BAB II KEWENANGAN KREDITUR DALAM MENGAJUKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
A. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU, Surseance van Betaling, Suspension of Payment). 1. Pengertian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam Bab Ketiga yaitu dalam Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dilakukan dengan maksud untuk mengajukan
Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran
pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur. Pasal 222 UUK dan PKPU menentukan bahwa: 1) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditur atau oleh Kreditur, 2) Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk
29
Universitas Sumatera Utara
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditur, 3) Kreditur yang memperkirakan bahwa Debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitur diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Krediturnya. Dari ketentuan Pasal 222 UUK dan PKPU ini dapat diartikan, yang dimaksud dengan penundaan kewajiban pembayaran utang pada umumnya
adalah untuk
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk kreditur konkuren, sedangkan tujuannya adalah untuk
memungkinkan seorang debitur
meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.55 Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau disebut juga moratorium, harus dibedakan dengan gagal bayar, karena gagal bayar secara esensial berarti bahwa seorang debitur tidak melakukan pembayaran utangnya. Gagal bayar terjadi apabila si peminjam tidak mampu untuk melaksanakan pembayaran sesuai dengan jadwal pembayaran yang disepakati baik atas bunga maupun atas utang pokok.
55
H. Man S. Sastrawidjaja, Op.cit, Hal 179
Universitas Sumatera Utara
Debitur yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya dalam kesulitan sehingga kemungkinan besar berhenti membayar utangnya, dapat memilih beberapa langkah dalam menyelesaikan utangnya tersebut. Beberapa upaya dimaksud antara lain, sebagai berikut:56 1. Mengadakan perdamaian di luar Pengadilan dengan para Krediturnya, 2. Mengadakan perdamaian di dalam Pengadilan apabila debitur tersebut digugat secara Perdata, 3. Mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), 4. Mengajukan perdamaian dalam PKPU, 5. Mengajukan permohonan agar dirinya dinyatakan pailit oleh Pengadilan, 6. Mengajukan perdamaian dalam Kepailitan. Berkaitan dengan alternatif pilihan yang tersebut di atas, Debitur seyogianya memilih alternatif yang terbaik, salah satu pilihan adalah mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Permohonan PKPU ini harus diajukan oleh Debitur sebelum adanya putusan Pernyataan Pailit; apabila putusan Pernyataan Pailit sudah diucapkan oleh Hakim terhadap Debitur tersebut, maka Debitur tersebut tidak dapat lagi mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Sebaliknya, Debitur dapat mengajukan permohonan
56
H. Man S. Sastrawidjaja., Op. Cit., hal. 201.
Universitas Sumatera Utara
Kepailitan bagi dirinya bersama-sama dengan permohonan PKPU.57 Dalam keadaan demikian, Hakim akan mendahulukan memeriksa PKPU,58 dan apabila permohonan Pailit dan permohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan, maka PKPU harus diputuskan terlebih dahulu.59 Dikaji dari perspektif pandangan doktrina, maka Jerry Hoff lebih detail menyebutkan bahwa tujuan PKPU adalah: The purpose of suspension of payment is to prevent the bankruptcy of debtor who is unable to pay but who maybe to pay in the near future. The debtor merely facestemporary liquidity problem. In such cases, a bankruptcy would inevitavly lead to erosion of capital value. This is clearly not in the interest of creditors. Suspension of payment gives the debtor temporary relief (or a breathing space) against pressing creditors in order to reorganize and continue in business, and ultimately to satisfy creditors claims. If the reorganization of the business is not successful of payment can be easily converted into bankruptcy.60 Konklusi dari konteks di atas mendeskripsikan bahwa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang hanya dapat diajukan oleh Debitur sebelum Debitur tersebut dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Secara tegas dinyatakan bahwa bila Debitur yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan, tidak dimungkinkan untuk mengajukan PKPU. Dalam praktik, terhadap pengajuan PKPU tersebut dapat diajukan secara
57
Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Teori dan Praktik, (Bandung: PT. Alumni, 2010), hal. 50. 58 H. Man S Sastrawidjaja, Op. Cit., hal. 202. 59 Pasal 229 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004. 60 Jerry Hoff, Op. Cit., hal. 181.
Universitas Sumatera Utara
tersendiri (PKPU murni), dan dapat diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan pailit (PKPU tidak murni).61
B. Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam Hukum Kepailitan Sebelum Keluarnya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebelum keluarnya Undang-Undang No. 37 tahun 2004, peraturan perundangundangan yang digunakan untuk menyelesaikan utang piutang antara Kreditur dan Debitur adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan PKPU. Dalam penyelesaian utang piutang antara debitur dan kreditur, seorang debitur yang hanya mempunyai satu kreditur dan debitur tersebut tidak membayar utangnya dengan sukarela, maka kreditur akan menggugat debitur secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan seluruh harta debitur menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditur tersebut. Hasil bersih eksekusi harta debitur dipergunakan untuk membayar piutang kreditur. Sebaliknya dalam hal debitur mempunyai banyak kreditur dan harta kekayaan mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil.62 Jerry Hof merumuskan hukum kepailitan dari segi fungsinya sebagai suatu sitaan umum: “bankruptcy is general statutory attachment encompassing all assets of the debtor”.63 Hukum kepailitan mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu melalui hukum kepailitan akan diadakan suatu penyitaan umum (eksekusi
61
Lilik Mulyadi, Op. Cit., hal. 51. Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hal 230. 63 Jerry Hoff, Indonesian Bankruptcy Law, (Jakarta: PT. Tata Nusa, 1999), hal. 12. 62
Universitas Sumatera Utara
massal) terhadap seluruh harta kekayaan debitur, yang selanjutnya akan dibagikan kepada para kreditur secara seimbang dan adil di bawah pengawasan petugas yang berwenang.64 Ada dua tujuan klasik kepailitan yaitu pembagian yang adil kekayaan debitur untuk kemanfaatan seluruh kreditur dan “fresh start” bagi debitur.65 Instrumen hukum kepailitan sangat penting, karena jika instrumen ini tidak ada, kesemrawutan setidak-tidaknya yang menyangkut pelaksanaan hak-hak ganti kerugian akan timbul.66 Prinsip yang mendasari pembagian pari passu adalah untuk menjamin bahwa seorang kreditor konkuren tidak memperoleh prioritas lebih dari Ronald A. Anderson dan Walter A.Kumft berpendapat bahwa: “bankcruptcy and insolvency laws provide a means by which the debtor may yield or be compelled to yield to a court the property he has so that he will be relieved of all unpaid debts and can start economic life a new.”67 Namun, Hukum Kepailitan dipergunakan sebagai langkah terakhir apabila upaya yang lain untuk melakukan penagihan hutang tidak dapat dilakukan lagi.
64
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hal. 24. 65 Warren, Elizabeth and Westbrook, Jay Lawrence, The Law of Debtors and Creditors, Text Cases, and Problems, (Boston: Little Brown and Company, 1991), hal. 199. 66 Huizink, Mr. J. B., Insolventie, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 135. 45 Ronald A.Anderson, Walter A. Kumf, Business Law: Principles and Cases (Fourth Edition), (Ohio: South Western Publishing Co. Cincinnati, 1967), hal. 862.
Universitas Sumatera Utara
Terdapat 2 (dua) cara yang disediakan oleh UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, agar Debitur dapat terhindar dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta kekayaannya dalam hal Debitur telah atau akan berada dalam keadaan insolven:68 a) Mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau Surseance van Betaling atau Suspension of Payment. Pengajuan PKPU dapat dilakukan sebelum permohonan pernyataan pailit atau pada waktu permohonan perayataan pailit sedang diperiksa oleh Pengadilan Niaga. b) Mengadakan perdamaian antara Debitor dengan para Kreditornya setelah Debitur dinyatakan pailit oleh PN. Apabila tercapai, maka kepailitan itu menjadi berakhir. Perbedaan antara PKPU dan Kepailitan: dalam PKPU, Debitur tetap memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum mengalihkan dan mengurus kekayaannya sepanjang hal itu dilakukan dengan persetujuan pengurus yang ditunjuk secara khusus oleh pengadilan berkenaan dengan PKPU tersebut, sedangkan dalam hal Debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan, maka Debitur tidak lagi berwenang untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya yang telah menjadi harta pailit; dan kewenangan tersebut ada pada Kurator. Perbedaan antara kepailitan dan PKPU seperti telah diterangkan dapat pula dibandingkan dengan perbedaan antara liquidation menurut Chapter 7 dan reorganization menurut Chapter II U.S. Bankruptcy Code. Pada liquidation menurut 68
Herna Pardede http: // herna thesis multiply.com/ journal/ item/ 18, diakses tanggal 6 Oktober
2005.
Universitas Sumatera Utara
Chapter 7 diangkat seorang trustee. Pada kasus reorganization menurut Chapter 11 tidak diangkat seorang trustee. Pada kasus Chapter 7, trustee menguasai harta pailit (the property of the estate) dan melikuidasi harta tersebut. Para Kreditur dibayar dari hasil likuidasi itu dan jumlah yang dapat diterima oleh seorang Kreditur ditentukan oleh Undang-Undang. Dalam Chapter 11 ini, Debitur yang disebut “debtor in possession” tetap menguasai harta kekayaannya. Para Kreditur pada umumnya, dibayar dari pendapatan-pendapatan yang diperoleh oleh Debitur setelah pengajuan permohonan reorganization, dan setiap Kreditur memperoleh hasil pelunasannya sesuai dengan rencana yang telah disetujui baik oleh Kreditur dan pengadilan. Dalam suatu kasus Chapter 7, pembebasan dari kewajiban membayar utang (discharge) bagi seorang Debitur tergantung pada ketentuan Undang-Undang. Sedangkan pada kasus Chapter 11, seorang Debitur dapat dibebaskan dari kewajiban membayar utang sesuai dengan reorganization plan yang telah disetujui oleh para Kreditur dan Pengadilan itu.69 Hak Debitur mengajukan PKPU berdasarkan Pasal 212 UUK adalah sebagai berikut: “Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada Kreditur konkuren.” 69
Ibid., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
PKPU boleh diajukan oleh Debitur sekalipun belum berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya. Pengaturan ada di Pasal 222 ayat (1) dan ayat (2) dari UU No. 4 Tahun 1998, yakni: (1) “Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa yang bersangkutan tidak akan dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditur. (2) Kreditur yang memperkirakan bahwa Debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat memohon agar kepada Debitur diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitur mengajukan perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau utang kepada krediturnya.” Sebelum tahun 1998, hukum kepailitan di Indonesia dianggap belum dapat memberikan kepastian hukum. Hukum kepailitan kenyataannya hanya merupakan suatu surat mati.70 Indonesia tidak memiliki perangkat hukum yang sanggup mengakomodir kebutuhan yang menyangkut kepailitan.71 Faillissement verordening dianggap tidak memadai lagi untuk mengatasi keadaan, dimana debitur yang
70 71
Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, ( Jakarta: Tatanusa, 2000), hal. 2. Bisnis.com, diakses pada hari Kamis, tgl. 27 Maret 2003.
Universitas Sumatera Utara
mengalami kesulitan likuiditas tidak mampu lagi membayar utangnya.72 Secara garis besar, Faillissement verordening memang masih bisa diterapkan, namun ada kelemahannya, selain memakai gaya bahasa lama, substansinyapun kurang menjamin kecepatan dan transparansi proses kepailitan. Belum lagi, kefasihan aparat yang menanganinya baik Hakim komisaris maupun pengampu atau kuratornya, karena amat jarangnya perkara kepailitan yang diajukan.73 Bagi kreditur asing, alasan pertama mereka tidak mengajukan permohonan kepailitan adalah karena mereka mengira bahwa di Indonesia tidak ada UndangUndang Kepailitan, atau bahwa Undang-Undang Kepailitan tersebut dibayangi suatu ketidakjelasan maupun ketidakpastian.74
C. Permohonan PKPU Dalam Hukum Kepailitan Sesudah Keluarnya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Kemajuan terdapat di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang berarti Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dimasukkan dalam judul peraturan perundangundangan yang bersangkutan, yang menunjukkan penyebutan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU dalam judul peraturan perundang-undangan ini sangat 72
Frans Hendra Winarta, Percikan Gagasan Tentang Hukum Ke III, Kumpulan Karangan Ilmiah Alumni F.H. UNPAR, Editor Wila Chandrawila Supriadi (Bandung: CV. Mandar Maju, 1998), hal. 124. 73 “Menggosok Sekrup Yang Karatan”, (Jakarta: Forum Keadilan, No. 2 Tahun VII, 4 Mei 1998), hal. 32. 74 Jerry Hoff, Op. Cit., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
berarti, karena PKPU merupakan sarana penting dalam menyelesaikan utang-piutang oleh debitur tidak hanya dapat melalui Kepailitan. Dan para kreditur juga diberikan suatu kewenangan untuk mengajukan suatu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap debiturnya. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang piutang. Hal ini sangat diperlukan karena adanya pertumbuhan dan perkembangan perekonomian serta kebutuhan hukum dalam masyarakat, sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disingkat PKPU, di dalam Undang-Undang Kepailitan baru diatur dalam Bab III UU No. 37 Tahun 2004, yaitu mulai dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294. Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, seorang debitur yang beritikad baik, masih memiliki hak untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sebelum diucapkannya Putusan Pernyataan Pailit oleh Majelis Hakim. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pada dasarnya merupakan Rencana Perdamaian dari debitur yang diberikan kesempatan oleh krediturnya untuk merestrukturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau
Universitas Sumatera Utara
sebagian kepada para krediturnya itu, baik kreditur konkuren maupun kreditur lainnya yang didahulukan. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan proses dimana:75 1. Seorang Debitur dalam jangka waktu yang cukup, dapat memperbaiki kesulitannya, dan akhirnya akan dapat melunasi/ membayar utang-utangnya di kemudian hari; 2. Dan bagi pihak Kreditur, karena adanya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini, kemungkinan dibayarkan piutangnya dari debitur secara penuh, sehingga tidak merugikannya. Terdapat perbedaan yang sangat nyata dalam ketentuan PKPU yang terdapat dalam UU No. 37 Tahun 2004 dengan Faillisements verordening (disingkat Fv) dan UU No. 4 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Kepailitan (disingkat UUK), yakni sesuai Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004, dapat diketahui bahwa PKPU dapat diminta baik oleh Debitur maupun oleh Kreditur. Hal ini merupakan ketentuan yang baru, karena menurut UUK dan Fv, permohonan untuk PKPU hanya dapat diajukan oleh Debitur saja. Menurut pendapat Munir Fuady, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ini adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh Undang-Undang melalui putusan Pengadilan Niaga, dimana dalam periode waktu tersebut kepada kreditor dan debitur diberikan kesepakatan untuk
memusyawarahkan cara-cara
pembayaran utang-utangnya dengan memberikan rencana perdamaian (composition 75
Sunarmi, Op. Cit., hal. 201.
Universitas Sumatera Utara
plan) terhadap seluruh atau merestrukturisasi utangnya
sebagian utangnya itu, termasuk apabita perlu tersebut. Dengan demikian Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU) merupakan semacam moratorium dalam hal ini legal moratorium.76 Di dalam Undang-Undang Kepailitan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Pasal 222 ayat (2) menyatakan bahwa Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada krediturnya. Permohonan PKPU oleh si debitur ini dilakukan sebelum permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak lain kepada debitur. Namun, ada kalanya PKPU ini diajukan oleh si debitur pada saat permohonan pernyataan pailit si debitur oleh pihak lain telah dimohonkan
ke pihak pengadilan. Apabila permohonan
pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban membayar utang (PKPU) ini diperiksa pada saat yang bersamaan, maka permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) inl harus diputus terlebih dahulu.
76
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik (Edisi Revisi Disesuaikan dengan UU Nomor 37 Tahun 2004), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut, menurut Munir Fuady dalam bukunya “Pengantar Hukum Bisnis” menyatakan: 77 “Akan tetapi, ada kalanya juga sebenarnya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh debitur terpaksa dilakukan oleh debitur dengan tujuan untuk melawan permohonan pailit yang telah diajukan oleh para krediturnya. Jika diajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) padahal permohonan pailit telah dilakukan maka Hakim harus mengabulkan PKPU, dalam hal ini PKPU Sementara untuk jangka waktu 45 hari sementara gugatan pailit gugur demi hukum”. Namun, PKPU bukanlah satu-satunya cara untuk melepaskan si debitur dari kepailitan dan likuidasi terhadap harta bendanya, menurut Sutan Remy Syahdeini dalam bukunya “Hukum Kepailitan” ada dua cara untuk melepaskan si debitur dari kepailitan ini: a) ialah dengan mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU); b) Dengan mengadakan perdamaian antara debitur dengan krediturnya, setelah debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan. Perdamaian ini memang tidak dapat menghindarkan kepailitan, karena kepailitan itu sudah terjadi, akan tetapi apabila perdamaian itu tercapai maka kepailitan debitur yang telah diputus oleh pengadilan itu menjadi berakhir.78 D. Alasan Kewenangan Kreditur Mengajukan PKPU Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan hanya memberikan kepada Kreditur, hak untuk mengajukan permohonan pernyataan Pailit saja, tetapi 77 78
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 27. Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit., hal. 124.
Universitas Sumatera Utara
tidak memberikan hak kepada Kreditur untuk mengajukan PKPU. Hal ini berbeda dengan ketentuan Chapter 11 dan US Bankruptcy Code, yang tidak hanya Debitur saja yang diberi hak untuk mengajukan permohonan untuk diadakan reorganization, tetapi juga hak ini diberikan kepada Kreditur; syarat-syarat untuk mengajukan permohonan rehabilitasi oleh Kreditur terhadap Debiturnya (involuntary petition) berdasarkan Chapter 11 yang sama dengan syarat-syarat bagi Kreditur untuk dapat mengajukan Kepailitan (bankrupt) terhadap Debiturnya (involuntary petition) berdasarkan Chapter 7; (catatan: dalam UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan menyarankan permohonan perdamaian dapat diinisiaikan oleh Kreditur juga).79 Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh Kreditur kepada debiturnya adalah agar debitur yang berada dalam keadaan insolvensi, mempunyai kesempatan untuk mengajukan suatu Rencana Perdamaian, baik berupa tawaran untuk pembayaran utang secara keseluruhan ataupun sebagian atas utangnya, dengan jalan melakukan restrukturisasi (penjadwalan ulang) atas utang-utangnya. Oleh karena itu, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini merupakan kesempatan bagi si debitur untuk melunasi atau melaksanakan kewajibannya atas utang-utang tersebut, sehingga si debitur tersebut tidak sampai dinyatakan pailit. PKPU pada dasarnya, hanya berlaku/ditujukan pada para kreditur konkuren saja. Walaupun pada Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 pada Pasal 222 ayat (2) tidak disebut lagi perihal kreditur konkuren . Sebagaimana halnya Undang-Undang
79
Jerry Hoff, Op.Cit., hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
No. 4 Tahun 1998 pada Pasal 212 yang jelas menyebutkan bahwa debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utangutangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Namun, pada Pasal 244 Undang-Undang No. 37 tahun 2004 disebutkan
bahwa dengan tetap
memperhatikan ketentuan Pasal 246,
penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku terhadap: a) Tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fiducia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya,
b)
Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan atau
pendidikan yang sudah harus dibayar dan hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan
yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan kewajiban
pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan, c) Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitur maupun terhadap seluruh harta debitur yang tidak tercakup pada point b. Dengan demikian tegasnya. keseluruhan pemegang hak-hak jaminan yang memperoleh kedudukan didahulukan seperti gadai, fiducia, hak tanggungan, hipotik atau disebut kreditur separatis (yang disebut dengan istilah kreditur separatis adalah kreditur pemegang hak jaminan kebendaan) antara lain:80 a) Gadai yang diatur dalam Bab XX Buku III Undang-Undang Hukum Perdata, b) Hipotek yang diatur dalam Buku III Kitab
80
Kartini Mulyadi, Pengertian Dan Prinsip-Prinsip Umum Hukum Kepailitan, (Jakarta: Makalah, 2000), hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Hukum Perdata, sekarang terbatas pada hipotek kapal laut ukuran tertentu, dan hipotek kapal terbang saja, c) Hak tanggungan diatur dalam Undangundang No. 4 Tahun 1996, d) Jaminan Fiducia diatur dalam Undang-undang No.42 Tahun 1999, kreditur-kreditur ini disebut dengan kreditur preferen atau kreditur pemegang hak istimewa. Walaupun PKPU ini hanya berlaku bagi para kreditur konkuren saja,tapi hasil seluruh kesepakatan mengenai rencana perdamaian tetap
berlaku dan mengikat
seluruh para kreditur, baik kreditur konkuren maupun para kreditur separatis dan dalam pelaksanaan sidang-sidang senantiasa harus mengikut sertakan seluruh para krediturnya. Termasuk hak untuk mengeluarkan suara selama Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ini berjalan, termasuk pula dalam menanggapi usul-usul rencana perdamaian. Menurut Sutan Remy Syahdeini, Kesepakatan mengenai Rencana Perdamaian hanya mempunyai arti apabila disepakati oleh setiap kreditur, baik kreditur konkuren maupun kreditur preferen, dan bila tidak setiap kreditur terikat dengan perdamaian yang tercapai, maka kedudukan debitur dan kepentingan para kreditur yang terikat dengan perdamaian tersebut dapat dibahayakan oleh kreditur yang tidak terikat yaitu kreditor preferen. Kreditur yang tidak terikat dengan perdamaian itu dapat mengajukan permohonan
pailit. Apabila permohonan pailit ini dikabulkan oleh
Universitas Sumatera Utara
pengadilan, maka perdamaian yang telah disepakati antara debitor dan para kreditur konkuren dan sedang berjalan implementasinya akan harus dihentikan”.81 Pada Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 disebutkan jika dilakukan voting dalam pemberian PKPU dan persetujuannya diterima,
dan ditolaknya rencana
perdamaian, maka suara dimenangkan oleh lebih dari jumlah kreditur konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mengawakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara yang diakui dari kreditur konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut;82 dan persetujuan lebih dari setengah
jumlah kreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan,
fiducia, hak tanggungan, hak agunan atas benda lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 dan seluruh tagihan kreditur atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.83 Dalam hal utang piutang, apabila hanya seorang Kreditur yang ingin mengajukan gugatan atas piutang-piutangnya yang belum dibayar, maka Kreditur tersebut dapat menggugat berdasarkan Hukum Perdata, yaitu mengenai debitur telah melakukan perbuatan ingkar janji atau wanprestasi, karena sebenarnya si debitur mempunyai keuangan atau harta yang cukup untuk membayar utang-utangnya, dan Kreditur dapat mengetahui bahwa usaha si debitur telah berjalan dengan lebih baik ataupun usaha telah lancar, namun si debitur tidak mau membayar, dan apabila 81
Sutan Remy Syahdeini, Op.Cit., hal. 131. Pasal 229 huruf a UU No. 37 Tahun 2004. 83 Pasal 229 huruf b UU No. 37 Taun 2004. 82
Universitas Sumatera Utara
kreditur itu terdiri atas beberapa orang, maka gugatan atas utang piutang debitur tersebut dapat diajukan melalui Pengadilan Niaga atau lembaga Hukum Kepailitan, yang akan berakibat sangat berat terhadap harta kekayaan debitur.84 Secara prinsip ada 2 (dua) pola PKPU, yakni: pertama, PKPU yang merupakan tangkisan bagi debitur terhadap permohonan kepailitan yang diajukan oleh krediturnya. Kedua, PKPU atas inisiatif debitur sendiri yang beritikad baik, yang memperkirakan bahwa ia tidak mampu membayar utang-utangnya kepada kreditur. Dengan melihat pola PKPU ini, maka dari sudut kepentingan apa Kreditur mengajukan PKPU? Dalam Pasal 222 ayat (3), dikatakan bahwa kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan untuk membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitur diberi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, untuk memungkinkan si debitur mengajukan Rencana Perdamaian, yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada krediturnya. Ketentuan ini juga tidak logis, mengingat jika kreditur mau memberi kesempatan terhadap debitur untuk melakukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utangnya tidak usah melalui PKPU, melainkan dengan cara merestrukturisasi kreditnya di luar acara Kepailitan ataupun PKPU. Namun, apabila kita melihat fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa para kreditur sesungguhnya telah memberikan kesempatan kepada debitur untuk membayar utangnya sebelum dia dipailitkan, dan sebelum adanya Permohonan PKPU 84
Bismar Nasution & Sunarmi, Diktat kuliah Hukum Kepailitan (Medan: Program Pascasarjana USU, 2010), hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
ini,
para kreditur telah berusaha dengan berbagai upaya agar si debitur mau
membayar utangnya, yang ternyata upaya-upaya tanpa melalui Pengadilan ini tidak mendapatkan hasil yang baik. Sehingga para kreditur berfikir untuk melakukan suatu permohonan PKPU ke Pengadilan yang dapat memaksa si debitur untuk melakukan pembayaran atas hutang-hutangnya, dengan sekaligus atau dengan cara penjadwalan pembayaran yang disetujui oleh para Krediturnya.85
1. Filosofi Kewenangan Kreditur Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diperlukan untuk: a. Menghindari pertentangan apabila ada beberapa kreditur pada waktu yang sama meminta pembayaran dari debitur, b. Untuk menghindari adanya kreditur yang ingin mendapatkan hak istimewa, yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur atau menguasai sendiri tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau kreditur lain,
85
Peneliti telah melakukan pembicaraan dengan Hakim Keua PN. Medan, Panunsunan Lubis dan Hakim PN. Medan, Ardy Johan di Pengadilan Negeri Medan, pada tanggal 12 Juli 2010, yang mengatakan1q2w21 bahwa Debitur perseorangan sangat sulit dipailitkan daripada Debitur yang merupakan suatu perusahaan, karena banyak pertimbangan-pertimbangan Hakim yang cenderung memikirkan bagaimana keberlangsungan kehidupan Debitur perseorangan bila dia dipailitkan. Menurut Peneliti bukan berdasarkan bukti-bukti nyata dan fakta dari inti Hukum Kepailitan. Oleh karena itu, para Kreditur melakukan langkah yang lebih baik dengan memberikan kesempatan kepada Debitur yang beritikad baik untuk membayar hutang-hutangnya, dengan Rencana Perdamaian yang disetujui,
Universitas Sumatera Utara
c. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh debitur sendiri, misalnya saja debitur berusaha untuk member keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditur tertentu, yang merugikan kreditur lainnya, atau debitur melakukan perbuatan curang dengan melarikan atau menghilangkan semua harta benda kekayaan debitur yang bertujuan melepaskan tanggungjawabnya terhadap para krediturnya. Pada intinya, UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan wewenang kepada kreditur untuk memohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap debiturnya berdasarkan Pasal 222 ayat (1) dan (3), didasarkan pada pertimbangan dimana para Kreditur dapat memberikan kesempatan kepada Debiturnya untuk merestrukturisasikan utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, sehingga ada kemungkinan untuk dibayarkan piutangnya dari Debiturnya secara penuh, oleh karenanya tidak merugikan para Kreditur tersebut, yang menurut Penjelasan Pasal 222 ayat (2) kreditur tersebut baik kreditur konkuren maupun kreditur yang didahulukan; dan dilihat dari sikap solidaritas sosial pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh Kreditur adalah cukup baik, yang menunjukkan bahwa Kreditur itu tidak bersifat egois, karena pada lazimnya, Kreditur lebih mengutamakan pengembalian piutangnya supaya segera dilakukan oleh Debitur, sedangkan apabila ditempuh PKPU, sebenarnya pengembalian piutang itu akan tertangguh, namun pengembalian piutang itu terasa lebih pasti bagi Kreditur, akan tetapi semua tergantung pada itikad baik dari debitur tersebut,
Universitas Sumatera Utara
inilah filosofi diberikannya kewenangan kepada kreditur untuk mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kepada debiturnya; oleh karena itu, hal ini merupakan suatu hal yang seimbang dan adil dalam Hukum Kepailitan.86 Secara filosofi, Undang-Undang Kepailitan yang baik seharusnya dibuat untuk memberikan kesempatan kepada Debitur yang mengalami kesulitan untuk membayar utang-utangnya dapat bangkit kembali menjalankan perusahaannya. Filosofi ini terkandung dalam UU Kepailitan Amerika Serikat yang dikenal dengan istilah fresh and start.87 Chapter 11 Bankruptcy Act yang mengatur tentang reorganisasi memberikan alternatif bagi Debitur untuk memecahkan permasalahan finansial yang dihadapi dengan cara menyusun rencana restrukturisasi tanpa harus dilikuidasi. Berdasarkan Chapter 11 ini, Debitur akan memiliki beberapa keuntungan:88 1. Menghindari Debitur dari Kepailitan, 2. Memungkinkan Debitur untuk tetap menjalankan perusahaan, 3. Para Kreditur yang menolak rencana restrukturisasi telah mendapat persetujuan Pengadilan federal, harus menyetujuinya, 4. Bila rencana restrukturisasi berhasil, maka Kreditur akan mendapatkan keuntungan yang lebih dibandingkan Debitur dipailitkan.
86
M. Hadi Shubban, Op.Cit., hal. 205. Sunarmi, Op. Cit., hal. 392. 88 Ibid., hal. 394. 87
Universitas Sumatera Utara
Restrukturisasi utang dapat diajukan oleh debitur dalam hal penyelesaian utang kepada krediturnya, antara lain, moratorium, yakni merupakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang telah jatuh tempo, hair cut, pengurangan tingkat suku bunga, perpanjangan jangka waktu pelunasan, konversi utang ke saham, pembebasan utang, pengambilalihan utang, penghapusbukuan utang. Restrukturisasi utang pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang biasanya dalam bentuk moratorium.89 Dalam hal restrukturisasi utang, sampai saat ini, belum ada kemungkinan restrukturisasi utang kecuali melalui PKPU.90 UU No. 37 tahun 2004 masih belum mengatasi permasalahan yang ada, yakni belum diaturnya kemungkinan untuk melakukan restrukturisasi utang.91 konsep restrukturisasi utang tidak dikenal dalam Hukum Kepailitan di Indonesia.92
2. Pengertian dan Latar Belakang Dilakukannya Restrukturisasi Utang Definisi Restrukturisasi Hutang Menurut Joel G. Sigel dan Joe K. Shim. Debt restructuring (restrukturisasi hutang) adalah:93 “Penyesuaian atau penyusunan kembali
struktur
hutang
yang
mencerminkan
kesempatan
kepada
debitur
merencanakan pemenuhan kewajiban keuangannya.” Penjadwalan diperlukan ketika
89
M. Hadi Shubban, Op. Cit., hal. 150. Ibid., hal. 423. 91 Ibid., hal. 423. 92 Ibid., hal. 394. 93 Jae K. Shim dan Joel G. Siegel, CFO: Tools for Executive, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1994), hal. 129. 90
Universitas Sumatera Utara
debitur menghadapi kesulitan keuangan. Perjanjian untuk mengubah struktur dapat disebabkan oleh tindakan legal atau berdasarkan persetujuan sederhana dari pihak yang bersangkutan. Penyusunan kembali struktur hutang didasarkan pada keputusan manajemen keuangan sukarela, misalnya untuk mengubah hutang jangka pendek menjadi jangka panjang. Restrukturisasi hutang merupakan suatu proses untuk merestruktur hutang bermasalah
dengan
tujuan
untuk
memperbaiki
posisi
keuangan
debitur.94
Restrukturisasi hutang adalah pembayaran hutang dengan syarat yang lebih lunak atau lebih ringan dibandingkan dengan syarat pembayaran hutang sebelum dilakukannya proses restrukturisasi hutang, karena adanya konsesi khusus yang diberikan kreditur kepada debitur. Konsesi semacam ini tidaklah diberikan kepada debitur apabila debitur tersebut tidak dalam keadaan kesulitan keuangan. Konsesi semacam ini dapat berasal dari perjanjian antara kreditur dengan debitur, atau dari keputusan pengadilan, serta dari peraturan hukum.95 Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang berkepentingan terhadap restrukturisasi hutang adalah pihak debitur yang keuangannya bermasalah. Restrukturisasi hutang perlu dilakukan untuk mengatasi kredit bermasalah yang
94
Tjiptono Darmadji, Restrukturisasi: Memulihkan dan Mengakselerasi Ekonomi Nasional, (Jakarta: Grasindo, 2001), hal. 69. 95 Ibid., hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
sedang dialami perusahaan-perusahaan di Indonesia, baik perusahaan manufaktur, perusahaan jasa, maupun perusahaan dagang.96 Pengertian restrukturisasi yang berhubungan dengan penyehatan perusahaan dapat dibagi dalam beberapa tahap. Pertama, bila seorang Debitur mengalami kesulitan terhadap pembayaran utangnya, maka terhadap Debitur tersebut dapat melakukan restrukturisasi
terhadap
utang-utang
yang
dimilikinya.
Kedua,
dalam
hal
restrukturisasi terhadap utangnya, debitur dianggap belum cukup menjamin penyehatan perusahaan, maka dapat dilanjutkan dengan restrukturisasi perusahaan. Dengan adanya restrukturisasi perusahaan tersebut, maka diharapkan restrukturisasi utang akan lebih terjamin keberhasilannya.97 Restrukturisasi
hutang
bagi
debitur
memiliki
alasan-alasan
yang
melatarbelakanginya, yakni, sebagai berikut:98 1. Untuk mendapatkan peningkatan efisiensi dan daya saing yang lebih bagus. Penataan dan perbaikan sektor keuangan perusahaan akan dapat dicapai apabila perusahaan tersebut dalam kondisi sehat, efisiensi dan kuat. 2. Dengan dilakukannya restrukturisasi utang maka perusahaan akan dapat memiliki lebih banyak lagi alternatif pilihan pembayaran, yaitu melalui perundingan dengan kreditor dan melalui suatu argumen yang cukup, sehingga 96
Ibid. Ibid., hal. 72. 98 Lepi T. Tarmidi, “Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF dan Saran”, http://www.bi.go.id., diakses pada tanggal 5 Juli 2011. 97
Universitas Sumatera Utara
tercapai suatu kesepakatan yang merupakan win-win solution. Argumen yang dimaksud adalah dimana pihak debitor mampu menunjukkan bahwa keadaannya benar-benar dalam posisi kesulitan keuangan. Restrukturisasi
pada
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran
Utang
(PKPU)
dimaksudkan sebagai restrukturisasi terhadap pembayaran utang-utang Debitor semata dengan tujuan agar perusahaan Debitor dapat sehat kembali. Restrukturisasi lebih merupakan suatu penyelamatan daripada suatu tindakan koreksi atau perbaikan permanen (corrective action). Restrukturisasi terpaksa dilakukan untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan menjaga agar piutang dapat tetap ditagih dan selesai. Terdapat beberapa pola penyelesaian utang yang dapat diterapkan sebelum melakukan penyelesaian melalui lembaga hukum, antara lain: Penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Adapun pola restrukturisasi dimaksud adalah sebagai berikut:99 1. Penjadwalan Kembali (Rescheduling) Yang dimaksud dengan penjadwalan kembali yaitu perubahan syarat kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan/atau jangka waktunya. Dengan penjadwalan kembali pelunasan kredit, bank memberikan kelonggaran kepada Debitur untuk membayar utangnya yang telah jatuh tempo, dengan jalan menunda
99
Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/ 4/ 1993, (Jakarta: Bank Indonesia, tanggal 29 Mei 1993), tentang Penyelamatan Kredit Bermasalah Sebelum Diselesaikan Melalui Lembaga Hukum, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
tanggal jatuh tempo tersebut. Apabila pelunasan kredit dilakukan dengan cara mengangsur, bank dapat juga menyusun jadwal baru angsuran kredit untuk meringankan kewajiban Debitur dalam melaksanakannya. Jumlah pembayaran kembali tiap angsuran dapat diselesaikan dengan perkembangan likuiditas keuangan (cash ending balance) Debitur tiap akhir tahapan masa proyeksi arus kas. Dengan demikian, diharapkan debitur mampu melunasi kredit yang tertunggak tanpa harus mengorbankan kelancaran operasi bisnis perusahaan. 2. Persyaratan Kembali (Reconditioning) Persyaratan kembali berarti perubahan sebagian atau seluruh syarat perjanjian kredit, yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan/atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut penambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian kredit menjadi equality perusahaan.100 Berbagai cara untuk melakukan persyaratan kembali, yakni sebagai berikut:101 a. Kapitalitas bunga, yaitu bunga dijadikan utang pokok; b. Penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu, dalam hal penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu, maksudnya adalah hanya bunga yang
100
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2008), hal.
87. 101
Johanes Ibrahim, Cross Default & Cross Colleteral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Macet, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2004), hal. 117.
Universitas Sumatera Utara
dapat ditunda pembayarannya sedangkan pokok pinjamannya tetap harus dibayar seperti biasa; c. Penurunan suku bunga. Penurunan suku bunga dimaksudkan agar lebih meringankan beban masalah karena akan mempengaruhi jumlah angsuran yang semakin mengecil; d. Pembebasan bunga. Dalam pembebasan suku bunga nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk membayar pokok pinjamannya sampai lunas. 3. Penataan Kembali (Restructuring) Penataan kembali persyaratan kredit dalam PKPU, meliputi:102 a. Penambahan dana bank; dan/atau b. Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru; dan/atau c. Konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan, yang dapat disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan kembali. Tujuan utama dari penataan kembali persyaratan kredit adalah untuk memperkuat posisi tawar menawar bank dengan Debitur dengan cara mengubah syarat pengadaan jaminan kredit, dalam rangka penataan kembali persyaratan kredit 102
Ibid., hal. 118.
Universitas Sumatera Utara
itu, isi perjanjian kredit ditinjau kembali dan bila perlu ditambah atau dikurangi. Upaya penyelamatan kredit ini biasanya dilakukan seiring dengan upaya penjadwalan kembali pelunasan kredit.103 Sedangkan, dalam bukunya Munir Fuady membagi pola-pola restrukturisasi utang menjadi sebagai berikut:104 1. Moratorium, yaitu penundaan pembayaran yang sudah jatuh tempo; 2. Haircut, yaitu pemotongan/pengurangan pokok pinjaman dan bunga; 3. Pengurangan tingkat suku bunga; 4. Perpanjangan jangka waktu pelunasan; 5. Konversi utang kepada saham; 6. Debt forgiveness atau pembebasan utang; 7. Bailout, yaitu pengambilalihan utang-utang swasta oleh pemerintah; 8. Write off, yaitu penghapusbukuan utang-utang. Dalam memilih dan menentukan model yang sesuai dalam melakukan restrukturisasi utang maka sangat tergantung pada kepentingan atau tujuan dari kedua belah pihak yaitu debitur maupun kreditur. Apabila perusahaan debitur sudah tidak memiliki prospek usaha yang menguntungkan dimasa yang akan datang maka 103 104
Ibid. M. Hadi Shubban, Op. Cit., hal. 150.
Universitas Sumatera Utara
pemilik maupun pengelola perusahaan debitur mungkin akan memutuskan untuk tidak melakukan restrukturisasi hutangnya karena tidak memiliki nilai/manfaat ekonomi atau bahkan hanya merupakan pemborosan saja. Demikian pula kreditur akan melihat upaya restrukturisasi hutang debitur sebagai tindakan yang kurang ekonomis apabila prospek perusahaan debitur ini tidak menguntungkan. Dengan perkataan lain ada faktor-faktor yang mempengaruhi baik debitur maupun kreditur memilih dan menentukan model restrukturisasi hutang yang sesuai dengan kepentingannya. 105 Beberapa contoh restrukturisasi utang dalam kasus permohonan PKPU yang diajukan oleh Debitur, yakni: 1. Permohonan PKPU diajukan oleh Debitur PT. INTI MUTIARA KIMINDO, berkedudukan di Jl. Prof. Dr. Latumenten, No. 37, Jakarta Barat
terhadap
Krediturnya, OSVILLE FINANCE, Ltd.106 Permasalahan utang yang timbul adalah dari Sale and Purchase Agreement, 107 Rencana Perdamaian yang diajukan Debitur disetujui oleh para Kreditur, dan restrukturisasi utang diajukan oleh Debitur, yakni dengan jumlah total kewajiban Debitur Pemohon PKPU dibayar sebanyak 4 kali masing-masing setiap tahun tanpa dikenakan bunga.108 Putusan Majelis Hakim mengabulkan Permohonan PKPU Sementara ini.109
105
Ibid. Putusan PKPU No. 04/ PKPU/ 2004/ PN. Niaga – Jkt. Pst., hal. 1. 107 Ibid., hal. 1 108 Ibid., hal. 4. 109 Ibid., hal. 4. 106
Universitas Sumatera Utara
2. Permohonan PKPU diajukan oleh Debitur PT. KURNIA MUSI, berkantor pusat di Jl. Sungai Rendang, Palembang, terhadap Kreditur PT. Bank Negara Indonesia, berkedudukan di Jl. Jend. Sudirman, Jakarta Barat110 Permasalahan utang yang timbul adalah dari perjanjian Kredit,111 dimana Rencana Perdamaian
tidak
disetujui para Kreditur, sehingga tidak ada restrukturisasi utang, dan Majelis Hakim Pengadilan Niaga menyatakan Debitur Pailit.112oleh karenanya Debitur dalam Kasasi memohonkan PKPU,
dan
Mahkamah Agung memutuskan
Permohonan PKPU Pemohon tidak dapat diterima.113
3. Pihak-Pihak Yang Mengajukan PKPU berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Berdasarkan Pasal 222 s/d Pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 diatur mengenai PKPU. Dalam Pasal 222 ayat (1) menyatakan bahwa PKPU dapat diajukan oleh: 1. Debitur: yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditur, atau debitur yang tidak dapat membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, ataupun si debitur yang memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan lagi membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat mengajukan Permohonan PKPU, dengan maksud agar dapat mengajukan Rencana Perdamaian kepada krediturnya.
110
Putusan PKPU No. 07 K/N/2006, hal. 1. Ibid., hal. 3. 112 Ibid., hal. 7. 113 Ibid., hal. 18. 111
Universitas Sumatera Utara
2. Para Kreditur Bahwa yang dimaksud sebagai kreditur dalam UUK dan PKPU ini adalah kreditur konkuren dan kreditur preferen (kreditur yang didahulukan). Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat mengajukan Permohonan PKPU untuk debitur, dengan maksud agar debitur yang beritikad baik, dapat mengajukan Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh hutang kepada kreditur-krediturnya. 3. Pengecualian: Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahan Reasuransi, Dana Pensiunan, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik; dalam hal: 1. Debiturnya adalah Bank, maka Permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia; 2. Debiturnya adalah Perusahan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka Permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal; 3. Debiturnya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka Permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan dalam Faillisement verordening Stb. 1905 No. 217 jo. Stb. 1906 No. 348, dan Undang-Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, tidak memberikan wewenang kepada kreditur untuk mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada debiturnya, melainkan hanya pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit oleh kreditur terhadap debitur maupun oleh debiturnya sendiri, serta Permohonan PKPU hanya oleh debitur.
Universitas Sumatera Utara