Hubungan antara Sikap terhadap Uang dan Integritas pada Karyawan oleh Kartika Diva Asriani dan Bertina Sjabadhyni Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Abstrak Penelitian dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara sikap terhadap uang dan integritas pada karyawan. Pengukuran menggunakan kuesioner Money Ethic Scale (Tang, 1995) dengan koefisien reliabilitas cronbach alpha sebesar 0.893 dan kuesioner Integrity Scale (Schlenker, 2008) dengan koefisien reliabilitas cronbach alpha sebesar 0.854. Partisipan berjumlah 177 karyawan yang bekerja di perusahaan di daerah Jabodetabek, memiliki tingkat pendidikan minimal SMA, dan berusia 21-55 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara sikap terhadap uang dan integritas (r = -0.238, p < 0.01), artinya semakin tinggi sikap terhadap uang karyawan maka semakin rendah integritas yang dimilikinya. Kata Kunci: Sikap terhadap uang; integritas; karyawan
Abstract The purpose of this study was to find out if there is a correlation between attitude towards money and integrity among employees. The measurements used were Money Ethic Scale (Tang, 1995) that has cronbach alpha coefficient of 0.893 and Integrity Scale (Schlenker, 2008) that has cronbach alpha coefficient of 0.854. Participants were 177 employees working in companies located in Jabodetabek areas, minimum educational level of Senior High School, and aged 21-55 years old. The result of this study showed that there was a negative significant correlation between attitude towards money and integrity (r = -0.238, p < 0.01), meaning that the higher employee’s attitude towards money, the lower the integrity. Keywords: Attitude towards money; integrity; employees
PENDAHULUAN Keberhasilan perusahaan sangat ditentukan oleh kinerja orang-orang yang berada didalamnya. Untuk mencapai keberhasilan perusahaan yang maksimal, diperlukan adanya kepercayaan antara sesama anggota perusahaan, baik secara internal maupun eksternal (Shaw, 1997). Salah satu cara perusahaan untuk membangun kondisi kepercayaan ini adalah dengan menanamkan nilai integritas pada seluruh anggotanya (Yukl, 2006), yang berarti seluruh anggota
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
1
harus memiliki konsistensi antara pikiran, ucapan dan tindakan yang didasari oleh nilai-nilai moral dan etika. Dengan memiliki integritas yang tinggi, seluruh anggota perusahaan akan menjalankan tugas masing-masing dan mengelola perusahaan dengan baik. Oleh sebab itu integritas seluruh karyawan perusahaan sangat penting dalam menjunjung keberhasilan dan produktivitas perusahaan. Selain itu, perusahaan yang memiliki integritas yang tinggi akan memiliki nama yang baik dan mendapatkan kepercayaan dari publik. Hal ini selanjutnya juga akan berdampak pada produktivitas dan keberhasilan perusahaan. Integritas merupakan elemen yang sangat penting dalam hubungan organisasi (Ferris dkk., 2009) dan telah banyak mendapat perhatian dalam berbagai aspek pembahasan psikologi industri dan organisasi, seperti kepemimpinan, dinamika organisasi, kesejahteraan karyawan, dan seleksi penerimaan karyawan (Barnard, Schurink, & De Beer, 2008). Integritas dinyatakan sebagai karakteristik utama dari pemimpin yang efektif (Petrick & Quinn, dalam Barnard, Schurink, & De Beer, 2008), penentu utama kepercayaan dalam organisasi (Becker, 1998), komponen kesejahteraan karyawan (Harter, 2002), komponen yang penting mengenai hubungan kerja yang produktif (Cameron, 2003), dan prediktor valid mengenai performa kerja dan perilaku kontraproduktif (Ones, Viswesvaran & Schmidt, 1993). Integritas banyak dihubungkan dengan berbagai konstruk penting yang mempengaruhi hubungan antara individu dan organisasi⎯seperti kepercayaan, kredibilitas, dan berbagai kontrak psikologis (Davis & Rothstein, 2006). Integritas telah muncul dalam 20% pernyataan misi perusahaan (Foster, 1993) dan merupakan nilai yang paling sering disebut dalam pernyataan nilai-nilai perusahaan (Murphy, 1998). Di Indonesia sendiri, berbagai perusahaan besar telah mencantumkan dan menanamkan integritas sebagai bagian dari nilai-nilai perusahaannya. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain Bank Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Daerah Khusus Ibukota, PT Perusahaan Listrik Negara Persero, PT Bio Farma, PT Commuter Line, PT Jasa Marga, dan lain sebagainya. Nilai integritas ini ditanamkan dalam nilai-nilai perusahaan dengan tujuan menciptakan budaya perusahaan yang membantu para individu memahami fungsi organisasi dan bertindak sesuai dengan norma-norma yang ditetapkan oleh perusahaan, sehingga tercapai keberhasilan perusahaan yang optimal. Integritas adalah komitmen teguh individu terhadap prinsip-prinsip etika yang dianutnya (Schlenker, 2008). Carter (1996) menjabarkan mengenai tiga langkah yang tercakup dalam integritas: (1) Menilai serta membedakan hal yang benar dan salah; (2) Melakukan hal sesuai
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
2
dengan penilaian yang telah diyakini; (3) Mengatakan dengan terbuka bahwa individu melakukan hal sesuai dengan pengertian mengenai hal yang benar dan salah menurut keyakinan pribadinya. Integritas membutuhkan derajat penghayatan moral, sikap berpegang teguh pada komitmen, dan perasaan tidak malu untuk melakukan hal yang benar. Seseorang yang memiliki integritas percaya dan mengetahui bahwa ia hidup dengan cara yang benar (Carter, 1996). Dalam kaitannya dengan konteks organisasi, integritas mencakup konsistensi antara nilai-nilai organisasi dengan nilai-nilai personal yang dianut oleh individu (Dunn, 2009). Integritas dilihat sebagai karakteristik atau kualitas kesesuaian dengan nilai-nilai dan norma moral yang relevan, dalam hal ini termasuk juga hukum dan peraturan-peraturan (Huberts et. al., 2008). Integritas akan berkembang dengan baik pada lingkungan yang mendukung perkembangannya, seperti pola pendidikan yang menekankan pada kedisiplinan, nilai-nilai moral yang baik, dan juga nilai-nilai religius (Barnard, Schurink, & De Beer, 2008). Dalam ranah organisasi, Solomon (1992) menyatakan bahwa integritas tidak hanya mengandung otonomi individual dan ‘kebersamaan’ namun juga mengandung keutamaan-keutamaan perusahaan seperti loyalitas dan keserasian, kerjasama, serta kepercayaan. Individu yang memiliki integritas yang tinggi akan melakukan suatu hal dengan percaya diri dan meyakini bahwa ia mengikuti prinsip-prinsip etika walaupun menentang opini publik, tekanan dinas, maupun godaan personal (Verhezen, 2008). Sebaliknya, integritas individu yang rendah dapat menyebabkan terjadinya perilaku tidak etis yang merugikan perusahaan. Berdasarkan penelitian Schlenker (2008), integritas dapat memprediksi berbagai variasi perilaku tidak etis, seperti berbohong, mencuri, tidak menepati janji, berbuat curang, dan ketidaksetiaan. Integritas individu yang lemah dapat menyebabkan individu lebih mudah untuk menumbuhkan niat melakukan tingkah laku yang tidak etis dalam perusahaan. Hal ini tentunya dapat merugikan perusahaan, baik dalam segi operasional maupun produktivitas secara keseluruhan. Integritas individu yang lemah telah banyak dikaitkan dengan berbagai penyimpangan perilaku terkait dengan penyelewengan uang di perusahaan. Beberapa contoh kasus penyelewengan uang dalam organisasi di Indonesia yang menunjukkan lemahnya integritas karyawan yaitu kasus penggelapan uang Bank Century, kasus pengadaan dana ATM Bank DKI, kasus kemacetan kredit Bank Mandiri, kasus pengadaan Tetra Ethyl Lead Pertamina, dan sebagainya. Kasus-kasus ini tentunya berdampak pada menurunnya keuntungan perusahaan yang pada akhirnya bahkan dapat menyebabkan kerugian perusahaan.
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
3
Menurut
pemaparan
beberapa
artikel
dalam
www.republika.co.id,
www.birokrasi.kompasiana.com, www.unodc.org, www.jawapos.com dan www.jpnn.com, upaya peningkatan gaji karyawan telah dicanangkan oleh pemerintah sebagai bentuk usaha mengurangi terjadinya perilaku-perilaku penyelewengan uang pada berbagai organisasi yang menunjukkan lemahnya integritas karyawan. Namun demikian, kasus perilaku tidak etis terkait dengan penyelewengan uang pada organisasi di Indonesia banyak dilakukan oleh oknum-oknum yang sudah memiliki jabatan yang tinggi dan pendapatan yang tinggi pula. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa uang dari segi kuantitas bukanlah hal yang memiliki hubungan dengan tingkah laku individu maupun tinggi atau rendahnya integritas individu, melainkan sikap masing-masing individu terhadap uang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Taneja (2012) bahwa uang merupakan hal yang sama secara universal, namun sikap individu terhadap uang yang membuat uang memiliki nilai yang berbeda-beda pada masing-masing individu. Sikap terhadap uang adalah perasaan, pikiran, dan tingkah laku seseorang terhadap uang (Tang, 1992). Sikap terhadap uang terbagi dalam tiga komponen, yaitu komponen kognitif, afektif, dan perilaku. Komponen kognitif merepresentasikan anggapan individu terkait dengan objek uang, komponen afektif merepresentasikan perasaan individu mengenai uang, dan komponen perilaku merepresentasikan perilaku individu terkait dengan uang. Individu yang memiliki sikap terhadap uang yang positif menganggap bahwa uang merupakan suatu hal yang dianggap baik dan penting, serta menganggap bahwa kesuksesan dinilai dari banyaknya uang yang dimiliki (Tang, 1992). Penelitian yang dilakukan oleh Schlenker (2008) menyatakan bahwa integritas memiliki hubungan yang negatif dengan materialisme individu. Materialisme sendiri berhubungan dengan sikap terhadap uang individu (Durvasula & Lysonski, 2010), dimana terkandung anggapan dan keyakinan bahwa kesuksesan finansial merupakan hal yang penting untuk dicapai (Kasser, 2002). Materialisme yang tinggi merepresentasikan anggapan individu bahwa kesuksesan dirinya dan orang lain dinilai dari jumlah kekayaan yang dimiliki (Durvasula & Lysonski, 2010). Anggapan mengenai uang ini merupakan bagian dari komponen kognitif sikap terhadap uang. Berdasarkan pernyataan Tang (1992), individu dengan sikap terhadap uang yang positif, khususnya pada komponen kognitif, menganggap bahwa uang merupakan hal yang penting dan kesuksesan dinilai dari banyaknya uang yang dimiliki individu. Orang-orang dengan sikap terhadap uang yang positif menganggap bahwa uang dianggap sebagai hal yang baik serta
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
4
kesuksesan dinilai dari banyaknya uang yang dimiliki individu (Tang, 1992). Individu dengan sikap terhadap uang yang positif dapat mengembangkan kecintaan terhadap uang yang tinggi sehingga ia memiliki aspirasi yang tinggi akan uang, terobsesi dengan uang, rela melakukan hal apapun demi memuaskan kebutuhannya akan uang (Tang & Liu, 2012), serta dapat membuatnya bertindak egois demi memuaskan kebutuhannya meskipun melawan prinsip dan nilai yang dianutnya (Carter, 1996). Integritas telah banyak diangkat dalam pembahasan mengenai organisasi dan merupakan hal yang diharapkan ada pada setiap anggota organisasi, namun tidak dipertimbangkan faktor lain yang sekiranya juga memiliki hubungan dengan integritas, yaitu sikap terhadap uang. Saat ini sikap terhadap uang mulai banyak diteliti dalam ranah organisasi karena adanya kesadaran mengenai pengaruh uang terhadap perilaku manusia (Furnham & Argyle, 1998), dalam hal ini yaitu performa kerja karyawan. Peneliti belum menemukan penelitian yang membahas mengenai hubungan antara sikap terhadap uang dan integritas individu. Berdasarkan pemaparan-pemaparan yang telah disebutkan diatas, peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara sikap terhadap uang dan integritas pada karyawan organisasi. Permasalahan pertama dalam penelitian ini adalah “apakah terdapat hubungan antara sikap terhadap uang dan integritas pada karyawan? . Permasalahan kedua penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara masing-masing faktor sikap terhadap uang dan integritas pada karyawan? . Penelitian ini bertujuan untuk menguji serta mengetahui secara pasti hubungan antara sikap terhadap uang dan integritas pada karyawan perusahaan. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan antara masing-masing faktor sikap terhadap uang dan integritas pada karyawan. TINJAUAN TEORITIS Sikap terhadap Uang. Menurut Tang (1992), sikap terhadap uang adalah perasaan, pikiran, dan tingkah laku seseorang terhadap uang. Seseorang dapat berpikir atau beranggapan bahwa uang merupakan tolak ukur keberhasilannya dalam pekerjaan, uang sebagai sumber kekayaan, kekuasaan, serta kebahagiaan. Seseorang dapat memiliki perasaan bahwa uang merupakan hal yang baik atau uang sebagai sumber kejahatan. Seseorang dapat menabung, beramal, berusaha dengan berbagai cara untuk menghasilkan uang, serta menganggarkan
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
5
uangnya dengan cermat (Tang, 2002). Dalam penelitian ini, definisi sikap terhadap uang yang digunakan adalah definisi yang dikemukakan oleh Tang (1992). Tang (1992) membagi sikap terhadap uang menjadi tiga komponen, yaitu: (1) komponen kognitif, yaitu entuk respon yang merefleksikan berbagai keyakinan, pikiran, dan anggapan seseorang terhadap uang. Keyakinan tersebut adalah gambaran persepsi dan informasi mengenai uang; (2) komponen afektif, yang meliputi perasaan atau emosi seseorang terhadap uang. Komponen afeksi dari sikap terhadap uang meliputi perasaan suka atau tidak suka serta senang atau tidak senang terhadap uang; dan (3) komponen perilaku, yang meliputi respons subjek yang berkenaan dengan uang. Respons tersebut berupa tindakan atau perbuatan yang dapat diamati dan dapat berupa intensi atau niat untuk melakukan perbuatan tertentu sehubungan dengan uang. Tang (1995) kemudian menyebutkan tiga faktor sikap terhadap uang, yaitu: (1) Faktor Success, yang merupakan bagian dari komponen kognitif sikap terhadap uang. Faktor ini merepresentasikan anggapan bahwa uang merupakan simbol pencapaian, kehormatan, serta kebebasan dan kekuasaan, seperti “uang adalah simbol kesuksesan”, “uang membuat saya dihargai oleh lingkungan saya”, serta “uang memberikan otonomi dan kebebasan” (Tang, 1992); (2) Faktor Evil, yang merupakan bagian dari komponen afektif sikap terhadap uang. Faktor evil merepresentasikan perasaan-perasaan seseorang terhadap uang dan meliputi sikap-sikap negatif terhadap uang, seperti “uang itu jahat” dan “uang adalah sumber segala kejahatan” (Tang, 1992); dan (3) Faktor Budget, yang merupakan bagian dari komponen perilaku sikap terhadap uang. Faktor ini merepresentasikan kemampuan individu untuk membuat anggaran terhadap uang yang dimiliki, seperti “saya menggunakan uang dengan hati-hati” dan “saya menganggarkan uang saya dengan baik” (Tang, 1992). Menurut Tang (1992), perbedaan seperti usia, jenis kelamin, penghasilan, etika kerja, nilai-nilai sosial dan politik, serta agama mempengaruhi bagaimana sikap seseorang terhadap uang. Berdasarkan hasil penelitian Tang (1992), semakin tinggi usia seseorang dan semakin tinggi pendapatan seseorang maka semakin positif sikap terhadap uang yang dimilikinya. Selain itu Furnham (1984, dalam Furnham & Argyle, 1998) menyatakan bahwa tingkat pendidikan juga mempengaruhi sikap individu terhadap uang. Lingkungan ekonomi dan budaya (Furnham & Argyle, 1998) juga memiliki peran penting dalam sikap terhadap uang individu. Selain itu selfesteem Rosenberg (dalam Furnham & Argyle, 1998) dan kebutuhan akan pencapaian (Steers &
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
6
Braunstein, dalam Furnham & Argyle, 1998) juga memiliki hubungan dengan sikap terhadap uang. Integritas. Schlenker (2008) menyatakan integritas sebagai komitmen teguh individu terhadap prinsip ideologi etis yang dianutnya. Ideologi etis yang dimaksud merupakan sistem yang terintegrasi mengenai keyakinan, nilai, dan standar yang menentukan orientasi individu terhadap hal-hal yang benar dan salah. Individu yang memiliki integritas tinggi memiliki komitmen
pribadi
terhadap
prinsip-prinsip
moral.
Bagi
mereka,
nilai-nilai
moral
mengembangkan kewajiban pribadi untuk melakukan hal yang benar karena (1) identitas mereka mengandung komponen moral yang menempatkan pada aturan moral mengenai bagaimana seharusnya mereka bertindak, (2) skema dan nilai moral mereka harus jelas dalam menetapkan perilaku yang benar secara moral, dan (3) keyakinan-keyakinan mereka membuat mereka lebih tidak memiliki toleransi terhadap rasionalisasi dari perilaku-perilaku yang melanggar nilai moral (Schlenker, 2008). Integritas mengandung kejujuran, sifat dapat dipercaya, ketaatan dalam memegang kewajiban serta kata-kata yang diucapkan, dan incorruptibility, atau keengganan untuk melanggar prinsip-prinsip yang dianut terlepas dari godaan-godaan yang muncul, kerugian, dan pilihan orang-orang lain (Schlenker, 2008). Schlenker (2008) menemukan bahwa orang-orang dengan skor integritas yang tinggi: a) meyakini kepentingan yang lebih besar untuk memegang prinsip sebagai bagian dari konsep diri mereka; b) mendeskripsikan diri mereka berperilaku lebih konsisten dengan prinsip-prinsip yang mereka anut; dan c) secara lebih kuat memilih karakter berprinsip daripada karakter tidak pantas maupun imoral. Terdapat tiga dimensi integritas yang dikemukakan oleh Schlenker (2008), yaitu: (1) Perilaku berprinsip, yaitu perilaku yang berdasarkan pada prinsip-prinsip yang etis dan sesuai dengan nilai moral; (2) Komitmen teguh pada prinsip yang dianut, adanya komitmen untuk tetap berpegang pada prinsip etis yang telah dipegang meskipun terdapat tekanan maupun tawaran keuntungan pribadi; dan (3) Keengganan untuk merasionalisasi perilaku berprinsip, yaitu individu tetap berkomitmen dan tidak melakukan tawar-menawar terhadap prinsip yang telah dipegang meskipun dalam situasi dan kondisi tertentu. Terdapat lima konteks perkembangan atau hal-hal yang mempengaruhi integritas (Barnard, Schurink, & De Beer, 2008), yaitu (1) orang tua dan panutan-panutan lainnya, (2)
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
7
konteks dasar agama atau keyakinan individu, (3) konteks pendidikan dan budaya individu, (4) pola asuh disiplin yang membantu perkembangan integritas, dan (5) pengalaman-pengalaman hidup yang berharga. Selain itu menurut Schlenker (2008), faktor-faktor seperti agama atau kerohanian serta jenis kelamin mempengaruhi integritas individu. Carter (1996) mengungkapkan bahwa budaya juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi integritas seseorang. Keyakinan religius diyakini dapat berperan penting terhadap pandangan individu tentang benar dan salah, serta dapat dikaitkan dengan ideologi berprinsip (Schlenker, 2008). Carter (1996) menyatakan bahwa ketaatan dalam menjalani hidup berdasarkan prinsip benar dan salah dapat ditemukan dalam berbagai ajaran agama. Selain itu hasil penelitian yang ditemukan oleh Schlenker (2008) menyatakan bahwa terdapat pengaruh gender dalam integritas, dimana perempuan memiliki integritas yang lebih tinggi daripada laki-laki. Menurutnya, hal ini disebabkan karena perempuan lebih memiliki orientasi interpersonal dibandingkan dengan pria (Miller, 1986, dalam Schlenker, 2008) serta lebih positif dalam sikapnya terhadap orang lain. Selain itu alasan lain yang dikemukakan Schlenker (2008) juga karena perempuan menunjukkan kekhawatiran yang lebih tinggi terhadap evaluasi negatif dari orang lain.
METODE PENELITIAN Terdapat dua variabel dalam penelitian ini, yaitu sikap terhadap uang dan integritas. Variabel sikap terhadap uang diukur dengan menggunakan alat ukur Money Ethic Scale (MES) yang dikembangkan oleh Tang (1995) dan variabel integritas diukur dengan menggunakan alat ukur Integrity Scale yang dikembangkan oleh Schlenker (2008). Skor responden pada kedua variabel yang diperoleh dari masing-masing alat ukur akan dikorelasikan untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel. MES terdiri dari 12 item dan menggunakan skala tipe Likert dari 1-4. Semakin tinggi skor yang diperoleh mengindikasikan semakin tinggi sikap terhadap uang. Sementara itu Integrity Scale terdiri dari 18 item dan menggunakan skala tipe Likert dari 1-4. Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi integritas. Money Ethic Scale (Tang, 1995) dan Integrity Scale (Schlenker, 2008) awalnya dibuat dalam bahasa Inggris. Maka dari itu, peneliti mengadaptasi kedua alat ukur ke dalam bahasa Indonesia. Setelahnya, peneliti menguji kembali reliabilitas dan validitas dari kedua alat ukur yang telah diadaptasi. Uji coba alat ukur dilakukan kepada 30 responden dengan menggunakan kuesioner yang disebar secara langsung. Berikut rangkuman hasil uji coba kedua alat ukur:
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
8
Tabel 1 Hasil Uji Reliabilitas dan Internal Consistency Alat Ukur Money Ethic Scale dan Integrity Scale No.
Alat Ukur
1.
Sikap Terhadap Uang (Money Ethic Scale;
Reliabilitas
0.893
Tang, 1995)
Internal Consistency
0.881 - 0.902
Integritas (Integrity Scale; Schlenker,
Reliabilitas
0.854
2008).
Internal Consistency
0.203 - 0.680
2.
Hasil Uji Coba
Menurut Sugiyono (2003), nilai koefisien alpha cronbach diatas 0.7 dianggap baik. Sementara itu Aiken dan Groth-Marnat (2006) menyatakan bahwa skor batas minimal indeks validitas adalah sebesar 0.2. Dengan demikian validitas item pada alat ukur Money Ethic Scale dan Integrity Scale sudah tergolong baik, meskipun terdapat beberapa item pada Integrity Scale yang masih minim nilai validitasnya, yaitu mendekati 0.2. Dengan demikian, berdasarkan tabel 1 dapat dikatakan bahwa kedua alat ukur telah memiliki reliabilitas dan validitas yang baik. Oleh sebab itu peneliti kemudian melanjutkan penelitian dengan melakukan pengambilan data menggunakan kedua alat ukur tersebut dan menyebarkannya kepada 185 responden yang memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Karyawan white collar di perusahaan yang berlokasi di Jabodetabek 2. Berusia antara 21 - 55 tahun 3. Memiliki tingkat pendidikan terakhir minimal SMA Metode pengambilan data yang dilakukan adalah accidental sampling, yaitu pemilihan sampel yang sesuai dengan individu yang tersedia atau yang cenderung mudah untuk diperoleh. Setelah data terkumpul, peneliti memeriksa kelengkapan data dari setiap responden. Responden yang tidak mengisi data secara lengkap dieliminasi dan tidak diikutsertakan dalam pengolahan data. Kemudian peneliti melakukan penyekoran terhadap kedua alat ukur dengan bantuan program Microsoft Excel. Setelah itu, peneliti melakukan pengolahan data dengan menggunakan program IBM SPSS Statistics. Teknik statistik yang digunakan dalam pengolahan data adalah sebagai berikut: a. Statistik Deskriptif Statistik deskriptif dilakukan untuk mengolah data gambaran umum responden seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan terakhir, dan pendapatan per bulan responden.
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
9
b.
Pearson Correlation Teknik Pearson Correlation digunakan untuk mengetahui besar dan arah hubungan dari
dua variabel (Graveter & Wallnau, 2007). Pada penelitian ini, variabel yang dikorelasikan adalah sikap terhadap uang dan integritas. Selain itu juga dilakukan korelasi antara usia dan sikap terhadap uang serta integritas. Menurut Guilford dan Fruchter (1978), nilai koefisien Pearson dikelompokkan menjadi lima kelompok berdasarkan kuat atau lemahnya hubungan antar dua variabel: - r < 0,2
: hubungan antar kedua variabel sangat lemah
- r = 0,2-0,4
: hubungan antar kedua variabel lemah
- r = 0,4-0,7
: hubungan antar kedua variabel sedang
- r = 0,7-0,9
: hubungan antar kedua variabel kuat
- r = 0,9-1,0
: hubungan antar kedua variabel sangat kuat
c. Independent Sample t-test Independent sample t-test dilakukan untuk mengevaluasi perbedaan mean antara dua populasi atau kondisi perlakuan yang berbeda (Gravetter & Wallnau, 2007). Pengujian ini dilakukan sebagai analisis tambahan yang dilakukan dalam melihat perbedaan nilai mean variabel sikap terhadap uang dan variabel integritas berdasarkan jenis kelamin. d.
One-Way Analysis of Variance (ANOVA) Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean antara dua
kelompok atau lebih. Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean sikap terhadap uang dan integritas ditinjau dari pemasukan per bulan dan juga tingkat pendidikan responden. HASIL PENELITIAN Gambaran umum dari responden didapatkan dari bagian data kontrol pada kuesioner penelitian yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan terakhir, serta pendapatan perbulan. Total jumlah responden dalam penelitian ini adalah 177 orang. Berikut adalah gambaran umum responden penelitian:
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
10
Tabel 2 Gambaran Umum Subjek Penelitian Karakteristik
Data Responden
N
Persentase
Usia
21 - 31
139
78.5%
32 - 43
21
11.9%
44 - 55
17
9.6%
Laki-laki
86
48.6%
Perempuan
91
51.4%
SMA
25
14.1%
D1
1
0.6%
D2
1
0.6%
D3
20
11.3%
S1
107
60.5%
S2
23
13.0%
< 2.500.000
12
6.8%
2.500.000 - 4.000.000
47
26.6%
4.000.001 - 5.500.000
27
15.2%
5.500.001 - 7.000.000
43
24.3%
> 7.000.000
48
27.1%
Jenis Kelamin Tingkat Pendidikan
Pendapatan per Bulan
Rentang skor total Money Ethic Scale responden berkisar antara 12 hingga 47. Sementara itu rata-rata skor total responden sebesar 30.96 dengan standar deviasi 5.436. Berdasarkan persebaran skor tersebut, responden yang memperoleh skor di atas rata-rata yaitu sejumlah 99 (56%) responden, sedangkan 78 responden (44%) memperoleh skor di bawah rata-rata. Dengan demikian diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki skor sikap terhadap uang diatas rata-rata. Sementara itu skor total responden Integrity Scale berkisar antara 31-69. Sementara itu, rata-rata skor total responden adalah sebesar 50.25, dengan standar deviasi 6.072. Responden yang memperoleh skor total integritas di atas rata-rata adalah sebanyak 79 responden (44.6%), sementara 98 responden (55.4%) memperoleh skor total di bawah rata- rata. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan Pearson product moment, diperoleh koefisien korelasi sebesar r = -0.238, dengan p < 0.01 (2-tailed). Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa hipotesis null ditolak dan hipotesis alternatif diterima, sehingga dapat
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
11
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap uang dan integritas pada 177 karyawan perusahaan. Koefisien korelasi yang negatif menunjukkan bahwa sikap terhadap uang dan integritas memiliki arah hubungan yang negatif. Dengan demikian semakin tinggi sikap terhadap uang individu maka semakin rendah integritasnya. Hasil dari coefficient of determinant atau r2 = 0.057 menunjukkan bahwa sebanyak 5.7% variasi skor integritas dapat dijelaskan dari sikap terhadap uang subjek. Dapat dikatakan juga bahwa sebanyak 94.3% integritas subjek dapat dijelaskan karena faktor lain selain sikap terhadap uang. Berdasarkan pernyataan Guilford dan Fruchter (1978) mengenai kuat atau lemahnya nilai koefisiensi Pearson, korelasi sebesar r = -0.238 diartikan memiliki hubungan yang lemah antara kedua variabel. Selain itu peneliti juga melakukan analisis utama mengenai hubungan antara tiap faktor sikap terhadap uang dan integritas. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan korelasi Pearson antara masing-masing faktor sikap terhadap uang dengan integritas. Berikut penjabaran hasil perhitungan yang telah dilakukan: Tabel 3 Hubungan Faktor Sikap Terhadap Uang dan Integritas Faktor
r
Sig (p)
r2
Success
-0.278
0.000**
0.082
Budget
0.087
0.513
0.002
Evil
-0.144
0.055
0.161
**Signifikan pada p < 0.01 (2-tailed) Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa hanya terdapat satu faktor sikap terhadap uang memiliki korelasi signifikan dengan integritas, dengan p < 0.01 (2-tailed), yaitu faktor success. Faktor success memiliki tingkat korelasi dengan nilai r = -0.278 dan mampu menjelaskan 8.2% dari variasi skor integritas. Hasil korelasi faktor success sikap terhadap uang dengan integritas memiliki koefisien korelasi yang negatif, sehingga memiliki arah hubungan yang negatif. Faktor success memiliki korelasi yang lemah dengan integritas. Sebagai analisis tambahan, peneliti melakukan analisis korelasi hubungan antara usia dan sikap terhadap uang serta integritas, analisis perbedaan mean sikap terhadap uang dan integritas berdasarkan jenis kelamin, analisis perbedaan mean sikap terhadap uang dan integritas pada enam kelompok tingkat pendidikan responden, serta analisis perbedaan mean sikap terhadap uang dan integritas pada lima kelompok pendapatan perbulan responden.
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
12
Tabel 4 Hasil Uji Korelasi antara Usia dan Sikap Terhadap Uang serta Integritas Variabel
r
Sig (p)
r2
Usia dan Sikap Terhadap Uang
-0.197
0.008**
0.038
Usia dan Integritas
0.176
0.019*
0.030
**Signifikan pada p < 0.01 (2-tailed) *Signifikan pada p < 0.05 (2-tailed) Berdasarkan tabel 4 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap uang dan usia, serta terdapat hubungan yang signifikan antara integritas dan usia pada 177 responden. Tabel 5 Hasil Uji t-test antara Laki-laki dan Perempuan
Jenis
Mean
Kelamin
Mean
SD
t
Sig (2-tailed)
-1.152
0.251
1.169
0.244
Difference
Sikap Terhadap
Laki-Laki
30.48
5.583
Uang
Perempuan
31.42
5.283
Laki-Laki
50.80
6.742
Perempuan
49.74
0.941
Integritas
1.066 5.350
*N responden laki-laki = 86 dan perempuan = 91 Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan skor rata-rata sikap terhadap uang maupun integritas yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Tabel 6 Hasil Uji Perbedaan Mean Pendapatan per Bulan Responden
F
Sig.
Sikap Terhadap Uang dan Pemasukan per Bulan
0.179
0.949
Integritas dan Pemasukan per Bulan
1.923
0.109
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
13
Berdasarkan tabel 6 dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan mean sikap terhadap uang maupun integritas yang signifikan antara lima kelompok pendapatan per bulan responden. Tabel 7 Hasil Uji Perbedaan Mean Tingkat Pendidikan Responden F
Sig.
Sikap Terhadap Uang dan Pemasukan per Bulan
0.701
0.623
Integritas dan Pemasukan per Bulan
0.407
0.844
Berdasarkan tabel 7 dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan mean sikap terhadap uang maupun integritas yang signifikan antara enam kelompok tingkat pendidikan responden.
PEMBAHASAN Analisis utama penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan antara sikap terhadap uang dan integritas pada 177 responden. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi skor sikap terhadap uang maka semakin rendah skor integritas. Dengan demikian, semakin positif sikap terhadap uang yang dimiliki individu maka semakin rendah integritasnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Tang dan Liu (2012) bahwa individu dengan sikap terhadap uang yang positif cenderung memiliki kecintaan yang tinggi akan uang, terobsesi dengan uang, dan memiliki kecenderungan untuk melakukan apa saja demi mendapatkan uang dengan tujuan memuaskan kebutuhannya akan uang (Tang & Liu, 2012). Kebutuhannya akan uang ini menjadi suatu motivasi dan dorongan dari dalam diri yang dapat mengalahkan prinsip-prinsip etis yang dianut dan melemahkan integritasnya. Selain itu ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor success sikap terhadap uang dan integritas. Hal ini sejalan dengan pernyataan Schlenker (2008) mengenai hubungan yang negatif antara integritas individu dengan materialisme yang dimilikinya. Penelitian Schlenker (2008) menemukan bahwa semakin tinggi integritas seseorang maka semakin rendah materialisme yang dimilikinya, demikian pula sebaliknya. Materialisme ini berkaitan dengan sikap terhadap uang seseorang, dimana materialisme yang semakin tinggi menunjukkan sikap terhadap uang yang semakin positif (Durvasula & Lysonski, 2010). Orang-
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
14
orang dengan tingkat materialisme yang tinggi memiliki anggapan bahwa pencapaian finansial merupakan suatu hal yang menunjukkan kesuksesan. Hal ini dapat dikategorikan ke dalam aspek kognitif dari sikap terhadap uang yang positif, dimana ia memiliki anggapan dan keyakinan bahwa uang merupakan sumber kesuksesan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara faktor success sikap terhadap uang, yang merupakan bagian dari komponen kognitif sikap terhadap uang, dan integritas. Selanjutnya, pada analisis tambahan ditemukan korelasi negatif yang signifikan antara usia dengan sikap terhadap uang individu. Hal ini bertolakbelakang dengan penelitian Tang (1992) yang menyatakan bahwa usia memiliki korelasi positif yang signifikan dengan sikap terhadap uang seseorang, dimana semakin tinggi usia seseorang, maka semakin positif sikapnya terhadap uang. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, faktor budaya mempengaruhi sikap individu terhadap uang. Salah satu contoh pengaruh budaya pada hubungan usia dan sikap terhadap uang adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Durvasula dan Lysonski (2010) di negara Cina yang menyatakan bahwa anak-anak muda telah memiliki dorongan untuk mencari, memperoleh, dan memamerkan uang, karena mereka mengobservasi masyarakat yang memiliki banyak uang dan berada dari kelas sosial yang lebih tinggi yang dapat membeli apa saja dengan uang yang mereka miliki. Mereka menjadi role model bagi para anak muda di Cina sehingga anak-anak muda di Cina telah menganggap bahwa uang adalah suatu hal yang sangat penting. Di Indonesia sendiri, anak-anak muda telah banyak terpapar dengan sosial media yang semakin menampilkan fenomena kesenjangan sosial dalam masyarakat. Melalui media sosial tersebut mereka mengobservasi kalangan-kalangan dari kelas sosial yang lebih tinggi dan memiliki anggapan bahwa uang merupakan hal yang penting. Pada analisis selanjutnya peneliti melihat korelasi antara usia dengan integritas individu. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara usia dan integritas. Hal ini mungkin dapat dijelaskan berdasarkan tahap perkembangan moral Kohlberg (1976), semakin dewasa individu maka ia memasuki tahap perkembangan moral yang semakin menekankan kepatuhan pada prinsip etika dan nilai-nilai moral mengenai hal yang benar dan salah. Selain itu ditemukan juga bahwa tidak terdapat perbedaan mean skor integritas yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dan tidak terdapat perbedaan mean skor sikap terhadap uang yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Hasil ini bertentangan dengan penelitian
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
15
Lynn (1991) pada 43 negara yang menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin menunjukkan gambaran umum bahwa laki-laki menilai uang lebih tinggi dibandingkan perempuan pada 40 negara, dikarenakan laki-laki bersifat lebih kompetitif dibandingkan dengan perempuan. Hal ini mungkin dapat dijelaskan dengan pernyataan Naidoo dan Jano (2002) bahwa telah terjadi perubahan pada status wanita dalam masyarakat. Perubahan tersebut juga terjadi di Indonesia, dimana semakin banyak perempuan yang bekerja dalam keluarga. Penelitian Rubinstein (dalam Furnham dan Argyle, 1998) juga menyatakan bahwa bertolakbelakang dengan ekspektasi yang populer, ternyata laki-laki dan perempuan memiliki kepentingan yang setara mengenai pekerjaan dan keuangan dalam kehidupan mereka. Selanjutnya ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan mean sikap terhadap uang maupun integritas yang signifikan antara lima kelompok pendapatan per bulan responden. Hal ini bertentangan dengan Tang (1992) yang menyatakan bahwa sikap terhadap uang memiliki kaitan dengan pendapatan, dimana orang dengan pendapatan yang tinggi berpikir bahwa uang menunjukkan kesuksesan dan bukan merupakan suatu hal yang jahat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lynn (1991) pada 43 negara, ditemukan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara pendapatan per kapita sebuah negara dengan penilaian terhadap uang pada masyarakatnya, bukan korelasi dengan pendapatan pada masing-masing individu. Selain itu hasil ini juga didukung oleh pernyataan Yamauchi dan Templer (1982) bahwa sikap terhadap uang individu tidak memiliki hubungan dengan pendapatan pribadi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendapatan individu tidak mempengaruhi bagaimana sikap individu tersebut terhadap uang. Terakhir, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan mean sikap terhadap uang maupun integritas yang signifikan antara enam kelompok tingkat pendidikan responden. Menurut Barnard, Schurink, dan De Beer (2008), hal yang mempengaruhi perkembangan integritas seseorang merupakan konteks pendidikan dan budaya individu, yaitu bagaimana individu tersebut dididik untuk bertindak dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral, bukan tingkat pendidikan individu.
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
16
SARAN •
Saran Metodologis 1. Penelitian selanjutnya mengenai hubungan sikap terhadap uang dan integritas dapat memfokuskan penelitian untuk melihat hubungan sikap terhadap uang dan integritas pada karyawan yang lebih spesifik, seperti pada pemimpin-pemimpin perusahaan. Hal ini disebabkan karena berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, integritas
dinyatakan
sebagai
elemen
yang
paling
penting
dalam
kemampuan
kepemimpinan. 2. Penelitian selanjutnya dapat melihat perbedaan sikap terhadap uang dan integritas pada karyawan BUMN dan karyawan perusahaan swasta. 3. Pada penelitian ini mayoritas responden memiliki usia yang tergolong muda. Penelitan selanjutnya mengenai hubungan sikap terhadap uang dan integritas dapat memfokuskan pada karyawan dengan tingkat usia yang lebih tinggi agar dapat dilihat gambaran serta perbedaan sikap terhadap uang dan juga integritas antara orang-orang dengan usia muda dan juga orang-orang dengan usia yang lebih tua. •
Saran Praktis 1. Perusahaan dapat melakukan survei mengenai sikap terhadap uang pada karyawannya untuk mendapatkan gambaran mengenai sikap terhadap uang pada karyawan dan membuat perencanaan insentif berdasarkan kinerja karyawan, sehingga perilaku-perilaku tidak etis terkait dengan penyelewengan uang di perusahaan dapat dikurangi dan dapat terjadi peningkatan kinerja karyawan. 2. Berdasarkan hasil penelitian, orang-orang dengan usia yang lebih muda memiliki sikap terhadap uang yang lebih tinggi dan integritas yang lebih rendah. Oleh sebab itu, perusahaan dapat memberikan pelatihan untuk meningkatkan integritas karyawan, terutama bagi para calon karyawannya yang tergolong masih berusia muda.
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
17
Daftar Pustaka Barnard, A., Schurink, W., & De Beer, M. (2008). A conceptual framework of integrity. Journal of Industrial Psychology, 34(2), 40-49. Becker, T. E. (1998). Integrity in organisations: Beyond honesty and conscientiousness. Academy of Management Review, 23(1), 154–161. Cameron, K. S. (2003). Organisational virtuousness and performance. In J.E. Dutton & R.E. Quinn (Eds.), Positive Organisational Scholarship: Foundations of a New Discipline. San Francisco: Berrett-Koehler. Carter, S. L. (1996). Integrity. New York: HarperCollins Publishers. Davis, A. L. & Rothstein, H. R. (2006). The effects of perceived behavioral integrity of managers on employee attitude: a meta-analysis. Journal of Business Ethics, 67, 407-19. Dunn, C. P. (2009). Integrity matters. International Journal of Leadership Studies, 5(2), 102-125. Durvasula, S. & Lysonski, S. (2010). Money, money, money – how do attitudes toward money impact vanity and materialism? – the case of young chinese consumers. Journal of Consumer Marketing, 27(2), 169-179. Ferris, G. R., Liden, R. C., Munyon, T. P., Basik, K. J., Summers, J. K., & Buckley, M. R. (2009). Relationships at work: Toward a multidimensional conceptualization of dyadic work relationships. Journal of Management, 35(6), 1379-1403. Foster, T. R. (1993). 101 Great Mission Statements: How the World's Leading Companies Run their Businesses. London: Kogan Page. Furnham, A. & Argyle, M. (1998). The Psychology of Money. New York: Routledge. Harter, S. (2002). Authenticity. In C.R. Snyder & S.J. Lopez (Eds.), Handbook of positive psychology. New York: Oxford. Huberts, Leo, Anechiarico, F. & Frédérique (2008). Local Integrity Systems. World Cities Fighting Corruption and Safeguarding Integrity. The Hague: BJu Legal Publishers. Kasser, T. (2002). The High Price of Materialism. Cambridge, MA: MIT Press. Kohlberg, L. (1976). Moral stages and moralization: The cognitive-developmental approach. In T. Lickona (ed.), Moral Development and Behavior: Theory, Research, and Social Issues. New York: Holt, Reinhart & Winston. Lynn, M. (1991). Restaurant tipping: a reflection of customers' evaluations of a service. Journal
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
18
of Consumer Research, 18, 438-48. Murphy, P. E. (1998). Eighty Exemplary Ethics Statements. Notre Dame, Ind.: University of Notre Dame Press. Ones, D. S., Viswesvaran, C. & Schmidt, F. L. (1993). Comprehensive meta-analysis of integrity test validities: Findings and implications for personnel selection and theories of job performance. Journal of Applied Psychology. 78(4), 679–703. Schlenker, B. R. (2008). Integrity and character: implications of principled and expedient ethical ideologies. Journal of Social and Clinical Psychology, 27(10), 1078-1125. Shaw, R. B. (1997). Trust in the Balance: Building Successful Organizations on Results, Integrity, and Concern. San Francisco: Jossey-Bass. Solomon, R. C. (1992). Ethics and Excellence: Cooperation and Integrity in Busi- ness. New York: Oxford University Press. Sugiyono (2003). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Taneja, R. M. (2012). Money attitude — an abridgement. Journal of Arts, Science and Commerce, 3(3). Tang, T. L. P. (1992). The meaning of money revisited. Journal of Organizational Behavior, 13, 197-202. Tang, T. L. P. (1995). The development of a short money ethic scale: attitudes toward money and pay satisfaction revisited. Person Individual Differences, 19(6), 809-816. Verhezen, P. (2008). The (ir)relevance of integrity in organizations. Public Integrity, (10)2, 133149. Yukl, G. A. (2006). Leadership in Organizations. New York: Pearson/Prentice Hall.
Hubungan antara sikap terhadap..., Kartika Diva Asriani, F.PSIKOLOGI UI, 2014
19