MENGEMBANGAKAN KESEJAHTERAAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK SEBAGAI KATALIS BANGSA INOVATIF Aam Imaddudin*
[email protected] ABSTRAK Kesejahteraan spiritual secara jelas merupakan hal pertama yang diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, dimana salah satu tujuan diselenggarakannya pendidikan adalah harapan bahwa setiap peserta didik memiliki kekuatan spiritual keagamaan, sebagai fondasi pribadi-pribadi tangguh generasi penerus bangsa. Kajian ini dilakukan dengan pendekatan kajian pustaka yaitu penelaahan secara mendalam pelbagai rujukan yang relevan untuk memperkokoh pemahaman dan kerangka fikir mengenai topik perkembangan kesejahteraan spiritual peserta didik.Dimensi spiritual merupakan salah satu ciri kemanusiaan, dan kesejahteraan spiritual merupakan dimensi psikologis individu yang merefleksikan kesehatan spiritual individu. Kata kunci :
Kesejateraan spiritual, Perkembangan SpiritualPeserta Didik
A. Pendahuluan ’The question is not at what age or developmental level children can understand spiritual concepts, but how the child, at his age and developmental level understands and expresses his or her spirituality.’ (Doka dalam Pfund, 2000 : 143) Dimensi spiritual menjadi sedikit tabu untuk disentuh dan dikembangkan oleh lembaga pendidikan, karena isu spiritualitas lekat dengan isu-isu keagamaan yang sensitif dan personal. Hal ini disandarkan pada sebuah pemahaman bahwa kemampuan dan tahap perkembangan anak belum mampu mencerna konsep-konsep abstrak semisal spiritualitas. Padahal seperti dikutif dari pendapat Doka (Pfund, 2000: 143) yang menyebutkan bahwa permasalahannya PEDAGOGIK Vol. III, No. 1, Februari 2015
bukan pada usia berapa atau pada tahap perkembangan yang mana seorang anak mampu memahami konsep spiritual, melainkan yang harus dipikirkan adalah bagaiaman caranya supaya setiap anak pada jenjang usia dan tahap perkembangannya mampu memahami dan mengeksperesikan spiritualitasnya. Dengan demikian jelas bahwa konsep spiritualitas bukan wilayah monopoli orang dewasa saja, melainkan ada dalam setiap rentang perkembangan yang sejatinya harus dimiliki oleh setiap individu dalam setiap jenjang usia dan tahap perkembangan. Indonesia saat ini sudah mendeklarasikan Generesi Emas 2045, tonggak sejarah dimana Bangsa Indonesia genap 100 tahun merdeka. Pada momentum ini Indonesia diprediksikan memiliki modal sumber daya manusia
51
produktif mencapai 60 % dari seluruh populasi manusia Indonesia. Fenomena generasi emas muncul bersamaan dengan berkembangannya isu Innovation Nations, dimana berbagai negara berpacu melakukan beragama inovasi dalam pembangunan ekonomi, teknologi, pendidikan dan berbagai aspek yang menunjang kemajuan sebuah bangsa dan negara. Institute for global future (2013) mengkaji beberapa isu yang menjadi tantangan bagi bangsa-bangsa inovatif, yaitu : M Commerce Explodes, The Social Media Enterprise, The Predictive Organization, Sustainable Cities, Extreme Climate Change, The Robots R Coming, Personalized Medicine, Learning 2.0, Talent War, Neuro-Enhancement, Harnessing Big Data, Personal 3D Printing, Energy X, Quantum Computing Breaks Out Tentunya akan muncul sebuah pertanyaan mendasar, sosok manusia indonesia sepertia apa yang dimaksud dengan generasi emas, dan strategi apa yang bisa dilakukan untuk membina generasi emas tersebut. Jawaban yang komprehensif sekaligus dilematis adalah pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Plato (Manullang, 2013) bahwa: “If you ask what is the good of education, in general, the answer is easy, that education makes goodmen, and that good men act nobly”. Prayitno dan Manullang (2011) mengatakan bahwa “The end of education is character”. Jadi, seluruh aktivitas pendidikan semestinya bermuara kepada pembentukan karakter. Pendidikan bisa menjadi jawaban, karena sejatinya pendidikan adalah sarana untuk memperbaiki sebuah bangsa, akan tetapi pendidikan seperti PEDAGOGIK Vol. III, No. 1, Februari 2015
apa yang bisa membantu Bangsa Indonesia mencapai generasi emas, maka untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu mengembalikan kepada hakikat pendidikan menurut Undang-undang sistem pendidikan nasional No. 20 Th 2003 yang menyatakan dengan tegas bahwa pendidikan bahwa“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Nukilan hakikat pendidikan dari undang-undang tersebut secara jelas menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk memfasilitasi peserta didik mengembangkan segenap potensi fitrahnya yang diawali dengan memiliki kekuatan spiritual keagamaan, sejatinya ini merupakan pesan utama yang perlu dipahami dan diterjemahkan dalam setiap layanan pendidikan, hal ini menyiratkan bahwa sebagai pendidik harus mampu menterjemahkan bentuk dan upaya sadar untuk membantu setiap peserta didik pada setiap jenjang usia dan tahap perkembangannya mampu memiliki kekuatan spiritual keagamaan sebagai modal dalam menjalani kehidupan, dan potensi lainnya sebagai sosok generasi emas yang tangguh. Namun, konsep ideal tersebut perlu kita renungi dengan melihat fakta dan realita yang terjadi saat ini dalam praktek pendidikan, kasus tawuran, vidieo asusila pelajar dan mahasiswa, sex bebas, penyalahgunaan NAFZA, tindakan 52
kekerasan di kalangan pelajar, semakin hari bukan semakin berkurang, bahkan cenderung meningkat. Kasus bullying di Bukit tinggi (Sindonews.com, Senin, 13 Oktober 2014), kasus pembunuhan berencana anak SD usia 12 tahun di Depok (Ira Umar, kompasiana.com, 18 February 2012), siswa kelas 1 SD di Kalimantan Tengah menjadi korban pengeroyokan kaka kelas hingga buta (liputan6.com, Senin 17 November 2014), dan beberapa kasus lain seperti seperti dikutif oleh Imaddudin (2011 : 2) Contoh kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri diantaranya seperti , kasus Fifi Kusrini (13 tahun) pada tanggal 15 Juli 2005 (Kick Andy, Juni 2007), Miftahul Jannah (13 tahun) (RADAR SIDOARJO, Kamis, 24 Feb 2005), dan Heryanto (13 tahun) (GATRA, Agustus 2003). Contoh lain yang menunjukan perkembangan yang mengkhawatirkan adalah perkembangan penyalahgunaan narkotika, psikotrofika dan zat adiktif lainnya (NAFZA). Tahun 2006, tercatat total pengguna narkoba di Indonesia mencapai 3,2 juta orang. Sebanyak 1,1 juta orang di antaranya adalah pengguna dari kalangan SD, SMP, SMA dan Mahasiswa. Sekira 0,72% atau 8.000 siswa sekolah dasar di Indonesia ditemukan menjadi pengguna narkotika pada tahun tersebut (Tamim, 2010:8). Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan menyiratkan bahwa peserta didik mengalami ketidaksejahteraan, sehingga para peserta didik kering secara psikospiritual, yang akhirnya menuntun pada tindakan yang tidak terkendali. Kesejahteraan yang dimaksud bukan hanya kesejahteraan yang bersifat materi atau fisik saja, atau sekedar terbebas dari PEDAGOGIK Vol. III, No. 1, Februari 2015
wabah penyakit, bencana, akan tetapi bagaimana setiap peserta didik memperoleh kesempatan untuk mengembangkan seluruh potensi dirinya (Roscoe : 2009). Kesejahteraan merupakan hak setiap peserta didik, pendidikan harus mampu mensejahterakan peserta didik, bahkan secara mendasar kesejahteraan adalah salah satu tujuan dalam pendidikan (Marples, 1999, DECS, 2006). Kesejahteraan pada hakikatnya merupakan kondisi dimana individu mencapai kebahagian dan keselarasan hidup dalam seluruh dimensi, baik dilihat dari dimensi fisik, intelektual, sosial, spiritual, mental, okupasional (Michalos dalam Singh & Arora, 2010; Kitko, 2001). Permasalahan yang timbul di kalangan peserta didik menunjukan adanya hambatan perkembangan dari seluruh dimensi peserta didik, sehingga muncul ketidakselarasan dalam perilaku peserta didik. Paparan diatas sedikit memberikan penjelasan dan keyakinan bahwa apa yang diamanatkan dalam undang-undang bahwa pendidikan harus mampu memfasilitasi peserta didik mengembangkan potensi dirinya, termasuk poin utama adalah kekuatan spritual keagamaan, hal ini didasarkan pada apa yang telah dipaparkan diatas bahwa dimensi kesejahteraan tidak hanya meliputi dimensi fisik melainkan meliputi dimensi psikologis dan spiritual. Jika hal ini kita hubungkan dengan gembar-gembor Generasi Emas 2045, maka pesan tegasnya adalah pendidikan merupakan garda terdepan dalam mengawal generasi emas 2045, dan semua harus berpegang teguh dengan amanat undang-undang mengenai target 53
dari pendidikan kita, yaitu manusia Indonesia yang berkarater dengan indikator kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Menyikapi hal ini, sebagai bagian dari proses pendidikan, layanan bimbingan dan konseling tentunya memiliki peran, hal ini sejalan dengan prinsip bimbingan dan konseling, bahwa layanan yang diberikan adalah layanan yang memandirikan dalam upaya mengoptimalkan seluruh potensi peserta didik. Kondisi inilah yang menstimulasi untuk melakukan sebuah kajian yang minimal mampu menjawab beberapa pertanyaan mendasar mengenai perkembangan kesejahteraan spiritual bagi peserta didik. B.
Konsep Dasar Kesejahteraan Spiritual 1. MaknaSpiritual/Spiritualitas Kesadaran mengenai kenyataan bahwa individu merupakan makhluk yang sangat kompleks dan multisistem, serta berkembangnya pemahamanan dan pengakuan mengenai aspek spiritual dalam perkembangan individu, menjadi pendorong munculnya berbagai kajiankajian ilmiah mengenai konsep spiritual. Bahkan Jung (dalam Stanard, Sandhu, & Painter, 2000 ) menegaskan bahwa individu pada dasarnya bukan hanya sekedar makhluk psikoseksual dan psikososial saja, akan tetapi individu juga merupakan makhluk psikospiritual. Konsep spiritual/spiritualitas, secara etimologiskata spiritual/spiritualitas (spirituality), berasal dari kata Latin PEDAGOGIK Vol. III, No. 1, Februari 2015
"spiritus" yang berarti: breath of life (nafas kehidupan), wind (angin), vigor (kekuatan/tenaga), courage (keberanian/keteguhan hati) (Miller, 2003: 6); soul (roh/sukma), self (diri), truth (kebenaran), God (Tuhan) (Shadu: 1975: 20). Kata spiritus dalam arti nafas kehidupan atau roh adalah lawan kata anima.Pengertian tersebut sama artinya dengan kata-kata dalam beberapa bahasa, antara lain: psykhe sebagai lawan kata pneuma dalam bahasa Yunani; ruach sebagai lawan kata neshama dalam bahasa Ibrani; espirit dalam bahasa Perancis Kuno (Abad 13); prana dalam bahasa India. (Imaddudin, 2011: 23). Makna spiritual dapat dimaknai sebagai transendensi yang merupakan capaian tertinggi dalam perkembangan individu, sebagai motivasi yang mendorong individu dalam mencari makna dan tujuan hidup, sebagai ciri kemanusiaan yang membedakan individu dengan makhluk yang lainnya, dan sebagai dimensi kemanusiaan yang dapat menjadi indikator kesehatan individu (Maslow, 1971; Ellison 1983; dan Banner, 1991; Ingersol & Bauer, 2004). Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan istilah spiritual merupakan bagian dari perkembangan individu, aspek spiritual dapat mendorong individu untuk mencari hakikat mengenai keberadaan diri, yang pada akhirnya dapat memandu individu dalam mencapai aktualisasi diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga individu mampu mengapresiasi keindahan, kebenaran, kesatuan, dan pengorbanan dalam hidup, serta individu mampu menghargai individu lain dan makhluk hidup lainnya. 54
2. Hakikat Kesejahteraan Spiritual Konsep kesejahteraan merupakan pengembangan dari konsep-konsep yang dikaji dalam perkembangan psikologi positif yang dipelopori salah satunya oleh Seligman dan Csikszentmihalyi(Purney & Dufey, 2005; Roscoe 2009). Konsep kesejahteraan berkaitan dengan kebahagian, keselarasan, kualitas hidup, dan kepuasan hidup (Singh & Arora, 2010). Kesejahteraan pada hakikatnya merupakan kondisi dimana individu mencapai kebahagian dan keselarasan hidup dalam seluruh dimensi, baik dilihat dari dimensi fisik, intelektual, sosial, spiritual, mental, okupasional, yang secara keseluruhan merupakan dimensi yang menjadi ciri kemanusiaan dan dapat menjadi indikator atas kualitas dan kesehatan individu baik secara fisik maupun psikis (Michalos dalam Singh & Arora, 2010; Kitko, 2001, Ingersoll & Bauer 2004). Keenam dimensi kesejahteraan yang melekat pada diri individu bukan dimensi yang berdiri sendiri, melainkan dimensi yang saling terkait satu dengan yang lain, sehingga individu tidak hanya mampu mengembangkan dirinya saja, akan tetapi mampu terhubung dengan lingkungan, dan terhubung dengan Sang Maha Pencipta sebagai makhluk, sehingga individu mampu menangkap makna dari peristiwa yang dialami, memiliki tujuan hidup yang lebih bermakna (Fisher, 1999; Chandler, Holden, & Kolander, 1992). Dimensi spiritual merupakan komponen yang menghubungkan seluruh dimensi kesejahteraan, dan memiliki sifat resiprokal terhadap seluruh dimensi kesejahteraan lainnya yang lain, artinya PEDAGOGIK Vol. III, No. 1, Februari 2015
setiap dimensi kesejahteraan hakikatnya mengandung aspek spiritual, sehingga dengan tegas dapat dikatakan bahwa setiap dimensi kesejahteraan bukan dimensi yang berdiri sendiri tetapi saling terhubung dan yang menjadi komponen perekat interelasi seluruh dimensi kesejahteraan individu adalah kesejahteraan spiritual (Chandler, Holden, & Kolander, 1992; Cashwell & Woolington, 1998). Sehingga dengan demikian dimensi spritual dalam kesejahteraan individu dapat menjadi indikator kualitas kehidupan individu, karena individu yang memiliki kesejateraan spritual yang sehat akan menjalani kehidupan secara harmoni, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian lingkungan sosial (Sherman at al, 2005; Bredle at al, 2011, Opatz dalam Chandler, Holden, & Kolander, 1992).
Gambar 1.1 Model holistik pencapaian kesejahteraan (Chandler, Holden, & Kolander, 1992)
Kondisi yang saling terhubung dan berinteraksi antar dimensi dengan dimensi spiritual sebagai sentral dari kelima dimensi lain akan menyeimbangkan proses perkembangan seluruh dimensi dalam diri individu, dan akan mencapai perkembangan yang optimum, sebaliknya jika lima dimensi 55
wellness berkembang atau dikembangkan tanpa menghiraukan dimensi spiritual, maka akan terjadi perkembangan yang tidak lengkap. Model Kesejahteraan Holistik merupakan konsep yang menyatakan bahwa kesejahteraan spiritual menjadi pusat dan menghubungkan seluruh dimensi kesejahteraan.Model kesejahteraan holistik berprinsip bahwa individu akan mencapai kesejahteraan yang optimal ketika lima dimensi kesejateraan berkembang secara seimbang dalam realitas pribadi dan C. spiritual individu. Pencapaian tingkat kesejahteraan yang optimal memerlukan komponen spiritual dalam setiap dimensi kesejateraan, tanpa memperdulikan komponen spiritual maka perkembangan individu menjadi tidak lengkap (Chandler, Holden dan Kolander 1992).
Gambar 1.2 Holistic Flow Model of Spiritual Wellness (Purdy & Dupey, 2005)
Model lain yang melihat secara holitik perkembangan kesejahteraan dikembangkan oleh Purdy& Dupey (2005) dengan menggunkan istilah Holistic Flow Model of Spiritual Wellness, model ini PEDAGOGIK Vol. III, No. 1, Februari 2015
menggunakan prinsip aliran energi, dan menempatkan spiritualitas sebagai inti dari aliran energi yang menggerakan , menyeimbangkan, dan mempengaruhi kesehatan dan kebahagiaan dalam setiap dimensi. Holistic Flow Model of Spiritual Wellness meliputi aspek; 1) keyakinan kekuatan yang mengatur alam semeseta, 2) connectedness, 3) keimanan, 4) pengorbanan, 5). Kemampuan memaknai kematian (Purdy & Dupey, 2000, 2003). Upaya Mengembangkan Kesejahteraan Spiritual Corey (Stanard, Sandhu, & Painter, 2000)menegaskan perkembangan spiritualitas dalam layanan konseling di era modern saat ini sebagai bagian penting dan integral dalam perkembangan kepribadian individu semakin mendapatkan momentum pengakuan, hal ini akan terus semakin berkembang sejalan dengan perhatian mengenai aspek spiritualitas konseli dalam abad ke 21. Perkembangan dimensi spiritual secara alamiah dapat berkembang pada diri setiap individu, akan tetapi perkembangan spiritual dapat berkembang dengan bantuan lingkungan diluar diri individu yang memberikan pengalaman dan penguatan spiritual, sehingga dimensi spiritual semakin kokoh dan mampu menyeimbangkan dimensi perkembangan yang lain. dimensi spiritual berkembang pada saat individu dilahirkan, bahkan pada saat individu masih dalam rahim seorang ibu. Perkembangan dimensi spiritual dipengaruhi oleh lingkungan tempat dimana individu berkembang. Peran lingkungan sangat mempengaruhi baik 56
atau tidaknya perkembangan dimensi spiritual individu.(Chandler, Holden, dan Kolander (1992) Lingkungan bisa memberikan pengalaman yang menumbuhkan kesadaran individu tentang siapa dirinyaD. dan memfungsikan dimensi spiritualnya. Dimensi spiritual bukan sebatas pengetahuan yang menggerakan keterampilan saja, melainkan suatu kesadaran tentang siapa dirinya, sehingga dimensi spiritual ini menjadi perekat dan penguat perkembangan dimensi yang lain. Proses perkembangan kesejahteraan spiritual akan sangat terbantu oleh peran lingkungan, menurut Pfund (2000), proses pengembangan dan perkembangan spiritulitas anak harus didampingi dengan pendekatan yang menyelenggarakan yang menyeluruh, dalam arti setiap pihak harus terlibat seperti orang tua, pendidik, dan masyarakat, hal ini diasumsikan bahwa lingkungan yang memiliki kesadaran dan kekuatan spiritualitas dalam kesehariannya akan memberikan dampak positif, hal ini sejalan dengan tahap perkembangan anak yang sangat peka dengan pengaruh lingkungan. Selain itu, arti dimensi kesejahteraan spiritual berkorelasi dengan dimensi perkembangan yang lain, seperti dimensi kognitif, social, psikoseksual, dan perkembangan moral. Hal ini menunjukan bahwa dalam perkembangannnya dimensi spiritual tidak bisa dilepaskan dan akan saling terhubung, oleh karena proses pengembangannya tidak bisa dipisahpisahkan dengan dimensi perkembangan yang lain. Kondisi tersebut menyiratkan bahwa bagi para pendidik dalam proses mengembangan kesejahteraan spiritual peserta didik terlebih dulu harus memiliki PEDAGOGIK Vol. III, No. 1, Februari 2015
kekuatan dan kesadaran spiritual, keterampilan dan kematangan emosional yang dapat menunjang perkembangan kesejahteraan spiritual peserta didik. Karakteristik Perkembangan Spiritual Peserta Didik Perkembangan spiritualitas merupakan proses yang bersifat kontinum dan dinamis, spiritualitas dalam konteks perkembangan anak merupakan proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan, serta seluruh alam semesta. Perkembangan spiritualitasterdiri dari tiga komponen utama, Search Institute (2008 Tersedia : www.searchinstitute.org. 15 Juli 2010) menjelaskan sebagai berikut “ Spiritual development is, in part, a constant, ongoing, dynamic, and ometimes difficult interplay between three core developmental processes (which are emphasized differently in different cultures and traditions)” “Awareness or awakening—Being or becoming aware of or awakening to one’s self, others, and the universe (which may be understood as including the sacred or divine) in ways that cultivate identity, meaning, and purpose. Interconnecting and belonging— Seeking, accepting, or experiencing significance in relationships to and interdependence with others, the world, or one’s sense of the transcendent (often including an understanding of God or a higher power); and linking to narratives, beliefs, and traditions that give meaning to human experience across time. A way of living—Authentically expressing one’s identity, passions, values, 57
and creativity through relationships, activities, and/or practices that shape bonds with oneself, family, community, humanity, the world, and/or that which one believes to be transcendent or sacred.”
Gambar 1.3 Interkoneksi Aspek Perkembangan Spiritual (www.search-institute.org)
Berbagai paparan konsep mengenai spiritualitas di atas dapat dipahami bahwa spiritualitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang diperlukan dalam menjalani proses kehidupan. Spiritualitas dalam konteks perkembangan anak merupakan proses perkembangan kesadaran mengenai hakikat dan keberadaan diri, orang lain dan lingkungan, serta seluruh alam semesta. Perkembangan spiritualitas juga ditandai dengan kemampuan untuk menjalin hubungan dengan sesama, dan mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa atau kekuatan yang berada di luar dirinya. Spiritualitas juga membantu anak untuk bisa mengekspresikan identitas diri, nilai-nilai dalam proses menjalin hubungan dengan sesama. Perkembangan spiritual akan erat kaitannya dengan perkembangan penghayatan keagamaan, dan PEDAGOGIK Vol. III, No. 1, Februari 2015
perkembangan keyakinan, serta berbagai aspek perkembangan lainnya. Hal ini senada dengan penjelasan Abin Syamsuddin (2007: 105-110) yang menyatakan bahwa perkembangan perilaku keagamaan dalam satu paket dengan perkembangan perilaku sosial dan moralitas. Bahkan, dijelaskan bahwa perkembangan penghayatan keagamaan sejalan dengan perkembangan moralitas dan erat kaitannya dengan perkembangan intelektual, emosional, dan volisional (konatif). Hal ini dimungkinkan karena secara potensial (fitriah) manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) dan makhluk beragama. Perkembangan pengahayatan keagamaan dalam sudut pandang Brigtman (Abin Syamsuddin, 2007: 108) merupakan pengakuan atas keberadaan (the excistence of great power) dan mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang eternal (abadi) yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini. Pendapat tersebut di atas, menegaskan bahwa perkembangan spiritual sejalan dengan aspek perkembangan lainnya, antara lain perkembangan kognitif, emosi, moral, dan penghayatan keagamaan. Hyde (Hood, Jr. et.al, 2009: 77) memaparkan bahwa untuk mengkaji perkembangan spiritualitas dan penghayatan keagamaan harus juga mengkaji perkembangan kognitif, “The study of religion in childhood and adolescence has been dominated for thirty years by investigations of the process by which religious thinking develops”. Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan penghayatan keagamaan berhubungan dengan 58
1.
kemampuan individu mencerna dan memaknai informasi, yang menjadi ranah perkembangan kognitif. Boyatzis (Hood, Jr. et.al, 2009: 77) Sekalipun teori perkembangan kognitif 2. dari Piaget dikembang dengan landasan yang kurang kuat, akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan kognitif dan aspek lainnya, bahkan untuk beberapa alasan, agak sulit 3. mengkaji perkembangan penghayatan keagamaan tanpa menggunakan kajian perkembangan kognitif. Artinya dari pendapat ini, untuk memahami bagaimana perkembangan kesejahteraan spiritual peserta didik, maka perlu 4. memahami ragam aspek perkembangan lainnya seperti aspek perkembangan kognitif, moral, sosial, dan aspek perkembangan penghayatan keagamaan. 5. E. Simpulan Dari paparan kajian mengenai perkembangan kesejahteraan spiritual, diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut : Kesejahteraan spiritual merupakan salah satu dimensi yang menjadi ciri
kemanusiaan. Kesejahteraan menjadi dimensi yang mengintegrasikan seluruh dimensi perkembangan dan dimensi kesejahteraan individu. Dimensi kesejahteraan spiritual berkembang seiring dengan dimensi perkembangan individu, seperti dimensi kognitif, sosial, emosional, moral, psikoseksual. Proses pengembangan kesejahteraan spiritual memerlukan sistem yang holistik yang melibatkan seluruh komponen yang menunjang perkembangan, dan terintegrasi dengan seluruh dimensi perkembangan. Kesejahteraan spiritual dapat membantu peserta didik berkembang lebih optimal, karena peserta didik yang sejahtera secara spiritual memiliki keseimbangan dalam perilaku dan kehidupannya. Fokus dalam pengembangan kesejahteraan spiritual adalah bagaimana cara yang tepat untuk memfasilitasi peserta didik pada setiap jenjang usia dan tahap perkembangan mampu mengekspresikan dimensi spiritualnya.
*Aam Imaddudinadalah Dosen Universitas Islam “45” Bekasi
PEDAGOGIK Vol. III, No. 1, Februari 2015
59
DAFTAR PUSTAKA Bredle, Jason M. (2011). Spiritual Well-Being as a Component of Health-Related Quality of Life: The Functional Assessment of Chronic Illness Therapy—Spiritual WellBeing Scale (FACIT-Sp). Journal Religions 2, 77-94; doi:10.3390/rel2010077 [online] tersedia di : www.mdpi.com/journal/religions Chandler, Cynthia K, Holden, Janice Miner, & Kolander, Cheryl. (1992). Counseling for spiritual wellness : Theory and Practice. Journal of Counseling and Development.November/Desember 1992.Volume 71. Chirban, J. T. (2004). True coming of age: A dynamic processthat leads to emotional wellbeing, spiritual growth, and meaningful relationships. New York: McGraw-Hill. Department of Education and Children’s Services of Goverment of South Australia(2006). Does Spiritual Wellbeing Belong in Education? : Spiritual Wellbeing and Education. Discussion Paper. Fisher J (1999) Helps to Fostering Students’ Spiritual Health. International Journal of Children’s Spirituality vol 4, no 1. 1999. Hood, Ralph W., C. Hill, Peter., Spilka, Bernard. (2009). The psychology of religion: an empirical approach . 4th edition. New York: Guilford Publications, Inc. Imaddudin, Aam (2011). Bimbingan dan Konseling Aktualisasi Diri Untuk Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Siswa Sekolah Dasar. Tesis. Bandung : SPs UPI. Tidak diterbitkan. Ingersoll, R. Elliott & Bauer, Ann L. (2004). An Integral Approach to Spiritual Wellness in School Counseling Settings. Journal Professional School Counseling : ASCA. 7:5 Juni 2004. Kitko, Casandra Thompson. (2011). Dimension of wellness and the health matters programm at Penn State. Journal Home Health Care Management Practice 2001 Volume 13, Number 4, 308-311 [ online] tersedia di : http://hhc.sagepub.com/content/13/4/308. Makmun, Abin Syamsyudin. (2003). Psikologi Kependidikan : Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Bandung:Rosda. Manullang, Belferik. 2013. Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 1, Februari 2013. Online tersedia di : journal.uny.ac.id/index.php/jpka/article/download/1283/1067 PEDAGOGIK Vol. III, No. 1, Februari 2015
60
Marple, Roger (1999). The Aims of Education.London : Routledge Myers, Jane E (2004). Counseling adolescents toward wellness: the roles of ethnic identity, acculturation, and mattering. Journal of Professional School Counseling, October .I. 2004. [online] Tersedia di : http: // www.thefreelibrary.com/ Counseling+adolescents+toward+wellness%3a+the+roles+of+ethnic+ identity %2c...-a0123579437 Pfund, Rita (200). Nurturing a child’sspirituality. Journal of Child Health Care Vol. 4 No.4 Winter 2000. Online tersedia di : http://chc.sagepub.com/content/4/4/143 Roscoe, Lauren J. (2009). Wellness: A Review of Theory and Measurement for Counselors. Journal of Counseling and Development. Spring 2009. Vol 87 Singh, Rekha Padmanabhan & Arora, Ashok Pratap (2010). Antecedents Of Individual Well-Being. Journal.Vision: The Journal of Business Perspective 2010 14: 191 [online] tersedia di : http://vis.sagepub.com/content/14/3/191 Search Institute. (2008). Seeking Common Ground in Understanding Spiritual Development: A Preliminary Theoretical Framework. Online. Tersedia di :http://www.search-institute.org/csd/major-projects/definition-update Sherman, Deborah at al. (2005). Spiritual well-being as a dimension of quality of life for patient with advande cancer and AIDS and their family caregivers : Results of a longitudinal study. American Journal of Hospice and Pallilative Medicine Vol 22, No.5, September/October 2005. Stanard, Rebecca P, Sandhu DS, & Painter Linda C. (2000). Assessment of Spirituality in Counseling. Journal Of Counseling & Development, Spring 2000, Volume 78. America : American Counseling Association.
PEDAGOGIK Vol. III, No. 1, Februari 2015
61