a lalu berkata : "Silahkan.” Lantas dia minum kering araknya itu. Sekalipun muka Bu Hang Seng tak tampak berubah, tapi sesungguhnya didalam hatinya dia merasa serba salah, dia tahu yang 'Giok-kut-moo' ini bukan saja ilmu kepandaiannya sangat tinggi, tapi keistimewaannya ialah bahwa dia juga sangat pandai sekali dalam ilmu racun. Dia amat menyangsikan yang didalam araknya ini mungkin sekali telah dicampur dengan racun pula. Waktu dia lihat kembali kearah arak hijau tersebut, memang warnanya sangat bening sekali, hingga ini teranglah ada arak yang bagus mutunya. Setelah dia berdiam diri sejurus lamanya dan melihat pula Seng It Ceng, sekali teguk saja Bu Kek Toocu telah mengeringkan cawan araknya. Bu Kek Toocu yang mengetahui kedudukannya sendiri, tidak ingin menunjukkan kelemahannya, dia hanya kuatir pada isterinya yang tenaga dalamnya mungkin masih belum cukup sempurna, tapi
untuk dirinya dia tidak, merasakan sesuatu halanganpun, segala macam racun dapat dikeluarkannya nantinya. Dalam pada itu dengan suaranya yang nyaring dia berteriak :
"Isteriku tidak bisa minum, baik aku saja yang mewakilinya.” Lantas didongakkannya kepalanya meminum hingga kering kedua isi cawan arak itu. Kemudian dua cawan yang sudah kosong itu lantas dikirimkan kembali. Seng It Ceng hanya merasakan berkesiuran angin yang keras dengan mengeluarkan suara 'huu huu' dua kali, lantas kedua cawan arak itu melesak masuk kelantai papan kapalnya begitu dalam, sehingga tidak tampak lagi. Bu Heng Seng lalu berseru : "Silahkan kalian memberi jalan.” Lantas kapalnya mulai bergerak, tangan Seng It Ceng kemudian tampak digerakkan, lantas ketiga kapal perompak itu meminggir memberi jalan. Tanpa disangka-sangka, justeru pada saat itu sekonyongkonyong terdengar suara yang keras memecah angkasa, karena ternyata bahwa kapal besar dari Bu Heng Seng telah terbelah dua ditengah-tengahnya, hingga air lantas masuk menerobos kekapalnya dan dayung dari kapalnya pun sudah tentu pada hancur diseketika itu juga. Kepingan-kepingan dari kapalnya ini pada beterbangan ditengah lautan, sedangkan ditengah-tengah udara pada saat itu tercium bau belerang yang tajam, hal mana memberi kenyataan, bahwa kapalnya itu sudah dihancurkan orang dengan sebuah ledakan dari obat pasang
yang mengandung belerang ! Para awak kapal banyak yang luka, diantaranya banyak yang kehilangan daging dan anggota badan mereka, sedangkan teriakan kaget memenuhi dan memecah angkasa. Bu Heng Seng dan Biu Chit Nio yang duduk dikepala kapal mereka, juga terjatuh kena goncangan yang
dahsyat itu. Buru-buru mereka menghalau asap tebal dihadapan mereka. Dari jauh tampak oleh mereka ketiga kapal perompak itu sudah melarikan diri. Tidak terasa lagi Bu Heng Seng lalu berseru saking marahnya : "Bangsa cecurut, berani main gila dihadapanku !” Sambil memegang tangan Biu Chit Nio lalu dia terjunkan dirinya dan mengejar kapal perompak itu dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna. Sekalipun ketiga kapal perompak tersebut sangat laju jalannya, tapi Bu Kek Toocu suami-isteri dengan mengembangkan ilmu meringankan tubuh, maka jarak antara mereka semakin lama semakin dekat saja. Kepandaian Bu Heng Seng ini sangat sempurna sekali, tapi sebaliknya kepandaian Biu Chit Nio agak lebih rendah sedikit. Dan dengan bantuan suaminya, kecepatan mereka ini sangat mengejutkan orang dan tak jauh didepan mata mereka kapal ketiga perompak itu sudah semakin dekat saja. Dalam pada itu Biu Chit Nio tiba-tiba teringat akan Ceng Jie yang masih berada diatas kapalnya, buru-buru dia memandang pada kapalnya, pada saat itu dia hanya melihat kapalnya sudah hampir tenggelam dan seorang anak gadis terapung-apung diatas sehelai papan. Gadis mana tak lain adalah anak daranya sendiri. Karena dia berpendapat yang anaknya ini mempunyai ilmu meringankan tubuh yang
cukup sempurna, maka sudah tentu baginya tidak menjadi suatu pikiran apa-apa, oleh karena itu, hatinyapun menjadi tenang kembali dan terus mengejar ketiga kapal perompak itu. Seng It Ceng melihat Bu Kek Toocu suami-isteri sangat hebat sekali ilmu meringankan tubuhnya dan terus saja mengejar kapalnya, kemudian dia perintahkan anak buahnya untuk mempercepat jalan kapalnya, disamping itu
dia memerintahkan anak buahnya pula untuk bersiap-siap menghadapi lawan-lawan mereka itu. Anak buahnya yang seluruhnya berpakaian warna kuning itu, tampaknya sudah terlatih sempurna dalam hal memegang senjata dan berdiri ditempat masing-masing menantikan kedatangan lawan-lawan itu tanpa menjadi kacau. Bu Heng Seng yang menampak kapalnya sudah hancur, hatinya menjadi sangat geram dan gugup sekali, maka dengan mengempos semangatnya bersama-sama Biu Cliit Nio dia meminjam tenaga tolakan ombak berlompatlompatan bagaikan dua ekor burung besar yang sedang mengejar-ngejar kapal lawannya. Setelah mengatur segala sesuatunya dengan beres, lalu Seng It Ceng menoleh kepada Bu Heng Seng suami-isteri yang sudah mendatangi semakin dekat, hatinya tidak terasa lagi menjadi sangat terkejut sekali, karena ternyata kedua orang lawannya pada saat itu sudah mengejar sampai dibelakang kapalnya dari arah kiri dan kanan, disamping itu, tiga orang anak buahnya dari jurusan yang tidak sama pada menghunus senjata masing-masing, untuk bersiap-siap menghadapi lawan-lawan itu. Siapa tahu dengan sekali menyingsingkan lengan
bajunya saja, bayangan Bu Heng Seng menjadi kabur dengan hanya mengeluarkan suara angin yang keras sekali, tampak senjata tiga orang anak buahnya pada beterbangan ditengah-tengah udara, kemudian ketiga anak buah itu tampak jatuh bergelimpangan dan mati, sebelum tubuh mereka jatuh kedalam laut ! Seng It Ceng tidak pernah menyangka, bahwa Bu Kek Toocu sedemikian garangnya, hingga tidak terasa lagi hatinya menjadi jerih. Dia melihat lima orang anak
buahnya yang berdiri dibelakang kapal tinggal tetap mempertahankan diri mereka terhadap serangan lawanlawan itu, maka dia segera memerintahkan nakhoda kedua kapal lainnya untuk meneruskan pelayaran mereka secepat mungkin. Sedangkan dia sendiri lalu berlompat kebuntut kapalnya dengan menghunus pedang panjang ditangannya. Perompak golongan 'Oey-cu-see' ini sebelum takluk pada 'Giok-kut-moo', dahulunya mereka telah merajai didaerah Tong Hay (Laut Timur), setelah mereka menakluk dan bekerja dibawah perintah Giok-kut-moo, terhadap ilmu menyelam didasar laut mereka lebih utamakan. Begitulah tadi kapal Bu Kek Toocu yang telah dihancurkan oleh mereka yang pandai sekali menyelam didasar laut, adalah perbuatan anak buah Seng It Ceng ini, dalam hal mana Bu Heng Seng sampai tidak merasakan dasar kapalnya telah dibokong musuhnya, hingga dari sini dapat ditarik kesimpulan, betapa lihaynya anak buah Seng It Ceng itu. Kelima orang anak buah Seng It Ceng yang telah menjaga sedemikian sempurnanya, mereka menaruh keyakinan bahwa mereka pasti dapat menghalau setiap serangan dari lawan-lawan mereka ini, tapi siapa duga sekali lengan baju Bu Heng Seng bergerak, lantas salah
seorang dari antara mereka tidak dapat mempertahankan dirinya pula, hingga orang tersebut kena dipukul mampus oleh Biu Chit Nio yang telah membantu pula terhadap serangan suaminya itu. Penjagaan mereka yang kini sudah dibobolkan dengan jatuhnya seorang penjaga itu, selanjutnya menjadi tidak sekokoh semula pula. Serangan suami-isteri ini demikian cepatnya, sehingga Seng It Ceng yang berdiri tidak jauh dari situ, tidak keburu lagi untuk membantunya, sedangkan keempat orang anak buah yang lain, berturut-turut sudah terbinasa pula dipukul oleh suami-
isteri ini, dengan mayat-mayat mereka satu-persatu jatuh tercemplung kedasar laut menjadi makanan ikan-ikan besar. Bu Heng Seng lalu menyatu-padukan semangatnya, tibatiba bagian perutnya dirasakan sedikit meluang, sekalipun hal itu dirasakan sekejap saja, tapi iapun sudah dapat menduga apa yang telah terjadi, dia insyaf bahwa pengaruh racun lawannya telah mulai bekerja, dan berbareng dengan itu, diapun pikir bahwa racun yang dipakai oleh Giok-kutmoo ini pasti adalah racun yang luar biasa sekali. Sekarang kapalnya sendiri sudah hancur lebur. Pikirnya, sebelum racun lawannya menyerang lebih hebat, dia harus terlebih dahulu menghancurkan seluruh lawannya, dan untuk itu terlebih dahulu dia harus merampas kapal lawannya ini. Dalam pada itu, sambil menarik tangan Biu Chit Nio, dia lalu menyerbu keruangan tengah dari kapal lawannya. Orang yang menghadang dimukanya justeru ada Seng It Ceng sendiri, Bu Heng Seng lalu memukul kearah dada
dalamnya, sedangkan Biu Chit Nio sendiri sambil lompat melewati kepalanya Seng It Ceng, dia terus menyerbu kebagian tengah dari kapal tersebut. Seng It Ceng yang melihat serangan lawannya yang begitu dahsyat, terpaksa dia menyambut serangan lawannya ini, tapi sekonyong-konyong terdengar suara 'Peng', ternyata dia tidak dapat menahan lagi serangan lawannya ini, sehingga ia mundur beberapa puluh langkah kebelakang, sedangkan dadanya dirasakan sesak dan denyut jantungnya menjadi lebih cepat dengan secara tiba-tiba. Seng It Ceng sebelum tunduk dan takluk dibawah pengaruh Giok-kut-moo, dialah yang menjadi pemimpinnya, kepandaiannya didaerah Tong Hay sangat disegani sekali oleh lawan-lawannya, belakangan setelah menyerah pada Giok-kut-moo, dia masih tetap merupakan tangan kanan dari pemimpinnya, dan tatkala dia melihat
yang sekali gebrak saja dia sudah terpukul oleh lawannya, tidak terasa lagi hatinya menjadi sangat terperanjat sekali. Akan bicara dengan terus terang, Bu Heng Seng tadi telah memukulnya hanya dengan tenaga enam bagian saja, kemudian sambil tertawa dingin dia menggerakan pula tangannya, sehingga lagi-lagi satu pukulan yang dahsyat meluncur kearah tubuh Seng It Ceng. Disamping itu, disebelah kirinya ada tiga anak buahnya yang sedang bersiap sedia untuk membantunya. Pada saat Seng It Ceng merasa bingung dan serba salah, ia terpaksa sambil mengeraskan kulit mukanya bersedia untuk melawan keras
dengan keras serta menyambut sekali lagi serangan lawannya ini. Tampak rambutnya pada berdiri, sedangkan bajunya yang berwarna kuning telah berkibar-kibar keras sekali karena hembusan angin yang keluar dari dalam tubuhnya. Bajunya ini terkembang lebih besar daripada layar kapalnya sendiri, keadaannya itu sungguh angker sekali. Tapi sesungguhnya dia sendiri sangat takut sekali terhadap lawannya ini, karena dia sangat kuatir yang dirinya sendiri bukan merupakan lawan yang setimpal bagi Bu Heng Seng. Siapa tahu, baru saja dia mengeluarkan pukulannya, lawannya sudah menarik kembali serangannya, Seng It Ceng merasakan bahwa serangannya yang hebat kena disedot oleh lawannya, walaupun dia berusaha sekuat tenaga untuk menarik kembali serangannya, ternyata sekarang sudah tidak bisa dilakukannya lagi. Bu Heng Seng telah mengerahkan tenaganya kearah kiri, lantas tubuh lawannyapun segera mendoyong kearah yang ditentukan olehnya, yaitu kekiri pula, badan Seng It Ceng ini terus menjurus yang kemudian membentur pada diri ketiga anak buahnya.
Seng It Ceng melihat ketiganya adalah orang-orangnya sendiri, dia tidak berdaya sama sekali, saking gugupnya, keringat dingin telah mengucur keluar, karena dia mengetahui, bahwa peristiwa yang sangat aneh ini, kesudahannya mengakibatkan ketiga anak buahnya jatuh bergelimpangan dilantai kapalnya, karena kena terpukul oleh pukulannya sendiri tadi. Bu Heng Seng dengan tepat sekali telah meminjam tenaga sang lawan untuk menyerang lawannya itu. Ilmu itu disebut
'Iehoa-tiap-bok' (memindahkan bunga menyambung pohon), cara dia menggunakan tipu tersebut demikian sempurnanya, sehingga para perompak yang berdiri disebelah kanannya sampai tidak sempat turun tangan lagi, dengan mata terbelalak mereka hanya dapat menyaksikan peristiwa itu dengan mata mendelong saja, tapi mereka tidak tahu harus berbuat apakah yang tepat pada saat itu. Keadaan didalam ruangan kapal mereka berbeda pula, Biu Chit Nio yang telah mengembangkan tenaga dalamnya dan ilmu meringankan tubuh yang sempurna, dipadu pula dengan ilmu totokannya yang tunggal, dia menerobos diantara para perompak pulang pergi dengan amat leluasa. Sebentar dia menerjang kekiri, sebentar pula dia menyerbu kekanan, sambil bila ada kesempatan, dia melancarkan totokannya, sehingga para perompak tidak berdaya sama sekali. Adakalanya sekali dia melakukan penyerangan terhadap empat atau lima orang, maka kelima orang-orang tersebut tidak dapat berdaya dan mereka lantas pada jatuh kelantai kapalnya terkena totokannya. Lie Siauw Hiong pada saat sebelum kapal yang dinaikinya itu menjadi hancur lebur, dia kemudian terkena goncangan yang hebat sekali, sehingga dia terlempar keluar kamarnya dan jatuh kelaut, pada saat itu juga lantas datang
sebuah ombak yang besar dan menggulung tubuhnya masuk kedasar laut. Tubuhnya yang kena ditotok lawannya, masih terasa amat sakit dan badannya pun berbentuk separuh melingkar, bergerak sedikitpun dia tidak mampu. Dia terus
saja digulung oleh ombak, diombang-ambingkan sesuka hatinya, hingga dia sedikitpun tidak berdaya untuk melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian, dia betul-betul menyerahkan nasibnya terhadap ombak. Sebelum tenggelam kebawah, sekonyong-konyong sebuah ombak yang besar telah melemparkan tubuhnya keatas permukaan laut, bukan buatan kesengsaraan yang dirasakannya, karena air laut yang asin itu dari hidung, kuping dan mulutnya telah menerobos masuk, dia merasa seakan-akan perutnya sudah kembung benar. Perlahan-lahan dia merasa dirinya semakin lemah, seakan-akan dihadapannya ada sebuah tangan raksasa yang telah mencekik lehernya, sehingga dia sukar bernafas. Dalam waktu sedetik saja, dari otaknya melintas dengan cepatnya bayangan-bayangan orang, pertama bayangan ibu dan ayahnya yang mati secara menyayatkan perasaan, lalu muka Bwee Siok-sioknya yang demikian kasih sayang terhadapnya, lalu tampang muka Hauw Jie Sioknya yang begitu menyedihkan sekali. Dan yang paling akhir tampak bayangan Kim Bwee Leng yang telah menawan perhatiannya. Dalam pada itu tiba-tiba dia berpikir : "Sekarang dia berada dimana ?” Kemudian dalam waktu yang sekejap pula, bayanganbayangan tersebut semuanya telah lenyap, sedangkan dihadapannya tampak gelap sekali, dan bayangan kematian akan segera sampai ..….
Sekonyong-konyong sekali lagi datang sebuah ombak yang besar sekali dari arah sebelah bawahnya, melemparkan dia keatas, sehingga badan Lie Siauw Hiong yang mulai timbul, tenggelam pula kepermukaan air laut. Bagaimanapun jua gelombang laut mengombangambingkannya, Lie Siauw Hiong hanya memiliki sedikit sekali tenaga untuk membela dirinya, karena selain dia sudah tertotok terlebih dahulu oleh lawannya, kini dia merasa sangat lelah dan tak berdaya. Pada saat itu diantara gemuruhnya suara ombak menampar air laut, sekonyong-konyong terdengar suara teriakan kegirangan dari seseorang yang masuk dikuping Lie Siauw Hiong, kemudian disusul dengan dirasakannya badannya kena tertumbuk barang keras. Saking sakitnya, dirasakannya seakan-akan tembus kerongga dadanya, maka diapun segera insyaf, bahwa jalan darah dalam dirinya yang tertotok tadi sudah terbuka. Buru-buru dia menggerakkan sepasang tangannya, lantas air laut pada terpecah kekiri dan kanannya dan badan seseorang muncul kepermukaan air laut, dimana dia melihat dihadapannya ada seorang gadis cilik yang berdiri dengan menginjak sehelai papan, dan gadis cilik itu ternyata bukan lain daripada Ceng Jie adanya. Waktu menundukkan kepalanya memandang, dia tahu bahwa tadi barang yang telah membuka totokannya adalah papan tersebut.
Seketika itu seluruh badan Ceng Jie basah kuyup agaknya, sedangkan pada mukanya yang berwarna kemerah-merahan menunjukkan sinar kegirangan. Disana itu pula dengan terpaku dia memandang pada pemuda Lie Siauw Hiong, dan sekalipun rambutnya yang bagus pada waktu itu awut-awutan karena tertiup oleh angin laut, tapi hal itu malah menambah kecantikannya saja.
Badan Lie Siauw Hiong yang berada dipermukaan laut, perlahan-lahan mulai tenggelam kebawah kembali. Ceng Jie segera mendorong dua belah papan kemukanya, sehingga Lie Siauw Hiong tepat jatuh diatas papan itu, dan dengan penuh semangat diapun mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya lalu berdiri diatas papan itu mengikuti kemana saja ombak membawanyaSekalipun kedua orang ini tidak bercakap-cakap, tapi Lie SiauwHiong yang memang agak pendiam sifatnya, pada saat itu perasaan kasih sayangnya terhadap Ceng Jie ini bertambah sepuluh kali lipat dibandingkan dengan tadi sewaktu dia mempertahankan jiwanya terkenang akan gadis cilik ini. Kedua orang ini didamparkan oleh ombak, jarak antara mereka semakin lama semakin dekat. Bila mereka bercakapcakap, cukup jelas terdengar oleh satu dengan yang lainnya. Sedangkan disebelah sana diatas kapal pada saat itu, Bu Heng Seng lagi-lagi melancarkan serangannya yang bertubitubi dan dahsyat sekali, sehingga ada beberapa puluh anak buah perompak yang telah terpukul jatuh kedasar laut, sedangkan Seng It Ceng sendiri, sudah terpukul jua
olehnya, sehingga ia belakangan menderita luka-luka didalam anggota badannya. Justeru ketika itu dia sedang mengamuk secara garang sekali, sekonyong-konyong dia merasakan dadanya mulai sakit dan sesak, tiba-tiba dia sangat terperanjat akan kelihayannya racun yang mulai menjalar didalam tubuhnya ini. Andaikata kepandaiannya sendiri tidak cukup tinggi, pasti dirinya sudah siang-siang menjadi celaka, waktu dia memandang kembali kearah kedua kapal perompak lainnya, dilihatnya merekapun sudah mulai membantu kawan-kawannya dan berlompatan naik keatas kapal dimana dia berada. Sementara Biu Chit Nio sendiri sekalipun dia ini berada diatas angin, tapi bila dia ingin
menghancurkan seluruh perompak agaknya mustahil sekali, karena dirinya sendiri sudah terkena racun. Pada saat itu rasa gusar dan gugupnya tercampur aduk. Buru-buru dia melancarkan serangannya pula dan dalam saat itu juga tampak seorang yang terkena pukulannya hingga mampus dan mayatnya terlempar beberapa tombak jauhnya kedalam laut. Pukulannya ini dia lancarkan dengan hebat sekali. Para perompak menjadi terperanjat bukan buatan. Bu Heng Seng lalu melancarkan serangannya pula dan pada waktu itu ada dua perompak yang buru-buru menggabungkan diri untuk melayani Bu Heng Seng ini, tapi dengan mengeluarkan suara 'Crat', kedua tulang orang tersebut lantas pada patah. Mereka jatuh mengusruk dalam keadaan pingsan. Sesaat kemudian suara gemuruh bagaikan ribuan kuda liar yang sedang berlari-lari dari arah Timur mulai terdengar, sedang awan yang gelap dan bertumpuk-tumpuk segera terbentang menutupi angkasa raya, hingga dalam
waktu yang singkat hembusan angin yang keras segera datang meniup dengan dibarengi oleh turunnya tetesantetesan air hujan yang sebesar kacang mulai turun dengan lebat sekali, seakan-akan bumi ini hendak dihancur luluhkan oleh titikan-titikan air hujan tersebut. Angin yang datang meniup dilautan ini demikian kerasnya, tak lama lagi agaknya awan yang tebal menutupi langit, angin puyuh mulai meniup, lantas ombak-ombak sebesar gunung dan sangat tinggi datang mendamparkan kapal-kapal mereka. Dalam sekejap saja ombak yang besar itu segera menggulung kapal-kapal itu. Tiang layar yang terkena damparan ombak dalam waktu yang pendek hampir terbelah menjadi dua potong.
Seng It Ceng yang sudah kenyang makan asam garam dalam pengalaman dilautan, diapun sudah mengetahui rahasia dan dalil-dalil dalam lautan ini, dan dia tahu, kalau pada saat itu layar mereka diturunkan, dengan sendirinya lajunya kapal mereka dapat diperlambat. Dengan demikian, keadaan yang berbahaya dapat diperkecil. Karena waktu itu dia sudah menderita luka-luka dibahagian dalam anggota tubuhnya, maka dia teriakkan anak buahnya untuk segera menurunkan layar kapal mereka. Tapi layar kapalnya yang demikian besarnya, bukan dapat diturunkan dengan mudah dan segera oleh sepuluh atau beberapa puluh orang saja. Apa lagi pada saat itu Bu Heng Seng masih tetap saja ngotot melancarkan seranganserangannya yang bertubi-tubi dengan tak putus-putusnya, sehingga membuat anak buahnya banyak yang mati dan luka-luka parah maupun enteng oleh karenanya. Dibawah hembusan angin yang keras dan hujan yang
menderas disertai ombak-ombak yang menggulung sebesar gunung, membuat orang yang sudah berpengalaman seperti Seng It Ceng ini tidak urung menjadi gugup dan bingung juga. (Oo-dwkz-oO)
Jilid 14 Pada saat itu suara hujan yang demikian santernya telah mulai turun seakan-akan ditumpahkan dari langit saja layaknya. Kemudian dengan sekonyong-konyong terdengar suara yang sangat keras sekali. Ternyata kepala kapal mereka menabrak batu karang dan seketika itu juga kapal mereka menjadi hancur luluh, disertai suara yang
memberotok lantas tiang topang dari kapal mereka patah dua dan kapal itupun segera terbalik, kemudian disusul dengan menyambernya sebuah ombak besar yang menggulung kapal mereka, sehingga kapal beserta orangorangnya seluruhnya masuk kedalam laut. Diantara mereka semua hanya Bu Kek Toocu seorang yang tidak tergulung oleh ombak tadi, sepasang tangannya dengan kesepuluh jari-jarinya menancap keras sekali pada papan kapal, sedangkan dia sendiri sambil mengandalkan papan tersebut, mengikuti deburan ombak terapung-apung dipermukaan laut itu. Dia, dengan mengikuti lewatnya sebuah ombak yang mendamparkannya dan sebelum ombak yang kedua datang sampai menggulung dirinya, dia memandang kesetiap
penjuru, sampai matanya hanya dapat memandang pada jarak kurang lebih sepuluh tombak saja. Bayangan Biu Chit Nio sendiri tidak kelihatan sama sekali, sedang kedua kapal perompak lainnya juga tidak tampak batang hidungnya pula. Tidak perduli betapapun tingginya ilmu kepandaian Bu Kek Toocu, tapi pada saat itu dia tidak berdaya sama sekali menentang kekuatan alam, dia hanya dapat mengandelkan kekuatan sepuluh jarinya saja agar dia sendiri jangan sampai tergulung ombak masuk kedasar laut. Tapi angin semakin lama semakin santer, demikianpun ombak semakin lama semakin tinggi menghempasnya, hingga pada saat itu pula kapal yang mulai tenggelam itu tidak dapat menahan hempasan ombak yang keras itu dan segera terbalik berikut seluruh muatannya sekali. Dan tatkala kapal itu terbalik, ombak lalu menggulungnya pula dan sekali lagi kapal yang sudah terbalik itu tertumbuk pula dengan batu karang. Dan saat
itu tepatlah seluruh kapal tersebut menjadi hancur lebur berkeping-keping dan keping-kepingan dari kapal ini tentu saja sudah diombang-ambingkan oleh ombak yang tidak berperasaan itu sehingga berserakan kian kemari. (Oo=dwkz=oO)
Sekarang marilah kita menilik kembali pada Lie Siauw
Hiong dan Ceng Jie yang terapung-apung diatas laut dengan berdiri dipapan kapal, makin lama jarak antara mereka berdua semakin mendekat saja. Hati kedua orang ini dirasakan demikian mesra dan manisnya, tapi tidak disangka sekonyong-konyong saja langit gelap, ombak yang besar dan beberapa puluh tombak tingginya itu dengan disertai angin yang santer sekali telah menjurus kearah mereka. Lie Siauw Hiong yang menggunakan tipu yang paling sempurna, yaitu 'Am-eng-pu-hiang', dia masih dapat berdiri diam dengan tidak terombang-ambing oleh ombak, tapi sekonyong-konyong dia mendengar suara teriakan dan jeritan Ceng Jie, karena nona itu telah terdampar oleh ombak dan terpukul kebelakang. Lie Siauw Hiong merasa kaget sekali. Dengan melupakan keadaan yang berbahaya bagi dirinya, sepasang kakinya yang tergenang ombak setinggi gunung lalu ditotolkannya dengan gesit sekali, kemudian tubuhnya lantas melayang beberapa meter kedepan, untuk menjambret tubuh Ceng Jie. Tapi karena ombak yang besar kembali datang mendamparnya, Lie Siauw Hiong yang berdaya-upaya meloncat dibawah ancaman ombak yang sangat besar dan dahsyat ini, tentu saja majunya menjadi sedikit terhambat, hingga tenaganyapun menjadi berkurang, sedang Ceng Jie yang terkena damparan ombak yang dahsyat ini, iapun kembali digulung ombak kebelakang, hingga semakin lama ia semakin tenggelam kedalam laut.
Dan begitu selanjutnya dia tidak mendengar lagi suara angin yang menderu-deru. Angin yang berhembus tadi datangnya sangat cepat sekali, tapi berlalunyapun pesat pula. Tidak antara beberapa jam lamanya, awan yang gelap telah buyar dan melayanglayang pergi, hingga sinar matahari sudah mulai pula menunjukkan dirinya kembali diangkasa, sedangkan ombak lautpun mulai reda dan tenang kembali. Tidak antara lama, keping-kepingan kapal yang hancur lebur tadipun mulai muncul kembali kepermukaan laut. Nun jauh disana terlihat pelangi yang seakan-akan menjadi satu dengan permukaan laut, merupakan satu pemandangan yang sangat indah sekali diatas laut yang terbentang luas itu. Lie Siauw Hiong lalu membuka matanya dengan perlahan-lahan, segera ia sadar bahwa ia sedang berbaring diatas pasir. Dalam pada itu ujung kakinya dimain-mainkan oleh ombak yang datang sekali-sekali memecah dekat kakinya. Sejurus lamanya ia tak dapat berpikir dimana ia berada sekarang. Dia tidak dapat mengingatnya sama sekali serta merta. Kemudian tangan kirinya meraba urat nadi dipergelangan tangan kanannya. Dia merasa nadi kanannya berdenyut dengan amat perlahan. Dalam hati dia berpikir : "Benar, aku masih hidup. Orang yang hidup bagaikan sebuah jam saja, dari detik kedetik terus saja bergerak. Hanya orang tidak pernah menginsyafinya, bahwa umurnya dari detik kedetik telah berkurang.” Pada saat itu dua ekor burung laut putih yang melayang rendah sekali datang kearah tempat Lie Siauw Hiong terbaring. Dengan matanya yang keheran-heranan mereka memandangnya, kemudian sambil mengeluarkan suara kaget kedua burung itu lalu terbang kembali keangkasa
raya.
Lie Siauw Hiong terpikir pada Ceng Jie yang sangat mungil itu. Mungkin ia sudah menjadi mayat dan terkubur didasar lautan dan dia sendiri yang telah menerima penghinaan orang, diam-diam dia berpikir kembali : "Kesemuanya adalah gara-gara Bu Heng Seng suami-isteri yang telah menimbulkan bencana ini.” Tanpa terasa lagi, dia lalu menggertakkan giginya sehingga mengeluarkan suara keretakan. Tapi kemudian waktu dia teringat akan ilmu kepandaian Bu Heng Seng yang sangat luar biasa sekali itu, sekalipun dirinya yang sudah berlatih selama sepuluh tahun lamanya itu, namun satu jurus saja pun dia tidak berhasil dapat menangkisnya. Maka pada waktu itu terasa olehnya, bahwa kepandaian Chit-biauw-sin-kun sesungguhnya tidak berguna sama sekali. Setelah berbaring beberapa saat lamanya disitu dengan pikiran yang bukan-bukan, akhirnya diapun bangkit berdiri. Kemudian dia memandang kesegenap penjuru. Kini diketahuinya bahwa dia terdampar disuatu pulau kecil. Dia percaya bahwa pulau ini luas sekitarnya tidak akan melebihi jarak sepuluh lie. Tapi ditengah-tengah pulau ini terdapat puncak gunung yang menjulang kelangit dan puncak gunung itu tampak gundul. Tak sehelai rumputpun kedapatan diatasnya. Dia ingat betul sekiranya dalam keadaan yang tak sadar tadi dia tidak menutup jalan pernapasannya yang tertentu, pasti sekali pada saat itu dia sudah mati kelelap, tapi
sekarang dia berada dalam keadaan yang lelah sekali. Lalu dipaksakannya dirinya akan berdiri dan berjalan mendekati pertengahan pulau tersebut. Baru saja dia dapat memaksakan dirinya berjalan melewati sebuah puncak gunung, sekonyong-konyong keadaan disekelilingnya menjadi gelap gulita.
Pada saat itu sesungguhnya dia sudah tidak dapat melanjutkan perjalanannya lagi, maka dengan perasaan lesu terpaksa dia duduk dan mengatur jalan pernapasannya dengan ilmu yang kini ia anggap sudah tidak berguna lagi. Setelah pernapasannya berjalan satu babak, dia merasakan sebagian besar tenaganya pulih kembali, tapi dia dengan masih termangu-mangu duduk diatas tanah, karena keadaan ditempat itu sudah gelap sekali, tadinya dia mengira yang matanya sudah kabur dan menduga keliru. Waktu dia menoleh kembali, dia melihat jalan asal yang dia ambil tadi sudah tidak dapat ditemukan lagi. Segala batu gunung maupun pohon-pohonan tampaknya sangat samar-samar sekali. Lie Siauw Hiong yang telah menerima latihan secara langsung dan sejati dari Chit-biauw-sin-kun, tentu saja dia sudah sangat paham dan mempunyai kesanggupan yang lumayan, tapi pada saat ini ketika dia menampak keadaan yang sesunyi ini, dia balik berpikir bahwa penghuni dari pulau ini atau pemilik pulau tersebut tentunya adalah seorang yang sangat luar biasa sekali. Diantara ketujuh kepandaian Chit-biauw-sin-kun yang paling mendapat perhatian istimewanya adalah dalam hal main catur, yang permainannya berbedaan dengan
kebanyakan orang. Karena setiap langkah yang dia jalankan, selalu mengandung perubahan yang sangat beraneka ragam serta variasinya. Setelah dia dapat memahami segala seluk-beluk barisan yang hendak dia jalankan ini, barulah dia dapat bertanding dengan perhatiannya yang mantap sekali, dan dengan demikian, kekuatannya dalam lapangan tersebut dapat dibayangkan sendiri betapa luar biasanya. Lie Siauw Hiong setelah mewarisi seluruh kepandaian Chit-biauw-sin-kun, dengan melihat sejurus lamanya keadaan barisan dari batu-batu gunung ini, karena bentuk
barisan ini hampir bersamaan dengan barisan yang terdapat di Tiong Goan yang biasa disebut 'Kie-bun-ngo-heng-tin' (barisan lima pintu ajaib). Setelah dia menimbang-nimbang dengan matang, lalu dia mulai memasuki barisan tersebut dengan mengambil jalan dari pintu 'Kim-bun' disebelah kirinya. Lie Siauw Hiong dengan mengikuti barisan Kie-bun-ngoheng-tin yang mengandung perubahan-perubahan berjalan satu kali kekiri dan kekanannya, kemudian setelah dia berbelok disatu sudut sambil berpikir, dia sudah mengambil keputusan untuk keluar dari 'Touw-bun', tapi siapa tahu begitu dia berbelok satu kali, dia kembali balik ditempat asal semula. Sekali ini benar-benar telah membuat Lie Siauw Hiong menjadi sangat heran sekali, hingga dalam hatinya diam-diam dia menduga, barisan ini sebenarnya barisan apakah Sedang dia berpikir, sekonyong-konyong terdengar suara "Ceng”, alat musik kuno di Tiongkok yang mempunyai tali tigabelas, suara tetabuan itu begitu nyaring dan melengking-lengking, seakan-akan suara tersebut bukan keluar dari alat musik yang biasa, maka dengan cermat
sekali Lie Siauw Hiong mendengari suara tetabuan itu, yang dalam pada suaranya meninggi itu, seakan-akan terdengar suara kaki kuda yang sedang berlari-lari. Kemudian waktu dia memperhatikan lebih lanjut, suara yang keluar dari alat musik semakin membuat hati orang terharu dan lama kelamaan suara itu menjadi begitu cepat dan keras, seakan-akan orang yang sedang memainkan alat musik tersebut tengah murka besar dan ingin membuat seluruh bumi menjadi hancur layaknya. Dari asap yang menyelubungi tempat itu, Lie Siauw Hiong dapat membedakan dari arah mana suara alat musik itu datang, dan kemudian diketahuinya, bahwa suara tersebut datangnya tepat dari tengah-tengah batu-batu
gunung itu. Lalu diapun berjalan kearah datangnya suara alat musik tersebut. Entah sudah berputar-putar berapa puluh kali, tapi akhirnya dia merasakan yang dia semakin lama semakin dekat saja ketempat suara alat musik yang berbunyi itu. Kemudian Lie Siauw Hiong lalu memanjat keatas sebuah batu yang besar, karena dia yakin, bahwa suara musik itu datangnya tepat dari gunung batu itu. Ditengah-tengah barisan batu-batu tersebut tampak kabut demikian tipisnya, sehingga Lie Siauw Hiong dapat melihat muka seorang Ho-siang (Hweesio atau pendeta) yang berwarna merah, tengah duduk dibawah batu gunung dengan memetik alat musiknya itu, yaitu Ceng, yang tampaknya begitu mengkilat dan sinarnya berkilau-kilauan, yang menandakan bahwa barang itu terbuat daripada baja asli. Tidak heran bila suaranya begitu lantang dan nyaring. Tampak orang tua itu tidak demikian pandai memainkan alat musiknya itu, sebenarnya dia seharusnya memusatkan
seluruh perhatiannya terhadap alat musiknya, bila dia ingin menghasilkan suara yang indah, tapi tampaknya dia tidak begitu perhatikan alat musiknya itu, hanya dipetiknya dengan secara acuh tak acuh saja. Dari alat musiknya itu lalu keluar suara seperti angin puyuh, hinggga keadaan ditempat itu sangat menyeramkan sekali. Lie Siauw Hiong melihat janggut orang tua itu sudah putih. Tampaknya dia ini paling sedikit berusia seratus tahun keatas, tapi semangatnya seperti orang yang baru berumur antara lima atau enampuluh tahun saja, malahan mukanya tampak merah sekali, menandakan orang itu sangat sehat, hingga tidak terasa lagi dia menjadi sangat heran sekali.
Pada saat itu suara Ceng ini sudah mencapai klimaxnya, begitu cepat seolah-olah gunung yang hendak roboh saja layaknya. Hal itu dapat membuat orang sangat takut sekali. Kemudian suara itu lenyap sama sekali, seakan-akan lagu yang dimainkannya sudah habis. Tapi orang tua itu tampak belum puas kemarahannya, lalu dia tepuk satu kali alat musiknya, yang lantas menjadi gepeng seketika itu juga ! Ternyata tenaga orang tua itu sangat hebat sekali, karena alat musik yang terbuat dari baja asli itu telah dapat dirusakkannya dengan secara mudah sekali. Setelah itu, disusul dengan dibalikkanya tangannya memukul kembali dan apa yang terjadi ? Alat musiknya pada saat itu juga sudah menjadi hancur luluh ! Lie Siauw Hiong yang menyaksikan peristiwa ini, tidak terasa lagi menjadi sangat terkejut, dalam hati dia berpikir : "Tenaga dalam seperti orang tua ini, seumurku belum pernah aku melihat. Aku masih sangsikan, bahwa Bu Heng Seng belum tentu dapat melakukan hal itu seperti apa yang
diperbuat orang tua ini. Apakah barangkali ..….” Pada saat itu, orang tua itu telah menengadahkan kepalanya keatas, ketempat persembunyian pemuda Lie Siauw Hiong sambil melambaikan tangannya dan berkata : "Bocah cilik, sudah cukupkah? Masih tidak lekas turun menjumpaiku, mau tunggu apa lagi ?” Lie Siauw Hiong yang bersembunyi disebelah atas, mengira dirinya sudah cukup sempurna bersembunyi, tapi siapa tahu bahwa orang tua itu belum lagi menengok keatas, dia sudah mengetahui tempat dimana Lie Siauw Hiong berada. Dalam pada itu dengan laku yang sangat terpaksa dan menebalkan kulit mukanya, dia meluncur turun kebawah. Orang tua itu lalu melototkan matanya sebentar pada si pemuda, kemudian ia tertawa dan berkata : "Apakah kau
ingin makan barang apa-apa ?” Setelah itu, dengan sembarangan saja dia memungut dua butir buah berwarna hijau dari atas tanah, yang kemudian diberikannya kepadanya. Lie Siauw Hiong yang melihat sinar mata orang tua itu yang tajam dan tertawa dengan secara wajar ketika mempersilahkannya makan bebuahan itu, tidak terasa lagi dia merasa girang dan tercengang. Ternyata sejak Lie Siauw Hiong mendapat kecelakaan dilautan dan dapat meloloskan dirinya sampai pada saat ini, dia merasakan bahwa perutnya masih kosong melompong. Pada saat orang tua ini mengingatkannya, dia segera dapat merasakan kelaparannya, apalagi waktu melihat buah yang sangat mungil dan indah dipandang mata itu, tidak terasa lagi dia menjadi mengilar sekali, hingga tanpa terasa lagi dia
lekas-lekas mengulurkan tangannya untuk mengambilnya. Setelah dia menggigit sebentar, benar saja buah itu sangat manis dan harum sekali baunya, hal mana telah membikin sekonyong-konyong dia berpikir : "Dia bagaimana dapat mengetahui bahwa aku sedang kelaparan ?” Dan tatkala dengan secara tidak disengaja dia mengangkat kepalanya memandang pada orang tua itu, orang tua itu pun lalu menyambut pandangan si pemuda dengan senyumnya. Lie Siauw Hiong merasa bahwa orang tua itu berhati welas asih. Tapi bila dibandingkan dengan waktu tadi dia sedang memainkan alat musiknya, dia tidak tahu hal apakah yang telah membangkit kemarahannya ? Setelah dia makan dua biji buah itu, sekonyong-konyong dia mendengar orang tua itu berkata : "Buah ini adalah buah dewa yang sangat langka. Waktu melihat tindakanmu yang sangat mantap itu, aku dapat pastikan sedikitnya kau mempunyai latihan ilmu dalam selama sepuluh tahun
lamanya. Maka bila kau sekarang melatih kembali ilmu tenaga dalammu itu, barulah kau dapat merasakan khasiatnya buah itu.” Lie Siauw Hiong tidak tahu apa sebabnya, dia merasa omongan orang tua itu seakan-akan mengandung semacam tenaga yang sukar dibantah, sekalipun buah ini sangat sukar dicernakannya. Tapi sewaktu dia mentaati petunjuk orang
tua itu, duduk bersemedi dan mengatur pernapasannya, ternyata dia dapat menjalankan pernapasannya dengan lancar sekali. Setelah pernapasannya melalui dua belas anggota tubuhnya, Lie Siauw Hiong merasa sekujur badannya sangat nyaman dan segar. Perasaan laparnya hilang lenyap sama sekali, maka dia merasa sangat berterima kasih sekali terhadap kebaikan yang telah diberikan oleh orang tua itu. Orang tua itu lalu mengeluarkan suara "Ihhh”, ternyata dari tempat Lie Siauw Hiong duduk secara tenang itu, tampak dari arah kepalanya keluar asap putih yang mengepul-ngepul. Hal itu terang menunjukkan kepandaian silat yang tertinggi dari ilmu dalamnya orang tua, malahan sebenarnya hal itu mungkin baru dapat dicapai dalam latihan kurang lebih empat sampai lima puluh tahun lamanya. Didepan matanya dia melihat Lie Siauw Hiong yang paling banyak baru berusia duapuluh tahun lebih tapi tenaga dalamnya sudah demikian sempurnanya, maka tidak terasa lagi dia merasa sangat tercengang juga. Lie Siauw Hiong sesudah menjalankan pernapasannya selesai, dia melompat bangun, lalu sambil menghadapi orang tua itu dia memberi hormat seraya berkata : "Terima kasih atas kebaikan Loo-cian-pwee, Boan-pwee merasa budi kebaikan Loo-cian-pwee tidak kecil artinya bagiku.”
Sambil tertawa orang tua itu menjawab: “Bocah cilik, sekarang baru kau tahu kefaedahannya, ya ?” Mendengar perkataan orang tua itu, Lie Siauw Hiong merasa agak tidak enak hati. "Bocah, tenaga dalammu sudah boleh dibanggakan agaknya. Melihat caramu berlatih, teranglah bahwa kau bukan keluaran dari murid Bu Kek Too-cu, juga bukan dari
golongan Siauw-ciap-too. Apakah barangkali kecuali kita tiga orang yang tidak hendak mampus ini, masih ada golongan lain yang melebihi kita ?” ulas orang tua itu lagi. Lie Siauw Hiong bukan main pintarnya, setelah diketahuinya orang tua yang berada dihadapannya ini adalah seorang dari 'Tiga Dewa Diluar Dunia', yang jadi pemimpinnya yaitu Peng Hoan Siang-jin. Dengan laku yang hormat sekali dia berkata : "Boan-pwee Lie Siauw Hiong memberi hormat pada Peng Hoan Siang-jin.” Lie Siauw Hiong yang telah menerima pesanan dari Bwee Siok-siok-nya, tidak boleh sembarangan memberitahukan namanya sebagai gurunya, maka pada saat itu dia hanya berkata : "Pelajaran yang telah Boanpwee miliki ini, mana dapat dibandingkan dengan kepandaian dari Cian-pwee ?” Perkataan itu diucapkannya dengan nada yang rendah sekali, karena disaat itu dia sedang merasa putus asa dan sedih sekali. Dengan paras yang bersungguh-sungguh orang tua itu berkata : "Orang muda waktu bicara boleh bicara apa saja, tapi janganlah sekali-kali menunjukkan perasaan kesedihanmu. Aku tahu hatimu berpendapat yang gurumu pasti bisa menang dari 'Tiga Dewa Diluar Dunia', bukankah begitu ?”
Lie Siauw Hiong buru-buru membantahnya : "Tadi dalam perkataan Boan-pwee mengandung suara yang sedih, hal itu disebabkan karena Boan-pwee telah mempelajari kepandaian sepuluh tahun dengan tekun sekali, tetapi siapa nyana, satu jurus sajapun aku tidak dapat menyambut serangan dari Bu Heng Seng itu ..…. aiii ..….” Berpikir dan berkata sampai disini, tidak terasa lagi Lie Siauw Hiong lalu menghela napas. Biasanya dia sangat pintar dan cerdas, tapi pada kali ini benar-benar dia tidak tahu apa sebabnya maka Peng Hoan Siang-jin sangat memandang tinggi terhadap kemampuannya ini ? Dia yang biasanya sangat membanggakan kepandaiannya sendiri, tidak disangka-sangka setelah dia kena dikalahkan tiga kali dan tertawan dua kali oleh Bu Heng Seng, hatinya menjadi sedikit jeri dan putus asa. Dan sekarang waktu dia melihat Peng Hoan Siang-jin sangat memandang tinggi dan menghormatinya, hal itu membuat dia merasa agak takut-takut. Peng Hoan Siang-jin ketika mendengar penjelasannya ini, sambil mengeluarkan suara "Ihhh”, dia berkata : "Kau dengan Bu Hang Seng sudah pernah bertanding ?” Dengan acuh tak acuh tampak Lie Siauw Hiong memanggutkan kepalanya. Peng Hoan Siang-jin lalu mengangkat kepalanya memandang langit dan berpikir sebentar, kemudian secara tiba-tiba tangan kirinya ditotokkannya kearah jalan darah 'Ji-hee-hiat' ditubuh Lie Siauw Hiong. Pergerakannya ini
sangat cepat sekali bagaikan kilat, tapi Lie Siauw Hiong hanya dapat menjerit dengan mengeluarkan suara : "Cianpwee, kau ..….” Sebenarnya dia dapat melawan totokan ini dengan menggunakan jurus 'Am-eng-pu-hiang', hanya tampak
sepasang pundaknya digeser kesamping, sedangkan badannya cepat-cepat diegoskan dan Peng Hoan Siangjin secara sekonyong-konyong membalikkan tangan kirinya, dari samping diputarkan kembali, kemudian kembali dia menuju arah jalan darah yang tadi juga. Lie Siauw Hiong yang menggunakan pergerakan kaki yang cukup sempurna, buru-buru mundur beberapa puluh langkah, barulah dia dapat menghindarkan totokan orang tua itu ..…. apa yang disebut menghindarkan, adalah karena disebabkan Peng Hoan Siang-jin sudah duduk kembali dan tidak melancarkan serangan selanjutnya. Dengan mata yang terbelalak saking herannya, Lie Siauw Hiong lalu memikirkan tipu totokan yang dilancarkan tadi oleh Peng Hoan Siang-jin, karena waktu dia tadi menghindarkan serangannya ini, dengan terangterangan dia melihat dengan nyata, yang totokannya itu dilancarkan dari satu tempat yang agak miring. Ilmu
totokan semacam ini sungguh-sungguh sangat aneh sekali, karena bila kurang hati-hati, sekalipun seseorang sudah menghindarkan diri, tapi tokh akhirnya masih dapat tertotok juga. Peng Hoan Siang-jin sendiri menundukkan kepalanya, seakan-akan dia tengah memikirkan sesuatu yang telah melibat dirinya. Kemudian pandangannya dialihkannya kemuka Lie Siauw Hiong dan dengan mesra sekali dia menunjukkan senyumannya yang manis, sedangkan mukanya yang tadi tampak ruwet memikirkan sesuatu, kini agaknya sudah tak tampak lagi. Hal ini sungguh membuat Lie Siauw Hiong merasa sangat heran, sedangkan Peng Hoan Siang-jin dengan tertawa lalu berkata : "Tanpa menanyakan siapakah gurumu lagi, aku sebaliknya ingin bertanya kepadamu, Bu Heng Seng waktu menotokmu, bukankah itu dengan cara
'Hut-hiat', persis seperti yang aku lakukan tadi ?” Menyusul perkataannya ini, lalu lengan kanannya terangkat, dengan berkelebatnya satu bayangan tangan bajunya, jarinya telah menotok jalan darah 'Kiok-tie' ditubuh Lie Siauw Hiong. Lie Siauw Hiong pun ingat, bahwa Bu Heng Seng pun menggunakan cara yang aneh ini untuk menotok dirinya, tapi dia tidak pernah menyangka, bahwa ilmu totokan tersebut adalah siasat 'Hut-hiat' yang sudah lama menghilang dari kalangan rimba persilatan, maka dalam pada itu, diapun mengangguk-anggukkan kepalanya mengiakan. Muka Peng Hoan Siang-jin tampak
berseri-seri kegirangan, lalu dia berkata : "Dengan mengandalkan kemampuanmu, aku percaya bahwa dalam satu jurus sebenarnya kau masih dapat meloloskan dirimu dari serangannya, hanya pada waktu kau menghadapinya, mungkin sekali kau terlampau tegang, maka barulah dengan satu kali totok saja kau sudah dibikin tidak berdaya oleh Bu Heng Seng. Aku malah mengira, selama sepuluh tahun tidak melihat tampangnya si Bu Heng Seng ini, tenaga dalam dan kepandaiannya entah sudah maju berapa tingkat, hingga tidak disangka yang dia masih saja menggunakan siasat 'Hut-hiat' yang dulu-dulu juga. Hahaha, ilmu 'Huthiat'nya ini sekali pun bukan ilmu biasa, tapi tidak dapat digolongkan dalam ilmu yang paling sempurna dan sejati.” Sambil berkata begitu, mukanya tampak sangat bangga sekali. Lie Siauw Hiong sendiri sekalipun sangat membenci sampai ketulang-tulangnya terhadap Bu Heng Seng, tapi terhadap kepandaiannya pribadi dia sangat kagumi sekali. Pada saat ini tatkala melihat Peng Hoan Siang-jin sangat memandang ringan terhadap ilmu totokan 'Hut-hiat' dari Bu Heng Seng itu sekalipun diam-diam dia merasa sangat
girang sekali, walaupun didalam hati kecilnya diapun agak tidak mempercayainya. Peng Hoan Siang-jin lalu memandang padanya kembali sambil tersenyum-senyunm, sepasang tangannya dipentangkan, tangan kirinya lalu digerakan kebawah dengan lima jari-jarinya dibuka bagaikan cakar burung
garuda. Lie Siauw Hiong yang memang sangat cerdik ini, melihat cara Peng Hoan Siang-jin memperlihatkan cara tersebut, lantas dia ingat-ingat tipu yang bagus ini, karena dia ketahui bahwa tipu tersebut diciptakan oleh Peng Hoan Siang-jin khusus untuk melayani tipu Bu Heng Seng tadi. Begitulah dengan mengikuti gerak-gerik tangan Peng Hoan Siang-jin ini, Lie Siauw Hiong melatih dirinya sendiri, sedang dalam hatinya tidak terasa lagi dia merasa amat gembira akan tanpa diminta menerima petunjuk yang sangat berharga ini. Menyaksikan peristiwa ini, Peng Hoan Siang-jin memanggut-anggukkan kepalanya, menandakan bahwa hatinya merasa puas, karena seakan-akan dia hendak mengatakan, bahwa anak muda ini sungguh cerdik sekali dan mudah menerima pelajaran yang tadi telah diperlihatkannya. Setelah berdiam diri sejurus kemudian, Peng Hoan Siang-jin lalu berkata pula : "Bocah, tahukah kau berapa umurku sekarang ?” Lie Siauw Hiong yang melihat muka yang bersemangat dan janggut yang berwarna putih, baginya sangat sukar sekali untuk menerka berapa umur orang tua itu, sehingga dengan segera menggelengkan kepalanya menyatakan tidak tahu. Peng Hoan Siang-jin lalu berkata pula : "Sekalipun aku sendiri juga tidak dapat menyebutkannya dengan pasti, hanya pada dua puluh tahun yang lampau ketika Bu Heng Seng menghadiahkan aku alat musik 'Ceng' ini, ketika itu
umurku telah mencapai 'Samkap' (180 tahun). (Satu kap
berarti enam puluh tahun). Jadi (Sam-kap atau tiga kap berarti seratus delapan puluh tahun). Ai, sekarang alat musik ini telah aku rusakkan sedikit banyak alat musik ini sudah termasuk barang nan antik sekali,” kata orang tua itu pula. Lie Siauw Hiong yang mendengar Peng Hoan Siang-jin berkata demikian, tidak terasa lagi dia menjadi sangat terkejut sekali. Waktu dia mendengar yang si Hweeshio itu sekarang sudah berumur dua ratus tahun, tidak heranlah bila tenaga dalamnya sedemikian hebatnya, hingga tidak terasa lagi baru sekarang dia menjadi insyaf. Ternyata bila seseorang ingin mencapai satu tingkat yang paling sempurna dalam ilmu dalamnya, sedikitnya orang itu harus melatih dirinya sampai tua, bila sampai seseorang sudah melatih dirinya sampai ditingkat yang dicita-citakan, maka badan orang itu menjadi sangat sehat, sehingga tidak lekas nampak tua. Tapi kecualian dari hal ini tentu saja ada, ambil saja misalnya terhadap Bu Kek Too-cu Bu Heng Seng. Setelah dia makan buah mujijat itu, dia dapat mempertahankan badannya tetap saja awet muda, sehingga siapa yang memandangnya akan menduga bahwa dia paling banyak baru berusia tiga sampai empat puluh tahun saja tuanya, sedangkan tenaga dalam Peng Hoan Siang-jin yang sudah melatih dirinya sampai usia dua ratus tahun ini, tentu saja kepandaiannya sudah tidak ada batas-batasnya lagi. Waktu Lie Siauw Hiong memikirkan kesemuanya ini, Peng Hoan Siang-jin berkata pula : "Bu Heng Seng hanya mengandalkan tenaga dari buah dewa ini saja, bila tidak demikian halnya, maka tenaga dalam yang dimilikinya itu, mana mungkin dapat digolongkan sejajar dengan sebutan 'Tiga Dewa Diluar Dunia' itu ?”
Tenaga dalam Peng Hoan Siang-jin lebih tinggi daripada Bu Heng Seng tidak kurang dari seratus tahun latihan. Hal itu tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata yang singkat saja, karena untuk menerangkan soal ini, pasti akan memakan waktu yang lama pula. Tapi kenyataannya setelah Bu Heng Seng memakan buah dewa ini, apalagi dia sangat pintar, maka dia dapat menandingi dua rekannya yang usia maupun waktu latihannya jauh melebihi daripada dirinya sendiri. Maka akhirnya orang-orang telah menyebut mereka bertiga dengan julukan 'Tiga Dewa Diluar Dunia'. Setiap detik Lie Siauw Hiong mendengar Peng Hoan Siang-jin mencela kepandaian Bu Heng Seng ini. Dalam dadanya terasa sangat girang sekali, tapi waktu dia berpikir bahwa orang tersebut sudah mencapai latihan demikian sempurnanya, tidak terasa lagi dia sendiri menjadi putus asa kembali, tapi satu hal yang aneh ialah mengapa Peng Hoan Siang-jin sangat memperhatikan sekali terhadap kepandaian yang dimilikinya. Peng Hoan Siang-jin tampaknya seolah-olah seorang yang sudah lama sekali tidak pernah bercakap-cakap dengan orang, juga seperti dia merasa berjodoh sekali dengan diri pemuda Lie Siauw Hiong ini, hingga dengan sangat asyiknya dia terus saja mengoceh : "Empat puluh tahun yang lampau, kami tiga orang pernah merundingkan dan memperdebatkan soal kepandaian kami. Bu Heng Seng yang setelah memakan buah dewa, mukanya tidak berubah dan tetap awet muda. Dalam hal ini sudah tentu dia dapat memenangkan aku, tapi bila kami mempersoalkan tenaga dalam, si Bu Heng Seng itu dengan sendirinya mengaku kalah dengan aku, hanya Siauw-ciap-too-cu Hui Tay Su tidak mengaku kalah denganku. Seperti aku yang sudah
berusia lanjut sekali, bagaimana aku ingin bertanding dengan dia seorang wanita ? Tapi tak disangka si nenek itu
mulutnya jahat dan amat berbisa, lantas dia mengatur barisan dari kota kuno ini, mengurung aku selama sepuluh tahun lamanya. Barisan ini sungguh aneh sekali, sepuluh tahun lamanya aku belum juga berhasil memecahkan barisannya. Besok pagi adalah batas waktu yang telah kami tetapkan berdua. Bila sampai besok aku masih juga belum dapat memecahkan barisan ini, maka tidak ada jalan lain daripada harus menghancurkan barisan ini saja.” Sekarang Lie Siauw Hiong baru insyaf. Ia maklum bahwa Peng Hoan Siang-jin dan Hui Tay Su sedang mengadu kepandaian. Tidak heranlah bila tadi dia mendengar alat musik yang dimainkan kakek itu mengandung nada penuh kemurkahan yang sangat hebat sekali. Dia berpikir, sekalipun orang tua itu pernah mengatakan bahwa dia yang sudah mencapai umur setinggi itu, sudah tentu tidak mau dia mengadu kekuatan dengan lawannya, tapi kenyataannya ialah, bahwa dia yang sudah dua ratus tahun lamanya mengasingkan diri agaknya masih ingin menang sendiri saja, namun masih juga belum dapat mengendalikan dirinya sendiri. Waktu berpikir bahwa orang tua ini hendak menghancurkan seluruh pulau ini dengan kekuatan latihan tenaga dalamnya yang sudah terlatih selama enam puluh
tahun belakangan ini, diapun berpikir, bahwa pulau yang sekecil ini, sudah tentu belum berapa lama berselang muncul dari permukaan laut, maka bila orang ingin menghancurkannya, sudah barang tentu tidak akan begitu mudah adanya. Lie Siauw Hiong teringat perkataan kakek itu yang mengatakan, bahwa pulau itu adalah 'Siauw-ciaptoo'. Apakah Siauw-ciap-too ini bukannya termasuk Tayciap-too. Ketika dia mengangkat kepalanya memandang pada batu dihadapannya yang menjulang kelangit, dia
melihat tiga huruf 'Siauw-ciap-too', tapi mengapa Hui Tay Su tidak kelihatan batang hidungnya sama sekali ? Peng Hoan Siangjin tidak menghiraukan apa yang sedang dipikirkan oleh Lie Siauw Hiong ini. Telah sepuluh tahun lamanya dia tidak pernah menjumpai orang, kini dia berhadapan dengan pemuda ini, lalu dengan sendirinya dia lepaskan seluruh isi hatinya pada pemuda ini. Tak putusputusnya dia menceritakan kegagahannya dimasa-masa yang lampau. Lie Siauw Hiong hanya membisu saja mendengarkan dia bercerita. Menyaksikan aksi pemuda ini, si Hweesio merasa kurang enak, maka tiba-tiba dia berkata dengan suara yang memuji pada si pemuda katanya : "Kau Loo-tee (saudara muda) umurmu masih sangat muda sekali, tapi tenaga dalammu demikian sempurnanya, sesungguhnya sukar dicari orang kedua seperti kau ini. Tidak kusangka bahwa didaerah Tiong Goan (Tiongkok sekarang) masih ada orang yang mempunyai kepandaian demikian dan dapat mengajarkan kau pelajaran demikian
rupa ini.” Bila orang lain mendengar dirinya dipuji demikian rupa oleh 'Tiga Dewa Diluar Dunia', tentu saja dia akan menjadi angkuh dan sombong sekali, tapi bagi pemuda Lie Siauw Hiong ini, dia tidak merasa girang apa-apa, karena kepercayaannya terhadap dirinya sudah banyak berkurang. Dan sewaktu mendengar pujian orang tua itu, mukanya tetap saja tidak berubah. Peng Hoan Siangjin sendiri terhadap Lie Siauw Hiong merasa cocok satu sama lain, dia membahasakan Lie Siauw Hiong dengan sebutan 'Loo-tee'. Sebutan itu dapat disejajarkan dengan dirinya sendiri, padahal menurut tingkatan yang sebenarnya sudah lebih dari pantas bila dia menjadi kakek besarnya. Kakek itu memanggil pemuda itu dengan sebutan 'Loo-tee', bukankah itu sangat lucu sekali ?
Pada saat itu, ketika orang tua itu melihat Lie Siauw Hiong seakan-akan kehilangan semangat, dengan segera dia berkata : "Apakah kau mengira bahwa yang kau telah dikalahkan oleh Bu Heng Seng disebabkan karena tenaga dalammu lebih rendah daripadanya ? Tapi kenyataannya ialah, bahwa kau telah melupakan suatu hal yang paling penting.” Peng Hoan Siangjin melanjutkan : "Kau telah melupakan 'tenaga dalam' dua huruf. Bu Heng Seng yang telah makan buah dewa, ditambah lagi dengan latihannya yang lamanya ratusan tahun, dengan demikian kau bocah yang baru berusia dua puluh tahun lebih, dimanalah dapat menjadi lawannya yang setimpal ?” Lie Siauw Hiong yang memangnya sangat cerdik sekali, beberapa kali dia telah dikalahkan oleh Bu Heng Seng secara mengecewakan sekali, dengan demikian perasaannya
terhadap kemampuannya sendiri menjadi banyak berkurang. Ketika dia mendengar anjuran dan pengerahan semangat dari Peng Hoan Siang-jin, dengan cepat dia insyaf bahwa dirinya dapat dikalahkan oleh Bu Heng Seng dengan demikian gampangnya disebabkan karena tenaga dalamnya masih terpaut jauh sekali dengan lawannya. Waktu dia berpikir bahwa latihan orang mengenai tenaga dalam sudah mencapai ratusan tahun lamanya, dia sangsi seumur hidupnya mungkin belum dapat menyusulnya, maka tidak terasa lagi pengharapannya menjadi putus kembali. Peng Hoan Siang-jin lalu berkata lagi : "Kau lihatkah batu disana itu ?” Sambil berkata dia menunjuk pada batu sangat besar sekali yang terdapat dihadapannya. Lie Siauw Hiong melihat batu tersebut sangat besar dan kuat sekali tampaknya. Dia menjadi heran mengapa Peng Hoan Siang-jin memperlihatkan batu tersebut kepadanya,
tapi keheranannya tak lama dirasakannya, karena kemudian tampak tangan Peng Hoan Siangjin digerakkan sedikit, dengan mengeluarkan suara hembusan angin yang menjurus kebatu raksasa itu, hingga dalam seketika saja batu raksasa itu menjadi hancur lebur.
Lie Siauw Hiong yang melihat pukulan itu dilakukan oleh Peng Hoan Siangjin dari jurus yang biasa saja, yaitu yang disebut 'Ngo-heng-ciang-hwat', tapi tipu tersebut waktu dipakai oleh Peng Hoan Siangjin, ternyata tenaganya sedemikian luar biasanya, hingga dengan demikian barulah mata Lie Siauw Hiong menjadi terbuka akan rahasia 'tenaga dalam' ini. Dengan perasaan yang bangga sekali, Peng Hoan Siangjin lalu berkata pula : "Dengan menyaksikan hal ini, agaknya kaupun mempercayai perkataanku sekarang, bukan ? Omong terus terang, kau tidak usah terlampau memandang tinggi terhadap Bu Heng Seng itu. Aku situa bangka tidak usah menurunkan satu jurus dari golonganku, aku hanya melanjutkan pelajaranmu saja, dengan menggunakan kepandaian yang dimiliki oleh ajaran gurumu sendiri, aku jamin bahwa kau pasti dapat menyambut ratusan jurus padanya, maka hal itu boleh tak usah kau terlampau pikirkan.” Sekalipun Lie Siauw Hiong seorang yang sangat cerdik dan pandai, tapi pada saat itu dia hanya dapat menggelengkan kepalanya saja, menandakan yang dia tidak mempercayai perkataan orang tua itu. Dalam hatinya dia berpikir : "Sekalipun benar Bu Heng Seng telah makan buah dewa dan menjadi sedemikian hebatnya, tapi disamping itu tenaga dalamnya sendiri pun memang sudah dilatih dengan sempurna sekali. Tenaga dalam Peng Hoan Siangjin sekalipun benar sangat tinggi sekali, tapi bila dia ingin dalam waktu yang pendek dapat mengajarku sehingga aku
dapat melayani Bu Heng Seng bertempur sehingga ratusan jurus, aku kuatirkan bahwa hal itu tidak mungkin akan terjadi.” Peng Hoan Siangjin waktu melihat Lie Siauw Hiong menggelengkan kepalanya, suatu tanda bahwa ia tidak percaya akan perkataannya, tidak terasa lagi dia menjadi marah dan lalu berkata : "Apakah kau benar berani tidak mempercayai perkataanku ?” Lie Siauw Hiong berkata : "Sekalipun kepandaian Loocian-pwee tidak ada tandingannya didunia ini, tapi kemampuan Boan-pwee terpaut jauh sekali dengan orang lain, hingga dengan sendirinya Boan-pwee tidak mempunyai keyakinan bahwa Boan-pwee akan berhasil dalam usahaku kelak.” Peng Hoan Siangjin seakan-akan mudah sekali menjadi marah, maka dalam pada saat itu dengan penuh kemarahan dia berkata lantang : "Apakah omonganmu ini benar-benar ?” Lie Siauw Hiong melihat dia menjadi demikian murkanya, dengan muka berseri-seri dia menjawab : "Boanpwee berpendapat demikian.” Dalam hatinya dia malah menertawakan orang tua yang sudah berumur dua ratus tahun itu, karena dia ternyata masih mempunyai sifat seperti kanak-kanak saja. Dan jikalau pada waktu itu dia masih muda usianya, sudah barang tentu kesombongannya pun bukan buatan agaknya. "Bagus, marilah kita bertaruh,” ulas Peng Hoan Siangjin
lagi, seakan-akan memaksa Lie Siauw Hiong agar mempercayai akan kata-katanya.
Lie Siauw Hiong yang melihat orang tua itu berbicara dengan jujur, diapun terpaksa menuruti perkataannya dan lalu berjalan menghampirinya. Peng Hoan Siang-jin segera memutar tangannya dan dengan gayanya ini dia bermaksud menotok diri Lie Siauw Hiong. Pergerakannya ini sangat cepat bagaikan samberan kilat saja. Dengan mengeluarkan seluruh kemampuannya, Lie Siauw Hiong berusaha untuk menghindarkan dirinya, tapi seketika itu diapun tertotoklah sehingga tak berdaya. Seluruh badannya dirasakan sangat lemas sekali, sehingga sedikit tenagapun tidak dapat dikerahkannya. Tapi segera dia merasakan sepasang nadinya dimasuki hawa hangat menembus keseluruh badannya, hawa hangat itu terus menembus dijalan-jalan darahnya, sekalipun dia sendiri tidak mengeluarkan tenaga apa-apa, tapi kaki dan tangannya dirasakan demikian bebas dan segarnya bergerak. Hal mana, sudah tentu baginya merupakan suatu keajaiban. Perlahan-lahan peredaran hawa hangat itu semakin cepat saja jalannya. Hawa hangat itu mendesak dirinya supaya dia sendiri dengan mengeluarkan kepandaiannya dari partainya sendiri melawan hawa hangat itu. Setelah dia menggunakan tenga dalamnya, lantas hawa hangat itu menembus dan beredar diseluruh badannya, hingga pada saat itu juga dia merasa tubuhnya bukan buatan segarnya. Waktu dia melirik pada Peng Hoan Siangjin, pada saat itu dilihatnya muka Peng Hoan Siangjin tampak tenangtenang saja, sedangkan disudut mulutnya tersungging
sebuah senyuman yang manis. Maka dengan demikian kemarahannya tadi kini sudah buyar sama sekali dan mukanya yang merah kini tampak berseri-seri, sedangkan
dari kepalanya yang gundul tampak uap putih berkepulkepul keluar. Lie Siauw Hiong yang cerdik diwaktu menyaksikan peristiwa ini, diapun lekas maklum bahwa Peng Hoan Siangjin baru saja memarahinya, disebabkan karena orang tua ini ingin menyempurnakan latihan tenaga dalamnya. Sejurus kemudian sepasang tangan Peng Hoan Siangjin menjadi kendor, sambil tertawa dia berkata : "Sekarang kau boleh mengatur pernapasanmu serta tenaga dalammu, akan dilatih satu kali lagi, dan sesudah itu, kau boleh coba-coba memukul batu dihadapanmu itu.” Lie Siauw Hiong menurutkan perkataan orang tua itu, lalu dia melatih tenaga dalamnya satu kali, kemudian dengan mengerahkan semangatnya ia menggunakan tipu 'Jie-long-gok-kay-kiong' (malaikat Jie Long melepaskan panah), telapak tangannya dipukulkannya kearah batu dihadapannya, sehingga sesaat itu juga telah mengeluarkan suara yang sangat menggemuruh. Dan berbareng dengan itu, batu karang dihadapannya yang demikian besarnya itu pun berhasil dipukulnya sehingga hancur lebur. Lie Siauw Hiong ketika menyaksikan hasil pukulan ini, tidak terasa lagi dia menjadi bengong terbata-bata. Peng Hoan Siangjin secara diam-diam sudah
menyalurkan tenaga dalamnya yang paling hebat, yang sudah dilatihnya selama dua puluh tahun ini, kebadan Lie Siauw Hiong. Hasil latihan dua puluh tahun dari Peng Hoan Siangjin ini, jika dia menyuruh Lie Siauw Hiong sendiri melatih dirinya, paling sedikit dia harus memakan waktu enam puluh tahun lamanya baru bisa berhasil, maka tidak mengherankanlah bila tenaga Lie Siauw Hiong ini sekarang sudah sangat luar biasa sekali hebatnya. Lie Siauw Hiong buru-buru menjatuhkan dirinya berlutut memberi hormat kepada orang tua itu. Kemudian Peng
Hoan Siang-jin sambil mengebutkan sepasang lengan bajunya, mengangkat bangun tubuh Lie Siauw Hiong sambil tertawa besar dan berkata : "Bocah, kau tidak usah berterima kasih kepadaku. Aku juga sudah menarik tidak sedikit pelajaran dari kepandaian latihan tenaga dalammu. Jika sekiranya kau sendiri tidak mempunyai satu kemampuan yang dapat dipersatukan dengan kekuatanku sendiri, hal itu tidak mungkin akan terlaksana. Sekarang agaknya kau boleh yakin dan percaya, bahwa kepandaian yang kau miliki dari partaimu sendiri tidak akan berada disebelah bawahnya dari kepandaian Bu Heng Seng itu, bukan ?” Lie Siauw Hiong lalu mengangkat kepalanya memandang pada wajah yang merah dan rasa belas kasihan dari orang tua itu. Dapat dibayangkan andaikata pada saat itu ada orang yang menyuruh dia mati untuk membela
orang tua itu, diapun akan merasa rela berkorban. Peng Hoan Siangjin melanjutkan kata-katanya : "Dari caramu melatih tenaga dalammu, aku dapat menerka yang kepandaian gurumupun pasti luar biasa sekali dalam ilmu pedang. Sekarang aku ingin kau memperlihatkan barang dua tiga jurus kepandaian ilmu pedangmu. Aku ingin menyaksikan kepandaianmu dalam lapangan itu, sudah sampai ditaraf mana ?” Diam-diam Lie Siauw Hiong berkata : "Oh, kau rupanya ingin menyaksikan kepandaian ilmu pedangku juga ?” Tidak terasa lagi hatinya menjadi girang sekali. Diapun berpikir bila nanti waktu dia memperlihatkan ilmu pedangnya, kalau ada cacatnya, Peng Hoan Siangjin pasti akan memberi petunjuk-petunjuk yang berharga untuk memperbaikinya.
Melihat kesempatan yang sangat baik serta menguntungkan dirinya ini, dia tentu tidak mau melepaskan kesempatan baik ini begitu saja. Dalam pada itu, dengan sembarangan saja dia lalu memungut sebatang bambu dari tanah, dan dengan mengempos semangatnya lalu dipakainya bambu itu sebagai ganti pedang. Disertai angin yang menderu-deru, lalu dia mengeluarkan tipu 'Bwee-hoa-sam-long' dari warisan Bwee San Bin itu. Jurus 'Bwee-hoa-sam-long' ini adalah salah satu jurus yang merupakan rangkaian yang ketiga dari tipu 'Kiu-ciekiam-sek' dari Bweee San Bin. Dengan mengeluarkan
seluruh kemampuannya, ujung pedangnya yang terbuat dari bambu ini dimainkannya demikian rupa, sehingga mengeluarkan suara yang sangat nyaring, pedangnya lalu diarahkannya ketanah yang segera terdapat tanda setengah cun dibatu yang tergores itu. Sekali ini kembali Lie Siauw Hiong merasa sesuatu diluar dugaannya, pada waktu dia menerima pelajaran itu tempo hari, Bwee San Bin pernah mengatakan kepadanya : "'Kiu-cie-kiam-sek' sekalipun sangat luar biasa, tapi bila kau sudah dapat menyalurkan tenaga dalammu sampai diujung pedang itu, disitulah baru dapat dikatakan bahwa keyakinanmu itu sudah berhasil dengan sempurna, karena bila kau sudah mencapai taraf yang demikian ini, barulah kau dapat mengeluarkan tenaga yang sangat luar biasa sekali. Tapi untuk mencapai taraf demikian ini paling sedikit kau harus melatih diri selama enam puluh tahun lamanya, barulah mungkin bisa berhasil. Tidak perduli betapapun rajinnya kau dan betapapun berbakatnya kau, bila dalam umur yang semuda ini kau pasti tidak mungkin dapat mencapai batas itu.” Tapi sekarang pada detik ini, Lie Siauw Hiong telah mencapai tingkat yang dicita-citakannya, tentu saja dia merasa bukan buatan gembiranya.
Pada sebelum selesai dia menggunakan tipu 'Bwee-hoasam-long', pergelagan tangannya lalu diputarnya dengan mengeluarkan suara, kemudian dia memandang ketempat yang jauh, dan diujung pedang bambunya ini, dia dapat membedakan seakan-akan ada bunga bwee tengah bermain disitu, maka dengan sekonyong-konyong pula lalu dia berseru, dengan ujung bambu itu ditusukkannya kemuka. Jurus ini
datangnya dari arah samping dan pergerakannya sedemikian sempurnanya, sehingga bila ada lawan yang berdiri dihadapannya, pasti dia tidak akan dapat mengelakkan serangannya yang dahsyat ini, maka dengan sekonyong-konyong saja lawannya pasti akan merasakan tenggorokannya sudah ditusuk oleh pedang ini. Walau bagaimanapun dia pasti tidak akan dapat menghindarkan dirinya pula. Tipu itu adalah ciptaan Chitbiauw-sin-kun sendiri yang disebut 'Leng-bwee-hut-bian' (bunga Bwee yang dingin menutupi muka). Chit-biauw-sin-kun memang seumur hidupnya dia paling menggemari bunga Bwee. Pada suatu hari, dia telah berjalan-jalan sampai dibalik batu dari sebuah gunung dimana tumbuh sebatang pohon Bwee. Pohon Bwee itu seakan-akan takut dirinya diketahui orang, maka dia tumbuh menyendiri ditempat persembunyiannya, sehingga orang tidak mudah mengetahuinya. Oleh karena itu, ada sebatang cabangnya yang menjurus kejalan. Orang yang jalan disitu bila kurang berlaku hati-hati, pasti mukanya akan tertusuk oleh cabang pohon Bwee itu. Hati Bwee San Bin tergerak, maka setelah dia kembali kerumahnya, lalu dia menciptakan tipunya yang mirip dengan cara pohon Bwee itu, maka disinilah letak kelainan dari ilmu pedang Bwee San Bin, sehingga dengan sepintas lalu saja sudah dapat dia menciptakan satu tipu baru yang sangat aneh ini.
Peng Hoan Siangjin sangat senang sekali terhadap
pemuda ini, yang pada saat itu dipandang wajahnya sambil menunjukkan senyumannya, sedangkan pedang bambu ditangan Lie Siauw Hiong terus mengeluarkan tipu-tipu yang hebat. Dan pada saat itu pula perasaan putus asanya sudah tersapu bersih agaknya, hingga tidak terasa lagi orang tua itu kembali tersenyum. Waktu dia melihat Lie Siauw Hiong mengeluarkan tipu 'Leng-bwee-hut-bian' ini, tidak terasa lagi orang tua itu menjadi begitu terkejut, karena seperti diketahui, kepandaian Peng Hoan Siang-jin yang sudah boleh dikatakan tidak ada batasnya, tidak perduli segala pukulan maupun permainan pedang, dia sudah mengetahui sampai pada bagian-bagian sekecil-kecilnya. Jika dia menghadapi lawannya dalam waktu apapun, pasti dia dapat mengeluarkan tipu-tipu yang aneh-aneh untuk melawannya, dan dia pasti dapat menghindarkan dirinya dari setiap serangan yang dilancarkan oleh lawannya itu, tapi tipu 'Leng-bwee-hut-bian' ini ada diluar dugaannya sama sekali.
Oleh karena itulah dia menjadi sangat terperanjat. Tapi dia yang sudah boleh dikatakan sebagai kakek leluhur dalam ilmu silat, sekali pandang saja, lantas dia dapat mengetahui dimana letak keistimewaannya dari tipu ini. Tiba-tiba sambil berteriak dia berkata : "Bila aku menggunakan tipu 'Gouw-kong-hwat-kui' (Gouw Kong menebang pohon), bagaimana ?” Lie Siauw Hiong sedang merasa bangga sekali memperlihatkan tipunya ini, ketika tiba-tiba dia mendengar orang tua itu berteriak demikian, dia menjadi berdiri terpaku disitu. 'Gouw-Kong-hwat-kui' adalah ciptaan Peng Hoan Siangjin sendiri, yang dengan spontan keluar dari daya pemikirannya yang cepat. Ternyata dengan tipu yang
sederhana ini tampaknya ia dapat menandingi ilmu luar biasa dari Chit-biauw-sin-kun. Chit-biauw-sin-kun sendiri waktu menciptakan tipunya ini, sebelumnya dia pernah menyelidiki segala macam tiputipu partai silat yang jempolan, dan hasil ciptaannya ini dibuat khusus untuk menghadapi tipu-tipu lawannya itu. Tapi siapa menyangka, dengan tipu yang sangat sederhana sekali, Peng Hoan Siangjin dapat memecahkan tipunya itu. Hal ini, agaknya sampai pada Chit-biauw-sin-kun sendiri pun pasti akan merasa tak dapat menduganya sama sekali. Lie Siauw Hiong lalu melanjutkan permainan pedang bambunya, kaki kirinya digeser maju sedikit, sedangkan tangan kanannya yang memegang pedang bambu itu dari arah atas disabetkan kebawah, tipu itu adalah 'Kiu-cie-kiamsek' jurus keenam yang disebut 'Tap-swat-Simbwee' (menginjak salju mencari bunga Bwee). Peng Hoan Siangjin segera tertawa mengakak sambil berseru : "Aku menggunakan tipu 'Heng-hui-touw-kang'
(dengan lurus menyeberangi sungai).” Lie Siauw Hiong kembali merasa terperanjat, karena dengan kenyataan tipu 'Heng-hui-touw-kang' ini justeru tipu yang paling sempurna untuk dipakai melawan tipunya tadi, hingga tidak terasa lagi hatinya yang sangat haus akan pelajaran yang aneh-aneh membangkitkan kegiatannya untuk lebih tekun lagi dalam latihannya. Tipu 'Heng-hui-touw-kang' ini memang sangat sempurna, tapi tipu itu masih tidak dapat digolongkan ketingkat yang paling atas. Tipu-tipu ilmu pedang yang diciptakan oleh Bwee San Bin kebanyakan dihasilkannya untuk menghadapi orang-orang yang sangat ternama dari tiap-tiap partai, sekalipun tipunya itu sangat luar biasa
sekali, tapi sebaliknya dia tidak pernah memikirkan tentang tipu-tipu lain yang lebih sederhana. Peng Hoan Siangjin yang sudah ngelotok sekali terhadap kepandaian silatnya ini, sudah tentu segala tipu baik yang paling jempolan maupun yang paling rendah, sudah dia miliki dengan sempurna. Maka sekali pandang saja, dia sudah dapat melihat keistimewaan dari tipu Lie Siauw Hiong ini. Oleh karena itu, dia lalu menggunakan tipu yang sederhana sekali untuk memecahkan tipu Lie Siauw Hiong itu. Lie Siauw Hiong yang tengah merasa kerasukan setan saking asyiknya, dia mengeluarkan tipu-tipu yang paling hebat dari jurus-jururs 'Kiu-cie-kiam-sek'. Sekalipun Peng Hoan Siangjin sambil tertawa-tawa dan menyebutkan tipu-
tipu untuk memecahkan tipu yang dilancarkan oleh Lie Siauw Hiong itu, tapi dalam hatinya diam-diam dia merasa terperanjat dan memuji tidak habisnya, akan kemampuan istimewa dari Lie Siauw Hiong dalam hal permainan pedangnya ini. Begitulah kedua orang ini yang satu memainkan pedang bambunya, sedangkan yang lainnya menyaksikan dari samping sambil menyebutkan tipu-tipu yang dipakai oleh Lie Siauw Hiong itu, 'saling bertempur' secara teori. Sesudah lewat dua puluh jurus lebih, Lie Siauw Hiong lalu mengeluarkan tipu-tipu 'Kiu-cie-kiam-sek' yang paling hebat itu. Ilmu pedang 'Kiu-cie-kiam-sek' ini adalah modal yang paling diandalkan oleh Chit-biauw-sin-kun. Peng Hoan Siang-jin satu-persatu telah memecahkannya ilmu itu, tapi pada saat itu dia tidak bisa lagi memecahkannya dengan tipu-tipu yang sederhana lagi, sepasang tangannyapun tidak terasa lagi mulai bermain, dia lalu menggunakan ilmu yang paling dibanggakan sendiri, yaitu 'Tay-yan-sin-kiam' untuk melawan 'Kiu-cie-Kiam-sek', 'Tay-y