PERJUANGAN CINTA ENDY Panas dingin, denyut nadi menjadi super kencang bagai mesin turbo, mulut terkunci rapat bagai digembok baja, dan sendi sendi yang tidak bisa bergerak seperti kehabisan oli. Itu adalah gejala yang dialami Endy jika ia berpapasan dengan Rheina, gadis cantik nan mempesona yang dapat membuatnya hilang kendali. Kali ini, ia mengalami hal tersebut saat istirahat. Tak sengaja, Endy yang sedang manyun di depan mading bertabrakan dengan Rheina yang sedang membawa buku segunung sehingga menghalangi pandangannya. Akibatnya, buku yang dibawanya jatuh berantakan. “Duh, maaf ya. Tadi saya nggak ngeliat,” kata Rheina sambil memunguti bukunya yang berserakan. “Nggak apaapa kok,” balas Endy sambil membantu Rheina memunguti bukubuku. “Ini, bukunya,” ia terkejut saat melihat orang yang menabraknya adalah Rheina.
By Endy Maulidi (
[email protected])
1
“Thanks, ya!” kata Rheina lalu bergegas pergi. Endy yang tidak menyangka hal itu bisa terjadi shock berat. Tubuhnya kaku terpaku dan wajahnya pucat berjerawat. “Woi…! Jangan manyun kayak gitu! Mirip anak monyet aja lu,” teriak Dewi seraya menepuk bahu Endy keraskeras. Saking kerasnya, Endy yang kaget tak sengaja menyundul dada Fahrul, anak cowok tinggi besar yang sedang lewat. Persis kayak Zidane menyundul dada si muka terasi, eh salah, Materazzi. “Eh, apa maksud lu nyundul dada gue? Emangnya gue salah apa?” tanya Fahrul sambil memperlihatkan wajah seremnya yang seperti kolor ijo yang kehilangan kolor favoritnya itu. “Maaf, nggak sengaja! Swear, ditonjok cowok gondrong!” kata Endy ketakutan. “Banyak bacot lu. Terima pembalasanku ini! Hyaaat…!” sebuah pukulan keras tepat mengenai jidat Endy hingga ia terbang
By Endy Maulidi (
[email protected])
2
dan menghantam tembok. Parahnya lagi, kepalanya masuk ke tembok dan susah lepas. “Aduh, En. Maaf gue nggak sengaja,” kata Dewi saat menghampiri Endy yang kepalanya telah masuk ke dalam tembok beton. “Iya, iya. Gue maafkan. Tapi ingat! Jangan diulangin lagi ya,” kata Endy yang kepalanya masih ada di dalam tembok. “Baguslah kalau begitu. Sudah, ya. Aku mau ke perpustakaan dulu. Dah Endy,” kata Dewi lalu beranjak pergi. “Hey! Kepala gue masih di dalam, nih! Keluarkan dulu, baru boleh pergi!” teriak Endy sewot. Dewi berhenti dan kembali lagi dengan senyum yang melebar. “Hiii…, lupa! Tapi, bagaimana caranya?” Endy berpikir sejenak. Walaupun kepalanya ada di dalam tembok, ia masih dapat berpikir. Aneh, deh.
By Endy Maulidi (
[email protected])
3
“Bagaimana kalau kamu minta bantuan dengan orang yang berotot kekar kayak Ade Rai,” saran Endy. “Ade Rai? Memangnya dia ada di sini? Inikan sekolah biasa, bukan tempat fitnes,” sanggah Dewi. “Mungkin saja dia ada di sini. Nganter adeknya, kali,” “Memangnya Ade Rai punya adik?” “Mungkin kaleee…,” “Wah, apaan tuh?” tibatiba seseorang yang berbadan tegap menghampiri mereka. “Ada orang kepalanya masuk ke dalam tembok,” serunya lagi. “Hah, Ade Rai!” seru Dewi. “Apa? Terburai?” kata Endy ngeyel. “Bukan! Ada Ade Rai di sini,” seru Dewi. “Ade Rai, kok kamu ada di sini?” By Endy Maulidi (
[email protected])
4
“Heee, tadi waktu saya fitnes kebelet. Berhubung wcnya lagi error, karena emas batangannya nggak bisa kesedot toilet, jadi saya numpang di sini,” jawab Ade Rai. “Hah? Ade Rai kesambet?” kata Endy ngeyel. Mungkin karena kepalanya ada di tembok, membuat pendengarannya hancur berantakan. Dewi menendang pantat Endy keraskeras. “Diem, lu!” kata Dewi. “Ade Rai, tolongin keluarin kepala teman gue dong!” pintanya pula. “Jadi ini temanmu? Oke, dengan senang hati,” jawab Ade Rai. “Sekalian fitnes dan menambah pengalaman untuk hal aneh kayak gini” “Tarik yang kuat, ya,” teriak Endy dari dalam. “Siap? One, two, three…!” kepala Endy terbebas dari tembok. Saking kuatnya tarikan tersebut, temboknya hancur
By Endy Maulidi (
[email protected])
5
berantakan sedangkan Endy nyangkut di atap rumah orang karena terlepas dari genggaman Ade Rai. “Tolongin gue lagi dooong…!” ^_^ Suasana di perpustakaan sekolah hari ini terlihat begitu ramai. Banyak siswasiswi sedang membaca buku dengan gaya mereka masingmasing. Ada yang sambil berdiri, duduk, tengkurep, terlentang, tidurtiduran, bahkan ada sambil tidur beneran! Lho kok? Di antara siswasiswi tersebut, terlihatlah tokoh utama cerita ini. Anak bertampang lumayan dengan IQ yang lumayan juga itu sepertinya mencari sebuah buku di antara ribuan buku yang terpajang. “Buku puisi mana, ya?” katanya dalam hati sambil menggunakan telunjuknya sebagai pembantunya mencari buku. Kali ini ia menggunakan sarung tangan besi. Maklum saja,
By Endy Maulidi (
[email protected])
6
kemarin jari telunjuknya digigit kecoa saat mencari buku “Seni Membasmi Kecoa”. Hmm, pantesan. Saking sibuknya, dia nggak tahu kalau di sampingnya ada Rheina yang sedang membaca buku. Dia terus berjalan menyamping hingga ia menabrak Rheina. “Aduh, maaf! Nggak sengaja,” kata Endy spontan. “Nggak apaapa kok. Eh, kamukan yang waktu itu,” kata Rheina. “I, iya. Be, bener,” jawab Endy tergagapgagap. “Eh, kitakan belum kenalan. Aku Rheina Aghuirel. Kalau kamu?” “En, Entok! Eh, Endy. Ya, Endy Chaeruell,” “Ngomongngomong, kamu lagi cari buku apa?” “Bu, buku, buku pus, eh puisi. Iya, buku puisi,” By Endy Maulidi (
[email protected])
7
“Kok kamu ngomong kayak gitu, sih? Tapi, buku puisi di perpustakaan ini tinggal satu dan gue juga mau membacanya,” Endy terdiam. “Busyet! Buah Tukul Arwana, eh buah simalakama! Kalau gue nggak baca buku puisi itu, gue nggak bisa menyelesaikan tugas dari Pak Yamarie. Kalau gue minta buku itu, takut dia sakit hati, aduh…!” keluhnya dalam hati. “Bagaimana kalau kita baca bersama saja?” ajak Rheina. Seketika itu Endy diam tak bergerak. Kulitnya yang hitam berubah menjadi putih. Keringatnya mengalir deras hingga seember. Dia tidak menyangka mendapatkan kesempatan untuk berduaan dengan Rheina. Sungguh langka! Lebih langka daripada fosil Naga! Dengan mantap, Endy menganggukan kepalanya kuatkuat hingga kutukutunya terjun bebas. Rheina hanya bisa tersenyum kecil melihat tingkahnya yang aneh itu.
By Endy Maulidi (
[email protected])
8
Mereka begitu cepat akrab saat membaca buku puisi tersebut bersama. Mungkin mereka berdua itu samasama menyukai jenis sastra tersebut. Siapa tahu? Saking hanyutnya mereka berdua dalam membaca buku puisi tersebut membuat salah seorang siswa yang sedang membaca buku “How to be a Handsome Chef” terganggu. “Eh, lu bisa diem nggak?” bentak siswa itu setengah berbisik. Endy terdiam. Ditatapinya siswa tersebut dengan sorot mata harimau yang ingin buang hajat. “Eh, kenapa lu liat gue kayak gitu? Nggak terima lu gue tegur?” “Hee. Gue terganggu. Banget lagi,” “Kurang ajar lu! Gue sepak lu! Hyaaat…!” sebuah tendangan melayang tepat ke arah Endy. “Eits!” Endy berhasil menghindar dengan gaya Matrix.
By Endy Maulidi (
[email protected])
9
Keributan kecil terjadi. Namun, hal itu berubah menjadi besar saat seluruh siswa yang berada di perpustakaan tersebut terganggu oleh mereka berdua. Mengetahui hal tersebut, Rheina berusaha menenangkan Endy yang lagi bergulat dengan siswa aneh itu. “STOOOP…!” tibatiba sebuah suara menggetarkan daun telinga Endy dan siswa itu. “Dari tadi kalian ribut terus! Hal itu dilarang, tahu?” timpal suara itu lagi yang ternyata bersumber dari mulut penjaga perpustakaan. Endy dan siswa itu kembali tenang. Tapi, dengan api yang masih membara. “Awas, lu!” ancam siswa itu. “Apa? Tewas? Lu yang tewas,” kata Endy. Keributan kembali terjadi. Telinga penjaga perpustakaan mengeluarkan asap pekat Matanya memerah bagai cabe lombok
By Endy Maulidi (
[email protected])
10
yang dihaluskan dengan mulut. Dihampirinya Endy dan siswa itu yang sedang bergulat. “Tewas kaliaaan…!” sebuah tendangan kuat mendarat di pantat mereka berdua. Mereka terlempar ke atas dan menembus atap perpustakaan. Melesat jauh ke angkasa, meninggalkan dua bintik cahaya yang menyilaukan. ^_^ “Parfum?” tanya Dewi. “Sudah nempel,” jawab Endy mantap. “Sekuntum mawar?” “Mawar?” “Iya, mawar. Memangnya kenapa?”
By Endy Maulidi (
[email protected])
11
“He,he, he. Nggak bawa,” “Kok bisa nggak dibawa, sih? Kan. Di rumahmu ada tanaman mawar,” “Nggak tega aja, Dew. Sayang dong! Bunga secantik itu dirusak. Mengganggu ekosistem yang telah ada dan telah diatur sedemikian rupa sejak...,” “Stop,” kata Dewi.. “Oke, lalu…, mental?” “Sudah siap!” “Seberapa siap?” “Siap 100 ringgit. Sudahlah, engkau jangan terlalu khawatir. Aku yakin seyakinyakinnya kalau gue akan mendapatkan cintanya,” Dewi memandangi teman cowok begonya itu dengan tatapan mata yang tajam dan mengeluarkan sinar laser. Dia lalu memindai temannya itu dengan sinar laser yang terpancar dari matanya. By Endy Maulidi (
[email protected])
12
Dari ujung kakinya hingga ujung rambut yang sedikit keriting itu dipindainya dengan sempurna. Khawatir jika ada yang salah. “Jangan memandangiku seperti itu!” kata Endy sedikit takut. Seketika itu pula sinar laser dari mata Dewi padam. Matanya pun jadi meremmelek dibuatnya. “Tidak. Aku hanya ingin mengatakan semoga berhasil. Eh, itu Rheina! Ayo, cepat!” serunya pula. Endy segera menghampiri Rheina yang berhenti di depan mading, sedangkan Dewi mengawasinya dari kejauhan. Mungkin karena kesiapan mental Endy hanya 100 ringgit, ia tidak melihat ada kabel yang melintang dan…. “Bhyushet…!” Endy tersungkur di lantai dengan posisi seperti kodok terbang. Rheina terkejut. “Lho kok? Kamu bisa begini sih, En?” katanya kaget seraya membantu Endy duduk, sedangkan Dewi hanya gelenggeleng kepala di ujung sana.
By Endy Maulidi (
[email protected])
13
Wajah Endy terlihat memerah bagai tomat yang digoreng. “Nggak tahu. Tapi kayaknya gue kesandung sesuatu, deh,” jawabnya pula. Setelah keadaannya kembali pulih setelah kecelakaan barusan, ia lalu mulai menjalankan misinya. Ia pun berusaha mengumpulkan keberaniannya. “Kamu lagi ngapain? Kok ambil buang napas kayak gitu?” kata Rheina bingung. “Tidak apaapa kok,” jawab Endy. “Sebenarnya aku ingin mengatakan satu hal kepadamu,” “Apa?” Tanya Rheina. “Busyet! Gue keceplosan. Mental gue belum terkumpul semua, pasti sebagian mental gue nyemplung ke got waktu kesandung tadi,” keluh Endy dalam benaknya. “Kamu mau ngomong apa? Kayaknya serius nih,” By Endy Maulidi (
[email protected])
14
Endy berusaha tenang. “Memang serius! Rheina, kau harus mengetahui hal ini. Sesungguhnya aku, aku, gue, saye, ane, me, eeh eeh,” Rheina memandang wajah Endy dengan ekspresi kebingungan. “Aku, aku....! Baiklah! S, s saat pandangan pertama, di, di, diriku langsung jatuh hati kepadamu,” “Endy?” “Please, biarkan aku teruskan,” pinta Endy. “Mungkin engkau kaget mengetahui hal ini, akan tetapi, aku tidak dapat menyembunyikan perasaanku ini. Aku, aku, aku mencintaimu. Sungguh! Aku ingin menjadi kekasihmu,” kata Endy dengan seriusnya. Dewi termenung di ujung sana. “Hebat! Berani juga dia,” ucapnya pelan.
By Endy Maulidi (
[email protected])
15
“En, aku tahu apa yang kau maksud. Tapi, tampaknya hal itu mustahil,” jawab Rheina. Kini, Endy yang kaget. Rambutnya berdiri, keringat dingin sedingin air es mengalir. Membuat kutukutu yang ada di rambutnya mati kedinginan. “Kau harus tahu hal ini. Bahwa aku…, sudah mempunyai tunangan,” jawab Rheina. “Tapi, bukan berarti kita tidak dapat berdiskusi lagi soal puisi dan bertemu lagi. Aku janji, tidak akan melupakanmu. Khususnya sebagai seorang teman yang istimewa,” Dalam benaknya, Endy menangis. Dalam fisiknya ia tersenyum. Sedangkan hatinya hancur berantakan, padahal baru tadi pagi dibereskan. “En, kamu nggak marahkan?” tanya Rheina. Endy menggeleng. “Nggak,” sahutnya lirih. “Sebaiknya aku pulang, ada hal yang harus kukerjakan di rumah. Sampai jumpa,”
By Endy Maulidi (
[email protected])
16
Endy pulang dengan perasaan hancur lebur, disusul oleh Dewi yang harapharap cemas. Khawatir sohibnya itu patah kaki, eh, patah hati lalu bunuh sapi, eh bunuh diri! ^_^ Di dalam kamar yang sempit, terlihat Endy sedang bersembunyi di balik selimut. Menangis tersedusedu sambil menggigit bantal. Dewi yang datang menjenguk langsung iba dibuatnya. “Nak Endy sudah tiga hari tiga malam tidak kelaur dari selimut, lho nak Dewi. Ibu jadi khawatir kalau dia mati keputihan,” kata ibunya. “Mati keputihan? Maksudnya?” tanya Dewi bingung. Anak itukan nggak boleh bersembunyi dari matahari. Kalau satu hari nggak keluar dia akan ngelenger kayak tokek rebus,”
By Endy Maulidi (
[email protected])
17
“jadi, apa hubungannya dengan “mati keputihan”?” “Apa ya hubungannya? Kayaknya nggak ada, deh,” “Kalau nggak ada kok diomongin?” kata Dewi dalam hati. “Nak, Dewi! Tolong bantu ibu ya. Ibu takut kalau Endy begitu terus. Tolong sadarin dia, ya,” pinta ibunya. “Ini, saya mau coba,” kata Dewi “Endy,” kata Dewi sambil menepuk pundak Endy. Endy menyingkap selimutnya dan terlihatlah wajah sedih dengan ingus yang mengalir dan pipi yang basah. “Endy, kamu jangan cengeng dong! Terimalah hal ini,” kata Dewi berusaha membujuk temannya itu.
By Endy Maulidi (
[email protected])
18
Tangisan Endy pecah. Ia menangis seperti anak berusia lima tahun. Sambil menangis ia berbicara tak karuan yang kedengarannya cukup lucu di telinga Dewi. “Hwaaaa….!” tangisan Endy semakin pecah saat melihat Dewi tertawa kecil. Saat itulah ia mulai kalap dan memeluk Dewi. “Sedih…!” serunya. “Udah, ah! Diem dong, En! Kamu ini cengeng banget sih! Dunia belum kiamat. Ingat En, cewek di dunia bukan hanya dia, masih banyak yang lainnya, kok,” kata Dewi. Endy tak mendengarkan, ia malah semakin kencang memeluk Dewi sambil menyemburkan air garam dari bola matanya ke berbagai sudut ruangan hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. Capek nangis kali ya? Dasar cengeng! ^_^
By Endy Maulidi (
[email protected])
19
Pagi itu cuaca cukup cerah. Endy terlihat menyirami bunga mawar dikebunnya. Sambil menyiram, ia menyanyikan lagu “Sekuntum Mawar Merah” sambil breakdance. “Pagi, En! Udah baikan nih?” sapa Dewi. Endy yang lagi salto belakang sambil menyiram bunga mawar kaget dan terjatuh. “Adoooi…” teriaknya. “Kamu nggak apaapakan?” tanya Dewi sambil membantu Endy yang tersungkur di tanah. “Iya, gue nggak apaapa. Mungkin tulang leherku keseleo,” jawab Endy. “Ngomongngomong, kamu sudah baikan dari hari kemarin, kan?” “Iya, aku sudah agak baikan, nih,” “Lalu, sekarang perasaan kamu bagaimana?”
By Endy Maulidi (
[email protected])
20
Endy terdiam sejenak. “Apa kau tahu, mengapa aku tidak mau memetik bunga mawar ini waktu itu?” “Mengapa? Apa kau takut dimarahi ibumu?” “Bukan. Tetapi karena aku mencintainya. Bunga ini indah. Tapi bukan berarti karena indah kita dengan seenaknya dapat memetiknya,” “Lalu, apa hubungannya?” “Sekarang Aku tahu. Bahwa cinta itu tidak harus memiliki. Kita dapat mengungkapkan cinta kita dengan melindungi orang orang yang kita sayangi. Baik itu orang tua kita, teman, tetangga, bahkan orang lain. Cinta juga bukan semata hanya kepada sesama manusia saja. Tetapi kepada seluruh penghuni bumi ini. Termasuk pula flora dan fauna yang ada. Sekarang aku ingin menyatakan cintaku kepada makhluk hidup di bumi ini dengan merawat dan menjaga mereka baikbaik,” Dewi termenung. “Pidatomu hebat juga. Kamu bisa menjadi perwakilan WWF di Indonesia,” komentarnya pula. By Endy Maulidi (
[email protected])
21
Endy memandang Dewi dengan tatapan mata elang yang lagi pipis di dahan. “Jangan menatapku seperti itu!” kata Dewi sedikit takut. “Aku hanya bercanda, kok. Jangan dimasukan dalam hati,” timpalnya. “Bukan. Aku hanya ingin mengatakan bahwa sesungguhnya engkau itu cantik juga,” kata Endy dengan senyum dikulum kulum. “Apa?” kata Dewi sambil terbengongbengong. “Betapa bodohnya aku! Tidak menyadari betapa cantiknya dirimu,” dengan gaya telenovela bajakan ia merangkul tangan Dewi lalu berlutut. “Aku, mencintaimu,” katanya seraya mencium tangan Dewi. Dewi jadi tambah ngeri melihat temannya jadi begitu. “Hey, hentikan! Kok kamu bisa aneh kayak gini sih?” katanya seraya menarik tangannya. By Endy Maulidi (
[email protected])
22
“Memangnya apa yang aneh?” tanya Endy. “Baru sehari kamu shock berat garagara ditolak Rheina kok kamu jadi begini sih? Apa otak kamu berkurang sedikit waktu musibah saat itu?” “Nggak kok. Aku masih waras. Kalau dipikirpikir, lebih baik aku pacaran sama kamu saja. Lebih praktis dan tidak akan ada penolakan, iya kan?” “Nggak ah! Aku nggak mau pacaran sama kamu. Kamu orangnya aneh. Lebih baik kita berteman saja,” Endy menundukkan kepalanya. Dewi jadi salah tingkah dibuatnya. Takuttakut kalau dia “sakit” lagi. “En, kamu...,” baru saja tangan Dewi menyentuh bahu Endy, si Endynya malah nyemprot dia dengan selang air. “He, he, he…! Emangnya enak dibohongin! Weee…” kata Endy sambil menjulurkan lidahnya seraya menyemprot Dewi. By Endy Maulidi (
[email protected])
23
“Kurang ajaaaar...!” Dewi yang geram lantas menculik water canon milik Polisi yang sedang mengamankan demonstrasi mahasiswa. “Makan nih!” “Sroooot...!” “WAAAA....!” Endy pun terbang ke angkasa dan meninggalkan setitik cahaya yang menyilaukan. Dengan senyum yang melebar Dewi meniup pelan ujung water canon. “Endy, aku juga…, ah! Kok gue kepikiran kayak gini sich? Capeee’ deh…!” TamaT
By Endy Maulidi (
[email protected])
24