BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Pendidikan adalah suatu hal yang tidak dapat terpisahkan dari realita kehidupan manusia ketika
manusia senantiasa selalu ingin belajar dan
menambah wawasan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Pada kenyataannya di Indonesia masih banyak yang belum mendapatkan dan merasakan pendidikan yang menjadi hak oleh setiap warga negara. Faktor yang menjadi alasan tidak meratanya pendidiakn adalah unsur geografis negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, sehingga kurang terjangkaunya di sebagian daerah. Hal ini dirasakan oleh masyarakat golongan menengah ke bawah yang tidak mendapatkan fasilitas pendidikan yang sama. Realita yang terjadi masih banyak terlihat ketidakseimbangan dalam bidang pendidikan Indonesia. Sebagian masyarakat Indonesia yang belum mendapat dan merasakan pendidikan secara adil dan merata adalah anak berkebutuhan khusus (ABK) atau juga dikatakan sebagai anak-anak difabel. Permasalahannya adalah banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang tidak merasakan pendidikan di sekolah reguler atau sekolah umum dan yang terjadi anak-anak berkebuthuhan khusus harus menempuh pendidikan di sekolah luar biasa maupun yayasan pendidikan yang bergerak di bidang sosial kemanusiaan.
Menjawab segala permasalahan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dan juga hak-hak anak-anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan layanan yang sama dengan teman-teman sebayanya, maka muncullah perkembangan terakhir dari model pendidikan yang sekarang mulai dirintis di sekolah-sekolah, yakni model inklusif. Melalui pendidikan inklusif, individu yang berkebutuhan khusus dididik bersama-sama dengan individu yang normal untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995 : 21). Difabel, berasal
dari
singkatan
berbahasa
inggris diffable yang
merupakan kependekan dari differenly able atau yang juga sering disebut sebagai different ability. Istilah difabel merupakan sebuah wacana upaya pengganti istilah penyandang disabilitas dan penyandang cacat.Wacana penggunaan istilah difabel dimaksudkan untuk memberi sikap positif yang menekankan pada perbedaan kemampuan dan bukan pada keterbatasan, ketidakmampuan atau kecacatan baik fisik maupun mental.Istilah ini belum disahkan penggunaannya baik secara nasional maupun internasional (Psikomedia, 2012 : 8) Di Indonesia istilah yang digunakan dan banyak masyarakat menggunakan kata penyandang “cacat” . Kata itu mempunyai makna konotasi bagi orang yang mendengar dan merasakannya. Berbicara mengenai topik mengenai realitas kehidupan kau difabel sering sekali mendapat perlakuan tidak adil atau yang disebut dengan diskriminasi dalam berbagai bidang. Mulai dari lingkungan, pergaulan, perkataan, dipandang berbeda dan
penolakan oleh sebagian orang yang berpikir bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Pendidikan pada hakekatnya berbicara mengenai hal yang berisikan pengajaran dan pembimbingan mengenai guru dan murid di sekolah. Kaum difabel dalam dunia pendidikan juga seringkali mendapat penolakan dari pihak sekolah maupun institusi yang mengelola dan memberikan kebijakan. Hal ini berakibat anak-anak berkebutuhan khusus seringkali tidak dapat mengecap pendidikan di sekolah umum lainnya atau masuk di SLB (Sekolah Luar Biasa). Pendidikan adalah sebuah proses yang akan berlangsung sepanjang hidup manusia. Pendidikan adalah gejala yang dinamis dan merupakan sebuah usaha yang bercita-cita mulia, yaitu memanusiakan manusia itu sendiri sesuai dengan kodratnya. Hal ini berarti pendidikan adalah sebuah keharusan yang membawa manusia menjadi makhluk yang terbaik yang bermakna baik bagi dirinya dan menjadi khalifah yang bermakna bagi kehidupan makhlukmakhluk lainnya (Hasan Aedy, 2009:70). Hak atas pendidikan adalah hak asasi yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang yang wajib dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh negara. Kesadaran akan hak atas pendidikan ini semakin meningkat, antara lain dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat untuk tersedianya pendidikan
yang
murah,
nondiskriminatif,
dan
bermutu.
Bahkan
meningkatnya tuntutan atas terselenggaranya pendidikan dasar gratis, yang
menjamin bahwa setiap warga negara akan memperoleh kesempatan untuk menikmati pendidikan. Pendidikan adalah adalah hak dasar yang harus terpenuhinya ha-hak asasi manusia lainnya. Baik itu hak sipil dan politik, maupun hak sosial, ekonomi dan budaya. (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam Buku Pendidikan Untuk Semua, 2005: 1) Undang-Undang No 4 Tahun 1997 menyatakan bahwa penyandang berkebutuhan khusus secara kualitas cenderung meningkat dan, oleh karena itu, perlu semakin diupayakan peningkatan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat dan dalam rangka terwujudnya kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban, dan peran sebagaimana disebutkan bahwa perlu memberikan upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat di segala aspek kehidupan dan penghidupan dalam suatu Undang-Undang. Pemenuhan atas hak dasar mengenai pendidikan dasar yang tersedia meliputi konsep terjangkau, bermutu, nondiskriminatif ini telah menjadi komitmen bersama dalam bentuk penyelengaraan Pendidikan untuk Semua (Education for All) yang telah dideklarasikan bersama dalam Konferensi UNESCO, Konferensi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua (World Conference on Eduucation for All) di Jomtien, Thailand, tanggal 5-9 Maret 1990 : “Deklarasi Dunia Tentang Pendidikan Untuk Semua : “Memenuhi Kebutuhan Belanja Dasar” ini memberikan komitmen bagi pemenuhan hak atas pendidikan dasar, partisipasi perempuan, non diskriminasi, pendidikan bagi masyarakat dengan kemampuan yang berbeda (diffable-different ability),
masyarakat di pengungsian, situasi konnflik dan perang dan lain-lain. (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam Buku Pendidikan Untuk Semua, 2005 : 3)
1. Rumusan Masalah a. Apa peran pendidikan inklusif bagi kaum difabel ? b. Apa yang dimaksud dengan esensialisme dalam pendidikan ? c. Bagaimana pendidikan inklusif dalam perspektif filsafat pendidikan esensialisme ?
2. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran penulis selama proses pengerjaan penelitian, telah ditemukan sejumlah penelitian dalam format skripsi yang berkaitan dengan Pendidikan Inklusif. Sejumlah penelitian yang telah ditemukan memiliki perbedaan orientasi dan sudut pandang dalam mengkaji pendidikan inklusif. Berikut ini beberapa judul skripsi yang meneliti mengenai pendidikan Inklusif dan isu difabel. 1. Kamal Fuadi, 2011. Analisis kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta. Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan. Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah. Skripsi ini memberikan analisis terhadap kebijakan dan peraturan mengenai Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta
2. Redi Susanto, 2012. Efektivitas Program Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif di SDN Giwangan. Skripsi. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi ini meneliti tentang efektivitas mengenai tenaga pendidik dan dimana guru kelas memahami secara benar pengertian penyelenggaraan pendidikan inklusif karena dilihat dari kurikulum SDN giwangan belum efektif 3. Ferdinand B. Tokan, 2012. Partisipasi Warga Sekolah Dalam Pelaksanaan program Pendidikan Inklusif di SD Negeri Gejayan. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi ini meneliti tentang partisipasi warga sekolah dalam pelaksanaan program pendidikan inklusif belum ideal dari segi kurikulum dan pembagian tanggung jawab kerja yang menghambat pelaksanaan program pendidikan inklusif. 4. Nurul Setyaningsih, 2012. Manajemen Pembelajaran Pada Sekolah Inklusi di SD Negeri Blotongan 03 Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Satya Wacana. Skripsi ini meneliti tentang pengelolaan dan aplikasi suatu metode pembelajaran berbasis pendidikan inklusif antara guru dan murid 5. Mastari, 2012. Gambaran Persepsi Masyarakat Kota Medan Terhadap Pendidikan Inklusi (Studi Terhadap Beberapa Kecamatan di Kota Medan).Fakultas Psikologi. Universitas Sumatra Utara. Skripsi ini menguraikan mengenai pandangan masyarakat di beberapa kecamatan
Kota Medan secara Umum Terdapat penerapan dan pelaksanaan pendidikan inklusif.
3. Manfaat Penelitian 1. Bagi Penulis Selain sebagai prasyarat kelulusan, penelitian ini bermanfaat sebagai pembelajaran terhadap upaya mengetahui pendidikan inklusif secara konsep maupun aplikatif dalam tinjauan filsafat pendidikan esensialisme. Diharapkan hal ini kelak membantu penulis dalam upaya memberikan kontribusi mengenai pendidikan di Indonesia. 2. Bagi Masyarakat, Bangsa, dan Negara Penelitian
ini
dapat
memberikan
perspektif
berbeda
bagi
masyarakat, bahwa pendidikan inklusif sangatlah penting untuk diketahui dan dilaksanakan. Pemaparan ini diharapkan mampu mewujudkan pendidikan inklusif yang berisikan nilai-nilai klasik dan prinsip yang stabil untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi kaum yang termarjinalkan dalam kehidupan bahwa kaum difabel layak untuk mendapatkan kesejahteraan sosial. 3. Perkembangan Bidang Ilmu, Pengetahuan, dan Filsafat
Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi bidang ilmu Filsafat, khususnya untuk kajian studi Pendidikan Inklusif dalam aliran filsafat pendidikan esensialisme. Hasil refleksi filosofis dalam penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi dan bahan diskusi berkaitan dengan serta dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan yang universal dan memberikan landasan filosofis budaya yang dibahas secara khusus pada penulisan ini ; Pendidikan Inklusif Bagi Kaum Difabel Dalam Perspektif Esensialisme.
B. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan bagaimana pendidikan inklusif mulai dari penerapan, pelaksanaan dan pengawasan mengenai substansi bagi kaum difabel. 2. Mengetahui teori perspektif aliran filsafat pendidikan esensialisme yang meliputi segala aspek yang mencakup dan problematikanya 3. Menganalisis konsep pendidikan inklusif di Indonesia yang ditinjau dari perspektif aliran filsafat pendidikan esensialisme
C.
Tinjauan Pustaka Pendidikan Inklusif erat kaitannya dengan kebijakan dan analisis yang dilakukan sejauhmana pemerintah ikut ambil peran dan turut serta membuat lingkungan yang kondusif. Menurutnya analisis kebijakan inklusif yang ada di
DKI Jakarta yaitu identifikasi masalah sosial, implementasi kebijakan, akibat-dampak kebijakan yang dirasakan banyak orang (Fuadi, 2011 : 19). Penyelenggaraan pendidikan inklusif dilihat dari kurikulum SDN Giwangan belum efektif. SDN Giwangan belum mempunyai kurikulum yang mengacu pada program penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pelaksanaannya disesuaikan dengan kurikulum reguler, hanya saja dimodifikasi berdasarkan kemampuan siswa, GPK yang menggunakan Rencana Pembelajaran Individual (RPI) hanya satu guru sedangkan yang lainnya masih menggunakan kurikulum reguler (Susanto, 2012 : 7) Partisipasi pengawasan dan atau pengevaluasian program pendidikan inklusif masih belum optimal karena kurikulum yang dipakai belum sesuai dengan prinsip inklusif, guru masih menonjolkan rasa kemanusiaan dan kasihan dalam memberi nilai kepada siswa. Pengevaluasian disampaikan pada rapat intern sekolah yang biasanya dilakukan pada tengah semester, atau akhir semester. Faktor penghambat dalam pelaksanaan program inklusif yaitu kurangnya waktu GPK (Guru Pembimbing Khusus) dalam memberikan pelayanan kepada siswa, dan kekurangan dana untuk melaksanakan program inklusif (Tokan, 2012 : 8) Dalam pendidikan inklusif terdapat dua kompetensi yang perlu dikuasai oleh guru bagi anak berkebutuhan khusus, yaitu kompetensi teknis (technical
competencies)
dan
kompetensi
kolaboratif
(collaborative
consultation competencies). Kompetensi teknis mencakup (a) memahami berbagai teori tentang anak berkebutuhan khusus, (b) memahami berbagai tes yang terkait dengan kebutuhan khusus, (c) terampil dalam melaksanakan asesmen dan evaluasi, dan (d) terampil dalam mengajarkan bahasa lisan, membaca, matematika, mengelola perilaku, serta terampil dalam memberikan pelajaran prevokasional dan vokasional. Sedangkan kompetensi konsultasi kolabratif mencakup kemampuan untuk menjalin hubungan kerjasama dengan semua orang terkait dengan upaya memberikan bantuan kepada anak berkebutuhan khusus (Lerner dalam Abdurrahman, 1999:103). Manajemen Pembelajaran Pada Sekolah Inklusi di SD Negeri Blotongan 03 Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga terdapat hal yang kurang maksimal, dikarenakan sangat minimnya Guru Pembimbing Khusus (GPK). Sekolah Inklusi di SD Negeri Blotongan 03 mempunyai kendala dalam sarana-prasarana bagi anak-anak berkebutuhan khusus dalam proses pengajaran dan pembimbingan antara guru dan murid (Setyaningsih, 2012 : 10) Persepsi gambaran mengenai gambaran pendidikan inklusif di Kota Medan memperlihatkan bagaimana pandangan masyarakat mengetahui dan memahami lingkungan inklusif di beberapa kecamatan kota Medan. Hal ini juga menunjukkan bagaimana persepsi masyarakat terhadap pendidikan inklusif (Mastari, 2012 :15).
Hasil penelitian (Praptiningrum dalam Dinda, 2013 : 46) menjelaskan mengenai kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. Beberapa kemampuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut: a) Pengetahuan tentang perkembangan anak berkebutuhan khusus b) Pemahaman akan pentingnya mendorong rasa penghargaan anak berkaitan dengan perkembangannya, motivasi belajar melalui suatu interaksi positif dan berorientasi pada sumber belajar c) Pemahaman tentang konvensi hak anak dan implikasinya terhadap implementasi pendidikan dan perkembangan semua anak d) Pemahaman tentang pentingnya menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran yang berkaitan dengan isi, hubungan sosial pendekatan, dan bahan pembelajaran e) Pemahaman arti pentingnya belajar aktif dan pengembangan pemikiran kreatif dan logis f) Pemahaman pentingnya evaluasi dan assesmen berkesinambungan oleh guru g) Pemahaman konsep inklusi dan pengayaan serta cara pelaksanaan inklusi dan pembelajaran yang berdeferensi h) Pemahaman terhadap hambatan belajar termasuk yang disebabkan oleh kelainan fisik maupun mental i) Pemahaman konsep pendidikan berkualitas dan kebutuhan implementasi
pendekatan dan metode baru Secara umum pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secaraaktif mengembangkan potensi pribadinya untuk memiliki kekuatan spiritualkeagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia danketerampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara ( UU No20 tahun 2003, Pasal 1 ayat 1). Oleh sebab itu inti dari pendidikan inklusi adalahhak azasi manusia atas pendidikan. Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalahsemua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang tidak mendiskriminasikan dengan kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin,kemampuan dan lain-lain. Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidikaninklusi meliputi tujuan langsung oleh anak, oleh guru, oleh orang tua dan olehmasyarakat.
D.
Landasan Teori Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan menganalisis unsurunsur pendidikan esensialisme dalam konsep pendidikan inklusif bagi kaum difabel. Dalam filsafat pendidikan ditemukan beragam pandangan yang luas dan juga aliran-aliran yang terdapat di dalamnya. Objek formal yang digunakan adalah aliran filsafat pendidikan esensialisme yang di dalamnya terdapat kestabilan nilai-nilai klasik dan mempunyai tatanan yang jelas.
Sebagaimana ditetapkan George R. Knight (2007 :16) dalam bukunya Issues and Alternative in Educational Philosophy, pendidikan menjadi suatu proses yang tidak dapat terpisah dari kehidupan manusia yang dapat diambil dalam berbagai lingkungan dan konteks yang luas. Di satu sisi, pendidikan berbeda dengan konsep belajar yang lebih luas, karena pendidikan mencakup gagasan tentang kontrol yang sengaja dilakukan oleh pelajar atau orang lain menuju hasil yang diinginkan. Filsafat pendidikan berlandaskan pada hakikat realitas, struktur nilai, dan sumber pengetahuan sebagai jalan untuk berpikir secara bermakna tentang totalitas pendidikan secara komprehensif dan konsisten. Aliran esensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan. Nilainilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi dan yang telah teruji oleh waktu (Barnadib, 1997 : 25). Esensialisme berpegang pada pernyataan utama bahwa “alam semesta beserta segala unsurnya diatur oleh hukum yang mencakup semuanya serta tatanan yang sudah mapan sebelumnya, karena itu tugas utama manusia adalah untuk memahami hukum dan tatanan ini hingga bisa menghargai dan menyesuaikan diri dengannya. Esensialisme merupakan aliran dari perpaduan idealisme dan realisme. Sokrates menjadi salah satu tokoh aliran idealisme yang menyatakan manusia dapat mengetahui kebijaksanaan, jiwa harus melepaskan diri dari penjara badan. Untuk dapat menyatu dengan kebijaksanaan, maka manusia harus
berusaha mengetahui hakekat esensialisme dengan melakukan penyelidikan secara terus-menerus. Salah satu cara untuk memperoleh dan melakukan penyelidikan adalah dengan cara melakukan pendidikan (Barnadib, 1977 : 9). Aliran Realisme menyatakan bahwa pengetahuan mengenai sesuatu dan kenyataan mengenai sesuatu adalah hasil pertemuan antara jiwa dan benda. Realisme baru yang sifatnya objektif manusia dapat mengetahui sesuatu
sebagaimana
sesuatu
nampak
oleh
indera-indera,
sehingga
pengalaman menjadi faktor yang penting (Barnadib, 1977 : 11). Filsafat pendidikan modern pada garis besarnya dibagi menjadi empat aliran, salah satunya ialah esensialisme. Esensialisme mempunyai pandangan bahwa manusia itu adalah makhluk budaya, artinya makhluk yang hidupnya dilingkupi oleh nilai dan norma budaya (Barnadib, 2002 : 59). Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Esensialisme juga menitikberatkan pada kebudayaan. Pada aliran ini adalah penggabungan dari corak idealisme dan realisme. Tujuan umum aliran Esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan
kehendak manusia.
Kurikulum
sekolah bagi
Esensialisme adalah semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran, dan keagungan. Dalam pandangan ini, rohani
(idealita) dan jasmani (realita) adalah dua unsur yang tidak lebih tinggi dari yang lainnya. Segala sesuatu yang dipahami dan dimengerti oleh manusia adalah karena resonansi pengertian Tuhan. Tinjauan manusia dalam pandangan Esensialisme berangkat dan menitikberatkan pada “aku”, proses belajar yang dilakukan oleh manusia diawali dengan memahami aku-nya sendiri dan terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif (Jalaludin dan Abdullah Idi, 1997 : 82-85) Dalam pendidikan, manusia mengembangkan kemampuannya untuk memahami secara kritis mengada dalam dunia dengan mana dan dalam mana mereka menemukan dirinya sendiri; manusia akan memandang dunia bukan sebagai realitas yang statis, tetapi sebagai realitas yang berada dalam proses, dalam gerak perubahan. Hubungan dialektis antara manusia dengan dunia berlangsung tanpa keterkaitan bagaimana hubungan itu dipahami. (Dananjaya, 1985 : 66). Tugas pendidikan sebagai perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada di dalam ‘gudang’ di luar ke jiwa anak didik. Hal ini menandakan bahwa anak didik perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi yang tinggi. Bagi penganut paham esensialis, sasaran utama sekolah adalah untuk mengenalkan siswa kepada karakter dasar alam semesta yang tertata, dengan cara mengenalkan mereka pada warisan budaya. Esensialisme dilandasi oleh prinsip-prinsip klasik dari realisme dan idealisme modern (O’neil, 2001 : 22).
Sebagai salah satu teori konservatif, Esensialisme secara utuh menekankan segi intelektual. Esensialisme memperhatikan penyesuaian peserta didik terhadap lingkungan sosial dan fisik. Kalangan esensialis menganggap karya-karya besar masa lalu sebagai salah satu sumber yang mungkin untuk pengkajian persoalan-persoalan sekarang (Knight, 2007:182183).
E.
Metode Penelitian Metode penelitian adalah studi kepustakaan yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku, jurnal, media internet dan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. 1. Bahan dan Materi Penelitian A. Sumber Primer a. Smith, J. David,2006. Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua, Bandung, Nuansa b. Budiyanto,2005. Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal,Jakarta : Depdiknas c. Marthan, Lay Kekeh, 2007. Manajemen Pendidikan Inklusif, Jakarta : Depdiknas d. Tarmansyah, 2007. Inklusi Pendidikan Untuk Semua, Jakarta : Depdiknas
e. Gary Thomas and Andrew Loxley, 2001. Deconstructing Special Education and Constructing Inclusion, New York : Open University Press f. Ann Cheryl Armstrong, Derrick Armstrong & Ilekta Spandagou, 2010. Inclusive Education, California : Sage Publications g. Barnadib, Imam, 1986, Filsafat Pendidikan Suatu Tinjauan, Yogyakarta, Andi h. Barnadib, Imam, 1997, Filsafat Pendidikan : Sistem dan Metode, Yogyakarta, Andi i. Gutek,
Gerald
L.,
1998,
Philosophical
and
Ideological
Perspectives on Education, New Jersey: Prentice Hall, Inc. j. Knight, George R. 2007, Issues and Alternatives in Educational Philosophy, diterjemahkan oleh Mahmud Arif dengan judul : Filsafat Pendidikan, Yogyakarta, Gamamedia k. Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas l. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 m. UU Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2011
B. Sumber Sekunder
Sumber sekunder diperoleh dari buku, jurnal, skripsi dan penelitian yang berhubungan dengan pendidikan inklusif dan filsafat pendidikan esensialisme.
2. Jalan Penelitian Langkah-langkah
yang
diambil
dalam
penelitian
ini
berjalan
berdasarkan tahap demi tahap, yaitu sebagai berikut : a. Persiapan dan Pengumpulan data Tahap persiapan meliputi pengumpulan data-data baik berupa studi buku kepustakaan dan literatur ilmiah lainnya yang berhubungan dengan Pendidikan Inklusif dan aliran filsafat pendidikan esensialisme. Dalam tahap ini akan meliputi penyusunan dan pengklasifikasian data berupa objek material dan objek formal. b. Klasifikasi dan Penulisan Pada tahap ini akan dilakukan pembahasan data objek material dan formal yang telah diklasifikasi kemudian dideskripsikan dan diuraikan secara holistik atau komprehensif. c. Penyelesaian Akhir Penyusunan penelitian, yaitu penyusunan analisis data yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian yang sistematis
3. Analisis Data
Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini merujuk buku Metodologi Penelitian Filsafat karangan Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair (1994) yang di mana penelitian ini merupakan penelitian tentang teori ilmiah yang menggunakan metode hermeneutika filosofis dengan model penelitian studi pustaka (library research). Setelah data terkumpul dan relevan untuk dikaji dan dianalisis dengan unsur metodis yang merupakan bagian terpenting dalam memproses data dan penyusunan secara ilmiah dengan metode berikut: a. Deskripsi Seluruh hasil penelitian dibahasakan agar menjadi kesatuan mutlak antara bahasa dan pikiran seperti halnya antara badan dan jiwa. Pada dalam ilmu sosial diberikan pendekripsian kasus konkret, demikian juga dalam penelitian filsafat disajikan deskripsi objek, dan situasi secara cermat agar pembahasan dalam penelitian dapat dipahami dengan jelas, sehingga suatu deskripsi merupakan salah satu unsur hakiki untuk menemukan eidos pada suatu fenomena tertentu. Kemudian memberikan uraian dan gambaran menyeluruh tentang hasil yang diinterpretasikan (Bakker, 1994: 54).
b. Interpretasi Setiap
penelitian
dalam
pelaksanaannya
melibatkan
peneliti
berhadapan dengan kenyataan yang dapat berupa fakta, peristiwa, ataupun
data. Pada dasarnya interpretasi berarti bahwa tercapai pemahaman benar mengenai ekspresi manusiawi yang dipelajari (Bakker, 1994: 42).
c. Holistika Holistika merupakan corak khas dan suatu ‘kelebihan’ dalam konsepsi seperti filosofis, sebab justru filsafat berupaya mencapai kebenaran yang utuh. Penelitian filsafat ini subjek yang menjadi objek studi, tidak hanya dilihat secara ‘atomistis’, yaitu secara terisolasi dari lingkungan, manusia hanya dapat dipahami dengan memahami seluruh kenyataan dalam hubungan hanya dapat dipahami dengan memahami seluruh kenyataan dalam hubungan dengan dia, dan dia sendiri dalam hubungan dengan segalanya (Bakker, 1994 : 46)
d.Kesinambungan Historis Metode kesinambungan historis terdiri dari dua jenis. Pertama, dalam objek penelitian sendiri yang memandang individu dalam suatu mata rantai yang selalu mengalami konflik tiada henti dengan membuat orang lain menjadi objeknya atau sebaliknya diobjekkan sendiri. Kedua, objek lampau dan peneliti aktual membentuk suatu lingkaran hermeneutis yaitu lingkaran historis. Subjek saat ini menjelaskan objek penelitian yang lampau, tetapi sebaliknya yang lampau menjelaskan situasi subjek bagi dirinya sendiri.
Peristiwa lampau tetap berharga, kemudian mendapatkan arti baru. Peristiwa baru pun diketahui melalui pengelihatan masa lampau (Bakker, 1994: 48).
F. Hasil Yang Diharapkan 1. Memberikan pemahaman mengenai konsep pendidikan inklusif berupa perencanaan, penerapan dan pelaksanaan serta kebijakan dan UndangUndang yang mengatur. 2. Memperoleh dan memberikan deskripsi mengenai ruang lingkup filsafat pendidikan esensialisme meliputi aspek dan problematika yang ada. 3. Memberikan penjelasan refleksi filosofis berupa konsep pendidikan inklusif dalam perspektif aliran filsafat pendidikan esensialisme.
G.
Sistematika Penulisan BAB I: berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, perumusan maslaah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penulisan. BAB II: berisi pembahasan objek material penelitian yang meliputi definisikonsep pendidikan inklusif, sasaran, realita dan kebijakan-kebijakan yang mengatur di dalamnya. BAB III: berisi pembahasan objek formal penelitian yaitu mendeskripsikan aliran filsafat pendidikan esensialisme.
BAB IV: berisi memberikan pemaparan komprehensif mengenai analisis filosofis terhadap penerapan konsep pendidikan inklusif bagi kaum difabel dalam tinjauan aliran Filsafat Pendidikan Esensialisme.. BAB V: berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran terkait dengan inti penelitian yang memuat refleksi filosofis mengenai konsep pendidikan inklusif dan aliran filsafat pendidikan esensialisme.