UANG NAI’: ANTARA CINTA DAN GENGSI Sri Rahayu Yudi Universitas Jambi Jl. Raya Jambi- Muara Bulian Km15, Jamlbi Surel:
[email protected]
http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6018
Jurnal Akuntansi Multiparadigma JAMAL Volume 6 Nomor 2 Halaman 175-340 Malang, Agustus 2015 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879
Tanggal Masuk: 2 April 2015 Tanggal Revisi: 11 April 2015 Tanggal Diterima: 14 Juli 2015
Abstrak: Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi. Studi ini bertujuan memahami doi menre atau uang Nai’ dalam Budaya Panai’ Bugis Makassar saat menentukan besaran uang belanja perkawinan. Data dianalisis dengan menggunakan pola budaya perkawinan adat masyarakat Bugis yang dikemukakakan oleh Lamallongeng. Hasil penelitian menemukan bahwa fenomena tingginya uang Nai’, mahar dan sompa dipandang kaum muda Bugis dan orang luar sebagai bentuk harga. Lamaran dianggap transaksi antara kedua keluarga calon pengantin. Pandangan ini keliru, sebab budaya panai’ merupakan bentuk penghargaan budaya Bugis terhadap wanita, siri’, prestise dan status sosial. Uang nai’ merupakan bentuk penghargaan keluarga pihak pria terhadap keluarga wanita karena telah mendidik anak gadisnya dengan baik. Abstract: Money of Na’i: Between Love and Prestige. This study is aimed to understand doi menre or money of Na’i at Panali’ in the culture of Bugis Makassar in determining amount of the spending in a wedding. The study was analysed by wedding culture pattern stated by Lamallongeng. The result shows that the high amount of uang Nai’ dowry and sompa has been viewed by youth and society as a form of price. Panai culture is a form of Bugis culture appreciation to the bride, siri’, prestige, and social status instead of a mere transactional between two families. Nai’ money is in fact as an appreciation of the groom’s family to the bride’s family because they have educated the woman well. Kata Kunci: Budaya Panai’, Mahar, Uang Nai’, Sompa,Siri’
Diskursus mengenai akuntansi dan budaya bukan hal yang baru (lihat misalnya Randa dan Daromes 2014) dan menjadi penting karena akuntansi harus dipahami sebagai bentukan dari budaya di mana akuntansi tumbuh. Artikel ini menelaah bagaimana akuntansi penetapan uang nai’ atau harga suatu pernikahan dilandasi oleh nilainilai budaya lokal. Budaya Panai’ merupakan proses penentuan jumlah uang belanja pesta perkawinan yang berasal dari daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Budaya ini juga masih kuat dipertahankan oleh sebagian besar orang Bugis-Makassar perantauan. Walaupun sudah meninggalkan daerah nenek moyang bertahun-tahun, bahkan telah lahir di daerah perantauan, budaya panai’ tetap juga digunakan dalam proses lamaran sebelum pernikahan. Budaya ini menimbulkan
kegelisahan bagi pihak laki-laki baik dari masyarakat Bugis maupun dari luar masyarakat Bugis berkaitan dengan mahalnya uang nai’ yang akan diberikan oleh pihak keluarga laki-laki. Bagi orang tua sederhana yang mempunyai anak laki-laki akan meranaan yang sa gelisah oleh masalah penda harus disediakan untuk doi menre. Sementara pihak wanita yang menunggu datangnya lamaran dari seorang laki-laki juga akan gelisah karena kekhawatiran tidak adanya laki-laki yang menyanggupi doi menre yang ditetapkan oleh keluarganya. Sesuai dengan adat yang berlaku dalam masyarakat Bugis, persyaratan lebih banyak dibebankan kepada pihak laki-laki. Hampir seluruh pembiayaan dalam pelaksanaan perkawinan ditanggung oleh pihak laki-laki (Lamallongeng 2007: 6). Pembiayaan terse-
224
Rahayu, Yudi, Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi
but yaitu: uang belanja (dalam bahasa Bugis doi menre/uang panai’ (selanjutnya akan disebut uang nai’ atau doi menre secara bergantian), sompa/mahar, leko/sirih pinang, mappaota dan pallawa tana. Masyarakat Bugis akan mengatakan seroang laki-laki bisa kawin jika “mampu mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali sehari” yang artinya seorang laki-laki barulah dianggap mampu untuk kawin jika segala yang diperlukan untuk masak di dapur dapat dipenuhinya. Realitanya, saat ini masih ada “perawan tua”, sebuah istilah bagi perempuan yang sudah dewasa namun belum menikah, karena tak ada lelaki yang sanggup memenuhi persyaratan uang panai’nya atau memang tidak ada lelaki yang berani melamarnya, karena persoalan uang panai’ yang terlalu mahal (Arifuddin 2013). Selanjutnya, Arifuddin menyebutkan adanya headline Tribun Timur edisi Senin (4/11/2013) tentang berita penikaman yang terjadi karena uang panai’ yang kurang sebesar tujuh juta rupiah. Atas nama siri’ na pace darah harus tumpah. Menurut Arifuddin, ini adalah berita headline tentang penikaman karena uang nai’/panaik/doi menre kesekian yang ditampilkan oleh surat kabar harian. Tak terhitung pula rencana pernikahan yang terpaksa dibatalkan karena pihak orang tua atau wali perempuan bersikukuh dengan nominal tertentu. Seiring perjalanan waktu, uang nai’ telah menjadi momok tersendiri khususnya bagi kaum muda. Fenomena lain yang muncul kaum muda memandang uang nai’ ini sebagai hasil kesepakatan penentuan harga, sehingga budaya panai’ dipandang bersifat transaksional antara pihak laki-laki dan pihak perempuan. Artikel ini mencoba memahami apa itu budaya panai’ bagi masyarakat Bugis perantauan? Selain itu, nilai apa yang ada dibalik budaya panai’?. METODE Studi ini merupakan studi dengan pendekatan kualitatif, peneliti langsung menjadi instrumen studi. Seseorang hanya dapat memahami dunia sosial dengan memperoleh pengetahuan langsung mengenai subjek yang diinvestigasi (Burrel dan Morgan 1979). Interaksi sosial masing-masing individu harus dipahami secara totalitas (Sawarjuwono 2005). Setiap tindakan manusia pada dasarnya bermakna, melibatkan penafsiran, berpikir dan disengaja (Mul yana 2003: hlm. 61). Obyek dari penelitian
225
ini adalah manusia, sehingga penelitian ini kurang sesuai jika dilakukan dengan kuantitatif, mengingat paradigma fungsionalis dari ilmu sosial cenderung mengartikulasi dunia sebagai artefak empiris dan hubung an yang ada dapat diidentifikasi dan diukur dengan ilmu natural seperti ilmu biologi dan mekanik (Burrel dan Morgan 1979: hlm. 26). Oleh karena itu, penelitian-penelitian dalam paradigma ini selalu menekankan obyektivitas yang tinggi, sehingga obyek berdiri sendiri secara independen dengan subyek yang menciptakannya, sehingga menghadirkan obyek tersebut “bebas dari nilai” subyek (Triyuwono, 2002). Terdapat lima keberatan penting dalam menggunakan model natural science untuk diterapkan pada penelitian ilmu sosial dan keperilakuan. Pertama, keunikan: setiap organisasi memiliki keunikan, perilaku dan teori organisasi umum belum tentu dapat digunakan untuk semua organisasi. Kedua, ketidakstabilan: fenomena ilmu alam yang sifanya teratur dan cenderung stabil sa ngat berbeda dengan fenomena ilmu sosial dan keperilakuan yang terus berubah dalam dimensi waktu dan ruang, Ketiga, sensitivitas: orang dan organisasi pada hakikatnya berperilaku sensitif. Keempat, kurang rea listis: pengendalian variabel bisa mengubah fenomena riil yang dipelajari dan kelima, perbedaan epistemologi: pemahaman sebab akibat sesuai untuk ilmu alam tetapi kurang tepat digunakan untuk eksplorasi perilaku manusia (Behling 1980). Ketika cara berpikir ilmu alam dipaksakan untuk mengkaji perilaku manusia, maka memang banyak persoalan yang muncul (Irianto 2006). Studi ini memahami bentuk realitas akuntansi yang ada dalam suatu kelompok budaya tertentu. Kelompok budaya yang menjadi obyek kajian adalah budaya panai’ dalammasyarakat Bugis. Metode analisis data yang digunakan adalah pola budaya perkawinan adat dalam masyarakat Bugis yang dikemukakan oleh Lamallongeng (2007). Budaya perkawinan masyarakat Bugis ini memiliki tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Mammanu’manu’. Mamanu’manu’ ber arti melakukan kegiatan seperti burung yang terbang ke sana ke mari. Tahap ini merupakan langkah awal yang dilakukan oleh orang tua laki-laki yang bermaksud mencarikan jodoh bagi anaknya. Setelah menemukan seorang gadis yang menurut pertimbangan bisa dijadikan isteri bagi
226
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 224-236
anaknya, langkah selanjutnya adalah menyelidiki keadaan gadis calon mempelai (mappese’pese’). Kegiatan ini dilakukan oleh keluarga dekat gadis tersebut untuk mengetahui bagaimana tingkah laku, kesehatan, dan sebagainya. 2. Tahap Mappese’pese’. Biasanya yang melakukan kegiatan ini adalah keluarga dekat gadis untuk melihat keadaan gadis tersebut. Setelah memenuhi persyaratan yang diinginkan pihak laki-laki, maka dibuatlah kesepakatan untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu meminang (massuro). 3. Massuro. Pada tahap ini pihak laki-laki mengutus orang yang dianggap disegani untuk mabbaja laleng (merintis jalan). Jika pihak perempuan belum merasa puas dengan acara peminangan, mereka akan menelusuri lebih jauh tentang asal usul laki-laki (mattutung lampe). Setelah terjadi kesepakatan bahwa lamaran pihak laki-laki telah diterima dengan baik oleh pihak orang tua perempuan maka ditentukanlah acara mappettu ada (memutuskan segala keperluan pernikahan). 4. Mappettu Ada. Tahap ini membicarakan tanra esso (penentuan hari pernikahan), doi menre (uang belanja), dan sompa (mahar).Tanra esso mempertimbangkan waktu-waktu yang luang bagi keluarga. Biasanya yang paling menentukan hari pernikahan adalah dari pihak perempuan, sementara pihak laki-laki mengikuti. Dalam masyarakat Bugis Bone, hari-hari hajatan, termasuk pernikahan, ditentukan oleh orang pintar di kampung itu. Uang belanja (doi menre) merupakan uang yang akan digunakan sebagai biaya pesta. Besaran uang belanja sangat ditentukan oleh besar kecilnya rencana pesta dan harga yang berlaku di pasaran. Sundrang atau sompa (mahar) adalah pemberian pihak laki-laki kepada perem-
puan yang dinikahinya berupa uang atau benda sebagai syarat sahnya perkawinan. 5. Mappaere Botting. Tahap ini merupakan acara prosesi puncak perkawinan, mempelai laki-laki diantar ke rumah mempelai perempuan. 6. Mapparola. Pada tahap ini, mempelai perempuan diantar oleh keluarga dan sanak saudaranya ke rumah keluarga laki-laki. Tahap ini dilaksanakan setelah akad nikah atau keesokan harinya dengan pakaian seperti pakaian pada hari pernikahan. Pihak keluarga laki-laki akan memberikan sesuatu/hadiah kepada mempelai perempuan sebagai tanda syukur (mappaota). Empat dari enam tahap yang disampaikan oleh Lamallongeng (2007) digunakan untuk penelitian ini. Tahap lima dan enam tidak lagi berkaitan dengan penentuan uang nai’. Pada tahap keempat merupakan pro sesi pernikahan dan tahap lima acara setelah pernikahan. Penentuan uang nai’ terjadi sebelum prosesi pernikahan. Tahap analisis data lapangan dilakukan menggunakan empat tahapan yaitu tahap reduksi data, penentuan tema, penafsiran atas data, dan analisis pola temuan. Rangkaian pola disusun untuk menggambarkan bagaimana suatu budaya tetap dijalankan oleh kelompok tertentu. Hasilnya adalah potret kebudayaan yang holistik dari kelompok tersebut dari sudut pandang partisipan dan peneliti. Situs studi adalah kelompok masyarakat Bugis perantauan. Walaupun telah merantau dalam kurun waktu yang cukup lama, kelompok ini masih mempertahankan budaya panai’ dalam tradisi lamaran. Informan yang dipilih dalam studi ini adalah orang Bugis yang sudah lama merantau ke situs penelitian. Peneliti menggali dari berbagai sudut pandang yaitu antara lain dari orang tua seperti tokoh himpunan keluarga
Tabel 1. Daftar Informan Penelitian No. Nama
Keterangan
1
Bapak H
Mantan Ketua Himpunan Keluarga Makasar di situs penelitian
2
R
Gadis Bugis yang belum menikah
3
Y
Wanita Bugis menikah dengan pria non Bugis
4
AS
Pria Bugis menikah dengan wanita Bugis
5
AM
Pria Bugis menikah dengan wanita non Bugis
6
N
Wanita Bugis menikah dengan pria Bugis
Rahayu, Yudi, Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi
Sulawesi Selatan di situs penelitian dan kaum muda Bugis baik wanita Bugis yang belum menikah maupun yang sudah menikah. Peneliti memilih orang-orang yang sudah lama dan sering berinteraksi dengan peneliti sebagai informan. Hal ini penting dalam proses wawancara. Wawancara melibatkan dua proses yang berbeda namun saling melengkapi yaitu mengembangkan hubungan dan meminta informasi. Hubung an mendorong informan untuk berbicara tentang budaya mereka. Informasi yang diperoleh pun akan mendorong perkembangan hubungan antara informan dan peneliti (Spradley 1979). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dengan enam orang informan tersebut. Selain itu, pengalaman pribadi peneliti selama berinteraksi dengan kelompok masyarakat ini juga dijadikan se bagai tambahan informasi untuk analisis. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem kekerabatan dan perkawinan Bugis Makassar. Suku Bugis Makassar adalah suku dominan mendiami daerah provinsi Sulawesi selatan. Selain suku Bugis Makassar terdapat beberapa suku lain di antaranya suku Toraja, suku Mandar, suku Duri dan suku Kajang. Makassar adalah kota pelabuhan terbesar di Sulawesi Selatan (Pelras 2006 dan Poelinggomang 2002) dan sejak abad ke 18 Masehi banyak orang Bugis bermukim di sana (Pelras 2006:16). Sejak dahulu orang Bugis Makassar dikenal sebagai pelaut ulung dan perantau (Kahar 2012). Mobilitas mereka yang tinggi menjadikan banyak yang menjadi perantau. (Pelras 2006:5). Ke gemaran berlayar dan merantau menjadikan mereka tersebar di hampir seluruh daerah di nusantara, bahkan sampai ke mancanegara. Hasil penyebaran ini membentuk istilah “kampung Bugis” dan “kampung Makassar” di berbagai daerah atau di luar negeri (Kahar 2012). Orang luar biasanya tidak dapat membedakan antara orang Bugis dan Makassar. Selain itu, kata Bugis dan Makassar sering disandingkan sehingga banyak menganggap itu adalah sinonim. Padahal orang Bugis dan Makassar tetap merupakan dua entitas yang berbeda (Kahar 2012:16). Dewasa ini, setiap orang Sulawesi selatan yang beragama islam, ketika berada di luar provinsi, dengan senang hati memperkenalkan diri sebagai orang Bugis (Kahar 2012: hlm. 16). Salah
227
satu keunikan orang Bugis atau Makassar adalah komitmen mempertahankan identitas, norma, adat dan nilai kearifan daerah asal mereka, walaupun mereka telah lama berada di perantauan (Kahar 2012). Salah satu budaya yang terus di pertahankan masyarakat Bugis adalah tradisi budaya panai’dalam proses lamaran dan upacara perkawinan. Perkawinan merupa kan ikatan lahir dan bathin antara laki-laki dan perempuan. Menurut KBBI, perkawinan berasal dari kata kawin yang berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis. Dalam masyarakat Bugis, upacara perkawinan menandai dimulainya jalinan hubungan berdasarkan cinta kasih yang sah menurut adat dan agama (Lamallongeng 2007: 1). Namun, upacara perkawinan, dalam bahasa Bugis disebut tudang botting, bukan hanya menyatukan dua orang menjadi sepasang suami istri, tetapi juga menyatukan dua rumpun keluarga yang lebih besar yaitu keluarga dari pihak mempelai laki-laki dan keluarga dari pihak mempelai wanita (Lamallongeng 2007:2). Begitu bangganya orangtua dalam masyarakat Bugis yang telah berhasil me ngawinkan anaknya, mereka mengungkapkannya sebagai mabbatang tauni anakku, yang berarti anakku telah menjadi manusia sempurna. Berdasarkan ungkapan tersebut seorang anak yang mulai dewasa dan belum menikah dianggap belum menjadi manusia yang sempurna. Pemilihan jodoh (pasangan hidup) bagi masyarakat Bugis mengalami perubahan. Hal ini dijelaskan oleh Bapak Haji, seorang pemuka Adat Bugis di Situs studi yang juga pernah menjadi ketua Himpunan Keluarga Sulawesi Selatan di situs tersebut. “Kondisi sekarang berbeda dahulu dengan sekarang. Orang Bugis, sebelum tahun 70-an, anak perempuan itu, mohon maaf peremuan itu di pingit. Saya masih ingat setamat SD, kakak perempuan saya tidak boleh keluar rumah. Sehingga tidak mungkin ia bertemu de ngan laki-laki. Kalaupun mau keluar rumah untuk kegiatan tertentu dia harus pakai kerudung, tidak nampak wajah. Hal ini tidak memungkinkan ia untuk berhubungan langsung dengan laki-laki, paling-paling mengintip dari balik jendela.... Sehingga tidak mungkin berhubungan lang-
228
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 224-236
sung...... perempuan Bugis harus di jodohkan...Sekarang, pemilihan jodoh lebih dikarenakan perkenalan terlebih dahulu antara lakilaki dan perempuan, atau mereka telah lebih dulu kenal satu sama lainnya baru dikenalkan ke keluarga”. Dari penjelasan Pak Haji, diketahui bahwa masalah pemilihan jodoh bagi masyarakat Bugis dahulu selalu dipilihkan oleh orang tua. Kedua mempelai saling kenal setelah duduk di pelaminan atau setelah masing-masing membuka pakaian pengantin yang ditandai dengan suatu acara yang disebut ripasiewa ada (disuruh saling menyapa) (Lamallongeng 2007: 9). Rasa kekeluargaan orang Bugis sangat kuat. Keluarga batih (inti) terdiri atas ayah, ibu dan anak yang disebut sianang(maranak). Sistem kekerabatan menganut garis bilateral atau parenta yang mengakui keluarga luas. Semua orang yang mempunyai hubungan darah jauh dan dekat disebut seajing atau sumpung lolo (hati tersambung) (Soeroto 2003). Acara pernikahan dianggap sebagai acara silaturahmi keluarga besar. Hal ini diungkapkan oleh Rianti: “justru pesta nikah itu, acara kumpul dan silaturahmi keluarga besar. Keluarga di Makassar ikut menentukan, misal ayuk kakak nikah kemaren, paman kakak yang di Makassar yang menentukan. Mamak (ibu) kakak dak berhak menentukan. Karno paman itulah wali tertuo dari keluarga bapak” Dalam proses lamaran, paman tertua dari pihak ayah calon pengantin wanita biasanya memiliki peran penting. Dalam pernikahan mereka menganut pedoman memi lih jodoh yang sitongko’ atau sikapu (artinya sepadan), terutama status sosialnya. Jodoh yang dianggap ideal apabila berasal dari status sosial yang sama dan masih memiliki hubungan darah seperti sepupu satu kali atau dua kali (Soeroto 2003). Proses Negosiasi dalam Budaya Panaik. Lamallongeng (2007:13) menggambarkan dialog antara A, to madduta (orang yang membawa lamaran) dengan B, to riaddutai (orang yang menerima lamaran) seperti berikut:
A: Iyaro bunga puteta-tepu tabbaka toni, engkanaga sappona? (Bunga putih yang sedang mekar, apakah sudah memiliki pagar?) B: De’ga pasa ri kampotta, balanca ri liputta mulinco mabela? (Apakah tidak ada pasar di kampung anda, jualan ditempat anda sehingga anda pergi jauh?) A: Engka pasa ri kampokku, balanca ri lipukku, nekiya nyawami kusappa. (Ada pasar di kampungku, jualan di tempatku, tetapi yang kucari adalah ahti yang suci/budi pekerti yang baik). B: Iganaro maelo ri bunga puteku?, temmakkedaung, temmakkecolli’. (siapakah yang berminat terhadap bunga putihku?, tidak berdaun, tidak pula berpucuk). Tahap Mammanu’manu’. Tahap ini merupakan tahapan paling awal dari rencana pernikahan. Orang tua bermaksud mencari jodoh untuk anak laki-lakinya yang dianggap sudah dewasa dan siap menikah. Dulu orang tua yang menentukan calon gadis yang akan dilamar. Sekarang sebagian besar orang tua sudah mempertimbangkan pergaulan keseharian anaknya. Dalam arti apabila anak sudah membina hubungan dengan seorang gadis, hal ini ikut dijadikan pertimbangan oleh orang tua. Informan Y menyebut tahap ini sebagai manu’-manu’ seperti kebiasaan burung yang terbang ke berbagai arah untuk menetapkan pilihan tempat tinggal. Setelah menemukan seorang gadis yang akan dilamar, langkah ini dilanjutkan dengan mappese’pese’ (menyelidiki). Tahap Mappese’pese’. Tahap ini sering dianggap sebagai tahap awal dari prosesi lamaran. Informan R menggambarkan proses awal lamaran dimulai dari adanya pihak atau utusan yang mencari informasi tentang calon wanita, seperti apakah sudah ada yang melamar? Dan kisaran besaran uang nai´ yang biasa diterima oleh keluarga gadis tersebut. Beliau menyampaikan “keluarga kakak, kisarannya antara 30-100 juta, di lamaran terakhir 80 juta, itu hanya untuk uang nai’ saja, belum yang lain”. Hal ini dilakukan untuk menghindari malu, apabila lamaran resmi dilakukan dan ternyata keluarga calon mempelai laki-laki tidak mampu memenuhi permintaan keluarga wanita. Utusan ini biasa dipanggil To duta. Panggilan lain untuk utusan di situs penelitian adalah mak comblang. Duta biasanya berasal
Rahayu, Yudi, Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi
dari keluarga dekat laki-laki untuk melihat keadaan gadis tersebut. Setelah memenuhi persyaratan yang diinginkan pihak laki-laki, maka dibuatlah kesepakatan untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu meminang (massuro). Tahap Massuro. Pada tahap ini utusn pihak laki-laki mulai membicarakan secara serius tentang kesepakatan lamaran. Duta pada tahap ini bisa sama atau berbeda de ngan tahap sebelumnya. Duta pada tahap ini biasanya dipilih orang yang disegani dari pihak keluarga laki-laki. Proses pada tahapan ini bisa terjadi berulang-ulang, karena duta harus mengkomunikasikan hasil pembicaraan dengan keluarga perempuan ke keluarga laki-laki dan begitu pula sebaliknya sampai ditemukan kesepakatan. Terkadang keluarga perempuan juga menelusuri tentang asal usul laki-laki yang sering disebut sebagai mattutung lampe. Tahap ini hanya dilakukan apabila calon mempelai laki-laki bukan berasal dari keluarga dekat. Penentuan hari dan teknis acara lamaran dibicarakan pada tahap ini. Pihak keluarga wanita juga menyampaikan permintaan terkait uang nai’, barang-barang antaran dan sompa ke duta. Kesepakatan sementara tentang mahar dan lainnya termasuk penerimaan pinangan biasanya telah diambil pada tahap ini. Walaupun kesepakatan ini bisa berubah pada tahap berikutnya. Setelah terjadi kesepakatan sementara maka dilanjutkan dengan acara mappettu ada (memutuskan segala keperluan pernikahan). Tahap Mappettu Ada. Tahap ini menjadi tahap resmi lamaran. Dalam proses lamaran resmi biasanya orang tua dari pihak laki-laki tidak datang, bahkan bisa juga tidak hadir pada acara pernikahan. Orang tua pihak wanita jika mau hadir hanya duduk saja tanpa hak bicara. Rianti menggambarkan tabu apabila orang tua ikut bicara dalam proses lamaran. Orang kepercayaan dari keluarga besar yang akan bicara dalam acara resmi sekaligus memutuskan. Terkadang beberapa kesepakatan awal melalui duta bisa saja berubah pada acara resmi ini. Pemegang kendali di sini bukanlah orang tua atau calon pengantin tetapi keluarga besar. Hal ini menjadi cerminan dari sistem komunal masyarakat Bugis. Proses negosiasi kedua belah pihak ini seringkali berjalan cukup alot, hal ini digambarkan oleh istri Bapak Haji:
229
“Saat acara Mappettu Ada (berunding) adik S dulu, penentuan uang nai’ rame tu... Istri S masih keturunan bangsawan. Uang nai’ yang diminta besar. Pihak keluarga laki-laki awalnya merasa berat....Perempuannya tidak ada di Jambi. Kemudian dia mene lepon si laki-laki. Karena sudah saling mencintai si laki-laki tetap memenuhi keinginan dari pihak perempuan...” Pak Haji juga menjelaskan proses penentuan doi menre/uang belanja sebagai berikut: “Doi menre/uang belanja, bukan mahar yo... penentuan uang belanja ini memang, kadang-kadang kan orang..itu yang khawatirnya.. tidak mau rugi dari pihak perempuan, pihak laki-laki menanggung semuanya. Pihak perempuan menentukan misalnya... terjadilah tawar menawar di sini (seru, bahkan pihak keluarga adik S mau bertengkar dengan pihak perempuan (tambah bu Haris)... misalnya, saya ini dari pihak perempuan mungkin keturunan bangsawan, sedangkan pihak laki-laki berasal dari orang biasa. mungkin menjaga gengsi ditawarkan seratus juta. Juga memperhatikan kondisi, situasi untuk biaya pernikahan perlu pesta besar-besaran, mau sewa gedung, mau makan ini-itu... biasanya orang Bugis potong sapi dan kerbau, jadi harga tinggi....Tapi ini bisa saling tawar” Dalam proses lamaran, seperti dijelaskan oleh Informan Yana, pihak laki-laki biasanya datang dua kali yaitu untuk penyerahan leko’ lompo (besar) yaitu uang nai’ atau mahar dan leko’ ca’di (kecil) berupa antaran pakaian, perhiasan, kosmetik, sembako dan lainnya. Acara penyerahan keduanya umumnya dilakukan terpisah, tetapi untuk kondisi tertentu saat ini juga sudah ditemukan tidak terpisah. Apabila terpisah, maka yang harus duluan adalah penyerahan leko’ lompo. Selain kedua leko’ itu, adalagi namanya sundrang atau sompa artinya pemberian keluarga laki-laki untuk mempelai wanita umumnya dalam bentuk tanah atau emas. Emas di sini tidak sama dengan perhiasan emas yang ada di dalam leko’ ca’di.
230
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 224-236
Dalam tradisi keluarga informan Rianti, Sundrang minimal seperempat hektar dan tidak boleh dijual. Informan Haji juga menjelaskan bahwa sompa merupakan hak pengantin perempuan, bukan hak keluarga perempuan. Jadi, jika pengantin laki-laki (suami) meninggal, istri memperoleh jamin an hidup dari sompa/sundrang ini. Jenis antaran lainnya seperti perhiasan, kue-kue, pakaian, dan lainnya tergantung kesepakatan. Umumnya menyesuaikan dengan status wanita, apabila wanita bangsawan maka semua jenis barang paketnya empat, tapi wanita biasa paketnya hanya dua. Di daerah-daerah saat ini keluarga wanita masih memajang seluruh antaran di depan pelaminan saat pesta pernikahan. Pengantin pria juga akan menyebutkan jumlah uang nai’ dan sundrang yang dibawanya untuk pe ngantin wanita pada saat akad nikah. Unsur penentu nominalisasi uang nai’. Lamallongeng (2007) menjelaskan bahwa dalam memilih jodoh, orang Bugis biasanya memperhatikan faktor obyektif dan subyektif. Faktor obyektif, yaitu adanya kesiapan untuk berumah tangga. Faktor ini menitikberatkan pada masalah ekonomi, kedewasaan, mental, karakter, kecerdasan, dan lain sebagainya. Faktor subyektif, yaitu adanya dasar saling cinta mencintai. Faktor ini muncul setelah terlaksananya perkawinan. Pada umumnya mempelai dijodohkan oleh orang tua dan tidak saling mengenal sebelum menikah. Saat ini, lapisan sosial dalam masyarakat Bugis masih dipengaruhi besaran uang nai’. Jumlah doi menre, menurut Pak Haji sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi, kompromi, gengsi dan status sosial (bangsawan, pendidikan, dan haji). Informan R juga mengungkapkan hal yang tidak jauh berbeda: “Status kebangsawanan itu jelas, cewek tu udah haji atau belum (kalu udah makin mahal ri”), kareno bagi orang Bugis, haji tu status sosialnyo tinggi, di acara pengantin atau acara kampung be pakaian yang sudah haji beda.. terus tempat duduknyo jugo beda. Pokoknyo dapat prioritaslah. Trus status pendidikan, status pekerjaan, status ekonomi. Umumnyo cewek dari keluargo kayo lebih mahal uang nai’nyo dari pado dari keluargo miskin.. aneh khan???.
Status Kebangsawanan Bugis itu ada Andi, Besse (cewek) dan Basso (cowok), Indo (cewek) dan Ambo (cowok), selain ketiganya itu masuk orang biaso. jadi benar-benar prestise dan riya’ untuk menjago siri’ kuat nian dalam tradisi lamaran kami.” Dalam adat Bugis, pencapaian derajat tinggi dalam sistem stratifikasi sosial sangat penting (Pelras 2006). Pengakuan strata sosial bukan hanya pada pernikahan saja, tetapi juga pada aktivitas masyarakat umum lainnya seperti di tempat kerja (Salman 2006). Dalam masyarakat Bugis, lapisan sosial sering menjadi pertimbangan dalam mencari jodoh. Lapisan sosial dalam masyarakat Bugis memiliki tingkatan. Tingkatan tersebut antara lain: Bangsawan Tinggi, Bangsawan Menengah, Arung Palili, Todeceng, To Maradeka, dan Ata (Hamba). Tingkatan ini akan mempengaruhi pertimbangan dalam hal perjodohan, uang belanja dan mahar. Dahulu, hubungan antara anak bangsawan dengan anak orang biasa, apalagi anak seorang hamba dianggap suatu pelanggaran yang disebut nasoppa’ tekkenna (Lamallo ngeng 2007). Nasoppa’ tekkenna berarti tertusuk oleh tongkatnya sendiri. Hal yang memungkinkan seorang laki-laki yang berasal dari golongan biasa dapat mengawini wanita dari golongan bangsawan adalah harus memiliki kelebihan. Kelebihan tersebut diantaranya pemberani (to warani), orang kaya (to sugi), cendikiawan atau pemuka agama (Lamallongeng 2007). Pada kalangan bangsawan tinggi, ini masih terus dijaga, untuk memelihara “darah putih” yang mengalir di kalangan mereka (Pelras 2006). Rencana besar atau kecilnya pesta yang akan diselenggarakan serta harga yang berlaku dipasaran juga menjadi penentu jumlah uang nai’. Dari penjelasan Pak Haji dapat diketahui apabila pihak perempuan akan melakukan pesta besar, maka uang belanja yang ditanggung oleh pihak laki-laki menjadi tinggi. Kecuali kalau antara lakilaki dan perempuan memiliki saling pengertian sesuai dengan kemampuan pihak lakilaki. Perlengkapan kamar pengantin bukan merupakan bagian antaran umum bagi orang Bugis, tetapi di situs studi biasanya ikut diberikan oleh calon mempelai pria. Hal ini mengikuti adat istiadat umum di daerah perantauan.
Rahayu, Yudi, Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi
231
Tabel 2.Jumlah Sompa Berdasarkan Tingkatan dalam Masyarakat Bugis di Masa Lalu Nama Tingkatan
Jumlah Sompa
Bangsawan Tinggi
88 real + satu orang hamba (ata) senilai 40 real + satu ekor kerbau senilai 25 real
Bangsawan Menengah
44 real
Arung Palili
40 real
Todeceng (orang baik-baik)
28 real
To Maradeka (orang biasa-biasa)
20 real
Hamba (ata)
10 real
Sumber: Lamallongeng (2007)
Khusus untuk sundrang atau sompa pada masa lalu itu dinilai dengan real yaitu mata uang lama Portugal. Tabel 2 berikut menjelaskan jumlah sompa berdasarkan tingkatan dalam masyarakat Bugis. Saat ini jumlah sundrang/sompa umumnya dalam bentuk tanah atau emas se perti yang diungkapkan oleh informan Rianti dan Yana. Uang nai’: dominasi budaya dan orang tua?Petikan ungkapan dari informan R di bawah dapat dianggap mewakili pandangan kaum muda Bugis perantauan yang merasa terdominasi oleh budaya dan orang tua. “ Kadang kalau dipikir, Jadi nyo khan kasihan, ngapo banyak kami yang belum nikah.... Kareno pertimbangan adat istiadat ini yang menghambat.. cowok Bugis banyak nikah keluar.. Cowok luar udah takut duluan.. baru tau orang Bugis, udah kebayang duit lamaran besar.. “mengundurkan diri... jalan terbaik bagi ku... (informan menyanyikan lagu dang dut) sambil tertawa”. Padahal khan belum tentu keluargo cewek benar-benar dak biso diajak run dingan, tapi udah semacam trauma atau takut yo dengan adat Bugis tu.. kalau ke Sulawesi pun banyak gadis tuo, tahan anaknyo dak nikah-nikah demi mempertahankan adat. Kadang anak la dilamar, Cuma kareno cowok tu dak cukup modal atau caro datangnyo dak sesuai adat di tolak.. memang jodoh tu di tangan Tuhan, tapi ka-
lau gini sebenarnyo tanpa sadar orang tuo bedoso menghambat anak khan..” Informan Rianti ini juga menyampaikan dengan sedih, bagaimana kuatnya orang Bugis menjaga adat istiadat leluhur yang bisa jadi kadang berlebihan. Adat lebih kuat. Bahkan terkadang beliau menganggap esensi secara agama diabaikan demi mempertahankan adat. Beliau mengungkapkan “seharusnya adat tu biso dikompromikan, tapi bagi yang tuo-tuo umumnyo tetap keukeh dengan adat. Hanya takut menjadi pembicaraan di masyarakat”. Adat sebenarnya kebiasaan bukan syarat atau rukun nikah. Rukun nikah secara agama hanya wali, hakim atau yang menikahkan dan ada mahar. Mahar pun tidak harus dalam bentuk materi, zaman Rasulullah dulu pernyataan keislaman atau hafalan pun sudah bisa diterima sebagai mahar. Selain sebagai biaya pesta pernikahan, besaran uang nai’ dapat dijadikan alasan untuk menolak secara halus pinangan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Tingginya uang nai’ menegaskan kedudukan sosial maupun garis keturunan anak gadis mereka tidak boleh dianggap remeh. Proses penolakan dijelaskan oleh Pak Haji sebagai berikut: Tapi ada juga sengaja membuat tinggi harga karena pihak perempuan tidak mau, untuk menghambat, agar pihak laki-laki mundur. Ketidaksukaan mungkin karena faktor-faktor tertentu, misalnya pihak perempuan merasa lebih tinggi kedudukannya, keturunan
232
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 224-236
raja, orang kaya, sedangkan pihak laki-laki dari orang biasa-biasa saja..”. Pertimbangan perasaan dan rasa cinta antara calon pengantin bisa diabaikan dalam kondisi seperti ini. Fenomena tingginya beban calon pe ngantin pria dan penolakan tanpa mempertimbangkan jalinan cinta yang mungkin sudah terjalin, menjadikan kaum muda Bugis sering kurang setuju dengan budaya panai’. Berikut beberapa pandangan kaum muda terhadap budaya ini: “Ado tanah... antaran uang nai’ khusus untuk belanjo pesta, nah itu yang sampe puluhan atau ratusan juta. .. samo dengan jual anak kesannyo dak.. he.. he.. kalau ditengok sekilas.. di sini pro ses tawar menawar jugo ado, biasonya udah mulai waktu utusan awal datang” (informan Rianti) “Kalau orang gak paham memang kesannya transaksional, jual beli..” (Informan Yana) “saya dak mau ikut budaya itu.. sama saja dengan saya membeli anak gadis keluarga itu..” (Informan Ahmad) “Apo namonyo kalau bukan jual beli?? Tawar duit untuk pesta, berapo yang di kasih pihak cowok... runding kayak beli barang khan...”(Informan Nina) Apakah memang uang nai’ dalam proses lamaran sama dengan harga peroleh an dari sudut pandang akuntansi? Konsep harga Perolehan dari sudut pandang akuntansi umumnya adalah seluruh biaya yang dikorbankan sampai dengan suatu barang siap digunakan. Harga jual memang ditentukan oleh banyak faktor antara lain biaya produksi ditambah margin tertentu (Mulyadi 2005). Harga yang dibayarkan oleh pembeli atas barang atau jasa yang diterima dari penjual menunjukkan harga jual (Hansen dan Mowen 2009). Harga di suatu tempat tergantung kepada budaya pedagangnya (Ackerman dan Tellis 2001; Paranoan 2014). Materialisme menjadi dasar berkembangnya budaya komersial. Ukuran kemakmuran ditentu-
kan oleh banyaknya kekayaan yang dimiliki. Dalam sistem ini, tidak ada ruang untuk melakukan dan mengembangkan nilai-nilai sosial dan saling membantu. Penetapan harga jual yang tinggi melebihi harga normal yang berlaku akan mengurangi daya beli masyarakat, khususnya yang berpenghasilan kecil. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang semakin lebar di masyarakat. Sementara penetapan harga yang rendah akan mendorong masyarakat memenuhi kebutuhannya. Dalam pasar yang tidak ada lagi hubungan kasih sayang di antara sesama umat manusia. Pembeli yang tidak mampu mengikuti harga pasar akan mengalihkan kebutuhannya pada produk yang sesuai dengan kemampuan keuangannya, sedang kan penjual yang tidak mampu bertahan akan keluar dari pasar. Pelaku pasar yang tinggal adalah pembeli yang mampu secara finansial dan penjual yang memiliki modal besar. Rasa keadilan dan hubungan persaudaraan di dalam berusaha akan terkikis habis (Alimuddin 2011). Dari faktor tersebut, selain bangsawan, haji menjadi faktor penentu. Apakah konsep harga seperti ini kemudian menjadi dasar pada orang tua berpikir untuk tetap mempertahankan budaya panai’?. Menurut beberapa informan, terkadang orang tua mengabaikan status pekerjaan calon pengantin pria untuk mendapatkan uang nai’ yang tinggi. Bentuk lain dari penghindaran atau perlawanan dominasi budaya dan orang tua yang terpaksa dilakukan oleh kaum muda melalui tradisi silariang. Silariang artinya kawin lari, biasanya menjadi pilihan terakhir kaum muda apabila rencana pernikahan mereka tidak mendapat restu dari orang tua. Pasangan yang melakukan tradisi ini, seringkali memilih merantau meninggalkan kampung halaman. Mereka sadar, sebenar nya telah merusak siri’ keluarga dengan memilih jalan tersebut (Effendi 1976). Makna dibalik uang nai’. Tradisi panai’ tidak berlaku bagi pernikahan antara pria Bugis dengan wanita non Bugis. Pria Bugis akan mengikuti tradisi dari keluarga wanita yang akan dinikahinya. Budaya ini umumnya tetap dipertahankan apabila wanita Bugis di lamar oleh pria non Bugis. Hal ini terjadi, karena dalam tradisi pernikahan Bugis, wanita adalah pihak yang dijemput, sehingga adat istiadat yang digunakan dari sisi keluarga wanita.
Rahayu, Yudi, Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi
Hampir seluruh informan menyatakan bahwa siri’ dan gengsi menjadi pertimbang an utama keluarga pada penentuan jumlah uang nai’. Informan Rianti menyatakan se bagai berikut: “kalau kakak tengok dari acara lamaran di keluargo kakak atau keluargo Bugis umumnyo, itu lebih kepado “prestise”. Ado semacam Kebanggaan kareno telah mempertahankan atau menjalankan adat. Golongan bangsawan justru permintaannyo lebih tinggi lagi, perhiasan kadang diminta dengan spesifik tertentu kayak berlian.. tapi bagi keluargo cowok pun dak masalah, kareno prestise jugo bagi keluargo cowo’ biar dianggap mampu. Lagi pulo rato-rato khan nikah antar sepupu..jadi sebenar nyo harto tu bolak balik dalam keluargo besar itulah. Kadang ado yang nganggap sebagai hadiah untuk ponakan dewek..” Hal senada juga diakui oleh Informan Yana: “Pandangan saya dibalik semua itu ya siri’ dan prestise. Tapi bukan hanya bagi keluarga wanita, juga keluarga pria. Keluarga wanita merasa bangga, anak gadisnya menerima uang nai’ yang tinggi, sedangkan keluarga pria juga merasa bangga dianggap mampu memenuhi tuntutan” Informan Haji dan Aminulah berpandangan bahwa memang secara eksplisit tidak dinyatakan ada hubungan antara panai’ dengan siri’. Tetapi secara implisit mereka yakin itu ada. Bagi orang Bugis perantauan, mempertahankan budaya panai’ menjadi siri’ tersendiri. Seperti yang digambarkan oleh informan Aminulah: “budaya panai’ masih dijalan kan karena masih ada semangat atau keinginan untuk memperta hankan jati diri sebagai keturunan yang berdarah Bugis Makassar dan mungkin menjadi bagian siri’ itu sendiri. Walau ada juga yang mengabaikan.. . yang memperta hankan tentunya kebanyakan dari golongan tua, lebih-lebih yang mempunyai status sosial yang
233
tinggi baik dari segi materi maupun dari segi kasta keturunan darah biru atau tidak. Kadang meski tidak ada keturunan darah biru, tetapi mengaku ada keturunan karena dari segi materi agak lebih untuk mendapatkan pengakuan/ aktualisasi diri di masyarakat. Menurut informan Aminulah ini, budaya siri’ bisa jadi salah diartikan dalam hal ini. Sejatinya budaya sirri itu mulia secara konsep dan filosofis. Pada kenyataannya siri’ memang masih tetap diakui sebagai salah satu nilai budaya yang sangat mempengaruhi kepribadian orang Bugis Makassar (Kahar 2012). Nilai siri’ berupa rasa malu atau harga diri dijadikan dasar bertindak orang Makassar dalam kehidupannya (Marzuki 1995; Poelinggomang 2014 dan Salman 2006). Jadi kata siri’ menunjukkan rasa malu dan martabat atau harga diri. Kata siri’ tidak tegas ditemukan dalam Sure’ selleang I la Galigo (Manuskrip sastra kuno Bugis), namun terdapat kata siri atakka, yang merujuk pada nama dua jenis tanaman yang dipandang mengandung pelambang terhadap kata siri’. Nama tanaman itu adalah sirih. Siri’ berkaitan erat dengan hampir seluruh petuah tentang perbuatan luhur di dalam manuskrip (Marzuki 1995). Lima nilai yaitu kejujuran (alempureng), kecendekiaan (amaccang), keteguhan (agettengeng), kepatutan (asitinajang) dan keusahaan (reso) dipegang teguh oleh masyarakat Bugis dan dianggap memalukan jika dilanggar (Salman 2006). Dua kandungan nilai dalam konsep siri’ yaitu nilai malu dan nilai harga diri (martabat). Saat aspek malu mendominasi kepribadian, maka aspek harga diri harus segera mengimbangi. Manakala aspek harga diri cenderung kepada sikap angkuh, maka aspek malu serta sikap rendah hati harus mengembalikan sikap harga diri pada kedudukan neraca yang seimbang. Ibarat dua komponen kimiawi yang larut bersenyawa, maka kedua nilai budaya dimaksud ternyata tidak sekadar berkoeksistensi tetapi keduanya menyatu serta melebur secara simbiosis dalam siri’ (Marzuki 1995). Tiga bentuk siri’ yaitu siri’ buta (Kerajaan) berupa tanggung jawab negara atau penguasa untuk menjaga masyarakat. Siri keluarga yaitu berkaitan dengan tatanan hidup berkeluarga dalam kaitan kekeluargaan. Orang Bugis mengenal kaum keluarga dalam kesatuan
234
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 224-236
siri’ (masedi siri’). Terakhir siri’ pribadi berkaitan dengan menjaga harga diri pribadi seseorang (Poelinggomang 2014). Budaya panai’ termasuk dalam siri’ keluarga. Jumlah uang nai’ serta bentuk persembahan lainnya dari keluarga pria sebenarnya merupakan bentuk penghargaan bagi calon mempelai wanita dan keluarganya. Informan Rianti menjelaskan: “sebenarnyo itu bentuk penghargaan terhadap cewek yang dilamar.. anak gadis kami udah dididik baik-baik, udah siap dan terjago, patuh dalam arti kato kalau udah nikah benar-benar akan ngabdi ke suami, jadi wajar kalau dijemput dengan uang nai’ yang tidak sedikit..” Informan Y juga berpandangan bahwa uang nai’ bentuk penghargaan yang tinggi dari budaya Bugis terhadap kaum wanita. Wanita Bugis apabila sudah menikah terkenal sangat setia, patuh dan penuh pengabdian kepada suami. Keluarga wanita akan menjamin kalau anak gadisnya tidak akan menjaga martabat suami dan keluarganya dengan baik. Ada guyonan dari anak muda Bugis yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi: “jika mau diumpamakan sebagai aset, maka wanita Bugis itu aset istimewa, yang diperoleh dengan harga sangat tinggi. Kalau har ganya tinggi maka penyusutannya akan lama tapi kalau rendah penyusutannya sebentar...he.. he.. he.. Sehingga tingkat perceraian orang Bugis sangat rendah sekali” Walaupun dalam proses perkawinan, pihak laki-laki harus memberikan mas kawin ke perempuan. Antropolog barat terkadang memandang ini sebagai harga perempuan (Bride Prince), tentu saja kurang tepat (Pelras 2006). Demikian pula pandangan transaksional dari kaum muda juga tidak tepat. Nilai penghargaan terhadap wanita yang tinggi dan menjaga siri’ keluarga menjadi dasar sesungguhnya dari budaya panai’. Menurut aturan doi’ menre jika laki-laki tidak mampu untuk memberikan nafkah lahir dan bathin kepada isterinya sehingga terjadi perceraian, maka uang belanja tersebut tidak dikembalikan (Lamallongeng 2007: hlm. 16). Seluruh persembahan dan sompa yang diterima juga bukan merupakan hak dari keluarga wanita.
Uang nai’ walau dalam jumlah yang cukup besar, namun tidak untuk disimpan, dihabiskan selama prosesi pernikahan. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi materi secara eksplisit, tidak ada keuntungan yang dipe roleh bagi keluarga besar pengantin wanita. Semuanya benar-benar menjadi hak bagi pengantin wanita, yang akhirnya kembali juga untuk masa depan pasangan pengantin. Budaya ini sejatinya harus dijaga walaupun tetap perlu penyesuaian agar tidak mendapat penolakan. Komunikasi Dan Kompromi Jembatan Antara Cinta dan Gengsi. Perkawinan bagi sejatinya memang bukan hanya penyatuan antara pria dan wanita, tetapi merupakan penyatuan dua keluarga. Dalam masyarakat yang berorientasi kolektif se perti Indonesia, dominasi peranan orang tua dalam menentukan pasangan sangat besar. Hal ini tercermin dari filosofi bibit, bebet dan bobot yang umum digunakan. Cinta yang tulus dan kokoh serta kemampuan finansial dan psikologis dari kedua pasangan yang hendak menikah, tidaklah cukup sebagai ukuran awal perkawinan yang baik (Wid janarko, Mulyana, Martodirdjo, dan Kuswarno 2010). Dalam pernikahan khususnya bagi umat Islam seharusnya syari’at yang didahulukan. Pemahaman agama yang bagus, pengalaman berinteraksi dengan orang luar daerah dan tingkat pendidikan dapat memperbaiki cara pandang terhadap budaya panai’. Dalam arti bukan menolak atau me ngubah drastis budaya itu sendiri tetapi menyesuaikan budaya tersebut, sehingga tetap dapat diterima bagi semua golongan. Pada intinya mahar adalah keikhlasan. Kerelaan dari suami untuk memberi dan kerelaan dari istri untuk menerima. Kompromi dan keikhlasan ini yang harus ditekankan dalam proses lamaran, sehingga manusia tidak mempersulit diri. Kompromi atau kesepakatan hanya bisa diperoleh melalui komunikasi yang baik. Peran Toduta dalam proses lamaran sangat besar. To duta seyogyanya mampu mengkomunikasikan dengan baik kepenting an antara kedua keluarga. Hubungan keluarga, hubungan baik, pertimbangan kondisi ekonomi keluarga pria, pandangan mahar secara agama dan keikhlasan perlu dikomunikasikan dalam bahasa yang baik oleh to duta. Sehingga kesepakatan yang diambil akan melegakan kedua belah pihak dan tidak juga akan memberatkan. Komunikasi
Rahayu, Yudi, Uang Nai’: Antara Cinta dan Gengsi
dan kesepakatan sangat penting dilakukan dalam interaksi sebelum pernikahan dilaksanakan. Melalui interaksi, akan terbangun sebuah regulasi yang menata bagaimana seharusnya kehidupan relasi sosial disepakati (Widjanarko dkk. 2010). Berbagi merupakan inti komunikasi, bukan hanya berbicara atau menulis (Daft 2010: hlm. 418). Komunikasi membutuhkan interaksi antara dua orang atau lebih. Saat interaksi dijalankan maka masingmasing mencoba memandang dunia se perti orang lain memandangnya. Tujuan interaksi adalah menyatukan diri dengan orang lain (Daft 2010:419). Dalam proses komunikasi lamaran Seyogyanya orang tua dan calon mempelai ikut diberikan hak untuk mengungkapkan pendapat. Hal ini bisa mengurangi dominasi terhadap kedua pa sangan yang mungkin saja terjadi. Akhirnya kesepakatan yang dihasilkan juga mencerminkan keinginan dari dua insan yang akan mengarungi kehidupan baru ke depan. SIMPULAN Budaya Panai’ bagi masyarakat Bugis perantauan memahaminya sebagai bagian dari prosesi lamaran untuk membiayai pesta perkawinan. Penentuan uang nai’ umumnya ditentukan oleh status sosial yang disandang oleh keluarga mempelai perempuan. Status sosial tersebut antara lain: keturunan bangsawan, status pendidikan, status pekerjaan, dan status ekonomi. Semakin baik status sosial yang dimiliki pihak keluarga mempelai perempuan, semakin tinggi uang belanja yang harus ditanggung oleh pihak laki-laki. Pertimbangan besarnya uang belanja seba gai syarat adat menjadi dominasi bagi kaum muda. Sebagian kaum muda menganggap adanya proses transaksional dalam pro sesi lamaran. Kepentingan dua muda mudi yang saling mencintapun harus tunduk pada keputusan-keputusan yang muncul dari adat istiadat warisan leluhur. Keputusan yang lebih mengutamakan materialisme berupa gengsi dan prestise keluarga me nimbulkan resistensi muda-mudi terhadap budaya panai’. Materialisme menjadi dasar berkembangnya budaya komersial. Ukuran kemakmuran ditentukan oleh banyaknya kekayaan yang dimiliki. Dalam sistem ini, tidak ada ruang untuk melakukan dan mengembangkan nilai-nilai sosial dan saling membantu. Kompromi melalui komunikasi yang baik akan menghasilkan kesepakatan yang melegakan kedua belah pihak dan ti-
235
dak juga akan memberatkan. Komunikasi dan kesepakatan sangat penting dilakukan dalam interaksi sebelum pernikahan dilaksanakan. Melalui interaksi, akan terbangun sebuah regulasi yang menata bagaimana seharusnya kehidupan relasi sosial disepakati oleh orang tua sang penjaga adat dan kaum muda sang pelestari adat. DAFTAR RUJUKAN Ackerman, D., dan Tellis, G. 2001. “Can Culture Affect Price? A Cross Cultural Study of Shopping and Retail Prices”. Journal of Retailing, 77, hlm. 57-82. Arifuddin. 2013. Ketika Budaya Menjadi Petaka. Diunduh Tanggal Date Accessed| dari http://makassar.tribunnews.com/2013/11/06/ketika-budaya-menjadi-petaka Behling, O. 1980. “The Case for the Natural Science Model for the Research Organizational Behavior and Organization Theory”. The Academy of Management Review, 5(4), Hlm. 483-490. Burrel, G., dan Morgan, G. 1979. Sociological Paradigms and Organizational Analysis. England.: Ashgate publishing Limited. Daft, R. L. 2010. Era Manajemen Baru (New Era of Management) (T. M. Kanita, Trans.). Salemba Empat. Jakarta. Effendi, D. 1976. Sillariang. Grafika Upaya. Ujung Pandang. Hansen, D. R., dan Mowen, M. M. 2009. Akuntansi Manajerial. Salemba empat. Jakarta. Irianto, S. 2006. Ibadah Ilmu, 8 Desember. Kompas. Kahar, A. 2012. Konstruksi konsep SPM “Pangngadereng” berbasis nilai-nilai kearifan lokal Siri’ na pesse. Disertasi Tidak Dipublikasikan. Universitas Brawijaya, Malang. Lamallongeng, A. R. 2007. Dinamika Perkawinan Adat dalam Masyarakat Bugis Bone. Kabupaten Bone: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kabupaten Bone. Marzuki, H. M. L. 1995. Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum). Hasanuddi University Pers. Ujung Pandang:. Mulyadi. 2005. Akuntansi Manajemen, Konsep, Manfaat dan Rekayasa. Salemba Empat. Jakarta. Mulyana, D. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Remaja Rosdakarya. Bandung.
236
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2015, Hlm. 224-236
Paranoan, N. 2014. Konstruksi Praktik Penentuan Harga Kerbau Berbasis Budaya Toraja: Studi Etnografi. Disertasi Tidak Dipublikasikan, Universitas Brawijaya, Malang. Pelras, C. 2006. Manusia Bugis (A. R. Abu, Hasriandi dan N. Sirimorok, Trans.). Forum Jakarta-Paris. Jakarta. Poelinggomang, E. L. 2002. Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta. Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation. Poelinggomang, E. L. 2014. Nilai-nilai dan Kearifan Budaya Sulawesi Selatan. Paper presented at the Pertemuan MAMI Nasional 2 (Teman 2), 20 Juni, Makassar. Randa, F. dan F.E. Daromes. 2014. “Transformasi Nilai Budaya Lokal dalam Membangun Akuntabilitas Organisasi Sektor Publik”. Jurnal Akuntansi Mul-
tiparadigma, Vol. 5, No. 3, hlm 477484. Salman, D. 2006. Jagad Maritim: Dialektika dan Artikulasi Kapitalisme pada Komunitas Konjo Pesisir di Sulawesi Selatan. Inninawa. Makassar. Sawarjuwono, T. 2005. “Bahasa Akuntansi dalam Praktik: Sebuah Critical Accounting Study”. Tema, 6(2). Soeroto, M. 2003. Bugis Makassar: Pustaka Budaya dan Arsitektur. Jakarta: Balai Pustaka. Spradley, J. 1979. The Ethnographic Interview United States: The Wadsworth Group, a division of Thomson Learning. Widjanarko, W., Mulyana, D., Martodirdjo, H. S., dan Kuswarno, E. 2010. Antara Cinta dan Sekat-Sekat Keimanan: Sebuah Catatan Interaksi Komunikasi Pasangan Suami Istri Beda Agama. Bandung. UNPAD Press.