1. Cinta Setinggi Ilalang “Namamu, Ilalang kan? Kau pikir cuma kau yang bisa seenaknya memperhatikanku, aku pun bisa!”
K
RINCING... krincing... Lonceng di atas pintu kaca bergemerincing saat dibuka, seperti biasa, pukul setengah enam sore perempuan itu datang ke kedai kopi yang tak jauh dari kantorku. Kali ini ia mengenakan minidress bermotif bunga kamelia warna deep blue, dengan tatanan rambut dibiarkan tergerai sebahu. Tampak begitu anggun. Perempuan yang selama beberapa hari ini jadi pusat perhatianku. Ia selalu duduk di meja nomor 7, selisih satu meja dengan tempatku biasa memperhatikannya. Senyum dan sepasang lesung pipi yang membuatku ketagihan menatapnya berlama-lama. Setelah menghempaskan tubuhnya ke sofa warna hijau pastel di dekat jendela kaca, aku hapal betul apa yang akan ia lakukan setelahnya. Sesuatu hal yang sudah menjadi rutinitas baginya. Pertama ia akan mengelap meja yang ada di hadapannya dengan sehelai tisu basah, kemudian dengan tisu kering. Walaupun meja di hadapannya aku yakin benar sudah sangat bersih.
Setelah itu ia akan mengeluarkan beberapa benda yang ada di dalam tasnya. Dan lagi-lagi aku mengingatnya dengan jelas barang-barang apa saja yang ia keluarkan: sebuah buku catatan berwarna cokelat ia letakkan di sisi paling kanan dengan bolpoin ditaruh di atasnya, lalu dua buah smartphone ia letakkan di sisi kiri, dan terakhir ia akan mengeluarkan sebuah laptop dengan cover warna merah muda. Lalu setelahnya ia akan memanggil pelayan untuk memesan menu. Ada hal yang menarik yang kuperhatikan saat ia memesan menu di kedai kopi itu, ia hanya memberi selembar kertas yang ia sobek dari buku catatan berwarna cokelatnya itu, tanpa berucap apa pun pada pelayan tersebut. Sebelum akhirnya ditutup dengan senyumnya yang khas. Selalu seperti itu. Segelas Iced Moccachino Blanded dan sepiring Red Velvet Cake adalah menu yang selalu ia pesan di kedai kopi itu. Hanya beberapa potongan saja dan beberapa teguk saja yang masuk ke dalam mulutnya. Dan ia akan kembali menatap layar laptopnya dalam-dalam, seperti tak ada hal lain yang menarik perhatiaannya selain daripada layar laptopnya. “Kali ini aku harus berkenalan dengan perempuan pemilik sepasang lesung pipi itu, bagaimana pun caranya,” gumamku dalam hati. Dengan seteguk Caramel Machiato, aku memupuk keberanian yang entah mengapa sejak kehadiran perempuan itu jadi menghilang. “Masa rencana berkenalan dengannya hanya jadi wacana belaka kembali.” Kini aku telah berdiri di hadapan perempuan yang ternyata juga memiliki andeng-andeng di bawah dagunya. Dan
2
sepertinya ia tak menyadari kehadiranku, atau mungkin lebih tepatnya tak menghiraukan, mungkin. “Hai... halo, boleh kenalan?” sapaku. Perempuan ini hanya menatapku semacam menelanjangiku dari bawah kaki sampai ujung rambut, kemudian ia tersenyum dan kembali menatap layar laptopnya. Aku merasa diabaikan. “Sendirian? Boleh duduk di sini?” ucapku sekali lagi, dan menunggu hingga beberapa jenak reaksinya. Perempuan itu lagi-lagi hanya menatapku, lalu menjatuhkan pandangnya ke meja seberang, meja tempatku tadi menikmati segelas Caramel Machiatto. Sepertinya ia mengusirku, dengan tertunduk aku membalikkan tubuh hendak kembali ke mejaku di seberang sambil menahan malu. Tetapi tiba-tiba ada tangan lembut yang menahan bahuku untuk tak pergi. Ternyata tangan milik perempuan berlesung pipi itu. Ia mempersilakanku duduk. Kami duduk berhadapan, dan ia lantas tenggelam dalam layar laptopnya kembali. Aku hanya bisa terdiam memperhatikan mimik wajahnya yang serius mengetik, rasa penasaranku menyelinap di antaranya. Entah apa yang ia lakukan dengan laptop itu, membuat aku merasa dicuekin. Setengah jam aku dibiarkannya hanya duduk terdiam, sampai pada akhirnya dua orang bertubuh tegap menghampirinya dan mengajaknya pergi dengan menggunakan bahasa isyarat. Perempuan berlesung pipi itu kemudian membereskan barang-barangnya yang ada di hadapannya. Sebelum pergi dengan dua orang bertubuh 3
tegap tadi, ia memberiku secarik kertas bertuliskan, “Untuk beberapa hari ke depan aku tak ke kedai ini, jadi kau tak perlu menunggu kedatanganku. Oh yaa, namaku Angin. Namamu, Ilalang kan? Kau pikir cuma kau yang bisa seenaknya memperhatikanku, aku pun bisa! Senang berkenalan denganmu ;)” “Jadi, selama ini perempuan berlesung pipi itu memperhatikanku juga?” Bunyi gelas bergemerincing yang sedang dibereskan seorang pelayan menyadarkan lamunanku. Di saat bersamaan, perempuan bernama Angin itu kulihat telah masuk ke dalam mobil sedan mewah keluaran eropa bersama dua orang bertubuh tegap dan pergi bergegas. “Mas, Mas kenal dengan perempuan yang tadi ada di hadapan saya?” tanyaku pada seorang pelayan yang tengah merapikan meja sebelah. “Dia Mbak Angin, Mas. Anak pemilik Coffee Shop ini. Sayang cantik-cantik tuli,” sahutnya. Aku hanya tersenyum sinis pada pelayan itu. Jadi, Angin tuna rungu. Pantas saja. Saat akan kembali ke meja tempat di mana Caramel Machiato ku menunggu sedari tadi, kaki ku terantuk sebuah buku catatan berwarna cokelat. Buku milik Angin terjatuh.
4
“Dan mungkin dengan menyadari cinta hanyalah sebuah titipan, kita tak akan pernah merasa takut kehilangan.”
B
UKU catatan berwarna cokelat itu masih tergeletak di samping komputer di dalam kamarku. Beberapa kali aku mencoba untuk membukanya, tapi entah mengapa selalu saja perasaan aneh itu muncul. Aku takut merasa bersalah membaca catatan harian seseorang, tapi di sisi lain aku penasaran ingin membacanya. Bukankah dari sanalah, dari dalam buku itu aku dapat menemukan informasi tentang perempuan berlesung pipi yang kujumpai tempo hari di kedai kopi dekat kantorku? Arrrghh... Kututup mukaku dengan bantal dan mengurungkan niat itu, kemudian terlelap. Waktu sudah dinihari, pukul dua malam tepatnya. Saat tiba-tiba mimpi itu membangunkanku. Kenapa perempuan itu begitu mudah menelusup ke dalam mimpiku? Apakah aku sedemikian memikirkannya hingga alam bawah sadarku pun ikut merasakan apa yang hati ku rasakan? Entahlah, padahal aku baru tidur tak lebih dari satu jam. Kuseret kakiku menuju kursi di depan meja komputer, kemudian untuk melelapkan kembali rasa penasaranku rasa-rasanya tak ada cara lain selain membacanya. Aku berharap perempuan berlesung pipi itu, memaafkan kelancanganku membaca buku catatannya. Lembar demi lembar kubuka, tak ada hal menarik selain daripada informasi bahwa ia adalah seorang aktivis sosial, selain itu aku juga berasumsi ia seorang perancang busana 5
karena di dalam catatannya juga tertera coretan-coretan desain-desain gaun pernikahan. Dan pada beberapa lembar terakhir barulah kutemukan sebuah catatan tentang dirinya, aku menyukai kata-kata yang ia tulis dan ia digarisbawahi. Kata-kata itu semacam sebuah semangat entah untuk siapa. “Pada akhirnya akan ada saatnya kita menyadari dan memahami cinta tak harus memiliki, karena pada hakikatnya cinta tak lebih hanya sebuah titipan yang dipercayakan Tuhan pada hati yang murni, yang mau berbagi kedukaan maupun keriaan bersama-sama dalam waktu yang tak tentu. Dan mungkin dengan menyadari cinta hanyalah sebuah titipan, kita tak akan pernah merasa takut kehilangan. Dan kalaupun cinta harus memiliki, hal itu bukan menjadi satu-satunya perihal penting, karena merawat cinta tak lebih mudah dari merawat keyakinan diri sendiri.” Kata-kata yang begitu sederhana, tapi menghunjam tempat pada sasaran. Telak. JAM weker berbunyi lebih nyaring. Aku kesiangan! Hari ini ada meeting di kantorku untuk sebuah project iklan baru, untung saja yang memimpin rapat adalah Senja. Jadi walaupun telat 15 menit aku masih diperbolehkan masuk ke dalam ruangan. Project iklan baru ini dimanageri oleh Senja, sementara aku ditunjuk olehnya untuk membuat konsep6
konsep iklan yang lebih kekinian. Ah, itu sih memang pekerjaanku. Tapi satu team dengan Senja, membuatku agak sedikit risih. Bukan, bukan karena Senja, tapi karena ada saja omongan-omongan di belakang yang mengatakan aku akan dianak-emaskan. Sebab menurut info dan gossip yang kudengar dan berkembang di kantor, Senja menyukaiku. Duhhh... “Tumben telat,” sapa Senja saat mendatangi kubikelku, kemudian ia mengambil kursi dari kubikel sebelah dan duduk di sampingku. “Gimana, sudah punya konsep yang kece, belum?” tanyanya. “Iklan layanan masyarakat ya? Hmm... belum sih, tapi nanti deh aku cari konsepnya,” sahutku. “Aku percaya kok, kamu pasti bisa mencari konsep yang kece. Bosankan ngeliat iklan layanan masyarakat yang gitugitu aja. Harusnya tuh sekece iklan-iklan komersil.” “Bisa aja sih sekece iklan-iklan komersil, tapi kan budgetnya juga harus besar. Memangnya Kemensos mau mengeluarkan uang lebih besar lagi?” “Iya, lagi-lagi soal biaya produksi. Ah tapi aku percaya kok sama kamu, Lang. Kamu pasti bisa buat konsep yang keren. Eh itu buku apa, Lang?!” Kemudian Senja mengambil buku berwarna cokelat yang ada di tumpukan paling atas di atas berkas-berkas yang ada di kubikelku. “Cie... Ilalang punya buka harian juga, baca ah...”
7
“Bukan punya aku! Itu aku menemukannya di kedai kopi depan kantor. Punya seorang perempuan. Mau aku kembalikan nanti. Jangan dibaca!” Terlambat. Senja sudah membuka buku catatan itu sampai lembar terakhir. Dan ia menemukan sesuatu yang mengernyitkan dahinya. Samar-samar terdengar gumamannya. “Angin Anggita Putri Sastromiharjo,” ucapnya Ia begitu lama dan begitu dalam memandangi lembar terakhir di buku catatan berwarna cokelat itu. Seperti sedang mengingat-ingat sesuatu yang tidak jauh dari masa lalu tapi juga tidak dekat dari masa kininya. “Senja, kenapa?” tanyaku. “Namanya mirip dengan seseorang yang paling aku sayangi,” sahutnya “Siapa?” “Kakakku...”
8