92
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan
1. Terdapat polimorfisme -2578*C/A gen VEGF-A pada individu DM tipe 2 dengan dan tanpa ulkus diabetika. 2. Frekuensi genotip CC, CA dan AA tidak berbeda bermakna antara individu DM tipe 2 dengan dan tanpa ulkus diabetika. 3. Frekuensi alel A tidak berbeda bermakna antara individu DM tipe 2 dengan dan tanpa ulkus diabetika. 4. Kadar VEGF-A tidak berbeda bermakna pada individu dengan dan tanpa ulkus diabetika.
V.2. Saran 1. Penelitian lanjutan perlu menambahkan kelompok kontrol, yaitu individu tanpa DM tipe 2 (individu sehat). 2. Penelitian lanjutan pada gena VEGF-A yang lain yaitu ID -2549. 3. Penelitian lanjutan pada Vascular Endothelial Growth Factor Receptor-1 (VEGF-R1/Flt-1).
93
V.3. Ringkasan
I.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu gangguan metabolik yang terjadi pada sistem endokrin yang ditandai oleh hiperglikemia kronik yang disebabkan oleh kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau gangguan keduanya (WHO, 2006; Craig et al., 2009). Gangguan metabolik ini dialami oleh sekitar 171 juta orang di dunia pada tahun 2000 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 366 juta di tahun 2030 (WHO, 2006). Jumlah penderita DM di Indonesia pada tahun 2000 sejumlah 8,4 juta orang. Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar di dunia setelah Amerika, India dan China (Wild et al., 2004). Sebanyak 12-25% pasien DM mempunyai risiko untuk mengalami ulkus diabetika (Cavanagh et al.,2005). Ulkus Diabetika merupakan suatu infeksi yang terjadi karena invasi jaringan disertai oleh proliferasi mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan jaringan dengan atau tanpa respon peradangan pada sel host (SPILF, 2007). Kontrol yang kurang pada pasien DM menyebabkan infeksi pada kulit, hal ini disebabkan oleh meningkatnya kadar glukosa dalam darah yang menyebabkan berkurangnya efektivitas sel dalam melawan mikroba (Hena et al., 2010). Ulkus diabetika merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien DM tipe 1 dan 2 (Shakil & Khan, 2010).
94
Beberapa faktor penyebab ulkus diabetika, seperti penyakit pembuluh darah perifer, neuropati autonomik dan neuropati perifer kaki (Cavanagh et. al.,2005), selain itu juga trauma yang menyebabkan kerusakan kulit (Singh et al., 2005). Faktor lain yang turut berperan ketika pasien DM mengalami ulkus diabetika adalah adanya gangguan penyembuhan luka yang terjadi secara instrinsik pada pasien (Lobman et al., 2002). Diabetes merupakan suatu prototopikal model pada gangguan penyembuhan
luka
(Bao
et
al.,2010).
Pasien
dengan
diabetes
melitusmengalami angiogenesis abnormal pada beberapa organ (Tellechea et al., 2010).Vascular Endothelial Growth Factor-A (disebut juga VEGF) merupakan kelompok faktor pertumbuhan platelet-derived growth factor (PDGF) yang mempunyai peran potensial dalam proses angiogenesis (Tonnesen et al., 2000). Vascular endothelial growth factor-A yang dikenali terdapat tujuh isoform homodimerik, seperti 121, 145, 148, 165, 183, 189, dan 206 (Hoeben et al., 2004).Beberapa sel yang dapat menghasilkan VEGF untuk penyembuhan luka adalah sel endothelial, sel otot polos, platelet, neutrofil dan makrofag (Nissen et al., 1998). Frank et al. (1995) melaporkan mengenai tingginya ekspresi mRNA VEGF selama proses penyembuhan luka, akan tetapi hal ini tidak terjadi pada tikus dengan diabetes. Proses penyembuhan luka secara normal terjadi dengan adanya pembentukan granulasi jaringan. Jaringan ini mengandung fibroblas, kolagen dan pembuluh darah (Bao et al., 2010). Wilgus dan DiPietro (2012) telah melaporkan pentingnya peran VEGF dalam proses penyembuhan luka. Kadar
95
VEGF yang meningkat berhubungan dengan adanya perubahan bekas luka sampai pada pemulihan fibrosis pada kulit janin serta menurunkan ukuran bekas luka dan meningkatkan kualitas kolagen. Vascular Endothelial Growth Factor pada luka diabetes dapat berfungsi dalam meningkatkan penyembuhan dan memicu terjadinya kemotaksis dan angiogenesis. Nitrit Oksida (NO) yang merupakan salah satu mediator aktivitas VEGF berfungsi dalam meningkatkan desposisi kolagen dan mengembalikan fungsi endothel untuk meningkatkan konduksi saraf dan oksigenasi jaringan (Bao et al., 2010). Penghambatan terhadap angiogenesis dapat mengganggu proses penyembuhan luka (Wilgus & DiPietro, 2012). Polimorfisme
-2578*C/A
gen
VEGF
merupakan
salah
satu
polimorfisme yang terjadi didaerah promoter 5’utranslated region (UTR) dan telah di lakukan identifikasi pada daerah tersebut (Brogan et al., 1999). Hasil studi Marsh et al. (2000) menyatakan bahwa polimorfisme pada gen ini memberi pengaruh pada ekspresi mRNA. Ekspresi mRNA mempengaruhi proses penyembuhan luka yang terjadi pada jaringan (Rivard et al., 1999). Amoli et al. (2011) melakukan studi mengenai variasi gen VEGF -2578*C/A dan didapatkan bahwa variasi yang terjadi pada gen ini menjadi kandidat penyebab berkembangnya ulkus diabetika pada populasi di Iran. Shahbazi et al. (2002) melaporkan bahwa polimorfisme -2578 *C/A akan menyebabkan menurunnya kadar VEGF. Kadar VEGF plasma pada pasien DM dengan dan tanpa ulkus diabetika belum diteliti oleh Amoli et al.(2011) sehingga perlu diteliti lebih lanjut sehubungan dengan kemampuan terjadinya angiogenesis.
96
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya polimorfisme -2578*C/A gen VEGF pada pasien DM dengan dan tanpa ulkus diabetika yang berhubungan dengan proses penyembuhan luka. 1.2. Tinjauan Pustaka Diabetes melitus merupakan suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan kadar glukosa dalam darah yang melebihi normal (hiperglikemia) yang berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang menyebabkan terjadinya kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya dalam proses metabolisme. Hal ini menyebabkan disfungsi dan kegagalan beberapa organ tubuh (WHO,1999). Pasien DM sering mengalami komplikasi kronik, seperti: retinopati, nefropati, neuropati perifer, dan penyakit vaskular atherosklerosis (Bowering, 2001). Hiperglikemia kronis pada diabetes berhubungan dengan kerusakan yang panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ, khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA,2012). Ulkus diabetika merupakan salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes melitus (DM) yang berupa luka terbuka pada permukaan kulit dan dapat disertai oleh kematian jaringan setempat (Frykberg, 2002). Ulkus diabetika merupakan suatu komplikasi kronik atau jangka panjang dan diabetes melitus. Ulkus diabetika merupakan infeksi yang biasa terjadi pada pasien DM yang melibatkan polimikroba (SPILF, 2007). Kejadian Ulkus diabetika berkisar antara 12% sampai 25% dari semua pasien DM (Cavanagh et al.,
97
2005). Infeksi ini terjadi dari paronychia dangkal sampai dalam yang melibatkan tulang. Beberapa tipe infeksi yang telah dicatat sering terjadi pada ulkus diabetika meliputi : cellulitis, myolitis, abscesses, necrotizing, fasciitis, septic arthritis, tendinitis dan osteomyelitis (Bader,2008). Proses yang terjadi pada penyembuhan luka antara lain: koagulasi, inflamasi, migrasi-proliferasi dan remodeling. Diabetes melitus merupakan suatu prototopikal model pada kejadian gangguan penyembuhan luka (Bao et al.,2010). Vascular endothelial growth factor berperan dalam merangsang beberapa komponen dalam angiogenesis pada proses penyembuhan luka (Bao et al,2010). Angiogenesis pada proses penyembuhan luka meliputi vasodilatasi, degradasi membran basement, migrasi sel endothel, dan ploriferasi sel endothel (Folkman & Brem, 1992). Vascular endothelial growth factor berperan dalam meningkatkan permeabilitas vaskular pada vasodilatasi (Murohara, 1998).Gen yang mengkode VEGF berukuran 14 kb yang terletak pada kromosom 6 dan mempunyai 8 exon dan 7 intron (Sfar, et al., 2009 Cit. Amoli et al., 2022). Marsh et al. (2000) telah melakukan studi fungional dengan hasil yang mengindikasikan bahwa polimorfisme pada gen ini memberi pengaruh pada ekspresi mRNA. Ekspresi mRNA mempengaruhi proses penyembuhan luka yang terjadi pada jaringan (Rivard et al., 1999). Amoli et al. (2011) melaporkan mengenai peran faktor genetik dalam ulkus diabetika. Famili VEGF yang sudah dikenal antara lain VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E dan placental growth factor (PIGF) dimana tiap
98
isoform mempunyai fungsi yang berbeda didalam sel. Semua isoform ini memiliki domain homolog (Bao et al., 2010; Hoeben et al.,2004). a. Vascular Endothelial Growth Factor-A (VEGF-A) Vascular endothelial Growth Factor- A merupakan protein yang mempunyai panjang fragmen 34-42 kDa, protein ini merupakan protein dimerik, glikoprotein yang mengikat disulfida (Hoeben et al., 2004). Vascular endothelial Growth Factor-A merupakan faktor angiogenik yang telah dikarakterisasi dengan baik yang terlibat dalam fisiologi dan patologi pertumbuhan pembuluh darah (Ferrara, 2009). Vascular Endothelial Growth Factor-A merupakan kelompok faktor pertumbuhan platelet-derived growth factor (PDGF) yang mempunyai peran potensial dalam angiogenesis (Tonnesen et al., 2000). Vascular endothelial growth factor-A yang dikenali terdapat tujuh isoform homodimerik, seperti 121, 145, 148, 165, 183, 189, dan 206 (Hoeben et al., 2004). Vascular endothelial growth factor-A didalam sel merupakan suatu glikoprotein homodimerik yang telah diketahui mempunyai kemampuan dalam
menginduksi
proses
angiogenesis
untuk
meningkatkan
permeabilitas vaskular, dan merangsang dalam menghasilkan faktor jaringan protein trombogenik (Beck et al, 1997; Bao et al.,2010). Beberapa sel yang berperan dalam proses penyembuhan luka dapat menghasilkan VEGF, seperti sel endothelial, fibroblas, sel otot polos, platelet, neutrofil dan makrofag (Nissen et al., 1998). Vascular endothelial growth factor-A ini disebut sebagai VEGF (Shibuya, 2011).
99
b. Vascular Endothelial Growth Factor-B (VEGF-B) Vascular
Endothelial
Growth
Factor-B
(VEGF-B)
diekspresikansecara melimpah di myocardium dewasa, otot skelet dan pankreas. Ekspresi tertinggi dapat dilihat pada perkembangan hati, brown fat, otot dan saraf tulang belakang dari jaringan embrional tikus (Hoeben et al., 2004). Vascular endothelial growth factor-B belum diketahui fungsi biologinya secara jelas. Dhondt et al.(2011) melaporkan bahwa VEGF-B dapat berfungsi untuk melindungi
saraf sensorik dari
degenerasi. c. Vascular Endothelial Growth Factor-C (VEGF-C) Vascular Endothelial Growth Factor-C (VEGF-C) diekspresiken secara menonjol di hati, plasenta, ovarium, usu halus dan kelenjar tiroid. Vascular endothelial growth factor-D ini diekspresikan selama embriogenesis (Shibuya, 2011). Pada jaringan embrionik, ekspresi terjadi ketika pembuluh darah limfatik tumbuh dari vena embrionik (Hoeben et al., 2004). d. Vascular Endothelial Growth Factor-D (VEGF-D) Vascular Endothelial Growth Factor-D ditemukan pada jaringan dewasa, seperti paru-paru, hati, otot skelet, usus besar dan usus halus (Hoeben et al., 2004). Vascular endothelial growth factor-D ini juga diketahui sebagai c-Fos-induced growth factor (FIGF). Vascular endothelial growth factor-D ini diekspresikan setelah lahir dan pada tahap-tahap dewasa (Shibuya, 2011).
100
e. Vascular Endotheial Growth Factor-E (VEGF-E) Vascular Endothelial Growth Factor-E dikode oleh virus paparox Orf (non-human factor). Vascular endothelial growth factor-E dapat memicu kemotaksis, proliferasi dan pertumbuhan kultur sel endotel vaskular dan angiogenesis in vivo.faktor pertumbuhan ini berhubungan dengan angiogenesis yang berhubungan dengan lesi yang terinfeksi oleh virus paparox (Roskoski, 2007). f. Placental Growth Factor (PIGF) Gen PIGF terekspresi tinggi pada placenta, juga telah dideteksi pada jantung, paru-paru, kelenjar tiroid dan otot skelet. Placental growth factor dan VEGF-A terikat pada VEGFR-1. Ikatan PIGF dan VEGFR-1 dipengaruhi
oleh
peran
N-glycosilation.
Defisiensi
PIGF
tidak
mempengaruhi angiogenesis secara embrionik akan tetapi tanpa PIGF maka angiogenesis, pertumbuhan kolateral selama iskemia, inflamasi, penyembuhan luka dan pertumbuhan kanker akan terganggu. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya sinyaling VEGFR-1 berperan pada kondisi patologi (Takahashi & Shibuya, 2005). 1.3. Landasan Teori Ulkus diabetika merupakan infeksi yang sering terjadi pada pasien diabetes melitus. Sebanyak 12-25% dari pasien DM mempunyai risiko untuk terkena ulkus diabetika. Ulkus diabetika merupakan suatu infeksi yang terjadi akibat komplikasi pada DM. Vascular endothelial growth factor merupakan
101
salah satu faktor pertumbuhan yang turut terlibat dalam perkembangan ulkus diabetika. Penelitian menunjukkan bahwa ekspresi mRNA dan protein VEGF rendah pada tikus dengan DM. Vascular endothelial growth factor dihasilkan oleh sel endothel, fibroblas, sel otot polos, platelet, neutrofil dan makrofag. Vascular endothelial growth factor berperan dalam merangsang beberapa komponen dalam kaskade angiogenesis pada proses panyembuhan luka, meliputi vasodilatasi, degradasi membran basement, migrasi sel endothel, dan ploriferasi sel endothel. Selain itu VEGF juga berfungsi dalam menginduksi kolagen. Kesalahan regulasi yang terjadi pada VEGF akan mempengaruhi angiogenesis.
Rendahnya
angiogenesis
menyebabkan
terhambatnya
penyembuhan luka, karena hal ini dibutuhkan dalam pembentukan granulasi jaringan, suplai oksigen dan nutrisi ke daerah yang terluka. Variasi gen VEGF -2578*C/A merupakan salah satu kandidat genetik yang berperan serta menjadi penyebab berkembangnya ulkus diabetika pada pasien DM. Alel A yang minor memberikan efek protektif, sehingga frekuensi yang rendah menyebabkan kurangnya angiogenesis pada proses penyembuhan luka. Penelitian ini akan berfokus pada frekuensi variasi gen VEGF 2578*C/A pada pasien DM tipe 2 dengan dan tanpa ulkus diabetika di RSUP Dr. Sardjito. Tujuannya adalah untuk mengetahui perbedaan ekspresi gen VEGF pada pasien DM tipe 2 dengan dan tanpa ulkus diabetika sehingga
102
dapat diketahui hubungan antara variasi gen VEGF dengan kejadian ulkus diabetika. 1.4. Prosedur Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain case-control. Subjek dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok kasus adalah penderita DM tipe 2 dengan ulkus diabetika, kelompok kontrol adalah penderita DM tipe 2 tanpa ulkus diabetika. Subjek didapat dari RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta dan Puskesmas Cawas II, Klaten. Adapun kriteria inklusi yang digunakan adalah Pria atau wanita usia 3065 tahun. Subjek telah didiagnosa menderita DM tipe 2 dengan ulkus diabetika berdasarkan pemeriksaan secara fisik dengan kriteria Grading system yang ditetapkan oleh Wagner pada tahun 1983, Durasi DM tipe 2 minimal 5 tahun, Suku jawa untuk 3 generasi keatas dan bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani informed consent. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil darah sebanyak 5 mL untuk diperiksa kadar VEGF plasma dengan metode enzyme-like immunosorbent assay (ELISA) dan pemeriksaan polimorfisme dengan metode Amplification Refractory Mutation System-Polimerase Chain Reaction (ARMS-PCR). a. Isolasi DNA Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan Tianamp blood DNA kit dari Tiangen. Sebanyak 200 µL sampel darah ditambah dengan 500µL red cell lysis (CL) buffer, larutan dicampurkan kemudian dilakukan sentrifugasi pada 10000 rpm selama 1 menit. Supernatan yang didapatkan
103
dibuang. Sebanyak 200µL buffer GS ditambahkan ke dalam sampel dan dilakukan pencampuran dengan vortex. Dua puluh µL Proteinase K ditambahkan
ke
dalam
sampel
dan
dihomogenasikan
dengan
menggunakan vortex. Sebanyak 200µL buffer GB ditambahkan ke dalam sampel kemudian dihomogenasikan dengan vortex. Sampel diinkubasi pada suhu 56˚C selama 10 menit supaya larutan manjadi homogen (waktu dapat diperpanjang jika endapan belum terlarut). Etanol (96-100%) ditambahkan sebanyak 200µL ke dalam sampel, kemudian dilakukan homogenasi dengan vortex selama 15 detik. Endapan terbentuk dengan penambahan etanol. Campuran tersebut dipindahkan ke dalam spin kolom CB3 (ke dalam 2 mL tube) dan dilakukan sentrifugasi pada 12000 rpm selama 30 detik. Cairan yang keluar dari spin dibuang dan spin dipindahkan ke dalam tube yang baru. Buffer GD sebanyak 500µL ditambahkan ke dalam spin kolom CB3 dan dilakukan sentrifugasi pada 12000 rpm selama 30 detik. Cairan yang keluar dari spin dibuang dan spin dipindahkan ke dalam tube yang baru. Sebanyak 600µL buffer PW ditambahkan ke dalam spin kolom dan dilakukan sentrifugasi pada 12000 rpm selama 30 detik. Cairan yang dikeluarkan oleh spin kolom dibuang dan spin kolom dipindahkan ke dalam tube yang baru. Langkah ini diulang sekali lagi. Spin kolom dimasukkan dalam tube yang baru dan dilakukan sentrifugasi pada 12000rpm selama 2 menit. Cairan yang dihasilkan dibuang kemudian dikeringkan dengan membuka penutup tube selama beberapa menit. Spin kolom dipindahkan ke dalam tube 1,5mL dan 200µL
104
buffer TB ditambahkan tepat dipertengahan membran. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 5 menit dan dilakukan sentrifugasi pada 12000 rpm selama 2 menit. DNA yang dihasilkan disimpan pada suhu -20˚C.
b.
Pemeriksaan polimorfisme -2578*C/A gena VEGF dengan ARMS-PCR Primer yag digunakan untuk ARMS-PCR terdiri dari lima jenis primer, yaitu (Amoli et al., 2011): Generic forward primer :
5’ -TTAGGACACCATACCGATGG-3’
Primer C anti- sense : 5’ -TCTGATTATCCACCCAGATCG-3’ Primer A anti- sense : 5’ -TCTGATTATCCACCCAGATCT-3’ Sequence primer untuk primer kontrol (beta aktin) adalah: Forward
: 5’ - CTTCCTTCCTGGGCATGGAG-3’
Reverse
: 5’ - TGGAGGGGCCGGACTCGTCA-3’
Tiga macam master mix dibuat berdasarkan jenis primer (0,25 µM), yaitu master mix untuk reaksi pertama berisi primer generik dan primer C antisense, master mix untuk reaksi kedua berisi primer generik dan primer C antisense, master mix untuk reaksi ketiga berisi primer beta aktin. Dua μL DNA ditambahkan ke dalam 4,2μL larutan master mix. Sebanyak 13,8μL nuclease free water ditambahkan ke dalam larutan. Dua puluh μL larutan diamplifikasi dengan thermal cycler. Kondisi temperatur siklus PCRadalah : 5 menit pada suhu 95˚C untuk program hotstart, denaturasi dilakukan selama 5 menit pada 96˚C. Setelah itu diikuti oleh 35 siklus selama 1 menit pada 95 ˚C, 1 menit pada 60 ˚C, 1 menit pada 72˚C. Elongasi dilakukan selama 7 menit pada 72˚C.
105
Produk yang telah diamplifikasi diamati pada 2% gel agarosa yang mengandung 0,3μL (0,5 mg/mL) gel red. Genotip diidentifikasi dengan ada tidaknya target sequence yang diamplifikasi. c.
Pemeriksaan kadar VEGF dengan metode ELISA Kadar VEGF plasma dihitung menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) (Etawa et al., 2002). Optimasi kadar VEGF-A pada sampel dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan VEGFA pada seluruh sampel. Pengenceran sampel dilakukan pada 2x, 3x dan 5x pengenceran.Bahan yang digunakan adalah VEGF-A human ELISA kit dari Abcam. Plate terdiri dari 96-sumuran yang telah dilapisi antibodi monoklonal spesifik terhadap human VEGF-A.Sebanyak 100 μL tiap standar dan sampel ditambahkan ke dalam sumuran.Sumuran ditutup menggunakan alumunium foil. Inkubasi dilakukan selama 2,5 jam pada suhu ruang. Larutan dibuang dan dicuci dengan 300μLwash solution 1x. Pencucian dilakukan sebanyak 4 kali.Larutan dibuang dan dibersihkan sampai tidak bersisa supaya hasilnya maksimal.Sebanyak 100μL Biotinylated VEGF detection antibody dimasukkan ke dalam tiap sumuran. Inkubasi dilakukan selama 1 jam pada suhu ruang. Larutan dibuang dan dicuci sebanyak 4 kali menggunakan wash buffer 1x. Seratus μL HRP-streptavidin solution1x dimasukkan ke dalam tiap sumuran.Inkubasi dilakukan selama 45 menit pada suhu ruang. Larutan dibuang dan dicuci sebanyak 4 kali menggunakan
wash
buffer
1x.
Sebanyak
100μL substrat
TMB
106
ditambahkan ke dalam tiap sumuran.Inkubasi dilakukan selama 30 menit pada suhu ruang. Lima puluh μL stop solution ditambahkan ke dalam tiap sumuran. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 450 nm. Hasil pengenceran 2x, 3x dan 5x dibandingkan dengan kurva standar.Hasil pengenceran 5x adalah hasil yang paling baik.Pengenceran 5x dilakukan untuk seluruh sampel. Aplikasi seluruh sampel menggunakan cara kerja yang tertera diatas. 1.5. Hasil dan Pembahasan a. Karakteristik Subjek Penelitian Subjekpada penelitian ini berjumlah 57 orang dengan Diabetes Melitus (DM) tipe 2. Kelompok kasus tersdiri dari 25, merupakan subjek dengan ulkus diabetika (DFU). Kelompok kontrol terdiri dari 32 subjek tanpa ulkus diabetika (NDFU Karakteristik subjek penelitian ini didapatkan dari data rekam medik pasien. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan Komisi Etik Universitas Gadjah Mada-RS.Sardjito. Subjek didapatkan dari Poli Endokrin RSUP Dr. Sardjito dan Puskesmas Cawas II Klaten. Subjek menandatangani informed concent dan mengisi kuisioner sebelum diambil darahnya. Durasi diabetes tidak dapat dijadikan karakteristik subjek penelitian meskipun tetap menjadi salah satu kriteria dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan oleh lamanya pasien menderita DM tipe 2 tidak sama dengan lamanya pasien terdiagnosa DM tipe 2. Penderita DM tipe 2 biasanya tidak
107
merasakan gejala-gejala DM yang terjadi sebelum menjalankan pemeriksaan klinis dan didiagnosa sebagai penderita DM. Pasien DM tipe 2 dengan PAD juga dimasukkan ke dalam penelitian ini, karena jumlah pasien DM tipe 2 dengan ulkus diabetika yang mengalami PAD banyak. Pemilihan terhadap pasien dibatasi oleh nilai ABI ≥0,69. b.Hasil genotiping polimorfisme -2578*C/A gen VEGF Genotiping dilakukan dengan metode ARMS-PCR. Hasil genotiping 2578*C/A gena VEGF-A adalah tiga genotip pada subjek kontrol (CC, CA dan AA) dan duagenotip pada subjek kasus (CC dan CA). Genotiping dilakukan dengan metode ARMS-PCR menggunakan mismatch primer. Primer yang digunakan adalah generik primer, primer normal dan primer mutan. Reaksi dibagi menjadi dua jenis. Reaksi yang terjadi pada reaksi satu saja akan memunculkan genotip normal homozigot, dalam hal ini CC. Jika terjadi reaksi pada kedua reaksi maka akan memunculkan genotip mutan heterozigot, dalam hal ini CA. Jika reaksi terjadi pada reaksi kedua saja maka akan muncul genotip mutan homozigot, yaitu AA. Genotip homozigot wildtype (CC), heterozigot (CA) dan homozigot mutan (AA) mempunyai fragmen sepanjang 223 bp. Kontrol internal digunakan beta aktin dengan panjang fragmen 315 bp. Amoli et al. (2011) juga melaporkan hal yang sama dari hasil penelitian 315 BP 223 BP
mengenai polimorfisme –2578*C/A gena VEGF-A pada subjek dengan ulkus diabetika pada populasi di Iran. c. Distribusi frekuensi genotip dan alel -2578*C/A gena VEGF-A pada subjek dengan dan tanpa ulkus diabetika
108
Hasil Genotiping kemudian dianalisa kesetimbangannya didalam HardyWeinberg (H-W). Asas H-W menyatakan bahwa frekuensi alel dan genotipe dalam suatu populasi tidak akan berubah dari satu generasi ke generasi lainnya dalam kesetimbangan H-W (Joshi, 2008). Hasil menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara distribusi genotip hasil penelitian dengan perhitungan H-W (p=0,013). Hal ini menunjukkan bahwa genotip CC, CA dan AA pada penderita DM tipe 2 pada penelitian ini tidak berada dalam kesetimbangan H-W. Dari hasil yang diperoleh maka dapat diartikan bahwa genotip-genotip tersebut tidak terdistribusi secara merata pada penelitian ini. Distribusi genotip dianalisa secara statistik menggunakan Chi-square. Genotip homozigot wild type (CC) dan mutan (AA) lebih banyak ditemukan pada subjek kontrol, begitu juga dengan genotip heterozigot (CA). Jumlah alel C ditemukan lebih banyak daripada alel A baik pada subjek kasus maupun kontrol. Hasil analisa Chi-squre menunjukkan bahwa perbedaan frekuensi genotip dan alel polimorfisme -2578*C/A gena VEGF-A pada subjek kasus dan kontrol secara statistik tidak bermakna (p=1,000, untuk frekuensi genotip dan p=0,766 untuk frekuensi alel). Nilai Odd Ratio 0,896 untuk alel A terhadap C. Hasil penelitian pada populasi jawa ini kemudian dibandingkan dengan hasil penelitian Amoli et al. (2011) pada populasi di Iran. Amoli et al. (2011) melaporkan bahwa frekuensi genotip CA lebih tinggi dibandingkan dengan genotip CC dan AA pada individu DM tipe 2 dengan dan tanpa ulkus diabetika tapi secara statistik tidak berbeda bermakna.
109
Odd Ratio genotip AA terhadap CA+CC dihitung dengan menggunakan Yate Correction (Lydersen et al., 2009). Nilai OR genotip AA terhadap CA+CC didapatkan sebesar 0,239 (p=0,499). Nilai odd ratio AA terhadap CA+CC dihitung dengan Yates correction (Lydersen et al., 2009). Hal ini menunjukkan bahwa probabilitas pembawa genotip AA untuk menderita ulkus diabetika adalah 19,28%. Frekuensi alel C ditemukan lebih tinggi dari alel A. Nilai odd ratio A terhadap C adalah 0,896 (p=0,766, CI=95%(0,4201,912)), artinya bahwa pembawa alel A mempunyai probabilitas untuk menderita ulkus diabetika sebesar 47,26%. Amoli et al. (2011) melaporkan bahwa frekuensi alel A pada pasien akan memberikan efek protektif. Frekuensi alel A yang rendah mungkin akan menyebabkan tidak cukupnya angiogenesis pada pasien DM tipe 2 dengan ulkus diabetika. Polimorfisme -2578*C/A gen VEGF-A merupakan salah satu dari lima polimorfisme yang terjadi didaerah promoter 5’untranslated region (UTR) dan telah diidentifikasi (Brogan et al.,1999). Beberapa sisi yang mengikat faktor transkripsi ditemukan didalam 5’UTR dan polimorfisme pada daerah ini menyebabkan terjadinya perbedaan ekspresi VEGF-A (Fukumura et al., 1998; Bhanoori et al., 2005). Promoter terletak didaerah upstream dari gen yang diregulasi dan merupakan tempat terikatnya aktivator atau faktor transkripsi (Karni dan Felder, 2007; Jośko dan Mazurek, 2004). Daerah promoter VEGF-A merupakan target dari sejumlah sinyal, seperti hipoksia, oncoprotein, dan aktivator faktor pertumbuhan yang menginduksi ekspresi
110
gen VEGF-A (Jośko dan Mazurek, 2004). Kadar pH rendah dan peradangan juga dapat memicu ekspresi gen VEGF-A (Garret, 2007).
d. Pengaruh polimorfisme -2578*C/A terhadap kadar VEGF-A pada subjek dengan dan tanpa ulkus diabetika Produksi VEGF-A didalam tubuh manusia ditentukan secara genetik (Ruggiero et al., 2011). Habibi et al. (2014) telah melaporkan bahwa single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada gen VEGF mungkin mempengaruhi ekspresi VEGF baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Varian VEGF-A pada rs3025020 dan rs3025039 telah dicatat sebagai varian yang dapat mempengaruhi variasi VEGF-A (Ruggiero et al., 2011). Hubungan antara polimorfisme -2578*C/A dan kadar VEGF-A diperiksa dengan mengukur kadar VEGF-A pada plasma subjek kasus dan kontrol menggunakan metode ELISA. Jumlah rerata kadar VEGF-A subjek kasus (DFU) lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (NDFU). Hasil analisa statistik dengan Independent t-test menunjukkan bahwa perbedaan rerata kadar antar subjek tersebut tidak bermakna (p=0,855). Kadar rerata VEGF-A pada kelompok kasus dan kontrol diperiksa untuk mengetahui hubungan antara polimorfisme dengan kadar VEGF-A yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar rerata VEGF-A pada kelompok kontrol lebih tinggi dari pada kelompok kasus. Hasil analisa statistik didapatkan bahwa perbedaan kadar VEGF tersebut tidak bermakna (p=0,855). Hoong et al. (2004) memeriksa kadar VEGF pada subjek DM tipe
111
2 dengan dan tanpa CVD dan subjek sehat, didapatkan bahwa kadar VEGF pada pasien DM tipe 2 dengan dan tanpa CVD lebih tinggi dari subjek sehat. Subjek sehat mempunyai kadar VEGF 90(10-230) pg/mL, subjek dengan DM tipe 2 mempunyai kadar VEGF 180(120-420) pg/mL, dan subjek DM tipe 2 dengan CVD mempunyai kadar 200(130-825)pg/mL. Hasil yang diperoleh dari penelitian dan studi Hoong et al. (2004) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar VEGF-A pada subjek dengan DM tipe 2 dibandingkan subjek tanpa DM tipe 2. Hoong et al. (2004) melaporkan bahwa kadar glukosa darah yang tinggi pada subjek dengan DM tipe 2 merupakan penentu utama sirkulasi VEGF. Tingginya kadar glukosa darah memberikan efek meningkatnya superoksida yang menginduksi produksi VEGF (Tilton et al., 1997). Hubungan antara polimorfisme -2578*C/A gena VEGF-A dengan kadar VEGF-A dapat dilihat dari jumlah rerata kadar VEGF-A yang dihasilkan dibandingkan dengan masing-masing genotip (CC, CA dan AA). Rerata kadar VEGF-A tertinggi terdapat pada subjek dengan genotip AA, sedangkan genotip CA memiliki rerata kadar VEGF-A lebih tinggi dari genotip CC akan tetapi secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna.Hasil analisa statistik yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna kadar VEGF-A pada masing-masing kelompok genotip (p=0,152). Rerata kadar VEGF-A pada kelompok genotip CC dan AA juga dibandingkan. Analisa statistik menunjukkan bahwa kadar dua kelompok ini tidak berbeda bermakna (p=0,081). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian
112
yang dilaporkan oleh Shahbazi et al.(2002) yang telah melaporkan bahwa genotip CC berhubungan dengan produksi VEGF-A tertinggi pada resipien tranplantasi ginjal. Guerzoni et al. (2007) juga melaporkan bahwa ekspresi VEGF-A yang menurun disebabkan oleh genotip AA pada -2578 gena VEGF-A. Al-Habboubiet al. (2011) melaporkan bahwa konsentrasi VEGF-A pada individu sehat yang membawa genotip CC, CA dan AA tidak mempunyai perbedaan yang bermakna. Kadar VEGF-A pada individu pembawa genotip CC adalah 324,9±263,4 pg/mL; pembawa genotip CA adalah 365,1±329,1 pg/mL; dan pembawa genotip AA adalah 463,5±329,1 pg/mL. Berdasarkan penelitiannya tersebut, maka didapatkan kesimpulan bahwa kadar VEGF tidak dipengaruhi oleh varian -2578*C/A pada individu sehat. Freathy et al. (2006) juga melaporkan bahwa tidak ditemukan bukti adanya hubungan antara variasi -2578*C/A dengan perubahan konsentrasi VEGF-A pada pasien DM tipe 2. Faktor lain yang dipekirakan mempengaruhi perubahan kadar VEGF pada subjek DM tipe 2 dengan dan tanpa ulkus diabetika adalah kadar glukosa darah yang tinggi dan tidak terkontrol. Gangguan keseimbangan metabolik, seperti halnya DM dapat meningkatkan oksidasi sorbitol menjadi fruktosa dan reduksi NAD+ menjadi NADH. Keseimbangan redoks yang terganggu
ini
akan
menyebabkan
meningkatnya
superoksida
yang
menginduksi produksi VEGF-A (Tilton et al., 1997). Korelasi antara kadar glukosa darah puasa dan kadar VEGF-A telah dianalisa. Hasil uji statistik
113
menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar VEGF-A pada penelitian ini. Jalur lain yang dapat menginduksi produksi VEGF adalah hipoksia, hipoksia merupakan stimulus potensial dalam meningkatkan ekspresi VEGF. Hipoksia akan mengganggu keseimbangan redoks dengan meningkatkan rasio NADH/NAD+ yang pada akhirnya akan menginduksi produksi VEGF (Tilton et al., 1997).Hal lain yang dapat mempengaruhi adalah kemungkinan adanya komplikasi DM tipe 2 dengan penyakit lain, seperti CVD jika mengacu pada hasil penelitian Hoong et al. (2004). Kriteria PAD merupakan kriteria eksklusi, akan tetapi tetap dimasukkan dalam penelitian karena sebagian besar pasien DM tipe 2 dengan ulkus diabetika mengalami PAD. Tabel 9 menunjukkan rerata kadar VEGF-A pada PAD dan non-PAD. Jumlah rerata kadar VEGF-A pada kelompok non-PAD lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok PAD. Hasil analisa statistik dengan Independent t-tes menunjukkan bahwa perbedaan kadar VEGF-A pada kedua kelompok tersebut tidak bermakna (p=0,287). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian dari Fiendly et al. (2008) yang mendapatkan bahwa konsentrasi VEGF pada pasien PAD lebih tinggi dari pada kelompok kontrol. Blann et al. (2002) juga melaporkan bahwa subjek DM tipe 2 dengan atherosklerosis memiliki kadar lebih tinggi dari subjek DM tipe 2 tanpa atherosklerosis. Penyakit arteri perifer dikarakterisasi oleh iskemia jaringan yang menyebabkan hipoksia jaringan sehingga menjadi
114
suatu stimulus angiogenik potensial. VEGF diketahui dapat ditingkatkan produksinya karena pengaruh hipoksia (Fiendly et al., 2008). Berdasarkan uraian diatas, maka diperoleh bahwa proses penyembuhan luka pada pasien DM tipe 2 dengan ulkus diabetika tidak hanya tergantung pada konsentrasi VEGF-A di dalam darah akan tetapi masih banyak faktor lain yang turut serta mempengaruhi. Ulkus diabetika merupakan salah satu komplikasi kronis yang terjadi pada pasien DM tipe 2 (Tellechea et al., 2010). Proses penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks yang melalui beberapa tahap, seperti homeostasis, koagulasi, inflamasi, migrasi-proliferasi dan remodeling (Falanga, 2005). Platelet akan melepaskan sitokin-sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan untuk merekrut neutrofil dan monosit ketika terjadi luka. Fibroblas, sel epitel dan sel endotel bermigrasi ke sisi luka dan membentuk jaringan granulasi kontraktil yang menyebabkan luka menyempit. Sementara itu, epitel permukaan yang baru menutup permukaan luka dan granulasi jaringan berdiferensiasi secara progresif mendekati karakter struktural dan fungsional kulit matur sehingga mengembalikan jaringan yang hilang (Tellechea et al., 2010). Patofisiologi hubungan antara diabetes dan gangguan penyembuhan luka sangat kompleks. Pasien DM akan mengalami fase dan perkembangan penyembuhan luka yang berbeda dengan subjek normal karena diabetes berhubungan dengan neuropati, mikroangiopati dan gangguan fungsi imun (Falanga, 2005; Galkowska et al., 2006).Mediator proinflamasi pada penderita DM tipe 2 meningkat sehingga dapat menginduksi dan
115
menyebabkan inflamasi terjadi terus menerus. Meskipun inflamasi yang terjadi ringan akan tetapi latar belakang hiperglikemia akan menyebabkan mekanisme pertahanan seluler terganggu (Tellechea et al., 2010). Substansisubstansi proinflamasi banyak terdapat pada serum pasien DM tipe 2, seperti: TNF∝, IL-6 dan IL-1. Meningkatnya mediator proinflamasi ini berhubungan dengan perkembangan resistensi insulin. Aktivitas insulin yang menurun diperlihatkan pada pasien dan tikus dengan luka diabetik. Hal ini memperlihatkan adanya hubungan antara berkembangnya luka diabetik dengan lingkungan proteolitik luka. Neutrofil menunjukkan penurunan kemampuannya dalam fagositosis sehingga menyebabkan luka rawan terhadap infeksi (Tellechea et al., 2010). Gangguan penyembuhan luka pada pasien diabetes melitus disebabkan oleh menurunnya kemampuan. Sejumlah faktor pertumbuhan lain yang penting untuk penyembuhan luka, seperti FGF-2 dan PDGF menurun pada luka diabetik (Brem et al., 2003). Terlepasnya VEGF, PDGF dan TGF-β dari platelet, monosit dan fibroblas merupakan awal terjadinya angiogenesis yang penting dalam proses penyembuhan luka(Li et al., 2003). Jika faktor-faktor pertumbuhan yang penting ini kurang maka angiogenesis tidak cukup. 1.6. Kesimpulan Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa terdapat polimorfisme 2578*C/A gena VEGF-A pada individu DM tipe 2 dengan dan tanpa ulkus diabetika. Frekuensi genotip CC,CA dan AA tidak berbeda bermakna antara kelompok DM tipe 2 dengan dan tanpa ulkus diabetika, begitu juga dengan
116
frekuensi alel C dan A. Kadar VEGF yang dihasilkan tidak berbeda bermakna antara kelompok DM tipe 2 dengan dan tanpa ulkus diabetika.