Pendidikan …
PENDIDIKAN BELA NEGARA DI PONDOK PESANTREN (Antara Cita-cita dan Realita)1 Dr. H. Marwazi, M.Ag A. PENDAHULUAN Akhir-akhir ini, muncul wacana ingin memasukkan materi bela negara di pondok-pondok pesantren, hal ini dipicu oleh realita di masyarakat tentang adanya kekerasan, radikalisme, dan terorisme yang diduga ada yang berasal dari pesantren. Dari tiga kasus itu kekerasan, radikalisme, dan terorisme), yang paling ditakuti adalah yang ke tiga. Memang jika itu benar, ada sebahagian alumni pesantren yang menjadi pelakunya, bahkan pemimpinnya2. Di samping itu, akhir-akhir ini ada juga kasus NII (Negara Islam Indonesia) yang dialamatkan juga kepada pemimpin pesantren. Tapi hal itu harus dipandang secara obyektif, bahwa di Indonesia ada ratusan ribu pondok pesantren, sementara untuk kasus terorisme, yang sudah terbukti cuma satu, yaitu Pondok pesantren al-Mukmin Ngruki Solo. Sementara untuk kasus NII, hanya satu juga, yaitu pondok pesantren Az-Zaetun3 di Indramayu, ini pun belum ada keputusan tetap dari pengadilan, dan kasus teroris di Pondok Umar Bin Khatab di Nusa Tenggara Barat. Kasus-kasus itu tidak tepat bila digenalisir kepada semua pondok pesantren, sehingga muncul anggapan bahwa pondok pesantren sebagai sarang terorisme, radikalisme, fanatisme, dan lain sebagainya. Karena hal itu justeru akan merugikan lembaga tersebut yang selama ini telah dirasakan dan dibuktikan kontribusinya sebagai tempat pendidikan karakter atau pembentukan karakter (caracter building). Pemerintah dan masyarakat harus jujur dan seimbang dalam memandang dan menilai pondok pesantren, ia sebagai sistem lembaga peindidikan pertama di Indonesia yang telah banyak melahirkan pejuang kemerdekaan negara, pemimpin bangsa, dan pembangun masyarakat, bahkan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Bila harus “dibina”, maka harus tepat sasaran, yaitu khusus pada pondok pesantren yang terindikasi atau terbukti saja, karena bila tidak, justeru akan kontra produktif. Pondok pesantren selama ini, tumbuh dan berkembang dari pribadi dan masyarakat serta untuk masyarakat, maka disebut lembaga pribumi atau lembaga pendidikan rakyat. Walaupun 1
Marwazi, Dosen IAIN STS Jambi, Pendiri dan Pengasuh PP An-Nur Tangkit Muaro Jambi 2 Yakni Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang terbukti—menurut hakim-- sebagai pimpinan teroris, walaupun masih dibela oleh pengacaranya. 3 Didirikan dan dipimpin oleh Syeikh Panji Gumilang atau Abdussalam
27
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
menurut Ziemek, ia tumbuh secara paralel dengan lembaga sebelumnya (Hindu-Budha), yang memiliki kesamaan dalam segi asrama4, yang menurut istilah Nurchalis Madjid, pertumbuhannya memiliki hubungan historis dengan lembaga pra-Islam sebelumnya5 yaitu Hindu-Budha. Mastuhu mengatakan, ia mulai dikenal di Nusantara dalam periode abad ke-13-17 M, tapi dianggab sebagai lembaga pendidikan berbobot pada abad ke-18 M6. Ia terus tumbuh dan berkembang atas dasar (bebasis) masyarakat. Hanya pada era revormasi pondok ini sedikit diperhatikan oleh pemerintah, terutama setelah ada Direktorat Pondok Pesantren di lingkungan Kementerian Agama, dan masuk dalam Sistem Pindidikan Nasional7. Artinya lembaga ini memiliki sikap kemandirian yang kuat dan tinggi. Maka, sebetulnya belum seberapa sumbangsih pemerintah terhadap pondok tersebut bila dibandingkan dengan jasa dan perjuangnya bagi bangsa dan negara. Sebetulnya, sampai sekarang umumnya pondok pesantren masih menghidupi dirinya sendiri, mulai dari pengadaan sarana, perawatannya, biaya proses pembelajaran, gaji guru dan lain sebagainya; dan tanpa menutup mata pemerintah ikut membantu. B. PENDIDIKAN KEWARGAAN Pendidikan kewargaan (civic edudancation) identik dengan pendidikan kewarganegaraan, adalah kata majmuk yang terdiri dari kata pendidikan (education) dan kewargaan (civic). Pendidikan mempunyai makna yang beragam, sekeragaman para filosof itu mendefinisikannya; Plato (427-346 SM) mendefinisikannya bahwa pendidikan adalah “memberikan segala yang memungkinkan bagi badan dan jiwa menjadi baik dan indah”, Aristoteles (lahir 384 SM) mendefinisikannya “mempersiapkan akal untuk mendapatkan ilmu sebagaimana mempersiapkan bumi untuk tumbuh-tumbuhan dan tanaman”, Pestalozzi 1746-1827 M) mendefinisikannya sebagai “upaya mengembangkan seluruh potensi anak dengan pengembangan yang sempurna dan serasi”, Herbert Spencer (18201903 M) mendefinisikannya sebagai “mempersiapkan manusia agar dapat hidup sempurna”8, jadi bila boleh disimpulkan, pendidikan 4
Ziemek, Manfret ,Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: Penerbit P3M, 1986), h.16-17. 5 Madjid, Nurcholish , “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren”, dalam Kusnanto (ed.), Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h.3. 6 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h.20 7 Lihat Undang-Undang RI No 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 30 ayat( 4). 8 Al-Abrasyy, Muhammad Atiyah ,Ruh at-Tarbiyah wa at-Ta’lim, (Tanpa Kota, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, tanpa tahun), h. 5-6.
28
Pendidikan …
adalah proses pengembangan akal, jiwa, dan badan agar dapat berkembang secara sempurna, sehingga menjadi manusia yang baik, sehingga dapat hidup serasi dan sempurna. Kewargaan (civics) atau kewarganegaraan adalah cabang ilmu politik, ia menurut Muhammad Numan Sumantri, merupakan ilmu kewarganegaraan yang membicarakan hubungan manusia dengan (a) manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisir (organisasi sosial, politik, ekonomi), (b) individu-individu dengan negara9. Dan makna civics dalam perkembangannya bukan hanya meliputi gavernment saja, melainkan juga mengandung makna community civics, economic civics, dan vocational civics; dengan begitu, hampir semua definisi pada intinya menyebut gavernment, hak, dan kewajibannya sebagai warga dari sebuah negara10. Atas dasar definisi pendidikan dan kewargaan atau kewarganegaraan di atas, maka pendidikan kewargaan atau pendidikan kewarganegaraan menurut Azyumardi Azra adalah pendidikan yang lebih luas kandungannya dari pada pendidikan demokrasi dan HAM; karena melingkupi pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of low, hak dan kewajiban warga negara, proses demokrasi, partisipasi aktif, dan keterlibatan warga negara dalam masyarakat madani, pengetahuan tentang lembagalembaga dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, warisan politik, administerasi politik dan sistem hukum, pengetahuan tentang proses seperti kewarganegaraan aktif, refleksi krisis, penyelidikan dan kerja sama, keadilan sosial, pengertian antar budya dan kelestarian lingkungan hidup serta HAM11. ICCE UIN Jakarta mengutip pendapat Zamroni, bahwa pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi untuk membina warga negara berfikir kritis dan bertindak demokratis melalui penanaman kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi merupakan bentuk kehidupan bernegara yang paling menjamin hak-hak warga masyarakatnya. Demokrasi itu merupakan proses belajar yang tidak dapat begitu saja meniru masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi ditentukan oleh kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Pendidikan kewarganegaraan merupakan proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan di mana seorang mempelajari orentasi, sikap, dan prilaku 9
Sumantri, Muhammad Numan ,Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, (Bandung: Rosda Karya, 2001), h. 281. 10 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE Syahid Jakarta, 2003), h. 5. 11 Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education)..., h.7.
29
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
politiknya, sehingga mereka memiliki political knowledge, awareness, attitude, political efficacy, dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa12. Tim ICCE tersebut, menyimpulkan bahwa pengertian pendidikan kewargaan lebih luas cakupannya dari pada pendidikan kewarganegaraan, karena secara substantif tidak saja mendidik warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan inti dari pada pendidikan kewarganegaraan, akan tetapi juga membangun kesiapan diri untuk menjadi warga dunia. Dan komponen-komponen yang akan diajarkan meliputi hal-hal yang akan menolong peserta didik untuk (a) mengetahui, memahami, dan mengapresiasi cita-cita nasional, (b) dapat membuat keputusankeputusan yang cerdas dan bertanggung jawab dalam maslah pribadi, masyarakat, dan negara. Dalam proses pendidikan kewargaan tersebut, sekurangkurangnya ada tiga aspek yang akan dikaji. Pertama komponen dasar, kedua tujuan pembelajaran, dan ketiga kompetensi yang diharapkan. Komponen dasar pendidikan kewargaan adalah tentang 1.identitas negara, 2.negara, 3.kewarganegaraan, 4.konstitusi, 5.demokrasi, 6.otonomi daerah, 7.good gavernence, 8.hak asasi manusia, 9.masyarakat madani. Sementara tujuannya adalah 1.membentuk kepribadian yang cakap dan beranggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat, 2.menjadikan warga negara yang baik dan mampu menjaga persatuan bangsa, 3.menjakan warga negara yang berfikir komprehenship dan berprilaku demokratis. Sehingga warga negara tersebut diharapkan memiliki kompetensi 1.pengetahuan kewargaan (civic knowledge) dan pendidikan kewargaan (civic education) yang berkaitan dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani (civil society), 2.sikap kewargaan (civic disposition) yang berkaitan dengan pengakuan kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan keragaman, peka terhadap negara, 3.keterampilan kewargaan (civic skills) seperti terampil dalam ikut pembuatan kebijakan publik, kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah dan negara.13 Tiga kemampuan atau kesanggupan warga negara sebagai mana yang disebutkan di atas, secara konkrit dapat berupa peningkatan kemajuan masyarakat dalam segi moril maupun materil, secara moril dapat berupa pendidikan nonformal bagi ibu-ibu dan bapak di tempat-tempat ibadah yang banyak dilakukan oleh alumni pondok pesantren, secara materiil bisa berupa aktivitas pertanian 12 13
30
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education)..., h.7. Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education)..., h. 9-11
Pendidikan …
dan perdagangan yang juga banyak dilakukan oleh para alumninya, karena semangat berwiraswasta mereka lebih tinggi dari pada menjadi PNS atau pegawai lainnya. Sementara sikap-sikap positif seperti mengakuan kesetaraan, toleran, kebersamaan, dan keragaman justeru lebih menonjol dibanding dengan alumni non pesantren yang begitu agresif sehingga mudah diagitasi untuk melakukan demo dan pengrusakan, karena alumni pesantren meyakini mengamalkan tiga ukhuwah (persaudaraan), yaitu basyariyah (kemanusiaan), wathaniyah (kenegaran), dan Islamiyah (keislaman). Umumnya santri hafal dan yakin surat al-Kafirun/109:6 yang artinya “untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”, dan al-Baqarah/2:256 yang artinya “tidak ada paksaan untuk memeluk agama”. Sehingga dapat dibuktikan siapa pada umumnya yang melakukan pembakaran rumah ibadah, demontrasi, dan menentang pemerintah yang sah tentu bukan santri atau alumni pondok, karena mereka yakin terhadap ajaran yang mereka pelajari, yaitu tidak melakukan semua itu. C. PANDANGAN ISLAM TENTANG BELA NEGARA (CINTA TANAH AIR) Cinta tanah air (negara) melahirkan sikap bela negara yang tulus. Pembelaan terhadap negara yang didasarkan atas kecintaan kepadanya jauh lebih unggul dari pada pembelaannya yang didasarkan atas motif materi atau hanya sekedar tugas. Sebab perjuangan dan pembelaan yang didasarkan atas cinta akan mengobarkan semangat pantang menyerah hingga titik darah penghabisan; akan tetapi pembelaan yang hanya didasarkan pada materi atau tugas akan luntur bila ada kepentingan lain yang lebih besar, alias akan berhianat terdapan tugas pembelaan itu. Maka sungguh bijak bila sebelum semangat pembelaan dan perjuangan itu ditanamkan kepada anak bangsa, terlebih dahulu harus ditanamkan rasa cinta terhadap tanah air. Dengan cinta itu rasa kepemilikan akan lahir, dengan cinta pengorbanan akan dipersembahkan, dengan cinta rasa berat dan malas akan serna, cinta adalah daya penggerak yang tak pernah kenal keadaan, waktu, dan tempat. Sebelum melihat pandangan Islam tentang cinta tanah air atau bela negara, terlebih dahulu disebutkan di sini mengenai kewajiban warga negara terhadap negaranya. Dalam Undang-Undang dasar 1945 pasal 27 disebutkan bahwa kewajiban warga negara adalah membela tanah air, pada pasal 28 disebutkan tentang kewajiban menghormati hak asasi orang lain dan mematuhi pembatasan yang tertuang dalam peraturan, dan pada pasal 29 disebutkan wajib membela pertahana dan keamanan negara, di samping itu, kontrak utama antara warga dengan negara adalah berkewajiban membayar 31
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
pajak.14 Tentu, dengan kewajiban yang telah dilakukan secara baik dan benar, warga tersebut berhak memperoleh hak-haknya yang asasi, yaitu memdapatakan kebebasan beragama an beribadah sesuai dengan keyakinannya, bebas berserikat dan berkumpul, mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil, perlakuan yang adil dan layak, memperoleh kesampatan yang sama dalam pemerintahan, dan seterusnya. “Cinta tanah air adalah bagian dari iman” (hubb al-wathan min al-iman), ungkapan ini begitu masyhur di kalangan ummat Islam, terutama di lingkungan pesantren, sehingga diyakini oleh banyak ummat Islam sebagai sabda (hadits) Nabi Muhammad saw. Dalam kitab “Kasyf al-Khafa’...” as-Shaghany mengatakannya sebagai hadits maudhu’ (palsu), dalam kitab “al-Maqashid” beliau mengatakan “saya tidak tahu tentang status atau kwalitas hadits itu, akan tetapi artinya baik dan benar. Al-Qary menyatakan “hadits itu artinya benar tapi aneh”, karena tidak lazim bila cinta tanah air itu terkait dengan iman, dengan kata lain tidak ada hubungan yang kuat antara iman dengan cinta tanah air, sebab dalam al-Qur’an disebutkan bahwa orang munafiq juga cinta tanah air, seperti: Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka (orang munafiq) “bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu (tanah airmu)” niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebahagian kecil dari mareka... (QS. An-Nisa/4:66). Dan memang ayat ini menunjukkan cinta tanah air, akan tetapi tidak ada hubungannya antara iman dengan cinta tanah air, kerena mereka itu bukan orang mukmin, tapi orang munafiq, dan tidak ada isayarat bahwa tidak ada cinta tanah air kecuali orang mukmin, karena orang munafiq-pun juga cinta tanah air.15 Makna hadits di atas benar, karena didasarkan pada hikayat orang-orang mukmin yang membela tanah airnya sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an: ...Mereka menjawab: mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman (tanah air) kami dan anakanak kami...(QS. Al-Baqarah/2: 246). Perjuangan dan bahkan peperangan membela tanah air atau kampung halaman di situ merupakan bukti nyata mencintai tanah air. Akan tetapi yang dimaksud dengan kampung halaman atau tanah air di sini adalah Makkah, karena ia pusat perkampungan (ummu al-qura) dan qiblatnya alam ini (qiblah al-alam), dan oleh karena kecintaannya kepada tanah airnya itu demi untuk menyambung silaturrahmi dan 14
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education)..., h. 84 Al-Ajluny al-Jarrahy, as-Syeikh Ismail bin Muhammad, Kasyf al-Khafa’ wa Mazil al-Ilbas ‘Amma Isytahara min al-Ahadits ‘Ala Alsinat an-Nas, jilid I, (Beirut: Dar Ihya atTurats al-Araby, 1351 H), h. 345-346. 15
32
Pendidikan …
berbuat baik kepada penduduk di sana, maka untuk itu mereka membela tanah airnya untuk memerdekakannya. Dan bukti bahwa tanah air itu adalah Makkah adalah firman-Nya; “Sesungguhnya yang mewajibkan atas kamu (melaksanakan hukum-hukum) alQur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali (Makkah)... (QS. Al-Qashahs/28: 85). Disinilah kemudian, Allah SWT. berfirman dalam surat al-Balad/90 (ayat 1-2): “Aku benarbenar bersumpah dengan kota (negeri) ini (Makkah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota (Makkah) ini” ; tentang surat alBalad ini, Quraish Shihab berkomentar: terkadang perlakuan tidak wajar terhadap penduduk kota atau negara membuatnya enggan berkunjung lagi kenegaranya itu, apa lagi membelanya; tidak semestinya terhadap Makkah, karena Ia Kota Haram (Suci dan Agung)16, dari sini dapat difahami untuk disimpulkan bahwa cinta tanah air atau membela negara adalah sebahagian dari tanda-tanda iman, walaupun orang kafir juga tidak kalah gigihnya dalam membela tanah airnya. Untuk menggambarkan betapa cintanya Shahabat kepada tanah airnya, dalam sebuah riwayat, al-Khathaby berceritera yang bersumber dari az-Zuhry, ia berkata: ketika Usail al-Ghifary menghadap kepada Nabi Muhammad saw., mengungkapkan dirinya keluar dari Makkah sebelum sampai kota al-Hijab, maka Sayyidah Aisyah bertanya kepada Usail: bagaimana perasaanmu meninggalkan Makkah ?, ia menjawab (dengan membayangkan sebagai rasa cintanya kepada Makkah) kanan-kirinya menghijau, pasir dan kerikilnya memutih, tetumbuhannya lebat, dan kedamaian di dalamnya menyelimutinya, untuk itu Rasulullah saw. Berkomentar: “Cukuplah bagi kamu wahai Usail, jangan bersedih.17 Bisa jadi peristiwa ini dialaminya tatkala ia beranjak meninggalkan Makkah karena diusir oleh kafir Quraisy, sehingga bersedih dan merintih karena rasa cintanya yang dalam kepada tanah kelahirannya, Makkah. Aplikasi cinta tanah air untuk membela negara dapat saja terjadi dalam berbagai bentuk, sepanjang memberikan kemanfaatan, kemaslahatan, kemakmuran, kerukunan, kesatuan dan lain sebagainya yang berujung pada pembelaan terhadap negara itu, maka dengan begitu, ada ayat yang banyak dihafal oleh para pemimpin ummat bahkan pejabat adalah: baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur, yang maknanya adalah ...”(negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun” (QS. Saba’/34:15); dan ayat-ayat yang memberi andil besar dalam 16
M. Quraish Shihab, Tafsir l-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h.790-791. 17 Al-Ajluny al-Jarrahy, as-Syeikh Ismail bin Muhammad, Kasyf al-Khafa’... h. 346
33
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
membentuk negeri subur, makmur, aman, sejahtera yang merata dan seterusnya di antaranya adalah surat al-Hujurat/49:13 yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal...”. Dalam makna ayat: “dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”(QS.al-Anbiya’/21:107). Bila kita perhatikan kalimat “untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”, di mana alam ini mengandung kemajemukan, dengaan sendirinya kalimat tersebut mengandung makna “dengan semua perbedaan yang dikandung oleh semesta alam itu”. Jelasnya Islam tidak hanya mengakui adanya perbedan, tetapi lebih dari itu, yaitu menghormati dan memberikan rahmat kepada segala perbedaan yang terkandung di alam semesta ini. Dalam ayat lain disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka, dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri [sesam muslim, karena sesama mereka bagaikan satu tubuh] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman [seperti hai kafir, hai fasik dll.] dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (al-Hujurat/49: 11-12) M.Tholchah Hasan menyimpulkan dua ayat di atas sebagai: a. Jangan sampai satu kelompok menghina kelompok yang lain, b. Jangan saling mencela, c.Jangan menyebut kelompok tertentu dengan kesan melecehkan, d.Jangan suka berprasangka buruk terhadap fihak lain, e.Jangan suka mencari-cari kesalahan orang, dan f.Jangan menyebar isu yang merugikan orang lain.18 Pada dasarnya, konflik yang terjadi antara muslim dan nonmuslim, khususnya pada zaman Nabi Muhammad saw. tidak disebabkan 18
M.Tholchah Hasan, Hak-Hak Asasi Manusia dan Pluralisme Agama: Tinjauan Kultural dan Teologi Islam), dalam Ham dan Pluralisme Agama, (Jombang: CV. Fatma. 1997), h. 81.
34
Pendidikan …
oleh masalah teologi, tapi disebabkan oleh pelanggaran komitmen politis dan terjadinya pelecehan etika social yang sebelumnya telah disepakati antara kedua belah fihak. Sedangkan dewasa ini, sebabsebab konflik di masyarakat Indonesia secara garis besar ada dua, yaitu factor keagamaan dan non-keagamaan yang berupa kesenjangan ekonomi, kepentingan politik, dan social-budaya. D. REALITA PENDIDIKAN BELA NEGARA DI PESANTREN Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam buku “Pemberontakan Petani Banten 1888”, pesantren dan tarekat merupakan pasangan gerakan Pan-Islamisme di bidang politik, yang kemudian pada abad ke-19 ulama dan santrinya mampu memberikan bimbingan kepada masyarakat dan memimpinnya dalam melawan penindas atau penjajah Belanda yang notabenenya adalah Kerajaan Protestan Belanda19, ini adalah realita sikap dan tindakan komunitas pesantren dalam cinta tanah air dan bela negara yang sedang dijajah, ini juga kenyataan bahwa pesantren bukan sekedar lembaga pendidikan dalam arti sempit, tapi sekaligus membangun character dan national building. Menurut komentar Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA20, bahwa dalam buku “Api Sejarah” karya Ahmad Mansur Suryanegara terdapat fakta sejarah yang mengungkap kontribusi para ulama dan santri dalam memperjuangkan Islam dan bangsa Indonesia, hal ini bisa menjadi teladan dan pendorong ummat Islam di Indonesia untuk berperan sebagai pejuang bagi agama, bangsa, dan negara. KH. Ahmad Sa’i21 yang lebih dikenal dengan sebutan Bah Mad Sa’i, adalah pendiri pondok Pesantren Bendo Kalasan Jarak Plosoklaten Wates Kediri, beliau berasal dari keluarga Ngayokyokarto yang dengan jiwa nasionalisnya tidak mau kerja sama dengan Kolonialist Belanda, kemudian melarikan diri ke Kediri untuk membangun lembaga pendidikan (pesantren), keluarga dan ekonomi sekaligus. Menurut Kafrawi Ridwan22, hijrahnya Bah Kiyai Ahmad Sa’i itu dapat disimpulkan bertujuan untuk membangun ekonomi yang kuat, keluarga sakinah, dan menyebarkan Islam melaui pendidikan di pesantren. Salah satu menantunya dalah KH. Abu Bakar berasal dari Godean Yogyakarta, anak tentara 19
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah: Buku yang akan Mengubah Drastis Pandangan Anda tentang Sejarah Indonesia, cet. I, (Bandung, Salamadani, 2009), h.301-302. 20 Dr. KH. Abdullah Syukrti Zarkasyi, MA adalah salah satu pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. 21 Penulis ini adalah cucu Beliau turun kelima dari salah satu lima anak kandungnya yang mengasuh pesantren Pakem Gurah Kediri. 22 Kafrawi Ridwan, cucu Beliau turun keempat, mantan Sekjen kementerian Agama RI pada masa menterinya Alamsyah Ratu Perwiranegara.
35
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
Diponegoro23, hijrah ke kediri yang kemudian mendirikan pesantren Pakem Besuk Gurah Kediri. Beberapa anak dan cucu Beliau mendirikan pesantren, yang sekarang masih eksis adalah pesantren tahfidz al-Qur’an Klodran Kediri, pesantren tahfidz al-Qur’an di Cangkring Gurah Kediri, pesantren an-Nur Tangkit Jambi dan beberapa pesantren lain yang tidak disebut satu persatu. Untuk saat ini, bila makna kurikulum adalah “sejumlah mata pelajaran tertentu yang harus ditempuh atau sejumlah pengetahuan yang harus dikuasai untuk mencapai suatu tingkat atau ijazah”24, maka dalam pesantren “salafy” hanya mempelajari agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik, meliputi bahasa Arab (nahwu, sharaf, dan balaghah), tajwid, tauhid, figh, ushul al-fiqh, qawaid alfiqh, akhlaq, tafsir, hadits, tasawwuf, mantiq, dan lain-lain; dan pesantren jenis ini di Jambi khususnya sangat sedikit. Dalam kitabkitab klasik tersebut, khususnya dalam tafsir, hadits, dan fiqh terdapat (include) semua ajaran tentang cinta tanah air dan kewargaan sekaligus, walaupun tidak secara tegas disebut pendidikan kewargaan atau cinta tanah air, maka tidak sedikit pulitikus dan negarawan yang terlahir dari pesantren jenis ini. Sementara Jenis “khalafy”, di samping mempelajari kitab-kitab klasik seperti disebut di atas juga mempelajari apa yang biasa dipelajari di sekolah “umum” setingkat SLTP dan SLTA. Dan ketika kurikulum tempo dulu mencakup mata pelajaran kewarganegaraan, Pancasila, PMP dan lain-lain, maka mata pelajaran itu diajarkan pula di pondok-pondok pesantren jenis ini. Sehingga alumninya bisa melanjutkan kejenjang penididikan tinggi baik umum maupun agama, termasuk ke luar negeri, yang kemudian alumninya tidak sedikit yang menjadi pulitikus, birokrat, dan negarawan. Alumni dari jenis pendidikan ini, justeru lebih baik dalam memahami dan mengembangkan pemikiran kewargaan, karena analisisnya luas, seluas nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan kewargaan itu sendiri dan sekaligus elaborasinya dengan nilai-nilai agama yang nyata-nyata menyangkut bidang kewargaan. Di Pesantren “khalafy”, di samping mengajarkan kurikulum berbasis kitab-kitab klasik dan kurikulum berbabis ilmu-ilmu “umum”, juga mengajarkan kegiatan ekstrakurikuler seperti kepramukaan. Dalam kepramukaan, ada beberapa pelajaran yang berisi identitas negara, negara, kewarganegaraan, konstitusi, dan demokrasi, walaupun tidak mendetail. Lagu-lagu wajib, upacara bendera, baris berbaris, UUD 45, dan lain sebagainya diajarkan lewat pramuka. Ada satu bait lagu khusus pramuka “ana al-fata al-kasysysaf”(saya 23
Anonim, 70 th Kafrawi Ridwan, Jabatan Untuk Umat: Kesaksian Kolega dan Para Sahabat, editor Marwan Saridjo, (Jakarta: Yayasan Pustaka Umat, 2002), h.4 24 S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Bandung: C.V. Jemmars), h. 5
36
Pendidikan …
pemuda pramuka) yang berbunyi “hidmatu al-authan min wajibi alinsan” yang artinya mengabdi kepada negara adalah termasuk kewajiban manusia, ini seperti isi ayat pertama dalam “Tri Satya”25. Pramuka (keparamukaan) dulunya bernama pandu (kepanduan), secara defakto berasal dari ajaran Islam atau paling kurang berawal dari ajaran Islam tentang ajaran perkumpulan kebaikan (jamiyyah alkhairat) untuk membantu kepentingan umum; lambang kepanduan internasional yang bernama Fleur de Lis, dulunya dari gambar bunga teratai yang biasa digunakan oleh Harun Al-Rasyid (170194H/786-809M) untuk menandai kumpulan-kumpulan kebaikan yang berjasa karena telah behidmad (mengabdi) kepada umum atas perintah agama Islam, kemudian Lord Boden Powell (1857-1941) mengambilnya di Afrika. Maka secara dejure, pandu didirikan oleh Boden Powell pada tahun 1901.26 Jadi Boden Powell hanya mematenkan saja, buka pendiri, karena hal itu secara historis nyatanyata dari Islam. Melalui pendidikan keparamukaan, ada bebarapa materi yang dapat diajarkan sebagai bagian dari pendidikan bela negara, yaitu mulai baris berbaris, menyanyikan lagu-lagu wajib khususnya lagu Indonesia Raya, latihan berorganisasi, Tri Satya Darma Pramuka dan lain sebagainya. Pendidikan keparamukan juga menanamkan sikap kedermawanan, tolong menolong, kemandirian dan lain sebagainya. Di dalamnya juga ada Dasa Darma, yaitu ajaran tentang sepuluh kewajiban bagi anggota pramuka, yang salah satu isinya, pada nomor yang ketiga adalah “Patriot yang sopan dan kesatria”, yang maksudnya adalah berjiwa pembela tanah air yang santun dan gagah berani, jadi setiap pramuka wajib membela negaranya secara benar dan penuh keberanian. Beberapa biografi pendidri pesantren dan fakta kurikuler di atas, dapat dijadikan argumentasi bahwa di pondok pesantren sarat dengan muatan cinta tanah air, bela negara, dan pendidikan kewargaan (civic education), dari dahulu hingga sekarang, seperti di Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta yang memiliki organisasi santri bela negara yang disingkat sabelana yang mengajarkan cinta tanah air. Hal-hal serupa itu terdapat di pesantren “salafy” apalagi di pesantren “khalafy”. Maka rasanya cukup beralasan bila dikatakan bahwa pesantren telah mengajarkan kurikulum untuk bela negara, walaupun sebenarnya pada masa-masa diberlakukannya materi 25
Isi Tri Satya: 1. Menjalankan kewajiban terhadap Tuhan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Menolong sesama hidup dan mempersiapkan diri membangun masyarakat, 3. Menepati Dasa Darma. 26 Oemar Amin Hoesin, Kultur Islam: Sejarah Perkembangan Kebudayaan islam dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional, cet. II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 317318.
37
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
kurikulum kewargaan atau civic (1957-1962), Pendidikan Kewargaan Negara (1968/1969), PMP (Pendidikan Moral Pancasila) (19751984), atau PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) di pesantren “khalafy” juga mengajarkan bidang studi itu. Dan sekarang ada mata pelajaran PKN, yaitu Pendidikan Kewargaan Negara. E. PENDIDIKAN BELA NEGARA SECARA INTEGRATIF Bila kurikulum diartikan sebagai rencana pendidikan dan pengajaran bukan hanya bidang studi atau mata pelajaran yang harus disampaikan oleh guru kepada peserta didik; maka semua proses yang mengantarkan terjadinya perubahan dan perolehan pengalaman mereka baik di sekolah maupun di masyarakat, baik bersama guru maupun tidak, berkenaan langsung dengan pelajaran atau tidak, maka inilah kurikulum yang ada di pesantren yang bersifat integral. Model pengorgasisasian kurikulum seperti ini (integratif) adalah model pengembangan kurikulum subyek akademis yang salah satunya adalah model kurikulum yang terintegrasi (integrated curriculum), yaitu pelajaran yang tersusun atas satuan-satuan pelajaran, di mana atas satuan-satuan pelajaran itu batas-batas pelajaran menjadi hilang, yang ciri-cirinya adalah: 1.Menentukan tema atau ide besar yang dapat mencakup semua ilmu atau proses kerja ilmu. 2. Menyatukan kegiatan belajar dari beberapa disiplin ilmu. 3. Menyatukan berbagai cara/metode belajar. Sehingga dengan pendekatan integratif itu, warna disiplin ilmu sudah tidak kelihatan lagi, karena bahan ajar disatukan dalam satu persoalan, kegiatan atau segi kehidupan.27 Di Pesantren, pelajaran bela negara itu pada kenyataanya terintegrasikan dalam beberapa cabang ilmu, seperti ilmu fiqh, qaid figh, dalam kepramukaan, kegiatan ekstra lain. Sehingga tidak secara khusus diajarkan dalam satu kurikulum atau mata pelajaran khusus, kecuali pada bidang studi PKN (Pendidikan Kewargaan Negara). Bahkan ada tradisi dalam pelajaran fiqh di mana pembentukan sikap toleransi dan demokratis selalu dikedepankan, seperti bila menemukan perbedaan pendapat, maka disodorkan pendapat mayoritas ulama (jumhur al-ulama’) agar dapat bersikap toleran dan jauh dari sikap fanatisme. Maka, umumnya santri memiliki jiwa toleran terhadap lainnya dan demokratis, tidak suka mempertentangkan perbedaan, tapi justru mencari kesamaan.
27
Nana Syaodih Sukmadinata, Penengembangan Kurukulum: Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 83.
38
Pendidikan …
F. PENUTUP Pesantren yang berbasis kultur Indonesia adalah kelanjutan dari budaya agama sebelumnya yang mengalami proses Islamisasi, di dalamnya sarat dengan pendidikan karakter dan mengandung pendidikan cinta negara dan bahkan bela negara. Maka, cukup dengan kurikulum yang ada bila hanya menginginkan penanaman nilai patriot bangsa, tidak perlu kurikulum khusus, karena secara integratif, telah ada materi-materi cinta tanah air dan bela negara, walaupun tidak menolak untuk mengajarkan PKN. Maka dengan begitu, kurikulum pesantren lebih kaya akan nilai cinta tanah air dan bela negara.
REFERENSI Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah Munawwarah: Mujamma’ Khadim al-Haramain asy-Syarifain al-Malik Fahd li thiba’at al-Mushhaf asy-Syarif, t.th) Al-Abrasyy, Muhammad Atiyah ,Ruh at-Tarbiyah wa at-Ta’lim, (Tanpa Kota: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, tanpa tahun). Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah: Buku yang akan Mengubah Drastis Pandangan Anda tentang Sejarah Indonesia, cet. I, (Bandung: Salamadani, 2009) Al-Ajluny al-Jarrahy, as-Syeikh Ismail bin Muhammad, Kasyf al-Khafa’ wa Mazil al-Ilbas ‘Amma Isytahara min al-Ahadits ‘Ala Alsinat anNas, jilid I, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Araby, 1351 H). Anonim, 70 th Kafrawi Ridwan, Jabatan Untuk Umat: Kesaksian Kolega dan para Sahabat, editor Marwan Saridjo, (Jakarta: Yayasan Pustaka Umat, 2002). Anonim, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Dep. Pendidikan Nasional RI, 2003) Oemar Amin Hoesin, Kultur Islam: Sejarah Perkembangan Kebudayaan islam dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional, cet. II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). S. Nasution, Prof., Asas-Asas Kurikulum, (Bandung: C.V. Jemmars). Mastuhu, Prof., Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994). Madjid, Nurcholish, Prof., “Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren”, dalam Kusnanto (ed.), Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997). 39
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
M.Tholchah Hasan, KH., Hak-Hak Asasi Manusia dan Pluralisme Agama: Tinjauan Kultural dan Teologi Islam), dalam Ham dan Pluralisme Agama, (Jombang: CV. Fatma. 1997). M. Quraish Shihab, Prof., Tafsir l-Qur’an al-Karim: Tafsir atas SuratSurat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997). Nana Syaodih Sukmadinata, Prof., Pengembangan Kurukulum: Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999). Sumantri, Muhammad Numan, Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, (Bandung: Rosda Karya, 2001). Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, & Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE Syahid Jakarta, 2003). Ziemek, Manfret ,Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: Penerbit P3M, 1986).
40