CINTA Cinta datang, cinta menang – Fanny Salma
Kepingan-kepingan masa depan akan dikumpulkan mulai detik ini. Dengan seragam putih abu-abu, segalanya harus berjalan lebih baik lagi. Kedewasaan akan benar-benar diuji. Ada dua hal yang akan diperjuangkan, cinta dan masa depan. Ah, begitu yang dirasakan gadis ini. Seorang gadis yang hari ini resmi menyandang status sebagai anak SMA. Sebut saja Cantika Kifya Berlian. Dari namanya saja kita dapat membayangkan bahwa ia adalah sosok gadis cantik yang hampir mirip dengan Princess. Gadis dengan panggilan Ify ini memang sangat cantik. Tubuhnya semampai, berambut panjang bergelombang dengan warna kecokelatan, berhidung bangir, kulitnya putih bersih dan bibir tipisnya berwarna pink tanpa lipgloss. Sejak SMP ia sangat disukai banyak orang. Ia juga mempunyai sahabat sejak duduk di bangku TK, Via. Ify dan Via. Semua orang iri dengan persahabatan kedua sejoli ini. Mereka sangat setia kawan, sekali pun bertengkar paling lama hanya sepuluh menit lalu mereka sudah bergandengan seperti biasa. Bedanya, Via sudah punya pacar bernama Alvin. SMA ini Ify dan Via satu sekolah, mereka sama-sama memilih SMA Orion. Tidak hanya itu, Via dan Alvin juga satu sekolah. Ah, Ify harus membiasakan diri bertiga dengan Alvin yang berbeda satu tahun dengan mereka berdua. “Ify! Ayo berangkat!” Ify yang mendengar suara seorang pemuda segera menyelempangkan tasnya. Ah itu Gabriel, kakak sepupunya yang sengaja diberi amanat kedua orang tua Ify untuk mengantarnya. Meski begitu Gabriel tak keberatan, ia dan Ify sangat dekat seperti kakak dan adik. Gabriel ini salah satu sahabat dekat Alvin, ia pula yang mengenalkan Via pada Alvin. “Bawa mobil kan, kak?” tanya Ify sambil meraih roti selai cokelat yang disiapkan pembantunya. Gadis itu berniat untuk makan saat perjalanan. “Iye lah! Kan lo yang bilang kalo lo malu dandan gak jelas gitu?” seloroh Gabriel yang langsung menangkap roti yang dilemparkan Ify untuknya. Sejurus kemudian ia melahapnya.
“Haha... lagian MOS sih MOS tapi nggak begini juga kali, segala pake kaos kaki beda warna sampai lutut udah kayak pemain sepak bola gagal,” ceplos Ify. Gadis itu berkata demikian seakan-akan tak punya dosa. “Yeee bukan MOS namanya kalo nggak gila! Udah, buru berangkat! Gue kan panitia MOS.” Ify mengangguk lalu mengikuti Gabriel. Mobil yang ditumpangi Gabriel dan Ify segera menuju SMA Orion. Sepanjang perjalanan hanya dihiasi dengan obrolan kecil serta suara mulut Ify yang tengah mengunyah roti cokelatnya. Sampai di parkiran SMA Orion, Ify segera mencari kelasnya sedangkan Gabriel menuju ruang OSIS. Pemuda tampan itu memang anggota OSIS, hebatnya ia adalah Ketua OSIS. “Mana sih kelasnya?” gumam Ify sambil mencari namanya di kertas informasi yang ditempel di mading. “Cakra... Candhra... Cantika... yes ketemu! Sepuluh satu!” seru Ify lalu berbalik dan menemukan sahabat dekatnya. “VIIIAAA!!! Lo kelas berapaa???” rusuh Ify tiba-tiba. “Dihhh nggak usah pake toa kali! Gue kelas sepuluh satu,” balas Via dengan sedikit kesal. “HUWAAA SEKELAAASSS!” Lagi-lagi Ify membuat kegaduhan. Anak-anak yang berada di sekitarnya lansung memandang gadis itu dengan tatapan tak suka, ada pula yang sampai mengusap telinganya. Ify yang merasa telah mempermalukan dirinya sendiri hanya bisa mesem ke sana sini memamerkan deretan giginya yang terbehel rapi. “Kebiasaan lo! Lagian gue juga udah tau kali,” dengus Via. “Hehe maafin yaa. Yuk ke kelas, nggak mau tau pokoknya kita sebangku lagi. Ya meskipun gue udah bosan sebangku sama lo sepuluh tahun tapi nggak apa deh,” cerocos Ify yang sangat nyablak. Via sudah memasang tampang kesalnya tapi dengan tanpa berdosa –lagi Ify sudah menariknya untuk mencari kelas. Begitu sifat Ify, casing-nya boleh bule tetapi dalamnya sunda mutlak!
Sampai di kelas sepuluh satu, Ify dan Via memilih bangku di barisan ke tiga. Keduanya langsung rebahan di kursi, namun aktivitas mereka harus ditunda karena panggilan kakak OSIS melalui speaker kelas untuk segera berkumpul di lapangan. “Dih apaan sih, nggak tau apa gue baru aja duduk? Elah sepet amat. Baru duduk udah harus panas-panasan,” ceplos Via yangtak kalah cablak dengan Ify. Gadis bermata sipit itu bergegas berdiri dari duduknya karena Ify sudah memanggilnya sedari tadi. Mereka lalu menuju ke lapangan bersama anak-anak lainnya. Senin yang panas. Lebih-lebih harus upacara! Keluhan itu tidak hanya meluncur bebas dari bibir Ify atau Via tetapi juga anak-anak lain. Baru lima belas menit berdiri tetapi keringat sebesar biji jagung sudah mengucur, di depan sana Kepala Sekolah memberikan sambutan dengan ekspresi polos. Pria tua itu sama sekali tak menghiraukan siswa-siswa barunya sudah mengumpat. Sudah lima belas menit beliau pidato di depan sana. Anak-anak OSIS yang melihat –atau peka terhadap suasana segera memberi kode kepada sang Kepala Sekolah. Pria tua itu hanya nyengir lantas mengakhiri pembicaraan. Setelah ia turun dari podium, terdengar helaan nafas dari anak-anak peserta MOS. “Maaf ya adek-adek, tadi mungkin Kepala Sekolah kita terlalu bersemangat,” ujar seorang pemuda yang kini menggantikan Kepala Sekolah di podium. “HUWAAA!!!!” Ify dan Via hampir terlonjak karena tak siap dengan teriakan anak-anak gadis. “Ekhem, minta perhatiannya sebentar ya. Sebelumnya perkenalkan nama gue Gabriel Saktiyasa, di sini gue menjabat sebagai ketua OSIS.” Ya, di depan sana master sekolah tengah memperkenalkan diri dengan menghadiahi senyum yang menawan. Anak-anak perempuan kembali rusuh melihatnya. “Apaan sih mereka! Belum tau aja kita siapanya Gabriel,” dumel Via dengan gaya cablaknya. Ify mengangguk-angguk saja karena telinganya sudah panas mendengarkan anak-anak perempuan di sekitarnya tengah mendikte ketampanan Gabriel. “Lalu, ini juga ada Cakka sebagai wakil ketua OSIS, Alvin sebagai bendahara OSIS dan Zahra sebagai sekretaris OSIS. Untuk jabatan yang lain, kalian bisa
berkenalan sendiri ya. Jadi...,” Gabriel menerangkan tata cara MOS pada mereka dengan sejelas-jelasnya. Sayangnya kebanyakan dari mereka malah sibuk memperhatikan teman-teman Gabriel yang namanya disebutkan oleh pemuda itu. Via sampai menarik lengan baju Ify karena ketar-ketir mendengar anak-anak perempuan menyebutkan nama Alvin, kekasihnya. “Oke kalian boleh kembali ke kelas masing-masing. Nanti akan ada kakak kelas yang datang ke ruangan kalian. BUBAAARRR!!! JALAN!” Peserta MOS tak berdosa itu segera kembali ke kelas, termasuk Ify dan Via. Keduanya lantas kipas-kipas menggunakan co-card perlengkapan MOS padahal jelasjelas kelas mereka ber-AC. Ini karena Kepala Sekolah yang kepalanya botak, bisa sekali bicara selama itu. Via sedari tadi sudah mengumpat sementara Ify terlalu lelah untuk menanggapi. “Selamat pagi.” Pandangan mereka teralih ketika melihat dua orang pemuda serta satu perempuan. “PAAAGIII KAKAAAKKK!” “Adik-adik, sekarang kalian diminta untuk meminta tanda tangan kakak-kakak OSIS yaaa! Dan ingat, minimal harus ada sepuluh tanda tangan.” Ah perlakuan gila apa lagi ini? Sepuluh? Mereka sudah bisa membayangkan bagaimana nasib mereka ketika meminta tanda tangan. Sudah pasti, dikerjain habishabisan. “Kita nyari sama-sama atau sendiri-sendiri?” tanyaVia. “Sendiri deh. Lagian gue masih capek,” jawab Ify sekenanya. Gadis berpipi chubby itu mengangguk lantas melangkahkan kakinya keluar kelas. Ify sendiri segera mengambil pulpen dan kertas, setelah itu meneguk air mineralnya sejenak. Kemudian ia segera keluar kelas, mencari anak-anak OSIS. Kelasnya juga sudah sepi. “Kemana ya?” tanya Ify kepada dirinya sendiri. Gadis itu tak peduli kemana kakinya melangkah. Mungkin dengan ia berkeliling seperti ini, ia dapat menemukan kakak-kakak OSIS yang –mungkin saja tengah bersembunyi. *RFM*
Di lain sisi, seorang pemuda dengan tampang sangarnya sedang berlari membawa tongkat golf. Pemuda itu melangkah dengan cepat hingga menampakkan jejak kakinya dengan jelas. Di belakangnya, sekerumunan anak-anak berseragam putih abu-abu mengejarnya. Bukannya ia tak berani melawan, sayangnya jumlah mereka terlalu besar sedangkan ia hanya sendirian. Sudah bisa diramalkan bahwa ia akan tewas jika harus berhadapan dengan mereka semua. “Shit! Jalan buntu!” umpatnya. Dengan kepanikan yang sudah menghantuinya, pemuda itu berusaha tenang. Suara derap langkah anak-anak bengal yang mengejarnya terdengar semakin dekat. Pemuda itu lantas mengayunkan tongkat golfnya untuk mencapai tali yang ada di atas tembok. Dengan gerakan cepat disambarnya tali tersebut untuk menaiki tembok yang tinggi di depannya. Derap langkah mereka kembali terdengar lebih keras. Dengan nekat, pemuda itu menerjunkan dirinya dari atas tembok yang tinggi setelah menyembunyikan tali yang ia pakai. Matanya sudah terpejam, setidaknya ia lebih jauh merasa aman jika terluka karena sebuah tembok, bukan karena nasibnya ada ditangan anak-anak tadi. Ya. Harusnya memang demikian. Bruk.... “HUWAAA!!” Pemuda yang awalnya meringis kesakitan karena lututnya dan sikunya terkena batu itu tidak jadi meringis, ia segera bangkit dan mencari suara jeritan itu. Tanpa segan-segan tangannya sudah membekap bibir seorang gadis yang mengejutkannya. “Hhhmmmppphhh... hhhmmmppphhh....” Gadis itu terus berusaha bicara dan beusaha melepaskan bekapan si pemuda. Suara langkah kaki sekerumunan orang yang diyakini pemuda itu adalah suara langkah anak-anak tadi membuatnya panik. Gadis yang sekarang ia bekap tak mau juga berhenti bertingkah. Dengan nekat, pemuda itu memeluk gadis –yang tak ia kenal dengan erat tanpa melepaskan bekapannya. “Lo... diem. Atau gue yang akan bikin lo diem,” bisik pemuda itu tepat di telinga si gadis. Entah karena sihir apa, gadis itu benar-benar diam di dalam pelukan pemuda – yang baru ditemuinya beberapa detik yang lalu. “SIALLL!!! KEMANA LARINYA DIA?!”