Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
Selibat Antara Cita, Citra dan Cinta1 Tulisan
ini
adalah
sebentuk
formulasi
berdasarkan
pengalaman2
dan
pengamatan serta pemikiran sederhana saya. Semoga bermanfaat demi kemuliaan namaNya.
Cita-cita Selibat Apapun rumusannya tujuan selibat imam adalah agar dapat lebih dekat dengan imamat Tuhan. Biar lepas bebas demi mengabdi Tuhan dan melayani sesama. Keluhuran cita-cita selibat tersebut justru makin bersinar manakala terbentur dan tercebur serta berbaur dalam cita, citra dan cinta manusia. Cita-cita manusia bercampur keluhuran rahmat; kelemahan cinta kodrati dihidupi oleh keagungan cinta adikodrati; citra rentan seorang insan berinteraksi dalam citra ilahi; dari situlah persoalan selibat berangkat. Ketika dijalani oleh Yesus anak Maria, selibat tetap menarik untuk dibicarakan. Di antara sejagad pujian juga ada segudang pergunjingan, yang paling sering diulang adalah relasi Yesus dengan seorang Maria Magdalena. Apakah itu mengurangi kualitas dan intensitas karya Yesus dalam melaksanakan panggilan imamat dari BapaNya? Ternyata tidak sama sekali.
1
Tulisan ini dikirim kepada Para Uskup sebagai sumbangan gagasan dalam Temu Uskup Regio Jawa Plus, awal Juli 2012, Wisma Sanjaya Muntilan. 2 Saya pernah yesuit selama 30 tahun, 17 tahun di antaranya saya hidup sebagai pastor. Karena itu saya punya pengalaman menjalani hidup sebagai selibater. Secara tidak langsung saya berharap pengalaman tersebut tersirat dalam tulisan ini.
1
Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
Selibat bagi Yesus bukan saja sebuah cita-cita. Juga bukan urusan citra semata. Bagi Dia, cita dan citraNya didominasi, di-darah-i dan di-roh-i oleh cinta sejati. Dalam karya Yesus kita merasakan bahwa Dia yakin akan tugas perutusanNya. Keyakinan itulah yang memotivasi dan menjiwai seluruh perbuatanNya. Mimpinya jelas, semua orang mesti dibawa kepada Bapa. Untuk itu Dia mewartakan kerajaan Allah kepada semua orang, tanpa pandang suku, bahasa atau agamanya lewat perbuatan seorang selibat. Ia berani bertindak, bahkan memutarbalikkan tatanan sosial religius masyarakat pada jamannya. Ia memilih melakukan banyak hal demi terwujudnya misinya, apa pun resikonya. Ia berani mengajar dan berbuat untuk keselamatan jiwa dan raga. Ia membangun Gereja, sekaligus menciptakan musuh-musuh atas apa yang dilakukanNya dan yang dibangunNya. Dalam diriNya selibat tak sempat terpikirkan, apalagi menjadi masalah. Sebab tujuan misiNya jelas, tak ada waktu untuk meladeni komentar, godaan, bahkan permusuhan yang muncul akibat status selibatNya. Ia fokus pada melakukan kehendak BapaNya. Resiko memang dihadapi dengan jiwa besar : mati secara hina demi terwujudnya misi yang diyakiniNya. Di sinilah barangkali yang membuat beda dengan selibat (imam) jaman sekarang.
Cita-cita imamat Banyak umat bercita-cita dirinya, atau anaknya menjadi imam. Cita-cita saja sudah dianggap istimewa bahkan mulia. Tetapi sebenarnya, di mana letak keistimewaan atau kemuliaan nya ? Dalam persepsi, asumsi, motivasi atau dalam aksi? Dasarnya apa, cita, citra atau cinta ? Dan bagi para calon, atau para imam sendiri, bagaimana imamat dibangun atau dimaknai, berdasarkan cita-cita, citra atau cinta ? Jika dasarnya cita-cita maka, peran asumsi yang dominan. Bila citra yang melandasi, maka peran persepsi dan motivasi yang dominan. Dan andaikata pondasinya cinta, maka mestinya
berwujud perbuatan. Semestinya yang dominan
adalah perbuatan berdasarkan keyakinan imamatnya. Hidup dan karya, waktu dan tenaga, pikiran dan perasaannya untuk berbuat mewujudkan imamatnya. Berbuat ini 2
Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
berbeda dengan beribadat. Perbuatan cinta sejati mengandaikan adanya keyakinan diri, keyakinan panggilan. Keyakinan itulah yang akan memotivasi dan memberanikannya untuk bertindak. Keberanian untuk tampil beda, untuk menerima resiko atas perbuatannya. Ya resiko dipuji maupun dibenci. Resiko disukai atau dicaci. Ke sanalah seluruh proses pendidikan imam mesti diarahkan. Kalau itu yang terjadi, selibat, bukannya tak akan jadi masalah lagi, tetapi tidak ada tempat dan kesempatan lagi untuk jadi masalah. Selibat hanyalah akibat, bukan kiblat. Apa pun resikonya, siap dihadapi, kalau imamat diyakini sebagai panggilannya dan tugas perutusannya. Saya khawatir bahwa umat, bahkan calon atau imam kita tidak punya cukup keyakinan akan cintaNya. Ia tidak yakin akan panggilan imamatnya. Ia kurang percaya diri terhadap tugas perutusannya. Imamat belum dicintai dan ditumbuhkan dari cinta yang mengatasi segala, termasuk mengatasi masalah gender. Cinta yang melahirkan keberanian untuk bertindak, bukan mengabdi persepsi, apalagi demi citra,- melainkan demi kerajaan Allah. Tanpa cinta yang dialami dan dijadikan motor serta motivasi keputusan dan tindakan pastoralnya, maka ia akan jatuh dalam persepsi, asumsi dan citra semata. Dewasa ini, adakah banyak contoh imam yang bertindak berdasarkan keyakinannya. Bertindak «gila », seperti Yesus melakukannya dulu. Sekali lagi saya khawatir bahwa imam yang « gila » akan imamatnya, meng-‘gila’ dalam berpastoral tidak banyak lagi kita temui. Kebanyakan justru imam-imam yang memberi kesan memilih hidup aman dan nyaman. Itu berarti tidak berani menghadapi resiko akan reaksi orang. Dan terutama tak punya keyakinan bahwa dalam dan bersama Dia, hampir pasti ditolak dunia. Kalau benar demikian, maka tak heran pula kalau banyak imam kita yang menikmati cita atau sibuk membangun citra. Artinya, kalau sebuah perusahaan, adalah perusahaan yang tidak memiliki core business. Imam siapa pun yang fokusnya pada cita-cita, selibat dapat menjadi ancaman yang menanti. Yang fokus pada citra, selibat dapat menjadi sandungan, berbuah kemunafikan 3
Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
Dengan demikian jelas bahwa tak mungkin membicarakan selibat, tanpa membicarakan core imamat lebih dulu.
Panggilan imamat Pada waktu saya masih di Mertoyudan, rektor saya, Rm van de Putten, SJ mengejek kami seminaris dari Klepu, « saiki parokimu wis makmur ya, wis ora ono sing mlebu seminari maneh ! »
3
Apakah itu berarti bahwa, kemiskinan masih menjadi faktor
pendorong utama buat tumbuhnya cita-cita (selibat) imamat. Tidak berlebihan kalau motivasi ini yang kemudian menyuburkan mimpi-mimpi yang bersifat duniawi, bukan mimpi untuk melayani. Mimpi yang tak berkaitan langung dengan aksi melainkan mimpi tentang posisi. Karena itu, mimpi ini juga akan mengantarnya ke pencitraan daripada perbuatan. Jika benar demikian, tak heran jika terjadi kelangkaan imam yang berani aksi dan sibuk dalam perbuatan bukan pencitraan. 4 Yang didiskusinya
adalah fasilitas yang mendukung citra daripada aktivitas
pastoral yang telah, sedang dan akan dilakukannya. Saya mengalami sendiri seorang imam yang baru akan memulai suatu karya, belum berkarya, sudah meminta mobil baru. Dalam hidup nyata di dunia tak ada yang demikian. Segala sesuatu memerlukan waktu. Tak ada umat yang baru lulus kuliah, langsung menduduki pimpinan, dan langsung memperoleh mobil baru. Demikian juga tidak terjadi dalam dunia bisnis. Semuanya perlu proses magang atau pembuktian kemampuan lebih dulu. Maka, sistem yang demikian mesti ditata kembali, sebab sistem demikian tidak mendukung cinta akan imamat.
3
Terjemahan harafiahnya: Sekarang paroki sudah makmur ya, maka tak ada lagi yang masuk seminari. Ketika itu, sekitar tahun 1970, seminaris dari paro Klepu adalah yang terbanyak di antara paroki-paroki lain. Itu adalah dampak dari seorang imam Belanda yang hebat, dan berani dalam berbuat. 4
Waktu saya imam dulu, yang sering menjadi bahan pembicaran adalah uang kolekte, liburan ke mana, kemudian bergeser ke merek HP, jenis mobil, dll. Jarang yang spontan membicarakan pengalaman dan pengembangan karya pastoral seseorang.
4
Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
Citra dan Uang Dalam istilah keuangan, „belum tahu artinya uang, sudah harus mengurus dan mengelola uang“. Sering terjadi bahwa imam kehilangan uang hanya karena salah pengelolaan. Di sisi lain, banyak umat yang mengeluh imamnya pelit ketika dimintai bantuan uang, padahal itu uang umat, bukan uang pribadinya.5 Ketika saya memimpin Kotabaru,6 saya memilih berprinsip : „uang Gereja adalah uang umat, maka harus saya kembalikan ke umat.“ Caranya : saya mengadakan banyak kegiatan pastoral dan sosial untuk umat dan masyarakat. Saya memakai 40% uang Gereja untuk karya sosial kemasyarakatan dan umat. Sebaliknya, saya pun gampang mendapatkan uang. Saya yakin karena umat melihat apa yang saya buat dengan uang mereka.7 Sudah pada waktu itu, sering saya mendengar bahwa seorang imam paroki yang punya simpanan banyak uang seolah karyanya lebih berhasil daripada paroki yang tak punya banyak simpanan uang, walaupun yang terakhir ini mengadakan banyak kegiatan, melakukan banyak perbuatan dengan uangnya. Gambaran minir di atas kadang masih ditambah kasus konkret seorang imam yang salah dalam mengelola uangnya. Lagipula kalau ada kasus keuangan demikian, seakan tidak ada sanksi berarti buat si imam tersebut. Demi citra, ia hanya dipindahkan. Tetapi kalau citra imam terancamam hilang akibat interaksinya dengan umat wanita, langsung jatuh vonis tanpa peradilan, „dirajam“ dengan kata, sikap dan perbuatan. Sekali lagi, rupanya citra lebih diutamakan daripada cinta. Pencitraan demikian sudah menjadi kebiasan buat kebanyakan imam. Saking biasanya malah sudah menjadi semacam kebenaran. Karena dianggap kebenaran, maka yang tidak berbuat demikian justru dianggap aneh, atau keliru. Dengan kata lain, sekarang ini, menemukan seorang imam yang penuh pengabdian melayani umat dengan keyakinanannya, sudah langka. Imam yang hidup dan berkarya berdasarkan 5
Untuk umat yang sedang membutuhkan, hal semacam ini sering dirasa bahwa imamnya lebih memilih uang daripada orang. Cara menolak permohonan pun kadang masih disertai dengan tambahan kata-kata yang menyakitkan, yang sebenarnya tidak perlu. Patokannya norma, bukan pengalaman akan kebutuhan hidup nyata. 6 Tahun 1995-2002 7 Sekurang-kurangnya ini persepsi saya. Benar tidaknya silakan cek pada umat yang mengalami gaya pastoral saya kala itu.
5
Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
keyakinan imannya, dan berteologi di tengah umatnya, sudah jarang ditemukan. Yang ada kebanyakan imam yang melayani dengan perhitungan pencitraan. Citra yang diletakkan dalam keuangan, padahal sesungguhnya masih buta finansial. Capital gain lebih lebih dikejar daripada pastoral gain. Menyimpan lebih aman daripada membagikan kepada yang membutuhkan. Irit berarti pelit. Sayangnya, sikap pelit ini dimaknai sebagai semangat miskin. Mindsetnya keliru. Demikian sehingga ada kegamangan untuk mengeluarkan uang bagi karyanya. Hanya orang yang merasa insecure, atau kurang aman, maka ia akan ketakutan. Kegamangan demikian adalah undangan untuk permasalahan selibat?
Cerdas Finansial Sistem pendidikan kita masih menekankan pada pentingnya kecerdasan intelektual dan kecerdasan moral spritual. Seharusnya sistem demikian diimbangi dengan kecerdasan finansial. Penekanan pada penggabungan kecerdasan intelektual dan kecerdasan moral spiritual akan mengakibatkan kita hidup dalam dunia norma. Norma menjadi tengara atau malah ukuran hidup dan karya imam. Kelemahan cara pengukuran demikian adalah orang mudah memanfaatkan otak manusia untuk merasionalisasikan kemauan bahkan perbuatannya. Sementara kecerdasan keuangan mengajarkan dan menggarap tema logika keuangan. Yang namanya sejuta harus pas. Tak kurang, tak lebih. Kurang serupiah tak pernah jadi sejuta. Logika demikian, meminta pertanggungjawaban yang jelas dan tegas tak ada kompromi, tak ada rasionalisasi. Sedangkah dalam kecerdasan moral spiritual, pertanggungjawabannya tak perlu pas. Selalu ada tempat untuk mempertanggungjawabkannya dengan sedikit lebih atau sedikit kurang. Artinya, walau secara norma sudah jelas, dan tegas, tetapi dalam realita selalu akan bertemu pada kasus konkret yang menuntut pelaksanaan norma secara kasuistik. Ini yang menyebabkan adanya jarak antara ajaran, yang bersifat pengetahuan dan pelaksanaan atau kelakuan yang bentuknya perbuatan. Dalam konteks ini ada kemungkinan untuk seorang pengajar moral yang kelakuannya amoral. Bukan mustahil 6
Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
seorang selibat yang hidupnya tak sesuai dengan tujuan hidup selibat. Situasi ini tercermin dalam kasus-kasus selibat di seluruh dunia: pedofilia, perselingkuhan, samen leven¸ atau perilaku tak terpuji lainnya. Bukankah Gereja di USA kehilangan banyak uang untuk membayar perbuatan melawan hukum dan a-selibat para imamnya? Inilah wujud dari pengembangan intelectual intelligence, belum financial intelligence. Selibat, terutama imamat, mengangkat status dan drajat seseorang selibater jauh tinggi dari dunia nyata. Selibat menempatkan seseorang yang menjalaninya berada di posisi yang jauh dari realita umat. Harus diakui kenyataan semacam ini bukanlah akibat dari perilaku para selibater, melainkan juga andil dari umat beriman pada umumnya. Bahkan sejak seminari kecil sudah terjadi. Seminaris sudah di-istiewakan oleh umat, bahkan oleh orangtuanya sendiri, hanya karena statusnya, bukan karena actus perbuatannya. Ini adalah pendidikan citra., bukan pendidikan cinta. Sebab cinta menuntut perbuatan.
Sistem pendukung panggilan Tidak fair kalau kita menimpakan penyebab dari semua itu ada pada pribadi imam dan umat. Sebab dalam kenyataannya, hidup kita terbangun dalam sistem-sistem tertentu. Para imam, dalam hidup dan karyanya juga berada dalam sistemnya sendiri. Sistem ini juga perlu dilihat secara terbuka. Dalam Gereja Katolik, seorang imam adalah atau imam keuskupan atau imam tarekat. Bahkan seorang imam tarekat harus memiliki kontrak kerja dengan uskup di mana ia akan berkarya. Dengan kata lain, kultur kerja imam kita sekarang ini berada dalam sistem hirarki Gereja. Dalam sistem ini, ketaatan pada hirarki menjadi lebih penting daripada kehebatan melayani umat. Demikian sehingga prestasi kerja, perbuatannya untuk umat,
sebenarnya bukanlah menjadi hal yang utama. Ukuran
prestasi kerja sudah difilter oleh kesepahaman dan keselarasan pada uskupnya. Seorang imam diosis malah harus dirangkai, -kalau tak boleh dikatakan dibatasi – oleh janji ketaatan pada uskup sebagai pimpinannya. Seakan mau dikatakan bahwa meskipun tidak berprestasi asal melakukan sesuai arahan pimpinan, „lulus“lah dia. 7
Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
Yang sebaliknya berlaku. Meskipun berprestasi, tetapi tak sejalan dengan pimpinan, hampir pasti tak diterima -apalagi diakui- baik oleh uskup maupun oleh para imam koleganya. Secara tidak sadar, sistem ini membuat tugas kerja imamat berorientasi pada kepentingan pimpinan daripada berorientasi pada pelayanan umat atau sesamanya. Itu artinya, sistem demikian justru mendukung upaya membangun citra daripada cinta. Ini berarti sistem kerja imam kita sesungguhnya kurang mendukung panggilan cinta imamat. Sebab orientasi ke umat sudah setengah tertutup. Kreasi atau inovasi untuk menanggapi kebutuhan umat, tak dapat dengan leluasa dicipta dan dilaksanakan. Upaya untuk memberi nilai tambah pada sesama/umat dan dunia, lewat perbuatan justru seakan tidak ada tempat lagi. Orientasi karya, tugas dan perutusan yang paling tepat dan menanggapi sistem ini adalah tugas dan pelayanan ibadat. Di satu sisi, ibadat lebih selaras, pas, sesuai dengan kepentingan hirarki. Di sisi lain, satu dimensi kebutuhan umat pun terpenuhi. Yakni kebutuhan ungkapan iman umat. Sedang, kekhasan awam, atau dimensi kebutuhan perwujudan iman umat sulit dijangkau lewat pelayanan imam ini. Kiranya sulit menempatkan imam pada panggilan melayani umat sepenuhnya (pengungkapan dan perwujudan iman umat). Sekali lagi yang seperti ini berada di
wilayah citra
daripada cinta imamatnya. Sistem yang demikian mestinya juga dikritisi, kalau kita mengharapkan imamimam kita melakukan seperti apa yang dilakukan Yesus waktu itu. Sistem karya imam yang demikian mesti dievaluasi kembali, jika ingin mereduksi masalah selibat di jaman ini. Supaya para imam lebih mungkin beraktualisasi diri lewat kreasi dan inovasinya dalam melayani umat. Setiap orang dipanggil untuk beraktualisasi diri. Imamat juga perlu aktualisasi diri. Sayangnya, imamat yang dijalani Yesus, memang berbeda dengan
sistem
ini.
Dalam
imamat
Yesus,
relasinya,
ketaatannya
pertanggungjawabannya adalah langsung kepada Bapa. Dalam Yesus semangat entrepreneur imamatnya adalah jati Dirinya. Melayani sesama adalah bukti dan aktualisasi imamatNya. Maka pertanyaannya ialah bagaimana dapat dikembangkan sistem kerja imam yang memberi peluang lahirnya imam-imam yang berjiwa 8
Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
entrepreneur, sebagaimana Yesus telah menjalani dan mengaktualisasikannya. Apakah pembaharuan sistem ini mungkin,jawabnya ada di tangah para Bapak Uskup. Intinya juga akan terkait oleh cita,citra dan cinta panggilan seorang Uskup, pimpinan para imam kita.
Priest-entrepreneurship Menanggapi situasi dan kondisi di atas, salah satu hal yang perlu diperbarui adalah sistem pendidikan imam kita. Sebenarnya sistem kerja imam juga perlu dilihat kembali. Tetapi yang kedua ini, di luar wilayah awam. Dengan sistem yang ada sekarang, kiranya sudah tidak cukup lagi. Dunia berkembang dengan cepat dan makin mengglobal. Kalau mindset para imam kita tak berubah, maka akan semakin terjadi kepincangan yang tak diharapkan. Untuk itu, perlulah yang saya sebut priest-entrepreneurship. Dengan priest-entrepreneurship saya maksudkan pendidikan entrepreneurship untuk imam. Artinya bagaimana imam kita memiliki semangat dan karakter entrepreneur. Semangat entrepreneur, yang membantu seseorang menjadi dirinya sendiri. Kalau ia seorang imam, ia juga perlu entrepreneurship agar sukses mewujudkan mimpinya sebagai seorang imam. Entrepreneur adalah seorang yang unik dan justru karena itu ia memberi nilai tambah pada dunia. Kreasi, aksi dan inovasinya adalah sumbangan khasnya pada perbaikan tatakehidupan manusia dan dunianya. Sebenarnya dengan priest-entrepreneurship saya hanya bermimpi untuk kembali ke sang Imam Agung kita: Yesus Kristus. Yang dibuatNya sebagai imam, tidak lain adalah tindakan seorang entrepreneur sejati. Yesus adalah imam yang punya mimpi besar: membawa semua orang kepada Bapanya. Ia bersemangat, - bukan bernafsuluar biasa untuk mewujudkan mimpinya. Sekaligus Yesus juga punya keberanian untuk tampil beda. Beda dengan segala impian umat pada waktu itu. Ia berani berbuat bahkan kalau itu melawan hukum agama/taurat dan keyakinan masyarakat. Ia pun tak takut ditolak, dikianati oleh muridnya, bahkan dibunuh oleh orang-orang yang mengaku 9
Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
menyembah Allah. Yesus juga banyak melakukan perubahan mindset umat jaman itu. Dari taat pada hukum taurat ke taat pada hukum kasih; dari semangat membalas, menghukum menjadi semangat untuk mengampuni dan mengasihi. Itulah Yesus Sang Entrepreneur, sang imam agung kita. Oleh sebab itu tidak berlebihan kalau core business imam kita dibangun berdasarkan semangat entrepreneur, sama seperti yang telah menyemangati Yesus. Hal itu meliputi semangat: 1) Punya mimpi besar Dia pengin jadi imam seperti apa atau seperti siapa. Imam seperti Yohanes Maria Vianey. Atau imam yang kemudian jadi uskup seperti uskup Romero? Problem impian banyak orang, letaknya bukan pada ketiadaan mimpi, tetapi pada kenyataan bahwa mimpinya terlalu sederhana, sehingga mudah digapainya. Kalau impian sudah tercapai, lalu kehilangan arah dan tujuan hidup dan karyanya. Kalau mimpinya imam-imam kita hanya sebatas menjadi pemimpin ibadat, apa bedanya dengan para prodiakon yang tidak perlu selibat? 2) Punya nafsu/semangat untuk mewujudkan mimpinya Dia punya nafsu untuk mewujudkannya. Aktif menulis dan giat dalam gerakan politik, membela orang kecil yang dihilangkan segala aksesnya untuk hidup layak? Kata dan perbuatannya adalah aktualisasi dirinya dan imamatnya. 3) Punya
keyakinan
atas
mimpinya
dan
kemampuannya
menggapai
mimpinya. Dalam omongan, perilaku, dan hidupnya tercermin bahwa dia punya keyakinan kuat bahwa mimpinya akan terwujud. 4) Punya keberanian untuk: beda, unik, Bicara, hidup dan karyanya selalu penuh keunikkan, tampil beda, tapi bukan asal beda. Tak peduli komentar bahkan perlawan atas yang dilakukannya demi mewujudkan mimpi hidup dan karyanya. Tidak ngawur, karena punya dasar pada iman akan panggilan dan pengutusan khususnya. 10
Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
5) Punya keberanian untuk mengambil resiko: gagal, rugi, ditolak Orangnya sangat berani. Berani omong, meskipun banyak yang tak sependapat bahkan mengancamnya. Berani beda meskipun ditertawakan, dikecam dan dimusuhi personal, institusional, maupun eklesial. Ia tak takut gagal. Tak khawatir akan resiko yang mungkin dihadapi.
Kalau cuma ditolak, sudah biasa. Kerugian uang, tak pernah
dianggapna perkara yang mengganggu keyakinannnya. Ia tidak mengenal kegagalan, sebab ia yakin tak ada sungai
mengalir tanpa mata air di lereng-lereng padas
pegunungan. 6) Penuh kreasi dan inovasi Gereja Katolik berawal dari Gereja perdana yang dibangun Yesus. Yesus tidak saja melanjutkan tradisi Yahudi begitu saja, tetapi Ia penuh kreasi dan inovasi dalam aksi dan edukasi mendidik para muridNYa. Juga Paulus dididiknya dengan cara unik, untuk dijadikan murid, utusanNya yang inovatif dan kreatif. 7) Punya keberanian untuk mengubah mindset: Mindset seseorang terbentuk dari pikiran, perasaan, pengalaman, harapannya. Mindset semestinya berkembang sejalan dengan perkembangan jaman. Beberapa mindset di bawah ini adalah sekedar contohnya: a. Malu percaya diri Baginya tak pernah lagi malu jadi alasan untuk atau dalam melakukan sesuatu. Karena ia adalah seorang penuh percayaan diri. situasi
dan
kondisi.
Komentar
maupun
Percaya diri dalam segala
tanggapan
orang
tak
pernah
mempengaruhi apalagi mengubah pendiriannya. b. Gagal sukses Baginya tidak ada kata down atau frustrasi hanya karena merasa diri gagal. Seakan ia tidak kenal gagal. Kalaupun pernah gagal, ditempatkanya sebagai bagian dari proses menuju sukses.
11
Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
c. Takut berani Baginya tak ada rasa takut menghadapi apa saja, orang maupun tantangan. Kemampuannya bergaul dengan siapa saja, di segala lapisan dan golongan adalah bentuk nyatanya. Baginya, segala sesuatu adalah kesempatan untuk belajar. d. Halangan menjadi tantangan Halangan tak pernah jadi kendala. Apa pun masalah dan persoalannya dijadikannya sebagai tantangan untuk melangkah maju ke depan. Tantangan adalah kesempatan untuk maju dengan kemungkinan menang. e. Kegagalan pelajaran Gagal adalah keberhasilan yang belum sampai. Gagal atau kesalahan adalah pelajaran yang paling berharga yang datang sesuai dengan kebutuhan kita. f. Lawan kawan. Baginya sebenarnya semuanya dapat menjadi kawan atau mitra. ‚Lawan‘ adalah pesaing penantang. Karenanya harus dirangkul untuk dapat belajar darinya. Karenanya tidak ada lawan, semua jadi kawan. Pandangannya bukan lagi hitam putih, melainkan sudah menjadi abu-abu. Semuanya berada dalam kancah hukum dialektikal menuju ke integrasi hidup dan karyanya.
Demikianlah, berbicara tentang selibat harus ditempatkan di pembicaraan tentang intipati panggilan imamat. Intipati panggilan seorang imam adalah core business seorang yang profesinya imam. Gampangnya, dia harus punya jawaban jadi imam mau apa? Tujuan hidupnya sebenarnya apa? Tujuan inilah yang menentukan taktik dan strategi untuk menggapainya. Kalau seorang imam komit pada tujuannya jadi imam, selibat adalah konsekuensi atas pilihannya. Dan ini perlu didukung dengan sistem yang mendukung panggilan. Sebab semestinya selibat adalah sarana bukan tujuan imamat. Membicarakan selibat tanpa membicarakan ke-imam-an, hanya akan 12
Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
seperti memberi obat pusing, tanpa tahu penyebab pusingnya. Rasa sakit hilang, tetapi tidak menyembuhkan, dan rentan kambuh kembali. Tanpa memiliki core business terhadap panggilannya imamatnya, ia akan mudah bersembunyi di balik jubah agama dan citra sebagai pemuka agama. Sederhana saja, apa yang dilakukan imam kita, di hari-hari biasa? Apa ia hanya tekun menunggu panggilan citra dibungkus tugas suci, atau menjawab panggilan dengan meng-create sesuatu untuk karya pastoralnya? Gagasan inspiratif Berikut ini adalah gagasan inspiratif saya, -kalau tak boleh saya sebut transformatif-.
Berikut ini adalah gagasan awal yang siap untuk didiskusikan lebih
lanjut : a. Di seminari dibuka tempat dan kesempatan untuk pengembangan kecerdasan finansial. b. Fokus
pendidikan
imam
diletakkan
pada
pengembangan
dan
pembentukan karakter pribadi. c. Arah utama pendidikan karakter ini berfokus pada pembentukan karakter entrepreneur. Pendidikan dan pelatihan entrrepreneurship harus menjadi bagian mendesak dari pendidikan imamat. d. Ganti masa TOP dan TOK menjadi TOI (Tahun Orientasi Imamat). Pada waktu ini, seorang calon imam diberi kesempatan untuk merumuskan kembali core (bussiness) imamatnya. Masa ini juga jadi masa penilaian umat atas clon imamnya ini. Wakil umat, wajib memberi penilaian calon imam ini. Nilainya adalah memberi tempat dan kesempatan awam terlibat secara obyektif profesional atas cinta imamat seorang calon
imam
tersebut. Kelak ketika imam ada masalah, termasuk masalah selibat, umat yang sama mesti ‘kepradah’, dilibatkan. Dengan cara demikian, diharapkan dapat menambah -kalau bukan mengubah- sistem kerja imamat. Dari sistem kerja yang hirarkis dan kultis yang mewajah dalam peribadatan, menjadi sistem kerja yang berorientasi ke pelayanan umat 13
Selibat: Antara Cita, Citra dan Cinta
YR Widadaprayitna, 2012
dan merupa pada perbuatan. Sebab umat turut terlibat menentukan ‘panggilan imamat’nya. Jika penilaian umat negatif, sebaiknya tidak dilanjutkan proses pendidikan imamatnya. e. Dibuka peluang akan penciptaan dan pengembangan karya pastoral aktual, kontekstual, kategorial, sebagai bentuk aktualisasi diri imam dan sebagai wadah nilai tambah atas karya pastoral teritorial. Semua imam harus melalui proses TOI di karya pastoral teritorial. Ini menjadi landasan pengolahan kebutuhan cita dan citra calon imam. Sekaligus berorientasi untuk
mengembangkan
watak
entrepreneurship-nya
lewat
inovasi
maupun kreasinya di tengah umat. f. Ketika seorang calon imam siap ditahbiskan, ia harus sudah mampu berteologi lebih daripada tahu akan ilmu teologi. g. Dll. Demikian yang dapat saya rumuskan. Semoga dapat dimanfaatkan oleh para Bapak Uskup sekalian.
Semarang, di hari Pentakosta, 27 Mei 2012
YR Widadaprayitna Director Wulangreh Foundation Semarang
.
14