutup buku TTS itu. " Saya mau bertemu Pak Nugraha," tutur Fanny sambil membetulkan tali tas nya yg agak melorot dari pundak kirinya, "Beliau ada dilantai berapa?" " Ruangan Pak Nugraha ada dilantai enam. Nanti stelah keluar dari lift langsung belok ke
kiri." " Oke, terima kasih, Pak." Fanny berjalan menuju pintu masuk, sampai akhirnya Fanny berpapasan dgn sekelompok orang sambil stengah berharap salah satu diantara mereka adalah Rika. Namun, harapannya itu hanya harapan kosong sepenuhnya karna hanya wajah2 asing yg dilihatnya. Pintu kaca bergeser secara otomatis ketika Fanny berjalan mendekatinya. Ia mengangkat lengan kirinya, sdikit menyibakan lengan panjang kemejanya, dan melirik arloji pemberian Alin. Sebelas kurang lima belas, pikirnya senang karna dia sudah sampai seperempat jam lebih awal dari waktu yg telah ditentukan. Fany berjalan melintasi lobi utama, berniat untuk mencapai lift. Pintu lift tiba2 terbuka. Orang2 yg sudah menunggu segera menyerbu masuk stelah membiarkan orang2 yg berada didlm keluar lebih dulu. Fanny sdikit mempercepat langkahnya. Namun, semua orang telah masuk kedlm lift dan seorang diantara mereka telah menekan tombol agar pintu lift tertutup. " Tunggu...., tunggu." Fanny memberi isyarat dgn melambai2kan tangannya. Orang yg td menekan tombol agar pintu lift tertutup, buru2 menekan tombol lain agar pintu lift tetap terbuka. Merasa tdk enak dgn semua penumpang lift, Fanny kini stengah berlari dan memperlebar langkahnya. Ketika sudah tinggal selangkah lg, sbuah kejadian yg tdk menyenangkan menimpa Fanny. Ujung sepatunya terjegal oleh celah yg memisahkan antara lantai dan lift. Tak ayal lg, Fanny kehilangan keseimbangan dan hampir menjatuhi seorang pria yg ada didpnny. Fanny tdk tahu, apakah dia akan terjerembap atau tetap berdiri stelah terhuyung2 ke segala arah. Berbeda dgn apa yg dia kira, pria itu menyiagakan kedua tangannya untuk menopang tubuh Fanny. Tubuh mereka sangat dekat dan mereka berdua saling memandang lekat selama beberapa detik, seakan mencoba menelaah apa yg baru saja trjadi, bahkan jarak antara wajah mereka hanya lima centimeter. Beberapa detik yg mendebarkan berlalu sudah dan
Fanny akhirnya menyadari apa yg terjadi. " Mba nggak apa2?" tanya pria itu sekaligus membuyarkan lamunan Fanny. Fanny menjauh dari dekapannya. " Enggak, saya nggak apa2," jawab Fanny spontan. "Uhmm..., iya, saya nggak apa2. Maaf, saya ceroboh. Harusnya saya lebih hati2." lanjutnya sembari memperhatikan keadaan sekitar dan merapihkan dirinya. Dia sadar kalau kejadian barusan ditontong oleh orang2 seisi lift. " Baguslah kalau nggak apa2." Keadaan sudah kembali seperti semula. Lift berhenti distiap lantai dan orang2 pun keluar masuk. Pria itu bergeming. Dia berdiri disamping Fanny, tdk melakukan gerakan apapun. Sementara kotak penghubung antar lantai itu melanjutkan perjalanannya hingga lantai teratas. 'Ya ampun, aku knpa sih hari ini?? Kok bisa ngalamin kejadian memalukan kayak tadi', pikir Fanny panik. Bagian dlm lift itu dilapisi cermin dan tanpa sengaja Fanny bisa melihat ekspresi wajah pria itu. Tenang. Ya, ekspresi itulah yg ada diwajahnya. Fanny heran. Bisa2nya dia stenang itu, tanpa reaksi apapun, seperti tdk trjadi sesuatu sbelumnya, sementara Fanny merasa malu stengah mati. Fiuh! Dia menghela nafas. Tanpa sadar dia berpegangan pd dinding lift dan tangan kanannya memegangi kepalanya. " Mbak pusing?" tanya pria itu. Orang2 yg didlm lift menoleh secara serentak. Fanny tiba2 merasa kikuk. Dia melontarkan senyum canggun. " Enggak..., enggak apa2, kok," jawabnya spontan. 'Oh, my God! Aduh, knapa sih orang ini pakai ngajak ngomong?! Aku kan jd diliatin orang2 lg'., raungnya dlm hati. Cukup! Dia benar2 tdk tahan lg menjadi pusat perhatian oleh smua orang yg berada didlm lift. Fanny bersumpah, kalau pria itu kembali bersuara, begitu pintu terbuka dia akan langsung keluar, meskipun blm sampai dilantai enam. Lift berhenti dilantai lima. Pria itu mengadahkan kepalanya lalu melangkah maju.
Bagus! Pekiknya gembira. Dia keluar duluan. Fanny lega, masalah sudah pergi. Cukup sekali ini saja dia mengalami kejadian konyol yg memalukan. Terdengar bunyi 'ting!' yg sekaligus kembali menempatkan pikirannya didlm tempurung kepalanya. Lift berhenti dan layar kecil diatas pintu menunjukan angka enam. Fanny melangkah keluar dari lift dan menuruti apa kata satpam yg da temui dilantai dasar. Sementar itu Rika yg kebetulan berada dilantai yg sama dgn Fanny, memperhatikannya dari belakang. " Liv, kamu duluan aja keruang rapat. Nanti aku nyusul,"kata Rika. " Oke." Rika mempercepat langkahnya, khawatir kalau dia akan kehilangan Fanny. " Fanny!" seru Rika memanggil ketika jarak mereka sudah dekat. Refleks Fanny menoleh kearah sumber suara. " Eh, Rika." " Kok, nggak kasih tahu aku kalau kamu kesini?" " Tadinya jg mau begitu, tp aku takut ganggu kamu." " Halah, kayak sama siapa aja." wajah Rika stengah kecewa. Fanny terkekeh. "Gmana keadaan kamu?" tanyanya sambil memegangi tangan Rika, lalu mengayun-ayunkannya. Rika mengangkat alisnya sambil tersenyum datar. "Lebih baik. Blm menyelesaikan masalah sih, tp seenggaknya udah bisa menerima kenyataan." " Ah, Rika." spontan Fanny meraih pundak Rika dan memeluknya. "Aku yakin kamu bisa ngelewatin ini smua." " Ya, Fan," jawab Rika stelah Fanny melepaskan peluknya. "Aku bisa..., harus bisa." keyikanan mantap terpancar dari matanya. " Eh," Refleks Fanny tdk nyaman. Rupanya, ada getaran dari dlm tasnya. "Tunggu ya. Ada yg nelepon." Fanny melihat layar ponselnya. "Alin." Fanny menekan tombol dan menyapanya,
"Hallo, Lin." Fanny trdiam sesaat menyimak perkataan Alin yg berada diujung telepon sana. Sesekali, Fanny melirik kearah Rika seakan mengikut sertakannya dlm pembicaraan. " Lucky you! Kamu nggak usah nelepon Rika. Dia ada didpnku," ucap Fanny. Sontak sayup2 terdengar suara lolongan iri dari sberang telepon sana dan itu membuatnya terkikik. Dia lalu menyerahkan ponselnya pada Rika, "Alin mau ngomong." Sementara Rika dan Alin mengobrol, Fanny menyapu pandangannya ke seisi ruangan. Dia khawatir kalau cowok td tiba2 muncul dihadapannya dan dgn penuh cemooh berkata, "Besok2 kalau jalan, hati2 ya, Mbak. Sambil diliat, biar nggak kesandung lg." Ya. Pria dgn alis yg tebal, hdung mancung, dan rahang persegi. Fanny tdk boleh bertemu lg dgn pria berciri2 seperti itu. Dia brtekad dlm hati. " Nih, Fan." Rika mengembalikan ponselnya. Fanny tersadar. Dilihatnya layar ponsel masih trsambung dgn Alin. Kali ini, tdk bnyak yg dibicarakannya. Dia hanya mengucapkan kata 'Oh', lalu 'Oke', dan stelah itu 'Bye'. "Kita diundang acara ulang tahun Alin dirumahnya." " Pukul delapan kan? Atau, pukul tujuh?" Rika ragu2. " Pukul tujuh," jawab Fanny sambil memasukan ponselnya ke tas. " Ngomong2, tumben kesini Fan? Mau ketemu klien?" " Iya, aku mau ketemu sama Pak Nugraha. Ruangnya dmana? Orangnya gmama? Baik nggak?" " Tenang aja, orangnya kooperatif kok," jelas Rika sambil mengantarkan Fanny. "Anak2 sini manggilnya Pak Nugie," " Oh ya?" Fanny merasa cukup lega. " Nih, ruangannya." Mereka brhenti diruangan yg cukup besar. Fanny melongok kedlm. Didlmnya ada beberapa orang yg tdk melepaskan pandangannya dari layar monitor. 'Mungkin salah satunya sekretaris pak Nugie,' tebak Fanny.
'Didlm ruangan itu masih ada satu ruangan lg, mungkin, pak Nugie didlm sana,' tebaknya lg. " Rika!" Ada seorang pria yg memanggil. Fanny spontan ikut menoleh meskipun yg dipanggil bkn namanya. Saat itu juga,dia merasakan penyesalan yg trdalam karna tdk dpt menahan dirinya untuk tdk menoleh kearah seseorang yg memanggil nama sahabatnya. " Lho, kamu lg? Kamu temannya Rika?" tanya pria itu heran. Ya. Pria itu adalah pria yg sama ketika Fanny berada dlm lift. Dlm sekejap perasaan heran menjangkiti Rika, " Eh, tunggu...,tunggu. Kalian udah kenal?" " Aku justru mau tanya ini ke kamu," sahut Fanny. "Kamu temannya cowok ini?" " Ya, dia Rafa. Teman kerjaku." " Enggak Rik, aku nggak kenal dia," sanggah Fanny buru2. " Kita baru ketemu tadi, didlm lift. Dia tersandug, trus nabrak aku," sahut Rafa dgn enteng. "Besok2 kalau jalan hati2 ya. Sambil diliat, biar nggak kesandung atau nabrak orang lg." Fanny mendelik tajam kearah Rafa, menutupi rasa malunya. "Aku kan sudag minta maaf." sambarnya. Rika cuma terkekeh mendengarnya. "Kenalan aja ya kalian. Fan, ini teman kerjaku,... Rafa." lalu dia beralih ke Rafa, "Raf, ini sahabatku,... Fanny." Fanny menjabat tangan Rafa dgn enggan. Mereka mengobrol entah tentang apa, dan sbelum brpisah Rafa memberikan amplop cokelat yg katanya itu adalah materi mentah untuk pembuatan iklan yg slnjutnya. Ketika mereka slesai menyebutkan nama2 yg asing bg telinga Fanny, Rafa akhirnya berkata, "Aku keruang rapat duluan." " Oke deh, makasih ya," balas Rika sambil melambai2 kan amplop itu. "Aku segera menyusul." " Yuk, Fan."
" Yep," jawab Fanny malas. Fanny lalu menghadapkan tubuhnya keruangan Pak Nugie. " Oke, makasih, Rika. Semoga meeting nya menyenangkan." Fanny sudah hampir masuk, tp tiba2 mengurungkan niatnya. "Oh iya Rika, ntar makan siang bareng ya. Sekalian cari kado buat Alin." " Yuk, ntar kamu kasih tahu aku aja kalau udah selesai ketemunya." " Sip. Thanks, doain pertemuanku sama Pak Nugie lancar ya.
11. The Game of Love -Fanny'Untuk JClovers yg punya hobi belanja atau mungkin shopaholic, ada baiknya nyimak info ini'. Fanny yg sdang berada dibelakang kemudi-seperti biasa- memilih JCfm untuk menemaninya disepanjang perjalanan menuju rumah Alin. Sementara itu, Fanny tdk termasuk orang yg disebut oleh si penyiar Radio karna dia bknlah seorang shopaholic. Dia berbelanja karna dia memang sdang butuh dan mendatangi tempat2 belanja pada waktu awal bulan saja-ketika kantongnya masih tebal. 'JClover tahu Grand Bazaar? Atau minimal pernah denger? Bazaar atau pasar yg berada di Istanbul, Turki, ini usianya sudah tua bnget. Waduh gmana nggak tua nih, JClover, pasar itu dibangun pada masa kerajaan Turki Utsmani, tepatnya pd tahun 1461 atas perintah Sultamj Mehmed II'. Wow... Sudah berabad-abad, pikir Fanny takjub. Ketika Stevy sudah berhenti membacakan informasi tentang pasar yg unik itu, Fanny jg harus berhenti menyimak karna seseorang yg menghubungi ponselnya. Kecepatan mobil sedikit diturunkan dan volume radio dibuat mute. Dia pun melirik layar ponselnya untuk mengetahui siapa yg menelpon. Dgn handsfree yg tergantung ditelinganya, Fanny menjawab telepon dari Rika. " Halo, Cyin. Kamu udah sampai ya?" " Iya, aku udah sampai. Kalian dmana? Aku sendirian nih, Alin pergi nemuin tamu2nya." " Kalian?" Fanny mengulang pertanyaan Rika dgn heran. "Emangnya aku pergi sama siapa?" " Kamu pergi sendiri? Nggak sama Theo? Oh, dia keluar kota lagi ya?" Fanny diberondong pertanyaan.
" Enggak, Theo nggak keluar kota lg, dia ada di jakarta sekarang. Aku datang sendirian karna mau ladies night sama kamu dan Alin," ucapnya gembira. " Ooo, gitu..." Rika tersentuh dgn kebaikan sahabatnya. "Tadi aku mikir macem2, takutnya kamu lg ada masalah sama Theo," ucap Rika yg kini sudah merasa lega. " Eh, Rik. Tunggu sepuluh menit lg ya." " Ya udah aku tunggu, hati2 ya." " Oke den, Cyin." Fanny mengakhiri percakapan. Tombol mute ditekannya lg dan suara entakan musik mengalun menggantikan suara stevy. 'She'll say I'm not so tough Just because I'm in love With am uptown girl' Kini, giliran lagt Westlife yg mengisi ruang setir Fanny dan mengantarkannya ke persimpangan jalan dgn lampu pengatur lalu lintas yg saat ini berwarna kuning. Sbgai warga negara yg baik, dia memelankan mobilnya. Dan ketika lampu itu berwarna merah, dia pun berhenti. Dgn terhentinya arus lalu lintas, membuat Fanny memperhatikan sekitar. Sbuah sepeda motor tiba2 muncul disebelah kanannya. Si pengendara terus menyelinap diantara deretan mobil hingga ke garis batas pemberhentian. Sementara itu, ketika persimpangan jalan terlihat lenggang, tanpa ragu dan takut, pengendara itu menggeber gasnya- lalu menerobos lampu merah tanpa memedulikan apapun. Fanny hanya geleng2 kepala meliahat pelanggaran itu. 'ih seenaknya bnget sih'. Dia kemudian memutar bola matanya ke kiri. Dilihatnya Xenia hitam yg tampaknya begitu familiar. Dia merasa mengenal mobil itu dari kalung kerang yg digantung dikaca spion dalam. 'Suvenir dari Anyer yg dibawakan Alin untuk Ditya', katanya dlm hati. Ah, tp kan smua orang bisa punya barang itu. Nggak cuma Ditya. Fanny lalu mengarahkan matanya untuk melihat sosok yg dibelakang pengemudi.
'Itu kayak Ditya, pikirnya sambil menajamkan pandangannya kearah si pengemudi mobil. 'Eh, bener Ditya. Sama siapa dia ya?'. Fanny menurunkan kaca mobilnya yg disebelah kiri agar pandangannya sedikit lebih terang. 'Ih, ih. Kok mesra2an gitu sih sama tuh cewek. Tp, masa sih Ditya?' Untuk memastikan orang itu Ditya atau bkn, Fanny memutuskan untuk meneleponnya. Dalam hati, Fanny berharap dia hanyalah orang yg mirip Ditya, dia tdk mau kalau Alin tersakiti. Ponsel Fanny berdengung sekali, dua kali, dan akhirnya.... "Halo," sahut cowok itu yg menempelkan ponselnya ketelinganya. Fanny tdk menjawab. Dia cepat2 menutup jendelanya dan menoleh ke kanan agar wajahnya tdk terlihat. " Halo, halo. Fanny?" 'Gosh!' itu benar2 Ditya. Suara klakson memekik dibelakang mobil Fanny menandakan pengemudinya sudah tdk sabar untuk segera meluncur. *** Fanny membelokan mobilnya ke kanan, menuju ke kompleks perumahan kelas atas. Kesan pertama ketika memasuki kompleks itu adalah megah dan elegan. Fanny mengendarai kendaraannya dgn kecepatan rendah, menyusuri sungai buatan sampai akhirnya melewati sbuah pos keamanan. Stelah melewati pos itu, tanpa ragu dia memilih jalan lurus, lalu berbelok kekiri, dan brhenti di Blok D Nomer 85. Seorang petugas parkir yg berbatik2 ria membukakan pintu untuknya. Tdk lupa tas tangan yg sengaja dia sesuaikan dgn warna blus hitamnya, ia jinjing bersama kado cantik untuk Alin. Siang itu, ketika Fanny brtemu dgn Rika, merek berencana untuk memberikan sbuah hadiah kecil untuk Alin. Ya, hadiah kecil. karna, kalung perak dgn liontin huruf A yg bertabur beberapa berlian kecil diatasnya bknlah hadiah yg terlalu istimewa buat Alin.
Fanny memasuki sbuah rumah dgn ruang utama yg sangat luas. Tdk ada hiasan balon atau pita warna-warni yg dipasang dilangit2 atau kue tar menggiurkan dgn lilin diatasnya. Tdk ada sama sekali. Acara ini mengusung tema pertemuan keluarga, bkn pesta ulang tahun anak2, apalagi hura2. Sejumlah kursi ditata disana sini berserta beberapa meja yg diatasnya diletakan kue2 kecil dan minuman yg bermacam2. " Fanny!" tampak Rika melambai2 ketika Fanny masuk dan mengedarkan pandangannya. Dilihatnya jg Nona Rumah sdang duduk mengobrol menemani Rika. " Happy brithday, Dear." kata Fanny ketika cipika cipiki dgn Alin. " Thank you," balas Alin. "Wah apa ini?" tanyanya ketika Fanny mengeluarkan sesuatu dari dlm tasnya. " Jangan dilihat dari harganya ya, Lin." timpal Rika yg sudah menghabiskan stengah gelas minumnya. Tiba2 Alin memasang tampang kecewa. Namun, blm sempat dua sahabatnya berkomentar, Alin keburu berujar, "Kok kecil bnget. Aku ngarepin yg lebih besar loh." mimik tdk berdaya menguasai wajah Fanny, blm sempat dia membela diri, Alin kembali menceletuk, "Kidding, Darling." lalu menyambar kado itu dan berniat membukanya. "Huuu.... Drama queen deg kamu. Eh Lin, kok dibuka skarang sih?" tanya Fanny heran. " Kalau nunggu pestanya selesai, kelamaan. Aku udah nggak sabar nih,penasaran." lalu, tiga detik kemudian, "Wah...,cantik..." Alin berseru gembira melihat untaian kalung itu. "Langsung aku pake ah. Pasangin yaa." " Kamu kan udah pake anting panjang begitu," Komentar Fanny sambil menyentuh telinga kanan Alin. "Nanti malah kayak toko perhiasan berjalan." " Oh, kalau itu sih gampang." Alin langsung mencopot sepasang antingnya. "Pasangin yah, shabat2ku tersayang," pintanya lalu memutar tubuhnya dan menyibakan rambutnya. Fanny segera memasang kalung perak itu dileher Alin. Dia dan Fanny bertukar senyum, senang melihat kebahagiaan Alin.
" So, how do I look?" tanya Alin sambil membetulkan posisi liontin tepat berada ditengah. " Great, sweetheart," sahut Rika. " Eh, Ditya mana, Lin?" tanyanya sambil menguasai perasaannya yg masih penasaran dgn kejadian ditengah jalan tadi. " Blm datang. katanya macet, tadi sih janjinya mau datang awal." mata Alin menyiratkan kegelisahan. " Iya, td macet sih," dusta Fanny. Dia mencoba menenangkan sahabatnya. " Yah, mudah2an aja cepat sampai. Eh, aku tinggal sbentar ya," ujar Alin saat melihat ada tamu yg datang. "Kalian habisin makanannya aja," godanya. " Beres!" sahut Fanny dan Rika melepas Alin. Alin berjalan meninggalkan dua sahabatnya, dan menemui tamu2 lainnya. Semua tamu yg hadir masih tergolong keluarga. Hanya Fanny dan Rika yg merupakan 'orang luar'. Stelah memastikan Alin sudah cukup jauh dari mereka, Fanny mengajak Rika sdikit menepi untuk bicara serius. " Knpa Fan?" kok serius bnget?" tanya Rika yg bingung melihat perubahan sikap Fanny. " Duh, gawat, Rik." Fanny mengajak Rika duduk. " Gawat apanya?" " Ditya!" ujar Fanny geram. "Berengsek bnget tuh orang!" Rika terheran2, "Nggak ada angin, nggak ada hujan, kamu kok tiba2 bilang gitu tentang Ditya? Emang dia kenapa?" " Tadi aku liat Ditya sama cewek lain." " Tadi kapan?" Rika terbelalak. " Tadi pas diperjalanan mau kesini." " Ah, yg bener? Salah liat kali?" ujar Rika tdk percaya. " Enggak. Itu bener2 Ditya. Aku yakin seratus persen." Rika hanya bisa trdiam memandangi wajah Fanny yg menunjukan ekspresi serius. "Dia sama siapa? Kamu ngenalin ceweknya?" " Enggak." sdetik kemudian, air mukanya berubah menjadi ragu2.
" Muka kamu kok jadi kayak gitu sih? Apa ternyata kamu salah orang?" " Bukan.., bukan. Kalau soal cowoknya, aku berani jamin dia bener2 Ditya. Tp, soal ceweknya itu," Fanny berhenti sbentar, otaknya memutar kembali kejadian itu. "Nggak mungkin adiknya kan?" tanya Fanny tajam. "Masa sih kalau sama adiknya sampai mesra2an gitu. Nggak mungkin, ah! Iya kan?" " Apa mungkin sepupunya?" " Sepupu?" sekali lg otaknya memutar rekaman kejadian itu, "Masa sih sama sepupu semesra itu?" " Oke., oke. Aku nggak bakal tanya lg soal ceweknya. Tp, aku mau tau kronologisnya, detailnya. Kamu liat Ditya selingkuh dmana, gmana, kapan tepatnya?" " Hey girls, kita ke meja makan yuk sekarang." kata Alin yg muncul tiba2. Fanny dan Rika saling bertemu pandang. Semoga dia nggak denger kalimat yg terakhir itu, harap Fanny dan Rika. " Yuk, kita makan," ucap Alin lg karna mereka berdua tdk memberikan reaksi. " O.... Oke," ucap Rika. " Nanti aku ceritain," bisik Fanny kpada Rika. Mereka bangkit dan mengikuti Alin yg berjalan menuju belakang rumahnya. Sbuah meja makan panjang diletakan di samping kolam renang. " Ditya blm datang jg nih," ucap Alin resah, menatap jam tangannya. "Acaranya mau dimulai skarang. Kasihan yg lain udah kelamaan nunggu..." dia menatap memelas pada Fanny dan Rika. Saat itu jg ada sbuah perasaan ironis yg mengiris-iris kalbu Fanny. Dia berniat mengatakan kebenaran itu walaupun rasanya pahit. Namun, ketika ingin mengatakannya tiba2 saja lidahnya kelu. Mungkin ini semacam pertanda bahwa blm saatnya untuk menceritakannya karna sangat mungkin akn merusak kebahagiaan Alin malam ini.
12. Pertemuan di Arena Boling -FannyFanny berdiri siaga mengamati deretan pin yg berada jauh didpnnya. Dia resah menunggu Theo yg blm jg datang. Tiga jarinya sudah masuk kedlm bola boling yg berwarna merah dan dia sudah mulai melangkah untuk meluncurkan bola itu. Semeter, dua meter, bola itu menggelinding memjauhi Fanny, dan akhirnya, praakk! Semua pin roboh diterpa bola. Strike. 'Mana sih manusia satu itu!' gerutu Fanny semakin kesal. 'Jangan2 baru berangkat'. Fanny sudah sangat kesal tp memcoba tetap tenang. Dilihatnya keadaan sekitar, mungkin saja Theo baru datang, tp karna bnyak orang dia jadi kesulitak menemukan dirinya. Beberapa kali dia celingukan kekanan kiri dan mengedarkan pandangan ke delapan penjuru mata angin. Satu kali, Fanny menangkap sosok yg mirip Theo. Tp, ketika menegaskan pandangannya, bahunya langsung merosot lesu. 'Lempar bola lg lah', katanya kpada diri sendiri memutuskan karna tdk ada hal lain yg bisa dilakukannya. Fanny melangkah ketempat mengambil bola, lalu kembali bersiap siaga didpn lane. Matanya menatap lurus ke pin2 putih yg berada sejauh 18,24 meter didpnnya. Dia brtekad untuk melakukan strike lg. Fanny berniat mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang2. Blm lg niatnya terlaksana, seseorang dari balik punggungnya sudah menghentikan gerakan kakinya. " Aduh, maaf..., maaf, Mbak. Saya nggak senga..." Fanny memutar tubuhnya dan mendapati dirinya memekik tertahan sewaktu melihat wajah pria yg td menabraknya. " Ouw!" seru pria itu. "Kita ketemu lg." Dia tdk lain dan tdk bukan adalah Rafa, teman kantor
Rika. " Kamu lg?!" seru Fanny dgn suara meninggi. Dgn tatapan nanar, Fanny melemparkan pandangan sekilas ke wajah2 asing yg memenuhi arena boling, khawatir kalau tabrakan ini jg menarik perhatian semua orang. Sejenak, dari ekor matanya, dia melihat ada sosok yg melamabai ke arahnya, tp dia mengurungkan niatnya untuk menegaskan sosok itu dan memilih brkata pada Rafa dgn nada menyindir, "Balas dendam ya?" Sementara sosok yg masih samar terus berjalan mendekat, sampai akhirnya berseru, "Sayang, maaf ya aku terlambat." Fanny spontan mengangkat dagunya, bersyukur bahwa orang yg ditunggu sedari tadi akhirnya bisa sampai kesini dgn selamat. " Tadi aku lambaikan tangan, kamu nggak liat," cetus Theo yg akhirnya ada orang lain didekat Fanny. "Eh, Rafa!" Hah? Fanny terpaku. " Hey, Theo!" sahut Rafa lalu menepuk2 pundak Theo dgn semangat, seperti brtemu dgn kawan lama. "Apa kabar? Janjian ngedate disini?" " Baik2 aja. Ya..., biasa deh, agenda rutin kalau lg weekend," jawab Theo dgn tangan melingkar dipinggang Fanny. "Ya kan, Fan? Eh, ini...." " Eh, tunggu.., tunggu." Fanny menyela perkataan Theo, "Kalian sudah saling kenal?" tanyanya heran. " Iya, Rafa temen lamaku." 'Demi Tuhan! Kenapa sih orang yg baru aku kenal ini tiba2 punya ikatan erat sama aku. Kemarin Rika, sekarang Theo', pikirnya masih blm percaya. 'Jangan2, habis ini dia mau bilang kalau dia adalah saudara kembarku yg terpisah sejak lahir'. " The, kayaknya aku nggak asing deh sama mukanya Fanny." tampak Rafa sdang mengamati wajah Fanny.
" Emangnya muka aku pasaran ya?" sambar Fanny asal. " Bukan. Rasa2nya pernah liat kamu, tp entah dimana, aku lupa. Kayaknya ada kamu juga deh, The." Mereka bertiga tdk bersuara. Hening. " Aku tahu, Raf." sahut Theo, "Kita terakhir ketemu dipemakaman." " Oh, iya, betul. Dipemakaman tunangannya Rika." ketika prosesi pemakaman, Fanny tdk memperhatikan sekitar. Baginya, yg terpenting saat itu adalah berada disamping Rika. " Oh, iya. Rafa temen kantorku waktu dikantor yg lama." ujar Theo memberi tahu. *** "Maaf ya, aku telat," ucap Theo dgn perasaan brsalah stelah Rafa menghilang dibalik kerumunan orang. " Kamu pasti bete." " Banget." " Sbgain permintaan maafku, kamu boleh pilih makanan apa aja deh!" Hati Fanny tersenyum. Namun, sebisa mungkin perasaan itu disembunyikan. "Aku pikir2 dulu ya. Kita main bolim aja dulu ya. Tadi aku strike, lho." " Oh, ya. Coba lempar lg. Aku mau lihat. So, acara makan malem kmaren gmana?" mereka brjalan berdampingan menuju tempat mengambil bola. " Alin kecewa karna Ditya datang terlambat," jawab Fanny. "Honey, kamu merasa ada sesuatu yg beda dari Ditya nggak?" " Maksud kamu?" Fanny lalu menceritakan kecurigaannya sewaktu mereka berenam bertemu diacara triple date. " Jangan negative thinking dulu. Blm tentu dia seperti yg kamu sangka. Siapa tau dia lg bnyk
pikiran." Ya, Fanny yakin Ditya waktu itu pasti memikirkan perempuan lain. Dia jg berani bertaruh kalau pria itu bkn habis brtemu klien, melainkan kekasih gelapnya. Didlm benaknya, tiba2 terbesit keinginan untuk membuntuti Ditya secara diam2. " Alin dpt hadiah apa dari orangtuanya?" tanya Theo mengubah topik pembicaraan. " Perusahaan." " Wow! Perusahaan?" Theo terkejut mendengarnya, "Tp, nggak heran sih ya," imbuhnya, "Perusahaan apa?" " Majalah Fashion," jawab Fanny. " Jadi direktur?" tanya Theo. Pin2 yg awalnya berjejer rapi kini menjadi berantakan swaktu bola menumbuk dan membuyarkan jajaran benda2 putih itu tp tdk sampai strike. " Yup." Fanny mundur dari lintasan boling dgn kecewa. "Tp, sbenarnya dia nggak tahu kalau bakal dikasih perusahaan." Seperti yg dikatakan Fanny, Alin tdk tahu menahu tentang masalah itu. Dia cuma tertegun mendengar pidato ayahnya kalau perusahaan yg dulu dimiliki oleh Ibu Melinda itu, kini pengelolahnya diserahkan sepenuhnya kpada Alin. Ya, Alin menjadi direktur utama majalah fashion yg bernama Close to you (CTY). *** " Emang mobil kamu knpa, The?" tanya Fanny. Dia duduk disebelah Theo yg sdang menyetir mobilnya. " Masuk bengkel. Olinya bermasalah," jawab Theo yg sesekali menoleh kearah Fanny. " Kok bisa? Padahal kamu yg ngajarin aku untuk selalu ngerawat mobil, servis berkala, cek segala macemnya sblm berangkat." " Iya, sayang." Theo tertawa getir. "Itu kekuranganaku. Aku gampang ngomong ini itu ke orang, tp aku sndiri nggak bisa ngejalanin." " Ya udah, diubah dong. Kan, kmu sndiri yg rugi, udah tahu ilmunya, tp nggak dijalanin. Td
naik apa jadinya?" " Taksi." Theo melirik kaca spion dlmnya. Lalu, menyalakan sen kanan, menambah kecepatannya, dan menyelip mobil yg ada didpnnya. "Tp, ada untungnya jg mobilku masuk bengkel." " Apa?" " Kita jd bisa pulang bareng." Fanny menyunggingkan sudut bibirnya. " Oh iya." Fanny tiba2 teringat Ditya. "Hmm., aku mau ngomongin soal Ditya lg." " Knpa dugaan kamu trhadap dia ternyata salah?" " Bukan. Ini bkn masalah dugaan, tp masalah fakta dan bukti jelas." Fanny menceritakan malam ketika dia melihat Ditya bersama selingkuhannya. " Menurut kamu gmana?" tanya Fanny stelah selesai cerita. "Sebaiknya aku ngomong ke Alin, nggak?" " Hmmm..., gmana ya? Kayaknya tindakan wait and see lebih tepat." Theo mencoba menganalisis. "Kalau dlm waktu dekat ini kita bilang ke Alin, siapa tahu Ditya sadar dan mutusin untuk balik ke Alin. Tp, karna kita udah trlanjur bilang ke Alin, niat baik Ditya jd sia2." Fanny diam, menelaah analisis Theo dan berujar, " Bener juga. Ya..., kita sih brharapnya jg begitu." " Apalagi, selama ini kita udah cukup lama mengenal Ditya, meskipun aku agak sdikit trganggu dgn mulut besarnya, but over all, he's g good man." Dlm diamnya, pikiran Fanny mengembara. Dia tdk akan sanggup jika harus mengalami situasi itu; kekasihnya mengkianatinya, menduakan cintanya. Fanny menoleh ke arah Theo yg sdang konsentrasi menyetir. Ditatapnya sang kekasih dgn tatapan lembut. Btapa brsyukurnya dia berada disisi orang yg trcinta. Fanny menghela napasnya, seolah ingin menegaskan kalau dia sdang berada didlm mobilnya dan duduk dlm keheningan brsama Theo yg setia.
Mencintai dan dicintai. ' I'm the lucky one'.
13. Dunia itu Sempit? -Fanny, RikaHari selasa ini, Fanny mendapatkan tugas untuk kembali menemui Pak Nugraha. Sama seperti sbelumnya Fanny dan Rika makan siang bareng stelah pertemuan dgn Pak Nugraha usai. " Aku cerita ke Theo soal Ditya yg selingkuh," cetus Fanny memulai obrolan. "Aku pinta pendapatnya, sebaiknya cerita ke Alin apa enggak?" " Terus menurut Theo gmana?" " Katanya sih lebih baik wait and see. Kalau menurut kamu gmana, Rik?" " Aku setuju sama Theo. Sambil cari waktu yg tepat untuk nyeritain ke Alin." Sejenak, mereka terdiam karna menikmati makan siang. Tp, diam2 Fanny memperhatikan Rika yg terlihat agak gelisah dan kedapatan beberapa kali melongok ponselnya seperti sdang mengharapkan telepon atau SMS. " Knpa kamu, Rik? Ada janji ketemu sama orang?" tanya Fanny. Rika nyengir merasa malu dan tdk enak. "Iya, Fan." jawabnya dgn berat hati. " Wah, berarti aku harus buru2 ngabisin nasi aku dong." Fanny menyuap makan siangnya dgn lahap dan cepat. " Nggak.., nggak usah, Fan." cegah Rika cepat2. Dia tdk tega melihat sahabatnya makan terburu2. "Nggak apa-apa, kamu disini aja." " Eh? Beneran?" tanya Fanny heran. "Aku nggak ganggu?" " Enggak," jawab Rika mantap. " Tp, nanti aku nggak nyambung sama obrolan kalian."
" Eh, kmu ingat nggak sama cowok yg kamu tabrak dilift?" " Rafa?" " Iya." " Teman kamu yg mau kesini itu Rafa?" mendadak Fanny menjatuhkan sendok dan garpu begitu saja keatas piring. "Hari minggu kemarin aku ketemu dia ditempat boling dan ternyata dia temennya Theo. Ya ampun Rik, knpa sih dia jd ada dimana mana. Trus hari ini, aku akn ketemu sama dia sbentar lg. Aku yakin dia itu penguntit." Rika tergelak mendengarnya. "Dia bkn penguntit," sangkalnya, masih blm bisa menghentikan gelak tawanya. Ponsel Rika tiba2 menginterupsi. "Sebentar ya. Halo?" sapa Rika lalu menyimak lawan bicaranya. "Aku skarang dikantin, lg ada temanku, Fanny." di terdiam kembali dan akhirnya berkata, "Oh, ya udah, oke." " Siapa? Rafa?" tanya Fanny yg sbenernya dia udah tau jawabannya. " Iya. Dia pengin ngobrol2 sama aku. Hmm..., dia punya kesamaan nasib sama aku -sama2 ditinggal pergi pasangannya-." Rika memberikan tanda petik dgn jari2nya pada kata pergi. "Makanya, aku minta kamu tetep disini." Hati Fanny bergetar, lalu dia menyentuh tangan Rika. Cukup lama mereka berpegangan tangan, berkomunikasi melalui sentuhan. " Pergi disini, meninggal maksudnya?" tanya Fanny gamang. " Iya. Menurutku kisah cintanya lebih tragis dibanding kisahku." raut wajah Rika berubah serius. "Dia udah pernah nikah, tp usia pernikahannya cuma tiga bulan." " Tiga bulan? Istrinya kecelakaan?" " Nggak, sakit. Istrinya sakit talasemia." Saat itu juga, Fanny lupa dgn predikat penguntit yg telah dia lekatkan pada diri Rafa. Dia tdk menyangka bahwa kesempatannya untuk mengecap kebahagiaan hanya sesaat. " Kapan meninggalnya?"
" Udah cukup lama, udah dua tahun, mungkin." Fanny memang baru mengenalnya, tp dia sudah merasakan kegetiran yg teramat sangat. Tenggorokannya terasa tercekat ketika dia mendengar kisah itu. " Terus sekarang Rafanya gmana? Udah dpat menggantinya?" " Belum." " Itu awalnya gmana, Rafa sbenernya udah tahu istrinya sakit atau istrinya nyembunyiin penyakitnya?" " Dia udah tahu dari awal. Keluarganya nggak setuju, tp biar begitu mereka tetap nikah. Padahal istrinya udah sempat nolak karna dia tahu dia nggak bisa ngebahagiain Rafa. Tp, justru Rafa yg kekeuh. Dia bilang, dia mau bahagiain sisa hdupnya." Fanny terenyuh mendengarnya. Dia sepakat dgn Rika. Tragis. Ya, satu kata itulah yg menggambarkan khidupan cinta Rafa. Fanny pun merasa simpati, bahkan iba. Cinta Rafa pasti sngat besar kpada mendiang istrinya, sampai2 dia rela berkorban seperti itu. Apalagi mengurusi orang yg sakit parah sama sekali bkn perkara mudah, butuh keiklasan dan ketegaran yg luar biasa. Tiba2 Rika mengangkat tangannya, melambai seseorang melalui pundak Fanny. Dia yakin kalau itu adalah Rafa, meskipun dia tdk memutar tubuhnya untuk melihat siapa yg datang. " Hei, Fan." sapa Rafa santai sambil menyeringai lalu brgabung dgn Fanny dan Rika dimeja yg sama. "Apa kabar? Siapa sangka ya kita ketemu disini." Fanny trsenyum lemah. Hatinya masih teriris-iris mendengar kisah tragis tadi. Tp, sikap santai dan seringai yg dilontarkan Rafa barusan, seakan mengatakan bahwa dia tdk pernah mengalami hal yg pahit. Fanny menghembuskan nafasnya. "Baik. Iya, dunia sempit ya." candanya sambil trsenyum, mencoba bersikap santai.
14. Last Minute -Fanny" Fan, papa pinjam mobil kamu ya?" tanya papa Fanny. "Papa mau jemput keluarganya Om Heru dibandara," imbuhnya yg kemudian duduk diseberang Fanny. "Dila sama Ekky penasaran mau lihat Jakarta." "Lho, bukannya mereka sekolah?" Fanny balik bertanya dgn heran tentang kedua sepupunya itu. "Kan mereka libur," celetuk mamanya yg baru masuk ruang makan dgn membawa secangkir kopi. " Libur apa?" tanya Fanny lg sambil menggigit rotinya. "Emang ada libur long weekend?" " Kan sekarang bulan Juli, liburan kenaikan kelas," jawab mamanya yg kini sudah duduk disebelah papanya dan ikut sarapan. Seakan ada yg menekan titik saraf kesadarannya, Fanny pun berkata, "Oh iya ya., sekarang Juli." Fanny berhenti mengunyah karna dia memusatkan energinya untuk berpikir. " Emang kamu kira sekarang bln apa?" tanya papanya stelah menyesap kopi panasnya. " Nggak tahu. Aku lupa hari, lupa tanggal." Fanny meneguk susu nonfat nya agar serpihan2 roti yg menyangkut dikerongkongannya terdorong ke dlm. "Sekarang hari apa? Tgl berapa juli?" " Sekarang, kamis, tanggal 1 Juli." " Ya ampun, berarti gaji udah ditransfer dari empat hari yg lalu dong." Orang tuanya bingung melihat putri tunggalnya yg seperti mengidap penyakit amnesia. " Asyiiik.., berarti aku bisa ajak Dila dan Ekky jalan2 dong hari sabtu!" " Kamu tuh knp sih, Fan?" tanya mamanya geli.
Layaknya seorang wartawan yg memukul2 tape recordernya yg mengeluarkan suara sember lantaran baterainya sudah soak, Fanny pun memukul2 kepalanya sendiri. (Mungkin, baterainya jg sudah soak sehingga ingatannya pun melemah). " Iya, nih, aku payah bnget deh. Apa akhir2 ini aku kelewat sibuk kali ya, jadinya aku udah kayak robot. Bangun, siap2, pergi ke kantor, pulang, tidur, besok udah harus bngun pagi lg. Gituuuu terus." Fanny akhirnya berhenti berbicara. Dia trsadar orangtuanya memperhatikannya dari td. "Iih, mama sama papa kok ngeliatinny kayak gitu sih." " Abis kamu tuh lucu. Biar kata kamu udah bangkotan kayak begini. Kamu tuh tetep putri kecil mama, putri kecil papa." " Ih, Mama. Kok aku dibilang bangkotan sih," protes Fanny. " Udah umur segini, harusnya kamu udah nikah. Kpn hubungan kamu sama Theo diresmikan? Pacara nggak usah lama2. Mama sama papa udah nggak sabar mau nimang cucu." Muka Fanny terasa panas. Sampai saat ini, dia dan Theo blm pernah membicarakan rencana pernikahan. Padahal, dlm lubuk hatinya yg trdalam dia sudah sangat ingin membahasnya. Ya, apalagi kalau bkn menikah, bknkah itu satu2nya tujuan akhir dari hubungan asmara ini? Penjelajahan Theo ke seluruh Indonesia membuat hubungannya sdikit berbeda. Buat Fanny, tatap muka adalah interaksi terbaik. Tdk ada yg dpt mengalahkannya meskipun dizaman sekarang teknologi komunikasi sudah sedemikian canggih. Akhirnya, untuk menutupi perasaannya yg sdang sdikit berkecamuk, Fanny berkata dgn merengek manja, "Ah, Mama nih. Fanny kan malu," " Iya deh, Mama nggak godain kamu lg. Ya udah, cepet abisin sarapannya." Fanny menuruti perkataan Mamanya untuk segera menghabiskan sarapannya. " Oh, iya, Pa, emang mobil papa knpa?" " Lg ngambek, barusan Papa coba nggak mau nyala." " Kok bisa? Kemaren kayaknya masih baik2 aja."
" Nggak tahunya Papa semalem lupa matiin lampu yg didlm mobil. Akhirnya jd bermasalah deh. Baru ketauan tadi, pas Papa manasin mobil." " Pake aja, Pa. Aku bisa berangkat pake taksi." " Kamu papa drop aja. Nanti baru kamu sambung taksi dari tengah jalan." " Papa mau jemput Om Heru pukul brapa?" " Pukul sepuluh. Tp, nanti abis papa nge drop kamu, papa mau ke kantor sbentar. Ada urusan sedikit, sekalian izin. Terus baru ke bandara." " Mama ikut jemput nggak?" " Iya. Kasian papa sendirian diperjalanan." *** Mobil sedan merah Fanny berhenti disbuah halte. Fanny membuka pintu, lalu turun berpamitan. "Salam buat Om Heru ya, pa." Blm lama Fanny berdiri di halte, dilihatnya sbuah taksi dari kejauhan. Fanny tdk bgitu jelas melihat apakah mahkota taksi itu menyala atau tdk. Dia pun jd memanjangkan lehernya untuk melihat kedlm taksi. 'Ada orangnya'. Bola mata Fanny mengikuti jalannya taksi barusan. 'Nah, tuh ada lg'. Sbuah taksi yg sama berada beberapa meter dibelakang taksi yg pertama. Fanny melambai2kan tangannya. Ketika taksi itu sudah mendekat, hati Fanny sumringah karna tdk ada penumpang di dlmnya. Fanny sudah hampir saja brjalan menghampiri taksà itu. Namun, sopir taksi tiba2 memberikan isyarat tdk menerima penumpang. 'Ih, aku ditolak sama sopir taksi', gerutunya dlm hati. Stelah itu, cukup lama Fanny menanti taksi2 lain yg melintas. Tp sekalinya lewat, ada penumpang di dlmnya. Merasa lelah berdiri, Fanny memilih untuk duduk diatas kursi halte sambil menyiagakan pandangannya. Perasaan tdk tenang mulai datang. Benar saja, Fanny menggoyang2kan kakinya pertanda tdk sabar. Ketika matanya menangkap taksi yg berwarna biru, sontak Fanny langsung berdiri dan
melambai2kan tangannya. Soal ada penumpangnya atau tdk itu urusan nanti. Tp, keberuntungan blm berpihak kpada dirinya. Sopir taksi dgn dua orang penumpang dibelakangnya terus menancap gasnya meninggalkan Fanny yg wajahnya sudah mulai berkeringat. 'Haduuuuh,.....' Fanny mulai senewen. Dia mengeluarkan sehelai tisu, lalu dia menyeka wajahnya yg smakin basah. Hari semakin siang, arus kendaraan mulai padat, dan taksi kosong tdk kunjung datang. 'Apa naik bus aja?'. Fanny menimbang2 usulnya sendiri. Ingin sekali dia bisa melupakan pengalaman buruk yg diterimanya ketika hendak turun dari bus. Namun.g kejadian itu terus diingatnya dan menjadi trauma didlm otaknya. Malam itu Fanny naik bus dan sudah bersiap turun. Namun, karna jumlah penumpang yg membludak, Fanny tdk kunjung mencapai pintu. Dgn terpaksa Fanny harus menerima keadaan seperti itu. Ketika bus telah sampai mengantarnya ke tempat yg dituju, Fanny dan beberapa orang penumpang mengetuk-ngetuk atap bus, dan kendaraan umum itu pun berhenti. Ternyata, bkn hanya Fanny seorang yg ingin turun, tetapi ada belasan, atau mungkin bahkan pulang orang. Penumpang demi penumpang berhamburan melalui pintu. Kondektur berkoar-koar sambil memukul2kan uang koin pada kaca jendela. Sementara Fanny yg sejak awal berada ditengah dan tdk bisa bergerak ke manapun, dgn sabar menunggu giliran. " Ayo. Buru, buru, buru, buru!" Konduktur itu terus saja brteriak-teriak meskipun suaranya sudah mulai trdengar parau. "Cepet, cepet. Ada polisi!" Fanny mendengar perkataan si asisten sopir bus. 'Polis?' tetapi, sdetik kemudian Fanny tahu jawabannya. 'Ooh, polisi toh, maksudnya' Didpnnya masih ada sekitar lima orang yg sdang mengantre turun. Dgn langkah kecil, Fanny terus berjalan menuju pintu. Sementara bus yg awalnya penuh sesak, seketika berubah menjadi begitu lapang. Kini, tiba giliran Fanny. Tdk ada penumpang lain yg ingin turun,
kecuali dirinya. 'Hup!' Fanny turun ke udakan yg lebih rendah. Lalu, hap! Lg turun ke undakan yg terbawah. Waduh, gmana turun. Ini bus nggak mau brhenti. Mana jalannya sengaja dibikin ndutndutan lg. " Ayo cepet, cepet, mbak!" " Iya, bang! Ini jg mau turun," geramnya. " Kaki kiri, mbak. Kaki kiri." Fanny menuruti perkataan sang konduktur. Dia pun menyiagakan kaki kirinya. Dgn tangan kanan berpegangan pd pintu, Fanny menurunkan kaki kirinya dan mengalihkan sbagian massa tubuhnya pd sebelah kakinya itu. Fanny sudah siap mendarat dan dua puluh sentimeter lg kakinya menyentuh tanah. Namun,sang sopir tiba2 menancap gas, dan hal yg tdk diinginkan trjadi pada diri Fanny. Fanny jatuh terhempas dari pintu belakang bus itu. Spontan orang2 sekitar berlarian dan membantunya berdiri. " Nggak apa-apa, nggak apa-apa," ujar Fanny sambil mebersihkan dirinya. Untunglah Fanny tdk mengalami luka serius. Dia hanya mengalami cedera ringan pada kakinya. *** Kepulan knalpot bus mengepas hdung Fanny, membuatnya berjengit. Apa naik bus aja? Dia memandang ngeri sepatu peep toe nya dgn high heel setinggi tujuh sentimeter, seolah alas kakinya itu adalah sesosok alien yg menakutkan. 'Yg ada aku bukannya ke kantor, tp kerumah sakit,' ucap Fanny dlm hati yg akhirnya memutuskan untuk tdk naik bus. 'Kalau ada bajaj naik deh, atau ojek,' Fanny yg sudah mulai putus asa. Waktu terus bergulir. Tdk lama lg jam masuk kantor akan tiba. 'Udah deh, telat!' Fanny lemas. 'Mana sih niah taksi?' Dia menghela napas dalam. Sinar matahari menerpa wajah Fanny yg masih setia menunggu taksi. Tak ayal, punggung
tangannya difungsikan untuk menghalau sinar matahari yg menyilaukan. Tiba2, ada seorang pengendara motor berhenti didpnnya. Pria itu membuka kaca helmnya dan mengucapkan sepatah dua patah kata yg tdk terdengar oleh Fanny karna kalah dgn suara derum mesin puluhan kendaraan yg melintas. Merasa tdk kenal dgn orang itu, Fanny menjauh dan tdk menghiraukannya. Dia pun berpikir kalau pria itu salah orang. " Fanny! Ini aku, Bayu," pekiknya stelah mencopot helmnya buru2. Rambutnya pun jd agak berantakan. " Eh, kamu, Bay!" Fanny akhirnya berjalan mendekat. " Mau bareng?" ajak Bayu. " Mau," jawab Fanny cepat, merasa lega. " Tuh, pakai helmnya," ujarnya sambil menunjuk helm yg disangkutkan dijok belakang, kemudian memakai kembali helmnya. Stelah mengancingkan helmnya, Fanny pun segara duduk di belakang Bayu. " Udah?" " Udah, Bay," jawab Fanny. Motor Bayu mulai berjalan. "Aduh, makasih ya, Bay. Kamu tuh dateng tepat waktu bnget." " Ya.., kebetulan aja. Kamu nggak bawa mobil hari ini?" tanya Bayu sedikit menoleh ke kanan. " Enggak. Mobilku lg dipakai papaku. Tadi aku di drop disitu. Mau naik taksi penuh melulu," papar Fanny yg sedikit mencondongkan tubuhnya kedpan. Blm lama arus kendaraan mengalir lancar, di dpn sana sudah terjadi kebuntuan. Lampu lalu lintas menyala merah dan semua kendaraan berhenti. Bayu yg sudah terbiasa dgn keadaan seperti ini begitu lihai menyelinap diantara mobil. Begitulah kelebihan motor, selip sana, selip sini. Dgn penuh kesabaran dan kehati-hatian tingkat tinggi, Bayu terus berkelit dgn lincahnya. Usahanya pun membuahkan hasil. Dia menjadi salah satu pengendara yg berada dibaris trdepan.
Selang beberapa detik kemudian, warna lampu berubah dari merah menjadi hijau. Mereka pun siap untuk melanjutkan perjalanan menuju kantor. Embusan angin menerpa wajah Fanny dgn cukup kencang sewaktu Bayu memacu motornya. Fanny kini benar2 sumringah. Kantornya sudah terlihat dlm jarak beberapa meter dan waktu dijam tangannya blm menunjukan pukul delapan. Bayu menjalankan motornya menuju area parkir khusus kendaraan roda dua. Ini adalah kali pertamanya Fanny menjejakkan kaki diarea parkir itu. Fanny pun turun ketika motor sudah berhenti, lalu membuka kancing helmnya. "Makasih ya, Bay, udah mau ngajakin bareng." " Ya, sama-sama," jawabnya sambil meneria helmnya. Mereka bersama2 brjalan brdampingan keluar dari area parkir motor. Rasanya aneh, benar2 aneh; berangkat ke kantor dgn motor, berdiri diruang terbuka yg sama sekali asing baginya, dan berada disamping Bayu -berjalan bersamanya. Canggung. Ya, Fanny merasa canggung. Langkah kakinya pun bergerak dgn kikuk. Dalam hati, dia berharap semoga kakinya tdk keserimpet, karna saking kikuknya. " Pukul berapa?" tanya Bayu memecah kebisuan. Fanny pun melihat jam tangannya, "Masih pukul delapan kurang." Kebisuan kembali mengiringi langkah2 mereka dan akhirnya mengantarkan mereka ke tempat absen. Sbgai laki2 Fanny mempersilhkan Fanny terlebih dulu. " Ladies first." " Thank you," sahut Fanny yg kmudian melangkah maju dan menghadapkan ID cardnya pd sbuah alat yg mengeluarkan sinar merah. Alat yg persis sama digunakan oleh petugas kasir supermarket itu membaca sbuah bercode yg terletak dibagian bawah kartu identitasnya. 'Beep!' alat itu berbunyi. B023R08 SUKSES : : AGRIFANI MARISA : : IN : : 07.56
Absen staf PT Prakarsa Utama " Oh, nama lengkap kamu Agrifani Marisa? Aku baru tahu. Aku kira Fanny siapa gitu..." ucap Bayu sambil mengangguk-angguk. *** Fanny mengirim pesan kepada Bayu dgn progam LAN Talk. Fanny : Bayu Bayu : Apa Fanny : Bisa minta tolong ga? Bayu : Mau minta tolong apa? Fanny : Kesini sebentar aja ya... Bayu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju meja Fanny. Biasanya jika ada masalah, Fanny brtanya pada Winda, berhubung Winda adalah tetangga terdekatnya. Namun, karna Winda sdang tdk ada, Fanny langsung teringat Bayu yg hari ini 'menyelamatkannya'. " Aku mau bikin tulisan titik2. Td aku nyoba ke wordart, tp abis itu nggak tahu lg diapain. Aku lupa." " Oh," seru Bayu lalu mendekat, berniat mengambil alih mouse Fanny dan sedikit membungkuk. Samar2 hdung Bayu mencium aroma lembut cokelat dari losion Fanny. Secara berkala, Fanny memang slaku mdngoleskannya ditangan karna berada diruangan ber AC untuk waktu yg lama membuat kulitnya kering. Bayu menggerakan mouse dan mengeklik kata 'insert. Lalu, dia memelih sbuah ikodn yg bertuliskan huruf A kapital yg miring ke kanan. "Mau pilih yg mana nih?" tanya Bayu ketika muncul sejumlah contoh tulisan dgn berbagai macam bentuk. "Pilih yg standar aja ya," kata Bayu menjawab pertanyaannya sendiri. Dia pun mengeklik contoh tulisam yg berada disudut
kiri atas. " He-eh, terus?" Fanny menanggapi. " Ketik teksnya." Bayu asal ngetik sehingga muncuk kata yg tak terbaca. "Pilih OK." " kalo sampe situ aku udah ngerti. Nah, abis ini nih, aku nggak tau lg diapain," ujar Fanny sambil menunjuk monitornya. " Tulisannya diklik kanan, pilih Format WordArt. Kamu klik ini, colors and lines, pilih fill effects, terus ke pattern." " ooh.., gitu." Fanny akhirnya mengerti. " Nih kan, ada yg titik2." " Sip, ngerti aku sekarang." Fanny mengambil alih mouse nya. "Thanks ya, Bay." sahut Fanny merasa lega karna ada orang yg bisa dia andalkan. *** Sejak pukul sebelas Fanny menekuri kertas2 kerjanya. Dgn konsentrasi tingkat tinggi, Eanny mengedit proposalnya. Pulpen yg dia gunakan menorehkan tinta merah pada stiap kesalahan yg telah diperbuatnya. Smentara agar perhatiannya tdk diinterupsi oleh lingkungan sekitarnya, Fanny memilih menyubat telingannya dgn earphone iPod nya. Memiliki tingkat konsentrasi kerja yg tinggi, sekaligus menikmatinya adalah hal yg dialami Fanny skarang. Dgn volume suara yg dikeraskan, Fanny mengerjakan pekerjaannya sambil mengangguk-angguk mengikuti irama musik yg berdentum2 dikedua telinganya. Ketika tiba dibait refrain, Fanny pun melakukan lipsync. lagu 'How Far We've Come' yg dibawakan oleh Matchbox Twenty. 'But I believe the world is burning to the ground Oh well, I guess we're gonna find out Let's see how far wa've come Let's see how far wa've come' Fanny sengaja menyiapkan sejumlah lagu berirama cepat di di playlistnya karna lagu2 yg semacam itulah yg dapat memberikan energi tambahan untuknya.
Saat ini Fanny telah mencapai lembaran terakhir. Berbeda dari lembaran2 sbelumnya, pd lembaran ini tdk bnyak ditemukan kesalahan. Satu pekerjaan selesai sudah, kini pekerjaan yg selanjutnya adalah memasukan semua koreksian yg bertinta merah itu ke dlm softcopy. " Woaaah..." refleks Fanny merentangkan kedua tangannya. "Eh, orang2 pada kemana?" tanyanya stelah menyapu pandangan ke seisi ruangan, dan hanya mendapati dirinya dan Bayu yg tersisa. Fanny kemudian mematikan iPodnya agar dapat mendengar jawaban Bayu. " Makan," jawab Bayu singkat yg jg sdang tenggelam dlm kesibukan karna dia terus mengerakan sepuluh jarinya dgn cepat untjtk menekan deretan huruf diatas keyboard secara bergantian. " Makan?" ulang Fanny dgn intonasi berbeda. "Emang skarang sudah jam istirahat?" Bayu sengaja tdk merespons karna Fanny akn tahu sendiri jwbannya ketika dia melihat jam. " Ya ampun, udah mau jam stengah aja!" " Kamu nggak makan, Fan?" tanya Bayu. " Makan. Tp kalau jam segini baru turun males jg. Kamu enak udah beli makan. Aku minta tolong beliin sama Mas Uun aja deh," kata Fanny menyebut nama office boy kantor mereka. Lalu segera menelpon, namun ternyata tukang gado2 dekat kantor mereka tutup. " Mau aku temenin makan diluar?" tanya Bayu tiba2. Karna tdk punya pilihan lain, Fanny mengiyakan ajakan Bayu. *** " Untung bnget kamu bawa helm lg," ucap Fanny saat mereka menuju tempat papkir. "Bakalan percuma kalo ngajakin bareng, tp nggak ada helm." " Aku tiap hari bawa kok," sahut Bayu. "Soalnya, adikku pas pulang kuliah suka minta bareng." "Eh, bknnya sekarang udah libur?"
" Iya. Cuma dia anaknya gitu, nggak bisa diem. Libur nggak libur tetep aja ke kampus. Ikut organisasi inilah, organisasi itulah. Apalagi kalau mau ngadain acara, pulangnya malem terus. Kalo udah gitu, aku yg kena. Aku disuruh ibuku mencari adikku." cerita Bayu ketika mereka sdang menikmati makan siang. Mendengar cerita tentang adik Bayu, membuat Fanny teringat pada masa kuliah dulu. " Adik kamu cewek?" tebak Fanny. " Iya." " Semester brapa skarang?" " Mau semester lima." " Enak punya adik.." " Maksud kamu?" tanya Bayu. " Aku anak tunggal. Jadi nggak tau gmana rasanya punya adik, punya kakak. Eh, tp mulai hari ini aku punya adik. Adik sepupu sih. Mereka baru dateng dari Surabaya, makanya mobilku dipakai papa buat jemput mereka," jelas Fanny.
15. Big Boss -Alin" Selamat pagi, Bu," sapa seorang satpam kepada Alin yg berjaga dipalang pintu otomatis. " Pagi, Pak Mardi." balas Alin sambil tersenyum dari balik kaca jendela mobilnya yg diturunkan. "Yuk, Pak." kata Alin lg sambil melambai keluar jendela ketika mobilnya sudah maju. Audi hitam Alin meneruskan perjalanannya menuju lapangan parkir dgn kecepatan rendah. Dia sudah tahu dmana dia seharusnya memarkir mobilnya. Ketika kendaraan pribadi Alin sudah terparkir sempurna, dia mematikan mesin mobilnya dan bersiap turun sambil membawa serta tasnya. Sbelum Alin meninggalkan mobilnya, dia melihat seperti apa kerusakan yg diterimanya ketika dlm perjalanan menuju kantor tadi. Sbuah sepeda motor tiba2 menyeruduk bgian belakang mobiknya. Alhasil, tepat dibgian pojok kiri terlihat jelas tiga garis putih dan belasan garis halus. Stelah selesai mengecek, Alin melangkah menjauhi mobilnya. Alin melenggang menuju loby utama, stidaknya ada lima orang yg menyapa, "Pagi, Bu," dan Alin slalu membalasnya dgn tdk lupa memberikan senyumannya. Hal serupa jg dialaminya ketika dia baru keluar dari lift dan berjalan melewati koridor untuk menuju ruang kerjanya. " Wah, ngeteh nih.." celetuk Alin kpada Ririn sambil menyeringai. Karyawati bgian redaksi yg sdang mencelup-celupkan kantong teh agak terlonjak. "Eh, iya, Bu, ngeteh," ucapnya kikuk, tp hal itu disambut dgn senyum ramah Alin. " Indah," panggil Alin kpada sekretarisnya. "Emmy sudah datang blm?" tanyanya sambil menuju kearah ruangan pemimpin redaksi.
" Sepertinya belum, Bu," jawab Indah yg tetap memegang mouse nya. " Nanti kalau sudah datang suruh keruangan saya ya." " Iya, Bu," sahut Indah lg yg kembali meneruskan pekerjaannya. Alin masuk kedalam ruangannya. Sambil mengingat-ingat hal yg sudah dilakukan kemarin, Alin menyalakan komputer untuk mengecek email yg masuk. Kemarin diadakan rapat redaksi yg membahas tentang perubahan logo, slogan, atau persiapan launching untuk menyebar luaskan kpada khayalak umum bahwa Close to You telah berganti wajah. Mengenai logo dan slogan, Alin menyerahkannya kpada bgian redaksi. Sementara untuk launching, dia menyerahkannya pada bgian promosi dgn menggandeng pihak luar untuk menggelar event besar tersebut. Dari sekian bnyak EO yg ada, Alin memilih Omega -EO tempat Theo bekerja-. Alin sengaja memilih EO tersebut karna baik pihaknya maupun pihak Omega pasti tdk akn menemui masalah dlm berkomunikasi, mengingat antara Alin dan Theo sudah terjalin hubungan baik. Alin mengetik
[email protected] dikotak identitas emailnya,-singkatan nama dari Alina Sarah Cornellya, yg merupakan nama lengkapnya. Lalu, memasukan password. Ketika melihat iklan internet yg memuat gambar mobil, Alin teringat dgn bumper belakang Audinya yg lecet. Segera saja dia mengangkat gagang telepon, menekan tiga angka yg berbeda, "Darto, bisa keruangan saya sbentar." " Baik, Bu," jawab OB yg sdang berada di pantry itu. Tdk lb kemudian, Darto masuk dan Alin menyodorkan kunci mobilnya. "Bumper belakang mobil saya lecet, tolong bawa kebengkel." " Baik, Bu," sahut Darto sambil menerima kunci mobil itu. " Uhhmm, Darto." Alin menghentikan langkah OB yg brseragam abu2 itu. "Kalo ada apa-apa, kamu pake aja uang yg ada didlm dompet," tambahnya sambil menunjuk ke arah dompet lipat yg digantungi beberapa kunci.
Darto menunduk dan melirik ke dompet yg ada di genggamannya. Lalu, kembali mendongak dgn berkata, "Baik, Bu." Darto sepertinya tdk memiliki perbendaharaan kata lain selain 'Baik, Bu' kalau sdang brhadapan dgn Alin. Alin memutar kursinya sehingga dia kembali menghadap komputer. Di inbox emailnya trdapat tiga pesan yg datang dari klien dan bawahannya, dilengkapi dgn attachment files. Terdengar orang mengetuk pintu. " Masuk," seru Alin dan dia pun mengabaikan email trsbut untuk sementara waktu. " Ibu tadi manggil saya?" tanya Bu Emmy yg masih berdiri diambang pintu. " Iya, Bu. Ayo duduk." Alin mempersilahkan Bu Emny duduk. " Ibu nanyain soal cover ya, Bu?" tanya Bu Emmy yg membawa selembar kertas yg memuat sbuah gambar full collor. " Udah jadi?" " Udah, silakan dilihat, Bu." Alin mengamati kertas yg ada didpannya. Pada bgian paling atas, terdapat tulisan Close to You yg ditulis dgn huruf Chaparral Pro. Huruf 'o' pada kata 'to' diganti dgn logo baru majalah ini yg bentuknya bulat. Logo itu terbentuk dari huruf C, T, dan Y yg merupakan inisial majalah yg dipimpin Alin ini. Sdikit ke bawah dari kata 'Close to You', trdapat slogan berbunyi 'Everything You Need'. Kata everything dipilih karna majalah ini memuat sgala hal tentang wanita. Tdk sekedar fashaion dan kecantikan, tp jg tentang kesehatan, hubungan dgn pasangan, keuangan, profesi, dunia hiburan, hobi, kuliner dan wisata. Untuk cover girl, diletakan gambar salah seorang aktris nasional yg karirnya terus meningkat. Sementara pada sisi kanan kiri, dipenuhi sejumlah tagline yg nantinya dibahas secara tuntas dibagian dlm. Last but not least, penglihatan Alin menangkap harga majalah edisi ini yg didiskon. Mengingat majalah ini tampil dgn wajah baru, Close to You menawarkan harga promosi.
Alin mengangguk-angguk. "Bagus," pujinya. Emmy tampak sumringah dan dia pun smakin yakin kalau januar-setter yg mengatur tata letak contoh cover itu, selalu dpt diandalkan. " Soal liputan, artikel dan semua konten majalah gmana?" " Sedang dikerjakan. Kami usahakan secepatnya siap." " Oke." Alin mengangguk-angguk sbgai isyarat kalau pertemuan antara dirinya dan sang pemimpin redaksi sudah selesai. Sementara Bu Emmy bersiap bangkit, Alin berkata, "Ini buat saya ya, buat contoh saat ketemuan dgn orang Omega. Terima kasih, Emmy." " Iya, Bu, permisi." *** " Dit, dari tadi handphonmu teriak2 tuh," kata Agung memberi tahu. Ditya yg baru saja kembali dari toilet, segera melihat ponselnya. " Siapa? Alin, ya?" tanya Agung. " Iya, siapa lagi." jawab Ditya yg kemudian duduk diatas kursinya. " Nggak telepon balik, Dit? Pulsanya ada kan?" Agung bersiap meminjamkan ponselnya. " Santai aja. Nanti paling Alin nelpon lagi." " Dasar kamu, Dit." Tak lama, kembali ponsel Ditya berbunyi. "Tuh kan, Alin pasti nelepon lagi." Ditya langsung menyapa Alin dan melancarkan kata2 gombalnya. Sementara dua sejoli itu asyik ngobrol, Agung cuma bisa geleng2 kepala sambil ber-ck ck ck ria. Agung tahu betul tentang Ditya, terutama tentang petualangan cintanya dgn Alin. Merasa sudah cukup memikirkan urusan orang lain, Agung pun segera kembali ke dunianya. Menyusun laporan bulanan yg nanti sore harus sudah selesai. " Makan siang dimana, Gung?" tanya Ditya yg sudah bersiap-siap pergi. " Ditempat biasa, biar cepet. Soalnya kerjaan masih numpuk, emang mau makan dimana?"
kata Agung yg tdk melepaskan pandangannya dari layar monitor. " Aku mau makan sama Alin. Sbenernya males bnget, soalnya jam segini jalan suka macet. Kesananya aja bisa satu jam. Tapi, tahu sendirilah, Alin nggak bisa terima alasan macam itu. Cabut dulu ya." " Yup," sahut Agung sambil tersenyum. Dalam hati,dia merasa Ditya harusnya bersyukur mendapatkan Alin. *** Ditya menginjakan kakinya dgn berat dikantor Alin, kemacetan membuat hatinya kesal. Berbeda dgn lagu2 romantis yg menyatakan 'semuaku lakukan demi cinta', Ditya lebih berprinsip -bisa dibilang- 'Smua kulakukan demi uang'. Ditya, jauh dari lubuk hatinya, dia tdk benar2 mencintai Alin,dia hanya ingin Alin di genggamannya, Alin dan semua kelebihannya, termasuk uangnya. " Aku udah dikantor kamu, Sayang," ucapnya ditelepon. " Oke, aku turun sbentar lagi. In, hmm, ten minutes oke?" Ketika hubungan telepon sudah tertutup, Alin bicara dgn sekretarisnya. " Indah, nanti saya balik dari makan siang kayaknya agak telat. Kalau ada apa2, kamu handle aja dulu ya," kata Alin sambil memasukan ponselnya ke dlm tas. "Oh, ya, file ini...." Alin menyerahkan file penting yg perlu di follow up, dan membicarakannya dgn Indah. Sementara Ditya yg menunggu dibawah tak henti2nya melihat jam tangannya. Td dia harus menunggu dijalanan macet, sekarang Alin masih jg membuatnya menunggu. Blm lg, stelah makan siang nanti, dia akan menjadi pembantu Alin yg dgn setia mengikuti kemanapun wanita itu melangkah. Berpura2 tdk keberatan menunggunya memilih2 pakaian dan ketika bingung Alin akan brtanya, "Kamu lebih suka yg mana?" lalu, stelah membayar dikasir, Ditya bersedia membawakan semua tas belanjaannya layaknya seorang kuli angkut yg berada distasiun atau bandara.
Tampak dari kejauhan, Alin menuruni tanggadan berjalan mendekat. Ditya bersiap2 memasang tampang senang ketika Alin mengulurkan tangannya hendak membuka pintu mobil. " Wow! Miss Snow White," sambut Ditya ketika Alin mengambil tempat duduk disamping Ditya. Alin mengenakan trench dress putih. " Cantik bnget," puji Ditya. " Masa sih?" Alin besar hati. "Kayaknya biasa aja deh." " Iya serius." Dia menjawil hdung Alin. "Well, kemana kita nih?" " Ke Senayan City aja," jawab Alin. " Okay, your wish is my command." *** "By the way, mobil kamu yg lecet udah beres?" tanya Ditya. " Udah, barusan si Darto td balik dari bengkel," " Yg BMW atau yg Mercy?" " Yg Audi.." Ditya tertegun sesaat. Sempat lupa kalau pacarnya itu juga punya mobil mewah yg satu itu. " Och, lupa kalau bensinku abis. Nanti kita mampir isi bensin sbentar ya," ujar Ditya. " Oh, oke." Ditya melirik ke alat penunjuk bahan bakar yg letaknya bersebelahan dgn spidometer. Jarum alat tersebut berada di hampir mendekati huruf E. 'Jika ada Alin, smua akan aman'. Hati Ditya kembali riang... [ Cowok kayak Ditya, pantesnya di apain ya?? Buang ke laut.! ] ***
Apa yg td dipikikan oleh Ditya menjadi kenyataan. Stelah makan siang, dgn males2an Ditya mengiringi kemanapun Alin pergi. Memasuki Stiap toko, dan keluar sambil menjinjing stidaknya dua paperbag, bkn Alin yg menjinjingnya, lebih tepatnya Ditya. Mereka berdua terus berjalan hingga akhirnya melewati toko yg menjual CD lagu dan VCD film original. " Mampir dulu ya," ujar Alin. 'Akhirnya,..stelah belanja barang2 untuk cewek, ucap Ditya kecut sekaligus senang. " Kamu lg pengin film apa?" tanya Alin kpada Ditya. " Yuk, kita cari." Alin tersenyum, tahu kalau Ditya cukup bosan menemaninya belanja, stelah itu, mereka pun memasuki toko olahraga. " Aku pengin beliin kamu sepatu, biar kamu rajin olahraga." setelah beberapa saat memilih, akhirnya mereka keluar dgn membawa tiga paperbag yg berisi sepasang sepatu joging, sepasang kaos kaki, lima T-shirt, dua stel celana training beserta jaketnya dan empat handband. *** Bagasi mobil Ditya penuh dgn belanjaan Alin. " Makasih ya udah mau nemenin aku." " Iya. Lagian kan cuma nemenin aja. Kan nggak susah," ucap Ditya berusaha santai. Ditya memundurkan mobilnya lalu memajukannya, stelah berada diluar petak parkir mobilnya pun segera meluncur menuju tanjakan yg merupakan jalan keluar dari parkiran basement yg pengap. " Eh, ini buat parkir ya?" Alin membuka tasnya dan mengambil uang kecil. Begitulah hubungan antara Alin dan Ditya. Jika mereka sdang jalan2, semua pengeluaran
dibayar Alin, termasuk pengeluaran terkecil sekalipun seperti biaya parkir. Ditya tdk malu sama sekali, dan Alin melakukannya dgn senang hati. Bahkan, Ditya serhng meminjam uang kpada Alin. Alasannya bermacam2 dan terkesan remeh, seperti untuk membayar les piano sepupunya, membelikan ibunya bunga gelombang cinta yg patah karna ditubruk kucing, atau menggantikan ikan arwana omnya yg mati karna akuariumnya diobok2 adik bungsunya. Sayangnya, Alin sepenuhnya percaya kpada Ditya dan melakukan semua dgn senang hati agar Ditya suka. Sampai saat ini hanya Tuhan dan Ditya yg mengetahui untuk apa uang itu. Dan, Alin pun tdk pernah berniat menagih uang yg telah dipinjam Ditya.
16. Sindrom Hari Senin -Fanny, AlinFanny kembali kekursinya stelah dia pergi kekoperasi untuk membeli dua potong roti. Seminggu benar2 tdk terasa dan pada hari senin ini, dia merasa tdk bertenaga. Rasanya baru beberapa jam yg lalu Fanny pergi jalan2 brsama dua sepupunya ketika akhi pekan. Fanny sadar kalau bkn hanya dirinya yg mengidap penyakit I don't Like Monday. Gejolak penyakit ini biasanya sudah mulai terasa pada hari minggu sore dan akan mencapai puncaknya pada malam harinya. Sudah sejak dulu Fanny bertanya2 apa obat dari penyakit menahunnya ini. 'Aaarrrrggghhh.... Aku terangkap dihari senin!. Pagi ini, dia sudah di hadiahi setumpuk pekerjaan baru. Itu semua memang makanan sehari2nya, tp kalau diberikan secara sekaligus seperti ini, rasa2nya Fanny ingin memuntahkan semua yg sudah dimakannya ketika sarapan tadi. Namun untung saja perutnya masih cukup kuat brtahan untuk bergejolak. Dgn semengat hdup seadanya, Fanny berusaha menyekesaikannya stidaknya separuh dan separuhnya lg dilanjutkan stelah jam istirahat. Biasanya Fanny sudah merasa lapar pada saat tengah hari seperti ini. Namun, karna bnyaknya pekerjaan yg harus dikerjakan, dia jd tdk bernafsu makan. Fanny memang tdk merasa lapar, tp dia tau kalau dia tdk mengisi perutnya dia bisa sakit. Akhirnya sbuah keputusan diambil. Fanny turun ke lantai dasar, berjalan ke koperasi untuk membeli makanan yg kiranya sepadan dgn nasi. *** Jam sudah menunjukan pukul satu siang, Fanny bersiap kembali bekerja.
" Fan," panggil Bayu dari balik monitornya dgn wajah tdk bersemangat. "Aku numpang ngeprint ditempat kamu ya, printer yg biasa aku pakai, tintanya lg habis." Dgn lemas Fanny mengangguk dan menjawab, "Iya." Dgn sistem komputer jaringan, Bayu mengintrusikan printer Fanny untuk mencetak melalui kompeternya. " Fan, countinue dong." pinta Bayu stelah meletakan kembali kertas yg sudah tercetak ke tempat semula. Karna Bayu ingin mengeprint bolak-balik, jd kotak yg brtuliskan continue pada monitor Fanny harus diklik. " Kamu knapa Fan? Kok nggak semangat gitu sih." ujar Bayu. " Aku lg nggak mood." " Nggak mood knpa?" tanya Bayu. " Entah. Rasanya, roh aku ketinggalan di weekend kmarin," jawab Fanny sekenanya. Bayu terkikir geli mendengar ucapan Fanny. "Ada yg bisa dibantu? Media monitoring, mungkin," kata Bayu enteng. " Beneran, Bay?" Fanny bersemangat mendengar Bayu brsedia meringankan pekerjaannya. " Kerjaanku udah selesai. Daripada aku nggak ngapa2in, mendingan aku bantuin kamu." " Betul.., betul." sahut Fanny bercanda. *** " Fan, kamu lg sibuk nggak?" tanya Alin dari seberang telepon sana. " Enggak, biasa aja. Emang knpa, Lin?" sahut Fanny enteng. " Kita ketemuan yuk. Kangen nih," sambung Alin excited. " Ayo. Kapan?" tanya Fanny. " Rabu depan?" " Rabu? Hmm..,bisa sih, tp knpa nggak jumat aja?" " tadinya sih jg mau hari jumat, tp Rika lembur dar hari ini sampai senin depan," papar Alin. "Jumat dpn kelamaan, aku udah keburu kangen. Selasa aku nggak bisa, ada meeting sampai malem," sahut Alin.
" Aduh, temen2ku pd sibuk smua. Oke deh, Rabu nggak masalah." " Aku iri sama kamu, kira2 kpn ya aku nggak di bayang2i pekerjaan. Nikmati aja waktu senggang kamu," ujar Alin memberi saran. "Kangen nih sama kalian. Waktu acara ultahku, kita nggak sempet ngobrol bnyak." " Rabu nanti kamu puas2in deh ngobrolnya. Terserah mau cerita apa, aku siap dengerin dan nimpalin." Fanny mulai memberesi mejanya karna jam hampir menunjukan pukul lima sore. "Jadi nggak sabar pengin ngobrol.., eh ngegosip maksudnya." Fanny tergelak. Fanny tersenyum. Rencana pertemuan dgn sahabat2nya itu seakan menjadi doping baginya untuk menghadapi pekerjaan selanjutnya. " Hmm.... Lin," Fanny tiba2 ragu, "eh, Ditya apa kabar?" " Baik. Kemarin dia habis nemenin aku belanja." " Kirain dia sibuk." Fanny mencoba membuka celah informasi. " Kadang dia sibuk juga,tp sbisa mungkin dia meluangkan waktu untu aku, kok." ucap Alin riang. " Oh,gitu." Fanny menyandarkan punggungnya dan memainkan ujung rambutnya saat Bayu melintas. " Fan, aku duluan. Sampe ketemu besok, ya." kata bayu pamit. " Tunggu.., tunggu sebentar ya, Lin." Fanny menjauhkan ponsel dari mulutnya. " Iya, hati2. Makasih ya, Bay." sahut Fanny dgn stengah berteriak. " Eh, udah mau pulang ya?" tanya Alin yg td samar2 mendengar ada teman Fanny yg berpamitan kpadanya. " Nggak kok, belum." tepis Fanny cepat2. " Udah sore nih, kita pulang aja yuk," ucap Alin terkekeh. "Hari ini capek bnget. Seharian aku wara-wiri." " Oh, ya udah. yuk." " Bye, Fan." " Bye."
Masih pukul lima. Jarum panjang dijam duduk Fanny blm jauh meninggalkan angka dua belas. Fanny mematikan komputernya, membereskan mejanya, dan mengembalikan pulpen2 ketempatnya. Fanny keluar ruangan dan melangkah dgn langkah ringan menuju lift. Dia tersenyum. Senin sore ini cukup menyenangkan.
17. Isi Hati -Fanny" Teman kamu Nadine atau Eric?" tanya Fanny ketika membaca kertas kecil yg disematkan pada suvenir. " Eric," jawab Theo sambil berjalan berdampingan dgn Fanny menjauhi meja penerima tamu. Hari sabtu ini, Fanny diajak untuk menghadiri undangan resepsi pernikahan teman kerja Theo. Ini adalah pertemuan pertamanya stelah dua pekan tdk brtemu sama sekali. Fanny bersyukur teman Theo menikah hari ini karna kalau tdk ada acara ini, bisa jadi tdk ada pertemuan sama sekali. Sore nanti sekitar pukul empat, Theo harus sudah berada dibandara karna dia kembali ditugaskan ke luar kota, yg kali ini ke Denpasar. " Eh, ada karangan bunga dari PT Tri Optima. Nadine nya kali ya yg kerja disana," ujar Fanny sewaktu mau memasuki ruang resepsi. Theo ikut melihat apa yg dilihat Fanny. 'Selamam Menempuh Hidup Baru Nadine & Eric PT Tri Optima' " Mungkin," sahut Theo singkat. " Jadi pengen tanya Rika. Kali aja dia diundang. Jadinya kita bisa ketemu disini. Aku tanya ah," gumam Fanny sambil mengeluarkan ponselnya, Iring2 pengantin baru sampai. Mereka ada diujung sana dan tampak sdang mengatur
barisan. Aura kebahagiaan kedua mempelai terpancar kuat. Dgn sangat perlahan, iring2an itu melangkahkan kakinya sesuai dgn irama tertentu. Fanny pun berkhayal. Kira2 kapan gilirannya berjalan berdampingan bersama Theo diatas hamparan karpet merah itu. 'Mungkinkah Theo yg sdang berdiri disampingnya, diam2 memikirkan hal yg sama dgnnya?' Sekali lg, hati Fanny ingin ditegaskan mengenai hubungan ini. Tp, jika dia menyinggung hal ini skarang, apakah akn terkesan terburu2, atau Theo yg slama ini sbenernya sama sekali tdk peka dgn apa yg sdang berkecamuk di dlm diri Fanny. " Alin pernah cerita, meskipun bkn artis Hollywood, tp ketika nikah nanti, dia bisa ngerasain suasana acara Academy Awards," papar Theo lalu trtawa kecil. "Hamparan karpet merah itu," tunjuknya samar2 dgn ujung jarinya, "dan tamu2 undangan dianggap paparazzi yg lg ambil foto." Fanny menoleh dgn kedua alis yg bertaut. "Kenapa kok tiba2 jd ngomongin Alin?" dia kecewa, ternyata Theo tdk peka dgn apa yg sdang berkecambuk didalam dirinya. " Lagi inget aja." jawab Theo mengedikan bahunya. "Oh iya, waktu hearing sampai malem kemarin, aku perhatiin Alin sama sekali nggak ngantuk. Dia bener2 nyimak proses report bawahannya." Fanny merasa tersindir habis-habisan. Stiap acara pertemuan dia selalu merasa bosan dan mengantuk. Dia ingin menyahut, tp tasnya tiba2 bergetar membuatnya mengurungkan niatnya. Ada balasan SMS dari Rika. Ternyata, Rika tdk kenal dgn Nadine dan sekarang dia sdang benar2 lembur. " Fanny." Dia mendengar namanya dipanggil dari belakang oleh seseorang yg suaranya sudah tdk asing lg. "Bayu?" kata Fanny senang sekaligus heran. "Kok bisa ada disini juga?" " Aku baru dateng. Aku temen kuliahnya Nadine."
" Ya ampun, dunia segini luasnya kita ketemunya disini. Nggak nyangka. Berarti kamu bareng sama temen2 kuliah kamu dong?" " Yup. Tuh, pada ngegerombol disana," jawab Bayu menunjuk tiga orang laki2 dan dua orang perempuan yg berdiri melingkar sambil asyik mengobrol. " Oh iya," Fanny menoleh pada Theo, "Bayu, kenalin, ini Theo," ucapnya sambil menggandeng lengan Theo. "Theo ini Bayu, temen kantorku." Bayu menjabat tangan Theo dgn senyum dingin. "Oke deh, aku gabung dulu sama temen2 ya," ucap Bayu segera beranjak. *** " Bay, kita duluan ya," kata Fanny berpamitan kpada Bayu. " Oh, iya..., iya." " Yuk, Bay," ucap Theo sambil mengangkat tangannya. " Sampai ketemu hari senin ya," timpal Fanny. " Iya. Awas jangan sampai kena sindrom hari senin lagi." Fanny tersenyum mendengarnya. "Iya nih, berarti harus dapetin vaksinnya dulu," katanya sambil terkekeh, begitu juga dgn Bayu. "Eh, iya, tentang hari senin," Fanny terhenti, teringat sesuatu. Theo sudah terlanjur menjauh. Obrolan singkat tentang hari senin ternyata merambat ke hal lain. Sejenak mereka bergosip tentang Winda yg konon kabarnya rela melakukan apapun agar predikat karyawan teladan tahun ini dpt diraihnya. Mereka jg membicarakan Pak Budi yg cocok jika disandingkan dgn 'si calon karyawan teladan itu'. Ya, mereka cocok, cocok menadi pasangan angka sepuluh. Winda yg tinggi kurus menjadi angka satu dan Pak Budi yg bulet pendek menjadi angka nol. Sementara itu Theo berdiri sendirian tdk jauh dari meja buffet, menunggu Fanny. Dia merasakan dua menit yg menyiksa, melihat kekasihnya mengobrol bersama teman prianya dgn begitu akrab. Fanny tdk pernah bercerita tentang pria itu sbelumnya. Padahal, biasanya dia selalu menceritakan apapun kpadanya.
" Yuk, Bay." tukas Fanny akhirnya, melihat Theo yg sudah menunggu. Bayu memandangi Fanny yg brjalan dgn anggunnya menuju pintu keluar. Cukup lama dia memperhatikan Fanny yg terus berjalan menjauh sampai akhirnya sebuah suara mengagetkannya, "Jadi.., cewek itu yg belakangan ini udah bikin hati kamu klepek-klepek?" cetus Satria tiba2 yg sudah mengetahui isi hati Bayu. Bayu mengangguk sambil mengerling sejenak ke arah sahabat karibnya sejak kuliah. "Cantik," ujar Satria memberi tanggapan singkat. "Eh, engga deng. Dia enggak cantik," koreksi cepat2. Mendengar perkataan sobatnya, Bayu mengernyit. " Dia nggak cantik, tp cantik bnget." Satria tertawa. " Dia cantik, berkelas, elegan. Asyik diajak ngobrol juga." Satria bersiul menggoda. " Tp, ya begitulah, Sat," Bayu mengangkat bahu, " Udah punya pacar."
18. Something's Wrong -Fanny, Alin, RikaSore itu Fanny menjadi orang pertama yg datang di resto tempat mereka janjian. Sambil menunggu dua sahabatnya datang, dia mengeluarkan playbook nya dan mulai berselancar di dunia maya melalu fasilitas wi-fi resto. Lemon tea sama french fries sudah ada dihadapannya. Di sela2 penantiannya, mendadak dia disergap rasa rindu terhadap Theo. Tadi siang, dia mengirim SMS, tp statusnya pending dan sekarag ketika dia melihat ponselnya statusnya berubah menjadi filed. Dia lalu mencoba menelpon. Namun, ketika baru tersambung yg trdengar hanyalah suara permintaan maaf. Fanny mendesah kecewa, tp itu tdk berlangsung lama, karna beberapa saat kemudian Alin dan Rika datang berbarengan. "Hei, datengnya kok bisa barengan sih?" Fanny bangkit dari duduknya, cipika cipiki dgn Alin dan Rika. "Tadi ketemu ditoilet," jawab Alin. "Udah pesan, Fan?" "Baru pesan minum sama cemilan." "Haduh aku laper nih. Tadi nggak sempet makan siang." Rika langsung menyambar daftar menu. " Hah? Kok bisa?" tanya Fanny kaget sekaligus khawatir. Alin dan Fanny juga menelusuri pilihan menu. "Biasalah," sahut Rika. "Kejar tayang." Rika merengut. " Aku sebel deh, kalian curang! Beberapa hari belakangan ini kalian ketemu terus, tanpa aku." Alin berceloteh. "Ayo dong ceritain, kalian ngapain aja." Fanny pun dgn fasih menceritakan kembali kisahnya dgn Rika kpada Alin, juga kisah Rafa. Dia melirik Rika, "Tentang temanmu itu dong, Rik," goda Fanny, berharap Rika bisa mengalihkan kesedihan karena kepergian Eros. Sudah hampir lima bulan berlalu.
"Antara Rika dan Rafa mempunyai kesamaan nasib. Hmm..." Alin sengaja membuat kalimatnya menggantung. Wajah Rika merona dan dia tdk dpat menyembunyikannya dari dua sahabatnya itu. Segera saja dia menunduk dan menggunakan daftar menu untuk menutupi wajahnya. "Temen biasa aja," ujar Rika. " Kamu sekarang bisa aja ngomong begitu. Tp seiring dgn berjalannya waktu, who knows?" Alin mengedikkan bahunya. "Iya kan, Fan?" Fanny mengangguk. Mereka tersenyum, tak lg memperpanjang obrolan itu. Begitulah Rika, dibanding yg lain, dia paling tertutup. Dia juga pemalu. *** Setengah jam berlalu dan sesi mengisi perut selesai sudah. "Weekend nanti aku mau treatment di spa, ah. Lembur kemarin bikin badanku capek bngt. Energiku habis nggak tersisa. Kalian enak, kerjaan kalian lg santai," ujar Rika. " Siapa bilang?" protes Alin. "Aku harus meeteng sana sini. Dua hari yg lalu aku inspeksi ke percetakan, mastiin mesin2 produksi. Fanny tuh yg kerjanya lg santai." Fanny terkekeh. "Kabar Theo gmana, Fan?" tanya Rika. "Baik2 aja, tp kayaknya lg sibuk." "kayaknya?" Rika tanya balik dgn intonasi heran, "Berarti kamu nggak tahu pasti dong sebenernya dia lg sibuk atau enggak." " Kamu punya pacar gmana sih?" sambar Alin. "Kok bisa sih sampai nggak tahu gitu. Padahal, kerjaan kamu lg santai. Emangnya nggak pernah telepon-teleponan? Makanya, kalau punya pacar tuh diperhatiin, diurusin. Ditanya kabarnya, lg sibuk apa. Jangan dicuekin. Kamu kan jarang ketemu. Jangan2, Theo punya seseorang loh diluar sana." tuturnya
bercanda. Entah mengapa, ada api emosi yg memercik dihati Fanny. "Hmm, masa? Jangan2 Ditya?" ujar Fanny datar. Tiba2 dia menyesali ucapannya. Mungkin, karna merasa lelah dua hari ini, dia jadi cepat emosi. "Maksud kamu?" nada bicara Alin sedikit tinggi. Dia tampak menahan sesuatu. Fanny berpikir mungkin Alin sbenernya sudah tahu, hanya menyembunyikan dari dirinya sendiri. "Jangan menuduh sembarangan, Fan. Aku percaya sama dia." ucapnya ketus. "Hmm, sepertinya..., mungkin sekarang saat yg tepat," ujar Fanny sambil menarik napas. Rika meliriknya, tp Fanny tetap bicara, "Mungkin emang sudah saatnya kamu tahu. Aku liat Ditya sama cewek lain." Alin terdiam. Dia tampak tak terlalu terkejut, tp dia memang sudah biasa dlm menghadapi masalah dgn karyawan-karyawannya, mampu menutupi emosinya. Itu yg ada dlm pikiran Fanny. "Lin," panggil Rika lembut dan mencoba meraih Alin dgn tangannya. "Nggak mungkin!" sembur Alin. Dia menepis tangan Rika. "Aku tahu betul siapa Ditya. Kamu bohong, Fan. Kamu pasti salah lihat. Ditya nggak mungkin selingkuh." tiba2 emosi Alin tak trtahankan. Fanny tdk bersuara, cukup terkejut dgn reaksi Alin yg berbeda dgn harapannya. "Kapan kamu liat Ditya selingkuh?" "Malam acara ulang tahun kamu. Nggak sengaja mobilnya ada disampingku pas lagi nunggu lampu merah. Aku yakin dia terlambat ke acara ulang tahun kamu karna dia habis ketemu cewek itu." Mata Alin nanar. Dia berganti-gantian menatap Fanny dan Rika. Napasnya pun memburu.
"Rik, kamu kenal Ditya kan? Bilang ke aku kalau cerita fanny itu bohong." Rika menghela napas, tak bisa berkata apa2. Alin kembali diam, "Tp knapa kamu baru bilang sekarang, hah?" "Waktu itu aku nggak mau ngerusak hari ulang tahun kamu. Lagi pula aku masih berpikir positif kalau Ditya cuma khilaf." " Enggak.., enggak. Kamu baru bilang sekarang karna kamu butuh waktu untuk ngarang cerita ini. Iya kan?! Aku tahu kamu bohong, Fan!" " Bohong? Bohong apa lg sih, Lin? Semua yg aku ceritain itu benar kok." " Ini semua cuma karangan kamu,., karangan kalian." Fanny dan Rika sama2 terbelalak. "Aku tahu, selama ini kalian sering ketemu tanpa aku. Bisa jadi kalian diem2 ngerencanai sesuatu yg buruk buat aku. Sahabat macam apa sih kalian, nggak seneng kalau sahabatnya bahagaia. Aku sama Ditya bahagia, dan kalian mau ngerusak kebahagianku.." Hati Fanny mencelos mendengar tuduhan itu. "..... Sebenarnya apa yg salah sih? Ditya itu baik. Atau jangan2 selama ini, tanpa sepengetahuanku, kalian nggak suka sama Ditya?" " Lin," bentak Fanny. Alin membereskan tasnya. "Aku harus pergi sekarang." "Lin, tunggu," ucap Rika tp tdk digubris Alin. Fanny hanya terdiam. "Ini semua gara2 aku, gara2 pertanyaan bodohku," ucap Rika penuh penyesalan. "Aku nggak nyangka akhirnya kayak gini jadinya." "Nggak. Kamu nggak salah apa-apa, Rik." "Seharusnya, td aku nggak tanya keadaan Theo ke kamu. Padahal pertanyaan itu pertanyaan biasa, tp entah knapa momennya nggak pas." Sunyi. Tdk ada satupun dari mereka yg bicara. Fanny menyandarkan punggungnya. Wajahnya pun tampak murung dan tdk seperti Fanny yg biasa.
" Yah, mungkin aku agak tersinggung dgn ucapan Alin. Sekarang, aku merasa Theo jauh dari aku. Nggak cuma secara fisik -karna dia sering ke luar kota, tp jg secara psikis. Dia semakin sibuk, nggak cuma nangani proyek dari Alin." Fanny memberingsut maju, sikunya berada diatas meja dan tangannya menopang kepalanya yg terkulai lemas. "Selama ini, masih tetep komunikasi seperti biasa. Stiap ada telepon atau SMS dari dia, awalnya aku merasa senang. Tp, saat aku angkat telepon atau baca SMSnya, perasaan senang itu langsung berubah jadi datar. Mungkin, aku jenuh, Rik..."
19. Merenung.... -AlinKata-kata Fanny menggema dikepala Alin; Ditya selingkuh. Keesokan harinya dia menelpon Ditya, menguji apakah ada perubahan pada cara bicaranya. Namun, usahanya tdk membuahkan hasil, Ditya masih sama seperti biasa, tdk ada yg mencurigakan sama sekali. Pasti salah satu dari mereka ada yg berbohong, pikir Alin. Fanny atau Ditya?. Alin kini membenamkan punggungnya disandaran kursi dan mengatur napasnya agar lebih relaks dan tenang. Stelah itu dia memutuskan untuk mengesampingkan dulu masalah pribadinya dan memilih untuk merenungi perkataan general managernya. Meeting dgn Pak Yudhis membuatnya bersemedi diruang kerjanya siang ini. Pak Yudhis menyimpulkan bahwa perlu ada maintenance untuk mesin2 produksi. Sementara di divisi HRD, sejumlah karyawan yg sudah bekerja selama lima tahun 'curhat' mengenai kesejahteraan. Kemudian, lain halnya mengenai tampilan fisik perusahaan yg sepertinya perlu sdikit mengubah interior, mengingat CTY sudah berganti wajah. Itu smua menyangkut pengeluaran perusahaan. Keadaan keuangan tdk sanggup untuk membiayai semua pengeluaran itu. Sempat terpikir untuk mengajukan pinjaman ke Bank. Namun, pikiran itu buru2 ditepis karna terlalu beresiko, karna CTY baru mau akan meluncurkan image barunya. Hal yg perlu dilakukan saat ini adalah menyusun skala prioritas. Diantara tiga permasalahan, Alin pertama kali menyoroti mesin2 produksi. Jika mesin2 itu sampai rusak, proses pencetakan pun bisa menjadi malapetaka. Alin tdk mau bencana itu hadir didpn matanya. Me-maintenance mesin2 produksi sepertinya tdk bisa ditunda lg. Lanjut ke permasalahan kesejahteraan karyawan. Tiba2, Alin teringat perkatan papinya, "Jangan sekali-kali menganggap karyawan sbgai pesuruh yg bisa diperintah seenaknya. Tp
jadikan mereka sbgai mitra kerja. Karna tanpa mereka perusahaan tdk bisa berjalan." Alin sudah memahami betul konsep itu. Permintaan untuk meningkatkan kesejahteraan yg sudah merupakan hak mereja adalah hal yg wajar. Namun, kondisi keuangan saat ini tdk memungkingkan. Disisi lain, Alin khawatir kalau mereka jd kecewa dan mulai melirik perusahaan lain yg menawarkan tingkat kesejahteraan lebih baik. Lima tahun bkn waktu yg sbentar dan pengalaman yg mereka miliki bersama perusahaan ini pastinya sudah cukup bnyak. "Oke, jangan anggap ini pengeluaran, tp investasi" Ucap Alin kpada dirinya sendiri. Namun, ketika melihat rincian pengeluaran, bahu Alin melorot lesu. Event peluncuran the new CTY membutuhkan dana yg besar. Dgn berat hati, Alin hanya mampu memberikan stengah dari yg mereka minta. Memikirkan perihal me-make over interior kantor membuat bibirnya melengkungkan senyum. Rasanya menyenangkan jika dibeberapa spot tertentu dipajang sejumlah gambar model yg mengenakan pakaian atau aksesoris yg tengah digandrungi para fashionista. Lobi utama pun tdk luput dari make over. Ruangan yg mengusung kesan kaku dan formal itu sepertinya sudah saatnya dipensiunkan, diganti dgn desain interior yg lebih up date. 'Well, may be next time,' pikirnya sambil menghela napas lega. Dia pun berencana mendiskusikannya dgn sang GM besok agar kebijakannya ini bisa segera dilaksanakan. Alin meregangkan tubuhnya, ketika kedua tangannya terentang diudara. Tiba2 sbuah ide hinggap dikepalanya, bkn ide untuk memecahkan persoalan keuangan perusahaan melainkan ide untuk melanjutkan studi ke jenjang magister. Gelar sarjana yg ia dapatkan dua tahun yg lalu dan ilmu komunikasi yg dia pelajari selama empat tahun rasanya blm cukup memadai untuk mengelola perusahaan. Kalaupun dia mau mengambil progam S2, jurusan bisnis sepertinya menjadi jurusan yg tepat baginya. Deringan telepon mengembalikan Alin ke dunia nyata.
"Ya," jawab Alin. " Di bawah ada Pak Theo," sahut resepsionis yg berada dilantai bawah. "Katanya, sudah ada janji dgn Ibu." " Oh, iya. Langsung suruh naik aja." Buru2 Alin mengeluarkan beberapa berkas yg diperlukan. Contoh majalah, daftar rundown acara, dan catatan technical segera disiapkan diatas meja. Rencananya, acara peluncuran wajah baru majalah Close to You akan diisi dgn acara talk show, demo masak praktis, dan yg terpenting adalah tawaran harga spesial edisi pertama yg dikepalai oleh Alin. Seseorang mengetuk pintu. "Masuk!" seru Alin. Muncullah sosok Theo. "Masuk, Theo," sambut Alin tersenyum. "Anggap aja dirumah sendiri," lanjutnya sambil mempersilahkan Theo duduk disalah satu dua kursi didpnnya. "Wah, yg abis jalan2 ke Pontianak. Mana oleh2nya?" " Disana hectic bnget, Lin." ujarnya menyeringai. Ini kali pertamanya bagi Theo masuk keruang kerja Alin. Theo mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Didekat pintu yg dia lalui, ada dua sofa tanpa sandaran dan sbuah meja pendek. Di dekat rak yg berisi macam2 majalah, teve layar datar dipasang ke dlm dinding partisi. " Kuliah empat tahun sama2, lulus jg sama2, tp sekarang jalan hdup udah beda.., beda nasib." " Oh, come on, Theo." seringai Alin. "Kita masih tetap sama. See, kita lg ngegarap proyek yg sama." Alin tdk ingin dianggap atasan oleh teman sendiri. "Uhmmm.., kamu mau nggak kalau kita ngomongin kerjaan kita diluar? Di cafe atau di lounge," usulnya. Dia tdk mau ruangan direkturnya ini membuat dirinya dan Theo terperangkap ke dlm susunan hierarkis. Theo tdk menjawab. Dia hanya mengangkat alisnya.
" Yuk, ah. Aku bosan diruangan ini," ucap Alin sambil membereskan tasnya tanpa menunggu persetujuan Theo. Tak lama, mereka sudah keluar dari gedung kantor Alin itu.
20. Benarkah ? -Alin"Aku mau minta pendapat kamu," ucap Alin stelah menyingkirkan berkas2 keperluan kantornya. "Aku berencana kuliah lg, ambil S2. Menurut kamu gmana, The?" "Bagus," sahut Theo singkat. Alin pun menceritakan alasan yg membuatnya merasa perlu untuk meneruskan studinya. "Kesibukan kamu jadi nambah dong. Harus pintar2 bagi waktu," ucap Theo yg memandangi Alin dari atas cangkir sewaktu meminum epresso nya. Diam-diam, Theo menikmati momen ini. Setelah bekerja sama beberapa waktu belakangan ini dgn Alin, dia kagum dgn pembawaan Alin. Temannya ini sungguh berbeda dgn mahasiswa yg dulu dia kenal dibangku kuliah. Wanita ini tidak seperti seorang atasan pada umumnya yg menganggap dirinya superior. Alin tdk malu mengakui kalau dia salah, bahkan tanpa ada perasaan sungkan Alin sering kali minta diajari, mengingat dia adalah orang baru. Theo masih cukup heran. Entah bgaimana, dia bisa mengalami akselerasi yg menakjubkan. Sepertinya, jabatan direktur yg memiliki tanggung jawab super berat 'memaksanya' untuk mentransformasi dirinya dlm waktu sesingkat ini. Theo masih ingat dulu Alin adalah seseorang yg mudah terombang-ambing. Dia tdk punya pendirian jg kepercayaan diri dlm memutuskan sesuatu, bahkan untuk dirinya sendiri. Ketika menentukan tema skripsi, dia membutuhkan waktu yg lama. Dia tdk memahami dirinya, atau mungkin, belum,. Dan kecenderungan sendiri. Namun sekarang, Alin yg dikenalnya kini adalah seseorang yg mandiri, independen, tdk tergoyahkan, dan bertanggung jawab penuh atas dirinya sendiri. Masukan2 yg sampai ditelinganya akan dia pertimbangkan dgn logikanya, bkn serta merta ditelannya bulat2
sehingga membuatnya labil. Attitude Alin menghadirkan pesona tersendiri dimata Theo dan itu membuatnya menikmati detik2 kebersamaan dgn salah satu sahabat kekasihnya. "Theo," panggil Alin dan sesaat kemudian Theo trbangun dari lamunannya. "Mumpung kita ketemu, ada yg mau aku tanyain." Theo siap sedia mendengar pertanyaan Alin. "Menurut kamu, cowok bisa selingkuh, itu karna apa?" Theo terkesiap mendengarnya. Dia ingat cerita Fanny tentang Ditya. "Kok, tiba2 tanya soal itu?" "Aku cuma pengen tahu aja. Kamu kan cowok, pastinya kamu lebih ngerti." Posisi duduk Theo mendadak jadi tdk nyaman, dia gusar. Dia tahu kalau Alin sdang membahas tentang Ditya. "Cowok itu selingkuh, hmm...., karena,..." dia memilih kata yg tepat. "Sebenarnya, kalau ngomongin perselingkuhan nggak lepas dari tiga pihak; pihak pasangan itu sendiri dan pihak luar..., bisa orang ketiga atau lingkungan sekitar. Semua punya potensi destruktif yg sama besarnya. Tp, kalau soal cowok yg selingkuh, bisa jadi karna si cewek udah nggak menarik lagi dimatanya dan dia menemukan cewek lain yg lebih menarik. Ditambah juga dgn lingkungan yg mendukung,., misalnya antara si cowok dan si cewek pihak ketiga berada ditempat yg sama dan sering berinteraksi satu sama lain." Wajah dan leher Theo terasa panas. Dia seperti sdang membicarakan dirinya sendiri..., tentang kekagumannya terhadap Alin. Alin mengangguk dan berpikir apakah Ditya sudah menemukan wanita lain yg lebih menarik dari dirinya diluar sana. Tp, mengapa dia tega melakukan hal itu? Bukankah selama ini dia sudah menggenapkan cintanya hanya untuk Ditya seorang.. Alin mencintai Ditya. Itu adalah fakta yg tdk dapat dibantah. Baginya, Ditya adalah orang yg tepat baginya. Dia selalu bisa menyenangkan dirinya dan tdk pernah mengecewakannya. Ditengah kesibukannya, Ditya sebisa mungkin selalu mendahulukannya. Itulah yg
membuatnya mencintai Ditya. Dia tahu betul cara memperlakukan dirinya. Sekarang Alin mengalihkan perhatiannya ke sekeliling kafe dgn kursi dan meja yg ditata sedemikian rupa. Alin ingin menyesap kembali lattenya lg, tp tiba2 matanya sempat menangkap sesosok pria yg sudah tdk asing lg baginya. Pria yg duduk jauh diseberang sana, baru saja bangkit dari kursinya yg kemudian diikuti oleh teman wanitanya. Alin menyipitkan matanya, mencoba menegaskan pandangannya. Namun usahanya sia2. Dia pun menyesal meninggalkan kacamatanya diatas meja kerjanya. Tanpa alat itu dia tdk dapat melihat dgn jelas wajah pria itu. Perlahan pria itu bersama teman wanitanya berputar menghadapi Alin sejenak, lalu berjalan menjauhi meja dan menuju pintu keluar. "Kamu kenapa, Lin?" Theo bingung melihat gelagat Alin yg mendadak berubah. "Itu Ditya bkn sih? Aku nggak begitu jelas." Theo memutar tubuhnya. Namun yg dilihatnya hanyalah sbuah punggung yg menjauh. Sementara itu.., entah mengapa Alin merasa perlu mengemasi barang bawaannya dan bergegas melangkah mengejar orang itu. "Lin, kamu mau kemana?" Alin tdk menjawab. Perhatiannya tersita ke seseorang yg mirip Ditya itu, sementara Theo merasa tdk punya pilihan selain mengikuti ke mana Alin pergi. Alin memperlebar jangkauan kakinya. Untunglah dia tdk tertinggal jauh membuntuti pasangan yg saling menautkan tangan mereka. Alin menambahkan kecepatan langkahnya agar jarak diantara mereka tdk terpaut jauh. Ketika Alin sudah tinggal beberapa langkah lg dari mereka, dia pun memanggil sbuah nama dgn suara lantang., "Ditya!" Cowok yg brnama Ditya itu refleks menghentikan langkahnya dan secara tiba2 melepaskan genggaman pasangannya. Ya, nama cowok itu Ditya... Ditya Arfi Andhika, Ditya pacar Alin.
Tdk salah lagi. Alin memang memanggil nama cowok itu. Namun yg menoleh justru yg berada disampingnya. Anehnya wajah cewek itu menunjukan ketakutan yg teramat sangat. Alin melangkah mendekati Ditya. Sementara, Ditya terus memperliahatkan punggungnya sampai jarak antara dirinya dan Alin hanya tinggal beberapa jengkal. Tiba2 Ditya berbalik dan mulai melancarkan aksi berkelitnya. "Alin, ini nggak seperti yg kamu lihat, sayang." Ditya mengumbar senyum dan berpura2 tdk terjadi apa2. "Aku bisa jelasin semuanya." Bukannya kemarahan Alin mereda, tp justru memuncak. Berani2nya Ditya memanggil dia sayang stelah apa yg dilakukannya didpn matanya. Cinta Alin yg awalnya begitu besar trhadap Ditya hilang begitu saja, kini tdk ada lg cinta. "Dear, aku yakin ini hanya salah paham aja. Aku nggak ada hubungan apa2 sama Anya, dia cuma klien kan...." Plak! Kalimat Ditya langsung terhenti ketika sbuah tamparan keras mendarat dipipi kirinya. Ditya pun melongo. Dia tdk menyangka kalau Alin bisa berbuat seperti itu. "Jadi ini balasannya, hah?!" kata Alin berteriak. Tdk hanya Ditya yg merasakan sakitnya tamparan Alin. Anya yg dari tadi berdiri disebelah Ditya ikut meringis dan memegangi pipinya. Alin tdk berkata2, dia hanya memandangi Anya dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Dasar cewek sialan!" ucap Alin, lalu berlari kearah mobilnya. Air matanya membuncah dan dia tak ingin Ditya dan cewek sialan itu melihatnya... Ditya dan Theo sama2 berusaha mengejar Alin. Namun, tatapan tajam mata Theo membuat
Ditya ciut dan terpaksa menghentikan langkahnya. Kini, tinggallah Theo yg berusaha menggapai Alin. "Alin." tangan Theo mendarat dibahu Alin. Alin pun berhenti. Aliran deras air matanya disertai dgn isakan yg membuat dadanya naik turun. Sesaat, Theo bingung apa yg seharusnya dia lakukan. Dia pun bingung dgn posisinya, sbgai teman atau mungkin lebih dari itu. Meskipun demikian, nalurinya memerintahkan tangannya untuk mengusap kepala Alin yg sdang tertunduk. Alin tdk memberikan reaksi apa2, dia membiarkan Theo melakukan itu selama beberapa saat. Tp, isakan Alin bukannya berhenti, melainkan semakin hebat. Theo tdk tega melihat pemandangan itu, akhirnya dia membuka lengannya lebar2, merengkuh Alin, dan membiarkannya menangis sampai puas dlm dekapannya.
21. Seandainya... -Fanny, RikaHari jumat ini Fanny sedang senang. Bukan hanya karna besok adalah hari sabtu, melainkan karna hari ini sdang tdk ada pekerjaan. Sudah lama Fanny merindukan suasana seperti ini. Coba tiap hari kayak gini ya, pikir Fanny. Sumpah, enak bnget. Dihirupnya udara kebebasan yg tengah mengambang dan menyelubungi dirinya. Aaaaaahh..... Fanny menghirup napas dalam2. Stelah menghirup napas, Fanny menyimpannya beberapa saat, dan mengeluarkannya sedikit demi sedikit melalui mulut. 'Enaknya sekarang ngapain ya?' tanya Fanny dlm hati. Karena tdk punya ide apa yg ingin dilakukan untuk mengisi waktu luangnya, akhirnya Fanny mengamati mejanya. Isi laci jg tdk luput dari pengamatannya. Ketika dia membuka laci nomer tiga dari atas, matanya menangkap sbuah majalah yg diletakan diatas tumpukan stopmap. Nomer lepas majalah Alin. Baca ini aja. Dari kemarin, dia blm sempat membukanya sama sekali. Dia jd ingat kejadian ditempat makan dgn Alin. Sejak saat itu, dia blm menghubungi Alin sama sekali. Fanny masih kesal. Dan, sbenarnya dia juga kesal pada Theo. Theo dan kesibukannya. Itu adalah kombinasi sempurna yg membuat Fanny jengkel. Ditambah lg dgn sikap Theo yg secara tdk langsung, sering membandingkan dirinya dgn Alin. Fanny masih ingat dgn ucapan Theo sewaktu di telepon dua hari yg lalu, "Alin sekarang dewasa. Keliatan bnget dari cara bicaranya waktu meeting. Dia juga nggak gegabah. Semuanya sistematis dan terencana." Haaahhh... Alin. Kilasan kejadian tempo hari berkelebat di benaknya. Mengingat kejadian itu membuat kepalanya pening. Padahal, Fanny sudah menunggu-nunggu agenda itu beberapa hari sbelumnya. Tp, mengapa hari yg seharusnya menyenangkan justru berakhir menjadi
malapetaka. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Theo. Sesaat Fanny ragu, sbaiknya diangkat atau tdk. Suasana hatinya sdang tdk enak. Namun, "Halo," akhirnya dia menjawab panggilan itu juga. "Halo, Fan. Kamu udah tahu soal Alin?" cetus Theo tanpa basa-basi. 'For God sake! Alin lagi, Alin lagi. Nggak ada topik lain apa? Kalau cuma ngomongin dia, aku jd nyesel angkat telepon ini,' dengus batin Fanny. "Alin knapa?" tanyanya dgn stengah hati. "Tadi, dia mergokin Ditya selingkuh." "Oh." "Kok?" "Aku udah cerita soal Ditya yg selingkuh. Aku udah peringatin dia. Tp dianya aja yg nggak mau denger. Salah dia sendiri." "Fan, bukannya sbgai sahabat kamu harusnya menghibur dia? Jadi penguat." "Entah." Nyaris memakai seluruh tenaganya, Fanny menekankan ujung ibu jarinya untuk memutuskan hubungan telepon dgn Theo. Kepalanya terasa berasap. Fanny kembali memandang permukaan meja dan ketika mendapati majalah CTY masih berada di hadapannya, Proyek sialan. Persetan dgn peluncuran image baru! Hari yg seharusnya membahagiakan, kini hanya menyisakan sesak di dada. "Eh, majalah apa nih?" Bayu yg kebetulan lewat didpn meja Fanny menyambar majalah itu lalu menempatkan dibawah hidungnya. "Majalah baru ya?" Fanny yg berniat meluluh lantakkan media cetak itu kalah cepat dgn tangan Bayu. Tanpa mempedulikan wajah Fanny yg terlihat menyeramkan, Bayu membuka-buka sekilas lembaran2 majalah itu. "Bawa aja majalahnya, aku udah nggak baca," cetus Fanny.
Mendengar suara Fanny yg serak dan bergetar karna menahan amarah, membuat Bayu menghentikan gerakan tangannya yg td asyik membolak-balik halaman majalah. "Fanny? Kamu kenapa?" tanya Bayu kali ini benar2 peduli. Fanny buru2 membuang muka. Air mata kemarahannya sudah hampir mau tumpah. Dgn bergegas, Fanny menuju toilet, meninggalkan Bayu beserta pertanyaan yg tdk terjawab. *** "Rik, pulang kerja temenin aku jalan yuk," ajak Fanny melalui sambungan telepone. "Sumpah, aku lg suntuk bnget." "Aduh Fan, gmana ya..., bukannya nggak mau, tp aku nggak bisa. Pukul dua nanti aku mau berangkat ke Cisarua. Ada acara gathering. Tp, Fan..." Rika berhenti, "Kamu nggak bener2 marahkan sama Alin?" "Nggak tahu. Aku cuma...." Fanny mencari kata yg tepat, ".... Malas sama dia." "Aku ngerti perasaan kamu. Seandainya peristiwa itu nggak pernah terjadi, atau seandainya aja kita nggak jadi ketemu. Mungkin nggak akan ada rasa sakit seperti ini," tutur Rika yg sangat menyayangkan kejadian itu. "Hmmm.... Fan, sekarang kayaknya aku mendingan telepon Alin. Soalnya menjelang berangkat nanti aku pasti repot bnget. Nanti, aku ceritain ke kamu gmama keadaannya..., meskipun aku sendiri jg nggak yakin dia mau atau enggak ngomong sama aku." "Maksudnya, kamu jadi mediator antara aku dan Alin?" "Semoga posishku sbgai mediator cuma sebentar. Oke, Fan. See you." Kepala Fanny tertunduk kecewa. Dia sedang benar2 butuh hiburan. Dia ingin pergi ke suatu tempat.., sebuah mal; makan malam sambil memperbincangkan topik seru, berbelanja,
berkaraoke, atau menonton film. Tp, apa gunanya kalau tdk ada yg bisa menemaninya. "Fan, nih aku balikin majalahnya." Bayudatang lg ke mejanya untuk mengembalikan majalah. Sekali lg Fanny menatap gadis sampul dgn rambut yg digerai. Lalu, saat itu juga, mood nya yg sudah agak lebih baik stelah (sedikit) menangis ditoilet langsung turun satu tingkat. "Udah pegang dulu. Aku lg males bacanya," sahutnya. "Bener nih? Kebetulan tadi aku blm selesai baca rubrik entertainment," timpal Bayu. "Baru ini aku baca majalah cewek, tp seru juga." 'Entertainment'. Punggung Fanny langsung tegak mendengar kata itu. Mood nya yg tadi sempat turun kini naik lagi. "Bay," panggil Fanny, "Pulang kantor ada acara, nggak?" "Emang kenapa?" "Temenin aku makan yuk."
22. Kejutan.! -Fanny, AlinFanny kini duduk berhadap-hadapan dgn Bayu di food court sbuah mal. Dia sangat senang karena Bayu lebih memilih dia ketimbang tiga temannya; Angga, Galang, dan Romy. Para pria itu termasuk Bayu sbenarnya punya kegiatan trsendiri setiap jumat malam, bermain futsal. Pada mulanya, Bayu tdk ingin absen bermain sepak bola mini itu, namun ajakan Fanny barusan tdk datang setiap saat. Kapan lagi dia bisa berduaan dgn wanita yg disukainya. Apapun rela dia korbankan untuk mendapatkan kesempatan itu. Tanpa pikir panjang, Bayu pun mengiyakan ajakan Fanny. Saat makan, Fanny menceritakan keresahannya. Tanpa sadar, dia pun menceritakan hubungannya dgn Theo yg semakin kaca dan tdk ketinggalan konfliknya dgn Alin. Semua diceritakan dgn detail dan Bayu mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menyimak stiap yg meluncur dari mulut Fanny. Bayu tdk punya solusi untuk menyelesaikan masalah Fanny yg sdang terancam kehilangan sahabat sekaligus kekasih. Namun itu semua sama sekali bukan hal penting, karna saat ini Fanny hanya ingin didengar ketika mengeluarkan semua unek-unek yg bersarang didlm kalbunya. Fanny bersyukur ada Bayu bersamanya saat ini. Dia seperti malaikat yg dikirim dari atas sana untuk meringankan rasa sakit hatinya. Rasanya aneh memang, menceritakan permasalahan hdupnya kpada orang yg blm lama akrab dgnnya. Fanny sudah menyelesaikan makan malamnya dan ingin mencuci tangannya yg berminyak. Dia sudah sudah stengah bangkit dari kursinya, tp bersamaan dgn itu seorang wanita dgn
nampan ditangannya datang dari arah lain. Fanny yg tdk tahu menahu perihal kedatangan wanita itu, berniat mengayunkan kakinya menjahui kursi. Fanny dan wanita itu terus bergerak menuju titik yg sama. Wanita itu jg tak ubahnya seperti Fanny, tdk menyadari adanya pergerakan yg menuju ke arahnya karna dia sdang asyik mengobrol dgn teman prianya. Bayu sebenarnya sudah mengangkat tangannya sambil berseru, "Aw....." Namun, kata peringatan itu tdk pernah terselesaikan dan tdk cukup waktu untuk mencegah tabrakan itu terjadi. Punggung Fanny mendorong tangan wanita itu dan membuat seisi nampannya terguncang hebat. "Aduh, ma...maaf, Mbak. Nggak sengaja," cetus Fanny sambil memandang kebawah. "Fanny?" Refleks Fanny mengangkat kepalanya, memandang lurus kedpn, ke arah wanita yg ternyata mengetahui namanya. "A.. Alin," kata Fanny tergagap. Kepalanya berputar dan putaran itu mematikan sewaktu melihat pria jangkung yg berada disisi Alin. "The.... Theo? Kalian...." selama sepersekian detik, mereka bertiga berdiri diam mematung. "Kamu sendiri dgn cowok itu?" Alin menunjuk Bayu dgn ekor matanya. Fanny sontak menoleh kearah Bayu. Satu pukulan talak rasanya tepat mendarat diperutnya. Wajah arogan Alin semakin menjadi-jadi sementara wajah Theo menyiratkan kecemburuan. Fanny tdk rela wajah arogan itu berkuasa atas dirinya. Lalu, dgn satu senjata terakhir yg dimilikinya, dia membalas, "Apapun hubunganku dgn Bayu, bkn urusan kalian. Kalian bukan siapa2 lg buatku. Kalian cuma orang lain yg nggak pernah aku kenal.
*** Sudah lima menit Fanny menangis tersedu-sedu tanpa henti. Dia sudah ada dibelakang setir mobilnya, sementara Bayu duduk disebelahnya. Punggung dan bahunya berguncang, dan rambut panjangnya tergerai jatuh menutupi seluruh wajahnya yg basah karna air mata. Fanny mencabut beberapa tisu lagi, sambil menjauh,dia membersit hdungnya sampai bersih. "Sory ya, Bay," ucapnya dgn suara serak. " Nggak apa-apa. Santai aja." " Maafin aku ya, Bay. Aku jadi menyeret kamu kedalam masalah pribadiku." " Sama sekali nggak ada yg perlu dimaafin. Kan aku sendiri yg bersedia." Bayu menggeser posisi duduknya mendekati Fanny. "Aku justru merasa bangga karna aku yg ada disamping kamu, bkn yg lain ketika kamu lg benar2 butuh seseorang untuk berbagi." "Kamu baik bnget." rasanya Fanny ingin menangis lg, tp kali ini menangis haru karna kebaikan hati Bayu. "Aku mau tanya sesuatu tentang kejadian tadi, boleh?" tanya Bayu meminta izin. "Apa pun," jawab Fanny sambil memaksakan senyum. " Omongan kamu ke mereka sbelum kita pergi,.., apa itu berarti kamu mutusin cowok kamu?" Fanny terdiam. Bayu pun cemas kalau Fanny akn menangis lg. "Aku nggak tahu. Tadi aku bener2 emosi." " Seandainya kamu serius dgn ucapan kamu, aku yakin masih ada orang lain yg mencintai kamu." Hati Bayu hampir mau meledak. Ingin sekali mengatakan kalau orang itu adalah dirinya. " Tapi, aku nggak mau orang lain." Mendadak terdengar suara pecahan kaca didalam benak Bayu.
"Aku sayang Theo, Bay.... Ya. Tp, stelah apa yg udah trjadi..., aku nggak yakin hubunganku sama Theo akan kembali seperti dulu. Aku sudah curiga dia ada apa-apa sama Alin..." Fanny berusaha tdk menangis lg, karna matanya sudah sdemikian lelah. Tidak lg ada harapan yg tersisa untuk Bayu. Bayu mendesah, menghembuskan napasnya seolah ingin mengusir kegalauan hatinya. Dia memang tdk bisa mendapatkan Fanny, tp dia bertekad untuk menjadikan malam ini sbgai malam yg spesial, malam yg sempurna, malam yg pantas dikenang stidaknya untuk dirinya sendiri. " Kamu mau aku antar pulang?" dia mendengar dirinya berkata begitu dan dia menyesal karna itu artinya malam indah ini akn segera berakhir. " Antar aku pulang?" Fanny balik bertanya. "Gmana caranya?" " Aku yg nyetir mobil kamu dan kamu tinggal duduk santai dibangku penumpang." wajah Fanny menyorotkan ekspresi bingung. "Aku bisa nyetir. Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa liat ini," tutur Bayu sambil merogoh kantong celananya untuk mengambil dompet. "Aku punya SIM A," lanjutnya. "tp tinggal SIM nya doang. Mobilnya udah dijual." " Bukan. Bukan masalah bisa nyetir atau SIM A," sahut Fanny tersenyum. "Kamu kan bawa motor. Nah, kalau kamu anter aku pulang.., motor kamu gmana?" " Ooh.., masalah motor." sahut Bayu, lalu memasukan dompetnya kembali. "Dari rumah kamu aku kesini lg, ambil motor. Baru habis itu pulang." Kedua sudut bibir Fanny tertarik kesamping, membentuk sbuah senyemuan, "Kamu nggak perlu melakukan itu," katanya sambil memandang wajah Bayu. "Lagi pula, aku blm mau pulang. Dgn suasana hati seperti ini, berada dirumah rasanya pasti jadi lebih sumpek." Bayu lega karna dia masih punya waktu dgn Fanny. "Kamu mau jalan-jalak? Atau mau lihatlihat sesuatu? Aku bersedia nemenin." Fanny menggeleng, tak berniat melakukan apapun. Tanpa gerakan mencolok, Bayu membuka tas ranselnya dan mengeluarkan kamera DSLR
nya. Dia lalu menekan-nekan beberapa tombol dan menghadapkan lensanya kewajah Fanny yg masih sayu. "Kamu tiba-tiba kok moto aku sih?" Bayu tdk menjawab. Dia hanya menekan sejumlah tombol dan melihat hasil jepretannya tadi. "Yah, agak blur." " Bayu...." " Foto lg ya." Bayu sudah mengambil gambar, lalu melihat hasilnya. "Ya, lumayan, udah nggak blur." " Bayu..." Untuk kali ketiga, Bayu menghadapkan lensa kameranya ke wajah Fanny. "Ayo dong senyum. Aku tahu kmu kan benci difoto." godanya. " Bayu..." Fanny kini menutup lensa kamera dgn telapak tanganny. " Kamu ngapain sih?" " Yah, kok ditutup," seru Bayu kecewa. "Iya, aku moto kamu." untuk kesekian kalinya, dia menyejajarkan alat optik itu kematanya. Sementara Fanny tdk tahu bgaimana seharusnya bereaksi, apakah tertawa atau menunjukan rasa kesal. Tp akhirnya memilih tertawa. "Nah, gitu dong.., kan cantik." Dgn lihai Bayu mencuri momen singkat itu untuk diabadikan ke dlm sbuah gambar dua dimensi. " Bayu.." panggil Fanny. " Hmmm..." gumamnya tanpa mengangkat kepala. Dia masih mengagumi hasil bidikannya yg barusan. " Kamu baru beli kamera?" " Yup," sahut Bayu. "Aku mau mendalami fotografi. Ini hobiku, malah sempet pengen kuliah dijurusan fotografi. Foto-foto lg yuk," ajaknya semangat. "Kamu mau nggak kalau fotofotonya ditempat lain? Aku tahu spot yg bagus." " Dimana?" tanya Fanny. "Sbgai model kamu, aku ikut aja apa kata fotografer." " Di Bundaran HI." " Hah? Di Bundaran HI? Emang boleh?" " Banyak kok, yg foto-foto disana. Nanti lihat aja, pasti bkn kita aja."
*** Fanny dan Bayu bersama-sama keluar meninggalkan gedung Grand Indonesia, menyusuri trotoar khusuk untuk pejalan kaki menuju Bundaran HI yg gemerlap dan bermandikan cahaya. Mereka sudah sampai diujung jalan. "Kita beruntung, air mancurnya nyala," ujar Bayu sambil menunjuk,memberi tahu Fanny. Fanny pun mengarahkan pandangannya ke arah yg ditunjuk Bayu. Fanny merinding ketika menjajakan sbelah kakinya, melompati pembatas setinggi lutut yg memisahkan antara jalan raya dan air mancur Bundaran HI. Wow, what an amazing view! Dia merasa seperti liliput sewaktu melihat dari dekat monumen patung sepasang sejoli yg melambaikan tangannya. "Fan, berdiri disitu kayaknya oke deh," kata Bayu memberi saran. Fanny menurut, tp dia masih canggung. Bayu yg sudah membidikkan kameranya, tiba-tiba menurunkannya, "Ayo dong, naluri modelnya dikeluarin." " Aku malu, Bayu. Mana lg macet, pasti smua orang yg didlm mobil liatin aku." " Udah, cuek aja. Orang-orang yg ada dijalanan nggak usah dianggep. Lihat deh mereka." Bayu mengisyaratkan dgn matanya, meminta Fanny melihat ke tiga wanita yg tanpa malumalu berpose narsis. "Mereka pede-pede aja. Lg pula, nggak kenal kan sama orang-orang yg lewat?" " Iya." sahut Fanny mengangguk setuju. Fanny sbenarnya hanya butuh beberapa saat untuk beradaptasi. Dan ketika beberapa saat itu telah lewat, dia akhirnya menunjukkan siapa dia sesungguhnya. Bayu senang, Fanny sudah kembali menemukan dirinya sendiri. Dia mengambil gambar wanita model yg ada di hadapannya sbanyak mungkin, kalau perlu sampai memory card nya penuh, atau kehabisan baterai.
'Goodbye, Fan. Hari ini, kamu udah nentuin pilihan dan aku hargai itu', kata Bayu dlm hati dgn perasaan terluka. Senin besok akan menjadi hari yg berbeda untuk Bayu, tdk akan pernah sama lg dgn hari2 sbelumnya. Dia harus mengubah perasaannya terhadap Fanny.., wanita yg telah mengguncang dunianya. Ya, dia harus melakukannya meskipun sangat sulit. Bagi Bayu, selama ini Fanny bagaikan rembulan.., benda langit yg sangat cantik. Dia hanya bisa memandanginya dari kejauhan, tdk lebih, dan dia tdk mampu meraihnya, selamanya.
23. In Gathering -Rika"Dek, tuh Dek, lihat. Barongsainya naik kepanggung," kata sang Ayah mencoba mengalihkan perhatian putranya yg sudah mulai bosan. Hah? Barongsai? Rika terperangah dlm hati. Gelombang pria berusia tiga puluh itu membuat telinganya berdiri. 'itu barong, bkn barongsai. BARONG! Nggak pake /sai/, lanjutnya protes. "Itu bkn barongsai Mas, tp barong. Kalau barongsai kan yg dari Cina itu," koreksi si istri. Nah! Bener tuh, Bu. BA-RONG. Rika lega, aspirasinya tersalurkan. "Iya, salah ngomog. Tadi, aku jg mau bilang itu." dalih si suami. Rika akhirnya bisa dgn tenang meneruskan menonton tarian Barong Bali. Rika tiba2 teringat kalau dia memegang kamera. Buru-buru, dia menjajarkan alat optik itu dgn kedua matanya untuk memotret. Beberapa gambar yg diambilnya blur karna sang Barong terus bergerak, tp itu tdk masalah karna masih bnyak tempat yg tersisa di memory card nya. *** "Demikian persembahan dari kami, semoga dapat menghibur, kurang lebihnya mohon maaf," kata si pembawa acara menutup pertunjukan malam apresiasi seni itu. "Bagi pengunjung hotel yg ingin berfoto dgn para penari, kami persilahkan." "Yuk, Guys..., foto yuk," ajak Rika kepada Olive, Astrid, dan Dion, temen2 kantornya dlm
acara gathering ini. Rafa berdiri tak jauh darinya. Dgn langkah semangat, dia segera menuju panggung dan mengambil tempat disamping penari. "Dari sanggar kesenian mana, Mbak? Dari daerah Bogor?" tanya Rika menebak-nebak. Dia menebak begitu karna hotel yg dikunjunginya berada didaerah Cisarua. "Bukan, kami dari Bali," jawab penari itu. " Wah, asli dari Bali!" sahut Rika takjub. Sesi foto akhirnya selesai. Pengunjung hotel membubarkan diri dan para penari beserta kru mengangkuti seperangkat gamelan, kostum, dan benda2 dekorasi. Ketika menyusuri koridor dan berjalan diantara tamaram lampu, Rika melihat satu pemandangan yg mebuat hatinya berkomentar. Ada yg cinlok. Sang penari tadi bergandengan tangan dgn salah seorang pemain gamelan. "Kita mau kemana nih?" tanya Olive melantangkan suaranya. "Ngopi-ngopi aja yuk." Rika mengangguk menunjukan persetujuannya. Yg lain pun sama, sepakat dgn usulan Olive. "Kabar Fanny dan Theo gmana?" tanya Rafa memulai. " Mereka lg ada sedikit masalah. Theo sibuk bnget belakangan ini dan Fanny lg merasa jenuh." Rika dan Rafa berjalan didepan, mendahuli ketiga temannya. " Tapi begitu resiko pekerjaan Theo, tergantung datengnya proyek. Fanny bisa jenuh karna apa?" Rika menjawab pertanyaan Rafa dgn menceritakan ulang curahan hati sahabatnya tempo hari. " Semoga aja masalahnya cepat selesai," kata Rafa menanggapi. Rika menoleh, mendapati tiga temannya berada jauh dibelakang sambil menyembunyikan kikikan mereka. Mereka knapa sih? Apa yg mereka ketawain? Mencurigakan. "Gusy, indoor atau outdoor?" tanya Rafa ketika teman2nya berjalan mendekat.
" Outdoor aja," sahut salah satu dari mereka. " Traktir ya, kan kita mau ngerayain sesuatu," todong seseorang yg lain. " Ngerayain apa?" tanya Rafa bingung. " Halah, pura-pura nggak tahu. Pokoknya traktir ya, Raf. Kita tahu kamu lg seneng... Kamu dan Rika?" Rika dan Rafa sama2 bingung, tdk mengerti dgn maksud pembicaraan mereka. " Udah saatnya kamu jujur. Jangan tunda2 lg, tembak sekarang juga. Masa sih kita bertiga harus turun tangan untuk masalah ini? Kan nggak lucu kalau Rika justru tahu dari orang lain." Tiga teman Rika dan Rafa menghabiskan kopi mereka dgn cepat. Lalu, mereka bertiga sudah balik kanan dan bubar jalan meninggalkan Rika dan Rafa berdua. Rika mengutuki keadaan dirinya yg sekarang tdk berkutik dihadapan Rafa. Stelah apa yg dilakukan oleh tiga teman kerjanya, dia jadi tdk tahu bgaimana seharusnya bersikap terhadap Rafa; bersikap manis dan menyambut atas pernyataan cinta Rafa atau bersikap dingin dan biasa, seolah tdk terjadi apa-apa. Rika tdk menyangka Rafa menyukainya. Memang belakangan ini, sejak bicara dari hati ke hati dikantin, Rafa jd lebih perhatian. Ketika malam tiba atau ketika akhir pekan, dia sering mengirim SMS untuk sekedar menanyakan sdang melakukan apa, juga menelpon untuk memperbincangkan hal2 ringan yg menyenangkan. Wanita mana pun senang di perhatikan, termasuk Rika. Dia sempat bertanya-tanya apakah sejumlah SMS dan telepon dari Rafa mengisyaratkan bahwa pria itu menginginkan hubungan lebih dari sekedar teman. Rika tetap pada pendiriannya, mencoba menipu hatinya bahwa dia mulai menyukai Rafa, mungkin dia blm bisa membuka hatinya untuk pria lain. "Menurutku ini acara gathering yg paling seru," cetus Rafa memecah kebisuan. " Iya." jawab Rika singkat. Lidahnya kelu, dia tdk bisa mengucapkan kata lain. Dia jg tdk sanggup memandang wajah Rafa. "Hmmm.... Raf, aku..," Rika mencoba terbuka dgn perasaannya, ".... Aku sebenarnya punya
ketakutan tersendiri ketika aku mau mencoba menjalin hubungan dgn orang lain." " Kamu takut untuk kehilangan lagi?" terka Rafa. " Ya. Aku sering mikir kayak begitu." " Aku sama kayak kamu, lumayan sering juga. Tp, hdup harus terus berjalan. Hidup itu sombong." Rafa mendengus tertawa. "Dia nggak peduli dan nggak mau peduli, entah itu kita lg susah atau lg senang, kita lg ada dibawah atau diatas, dia sama sekali nggak peduli. Aku nggak mau dipecundangi sama hdupku sendiri." lanjutnya. "Aku mau nunjukin kalau aku bisa bangun dari kerterpurukan dan ngebuktiin nggak cuma hdup doang yg bisa terus berjalan dgn sombongnya," Rafa memberikan tanda kutip pada kata sombong, "tp aku juga bisa." Rika diam terpaku mendengar dan mencerna semua ucapan Rafa. "That's life. Semua tergantung gmana kita ngejalaninya. Well, kalau soal ajal...,itu sepenuhnya urusan Tuhan dan itu bener2 diluar kendali kita. Tp, satu hal yg aku yakin," Rafa menghentikan kata2nya dan ingin meyakinkan Rika juga. "Kita smua berhak bahagia, termasuk kita. Ada ketakutan kayak gitu menurutku sih wajar, karna aku jg ngalamin sendiri. Tp, kalau kita blm mencintai, itu sama aja kita blm hdup."
24. Antara Kita -Fanny, Alin, RikaFanny setengah berjingkat ketika memasuki lantai dasar Plaza Senayan. Tidak hanya itu, dia juga tdk berhenti menoleh-noleh seakan mengadidap suatu penyakit panaroid tertentu. Ya, dia memang sedang panaroid, takut bertemu dgn seseorang yg mengenalnya. Hari minggu ini, adalah hari peluncuran majalah Close to You. Sebenarnya, Fanny tdk ingin datang ke Plaza ini, karna dia masih sangat kesal dgn Theo dan Alin. Namun, entah kenapa, dia datang juga. Fanny mendongakan kepalanya dgn sudut kemiringan empat puluh lima derajat. Dari jarak yg tdk terlalu jauh, Fanny sudah bisa merasakan keramaian yg ada didpn sana. Ya, apalagi kalau bukan kemeriahan yg berasal dari acara launching itu. Dua hari lalu, Rika menelpon Fanny, menceritakan keadaan Alin yg semakin senewen karna hari H peluncuran majalahnya sudah sedemikian dekat. Dia juga sudah mendengar keributan di food court Grand Indonesia. Sekali lg, Rika sangat menyayangkan kejadian itu. Sejumlah kata andai berputar-putar dibenaknya. Satu masalah belum selesai, tiba2 sudah datang masalah yg lebih serius. Rika tidak memiliki kemampuan yg lebih untuk membantu sahabat2nya karna dia sendiri juga punya masalah. Dia bingung dgn perasaannya terhadap Rafa.., apalagi dgn status duda yg melekat pada diri Rafa. Dan dia blm yakin juga bahwa dia memang benar2 menyukai pria itu, dia masih sering terkenang pada Eros. Fanny diajak Rika untuk datang bersama. Tp, dia segera menyatakan ketidak pastiannya untuk hadir di acara itu. Lg pula, Rika pasti akan pergi dgn Rafa. Dia tdk mau mengganggu kebersamaan mereka. Sementara baik Alin maupun Theo sama sekali tdk menghubunginya.
Kalau bkn karna Rika, dia pasti tdk akam tahu acara itu. Setelah terus melangkahkan kakinya, Fanny akhirnya sampai dipusat keramaian dan bergabung dgn pengunjung lainnya. Fanny ingin melihat lebih jelas, tp dia juga ingat untuk tetap menjaga jarak aman. Akhirnya, dia memilih untuk sedikit saja bergerak ke depan, mendekati panggung. Sementara Rika yg duduk diatas kursi lipat, menangkap gerakan Fanny dgn matanya. Ya, wanita itu adalah Fanny... Rika hafal betul dgn postur tubuh dan cara berjalannya, meskipun dia mengenakan kacamata hitam dan topi untuk menyamarkan wajahnya. Rika segera menghubungi Alin, itulah persetujuan yg telah mereka sepakati pada malam sbelum hari H. Alin sbenarnya ingin menghubungi Fanny, meminta maaf karna tdk mau mendengarkan peringatannya mengenai Ditya. Dia juga ingin menjelaskan hubungannya dgn Theo yg sekedar hubungan rekan kerja.., tdk lebih. Alin tdk punya perasaan apa-apa terhadap Theo. Sekali lg, Alin sangat ingin menghubungi Fanny. Namun, bnyaknya beban pikiran yg menggelayuti benaknya, membuatnya tdk mampu fokus terhadap permasalahan pribadinya. Alin memberitahu Theo perihal kedatangan Fanny. Tdk jauh berbeda dgn Alin, Theo jg sangat ingin menghubunginya. Tp, ada beberapa hal yg membuatnya urung melakukan itu. Theo sbenarnya merasa malu trhadap diri sendiri karna diam-diam sudah menaruh hati kepada sahabat kekasihnya. Dia tahu kalau perasaan ini salah, tp dia berharap masih diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki keadaan. Rasanya, akan menjadi suatu kejahatan besar jika dia mencampakan Fanny, lalu memilih untuk mengejar Alin. Lg pula, dia tdk tahu apakah dia termasuk tipe yg Alin cari atau bukan. Dan sepertinya mustahil dia Alin akan tega menghianati sahabatnya sendiri,. Seandainya dia menempuh jalan ternekat dlm hdupnya -memutuskan Fanny, lalu mengejar Alin- bisa jadi Alin justru menolaknya, tdk peduli pengorbanan yg sudah dilakukan. Theo menyelami samudra hatinya dan merenungi semua kejadian yg telah dialaminya. Ketika hal
itu dilakukan, dia akhirnya tahu bahwa dia masih mencintai Fanny. Perasaannya terhadap Alin hanya sekedar kagum. Tiba-tiba dia teringat pria yg makan malam bersama Fanny. Dia juga ingat kalau pria itu adalah pria yg sama yg ditemuinya diacara resepsi pernikahan Eric. Theo sangat cemburu, dia tdk akan membiarkan Fanny jatuh ke pelukan pria itu hanya karna selama ini dia kurang memperhatikannya. Dia akn memperjuangkan cintanya. "Aku tahu kamu akan datang," kata Alin dari dekat telinga Fanny. Fanny menoleh ke arah sumber suara. Dari balik kacamatanya dia memutar mata. "Fan, kita harus bicara." Alin masih sempat menangkap lengan Fanny ketika dia berusaha menjauh. "Aku, kamu, begitu juga dgn Theo. Ini cuma salah paham." Mata Fanny bergantian menatap Alin dan Theo. Kemudian, dgn gerakan cepat dan tiba2, Fanny berhasil melepaskan pegangan Alin lalu pergi menghindar. Alin sudah berniat mengejarnya, tp Theo segera melarangnya, "Aku aja." Theo pun berlari menyeruak menjauhi keramaian. "Fan... Fanny," panggil Theo. Fanny tdk mau mendengar dan tdk akan menoleh. Dia mempercepat langkahnya. Dibelakang, Theo masih terus memanggil namanya. Tp itu tdk bertahan lama, karna jangkauan langkah kaki Theo lebih panjang. Ketika dipintu keluar, dia akhirnya dapat menyusul Fanny. "Fan, Fanny....dengerin aku dulu," kata Theo dgn napas memburu. Dia lalu memegangi bahu Fanny dan menatap dlm2 kedua matanya. Fanny membuka kacamatanya, menatap balik dgn tatapan menantang. "Denger apa lagi? Semua sudah jelas. Kamu nggak perlu ngomong apa-apa lg. Simpan saja energi kamu untuk launching itu." " Fan, please. Kasih aku waktu sebenter. Aku....aku mau minta maaf. Aku sadar aku salah,
aku udah memperlakukanmu dgn buruk." " Minta maaf?" sambar Fanny dgn nada mencemooh. "Apa gunaya? Semuanya udah terlanjur kacau." Fanny berniat pergi, tp Theo segera mencegahnya. "Aku mohon. Ini cuma salah paham. Aku bener2 sayang kamu, Fan. Aku nggak akan ngecewain kamu lg." tanpa perasaan risih dan malu, Theo menekuk kaki kirinya sehingga lututnya menempel diatar lantai. Ya, dia berlutut didpn Fanny...memohon maafnya sambil memegangi tangannya. "Please Forgive Me." "Theo, apa-apaan sih kamu?" desis Fanny. Dia benci dgn tatapan aneh orang-orang. "Aku nggak akan berdiri sbelum kamu maafin aku." Fanny ingin pergi dari situ, dia smakin tdk tahan dgn tatapan2 itu. Namun, untuk meninggalkan Theo yg sedang berlutut bukanlah hal mudah. Tangannya dicengkram kuat. "Theo, sakit!" "Aku mau ngelakuin apapun yg kamu mau, asal kamu mau maafin aku." Sesaat Fanny hanya ingin tangannya dilepas agar dia bisa lari dan menghindar dari tatapan mata semua orang. Tp, dia sadar kalau itu tdk akan menyelesaikan masalah dan sangat mungkin Theo akan berlari mengejarnxa lalu melakukan hal yg sama seperti ini. "Kamu serius? Apa pun?" Fanny bertanya menegaskan. " Ya. Apa pun." Fanny merasa kalau sekarang adalah saat yg paling tepat untuk mengutarakan apa yg sudah lama dipendamnya. "Kamu tahu, Theo; aku jenuh dgn hubungan ini. SMS, telepon, atau chatting nggak bisa gantiin kehadiran kamu. Keberadaan kamu di sisi aku begitu penting." Fanny menghentikan kalimatnya, memberikan waktu agar kata2nya dapat dicerna dgn baik oleh Theo. "Kamu sibuk, sering ke luar kota, dan sampai akhirnya kamu nanganin proyek dari Alin. Kamu jadi sering berinteraksi sama dia. Dan itu membuat kamu -yg mungkin tanpa kamu sadari- sering membandingkan aku dgn dia. Kamu sebut kelebihan2 dia, berulang kali
kamu puji dia; di depan aku. Kamu tahu rasanya dibanding-bandingkan? Rasanya seperti barang gagal produksi dan hanya tinggal menunggu waktu untuk dilempar ke tempat sampah." Theo bergeming. Dia menunggu Fanny mengungkapkan kegelisahan hatinya sampai selesai. "Semakin hari kamu semakin menjengkelkan. Klimaksnya adalah ketika kamu lebih membela Alin ketimbang aku. Aku marah, kesal, kecewa, sedih, cemburu; dan penderitaanku terasa lengkap saat tahu bahwa kamu lebih menyukai sosok Alin....sahabatku sendiri." "Itu hanya salah paham, Fan. Mungkin, memang kita terlalu sering berjauhan." Fanny mengangguk. " Jadi kamu ingin aku meluangkan waktu lebih bnyak untuk kamu?" tepat itulah yg Fanny inginkan. "Masih ada satu hal lg yg aku minta dari kamu." " Aku siap, apa pun itu." " Aku ingin kepastian dari kamu tentang tujuan hubungan ini. Aku ingin kita beranjak ke hubungan yg lebih serius, hubungan yg di ikat dgn komitmen." Sbuah seringai bahagia terkembang dibibir Theo. Sementara Fanny sudah tdk mau lebih lama lg menunggu Theo untuk berdiri. "Theo, ayo bangun!" ucap Fanny. "Cepet!" "Agrafani Marissa." Fanny tersentak mendengar nama lengkapnya disebut. " Maukah kamu menikah dgnku?" blm sempat Fanny bereaksi, terdengar suara tepuk tangan dari arah belakang. "Jawab dong. Kasian Theo," cetus Rika. Fanny menunduk, menatap Theo yg masih berlutut dan setia menanti jawaban. " Kamu yakin?" tanya Fanny. Theo mengangguk cepat.
"Iya, aku mau..." jawab Fanny tersenyum. Theo segera berdiri, merasa lega tdk perlu melakukan pose itu untuk waktu yg lebih lama lg. Rika merengkuh pundak Fanny dari belakang, memeluknya erat-erat. "Selamat ya," bisiknya. Fanny tdk tahu dia harus berkata untuk menanggapi. Ini semua terasa tdk masuk akal, tp itu bknlah masalah...karna dia menyukainya. "Fan." Alin memulai. Sbenarnya dia ingin berbuat sama seperti Rika, tp pengalaman buruk yg melibatkan mereka berdua layaknya menghadirkan sbuah dinding pemisah yg tebal dan tinggi. "Maafi aku. Aku bene2 menyesal udah ngomong kasar di resto itu. Semuanya garagara aku. Maafin aku juga karna nggak mau percaya sama omongan kamu tentang Ditya yg seling...." Alin tdk sempat menyelesaikan ucapannya, karna Fanny keburu menubruknya dgn pelukan bersahabat. "I-ini artinya, ka-kamu maafin aku?" tanya Alin terbata-bata. " Pelukan ini lebih dari sekedar jawaban ya."
25. Hari Kita -Fanny"Makasih ya, The, udah ngajakin aku jalan malam ini. Aku seneng banget." "Makasih juga kamu mau," balas Theo sambil melepas sabuk pengamannya, kemudian mencondongkan tubuhnya kearah Fanny. "KAmu cantik banget hari ini." Fanny hari ini memakai celana khaki yg digulung dan dikancing dibawah lutut, T-shirt hitam berlengan tanggung, dan vest potongan santai. Sandal jepit kuning keemasan dgn slingback menjadi pilihannya. Untuk rambut, Fanny memutuskan untuk mengepangnya persis seperti Lara Croft, hal itu dilakukan karna ketika dia berdandan mendengar lagu 'Elevation' milik U2. "Hmm, Theo," Fanny megernyit, "harus berapa kali sih kamu ngucapin kalimat itu?" sebenarnya, dia senang dgn pujian Theo itu. "Tapi serius, kamu emang cantik banget, selalu. Nggak cuma hari ini aja." "Theo-ku yg ganteng,cukup. Trust me and Cherly Cole, too much of anything can make you sick," kata Fanny yg menyenandungkan baris pertama lagu 'Fight for This Love'. " Oh iya, syal aku. Hampir lupa." " Udah biar aku aja yg ngambilin." Theo merenggangkan tubuhnya untuk menjangkau paperbag yg diletakkan dikursi belakang. "Auuwww! Aduh, duh, duh." " Kenapa The? Ada yg sakit? Sebelah mana?" " Ini pinggangku, gara-gara tadi bekas jatuh," jawab Theo sambil memberikan paperbag merah kecil itu kepada Fanny. " Awas pelan-pelan." Fanny membantu Theo untuk kembali ke posisi semula. " Iya, badanku juga sakit-sakit nih." " Pakai sok-iskan segala sih mau nyoba main ice skating. Kayak gini deh jadinya. Badan jd
sakit-sakit semua." " Tadi kamu juga kepengin nyoba kan?" Dengan modal nekat, Fanny dan Theo meluncur diatas lapisan es yg keras. Awalnya ini ide Fanny yg kemudian disambut baik oleh. Theo. Sebelumnya tidak ada rencana sama sekali. Rasa ingin tahu lah yg membuat mereka termotivasi untuk mencoba. Fanny dan Theo tergelak mengingat tadi mereka berdua tersungkur diatas lapisan air yg membeku itu. "Makasih ya, hari ini sangat-sangat menyenangkan," ucap Fanny sebelum membuka pintu mobil. Theo tidak membalas, doa justru merogoh saku bajunya dan mengambil sebuah kotak kecil lalu membuka penutupnya. "Agrifani Marissa," ucapnya, "Maukah kamu menikah denganku?" Theo mengulangi lamarannya. Fanny tersenyum, mengangguk. Theo memasangkan cincin itu dijari manisnya. Saat mereka masih berada didalam mobil Theo, di dpn rumah Fanny. Fanny memejamkankan mata, menyadari betapa bahagianya dia sekarang. Tidak seperti beberapa waktu yg lalu dimana permasalahan akrab dengannya. Impiannya akan segera terwujud dalam waktu dekat, impian yg layak diperjuangkan, impian yg kelak menjadi takdirnya dimasa depan. Ya, impiannya adalah hidup bahagia bersama Theo. "Keluargamu akan jadi tamu istimewa orangtuaku. Aku siap menyambut dan menerima mereka..., sangat siap." Setelah ucapan salam perpisahan yg kedua kalinya, Fanny akhirnya turun dari mobil Theo. Dia tahu kalau sudah saatnya untuk segera masuk kerumah. Namun, kakinya menolak melakukan itu. Hatinya pun terasa berat melepas kepergian kekasihnya. Dia meyakinkan dirinya bahwa perpisahan ini hanya sesaat dan mereka akan segera bertemu.
Sebenarnya Theo sudah biasa mengantarnya pulang. Namun entah bagaimana, hal rutin itu terasa begitu berbeda kali ini. Fanny sudah berada di depan pintu pagar rumahnya. Tp, dia masih belum ingin masuk dan memilih untuk tetap berada disana sampai Theo menjalankan mobilnya, lalu hilang dibalik tikungan. Ini adalah hari yg paling membahagiakan dalam hidupnya. Ketika Fanny membuka pintu pagar, lalu melangkah masuk, dia mengelus pelan cincin dijari manisnya. Akhirnya, dia tahu mengapa kencan ini terasa berbeda.
-Tamat-