c
UANG PERLINDUNGAN Bagaimana rencana ekspansi industri akan menggunakan dana iklim untuk membiayai deforestasi, dan mengabaikan komitmen Presiden SBY untuk pembangunan rendah karbon
b
Greenpeace adalah organisasi kampanye independen global yang bertindak untuk merubah sikap dan tindakan, untuk melindungi dan mengkonservasi lingkungan dan mempromosikan perdamaian. Greenpeace berkomitmen menghentikan perubahan iklim. Kami berkampanye untuk melindungi hutan alam asli dunia yang tersisa dan tumbuhan, satwa dan masyarakat yang bergantung padanya.
November 2010 Diterbitkan oleh Greenpeace Internasional Ottho Heldringstraat 5 1066 AZ Amsterdam The Netherlands
[email protected] www.greenpeace.org/forests
UANG PERLINDUNGA
Kami menyelidiki, menyorot, dan mengkonfrontasi perdagangan produk yang menyebabkan kerusakan hutan dan perubahan iklim. Kami menantang pemerintah dan industri untuk mengakhiri peran mereka dalam perusakan hutan dan perubahan iklim. Kami mendukung hak-hak masyarakat yang bergantung pada hutan.
JN 360
PROTECTION MONEY
Riau, 2010: Greenpeace, Jikalahari dan Forum Masyarakat untuk Penyelamatan Semenanjung Kampar (FMPKS) membangun kebun pembibitan tanaman dan pohon lokal untuk melindungi dan merestorasi hutan gambut Semenanjung Kampar yang kaya karbon.
i
Ringkasan Eksekutif:
INDONESIA BERADA DI PERSIMPANGAN JALAN Saya percaya bahwa kami dapat mencapai tujuan ini [target pengurangan emisi gas rumahkaca], sementara memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan adil secara ekonomi untuk masyarakat kami.’ Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 26 April 2010 Untuk pembangunan manusia agar menjadi benar-benar berkelanjutan, kaitan erat antara pertumbuhan ekonomi dan emisi gas rumahkaca harus diputus. UNDP, ‘Laporan Pembangunan Manusia 2010’ November 2010 Jadi layak bagi pemerintah untuk menargetkan [untuk melipat dua produksi menjadi] 40 juta ton minyak kelapa sawit tanpa memperluas perkebunan.’ Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, 28 September 2010 Saya pikir baik untuk istirahat sejenak. Sejak [1980] sampai 2010, kami menerima banyak sekali kritik dari seluruh dunia. Jadi biarkan kami menghentikan semua, katakan di mana kami melakukan kesalahan dan mari kita analisa, lihat di mana kami dapat memperbaikinya menurut peraturan nasional dan kemudian membuat sekumpulan peraturan atau sistem baru. Aida Greenbury, divisi pulp Sinar Mas, 22 Oktober 2010
Tujuan pembangunan rendah karbon Indonesia tidak harus bergantung pada deforestasi Dokumen-dokumen kebijakan dari Kementerian Kehutanan, Pertanian dan Kementrian ESDM mengungkapkan rencana ekspansi sektor-sektor industri pulp, kelapa sawit, pertanian, biofuel dan batubara yang akan mengakibatkan tambahan sekitar 63 juta ha lahan untuk produksi pada tahun 2030. Hal ini setara dengan semua lahan di luar zona lindung dan konservasi yang belum diidentifikasi penggunaan ekonominya. Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa wilayah yang dicanangkan untuk ekspansi pada sektor-sektor di atas termasuk 40% hutan, atau sekitar 37 juta ha – sebuah wilayah seluas gabungan negara Norwegia dan Denmark; 80% lahan gambut Indonesia, seluas 16 juta ha; dan 50% hutan yang merupakan habitat orangutan. Angka pemerintah menunjukkan bahwa karbon dalam hutan dan lahan gambut yang berisiko untuk di korbankan adalah sejumlah 38GtC – setara dengan sekitar empat tahun emisi gas rumahkaca global. Rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia mengidentifikasi sektor-sektor pulp, kelapa sawit dan pertanian sebagai pendorong utama deforestasi di masa depan – yang berpotensi mengakibatkan hilangnya 28 juta ha hutan (75% hutan dalam wilayah yang masuk zona untuk ekspansi sektor) pada tahun 2030.
Tapi pernyataan industri dan dokumen kebijakan pemerintah mengindikasikan bahwa – dengan peningkatan produktivitas sebagai objektif utama – tidak diperlukan lahan tambahan untuk mencapai target-target pemerintah untuk ekspansi sektor-sektor ini. Angka yang secara konsisten digunakan oleh Kementerian Kehutanan dan dokumen pemerintah lainnya menunjukkan bahwa industri yang ada ‘menyimpan’ lahan yang dapat mengakomodasi kenaikan empat kali lipat dari produktivitas perkebunan kayu dan melipat dua produktivitas kelapa sawit. Sebuah versi rancangan strategi REDD Indonesia menyatakan bahwa pada jangka menengah, tidak diperlukan lahan tambahan untuk pertanian. Ini mendemontrasikan bahwa, bila didukung dengan benar melalui kebijakan dan peraturan pemerintah, jalur pembangunan rendah karbon yang secara ekonomi memakmurkan tidak harus dibayar dengan hutan dan lahan gambut. Pendanaan internasional untuk perlindungan hutan sejatinya mendorong agenda pembangunan rendah karbon Presiden SBY, dan akan memberi insentif untuk praktik terbaik industri, perbaikan tata kelola pemerintahan, dan perbaikan dalam praktik pertanian masyarakat dan hasil panen. Data Indonesia sendiri dari DNPI menempatkan Indonesia sebagai negara pengemisi gas rumahkaca ketiga terbesar di dunia; 85% di antaranya berasal dari penggunaan lahan – hampir seluruhnya
akibat deforestasi dan degradasi lahan gambut. Pemerintah Norwegia telah menjanjikan $1 milyar yang dirancang untuk mengurangi deforestasi dan emisi gas rumahkaca di Indonesia. Bagian dari kesepakatan ini termasuk moratorium dua tahun untuk tambahan akokasi lahan gambut dan hutan alam untuk ekspansi sektor. Grup Sinar Mas adalah produsen pulp dan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Divisi pulp mereka telah menyatakan bahwa sebuah moratorium akan memberikan kesempatan bagi industri dan pemerintah untuk menghitung stok, memperbaiki praktik dan merancang kebijakan-kebijakan baru. Kepala divisi kelapa sawit grup ini telah menyatakan bahwa sektor ini sejatinya tidak memerlukan lebih banyak lahan untuk memenuhi target produksinya. Tetapi, walau dukungan model pembangunan rendah karbon dinyatakan dalam bentuk moratorium, kebijakan yang lebih baik dan perbaikan produktivitas, terdapat risiko besar akan diberlakukannya sebuah model ekspansi alternatif tinggi karbon yang saat ini didorong oleh sebagian elemen dalam pemerintahan dan industri. Model semacam ini tidak menentang pemborosan praktik industri atau korupsi yang diakui dalam sektor kehutanan. Misalnya, Kementerian Kehutanan telah secara eksplisit mencari sokongan pendanaan iklim internasional untuk mendukung ekspansi pulp dan kelapa sawit, dan ‘memperkuat stok karbon melalui [perkebunan kayu] dan restorasi hutan. Sebagian pejabat-pejabat senior dalam Kementerian Kehutanan telah menyatakan bahwa moratorium
ii
pada pembukaan hutan akan merusak ekonomi, dan telah menuntut renegosiasi kesepakatan Norwegia. Pendukung model tinggi karbon ini berusaha untuk melabel ulang kegiatan industri yang mendorong deforestasi sebagai ‘rehabilitasi lahan kritis’. Dalam praktiknya, dengan lemahnya definisi ‘hutan’ dan ‘lahan kritis’ atau istilah kunci lainnya, hal ini berakibat berlanjutnya pembabatan habis hutan alam dan lahan gambut. Konsekuensinya, dana internasional yang dirancang untuk mendukung perlindungan hutan dan lahan gambut Indonesia akan dimanfaatkan justru untuk penghancurannya. Apapun dinamakannya kegiatan ini, hasilnya sama: hilangnya hutan alam, emisi tinggi dan praktik industri yang buruk.
hayati dan ekonomi; (c) tata kelola pemerintahan yang kuat untuk memastikan penerapan; (d) kepemimpinan industri dan inisiatif untuk mencapai standar produksi kelas dunia; dan (e) dukungan keuangan internasional untuk perlindungan hutan dan pembangunan bersih.
presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin global untuk aksi iklim dan pembangunan rendah karbon
Ini bukan model pembangunan yang harus dibanggakan siapapun.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyadari apa risiko yang diakibatkan perubahan iklim, dan perlunya tindakan: ‘Indonesia mengerti perlunya peran negri ini untuk menghadapi mendesaknya memerangi perubahan iklim. Sebagai negara berkembang, dan kepulauan dengan 17.000 pulau, masyarakat kami akan merasakan dampak buruk perubahan iklim.’
Biaya dari tak adanya tindakan – atau lebih buruknya, salah perhitungan – dalam menghentikan deforestasi dan degradasi lahan gambut adalah perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan gagalnya pembangunan rendah karbon sebenarnya untuk masyarakat Indonesia.
Patut dihargai usaha Presiden SBY untuk memelopori usaha global untuk mengurangi emisi gas rumahkaca dan berpindah ke model pembangunan rendah karbon. Dengan dukungan internasional, SBY telah berjanji untuk melakukan pemotongan dramatis emisi gas rumahkaca nasional dalam satu dekade ke depan.
Dana yang diperuntukkan untuk mendukung perlindungan hutan alam, dengan demikian akan menguntungkan jasa ekonomi, keanekaragaman hayati dalam jangka panjang dan budaya dari masyarakat yang bergantung hutan Indonesia. Moratorium ketat adalah langkah kritis menuju penerapan rencana pembangunan rendah karbon yang berarti. Greenpeace, menyerukan perlindungan segera akan semua lahan gambut dan penghentian sementara semua penebangan hutan alam, tidak hanya dalam wilayah konsesi baru tetapi juga dalam perkebunan yang ada saat ini. Sementara usulan dari beberapa orang dalam kementerian tertentu di Indonesia mendukung status quo, moratorium semacam ini akan menciptakan insentif untuk industri untuk secara dramatis meningkatkan produktivitas dalam wilayah perkebunan yang ada. Kritis bagi pemerintah Indonesia, moratorium semacam ini akan memberi jendela yang diperlukan untuk merombak proses alokasi lahan untuk memastikan perlindungan nilai-nilai ekologi, keanekaragaman hayati, sosial, legal dan ekonomi.
UANG PERLINDUNGA
Ini akan merupakan ‘jalur pembangunan baru’. Berikut ini adalah elemen kunci untuk membawa Indonesia pada jalur yang benar-benar rendah karbon: (a) visi yang jelas akan apa yang diperlukan dan diinginkan pembangunan; (b) kebijakan untuk membuat membuat hal ini prioritas antar sektor, mengintegrasikan perubahan iklim, perlindungan keanekaragaman
Pemerintah Norwegia berjanji membantu sebesar $1 milyar untuk agenda progresif Presiden SBY untuk menghentikan deforestasi. Kesepakatan ini termasuk moratorium alokasi hutan alam dan lahan gambut untuk ekspansi sektor ini lebih lanjut, serta kajian keadaan lahan yang dikuasai perusahaan dalam konsesi yang ada saat ini.
PEMBANGUNAN RENDAH KARBON SEBENARNYA Sangat penting dalam langkah menentukan jalur pembangunan jangka panjang Indonesia adalah penentuan definisi dan peta yang transparan akan
lahan yang tersedia untuk pembangunan rendah karbon. Rancangan Strategi Nasional REDD+ bersama Bappenas–UN-REDD Oktober 2010 telah menetapkan batas teknis karbon untuk lahan yang cocok untuk pembangunan rendah karbon, serta lahan yang memerlukan konservasi murni karena potensi penyimpanan karbonnya. Kriteria karbon ini seharusnya diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan untuk pembangunan rendah karbon yang mendasari perlindungan lahan gambut dan hutan secara penuh. Data Kementerian Kehutanan dan instansi lain yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan rencana pengurangan emisi gas rumahkaca menyatakan bahwa wilayah potensial yang tersedia untuk pembangunan rendah karbon hampir mencapai 14 juta ha. Dalam rangka Indonesia mencapai ambisinya untuk tidak ‘terjebak dalam model pembangunan yang tidak berkelanjutan untuk lingkungan kita dan dunia’ jelas bahwa sektor-sektor seperti pulp dan kelapa sawit harus ‘bergeser ke model pembangunan yang tidak terlalu sensitif-karbon’. Yang mengejutkan adalah untuk sebuah rencana pengurangan emisi gas rumahkaca nasional yang bertujuan membawa Indonesia ke ‘jalur pembangunan rendah karbon’, biaya pembangunan rendah karbon yang sejalan dengan tujuan-tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan yang jelas, belum diperkirakan. Tapi, pernyataan-pernyataan industri dan angkaangka pemerintah sendiri yang digunakan
iii
Perubahan iklim dan ekonomi dianggap sebagai konsep yang tidak berhubungan di Indonesia, terutama oleh pasar modal dan masyarakat perbankan. Hal ini menghambat tercapainya pembangunan rendah karbon dan penerapan instrumen-instruman keuangan untuk mendukung pembangunan semacam ini.’ UNFCCC (2010) ‘Studi ekonomi, lingkungan dan pembangunan nasional untuk perubahan iklim: laporan ringkasan awal’
dalam rencana pengurangan ini menunjukkan bahwa sektor-sektor pulp dan kelapa sawit tidak memerlukan tambahan lahan untuk mencapai tujuan produksi mereka – tentunya dengan kepemimpinan industri akan produktivitas dan kebijakan pemerintah yang ketat.
• Perkebunan kayu termasuk kayu untuk pulp: 28
• Asumsi hasil kelapa sawit: melipat duakan hasil pada perkebunan baru dan yang sedang ditanami; tambahan wilayah yang diperlukan: tidak ada.
• Pertanian: 13 juta ha wilayah hutan (total
• Asumsi hasil perkebunan pulp: hasil sebanyak empat kali lipat; tambahan wilayah yang diperlukan: tidak ada. Pada saat yang sama, sebuah rancangan strategi REDD Indonesia 2010 menyimpulkan bahwa tambahan lahan untuk pertanian juga tidak diperlukan dalam jangka menengah. Jadi, sebagai tambahan untuk mengarahkan pendanaan REDD kepada mereka yang bertanggung jawab melindungi hutan alam, apa yang diperlukan adalah melindungi secara penuh hutan alam dan lahan gambut Indonesia dari pendorong utama deforestasi agar berkomitmen kepada moratorium, menanami hanya wilayah non-gambut yang telah mereka gunduli, serta memperbaiki produktivitas sejalan dengan asumsi pemerintah dan mereka sendiri.
RENCANA EKSPANSI INDUSTRI MENYANDERA HUTAN INDONESIA Berbagai kementrian merencanakan pembangunan industri untuk menggunakan tambahan sekitar 63 juta ha lahan untuk produksi pada tahun 2030:
juta ha
• Perkebunan industri termasuk kelapa sawit: 9 juta ha (total permintaan penggunaan lahan tidak diprakirakan)
Indonesia yang kaya karbon. Angka-angka pemerintah menyatakan bahwa lahan gambut di wilayah berisiko mengandung kurang lebih 28Gt karbon.
• Total karbon yang akan hilang untuk ekspansi sebanyak 38GtC, setara dengan empat kali emisi global gas rumahkaca tahun 2005.
permintaan penggunaan lahan tidak diprakirakan)
• Perkebunan biofuel termasuk kelapa sawit: 9 juta ha • Pertambangan: 4 juta ha dalam kawasan hutan (total permintaan penggunaan lahan tidak diprakirakan) Hal ini secara kasar setara dengan semua lahan yang saat ini belum dikembangkan di Indonesia, termasuk wilayah hutan yang luas di luar zona wilayah hutan lindung dan konservasi. Wilayah ini setara dengan setidaknya empat kali luas wilayah berkarbon rendah (yang disadur dari data Kementerian Kehutanan mencakup paling banyak 14 juta ha). Jika ekspansi ini terus berlangsung, ini akan menyebabkan:
• Hilangnya 40% hutan alam Indonesia yang tersisa, sekitar 37 juta ha – wilayah seluas gabungan negara Norwegia dan Denmark.Angka pemerintah menyatakan bahwa wilayah hutan ini mengadung kurang lebih 10Gt karbon.
• Hilangnya separuh dari hutan habitat orangutan yang tersisa.
• Degradasi hampir 80% lahan gambut
Lebih dari separuh wilayah yang direncanakan untuk ditebang habis adalah melalui ekspansi sektor-sektor pulp dan kelapa sawit. Rencana pemerintah untuk mengganda-tigakan produksi pulp dan kertas tahun 2025 dan melipat dua produksi kelapa sawit pada tahun 2020, dengan ekspansi tambahan untuk produksi biofuel. Pabrik-pabrik pulp Indonesia tidak bisa memenuhi kebutuhan serat dari perkebunan yang ada dan terus bergantung pada deforestasi. Ekspansi perkebunan di sektor-sektor pulp dan kelapa sawit Indonesia bertanggung jawab akan lebih dari separuh deforestasi di masa mendatang. Operasi saat ini dalam sektor-sektor ini dicirikan dengan tata kelola yang buruk – dengan meluasnya dan jelas diabaikannya perijinan dan peraturan, analisis dampak lingkungan dan perlindungan gambut dalam – pengelolaan lahan yang buruk dan produktivitas rendah. Walau demikian, rencana-rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia berusaha mencari pendanaan internasional atas nama mengatasi perubahan iklim. Misalnya sebagai bagian dari strategi ‘pembangunan hijau’, rencana pengurangan menyarankan International Finance
Corporation (IFC – bagian dari Bank Dunia) mendanai pembangunan dua pabrik pulp, yang akan meningkatkan kapasitas terpasang saat ini menjadi jauh lebih besar. Menteri Industri telah menyerukan untuk secara cepat melipat dua produksi dan ekspor dari sektor pulp, dan Menteri Kehutanan dilaporkan telah mempertimbangkan untuk pengoperasikan pabrik untuk mencapai ambisi ini.Bank Dunia, melalui Dana Teknologi Bersih, telah menyisihkan lebih dari $3 milyar untuk Indonesia, dengan sektor pulp yang berekspansi diidentifikasi sebagai kandidat kuat penerima dukungan ini. Dalam hal pendanaan REDD+ dan mitigasi iklim, ambisi ekspansi ini dapat menyebabkan dampak negatif untuk hutan dan lahan gambut Indonesia. Rencana-rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia secara tidak benar menyatakan bahwa perkebunan memegang peran dalam ‘rehabilitasi’ lahan ‘terdegradasi’, ‘kritis’ ‘tidur’ atau ‘tidak produktif’, dan mendukung ‘aforestasi/reforestasi’ (menanam pohon) adalah pilihan lebih murah daripada ‘menghindari deforestasi’ (menebangi pohon). Walau tampaknya lebih murah (atau lebih tidak menentang status quo industri) untuk menyerukan penggantian hutan alam dengan ‘rehabilitasi’ perkebunan dibandingkan dengan ‘deforestasi’, hasilnya akan sama saja. Ini berarti, dana internasional REDD yang dicanangkan untuk perlindungan hutan pada kenyataannya akan digunakan untuk mensubsidi pengrusakan, dengan biaya signifikan terhadap iklim, keanekaragaman hayati dan sosial.
iv
HENTIKAN PERUSAKAN HUTAN
Angka-angka pemerintah sendiri menunjukkan bahwa perkebunan kayu dan industri (seperti kelapa sawit) memegang hanya sebagian kecil karbon bahkan dibanding hutan alam yang sangat terdegradasi. Selanjutnya, perkebunan tidak memberikan jasa ekosistem penting yang diberikan oleh hutan alam, menjaga siklus air bersih dan keuntungan lainnya untuk masyarakat setempat, dan tidak pula menyimpan keanekaragaman hayati yang sama kayanya.Ini artinya, mengganti hutan dengan perkebunan seharusnya tidak pernah menjadi bagian dari pembangunan yang benar-benar rendah karbon.
UANG PERLINDUNGA
Ditambah dengan tidak adanya akuntabilitas politik atau institusional, definisi lemah tentang lahan yang tersedia untuk pembangunan rendah karbon untuk mendukung tujuan REDD, rencana-rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia dapat membuat insentif buruk untuk membabat habis hutan dan lahan gambut, menciptakan kesempatan untuk korupsi yang mengakibatkan tidak meratanya penyebaran keuntungan dan secara nyata memacu emisi gas rumahkaca. Yang merugi adalah masyatakat hutan Indonesia dan masyarakat rentan yang bergantung pada jasa ekosistem dan keuntungan adaptasi yang diberikan oleh hutan alam.
dirancang untuk reforestasi dan rehabilitasi lahan hutan yang ‘terdegradasi’.Sebaliknya, Dana Reboisasi ini sendiri memberi insentif bagi pengelolaan buruk hutan dengan membiarkan para pemegang HPH untuk mengakses dana ini untuk mengkonversi lahan yang telah digunduli dan rusak menjadi perkebunan. Selanjutnya, sepertiga dari wilayah yang yang telah dikeluarkan dananya dan hampir tidak ada hutan pernah ditanami ulang. Tujuan dan pendekatan Dana Reboisasi gaungnya sama dengan rencana-rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia untuk sebab-sebab yang saling berhubungan berikut ini:
• Kementerian Kehutanan adalah arsitek utama
permanen mengikat sejumlah besar karbon (ini tidak benar); dan (b) terdapat 33 juta ha lahan rendah karbon yang tersedia untuk kegiatan ini (lahan semacam ini tidak ada). - Sejumlah luas hutan alam yang memiliki nilai karbon dan keanekaragaman hayati yang tinggi dikategorikan sebagai ‘terdegradasi’, ‘tidak produktif’. ‘tidur’ atau ‘kritis’ dan perlu di‘rehabilitasi’. Rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia berencana untuk mencari pendanaan internasional untuk mendanai ‘rehabilitasi hutan’ dari hutan ‘terdegradasi’ ini, serta memandang perkebunan sebagai cara tercepat, termurah untuk melaksanakan rehabilitasi tersebut.
rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia.
• Diakui oleh Kementerian sendiri, korupsi dalam sektor kehutanan sangat parah.
• Kementerian memandang bahwa memajukan kepentingan industri adalah tujuan utama, dengan kegiatan mitigasi emisi gas rumahkaca ‘diintegrasikan’ sebagai rencana sektor kehutanan saat ini untuk membangun perkebunan.
KORUPSI dalam SEKTOR KEHUTANAN: akankah ‘UANG PERLINDUNGAN’ MENINGKATKAN EMISI GAS RUMAHKACA?
• Dengan demikian strategi pengurangan gas
Kementerian Kehutanan memiliki sejarah korupsi dan kebijakan-kebijakan yang diwarnai korupsi. Misalnya, penelitian Ernst & Young menemukan bahwa dalam periode lima tahun lebih dari $5 milyar hilang dari skema Dana Reboisasi yang secara khusus
- Kementerian merencanakan pembangunan 33 juta ha perkebunan kayu yang digambarkannya sebagai ‘penguatan pengikat karbon’.
rumahkaca bertujuan meredefinisi atau melabel ulang kegiatan industri sebagai kegiatan mitigasi emisi gas rumahkaca. Misalnya:
Asumsinya adalah (a) bahwa perkebunan secara
Dikatakan bahwa dampak dari penggantian hutan dengan perkebunan akan mencapai hasil positif bagi iklim, keanekaragaman hayati, masyarakat loka, dan tujuan pembangunan rendah karbon. Pada kenyataannya, rencana semacam in akan mengakibatkan hilangnya hutan alam dan lahan gambut kaya karbon secara masif, selain juga menyebabkan hilangnya habitat satwa liar serta hutan yang memiliki nilai ekonomi dan sosial bagi masyarakat lokal.
JALAN KE DEPAN Langkah-langkah nasional dan internasional untuk memastikan berhentinya deforestasi dan degradasi lahan gambut dan memajukan visi pembangunan rendah karbon berhasil diterapkan memerlukan kemauan yang baik, pemerintahan yang baik dan pengelolaan keuangan yang bersih oleh pemerintah, institusi dan industri yang terlibat.
SECEPATNYA BERLAKUKAN MORATORIUM: Hentikan semua pembabatan hutan, termasuk dalam wilayah konsesi yang ada, dan pastikan segera perlindungan semua lahan gambut. BERLAKUKAN KEBIJAKAN DEFORESTASI NOL: Lindungi hutan alam dan lahan gambut secara permanen. PROMOSIKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK: Terapkan langkah-langkah efektif untuk mengatasi korupsi, kontrol indutsri, dan lindungi hutan dan kepentingan nasional. DUKUNG PEMBANGUNAN RENDAH KARBON BANGUN RENCANA TATAGUNA LAHAN NASIONAL YANG BARU: Rencanakan jalur pembangunan yang benar-benar rendah karbon. PROMOSIKAN KEPEMIMPINAN INDUSTRI: Beri insentif bagi industri untuk mendukung pembangunan bersih yang rendah karbon termasuk peningkatan produktivitas. KEMBANGKAN SEBUAH STRATEGI PENGURANGAN KARBON YANG KREDIBEL: Gunakan dan ungguli model Brazil untuk memonitor dan menyediakan data tentang tingkat deforestasi relatif terhadap garis dasar yang jelas. DANAI PERLINDUNGAN HUTAN PASTIKAN DANA REDD MENGUNTUNGKAN MASYARAKAT DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI HUTAN: Dukung perlindungan hutan, bukan perkebunan industri atau korupsi sektor kehutanan.
v
Perubahan iklim boleh menjadi faktor tunggal yang dapat membuat masa depan menjadi sangat berbeda, memperlambat berlanjutnya pembangunan manusia yang diharapkan terjadi menurut sejarah. Sementara kesepakatan internasional sangat sulit dicapai dan respon kebijakan secara umum sangat lambat, konsensus sangat jelas: perubahan iklim sedang terjadi, dan dapat menjegal pembangunan manusia. UNDP, ‘Human Development Report 2010’ November 2010
Riau, 2008: Hutan alam sekitar Danau Palau Besar.
vi
DAFTAR ISI
i RINGKASAN EKSEKUTIF: indonesia DI PERSIMPANGAN JALAN ii Tujuan pembangunan rendah karbon Indonesia tidak harus bergantung pada deforestasi ii Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin global untuk aksi iklim dan pembangunan rendah karbon ii Pembangunan rendah karbon sebenarnya iii Rencana pembangunan industri menyandera hutan Indonesia iv Korupsi sektor kehutanan: akankah ‘uang perlindungan’ mendanai peningkatan emisi gas rumahkaca? iv
Jalan ke depan
1 PENGANTAR: ‘JALUR PEMBANGUNAN BARU’ UNTUK Indonesia 5 Brazil DAN Indonesia: PENGEMISI BESAR, POTONGAN BESAR, RENCANA BESAR? 6 Brazil: membangun dari inisiatif industri progresif 7 Indonesia: perlawanan institusional dan industri mengakibatkan jejak emisi gas rumahkaca tak jelas
UANG PERLINDUNGA
8 Jalur pembangunan mana yang akan diambil Indonesia?
11 PEMBAGIAN ZONA: LAHAN PENGEMBANGAN DAN RENCANA TATAGUNA LAHAN 2030 11 Zona-zona yang tersedia untuk pembangunan 12 Peta 1: zona pembangunan 12 Box 1: wilayah zona pembangunan Kalimantan Selatan, 2009: Ekspansi perkebunan kelapa sawit.
13 Rencana pembangunan industri dan tataguna lahan sampai 2030
vii
produktivitas, tanpa perlu tambahan wilayah perkebunan
untuk pembangunan?
13 Gambar 1: luas lahan yang belum dibangun dalam zona pembangunan dan tataguna lahan tambahan yang direncanakan
Gambar 4: rincian karbon, hutan, gambut dan habitat satwa liar dalam zona pembangunan dalam zonasi Riau
37 Meletakkan garis dasar untuk pembangunan rendah karbon
15 MERENCANAKAN KEHANCURAN: INDUSTRI INDONESIA berAMBISI TINGGI-KARBON
24 Gambat 5, 6, 7: areal (juta ha), luas hutan habitat satwa liar dan zona pembangunan
37 Gambar 13: areal (juta ha), luas tataguna lahan dalam zona pembangunan
26 Tabel 1: ringkasan nilai-nilai hutan, lahan gambut dan satwa liar dalam zona pembangunan dan lainnya
39 Apakah perkebunan merupakan solusi untuk perubahan iklim?
27 Data resmi pemerintah menunjukkan luas dan kualitas hutan
39 Box 2: Asumsi karbon Indonesia
45 MORATORIUM ADALAH KESEMPATAN MENUJU KE JALUR PEMBANGUNAN RENDAH KARBON
39 Gambar 14: Model Kemenhut untuk pengikatan karbon perkebunan
45 Industri dan pemerintah yang progresif menginginkan moratorium ketat
39 Gambar 15: Model UNFCCC untuk pengikatan karbon perkebunan (simpanan C rata-rata waktu)
45 Suap dan pemerintahan yang buruk di sektor kehutanan mengancam pembangunan
40 Asumsi 1: tanaman perkebunan mengikat karbon dalam jumlah besar
47 Gambar 20: alokasi areal konsesi HTI per tahun dan tanggal-tanggal pemilihan umum
40 Asumsi 2: perkebunan pada lahan kritis akan meningkatkan stok karbon hutan Indonesia
47 Pengalaman ‘reforestasi’ Indonesia mendanai hilangnya tata kelola pemerintahan
41 Gambar 16: simpanan karbon relatif dari jenis-jenis hutan dan perkebunan yang berbeda
49 KESIMPULAN: PERKARA BESAR
17 Rencana pengembangan sektor: ‘melipattigakan produksi pulp dan kertas pada tahun 2025’ 17 Gambar 2: permintaan serat (saat ini, proyeksi) dan ketersediaan serat dari perkebunan berdasarkan tingkat capaian hasil panen perkebunan pada ‘kegiatan seperti biasa’.
27 Temuan: nilai-nilai yang berisiko akibat tujuan pembangunan industri
18 Gambar 3: areal (juta ha) luas dan status konsesi HTI, 2008
28 Dampak ekspansi yang direncanakan pada lahan gambut dan emisi gas rumahkaca
18 Rencana pengembangan sektor: ‘merevitalisasi sektor kehutanan’
28 Gambar 8: areal (juta ha), luas lahan gambut dan zona pembangunan
19 Rencana tataguna lahan untuk sektor kehutanan: 33 juta ha hutan tanaman industri pada tahun 2030
28 Gambar 9: karbon hutan dan lahan gambut (tC/ ha) dan tahun degradasi setelah konversi menurut kedalaman
20 Rencana pengembangan sektor: menggandakan produksi kelapa sawit
30 Gambar 10: proses degradasi lahan gambut
21 Rencana pengembangan sektor: ‘industri pertanian yang kompetitif’
31 Dampak ekspansi terencana pada hutan, emisi dan usulan REDD+ Indonesia
22 Rencana pengembangan sektor: peningkatan permintaan energi nasional delapan kali lipat 23 Produksi biofuel menyebabkan tekanan tambahan pada lahan 23 Batubara mendorong ekspansi tinggi karbon
27 Kesimpulan: ambisi pembangunan harus berkonsentrasi pada peningkatan produktivitas
31 Gambar 11: areal (juta ha), luas hutan dan zona pembangunan 33 Gambar 12: perkebunan menutupi luas jangkauan deforestasi sebenarnya 34 Mengidentifikasi lahan yang tersedia untuk pembangunan rendah karbon
24 MEMETAKAN KEHANCURAN: NILAINILAI YANG BERISIKO AKAN HILANG DI DALAM ZONA PEMBANGUNAN
34 Apa definisi lahan terdegradasi?
24 Peta 2: nilai-nilai dalam pembangunan yang tersedia
34 Apa definisi lahan tidak produktif, tidur dan dizonakan
34 Apa definisi lahan kritis?
41 Asumsi 3: perkebunan mengurangi tekanan deforestasi 42 Dapatkah sektor-sektor pulp dan kelapa sawit mendukung pembangunan rendah karbon? 42 Gambar 17: permintaan serat (saat ini, proyeksi) dan ketersediaan serat dari perkebunan berdasarkan tingkat capaian hasil panen perkebunan pada ‘kegiatan seperti biasa’ dan Skenario 1 laju penanaman dan panen yang ditingkatkan 42 Sektor pulp: berpotensi menggandakan produktivitasnya empat kali lipat tanpa menambah wilayah perkebunan 43 Gambar 18: kegiatan seperti biasa vs praktik baik: areal yang dibutuhkan untuk memenuhi target pembangunan sektor pulp 43 Sektor kelapa sawit: berpotensi menggandakan
43 Gambar 19: kegiatan seperti biasa vs praktik baik: areal yang dibutuhkan untuk memenuhi target pembangunan sektor kelapa sawit
51 berTINDAK UNTUK PEMBANGUNAN Hentikan perusakan hutan
Dukung pembangunan rendah karbon
Danai perlindungan hutan
53 PENUTUP 54 Data dan metodologi 55 Akronim, istilah teknis dan satuan 56 Catatan akhir 61 Kredit gambar 62 Daftar pustaka
UANG PERLINDUNGA
viii
Pada Mei 2010, Norwegia menjanjikan $1 milyar untuk mendukung usaha Indonesia mengurangi emisi akibat deforestasi.
1
PENGANTAR:
‘JALUR PEMBANGUNAN BARU’ UNTUK Indonesia
Dengan dukungan masyarakat dunia, Indonesia mendapatkan jendela kesempatan untuk bergeser ke model pembangunan yang tidak intensif-karbon. Tanpa tindakan dini, Indonesia akan terjebak dalam model pertumbuhan […] yang tidak berkelanjutan untuk lingkungan kita dan dunia’ DNPI, Agustus 2010 Perubahan iklim boleh menjadi faktor tunggal yang dapat membuat masa depan menjadi sangat berbeda, memperlambat berlanjutnya pembangunan manusia yang diharapkan terjadi menurut sejarah. Sementara kesepakatan internasional sangat sulit dicapai dan respon kebijakan secara umum sangat lambat, konsensus sangat jelas: perubahan iklim sedang terjadi, dan dapat menjegal pembangunan manusia. UNDP, ‘Laporan Pembangunan Manusia 2010’ November 2010 Komitmen iklim internasional saat ini tidak cukup, dan mengarahkan bumi ke peningkatan suhu ratarata sebesar 4ºC di akhir abad ini.1 Menurut Panel Internasional mengenai Perubahan Iklim (IPCC), peningkatan suhu sebesar itu membawa ancaman nyata pada ekosistem, keanekaragaman hayati dan ancaman sosial.2
Emisi gas rumahkaca harus mencapai puncaknya tidak lebih dari 2015 agar bumi mendapatkan kesempatan untuk membatasi pemanasan global menjadi kurang dari 2ºC.3 Deforestasi, termasuk emisi dari lahan gambut yang ditebangi habis, menyumbang sekitar seperlima emisi gas rumahkaca,4 jadi menghentikan deforestasi sangat penting untuk memastikan pemangkasan emisi dengan cepat, agar bumi mendapatkan cukup waktu untuk bergeser ke jalur pembangunan rendah-karbon. Menghentikan deforestasi dan degradasi lahan gambut di Indonesia sangat mendesak untuk mencapai pemotongan emisi global yang berarti. Menurut perkiraan mereka sendiri, Cina dan Amerika Serikat adalah dua pengemisi gas rumahkaca terbesar dunia, sebagian besar berasal dari industri yang berkaitan dengan bahanbakar fosil; angka yang dikutip oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada tahun 2010 menempatkan Indonesia sebagai posisi pengemisi gas rumahkaca terbesar ketiga di dunia, terutama diakibatkan oleh emisi yang berhubungan dengan deforestasi.5 Menurut DNPI, sekitar 85% dari emisi gas rumahkaca Indonesia berkaitan dengan
penggunaan lahan – hampir seluruhnya berasal dari deforestasi dan degradasi (1.006Mt gross, 760Mt net), serta degradasi dan kebakaran lahan gambut (850MtCO2).6 DNPI mengatribusi lebih dari separuh kemungkinan deforestasi di masa depan adalah dari ekspansi sektor pulp dan kelapa sawit. Sebagaimana disimpulkan laporan DNPI, operasi perkebunan dicirikan oleh deforestasi ekstensif, tingkat pengembangan perkebunan yang rendah, serta produktivitas yang rendah jika dibandingkan secara relatif dengan kompetitor global dan potensi yang diperkirakan oleh industri.7
dengan DNPI, tiga propinsi – Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Jambi – telah mengembangkan ‘strategi pembangunan hijau’, dengan mengidentifikasi langkah-langkah untuk ‘maju menuju kegiatan bernilai tambah tinggi dan sektor-sektor baru rendah karbon agar pembangunan di masa depan meninggalkan jejak karbon lebih kecil’.10
Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa elemen pemerintah yang progresif berusaha untuk bergeser dari model ekspansi industri yang dimotori oleh deforestasi dengan produktivitas rendah menuju model pembangunan rendah karbon, bernilai tinggi.
Motivasi Indonesia dalam hal ini adalah demi kepentingan global dan juga demi Indonesia sendiri, karena ancaman perubahan iklim kepada negeri ini: ‘Walaupun bila semua negara berkembang menurunkan emisi mereka ke tingkat tahun 1990 (sebagaimana ditargetkan oleh Protokol Kyoto), hal ini tidak akan cukup untuk menghindari perubahan iklim serius […]. Indonesia mengerti permasalahan ini dan memutuskan untuk bertindak.’11
Presentasi DNPI akan rencana pengurangan emisi gas rumahkaca 2010 menggambarkan hal ini sebagai ‘rencana pembangunan hijau’ bagi negeri.8 Tujuannya adalah untuk ‘memastikan pengurangan emisi karbon mendukung dan bukan menghambat tujuan pembangunan nasional dan usaha jangka-panjang kami untuk memperbaiki standar hidup bagi seluruh penduduk Indonesia’.9 Bekerjasama
Terdapat dukungan internasional cukup besar untuk tindakan mengatasi penyebab deforestasi dan degradasi lahan gambut, yang sekaligus mendukung model-model pembangunan rendahkarbon. Walaupun masyarakat internasional gagal mencapai kesepakatan multilateral untuk mengatasi perubahan iklim di Kopenhagen tahun 2009, ada dana badan-badan donor yang tersedia untuk proyek-proyek pilot dalam Mengurangi
2
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) dan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), serta inisiatif-inisiatif untuk membantu mengembangkan dan menerapkan strategi nasional pengurangan emisi. Pada bulan Mei 2010, Norwegia menyatakan akan memberikan $1 milyar untuk mendukung usaha-usaha Indonesia untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan menggeser kegiatan kehutanan yang merusak ke lahan ‘kritis’. Kesepakatan ini termasuk moratorium pemberian konsesi baru pada lahan gambut dan hutan selama dua tahun.12 Dalam insiatif nasional dan internasional ini, arahan pembangunan rendah-karbon ini sangat jelas: bahwa strategi untuk memitigasi emisi yang berasal dari sektor-sektor pulp dan kelapa sawit harus memberi insentif pada perlindungan hutan alam dan lahan gambut Indonesia yang tersisa. Konsekuensinya, sektor pulp dan kelapa sawit harus mendukung moratorium yang ketat dan meningkatkan produktivitas dalam wilayahwilayah perkebunan mereka yang sudah ada. Ekspansi tambahan terbatas pada lahan yang rendah karbon, tidak bernilai konservasi tinggi dan sosial.
UANG PERLINDUNGA
Ambisinya memang patut dihormati dan retorika pengurangan emisi gas rumahkacanya juga sangat mengesankan. Namun kenyataan di balik angka-angka yang ada di permukaan perlu lebih diteliti, untuk melihat resiko lebih jauh untuk hutan alam dan pembangunan rendah karbon Indonesia, yang diakibatkan oleh keengganan institusional dari dalam industri dan elemenelemen tertentu dalam pemerintah Indonesia untuk secara tulus mengatasi rencana ‘kegiatan seperti biasa’ (business-as-usual) ekspansi sektor-sektor pulp dan kelapa sawit. Greenpeace telah melakukan kajian mengenai submisi resmi pemerintah ke UNFCCC, dokumendokumen internal Kementerian Kehutanan, dan laporan-laporan industri dan pemerintah
yang relevan13 untuk menjawab pertanyaanpertanyaan berikut ini:
baru’,14 prioritas rencana pembangunan Indonesia untuk sektor-sektor kunci diarahkan pada percepatan tingkat deforestasi, yang akan menyebabkan semua wilayah di luar zona hutan lindung/konservasi habis ditebangi dalam waktu 20 tahun.
• Apakah Indonesia memiliki rencana pembangunan rendah karbon dengan tujuan-tujuan sosial dan lingkungan yang jelas?
• Apakah rencana pengurangan emisi gas
rumahkaca Indonesia memberi insentif bagi pilihan-pilihan pembangunan rendah-karbon atau menguntungkan yang tinggi-karbon?
sektor-sektor pulp dan pengolahan kayu lainnya, kelapa sawit, perkebunan dan bioenergi menggambarkan bahwa total sebesar kurang lebih 63 juta ha pembangunan baru direncanakan berada pada sektor-sektor ini di tahun 2030. Luasan ini kurang lebih sama dengan jumlah wilayah yang berada di luar zona hutan lindung/konservasi tanpa kegiatan ekonomi yang diketahui saat ini.
• Apakah rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia mengatasi operasi ‘kegiatan seperti biasa’ untuk penyebab utama deforestasi – sektor pulp dan kelapa sawit – dan memberi insentif pada peningkatan produktivitas?
• Apakah rencana pengurangan emisi gas
• Rencana-rencana ini akan mengakibatkan hilangnya 40% hutan alam yang tersisa di Indonesia, sekitar 37 juta ha – wilayah yang setara dengan luas Norwegia dan Denmark.15 Angka-angka pemerintah menyatakan bahwa luas hutan di wilayah ini mengandung sekitar 10Gt karbon.16
rumahkaca Indonesia memprioritaskan perlindungan hutan alam daripada pembukaan untuk perkebunan?
• Apakah rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia memprioritaskan perlindungan lahan gambut daripada memperbaiki tingkat emisi?
Temuan-temuannya:
• Tanpa pergeseran ke ‘jalur pembangunan
• Rencana-rencana ini akan mengakibatkan degradasi hampir 80% lahan gambut Indonesia yang kaya karbon. Angka-angka pemerintah menggambarkan lahan gambut di wilayah beresiko ini mengandung kurang lebih 28Gt karbon.18
• Apakah definisi lahan ‘kritis’ yang diusulkan untuk inisiatif-inisiatif REDD+, dan apakah di dalamnya termasuk ukuran-ukuran karbon, ekologi, keanekaragaman hayati, tata kelola yang baik dan nilai sosial?
• Rencana-rencana ini akan mengakibatkan hilangnya separuh dari semua hutan habitat orangutan yang tersisa.17
• Apakah rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia menggunakan metodologi yang kredibel dan telah terbukti untuk memantau tingkat deforestasi dan menghitung emisi?
• Prioritas pembangunan pemerintah untuk
• Total karbon yang terkena resiko pembangunan adalah 38GtC, setara dengan lebih dari empat kali emisi gas rumahkaca global pada tahun 2005.19
• Penerima keuntungan utama dari rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia
dan dana internasional yang mendukung penerapannya, adalah sektor-sektor pulp dan kelapa sawit, yang tidak lain adalah industri penyebab hilangnya hutan alam. Melihat sejarahanya, dana yang diperuntukkan bagi ‘penghutanan kembali’ lahan yang ‘terdegradasi’ malah sebaliknya memberikan insentif untuk deforestasi dan memberikan kesempatan untuk korupsi. Laporan audit Ernst and Young menemukan bahwa, di bawah administrasi Kementerian Kehutanan, Dana Reboisasi merugi lebih dari $5 milyar dalam rentang waktu lima tahun.20
• Berbagai rencana dalam kementrian dan sektor industri di Indonesia menyampaikan metodologi-metodologi yang tidak konsisten yang hanya tampak bagus di luar untuk mengkuantifikasi peran perkebunan dalam mengurangi deforestasi dan emisi gas rumahkaca.
• Bila moratorium yang diusulkan gagal untuk menghentikan hilangnya hutan dan lahan gambut dalam wilayah konsesi yang ada sekarang, definisi lemah yang diusulkan untuk lahan yang ‘terdegradasi’ akan mengakibatkan berjuta-juta hektar lahan gambut dan hutan yang kaya karbon juga tidak akan terlindungi dalam moratorium dua tahun yang telah dicanangkan. Analisis ini mengungkapkan resiko besar bahwa, paling tidak, dana $1 milyar dapat gagal untuk mendukung pembangunan rendah-karbon atau menghentikan deforestasi; pada skenario terburuk hal ini mungkin saja mendukung manipulasi besar dalam penghitungan yang sebaliknya malah membiayai peningkatan emisi di Indonesia. Langkah-langkah berikut ini sangat mendesak untuk memastikan bahwa komunitas donor internasional mendukung perlindungan hutan dan pergeseran Indonesia menuju jalur
3
pembangunan rendah karbon:
• Moratorium komprehensif untuk deforestasi dan pengembangan lahan gambut termasuk semua wilayah konsesi baru dan lama.
• Hal ini akan mendorong industri untuk memperbaiki produktivitas dalam wilayah perkebunan yang ada, dan menanami wilayah dalam konsesi mereka yang telah ditebangi.
• Hal ini akan memberi waktu bagi pemerintah Indonesia untuk merombak rencana tata guna lahan dan alokasi konsesi.
• Definisi yang kredibel untuk lahan yang benar-benar terdegradasi untuk pembangunan rendah karbon dengan nilai sosial atau lingkungan yang dapat diabaikan.
• Rancangan Strategi Nasional REDD+ Indonesia Oktober 2010 memberikan awal dari definisi dasar teknis untuk lahan yang tersedia bagi pembangunan rendah karbon dan wilayah hutan untuk konservasi karbon. Bila secara logis diterjemahkan ke dalam kebijakan pemerintah, informasi dasar ini dapat menghasilkan deforestasi nol dan perlindungan lahan gambut secara penuh.
• Insentif kuat untuk peningkatan produktivitas pulp dan minyak kelapa sawit dalam perkebunan yang sudah ada dan langkah-langkah pengaturan yang lebih ketat.
• Angka-angka pemerintah dan industri menggambarkan potensi produktivitas empat kali lipat di sektor pulp dan hampir dua kali lipat dalam sektor kelapa sawit. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak atau sedikit sekali diperlukan lahan untuk ekspansi dalam sektor-sektor ini.
Papua, 2008: Hutan alam dekat pegunungan Kebar.
UANG PERLINDUNGA
4
Riau, 2008: Pabrik pulp & kertas APRIL.
Brazil DAN Indonesia:
PENGEMISI BESAR, POTONGAN BESAR, RENCANA BESAR? Sebagai akibat emisi yang berasal dari deforestasi, Indonesia dan Brazil menempati posisi ketiga dan keempat negara pengemisi gas rumahkaca terbesar, setelah Cina dan Amerika Serikat.21 Menurut perkiraan yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia dan Brazil, kedua negara masing-masing bertanggungjawab akan sekitar 5% emisi gas rumahkaca pada tahun 2005.22 Sementara Brazil memperkirakan bahwa 60% emisi brutonya (1,2 GtCO2) berasal dari deforestasi, 23 Indonesia memperkirakan 85% dari emisi yang dinyatakan adalah dari penggunaan lahan, yang sebagian besar berasal dari deforestasi dan kerusakan lahan gambut (yang mewakili 1,87GtCO2 emisi bruto gas rumahkaca).24
5
[Pemerintah Indonesia] akan menurunkan emisi kami sebesar 26% pada tahun 2020 dari Kegiatan Seperti Biasa (Business As Usual). Dengan dukungan internasional, kami percaya diri akan dapat menurunkan emisi sebesar 41%. Target ini seluruhnya dapat dicapai karena sebagian besar emisi kita berasal dari masalah kehutanan, seperti kebakaran hutan dan deforestasi.’ Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, 2009
Dalam pertemuan internasional untuk mengatasi perubahan iklim, kedua presiden Brazil dan Indonesia telah menyatakan dirinya sebagai pemimpin global dalam tindakan untuk memangkas emisi gas rumahkaca dari deforestasi.25
Tujuan yang dicanangkan dalam [Rencana Perubahan Iklim Nasional] ini sangat ambisius, jika dibandingkan dengan rencana besar lainnya – malah yang terbesar – di antara semua negara. Presiden Brazil Lula da Silva, 2008 2010: Presiden Lula da Silva bersama Susilo Bambang Yudhoyono.
6
Brazil:
membangun dari inisiatif industri progresif
UANG PERLINDUNGA
Sumber emisi gas rumahkaca terbesar di Brazil adalah deforestasi Amazon,26 dan penyebab-penyebab utamanya adalah peternakan sapi 27 dan produksi kedelai.28 Dalam waktu empat tahun terakhir, Greenpeace telah mempelopori kesepakatankesepakatan industri untuk menghentikan peran sektor-sektor ini dalam menyebabkan hilangnya hutan Amazon.29 Dengan dukungan masyarakat sipil, diharapkan tindakan pemerintah bisa mengkonsolidasikan keuntungan-keuntungan ini, melengkapinya dengan kebijakan dan pemantauan yang lebih ketat, agar unsur penyebab deforestasi lainnya tidak memperburuk keadaan. Demi kemajuan upaya ini, adanya peta-peta kepemilikan wilayah di daerah yang disiapkan oleh pihak swasta adalah sangat penting. Dengan dilengkapinya koordinat geografis yang tepat berikut batas-batas wilayah kepemilikan dan tatagunanya, peta-peta ini – yang sudah merupakan prasyarat dalam peraturan – adalah instrumen yang sangat penting untuk memperbaiki kapasitas pemantauan pemerintah. Pada konferensi tingkat tinggi iklim internasional tahun 2008 di Poznàn, Presiden Lula da Silva memaparkan Rencana Nasional Perubahan Iklim Brazil,30 yang telah diperbaharui dan diperkuat pada tahun 2010.31 Rencana ini, yang diklaim Brazil akan mencegah emisi sebesar hampir 5GtCO2,32 akan dicapai terutama melalui pengurangan drastis tingkat percepatan deforestasi Amazon:33 pengurangan target dari 1,9 juta ha/tahun pada periode 1999– 2005 menjadi 0,4 juta ha/tahun pada 2020,34 atau pengurangan sebesar 80%. Komponen kunci dari inisiatif ini adalah pembentukan Dana Amazon,35
1
yang diawasi oleh panitia pengarah multipihak (multistakeholder steering committee), yang menyediakan data transparan dan tak berbayar, serta audit eksternal independen untuk semua hasilnya. Usulan ini kredibel. Selama lebih dari dua dekade, Kementrian Sains dan Teknologi Brazil telah menggunakan citra satelit untuk memantau tingkat percepatan hilangnya hutan alam Amazon. Rata-rata tingkat deforestasi historis digunakan sebagai dasar pengukuran (baseline), dan bukan proyeksi tekanan pada hutan. Pemerintah Brazil telah mencanangkan target jangka menengah untuk mengukur pengurangan aktual dari tingkat deforestasi tahunan. Teknologi terus berkembang dan Brazil sekarang juga memantau perubahan tutupan hutan Amazon dalam waktu yang hampir langsung (‘near real’ time). Data tersedia untuk umum agar bisa dikaji secara independen; organisasi non-pemerintah dan institusi ilmiah juga dapat mengakses citra-citra satelit, untuk mendukung pemerintah dengan memberikan analisis sekaligus atas data dan penyebab-penyebab deforestasi. Dengan demikian, Brazil membuktikan bahwa mereka telah mengakui pentingnya melindungi hutan alamnya yang tersisa, dan telah mengadopsi cara-cara sederhana dan transparan untuk mengukur keberhasilan atau kegagalannya untuk mencapai tujuan ini. Brazil memiliki target absolut untuk mengurangi hilangnya hutan dan memantau tingkat deforestasi kasar yang dibandingkan dengan data historis sebagai proxy mudah untuk menghitung emisi karbon.
2
Walaupun pengurangan deforestasi semacam ini di Amazon merupakan target yang ambisius, tapi beberapa tahun terakhir negeri ini telah membuktikan kemampuannya untuk mencapainya. Dengan penurunan yang berturutan dalam tingkat deforestasi tahunan dari hutan Amazon dicapai oleh kebijakan REDD antara 2005 dan 2009, Brazil makin mendekati pencapaian target yang ditetapkan untuk lima tahun pertama (2006-2010). Menteri Lingkungan Brazil, 2010
3
Strategi pemerintah Brazil untuk mengurangi deforestasi berlandasan kuat: 1. Target jelas untuk mengurangi deforestasi pada tahun 2020 dibandingkan garis dasar yang jelas. 2. Pemantauan dalam waktu yang hampir langsung tingkat berkurangnya hutan alam dan publikasi data. 3. Strategi yang didukung pasar. Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup Brazil (2010) 28; INPE (2010) 13, 31.
7
Indonesia:
perlawanan institusional dan industri mengakibatkan jejak emisi gas
Pada September 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan target pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia di hadapan para pemimpin G20.36 SBY berjanji bahwa Indonesia akan mengurangi emisi sebesar 26% pada 2020 dibandingkan kegiatan seperti biasa. ‘Dengan dukungan internasional, kami percaya bahwa kami dapat mengurangi emisi sebesar 41%.’37 Emisi gas rumahkaca untuk kegiatan seperti biasa yang disampaikan DNPI pada tahun 2020 adalah 2,530MtCO2e,38 jadi pengurangan yang dijanjikan SBY pada tingkat kegiatan seperti biasa pada tahun 2020 adalah sebesar 658MtCO2e (26%) atau 1.037MtCO2e (41%), yang berarti bahawa sisa emisi gas rumahkaca menjadi 1.493-1.872MtCO2e pada tahun 2020. Hal ini merupakan pengurangan antara 9% dan 27% pada tingkat emisi bersih tahun 2005 yaitu sebesar 2.055MtCO2e.39 Rencana penurunan emisi nasional dan regional Indonesia – yang dikembangkan dengan bantuan kurva biaya McKinsey, seperti banyak skenario penurunan nasional lainnya – mengasumsikan penurunan emisi gas rumahkaca berjalan searah dengan target ekspansi untuk sektorsektor industri kunci: ‘pengurangan emisi
karbon mendukung bukan menghambat tujuan pembangunan nasional kami’.40 Satu tujuan yang ingin dicapai pemerintah adalah berlipat tiganya produksi pulp dan kertas pada tahun 2025: ‘laporan Pengkajian Keperluan Teknologi (BPPT, 2009) […] memproyeksikan produksi pulp dan kertas akan meningkat sebesar 3,24 kali pada tahun 2025’ menjadi 55 juta ton.41 Pada saat yang sama, rencana penurunan emisi Indonesia sebagian besar difokuskan pada sektor kehutanan, yang dimana sebagian besar potensi perbaikan emisi gas rumahkaca diidentifikasi.42 Berdasarkan rencana-rencana ini, yang sebagian besar dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan: ‘Kami akan merubah status hutan kami dari sektor pengemisi netto menjadi pengikat netto pada tahun 2030.’43 SBY mendeklarasikan bahwa sektor kehutanan pada akhirnya akan mencapai penghematan emisi gas rumahkaca sebesar 1GtCO2. 44 Kementerian Kehutanan saat ini mencari dukungan dana iklim internasional untuk mendanai ’penguatan
Proyeksi emisi gas rumahkaca Indonesia sampai dengan 2030, dikembangkan dari Kurva Biaya McKinsey. Sumber: DNPI (2010a) 11 Gambar 2.
stok karbon hutan melalui [perkebunan kayu] dan restorasi hutan’; dan Ketua Kelompok Kerja untuk Perubahan Iklim dari Kementerian Kehutanan telah menyatakan: ‘Kami akan merenegosiasi kesepakatan dengan Norwegia. Indonesia perlu lebih banyak dana untuk menanam pohon’45 Pada saat yang sama, Kementerian Kehutanan saat ini juga mencari dukungan dana iklim internasional untuk mendanai ekspansi pulp dan kertas.46 Selanjutnya, rencana ‘pembangunan hijau’ DNPI-Kalimantan Timur menyarankan International Finance Corporation (IFC ) untuk mendanai konstruksi dua pabrik sebagai bagian dari strategi pembangunannya. Lebih lanjut, Dana Teknologi Bersih Bank Dunia (World Bank Clean Technology Fund, CTF) mengusulkan pendanaan bersama sebesar AS$400 juta dolar untuk mendukung inisiatif di Indonesia termasuk ‘meningkatkan efisiensi energi sebesar 30% dari kegiatan seperti biasa pada tahun 2025’.47 Investasi ini kemudian akan ‘memobilisasi pendanaan […] dari pemberi dana multilateral, BUMN, dan sektor swasta’48 dengan total sebesar $3,1 milyar pada bulan Maret 2010, menurut Bank Dunia.49 Dana ini mengidentifikasi ekspansi sektor pulp sebagai kandidat kuat untuk pendanaan.50
Rencana pengurangan nasional sektor kehutanan menjagokan ‘penanaman (kembali) hutan lebih dari 10 juta ha di lahan tak berhutan dan hutan yang rusak’.51 Kementerian Kehutanan berencana untuk merevitalisasi sektor kehutanan termasuk pembentukan sejumlah 33 juta ha perkebunan kayu pada tahun 2030/205052 – di bawah judul ‘integrasi masalah perubahan iklim ke dalam perencanaan sektor kehutanan’, yang sebagian besarnya akan dicapai pada tahun 2025. Dokumen Kementerian Kehutanan tahun 2010 tentang ‘Kebijakan kehutanan untuk menjawab perubahan iklim di Indonesia’ menggambarkan perkebunan ini sebagai ‘program pengikat karbon’ yang merupakan bagian inti dari ‘Rencana Tindakan Perubahan Iklim dalam sektor Kehutanan (RENSTRA)’.53 Komunikasi Nasional Indonesia Kedua kepada UNFCCC menggambarkan program perkebunan ini sebagai ‘penguatan pengikat (karbon)’.54 Teorinya, proposal untuk menanam pohon untuk mengikat karbon ini kedengarannya menguntungkan semua pihak untuk perlindungan iklim dan pengembangan industri.
8
Jalur pembangunan mana yang akan diambil Indonesia?
Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan REDD+ hanya dapat diandalkan dan efektif bila metodologi yang mendasari perhitungannya untuk perlindungan hutan dan pengurangan emisi gas rumahkaca juga kuat, serta adanya kemauan politik untuk menerapkan jalur pembangunan rendah karbon. Sebelum rencana penurunan emisi Indonesia mulai diterapkan, semua kelemahan institusional, metodologis dan teknis harus diatasi terlebih dahulu, karena semua hal ini akan mengurangi kemampuan pemerintah memenuhi tujuan iklim Presiden atau agenda pembangunan rendah karbon. Pertama-tama, DNPI telah mengidentifikasi sektor pulp dan kelapa sawit sebagai industri kunci pendorong hilangnya hutan dan kerusakan lahan gambut.55
UANG PERLINDUNGA
Kedua sektor ini, serta kementerian-kementerian termasuk Kementerian Industri dan Kementerian Kehutanan, secara reguler menyatakan bahwa mereka memegang peran kritis dalam pembangunan ekonomi nasional dan pemberantasan kemiskinan.56 Pemerintah tampaknya terbelah dalam bagaimana – dan apakah akan – mengatasi ekspansi pesat sektor pulp dan kertas ke dalam wilayah hutan dan lahan gambut yang kaya karbon, dan habitat penting bagi satwa liar. Operasi sektor pulp dan kertas saat ini dicirikan dengan pemerintahan yang lemah,57 dengan pelanggaran undang-undang dan perijinan yang jelas, analisis dampak lingkungan, dan pengabaian perlindungan lahan gambut dalam – pengelolaan lahan yang lemah serta produktivitas yang rendah jika dibandingkan dengan kompetitor global seperti Malaysia atau Brazil. Misalnya, sebagaimana diakui dalam rencana ‘pembangunan hijau’ DNPI–Kalimantan Timur, kedua sektor telah
diberikan wilayah konsesi yang sangat luas. Banyak dari lahan ini hutan alamnya telah ditebangi, dan hanya sebagian kecil wilayah yang ditanami yang menghasilkan panen serat atau kelapa sawit yang relatif sangat rendah.58 Verifikasi independen pihak ketiga untuk memastikan pengurangan deforestasi yang diklaim di Indonesia sangat sulit. Data resmi seringkali tidak tersedia atau dapat diperoleh secara mudah oleh publik. Informasi yang dirilis oleh Kementerian Kehutanan seringkali ketinggalan waktu bertahun-tahun, dan metodologi yang digunakan tidak jelas atau kontradiktif. Industri telah menentang penggunaan pemantauan dengan citra satelit untuk operasinya,59 walaupun Sinar Mas – produser pulp dan kelapa sawit terbesar Indonesia – sendiri menggunakan pemetaan radar yang mutakhir ‘untuk lebih efisien dalam mengelola sumberdaya tanaman kayunya’. Teknologi pemetaan ini memberikan hasil ‘setara dengan melakukan inventarisasi hutan 100% di lapangan’.60 Metodologi penurunan emisi Indonesia naik turun, dengan kontradiksi yang gamblang baik di dalam maupun di antara laporan-laporan resminya. Metodologi ini mencakup tentang asumsi potensi pengikatan karbon dari perkebunan, misalnya, yang menentukan nilai akhir karbon dalam perkebunan yang dipanen. Sejalan dengan metodologi industri dan yang tampaknya dipilih oleh Kementerian Kehutanan, Komunikasi Nasional Kedua Indonesia November 2009 kepada UNFCCC melaporkan bahwa perkebunan kayu memberikan potensi pengikatan karbon kumulatif yang sangat besar – yaitu asumsi bahwa karbon dalam pohon-pohon dalam perkebunan disimpan selamanya.61 Tetapi, standar UNFCCC mengasumsikan kayu yang dipanen
untuk produksi berumur pendek, dan studi yang mengindikasikan bahwa karbon yang diserap secara efektif akan dilepas setelah kayu dipanen.62 Rencana pengurangan emisi gas rumahkaca nasional DNPI 2010 merendahkan potensi pengikatan karbon perkebunan, tapi tetap menyarankan bahwa perkebunan memegang peran dalam hal rehabilitasi hutan.63 Laporan regional DNPI juga mengakui bahwa karbon yang disimpan dalam tanaman perkebunan dilepas pada saat pemanenan;64 tapi, tampaknya mereka mendasarkan sebagian proyeksinya dengan metodologi yang tidak jelas, yang sama dengan yang digunakan dalam laporan SNC Indonesia,65 dan menggambarkan rencana reforestasi mereka sebagai ‘meningkatkan pengikat karbon alami dengan memperbesar tutupan hutan lahan kering pada tanah mineral dengan spesies pohon yang cocok secara ekonomis, misalnya spesies khas setempat yang dapat menghasilkan produk kayu dan non-kayu serta spesies seperti akasia’.66 Akasia ditanam sebagai tanaman perkebunan untuk rotasi jangka pendek dan digunakan dalam produksi pulp. Dalam hal asumsi pembangunan nasional Indonesia, kalkulasi permintaan penggunaan lahan yang diproyeksikan untuk tahun 2025–2030 per sektor yang diprioritaskan oleh Kementerian Kehutanan, Energi, Pertanian dan Perdagangan mencapai sekitar 63 juta ha, yang setara dengan total wilayah yang ditetapkan untuk pembangunan. Selanjutnya, sampai saat ini Kementerian Kehutanan belum mempublikasikan definisinya mengenai lahan kritis, termasuk juga peta lokasi dari lahan ‘kritis’ dimana pembangunan rendah karbon yang sejalan dengan tujuan nasional bisa
dilakukan. Definisi semacam ini sangat penting untuk memastikan pendanaan internasional REDD benar-benar mendukung perlindungan hutan dan lahan gambut untuk kepentingan nasional dan global. Serangkaian istilah digunakan dalam dokumen-dokumen pemerintah dan industri untuk menggambarkan lahan semacam ini – terdegradasi, kritis, menganggur, tidak produktif – untuk menggambarkan bahwa terdapat sejumlah besar lahan semacam ini yang dapat mendapatkan dana REDD untuk pengembangan perkebunan. Analisis Greenpeace, berdasarkan data yang ada dari Kementerian Kehutanan, menyatakan bahwa wilayah yang berpotensi tersedia untuk pembangunan rendah karbon adalah kurang dari seperempat dari total ekspansi yang direncanakan. Pada saat yang sama, rencana penurunan emisi nasional Indonesia 2010 gagal mencanangkan target produktivitas untuk memberi insentif pada peningkatan hasil panen dan pengelolaan lahan oleh para penyebab utama deforestasi. Walaupun ada rencana ‘pembangunan hijau’ DNPI, yang mengungkapkan ruang sangat besar untuk perbaikan (sampai dengan peningkatan empat kali lipat panen bahan pulp, dan hampir dua kali lipat panen kelapa sawit); angka yang menyarankan bahwa, dimana produktivitas ditingkatkan, wilayah konsesi lebih luas sebagian besar tidak diperlukan untuk mencapai tujuan pembangunan sektoral jangka panjang. Tanpa adanya arahan strategis dan tujuan-tujuan pembangunan sosial dan lingkungan yang jelas, biaya untuk mengarahkan Indonesia ke jalur pembangunan rendah karbon yang sesungguhnya belum dihitung. Insentif produktivitas untuk merubah model ekspansi juga diperlukan. Pendanaan internasional
9 Jambi, 1997: Pada tahun 1997, kebakaran hutan dan gambut yang tak terkendali di Indonesia melepas sampai dengan 2,67GtC, setara dengan 40% rata-rata emisi global tahunan dari pembakaran bahan bakar fosil dalam periode yang sama. Sumber: Page et al (2002).
untuk mendukung pembangunan perkebunan pada ‘lahan kritis’ yang sampai saat ini belum didefinisikan dengan jelas dan belum dipetakan tidak akan dengan sendirinya mencegah rencana pengrusakan jutaan hektar hutan dan lahan gambut yang kaya karbon. Sudah jelas bahwa pada akhirnya tata guna lahan yang bersaing akan mendorong pembangunan ke dalam hutan dan lahan gambut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tampaknya menyadari bahwa ini akan menjadi tragedi untuk masyarakat Indonesia dan iklim global: ‘Indonesia mengerti kebutuhan untuk menyumbang perannya dalam menghadapi mendesaknya tantangan global dalam memerangi perubahan iklim. Sebagai negara berkembang, dan negara kepulauan dengan 17.000 pulau, masyarakat kami menghadapi buruknya dampak perubahan iklim.’67 Masyarakat Indonesia, lingkungan bisnis, dan ekosistem semua telah diidentifikasi berada pada ‘resiko tinggi’ karena dampak perubahan iklim.68 Perlindungan hutan tropis adalah strategi yang dikenal mumpuni untuk meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat dan mengurangi kerentanan ekosistem untuk menghadapi peristiwa alam ekstrim seperti banjir atau kemarau:69
• Hutan adalah penting untuk adaptasi terhadap perubahan iklim karena membantu melindungi dari peristiwa cuaca ekstrim seperti angin kencang dan banjir rob.70
• Melindungi ekosistem hutan alam seringkali adalah cara yang lebih efektif dan efisien dalam mendapatkan keuntungan adaptasi dibanding pembangunan prasarana baru.71
• Hilangnya atau rusaknya hutan alam meningkatkan kerentanan ekosistem, keanekaragaman hayati dan sosial.72
• Sebaliknya, perkebunan kayu dan tanaman industri seperti kelapa sawit mengikat hanya sebagian kecil karbon dari hutan alam. Hutan tanaman industri juga tidak memberikan jasa ekosistem penting seperti yang dimiliki oleh hutan, seperti mengikat siklus air bersih dan keuntungan lain bagi masyarakat lokal, atau tingkat keanekaragaman hayati yang sama.73 Juga sangat penting untuk jalur pembangunan jangka panjang Indonesia, definisi dan peta lahan yang tersedia untuk pembangunan rendah karbon. Rancangan strategi Nasional REDD+ bersama Oktober 2010 oleh Bappenas–UNREDD menentukan batas karbon teknis bagi pembangunan rendah karbon yang sesuai, serta lahan yang perlu dikonservasi murni karena potensi simpanan karbonnya yang besar.74 Secara logika, kriteria karbon ini akan menghasilkan kebijakan pembangunan rendah karbon berdasarkan perlindungan penuh lahan gambut dan hutan.75
PROTECTION MONEY
10
Riau, 2006: Lahan gambut yang dibakar dan dikeringkan dalam persiapan perkebunan kelapa sawit.
11
PEMBAGIAN ZONa:
lahan UNTUK PEMBANGUNAN dan rencana tataguna lahan 2030 Zona-zona yang tersedia untuk pembangunan Sejak tahun 1960an Indonesia telah membagi negri menjadi dua kategori lahan administratif: Lahan Non-Hutan dan Kawasan Hutan.76 Konsekuensinya adalah Indonesia memiliki Kawasan Hutan dengan pepohonan, Kawasan Hutan tanpa pepohonan, lahan Non-Hutan berhutan dan lahan Non-Hutan tanpa pepohonan. Lahan non-hutan atau disebut juga Areal Penggunaan Lain (APL) diatur oleh berbagai kementerian atau pemerintah daerah tergantung pada peruntukan lahannya. Kementerian Kehutanan secara administratif mengatur Kawasan Hutan. Banyak APL sudah diisi oleh lahan pertanian, industri dan kegiatan ekonomi atau pembangunan lain, seperti perkotaan atau prasarana transportasi. Namun, APL juga termasuk wilayah berhutan yang cukup signifikan, lahan gambut dan peruntukan lain untuk pembangunan ekonomi. Wilayah semacam ini seringkali berada di luar kendali pemerintah pusat, dan pembangunan industrinya dapat menjadi sumber penghasilan penting bagi pemerintah daerah. Kawasan Hutan dibagi menurut kategori fungsionalnya, secara umum untuk konservasi dan pengembangan industri. Kategori yang tersedia untuk eksploitasi industri dikategorikan sebagai Hutan Produksi, dan meliputi wilayah seluas 82 juta ha – hampir dua pertiga luas Kawasan Hutan.77
Hutan produksi dibagi menjadi tiga zona:
• Hutan Produksi Terbatas (HPT): secara eksklusif disisihkan untuk konsesi tebang pilih atau hak pengusahaan hutan (HPH) karena jenis lahan dan faktor lingkungan membuatnya tidak cocok untuk penggunaan lain seperti hutan tanaman industri (HTI).
• Hutan Produksi Permanen (HP): tersedia untuk HPH dan perkebunan kayu atau pulp (HTI).
• Hutan Produksi Konversi (HPK): wilayah yang disisihkan untuk dikeluarkan dari Kawasan Hutan dan dikonversi menjadi penggunaan non-hutan, terutama untuk perkebunan kelapa sawit.78 Kedua zona terakhir tersedia untuk pembukaan hutan alam yang direncanakan, dan yang pertama untuk rencana pengrusakan atau degradasi hutan alam.
12
Zona untuk pembangunan
Zona untuk pembangunan:79
HP HPK
UANG PERLINDUNGA
HP: Total wilayah: 36 juta ha. Tidak ada kegiatan ekonomi yang teridentifikasi: 27 juta ha.
APL
HPK: Total wilayah: 18 juta ha. Tidak ad a kegiatan ekonomi yang teridentifikasi: 15 juta ha. APL: Total wilayah: 59 juta ha. Tidak ada kegiatan ekonomi yang teridentifikasi: 18 juta ha.80
HP HPK APL
Peta menunjukkan semua zona HP/HPK; bagian APL di sini adalah lahan yang tidak diidentifikasi guna ekonominya. Dalam gambaran ini, areal ini diklasifikasi oleh Kementerian Kehutanan sebagai hutan, rawa-rawa, semak belukar, semak rawa, savana dan tanah kosong. Termasuk areal HPH, yang nantinya akan tersedia untuk konversi.
13
Rencana pembangunan industri dan tataguna lahan sampai 2030 Gambar 1: luas lahan yang belum dibangun dalam zona pembangunan dan tataguna lahan tambahan yang direncanakan. PERKEBUNAN KAYU: +28 juta ha
KELAPA SAWIT: +9 juta ha
PERTANIAN: +13 juta ha
HP:
27 juta ha
HPK:
APL:
15 juta ha
18 juta ha
biofuel: +9 juta ha
TAMBANG: +4 juta ha Revitalisasi sektor kehutanan dan hutan tanaman industri Tujuan kementerian: Meningkatkan produksi pulp dan kertas hingga tiga kali lipat pada tahun 2025.81 Merevitalisasi sektor kehutanan.82 Hutan tanaman industri: total 33 juta ha (28 juta ha tambahan) wilayah pada tahun 2030/2050. Pengembangan sebagian besar di zona HP.
Sektor kelapa sawit Tujuan kementerian: Melipatduakan produksi pada tahun 2020.83 Perkebunan: 7 juta ha tambahan wilayah berhutan untuk perkebunan kelapa sawit pada tahun 2030 menurut DNPI 84 dan total 9 juta ha untuk dikonversi menjadi perkebunan komoditi pada tahun 2030.85 Total permintaan penggunaan lahan tidak diperkirakan, tetapi ekspansi kelapa sawit dengan kegiatan seperti biasa (BAU) untuk memenuhi target produksi 2020 membutuhkan hampir 9 juta ha
tambahan perkebunan pada tahun 2015. 86 Pengembangan pada APL atau zona HPK yang dilepaskan.
Sektor pertanian Tujuan kementerian: Memprioritaskan pengembangan pertanian untuk menggenjot ekspor dan persediaan bahan baku agro-industri.87 13 juta ha tambahan wilayah berhutan pada tahun 2030.88 Total permintaan penggunaan lahan tidak diperkirakan. Pengembangan pada APL atau zona HPK yang yang dikeluarkan.
Sektor energi Tujuan kementerian: Diversifikasi produksi energi. Asumsi permintaan energi meningkat 8 kali89 sebagian besar dipenuhi dengan batubara.90 Perkebunan biofuel: 9,25 juta ha pada tahun 2025, paling tidak separuhnya berada di wilayah HPK yang dilepaskan. 91 Pertambangan: 4 juta ha pada 2030 pada Kawasan Hutan (dengan asumsi tingkat ekspansi pada kegiatan seperti biasa). Total permintaan penggunaan lahan tidak diperkirakan.
Hasilnya Wilayah pada zona pengembangan yang saat ini tidak diidentifikasi penggunaan lahannya: 2 27 (HP) + 15 (HPK) + 18 (APL) = ~ 60 juta ha. 2030 tambahan wilayah permintaan untuk sektor yang teridentifikasi: 28 (HTI , HTR, HR) + 9 (kelapa sawit) + 13 (pertanian) + 9 (biofuel) + 4 (tambang) = ~ 63 juta ha.
14
Secara umum, pasar sangat buruk dalam memastikan prasyarat bagi barang-barang publik, seperti keamanan, stabilitas, kesehatan dan pendidikan. Misalnya, perusahaan yang memproduksi barang murah yang intensif-buruh atau yang mengeksploitasi sumberdaya alam mungkin tidak menginginkan angkatan kerja yang terdidik dan tidak mempedulikan kesehatan pekerjanya bila ketersediaan buruh melimpah. Tanpa dibarengi dengan tindakan masyarakat dan pemerintah, pasar akan lemah dalam keberlanjutan lingkungan, menyebabkan degradasi lingkungan, bahkan bencana seperti banjir lumpur di Jawa. United Nations Development Programme, ‘Laporan Pembangunan Manusia 2010’ November 2010
UANG PERLINDUNGA
Sumatra Selatan, 2009: pembangunan HTI pulp Sinar Mas pada lahan gambut.
Kalimantan Selatan, 2009: operasi pertambangan batubara Sinar Mas.
15
MERENCANAKAN KEHANCURAN:
AMBISI TINGGI-KARBON INDUSTRI indonesia Pada awalnya prinsip rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia adalah ‘mendukung dan tidak menghambat tujuan pembangunan nasional’.92 Nota Kesanggupan (Letter of Intent/LoI) 93 Indonesia dengan Norwegia yang ditandatangani oleh Presiden Yudhoyono mencoba untuk memulai menggeser pembangunan ekonomi Indonesia menuju jalur rendah karbon. Intinya adalah sebuah moratorium ijin-ijin baru untuk mengkonversi hutan alam dan lahan gambut dan himbauan untuk mengkaji ulang semua ijin konsesi yang berada pada lahan semacam ini untuk dilihat kemungkinannya untuk dipindahkan ke tempat lain. Moratorium yang ketat akan melindungi hutan alam yang tersisa, berfokus pada pembangunan rendah karbon dan peningkatan produktivitas serta membatasi ekspansi pada lahan yang benar-benar rusak dengan nilai-nilai karbon, sosial dan keanekaragaman hayati rendah. Hal ini akan memperbaiki kondisi ekonomi nasional dengan menjadikan Indonesia sebagai lokasi investasi yang aman dan berkelanjutan untuk perusahaan-perusahaan yang tidak mau dikaitkan dengan pengrusakan hutan; memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat melalui penciptaan nilai industri yang lebih tinggi dan bersih tanpa kehilangan sumberdaya alam; serta menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.
Walau demikian, industri pulp dan kertas Indonesia – dengan dukungan dari dalam kementerian tertentu – sedang berusaha untuk menunda perubahan ini dan menggagalkan kesepakatan dengan Norwegia atau menyatakannya tidak berlaku. Yang sangat jelas beberapa Kementerian telah memproyeksikan ekspansi besar untuk sektor-sektor pulp, kelapa sawit, biofuel dan batubara atas nama swasembada untuk Indonesia, memperkuat perdagangan internasional dan pemberantasan kemiskinan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai dampak rencana pembangunan saat ini terhadap hutan, lahan gambut, emisi gas rumahkaca dan masyarakat Indonesia. Sebagaimana diakui dalam rencana pengurangan gas rumahkaca DNPI 2010, rencana ekspansi pada sektor-sektor industri kunci diketahui akan mengakibatkan konversi jutaan hektar hutan dan lahan gambut pada tahun 2030: ‘Rencana pemerintah untuk meningkatkan produksi pulp dan kelapa sawit akan memerlukan 11–15 juta ha wilayah yang saat ini berhutan untuk dikonversi. Untuk melengkapi pangan dan mendukung populasi yang tumbuh, tambahan 10–13 juta ha diperlukan untuk lahan pertanian. Peningkatan permintaan secara umum untuk produk kayu bagi konstruksi dan bioenergi mungkin akan memerlukan lahan lebih luas.’94
‘Sebagian besar dari tambahan lahan ini akan diadakan melalui deforestasi dari Hutan Produksi Konversi (HPK); perubahan dari Hutan Produksi (HP) menjadi Hutan Konversi karena tingginya degradasi (karena praktik penebangan yang buruk); dan dari konversi hutan di luar wilayah kawasan hutan. […] Diperkirakan bahwa deforestasi akan bergeser ke pulau lain yang sebagian besar masih berhutan seperti beberapa bagian di Kalimantan dan terutama Papua.’95 Bagian ini mengkaji proyeksi tekanan-tekanan penggunaan lahan dari sektor-sektor kunci pada 2030, mengidentifikasi zona mana yang akan merasakan tekanan dari sektor-sektor tertentu dan menghitung nilai hutan dan lahan gambut berkarbon tinggi yang beresiko dalam zonazona ini. Temuannya: jika target dan asumsi untuk sektor-sektor penggunaan lahan kunci dipenuhi, sekitar 63 juta ha atau lebih96 lahan tambahan akan perlu digunakan untuk produksi pada tahun 2030, hampir semuanya berada pada zonazona HP, HPK, dan APL. Wilayah dalam zonazona ini yang belum diidentifikasi penggunaan lahan ekonominya mencapai ~60 juta ha.
Ini berarti akan terjadi kompetisi nyata untuk lahan di dalam zona HP, HPK dan APL. Lahan berhutan dan lahan gambut yang belum dibuka akan menjadi target utama pembangunan, karena di dua area ini adalah rendah kemungkinannya untuk berkonflik dengan kepentingan lain dan lebih menguntungkan. Karena aset hutan (kayu) dapat dilikuidasi untuk mendanai pembangunan perkebunan atau pertanian (atau hanya ditebangi dan ditinggalkan rusak, sebagaimana diakui DNPI).97 Temuan-temuan ini secara serius menantang kepercayaan dasar dalam rencana penurunan gas rumahkaca DNPI dan laporan iklim lainnya yang menyatakan bahwa – dengan dukungan internasional – sektor-sektor pulp dan kertas akan membantu mengurangi emisi gas rumahkaca dari deforestasi dan membawa Indonesia pada jalur pembangunan rendah karbon. Temuan-temuan ini juga menggarisbawahi pentingnya lahan yang benar-benar terdegradasi tersedia untuk pembangunan rendah karbon.
16
1
2
3
Tahapan dari hutan menjadi perkebunan menjadi produk kertas sekali pakai: 1. Kerumutan, 2010: Pembukaan lahan gambut dalam konsesi Sinar Mas, Kerumutan. 2. Kampar, 2009: Pembukaan lahan gambut. 3. Kalimantan Barat, 2010: Kebun pembibitan perkebunan Sinar Mas. 4. Sumatra Selatan, 2010: Perumahan pekerja konsesi Sinar Mas. 5. Riau, 2008: Perkebunan Eucalyptus. 6. 2010: Akasia yang telah dipanen. 7. Riau, 2008: Pabrik pulp Indah Kiat milik Sinar Mas. 8. Jambi, 2010: Pabrik pulp Lontar Papyrus milik Sinar Mas. 9. Produk kertas Sinar Mas.
4
7
8
UANG PERLINDUNGA
5
6
9
17
RENCANA PEMBANGUNAN SEKTORAL:
‘MELIPATTIGAKAN PRODUKSI PULP DAN KERTAS PADA TAHUN 2025’
Dokumen rencana iklim pemerintah memproyeksi produksi pulp dan kertas yang meningkat tiga kali lipat pada tahun 2025.98 Rencana pengurangan emisi gas rumahkaca DNPI menyatakan: ‘rencana pemerintah untuk meningkatkan produksi pulp’ memerlukan 6–8 juta ha ‘wilayah yang saat ini berhutan untuk dikonversi’.99 Total proyeksi penggunaan lahan untuk sektor ini tidak dikuantifikasi. Kementerian Kehutanan saat ini telah mempertimbangkan proposal proyek pabrik pulp yang akan melipatduakan tingkat kapasitas tahun 2009 menjadi 16 juta ton,100 dengan proposal dari DNPI-Pemda Kalimantan Timur yang melibatkan dukungan IFC untuk pembangunan dua pabrik dengan kapasitas pulp total 2,6 juta ton.101 Kekurangan data menjadikannya sangat sulit untuk membuat perkiraan jangka panjang hasil kayu untuk pulp, kekurangan serat yang dipenuhi oleh pembukaan hutan alam dan penggunaan lahan untuk industri terkait di masa depan.
Kementerian Kehutanan sedang mempertimbangkan usulan pabrikpabrik kertas untuk melipat duakan kapasitas (lihat peta CIFOR kiri atas), dan terdapat usulan pemerintah-McKinsey agar dana IFC digunakan untuk mendukung ekspansi pabrik pulp di Kalimantan Timur sebagai bagian dari strategi pembangunan ‘rendah karbon’. Dokumen internal Sinar Mas menunjukkan ambisi ekspansi pabrik besar-besaran, termasuk di Kalimantan Timur. Sumber: CIFOR (2010), dokumen rahasia Sinar Mas.
Angka produksi pulp bersama dengan angka hasil kayu pulp dari statistik Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa sektor pulp akan terus bergantung pada pembukaan hutan alam untuk memenuhi paling tidak seperempat dari produksi saat ini.102
Gambar 2: permintaan serat (saat ini, proyeksi) dan ketersediaan serat dari perkebunan berdasarkan tingkat capaian hasil panen perkebunan pada ‘kegiatan seperti biasa’.
Sumber: Dephut (2007b), Dephut (2009a,c), DNPI/UNFCCC (2009) 43.
350 300 Kegiatan seperti biasa: luas perkebunan 250.000 ha (angka 2008), hasil 60m3/ha
Produksi kayu HTI aktual
200 150 100
Kebutuhan serat dari target produksi (88,8 juta m3)
50
Kebutuhan serat pada produksi saat ini (32 juta m3)
2024
2025
2022
2023
2021
2019
2020
2017
2018
2016
2014
2015
2012
2013
2010
2011
2009
2007
2008
2005
2006
2004
2002
2003
2000
0 2001
Juta m3 kayu pulp
250
Walaupun sampai 10 juta ha konsesi HTI – sebagian besar kayu pulp 103 – telah dikeluarkan ijinnya pada tahun 2009,104 kurang dari separuh (4,3 juta ha) telah ditanami pada 2008.105 Sebagian besar wilayan yang telah dibangun juga tidak dikelola dengan baik.106 Angka hasil perkebunan yang kredibel sangat sulit diperoleh. Paling jauh, data Kementerian Kehutanan sendiri sampai dengan 2008 menyatakan bahwa rata-rata hasil maksimum HTI perkebunan pulp sebesar 60m³/ha saat panen,107 sekitar separuh hasil yang diklaim oleh industri.108 Data dalam strategi ‘pembangunan hijau’ DNPI–Pemda Kalimantan Timur menyatakan – paling tidak dalam propinsi ini – hasil aktual hanya sebesar 30m³/ha (atau sekitar seperempat dari klaim industri).109 Walau demikian, hasil panen maksimum yang diturunkan dari data produksi Kementerian Kehutanan menyatakan
bahwa untuk meningkatkan produksi menjadi tiga kali lipat dalam 15 tahun ke depan, akan diperlukan wilayah konsesi bruto kira-kira dua kali lipat menjadi sekitar 19 juta ha.110 Jika pabrik pulp baru dibangun sebelum perkebunan dikembangkan penuh dan mampu memenuhi permintaan bahan baku, persediaan untuk pabrik-pabrik ini hanya dapat dipenuhi dengan menebangi hutan alam. Sangat jelas bahwa bahkan dalam jangka pendek, kementerian tertentu mendorong hilangnya hutan alam untuk mengatasi defisit serat pulp saat ini111 dan untuk memenuhi kebutuhan makin meningkatknya produksi pulp. Ketika pada bukan Juli 2010, Menteri Perindustrian menyerukan secara pesat dilipatgandakannya produksi dan ekspor dari sektor ini, 112 ia juga mengumumkan bahwa pemerintah berencana untuk mengekspansi industri pulp dan kertas ke Papua, sebagaimana dilaporkan ‘karena bentang hutannya yang sangat luas’, 113 karena mengakui kurangnya persediaan kayu perkebunan untuk memenuhi tingkat produksi pulp saat ini.114 ‘Secara pesat’ melipatgandakan produksi saat ini akan memerlukan bukaan lahan sekitar 320.000-640.000 ha hutan alam pertahunnya untuk memenuhi meningkatkan permintaan produksi pulp, dengan asumsi para produsen mampu mendapatkan 50–100m3 kayu untuk dijadikan pulp dari tiap hektar yang ditebangi habis.115 Perkebunan yang ada saat ini bahkan belum mampu memenuhi permintaan serat dari sektor pulp saat ini, karena hasil rata-rata maksimum yang hanya 60m³/ha. Perkebunan memerlukan sekitar tujuh tahun sebelum dapat dipanen. Perkebunan yang ditanami tahun 2012 untuk memenuhi proyeksi permintaan yang meningkat, hanya dapat diasumsikan mulai tersedia dari tahun 2019 dalam volume terbatas, dengan jumlah yang meningkat bila penanaman kembali dan rotasi berulang mulai berjalan. Dengan demikian dapat diasumsikan, bahwa tanpa perubahan radikal pada praktik industri, defisit persediaan sektor pulp dan pembukaan hutan alam yang disebabkannya akan terus berlanjut hingga beberapa dekade lamanya jika produksi pulp digenjot ke tingkat yang ditargetkan.
18
Gambar 3: areal (juta ha), luas dan status HTI, 2008 0.4
tanaman lainnya (4%)
Persediaan tidak dapat memenuhi tingkat permintaan saat ini karena lahan perkebunan tidak ditanami dengan cukup untuk memproduksi kayu pada jangka waktu yang tepat. Selain itu lahan yang ditanami secara umum tidak menghasilkan kayu dengan tingkat kinerja yang dikenali industri.
Kementerian Kehutanan/Food and Agriculture Organisation ‘Kajian pandangan kehutanan Indonesia’ 2009
2.3
disisihkan menunggu izin (23%)
3.5
HTI tak ditanami (35%)
Total: 10 juta ha
2.4
tanaman pulp (24%)
1.4
tanaman kayu konstruksi (14%)
Sumber: Dephut (2007b) angkaangka 2008 telah diperkirakan berdasarkan data perkebunan 2006.
UANG PERLINDUNGA
RENCANA PEMBANGUNAN SEKTORAL: ‘merevitalisasi sektor kehutanan’ Kecuali pulp, kapasitas terpasang sektor pengolahan kayu – kayu gergajian, kayu lapis, veneer dan woodchips – diperkirakan memerlukan kayu sebanyak 44 juta m3/ tahun.116 Diketahui pada tahun 2004–2008 rata-rata resmi persediaan kayu legal tahunan adalah 25 juta m³/tahun,117 dengan hanya separuhnya diperuntukkan bagi segmen nonpulp dari sektor pengolahan kayu,118 defisit struktural seluruhnya dari segmen dari sektor ini setara dengan 31 juta m3/tahun.
Rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia 2010 menyatakan bahwa, pada periode 2010–2030, Indonesia akan kehilangan ‘21–28 juta ha dari lahan yang saat ini berhutan [sebagian] karena tingginya tingkat degradasi (karena praktik penebangan yang buruk)’ 122 dalam konsesi penebangan kayu – sumber kayu legal untuk sektor ini. Dokumen ini mengakui bahwa ‘meningkatnya permintaan untuk produk kayu […] dapat mendorong dibutuhkannya lebih luas wilayah [hutan]’, tetapi tidak mengkuantifikasi jumlah yang dibutuhkan sektor ini.123
Walau defisit ini telah memaksa penurunan sementara produksi kayu olahan,119 yang mengakibatkan runtuh dan bangkrutnya beberapa industri perkayuan,120 angka pemerintah menunjukkan bahwa pada tahun 2005 – walau pada tingkat produksi yang diturunkan – sekitar 30% dari produksi sektor keseluruhan berasal dari persediaan kayu ilegal.121
Data pada kegiatan seperti biasa pada pembangunan perkebunan dan produktivitas perkebunan kayu non-pulp tidak langsung tersedia dari sumber-sumber resmi. Dapat diasumsikan bahwa sektor ini akan terus bergantung pada kayu dari hutan alam, sebagian diantaranya ilegal, hingga masa depan yang tidak dapat ditentukan, yang mendorong deforestasi dan degradasi.
19
33 juta ha = 1GtC02
Kementerian Kehutanan berencana untuk membangun sejumlah 33 juta ha perkebunan kayu atas nama ‘penguatan simpanan karbon’, dan tampaknya mengklaim simpanan tahunan sebesar 1GtCO2.
RENCANA TATAGUNA LAHAN UNTUK SEKTOR KEHUTANAN: 33 JUTA HA HUTAN TANAMAN INDUSTRI PADA TAHUN 2030 Untuk menjawab permintaan industri saat ini dan ekspansi sektor kehutanan di masa depan, dokumen perencanaan iklim Indonesia memperkirakan bahwa hutan tanaman, yang digambarkan sebagai ‘penguatan pengikat’ karbon, akan menutup total 33 juta ha pada 2030/2050.124 Diketahui bahwa 4,3 juta ha saat ini sudah dibuka, berarti sekitar 28 juta ha wilayah tambahan untuk hutan tanaman dalam zona HP (zona yang tersedia untuk kegiatan ini). Terdapat 36 juta ha dalam zona HP; dari jumlah ini, 27 juta ha diantaranya belum diidentifikasi peruntukan ekonomisnya.
Sumber: Balitbang Dephut (2009).
Terdapat tiga jenis perkebunan kayu: HTI (hutan tanaman industri): sebagian besar tapi bukan semuanya berada di sektor pulp.125 Tujuan: 12 juta ha. Wilayah yang saat ini ditanami: 4,3 juta ha. Wilayah yang dialokasikan saat ini: 10 juta ha.
HTR (hutan tanaman bersama masyarakat/ industri): dengan 10% dicanangkan untuk sektor pulp, perkebunan ini sebagian besar memenuhi kebutuhan lainnya dalam sektor kehutanan (kayu lapis, dll). 126 Tujuan: 13 juta ha. Wilayah yang dialokasikan saat ini: 0,56 juta ha.127
HR (hutan rakyat): secara eksklusif memenuhi kebutuhan non-pulp dari sektor kehutanan.128 Tujuan: 8 juta ha.
20
RENCANA PEMBANGUNAN SEKTORAL:
Menggandakan produksi minyak sawit Indonesia bertujuan menggandakan produksi minyak sawitnya menjadi 40 juta metrik ton pada 2020.129 Dengan tingkat panen saat ini, hal ini memerlukan tambahan lahan sebesar 8,6 juta ha di luar wilayah yang sudah ditanami per tahun 2008.130 Target tambahan dicanangkan untuk pengembangan biofuel. Rencana penurunan emisi gas rumahkaca DNPI 2010 memproyeksikan pada tahun 2030 ‘pemerintah merencanakan peningkatan produksi minyak sawit’ akan memerlukan 5–7 juta ha ‘wilayah yang saat ini berhutan untuk dikonversi’.131 Dokumen ini berasumsi bahwa tingkat pengembangan konstan hampir 450.000ha/tahun untuk kebun komoditi dalam hutan, yaitu tambahan sebesar 9 juta ha pada 2030, dimana kelapa sawit adalah tanaman utama.132 Total proyeksi penggunaan lahan untuk tanaman kelapa sawit dan tanaman industri lainnya tidak dikuantifikasi.
1
2
1. Riau, 2007: pabrik kelapa sawit. 2. Riau, 2009: tandan kelapa sawit. 3. Kalimantan, 2008: pemrosesan minyak kelapa sawit. 4. Minyak kelapa sawit. 5. Merek makanan terkemuka telah mengambil jarak dari produsen minyak sawit yang terkait deforestasi.
3
4
Kebun komoditi industri seperti perkebunan kelapa sawit dapat dikembangkan pada zona APL atau HPK yang sudah dilepas.
UANG PERLINDUNGA
5
21
RENCANA PEMBANGUNAN SEKTORAL:
‘industri pertanian yang kompetitif’ Indonesia adalah eksportir kopi utama.
Secara administratif, ekspansi ini akan terjadi di zona APL atau HPK yang dilepas.
‘Untuk mendukung dan menerapkan kebijakan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkelanjutan’ pemerintah Indonesia telah membuat ‘Revitalisasi Kemampuan Kompetitif Pertanian dalam Ekonomi Nasional & Global’ sebagai ‘kebijakan prioritas’, dengan tujuan spesifik termasuk ‘realisasi pertanian industri yang kompetitif’. Dengan demikian: ‘Untuk meningkatkan sektor agri, harus ditransformasi dari swasembada menjadi pengekspor produk pertanian bernilai tinggi. Sebagai tambahan untuk memenuhi kebutuhan keamanan pangan dalam negeri, harus juga diproduksi komoditas bernilai tinggi, ternak, perikanan, kehutanan dan produk
lain untuk ekspor dan persediaan bahan baki untuk agroindustri.’133 Indonesia saat ini sudah merupakan kekuatan global dalam ekspor komoditas seperti biji coklat, kopi selain kelapa sawit.134 Indonesia sedang mengusahakan untuk menstimulasi investasi asing dan domestik dalam sektor pertanian melalui pembentukan ‘zona produksi pangan’. Pada Agustus 2010, pemerintah memberikan ijin untuk proyek-proyek pertama semacam ini,135 yang totalnya mencakup 1,6 juta ha lahan di wilayah Merauke di Papua yang berhutan lebat.136 Satu perusahaan – Wilmar International Ltd yang berbasis di Singapura –
telah mendapatkan ijin untuk mengembangkan 200.000 ha untuk perkebunan tebu.137 Ekspansi pesat tanaman pertanian untuk konsumsi domestik dan ekspor menyebabkan tekanan penggunaan lahan yang nyata. Statistik Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mengungkapkan bahwa sejak tahun 2000, rata-rata 250.000 ha lahan baru dijadikan lahan produksi pertanian tiap tahunnya, tidak termasuk perkebunan industri seperti kelapa sawit coklat dan kopi.138 Dengan mengekstrapolasi ke depan, ini berarti tambahan 5 juta ha akan memasuki produksi pada tahun 2030.
Walau demikian, rencana pengurangan gas rumahkaca DNPI 2010 memproyeksi bahwa pada tahun 2030 ‘tambahan 10–13 juta ha [hutan] diperlukan untuk lahan pertanian komoditi’,139 tetapi tidak mengkuantifikasi permintaan tataguna lahan pada sektor pertanian. Dengan adanya prioritas kebijakan pemerintah untuk mengembangkan produksi dan perdagangan sektor industri komoditas pertanian, sangatlah bermasalah bagi DNPI untuk menunjuk pertanian skala kecil sebagai penyebab utama deforestasi, tanpa menyebut penyebab lainnya dari sektor pertanian. Selanjutnya, proyeksi ekspansi lahan ini bertentangan jauh dengan Rancangan Strategi REDD+ 2010 yang menyatakan: ‘sampai 2020 kebutuhan lahan pertanian [...] dapat dipenuhi dari lahan pertanian yang ada tanpa adanya kebutuhan untuk konversi (penebangan habis) hutan baru’.140
22 1
RENCANA PEMBANGUNAN SEKTORAL:
UANG PERLINDUNGA
peningkatan permintaan energi nasional delapan kali lipat
1. Kalimantan Selatan, 2009: tambang batubara. 2. Indonesia telah menyisihkan 9,25 juta ha untuk produksi biofuel. 3. Jepara, 2007: PLTU bertenaga batubara.
23
Permintaan akan tenaga listrik diperkirakan akan meningkat delapan kali lipat dari 2005 sampai 2030.141 Cetak Biru Energi Nasional menyatakan bahwa batubara mendominasi bauran energi,142 dengan biomassa – terutama dari tumbuhan kayu dan bahanbakar – sebagai unsur penurunan emisi yang terbesar.143 Indonesia adalah penandatangan kesepakatan G20 untuk secara bertahap menghapus subsidi pada bahanbakar fosil.144
Produksi biofuel menyebabkan tekanan tambahan pada lahan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral memiliki ambisi produksi bioenergi skala besar. Kementerian ini telah mempromosikan empat komoditi prioritas untuk produksi bioenergi: kelapa sawit, jatropha, gula tebu dan singkong.145 Pada tahun 2007, Kementerian ini memaparkan rencana untuk mengembangkan 5,25
9,25 juta ha, paling tidak separuhnya dalam Kawasan Hutan. Rencana pengurangan gas rumahkaca DNPI 2010 mengakui bahwa ‘meningkatnya permintaan secara umum untuk […] bioenergi’ dapat mengakibatkan konversi wilayah hutan yang cukup signifikan, tapi tidak mengkuantifikasi kebutuhan sektor ini.149 Yang menarik, DNPI menyatakan bahwa ‘Biodiesel yang dibuat dari kelapa sawit dapat memberikan tambahan potensi penurunan emisi sebesar 10MtCO2e’ dengan biaya $100/tCO2e.150 Ini mencerminkan kontribusi sebesar $1 milyar/tahun untuk sektor ini bagi produksi biofuel dari 4 juta ha yang didedikasikan untuk kelapa sawit.151 Jelas di sini bahwa perkebunan harus berada pada lahan gundul jika biofuel diasumsikan netral karbon, dan tidak boleh menggeser pembangunan lain ke dalam hutan.
Batubara mendorong ekspansi tinggi-karbon Batubara adalah salah satu jenis energi terkotor di dunia. Indonesia telah mengalami ekspansi pesat penambangan batubara dalam dekade terakhir ini. 152 Menurut dokumen DNPI-Kalimantan Timur, batubara adalah penyebab utama deforestasi.153 Walaupun rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia 2010 secara spesifik menyatakan bahwa dengan dukungan internasional, negara ini memiliki kesempatan untuk ‘bergeser ke model pembangunan yang tidak intensif karbon’,154 Kementrian ESDM dan badan pendanaan eksternal mengasumsikan batubara akan menggerakkan sebagian besar ekspansi untuk pembangkit listrik.155
juta ha ‘lahan tidur’ untuk perkebunan biofuel pada tahun 2010,146 hampir seluruhnya dalam Kawasan Hutan,147 dengan demikian zona HPK. Selanjutnya, tambahan 2,5 juta ha kelapa sawit dan 1,5 juta ha perkebunan jatropha dicanangkan untuk produksi biofuel untuk memenuhi target produksi 2025.148 Hal ini membawa total wilayah yang dicanangkan oleh pemerintah untuk produksi biofuel menjadi
menyatakan bahwan intensitas emisi per ton produknya saat ini adalah sekitar 5,6tCO2.164 Laporan ini memproyeksikan angka ini akan meningkat sampai 6,3tCO2165 karena meningkatnya penggunaan batubara.
Ekspansi pesat sektor batubara Indonesia untuk memenuhi permintaan energi domestik dan global yang meningkat mengakibatkan tekanan pada hutan Indonesia dan iklim global. Pada tahun 2009, konsesi batubara yang berjalan berada pada lebih dari 500.000 ha kawasan hutan,156 sementara wilayah yang lebih luas dikuasai konsesi pada berbagai tahapan eksplorasi.157 Kementerian Kehutanan menghitung berdasarkan
asumsi bahwa 200.000 ha lahan dalam Kawasan Hutan akan diberikan untuk kegiatan penambangan tiap tahunnya.158 Ini berarti bahwa pada tahun 2030 konsesi batubara dalam Kawasan Hutan akan mencakup tambahan sebesar 4 juta ha. Total permintaan penggunaan lahan tidak dikuantifikasi. Salah satu pendorong kunci meningkatnya permintaan energi yang diidentifikasi oleh DNPI dan UNFCCC adalah sektor pulp dan kertas.159 Laporan DNPI–UNFCCC tentang Kajian kebutuhan dalam Mitigasi Perubahan Iklim mencatat bahwa penilaiannya akan sektor ini berdasarkan data yang diberikan oleh Sinar Mas,160 yang menyumbang hampir separuh dari produksi pulp Indonesia pada tahun 2009.161 Mengutip kerja Environmental Resources Management (ERM), 162 Sinar Mas mengklaim bahwa jejak karbon dari produksi pulp dan kertasnya ‘mendekati netral’.163 Sebaliknya, angka yang diberikan dalam laporan DNPI–UNFCCC tentang Kajian kebutuhan dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Sinar Mas telah ikut memburu batubara, dan dengan pesat mengembangkan operasi penambangan batubaranya. Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association, (IMA), Priyo Soemarno, menyatakan dalam sebuah wawancara dengan Investor Daily pada bulan Mei 2009: ‘Saya yakin Sinar Mas dapat menjadi satu dari 10 besar produsen batubara nasional dalam beberapa tahun ke depan […] Alasan utamanya adalah untuk menjamin ketersediaan kebutuhan internal.’166 Sinar Mas telah menyatakan secara publik: ‘Sinar Mas saat ini membutuhkan lebih dari 10 juta ton batubara per tahun untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam pabrik-pabrik pulp dan kertasnya. Kelompok-kelompok bisnis ini akan terus meningkatkan kapasitas produksinya di masa depan.’167 Berdasarkan analisis tambang Sinar Mas akan kandungan karbon dari batubara dan penggunaan yang diakuinya, emisi batubara yang dihasilkan dari produksi pulp dan kertas mereka saja mencapai 20–26,5MtCO2 tiap tahunnya;168 ini adalah sekitar separuh dari emisi gas rumahkaca Norwegia yang dilaporkan.169 Pabrik pulp Sinar Mas terbesar di Indonesia juga menggunakan gambut sebagai bagian dari campuran bahanbakarnya.170 Pernyataan DNPI–UNFCCC mengenai intensitas produksi pulp dan kertas berarti bahwa saat ini sektor ini menyumbang lebih dari 50MtCO2e 171 – setara dengan hampir separuh emisi saat ini yang berasal dari pembangkit tenaga listrik, walau tidak tampak dalam perhitungan emisi nasional. Asumsi selanjutnya menggambarkan bahwa – jika target ekspansi sektor-sektor ini tercapai – produksi kertas akan menyumbang 170–200MtCO2e emisi per tahun, tergantung apakah langkah efisiensi diterapkan atau tidak. 172 Jumlah ini hampir dua kali dari total emisi Indonesia yang diakui berasal dari pembangkit tenaga listrik sebesar 110MtCO2e.173
24
Nilai-nilai dalam zona pembangunan
Zona HP HPK APL Karbon 200 tC/ha 400 tC/ha 600 tC/ha 800 tC/ha 1000 tC/ha 1800 tC/ha 2000 tC/ha 2200 tC/ha 3200 tC/ha 3400 tC/ha 3600+ tC/ha Hutan Primer
Karbon
Hutan
Lahan gambut
Habitat
Sekunder Gambut 0–2 meter
UANG PERLINDUNGA
2–4 meter 4+ meter Habitat Harimau Gajah Orangutan
Gambar 4: rincian karbon, hutan, gambut dan habitat satwa liar dalam zona pembangunan di Riau
25
Gambar 5, 6, 7: areal (juta HARIMAU ha), luas hutan habitat Bukit Tigapuluh, Sumatra. satwa liar dan zona pembangunan
3.1 habitat berhutan 8.4 dalam zona habitat berhutan (27%) Tum quature stempos des ma id di luar zona moluptae (73%) alique. Nullaut velenimaio
et nessimpel ipsa volum niam. Escias quibusa nihitasimos custis cusae es sequian tectis as et fugia a ne eatibus ut ipis inverferum Total: 11.5 jutaque ha deroviditas dit
ORANGUTAN
3.9 habitat berhutan di luar zona (51%)
Total: 7.7 juta ha
GAJAH Sumatra.
Kalimantan.
3.8 habitat berhutan dalam zona (49%)
1.3 habitat berhutan di luar zona (60%)
0.9 habitat berhutan dalam zona (40%)
Total: 2.2 juta ha
Map sources: Meijaard (2004), MoFor (2009e), MoFor (2010c), Wayhunto et al (2003, 2004, 2006), WWF/SaveSumatra.org.
26
Ringkasan tabel nilai-nilai hutan, gambut dan habitat satwa liar dalam zona pembangunan dan lainnya Tutupan lahan
Areal (juta ha) HP
Hutan Primer
HPK 7.5
APL 5
Total zona pembangunan
Total (semua zona)
1,1
13.6
% of total jenis hutan dalam zona pembangunan 44.7
30% 49%
Hutan Sekunder
12.1
5
6.1
23.2
47.3
Tataguna lahan lainnya/tak ada data
16.4
8.3
51.4
76.0
94.6
Total
36.0
18.3
58.6
113.0
186.7
Lahan gambut dalam zona pembangunan HP
HPK
APL
Total zona pembangunan
Total (semua zona)
% of total jenis lahan gambut dalam zona pembangunan
Gambut, semua kedalaman
8.2
3.8
4.3
16.3
20.9
78%
Gambut kedalaman >4m
1.2
0.4
0.4
2.4
3.0
79%
Gambut kedalaman <4m
6.6
3.4
3.8
13.8
17.8
78%
Habitat dalam zona pembangunan Orangutan Kalimantan
HP
HPK
APL
Total zona pembangunan
Total (semua zona)
% of total habitat dalam zona pembangunan
Habitat Berhutan
2.6
0.9
0.2
3.7
7.7
40%
habitat non-hutan
0.8
0.6
0.1
1.5
1.8
15%
total habitat dalam zona
3.4
1.5
0.3
5.2
9.5
55%
habitat berhutan
2.0
0.2
0.9
3.1
11.4
15%
habitat non-hutan
2.2
0.2
4.0
6.5
9.3
31%
total habitat dalam zona
4.2
0.4
5.0
9.6
20.8
46%
UANG PERLINDUNGA
Harimau Sumatra
Gajah Sumatra habitat berhutan
0.7
0.04
0.1
0.9
2.2
22%
habitat non-hutan
0.6
0.07
0.5
1.1
1.7
29%
total habitat dalam zona
1.3
0.1
0.6
2.0
4.0
51%
27
NILAI-NILAI YANG BERISIKO AKAN HILANG DI DALAM ZONA PEMBANGUNAN
MEMETAKAN KEHANCURAN:
Jauh dari kondisi ‘hutan kritis atau lahan tidur’,174 zona-zona HP, HPK dan APL di Indonesia mengandung nilai-nilai karbon dan keanekaragaman hayati yang tinggi yang akan hilang melalui perubahan tataguna lahan yang direncanakan.
gambut Wetlands International;179 sebaran habitat harimau Sumatra berdasarkan peta yang dikompilasi WWF;180 peta habitat orangutan United Nations Environment Program (UNEP), dan habitat harimau dari kelompok-kelompok ahli konservasi.181
Data resmi pemerintah mengindikasikan luas dan kualitas nilai-nilai hutan Indonesia
Temuan: nilai-nilai yang berisiko akan hilang untuk memenuhi tujuan pembangunan industri
Analisis pemetaan Greenpeace menggunakan banyak metodologi dan kumpulan data yang sama dengan yang digunakan oleh DNPI, industri dan badan-badan riset ilmiah.
Wilayah yang tersedia untuk ekspansi dalam zona HP, HPK dan APL saat ini direncanakan untuk pembangunan mengandung nilai-nilai karbon, ekologis dan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Secara kolektif, wilayah ini mengandung:
Statistik Kementerian Kehutanan 2008 mengenai hutan Indonesia mencakup analisis resmi pemerintah termutakhir tentang rentang hutan, berdasarkan interpretasi data citra satelit Landsat 7 ETM+ untuk 2005/2006 yang berhubungan dengan tataguna lahan.175 Analisis ini mengkuantifikasi tutupan hutan dalam zona administratif yang berbeda. Analisis tambahan oleh Greenpeace berdasarkan kumpulan data terbaik yang tersedia mengungkapkan kualitas tutupan hutan, rentang habitat dan lahan gambut dalam wilayah zona untuk pembangunan. Pada 2009, Kementerian Kehutanan mempublikasikan data tutupan lahannya,176 yang mengidentifikasi tutupan hutan primer, sekunder dan perkebunan, lahan pertanian, pengunaan manusia lainnya, lahan ilalang dan ‘tanah kosong’Kumpulan pemetaan oleh Greenpeace serta analisis nilai ekologis dan tumpang tindihnya dengan zona administratif dan wilayah konsesi yang ada, mencakup beberapa kumpulan data: peta tataguna lahan pemerintah,177 peta-peta konsesi perkebunan kayu yang baru-baru ini dipublikasikan oleh Kementerian Kehutanan;178 peta sebaran lahan
• Hampir 80% lahan gambut Indonesia (lebih dari 16 juta ha; diantaranya, 2,4 juta ha berada dalam lahan gambut dalam [>4 meter])
• 40% hutan alam Indonesia yang tersisa (total 37 juta ha; diantaranya, lebih dari sepertiganya hutan primer) – wilayah sebesar negara Norwegia dan Denmark.182
• Separuh hutan habitat orangutan di Kalimantan (hampir 4 juta ha diantaranya berhutan); lebih dari seperempatnya habitat harimau Sumatra (sedikit lebih dari 3 juta ha) Ambisi pembangunan Indonesia dan proposalproposal mitigasi REDD menyiratkan cukup tersedianya ‘lahan terdegradasi’ untuk prioritas pembangunan, tetapi menawarkan definisi yang tidak jelas atau kontradiktif dari lahan ini. Rancangan strategi bersama Nasional REDD+ Bappenas–UN-REDD Oktober 2010 telah mencanangkan batas karbon teknis sebesar <35tC/
ha183 untuk lahan yang cocok bagi pembangunan rendah karbon, serta potensial untuk mencapai 100tC/ha bagi lahan yang dikonservasi murni karena potensi penyimpanan karbonnya.184 Secara logika, kriteria karbon ini berarti kebijakan pembangunan rendah karbon berdasarkan perlindungan penuh lahan gambut dan hutan.185
cocok jika dilihat dari perspektif karbon, konservasi, ekologis dan sosial.
Analisis awal Greenpeace bertujuan untuk mengidentifikasi potensi lahan yang benarbenar terdegradasi untuk pembangunan rendah karbon. Secara kolektif zona-zona HP/HPK dan APL mengandung 14 juta ha tutupan lahan yang diidentifikasi oleh Kementerian Kehutanan sebagai lahan kosong, alang-alang, savana yang tidak terletak pada lahan basah, dengan demikian potensinya di bawah batas 35tC/ha.186 Walau demikian, penilaian ini tidak termasuk perhitungan yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan, yaitu untuk nilai-nilai satwa liar (habitat) dan sosial (kegiatan ekonomis atau pertanian). Selanjutnya, analisis tutupan lahan tambahan menunjukkan tutupan pepohonan yang signifikan dalan beberapa kategori ini.
Untuk memenuhi ambisi Indonesia untuk tidak ‘terkunci pada model pertumbuhan yang tidak berkelanjutan untuk lingkungan kita dan dunia’ jelas bahwa sektorsektor seperti pulp dan kelapa sawit harus ‘bergeser ke model pembangunan yang tidak intensif karbon’.188
Kesimpulan: ambisi pembangunan harus berkonsentrasi pada peningkatan produktivitas Kumpulan data Kementerian Kehutanan dan lainnya, yang juga digunakan pemerintah Indonesia dalam rencana penurunan gas rumahkaca 2010 menunjukkan bahwa potensi wilayah lahan rendah karbon yang tersedia untuk ekspansi yang direncanakan untuk sektor-sektor kunci kurang dari seperempat dari tataguna lahan sektor ini dengan kegiatan seperti biasa: yaitu hanya kurang lebih 14 juta ha dibandingkan sekitar 63 juta ha. Walaupun dalam bagian dari ini, tataguna alternatif untuk pengembangan perkebunan industri mungkin lebih
Rencana pengurangan gas rumahkaca 2010 mengidentifikasi sektor-sektor pulp dan kelapa sawit sebagai penyebab dari separuh angka deforestasi yang diprakirakan untuk periode 2010–2030.187
Prioritas utama harus secara radikal meningkatkan produktivitas dalam perkebunan yang ada, tanpa membuka hutan tambahan. Dokumen DNPI dan industri menekankan potensi untuk meningkatkan produktivitas pulp empat kali lipat dan kelapa sawit hampir dua kali lipat. Berkonsentrasi pada peningkatan produktivitas akan menyebabkan konversi lahan besar-besaran untuk sektor-sektor ini, bahkan dalam wilayah konsesi yang ada, sebagian besar tidak lagi diperlukan. Ini adalah keadaan yang sama-sama menguntungkan bagi ekonomi dan lingkungan. Tetapi para pemain kunci dalam sektor pulp dan kelapa sawit dan dalam kementerian Indonesia tampaknya secara institusional sangat anti pada revisi model ‘kegiatan seperti biasa’, dan mencoba untuk menyetarakan model bisnis yang tidak berkelanjutan dengan retorika seputar pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi.189 Retorika semacam ini melemahkan ambisi Presiden SBY untuk memanfaatkan kesempatan dan membawa Indonesia ke jalur pembangunan rendah-karbon, tinggi-nilai dengan dukungan finansial besar dari masyarakat internasional.
28
Gambar 8: areal (juta ha), luas lahan gambut dalam zona pembangunan
4.6 di luar zona (22%) 16.3 dalam zona (78%)
Total: 20.9 juta ha
Sumber: Dephut (2010c), Wayhunto et al (2003, 2004, 2006).
Riau, 2009: Hutan gambut utuh.
29
Dampak ekspansi yang direncanakan pada lahan gambut dan emisi gas rumahkaca
Kualitas hutan alam menentukan stok karbon, lahan gambut memiliki kedalaman yang beragam. Kedalaman gambut tempat dibukanya perkebunan menentukan emisi bruto CO2 akibat degradasi. Tidak termasuk dampak kebakaran, lahan gambut yang dikonversi terdegradasi pada laju 0,5 meter kedalaman tiap 25 tahun. Sumber: Kementrian LH (2009), Hooijer et al (2006) dan Germer an Sauerborn (2007)
Gambar 9: karbon hutan dan lahan gambut (tC/ha) dan tahun degradasi setelah konversi menurut kedalaman Hutan sekunder
Hutan primer
200 tC/ha
400 tC/ha
Tanah kosong, gambut 1 meter
Hutan sekunder pada gambut 1 meter
Hutan prime pada gambut 1 meter
600 tC/ha
800 tC/ha
1000 tC/ha
Atas tanah Bawah tanah 1 meter
3 meter
50
tahun beremisi 1800 tC/ha
2000 tC/ha
150
2200 tC/ha
5 meter
3200 tC/ha
3400 tC/ha
3600 tC/ha
250
Gambar kiri, gambut di Riau. Gambut di Riau mencapai kedalaman sampai 15 meter.
Menurut DNPI, wilayah gambut Indonesia dan hutannya menyimpan 40GtC, ‘nilai yang setara dengan hutan Amazon’.190 Walau demikian, sementara Amazon membentang di wilayah lebih dari tiga perempat total wilayah Amerika Serikat,191 wilayah total lahan gambut Indonesia lebih kecil dari Britania Raya.192 Saat ini kurang dari separuh wilayah ini terdegradasi,193 tapi emisi gas rumahkaca dari lahan gambut Indonesia 194 lebih besar daripada Britania Raya.195 Hampir 80% dari wilayah lahan gambut Indonesia – dengan 28GtC – adalah wilayah yang dizonakan untuk pembangunan intensif pada 2030.196
Rencana penurunan gas rumahkaca DNPI 2010 mengasumsikan ‘wilayah luas [lahan gambut] akan dikonversi’197 tanpa perubahan radikal dalam kebijakan pemerintah dan praktik industri, emisi lahan gambut akan meningkat ‘karena konversi baru dan pengeringan lahan gambut untuk perkebunan (misalnya, perkebunan kayu pulp dan kelapa sawit)’.198
Elemen utama rencana mitigasi/penurunan emisi DNPI secara umum menargetkan tingkat emisi lahan gambut dan bukan emisi keseluruhan wilayah. Hal ini mengabaikan kemungkinan bahwa perkebunan akan diklasifikasi sebagai rehabilitasi – interpretasi yang sangat kuat diadvokasi oleh industri.
Menurut rencana DNPI, mitigasi emisi ‘kegiatan seperti biasa’ (BAU) terdiri dari tiga unsur utama: pencegahan kebakaran, tata kelola air, dan rehabilitasi.199 Menghindari pembangunan yang direncanakan pada lahan gambut tidak diidentifikasi secara khusus sebagai potensi keunggulan.200
Misalnya, presentasi oleh Sinar Mas kepada kelompok termasuk DNPI dan Kementerian Kehutanan tidak lama sebelum KTT Iklim di Kopenhagen Desember 2009 yang menyatakan bahwa perkebunan pulp pada lahan gambut mengurangi emisi kebakaran pada gambut,
memperbaiki fungsi hidrologis dari gambut rusak dan memperbaiki pengikatan karbon pada kubah-kubah gambut yang runtuh.201 Kenyataan karbon adalah bahwa pengembangan lebih lanjut pada lahan gambut hanya akan menambah jumlah besar pada emisi dunia secara keseluruhan, membawa dunia lebih dekat ke titik balik (tipping point) yang dapat berdampak sangat buruk untuk semua negara, termasuk Indonesia. Perlindungan penuh pada lahan gambut adalah cara yang termudah, tercepat dan langsung untuk memenuhi sebagian besar komitmen iklim Presiden SBY.
30
Gambar 10: proses degradasi lahan gambut 1
Lahan gambut berhutan alam
2
Deforestasi Emisi C02 dari deforestasi dan gambut degradasi
Hutan primer dan sekunder
Gambut
Gambut
3
Tebang habis dan penanaman
4
Emisi dari gambut 0–2 meter
Emisi C02 dari deforestasi dan gambut degradasi
Perkebunan
Perkebunan Gambut
5
Emisi dari gambut 2–4 meter
1 meter gambut terdegradasi dan mengemisi selama 50 tahun
6
Emisi dari gambut 4+ meter
UANG PERLINDUNGA
Gambut terdegradasi mengering dan tinggi permukaan tanah turun
Peat Gambut 3 meter terdegradasi dan mengemisi selama 150 tahun
Gambut sangat dalam dapat mengemisi selama ratusan tahun]
31
Dampak ekspansi terencana pada hutan, emisi dan usulan REDD+ Indonesia Summary for Policy Makers: Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework Convention on Climate Cha nge (UNFCCC)
2
Measures to Mitigate Climate Change
To strengthen the role of the land use and forestry sector in 19000 Baseline mitigating climate change, the Mitigation Government of Indonesia has set 18500 up ambitious targets for land and 18000 forest rehabilitation programmes. All forest concession companies 17500 are encouraged to adopt improved silviculture systems, 17000 such as reduced impact logging and intensive silviculture 16500 (SILIN). With such an ambitious 16000 programme, Indonesia will turn into a net GHG sink country in the next 10 years. However, to Figure 18. Carbon stock change under baseline and achieve such ambitious targets, mitigation scenarios (Boer, 2001). Note: In this Indonesia will require nancial analysis carbon loss from peat soil was not support, technology transfer estimated and capacity building. The rate of programme implementation along with their corresponding CO2 sequestration is presented in Table 6.
37 dalam zona pembangunan (40%)
Total: 92 juta ha
Sumber: Dephut (2009e), Dephut (2010c).
Sumber: 1.DNPI (2009) 11 2. Kementerian LH (2009)1:27.
Menurut Komunikasi Nasional Kedua Indonesia 2009 kepada UNFCCC, secara rata-rata hutan primer Indonesia menyimpan 400tC/ha dan hutan lainnya sebesar 200tC/ha.202 Sekitar 40% hutan Indonesia berada pada zona pembangunan, termasuk konversi ke perkebunan kayu dan kelapa sawit dan produksi komoditaskomoditas pertanian. Dalam zona ini, hutan primer mencakup lebih dari 13,6 juta ha dan hutan lainnya membentang hampir 23,3 juta ha – totalnya seluas 37 juta ha – seluas Norwegia dan Denmark.203 Angka Kementerian Kehutanan menyatakan hutan ini menyimpan 10GtC.204 Skenario DNPI mengasumsikan akan hilangnya sebagian besar – bila tidak dikatakan semua – hutan ini: ‘Rencana Pemerintah untuk meningkatkan
produksi pulp dan kelapa sawit akan memerlukan dikonversinya 11–15 juta ha wilayah yang saat ini berhutan. Untuk menyediakan pangan dan mendukung populasi yang berkembang, tambahan 10–13 juta ha diperlukan untuk lahan pertanian. Pertumbuhan permintaan secara umum akan produk kayu untuk konstruksi dan bioenergi akan mendorong diperlukannya wilayah lebih luas.’205 Biaya kesempatan untuk mencegah separuh wilayah yang dizonakan untuk deforestasi (bagian yang diperuntukkan untuk pengembangan pulp dan kelapa sawit) diperkirakan sebesar $30/ tCO2e , yang setara dengan biaya kesempatan sebesar $20.000/ha.206 Penggunaan angka ini dalam hal biaya untuk menghindari deforestasi dari sektor-sektor pulp
2030
2026
2022
2018
2014
2010
2006
2002
1998
1990
Carbon Pool (million ton)
55 zona lainnya (60%)
1
1994
Gambar 11: areal (juta ha), luas hutan dan zona pembangunan
Some potential funding sources being targeted by the Government of Indonesia to achieve such targets include (Wibowo and Boer, 2009): • REDD Fund. Current progress on pilot activities has shown broad interest from donor organizations and countries, as well as the private sectors to implement REDD pilots in areas of Indonesia (Aceh, Papua, and Kalimantan). dan kelapa sawit tidak gamblang.some Diasumsikan ekonomi) per ton dari produksi yang diinginkan • CDM (Clean Development Mechanism) /Kyoto mechanism . A potential funding source bahwa tingkat serat yang berkelanjutan secara – tidak for Sustainable Forest Management (SFM) diberikan. in the future. Private investment. Favorable conditions are needed to attract private investment from ekonomis dan lingkungan tidak• dapat diproduksi overseas, and under current conditions more work needs to be done for Indonesia to tanpa pembangunan perkebunan yang ekstensif, Satu akibat yang mungkin dari pemaparan biasa attract such investments. • Grants through bilateral channel such as the Overseas Development Assistance (ODA). dan perkebunan tidak akan dapat dibangun bila untuk menghindari deforestasi karena perkebunan • Grants through multilateral channel: World Bank, ITTO (International Tropical Timber tidak pada lahan berhutan. denganFacility), cara ini yaituMechanism), dengan mempresentasikan Organization), GEF (Global Environment GM–(Global FAO (Food and Agricultural Organization). kemungkinan skenario paling mahal – adalah • DNS (Debt for Nature Swaps): Under the Tropical Forest Conservation Act of the USA, Rencana penurunan gas rumahkaca DNPI membuat pilihan kebijakan melibatkan Indonesia may apply for debt reduction and use the money for forest conservationpencegahan activities. 2010 juga menyatakan bahwa: ‘Biaya ini dapat pengembangan perkebunan pada lahan berhutan • Adaptation Fund under the Kyoto mechanism. Developing countries (G77+China) dikurangi cukup besar bila perkebunan dapatnegotiation process tampak sangatan mahal (paling dalam hal in the UNFCCC have proposed adaptation fundtidak for forest dibangun pada wilayah-wilayah rehabilitation yang sudahand forest conservation. biaya kesempatan), dengan demikian secara • GFF (Global Forest Fund). The mechanism has been proposed within UNFF (United rusak atau terbuka (hutannya), karena biayaon Forest), and many implisit memilih lebihwill murah (seperti Nations Forum foresters expectpilihan that theyang mechanism support the effort toward Sustainable Forest Management (SFM) in thepada future.lahan gambut – hanya menggambarkan pemasukan yang pencegahan kebakaran
hilang dari penebangan kayu saat penebangan lahan pertama kali’.207 Walau demikian, biaya sebenarnya tidak diberikan – per ton CO2e, atau per hektar hutan dari memindahkan perkebunan, atau (lebih cocok dari perspektif
mungkin melalui pengembangan perkebunan). 27 mengakibatkan dampak yang bertolak Hal ini akan belakang, yang akan membiarkan deforestasi serta pengrusakan lahan gambut untuk perkebunan terus berjalan, mungkin sampai bertahun-tahun atau
32
beberapa dekade ke depan. Pemberian insentif untuk perbaikan produktivitas akan gagal, untuk mengurangi permintaan lahan secara keseluruhan. Yang juga bertolak belakang adalah membiarkan lahan ditebangi habis (dengan kayu yang hilang sangat mungkin digunakan untuk memenuhi pebutuhan serat sektor pulp) dan kemudian membiarkan pengembangan perkebunan pada ‘lahan hutan yang rusak’208 untuk dihitung sebagai ‘reforestasi’ diidentifikasi sebagai pilihan yang lebih murah untuk menghindari deforestasi.
UANG PERLINDUNGA
‘Aforestasi dan reforestasi merupakan kesempatan mengikat karbon sebesar 300MtCO2e pada 2030 dengan biaya $5–6 per karbon tCO2e yang dihindari. Ini berarti menanami kembali hutan lebih dari 10 juta ha lahan non-hutan yang rusak dan lahan berhutan. Mengembangkan kayu komersial dan perkebunan tanaman industri sebagai bagian dari program reforestasi akan membantu mengurangi tekanan pada wilayah hutan yang tersisa.’209 Dokumen strategi DNPI-pemerintah daerah Jambi mengedepankan teori untuk memecahkan ketegangan antara reforestasi dan pengembangan
perkebunan pada lahan hutan ‘kritis’ atau sebagai pengurangan emisi: ‘Meningkatkan wilayah ikatan karbon dengan aforestasi dan reforestasi dapat direalisasikan jika wilayah ini disisihkan untuk konversi. Walau demikian, satu cara untuk menjadikan wilayah kritis kembali dengan tutupan hutan adalah sementara menanaminya kembali dengan perkebunan kayu, yang nantinya secara bertahap dapat ditransformasikan kembali untuk konservasi atau hutan lindung.’210 Dua pilihan yang disukai dalam kaitannya dengan perkebunan tampaknya muncul dari laporan kurva biaya gas rumahkaca DNPI – apakah masyarakat internasional harus membayar ‘biaya kesempatan’ penuh karena tidak membuka perkebunan atau harus menerima pengembangan perkebunan sebagai bagian dari solusi. Dalam kedua pilihan ini industri akan mendapatkan untung dan kecuali tersedia sejumlah besar uang (lebih dari $10 milyar/tahun dari sektor pulp dan kelapa sawit)211 deforestasi untuk perkebunan dicanangkan untuk jalan terus dalam rencana DNPI. Tampaknya beberapa elemen dalam pemerintah
Indonesia ingin masyarakat internasional membayar banyak uang untuk ekspansi industri pulp dan kelapa sawit, tanpa dapat menjustifikasinya dari perspektif iklim. Yang menarik, dokumen yang sama juga mengandung banyak bukti yang menunjukkan bahwa sektor-sektor pulp dan kelapa sawit memiliki potensi untuk mentransformasi model bisnis mereka secara radikal dan benar-benar berkontribusi pada jalur pembangunan rendah karbon untuk Indonesia yang tidak bergantung pada perusakan hutan dan lahan gambut. Sebagaimana juga diakui oleh berbagai dokumen resmi,212 Indonesia adalah negara dimana lingkungan, masyarakat dan ekonominya sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sebagai sumber terbesar dunia akan emisi berkaitan dengan deforestasi, Indonesia harus mengambil tindakan untuk melindungi hutan alam dan lahan gambut yang tersisa. Perlindungannya sangat vital bukan hanya untuk mengurangi emisi global, tetapi juga mempertahankan kesehatan, keselamatan dan keamanan masyarakat Indonesia.213
33
Gambar 12: perkebunan menutupi luas jangkauan deforestasi sebenarnya
Deforestasi
besar hutan
perkebunan
Hutan sekunder
Tahun 1
Tahun 2
Mixed forest and degraded forest
Deforestation begins
Tahun 3
Tahun 4
Ongoing deforestation, plantations mask rate of loss
Tahun 5
Tahun 6
Tahun 7
Tahun 8
Tahun 9
Complete loss of natural forest, with apparent zero deforestation, as all loss is masked by extent of plantations
34
Mengidentifikasi lahan yang tersedia untuk pembangunan rendah karbon
Kenyataan dari penurunan emisi gas rumahkaca melalui perpindahan ekspansi kelapa sawit dan pulp dan pembangunan lainnya dari lahan berhutan ke lahan yang sesuai untuk pembangunan rendah karbon sangat bergantung pada bagaimana didefinisikan istilah kunci seperti ‘hutan’. Dalam konteks rencana pengurangan emisi gas rumahkaca nasional Indonesia, proyek-proyek REDD+ dan kesepakatan dengan Norwegia, istilah ‘terdegradasi’, ‘kritis’, ‘tidak produktif’, ‘lahan tidur’ dan ‘lahan terlantar’ digunakan luas oleh kedua pemerintah dan industri di Indonesia untuk menggambarkan lahan yang dapat dikembangkan untuk menghindari emisi yang berkaitan dengan deforestasi.
disepakati secara internasional untuk ’lahan yang terdegradasi’, definisi ini juga tidak disepakati dalam peraturan atau kebijakan Indonesia. Sebagaimana yang dirangkum oleh World Resources Institute:214 ‘Degradasi lahan secara umum dimengerti sebagai proses yang disebabkan oleh manusia yang menyebabkan hilangnya produktivitas alami jangka panjang; degradasi hutan secara umum mengacu pada hilangnya jasa yang diberikan oleh ekosistem hutan, termasuk tapi tidak terbatas pada simpanan karbon.’ Ahli ekologi mengacu pada istilah hutan terdegradasi untuk menggambarkan hutan sekunder atau hutan yang telah ditebang pilih; walau demikian, mereka menekankan bahwa hutan semacam ini masih mengandung nilai-nilai karbon, keanekaragaman hayati dan nilai lain yang penting.215
Apa definisi lahan terdegradasi? Semua wilayah konsesi yang dimiliki atau dikelola oleh SMART dan perusahaan induknya., Golden Agri-Resources (GAR), terletak pada lahan terdegradasi, berdasarkan konsesi pemerintah. Divisi kelapa sawit Sinar Mas, Siaran Pers, 28 Juli 2010
Dalam kaitannya dengan rencana pengurangan emisi gas rumahkaca, laporan DNPI-Pemda Kalimantan Tengah ‘Menciptakan kemakmuran rendah karbon di Kalimantan Tengah’ menyatakan bahwa ’lahan terdegradasi’ adalah ’yang didefinisikan oleh Kementerian Kehutanan’ sebagai ‘lahan kritis’.216
UANG PERLINDUNGA
Apa definisi lahan kritis? Laporan resmi pemerintah dan perusahaan sering kali mengacu pada lahan ‘terdegradasi’ tanpa definisi yang jelas, untuk mengesankan bahwa Indonesia memiliki banyak lahan yang – dengan pendanaan REDD – dapat dikembangkan untuk menghindari emisi yang berasal dari deforestasi. Dalam konteks negosiasi internasional untuk mengurangi gas rumahkaca, tidak terdapat definisi tunggal yang
Lahan kritis secara hukum dinyatakan oleh Kementerian Kehutanan sebagai lahan yang memiliki fungsi ekologis yang menurun.217 Kementerian Kehutanan mengidentifikasi 59 juta ha ‘lahan kritis’ dalam kawasan hutan dan 41 juta ha di luar kawasan hutan.218 Laporan ICCSR Maret 2010
mencatat bahwa lahan ini memerlukan ‘rehabilitasi’ – komponen kunci skenario penurunan emisi Indonesia.219 Rancangan strategi Nasional REDD+ Indonesia Oktober 2010 mencatat bahwa ‘usaha merehabilitasi wilayah hutan dan lahan kritis […] harus menjadi prioritas nasional’.220 Laporan DNPI–Pemda Kalimantan Timur ‘Strategi Pembangunan Berkelanjutan Lingkungan Kalimantan Timur’ secara spesifik menunjuk lahan ‘kritis’ dan ‘sangat kritis’ sebagai lahan terdegradasi dengan kesempatan penurunan emisi. Ini mendefinisikan bahwa wilayah ini memiliki tutupan hutan masingmasing sampai dengan 40% dan 20%, dan mengutip sumber dari Kementerian Kehutanan.221 Dengan potensi tutupan hutan yang relatif tinggi dalam definisinya, sangat jelas bahwa merelokasi pembangunan perkebunan ke lahan ‘kritis’ tidak sinonim dengan menghentikan deforestasi hutan dan lahan gambut kaya karbon. Dalam kriteria FAO, wilayah dengan tutupan tajuk lebih dari 10% didefinisikan sebagai hutan.222
Apa definisi lahan tidak produktif, tidur dan dizonakan untuk pembangunan? APP hanya membangun perkebunan pada wilayah-wilayah yang telah disisihkan pemerintah sebagai kurang bernilai sesuai dengan kebijakan pembangunan. APP, 2009
‘Tanah terlantar’ adalah lahan yang tidak digunakan/ diterlantarkan dimana ijin dikeluarkan tapi belum digunakan oleh si pemegang ijin – diperkirakan oleh BPK dan Kementerian Kehutanan seluas 7 juta ha.223 ‘Lahan tidur’ adalah lahan yang tidak digunakan, dianggap tidak produktif menurut peraturan nasional atau propinsi – saat ini diperkirakan BPN seluas 12 juta ha.224 Rancangan strategi Nasional REDD+ Indonesia August 2009 menyatakan bahwa kebijakan strategis untuk mengurangi deforestasi adalah mengalokasikan ‘lahan tidak produktif’ untuk pengembangan perkebunan,225 berarti kriteria ini mencerminkan penggunaan ekonomis untuk industri, dan bukan nilai-nilai ekologisnya. Rancangan strategi Nasional REDD+ Oktober 2010 menyatakan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 30 juta ha ‘lahan yang tidak digunakan (dianggap tersedia)’ – ini adalah lahan yang ‘ditumbuhi alangalang dan semak-semak, keduanya pada rawa kering dan mangrove’.226 Walau demikian, saat ini tidak terdapat definisi teknis untuk hutan tidak produktif. 227 Definisi dan kriteria paling dekat adalah peraturan kehutanan yang dicabut pada tahun 2003 oleh Peraturan Menteri untuk mempercepat pembangunan perkebunan dan mengijinkan penebangan habis hutan alam.228 Peraturan historis ini menetapkan bahwa perkebunan kayu harus dibangun di wilayah yang memiliki <5m3/ha kayu komersial.229 Ini setara dengan satu
35
Saat ini kami memiliki wilayah hutan terdegradasi yang sangat luas. Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih memiliki 12 juta lahan tidur yang dapat digunakan untuk tujuan bisnis. Terdapat sekitar 40 juta hektar lagi hutan kritis yang juga dapat dibuka menjadi perkebunan.’ Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, 6 Juli 2010
Riau, 2007: Pengeringan gambut.
pohon besar atau sepuluh pohon kecil per ha – yang sejatinya adalah lahan kosong atau beralang-alang. Peraturan baru menyerahkan keputusan mengenai produktivitas kepada Menteri untuk ditetapkan menurut dasar kasus per kasus.230 Komunikasi Nasional Kedua Indonesia kepada UNFCCC November 2009 dan dokumen internal Kementerian Kehutanan tampaknya mengasumsikan bahwa keseluruhan zona produksi permanen adalah lahan tidak produktif, dengan perkebunan kayu hanya boleh dibangun di zona ini, dan bentang program perkebunan yang diusulkan (total 33 juta ha) hampir sama dengan zona itu sendiri.231 Pendekatan administratif dan zona untuk menentukan lahan yang tersedia untuk ekspansi didukung oleh industri dan kementerian-kementerian pemerintah yang akan mendapatkan untung dari konteks pendanaan iklim internasional untuk proyekproyek REDD, termasuk juga komitmen moratorium untuk konversi hutan. Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) telah menyatakan bahwa wilayah yang disisihkan untuk pembangunan perkebunan kayu (yaitu ‘rencana tataguna lahan berdasarkan zona’) adalah ‘konsisten dengan rencana tataguna lahan nasional, regional dan lokal yang telah disetujui, untuk memanfaatkan kapasitas produktif lahan hutan terdegradasi dan meringankan tekanan pada hutan alam’.232
UANG PERLINDUNGA
36
Bahkan hutan yang telah ditebangi yang paling terdegradasi […] memiliki nilai biologis yang cukup. Dan kita dapat menyimpulkan bahwa nilai biologis semacam ini menginkorporasikan sejumlah besar dalam daftar merah IUCN atau spesies-bernilai konservasi tinggi […] Hutan terdegradasi harus dilihat sebagai wilayah penyimpanan besar untuk keanekaragaman hayati. Dr. David P Edwards, Institut Biologi Integratif & Komparatif, Universitas Leeds, komunikasi pribadi, Agustus 2010
1. Kalimantan, 2009: Lutung Kalimantan (monyet langur). 2. Kalimantan Timur, 2003: Perempuan desa menampih beras untuk perayaan. 3. Aceh, 2006: Greenpeace membantu masyarakat memasang panel surya. 4. Kalimantan Timur, 2003: Penyadapan karet.
37
Meletakkan garis dasar untuk pembangunan rendah karbon Apa yang kurang dari rencana pengurangan emisi Indonesia adalah definisi yang jelas dan peta lahan yang dianggap cocok untuk konversi dan pembangunan – dan pada saat yang sama, lahan mana yang akan mendapatkan keuntungan dengan perlindungan. Interpretasi akhir akan lahan apa yang seharusnya tersedia untuk pengembangan skala besar dan lahan apa yang seharusnya tak disentuh oleh kegiatan semacam ini akan memberikan implikasi serius untuk strategi pembangunan tataguna lahan Indonesia bagi emisi gas rumah kaca, keanekaragaman hayati, masyarakat yang bergantung kepada hutan, sektor pulp dan kertas serta kelapa sawit. Syarat utama dalam mencapai pengurangan emisi sebenarnya adalah tantangan internasional untuk menetapkan kriteria untuk definisi lahan yang tersedia bagi pembangunan rendah karbon berdasarkan ukuranukuran karbon, keanekaragaman hayati dan sosial:
• Dari perspektif karbon, pembangunan tidak akan mengakibatkan emisi gas rumahkaca signifikan (gross/bruto) baik secara langsung dan tidak langsung
• Dari perspektif lingkungan, pembangunan tidak akan mengurangi nilai konservasi tinggi seperti preservasi keanekaragaman hayati, persediaan air bersih, dan jasa lingkungan lainnya
• Dari perspektif hukum, pembangunan tidak berselisih dengan hukum yang ada, konsesi atau hak lain termasuk hak adat masyarakat setempat
• Dari perspektif sosial, pembangunan tidak akan mengakibatkan dampak negatif pada penghidupan masyarakat lokal dan dinegosiasikan berdasarkan proses persetujuan tanpa paksaan
sebelum kegiatan, tindakan, operasi dijalankan.
• Dari perspektif ekonomi, pembangunannya berkelanjutan Salah satu komitmen dalam kesepakatan Norwegia/ Indonesia adalah untuk ‘membangun basis data lahan terdegradasi’ ‘untuk memfasilitasi pembangunan kegiatan ekonomi pada lahan semacam ini daripada mengkonversi lahan gambut atau hutan alam’.233 Definisi teknis lahan untuk pembangunan rendah karbon telah diberikan dalam rancangan strategi Nasional REDD+ Indonesia Oktober 2010 – yang dirancang bersama dengan UN-REDD. Ini mendefinisikan lahan tinggi karbon untuk konservasi memiliki ‘potensi sebagai penyimpan karbon’ sebanyak >100tC/ha dan lahan rendah karbon memiliki stok karbon sebanyak <35tC/ha.234 Garis dasar definisi standar internasional untuk hutan sebagaimana didefinisikan oleh FAO adalah >10% tutupan tajuk pohon 235 – persentase lahan yang ditutupi oleh dedaunan atau cabang pohon pada puncak atau tajuk pohon dalam hutan. Data Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa bahkan wilayah hutan pada batas ini memiliki potensi untuk menyimpan >100tC/ha; sementara 35tC/ha cukup untuk menutup <10% tutupan tajuk. Jadi, kriteria karbon ini sebaiknya diterjemahkan menjadi kebijakan pembangunan rendah karbon yang didasari atas perlindungan penuh pada lahan gambut dan hutan.236 Analisis awal Greenpeace berdasarkan data Kementerian Kehutanan bertujuan untuk mengidentifikasi wilayah lahan yang potensinya tersedia untuk pembangunan rendah karbon sejalan
dengan interpretasi ini. Secara kolektif, dalam zona HP/HPK dan APL terdapat 14 juta ha lahan yang diidentifikasi sebagai lahan kosong, alang-alang dan savana yang tidak terletak pada lahan basah.237 Walau demikian, klasifikasi tutupan lahan sendiri tidak cukup untuk menilai nilai-nilai ekologis, keanekaragaman hayati dan sosial. Misalnya, data tutupan tajuk menyatakan bahwa sebagian besar lahan ini memiliki >30% tutupan tajuk.238 Ini berarti terdapat kesalahan klasifikasi, dan menyiratkan nilai karbon, keanekaragaman hayati dan sosial berpotensi jauh lebih besar untuk masyarakat lokal melalui restorasi ekologis dibanding melalui pembangunan industrial seperti pengembangan perkebunan.
Gambar 13: areal (juta ha), luas tataguna lahan dalam zona pembangunan 14 potensi lahan rendah karbon (12%) 49 lahan dengan tataguna ekonomi atau pembangunan (43%)
Total: 113 juta ha
9 lahan gambut tak berhutan (8%) 4 lainnya (4%)
37 hutan dan hutan gambut (33%)
Sumber: Dephut (2009e), Dephut (2010c), Wayhunto et al (2003, 2004, 2006).
38
1
2
3
4
Siklus hidup perkebunan kayu. 1. Riau, 2008: pembibitan perkebunan. 2. Sumatra, 2009: perkebunan kayu. 3. Tesso Nilo, 2008: panen kayu. 4. 2010: kayu dibawa ke pabrik pulp Sinar Mas, Indah Kiat. 5. Riau, 2008: pabrik pulp Sinar Mas, Indah Kiat. 6. Tisu toilet, produk kertas sekali pakai.
6
UANG PERLINDUNGA
5
39
Stok karbon hutan dan lahan gambut Lahan gambut 600tC/ha per meter kedalaman 239
Gambar 14: Model Kemenhut untuk pengikatan karbon perkebunan
Gambar 15: Model UNFCCC untuk pengikatan karbon perkebunan (simpanan C rata-rata waktu) tC/ha
Asumsi karbon Indonesia
tC/ha
Apakah perkebunan merupakan solusi untuk perubahan iklim?
Tanaman kayu ditebang untuk produksi
Volume karbon meningkat setelah tiap kali panen
Hutan primer/hutan yang belum diganggu 400tC/ha 240
Rata-rata karbon yang disimpan dalam siklus pertumbuhan perkebunan
Tanaman kayu ditebang untuk produksi pulp
Hutan sekunder/Produksi/ditebang 200tC/ha241 Kapasitas pengikat karbon dari perkebunan Maksimum saat ini 2tC/ha/yr242 Proyeksi pemerintah 8tC/ha/yr243 Klaim Sinar Mas saat ini 33tC/ha/yr244 Garis dasar pembangunan rendah karbon dan perlindungan karbon 245 Perlindungan potensi mencapai 100tC/ha Rendah karbon <35tC/ha
7 Penanaman pohon
14 Tahun
Sumber: eg. Balitbang Dephut (2009), Kementerian LH (2009) 28.
Hipotesa perkebunan: a) perkebunan mengikat karbon dalam jumlah yang sangat besar b) Indonesia memiliki lahan kosong yang sangat luas yang secara bersih akan menghasilkan tambahan karbon dengan dibangunnya perkebunan c) pembangunan perkebunan mengurangi tekanan pada hutan alam.
21
7
28 Penanaman pohon
14 Years
21
28
Tanaman kayu ditebang untuk produksi pulp
Asumsi 1: tanaman perkebunan mengikat karbon dalam jumlah besar Masukan resmi Indonesia kepada UNFCCC November 2009, rencana penurunan gas rumahkaca DNPI dan dokumen pemerintah Indonesia lainnya, 246 berasumsi bahwa tanaman perkebunan kayu akan mengikat karbon pada tingkat 8tC/ha/tahun (mengimplikasikan perbaikan produktivitas sekitar empat kali dari rata-rata maksimum nasional saat ini). (Klaim Sinar Mas mengenai pengikatan karbon tahunan dalam perkebunan pulp – yang diklaim diberikan oleh ERM – adalah empat kali lebih besar:
‘Perkebunan kayu pulp APP mengikat sekitar 33 ton karbon per hektar per tahun.’ 247) Total wilayah perkebunan kayu yang direncanakan tahun 2030/2050 adalah 33 juta ha 248 (wilayah konsesi bruto termasuk prasarana adalah 30-40% lebih besar). Komunikasi Nasional Kedua Indonesia pada UNFCCC 2009 berasumsi bahwa perkebunan akan mengikat lebih dari 800MtCO2e pada tahun 2030;249 implementasi skema perkebunan penuh akan mengikat sekitar 1GtCO2 tiap tahunnya 250 – sejalan dengan pernyataan-pernyataan publik Presiden SBY kepada G20 dan dokumen-dokumen internal Kementerian Kehutanan.
40 Sumber: Greenbury (2010).
Perkebunan dengan siklus penanaman yang pendek adalah paling jauh netral karbon. DNPI–Pemda Kalimantan Timur ‘Strategi Pembangunan Lingkungan Berkelanjutan Kalimantan Timur’, September 2010
Rencana pengurangan gas rumahkaca Indonesia 2010 membuat asumsi sebagai berikut: ‘Aforestasi dan reforestasi mewakili kesempatan pengikatan karbon sebesar 300MtCO2e pada tahun 2030.’251
UANG PERLINDUNGA
Sinar Mas – salah satu produsen pulp terbesar dunia, menyumbang hampir separuh produksi pulp Indonesia pada tahun 2009,252 dan ‘perusahaan kelapa sawit terbesar kedua di dunia’253 – mengklaim operasi pulp mereka sedang ‘dalam proses aforestasi lebih dari 1,3 juta hektar lahan terdegradasi dan lahan terlantar di seluruh dunia dan dalam melakukan ini telah berkontribusi terhadap perang melawan pemanasan global’.254 Aforestasi ini termasuk pengembangan perkebunan pada lahan gambut, yang dikatakan mengubahnya ‘dari sumber karbon menjadi penyimpan karbon’.255 Separuh dari perkebunan Sinar Mas berada pada lahan gambut.256
Kenyataannya Pengikatan karbon tahunan melalui pertumbuhan pesat perkebunan kayu berotasi pendek hanya dapat dihitung melawan emisi deforestasi bila diasumsikan bahwa seluruh karbon diikat secara permanen, tanpa ada emisi setelah panen.
besar volume CO2e akan diemisikan kembali di akhir masa rotasi perkebunan.’258
Sebagian besar kayu di Indonesia diperuntukkan bagi sektor pulp.
Karbon yang dapat diasumsikan diikat oleh perkebunan adalah kandungan karbon dalam rata-rata waktu dalam perkebunan yang hidup. Dengan demikian, perkebunan kayu pulp yang cepat tumbuh, berotasi pendek, misalnya, kandungan karbon rata-ratanya hanya separuh karbon pada saat panen.
Standar UNFCCC berasumsi bahwa kayu yang dipanen ini diperuntukkan bagi produk berumur pendek, dan studi mengindikasikan bahwa karbon yang diserap secara efektif dilepas kembali sesaat setelah kayu dipanen.257 Rencana pengurangan gas rumahkaca DNPI 2010 mengakui bahwa perkebunan secara potensi memiliki kemampuan pengurangan sangat terbatas: ‘Mengembangkan perkebunan kayu komersial dan komoditas industri sebagai bagian dari program reforestasi [...akan] secara tajam mengurangi potensi pengurangan wilayahwilayah reforestasi. Ini disebabkan oleh sebagian
Indonesia berasumsi pengikatan karbon tahunan sebesar 8tC/ha/tahun berimplikasi peningkatan hampir empat kali produktivitas di atas rata-rata nasional maksimum saat ini.259 Dengan asumsi ambisius semacam ini untuk peningkatan produktivitas, karbon berata-rata waktu yang diikat pada perkebunan kayu pulp akan berjumlah sebesar 28tC/ha (atau sekitar 100tCO2e/ha), tanpa menghitung kehilangan akibat kebakaran, tumbuhan yang gagal, misalnya.260 Ini adalah sekitar 14% perkiraan karbon Indonesia yang diikat pada hutan-hutan yang pernah ditebangi (sekunder) dalam zona HP, dan hanya 7% dari karbon yang dimiliki hutan primer.261
Asumsi 2: perkebunan pada lahan kritis akan meningkatkan stok karbon hutan Indonesia Menurut Kementerian Kehutanan, hutan alam non-primer (yaitu yang ‘terganggu’, ‘sekunder’, ditebangi atau rusak karena kegiatan manusia) mengandung rata-rata 200tC/ha 262 dan hutan primer mengandung 400tC/ha.263 Lahan gambut mengandung 600tC/ha per meter kedalaman.264 Dengan demikian ambisi yang berarti untuk ‘memperkuat stok karbon [Indonesia]’ 265 sesuai dengan Rencana Tindakan Bali Paragraf 1b (iii) (yang dinamakan REDD+) melalui pembangunan perkebunan harus didasari asumsi bahwa pembangunan perkebunan akan menghasilkan tambahan netto karbon.
41
Gambar 16: simpanan karbon relatif dari jenis-jenis hutan dan perkebunan yang berbeda
Kurva biaya gas rumahkaca Indonesia 2010 tidak jelas pada wilayah mana yang seharusnya tersedia untuk pembangunan perkebunan, terutama apakah perkebunan akan menggantikan hutan alam dan jika ya, apa definisi ‘hutan terdegradasi’. Tetapi laporan ini menyebutkan definisi ‘hutan’ sebagai tutupan tajuk >30%.266
600
500
Garis dasar definisi yang tinggi untuk ‘hutan’ semacam ini akan membawa resiko besar untuk REDD dan sebaliknya malah memberikan subsidi untuk peningkatan emisi, sebagaimana yang diungkapkan dalam dokumen Kementerian Kehutanan. Kalkulasi yang menggunakan asumsi Kementerian Kehutanan267 menyebutkan bahwa bahkan 10% tutupan tajuk (batas FAO untuk definisi hutan) akan diklasifikasi sebagai ‘karbon tinggi’ menurut Strategi Nasional REDD+ Bappenas–UN-REDD.268
tC/ha
400
300
Prioritas pemerintah harusnya adalah untuk memberikan definisi, metodologi dan peta secara transparan untuk mengidentifikasi wilayah untuk perlindungan dan wilayah dimana pembangunan dapat direlokasi, dan untuk mengurangi tekanan lahan melalui insentif kebijakan untuk meningkatkan produktivitas.
200
Batas menandai nilai karbon tinggi
100
100 Batas menandai potensi tersedianya lahan untuk pembangunan
35 0 >1m gambut
Hutan primer
Hutan sekunder
10% tajuk
Perkebunan Perkebunan yang seperti diperbaiki biasa
Alang alang
Sumber: Bappenas–UN-RE DD (2010), Hooijer et al (2006), Kementerian LH (2009), Dephut (2009c). Wardoyo dan Sugardiman (2009), DNPI (2010a), Dephut (2009c).
Asumsi 3: perkebunan mengurangi tekanan deforestasi Kurva biaya pengurangan gas rumahkaca DNPI 2010 menyatakan bahwa dengan pendanaan REDD+, sekitar 542,000ha269 hutan alam yang hilang dapat dihindari tiap tahunnya (atau sampai dengan 15 juta ha pada periode 2010–2030)270 melalui pencegahan pengembangan perkebunan pulp dan kelapa sawit pada lahan berhutan, dan bahwa perkebunan (kayu dan tanaman industri/ kelapa sawit) dapat membentuk bagian dari program reforestasi/aforestasi sebesar tambahan 10 juta ha ‘lahan kritis non-hutan dan berhutan. 271 Anggapannya adalah bahwa ‘mengembangkan perkebunan kayu komersial dan tanaman industri sebagai bagian dari program reforestasi dapat membantu mengurangi tekanan pada lahan hutan yang tersisa’. 272 Dengan beberapa tekanan tataguna lahan yang dihadapi Indonesia dan kurangnya kejelasan pada definisi hutan yang harus dilindungi, termasuk lahan ‘terdegradasi’ yang tersedia untuk pengembangan, sektor-sektor pulp dan kelapa sawit Indonesia memiliki peranan yang penting dalam menggeser Indonesia menuju jalur pembangunan rendah karbon. Selanjutnya untuk mendukung moratorium yang kuat dan efektif, sektor-sektor ini mempunyai potensi perbaikan dramatis dalam produktivitas bagi perkebunan mereka. Jika perbaikan ini terjadi, sektor pulp akan berhenti memberikan pasar menguntungkan untuk operasi lain untuk menebangi hutan (disinsentif), dan tekanan pada lahan dapat dikurangi. Lebih luas lagi, memperbaiki produktivitas akan mengubah posisi sektor-sektor pulp dan kertas serta kelapa sawit dengan pesaing global mereka sebagai industri bersih berkelas dunia.
42
Dapatkah sektor-sektor pulp dan kelapa sawit mendukung pembangunan rendah karbon?
Sektor pulp: berpotensi menggandakan produktivitasnya empat kali lipat tanpa menambah wilayah perkebunan
Gambar 17: permintaan serat (saat ini, proyeksi) dan ketersediaan serat dari perkebunan berdasarkan tingkat capaian hasil panen perkebunan pada ‘kegiatan seperti biasa’ dan Skenario 1 laju penanaman dan panen yang ditingkatkan
• Wilayah yang dialokasi untuk HTI sampai tahun
350
Juta m3 kayu pulp
250
(wilayah perkebunan pulp netto di wilayah ini tahun 2007: 2,4 juta ha).275
2008: 10 juta ha.276
• Wilayah perkebunan HTI yang direncanakan pemerintah sampai 2030/2050: 11,6 juta ha.277
Skenario 1: penanaman meningkat; panen meningkat menjadi 225m3/ha pada panen setelah perkebunan tahun 2006
Produksi kayu HTI aktual
300
• Wilayah HTI yang saat ini ditanami: 4,3 juta ha274
• Tataguna lahan pada ‘kegiatan seperti biasa’ untuk memenuhi target ekspansi industri HTI: 11,6 juta ha yang ditanami, mewakili 70% total wilayah yang diperlukan untuk prasarana dan keperluan legal untuk menyisihkan lahan = 16,6 juta ha total wilayah konsesi.
Kegiatan seperti biasa: tingkat penanaman perkebunan: 250.000 ha (perkiraan 2008), hasil panen 60m3/ha
200 150
Serat yang diperlukan untuk target produksi (88,8 juta m3)
100
Serat yang diperlukan untuk produksi saat ini (32 juta m3)
50
2024
2025
2022
2023
2020
2021
2019
2017
2018
2016
2014
2015
2013
2011
2012
2010
2009
2008
2007
2005
2006
2004
2002
2003
2001
2000
0 Years
Skenario 1 model tingkat penanaman setelah 2006 dan hasil panen sejalan dengan asumsi DNPI (2010) dan Balitbang Dephut (2009). Sumber: Dephut (2009c), Kementerian LH (2009), DNPI (2010).
• Tujuan pembangunan: produksi pulp berlipat tiga menjadi 18,5 juta ton pada tahun 2025.278
• Kebutuhan serat untuk melipattigakan produksi pulp: 89 juta m3.
• Hasil rata-rata maksimum saat ini pada rotasi tujuh tahun: 60m3/ha.279
• Lahan yang diperlukan untuk memenuhi target
UANG PERLINDUNGA
Kurva biaya pengurangan gas rumahkaca Indonesia 2010 menyatakan bahwa dengan pendanaan internasional REDD setara dengan kurang lebih $20.000/ha 273 untuk deforestasi yang dihindari, hilangnya hutan alam dikaitkan dengan perkebunan pulp dan kelapa sawit dapat dihentikan. Tapi angka-angka industri menunjukkan bahwa – dengan produktivitas yang diperbaiki sebagai tujuan utama – sektor pulp sudah mengendalikan surplus wilayah lahan untuk memenuhi target ekspansi dalam volume
produksi, dan sektor kelapa sawit hanya membutuhkan sedikit sekali tambahan. Jadi, bertentangan dengan proyeksi DNPI, tidak diperlukan alokasi lahan ekstensif dan tidak diperlukan lagi konversi dalam wilayah konsesi. Bila diterapkan dengan benar, saat ini moratorium alokasi lahan gambut dan hutan adalah bagian vital proses ini, dan akan membantu memberikan insentif untuk memperbaiki produktivitas dan keberlanjutan untuk menyamai atau bahkan lebih baik dari para pesaing global Indonesia.
Saya percaya bahwa kami dapat mencapai tujuan ini [target pengurangan emisi gas rumahkaca], sementara memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan adil secara ekonomi untuk masyarakat kami. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 26 April 2010
produksi pulp 2025 menggunakan hasil ratarata maksimum saat ini: 10,4 juta ha yang ditanami ketika 70% lahan diperlukan = 14,8 juta ha total wilayah konsesi.
• Panen diproyeksi menggunakan asumsi DNPI sebesar 8tC/ha/tahun ikatan karbon: 224m3/ ha.280
• Lahan yang diperlukan untuk memenuhi target produksi pulp 2025 menggunakan asumsi DNPI (224m3/ha hasil pada saat panen): 2,8 juta ha ditanami saat 70% lahan diperlukan = 4 juta ha total wilayah konsesi.
43
Gambar 18: kegiatan seperti biasa vs praktik baik: areal yang dibutuhkan untuk memenuhi target pembangunan sektor pulp
Sektor kelapa sawit: berpotensi menggandakan produktivitas, tanpa perlu tambahan wilayah perkebunan
• Tujuan pembangunan: lebih dari dua kali lipat
Ekspansi tingkat seperti biasa (produktivitas saat ini):14,8 juta ha
produksi pada tahun 2020 menjadi 40 juta ton.283
• Hasil rata-rata rotasi 2008, termasuk
Gambar 19: kegiatan seperti biasa vs praktik baik: areal yang dibutuhkan untuk memenuhi target pembangunan sektor kelapa sawit Ekspansi tingkat seperti biasa (produktivitas saat ini): 16,5 juta ha
perkebunan yang belum dewasa: 2,4t/ha.284 • Lahan yang diperlukan untuk menyediakan produksi kelapa sawit yang diproyeksi pada hasil saat ini:285 total lahan yang ditanami 16,5 juta ha.
Areal konsesi saat ini: 5,9 juta ha
• Wilayah yang ditanami/konsesi 2008: 7,9/9,8 juta ha.286
• Kebutuhan wilayah tambahan yang ditanami: 8,6 juta ha.
• Kebutuhan wilayah tambahan konsesi netto:
Areal yang diperlukan (produktivitas meningkat): 4 juta ha
6,7 juta ha.
• Hasil yang diproyeksi menggunakan asumsi produktivitas DNPI: 5,9-6,4t/ha tanaman dewasa.287
Klaim produktivitas industri
• Lahan yang diperlukan untuk memenuhi
Sinar Mas mengklaim potensi produktivitas industri: 281 490-700 m3/ ha pada saat panen (595 m3/ha rata-rata) dan bahkan 924m3/ha 282 (berdasarkan ikatan 33tC/ha/tahun sebagaimana diklaim). Angkaangka Sinar Mas menyatakan bahwa total kebutuhan lahan yang ditanami hanya 963.000–1.810.000 ha.
target produksi kelapa sawit dengan hasil yang diproyeksi DNPI: 10-11 juta ha.
• Kebutuhan tambahan wilayah yang ditanami: 0–1 juta ha.
• Hasil proyeksi menggunakan asumsi Ekspansi tingkat seperti biasa Kementerian Pertanian: menggandakan hasil (produktivitas saat ini):14,8 juta ha saat ini.288 Areal konsesi saat ini: 5,9 juta ha Areal yang diperlukan (produktivitas • Kebutuhan tambahan wilayah: 0 ha.289 meningkat): 4 juta ha
Areal yang diperlukan (produktivitas meningkat): 10 juta ha (hampir sama dengan areal konsesi saat ini 9,8 juta ha)
Jadi layak bagi pemerintah untuk menargetkan 40 juta ton produksi minyak kelapa sawit tanpa memperluas perkebunan. Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, 28 September 2010
Jika kita dapat mencapai hasil empat ton per hektar kita hanya membutuhkan total lahan sebesar 10 juta hektar.
Franky Widjaja, ketua Dewan Kelapa Sawit Indonesia dan Kepala divisi
44
UANG PERLINDUNGA
Riau, 2009: Greenpeace bersama sukarelawan dari masyarakat lokal membangun bendungan pada kanal drainase gambut di Semenanjung Kampar.
45
MORATORIUM ADALAH KESEMPATAN MENUJU KE JALUR PEMBANGUNAN RENDAH KARBON Industri dan pemerintah yang progresif menginginkan moratorium ketat Sebagai bagian dari kesepakatan iklim $1 milyar antara Indonesia–Norwegia, Indonesia mengumumkan moratorium dua tahun pada semua ‘konsesi baru untuk konversi hutan alam dan lahan gambut menjadi perkebunan’. 290 Kesepakatan ini membentangkan jaring lebar dan fokus yang jelas dalam melindungi ‘hutan alam’ sebagaimana terbaca dalam teksnya. Namun, sejak diumumkan, tujuan jelas moratorium sendiri telah didebat secara hebat dalam media, terutama mengenai wilayah lahan seperti apa yang disertakan dan potensi dampak apa yang akan dirasakan oleh rencana ekspansi pulp dan kelapa sawit. Sebagaimana dikutip dari wawancana Reuters dengan Agus Purnomo, penasehat khusus Presiden soal perubahan iklim: ‘Pelarangan dua tahun untuk menebangi habis hutan alam, yang dimulai tahun 2011, telah menakuti perusahaanperusahaan kelapa sawit dan tambang yang khawatir hal ini akan mengebiri ekspansi dan pendapatan. Dalam negeri yang dikenal karena korupsi dan kekuasaan perusahaan-perusahaan sumberdayanya, langkah ini akan menguji penggunaan uang donor secara transparan.’291 Dalam wawancara tersebut, Purnomo mencoba untuk meyakinkan para investor bahwa perusahaan-perusahaan yang sudah memegang ijin untuk menebangi habis lahan berhutan, akan
dikecualikan dalam moratorium.292 Selanjutnya dia mengakui bahwa moratorium ini akan dimulai ‘dengan tingkat komitmen yang sangat rendah’. 293 Dia juga menyatakan bahwa definisi tepat dari hutan ‘alam’ tidak terlalu penting karena tujuan awalnya adalah melindungi banyak hutan primer yang tersisa di Indonesia.294 Pernyataan ini tidak menyenangkan, karena hutan primer menutup kurang dari separuh total wilayah berhutan, dan mayoritas (70%) hutan primer yang ditemukan berada di dalam zona lindung 295 yang secara legal tidak tersedia untuk pengembangan perkebunan kayu atau kelapa sawit. Pendekatan semacam ini hanya akan memberikan sedikit atau bahkan tidak ada keuntungan bagi iklim, keanekaragaman hayati dan masyarakat yang bergantung pada hutan Indonesia. Selanjutnya, hutan dan lahan gambut yang belum dikembangkan dalam konsesi pulp dan kelapa sawit yang telah dialokasikan sebelum 2011 tidak diberlakukan dalam moratorium dua tahun ini. SK Definitif telah diberikan pada hampir 1,8 juta ha dari total 10 juta ha konsesi HTI pada tahun 2009 dan paruh pertama 2010.296 Ini berarti bahwa dalam wilayah konsesi yang ada, ekspansi ‘kegiatan seperti biasa’ pada wilayah lahan gambut dan hutan akan terus berlanjut, mengakibatkan sejumlah besar karbon dan keanekaragaman hayati beresiko hilang. Misalnya, analisis Greenpeace dalam lahan konsesi yang ada sekitar hampir 10 juta ha yang dialokasikan untuk HTI sampai dengan 2010 menunjukkan bahwa lebih
dari 4 juta ha masih berhutan (2,5 juta ha hutan lahan kering; 1,6 juta ha hutan) lahan basah. 297 Nota Kesanggupan mengandung provisi untuk memfasilitasi tinjauan ulang pada konsesi yang ada, dan mengganti lahannya ke lahan kritis.298 Tetapi, provisi-provisi ini sedang ditantang oleh berbagai elemen dalam pemerintah dan industri.299 Greenpeace, bersama dengan koalisi besar LSM menyerukan perlindungan segera dari semua lahan gambut dan untuk diberlakukannya moratorium bagi semua hutan alam baik untuk konsesi baru dan yang sudah ada. Tidak kalah penting, untuk membentuk kerangka kerja institusional dimana pemerintah Indonesia dapat memenuhi tujuan pembangunan yang rendah karbon dan tinggi nilai, moratorium yang ketat dapat memberikan kesempatan yang diperlukan untuk merombak proses alokasi lahan untuk memastikan pembangunan industri tidak mengkompromikan nilai-nilai ekologis, keanekaragaman hayati, sosial, legal dan ekonomis. Moratorium semacam ini akan menciptakan insentif agar industri meningkatkan produktivitasnya secara dramatis dalam wilayah perkebunan yang ada.300 Pada saat yang sama, ini akan menciptakan insentif untuk industri agar menggunakan lahan yang sudah ditebanginya untuk pembangunan lebih lanjut.301 Elemen-elemen progresif dalam pemerintah Indonesia memiliki visi yang sama. Laporan
bulan September 2010 oleh DNPI dan Pemda Kalimantan Timur melihat moratorium ini sebagai kesempatan untuk ‘memacu’302 usaha-usaha untuk meningkatkan tingkat produktivitas dalam perkebunan yang ada dan menggeser pembangunan ke lahan bernilai konservasi rendah di luar hutan alam atau lahan gambut. Studi tersebut mencatat bahwa pengurangan signifikan dalam emisi tahunan ‘dapat dicapai dengan pertama-tama membuat rencana jelas untuk kelapa sawit dalam hal produksi CPO [crude palm oil] dibanding jumlah hektar yang ditanami dan menggunakan capaian produktivitas untuk menggantikan ekspansi beberapa konsesi. Selanjutnya, kita dapat mengurangi kehilangan karbon dari deforestasi. Pilihan pertama kami adalah menggunakan lahan kritis yang ada untuk konsesi baru dan menggunakan pertukaran lahan dengan konsesi yang ada dengan tutupan hutan.’303 Studi ini mengidentifikasi bahwa lebih dari tiga perempat lahan dalam konsesi kayu pulp telah ditebangi habis, tetapi belum ditanami dan tetap menganggur;304 ini berarti bahwa wilayah luas dari lahan yang telah ditebangi habis yang seharusnya telah ditanami oleh industri. Moratorium semacam ini, akan membawa praktik industri terbaik tanpa mengkompromikan lahan bernilai konservasi tinggi, benar-benar akan menjadi ‘jalur pembangunan baru’.305
46
Suap dan pemerintahan yang buruk di sektor kehutanan mengancam pembangunan
Saya pikir baik untuk istirahat sejenak. Sejak [1980] sampai 2010, kami menerima banyak sekali kritik dari seluruh dunia. Jadi biarkan kami menghentikan semua, katakan dimana kami melakukan kesalahan dan mari kita analisa, lihat dimana kami dapat memperbaikinya menurut peraturan nasional dan kemudian membuat sekumpulan peraturan atau sistem baru.’
2010: Aida Greenbury, Sinar Mas/ APP.
UANG PERLINDUNGA
Kerumutan, 2010: Pembukaan gambut dalam, konsesi Sinar Mas.
Bukit Tigapuluh, Jambi 2009: Perempuan Orang Rimba dalam perkebunan Sinar Mas plantation – sebagian besar hutan alam mereka telah ditebangi
Pemerintah Indonesia telah mengakui bahwa sejarah deforestasi dan tingkat degradasi hutan yang tinggi adalah konsekuensi pengaturan hutan yang tidak cukup. […] Ini adalah masalah sistemik yang dapat menular yang dapat merembet ke luar sektor, seperti tingkat korupsi yang tinggi dan potongan elit […] Kejahatan hutan adalah ancaman pada pemerintahan dan meremehkan perundang-undangan, memperburuk konflik sosial, dan mengancam pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pencegahan, deteksi dan penekanan kejahatan hutan terus dijegal oleh korupsi dalam sistem peradilan pada tiap langkahnya dari deteksi pidana dan investigasi, melalui persiapan kasus dan peradilan, sampai penjatuhan putusan dan banding. Besarnya jumlah dan kompleksitas peraturan yang bertumpang tindih, tidak konsisten dan kontradiktif dalam sektor kehutanan memberikan kesempatan besar untuk korupsi administratif, karena pejabat menjual jasanya sebagai perantara untuk mendampingi dalam kusutnya birokrasi atau menerima suap untuk menghindarinya. Rancangan Strategi Nasional REDD+ Kementerian Kehutanan, Agustus 2009
Tidak adanya transparansi dan partisipasi dari para stakeholders juga menghasilkan pengetahuan minimum dari masyarakat terutama yang tinggal dalam wilayah hutan, untuk terlibat dalam proses pembuatan keputusan dalam proses pemberian ijin dan melakukan pengawasan pada pelanggaran yang dimaksud. Ini akan menghasilkan bukan hanya ketidaktersediaan data yang lebih dapat dipercaya saat proses pembuatan keputusan, tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan oleh pembuat keputusan, para pejabat resmi, dalam proses pemberian ijin yang tak terdeteksi yang tidak cukup diawasi oleh masyarakat. Rancangan Strategi REDD+ Nasional Indonesia– DNPI-UN-REDD, Oktober 2010
Sangat penting untuk pengembangan lebih lanjut dari sektor kelapa sawit bahwa peraturan yang ada mengenai pemberian ijin, penggunaan api untuk membuka lahan, dan pembukaan lahan ilegal ditegakkan. Tanpa penegakan hukum, biaya terendah dan pilihan tercepat untuk membuka perkebunan kelapa sawit adalah membayar suap untuk menanam dalam lahan berhutan. DNPI-Pemda Kalimantan Timur, ’Strategi Pembangunan Berkelanjutan Lingkungan Kalimantan Timur’ September 2010
47
[Sektor kehutanan] adalah sumber korupsi tak terbatas. Chandra M. Hamzah, wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Reuters, 17 September 2010
Gambar 20: alokasi areal konsesi HTI per tahun dan tanggal-tanggal pemilihan umum Pemilu legislatif nasional
2000000
Pemilu legislatif nasional
Pemilu legislatif nasional
Total ha
1500000
1000000
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
0
1992
500000
Sumber: data HTI: Dephut (2009b); Dephut (2009c). Grafik menunjukkan izin SKI Definitif dan SK Sementara yang dikeluarkan untuk tahun tertentu. Dephut (2009a).
Untuk memastikan dukungan nasional dan internasional untuk langkah-langkah penghentian deforestasi dan pengrusakan lahan gambut dapat secara sukses diterapkan, diperlukan pemerintahan yang baik dan pengelolaan keuangan yang ketat oleh pemerintah, institusi dan industri yang terlibat. Ketua Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan – salah satu tokoh negosiator dalam delegasi iklim Indonesia di Kopenhagen Desember 2009 dan seorang arsitek kunci dari program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD) – memiliki pendapat yang jelas mendukung ‘kegiatan seperti
biasa’ industri: ‘Kami mau mengelaborasi syaratsyarat sebuah moratorium kehutanan karena LoI bisa berbahaya untuk ekonomi Indonesia.’ 306
Pengalaman Indonesia dalam pendanaan ‘reforestasi’ tanpa adanya pengaturan
Kemampuan Kementerian Kehutanan untuk mengawasi keuangan yang terkait dengan proyekproyek REDD dipertanyakan. Sebagaimana dilaporkan pada artikel Jakarta Globe September 2010, Wandojo Siswanto telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku korupsi olek KPK.307
Sebagaimana dicatat dalam kajian CIFOR baru-baru ini, 308 pengalaman Indonesia dengan Dana Reboisasi memberikan pelajaran penting mengenai resiko dalam pendanaan di sektor kehutanan tanpa adanya tata kelola yang baik..
Kementerian Kehutanan mengakui bahwa sektor kehutanan, termasuk pejabat pemerintah, mempunyai sejarah pemerintahan yang kurang baik.
Dimulai tahun 1989, Dana Reboisasi adalah sumber pemasukan besar tunggal pendapatan pemerintah dari sektor kehutanan.309
Dikelola oleh Kementerian Kehutanan selama hampir seluruh periode ini, dana ini kehilangan $5,25 milyar antara 1994 dan 1998, menurut audit Ernst and Young.310 Tujuan dana ini adalah untuk mendukung reforestasi dan rehabilitasi dari wilayah hutan yang ‘terdegradasi’311 – gaung yang sama seperti dalam proposal REDD saat ini. Menurut pengalaman, subsidi pembangunan perkebunan telah memicu pemanenan yang berlebihan pada konsesi kayu dan penebangan habis hutan alam yang dikatakan ‘kritis’.312
48
Perusahaan-perusahaan kayu mendapatkan insentif kuat untuk menyelewengkan pengelolaan hutan dalam konsesi mereka agar mereka memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi Dana Reboisasi untuk mengkonversi wilayah ini menjadi perkebunan. Hanya 60% dari daerah yang dibagikan dana ini benar-benar ditanami (3,7 juta ha didanai, 1,5 juta yang ditanami).313
UANG PERLINDUNGA
Unit Jasa Publik Badan Pendanaan Pengembangan Hutan yang baru dibentuk – yang saat ini mengelola setidaknya $2,2 milyar dari dana reboisasi – telah gagal (paling tidak sampai pertengahan 2009) untuk menyalurkan dana yang dianggarkan untuk pengembangan perkebunan dalam periode 2008–2009. 314 Administrasi Kementerian Kehutanan saat ini berniat menggunakan Dana ini untuk mempromosikan pengembangan sembilan juga
hektar perkebunan baru yang direncanakan sampai tahun 2016 untuk ‘revitalisasi’ sektor kehutanan komersial.315 Sebagaimana yang ditunjukkan dalam analisis Greenpeace, sejumlah besar wilayah dalam konsesi dan pembangunan yang direncanakan saat ini menguasai sejumlah besar wilayah hutan dan lahan gambut.316 Fakta ini telah membawa CIFOR berkesimpulan bahwa – ditambah dengan tidak adanya akuntabilitas politik atau institusional – dana ini telah menciptakan insentif yang terbalik untuk menebangi hutan, telah menciptakan kesempatan korupsi dan penipuan, dan telah menyebabkan distribusi keuntungan yang tidak merata. Ini merupakan ilustrasi gamblang mengapa pendanaan REDD di Indonesia harus berfokus pada kegiatan perlindungan hutan dan tidak mendanai langkah-langkah beresiko dan bertolak belakang seperti perkebunan tanaman industri.
Untuk pembangunan manusia agar menjadi benar-benar berkelanjutan, kaitan erat antara pertumbuhan ekonomi dan emisi gas rumahkaca harus diputus. United Nations Development Programme, ‘Laporan Pembangunan Manusia 2010’ November 2010
‘Sejumlah tantangan kunci harus dihadapi untuk mencapai pembangunan rendah karbon di Indonesia. […] Membawa prioritas perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan nasional: Perubahan iklim dan ekonomi dianggap sebagai konsep yang tidak berhubungan di Indonesia, terutama oleh pasar modal dan masyarakat perbankan. Hal ini menghambat pembangunan rendah karbon dan penerapan instrumen keuangan untuk mendukung pembangunan semacam ini.’ UNFCCC (2010) ‘Studi ekonomi, lingkungan dan pembangunan nasional untuk perubahan iklim: laporan rangkuman awal’
49
KESIMPULAN:
PERKARA BESAR
Signifikansi internasional dari rencana pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia dan pentingnya definisi-definisi yang jelas Indonesia bukan satu-satunya negara yang membuat rencana penurunan emisi dari deforestasi berdasarkan kurva biaya McKinsey, dan penurunan emisi bersih berdasarkan strategi yang mempromosikan perkebunan (DRC, PNG, etc). Konferensi internasional (UNFCCC, UNCBD), institusi pendanaan (Bank Dunia, GEF, UNREDD), dan para donor harus memastikan bahwa semua pendanaan untuk REDD diarahkan untuk cara-cara dalam mengatasi deforestasi, dan bukan mencari penggantinya. Yang penting dari hal ini adalah tantangan internasional untuk menetapkan kriteria bagi definisi hutan yang dilindungi dan juga bagi lahan yang benarbenar terdegradasi yang cocok untuk pembangunan rendah karbon – ini seharusnya termasuk bukan hanya karbon, tetapi juga ukuran-ukuran keanekaragaman hayati, legal, ekonomis dan sosial. Sebagaimana analisis dan pemetaan Greenpeace menunjukkan, di seluruh zona yang didefinisikan kembali sebagai terdegradasi, tidak produktif atau lahan tidur di Indonesia, mengandung nilai-nilai
keanekaragaman hayati dan karbon yang sangat besar. Karena luasnya wilayah hutan dan lahan gambut dalam zona ini, sebagian besar wilayah ini jelas-jelas berada di luar kriteria untuk pembangunan rendah karbon yang diusulkan dalam dokumen bersama Bappenas-UN-REDD rancangan Strategi nasional REDD+ Nastra REDD+ Oktober 2010. � Indonesia memiliki pilihan solusi yang – jika cukup didukung dan diberi insentif – dapat secara signifikan mengurangi emisi dari deforestasi dan membawa Indonesia menuju jalur pembangunan rendah karbon, bernilai tinggi. Pertanyaannya sekarang akankah Indonesia, Norwegia, dan pemerintah donor REDD lainnya akan bersikukuh dengan kebijakan REDD yang ‘tanpa penyesalan’ – yang memprioritaskan perlindungan hutan dan lahan gambut, dengan tujuan deforestasi nol – atau akankah mereka mengikat diri dengan skema penghitungan karbon yang memberikan penurunan emisi gas rumahkaca di atas kertas, tapi tetap membiarkan diteruskannya pengrusakan hutan alam? Jalan yang harus diambil ke depan sangat jelas:
Hentikan perusakan hutan • Terapkan segera moratorium terhadap semua konversi hutan alam dan lahan gambut • Perbaiki tata kelola pemerintahan
Dukung pembangunan rendah karbon • Tetapkan tataguna lahan nasional yang baru • Berubah ke industri bersih • Kembangkan strategi penurunan karbon yang kredibel
Danai perlindungan hutan • Pastikan dana REDD menguntungkan masyarakat hutan dan keanekaragaman hayati
UANG PERLINDUNGA
50
Riau, 2007: Greenpeace dan sukarelawan setempat membangunan bendungan untuk mencegah pengeringan gambut.
51
berTINDAK UNTUK PEMBANGUNAN 1. HENTIKAN PERUSAKAN
2. DUKUNG PEMBANGUNAN
HUTAN
SECEPATNYA BERLAKUKAN MORATORIUM: Tunda semua konversi hutan alam dan lahan gambut Berlakukan kebijakan untuk mengimplementasikan moratorium secepatnya bagi konversi semua jenis hutan alam dan lahan gambut sebagai langkah pertama menuju kebijakan deforestasi nol, dan membantu Indonesia menuju jalur pembangunan rendah karbon yang sebenarnya.
BERLAKUKAN KEBIJAKAN DEFORESTASI NOL: Lindungi hutan alam dan lahan gambut Hentikan semua pembukaan hutan dan klasifikasi ulang semua lahan gambut sebagai Hutan Lindung, berapapun kedalamannya. Hentikan alokasi wilayah hutan atau lahan gambut untuk perkebunan atau perluasan pertanian. Relokasi konsesi yang ada ke lahan
3. DANAI PERLINDUNGAN
RENDAH KARBON
kritis dengan nilai-nilai karbon, keanekaragaman hayati, ekologi, sosial, legal dan ekonomi.
PROMOSIKAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK: Terapkan langkah-langkah efektif untuk mengatasi korupsi, mengontrol industri, dan lindungi hutan dan kepentingan nasional Perkuat transparansi dan akuntabilitas dalam sektor kehutanan, dan bentuk institusi independen untuk pemantauan, pelaporan dan verifikasi tingkat deforestasi nasional. Ini harus termasuk data deforestasi dasar dan kriteria yang jelas untuk lahan yang tersedia untuk pembangunan rendah karbon (REDD). Atasi korupsi di sektor kehutanan. Cabut ijin konsesi ilegal atau tidak aktif. Perbaiki standar pengelolaan dan tindakan penegakan hukum di konsesi legal dan aktif.
BANGUN RENCANA TATAGUNA LAHAN NASIONAL YANG BARU: Rencanakan jalur pembangunan yang benarbenar rendah karbon Kaji dan tambahkan rencana tataguna lahan yang ada untuk memastikan jalur pembangunan Indonesia benar-benar rendah karbon dan menghormati ukuran-ukuran keanekaragaman hayati, ekologi, sosial, legal dan ekonomi.
PROMOSIKAN KEPEMIMPINAN INDUSTRI: Beri insentif bagi industri untuk mendukung pembangunan bersih yang rendah karbon termasuk peningkatan produktivitas Ambil tindakan untuk mendukung moratorium dan membantu Indonesia bergeser ke jalur pembangunan rendah karbon, yang menempatkan Indonesia sebagai pemimpin global dalam produksi yang bertanggung jawab secara lingkungan dan berkeadilan sosial. s
HUTAN
Pada tingkat politik, berlakukan kebijakan yang mewajibkan sektor-sektor kelapa sawit, pulp dan sektor lainnya untuk memenuhi dan melampaui norma internasional dalam hasil produksi, efisiensi proses, penggunaan energi bersih, kontrak pekerja yang adil dan keuntungan bagi masyarakat. Pada tingkat kelompok korporat, berlakukan kebijakan mengikat dan praktik pengelolaan operasional yang konsisten dengan kebijakan dan paradigma rendah karbon, termasuk kebijakan untuk tidak mengkonversi, praktik industri terbaik untuk produktivitas dan kebijakan buruh progresif.
KEMBANGKAN SEBUAH STRATEGI PENGURANGAN KARBON YANG KREDIBEL: Gunakan dan ungguli model Brazil untuk pemantauan, pelaporan dan verifikasi Berlakukan ukuran-ukuran sederhana dan efektif untuk menentukan apakah Indonesia membuat kemajuan
dalam komitmen-komitmen perubahan iklimnya: misalnya, Indonesia harus mendasarkan perhitungan karbonnya pada tingkat deforestasi bruto, memantau dengan menggunakan teknologi pencitraan satelit yang tersedia, dengan penyediaan data publik untuk pengujian pihak ketiga yang independen.
PASTIKAN DANA REDD MENGUNTUNGKAN MASYARAKAT YANG BERGANTUNG KEPADA HUTAN DAN KEANEKARAGAMAN HAYATI: Dukung perlindungan hutan, bukan industri perkebunan Berlakukan kebijakan pendanaan REDD yang memusatkan sumberdaya pada perlindungan hutan alam, menghormati hak-hak masyarakat adat dan penduduk setempat serta melindungi keanekaragaman hayati. Kebijakan pendanaan REDD seharusnya melarang pendanaan langsung industri perkebunan dan tindakan-tindakan yang mempromosikan konversi hutan alam menjadi penggunaan lain.
.
UANG PERLINDUNGA
52
53
PENUTUP:
DATA DAN METODOLOGI AKRONIM CATATAN AKHIR KREDIT GAMBAR DAFTAR PUSTAKA
54
DATA DAN METODOLOGI
Metodologi dan sumber-sumber data Sumber-sumber data Greenpeace serta asumsi nilainilai yang digunakan dalam laporan ini diturunkan dari angka resmi terbaik yang ada, dari sumbersumber pemerintah atau para ahli di bidang terkait. Angka penilaian bentang lahan diambil berdasarkan peta tutupan lahan Kementerian Kehutanan 2006, peta-peta habitat UNEP, dan peta lahan basah dari Wetlands International. Angka yang berkaitan dengan hutan, perkebunan dan stok karbon diturunkan dari dokumen-dokumen Kementerian Kehutanan, Komunikasi Nasional Indonesia Kedua kepada Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC), rencana pengurangan emisi nasional dan regional Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), serta rancangan Strategi Nasional bersama Bappenas-UN-REDD untuk Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Nastra REDD+).
UANG PERLINDUNGA
Secara umum ini adalah kumpulan data dan asumsi nilai yang sama yang digunakan oleh DNPI. Analisis independen akan dampak operasi sektor pulp dan kelapa sawit terhambat oleh kurangnya transparansi pemerintah dan industri; hal ini termasuk sulitnya mendapatkan data mutakhir dan cukup rinci. Dengan kekurangan semacam ini dalam kualitas data dan ketersediaan bukti lain dari sumbersumber resmi berarti analisis ini harus dipahami sebagai penilaian resiko indikatif, dan beberapa
unsurnya harus dikonfirmasi melalui validasi lapangan. Walau demikian, dalam skala regional, luang kesalahan (margin of error) yang ada dalam data sumber pada akhirnya berimbang, walau bias yang terjadi dalam asumsi berdasarkan estimasi nilai – misalnya estimasi konservatif simpanan karbon dalam lahan gambut – menjadi teramplifikasi. Dengan adanya masalah-masalah ini, Greenpeace memilih untuk menggunakan data pemerintah atau industri, daripada mencari sumber-sumber data alternatif – yang mungkin lebih modern secara ilmiah. Hal yang penting adalah pengungkapan hasil temuan berdasarkan analisis data pemerintah sendiri, daripada penggunaan angka-angka yang lebih persis, yaitu: skala ancaman terhadap hutan Indonesia dan iklim global; dan potensi besar untuk solusi rendahkarbon berdasarkan perencanaan tata lahan yang jelas serta produktivitas industri berkelas dunia.
55
AKRONIM, ISTILAH TEKNIS, DLL
Semua kementerian dan badan pemerintah adalah dalam pemerintahan Indonesia kecuali disebutkan selainnya.
lainnya (misalnya metana dan oksida nitrat) dalam hal berat CO2 yang diperlukan untuk menghasilkan akibat yang sama.
HTR – Hutan Tanaman Rakyat
$ – Dolar (AS)
CIFOR – Center for International Forestry Research
€ – Euro
CO2 – Karbon dioksida
IFCA – Indonesian Forest Climate Alliance – Aliansi Iklim Hutan Indonesia
APKI – Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia
CPO – Crude palm oil – Minyak Kelapa Sawit Mentah
IMA – Indonesian Mining Association – Asosiasi Pertambangan Indonesia
CTF –Clean Technology Fund – Dana Teknologi Bersih Bank Dunia
INPE – Instituto Nacional de Pesquisas Espaciais – Institut Penelitian Angkasa Brazil
DNPI - Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
IPB – Institut Pertanian Bogor
BAPPENAS – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
EPA – Environmental Protection Agency – Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat
IPCC – Intergovernmental Panel on Climate Change – Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim
biofuel – bahan bakar yang berasal dari sumberdaya nabati
ERM – Environmental Resources Management – Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan
jt – juta
BPN – Badan Pertanahan Nasional
kegiatan seperti biasa - business as usual (BAU) – keadaan dimana tidak ada perubahan perilaku dari kebiasaan atau tata cara kerja saat ini.
SMG – Grup Sinar Mas
ESDM – (Kementerian) Energi dan Sumberdaya Mineral EU – European Union – Uni Eropa
Kemenhut – Kementerian Kehutanan
t/ha – Ton/hektar
FAO – Food and Agriculture Organisation – Organisasi Pangan dan Pertanian PBB
LULUCF – Land use, land use change and forestry – tataguna lahan, perubahan tataguna lahan dan kehutanan
UN – United Nations – PBB
APL – Areal Penggunaan Lain APP – Asia Pulp and Paper Balitbang Dephut – Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan
CAIT – Climate Analysis Indicators Tool – Perangkat Indikator Analisis Iklim. Tersedia di http://cait.wri.org C (karbon), CO2 dan setara CO2 (CO2e) – Potensi perubahan iklim dapat diukur dengan tiga kelompok unit bergantung pada konteksnya: berat karbon, dengan CO2 dan dengan setara CO2. Dalam laporan ini, berat karbon digunakan saat menggambarkan karbon yang tersimpan (misalnya ton karbon per hektar dalam lahan gambut) dan berat CO2 saat menggambarkan emisi. 1kg karbon dapat dikonversi menjadi 3,67kg CO2 (ini adalah secara langsung setara dengan selisih berat per atom karbon: berat atom karbon adalah 12, berat molekul CO2 adalah 44 – satu atom karbon plus dua karbon oksigen). Setara CO2 (CO2e) adalah ekspresi potensi pemanasan global, yang termasuk dampak gas rumahkaca
GRK – gas rumahkaca Gt – Gigaton (milyar ton) ha – Hektar HCVF – High conservation value forest – hutan bernilai konservasi tinggi HP – Hutan Produksi HPH – Peta Hak Pengusahaan Hutan HPK – Hutan Produksi Konversi HPT – Hutan Produksi Terbatas HTI – Hutan Tanaman Industri
IFC – International Finance Corporation – Badan Keuangan Internasional, anak usaha Bank Dunia
MAI – Mean annual increment – pertumbuhan ratarata tahunan atau volume kayu yang dihasilkan per tahun dalam perkebunan
rumahkaca di seluruh dunia, diterapkan pada tanggal 16 Februari 2005. Kesepakatan internasional ini, yang dibangun dari UNFCCC, menetapkan target dan jadwal yang mengikat secara hukum untuk memangkas emisi gas rumahkaca pada negaranegara industri. REDD, REDD+ – Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation – Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+ termasuk peran konservasi/ pengelolaan berkelanjutan/perbaikan stok karbon hutan) RSPO – Roundtable on Sustainable Palm Oil – Forum Meja Bundar Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan BUMN – Badan Usaha Milik Negara t – Ton
UNDP – United Nations Development Programme – Badan PBB untuk Program Pembangunan UNEP – United Nations Environment Programme – Badan PBB untuk Program Lingkungan
Mt – Megaton (juta ton)
UNFCCC – United Nations Framework Convention on Climate Change – Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim
NGO – Non-governmental organisation – organisasi non-pemerintah
UN-REDD – Insiatif kolaboratif PBB mengenai REDD di negara-negara berkembang
PBB – Perserikatan Bangsa-Bangsa
USDA – United States Department of Agriculture – Departemen Pertanian Amerika Serikat
Dephut – Departemen Kehutanan
Protokol Kyoto – kesepakatan internasional dan mengikat secara hukum untuk mengurangi emisi gas
56
CATATAN AKHIR
1
Betts et al (2009) dan www.metoffice.gov.uk/climatechange/news/ latest/four-degrees.html
2
IPCC WGIII (2007): 44 Ringkasan Teknis: Box TS5 ‘Proyeksi dampak utama untuk sistem dan sektor’; IPCC WGI (2007): 543–544
3
IPCC (2007): Tabel SPM.6 Skenario satu
4
IPCC WGIII (2007): Gambar SPM.1
5
enurut perkiraan baru-baru ini yang dipublikasikan oleh beberapa M negara, emisi Indonesia (2005) lebih tinggi dari Brazil (2005), Rusia (2005) dan India (2005), tapi lebih rendah daripada Amerika Serikat (2005) dan Cina (2004):
No 1: AS 6,18 GtCO2 pada 2005. Sumber: EPA (2010): 14 No 2: Cina 5,6 GtCO2 pada 2004. Sumber: Pemerintah RRC (2007) No 3: Indonesia 2,25 GtCO2 pada 2005. (Lihat bawah.) No 4: Brazil ~2,2GtCO2 pada 2005: Sumber: Kementrian Sains dan Teknologi Brazil (2009): 19 No 5: Rusia ~2,0 GtCO2 pada 2005. Sumber: UNFCCC (2009): 1 No 6: India ~1,6GtCO2. Sumber: Kementrian Lingkungan dan Hutan (2009): 53 DNPI (2010a) mematok emisi total pada 2,055GtCO2e di tahun 2005. Tapi, tambahan emisi lahan gambut sejumlah 0,36GtCO2 telah diidentifikasi tapi diklasifikasikan sebagai ‘non-komersial’ dan harus disertakan dalam total Indonesia, karena dihasilkan dari emisi lahan gambut yang masih berlangsung dari lahan yang telah dibuka dan ditinggalkan (‘Restorasi 5 juta ha lahan gambut non-komersial dapat mengurangi 360 MtCO2e’). Sumber: DNPI (2010b): 2. 6
DNPI (2010c): 5 mematok emisi deforestasi pada 763Mt, dekomposisi gambut 300Mt dan kebakaran gambut 550Mt di tahun 2005. DNPI (2010a): 14, 19 menyebutkan angka total yang sama tapi membagi 772Mt dari gambut dan 838Mt dari sumber-sumber LULUCF lainnya.
14 DNPI/Pemda Kalimantan Timur (2010): 8 15 Norwegia: 32,4 juta ha; Denmark: 4,3 juta ha. Sumber: CIA World Factbook www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/ rankorder/2147rank.html 16 Analisis Greenpeace berdasarkan Dephut (2010b,c), Dephut (2009e), dan data kandungan karbon dari Kementerian LH (2009): 28: 400tC/ha pada hutan primer dan 200tC/ha pada hutan sekunder. 17 Analisis Greenpeace berdasarkan Dephut (2010b,c), Dephut (2009e) dan Meijaard et al (2004) peta habitat orangutan. NPI (2010a): 14 menyatakan lahan gambut Indonesia menyimpan 18 D 132GtCO2e, setara dengan 36Gt karbon. 79% lahan gambut Indonesia berada pada zona pembangunan (Sumber: Wahyunto et al (2003, 2004, 2006)), menghasilkan karbon 28Gt pada lahan berisiko. 19 2 005 emisi global termasuk perubahan tataguna lahan dan kehitanan dan bunker internasional: 34GtCO2e. Sumber: CAIT. 38GtC setara dengan 140GtCO2. 140/34 = 4,1.
No 2: Cina 5,6 GtCO2 pada 2004. Sumber: Pemerintah RRC (2007)
DNPI (2010c): 2
No 3: Indonesia 2,25 GtCO2 pada 2005. (Lihat bawah.)
9
DNPI (2010a): 4
No 4: Brazil ~2,2GtCO2 pada 2005: Sumber: Kementerian Sains dan Teknologi Brazil (2009): 19
ublikasi resmi seperti Komunikasi Nasional Kedua (SNC) Indonesia 13 P ke UNFCCC memberikan hanya sebagian perhitungan dari asumsi sektor kehutanan yang berkaitan dengan skenario pengurangan emisi Indonesia. Tak ada publikasi ini yang secara jelas menyatakan lokasi ‘lahan kritis’ yang tersedia untuk pembangunan, dan tidak juga sepenuhnya dijelaskan visi tataguna lahan kawasan hutan Departemen Kehutanan. Greenpeace telah mendapatkan dokumen internal dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
49 Kelompok Bank Dunia (2010b): 19 50 Kelompok Bank Dunia (2010a): 20
25 Pemerintah Brazil (2008) dan Yudhoyono (2009) 26 Kementerian Sains dan Teknologi Brazil (2009) 27 Chomitz dan Thomas (2001): 14 mengatribusikan sampai dengan 90% ke lahan untuk ternak merumput, termasuk lahan tidur. Grieg-Gran (2006): 13 mengekstrapolasi angka-angka Chomitz bahwa 77% dari deforestasi adalah untuk menggembala ternak + kurang-lebih 10% lahan tidur; Pemerintah Brazil (2004): 10 menyatakan bahwa ternak sapi menyumbang 80% of deforestasi di wilayah Amazon; dan Barreto et al (2008): 20 mengutip IBGE (2006) menyimpulkan bahwa 75–81% lahan deforestasi sampai dengan 2005 telah ditempati ternak sapi. 28 USDA (2004) 29 ABIOVE (2009); Marfrig (2009): 14; Greenpeace (2009); JBS (2009) 30 Pemerintah Brazil (2008)
enurut perkiraan yang baru-baru ini dipublikasikan oleh berbagai 21 M pemerintah, emisi Indonesia (2005) lebih tinggi dari Brazil (2005), Rusia (2005) dan India (2005), tapi lebih rendah daripada Amerika Serikat (2005) dan Cina (2004):
misalnya DNPI/Pemda Kalimantan Timur (2010): 13, 54
12 Pemerintah Norwegia dan Pemerintah Indonesia (2010)
23 Kementerian Sains dan Teknologi Brazil (2009) 24 D NPI (2010a): 11: Total emisi 2,055GtCO2e tahun 2005, emisi gambut 772MtCO2e (38%); deforestasi dan degradasi bruto 1,1GtCO2e, walau pendekatan netto yang diambil, dengan mengklaim 838MtCO2e (41%).
31 Kementerian Lingkungan Brazil (2010)
7
11 DNPI/ Pemda Kalimantan Timur (2010): 7
48 Kelompok Bank Dunia (2010a): 2
32 Pemerintah Brazil (2008)
No 1: AS 6,18 GtCO2 pada 2005. Sumber: EPA (2010): 14
No 5: Rusia ~2,0 GtCO2 pada 2005. Sumber: UNFCCC (2009): 1 No 6: India ~1,6GtCO2. Sumber: Kementerian Lingkungan dan Hutan (2009): 53 DNPI (2010a) mematok emisi total pada 2,055GtCO2e di tahun 2005. Tapi, tambahan emisi lahan gambut sejumlah 0,36GtCO2 telah diidentifikasi tapi diklasifikasikan sebagai ‘non-komersial’ dan harus disertakan dalam total Indonesia, karena dihasilkan dari emisi lahan gambut yang masih berlangsung dari lahan yang telah dibuka dan ditinggalkan (‘Restorasi 5 juta ha lahan gambut non-komersial dapat mengurangi 360 MtCO2e’). Sumber: DNPI (2010b): 2.
Kehutanan: ‘Kami akan merenegosiasi kesepakatan dengan Norwegia. Indonesia membutuhkan dana untuk menanam pohon.’
22 Menurut perkiraan yang baru-baru ini dipublikasikan oleh pemerintah Brazil dan Indonesia, dua negara yang menyumbang sekitar 4–5% emisi gas rumahkaca global pada 2005. Sumber: Kementrian Sains dan Teknologi Brazil (2009) dan DNPI (2010a): 11 yang memberikan total emisi sebesar 2,055GtCO2e di tahun 2005.
20 Barr et al (2009)
8
10 DNPI/ Pemda Kalimantan Timur (2010): 7
UANG PERLINDUNGA
Kehutanan (‘Integrasi masalah perubahan iklim ke dalam perencanaan sektor kehutanan’) yang memberikan pandangan lebih jelas akan asumsi penggunaan lahan Kemenhut sampai 2050 dan anggaran karbon yang direncanakan untuk diklaim Kemenhut untuk menerapkan visinya ini. Dokumen ini dan asumsinya – sepenuhnya melengkapi SNC – membangun landasan klaim pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia.
33 Pemerintah Brazil (2008) 34 Kementerian Lingkungan Brazil (2010) 35 Undang-undang No. 6527, 1 Agustus 2008 www.planalto.gov.br/ ccivil_03/_Ato2007-2010/2008/Decreto/D6527.htm 36 Yudhoyono (2009) 37 Yudhoyono (2009) 38 DNPI (2010a): 11 39 DNPI (2010a): 11 40 DNPI (2010a): 4 41 DNPI/UNFCCC (2009): 43 42 DNPI (2010a): 12 43 Yudhoyono (2009) 44 Yudhoyono (2009) 45 Siswanto (2010) 5, 25-26 dan Simamora (2010b) 46 D ephut/IFCA (2008): xiii; juga Simamora (2010b), mengutip Wandojo Siswanto, ketua kelompok kerja iklim Departemen
47 Kelompok Bank Dunia (2010a): 2
51 DNPI (2010a): 21 52 W alaupun Balitbang Dephut (2009) menetapkan batas perkiraan pada 2025–2050, BAPPENAS (2010): 102 asumsi ‘usaha konstan sebesar 1,4 juta ha per tahun perkebunan baru’ sampai dengan 2029 dan menyesuaikan laju pembukaan perkebunan untuk mencapai skema penuh pada periode tersebut. 53 Masripatin (2010): 11 54 Balitbang Dephut (2009): 13 dan Kementerian LH (2009): 28 55 misalnya DNPI (2010a): 16, 18, 19, 20 56 M isalnya PT SMART Tbk (2010); Greenbury (2010): 13; Harahap (2010); Ketua kelompok kerja perubahan iklim Kementerian Kehutanan: ‘Kami ingin mengelaborasi syarat-syarat moratorium kehutanan karena LoI bisa berbahaya bagi ekonomi Indonesia.’ Sumber: Simamora (2010c) 57 L ihat berbagai laporan Greenpeace yang dikutip di bawah ini. Lihat pula BSI-CUC (2010); DNPI/Pemda Kalimantan Timur (2010): 42 yang mencatat ‘Penegakan hukum diperlukan untuk memastikan diterapkannya kebijakan dan perubahan. Saat ini, setidaknya 60 konsesi kelapa sawit di propinsi ini beroperasi tanpa perijinan legal yang lengkap.’; RSPO (2010). 58 M isalnya: ‘Perkebunan pulp Kalimantan Timur mencakup wilayah seluas kurang lebih 800.000 ha, sebagian besarnya dibangun tahun 1990an. Sejalan dengan kebijakan lingkungan saat ini, sekitar 160.000 ha harus disisihkan untuk konservasi alam (misalnya, untuk perlindungan daerah resapan air dan koridor satwa liar) sementara wilayah sisanya dapat digunakan untuk kegiatan ekonomi. Teorinya, wilayah 640.000 ha ini dapat menghasilkan volume tahunan sekitar 23 juta meter kubik, 17 kali lebih dari cukup untuk mensuplai industri produk kehutanan yang sesuai. Namun, saat ini hanya 165.000 ha yang benar-benar ditanami, sementara sisanya rusak dan dibiarkan menganggur. Produktivitas rendah, dan rendahnya tingkat penanaman ini berarti panen tahunan Kalimantan Timur hanya 0,7 juta meter kubik.’ Sumber: DNPI/ Pemda Kalimantan Timur (2010): 17; lihat juga halaman-halaman 38–39 untuk produktivitas kelapa sawit. 59 m isalnya‘RSPO [Roundtable on Sustainable Palm Oil] telah berulangkali menolak penggunaan pencitraan satelit, metode yang paling dapat diandalkan dan transparan untuk memantai perilaku anggotanya.’ Sumber: Laurance et al (2009) 60 Intermap Technologies Corp (2006) ‘Intermap dan Sinar
57
untuk hutan sekunder (di sini diasumsikan merepresentasi tingkat tutupan tajuk dari 10–60%) sebesar 200tC/ha, faktor rata-rata untuk mengkonversi stok berdiri kayu komersial menjadi stok karbon atas tanah adalah 3,6. Ini menghasilkan totak stok karbon atas tanah total sebanyak 93tC/ha.
Mas Forestry menandatangani kontrak $2,6 juta’ Siaran Pers 28 Agustus 2006 www.eijournal.com/cat_content. asp?contentid=1558&catid=163 61 Balitbang FORDA (2009): 13 dan Kementrian LH (2009): 28 ebsite UNFCCC ‘Panen produk kayu’: ‘CO2 dilepas pada saat panen 62 W dan manufaktur produk kayu dan penggunaan dan dibuangnya kayu. Dalam pendekatan default IPCC yang direkomendasikan (Pedoman IPCC yang direvisi 1996), semua CO2 emisi dan pemindahan yang terkait dengan penebangan hutan dan oksidasi produk kayu dihitung oleh negara terkait pada tahun panen (pemindahan). Metode yang diusulkan merekomendasikan penyimpanan karbon dalam produk kehutanan disertakan dalam inventaris nasional hanya pada kasus dimana sebuah negara dapat mendokumentasikan stok produk hutan jangka panjangnya benar-benar meningkat. Produk kayu yang dipanen menurut pedoman praktik baik IPCC (2003) termasuk produk kayu dan kertas. Tidak termasuk karon yang pada pohon yang ditebang dan ditinggalkan di lokasi penebangan. Metodologi dan praktik baik untuk memperkirakan dan melaporkan emisi dan pemindahan produk kayu yang dipanen dapat ditemukan di Apendiks 3a.1 dalam pedoman praktik baik IPCC untuk LULUCF (2003). Sumber: http:// unfccc.int/methods_and_science/lulucf/items/4015.php diakses 22 Oktober 2009 63 D NPI (2010a): 23 menyatakan rehabilitasi hutan oleh perkebunan pada rotasi 35-tahun. 64 misalnya DNPI/Pemda Kalimantan Timur (2010): 13
2) Menggunakan faktor konversi IPCC (2006) untuk volume stok berdiri yang berbeda menghasilkan total stok karbon atas tanah sebesar 77tC/ha pada tutupan tajuk 10% di Indonesia (kisaran bergantung pada diameter tajuk: 63–96tC/ha). Sumber: Tabel Pedoman IPCC 2006 4.5; dibagi menjadi 2 untuk mengkonversi biomassa atas tanah (AGB) menjadi to total stok karbon. 76 Dephut (2009f) 77 Total kawasan hutan – 137 juta ha. Kawasan hutan yang dapat dikonversi menjadi Hutan Produksi (lahan yang dizonakan untuk konversi dari kawasan hutan menjadi tataguna ‘non-hutan’ – misalnya kelapa sawit) – 22,8 juta ha; Hutan Produksi Terbatas – 22,5 juta ha; Hutan Produksi Permanen – 36,7 juta ha. Subtotal = 60% (Sumber: Dephut (2008): Tabel I.1.1.)
101 Menurut Kementerian Industri, mulai tahun 2009 produksi tahunan pulp Indonesia adalah sebesar 6,52jt ton (Sumber: Harahap (2010)). Dephut (2008) Tabel IV 2.2.A menyatakan produksi HTI adalah sebesar 22.321.885m3, yang cukup untuk memasok hanya 4,65 juta ton pulp dengan faktor konversi 4,8m3/ton pulp, artinya 1,87 juta ton serat (29%) dipastikan berasal dari sumber-sumber lainnya, atas dasar asumsi produksi HTI 2009 menyamai tahun 2008.
erkiraan Greenpeace berdasarkan Dephut (2010b,c) dan 80 P Wahyunto et al (2003, 2004, 2006). Dalam zona APL, terdapat 17,5 juta ha yang tidak diidentifikasi tataguna lahannya. Wilayah ini diantaranya termasuk lahan gambut dan hutan tinggi karbon.
83 Borhan (2010)
67 Belford (2010)
84 DNPI (2010a): 19
68 Maplecroft (2010)
85 DNPI (2010a): 22
isalnyaThompson et al (2009), Locatelli et al (2008), Mackey 69 m (2008), Cotter et al (2010).
73 misalnya Cotter et al (2010), Mackey (2008), Thompson et al (2009) ahan untuk pembangunan rendah karbon mempunyai <35tC/ 74 L ha; lahan dengan potensi menyimpan >100tC/ha harus dilindungi. Sumber: BAPPENAS/UN-REDD (2010): 41 75 M enurut Wardoyo dan Sugardiman (2009): pada tutupan tajuk 10%, tergantung pada diameter tajuk, volume stok berdiri kayu komersial berkisar antara 75–150m³/ha. Untuk mengkonversi volume stok berdiri menjadi stok karbon atas tanah, dua metode digunakan: 1) Mengasumsikan data Kemenhut tentang stok Karbon atas tanah
99 V erchot et al (2010): 5 melaporkan ‘total kapasitas produksi baru sebesar kurang lebih 8 juta ton pulp’; Harahap (2010) mengutip Menteri Industri M.S. Hidayat: kapasitas produksi 2009 7,9 juta ton. 100 DNPI/Pemda Kalimantan Timur (2010): 13, 56
66 DNPI/Pemda Jambi (2010): 23
72 misalnya Cotter et al (2010); IIED (2009)
98 DNPI (2010a): 19
erdasarkan analisis Unit Pemetaan Greenpeace terhadap peta79 B peta Departemen Kehutanan. Sumber: Dephut (2010c).
81 DNPI/UNFCCC (2009): 33
70 misalnya Seppälä et al (2009) dan Robledo et al (2005)
96 DNPI/Pemda Kalimantan Timur (2010) NPI/UNFCCC (2009): 33 dan Dephut (2007a): 11. Berdasarkan 97 D tingkat produksi 2007 sebesar 5,7 juta ton, yaitu, peningkatan sekitar 18,5 juta ton produksi pulp tiap tahun.
78 Dephut (2009c)
isalnya DNPI/Pemda Kalimantan Tengah (2010) dan DNPI/Pemda 65 m Jambi (2010): Tampilan A4
71 misalnya Locatelli et al (2008)
kebijakan muncul dalam kaitannya untuk asumsi wilayah tanaman dan tidak termasuk pembangunan prasarana, konservasi lahan dan lahan masyarakat minimum. Dalam perkebunan kayu misalnya, APP berasumsi ini berarti 30% sampai 40% wilayah konsesi bruto – misalnya APP (2007); Dokumen Sinar Mas rahasia (2007), salinannya dimiliki oleh Greenpeace International (bagi yang berminat dapat menghubungi Greenpeace untuk mendapatkan salinan dokumen ini jika tidak dapat memperolehnya langsung dari APP). Demi kepentingan analisis ini digunakan nilai yang lebih konservatif sebesar 30%.
82 Dephut (2007a)
Media Indonesia (2010)
102 75% SK Definitif HTI adalah untuk kayu bahan baku pulp, menurut Dephut (2007b) (angka yang terkait dalam laporan tahun berikutnya tidak tersedia). 103 Termasuk ijin-ijin SK Definitif, SK Sementara dan SK Pencadangan. Sumber: Dephut (2009a) 104 Dephut (2009c)
86 Pemerintah Indonesia (2009): 12–13
105 Barr (2008); Verchot et al (2010): 5
87 DNPI (2010a): 19
106 Dephut (2009c) Tabel IV 2.2.A menyatakan produksi HTI tahun 2008 adalah sebesar 22.321.885m3, Bab IV hal3 menyatakan wilayah HTI yang ditanami seluas 4,31 juta ha. Dari ini, Greenpeace memperkirakan perkebunan pulp adalah seluas 2,4 juta ha (proyeksi dari angka terakhir yang tersedia pada tahun 2006 sebesar 1,9 juta ha). Dengan asumsi – walau kecil kemungkinannya, yang akhirnya memberikan hasil yang mendukung – bahwa semua hasil HTI pada tahun 2008 berasal dari konsesi HTI pulp, dan tidak ada yang berasal dari perkebunan kayu, hasil panen seharusnya sebesar 58m³/ha. Bahkan angka ini patut dipertanyakan. Angka ini diperoleh berdasarkan angka yang mengklaim bahwa hasil panen HTI total kurang lebih meningkat tiga kali lipat dalam kurun waktu lima tahun sampai 2008, walaupun terdapat penurunan wilayah penanaman pada tahun yang seharusnya diperolehnya hasil panen ini. CIFOR
88 DNPI (2010a): 25 89 DNPI (2010a): 25 90 Legowo (2007): 21 91 DNPI (2010a): 4 92 Pemerintah Norwegia dan Pemerintah Indonesia (2010) 93 DNPI (2010a): 19 94 DNPI (2010a): 18 95 Asumsi dalam DNPI dikaitkan dengan pembangunan hutan yang diproyeksi, bukan permintaan total tataguna lahan. Selanjutnya, dalam hal kebutuhan sektor, banyak angka-angka resmi atau
58 menyarankan bahwa kesenjangan ini mungkin diakibatkan oleh panen dini HTI, yang berarti hasil panen berikutnya akan menurun. Sumber-sumber: Dephut (2009c) Tabel IV 1.4; Verchot et al (2010). Angka-angka yang diberikan dalam laporan DNPI/Pemda Kalimantan Timur (2010) menyatakan hasil panen mendekati 30m3/ha. 107 Dalam CSR 2007, APP berasumsi pertumbuhan tahunan ratarata (MAI, mean annual increment) sebesar 21m³/ha, tanpa memperhitungkan kerugian, atau panen sebesar 147m³ (siklus rotasi 7-tahun). Kalau termasuk kerugian, yang diasumsikan 30%, panen akan sebesar 116m³/ha. 108 Saat ini hanya 165.000 ha yang benar-benar ditanami, sementara wilayah sisanya terdegradasi dan menganggur. Produktivitas rendah, dan tingkat penanaman yang rendah berarti panen tahunan Kalimantan Timur hanya 0,7 juta meter kubik.’ Sumber: DNPI/ Pemda Kalimantan Timur (2010): 17. Dengan asumsi rotasi tujuh tahun, 700.000/165.000 x 7 = 30m3/ha. 109 18,5 juta ton pulp memerlukan 88,8 juta m3 kayu pulp (faktor konversi 4,8). Dengan panen sebesar 60m³/ha dalam siklus rotasi tujuh tahun, diperlukan 10,3 juta ha perkebunan yang berkembang penuh. Saat ini, hanya terdapat 4,31 juta ha HTI yang ditanami, dimana perkiraan Greenpeace 2,4 juta telah didedikasikan untuk kayu pulp. Sumber: Dephut (2009c): Bab IV hal3 Dengan demikian, rencana ini memerlukan penambahan sekitar 7,6 juta ha di atas tingkat saat ini untuk mencapai 10,3 juta ha. Angka ini tidak termasuk kerugian pra-panen, diasumsikan oleh APP sebesar 20%. Sumber: APP (2007). Jadi, total wilayah yang ditanami memerlukan 12,9 juta ha (10,3 juta/0.8). Angka ini tidak termasuk pembangunan prasarana, wilayah konservasi legal minimum dan perkampungan, yang mencakup 30–40% dari wilayah konsesi bruto. Sumber: lihat misalnya APP (2007) Dengan demikian, wilayah konsesi bruto diperlukan sekitar 19 juta ha (12,9/0,6 = 21 juta ha dan 12,9/0,7 = 18,4 juta ha). 110 Jakarta Post (2010a), Jakarta Post (2010b) 111 yaitu peningkatan sampai 13 juta ton pulp. Hidayat mengatakan pada tahun 2009, Indonesia mempunyai 14 perusahaan pulp dan 81 perusahaan kertas dengan kapasitas masing-masing 7,9 juta ton dan 12,17 juta ton per tahun. ‘Tapi realisasinya hanya 6,52 juta ton dan 9,31 juta ton’. Sumber: Harahap (2010) 112 Jakarta Post (2010a) 113 Jakarta Post (2010b) 114 6,5 juta ton pulp x 4.8m3 serat = 31,2 juta m3 serat. Wilayah yang diperlukan dengan pembagi m3/ha. 50m3 = 637.000ha. Sumber: dokumen rahasia Sinar Mas Forestry 2007. 100m3 = 318.500ha. Sumber: IFCA (2007): 3–4 115 Industri-industri kayulapis, veneer dan block board: 23 juta m³; industri kayu gergajian: 21 juta m³. Sumber: Dephut /FAO (2009) 116 Dephut (2009c): Tabel IV.2.2.A 117 Dephut /FAO (2009): 3 Gambar 2
UANG PERLINDUNGA
118 Dephut /FAO (2009) 119 Santosa (2009) 120 Persediaan tahun 2005 mencapai 12,5 juta m3 (lihat Dephut (2009a). Lihat juga catatan akhir 117. Greenpeace memperkirakan konsumsi kayu bulat, berdasarkan statistik Dephut (2009a), adalah 17,8 juta ton (faktor konversi dari m³ produk ke m³ RWE gunakan: kayu gergajian: 1,8; kayu lapis :2,55; joinery: 3; block board: 2,55; veneer: 2,14)
121 DNPI (2010a): 18 122 DNPI (2010a): 19
selanjutnya 2,5 juta ha kelapa sawit. Sumber: Legowo (2007): 20, 21
langkah-langkah efisiensi energi ditempuh, emisi gas rumahkaca akan dikurangi menjadi 5,19 ton CO2 per ton produk.’ 172 DNPI (2010a): 25
123 Walaupun Balitbang Dephut (2009) memberikan batas perkiraan 2025–2050, laporan sintesis ICCSR dari Maret 2010 berasumsi ‘usaha konstan perkebunan baru sebesar 1,4 juta ha per tahun’ sampai dengan 2029 dan menyesuaikan tingkat perluasan perkebunan untuk mencapai skema penuh pada periode tersebut. Sumber: BAPPENAS (2010)
151 P roduksi hampir berlipat tiga sejak 2000 (77jt ton) sampai 2007 (217jt ton). Sumber: CDI-ERM (2008)
154 Dana Investasi Iklim (2010): 14–15 mengutip BPPT (2010)
174 Dephut (2009b)
124 Dephut (2007a): 88
155 535.211 ha perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Analisis Greenpeace berdasarkan Dephut (2010b) dan Petromindo-APBI (2009)
175 Dephut (2009e)
125 Untuk mengatasi defisit pasokan sektor pemrosesan kayu dan mendukung ‘revitalisasi sektor kehutanan’, Pemerintah Indonesia mengusulkan untuk mengembangkan perkebunan bersama industri dan masyarakat (Hutan Tanaman Rakyat/HTR). Program ini awalnya ditujukan untuk membuka 5,4 juta ha perkebunan pada hutan produksi terdegradasi antara tahun 2007–2016. Sumber: Dephut /FAO (2009) Pada tahun 2009, Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Bambang Jaka Wibawa, menekankan kembali ambisi untuk memperluas wilayah HTR untuk menutup defisit materi bahan baku kayu untuk sektor kehutanan. http://nasional.kontan. co.id/v2/read/nasional/23065/Pemerintah-Kembangkan-HutanRakyat-Kemitraan
152 DNPI/Pemda Kalimantan Timur (2010): 66–68 153 DNPI (2010a): 5
156 Analisis Greenpeace berdasarkan Dephut (2010c) dan PetromindoAPBI (2009) 157 Sumber: Dephut (2010e), Down to Earth (2010), Simomara (2010b) 158 DNPI/UNFCCC (2009): 31–34 159 Analisis kesempatan efisiensi energi industri pulp dan kertas didasari data yang diberikan oleh PT Pindo Deli, salah satu perusahaan pulp dan kertas terbesar di Indonesia.’ Sumber: DNPI/ UNFCCC (2009): 31. PT Pindo Deli adalah bagian dari divisi pulp dan kertas APP dari Grup Sinar Mas. Sumber: antara lain www. sinarmas.com/en/business-units/
173 Website ‘Mitos dan Realitas’ APP: http://appmnr.app.co.id/env_appmr_tst/index.php?option=com_content&view=section&layout=blog&id= 1&Itemid=67&limitstart=3
176 Dephut (2010c) 177 Dephut (2010b) 178 Wahyunto et al (2003, 2004, 2006) 179 Ekosistem Penting Sumatra dengan Peta Distribusi Harimau. Dari data riset institusi-institusi konservasi: Wildlife Conservation Society (WCS), Fauna and Flora International (FFI), Yayasan Badak Indonesia (YABI), World Wildlife Fund (WWF), Zoological Society of London (ZSL) dan Leuser International Foundation (LIF). Sumber: Roosita dan Sulistyawan (2010) dan website WWF/SaveSumatra. org: www.savesumatra.org/index.php/newspublications/map/0/ Species%20Distribution%20Map downloaded May 2010 180 Meijaard et al (2004)
160 Pada 2009, pabrik pulp APP mengkonsumsi 14,3 juta m³ serat dari perkebunan dan hutan alam, setara dengan produksi pulp sekitar 2,9 juta ton. Sumber: Dephut (2010a)
181 Norwegia: 32,4 juta ha; Denmark: 4,3 juta ha. Sumber: CIA World Factbook www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/ rankorder/2147rank.html 182 BAPPENAS/UN-REDD (2010): 41
129 W ilayah yang ditanami 2008: 7,9 juta ha. Panen tahun 2008: 19 juta ton. Sumber: Jakarta Post (2009). Total wilayah yang perlu ditanami 40 juta ha: 16,5 juta ha (rasio antara total wilayah tanam dan panen pada tahun 2008: 2,43). Sumber: Deptan (2010)
161 ‘Jejak Karbon berkisar antara minimum 0,79tCO2/t-kertas di Pindo Deli 2 ke maksimum 2,32tCO2/t-kertas di IKPP Perawang dengan rata-rata tertimbang 1,56tCO2/t-kertas untuk Kelompok APP.’ Tetapi, ‘Jejak Karbon APP pada tahun 2006, dengan pengikat karbon oleh perkebunan, mengurangi rata-rata tertimbang jejak karbon jauh menjadi 0,03tCO2e/t-kertas. Pengurangan jejak ini karena penyerapan CO2 oleh perkebunan-perkebunan APP.’ Sumber: ERM (2008): 5, 7
126 Dephut (2010d) 127 Dephut (2007a): 88 and Dephut /FAO (2010) profil negara Indonesia: ‘People forest is forest plantation on private land or non forestland, mainly planted with fast growing hardwood species.’ 128 Media Indonesia (2010)
130 DNPI (2010a): 19 Gambar 9
162 APP/ERM (2008)
131 DNPI (2010a): 23
163 DNPI/UNFCCC (2009): 31
132 Pemerintah Indonesia (2009): 12–13
164 DNPI/UNFCCC (2009): 31
133 FAOSTAT (2010)
165 Investor Daily (2009)
134 Indonesia Today (2010), Franken (2010)
166 Investor Daily (2009)
135 Ekawati dan Al Ahzari (2010), Franken (2010)
167 Spesifikasi produk yang diberikan oleh Sinar Mas Mining menyatakan kandungan karbon batubara mereka sebesar 55–72%; dengan demikian, konversi menjadi CO2 (faktor 3,667) menghasilkan 20,2–26,5MtCO2 dari penggunaan batubara APP saat ini. Sumber: ‘PT Bumi Kencana Eka Sakti’ www.sinarmasmining.com diakses 28 Oktober 2010
136 Indonesia Today (2010) 137 FAOSTAT (2010) 138 DNPI (2010a): 19 139 Bappenas–UN-REDD (2010): 27 140 DNPI (2010a): 25 141 DNPI (2010a): 25
168 Otoritas Pengendali Polusi Norwegia (2009) menyatakan emisi gas rumahkaca 2007 sekitar 55MtCO2e tidak termasuk penyimpanan yang diklaim dari LULUCF.
183 L ahan untuk pembangunan rendah karbon seharusnya mempunyai <35tC/ha; lahan dengan potensi menyimpan >100tC/ha harus dilindungi. Sumber: BAPPENAS/UN-REDD (2010): 41 184 Menurut Wardoyo dan Sugardiman (2009): pada tutupan tajuk 10%, tergantung pada diameter tajuk, volume stok berdiri kayu komersial berkisar antara 75–150m³/ha. Untuk mengkonversi volume stok berdiri menjadi total stok karbon atas tanah, digunakan dua metode: 1) Mengasumsikan data Kemenhut tentang stok Karbon atas tanah untuk hutan sekunder (di sini diasumsikan merepresentasi tingkat tutupan tajuk dari 10–60%) sebesar 200tC/ha, faktor rata-rata untuk mengkonversi stok berdiri kayu komersial menjadi stok karbon atas tanah adalah 3,6. Ini menghasilkan totak stok karbon atas tanah total sebanyak 93tC/ha. 2) Menggunakan faktor konversi IPCC (2006) untuk volume stok berdiri yang berbeda menghasilkan total stok karbon atas tanah sebesar 77tC/ha pada tutupan tajuk 10% di Indonesia (kisaran bergantung pada diameter tajuk: 63–96tC/ha). Sumber: Tabel Pedoman IPCC 2006 4.5; dibagi menjadi 2 untuk mengkonversi biomassa atas tanah (AGB) menjadi to total stok karbon. 185 Analisis Greenpeace berdasarkan Dephut (2010b), Wahyunto et al (2003, 2004, 2006)
142 DNPI (2010a): 27
169 APP (2007)
186 DNPI (2010a): 19 Gambar 9, 21 Gambar 12
143 Grup Bank Dunia (2010a): 10
170 Produksi kertas pada tahun 2009 berjumlah 9,31 juta ton (Sumber: Harahap (2010)). Emisi saat ini: 5,57tCO2/t produk (Sumber: DNPI (2009)). Laporan NEEDS DNPI (2009) tidak menjelaskan tahapan produksi mana yang disertakan dalam kajian intensitas karbon per ton produk – yaitu, apakah pulp dan kertas dihitung secara terpisah atau tidak; namun, analisis Greenpeace berasumsi angka yang terkait dengan seluruh proses yang terkait dalam produksi kertas. Diketahui bahwa 40% pulp Indonesia diekspor, ini berarti sejumlah besar emisi sektor ini tidak dapat dikuantifikasi dari data yang ada.
187 DNPI (2010a): 4
144 Legowo (2007): 21 145 Total seluas 5,25 juta ha akan dialokasikan untuk mengembangkan tanaman ini: 1,5 juta ha untuk kelapa sawit, 1,5 juta ha untuk singkong, 1,5 juta ha untuk jatropha dan 750.000 ha untuk tebu. Sumber: Legowo (2007): 20 146 Ghani (2007) 147 Legowo (2007): 21 148 DNPI (2010a): 19 149 DNPI (2010a): 30 150 1,5 juta ha kelapa sawit didedikasikan pada tahun 2010 dan
171 55 juta ton, diantaranya 32 juta adalah kertas (berdasarkan rasio kertas dan pulp 2009). DNPI/UNFCCC (2009): 43 menyatakan ‘Intensitas emisi gas rumahkaca dalam ton CO2 per ton produk akan meningkat dari 5,57 menjadi 6,29 dalam skenario ‘kegiatan seperti biasa’. Tapi jika
188 misalnya ‘Kelapa sawit adalah produk strategis untuk pertumbuhan dan pembangunan Indonesia dan untuk mengentasan kemiskinan.’ Sumber: SMART (2010); APP (2010); Ketua kelompok kerja perubahan iklim Kementerian Kehutanan: ‘Kami ingin mengelaborasi persyaratan moratorium kehutanan karena LoI bisa berbahaya untuk ekonomi Indonesia.’ Sumber: Simamora (2010c) 189 DNPI (2010a): 14 190 Amazon = 8.235.430km2, Amerika Serikat (termasuk Alaska dan Hawaii) = 9.629.091 km2. Mongabay.com: http://rainforests. mongabay.com/amazon/ 191 L uas wilayah Britania Raya = 24jt ha (CIA World Factbook: https://
59 www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/). Wilayah lahan gambut Indonesia: 22 juta ha menurut Wetlands sebagaimana dikutip DNPI (2010a): 10 192 DNPI (2009a) melaporkan emisi dekomposisi gambut akibat pengeringan adalah 29,5% dari 1,03GtCO2 – 303MtCO2. 303MtCO2 dibagi oleh 73tCO2/ha/tahun (emisi yang digunakan di Dephut/ IFCA (2008)) = 4,15 juta ha. Walaupun tidak disertakan dalam perhitungan emisi nasional, DNPI (2009a) mengidentifikasi potensi penghematan emisi gambut sebesar 360MtCO2 terkait dengan rehabilitasi 5 juta ha lahan gambut yang ‘tidak signifikan secara komersial’. Total: sekitar 10 juta ha. 193 DNPI (2010c): 5 menyatakan dekomposisi gambut sebesar 300Mt dan kebakaran gambut 550Mt pada tahun 2005. DNPI (2010a): 14, 19 menyatakan total yang sama tapi dibagi menjadi 772Mt gambut dan 838Mt dari sumber-sumber LULUCF lainnya. 194 Emisi sementara Britania Raya 2009: 575MtCO2. Sumber: Departemen Energi dan Perubahan Iklim Britania Raya (2009) 195 Perhitungan Greenpeace berdasarkan angka karbon dari DNPI (2010a): 14 196 DNPI (2010a): 15 197 DNPI (2010a): 16 198 DNPI (2010a): 17 199 DNPI (2010a): 22. Selanjutnya, dokumen rancangan Nastra REDD+ Oktober 2010 menyatakan Keputusan Presiden yang melindungi semua gambut dengan kedalaman >3 meter ‘tidak dapat diakomodasi dalam kebijakan kehutanan, sehingga lahan bergambut menjadi hutan produksi yang dapat digunakan untuk kepentingan ekonomi’. Sumber: BAPPENAS/UN-REDD (2010): 61 200 Muńoz (2009) 201 Kementerian Lingkungan Hidup (2009): 28 Tabel 6 202 Norwegia: 32,4 juta ha; Denmark: 4,3 juta ha. Sumber: CIA World Factbook www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/ rankorder/2147rank.html 203 Analisis Greenpeace berdasarkan Dephut (2010b,c), Dephut (2009e), dan data kandungan karbon dari Kementerian Lingkungan Hidup (2009): 28: 400tC/ha dalam hutan primer dan 200tC/ha dalam hutan sekunder. 204 DNPI (2010a): 19 Gambar 9 205 Biaya yang diberikan pada kurva biaya adalah $28–29/ton CO2e, walau disederhanakan dalam teks menjadi $30/t (Sumber: DNPI (2010a): 21 Gambar 12). Asumsi kurva biaya sebesar 192tC/ha hutan (bukan 200tC, sebagaimana digunakan dalam dokumendokumen Kemenhut dan Pemerintah Indonesia lainnya) adalah setara dengan 705tCO2e – memberikan biaya kesempatan sebesar $19.740–$20.445/ha. Sumber asumsi karbon: DNPI (2010a): 22 206 DNPI (2010a): 21 207 DNPI (2010a): 21 208 DNPI (2010a): 22 209 DNPI/Pemda Jambi (2010): 23 210 Dihitung berdasarkan $28/tCO2e (kurva biaya DNPI Agustus 2010 p21 Gambar 12), dikalikan dengan 381,9MtCO2e perkiraan pengurangan emisi dari perkebunan REDD (Sumber: DNPI (2010b): 4) = $10.69bn 211 misalnya BAPPENAS (2010) 212 lihat contohnya: Maplecroft (2010), Thompson et al (2009), Locatelli et al (2008), Mackey (2008), Cotter et al (2010), Seppälä et al (2009), Robledo et al (2005), IIED (2009) 213 See www.wri.org/stories/2010/11/faq-indonesia-degraded-
--> pada lahan yang habis ditebangi dengan potensi kayu bulat (diameter 10cm) tidak lebih dari 5m3/ha.
land-and-sustainable-palm-oil?utm_source=twitter.com&utm_ medium=worldresources&utm_campaign=twitterfeed 214 Edwards et al (2010) 215 DNPI/Pemda Kalimantan Tengah (2010): 54; DNPI-Pemda Kalimantan Timur (2010): 27 216 Dephut (2009c) 217 Dephut (2009c) 218 BAPPENAS (2010): 74 219 BAPPENAS/UN-REDD (2010): 21 220 DNPI/Pemda Kalimantan Timur (2010): 89, Gambar 62 221 FAO (2006) 222 Berita Antara (2010), lihat juga www.walhi.or.id/in/kampanye/ advokasi-kebijakan/54-uu-psda/825-pp-11-tahun-2010tentang-penertiban-tanah-terlantar
Peraturan Pemerintah (PP) No.34 tahun 2002 menyatakan bahwa: HTI dapat dikembangkan pada tanah terbuka, padang rumput, atau semak-semak yang terledak dalam kawasan Hutan Produksi. PP No.34 digantikan dengan PP No.6 tahun 2007, yang menyatakan bahwa: HTI dapat dibangun di ‘hutan produksi yang tidak produktif’. 229 Dephut (2009d) 230 Kementrian LH (2009); Dephut/FORDA (2009) 231 APKI (2004) 232 Pemerintah Norwegia dan Pemerintah Indonesia (2009) 233 BAPPENAS/UN-REDD (2010): 41 234 FAO (2006): 169
224 Dephut (2009f) 5
235 Menurut Wardoyo dan Sugardiman (2009): pada tutupan tajuk 10%, tergantung pada diameter tajuk, volume stok berdiri kayu komersial berkisar antara 75–150m³/ha. Untuk mengkonversi volume stok berdiri menjadi total stok karbon atas tanah, digunakan dua metode:
225 BAPPENAS/UN-REDD (2010): 46
) Mengasumsikan data Kemenhut tentang stok Karbon atas tanah 1 untuk hutan sekunder (di sini diasumsikan merepresentasi tingkat tutupan tajuk dari 10–60%) sebesar 200tC/ha, faktor rata-rata untuk mengkonversi stok berdiri kayu komersial menjadi stok karbon atas tanah adalah 3,6. Ini menghasilkan totak stok karbon atas tanah total sebanyak 93tC/ha.
) Menggunakan faktor konversi IPCC (2006) untuk volume stok 2 berdiri yang berbeda menghasilkan total stok karbon atas tanah sebesar 77tC/ha pada tutupan tajuk 10% di Indonesia (kisaran bergantung pada diameter tajuk: 63–96tC/ha). Sumber: Tabel Pedoman IPCC 2006 4.5; dibagi menjadi 2 untuk mengkonversi biomassa atas tanah (AGB) menjadi to total stok karbon.
223 Hasan (2010)
226 Dephut (2009d) 227 Pada tahun 2003, peraturan pemerintah yang dicabut mengenai volume stok berdiri maksimum, memungkinkan perusahaan membuka hutan apapun volume kayu berdirinya sampai dengan tahun 2009, untuk mempercepat penanaman perkebunan. Sumber: Keputusan Menteri Kehutanan SK Menhut no.162/Menhut -II/2003 Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman (HTI) untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Pulp dan Kertas dan Keputusan Menteri Kehutanan SK Menhut no.101/Menhut -II/2004. Pada tahun 2008, Keputusan Menteri Kehutanan no. P3/MenhutII/2008 tentang Deliniasi Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Pada HTI mengganti keputusan tahun 2004, menghilangkan batas-batas wakti konversi hutan alam berapapun volume stok berdirinya dalam zona Produksi dan Konversi (wilayah yang tersedia untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit). Di awal 2009, Menteri Kehutanan (MS Kaban) mengumumkan perluasan hanya sampai dengan 2014 (sumber: Inilah (2009)), tetapi pernyataan ini tampaknya tidak didukung oleh keputusan resmi. Konsekuensinya, batasan satu-satunya dalam pembukaan hutan dalam zona Produksi dan Konversi hanya ada dalam pasal 9 Keputusan Menteri Kehutanan no.P3/Menhut-II/2008 – yaitu HCVF, gambut dengan kedalaman >3 meter, pembangunan dalam jarak 100m dari aliran sungai, misalnya. 228 Dephut (2009d) Peraturan Pemerintah (PP) No.7 tahun 1990 menyatakan bahwa wilayah hutan yang dapat dikembangkan menjadi perkebunan industri adalah hutan produksi yang tidak produktif (pasal 5, poin 1). -- Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.200/Kpts-II/1994 merinci kriteria Hutan Produksi yang Tidak Produktif: Terdapat kurang dari 25 hutan primer/hektar dengan diameter lebih dari 20 cm. Pada tahun 1999, UU Kehutanan No.41 tahun 1999 diberlakukan (peraturan-peraturan di atas berada di bawah UU Kehutanan No.5 tahun 1967), jadi perubahan dalam peraturan-peraturan di bawahnya disesuaikan. Menurut UU kehutanan No.41 tahun 1999, pembangunan perkebunan kayu diprioritaskan pada hutan produksi yang tidak produktif, untuk melindungi hutan alam. Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.10.1/Kpts-II/2000 menyatakan bahwa kriteria Hutan Produksi untuk HTI adalah: --> dalam wilayah tutupan vegetasi non hutan (semak-semak, lapangan terbuka, atau rerumputan); atau
236 Analisis Greenpeace berdasarkan Dephut (2010b,c), Dephut (2009e) dan Wahyunto et al (2003, 2004, 2006) 237 Analisis Greenpeace berdasarkan Dephut (2010b,c), Dephut (2009e) dan Wahyunto et al (2003, 2004, 2006) dan data MODIS VCF diambil dari Hansen et al (2006) 238 Hooijer et al (2006): 6 239 Kementrian LH (2009): 28 Tabel 6 240 Kementrian LH (2009): 28 Tabel 6 241 Perkiraan Greenpeace berdasarkan kemungkinan hasil panen maksimum tahun 2008 sebesar 60m³/ha/tahun, dengan asumsi panen semua perkebunan non-pulp adalah nol, dengan perkebunan HTI-pulp (2,5 juta ha) dipanen dengan siklus rotasi 7-tahun memasok semua 22 juta m³ kayu HTI yang dipanen pada tahun 2008 (Sumber: Dephut 2009). 60m³/ha/tahun adalah setara dengan 8,5m³ pertumbuhan tahunan rata-rata (mean annual increment) = 2tC. 242 Kementrian LH (2009): 28 Tabel 6; DNPI (2010a): 23 Ex 13 243 Munoz (2010): 14; Greenbury (2010): 21 244 BAPPENAS/UN-REDD (2010) 245 Kementrian LH (2009): 28 Tabel 6; DNPI (2010a): 23 Ex 13 246 Greenbury (2010): Slide 21 247 Dephut/FORDA (2009): 13 248 Kementrian LH (2009): 28 Tabel 6 249 Dephut/FORDA (2009): 13 250 DNPI (2010a): 21 251 Pada tahun 2009, Sinar Mas secara resmi mengkonsumsi 2,9 juta ton MTH dan 9,8 juta ton serat perkebunan (Sumber: Dephut
60 (2010a)). Ini sama dengan produksi 2,9 juta ton of pulp. Total produksi pulp Indonesia berjumlah 6,5 juta ton pada tahun 2009. Sumber: Harahap (2010) ebsite GAR (2010) ‘Hubungan investor’ www.goldenagri.com.sg/ 252 w ir_overview.php accessed 19 Agustus 2010 253 APP (2009): 2 254 Munoz (2010): 14 255 Analisis Greenpeace berdasarkan Dephut (2010b,c), Dephut (2009e) dan Wahyunto et al (2003, 2004, 2006) 256 website UNFCCC ‘Produk kayu yang dipanen’: ‘CO2 yang dilepas pada saat panen dan manufaktur produk kayu dan dengan penggunaan dan dibuangnya kayu. Dalam pendekatan default yang direkomendasikan IPCC (Revisi 1996 Pedoman IPCC), semua emisi CO2 dan pemindahan yang terkait dengan panen hutan dan oksidasi produk kayu dihitung oleh negara pada tahun pemanenan (pemindahan). Metode yang rekomendasi mengusulkan penyimpanan karbon dalam produk kayu untuk disertakan dalam inventaris nasional hanya pada kasus dimana sebuah negara mampu mendokumentasikan stok yang ada dalam produk jangka panjang pada kenyataannya meningkat. Produk kayu yang dipanen (Harvested wood products, HWP) menurut pedoman praktik baik IPCC (2003) termasuk produk kayu dan kertas. Ini tidak termasuk karbon dalam pohon yang telah dipanen dan ditinggal dalam kawasan pemanenan. Metodologi dan praktik baik untuk memperkirakan dan melaporkan emisi dan pemindahan HWP dapat ditemukan dalam Apendiks 3a.1 dalam pedoman praktik baik IPCC untuk LULUCF (2003). Sumber: http://unfccc.int/methods_and_ science/lulucf/items/4015.php diakses pada 22 Oktober 2009 257 DNPI (2010a): 21 258 Perkebunan kayu pulp bekerja dengan rotasi tujuh tahun. Indonesia berasumsi ikatan Karbon tahunan sebesar 8tC/ha/tahun yang artinya produktivitas yang diperoleh (dengan kerugian sudah diperhitungkan) sebesar 32m3/ha/tahun = 224m3 saat panen. Panen rata-rata nasional maksimum saat ini adalah 60m3 (lihat di atas). Sumber untuk 8tC/ha/tahun: DNPI (2010a): 23 Ex 13, Dephut/FORDA (2009): 17 259 APP (2007) memfaktorkan 20% untuk menutup kerugian. 260 Berdasarkan kandungan karbon dalam hutan sekunder sebesar 200t/ha, hutan primer 400t/ha. Sumber: Kementerian LH (2009): 28 261 Kementerian LH (2009): 28 Tabel 6 262 Kementerian LH (2009): 28 Tabel 6 263 Hooijer et al (2006): 6 264 UNFCCC (2007)
UANG PERLINDUNGA
265 DNPI (2010a): 23 catatan kaki 23: ‘Hutan digambarkan sebagai tanaman non-tahunan yang mencapai ketinggian minimum 5 m dan tutupan tajuk lebih dari 30 persen dalam areal tertentu, normalnya satu hektar.’ 266 Wardoyo dan Sugardiman (2009): 39, 46. Volume kayu berdiri pada tutupan tajuk 10% = 74–147m3/ha. Kayu: tingkat konversi karbon sebesar 4:1 menghasilkan 19–37tC/ha. Total kandungan karbon akan lebih tinggi karena termasuk biomassa lainnya seperti cabangcabang, dedaunan, akar dari pohon komersial, ditambah pohon berdiameter kecil, tanaman merambat (liana), semak-semak, dll. Untuk mengkonversi volume stok berdiri menjadi total stok karbon atas tanah, digunakan dua metode: 1) Mengasumsikan data Kemenhut tentang stok Karbon atas tanah untuk hutan sekunder (di sini diasumsikan merepresentasi tingkat tutupan tajuk dari 10–60%) sebesar 200tC/ha, faktor rata-rata untuk mengkonversi stok berdiri kayu komersial menjadi stok karbon
atas tanah adalah 3,6. Ini menghasilkan totak stok karbon atas tanah total sebanyak 93tC/ha. 2) Menggunakan faktor konversi IPCC (2006) untuk volume stok berdiri yang berbeda menghasilkan total stok karbon atas tanah sebesar 77tC/ha pada tutupan tajuk 10% di Indonesia (kisaran bergantung pada diameter tajuk: 63–96tC/ha). Sumber: Tabel Pedoman IPCC 2006 4.5; dibagi menjadi 2 untuk mengkonversi biomassa atas tanah (AGB) menjadi to total stok karbon. 267 B APPENAS/UN-REDD (2010): 41 menentukan batasan teknis karbon untuk lahan yang cocok untuk pembangunan rendah karbon (<35tC/ha), serta lahan yang perlu dikonservasi murni karena potensi penyimpanan karbonnya (potensi menyimpan >100tC/ha). 268 Dikalkulasi berdasarkan perkiraan pengurangan emisi sebesar 190,95MtCO2e dari tiap perkebunan kelapa sawit dan pulp (Sumber: DNPI (2010a): 4) = 381,9MtCO2e, setara dengan 104,1Mt karbon, dibagi dengan 192 ton karbon/hektar dalam hutan. Sumber: DNPI (2010a): 22 269 DNPI (2010a): 19 Gambar 9
mengindkasikan MAI (pertumbuhan rata-rata tahunan) sebesar 36m³, setara dengan 9tC/ha/tahun atau 252m³/ha pada panen dengan rotasi 7-tahun. 280 Muńoz (2009): 35 menggunakan MAI sebesar >70m3 untuk akasia dan 100m3 untuk eucalyptus; dalam rotasi 7-tahun, atau sama dengan 490–700m3/ha. 281 Berdasarkan ikatan karbon sebesar 33tC/ha/tahun = 132m³ MAI x rotasi 7-tahun = 924m³. Sumber: Munoz (2010): 14, Greenbury (2010): 21 282 Media Indonesia (2010) 283 Areal yang ditanami pada tahun 2008: 7,9 juta ha (Sumber: Jakarta Post (2009)). Produksi kelapa sawit tahun 2008: 19,2 juta ha (Sumber: ISTA Mielke (2009)). Ini menghasilkan panen sebesar 2,4 t/ha. Catatan: secara umum, hasil panen diberikan untuk per hektar perkebunan dewasa, bukan total wilayah perkebunan. Ini lebih tinggi dengan faktor sekitar 1,6 (ISTA Mielke (2009) memberikan hasil panen perkebunan dewasa di Indonesia sebesar 3,9t/ha pada tahun 2008)
Sumber: DNPI/ Pemda Kalimantan Timur (2010): 55 300 ‘Kalimantan Timur memiliki banyak lahan yang telah rusak berat karena deforestasi di masa lalu, degradasi hutan, dan kebakaran besar pada tahun 1980an dan 1990an. Sebanyak 1,4 juta ha dikategorikan sebagai sangat kritis dan kritis, dengan tutupan pohon masing-masing kurang dari 10 dan 30 persen. Sebagian besar lahan sangat kritis dan kritis ditumbuhi alang-alang (Imperata cylindrical) dan spesies rumput dan semak lainnya sebagai vegetasi utama dengan nilai karbon rendah. Sumber: DNPI/ Pemda Kalimantan Timur (2010): 36 ‘Hanya dengan peningkatan penggunaan lahan terdegradasi dalam menghindari deforestasi sebesar 250.000 ha.’ Sumber: DNPI/ Pemda Kalimantan Timur (2010): 38 301 DNPI/ Pemda Kalimantan Timur (2010): 38 302 DNPI/ Pemda Kalimantan Timur (2010): 33 303 DNPI/ Pemda Kalimantan Timur (2010): 13 304 DNPI/Pemda Kalimantan Timur (2010): 8 305 Simamora (2010c)
284 Asumsi Greenpeace bahwa 100% wilayah konsesi kelapa sawit tersedia untuk perkebunan. Sumber: Jakarta Globe (2010)
306 Creagh (2010)
272 Berdasarkan $28–29/ton CO2e dan 192t karbon (705tCO2e) per hektar. Sumber: DNPI (2010a): 21 Gambar12, 22
285 Jakarta Globe (2010)
307 Barr et al (2009)
286 DNPI/Pemda Kalimantan Tengah (2010): 53
308 Barr et al (2009)
273 Dephut (2009c): Bab IV hal3 menyatakan areal HTI yang ditanami sebesar 4,31 juta hektar.
309 Creagh (2010)
275 75% izin SK Definitif adalah untuk kayu pulp menurut Dephut (2007b) (angka yang sama dalam laporan tahun berikutnya tidak tersedia)
287 Perkebunan baru dan yang sedang ditanami kembali diharapkan untuk menggunakan bibit baru dan lebih baik, yang akan menghasilkan panen dua kali lebih banyak dari pohon-pohon kelapa sawit hari ini. ‘Jadi laik bagi pemerintah untuk mencanangkan 40 juta ton produksi kelapa sawit tanpa memperluas perkebunan.’ Sumber: Media Indonesia (2010); Produksi kelapa sawit tahun 2009: 19 juta ton. Sumber: Deptan (2010)
276 Dephut/FORDA (2009): 16
288 Media Indonesia (2010)
270 DNPI (2010a): 21 271 DNPI (2010a): 21
274 Dephut/FAO (2009): 17
277 Berdasarkan proyeksi bahwa industri pulp dan kertas akan meningkat menjadi 55 juta ton pada tahun 2025, atau sekitar 3,24 kali dalam produksi tahun 2007. Sumber: DNPI/UNFCCC (2009)
289 Pemerintah Norwegia dan Pemerintah Indonesia (2010)
18,75 adalah setara dengan 34% dari 55 juta. Bagian dari produksi pulp dari total produksi kertas antara 2000 dan 2006 – periode dimana tersedia data lengkap – adalah 34%, dengan kertas sebesar 51% dan rendemen kertas 15%. Tanpa memperhitungkan rendemen limbah kertas akan meningkatkan target produksi pulp menjadi 22 juta ton. Walau demikian, tanpa menyertakan rendeman limbah kertas, mengalikan produksi 2007 dengan 3,24 tidak akan mendapatkan hasil panen 55 juta ton, tapi 51 juta ton. Dengan menyertakan rendemen limbah kertas, angka yang ditargetkan akan kurang lebih 55,6 juta ton. Angka untuk tahun 2007 tidak tersedia, karena APKI belum menerbitkan data setelah tahun 2006.
291 Fogarty (2010)
278 Perkiraan Greenpeace berdasarkan kemungkinan hasil panen maksimum tahun 2008 sebesar 60m³/ha/tahun, dengan asumsi panen semua perkebunan non-pulp adalah nol, dengan perkebunan HTI-pulp (2,5 juta ha) dipanen dengan siklus rotasi 7-tahun memasok semua 22 juta m³ kayu HTI yang dipanen pada tahun 2008 (Sumber: Dephut 2009). 60m³/ha/tahun adalah setara dengan 8,5m³ pertumbuhan tahunan rata-rata (mean annual increment) = 2tC. 279 Perkebunan kayu pulp bekerja dengan rotasi tujuh tahun. Indonesia berasumsi ikatan Karbon tahunan sebesar 8tC/ha/tahun yang artinya produktivitas yang diperoleh sebesar 32m3/ha/tahun = 224m3 saat panen pada rotasi 7 tahun. Panen rata-rata nasional maksimum saat ini adalah 60m3 (lihat di atas). Sumber untuk 8tC/ha/tahun: DNPI (2010a): 23 Ex 13, Dephut/FORDA (2009): 17. Sebagai perbandingan, DNPI/Pemda Kalimantan Timur (2010): 53–54 menggunakan angka serupa: kemungkinan panen sebesar 23 juta m³ per tahun dari 640.000ha areal yang ditanami,
290 Fogarty (2010) 292 Fogarty (2010) 293 Fogarty (2010) 294 Hutan Konservasi dan Hutan Lindung 295 Dephut (2009a); Dephut (2010d) 296 Analisis Greenpeace berdasarkan Dephut (2010b,c), Dephut (2009e) dan Wahyunto et al (2003, 2004, 2006) 297 Pemerintah Norwegia dan Pemerintah Indonesia (2009) 298 misalnya Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurti: ‘Saya tidak tahu bagaimana kebijakan semacam ini dapat diberlakukan.’ Sumber: Ekawati dan Reuters (2010). Selanjutnya, industri sedang berusaha untuk mempromosikan pengembangan perkebunan pada lahan gambut sebagai cara mitigasi kebakaran dan pengikatan karbon. Sumber: Muńoz (2009) 299 ‘Memberi insentif investasi pada perkebunan kayu yang ada untuk meningkatkan hasil panen untuk mencapai tingkat yang dicapai pada perkebunan Sumatra terbaik.’ Sumber: DNPI/ Pemda Kalimantan Timur (2010): 27 ‘Dalam hal pengurangan emisi gas rumahkaca, perbaikan hasil panen akan memungkinkan penggunaan wilayah perkebunan yang lebih kecil untuk mencapai target CPO yang sama.’ Sumber: DNPI/ Pemda Kalimantan Timur (2010): 37 ‘Investasi manufaktur hilir tidak dapat mendahului investasi pada sumber-sumber kayu berkelanjutan dan bersertifikasi, apakah yang berasal dari perkebunan baru atau dari lahan terdegradasi atau sebagai hasil perbaikan produktivitas dari perkebunan yang ada.’
310 Barr et al (2009) 311 Barr et al (2009) 312 Barr et al (2009): 5 313 Barr et al (2009) 314 Barr et al (2009) 315 Analisis Greenpeace berdasarkan Dephut (2010b,c), Dephut (2009e) and Wahyunto et al (2003, 2004, 2006) 316 L ahan untuk pembangunan rendah karbon seharusnya mempunyai <35tC/ha; lahan dengan potensi menyimpan >100tC/ha harus dilindungi. Sumber: BAPPENAS/UN-REDD (2010): 41
KREDIT GAMBAR Halaman sampul: Beltra/Greenpeace iii: Van Lembang/Greenpeace v: Beltra/Greenpeace vi: Beltra/Greenpeace 3: Beltra/Greenpeace 4: Beltra/Greenpeace 5: AFP/Getty Images 9: Lily/Greenpeace 10: Dithajohn/Greenpeace 14: 1. Greenpeace 2. Beltra/Greenpeace 16: 1. Greenpeace 2. Novis/Greenpeace 3. Rante/Greenpeace 4. Greenpeace 5. Beltra/Greenpeace 6. Greenpeace 7. Beltra/Greenpeace 8. Greenpeace 9. Greenpeace 18: Beltra/Greenpeace 20: 1. Budhi/Greenpeace 2. Rose/Greenpeace 3. Isabelle Alexandra Ricq 4. Foodfolio/Alamy 5. Marple/Greenpeace 21: Bloomberg via Getty Images 22: 1. Beltra/Greenpeace 2. Rose/Greenpeace 3. Hilton/Greenpeace 25: 1. Frankfurt Zoological Society 2. Rose/Greenpeace 3. Beltra/Greenpeace 28: Sjolander/Greenpeace 29: Greenpeace 30: 1. Greenpeace 2. Solness/Greenpeace 3. Beltra/Greenpeace
33: 1. Beltra/Greenpeace 2. Davison/Greenpeace 3. Sjolander/Greenpeace 4. Rante/Greenpeace 35: Budhi/Greenpeace 36: Rante/Greenpeace 37: 1.Davison/Greenpeace 2 Simanjuntak/Greenpeace 3.Davison/Greenpeace 38: 1. Behring/Greenpeace 2. Beltra/Greenpeace 3. Beltra/Greenpeace 4. Greenpeace 5. Beltra/Greenpeace 6. 123RF 44: Rose/Greenpeace 46: 1. Greenpeace 2. Beltra/Greenpeace 47: IISD/Earth Negotiations Bulletin 48: Rose/Greenpeace 50: Budhi/Greenpeace 52: Beltra/Greenpeace 54: Pekny/Greenpeace 57: 1. Pekny/Greenpeace 2. Casano/Greenpeace 3. RF 59: 1. Pekny/Greenpeace 2. Beltra/Greenpeace 3. Behring/Greenpeace 61: 1. Mizukoshi/Greenpeace 2. Behring/Greenpeace 3. Pekny/Greenpeace 63: 1. Richards/Conservation International 2. Behring/Greenpeace 3. Mizukoshi/Greenpeace Sampul belakang dalam: Beltra/Greenpeace
61
62
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian dan departemen yang dinyatakan adalah bagian pemerintah Indonesia, kecuali dinyatakan selainnya. ABIOVE (2009) ‘Soy moratorium, new challenges mark the renewal of the business sector-NGO partnership’ 28 Juli 2009 http://www.abiove.com. br/english/informa_us.html AFP ‘Indonesia to double palm oil production by 2020’ www.khaleejtimes. com/biz/inside.asp?xfile=/data/commodities/2009/may/commodities_ may47.xml§ion=commodities 27 Mei 2009 ANTARA (2010) ‘Mulai 1 April, Tanah Terlantar Akan Ditertibkan’ 22 Maret 2010 www.antaranews.com/berita/1269240006/mulai-1-apriltanah-terlantar-akan-ditertibkan APKI (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia) (2004) ‘Indonesan pulp and paper industry’s perspective on FSC’s policy on certification of plantations’ 2 September 2004 APP (Asia Pulp and Paper) (2007) ‘Growing a sustainable future, Environmental and Social Sustainability Report for Indonesia’ www. asiapulppaper.com/portal/APP_Portal.nsf/Web-MenuPage/5BFB08 3D5FD9781C472575EF0035E314/$FILE/090724 APP-2007-New Rev1Final.pdf APP (2009) ‘Asia Pulp & Paper Statement on Bukit Tigapuluh’ 19 Mei 2009 www.asiapulppaper.com/portal/APP_Portal.nsf/Web-MenuPage/ A46B55144C9EC3FE472575BC0004EE20/$FILE/090519%20APP%20 Statement%20-%20Bukit%20Tigapuluh.pdf APP ‘Myths and Realities’ website: http://appmnr.app.co.id/env_appmr_tst/index.php?option=com_content&view=section&layout=blog&id= 1&Itemid=67&limitstart=3 APP/ERM (2008) ‘APP Indonesia Releases Results of Carbon Footprint Assessment’ Siaran Pers 11 Agustus 2008 Balitbang Dephut (2009) ‘Addressing climate change in forestry sector’ presentasi oleh Nur Masripatin, Secretaris Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Kehutanan BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) (2010) ‘Indonesia climate change sectoral roadmap – Synthesis report’ Maret 2010
UANG PERLINDUNGA
BAPPENAS/UN-REDD (2010) ‘National strategy for the reduction of emissions from deforestation and forest degradation: (Nastra REDD+)’ Draft, Oktober 2010 Barr, C, A Dermawan, H Purnomo dan H Komarudin (2009) ‘Readiness for REDD: Financial governance and lessons from Indonesia’s Reforestation Fund (RF)’ Infobrief, CIFOR November 2009 Barr, C (2008) ‘Indonesia’s pulp and paper industry: Overview of risks and opportunities’, presentasi pada ‘Pertemuan meja bundar mengenai industri pulp dan kertas Indonesia’ Presentasi, New York, 10 April 2008 Barreto P, R Pereira dan E Arima (2008) ‘A pecuária e o desmatamento na Amazônia na era das mudanças climáticas’ Imazon, Instituto do Homem e Meio Ambiente da Amazônia www.imazon.org.br/novo2008/
arquivosdb/120849pecuaria_mudancas_climaticas.pdf
prov/2009_prov.aspx
WP/2009/13, Kementerian Kehutanan
Belford, A (2010) ‘Indonesia Agrees to Curb Commercial Deforestation’ New York Times 27 Mei 2010 www.nytimes.com/2010/05/28/world/ asia/28indo.htm
Departemen Pertanian (2010) ‘Production of crude palm oil 1967–2009 – palm oil, area and production by category of producer’, Direktorat Jenderal Perkebunan http://ditjenbun.deptan.go.id/cigraph/index.php/ viewstat/komoditiutama/8-Kelapa%20Sawit
Dephut/IFCA (Dephut/Indonesia Forest Carbon Alliance) (2008) ‘IFCA 2007 Consolidation Report: Reducing emissions from deforestation and forest degradation in Indonesia’
Betts, R, M Sanderson, D Hemming, M New, J Lowe dan C Jones (2009) ‘4°C global warming: regional patterns and timing’ Met Office Hadley Centre, Presentasi pada Konferensi Iklim Internasional, Universitas Oxford 25 September 2009 www.eci.ox.ac.uk/4degrees/programme.php Borhan, MH (2010) ‘Indonesia to develop 3 SEZs for agri-business’ International Enterprise Singapore 11 Februari 2010 http://www. iesingapore.gov.sg/wps/portal/!ut/p/c5/04_SB8K8xLLM9MSSzPy8xB z9CP0os3gDf4PQMFMD_1A3g2BDI0MPPwtDAwgAykeaxTu7O3qYmP sA-RaWbgae3o6Oxv6uxkb-robE6DawMPL1DfQL9HA0CPVw8XM2NTa AyePX7eeRn5uqH6kfZY6hyjIMrioyJzU9MblSvyA3NKI831ERAASGduk!/ dl3/d3/L2dJQSEvUUt3QS9ZQnZ3LzZfMDgyTU1RTlFIQTBVSEROQzJ GMTAwMDAwMDA!/?WCM_GLOBAL_CONTEXT=/wps/wcm/connect/ ie/My+Portal/Market+Guide/Market+Information/South+East+Asia/ Indonesia/News/Indonesia+to+develop+3+SEZs+for+agri-business
Dephut (2007a) ‘A road map for the revitalization of Indonesia’s forest industry’ Dephut (2007b) ‘Forestry statistics of Indonesia 2006’ www.dephut. go.id/index.php?q=id/node/2195 Dephut (2008) ‘Forestry statistics of Indonesia 2007’ www.dephut.go.id/ index.php?q=id/node/5229 Dephut (2009a) Bina Produksi Kehutanan Data Release Ditjen BPK s/d Desember 2009 wwwdephutgoid/indexphp?q=id/taxonomy/term/97
Deptan (2010) ‘Production of Crude Palm Oil 1967–2009 – Palm Oil, Area and Production by Category of Producer’, Direktorat Jenderal Perkebunan, Ministry of Agriculture, Department of Plantations http:// ditjenbun.deptan.go.id/cigraph/index.php/viewstat/komoditiutama/8Kelapa%20Sawit Dinerstein et al (2006) Setting Priorities for the Conservation and Recovery of Wild Tigers: 2005–2015, A User’s Guide. WWF, Wildlife Conservation Socity (WCS), Smithsonian, and NFWF-STF, Washington, D.C. – New York.
Dephut (2009b) Data Strategis 2009 November 2009 www.dephut. go.id/index.php?q=id/node/6444
DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) (2009) ‘Kurva biaya pengurangan emisi gas rumahkaca Indonesia’ presentasi media 27 Agustus 2009
Dephut (2009c) ‘Forestry statistics of Indonesia 2008’ http://www. dephut.go.id/index.php?q=en/node/6123
DNPI (2010a) ‘Indonesia’s greenhouse gas abatement cost curve’ Agustus 2010
BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) (2010) ‘Indonesia’s Technology Needs Assessment on Climate Change Mitigation’ Presentasi Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, Wakil Ketua BPPT untuk Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam, sebagai Koordinator TNA, 19–23 Januari 2010
Dephut (2009d) Kebijakan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) Oktober 2009
DNPI (2010b) ‘Fact Sheet – Carbon Emissions and Development’ 2 September 2010
Dephut (2009e) Tataguna Lahan Indonesia 2006, Ditjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan, 2009
DNPI (2010c) ‘Setting a course for Indonesia’s green growth’ Presentasi dalam konferensi pers 6 September 2010
BSI-CUC (2010) ‘Verifying Greenpeace Claims Case: PT SMART Tbk’ 10 Agustus 2010 www.smart-tbk.com/pdfs/Announcements/IVEX%20 Report%20100810.pdf
Dephut (2009f) ‘National strategy: Reducing emissions from deforestation and forest degradation in Indonesia. Readiness phase. Draft – Agustus2009’ Nur Masripatin et al
DNPI/UNFCCC (2009) ‘National economic, environment and development study (NEEDS) for climate change: Indonesia country study’ laporan akhir Desember 2009
CAIT (Climate Analysis Indicators Tool) version 7.0. (2010) World Resources Institute http://cait.wri.org
Dephut (2010a) ‘Daftar Nama-Nama IPHHK dan Rekapitulasi Realisasi Pemenhutan Bahan Baku Tahun 2009, Nasional Kapasitas Lebih dari 6.000 m³/tahun (31-12-2009)’
DNPI/Pemda Kalimantan Timur (2010) ‘Creating low carbon prosperity in Central Kalimantan’ photos.mongabay.com/10/central_kalimantan_ report_small.pdf
Dephut (2010b) peta konsesi HTI, disediakan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia http:// appgis.dephut.go.id/appgis/kml.aspx downloaded 4 Maret 2010
DNPI/Pemda Kalimantan Timur (2010) ‘East Kalimantan Environmentally Sustainable Development Strategy’ September 2010 photos.mongabay.com/10/east_kalimantan_report_english_small.pdf
Dephut (2010c) ‘Landuse maps (provincial planning maps/Forest Land Use by Consensus maps (TGHK)’, Ditjen Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan; http://appgis.dephut.go.id/appgis/kml. aspx di-download Maret 2010. Catatan: Untuk Riau dan Kalimantan Tengah, Kemenhut masih menggunakan peta-peta TGHK lama. Untuk kepentingan laporan ini, untuk Riau, digunakan rancangan peta perencanaan propinsi tahun 2007.
DNPI/Pemda Jambi (2010) ‘Creating low carbon prosperity in Jambi’ photos.mongabay.com/10/jambi_report_090810_english.pdf
Chomitz, KM dan TS Thomas (2001) ‘Geographic patterns of land use and land intensity’ http://en.scientificcommons.org/523737 CIA World Factbook: https://www.cia.gov/library/publications/theworld-factbook/ Climate Investment Funds (2010) ‘Clean Technology Fund Investment Plan for Indonesia’ 12 April 2010 Cotter, J, C Thies and R Czebiniak (2010) ‘Biodiversity: vital for climate change adaptation and mitigation – forests as a case study’ pada Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati (Secretariat of the Convention on Biological Diversity, SCBD) (2010) Biodiversity and Climate Change: Achieving the 2020 Targets. Abstrak poster pada Pertemuan ke-14 Badan Penasihat Ilmiah, Teknis dan Teknologi untuk Konvensi Keanekaragaman Hayati, 10–21 Mei 2010, Nairobi, Kenya. Technical Series 51: 116–117. Creagh S (2010) ‘Graft could jeopardise Indonesia’s climate deals’ Reuters 17 September 2010 Departemen Energi dan Perubahan Iklim Britania Raya (2009) ‘2009 provisional UK figures – data tables’ http://www.decc.gov.uk/en/content/ cms/statistics/climate_change/gg_emissions/uk_emissions/2009_
Dephut (2010d) ‘Perkembangan Pemanfaatan dan Penggunaan Hutan Produksi’ Kuartal 2 Juli 2010 Dephut (2010e) ‘Program Kehutanan Untuk Mitigasi Perubahan Iklim dan Monitoring, Pelaporan serta Verifikasinya’ Januari 2010 www. dephut.go.id/index.php?q=id/node/6036; http://dte.gn.apc.org/84ain. htm Dephut/FAO (2009) ‘Indonesia forestry outlook study: Asia-Pacific forestry sector outlook study II’ Working Paper No. APFSOS II/
Down to Earth (2010) ‘Indonesia packages tree plantation expansion as emissions reduction strategy’ Maret 2010 http://dte.gn.apc.org/84ain. htm Edwards, D, TH Larsen, TDS Docherty, FA Ansell, WW Hsu, MA Derhé, KC Hamer and DS Wilcove (2010) ‘Degraded lands worth protecting: the biological importance of Southeast Asia’s repeatedly logged forests’ Proc. R. Soc. B dipublikasikan online 4 Agustus 2010. doi: 10.1098/ rspb.2010.1062. Ekawati, A dan M Al Azhari (2010) ‘Indonesian govt gives green thumbs up to plant Papua “Food Estate”’ Jakarta Globe 17 Januari 2010 http:// www.thejakartaglobe.com/business/indonesian-govt-gives-greenthumb-up-to-plant-papua-food-estate/353238
63
Elliott, L dan M Tran (2010) ‘UN report warns of threat to human progress from climate change’ The Guardian 4 November 2010
not prompted by Oslo grant: Forestry Minister’ Jakarta Post 6 Juli 2010 www.thejakartapost.com/news/2010/06/07/guest-speakermoratorium-natural-forests-peat-not-prompted-oslo-grant-forestryminis
EPA (US Environmental Protection Agency) (2010) Inventory of US Greenhouse Emissions and Sinks 1990-2008, U.S. EPA # 430-R-10006, April 2010, http://epa.gov/climatechange/emissions/downloads10/ US-GHG-Inventory-2010_ExecutiveSummary.pdf
Hooijer, A, M Silvius, H Wösten dan S Page (2006) PEAT-CO2, ‘Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia’ Delft Hydraulics report Q3943 7 Desember 2006 www.wetlands.org/ckpp/ publication.aspx?ID=f84f160f-d851-45c6-acc4-d67e78b39699
ERM (2008) ‘Asia Pulp & Paper – Indonesia Executive Summary of APP’s Carbon Footprint Assessment’ 8 Agustus 2008 www.erm.com
IBGE (Instituto Brasileiro de Geografia e Estatística – Institut Geografi dan Statistika Brazil) (2006) ‘Produção agrícola municipal’ www.sidra.ibge. gov.br/bda/agric/default.asp?t=2&z=t&o=10&u1=1&u2=1&u3=1&u4= 1&u5=1&u6=1
Ekawati, A dan Reuters (2010) ‘Shock and Uncertainty Over ForestClearing Moratorium’ Jakarta Globe 31 Mei 2010
FAO (2006) ‘Global Forest Resources Assessment 2005’ Kertas kerja 106/E Forest Resources Assessment Programme, Rome 2006 FAOSTAT (2010) FAO Statistics Division 2010 http://faostat.fao.org/ Fogarty, D (2010) ‘Indonesian Government Says Deforestation Ban To Begin Small, Grow Later’ Reuters 20 Agustus 2010 Franken, J (2010) ‘Merauke food estate: weighing the agricultural balance’ Jakarta Post 4 Oktober 2010 http://www.thejakartapost.com/ news/2010/10/04/merauke-food-estate-weighing-agriculturalbalance.html GAR website ‘Investor relations’: www.goldenagri.com.sg/ir_overview. php Germer J and J Sauerborn (2007) ‘Estimation of the impact of oil palm plantation establishment on greenhouse gas balance’ Environ Dev Sustain DOI 10.1007/s10668-006-9080-1 Ghani, MRA (2007) ‘Massive biofuel program to go ahead despite international concerns’ Jakarta Post 6 Februari 2007 – artikel tersedia pada website Dewan Kelapa Sawit Malaysia: http://palmnews.mpob.gov. my/palmnewsdetails/palmnewsdetail.php?idnews=3854 Greenbury, A (2010) ‘Sustainability and beyond – challenges for the next decade’ Presentasi Asia Pulp & Paper kepada RISI, 12 Maret 2010 Greenpeace (2009) ‘Global cattle giants unite to ban Amazon destruction’ 5 Oktober 2009 www.greenpeace.org/international/en/news/features/ global-cattle-giants-unite051009/ Grieg-Gran, M (2006) ‘The cost of avoiding deforestation. Report prepared for the Stern Review of the Economics of Climate Change’ International Institute for Environment and Development, Oktober 2006 Hansen, M, R DeFries, JR Townshend, M Carroll, C Dimiceli and R Sohlberg (2006), ‘Vegetation Continuous Fields MOD44B, 2001 Percent Tree Cover’, Collection 4, University of Maryland, College Park, Maryland, 2001 www.glcf.umd.edu/data/vcf/ Harahap, R (2010) ‘Pulp firms urged to double efforts’, Jakarta Post, 22 Juli 2010, mengutip Menteri Industri M.S. Hidayat http://www. thejakartapost.com/news/2010/07/22/pulp-firms-urged-doubleefforts.html Hasan, Z (2010) ‘Guest Speaker: moratorium on natural forests, peat
IFCA (Indonesia Forest Carbon Alliance) (2007) ‘Strategies to reduce carbon emissions from the pulp and paper and plantation sectors in Indonesia - Initial draft’ IIED (International Institute for Environment and Development) (2009) ‘Natural resilience: healthy ecosystems as climate shock insurance’ briefing Desember 2009 www.iied.org/pubs/display.php?o=17078IIED Indonesia Today (2010) ‘Wilmar secures 200,000 hectares of land in Merauke Food Estate for sugar plant’ 2 September 2010 http:// theindonesiatoday.com/news-headline/3873-wilmar-secures-200000hectares-of-land-in-merauke-food-estate-for-sugar-plant.html INPE (2010) ‘Are we ready for REDD? Multidimensional policies for reducing Amazon deforestation: 2001-2010’. Global Land Project: Open Science Meeting, Tempe, Arizona, Oktober 2010 www.dpi.inpe.br/ gilberto/present/gcamara_glp_osm_2010.ppt Investor Daily (2009) ‘Investasi US$ 400 Juta, Sinar Mas Ekspansi ke Batubara Harian’, Investor Daily, 22 Mei 2009 www.tekmira.esdm.go.id/ currentissues/?p=2027 IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) (2006) ‘2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories’ Chapter 4: Forest Land Conversion Biomass, table 4.5 IPCC (2007) ‘Fourth Assessment Report. Climate Change 2007: Synthesis Report. Summary for Policymakers’ www.ipcc.ch/pdf/ assessment-report/ar4/syr/ar4_syr_spm.pdf IPCC WGI (Intergovernmental Panel on Climate Change Working Group I) (2007) ‘Climate Change 2007: The physical science basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change’ Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (eds.). Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA http://ipcc-wg1.ucar.edu/wg1/wg1-report.html IPCC WGIII (Intergovernmental Panel on Climate Change Working Group III) (2007): ‘Climate Change 2007: Mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change’ www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/wg3/ en/spmsspm-b.html
ISTA Mielke (2009) Oil World, Desember 2009, ISTA Mielke GmbH Jakarta Globe (2010) ‘Palm oil industry seeks clarity from officials over plantation moratorium’ 13 Juni 2010 Jakarta Post (2009) ‘Indonesia allocates 18 million hectares land for palm oil’ 12 Februari 2009 Jakarta Post (2010a) ‘Govt eyes Papua as pulp and paper production base’ 21 Juni 2010 www.thejakartapost.com/news/2010/07/21/govteyes-papua-pulp-and-paper-production-base.html; Jakarta Post (2010b) ‘Production forests will reach 10m hectares by 2014: Govt’ 8 November 2010 JBS (2009) ‘JBS and sustainability, notice to the market’ 24 September 2009 http://jbs.riweb.com.br/JBS/Show.aspx?id_materia=ZXFGu6is/ FgmeJNL34moQA==&id_canal=2dKvBqcLTgMRVOletZQE1w== Jurnal Nasional, ‘Pakar IPB: Tudingan Greenpeace Tak Berdasar’ 2 November 2010 Kementerian Lingkungan Hidup (2009) ‘Indonesia second national communication under the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) – Summary for policy makers’ Kementerian Lingkungan dan Hutan (India) (2009) ‘Results of Five Climate Modelling Studies, GHG Emissions Profile’, Ministry of Environment and Forests, September 2009 http://moef.nic.in/ downloads/home/GHG-report.pdf Kementerian Lingkungan Hidup Brazil (2010) ‘The Brazilian REDD Strategy’ www.mma.gov.br/estruturas/168/_publicacao/168_ publicacao19012010035219.pdf Kementerian Sains dan Teknologi Brazil (2009) ‘Inventário Brasileiro das emissões e remoções antrópicas de gases de efeito estufa, Informações gerais e valores preliminares (30 novembro de 2009)’ 30 November 2009 www.mct.gov.br/upd_blob/0207/207624.pdf Klugman et al (2010) ‘Human Development Report 2010: 20th anniversary edition. The real wealth of nations: pathways to human development’ UNDP November 2010 http://hdr.undp.org/en/ mediacentre/ Laurance, WF, LP Koh, R Butler, NS Sodhi, CJA Bradshaw, JD Neidel and H Consunji (2009) ‘Inadequacies of the Roundtable on Sustainable Palm Oil for Nature Conservation’ 25 Mei 2009 Legowo, EH (2007) ‘Blue print of biofuel development’ presentasi atas nama Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, Republik Indonesia, pada Forum biodiesel kelapa sawit dan keberlanjutan, Jakarta, 15 Mei 2007 Locatelli, B, M Kanninen, M Brockhaus, CJP Colfer, D Murdiyarso dan H Santoso (2008) ‘Facing an uncertain future: how forests and people can adapt to climate change’ Forest Perspectives no 5. CIFOR, Bogor, Indonesia. Ringkasan PowerPoint tersedia di www.cbd.int/forest/doc/ wscb-fbdcc-01/Sept4/cifor-adaptation-daniel-murdiyarso-brunolocatelli-en.pdf.
64
Mackey, BG (2008) Green Carbon: The Role of Natural Forests in Carbon Storage Maplecroft (2010) ‘Climate Change Risk Atlas 2011’ 19 Oktober 2010 www.maplecroft.com/about/news/ccvi.html Marfrig (2009) Presentasi institusi, November 2009 www. mzweb.com.br/marfrig/web/arquivos/Marfrig_Apresentacao_ Institucional_20091116_eng.pdf Masripatin, N (2010) ‘Forestry policy for addressing climate change in Indonesia’ Bogor 16 Februari 2010 www.iges.or.jp/jp/cp/pdf/ activity20100216/D1_S3_MASRIPATIN.pdf Media Indonesia (2010) ‘Step Up Palm Oil Production Without Expansion’ Media Indonesia 28 September 2010 www.mediaindonesia.com/ webtorial/asianagri/eng/?ar_id=NzgyNg== Meijaard, E, R Dennis dan I Singleton (2004) ‘Borneo Orangutan PHVA Habitats Units: Composite dataset developed by Meijaard & Dennis (2003) and amended by delegates of the Orangutan PHVAWorkshop’, Jakarta,15–18 January 2004. Selanjutnya diperbaharui oleh Erik Meijaard. Mongabay.com: http://rainforests.mongabay.com/amazon/ Muńoz, C (2009) ‘Balancing Sustainability Needs: Sustainable Plantation Forestry’ Sinar Mas Forestry, Jakarta, 3 Desember 2009 Munoz, CP (2010) ‘REDD+ Pilot Project in Indonesia: Sinar Mas Forestry International climate change workshop on research priorities and policy development UI-APRU’ Jakarta, 18–19 Maret 2010 Norwegian Pollution Control Authority (2009) ‘Greenhouse Gas Emissions 1990-2007: National Inventory Report 2009 Norway’ http:// unfccc.int/national_reports/annex_i_ghg_inventories/national_ inventories_submissions/items/4771.php Page, S, F Siegert, JO Rieley, HDV Boehm, A Jaya, S Limin (2002) ‘The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997’ Nature 420 (6911): 61–65
UANG PERLINDUNGA
Pemerintah Indonesia (2009) ‘National medium-term priority framework (NMTPF) 2010 – 2014 for Indonesia’s external assistance in the agriculture sector (incl. forestry & fisheries)’ versi 31 Juli 2009 ftp://ftp.fao.org/TC/TCA/NMTPF/Country%2520NMTPF/ Indonesia/Status/NMTPF.pdf+nmtpf+fao+Indonesia&hl=en&gl =uk&pid=bl&srcid=ADGEEShGn1bgORS-1PuXbq_zBxU0nTlO_ cVACRF1TBCXKe7qHEdqhmGaXbHgSnfgH-0NOY3LcduXyfshS6vhANETu7Uq5L-fKNiuj52dCYhESFMcFbu0bZnVJKwTG574E cZ9ZRa0rKc&sig=AHIEtbQPfsijXn81T32_qMgPl859BUYC_g Pemerintah Brazil (2004) ‘Plano de ação para a prevenção e controle do desmatamento na Amazônia Legal’ www.planalto.gov.br/casacivil/ desmat.pdf Pemerintah Brazil (2008) ‘Executive summary: national plan on climate change: Brazil’ www.mma.gov.br/estruturas/imprensa/ arquivos/96_11122008040728.pdf
Pemerintah Cina (2007) Konferensi pers mengenai program perubahan iklim. Web portal resmi Pemerintah Cina http://english.gov.cn/200706/04/content_636052.htm
Simamora, A (2010b) ‘Norway won’t fund RI tree planting program: Govt’ Jakarta Post 31 Mei 2010 www.thejakartapost.com/news/2010/05/31/ norway-won039t-fund-ri-tree-planting-program-govt.html
Pemerintah Norwegia & Pemerintah Indonesia (2010) ‘Letter of Intent between the Government of the Kingdom of Norway and the Government of the Republic of Indonesia on “Cooperation on reducing greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation”’ 26 Mei 2010 www.regjeringen.no/en/dep/smk/press-center/Press-releases/2010/ Norway-and-Indonesia-in-partnership-to-reduce-emissions-fromdeforestation.html?id=605709
Simamora, A (2010c) ‘Ministry wants money for planting trees’ Jakarta Post 16 Agustus 2010 www.thejakartapost.com/news/2010/08/16/ ministry-wants-money-planting-trees.html
Petromindo-APBI (2009) Peta Batubara Kalimantan/Sumatra, Petromindo & Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, Juni 2009 PT SMART Tbk (2010) ‘Independent verification reveals Greenpeace claims are exaggerated or wrong’ Jakarta, 29 Juli 2010 http://www. goldenagri.com.sg/newsroom_verification.php Redmond, I (2010) Surat terbuka kepada Presiden Indonesia dan Perdana Menteri Norwegia. Antara lain dimuat di: http:// www.thejakartaglobe.com/opinion/the-fine-print-on-forestprotection/407244 Robledo, K, M Kanninen dan L Pedroni (eds) (2005) ‘Tropical forests and adaptation to climate change: In search of synergies’ Center for International Forestry Research (CIFOR) 2005 Roosita, H dan BS Sulistyawan (2010) ‘Ecosystem Based Spatial Planning As a Guide for the Precautionary Approach to Conservation of HCV Areas in Sumatra’. Hermien Roosita dan Barano Siswa Sulistyawan, Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan WWF Indonesia www.hcvnetwork.org/resources/training-courses-workshops/2.4%20 Ecosystem%20Based%20Spatial%20Planning%20ppt-Hermien%20 Roosita-Barano.pdf RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) (2010) Korespondensi kepada PT SMART, GAR dan PT Ivo Mas Tunngal, 22 September 2010, tersedia di http://www.greenpeace.org.uk/blog/forests/sinar-mas-getsultimatum-rspo-over-palm-oil-and-deforestation-20100923 Santosa, UA (2009) ‘Pemerintah Kembangkan Hutan Rakyat Kemitraan’ Kontan 13 Oktober 2009 http://nasional.kontan.co.id/v2/read/ nasional/23065/Pemerintah-Kembangkan-Hutan-Rakyat-Kemitraan Schonhardt, S (2010) ‘Businesses warm to Indonesia’s moratorium on forest clearing’ VOA News.com, 22 Oktober 2010 http://www.voanews. com/english/news/asia/Businesses-Warm-to-Indonesias-Moratoriumon-Forest-Clearing-105543088.html Seppälä, R, A Buck dan P Katila (eds) (2009) ‘Adaptation of Forests and People to Climate Change: a Global Assessment Report’ IUFRO World Series Volume 22 Simamora, A (2010a) ‘Forest policy undercuts SBY’s emissions pledge’ Jakarta Post 13 Januari 2010 http://www.thejakartapost. com/news/2010/01/13/forest-policy-undercuts-sby%E2%80%99semission-pledge.html
Siswanto, W (2010) ‘REDD-plus: toward 2020 Emission Cut’ Dephut April 2010 www.apru.org/awi/workshops/climate_change2010/slides/18%20 Mar/1st%20Breakout%20Session/REDD-WandoyoSiswanto(MOF).pdf SMART (2010) ‘Independent verification report to show SMART as a responsible company’ Jakarta, 9 Agustus 2010 Thompson, I, B Mackey, S McNulty dan A Mosseler (2009) ‘Forest Resilience, Biodiversity, and Climate Change: synthesis of the biodiversity/resilience/stability relationship in forest ecosystems’ Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Hayati, Montreal, Technical series no. 43 UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) website: www.unfccc.int UNFCCC (2007) ‘Bali Action Plan: decision 1/CP.13’ unfccc.int/files/ meetings/cop_13/application/pdf/cp_bali_action.pdf UNFCCC (2009) ‘Summary of GHG Emissions for Russian Federation’, GHG emissions (with Land Use Land Use Change and Forestry, LULUCF) http://unfccc.int/files/ghg_emissions_data/application/pdf/rus_ghg_ profile.pdf UNFCCC (2010) ‘National economic, environment and development study for climate change: initial summary report’ revisi 16 Maret 2010 USDA (2004) ‘The Amazon: Brazil’s final soybean frontier’, Divisi perkiraan produk dan penilaian hasil panen, Layanan Pertanian Asing, 13 Januari 2004 www.fas.usda.gov/pecad/highlights/2004/01/amazon/ amazon_soybeans.htm Verchot, LV, E Petkova, K Obidzinski, S Atmadja, EL Yuliani, A Dermawan, D Murdiyarso dan S Amira (2010) ‘Reducing forestry emissions in Indonesia’ Center for International Forestry Research (CIFOR) http:// www.cifor.cgiar.org/Knowledge/Publications/DocumentDownloader?a=d &p=%5Cpublications%5Cpdf_files%5CBooks%5CBVerchot0101.pdf Wahyunto, S Ritung and H Subagjo (2003) ‘Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Pulau Sumatera (Maps of Area of Peatland Distribution and Carbon Content in Sumatra), 1990–2002’, Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada (WHC) Wahyunto, S Ritung, Suparto and H Subagjo (2004) ‘Maps of area of peatland distribution and carbon content in Kalimantan, 2000 – 2002’ Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada (WHC) Wahyunto, B Heryanto, H Bekti and F Widiastuti (2006) ‘Maps of peatland distribution, area and carbon content in Papua, 2000–2001’
Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada (WHC) Wardoyo, W dan RA Sugardiman (2009) ‘Overview of the Ministry of Forestry’s Remote Sensing Capacity’, Kementerian Kehutanan, Jakarta Winanti, WS (2010) ‘Indonesia’s Technology Nees Assessents (TNAs) for Climate Change Mitigation’ Kelompok Kerja Transfer Teknologi, DNPI 5 Maret 2010 http://tech-action.org/WsParisFeb2010/IndonesiaTNA.pdf. World Bank Group (2010a) ‘Clean technology fund investment plan for Indonesia’ April 12 2010 World Bank Group (2010b) ‘Development and Climate Change: A Strategic Framework for the World Bank Group Interim Progress Report’ Juni 2010 WWF/SaveSumatra.org website: www.savesumatra.org/index.php/ newspublications/map/0/Species%20Distribution%20Map downloaded Mei 2010 Yudhoyono, Susilo Bambang (2009), Pidato Presiden Republik Indonesia mengenai perubahan iklim pada pertemuan G-20 2009 http://reddindonesia.org/publikasi/detail/read/indonesia-presidents-speech-onclimate-change-at-2009-g-20-meeting-1/
65
Yudhoyono Dr. H. Susilo Bambang sia Presiden Republ ik Indone Veteran 16 Gedung Bina Gra ha Jl. Jaka rta Pusat
Tur ut menandatangan i:
Jens Stoltenberg ia Perdana Menteri Nor weg P.B. 8001 Dep 0030 Oslo 18 November 2010 Bapak Presiden dan Perd
ana Menteri Yang Terh
ormat,
erintah gha rgai kom itmen pem hutan tropis, kam i men m mempelajari ekosistem untuk duk ungannya dala ia weg Nor Sebaga i ilmuwa n yang tah erin si deforestasi serta pem Indonesia untuk mengata capai hal ini. membantu Indonesia men asti kan kesepa kata n ua pemerintah untuk mem n penting nya bag i ked emisi gas rumahk aca, nan uru pen kan asti Kam i hendak meneka nka hanya mem nek aragam, yang iskusika n untuk tida k did bera ang dan a sed kay ini g yan saat g sia yan Indone servasi ekosistem hutan ati. […] kon hay n ung ama duk arag men nek juga kea tapi menjaga n bag i jutaan ora ng dan member ikan penghidupa ka di atas hutan alam perkebuna n yang dibu membantu izin konsesi bar u untuk awa l yang kuat untuk titik Morator ium pember ian ikan ber mem n n aka tahu k awa l. […] dua seja ma kan sela gak but dite t dan laha n gam penjagaan yang tepa ini, namun hanya bila perlindungan semacam si perkebuna n masih yata kan bahwa ekspan an tah dilaporkan tela h men rka n pada “lahan dan hut elua dik bisa Beberapa pejabat pemerin ih mas ian kan izin penggu naa n pertan nan Indonesia mengata uta keh teri men dimung kin kan karena lalu g n ang benar, satu bulan yan dan laha n gambut ” aka er prim an hut yang terdegradasi”. Mem in sela an rta Post bahwa “areal hut ini belu m ada defi nisi kepada har ian The Jaka atin bahwa sampai saat an perkebuna n. Kam i prih […] . asi” rad deg disediak an untuk keperlu “ter dengan aka n apa yang disebut resm i dar i Pemerintah yang dianggap sebaga i gan ilm iah kam i, habitat atin kan. Dalam pandan prih gi, sek under dan jenis ban mem dite gat san gu, ini Hal yang tergang asu k jenis-jenis hutan term i”, n hay ati dan masyara kat das ama egra arag terd nek “hutan an kea penting bag i perlindung gat san i nila […] ber m. at ikli dap lain nya , erangi per uba han hutan, serta dala m mem yang bergantu ng pada sia dan Nor weg ia untuk ada pemerintah Indone alam , kam i menyeru kan kep hutan ini bahwa hutan an ung Dengan pandangan ini, lind per n kata ih sangat ksik an dala m kesepa servasi tinggi dan mas kon i nila i mengak ui dan merefle ilik mem ih kat yang yang tida k primer, mas Indonesia dan masyara ati hay n bah kan dala m keadaa n ama arag nek hatian an jang ka panjang kea gat jelas, pada saat per San m. ikli han penting bag i perlindung uba per pada serta dala m memerangi mengenai ikli m, berada PBB ggi Tin t bergantu ng pada hutan, gka Tin nsi , Mex ico untuk Kon fere ruh jalur hutan tropis selu di pa seru ma ske dun ia tertuju ke Cancun i bag member ikan contoh baik an. tempat yang tepat untuk global kita di masa dep ngnya stabilitas ikli m antu berg pat tem ia, dun Hor mat kam i, Ian Redmond OBE , , Apes Sur viva l Par tnership GRA SP Envoy, UN Great
Prof Tor A. Benjam insen, Nor weg ian University of Life Sciences, Nor way Dr Nicholas Berr y, Sen ior Ecosyste m Ana lyst, Ecom etric a, Edinburg h, UK Prof Core y J. A. Bradshaw , Director of Ecologic al Mod elling, The Env iron ment Earth & Env iron mental Scie Inst itute and school of nces, University of Adelaid e, Adelaide, and South Aus Development Inst itute, Aus tral ian Research & tral ia Prof Robin L. Cha zdon, Ecol ogy and Evolutionary Biol ogy, University of Con nect Dr Susa n M. Che yne, Ora icut, USA ng-utan Tropical Peat land Project (OuTrop) Director Research, Wildlife Conserv of Gibbon and Felid ation Research Unit (Wi ldCR U), Dep Associate Lecturer, Oxford artment of Zoology, Univers Brookes University; Scientifi ity of Oxford; c Director Busang River Init Conservation and Com mun iative for Nature ities (BRINCC), Indonesia. Dr Dav id Edwards, Princeto n University, USA , and Uni versity of Leeds, UK Dr Simon Husson, Director , The Ora ngutan Tropical Peat land Project, Indonesi Dr Simon Lew is, School of a Geography, Eart h and Bios phere Inst itute, University Dr Wil liam F. Lau rance, of Leeds. UK Dist ingu ished Research Professor & Austral ian Lau for Internat iona l Nature reate, Prince Bern hard Cha Conservation, James Coo ir k University, Austral ia Prof Jack Rieley, Spec ial Professor of Geography, University of Notting ham Tropical Peat Swa mp Fore , UK; Co-D irec tor Kali man st Prog ram me, University tan of Pala ngk a Ray a, Indonesi Adv isor y Boa rd, Internat a; Cha irman Scientific iona l Peat Society Dr Dou glas Sheil, Director , Inst itute of Tropical Fore st Conservation, Uga nda Dr Ian Sing leton, Director of Conservation, Pan Eco Fou ndation, Indonesia Prof Nigel Stork, Presiden t-Elect Associat ion for Trop ical Biology and Conserv of Resource Management ation; Head of Department and Geography, University of Melbourne, Austral ia Dr Jatna Supriatna, Conserv ation Internat iona l, Indo nesi a Prof Dav id S. Wilcove, Ecol ogy, Evolutionary Biology and Public Affa irs, Princeto n University, USA Anggota Kom isi Sains GRA SP UNEP/UNESCO: Dr Serge Wich, Cha ir, GRA SP Scientific Com mission ; Director of Research, Sum Conservation Prog ram me atra n Ora ngutan (Pan Eco-YEL) and research er, University of Zurich, Swi Dr Marc Anc rena z, Scientifi tzerland c Director, Hutan, Saba h, Malaysia Dr Suci Utam i Atmoko, Facu lty of Biology, Universitas Nasiona l, Jaka rta, Indonesi Dr Chr istophe Boesch, Dire a ctor, Max Planck Inst itute of Evolutionary Anth ropo Dr Tatyana Hum le, Scho logy, Ger many ol of Anth ropology and Con servation, University of Ken Dr Inza Koné, Biologie de t, UK la Conservation des Prim ates, Laboratoire de Zoologi Abidjan, Côte d’Ivoire e, Université de Cocody à Dr Mark Leighton, Ecology, Rain forest Conservation and Management, Har vard Dr Fiona Maisels, WCS Mon University, USA itor ing Coordinator, Cen tral Africa Dr Erik Meijaard, People and Nature Consult ing Inte rnat iona l, Indonesia Dr Wil lliam Olupot, Dire ctor, Nature and Liveliho ods, Uga nda Dr Liz Wil liamson, Coordin ator, Sect ion on Great Ape s, IUCN SSC Primate Spec ialist Group