BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam UndangUndang Tentang Kepailitan (Faillissements Verordening Staatsblad 1905 No. 217 juncto Staatsblad 1906 No. 348), kemudian pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Namun demikian, Faillissements Verordening Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348 tetap berlaku, selama tidak bertentangan. Sumber Hukum Kepailitan Indonesia pada umumnya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1134,1 Faillissments Verordening Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348 sepanjang belum diubah dengan Undang-Undang Kepailitan; UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan dengan Hukum Kepailitan (Syahdeini, 2002: 14). 1
Kitab Undang-‐Undang Hukum Perdata Bab XIX Piutang dengan hak mendahulukan Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1134.
1
Pada tanggal 22 April 1998 berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan dilakukan karena Undang-Undang Kepailitan (Faillissments Verordening Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348) yang merupakan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah Hindia Belanda, banyak yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk menyelesaikan utang piutang. Namun demikian bagi hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang kepailitan tersebut, masih berlaku Faillissments Verordening Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348. Perubahan terhadap Undang-undang Tentang Kepailitan tersebut di atas yang dilakukan dengan memperbaiki, menambah, dan meniadakan ketentuanketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Sejak tahun 2000 diadakan evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, dan ternyata banyak terjadi kasus yang merugikan pihak Debito dan Kreditur sehingga Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 18 Oktober 2004 mengeluarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Putusan Pernyataan pailit mengubah status hukum
2
seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Syarat utama untuk dapat dinyatakan pailit adalah bahwa seseorang Debitur mempunyai paling sedikit 2 (dua) Kreditur dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh tempo. Dalam pengaturan pembayaran ini, tersangkut baik kepentingan Debitur sendiri, maupun kepentingan para Krediturnya. Dengan adanya putusan pernyataan pailit tersebut, diharapkan agar harta Debitur pailit dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang Debitur pailit secara proporsional. Sebelum harta kekayaan Debitur pailit dibenarkan oleh hukum untuk dijual dan kemudian dibagi-bagikan hasilnya, harta kekayaan Debitur pailit itu harus diletakkan di bawah sita umum oleh Pengadilan Niaga (dilakukan penyitaan untuk kepentingan semua Krediturnya dan bukan hanya untuk Kreditur tertentu saja). Permohonan pailit dapat dimohon oleh satu Kreditur, Debitur sendiri, Bapepam, Bank Indonesia, Jaksa Penuntut Umum untuk kepentingan umum maupun Menteri Keuangan. Kepailitan tidak membebaskan Debitur yang dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-utangnya. Kepailitan dapat dimohon oleh satu Kreditur yang sudah ada utang yang jatuh tempo dan belum dibayar, dan dapat membuktikan ada kreditur lainnya, minimal satu kreditur. Di sini tidak dipermasalahkan apakah kondisi keuangan Debitur tersebut sehat atau tidak. Sering terjadi kondisi keuangan Debitur yang dimohonkan untuk dipailitkan, cukup bagus, sehingga sering terjadi pergolakan di masyarakat bisnis (contoh kasus Pt. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia dan PT. Prudential Life Assurance). Aneh tapi nyata, perseroan terbatas tersebut
3
mempunyai nilai asset kurang lebih 1,6 triliun rupiah, namun dapat dimohonkan pailit oleh Kreditur yang nilai tagihannya kurang lebih 1 milyar rupiah yang berarti tidak sampai satu promil dari nilai asset Debitur yang dimohonkan pailit. Hal ini menyebabkan tidak adanya perlindungan hukum bagi Debitur pailit. Undang-undang kepailitan hanya berfungsi sebagai debt collector abstract. Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Pertama, untuk menghindari perebutan harta Debitur pailit dalam waktu yang sama terhadap beberapa Kreditur yang menagih piutangnya dari Debitur pailit. Kedua, untuk menghindari adanya Kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitur pailit tanpa memperhatikan kepentingan Debitur pailit atau para Kreditur lainnya. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangankecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditur atau Debitur pailit sendiri. Misalnya, Debitur pailit berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditur tertentu sehingga Kreditur lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitur pailit untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditur. Setelah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan berlaku selama enam tahun, maka banyak masalah-masalah yang menimbulkan kendala. Masalah-masalah tersebut antara lain2 : Pengertian utang dan jumlah utang yang dapat dipakai sebagai alas an untuk mengajukan Debitur pailit; 2 PPh Newsletter, 2003: 37.
4
1. Tanggung jawab penanggung dalam hal Debitur jatuh pailit dan hartanya telah dilelang untuk membayar utang-utangnya; 2. Pembuktian sederhana dalam kasus Promissory Note; 3. Transaksi derivative dalam kepailitan; 4. Event of Default dalam kaitannya dengan jatuh tempo yang dipercepat; 5. Pengertian jatuh waktu; 6. Apakah seorang penjamin pribadi dapat dipailitkan; 7. Pengalihan piutang sebagai dasar pengajuan kepailitan; 8. Choice of Law dan esensi pembuktian sederhana dalam kepailitan. Disamping itu, ada masalah yang sangat penting, yaitu kewenangan Kurator yang begitu besar atas perseroan terbatas pailit, di mana semua organ perseroan terbatas (Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris) harus non aktif. Pada umumnya Kurator tidak dapat mengurus dan membereskan harta pailit Perseroan Terbatas secara optimum bila tidak bekerja sama dengan organ Perseroan Terbatas tersebut. Bertitik tolak dari dasar pemikiran tersebut,
perlu dibentuk Undang-
Undang baru tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang merupakan produk hukum nasional, yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat. Atas dasar banyaknya masalah-masalah yang timbul setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, maka muncul Rancangan Undang-Undang tentang Kepailitan, yang sejak tanggal 18 Oktober 2004 telah menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
5
Undang-undang Kepailitan Indonesia, seyogianya memuat asas-asas sebagai berikut (Syahdeini, 2002: 42). Pertama, Undang-Undang Kepailitan harus dapat mendorong kegairahan investasi asing, pasar modal, dan memudahkan perusahaan Indonesia memperoleh kredit luar negeri. Kedua, Undang-Undang Kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi Kreditur dan Debitur, Ketiga, putusan pernyataan pailit seyogyanya hanya dapat diajukan terhadap Debitur yang insolven
yaitu yang tidak membayar utang-utangnya
kepada para Kreditur mayoritas. Keempat, permohonan pernyataan pailit seyogiyanya hanya dapat diajukan terhadap Debitur yang insolven yaitu yang tidak membayar utang-utangnya kepada para kreditur mayoritas. Kelima, sejak dimulainya pengajuan permohonan pernyataan pailit seyogianya diberlakukan keadaan diam (standstill atau stayi). Keenam, Undang-undang Kepailitan harus mengakui hak separatis dari Kreditur pemegang hak tanggungan, hipotek, fidusia, Ketujuh, permohonan pernyataan pailit harus diputuskan dalam waktu yang tidak berlarut-larut. Kedelapan, proses kepailitan harus terbuka untuk umum. Kesembilan, pengurus perusahaan yang karena kesalahannya mengakibatkan perusahaan dinyatakan pailit harus bertanggung jawab secara pribadi. Kesepuluh, Undang-undang Kepailitan seyogianya memungkinkan utang Debitur diupayakan direstrukturisasi terlebih dahulu sebelum diajukan permohonan pernyataan pailit. Kesebelas, Undang-undang Kepailitan harus mengkriminalisasi kecurangan menyangkut kepailitan Debitur. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas
6
tersebut antara lain adalah : Pertama, asas keseimbangan. Undang-Undang ini mengatur
beberapa
ketentuan
yang
merupakan
perwujudan
dari
asas
keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitur yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditur yang tidak beritikad baik. Kedua, asas kelangsungan usaha, dalam Undang-Undang ini terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitur yang prospektif tetap dilangsungkan. Ketiga, asas keadilan, dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitur, dengan tidak mempedulikan Kreditur lainnya. Keempat, asas integrasi, asas integrasi dalam Undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang piutang. Cakupan yang lebih luas tersebut diperlukan, karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sedangkan ketentuan yang selama ini
7
berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, murah dan efektif. Beberapa pokok materi baru dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini antara lain, pertama, agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran, dalam undangundang ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu. Kedua, mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan atau penundaan kewajiban pembayaran utang. Ketiga, materi baru mengenai Pengadilan Niaga tidak diatur dalam Undangundang ini, tetapi diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Permasalahan yang muncul sekarang adalah kewenangan organ Perseroan Terbatas beralih kepada Kurator dalam hal kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tetap sama dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak mengatur pengalihan wewenang organ-organ Perseroan Terbatas Pailit kepada Kurator, sehingga wewenang Kurator sedemikian luasnya sampai dapat menyebabkan bubarnya perseroan terbatas tersebut.
8
Secara yuridis telah diatur sistem kerja operasional organ-organ Perseroan Terbatas (Dewan Direksi, Dewan Komisaris. Rapat Umum Pemegang Saham/RUPS) sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan masalah ini. Tanggung jawab Direksi dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pengurusan suatu Perseroan Terbatas dilakukan oleh Direksi Perseroan Terbatas yang mengerahkan dana dari masyarakat dan Perseroan Terbatas yang menerbitkan surat pengakuan utang (obligasi) atau Perseroan Terbatas terbuka, wajib mempunyai sedikitnya 2 (dua) orang anggota Direksi. Pengertian “Direksi adalah organ Perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan baik ke dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar”. Menurut Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 269 K/Lampiran No. 7, tidak ada tanggung jawab pribadi dari seorang Direksi untuk perbuatan Badan Hukum Perseroan Terbatas, hanya Perseroan Terbatas bersangkutan yang bertanggung jawab. Pembatasan wewenang Direksi bahwa anggota Direksi tidak berwenang mewakili perusahaan jika terjadi perkara di depan pengadilan antara Perseroan Terbatas dengan anggota Direksi bersangkutan dan apabila anggota Direksi bersangkutan memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Perseroan Terbatas. Pembatasan lainnya dinyatakan bahwa anggota Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan atau menjadikan jaminan hutang, seluruhnya atau sebagian. Demikian pula dalam hal pengajuan
9
permohonan pailit ke Pengadilan Niaga, harus berdasarkan kepada persetujuan RUPS. Berdasarkan pasal-pasal yang diuraikan di atas, jelas sekali wewenang Direksi, wewenang Dewan Komisaris, wewenang RUPS dalam Perseroan Terbatas. Tidak ada satu pasal pun yang mengatur pemindahan wewenang organorgan Perseroan Terbatas tersebut bila Perseroan Terbatas itu dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga dan juga tidak ada satu pasal pun yang mengatur pemindahan wewenang organ-organ Perseroan Terbatas karena masuknya Kurator akibat perusahaan tersebut pailit. Perusahaan terbatas yang dinyatakan Pailit, belum tentu bubar, tapi jelas dilikuidasi. Bisa saja terjadi, setelah Perusahaan Terbatas yang dinyatakan pailit tersebut, setelah menyelesaikan kewajibannya sesuai Undang-Undang Kepailitan, kemudian menggunakan hak rehabilitasi, (hak untuk mengembalikan nama baik Perseroan Terbatas yang sudah pailit karena telah selesai melaksanakan pembayaran seluruh utang-utangnya kepada Kreditur secara proporsional dari nilai harta pailit yang dijual) maka Perseroan Terbatas itu dapat saja beroperasi lagi walaupun mulai dari awal lagi. Setelah berakhirnya kepailitan, Debitur atau para ahli warisnya berhak untuk memasukkan permohonan akan rehabilitasi pengadilan yang dulu memeriksa kepailitan tersebut. Pengadilan tidak akan menerima permohonan baik Debitur maupun para ahli warisnya, kecuali jika pada surat permohonan tersebut dilampirkan bukti yang menyatakan bahwa Kreditur diakui sudah dibayar semuanya. Jadi Perusahaan Terbatas yang Pailit tidak bubar.
10
Kewenangan dan kewajiban organ-organ Perseroan Terbatas diatur oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kewenangan dan kewajiban Kurator diatur oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang disebukan diatas maka sepanjang mengenai penjualan aset suatu perusahaan yang pailit menjadi kewenangan Kurator. Namun kewenangan organ Perseroan terhadap harta kekayaannya akan dikembalikan jika proses pailit telah selesai. Oleh karenanya, organ-organ Perseroan Terbatas akan kembali memiliki kewenangan dan tanggung jawab atas Perseroan Terbatas sampai dengan Perseroan Terbatas tersebut dibubarkan. Perseroan Terbatas yang pailit mungkin saja beroperasi kembali atau sehat kembali setelah pengadilan Niaga mengabulkan permohonan rehabilitasi oleh Debitur pailit dengan putusannya. Lebih mendalam lagi, organ-organ Perseroan Terbatas bertanggung jawab secara pribadi bila ternyata terjadinya kepailitan karena kesalahan pribadi organ-organ Perseroan Terbatas tersebut. Terkait dengan hal tersebut, kurator harus mengadakan legal audit dan legal opinion terhadap kewajiban dan wewenang organ-organ Perseroan Terbatas sebelum diajukan ke Pengadilan Negeri untuk menggugat secara perdata untuk mengajukan putusan yang inkracht (berkekuatan hukum tetap) yang memutuskan bahwa kepailitan Perseroan Terbatas itu terjadi karena kesalahan organ-organ Perseroan Terbatas. Hal ini memungkinkan, karena sudah diatur dalam UUPT Nomor 40 Tahun 2007.
11
Dengan terjadinya pailit pada Perseroan Terbatas berdasarkan putusan pailit Pengadilan Niaga, maka Majelis Hakim Pengadilan Niaga akan menunjuk seorang Hakim Pengawas dan Kurator untuk membereskan harta pailit Perseroan Terbatas, sehingga dengan masuknya Kurator dengan wewenangnya terjadi pergeseran yang cukup signifikan atas sistem kerja operasional organ-organ Perseroan Terbatas. Berdasarkan hal tersebut maka penulis melakukan penelitian tesis dengan judul “Kajian Yuridis Terhadap Pengalihan Wewenang Organ Perseroan Terbatas Kepada Kurator Akibat Kepailitan Perusahaan Sebagai Suatu Antisipasi Pengembangan Hukum Kepailitan”.
B. Perumusan Masalah Atas dasar latar belakang penelitian tersebut di atas, maka masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini diidentifikasikan sebagai berikut : a. Bagaimana proses terjadinya kepailitan terhadap suatu Perseroan Terbatas? b. Bagaimana akibat hukum terhadap organ-organ Perseroan Terbatas dalam hal terjadinya Kepailitan? c. Bagaimana perlindungan Hukum bagi Perseroan Terbatas yang pailit akibat pengalihan wewenang organ perseroan kepada Kurator?
12
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Meneliti dan mengkaji lebih luas batas-batas yang jelas tentang wewenang dan tanggung jawab Kurator dan tanggung jawab organ-organ Perseroan Terbatas dan pihak terkait lainnya dengan mengkaji apakah ketentuan-ketentuan perundangan yang ada dan yang masih berlaku dapat mendukung tercapainya Penegakan Hukum di bidang Hukum Kepailitan dan Hukum Perseroan Terbatas 2. Meneliti dan mengkaji hak dan kewajiban Kurator yang dapat menerima pengalihan wewenang dan tanggung jawab organ-organ Perseroan Terbatas
berdasarkan
Undang-undang
dengan
cara
mempelajari/memahami lebih mendalam dan menganalisis UndangUndang Kepailitan dan Undang-Undang Perseroan Terbatas serta Peraturan-Peraturan lainnya yang berhubungan dengan Kepailitan dan Perseroan Terbatas sampai pada kesimpulan apakah Undang-Undang yang masih berlaku tersebut perlu disempurnakan atau diperbaharui sehingga relative dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan. 3. Meneliti dan mengkaji fungsi kurator dalam kepailitan, sehingga dapat memberikan
adanya
kepastian
hukum
bagi
semua
pihak
yang
berkepentingan terutama bagi pihak Debitur dan pihak Kreditur. 4. Meneliti
dan
mengkaji
untuk
mendapatkan
konsep
pemikiran
pembaharuan peraturan perundang-undangan kepailitan dan perseroan terbatas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis yang dapat
13
memberikan perlindungan hukum bagi Debitur pailit berbentuk Perseroan Terbatas. D. Manfaat Penelitian Kegunaan dari penelitian ini dapat diklasifikasikan atas dua hal, yaitu bersifat teoritis dan praktis. Secara teoritis diharapkan untuk : 1. Sumbangan pikiran bagi perkembangan dan pembaharuan. Hukum Perseroan terutama Perseroan Terbatas khususnya tentang struktur organisasi. 2. Sumbangan pikiran Ilmu Hukum Bidang Kepailitan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi pembaharuan Hukum Perseroan. Hukum Kepailitan, Hukum Perseroan Terbatas dalam rangka reformasi di bidang hukum. 3. Dapat menambah bahan kepustakaan hukum mengenai Hukum Bisnis pada umumnya dan Hukum Perusahaan, Hukum Kepailitan serta Hukum Perseroan Terbatas pada khususnya. 4. Dapat mempunyai manfaat akademis bagi pengembangan bidang ilmu Hukum terutama Hukum Bisnis di bidang Hukum Perusahaan, Hukum Kepailitan dan Hukum Perseroan Terbatas. Sedangkan secara praktis diharapkan menjadi : 1. Masukan bagi pemerintah (Regulator) dalam penyusunan Undang-undang Kepailitan yang akan datang 2. Pedoman bagi advokat pada umumnya dan Kurator khususnya.
14
E. Keaslian Penelitian Menurut pengetahuan peneliti, bahwa penelitian tentang kajian yuridis terhadap pengalihan wewenang organ perseroan terbatas kepada kurator akibat kepailitan perusahaan sebagai suatu antisipasi pengembangan hukum kepailitan belum pernah ada yang membahas. Apabila ternyata pernah dilakukan penelitian serupa, maka hasil penelitian ini dapat melengkapi dengan tidak mengurangi materi penelitian yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini.
15