1
BAB I PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG Pengidap Diabetes Melitus (DM) terutama DM tipe 2 di dunia dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan yang cukup pesat. Diperkirakan tahun 2000 sebanyak 150 juta orang terkena DM dan akan menjadi dua kali lipatnya pada tahun 2025. Di Amerika Utara terdapat sekitar 90-95 % kasus DM adalah DM tipe 2 dan 20% dari populasi usia lebih dari 65 tahun adalah DM tipe 2 (Zimmet et al., 2001). Pengidap DM tipe 2 di negara maju umumnya mengalami peningkatan 42% dari sekitar 51 juta menjadi 72 juta orang pada tahun 2025. Sedangkan di negara berkembang terjadi peningkatan 170% dari sekitar 84 juta menjadi 228 juta orang pada tahun 2025 (Qiao et al.,2015). Pengidap DM tipe 2 bila tidak dikelola dengan baik dapat mengalami komplikasi akut dan kronik. Komplikasi akut dapat berupa hipoglikemia, status hiperglikemia hiperosmoler, koma laktoasidosis
dan
ketoasidosis diabetik, sedangkan komplikasi kronik yang serius seperti gagal ginjal, kebutaan, penyakit kardiovaskuler, stroke, kaki diabetik dan lain-lain. Penelitian populasi DM tahun 1980 didapatkan data prevalensi 1,5-2,3% pada penduduk usia 15 tahun keatas. Prevalensi tertinggi didapatkan di Manado yaitu 6,1%. Pada umumnya prevalensi DM daerah urban lebih tinggi dari pada di daerah rural. Di Makassar terdapat 1,5% pengidap DM di daerah urban dan pada tahun 1981 menjadi 2,9% pada tahun 1998. Demikian pula daerah urban di Jakarta
2
terdapat 1,7% tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan kemudian menjadi 12,8% pada tahun 2001 didaerah sub-urban Jakarta (PERKENI, 2006). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia diatas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah 8,2 juta didaerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban 14,7% dan rural 7,2% maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes didaerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Suatu jumlah yang sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter/dokter spesialis/dokter subspesialis bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada. Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar, semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah, seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan DM, khususnya dalam upaya pencegahan (PERKENI, 2006; Balitbangkes, 2008). Patogenesis DM tipe 2 belum sepenuhnya diketahui, namun setidaknya ada 3 faktor penting yang perlu diperhatikan yaitu faktor individu atau genetik etnis yang membuat rawan DM, faktor kerusakan fungsi sel beta pankreas dan faktor resistensi insulin (Zeggina, 2007; Mc Carthy, 2010).
3
Penelitian tentang gena-gena yang berperan pada DM tipe 2 telah mulai banyak diteliti oleh para ahli. Pengetahuan tentang genetik penting diketahui untuk mempelajari patofisiologi DM tipe 2, para peneliti akan mengetahui mekanisme progresivitas penyakit dan harapan bagi klinisi untuk menterjemahkan informasi genetik ini dalam penatalaksanaan penyakit DM tipe 2. Pengetahuan tentang faktor genetik diharapkan dapat memperkirakan, mencegah dan mengobati DM tipe 2 secara individu. Beberapa manfaat yang didapat diperoleh dengan adanya pengetahuan tentang implikasi tes genetika diabetes mencakup 4 domain yaitu perkiraan risiko terjadinya diabetes, perkiraan komplikasi yang timbul karena diabetes, respon pengobatan dan farmakogenomik, serta harapan informasi genetik ini dapat mengubah pola hidup pasien (Florez et al., 2008). Berdasarkan patofisiologi DM tipe 2 yang telah disebutkan diatas, penelitian-penelitian tentang gena-gena yang berperan terhadap timbulnya DM tipe 2 telah dilakukan oleh para ilmuwan. Beberapa varian gena berperan sesuai konsep patofisiologi terjadinya DM tipe 2 (gambar 1) (Mc Carthy, 2010).
Gambar 1. Predesposisi genetik DM tipe 2 (Sumber Mc Carthy, 2010)
4
Gena Transcription Factor 7-Like 2 (TCF7L2) merupakan salah satu gena yang diketahui berkaitan dengan DM tipe 2. Sejak pertama kali dilaporkan oleh Grant et al. (2006), gena ini banyak menarik minat para peneliti untuk mengetahui keterkaitan dengan DM tipe 2 pada beberapa ras. Grant et al. (2006) melaporkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara gena TCF7L2 dengan DM tipe 2 pada orang kulit putih di Islandia, Denmark, dan Amerika Serikat. Demikian pula hasil penelitian di India menunjukkan bahwa gena TCF7L2 berhubungan kuat dengan kejadian DM tipe 2 (Chandakh et al., 2006). Cauchi et al. (2006b) pada studi populasi di Perancis juga menyebutkan gena ini dapat memprediksi insiden hiperglikemia. Hayashi et al. (2007) dan Horikoshi et al. (2007) melaporkan hal yang sama pada populasi di Jepang.
Scott et al. (2006) melaporkan diantara
beberapa polimorfisme nukleotida tunggal yang di uji pada populasi di Finlandia, Islandia, Denmark dan Amerika Serikat hanya rs12255372 dan rs7903146 yang berhubungan kuat dengan DM tipe 2. Gena TCF7L2 dapat mengaktifkna protein khusus yang mempengaruhi sekresi insulin dan sensitifitas insulin. Protein TCF7L2 merupakan faktor transkripsi yang meregulasi gena proglucagon. Proglucagon adalah prekursor dari hormon Glucagon like peptide-1 (GLP-1) suatu hormon insulinotropik yang diproduksi oleh sel enteroendokrin. Polimorfisme TCF7L2 memegang peranan penting untuk menurunkan sekresi dari GLP-1 dan akhirnya akan menyebabkan penurunan sekresi insulin (Balasubramanyam, 2007; Horikoshi et al., 2007). Gena Fat mass and obesity-associated (FTO) merupakan gena yang berhubungan dengan obesitas dan risiko DM tipe 2 (Frayling et al., 2007). Gena
5
FTO merupakan anggota non-heme dioxygenase superfamily yang mengkode oxoglutarate-dependent nucleic acid demethylase dan terletak di hipothalamus dan kelenjar pankreas (Dina et al., 2007) Saat ini telah banyak ditemukan polimorfisme nukleotida tunggal gena FTO terutama terhadap obesitas. Varian polimorfisme rs 9939609 gena FTO mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap kejadian obesitas dengan OR 1,43 (Chang et al.,2008). Polimorfisme rs 9939609 yang kemungkinan besar mempengaruhi ekspresi mRNA gena FTO pada pusat pengaturan energi di hipotalamus (Gerken et al.,2008). Adanya polimorfisme pada gena FTO akan menurunkan ekspresi genagena tersebut sehingga berpengaruh pada adipositas (Andreasen et al., 2008), resistensi insulin dan pengaturan berat badan termasuk asupan energi (Speakman et al.,2008). Di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 200 juta orang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Dari berbagai suku bangsa tersebut yang paling banyak adalah dari suku / etnis Jawa. Secara tradisional penduduk etnis Jawa banyak terkonsentrasi di pulau Jawa terutama Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 terdapat 44,31% pengidap DM etnik Jawa di Indonesia. Penentuan etnis Jawa dilakukan dengan menanyakan kepada subyek tentang silsilah keluarga sejak minimal 3 generasi diatasnya (ayah/ibu, kakek/nenek, kakek/nenek buyut) berasal dari suku Jawa dan tidak ada campuran perkawinan dari suku lain.
6
2. RUMUSAN MASALAH. Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana frekuensi polimorfisme gena TCF7L2 dan gena FTO terdapat pada DM tipe 2 obes dan non DM obes etnis Jawa? 2. Bagaimana hubungan antara polimorfisme gena dan TCF7L2 dan FTO dengan kondisi klinis DM tipe 2 obes etnis Jawa? 3. Bagaimana kadar GLP-1 individu DM tipe 2 obes etnis Jawa dengan polimorfisme gena TCF7L2 ? 4. Bagaimana pengaruh sekresi insulin DM tipe 2 obes dengan polimorfisme gena TCF7L2 dibandingkan dengan individu DM tipe 2 obes tanpa polimorfisme gena TCF7L2? 5. Bagaimana pengaruh resistensi insulin pada individu DM tipe 2 obes dengan polimorfisme gena FTO dibandingkan dengan individu DM tipe 2 obes tanpa polimorfisme gena FTO? 3. MANFAAT PENELITIAN a. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pengaruh gena TCF7L2 terutama polimorfisme nukleotida tunggal rs7903146, rs12255372, dan gena FTO rs9939609 terhadap DM tipe 2 obes pada etnis Jawa di Indonesia.
7
b. Manfaat klinis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dasar penyusunan rencana terapi lebih lanjut bagi pengidap DM tipe 2 polimorfisme gena TCF7L2 dan sebagai dasar penelitian berikutnya. 4. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengkaji hubungan polimorfisme gena TCF7L2 dan gena FTO serta implikasi klinisnya terhadap DM tipe 2 obes pada etnis Jawa di Indonesia. Tujuan khusus : 1. Mengkaji adanya polimorfisme nukleotida tunggal rs7903146 dan rs12255372 gena TCF7L2 serta rs9939609 gena FTO DM tipe 2 obes pada etnis Jawa. 2. Mengkaji hubungan antara polimorfisme gena TCF7L2 dan gena FTO dengan kondisi klinis DM tipe 2 obes pada etnis Jawa. 3. Mengkaji pengaruh polimorfisme gena TCF7L2 terhadap kadar GLP-1 pada DM tipe 2 obes. 4. Mengkaji pengaruh polimorfisme gena TCF7L2 terhadap defek sekresi insulin DM tipe 2 obes. 5. Mengkaji pengaruh polimorfisme gena FTO terhadap resistensi insulin DM tipe 2 obes. 5. KEASLIAN PENELITIAN Setelah menelaah berbagai literatur, penulis berkesimpulan belum ada penelitian sejenis yang dilakukan di Indonesia. Bukti adanya penelitian yang
8
ada hubungan dengan polimorfisme gena TCF7L2 dan FTO pada pengidap DM adalah sebagai berikut : Tabel 1. Penelitian-penelitian terkait polimorfisme gena TCF7L2 dan FTO pada pengidap DM Peneliti dan Metode dan Populasi Tahun Grant et al. Kasus kontrol, pengidap DM tipe 2 (2006) kulit putih di Islandia, Denmark dan Amerika Serikat
Variabel
Hasil
polimorfisme TCF7L2 pengidap DM tipe 2 dan Non DM
Terdapat hubungan yang kuat antara polimorfisme gena TCF7L2 dengan pengidap DM tipe 2 terdapat hubungan yang kuat polimorfisme TCF7L2 dengan pengidap DM tipe 2 di India polimorfisme TCF7L2 dapat memprediksi insiden hiperglikemia polimorfisme gena TCF7L2 rs12255372 dan rs7903146 yang berhubungan kuat dengan DM. polimorfisme TCF7L2 berhubungan kuat dengan DM tipe 2 polimorfisme TCF7L2 berhubungan kuat dengan DM tipe 2
Chandak et Kasus kontrol, pengidap DM tipe 2 di al. (2006) India
polimorfisme TCF7L2 pada pengidap DM tipe 2 dan Non DM
Cauchi et al. Kasus kontrol, pengidap DM tipe 2 di (2006b) Perancis
polimorfisme TCF7L2 pada pengidap DM tipe 2 dan Non DM
Scott et al. Kasus kontrol, pengidap DM tipe 2 di (2006) Finlandia, Islandia, Denmark dan Amerika Serikat
polimorfisme gena TCF7L2 pada pengidap DM tipe 2 dan Non DM
et Kasus kontrol, pengidap DM tipe 2 di Jepang
polimorfisme gena TCF7L2 pada pengidap DM tipe 2 dan Non DM polimorfisme gena TCF7L2 pada pengidap DM tipe 2 dan Non DM
Hayashi al.(2007)
Horikoshi et Kasus kontrol, pengidap DM tipe 2 di al. (2007) Jepang
9
Frayling et Kasus kontrol, pengidap DM tipe 2 al. (2007) obes kulit putih di Inggris Scuteri et al. Kasus kontrol, pengidap DM tipe 2 (2007) obes kulit putih Amerika dan Hispanik Amerika
.
polimorfisme gena FTO pada pengidap DM tipe 2 obes dan Non DM obes. polimorfisme gena FTO pada pengidap DM tipe 2 obes dan Non DM obes
polimorfisme gena FTO pada pengidap DM tipe 2 berhubungan secara bermakna varian FTO secara bermakna berpengaruh terhadap obesitas
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan metabolik
abnormal dimana terdapat intoleransi terhadap glukosa akibat kerja insulin yang tidak adekuat (ADA, 2006). Penyakit DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada DM berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh terutama ginjal, mata, syaraf, jantung atau pembuluh darah. Klasifikasi DM berdasarkan etiologinya menurut American Diabetes Association dapat dibedakan menjadi DM tipe 1, tipe 2, tipe spesifik lain, dan diabetes gestasional (ADA, 2006). Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan gejalagejalanya yaitu polidipsi, polifagi dan poliuria, serta hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan kadar gula darah tinggi. Kriteria diagnosis DM menurut PERKENI tahun 2011 yang mengacu pada American Diabetes Association adalah : 1. Terdapat gejala-gejala klasik DM dan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (istilah gula darah sewaktu dipergunakan pada pemeriksaan gula darah setiap saat tanpa memandang makan. 2. Gejala klasik DM + Glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl (puasa adalah tidak adanya intake kalori minimal selama 8 jam). 3. Glukosa plasma dua jam > 200 mg/dl selama tes toleransi glukosa (PERKENI, 2011).
11
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan respon terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel beta pankreas yang mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa (Zeggini, 2007; Grant et al., 2009). Penyakit DM tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin serta kerja insulin. Sekitar 80% pengidap DM tipe 2 mengalami obesitas. Berdasarkan penelitian pada orang yang obesitas dengan jaringan lemak yang banyak dan luas memiliki jumlah reseptor insulin yang lebih sedikit dari pada orang yang tidak obes. Hal ini menyebabkan terhambatnya efek insulin di perifer meskipun jumlah insulin yang dihasilkan cukup. Akibatnya transpor glukosa ke dalam sel menurun sementara kadar glukosa dalah darah akan meningkat di atas kadar glukosa normal (ADA, 2006). Saat ini telah diketahui 3 kelainan timbulnya hiperglikemia pada DM tipe 2, yaitu produksi glukosa di hati yang meningkat, defek sekresi insulin dan defek kerja insulin atau resistensi insulin (DeFronzo et al., 1992). Peningkatan produksi glukosa di hati pada DM tipe 2 ditandai dengan adanya hiperglikemia puasa. Defek kerja insulin pada umumnya terjadi di jaringan perifer terutama adalah otot. Sekitar 70-80 % pengambilan glukosa di perifer terjadi di otot . Defek sekresi insulin dan peningkatan kadar hormon glucagon yang terjadi di pankreas memegang peran penting terjadinya hiperglikemia pada DM tipe 2 (Courtney, 2003).
12
B. Resistensi Insulin Patogenesis terjadinya disfungsi sel beta pankeas pada DM tipe 2 pada dasarnya oleh karena peningkatan resistensi insulin di jaringan. Resistensi insulin adalah suatu keadaan yang terjadi resistensi terhadap kerja insulin , yaitu suatu keadaan dimana suatu sel, jaringan atau organ membutuhkan sejumlah insulin yang lebih banyak untuk mendapatkan secara kuantitatif respon normal yang berupa terpakainya atau masuknya glukosa ke dalam sel tersebut (Courtney, 2003). Agar insulin dapat bekerja, maka insulin akan berikatan dengan insulin reseptor pada dinding sel. Setelah berikatan, akan terjadi serangkaian proses rumit, melalui berbagai proses di dalam sel dan proses antara sehingga efek kerja insulin tercapai. Di dalam sel, insulin mempunyai beragam peran, mulai dari peranannya dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, sampai pengaruhnya pada proses pembentukan DNA dan RNA dan berbagai proses lainnya di dalam sel, jaringan atau organ tersebut. Rangkaian proses tersebut juga terdapat pada sel beta pankreas. Sehinggga dapat dikatakan bahwa terjadinya proses resistensi insulin akan menjadi dasar untuk terjadinya disfungsi sel beta pankreas pada DM tipe 2. Banyaknya proses yang dapat menimbulkan resistensi insulin, diantaranya adalah faktor genetik, faktor lingkungan seperti kegemukan, kurang aktifitas fisik, masukan makanan yang berlebihan, beberapa macam obat dan juga proses menua (ADA, 2006) Beberapa penyebab terjadinya resistensi insulin dapat dikelompokkan sesuai pada Tabel 2.
13
Tabel 2. Etiologi resistensi insulin Kelainan produk sel beta pankreas Kelainan molekul insulin Konversi yang tidak lengkap proinsulin ke insulin Beredarnya antagonis insulin di sirkulasi darah Peningkatan kadar hormon kontra insulin Peningkatan kadar asam lemak bebas Antibodi anti insulin Antibodi anti insulin reseptor Resistin Sitokin ( TNF α, interleukin-6) Defek jaringan target Defek reseptor insulin Defek post reseptor Sumber : Courtney,2003 Pada keadaan normal, apabila didapatkan resistensi insulin, maka tubuh akan merespon dengan meningkatkan produksi insulin untuk mengembalikan kadar glukosa
darah
menjadi
normal.
Keadaan
ini
biasanya
disebut
sebagai
hiperinsulinemia. Kalau proses kompensasi ini menurun, maka kapasitas untuk menyeimbangkan
keadaan
tersebut
kurang
sehingga
tubuh
tidak
dapat
mengembalikan keseimbangan dan terjadilah hiperglikemia yang di kemudian hari apabila keadaan ini tidak teratasi maka akan menjadi DM (Courtney, 2003 ). Pada awal resistensi insulin, dimana sel beta pankreas masih berfungsi normal, hiperinsulinemia akan mengendalikan kadar glukosa darah tetap dalam kisaran normal. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin yang terkompensasi. Apabila keadaan ini berlangsung lama maka akan terjadi toleransi glukosa terganggu
(TGT).
Ciri
khas
pada
keadaan
ini
adalah
ditemukannya
hiperinsulinemia pada saat puasa dan setelah makan, tetapi tubuh tidak dapat mengkompensasi secara penuh resistensi insulinnya. Keadaan ini disebabkan oleh peningkatan resistensi insulin atau terbatasnya sekresi insulin oleh sel beta
14
pankreas. Meskipun pengidap TGT sebagian kecil kadar glukosanya kembali ke normal tetapi sebagian besar akan menjadi DM tipe 2. Pada stadium ini sekresi insulin sudah jauh berkurang. Penyebab keadaan ini bisa berasal dari faktor genetik atau faktor yang didapat berupa efek hiperglikemia yang berlangsung lama atau peningkatan kadar asam lemak bebas yang lazim disebut sebagai glukotoksisitas dan lipotoksisitas (ADA, 2006). Kontribusi faktor genetik sebagai penyebab DM tipe 2 telah diakui dan ditunjukkan oleh penelitian DM tipe 2 pada orang kembar identik mencapai lebih dari 90 % . Sebagai tambahan insiden DM tipe 2 lebih tinggi pada mereka yang mempunyai riwayat keluarga DM (Zeggini, 2007). Metode untuk mengetahui adanya resistensi insulin atau fungsi sel beta pankreas telah dikembangkan oleh Matthews et al. Metode tersebut disebut sebagai homeostatic model assesment (HOMA). Metode HOMA dikembangkan oleh para ahli berdasarkan penelitian fisiologis pengendalian glukosa darah yang dibuat perhitungan secara matematis (Matthews et al., 1985; Hermans at al., 1999a; Hermans at al.,1999b; Wallace at al., 2004). Rumus perhitungan : 1. HOMA IR =
glukosa puasa (mmol/l) x insulin puasa mU/l
2. HOMA β =
20 x insulin puasa mU/l glukosa puasa(mmol/l) – 3,5 %
22,5
C. Obesitas Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan akibat penimbunan jaringan lemak tubuh yang berlebihan. Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti tetapi obesitas umumnya diakibatkan oleh adanya ketidakseimbangan antara asupan dan
15
penggunaan energi dimana asupan lebih besar dari pada penggunaan energi (Tataranni & Bogardus, 2003). Beberapa hal yang berkaitan dengan obesitas adalah faktor genetik dan lingkungan. Di negara berkembang faktor lingkungan banyak berperan terhadap terjadinya obesitas. Perubahan pola makan dan kurangnya aktifitas tubuh dalm kehidupan sehari-hari menjadikan lemak banyak terakumulasi dalam tubuh (Grant et al., 2009). Ada berbagai cara menentukan seseorang termasuk obes atau tidak, salah satunya adalah yang paling mudah dengan mengukur indeks massa tubuh (IMT). Indeks massa tubuh menggambarkan kelebihan lemak diseluruh tubuh yang dapat dihitung dengan cara membagi berat badan (kg) dengan tinggi badan (m2). World Health Organization (WHO) membuat kriteria indeks massa tubuh yang berbeda antara orang Eropa dan Amerika Serikat dengan orang Asia. (Tabel 2 dan Tabel 3). Tabel 3. Klasifikasi berat badan untuk orang Eropa (WHO 1998) Klasifikasi Kurus Normal Kegemukan Pre-obes Obes I Obes II Obes III Sumber WHO 1999
IMT (kg/m2) < 18.5 18.5 - 24.9 ≥ 25 25 - 29.9 30 - 34.9 35 - 39.9 ≥ 40
Risiko morbiditas Rendah Sedang Meningkat Sedang Berat Sangat berat
Tabel 4. Klasifikasi berat badan untuk orang Asia (WHO, 2000) Klasifikasi Kurus Normal Kegemukan Pre-obes Obes I Obes II Sumber WHO, 2000
IMT (kg/m2) < 18.5 18.5 - 22.9 ≥ 23 23 - 24.9 25 - 29.9 ≥ 30
Risiko morbiditas Rendah Sedang Meningkat Sedang Berat
16
D. Diabetes tipe 2 dan obesitas Individu dengan diabetes melitus tipe 2 dan obes seringkali disebut sebagai diabesity. Pada umumnya pasien DM tipe 2 obes mempunyai kecenderungan distribusi lemak tubuhnya terpusat di sentral di bandingkan dengan orang obes non DM. Keadaan ini seringkali disebut sebagai obesitas sentral dimana penimbunan lemak terkonsentrasi di abdomen baik di subkutan maupun di intra abdominal. Jaringan lemak intra abdominal terdiri dari jaringan lemak intraperitoneal (omentum dan mesenterika) serta retroperitonial. Seseorang dengan tipikal obesitas sentral lebih besar hubungan morbiditas dan mortalitas akibat obesitas (Tataranni & Bogardus, 2003). Obesitas yang menginduksi DM tipe 2 diakibatkan oleh kadar asam lemak bebas dalam darah yang tinggi pada individu obes yang menyebabkan kenaikan kadar asam lemak bebas di otot dan hepar sehingga terjadi resistensi insulin. Kadar asam lemak bebas yang tinggi di otot dan hepar akan mengganggu signal insulin yang dapat menyebabkan gangguan pengambilan glukosa. Asam lemak intraseluler tersebut akan menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi fatty acyl CoA di sel otot dan hepar yang selanjutnya akan meningkatkan aktifitas protein kinase C (PKC), terutama PKC-β dan PKC-δ melalui peningkatan diasil gliserol (DAG) (Kadowaki et al., 2003). PKC yang aktif akan meningkatkan fosforilasi serin dan menurunkan fosforilasi tirosin pada insulin reseptor substrat-1 (IRS-1) sehingga menghambat pengaktifan phosphatidil inositol-3 kinase (PI3K). Penghambatan PI3K mengakibatkan tidak terjadinya translokasi transporter glukosa (GLUT 4)
17
sehingga menghambat pengambilan glukosa yang mendasari terjadinya resistensi insulin di otot dan hepar (Mc Garry, 2002).
E. Genetika Diabetes Melitus tipe 2 Pada beberapa penelitian DM tipe 2 menunjukkan kesatuan familial yang kuat. Penelitian pada pasangan kembar membuktikan bahwa peranan komponen genetik relatif kuat. Pada penelitian pasangan kembar didapatkan 45-96 % kembar identik yang sama-sama menderita DM tipe 2 dibandingkan hanya 3-37 % kembar non identik yang mengalami diabetes (Grant et al., 2009) . Beberapa gena telah diusulkan sebagai petanda DM tipe 2 seperti ditunjukkan pada gambar 2. Menurut Radha dan Mohan (2007) beberapa kejadian yang menguatkan bahwa genetika memberikan kontribusi yang besar dalam patogenesis penyakit DM tipe 2 antara lain : 1.
Prevalensi DM tipe 2 bervariasi antar populasi. Penelitian mengenai variasi prevalensi penyakit ini diantara suku bangsa dengan kondisi lingkugan yang hampir sama menunjukkan peranan faktor genetika.
2.
Penelitian dalam keluarga menunjukkan bahwa pada keluarga dengan salah satu orang tua mengidap DM tipe 2, rasio odds untuk keturunannya sebesar 3,5 dibandingkan dengan keluarga yang orang tuanya normal. Angka ini akan meningkat menjadi 6,1 jika kedua orang tuanya mengidap DM tipe 2.
3.
Prevalensi DM tipe 2 pada individu kembar monozigotik berkisar antara 80100%, sedangkan pada kembar dizigotik sebesar 50%.
18
4.
Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh gena-gena tertentu terhadap resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin.
Gambar 2. Kronologi penemuan gena-gena yang berhubungan dengan DM tipe 2 (Sumber Florez, 2008) Sampai saat ini telah ditemukan beberapa gena yang berhubungan dengan DM tipe 2. Diantaranya adalah gena peroxisome proliferator-activated receptor γ (PPARG) , potassium inwardly-rectifying channel sub family J member 11 (KCNJ11), Calpain 10 (CAPN10), Transcription Factor 7-Like 2 (TCF7L2), solute carrier family 30 member 8 (SLC30A8), hematopoietically expressed homeobox (HHEX), cyclin-dependent kinase 5 regulatory subunit-associated protein 1-like 1 (CDKAL1), cyclin-dependent kinase inhibitor 2A (CDKN2A) dan cyclin-dependent kinase inhibitor 2B (CDKN2B), Insulin-like growth factor 2
19
mRNA-binding protein 2 (IGF2BP2), serta Fat mass and obesity-associated (FTO). Dari beberapa gena tersebut diatas yang paling kuat hubungannya dengan DM tipe 2 adalah TCF7L2 dengan odds ratio (OR) 1,37 (Groves et al., 2006; Lehman et al., 2007;Ng et al., 2008; Florez, 2008). Predesposisi genetik DM tipe 2 dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Predesposisi genetik DM tipe 2 (Sumber Mc Carthy, 2010) Predesposisi genetik sesuai gambar 1 menunjukkan bahwa gena TCF7L2 berperan pada disfungsi sel beta pankreas yang berakibat penurunan sekresi insulin. Gena FTO berperan pada obesitas dan berkaitan dengan resistensi insulin. F. Gena TCF7L2 Gena TCF7L2
terletak di kromosom 10 lengan panjang (10q25) dan
mempunyai banyak varian polimorfisme nukleotida tunggal (gambar 3).
20
Gambar 3. Gena TCF7L2 berlokasi di kromosom 10 lengan panjang (q) pada posisi 25.3 (Sumber Genetic Home Reference)
Beberapa diantaranya telah banyak diteliti yaitu rs12255372 dan rs7903146. Polimorfisme nukleotida tunggal rs12255372 berhubungan kuat dengan DM tipe 2 pada populasi di Jepang (Hayashi et al., 2006) Pada penelitian di Finlandia, Islandia, Denmark, India dan Amerika Serikat rs12255372 dan rs790146 lebih berperan (Scott et al., 2006). Gena TCF7L2 berperan pada pengendalian produksi proglucagon yang merupakan prekursor hormon glucagon-like peptide 1 (GLP-1) yang dibentuk sel-sel hormon di usus. Protein GLP-1 berperan pada homeostasis kadar gula darah dengan meningkatkan sekresi insulin (Hayashi et al., 2006;Chang et al., 2007; Raikattari et al., 2007). Adanya varian atau polimorfisme gena ini pada sel beta pankreas menunjukkan gangguan sekresi insulin secara in vivo dan in vitro (Damcott et al., 2006; Munoz et al., 2006; Saxena et al., 2006; Lyssenko et al., 2007).
21
Gambar 4. Gambaran skematik petanda WNT/TCF (Sumber Balasubramanyam, 2007) Pada gambar 4 dapat digambarkan secara skematik mengenai cara kerja gena TCF7L2. Dikeluarkannya Wingless-type MMTV integration site family (WNT) oleh sel-sel adiposit akan berikatan dengan reseptor frizzled (FZD) dan lipoprotein receptor-related protein (LRP) yang akan menyebabkan tidak aktif kompleks AXIN, Disheveled (DVL) dan glycogen sinthase kinase-3B (GSK3B). Hal ini mengakibatkan non-phosphorylated β-catenin masuk ke nukleus dan berikatan dengan TCF7L2 sehingga mengaktifkan berbagai gena. Gena TCF7L2 dapat mengaktifkan protein khusus yang mempengaruhi sekresi insulin dan sensitifitas insulin. Protein TCF7L2 merupakan faktor transkripsi yang meregulasi gena proglucagon. Proglucagon adalah prekursor dari hormon
Glucagon like
peptide-1 (GLP-1) suatu hormon insulinotropik yang diproduksi oleh sel enteroendokrin. Polimorfisme TCF7L2 memegang peranan penting untuk
22
menurunkan sekresi dari GLP-1 dan akhirnya akan menyebabkan penurunan sekresi insulin (Balasubramanyam, 2007, Horikoshi et al., 2007). Pemeriksaan gena TCF7L2 diharapkan dapat memprediksi insiden dan laju awal (onset) DM tipe 2 (Silbernagel et al.,2011). Prediksi ini juga berlaku bagi riwayat keluarga yang positif, peningkatan indeks massa tubuh, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar trigliserida serum, apolipoprotein A1 dan enzimenzim hepar, yang secara keseluruhan termasuk dalam sindroma metabolik (Lyssenko et al.,2008). Meskipun dalam kenyataannya kekuatan prediksi varian gena TCF7L2 menghilang dengan modifikasi gaya hidup atau pemberian metformin. Sensitivitas insulin akan membaik dengan modifikasi gaya hidup atau pemberian metformin yang menghilangkan pengaruh varian TCF7L2 (Kitabchi et al.,2005). Hal ini menunjukkan bahwa kerentanan DM tipe 2 yang dipengaruhi oleh varian TCF7L2 membutuhkan tindakan intervensi awal dan pencegahan penyakit (Florez et al.,2006). Para peneliti mencoba mencari hubungan antara varian TCF7L2 sebagai penanda (marker) yang potensial untuk mencoba regimen terapi. Sebagai contoh, Dipeptydil peptidase-4 (DPP4) suatu peptidase yang mendegradasi hormon inkretin seperti GLP-1. Obat-obat yang termasuk dalam golongan DPP4 inhibitor bekerja meningkatkan peran inkretin dalam menstimulasi sekresi insulin dan menghambat pelepasan glucagon sehingga kadar glukosa darah menjadi normal. Jika pengaruh negatif sekresi insulin bisa dibuktikan oleh adanya kelainan yang diakibatkan oleh varian gena TCF7L2 yang menyebabkan DM tipe 2, maka pemberian DPP4 inhibitor dapat sebagai alternatif terapi untuk menjaga keseimbangan dan pengaruh
23
negatif dari varian TCF7L2 terhadap kadar inkretin (Deacon et al.,2008). Penelitian polimorfisme gena TCF7L2 yang dihubungkan dengan respon yang bervariasi terhadap terapi sulfonilurea, namun hasil penelitian ini belum dapat dijadikan panduan pengobatan (Pearson et al.,2007; Schroener et al., 2011).
G. Gena FTO Protein Fat mass and obesity-associated (FTO) juga dikenal sebagai alphaketoglutarate-dependent dioxygenase. Protein FTO adalah sebuah enzim pada manusia yang dikode oleh gena FTO yang berlokasi di kromosom 16. Varian tertentu dari gena FTO berkaitan erat dengan obesitas pada manusia (Dina et al., 2007; Frayling et al., 2007; Stratigopolulos et al., 2008). Protein FTO merupakan anggota dari superfamili dioksigenase non-heme. Protein FTO mengkatalisis Fe(II)dan 2 oksoglutarat (OG)-dependent demetilasi dari 3-metilthymine pada untaian tunggal DNA. Peranannya pada demetilasi asam nukleat dan ekspresi yang tinggi FTO pada beberapa nukleus di hipothalamus maka diduga FTO berhubungan dengan pengaturan status feeding dan fasting. Protein FTO berhubungan dengan status demetilasi gena-gena yang mengatur keseimbangan energi (Gerken et al.,2008). Gena FTO diekspresikan secara luas pada jaringan fetus dan dewasa, khususnya diekspresikan yang tinggi di hipothalamus dan kelenjar pankreas. (Frayling et al., 2007). Gena FTO merupakan gena yang besar yang memiliki 9 ekson dan lebih dari 400 kb pada kromosom 16 di posisi 12.2 (Gambar 5). Polimorfisme nukleotida tunggal yang sudah teridentifikasi berada pada intron
24
pertama dari gena, dimana terdapat lebih kurang 40 polimorfisme nukleotida tunggal yang telah diteliti berhubungan dengan populasi Kaukasian (Loos & Bouchard, 2008). Penelitian pertama telah dilaporkan Frayling et al. yang mengidentifikasi FTO melalui penelitian genome-wide association terhadap DM tipe 2. Sejumlah polimorfisme nukleotida tunggal di intron pertama FTO menunjukkan hubungan yang bermakna dengan DM tipe 2. Tetapi setelah dilakukan penyesuaian terhadap indeks massa tubuh (IMT), hubungan terhadap DM tipe 2 menjadi tidak bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan FTO dan DM tipe 2 diperantarai oleh IMT (Frayling et al., 2007). Penelitian kedua dilaporkan oleh Scuteri et al. menunjukkan bahwa varian FTO berhubungan bermakna dengan obesitas pada orang kulit putih Amerika dan Hispanik Amerika (Scuteri et al., 2007).
Gambar 5. Gena FTO berlokasi di kromosom 16 lengan panjang (q) pada 12.2 (Sumber Genetic Home Reference)
posisi
Saat ini telah banyak ditemukan polimorfisme nukleotida tunggal gena FTO terutama terhadap obesitas. Terdapat 19 SNP yang ditemukan pada polimorfisme gena FTO. Varian polimorfisme rs 9939609 gena FTO mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap kejadian obesitas dengan OR 1,43 (Chang et al.,2008).
25
Polimorfisme rs 9939609 yang kemungkinan besar mempengaruhi ekspresi mRNA gena FTO pada pusat pengaturan energi di hipotalamus (Gerken et al.,2008). Adanya polimorfisme pada gena FTO akan menurunkan ekspresi gena-gena tersebut sehingga berpengaruh pada adipositas (Andreasen et al., 2008), resistensi insulin dan pengaturan berat badan termasuk asupan energi (Speakman et al.,2008). Beberapa pertimbangan sebelum aplikasi klinik dari pemeriksaan varian gena FTO ialah perlunya dijelaskan hubungan antara FTO dan obesitas. Satu studi menunjukkan bahwa terjadinya mutasi FTO pada manusia dapat menyebabkan pertumbuhan lambat setelah lahir, mikrocephali, kelambatan psikomotor yang berat, defisit otak fungsional, dismorfi fasial dan kematian dini. Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa inhibisi FTO secara farmakologik untuk mencegah obesitas dapat menyebabkan reaksi-reaksi yang tidak diinginkan (Boissel et al.,2009). Hubungan aktifitas demetilasi FTO dan obesitas belum terungkap dengan jelas. Sangat mungkin FTO berperan khusus di hipothalamus sebagai aktifitas katalitik, sehingga hambatan secara farmakologik tidak berguna. Selain itu masih ada kemungkinan bahwa efek sebenarnya secara in vivo dari FTO belum dapat dijelaskan. Sejak diet dan perubahan gaya hidup mengurangi efek predesposisi genetik obesitas akibat keberadaan varian FTO, pemeriksaan gena FTO dapat mendorong penerapan diet dan perubahan gaya hidup untuk mencegah obesitas dan meningkatkan kesehatan secara keseluruhan (Ahmad et al., 2011).
26
H. KERANGKA TEORI FTO
IRS1, PPARG
Obesitas
Resistensi Insulin bukan Karena Obesitas
Defek jaringan target : Defek reseptor insulin Defek post reseptor
CDKAL1, CDKN2A, CDKN2B
Massa sel beta menurun
MTNR1B, TCF7L2, KCNJ11
Disfungsi sel beta
Kelainan produk sel β pancreas : Kelainan molekul insulin Konversi inkomplit pro insulin - insulin
SEKRESI INSULIN MENURUN
RESISTENSI INSULIN
Antagonis insulin di sirkulasi : ↑ hormon kontra insulin ↑ asam lemak bebas Anti bodi-anti insulin Anti bodi – reseptor anti insulin Resistin Sitokin (TNFα, IL-6)
PREDISPOSISI DM TIPE 2
Gambar 6. Kerangka Teori Penelitian (Sumber Courtney, 2003; Zeggina, 2007; Mc Carthy, 2010)
27
I. KERANGKA KONSEP
Polimorfisme TCF7L2
Polimorfisme FTO
Glucagon like peptide 1 ↓ ( GLP-1 )
Obesitas
DM tipe 2
Gambar 7. Kerangka Konsep Penelitian
28
J. LANDASAN HIPOTESIS 1. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi patogenesis DM tipe 2 adalah faktor individu / genetik etnik, faktor kerusakan fungsi sel beta pankreas dan faktor resistensi insulin. 2. Polimorfisme gena TCF7L2 berhubungan erat dengan kejadian DM tipe 2 pada berbagai etnik di dunia. 3. Polimorfisme gena FTO merupakan gena yang berhubungan dengan obesitas dan risiko DM tipe 2. 4. Gena TCF7L2 akan menghasilkan protein TCF7L2 yang merupakan faktor transkripsi yang meregulasi gena proglucagon. Proglucagon adalah prekursor dari GLP-1. Hormon GLP-1 ini yang akan memicu sel beta pankreas mengeluarkan insulin. 5. Varian gena FTO sangat berpengaruh pada obesitas yang berkaitan erat dengan resistensi insulin. K. HIPOTESIS 1. Frekuensi polimorfisme gena TCF7L2 dan gena FTO pada subyek DM tipe 2 obes lebih tinggi dibandingkan dengan subyek non DM obes etnik Jawa . 2. Terdapat hubungan antara polimorfisme gena TCF7L2 dan gena FTO dengan kondisi klinis DM tipe 2 obes pada etnik Jawa . 3. Kadar GLP-1 subyek DM tipe 2 obes polimorfisme gena TCF7L2 lebih rendah dibandingkan dengan subyek non DM obes.
29
4. Sekresi insulin subyek DM tipe 2 obes dengan polimorfisme gena TCF7L2 lebih rendah dibandingkan dengan subyek DM tipe 2 obes tanpa polimorfisme gena TCF7L2. 5. Resistensi insulin subyek DM tipe 2 obes dengan polimorfisme gena FTO lebih tinggi dibandingkan dengan subyek DM tipe 2 obes tanpa polimorfisme gena FTO.
30
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian analitik menggunakan pendekatan molekuler dengan desain penelitian studi kasus kontrol (case control). Data yang diperoleh dibandingkan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol.
B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilakukan di Klinik Penyakit Dalam RSUD Prof Margono Soekarjo Purwokerto. Isolasi DNA, analisis laboratorium, analisis DNA dan pemotongan enzim dilakukan di Laboratorium Biokimia FK UGM dan Laboratorium Riset Terpadu Unsoed. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai dengan Desember 2014.
C. Populasi dan sampel Populasi target pada penelitian ini adalah pasien DM obes. Sedangkan populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien DM obes yang kontrol di Klinik Penyakit Dalam RSUD Prof. Margono Soekarjo Purwokerto dalam bulan April 2012 sampai Desember 2014. Besar sampel ditentukan dengan rumus besar sampel untuk studi kasus kontrol (Madiyono et al., 2008).
31
n= besar sampel n1=n2= (Zα√2PQ + Zβ√P1Q1+P2Q2)2 (P1-P2)2
Zα= tingkat kemaknaan (1,64) Zβ= power (0,842) P= ½(P1+P2)
Q=1-P
P1= proporsi efek pada kelompok kasus P2= perkiraan proporsi efek pada kontrol (0,147) Q2= 1- 0,147=0,85 OR= odds ratio minimal yang dianggap bermakna ditetapkan 2,5 OR = P1 ( 1 - P2 ) P2 ( 1 - P1 )
2,5 = P1 ( 1 – 0,147 ) 0,147 ( 1 - P1 )
P1 = 0,37 1,22 = 0,30 Q1 = 1-P1 = 1-0,30=0,70 P1 – P2 = 0,30-0,147 = 0,15 P =1/2 ( P1+ P2) = ½ (0,30 + 0,147) = 0,23 Q = 1 – P = 1 – 0,23 = 0,77 n1=n2= (Zα√2PQ + Zβ√P1Q1+P2Q2)2 (P1-P2)2 n1=n2= (1,64√2 x 0,23 x 0,77 + 0,84 √(0,3 x 0,7)+(0,147 x 0,85))2 (0.15)2
= 93
32
Berdasarkan perhitungan melalui rumus tersebut, maka jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 93 pasien DM obes, sedangkan kontrol orang non DM obes sebanyak 93 individu. Teknik sampling yang digunakan adalah consecutive sampling secara kuota karena sampel pada penelitian ini termasuk sampel nonprobabilitas (Lemeshow et al., 1997). Jadi, subyek penelitian dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitian dan memenuhi kriteria inklusi-eksklusi. Kriteria inklusi kelompok kasus : 1. Pengidap DM tipe 2 2. Usia ≥ 35-60 tahun 3. IMT ≥ 25 kg/m2 4. Etnis Jawa 5. Food recall diet 2 hari 1500-2000 kalori 6. Bersedia menjadi subyek penelitian Kriteria eksklusi kelompok kasus : 1.
Pengidap DM tipe 2 yang hanya menggunakan terapi insulin
Kriteria inklusi kelompok kontrol : 1. Usia ≥ 35-60 tahun 2. IMT ≥ 25 kg/m2 3. Etnis Jawa 4. Food recall diet 2 hari 1500-2000 kalori 5. Bersedia menjadi subyek penelitian Kriteria eksklusi kelompok kontrol : 1. Pengidap DM tipe 2
Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan Keterangan kelaikan etik (Ethical Clearance) dari Komisi Etik Penelitian Kedokteran Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada.
33
D. Variabel Variabel bebas : 1. Polimorfisme gena TCF7L2 2. Polimorfisme gena FTO
Variabel terikat : 1. Diabetes tipe 2 obes
E.
Definisi Operasional :
a. Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat defek dalam sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. b. Diabetes Melitus tipe 2 adalah salah satu kelas penyakit diabetes mellitus mempunyai ciri khas resistensi insulin yang dominan dengan defisiensi insulin relatif sampai defek sekresi insulin yang dominan. Kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl, 2 jam pp ≥ 200 mg/dl. c. Polimorfisme (harfiahnya adalah banyak bentuk) adalah paling tidak ada 2 allel yang biasa/lazim dalam 1 lokus atau allel yang lazim ini frekuensinya di atas 1 % dari kromosom pada populasi umum. d. Obesitas adalah suatu keadaan akibat penimbunan jaringan lemak tubuh yang berlebihan yang diukur dengan IMT ≥ 25 kg/m2. e. Gena Transcription factor 7 like 2 (TCF7L2) adalah gena TCF7L2 yang berlokasi di kromosom 10q25.3 f. Gena Fat mass obesity associated (FTO) adalah gena FTO yang berlokasi di kromosom 16q12.2
34
g. Glucagon like peptide-1 (GLP-1) adalah suatu peptida yang dihasilkan sel L intestinal yang merupakan hormon inkretin sebagai prekursor sel beta pankreas untuk memproduksi insulin. h. Homeostatic model assessment β (HOMA β) adalah suatu metoda yang digunakan untuk mengukur fungsi sel beta pankreas. Pada penelitian ini 20 x insulin puasa mU/L menggunakan rumus perhitungan HOMA β = glukosa puasa(mmol/L) – 3,5 % i.
Homeostatic model assessment insulin resistance (HOMA IR) adalah suatu metoda untuk mengukur resistensi insulin. Pada penelitian ini menggunakan rumus perhitungan HOMA IR = glukosa puasa (mmol/L) x insulin puasa mU/L 22,5
j. Kondisi klinis adalah keadaan klinis pengidap berdasarkan pemeriksaaan fisik (tekanan darah) dan hasil pemeriksaan laboratorium (kadar glukosa darah puasa, HbA1c, kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL, trigliserida). k. Penentuan etnis Jawa dilakukan dengan menanyakan kepada subyek tentang silsilah keluarga sejak minimal 3 generasi diatasnya (ayah/ibu, kakek/nenek, kakek/nenek buyut) berasal dari suku Jawa dan tidak ada campuran perkawinan dari suku lain.
F. Jalannya Penelitian Jalannya penelitian adalah sebagai berikut : 1. Permohonan ethical clearence kepada Komisi Etik Penelitian Kedokteran Kesehatan FK UGM. 2. Koordinasi dengan RSUD Margono Soekarjo Purwokerto dan Laboratorium Biokimia FK Unsoed dan Laboratorium Terpadu Unsoed Purwokerto.
35
3. Memberi penjelasan kepada subjek tentang persiapan dan pelaksanaan penelitian dan mendapat kesempatan bertanya tentang penelitian ini 4. Setelah subjek mendapat penjelasan dan menanda tangani informed consent, terhadap seluruh subjek dilakukan wawancara untuk melengkapi data yang diperlukan. 5. Dilakukan pemeriksaan fisik (tekanan darah) dan antropometri (tinggi badan dan berat badan). 6. Dilakukan pemeriksaan darah untuk diperiksa isolasi DNA dan kimia darah. 7. Kedua kelompok, baik kelompok kasus dan kontrol diambil darahnya menggunakan tabung vacutainer yaitu sebanyak 3 ml darah ke dalam tabung EDTA 3 ml untuk isolasi DNA, 3 ml darah ke dalam tabung EDTA 3 ml untuk pemeriksaan HbA1c, 3 ml darah ke dalam tabung EDTA 3 ml untuk pemeriksaan GLP-1, 3 ml darah ke dalam tabung NaF 3 ml untuk pemeriksaan glukosa puasa serta 5 ml darah ke dalam tabung plain tanpa aditif 5 ml untuk pemeriksaan kimia darah. 8.
Darah EDTA untuk pemeriksaan GLP-1 disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit, kemudian plasma EDTA dipisahkan dan dibekukan pada -20oC dan digunakan untuk pemeriksaan GLP-1. Darah NaF untuk pemeriksaan glukosa disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit, kemudian plasma NaF dipisahkan dan digunakan untuk pemeriksaan glukosa puasa. Sedangkan darah untuk pemeriksaan kimia darah didiamkan hingga beku selama 45-60 menit kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm
36
selama 15 menit, kemudian serum dipisahkan dan digunakan untuk pemeriksaan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol HDL serta insulin. 9. Pemeriksaan kadar glukosa darah dengan metode heksokinase. a. Prinsip dasar : Heksokinase (HK) mengkatalisa phosphorylation dari glukosa dengan ATP untuk membentuk glucose-6-phosphate. Glucose-6phospate dehydrogenase mengoksidasi glucose-6-phosphate dengan adanya NADP menjadi gluconate-6-phospahte. Karbohidrat lain tidak dioksidasi. Kecepatan pembentukan NADPH sebanding dengan konsentrasi glukosa dan terukur secara photometric pada panjang gelombang 700/340 nm. b. Komponen dan konsentrasi pereaksi R1 =
R2 =
TRIS buffer
100 mmol/l
pH
7,8
Mg2+
4 mmol/l
ATP
≥ 1,7 mmol/l
NADP
≥ 1,0 mmol/l
HEPES buffer
30 mmol/l
pH
7,0
Mg2+
4 mmol/l
HK (yeast)
≥ 130 μkat/l
G-6-PDH (E.coli)
≥ 250 μkat/l
37
c. Cara kerja : 1. Cara kalibrasi dan pengerjaan kontrol dilakukan sesuai prosedur yang dipakai di laboratorium klinik 2. Pemeriksaan sampel : Sesudah hasil kalibrasi dan control memenuhi syarat, lakukan pemeriksaan sampel dengan alat full-automatic. a. Pipet 100 μl sampel ke dalam sampel cup b. Letakkan pada rak sampel alat terkait c. Kerjakan sampel sesuai instruksi kerja alat otomatis. 3. Kadar glukosa dihitung dengan rumus :
mg Abs.sampel Abs.blanko Glukosa xkonsentrasi.s tan dar dL Abs.s tan dar Abs.blanko 9. Pemeriksaan kadar trigliserida darah dengan metode glycerol phosphate dehydrogenase (GPO-PAP method). a. Prinsip dasar : trigliserida dihidrolisis oleh lipoprotein lipase menghasilkan gliserol dan asam lemak. Gliserol difosforilasi dengan katalisator gliserol kinase membentuk gliserol-3-fosfat yang dioksidasi dengan katalisator gliserofosfatoksidase menghasilkan dihidroksi asetonfosfat dan hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida bereaksi dengan PAP dan 4-klorofenol membentuk
quinoneimin
(kuning-coklat)
yang
intensitas
sebanding dengan trigliserida dalam sampel. b. Komponen dan konsentrasi pereaksi 1. PIPES buffer Ph 7,5 2. 4-klorofenol
50 mmol/l 5 mmol/l
warnanya
38
3. 4-aminoantipirin
0,25 mmol/l
4. Mg2+
4,5 mmol/l
5. ATP
2 mmol/l
6. Lipase
≥ 1,3 U/ml
7. Peroksidase
≥ 0,5 U/ml
8. Gliserol kinase
≥ 0,4 U/ml
9. Gliserol-3fosfat-oksidase
≥ 1,5 U/ml
10. Standar
200 mg/dl (2,28 mmol/l)
c. Cara kerja : 1. Sebanyak 10 µL blanko, standar
dan sampel, masing-masing
dimasukkan ke dalam tabung reaksi terpisah, kemudian ditambah 1 ml reagen. 2. Masing-masing larutan dicampur, kemudian diinkubasi selama 10 menit pada suhu 20-250C atau selama 5 menit pada suhu kamar. 3. Absorbansi dibaca pada λ 500 nm dalam waktu kurang dari 60 menit. d. Perhitungan
mg Abs.sampel Abs.blanko Trigliserida xkonsentrasi.s tan dar dL Abs.s tan dar Abs.blanko 11. Pemeriksaan kadar kolesterol total darah dengan metode cholesterol oxydasep-amino phenozone (CHOD-PAP method). a. Prinsip dasar : ester kolesterol dihidrolisis oleh enzim kolesterol esterase membebaskan kolesterol dan asam lemak. Kolesterol dioksidasi dengan katalisator kolesterol-oksidase membebaskan hidrogen peroksida yang akan bereaksi dengan PAP dan fenol membentuk quinoneimin (kuning-
39
coklat) yang intensitas warnanya sebanding dengan konsentrasi kolesterol dalam sampel. b. Komponen dan konsentrasi pereaksi : 1. Buffer fosfat pH 6,5
100 mmol/l
2. 4-aminophenazone
0,25 mmol/l
3. Fenol
5 mmol/l
4. Kolesterol esterase
≥ 150 U/l
5. Kolesterol oksidase
≥ 100 U/ l
6. Peroksidase
≥ 5 KU/l
7. Sodium azide
0,05%
8. Standar kolesterol
200 mg/dl (5,17 mmol/l)
c. Cara kerja : 1. Sebanyak 10 µL blanko (akuabides), standar dan sampel, masingmasing dimasukkan ke dalam tabung reaksi terpisah, kemudian ditambah 1 ml reagen. 2. Masing-masing larutan dicampur, kemudian diinkubasi selama 10 menit pada suhu 20-250C atau selama 5 menit pada suhu kamar. 3. Absorbansi dibaca pada λ 500 nm dalam waktu kurang dari 60 menit 4. Perhitungan :
mg Abs.sampel Abs.blanko Kolesterol xkonsentrasi.s tan dar dL Abs.s tan dar Abs.blanko 12. Pemeriksaan kadar kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) a. Prinsip dasar : kilomikron, VLDL dan LDL diendapkan dengan asam fosfotungstat dan ion Mg kemudian disentrifuge. HDL dalam supernatan
40
dipisahkan dan direaksikan dengan pereaksi kolesterol kit (prinsip reaksinya sama dengan kolesterol). b. Komponen dan konsentrasi pereaksi : 1. Pereaksi pengendap : asam fosfotungstat 0,55 mmol/l dan magnesium klorida 25 mmol/l. 2. Pereaksi kolesterol 3. Standar HDL 50 mg/dL atau 1,29 mmol/l. c. Cara kerja : 1. Presipitasi Serum sebanyak 200 µl dan pereaksi pengendap sebanyak 500 µl dicampur dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu kamar, kemudian disentrifuge selama 2 menit pada 10000 g. Setelah disentrifugasi, supernatan dipindahkan dari presipitasi dan didiamkan selama 1 jam sebelum dilakukan pengukuran kadar kolesterol. 2. Pengukuran kolesterol Sebanyak 100 µl akuades, 100 µl larutan standar (kolesterol) dan 100 µl HDL supernatan dimasukkan dalam tabung reaksi terpisah, masingmasing sebagai blanko,standar dan sampel kemudian ditambahkan 1000 µl pereaksi ke dalam larutan. Masing-masing larutan dicampur dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu 370C kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm dalam waktu kurang dari 60 menit.
41
13. Pengukuran kadar kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) Konsentrasi LDL ditentukan secara tidak langsung dan dihitung dari konsentrasi kolesterol total (TC), konsentrasi HDL kolesterol (HDLc) dan konsentrasi trigliserida (TG) dengan rumus :
LDL TC HDLc
TG mmol 2,2 L
atau
LDL TC HDLc
TG mg 5 dL
14. Pemeriksaan kadar HbA1C dengan alat VARIANT II Biorad a. Prinsip dasar : Ion-exchange high performance liquid chromatography (HPLC). Sampel secara otomatis tercampur dan terdilusi dalam Variant II Sampling station dan diinjeksi ke dalam analytical cartridge. Variant II Chromatographic station (VCS) dual pumps akan membawa buffer gradient dari peningkatan kekuatan ion terprogram pada cartridge, dimana hemoglobin kemudian melewati flow cell dari filter fotometer, dimana perubahan absorbansi pada 415 nm diukur. Tambahan filter pada 690 nm digunakan untuk mengkoreksi absorbansi. b. Pereaksi 1. Whole blood primer, mengandung sel darah merah manusia liofilik yang dihemolisis dengan gentamisin, tobramisin dan EDTA sebagai pengawet. Volume larutan adalah 1.0 ml per vial. 2. Elution Buffer A.Tiap botol mengandung 2500 ml Bis-Tris/fosfat buffer, ph 6.0 mengandung < 0.05% sodium azide sebagai pengawet.
42
3. Elution Buffer B. Tiap botol mengandung 2500 ml Bis-Tris/fosfat buffer, ph 6.7 mengandung < 0.05% sodium azide sebagai pengawet. 4. Wash/Diluent Solution. Mengandung Tiap botol mengandung 2500 ml air deionisasi dengan < 0.05% sodium azide sebagai pengawet. 5. Analytical cartridge. Cation exchange cartridge. 6. CD ROM dengan program HbA1c 7. Calibrator/Diluent set. Satu set terdiri atas 2 vial kalibrator level 1, 2 vial kalibrator level 2 dan 1 botol calibrator diluent. 8. Sampel vial. 100 vial polipropilen dengan tutup 1.5 ml c. Cara kerja 1. Install program New Reorder Pack Lot (update kit CDROM) 2. Injeksi sampel ke dalam alat. 3. Cara kerja seperti pada prinsip dasar. 15. Pemeriksaan Insulin dengan metode two-site immunoassay menggunakan direct chemiluminescent technology dari Bayer dengan alat ADVIA Centaur. a. Prinsip dasar: two-site immunoassay mengunakan 2 buah antibodi. Antibodi pertama, dalam Lite reagent, merupakan antibodi anti-insulin monoklonal tikus berlabel. Antibodi ke dua, dalam Solid Phase, yang merupakan antibodi anti-insulin monoklonal tikus yang berpasangan secara kovalen dengan partikel paramagnetik. Hubungan langsung yang terjadi antara keberadaaan insulin yang terdapat pada sampel pasien dan jumlah relative light units (RLUs) dideteksi oleh sistem.
43
b. Pereaksi : 1. 1 pak reagen primer mengandung ADVIA centaur, 100 tes. 2. IRI Lite reagent dan Solid Phase 3. ADVIA centaur IRI master curve card 4. IRI calibrator, terdiri atas 2 vial kalibrator rendah dan tinggi. 5. ADVIA Centaur IRI Diluent, 2 pak reagen, terdiri atas 10 ml/pak. 6. IRI Diluent, 20 ml/vial. 7. Material quality control Ligand Plus 1, 2, 3 8. Label barcode Ligand Plus 1, 2, 3 9. IRI master curve material c. Cara kerja : 1. Sistem secara otomatis melakukan langkah sebagai berikut : a. Memasukkan 25 l sampel ke dalam kuvet b. Memasukkan 50 l Lite Reagent dan inkubasi selama 5 menit pada 37oC c. Memasukkan 250 l Solid Phase dan inkubasi selama 2.5 menit pada 37oC d. Pisahkan, sedot dan cuci kuvet menggunakan reagent water. e. Memasukkan 300 l masing-masing Acid reagent dan Base reagent untuk memulai reaksi chemiluminescent f. Laporan hasil berdasarkan pilihan pada system operating instructions.
44
g. Hubungan langsung yang terjadi antara keberadaaan insulin yang terdapat pada sampel pasien dan jumlah relative light units (RLUs) dideteksi oleh sistem. 16. Pemeriksaan Glucagon like peptide-1 (GLP-1) dengan metode Enzyme Immunoassay (EIA) dari Biovendor Research and Diagnostic Product, no. katalog RSCYK160R. a. Prinsip dasar : kit EIA ini untuk penentuan tikus / manusia GLP-1 dalam sampel plasma berdasarkan enzim kompetitif immunoassay dengan menggunakan kombinasi dari antibodi yang sangat spesifik GLP-1 (7-36) amida GLP dengan sistem afinitas biotin- avidin. Tersedia 96 tabung plat dilapisi dengan IgG kelinci anti antibodi kambing. Standar GLP-1 atau sampel, labeled antigen dan antibodi GLP-1 ditambahkan ke tabung tersebut untuk immunoreaksi kompetitif. Setelah inkubasi dan pencucian piring,
HRP
labeled
streptoavidin
(SA-HRP)
ditambahkan
untuk
membentuk HRP labeled streptoavidin-biotinylated GLP-1 antibody komplex pada permukaan tabung. Akhirnya, aktivitas enzim HRP ditentukan oleh phenylenediamine dihydrochloride (OPD) dan dihitung konsentrasi GLP-1. b. Pereaksi : 1. Antibody coated plate
1 plate (96 tabungs)
2. GLP-1 standar
25 ng
3. Labeled antigen (biotinylated GLP-1 (7-36) amide)
1 vial
4. GLP-1 antibody
6 ml
45
5. Larutan SA-HRP
0,2 ml
6. Diluent untuk SA-HRP
12 ml
7. Buffer substrat (0,015% hydrogen peroksidase)
26 ml
8. Tablet O-phenylenediamine hydrochloride (OPD)
2 tab
9. Larutan 2 NH2SO4
12 ml
10. Konsentrat salin
50 ml
11. Kertas timah berperekat
3 lembar
c. Cara kerja : 1. Persiapan a. Persiapan larutan standar: Menyusun kembali standar GLP-1 dengan 0,5 ml larutan buffer, yang affords 50 ng / ml larutan standar. The 0,1 ml dari larutan standar dilarutkan dengan 0,2 ml diencerkan dengan larutan buffer yang menghasilkan 16,67 ng / ml larutan standar. Ulangi pengenceran yang sama untuk membuat setiap standar 5,556 1,852, 0,617, 0,206 ng / ml. Penyangga solusi digunakan sebagai 0 ng/ml. b. Persiapan labeled antigen: Menyusun kembali labeled antigen dengan 6 ml air suling. c. Persiapan HRP SA-solusi Tambahkan 120μL SA-HRP ke dalam botol pengencer untuk SAHRP dan aduk rata. d. Persiapan larutan substrat: Larutkan tablet OPD dengan 12 ml substrat buffer. Ini harus disiapkan segera sebelum digunakan.
46
e. Persiapan larutan pencuci: Encerkan 50 ml larutan pencuci (pekat) untuk 1000 ml dengan atau di de-ionisasi air suling. f. Reagen lainnya siap untuk digunakan. 2. Prosedur a. Sebelum memulai pengujian membawa semua reagen dan sampel ke suhu kamar. b. Tambahkan 0,35 ml/tabung larutan pencuci ke dalam tabung dan aspirasi cairan pencuci di tabung. Ulangi prosedur pencuci ini dua kali (total 3 kali). c. Isi 40μl larutan labeled antigen ke dalam tabung pertama, kemudian memasukkan 30μL dari masing-masing larutan standar (0, 0,206, 0,617, 1,852, 5,556, 16,67, 50ng/ml) atau sampel dan akhirnya menambah 40μL GLP-1 antibodi ke dalam tabung. d. Tutup piring dengan kertas timah berperekat dan dihangatkan pada suhu 4ºC malam hari selama 16 - 18 jam. (Masih, tidak perlu pinggan pengocok) e. Lepaskan kertas timah berperekat, aspirasi cairan dalam tabung dan cuci tabung 4 kali dengan kira-kira 0,35 ml / tabung larutan pencuci. f. Tambahkan 120μl SA-HRP ke dalam botol pengencer untuk SAHRP dan aduk rata. g. Pipet 100μl SA-HRP larutan ke dalam tabung.
47
h. Tutup piring dengan kertas timah berperekat dan hangatkan pada suhu kamar (20 - 30ºC) selama 1 jam. Selama inkubasi, piring harus dikocok dengan menggunakan pinggan pengocok. i. Menyelesaikan tablet OPD dengan 12 ml substrat buffer. Ini harus disiapkan segera sebelum digunakan. j. Lepaskan kertas timah berperekat, aspirasi dan cuci tabung 5 kali dengan sekitar 0,35 ml / tabung larutan pencuci. k. Tambahkan larutan substrat 100μl ke dalam tabung, menutupi pelat dengan kertas timah berperekat dan menghangatkan selama 30 menit pada suhu kamar. l. Tambahkan 100μl untuk menghentikan larutan ke dalam tabung untuk menghentikan reaksi. m. Baca absorbansi optik dari tabung di 492 nm. Hitung rata-rata nilai absorbansi tabung yang mengandung standar dan plot kurva standar pada kertas grafik semilog (absis: konsentrasi standar; ordinat: absorbansi nilai). Gunakan kurva standar untuk membaca GLP-1 konsentrasi dalam sampel dari absorbansi yang sesuai nilai-nilai. 17. Pemeriksaan Polimorfisme gena TCF7L2 dan gena FTO A. Isolasi DNA dengan metode Guanidin Isothiocyanate 1. Reagensia untuk isolasi DNA terdiri dari : a. Erythrocyte lysis buffer (82 g NH4CL; 10 g KHCO3; 3,7 g EDTA dilarutkan dalam 1 L akuades, pH diatur dengan NaOH atau HCl hingga tercapai pH 7,4).
48
b. SE buffer 10x (43,8 g NaCl; 93 g EDTA dilarutkan dalam 1 L akuades). c. Guanidin Isothiocyanate 4 M d. NaCl 4 M e. Kloroform f. Etanol 70% g. TE buffer 1x (10 mM Tris HCl; 1 mM EDTA) 2. Alat : falcon tube 15 ml, tube 1,5 ml, mikropipet, tip, sentrifuge, kertas tissue. 3. Prosedur isolasi DNA : a. Sampel darah sebanyak 2-3 ml dalam tabung falcon 15 ml yang sudah berisi EDTA ditambah 1 x erythrocyte lysis buffer sampar 5 x pengenceran (8-12 ml), kemudian dikocok beberapa saat untuk mencampur larutan dan diletakkan dalam lemari es selama 20 menit. b. Campuran disentrifugasi pada 750 g selama 10 menit. Supernatan dibuang dan dinding tabung dibersihkan dengan cara membalik tabung falcon diatas kertas tissue kemudian ditambahkan SE buffer sebanyak 100 µl. c. Larutan dalam tabung dipindahkan sebanyak 1,5 ml, kemudian ditambahkan 100 µl guanidine isotiosianat 4 M dan dicampur dengan pipet.
49
d. Ke dalam larutan ditambahkan 700 µl kloroform dan 400 µl NaCl 4 M kemudian dikocok kuat dengan tangan. e. Larutan disentrifuge pada 10000 rpm selama 10 menit. Setelah disentrifuge akan terbentuk 3 lapisan. Lapisan paling atas berwarna transparan yang merupakan DNA. f. Lapisan paling atas dipindahkan ke dalam tabung baru dengan menggunakan pipet, ditambahkan larutan etanol sesuai dengan volume larutan DNA yang diambil, kemudian dikocok perlahan dengan tangan. DNA terlihat seperti kabut di dalam larutan. g. Larutan disentrifuge pada 10.000 rpm selama 2 menit. Setelah disentrifuge terbentuk pelet DNA. Supernatan dibuang dan ditambahkan 500 µl etanol 70%. Cairan yang tertinggal pada dinding tabung dibersihkan dengan kertas tissue. h. Pelet DNA dikeringkan pada suhu kamar selama 15 menit atau pada suhu 550C selama 4-5 menit, kemudian ditambahkan TE buffer 100-400 µl tergantung pada volume pellet DNA dan disimpan pada suhu 40C. 4. Pemeriksaan kemurnian dan kadar DNA. a. Kuvet dicuci dengan akuades. b. Dibuat dilusi: 2 µl DNA ditambah 98 µl akuades kemudian divortek. c. Diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm.
50
d. Hasil dibaca berupa absorbans, rasio DNA/protein, konsentrasi DNA (µg/ml), dan kadar protein (mg/ml).
B. Amplifikasi DNA untuk gena TCF7L2 1. Amplifikasi DNA untuk rs7903146 dengan : - Forward primer 5’-GAGAGCTAAGCACTTTTTAGGTA-3’ - Reverse primer 5’-CTGACATTGACTAAGTTACTTGC-3’ PCR : a. Campuran PCR : 10 mM Tris-HCl (pH 9), 50 mM KCl, 2,5 mM MgCl2, 100 µM dNTP, 0,6 mM primer , 0,3 U Easy taq DNA polymerase, 5 pmol primer dan 1 µl genomic DNA template. b. Kondisi temperatur siklus PCR : Denaturasi awal pada suhu 950C (15 menit) → denaturasi (35 siklus) pada suhu 950C (30 detik) →
anneling pada suhu 540C (30 detik) → ekstensi pada
suhu 720C (30 detik) → ekstensi akhir pada suhu 720C (5 menit). RFLP : Inkubasi pada suhu 370C selama 16 jam dengan enzim pemotong 1 U enzim restriksi Rsal. Alel C terpotong menjadi 2 fragmen 91 bp dan 22 bp. Alel T tidak terpotong 113 bp.
51
Elektroforesis Hasil digesti DNA oleh enzim restriksi Rsal dielektroforesis pada gel agarosa 3% yang divisualisasikan dengan etidium bromida. Elektroforesis selama 35 menit, 100 volt dan hasil pemotongan dilihat di bawah sinar ultraviolet (Marquezine et al 2008, Alsmadi et al, 2008). 2. Amplifikasi DNA untuk rs12255372 dengan : - Forward primer 5’-CCCAGGAATATCCAGGCAAGGAT-3’ - Reverse primer 5’-CAAATGGAGGCTGAATCTGGCA-3’ PCR : c. Campuran PCR : 10 mM Tris-HCl (pH 9), 50 mM KCl, 2,5 mM MgCl2, 100 µM dNTP, 0,6 mM primer , 0,3 U Easy taq DNA polymerase, 5 pmol primer dan 1 µl genomic DNA template. d. Kondisi temperatur siklus PCR : Denaturasi awal pada suhu 950C (15 menit) → denaturasi (35 siklus) pada suhu 940C (30 detik) →
anneling pada suhu 540C (30 detik) → ekstensi pada
suhu 720C (30 detik) → ekstensi akhir pada suhu 720C (5 menit). RFLP : Inkubasi pada suhu 370C selama 16 jam dengan enzim pemotong 1 U enzim restriksi BseGl.Produk PCR sebesar 118 bp. Alel G
52
terpotong menjadi 2 fragmen 92 bp dan 26 bp. Alel T tidak terpotong 118 bp. Elektroforesis Hasil digesti DNA oleh enzim restriksi Rsal dielektroforesis pada gel agarosa 3% yang divisualisasikan dengan etidium bromida. Elektroforesis selama 35 menit, 100 volt dan hasil pemotongan dilihat di bawah sinar ultraviolet (Marquezine et al 2008, Alsmadi et al, 2008). C. Amplikasi DNA untuk gena FTO Amplifikasi DNA untuk rs 9939609 dengan : - Forward primer 5’-GGTTCCTTGCGACTGCTGTGAAATT-3’ - Reverse primer 3’-GCTTTTATGCTCTCCCACTC-3’ PCR : a. Campuran PCR : 2 µL DNA genom ditambah 15 µL PCR master mix, 11 µl H2O dan 2 µl primer mix sehingga volume totalnya 30 µl. b. Kondisi temperatur siklus PCR : Denaturasi awal pada suhu 950C (5 menit) → denaturasi (34 siklus) pada suhu 940C (30 detik) → anneling pada suhu 540C (30 detik) → ekstensi pada suhu 710C (30 detik) → ekstensi pada suhu 710C (30 detik) → ekstensi akhir pada suhu 720C (5 menit).
53
RFLP Inkubasi pada suhu 370C selam 16 jam dengan enzim pemotong Apo1 : Alel T terpotong 2 fragmen 85 bp dan 20 bp, Alel A tidak terpotong 105 bp (angka keberhasilan 98,4%)(Legry, 2008). Elektroforesis Hasil digesti DNA oleh enzim restriksi Apo1 dielektroforesis pada gel agarosa 3% yang divisualisasikan dengan etidium bromida. Elektroforesis selama 35 menit, 100 volt dan hasil pemotongan dilihat di bawah sinar ultraviolet. Alel T (wild type) terpotong 2 fragmen 85 bp dan 20 bp Alel A (mutan) tidak terpotong 105 bp.
54
Populasi Target
Populasi Terjangkau Kriteria Inklusi & Eksklusi Anamnesis & Informed consent
Pengambilan sampel darah
Isolasi DNA & PCR
Pemeriksaan fisik & Antropometri
Pemeriksaan Laboratorium : Glukosa darah puasa HbA1C Kolesterol Total Kolesterol HDL Kolesterol LDL Trigliserida Insulin GLP-1
Koleksi dan Analisis Data Gambar 8. Alur penelitian
55
G. Analisis Statistik G.1. Analisis Data Hipotesis Pertama Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk mengetahui karakteristik subyek penelitian. Uji chi-square digunakan untuk mengetahui perbedaan polimorfisme kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Besarnya faktor risiko diukur dengan
Odds Ratio (OR). Hasil
pengujian dibandingkan dengan nilai p<0,05 dianggap bermakna dan interval kepercayaan 95%. G.2. Analisis Data Hipotesis Kedua Analisis yang digunakan pada hipotesis kedua dengan menggunakan uji t tidak berpasangan dan one way ANOVA untuk menganalisis hubungan beberapa variabel bebas dengan sebuah variabel terikat kategorik yang bersifat dikotom dan polikotom. Syarat uji t tidak berpasangan adalah distribusi data harus normal. Jika memenuhi syarat (data berdistribusi normal) maka digunakan uji t tidak berpasangan. Jika tidak memenuhi syarat (data tidak berdistribusi normal) dilakukan transformasi data terlebih dahulu. Jika variabel baru hasil transformasi berdistribusi normal digunakan uji t tidak berpasangan. Jika variabel baru hasil transformasi tidak berdistribusi normal , maka digunakan uji Mann-Whitney. Tingkat kemaknaan yang digunakan adalah p < 0,05. G.3. Analisis Data Hipotesis Ketiga Analisis yang digunakan dengan uji t tidak berpasangan. Syarat uji t tidak berpasangan adalah distribusi data harus normal. Jika memenuhi syarat (data berdistribusi normal) maka digunakan uji t tidak berpasangan. Jika tidak memenuhi syarat (data tidak berdistribusi normal) dilakukan transformasi data terlebih dahulu. Jika variabel baru hasil transformasi berdistribusi normal digunakan uji t tidak berpasangan. Jika variabel baru hasil transformasi tidak
56
berdistribusi normal , maka digunakan uji Mann-Whitney. Tingkat kemaknaan yang digunakan adalah p < 0,05. G.4. Analisis Data Hipotesis Keeempat Analisis yang digunakan dengan uji t tidak berpasangan. Syarat uji t tidak berpasangan adalah distribusi data harus normal. Jika memenuhi syarat (data berdistribusi normal) maka digunakan uji t tidak berpasangan. Jika tidak memenuhi syarat (data tidak berdistribusi normal) dilakukan transformasi data terlebih dahulu. Jika variabel baru hasil transformasi berdistribusi normal digunakan uji t tidak berpasangan. Jika variabel baru hasil transformasi tidak berdistribusi normal , maka digunakan uji Mann-Whitney. Tingkat kemaknaan yang digunakan adalah p < 0,05. G.5. Analisis Data Hipotesis Kelima Analisis yang digunakan dengan uji t tidak berpasangan. Syarat uji t tidak berpasangan adalah distribusi data harus normal. Jika memenuhi syarat (data berdistribusi normal) maka digunakan uji t tidak berpasangan. Jika tidak memenuhi syarat (data tidak berdistribusi normal) dilakukan transformasi data terlebih dahulu. Jika variabel baru hasil transformasi berdistribusi normal digunakan uji t tidak berpasangan. Jika variabel baru hasil transformasi tidak berdistribusi normal , maka digunakan uji Mann-Whitney. Tingkat kemaknaan yang digunakan adalah p < 0,05.