AAM AMRULLAH
PELANGI DI ATAP RUMAH (Kumpulan Cerpen)
Penerbit Nulisbuku.com
PELANGI DI ATAP RUMAH Oleh: (Aam Amrullah) Copyright © 2013 by (Aam Amrullah)
Penerbit (nulisbuku) (www.nulisbuku.com) (
[email protected])
Desain Sampul: (latar diambil dari: GOOGLE SEARCH)
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Untuk Ibunda tercinta…………………..
3
Untuk Keluarga, Sahabat dan Teman yang di cinta Maaf atas segala kelebihan dan kekurangan….
4
DAFTAR ISI
1.
DUNIAKU TIDAK GELAP (6~19)
2.
PELANGI DI ATAP RUMAH (20~31)
3.
SAHABAT (32~44)
4.
SANG BINTANG (45~47)
5.
RELAKAN (48~60)
6.
BUNGA DI TEPI JALAN (61~62)
7.
EKSPRESIKAN DIRIMU (63~73)
8.
CINTA (74~90)
9.
ONCE IN MY ARMS (91~93)
10. THE MUMMY IKUTAN BIMBEL (SAMBIL KEMPING BAWA TIMBEL) (94~109) 11. TANGIS DARA…(110~119)
12. INISIAL….Y (120~124) 13. GADIS ETALASE (125~129)
5
DUNIAKU TIDAK GELAP
Semua kehidupan ini sudah ada yang mengatur, begitu pula dengan diriku. Namaku Arif Rahman, seorang penulis best seller di tahun 80-an. Menjadi penulis bukan merupakan cita-citaku, semenjak sekolah dasar cita-citaku adalah menjadi dokter entah mengapa ketika kulihat pakaian dokter yang serba putih dengan stetoskopnya membuatku sangat iri dan ingin memakainya. Namun kenyataan terkadang jauh berbalik dari kemauan, beranjak dewasa aku beralih menjadi seorang ahli komputer tetapi malah masuk ke jurusan informatika bukan programmer, untungnya masih ada hubungan dengan cita-citaku tersebut. Mengambil jurusan informatika dan mengambil satu tahun penuh dengan tingkat diploma-1, meskipun ingin rasanya untuk berlanjut kejenjang yang lebih tinggi lagi namun kendala biaya yang tidak ada karena Ayah saat itu hanya mampu menyekolahkanku sampai kesana dan akupun tidak bisa berkata apapun karena memang kondisi beliau yang sudah tidak muda lagi dengan penghasilan pas-pasan kurang mampu untuk membiayai kuliahku. Sementara ibu sakit-sakitan dan adik-adikku yang harus menjaga dan merawatnya, akupun sebagai kakak merasa kasihan pada kondisi Ibu, beliau sudah lupa dengan ingatannya padahal usianya masih cukup muda belum mencapai umur 60 tahun. Terkadang ketika kami berbincangpun, beliau selalu bertanya dengan pertanyaan “kamu siapa yach?” aku sangat sedih dan dengan sabar dan menahan haru akupun menjawab 6
“ini aku mah, Rahman, anak pertama mamah?”. Setelah itu beliaupun termanggu dan melanjutkan lamunannya. Entah apa yang ada dibenak Ibu, aku selalu melihat dan memperhatikannya tetapi tetap saja jawabannya tiada. Dokter telah banyak memeriksa tetapi hasilnya nihil, kemungkinan paling dekat beliau mengidap penyakit penuaan dini. Memang penyakit yang tidak ada obatnya, karena menjadi tua sudah menjadi hal yang alamiah tetapi melihat kondisi Ibu sungguh tidak wajar. Perawatan medis di rumah sakitpun pernah dijalani tetapi hanya sampai beberapa bulan saja karena tersendat biaya, Ayah sudah banyak meminjam uang baik dari keluarga maupun teman dekatnya bahkan tetanggapun turut membantu. Melihat hal itu Ayahpun kemudian membawa Ibu ke rumah untuk dirawat dirumah saja karena pengobatan medis tidak ada hasilnya. Keluarga kami adalah keluarga sederhana dengan tiga anak dan aku adalah anak pertama dan satu-satunya laki-laki dirumah. Semenjak aku lulus kuliah akupun kemudian mencari pekerjaan di instansi swasta baik sebagai kuli maupun pekerja kantoran. Karena Ayah sekarang sudah tidak mampu lagi membiayai, pekerjaan beliau serabutan tidak ada yang tetap namun semangat juangnya untuk menghidupi kami sungguh besar dan termasuk yang bertanggung jawab. Adik-adikku Sinta dan Yulia sungguh anak yang solehah, walaupun jarak mereka berselang tiga tahun namun mereka selalu membantu berjualan kecil-kecilan maupun membantu mencuci di rumah tetangga. Akupun tidak pernah lepas dari berjualan gorengan hasil adik-adikku itu bahkan berjualan koran dan mengantarnya ke rumah-
7
rumah yang berlangganan tiap minggunya selalu kukerjakan tanpa mengenal lelah sedikitpun. Gorengan yang dibuat Sinta rasanya sangat lezat seperti masakan Ibu, ia selalu ingat rasa dan takaran bagaimana membuat gorengan di usianya yang terbilang muda berusia delapan tahun, sementara Yulia tipikal yang sangat manja karena ia anak bungsu dan paling disayang semua termasuk aku. Tingkah polahnya selalu membuat gemas orang-orang yang melihatnya, sayang Ibu tidak bisa mengenalnya namun Yulia sudah mengerti karena Ibunya sedang sakit . Satu hal yang Ibu selalu ingat ialah pakaian kebayanya yang berwarna hijau yang selalu ia pakai walaupun pakaian itu telah kotor, terus dicuci ketika Ibu melihatnya beliau pasti segera mengenakannya. Pakaian itu adalah pakaian pernikahan Ibu dan Ayah ketika mereka masih muda. Sebenarnya Ibu adalah seorang putri dari saudagar beras yang terpandang, ketika itu Ayah adalah pekerja disana entah darimana muncul benih-benih cinta diantara mereka namun selalu mereka tutupi karena takut ketahuan oleh saudagar beras, namun lama kelamaan percintaan merekapun tercium oleh ayah dari putri itu. Sang Ayah geram melihat putri satu-satunya memiliki hubungan kasih dengan pekerjanya yang berstatus rendah apalagi yatim piatu. Lalu dengan menyewa orang suruhan untuk menggertak ayah agar mau menjauhi ibu, tetapi ayah malah tidak gentar sedikitpun. Ayah sebenarnya ingin sekali menikahi ibu dengan restu dari kedua orangtua ibu, namun hati kakekku nyatanya sangat keras walau nenek sudah membujuk untuk merestui mereka berdua.
8
Ibu dengan cintanya yang tulus, terpaksa mengambil keputusan untuk kawin lari dengan ayah. Walau ayah tidak setuju dengan keputusannya, tetapi ayah akhirnya melakukannya juga. Mereka berdua kawin lari dengan saksi teman ayah dan ibu pa’Saman yang sudah dianggap paman sendiri oleh ayah. Dengan pesta pernikahan yang ala kadarnya di KUA mereka berdua akhirnya menikah secara syah oleh agama dan Negara. Baju pengantin kebaya ibu yang dibelikan ayah, walau sederhana tetapi ibu sangat senang dengan pemberian ayah. Walau tidak semewah yang ibu bisa dapat dengan kekayaan kakek namun ibu lebih memilih miskin dengan ayah asalkan bahagia. Kehidupan bahtera rumah tangga ayah dan ibu sangat bahagia, mereka menempati rumah jauh diluar kata sederhana. Walau begitu mereka tetap bahagia, apalagi ayah sangat bersemangat dan pekerja keras. Mereka kemudian melahirkan putra pertama mereka, aku kemudian menjadi bagian dari keluarga itu. Mendapat ayah yang bijak dan ibu yang penyayang adalah idaman keluarga bahagia, babak pertama semua baik-baik saja sampai babak kedua dimana pertengahan jalan semua berubah. Di saat aku mulai masuk ke SMU ibu mulai sakit-sakitan ketika melahirkan kedua adikku, sampai disaat aku lulus sekolah penyakit ibu semakin parah. Menurut dokter penyakitnya adalah penuaan dini yang jarang sekali terjadi, ayah sudah sangat tabah menerima semua ini. Tetapi si bungsu sulit sekali untuk mengetahui hati terdalamnya kenapa ibu sampai seperti itu?. Apakah ini kutukan?, entahlah semua terjadi begitu saja tanpa 9
ada yang mengetahui apa yang akan terjadi esok. Semua sudah tertulis dalam suratan takdir, hanya ikhlas dan sabar yang bisa kita jalani. Tetapi bisakah aku melaluinya?. Selulus kuliah dan bekerja dikantoran sebagai bagian administrasi, keluargaku mulai bisa terselamatkan dalam pendapatan. Karena ayah saat ini tidak bekerja, aku mulai berpikir untuk membuat warung kecil-kecilan untuk membuat ayah dapat kembali menyibukkan dirinya. Dengan meminjam uang dari kantor yang nantinya dipotong perbulan, akhirnya aku bisa membuat warung sederhana di depan rumah. Dengan begitu adik-adikku bisa membantu ayahnya dan tidak perlu lagi berjualan berkeliling dengan jajanan gorengannya. Walau pelupa, ibu masih sehat dan tidak sulit untuk makan. Aku terkadang menyuapinya disaat senggang dan terkadang sedih juga melihat ibu menjadi seperti ini, ayah sering berkata agar aku bisa cepat-cepat menikah agar ada yang membantu. Aku ingin sekali mengabulkan permintaannya tetapi tidak di saat ini. Apalagi teman sekantorku Wati sering sekali mengajakku kencan, tetapi aku berpikir lagi aku tidak mencari teman kencan tetapi teman hidup. Berkencan menurutku membuang waktu percuma, walau memang kita perlu mengenal satu sama lain tetapi tetap saja aku tidak bisa berbahagia sendiri sedang di rumah sedang kesusahan. Apalagi adikku Sinta sudah akan masuk SMU dan Yulia sebentar lagi masuk SD, aku harus ekstra kerja keras. Lalu mulailah aku menulis, sebenarnya menulis bukan hobiku aku lebih hobi membaca. Tetapi lama kelamaan keinginan untuk menulis 10
membuat aku ketagihan dan terus ketagihan dari cerpen sampai puisi pertama mulai banyak yang lainnya ku selesaikan. Sampai untuk pertama kalinya aku mengirim naskan cerpen pertama ke sebuah redaksi majalah, dan jawabannya pun tidak terlalu menggembirakan karena tulisanku ditolak dengan alasan kurang bagus atau sudah ada naskah yang lain. Akupun sempat down dan ingin rasanya untuk tidak menulis lagi, tetapi sekali lagi aku mencoba untuk mengirim dan mengirim terus menerus sampai akhirnya da salah satu redaksi yang bersedia mempublish naskahku dan mereka memberikan reward yang menurutku cukup lumayan besar untuk penulis amatiran seperti aku ini. Dari sanalah aku mulai rajin kembali menulis apapun yang aku bisa dan aku tahu, mulai dari artikel, cerpen, novel sampai puisi semua aku tulis dan kirim. Alhamdulillah penghasilanku dari menulis menambah pendapat dan sampai akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari kantor dan menjadi penulis novel. Novel pertamaku kemudian berhasil terjual banyak dipasaran dan akupun mulai pindah rumah ke yang lebih layak. Semua keluargaku ku ajak dan mereka sungguh bahagia, aku kemudian memeriksakan kembali ibu ke rumah sakit agar beliau bisa lebih sehat kembali. Namun tampaknya penyakit pelupa beliau tidak ada yang bisa menyembuhkan walau dokter termahal sekalipun. Semenjak itu ayah kembali mengingatkan aku untuk berkeluarga karena sekarang aku sudah sangat mapan, akupun setuju asalkan mendapatkan isteri yang berbakti 11
kepada keluarga kita. Alhamdulillah di masa pencarian ternyata Alloh memudahkan aku dalam mencari jodoh, namanya Anti dan dia seorang wanita solehah yang menjadi penggemar novelku sekaligus isteriku juga. Kamipun menikah di bulan September dan dikaruniai dua anak, kehidupan kelurga kami mulai kembali bersinar. Sinta sudah lulus kuliah kedokteran sekarang dan Yulia baru saja lulus dan segera masuk perguruan tinggi dan mengambil gelar insinyur, aku sangat bangga kepada mereka. Kedua mertuaku juga sangat baik kepadaku dan keluargaku, si kembar anakku Doni dan Dani makin lucu saja mereka. Lengkap rasanya kehidupan keluarga ini, semuanya serasa kembali seperti dulu di mana ibu masih ingat semuanya. Namun kebahagiaan tidak selamanya ada dan dirasakan oleh kami, aku harus kembali merasakan kesedihan. Saat lebaran aku dan istri beserta si kembar pulang mudik, terjadi kecelakaan namun kami selamat tetapi aku mendapat luka di kedua mataku yang mengharuskan aku di operasi mata. “mata anda tidak bisa kami selamatkan, pencakokan retina sepertinya tidak bisa kami lakukan untuk saat ini. Mungkin nanti setelah beberapa bulan kita lihat lagi hasilnya”. Begitulah yang kudengar dan kami dengar dari dokter yang merawatku. “kakak yang tegar dan tabah. Semuanya pasti ada maksud dan hikmah di balik musibah ini kak”. Yulia mencoba untuk menenangkan aku tetapi Anti tidak kuasa melihat kondisi ini ia terus saja menangis.
12