NAVIRI
Newsletter Yayasan Silvagama. Online di alamat http://silvagama.org
M
otor yang aku tumpangi melaju kencang meninggalkan 1 2 Camp ALeRT di Bungur, kawasan hutan Taman Nasional 3 Way Kambas , Propinsi Lampung. Segera ilalang mengepungku. Semak perdu menyeruak dan tunggak-tunggak telanjang pun teracung ke langit. Namun, Suprapto, polisi hutan yang memboncengku lincah memacu motor. Seolah tak terganggu, lelaki asal Cilacap yang telah dua dekade bekerja di Way Kambas ini tetap piawai menerobos ilalang.
1 Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untukdipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dengan defenisi yang demikian, kawasan hutan tidak selalu bertutupan hutan. Dan itu tak jarang terjadi. Luas kawasan hutan Indonesia adalah 129.023.378,15 hektar. Dari keseluruhan kawasan tersebut, baru 21.448.000 hektar (setara dengan 16,62% dari total kawasan hutan) yang sudah tuntas dikukuhkan atau ditetapkan.
Tenggelam dibalut ilalang.
WAY KAMBAS TENGGELAM DALAM BALUTAN ILALANG Teks: Koen Setyawan Foto: Koen Setyawan dan Wito Dwi Prawiro Gambar 1. Padang ilalang sejauh mata memandang
Inilah wajah lain Taman Nasional Way Kambas. Wajah yang takkan pernah nongol di brosur wisata manapun.Way Kambas memang lebih kondang dengan gajahnya. Di sini, binatang darat terbesar di dunia ini menjadi ikon. Tetapi, gajah jualah sumber konflik berkepanjangan di Way Kambas. Ironis memang. Di satu sisi, dia atraksi nomor satu, bahkan 4 merepresentasi Propinsi Lampung . Di sisi lain, dia membawa masalah pelik karena kerap menyerang lahan produksi masyarakat. Sungguh, perebutan ruang hidup satwa dengan manusia terpampang telanjang di tempat ini5. Konflik penduduk dengan gajah ini tak lepas dari nyaris absennya kawasan penyangga (buffer zone) di Way Kambas. Sebagian besar tepi taman nasional ini berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk6 sehingga begitu gajah keluar taman nasional, ia langsung memasuki kawasan budidaya masyarakat.
NAVIRI November 8, 2013 Vol. 1. No. 1 Halaman 1 dari 6
2 Taman nasional adalah kawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka m a r ga s a t wa ) d a n k a wa s a n pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam) sering disebut sebagai kawasan konservasi.
3
Taman Nasional Way Kambas (TNWK) merupakan kawasan hutan konservasi yang ditunjuk melalui Surat Menteri Kehutanan No. 670/KptsII/1999 tanggal 26 Agustus 1999 dengan luasan mencapai 125.631.31 hektar. Secara administratif, TNWK berlokasi di Kabupaten Lampung Timur dengan koordinat geografis antara 40037' – 50016' Lintang Selatan dan antara 105033' – 105054' Bujur Timur.
Legenda Batas taman nasional Batas Sebaran ilalang Hutan Sebaran masif ilalang Laut
Gambar 2. Sebaran ilalang di Taman Nasional Way Kambas (Bahan diolah dari Google Earth)
Keterbatasan jumlah dan frekuensi patroli polhut7mengakibatkan relatif leluasanya manusia memasuki Way Kambas. Mereka mencari kayu, menangkap ikan, berburu, menggembala ternak, bahkan bertani. Hal ini tak lepas dari memori masyarakat yang masih lekat dengan bebasnya melenggang ke kawasan ini ketika masih menjadi 8 areal HPH . KEBAKARAN (ATAU PEMBAKARAN?) HUTAN Tiadanya tunggak-tunggak besar seolah bertutur bahwa pepohonan di kawasan ini telah dimusnahkan. Mungkin itulah dulu yang dipraktekkan oleh HPH. Pemusnahan pepohonan mengakibatkan kawasan menjadi terbuka sehingga mudah ditumbuhi ilalang. Sudah begitu, dampak El Nino yang dilanjutkan dengan La Nina turut menghadirkan kebakaran hebat pada tahun 1997/1998 sehingga meluluhlantakkan vegetasi hutan. Dan, ilalang pun mengambil alih9. Sial, ilalang gampang terbakar. Dia pun jadi bahan bakar saat kebakaran. Celakanya, iklim kemarau Way Kambas sungguh kering sehingga percik api dari puntung rokok sekalipun mudah memicu kebakaran hebat. Dengan masifnya sebaran ilalang, peluang munculnya titik api juga semakin bertambah. Udara musim kemarau yang terik dipadu dengan kondisi lahan yang terbuka tanpa pepohonan mengakibatkan api kebakaran kerap sulit dikendalikan karena angin menjadi kencang dan tak terduga arah bertiupnya. NAVIRI November 8, 2013 Vol. 1. No. 1 Halaman 2 dari 6
Bila melihat luasnya, terkesan TNWK bukanlah prioritas penting konservasi. Namun, tidak demikian halnya bila melihat secara menyeluruh Pulau Sumatera. Tekanan konversi yang luar biasa besar, baik menjadi HTI, perkebunan, maupun kawasan budidaya lainnya, terutama terjadi terhadap hutan dataran rendah di Sumatera. Dan, Way Kambas adalah salah satu hutan dataran rendah terluas yang tersisa di Sumatera. Keragaman hayati hutan dataran rendah jelas sedemikian tinggi, termasuk floranya. Demikian halnya Taman Nasional Way Kambas. Fauna yang hidup di taman nasional ini juga sangat penting karena setidaknya terdapat megafauna di TNWK, yakni gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), dan tapir (Tapirus indicus). Kawasan hutan di Provinsi Lampung telah ditunjuk sejak jaman Pemerintah Kolonial Belanda. Akan tetapi,luas kawasan hutan tersebut tahun demi tahun mengalami penyusutan.
Gambar 3. Kebakaran hutan
Sejatinya, kebakaran memicu tumbuhnya rerumputan baru yang disukai satwa. Tak lama setelah terbakar, satwa akan berdatangan memangsa pucuk-pucuk baru rerumputan. Sial, justru itulah yang diinginkan pemburu. Tarikan jemari mereka ke pelatuk senjata hampir selalu sama dengan tewasnya sang satwa. Maka, mungkin bukan kebakaran, tapi pembakaranlah yang kerap terjadi di Way 10 Kambas . Dan, praktek ini sudah berlangsung lama. “Para pemburu terbiasa menjebak satwa dengan membakar hutan. Setelah kebakaran biasanya aktivitas perburuan meningkat,” ungkap Suprapto. Tak heran, ilalang seolah abadi di Taman Nasional Way Kambas. RESTORASI Kebakaran yang rutin tentu tak hanya mengganggu pengelola Taman Nasional Way Kambas, tetapi juga satwa, terutama saat terjadinya kebakaran. Kehidupan satwa terganggu karena mematikan pakan dan mengganggu pergerakannya. Pemadaman tentu saja diperlukan, terutama untuk menghalangi perluasan lahan yang terbakar. Tetapi, itu saja tidak cukup. Ilalang harus dihambat pertumbuhannya dan bahkan harus diganti dengan vegetasi pepohonan yang menunjang kehidupan satwa dan ekosistem Way Kambas. Bila pepohonan tumbuh, tajuknya akan menaungi dan menghambat pertumbuhan ilalang. Akibatnya, sedikit demi sedikit ilalang tergusur dan berubah kembali menjadi belantara.
NAVIRI November 8, 2013 Vol. 1. No. 1 Halaman 3 dari 6
4 Kawasan di propinsi Lampung telah ditunjuk sejak zaman Kolonial Belanda. Akan tetapi dari tahun ke tahun luasnya kian menyusut. Pada tahun 1991, luas defenitif kawasan hutan Lampung seluas 1.237.268 hektar, yang menyusut menjadi 1.144.512 hektar pada tahun 1999, dan menyusut lagi menjadi 1.004.735 hektar pada tahun 2000 seiring terbitnya SK Menteri Kehutanan No. 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000. Selain TNWK, kawasan konservasi yang ada di Lampung antara lain Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (356.800 hektar), Cagar Alam Krakatau (13.735,1 hektar), dan Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rahman (22.244 hektar) 5 Setiap tahun selalu ada konflik penduduk dengan gajah di sekitar Way Kambas. Sebagai gambaran tingginya konflik tersebut terlihat dari rekaman Forum Rembug Desa Penyangga (FRDP) Way Kambas yang mencatat terjadinya 274 kali gangguan gajah hanya pada rentang Bulan Januari – Mei 2012 saja. 6 Terdapat 36 desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Way Kambas. Jumlah ini sangat mungkin bertambah mengingat terbukanya kemungkinan pemekaran desa bahkan ketika batas desa awal sekalipun belum jelas. 7 Polisi Hutan. Satuan pengamanan kawasan di dalam organisasi kerja Balai Taman Nasional Way Kambas.
2011 2006 2003 2001 Series1 2000 1999 1998 0
5000
10000 15000 20000 25000 30000 350 00
Gambar 4. Kejadian kebakaran hutan di Taman Nasional Way Kambas
Bukan perkara mudah mempersempit menghilangkan ilalang, ter masuk mempersempit potensi kebakaran, dan mengembalikannya menjadi hutan. Pertama, karena tak semata 11 berurusan dengan teknis reforestasi , tapi juga adanya faktor manusia yang aktif melakukan pembakaran.Terhadap hal seperti ini, tentu perlu strategi efektif untuk memonitor hingga mendeteksi masuknya para pembakar ilalang. Kedua, karena pada dasarnya ilalang sulit dimatikan. Bahkan kebakaran pun tak mematikannya. Tak lama setelah kebakaran, umbi dan akarnya segera tumbuh. Di sisi lain, abu bekas kebakaran pun justru turut menyuburkan tanah. Ketiga, kecepatan pertumbuhan ilalang yang jauh lebih cepat dibanding pepohonan hutan menjadi penghalang bertahan hidupnya anakan vegetasi pepohonan. Tanpa intervensi, ilalang akan dengan cepat melalap anakan vegetasi tersebut sehingga kesulitan mendapatkan sinar matahari dan ruang pertumbuhan. Keempat, pertumbuhan anakan vegetasi hutan juga dapat terganggu karena terbukanya lahan mengakibatkan pergerakan dan pandangan satwa lebih leluasa sehingga cenderung merenggut pucuk-pucuk pohon muda. Tak sempatlah anakan ini besar. Atau pertumbuhannya sangat lambat, dan ilalang pun rakus melahapnya. Menyadari tantangan inilah, Yayasan Silvagama12 secara sengaja memilih Komponen 1 (Reforestasi Tematik, Pengendalian Kebakaran Hutan, dan dan Pengamanan Suksesi Alami) dalam program 13 14 bersama Konsorsium ALeRT-Unila . Komponen ini memaksimalkan dukungan pendanaan TFCA Sumatera15. Namun, tak semua hal yang dibutuhkan dapat dipenuhi dari dukungan tersebut, dan karena itu Yayasan Silvagama pun menggali sumber-sumber dukungan lainnya, termasuk mengoptimalkan sumberdaya internalnya. NAVIRI November 8, 2013 Vol. 1. No. 1 Halaman 4 dari 6
8 Singkatan dari Hak Pengusahaan Hutan. HPH merupakan konsesi pemanenan kayu (logging) dalam kawasan hutan negara. Sebelum ditunjuk menjadi taman nasional, sebagaian kawasan Way Kambas merupakan areal HPH
9 Digitasi cepat Yayasan Silvagama mencatat eksisnya hamparan ilalang masif seluas 40.780 hektar di Resort Bungur dan sekitarnya. Hamparan ini saja sudah mencakup 32% dari seluruh luas TNWK. Padahal, masih terdapat beberapa spot illalang lainnya di dalam TNWK. 10 Tercatat kebakaran selalu terjadi hampir setiap tahun, dengan luasan areal bervariasi. Kebakaran terhebat dan mengakibatkan kerusakan terluas tentulah terjadi pada 1997/1998. 11 Selain Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) setiap tahun menanami padang ilalang dengan berbagai jenis tanaman. Organisasi lainnya, ALeRT (Aliansi Lestari Rimba Terpadu) pun tak ketinggalan melakukan reforestasi di TNWK.
Kami menyebut keseluruhan aktivitas ini dengan restorasi. Tak sekedar reforestasi, tapi juga menjadikannya sebagai upaya pemulihan ekosistem Way Kambas menjadi penyangga wildlife (hidupan liar atau alami) sekaligus menjamin dukungan ekologis bagi wilayah sekitarnya. Karena itulah, selain mengantisipasi kebakaran melalui skema, jalur tanam, dan pemilihan jenis tahan api, vegetasi pepohonan yang akan ditanam juga akan disesuaikan dengan jenis lokal dan pakan satwa, terutama gajah dan badak sumatera. Restorasi ini didesain untuk senantiasi sinergsi dengan program Balai Taman Nasional Way Kambas. Pun, akan semaksimal mungkin meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam implementasinya. Demikianlah, dalam jangka panjang restorasi ini dimaksudkan juga mengembangkan model dan penyusunan grand design restorasi ekosistem di seluruh Way Kambas. RAWA KADUT Di dekat penghujung punggungan beralur kecil itu, tiba-tiba ilalang tumbuh menggila, lebat dengan balutan semak-semak berduri. Ranting-rantingnya yang kaku menjuntai segera mencakar wajah dan tangan kami. Daun-daun ilalang membelit roda. Hendra, penduduk Way Bungur yang menjadi pekerja restorasi Yayasan Silvagama pun harus turun tangan menebas semak-semak dengan parangnya. Empat motor yang kami tumpangi pun berjalan terseokseok menerobos lebatnya ilalang. Tetapi setelah lepas dari hadangan rumput raksasa itu dan mendaki punggungan bukit kecil, ada oase lain yang menghibur. Sungai kecil mengalir dengan tenang di balik kerimbunan pohon. Bening airnya dipenuhi ikan kecil dan ikan gabus yang berenang bebas. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Rawa Kadut. Sungai itu meliuk seperti huruf U di antara padang ilalang. Dibatasi kanan kirinya dengan pohon-pohon besar. Sisanya, ilalang tumbuh tanpa ampun. Kami lihat peta, Rawa Kadut terletak di tengah hamparan ilalang. Di sinilah Camp Rawa Kadut akan kami bangun. “Lokasinya dilindungi aliran sungai bervegati rapat. Hanya di bagian ujung lekukan sungai itu yang terbuka. Kita tinggal menarik garis lurus yang panjangnya sekitar setengah kilometer dan membuatnya jadi sekat bakar,” kata Wito Dwi Prawiro, Koordinator Restorasi Silvagama. Menarik, karena pemilihan Rawa Kadut bukan tanpa alasan. Kegiatan restorasi yang dimulai di tengah hamparan ilalang, meskipun relatif jauh dari pemukiman dan atau pos pengelolaan, diharapkan memudahkan arah dan perluasan restorasi berikutnya. Selain itu, ada kolam air di dalam plot yang dipilih tersebut. Satu agak kecil sedang satunya lebih besar. Keduanya bisa menjadi NAVIRI November 8, 2013 Vol. 1. No. 1 Halaman 5 dari 6
12
Organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang pelestarian sumberdaya alam. Didirikan pada tanggal 12 November 2009 dengan tujuan mengupayakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam dan keseimbangan lingkungan demi kelangsungan kehidupan manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut, Silvagama melaksanakan kegiatankegiatan dengan maksud: (i) Mempromosikan aksi-aksi nyata dan positif dalam pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan; (ii) Mengeliminir aksi-aksi destruktif sumberdaya alam; (iii) Mengembangkan aktivitasa k t i v i t a s ya n g m e n d o ro n g peningkatan kesejahteraan dalam jangka panjang sebagai tools utama pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan; (iv) Melahirkan kebijakan -kebijakan yang berpihak pada k o n s e r va s i d a n p e n i n g k a t a n kesejahteraan; (v) Membentuk kaderkader pelestari sumberdaya alam sehingga baik secara pribadi dan dan atau bersama-sama dengan pihak lain terlibat dalam upaya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. 13 Program bersama ini terdiri atas 4 komponen, yang masing-masing adalah Komponen 1 (Reforestasi tematik (terutama pakan gajah), dalkarhut dan pengamanan suksesi alami), Komponen 2 (Pemantauan dan Perlindungan distribusi populasi dan kondisi sumber daya vital harimau, badak, gajah, tapir, beruang dan m e n t o k r i m b a ) , Ko m p o n e n 3 (Mengembangkan model pengelolaan ekowisata minat khusus), Komponen 4 (Pengembangan ekonomi kreatif dan penyadartahuan sebagai dukungan penanganan konflik satwamanusia). 14 Konsorsium ini terdiri atas ALeRT, Universitas Lampung (UNILA), Program Konservasi Harimau Sumatera (PKHS), Forum Rembug Desa Penyangga (FRDP) Way Kambas, Sajogyo I n s t i t u t e ( S A I N S ) , Ya y a s a n SILVAGAMA, Saka Wana Bakti Way Kambas, dan Save Indonesia Endangered Species (SIES).
Gambar 5. Rawa Kadut
sumber air untuk menyiram tanaman. Bisa pula untuk memadamkan api apabila terjadi kebakaran. Tak hanya itu, lokasinya yang jauh ke utara Resort Bungur diharapkan sebagai titik identifikasi penerobos taman nasional dari arah Utara. Batas terluar plot restorasi pun kami petakan. Desain penanaman yang kami rancang berbentuk lapisan berselang-seling 30 meter antara bagian yang ditanami dan yang dibiarkan ditumbuhi alangalang segera disesuaikan dengan lansekap aslinya. Camp ini kelak akan akan dihuni secara bergilir oleh petugas yang terdiri atas polhut dan staf Silvagama berikut masyarakat lokal. Camp ini juga akan dilengkapi dengan fasilitas pembibitan tanaman, tandon air, instalasi pengairan untuk pemeliharaan sekaligus pemadaman kebakaran, listrik tepat guna, dan berbagai kebutuhan penunjang lainnya. Betapapun perlu usaha keras sebelum semuanya terwujud. Paling tidak hari ini kami harus tersuruk-suruk menaklukkan kelebatan ilalang. Tetapi, bayangan pepohonan lebat yang kembali menghutan menggantikan padang ilalang semakin menguat di benak kami. “Jangan pernah menyerah sebelum mencobanya,” seloroh Hendra. Bernada kelakar memang dia, tapi tepat menggambarkan tekad kami. Di Rawa Kadut semua harapan menggumpal.
15 TFCA-Sumatera mer upakan program skema pengalihan utang untuk lingkungan (Debt for-Nature Swap) antara Pemerintah Amerika Serikatdan Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Pelestarian Hutan Tropis Pemerintah Amerika Serikat tahun 1998. Skema ini dirancang untuk mengurangi hutang luar negeri negara-negara yang memiliki kekayaan hutan tropis yang tinggi melalui program-program pelestarian alam. TFCA-Sumatera memfasilitasi pendanaan hibah untuk program-program restorasi dan konservasi kawasan di 13 bentang alam prioritas di Sumatera bersama mitra-mitra dari lembaga swadaya masyarakat, kelompok masyarakat, dan kalangan perguruan tinggi.
Gambar 6. Kotoran gajah, pertanda rawa kadut menjadi salah satu daerah jelajah gajah
Gambar 7. Lokasi Restorasi ALeRT
NAVIRI November 8, 2013 Vol. 1. No. 1 Halaman 6 dari 6