DAFTAR ISI
Kata Pengantar
4
Sambutan Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani
5
DAFTAR ISI
6
A. BIDANG KESEHATAN DAN OBAT-OBATAN
12
A-01 Pengaruh Kadar Minyak Atsiri Kencur dan Temulawak terhadap Aktifitas Antibakteri dalam Sabun Padat 13 Hasnah Ulia1*, Dyah Nirmala1, Imelda Bahar2
13
A-02 Aktivitas Senyawa Aktif Anti Kanker Leukemia dari Spesis Morus Macroura Miq (Tanaman Andalas) secara In Vitro
18
Jasmansyah1, Hernandi S1, Euis Hakim2, Yana M Syah2
18
A-03 Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Daun Sengon (Albizia falcataria (L) Fosberg.) untuk Antimikroba Topikal 22 Putranti Adirestuti *, Ririn Puspadewi , dan Fahrauk Faramayuda
22
A-04 Kajian Awal Antituberkulosis dengan Memanfaatkan Ekstrak n-Heksan Daun Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk)
26
Rahmaniar Mulyani*, Yenny Febriani Yun, dan Yusi Fudiesta
26
A-06 Aktivitas Sitotoksik Metabolit Sekunder Daun Tumbuhan Keremunting (Rhodomyrtus Tomentosa (Aiton) Hassk) Asal Belitung Terhadap Sel Leukemia P-388 32 Yenny Febriani Yun*, Lilis Siti Aisyah, Cecep Chandra Doni Respati Alfrilindo, Alivia Muliawati
32
A-07 Evaluasi sediaan kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) sebagai obat herbal yang berkhasiat antihipertensi 38 Afifah B. Sutjiatmo1,2*, Elin Yulinah Sukandar2, Suswini Kusmaningati3, Soraya Riyanti1, Suci Nar Vikasari1,2 38 A-08 Efek Antidiare Ekstrak Etanol Kulit Batang Mindi (Melia azedarach Linn) Terhadap Mencit Swiss Webster Jantan 43 Linda P. Suherman*, Faizal Hermanto
43
A-09 Uji Bioaktivitas Ekstrak dan Fraksi Daun Kembang Dayang (Cestrum nocturnum Linn.) Terhadap Artemia salina Leach Dengan Menggunakan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) 49 Fahrauk Faramayuda*, Julia Ratnawati, Neng Nurlaeni
49
A-10 Efek Antihipertrigliseridemia Ekstrak Etanol Sirih Merah pada Tikus Wistar Jantan
54
*
Puspa Sari Dewi , dan Ita Nur Anisa
54
A-11 Aktivitas Analgetik dan Keamanan Ekstrak Metanol Jahe Merah (Zingiber officinale var. Rubra) 59 Evi Sovia*, Welly Ratwita
59
A-12 Uji Aktivitas Antimalaria Ekstrak Etanol Herba Ketumpang (Tridax procumbens L) pada Plasmodium falciparum Galur 3D7 64 Faizal Hermanto*, Puspa Sari Dewi Solihah
64
6 ISBN 978-602-70361-0-9
A-14 Pengembangan Probiotik Lactobacillus sp. dalam Minuman Herbal Berkhasiat
69
Sayu Putu Yuni Paryati, Eka Noneng Nawangsih
69
A-15 Optimasi Suhu Annealing Amplifikasi PCR Domain Transmembran HER-2 pada Pasien Kanker Payudara Indonesia 75 Desriani1*, Ramadhan2, dan Wirsma Arif Harahap3
75
A-16 Efek Antiinflamasi Ekstrak Mangostin pada Bayi Tikus Galur Wistar Model Enterokolitis Nekrotikans Berdasarkan Pengamatan Histopatologis 79 Yoke Ayukarningsih*, Teja Koswara, dan Teguh Tri Sutarno
79
A-19 Uji Toksisitas Akut Ekstrak Air Daun Kecubung Gunung (Brugmansia suaveolens Bercht & Presl) pada Mencit Galur Swiss Webster 85 Ita Nur Anisa1*, Andreanus A. Soedarmadji2, Suryani, dan Suciayuza Effti1
85
A-20 Pengaruh Pembentukan Ko-Kristal Alopurinol dengan Asam Benzoat atau D-Asam Tartrat terhadap Kelarutan dan Laju Disolusinya
89
Fikri Alatas*, Hestiary Ratih, Titta Hartyana S, dan Farhan
89
A-21 tandardisasi Dan Karakterisasi Simplisia Bunga Kamboja Putih (Plumeria Alba L.) yang Berasal dari Desa Plumbon Kabupaten Cirebon 96 Soraya Riyanti*, Julia Ratnawati, dan Reisha Permata Sari
96
A-22 Deteksi Staphylococcus Patogen (Staphylococcus aureus dan Staphylococcus intermedius) dalam Susu Kambing Peranakan Ettawah (PE) serta Sensitivitas dan Resistansi terhadap Antibiotik 102 A.E.T.H. Wahyuni*, Doddy Yudha Buntara1, Agustina Dwi Wijayati, Aulia Rhiahayu
102
A-23 Cytotoxic Test and Antioxidant Activity of Plant Leaf Extract Some Family Fabaceae Subfamily Mimosoideae 108 Fahrauk Faramayuda*, Endang Kumolowati, Mira Andam Dewi, Akhirul K. Syam
108
A-24 Gambaran Kurva Pertumbuhan Lactobacillus spp. pada Media Susu Kacang Hijau (Vigna radiata) 115 Yusuf Firmansyah, Eka Noneng Nawangsih*
115
A-28 Perubahan Warna Pada Permukaan Plat Resin Akrilik Heat Cured Yang Dipoles Dan Yang Tidak Dipoles Akibat Perendaman Larutan Teh Hitam 121 Wivda Putriani 1, Rachman Ardan2*, dan Andi Supriatna3
121
B. BIDANG ENERGI BARU DAN TERBARUKAN
127
B-02 Kajian Pengaruh Temperatur dan Ukuran Partikel Terhadap Perolehan Bio-Oil pada Proses Pirolisis dari Beberapa Biomassa 128 Hendriyana*, Bambang H. P., Dian Daniati dan Nurul Inayah
128
B-03 Kajian Potensi Biokerosin dari Biji Karet sebagai Sumber Energi Alternatif Pedesaan 134 Merry Asria*, Fejri Subriadi dan Harmiwati
134
B-04 Pemanfaatan Sampah Domestik Sebagai Sumber Energi Alternatif Baru Terbarukan Ramah Lingkungan 138 Elin Nurlina 1* , Ate Romli2, Toto Saputra3 dan Sunubroto4
138
B-06 Perancangan Tungku Pembakar Sampah yang Efektif, Efisien dan Ergonomi dengan Menggunakan Metoda Perancangan Rasional 145 Rinto Yusriski1*, Pradoto Ambardi2, Budi Astuti1, Uju Mintarja3 dan Hari Rizki1
145
7 ISBN 978-602-70361-0-9
B-07 Kajian Kinerja dan Keekonomian Turbo Gasification Stove Berbasis Limbah Pertanian 152 Suhartono1*, Ikhwan Maulana1, Yapto Muhamad Maulana1 dan War’an Rosihan2,
152
B-08 Pengaruh Perlakuan Awal Kimia dan Penyaringan Menggunakan Membran pada Produksi Etanol dari Jerami Padi 156 Nadiem Anwar*, Gatot Trilaksono
156
C. BIDANG TRANSPORTASI DAN MANUFAKTUR
160
C-02 Perancangan Alat Bantu di Mesin Stamping 60 Ton untuk Meminimasi Cacat Fungsi Produk Collar 1382 Di CV. GMI 161 Rida Norina*, Moro Sudjatmiko, Reninta Reminda
161
C-03 Kajian Terhadap Kualitas Lubang Hasil Proses Pengeboran Kecepatan Tinggi pada Material S50C dan SCM415
168
P.Y.M. Wibowo Ndaruhadi*, dan Toto Triantoro B.W
168
C-06 Perancangan dan pembuatan alat bantu clamping semiotomatis slang air brake kereta api dengan metoda OFD 174 Cucu Wahyudin1*, Aan Mintarsih2, Urip Subagjo3, dan Taufik Fauzan4
174
A-08 Kajian Kinerja Struktur Eksisting terhadap Peraturan Gempa Baru SNI 03-1726-2012 (Studi Kasus Gedung Teknik Sipil Unjani) 180 Yudi Herdiansah*, Prima Sukma Yuana
180
A-09 Pengembangan Peta Hidrologi Daerah Aliran Sungai Cimahi Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) 186 Ariani Budi Safarina*, Agus Juhara
186
A-14 Otomatisasi Proses Desain dan Analysis Aerodinamika Saya Pesawat Terbang dengan Perangkat Lunak NWDU-VSAERO 193 I Gusti Ngurah Sudira
193
D. BIDANG INFORMASI DAN KOMUNIKASI
200
D-02 lasifikasi Tingkat Kelelahan Berdasarkan Sinyal Electroencephalogram (EEG) Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation
201
Ahmad Arif*, Esmeralda C. Djamal
201
D-03 Pengalokasian Bandwith Secara Otomatis Menggunakan Metode Per Connection Queue 207 Sandy Kosasih
207
D-06 Desain Interaksi Sistem Berteknologi Mobile untuk Pembelajaran Membaca pada Anak Usia TK Menggunakan Metode User Centered Design (UCD) 214 Rezki Yuniarti1*, Agus Komarudin1
214
D-08 Sistem Identifikasi Fitur-Fitur Citra Tulisan Tangan dan Tanda Tangan untuk Pengenalan Kepribadian dengan Jaringan Syaraf Tiruan 221 Esmeralda C. Djamal*, Febriyanti, Aris Juliyanto, Sheldy Nur Ramlan
221
D-09 Pemodelan Kromosom Optimasi Penempatan Sumber Daya Manusia Berdasarkan Proyek Menggunakan Algoritma Genetika 227 Fatan Kasyidi*, Esmeralda C. Djamal,
227
D-10 Perancangan Networked Control Systems dalam Platform Robosoccer
232
8 ISBN 978-602-70361-0-9
Asep Najmurrokhman*, Sunubroto, Kusnandar, Syurya Abidin
232
D-12 Pengenalan Wajah Mahasiswa Dalam Presensi Kuliah Menggunakan Algoritma Eigen Face Berbasis Perangkat Mobile Android 239 Ridwan Ilyas*, Wina Witanti1, dan Rezki Yuniarti
239
D-13 Sistem Pendukung Keputusan Alat Ukur Penempatan Ulang Pegawai Berdasarkan Psikotes Menggunakan Fuzzy Analytic Hierarchy Process 1*
1
2
Fajar Eka Purwa Saputra , Esmeralda C. Djamal , Agung Wahana
245 245
D-15 Building Symmetrical Art Image by Multi-object of Fractal Model based on Mirroring MethodsW 254 Tedjo Darmanto*
254
D-18 Analisa Tepi Pada Citra Video Berbasis Metode Operator Gradien Pertama
260
*
Andiani , Partomuan A. S Tarihoran, dan Dwi Adlina Putri
260
D-20 ireless Networking Using Mesh Method as Smart City Application in South Jakarta
266
Reza Saputra Yusuf1*, Putri Zahara1, and Yohanes Dewanto1
266
E. BIDANG BIODIVERSITAS, LINGKUNGAN, DAN SUMBER DAYA ALAM
271
E-02 Pembuatan Gliserol Monooleat dengan Proses Esterifikasi Tanpa Katalis
272
*
Heri Heriyanto , Dina Kartika Yulis, Mimi Ainurrohim
272
E-05 Sintesa Tawas dari Batuan Kaolin sebagai Alternatif Pengembangan Sumber Daya Alam 278 Hernandi Sujono*, Jasmansyah
278
E-07 Fitokimia dari Lemak Biji Tengkawang 1
281 2
1
Valentina Adimurti Kusumaningtyas , Iis Inayati Rakhmat , Dasli Noedin , Anceu Murniati1 281 E-08 Fotodegradasi Zat Warna Tekstil dengan Fotokatalis TiO2, Al2O3 dan H2O2 Senadi Budiman*, Dadan Suryasaputra, Dera Ristianti
284
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Subang
289
E-09 Karina Andalusia *, Dyah R. Panuju, dan Bambang H. Trisasongko
289
E-10 Optimasi Pola Tanam pada Lahan pertanian dengan Mempertimbangkan Potensi Erosi, Land Rent, dan Kecukupan Beras di Wilayah Subang, Jawa Barat 296 R. Ianatus Sholihah1*, Dyah R. Panuju2, dan Enni D. Wahjunie3
296
E-12 Kampung Kota’ Di RW-12 Blok Babakan Andir Kelurahan Padasuka Kota Bandung – Kondisi Sosial-Ekonomi dan Permukimannya 303 Udjianto Pawitro, Achsien Hidayat, Nanang Suherman.
303
E-13 Aktivitas polifenol oksidase dalam buah apel Ceri Malang (Malus domestica) yang Berpotensi untuk Deteksi Fenol
310
Anceu Murniati1*, Buchari2, Suryo Gandasasmita2, Zeily Nurachman3 , Valentina Adimurti1 dan Merika 310 E-14 Pengaruh Penggunaan Sabun Alami terhadap Ketahanan Warna Batik Warna Alami 314 Dwi Suheryanto
314
E-15 Penggunaan Pengawet Alami Daun Babadotan terhadap Tingkat Keawetan Bambu Petung 320 Dwi Suheryanto
320 9
ISBN 978-602-70361-0-9
E-16 Pembuatan dan Karakterisasi Hidrogel Superabsorben Poli (Kalium Akrilat)-Pati dengan Irradiasi Sinar Gamma (ϒ) Dhena Ria Barleany1*, Ahmad Dzikrillah, Heri Heriyanto, Rahmayetty, Teguh Kurniawan, Erizal 326 E-19 Proses Penjumputan Hidrogen dari Gas Campuran (H 2, N2, dan CO) Menggunakan Membran Pd75-Ag25
332
Rusdi1* , Yogi Wibisono Budhi2, Irwan Noezar3
332
E-21 Aktivitas Antimikroba dan Uji Efektivitas Pengawet Ekstrak Etanol Selaput dan Biji Buah Galinggem 339 E-23 Isolasi dan Karakterisasi Morfologi Bakteri Nitrifikasi Indigen dari Limbah Cair Industri Pupuk Urea 345 Sri Wardhani1*, Moh. Rasyid Ridho2, Arinafril3, Susila Arita4, Ngudiantoro2
345
E-24 Sintesis Seng Oksida (ZnO) Nano Partikel Sebagai Bahan Aktif Pada Sensor Gas Dengan Metode Sol Gel 350 Slamet Widodo dan Goib Wiranto
350
E-25 Proses Sintesis Indium Tin Oksida Nano Partikel dengan Metode Sol Gel sebagai Lapisan Aktif pada Sensor Gas CO 357 Slamet Widodo dan Goib Wiranto
357
E-26 Senyawa yang bersifat sitotoksik dari daun Kalanchoe tomentosa (Crassulaceae) 1
1
2
2
363 2
Lilis Siti Aisyah *, Yenny Febriani Yun , Unang Supratman , Tati Herlina , Euis Julaeha
363
F. BIDANG ILMU SOSIOHUMANIORA
368
F-05 Profil Psikologis Korban Bencana Banjir di Desa Dayeuh Kolot, Jawa Barat
369
*
Eka Susanty , Bambang Setyawan, Rachmat Taufiq , dan Endah Pratiwi
369
F-07 Studi Deskriptif Mengenai Tingkat Kecemasan Pada Karyawan yang Akan Memasuki Masa Pensiun 375 Endah Andriani Pratiwi*, Litra Amanda Metra
375
F-09 Student Involvement pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Angkatan 2012
379
Amir Nuyman Setyadiredja* dan Miryam Adriane Sigarlaki
379
F-14 Gambaran Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa Tingkat Satu Unjani
383
*
Ayu Riana S . dan Winna Andini H.
383
F-17 Analisis Stabilitas dan Prediktabilitas Unbiased Beta Portofolio Indeks LQ-45 yang Optimal 389 Ferikawita Magdalena Sembiring1*, Nunung Aini Rahmah 2
389
10 ISBN 978-602-70361-0-9
Bidang Ilmu A. Kesehatan dan Obat-obatan B. Energi Baru dan Terbarukan C. Transportasi dan manufaktur D. Informasi dan Komunikasi E. Biodiversitas, Lingkungan dan Sumber Daya Alam F. Bidang Ilmu Sosiohumaniora
11 ISBN 978-602-70361-0-9
A. BIDANG KESEHATAN DAN OBAT-OBATAN
12 ISBN 978-602-70361-0-9
Pengaruh Kadar Minyak Atsiri Kencur dan Temulawak terhadap Aktifitas Antibakteri dalam Sabun Padat Hasnah Ulia1*, Dyah Nirmala1, Imelda Bahar2 1 2
Program Studi Teknik Kimia, Akademi Teknologi Industri Padang Program Studi Kimia Analisis, Akademi Teknologi Industri Padang *
Email:
[email protected]
Abstract Due to its antibacterial contents, antiseptic bath soap is on demand nowadays. However, the using of synthetic compound for its anti-bacteria agent could cause skin irritation for some consumers. To avoid this happen, the use of antibacterial agent from natural resources, such as essential oils from Kaempferia galaga and Curcuma zanthorriza, is needed. The research was conducted in order to measure the ability on preventing bacterial growth from these two essentials oil and also to get the best doses from those oil in solid soap which is standardize with SNI for bath soap. Essential oils from Kaempferia galaga and Curcuma zanthorriza were used to make solid bath soaps. Three types of treatments which were used to make the soap are, first only with essential oil from Kaempferia galaga, second only with essential oil from Curcuma zanthorriza, and last the combination of both essential oil. The variations of doses of each essential oil are also conducted in this research. The tests parameters that are used in this research are the ability to prevent bacteria by calculating the clear zone, pH, free alkali, free fatty acid, and unsaponifiable fat. The result showed that bath soaps which are added with essential oils from Kaempferia galaga and Curcuma zanthorriza had higher ability to prevent bacterial growth compare to the soap that content only each of this essential oil. It is shown by bigger clear zone diameter of this treatment. The clear zone diameter was 2.5-3 cm. The bath soap from this research can be used as bath soap in Indonesia due to the result of it analysis parameter, pH 9.7, free alkali 0.052%, free fatty acid 0.265%, and unsaponifiable fat 0.19%, comply the requirement of Indonesia standard (SNI) for bath soap. Keywords: antiseptic bath soap, essential oils, Kaempferia galaga, Curcuma zanthorriza, clear zone 1.
Pendahuluan
Sabun mandi telah berkembang menjadi kebutuhan primer di masyarakat dunia saat ini. Industri sabun mandi berlomba-lomba menciptakan produk sabun mandi yang inovatif dan bermanfaat, bervariasi baik dari segi bentuk, warna, maupun aroma. Namun demikian produk sabun mandi berbasis bahan alam masih jarang ditemukan di pasaran. Kebanyakan masih menggunakan bahan sintetik sebagai bahan aktifnya. Bahan aktif sintetik ini memiliki efek negatif terhadap kulit manusia, karena berpotensi menimbulkan iritasi pada konsumen yang memiliki kulit sensitif. Contoh bahan aktif sintetik yang berbahaya bagi kulit manusia dan banyak disorot saat ini adalah diethanolamine (DEA), Sodium Lauryl Sulfate (SLS), serta triclosan yang terdapat di hampir semua sabun mandi yang beredar di pasaran. Oleh karena itu, saat ini mulai banyak produsen sabun mandi yang melirik ke bahan alam untuk dijadikan substitusi bahan aktif pembuatan sabun mandi. Tujuan digunakannya bahan alam ini tentunya untuk mengeliminir bahan-bahan sintetik, seperti pewarna, parfum, pemutih, anti bakteri, dan lain-lain. Penggunaan sabun sehari-hari ditujukan untuk kesehatan dari pada kemewahan. Jenis sabun bermacammacam, salah satunya adalah sabun padat transparan. Sabun transparan sudah dikenal banyak negara sejak lama, sabun transparan dibuat pertama kali di Inggris tahun 1789. Sabun jenis ini memerlukan proses yang lebih khusus pada proses pembuatannya. Mempunyai permukaan yang halus, penampilan yang berwarna dan menjadi pemikat karena transparannya. Sabun transparan tidak hanya mempunyai tampilan yang menarik, tetapi juga dapat membuat kulit menjadi lembut karena di dalamnya mengandung gliserin dan sukrosa yang berfungsi sebagai humektan dan emolien (Wasiatmadja, 1997 dan Srivasta, 1974). Dewasa ini, sabun mandi anti bakteri sangat diminati oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena sabun tersebut dipercaya dapat membersihkan kulit secara efektif, didukung oleh sifat anti bakteri yang dimilikinya. Salah satu bahan aktif alami yang memiliki sifat anti bakteri adalah ekstrak kencur dan temulawak. Rimpang kencur (Kaempferia galangal L) juga dikenal dengan sebutan ceuko, cikur, kencur dan lain-lain. Rimpang kencur merupakan salah satu tanaman multiguna yang perspektif. Rimpang kencur mengandung saponin, flavonoida dan senyawa-senyawa polifenol disamping minyak atsiri. Kencur memiliki kadar minyak atsiri yang cukup tinggi pada bagian rimpangnya, mengandung 2,4-3,9% minyak atsiri dengan kandungan etil sinamat dan p-
13 ISBN 978-602-70361-0-9
metoksisinamat yang digunakan dalam industri kosmetika dan dimanfaatkan sebagai antijamur juga antibakteri. (Nugraha SA dkk, 2012). Tanaman ini masih jarang ditambahkan dalam sediaan kosmetika terutama sabun mandi atau sabun muka. Temulawak merupakan famili Zingiberaceae mengandung minyak atsiri dan kurkuminoid. Komposisi kimia dari rimpang temulawak adalah protein pati sebesar 29-30%, kurkumin 1-2 %, dan minyak atsirinya antara 6 - 10 %. Daging buah (rimpang) temulawak mempunyai kandungan fellandrean dan turmerol atau yang sering disebut minyak menguap. Kemudian minyak atsiri, kamfer, glukosida, foluymetik karbinol. Temulawak mengandung minyak atsiri seperti limonina yang mengharumkan, sedangkan kandungan flavonoidnya berkhasiat menyembuhkan radang. Minyak atsiri temylawak juga bisa membunuh mikroba. (Mangunwardoyo, dkk, 2012). Pada penelitian ini akan dibuat sabun padat transparan minyak atsiri rimpang temulawak dan kencur sebagai antijamur atau antibakteri dengan berbagai konsentrasiminyak atsiri temulawak dan kencur sebagai bahan aktif, hal ini dilakukan untuk mendapatkan sabun mandi yang mengandung antibakteri yang memenuhi persyaratan SNI. Tinjauan masalah penelitian sebagai berikut: a. Bahan alam masih jarang digunakan untuk produk sabun mandi karena harga produksinya relatif lebih mahal dibandingkan bahan sintetik. b. Bahan sintetik untuk sabun mandi berpotensi menimbulkan bahaya iritasi pada konsumen yang memiliki kulit sensitif. c. Belum terdapatnya produk kosmetika, khususnya produk sabun mandi yang secara spesifik memanfaatkan ekstrak kencur dan temulawak sebagai bahan aktif alami anti bakteri. d. Pada konsentrasi minyak atsiri rimpang kencur dan temulawak berapakah formula sabun padat transparan memberikan hasil terbaik dalam hal anti bakteri dan menghasilkan sediaan sabun padat transparan yang memenuhi persyaratan sabun mandi menurut SNI. Penelitian ini dibatasi pada formulasi sediaan sabun padat transparan minyak atsiri kencur dan temulawak dengan peningkatan konsentrasi minyak atsiri rimpang kencur dan temulawak akan meningkatkan kemampuan antibakteri pada sabun dilihat dari uji aktifitas antibakteri serta menghasilkan sediaan sabun padat transparan yang memenuhi persyaratan mutu sabun mandi menurut SNI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui hasil pengujian kualitas sabun mandi transparan yang dibuat berdasarkan SNI meliputi, uji pH, kadar alkali bebas, kadar asam lemak bebas dan kadar lemak yang tak tersabunkan. Disamping itu juga perlu mengetahui konsentrasi bahan aktif minyak atsiri kencur dan temulawak yang optimum pada sabun transparan antibakteri. Berdasarkan pengujian dan perhitunagn konsentrasi bahan aktif, diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi mengenai formula sabun padat transparan dan memperoleh formula sabun padat transparan minyak atsiri rimpang kencur dan temulawak yang baik sebagai sabun antibakteri. 2.
Metode
Prosedur dan cara kerja dilakukan minyak kelapa dan minyak jarak serta asam stearat dipanaskan pada suhu 60C, lalu ditambahkan larutan NaOH 30% dan diaduk sampai terbentuk sabun. Kemudian ditambahkan alkohol 96%, larutan sukrosa, gliserin, dinatrium edetat, minyak atsiri kencur dan temulawak dan pewangi. Pengadukan terus dilakukan agar campuran homogen. Campuran tersebut dituang kedalam cetakan, didiamkan selama beberapa jam atau beberapa hari sampai mengeras (Hambali, dkk, 2005). Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan menyediakan media nutrient agar (NA) yang telah diinokulasikan biakan bakteri Staphylococcus aureus. Sabun yang telah dipotong tipis dimasukkan ke dalam media. Setelah diinkubasi selama dua hari, lalu dilakukan pengamatan terbentuknya zona bening dan diukur diameternya dan dikurangi dengan diameter sabun. Pengujian kualitas Sabun, meliputi; pH, asam lemak bebas, uji lemak yang tak tersabunkan dilakukan sesuai dengan SNI 1994. Formula sabun padat transparan yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Formula Sabun Padat Transparan Minyak Atsiri Kencur dan Temulawak Bahan Sampel
1 2 3 4 5
Minyak kencur (mL)
minyak temulawak (mL)
NaOH
30% (mL)
Minyak kelapa (g)
Minyak jarak (g)
As.stearat
0 0,1 0,2 0,3 0,4
-
16 16 16 16 16
18 18 18 18 18
8 8 8 8 8
18 18 18 18 18
(g)
Alkohol 96% (mL)
Sukro sa (g)
Gliserin (mL)
15 15 15 15 15
8 8 8 8 8
9 9 9 9 9
Dinatrium Edetat (mL) 5 5 5 5 5
14 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 1. Formula Sabun Padat Transparan Minyak Atsiri Kencur dan Temulawak (lanjutan) Bahan Sampel
Minyak kencur (mL)
minyak temulawak (mL)
NaOH
0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
3.
30% (mL)
Minyak kelapa (g)
Minyak jarak (g)
As.stearat
16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16 16
18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18
8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18
(g)
Alkohol 96% (mL)
Sukro sa (g)
Gliserin (mL)
15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15 15
8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Dinatrium Edetat (mL) 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Hasil dan Pembahasan
Dengan menvariasikan dosis minyak atsiri dan kencur pada pembuatan sabun transparan diperoleh hasil analisa seperti pada Tabel 2: Tabel 2. Pengaruh dosis minyak atsiri dan kencur terhadap komposisi sabun Nomor sampel
Dosis Minyak Kencur (ml)
Dosis Minyak Temulawak (ml)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,1 0,2 0,3
Diameter zona bening (cm) 0 1 1,5 2 2 2,5 2 2,5 2,5 2,5 3 1 0,5 1,5
pH
Alkali bebas (%)
9,47 9,36 9,48 9,55 9,55 9,53 9,45 9,48 9,50 9,52 9,36 9, 28 9,41 9,36
0.048 0.040 0.032 0.039 0.048 0.048 0.056 0.048 0.056 0.072 0.048 0.063 0.071 0.072
Asam lemak bebas (%) 0,28 0,29 0,43 0,28 0,20 0,20 0,24 0.27 0.27 0.26 0.27 0.27 0.23 0,28
Lemak yang tak tersabunkan (%) 0 0 0 0 0,21 0,22 0,21 0 0 0,43 0,25 0,40 0,64 0.27
15 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 2. Pengaruh dosis minyak atsiri dan kencur terhadap komposisi sabun (lanjutan) Nomor sampel
Dosis Minyak Kencur (ml)
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
0 0 0 0 0 0 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
Dosis Minyak Temulawak (ml)
Diameter zona bening (cm) 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 2.5 2.5 2,5 2.5 3 3 3 3 3
0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 Rata-rata
pH
Alkali bebas (%)
9,55 9,47 9,58 9,48 9,60 9,54 9,52 9,66 9,46 9,39 9,28 9,36 9,48 9,60 9,41 9,52 9.47
0.048 0.060 0.030 0.045 0.051 0.060 0.057 0.055 0.037 0.030 0.055 0.067 0.062 0.066 0.061 0.044 0.052
Asam lemak bebas (%) 0,25 0,28 0,29 0,27 0,28 0,20 0,24 0,23 0,27 0,24 0,28 0,22 0,35 0,23 0,28 0,28 0.265
Lemak yang tak tersabunkan (%) 0,18 0,23 0,30 0 0,28 0.20 0.23 0.42 0.22 0 0 0 0 0,32 0.28 0.22 0.19
2 1 0 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
0.1 0.3 0.5 0.7 0.9
Dosis Minyak Kencur (ml)
(a)
Dosis temulawak (ml)
(b)
4 3 2 1 0
K 0.1;T 0.9 K 0.2;T 0.8 K 0.3;T 0.7 K 0.4;T 0.6 K 0.5;T 0.5 K 0.6;T 0.4 K 0.7;T 0.3 K 0.8;T 0.2 K 0.9;T 0.1
3
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Diameter zona bening (cm)
4
Diameter zona bening (cm)
Diameter zona bening (cm)
Kemampuan bahan aktif anti bakteri dalam sabun yang mengandung minyak atsiri kencur dan temulawak dapat diketahui dengan melihat seberapa besar zona bening yang mengelilingi sabun. Zona bening (clear zone) merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam sabun. Perbandingan zona bening untuk semua perlakuan dilihat di Gambar 1.
Dosis kencur + temulawak (ml)
(c)
Gambar 1. Pengaruh dosis minyak kencur (a), temulawak (b) dan kencur dan temulawak (c) yang terkandung dalam sabun transparan terhadap diameter zona bening. Dari Gambar 1(a) dapat dilihat bahwa kandungan minyak atsiri kencur dalam sabun padat transparan memberikan hasil dengan zona bening yang signifikan. Zona bening yang terbentuk merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus oleh suatu senyawa antibakteri yang terkandung dalam sabun, dalam hal ini adalah minyak atsiri kencur. Kencur yang kandungan zat aktif didalamnya seperti tanin, sineol, saponin, dan flavonoid berpotensi sebagai antibakteri. Dari kecenderungan data pada grafik di atas menunjukkan bahwa peningkatan dosis minyak kencur secara linier juga meningkatkan diameter zona bening. Hal ini disebabkan karena pada dosis minyak kencur yang semakin tinggi dalam sabun juga semakin meningkatkan kemampuan sebagai antibakteri. Diameter zona bening yang paling tinggi yaitu 3 cmterjadi pada sabun dengan penambahan dosis minyak atsiri 1 ml. Pada Gambar 1(b) dapat dilihat bahwa penambahan minyak atsiri temulawak juga memberikan respon terhadap perkembangan bakteri Staphylococcus aureus. Kandungan minyak atsiri temulawak yang terdapat dalam sabun mampu secara signifikan menghambat bakteri. Hal ini ditunjukkan dengan adanya zona bening yang berada di sekeliling sabun dalam media agar yang ditempati oleh bakteri Staphylococcus aureus. Namun bila
16 ISBN 978-602-70361-0-9
dibandingkan dengan sabun yang menggunakan minyak atsiri kencur, sabun temulawak ini mempunyai kemampuan anti bakteri yang lebih rendah. Diameter zona bening tertinggi dicapai adalah 1,5 cm pada dosis 0,3 ml -1 ml. Pada Gambar 1(c) dapat dilihat bahwa penggunaan bersama minyak atsiri kancur dan temulawak dalam pembuatan sabun transparan menghasilkan respon yang lebih baik dibandingkan dengan sabun yang hanya mengandung minyak kencur saja atau minyak temulawak saja. Hal ini dapat dilihat dari diameter zona bening yang dihasilkan. Diameter zona bening terendah yaitu 2,5 cm diperoleh dari penambahan minyak kencur 0,1 ml dan minyak temulawak 0,9 ml (K0.1;T0.9) sampai dengan K0.4;T0.6. Mulai dari K0.5; T0.5 sampai dengan K0.9;T0.1 diperoleh diameter zona tertinggi yaitu 3 cm. Kandungan bahan antibakteri dalam minyak kencur dan minyak temulawak yang bekerja bersama-sama saling melengkapi dan lebih efektif menghambat perkembangan bakteri Staphylococcus aureus. 4.
Kesimpulan
Kualitas sabun padat transparan yang dihasilkan dengan menggunakan minyak atsiri kencur dan temulawak memenuhi standar SNI. Hal ini dapat dilihat dari nilai pH rata-rata 9.47, kadar alkali bebas rata-rata 0.052%, kadar asam lemak bebas rata-rata 0.265% dan kadar lemak yang tak tersabunkan 0.19% Sabun padat transparan yang dihasilkan dengan menggunakan minyak atsiri kencur dan temulawak mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri, hal ini dibuktikan dengan adanya zona bening (zona yang tidak didekati bakteri) di daerah sekeliling sabun. Sabun dengan dosis minyak atsiri kencur 0.5 ml dan minyak atsiri temulawak 0.5 ml memberikan kondisi optimum dengan diameter zona bening 3 cm. Daftar Pustaka Departemen Kesehatan RI. 1993. Kodeks Kosmetik Indonesia. Edisi II. Jakarta. Hal 52-53, 78, 106-107, 270-271, 254, 283-284, 315-316, 406-407, 462-463. Dwikarya, M. 1997. Merawat Kulit dan Wajah. Kawan Pustaka. Jakarta. Hal 1-11. Gholib, D. 2009. Daya Hambat Ekstrak Kencur (Kaempferia galangal L.) Terhadap Trichophyton mentagrophytes dan Cryptococcus neoformans Jamur Penyebab Kurap pada Kulit dan Penyakit Paru. Bul. Littro, Vol. 20. Guenther, E. 1987. Miyak Atisiri, terjemahan: S.Ketaren. Jilid I. Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 132-134. Hambali erliza, Surayani Ani. 2005. Membuat Sabun Transparan untuk Gift dan Kecantikan. Penerbar Swadaya. Jakarta. Hal 29-33. Hasanah AN., dkk. 2011. Analisis Kandungan Minyak Atsiri dan Uji Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Rimpang Kencur (Kaempferia galangal L.). Jurnal Matematika & Sains. Vol.16, No. 3 Ketaren, S. 1985. Pengantar TeknologiMinyak Atsiri. Balai Pustaka. Jakarta. Hal 45-47, 66-72. KochutheressiaK.P, dkk. 2012. In Vitro Antimicrobial Evaluation of Kaempferia galangal L. Rhizome Extract. American Journal Biotechnology and Moleculer Sciences, 2 (1) Mangunwardoyo dkk. 2012. Antimicrobial and Identification of Active Compound Circuma Xanthoriza Roxb. International Journal of Basic & Applied Sciences. Vol 12. Issue 1. Mitsui, T. 1993. New Cosmetics Science. Lausanne-Amsterdam-Oxford-New York-Shannon-Tokyo: Elsevier. Hal 14, 447-449. Nugraha S.A, Kusoro S, Sudarmin. 2012. Uji Antimikroba Etil p-Metoksi Sinamat dari Rimpang Kencur terhadap Bacillus Subtilis. Indonesian Journal of Chemical Sciences. Vol.1 No.2. Parasuram, K.S. 1995. Soap and Detergent. Tata Mc.Graw Hill. Publishing Company limited. New Delhi-India hal 9-11. Srivasta, S.B. 1974. Small Scale Manufacture of Soap and Detergents. 26th Small Industri Research indstitute. New Delhi-India. Hal 25. Srivasta, S.M. 1997. Soap, Detergent and Perfume and Industry. 34rd Small Industri Institute. New Delhi-India. Hal 205, 311-312. Standar Nasional Indonesia 06-3532-1994. 1994. Sabun Mandi. Dewan standarisasi Nasional. Jakarta hal 1-10. Susinggih W, dkk.2009. Studi Pembuatan Sabun Mandi Cair dai Daur Ulang Minyak Goreng Bekas. Jurnal Teknologi Pertanian Vol 10 No.1. Universitas Brawijaya. Malang. Syamsu, H, S.S. 1991. Inventaris Tanaman Obat. Jilid 2. DepKes RI. Jakarta. Hal 183-184. Wasiaatmadja, S.M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmeto Medik. Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 13-15, 22-24, 95
17 ISBN 978-602-70361-0-9
Aktivitas Senyawa Aktif Anti Kanker Leukemia dari Spesis Morus Macroura Miq (Tanaman Andalas) secara In Vitro Jasmansyah1, Hernandi S1, Euis Hakim2, Yana M Syah2 1
Program Studi Kimia, FMIPA, Universitas Jenderal Achmad Yani Jalan Terusan Jenderal Sudirman Cimahi 2 Program Studi Kimia, FMIPA, ITB, Jl. Ganesa No. 10 Bandung *
E-mail:
[email protected]
Abstract Morus macroura Miq (Andalas) is a species of the genus Morus that is a rare and endemic plants of Indonesia. Plants of this genus have been reported to be rich in phenolic compounds such as flavonoids derivatives, 2-aryl benzofuran and stilbene. Some 2-aryl benzofuran derivatives reported has antibacterial activity, antifungal, antiplas modial, anticancer, antitumor, anti-inflammatori, antiviral, malaria drugs, flu and cough. In search of the active anti leukemia cancer compounds of Andalas species, this study have been isolated by derivatives 2-arilbenzofuran compounds namely moracin M of methanol extract of the stem bark of this plant. The molecular structure of the compound has been determined based on the data of physics and spectroscopy. In vitro cytotoxicity assay against murine leukemia cells P-388 showed that moracin M is active (IC50=2.54 µg/mL). Keywords: Moracin M, Morus macroura Miq, in vitro dan sitotoksik 1.
Pendahuluan
Morus (Mulberry) merupakan salah satu genus yang penting pada tumbuhan famili Moraceae, tumbuh baik di daerah beriklim sedang di wilayah Asia, Afrika dan Amerika (Venkates dan Seema, 2008), dan memiliki banyak kegunaan. Tumbuhan Morus memiliki 28 spesies (Vijayana, 2011), dua diantaranya terdapat di Indonesia, yaitu Morus Alba L dan M. macroura (Heyne, 1987). M. macroura Indonesia memiliki penyebaran yang terbatas, hanya pernah dijumpai di Sumatera Barat dan Jawa Barat, namun demikian keberadaan spesies tersebut sekarang ini sudah tergolong langka (Rahman, 1991). Kajian fitokimia tumbuhan ini telah dimulai oleh peneliti Indonesia, yang telah berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi turunan dimerstilben yaitu andalasin A dan B (Syah dkk, 2000, 2004), sedangkan peneliti Cina telah berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi turunan 2-arilbenzofuran, triterpenoid dan senyawa turunan gabungan Diels-Alder (Dai dkk, 2004a, 2004b, 2004c, 2006). Kajian fitokimia tersebut telah dilakukan terhadap bagian-bagian tumbuhan yang meliputi kayu batang, kulit akar dan daun, sementara bagian kulit batang belum pernah dilakukan. Pada kesempatan ini akan diuraikan hasil penelitian terhadap spesies yang berhubungan dengan penemuan senyawa turunan 2-aril benzofuran, yaitu morasin M. Struktur senyawa telah ditetapkan berdasarkan data fisika dan spektroskopi serta uji bioaktivitas terhadap sel murin leukimia P-388, menggunakan metoda MTT. 2.
Metode
Isolasi tumbuhan M. macroura dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut metanol pada suhu kamar (maserasi), dilanjutkan dengan fraksinasi dan pemisahan menggunakan berbagai teknik kromatografi seperti, kromatografi cair vakum (KCV), dan kromatografi radial (KR) dilakukan berturut-turut menggunakan silika gel Merck 60G, dan silika gel 60 PF254 (dengan ketebalan 0,5, 1 dan 2 mm). Analisis kromatografi lapis tipis (KLT) dilakukan pada pelat alumunium berlapis Si gel Merck Kieselgel 60 GF254 dengan ketebalan 0,25 mm. Sebagai pereaksi penampak noda pada analisis KLT digunakan larutan serium sulfat 1,5% dalam asam sulfat 2N. Elusidasi struktur molekul dilakukan dengan analisis spektroskopi yang meliputi spektroskopi ultraviolet (UV), resonansi magnetik inti (NMR) dan spektroskopi massa (MS). Spektrum UV ditentukan dengan spektrometer Cary Varian 100. Spektrum 1H-NMR dan 13C-NMR ditentukan dengan spectrometer JEOL ECA 500 yang beroperasi pada 500 MHz (1H) dan 125 (13C) dengan menggunakan puncak residu dan pelarut terdeuterasi sebagai standar. Spektrum massa ditentukan dengan spektrometer Brucker HCT ESI-IT (Electron Spray Ionization-Ion Trap) dan Waters LCT Premier XE ESI-TOF (Electron Spray Ionization-Time of Flight). Penentuan sifat sitotoksik senyawa hasil isolasi terhadap sel murin leukemia P-388 menggunakan metode MTT assay (Alley, 1988).
18 ISBN 978-602-70361-0-9
2.1.
Pengumpulan Bahan Tumbuhan
Bagian dan spesies tumbuhan Morus yang dipilih dalam penelitian ini adalah kulit batang tumbuhan M. macroura. Bagian kulit batang tersebut kemudian dibersihkan, dipotong kecil-kecil, dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah kering sampel kulit batang tersebut kemudian digiling hingga menjadi serbuk. Kulit batang M. macroura diperoleh dari Lawang Kabupaten Agam Sumatera Barat. 2.2
Ekstraksi dan Isolasi
Serbuk kering kulit batang M. macroura Miq dimaserasi dengan metanol dan partisi dengan aseton, masingmasing fraksi depekatkan dengan penguap vakum putar. Fraksi aseton dilanjukan pemisahan dengan kromatografi cair vakum (KCV) dan kromatografi radial, setiap fraksi dimonitor dengan plat KLT Silica gel GF254 dengan pereaksi penampak noda serium sulfat. 2.3
Uji Aktivitas Sitotoksik Senyawa Hasil Isolasi terhadap Sel Murin Leukemia P-388
Sifat sitotoksik sepuluh senyawa hasil isolasi diuji terhadap sel murin leukemia P-388 mengikuti metode MTT [3-(4,5-dimetiltiazo-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida] assay (Alley, 1988). Prinsip metode ini adalah perubahan warna pereaksi MTT dari kuning menjadi biru yang disebabkan oleh adanya sel murin leukemia P-388 yang masih hidup dan jika sel tersebut mati maka perubahan warna tidak terjadi. Pada metode ini, aktivitas sitotoksik dinyatakan sebagai IC50, yaitu konsentrasi sampel yang dibutuhkan untuk menghibisi 50% sel tumor murin leukemia P-388 melalui pewarnaan pereaksi MTT. Uji aktivitas dilakukan dengan cara menambahkan masing-masing senyawa hasil isolasi pada berbagai konsentrasi secara triplo ke dalam biakan sel murin leukemia P-388. Setelah diinkubasi selama 48 jam, ke dalam sampel ditambahkan pereaksi warna MTT dan diinkubasi kembali selama 4 jam. Jumlah sel murin P-388 yang terinhibisi oleh sampel diukur serapannya dengan menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 540 nm setelah penambahan larutan penghenti pertumbuhan. Nilai IC50 (µg/mL) dihitung melalui ekstrapolasi garis 50% serapan kontrol positif pada kurva serapan terhadap berbagai konsentrasi sampel menggunakan program OriginPro 85. 3.
Hasil dan Pembahasan
3.1
Hasil
Serbuk kering kulit batang. M. macroura (3,5 kg) dimaserasi dengan metanol pada suhu kamar selama 24 jam (3 kali). Filtrat diuapkan pelarutnya pada tekanan rendah sehingga menghasilkan ekstrak metanol sebanyak 140 g. Selanjutnya, ekstrak metanol dilarutkan kembali dengan aseton dengan tujuan menghilangkan komponen tanin, menghasilkan ekstrak aseton pekat 84 g. Ekstrak aseton difraksinasi dengan mempergunakan teknik kromatografi cair vakum (KCV) (n-heksana: EtOAc = 7:3 sampai 4:6, EtOAc = 100% dan metanol EtOAc = 1:9 sampai 2:8 ) menghasilkan 19 fraksi (fraksi 1-19). Fraksi 7-10 (10,2 g) difraksinasi dengan mempergunakan teknik kromatografi cair vakum (KCV) (n-heksana: EtOAc = 7:3 sampai 3:7), menghasilkan 15 fraksi (fraksi 1a–15a). Fraksi 13 –14a (1.502,6 mg) dimurnikan dengan menggunakan kromatografi radial (kromatotron) dengan fase diam silika gel 60 PF254 dan fase gerak CHCl3: MeOH = 9,5:0,5 dan 9:1 menghasilkan senyawa murni (1) sebanyak 32 mg. Morasin M (1) diperoleh berupa padatan putih kekuningan, t.l. 265-267 oC. TOF MS ES+ terdapat sinyal untuk (M+H)+ pada 243,0647 m/z. UV (MeOH) max nm: 217, 315 dan 327 ; UV (MeOH+NaOH) max nm: 211, 334 dan 346. IR (KBr) maks cm-1: 3288 (OH), 1614, 1577, 1481 dan 1438 (C=C aromatik). Spektrum 1H NMR (aseton-d6, 500 MHz) H ( ppm): 8,60 (1H, s, OH-6); 8,50 (2H, s, OH-3’ & 5’), 7,42 (1H, d, J = 8,4 Hz, H-4); 7,05 (1H, d, J = 0,7 Hz, H-3); 7,0 (1H, br d, J = 2,2 Hz, H-7); 6,88 (2H, d, J = 2,2 Hz, H-2’ & H-6’); 6,83 (1H, dd, J = 2,2 & 8,4 Hz, H-5); 6,39 (1H, t, J = 2,2 Hz, H-4’). Spektrum 13C NMR (aseton- d6,500 MHz) C (ppm): 159,6 (C-3’ & C-6’), 156,6 (C-7a), 156,5 (C-6), 155,3 (C-2), 133,1 (C-1’), 122,3 (C-3a), 121,8 (C-4), 113,0 (C-5), 103,6 (C-2’ dan C-6’, 103,3 (C-4’), 102,1 (C-3) dan 98,2 (C-7). Uji sitoksit senyawa morasin M terhadap sel murin leukemia P-388 diperoleh 2,54 IC50 (µg/mL). 3.2
Pembahasan
Morasin M (1) diperoleh berupa padatan putih kekuningan dengan titik leleh 265-267 oC. Spektrum UV senyawa ini dalam metanol memperlihatkan tiga puncak serapan maksimum yaitu pada max 217, 315 dan 327 (bahu) nm dan mengalami pergeseran batokromik pada saat penambahan pereaksi geser NaOH. Spektrum UV seperti ini menunjukkan adanya senyawa turunan 2-arilbenzofuran. Hal ini didukung dengan keberadaan gugus fungsi hidroksi (3288 cm-1) dan aromatik (1614-1438 cm-1) pada spektrum IR. Spektrum 1H NMR memperlihatkan sinyal proton yang khas untuk senyawa turunan 2-arilbenzofuran (cincin C) (Elvidge dkk, 1963) yang muncul
19 ISBN 978-602-70361-0-9
sebagai doblet dengan kopling konstan 0,7 Hz pada H 7,05 (H-3). Selain itu terdapat 3 sinyal proton aromatik (cincin A) yang muncul sebagai sistem ABX pada H 6,83 (dd, 2,2 & 8,4 Hz, H-5), 7,0 (br d, 2,2 Hz, H-7) dan 7,42 (d, 8,4 Hz, H-4). Sinyal-sinyal proton aromatik yang simetris (cincin B) muncul pada H 6,88 (d, 1,8 Hz, H2’ & H-6’) dan 6,39 (t, 2,2 Hz, H-4’). Berdasarkan data-data spektroskopi tersebut dan dibandingkan dengan data NMR dari morasin M (Soekamto, 2003, Hayati F., 2010) maka disimpulkan bahwa senyawa 1 tersebut adalah morasin M (1) dengan struktur Gambar 1.
Gambar 1. Moracin M (1) Tabel 1. Spektrum NMR morasin M (1) dalam aseton-d6 H (multiplisitas, J dalam Hz) C 1 1* 1** 1 2 155,3 3 7,05 (d, 0,7) 6,90 (d, 0,9) 7,04 (d, 0,7) 102,1 3a 122,3 4 7,42 (d, 8,4) 7,34 (d, 8,4) 7,41 (d, 8,4) 121,8 5 6,83 (dd, 2,2 & 6,72 (dd, 2,1 & 8,4) 6,81 (dd, 2,2 & 8,4) 113,0 8,4) 6 156,5 7 7,0 (br d, 2,2) 6,89 (d, 2,1) 6,98 (br d, 2,2) 98,2 7a 156,6 1’ 133,1 2’&6’ 6,88 (d, 2,2) 6,75 (d, 2,2) 6,85 (d, 2,2) 103,6 3’&5’ 159,6 4’ 6,39 (t, 2,2) 6,23 (t, 2,2) 6,36 (t, 2,2) 103,3 6-OH 8,60 (s) 8,54 (s) 3’&5’OH 8,50 (s) 8,44 (s) Data senyawa 1* diperoleh dari Soekamto (2003) dan data senyawa 1** diperoleh dari Hayati F. (2010). No
Berdasarkan Alley (1988), senyawa dinyatakan sangat aktif jika memiliki nilai IC50<2.0 µg/mL, aktif jika nilai IC50 2,0-4,0 µg/mL dan tidak aktif jika nilai IC50>4,0 µg/mL. Dari uji sitotoksik terhadap senyawa murni dari spesies M. macroura dilakukan terhadap sel murin leukemia P-388 memperlihatkan bahwa senyawa morasin M (IC50 = 2.54 µg/mL) yang memiliki aktivitas sitotoksik yang aktif terhadap sel murin leukemia P-388. 4.
Kesimpulan
Pada penelitian ini, senyawa turunan 2-aril benzofuran telah berhasil diisolasi dari kulit batang spesies M. macroura (Andalas). Penemuan senyawa turunan 2-aril benzofuran yaitu morasin M (1) sangat berarti dalam pengembangan keanekaragaman senyawa turunan fenol dalam genus Morus famili Moraceae. Pengujian sitotoksisitas senyawa hasil isolasi terhadap sel murine leukemia P-388 memperlihatkan bahwa senyawa morasin M (1) dikategorikan bersifat aktif sitotoksik sebagai anti kanker. Daftar Pustaka Alley, M.C., Dominic, A.S., Monks, A., Miriam L.H., Maceij, J.C., Donald, L.F., Betty, J.A., Joseph, G.M., Robert, H.S. dan Michael, R.B. Feasibility of Drug Screening with Panels of Human Tumor Cell Lines Using Microculture Tetrazollum Assa. Cancer Research. 1988; 48, 589-601 Dai, S.J., dan Yu, D.Q. A New Anti-Oxidant Diels-Alder Type Adduct from Morus macroura. Natural Product Research. 2006; 20(7), 676-679 Dai, S.J., Ma, Z.B., Li, S., Chen, R.Y., dan Yu, D.Q. A New Benzofuran Derivative from the Bark of Mulberry Tree. Chinese Chemical Letter. 2004a; 15(8), 951-953. Dai, S.J., Ma, Z.B., Wu, Y., Chen, R.Y., dan Yu, D.Q. Bioactive Diels-Alder Adducts from Morus macroura Miq. Phytochemistry. 2004b; 65(23), 3135-3141.
20 ISBN 978-602-70361-0-9
Dai, S.J., Mi, Z.M., Ma, Z.B., Li, S., Hen, R.Y., dan Yu, D.Q. Bioactive Diels-Alder Type Adducts from the Stem Bark of Morus macroura, Planta medica. 2004c; 70(8), 758-763. Edvidge, J.A., dan Foster, R,G. The Long-range Proton-proton Couplings in Indene and Benzofuran, J. Chem. Soc. 1963; 590-592. Hayati F. Fitokimia dan Sifat Sitotoksik Senyawa Turunan Fenol dari genus Morus yang Tumbuh di Jawa Barat, Disetasi Program Doktor, Institut Teknologi Bandung. 2010 Hakim, E.H., Achmad, S.A., Makmur, L., Manjang, Y., Juliawaty, L. D., Kasuma, S., Supratman, U., dan Tamin, R. Sejumlah Senyawa Fenolik dari Tumbuhan Morus macroura Miq (Moraceae), Prosiding Seminar Kimia Bersama ITB-UKM. 1995; Vol 2 : 28-29 juni : 21 – 29 Heyne, K. Tumbuhan Berguna Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta Indonesia. 1987. Jasmansyah. Beberapa Senyawa Kimia dari Kulit Akar Tanaman Andalas Morus macroura Miq, Suatu Tanaman Langka dan Flora Identitas Sumatera Barat. Tesis. Program Pascasarjana ITB. Bandung. 1993. Soekamto, N.H. Profil Fitokimia Beberapa Spesies Moraceae Indonesia. Disetasi Program Doktor. Institut Teknologi Bandung. 2003. Rahman, M. Flora and Fauna Identity of West Sumatera. The Government of West Sumatera. 1991. Syah, Y.M., Achmad, S.A., Ghisalberti, E.L., Hakim, E.H., Makmur, L., dan Soekamto, N.H. A Stilbene Dimer, Andalasin B from the Root Trunk of Morus macroura. Jurnal of Chemical Reseach. 2004; (5), 339-340. Syah, Y.M., Achmad, S.A., Ghisalberti, E.L., Hakim, E.H., Iman M.Z.N., Makmur, L., Mujahiddin, D. Andalasin A, A New Stilben Dimer from Morus macroura. Fitoterapia, 2000; 71(6): 630 – 635 Venkatesh, K.R., dan Seema, C. Mulberry: Life Enhancer. J. Med. Plants Res, 2008; 2(10), 271-278 Vijayana, K., Saratchandraa, B., Jaime A. Teixeira da Silva. Germplasm conservation in mulberry (Morus spp.). Review. ScientiaHorticulturae. 2011; 128, 371–379
21 ISBN 978-602-70361-0-9
Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Daun Sengon (Albizia falcataria (L) Fosberg.) untuk Antimikroba Topikal Putranti Adirestuti *, Ririn Puspadewi , dan Fahrauk Faramayuda Program Studi Farmasi, Unjani, Terusan Jenderal Surdirman, Cimahi *
E-mail:
[email protected]
Abstract An increase of herbal using for alternative medicine, has become an important plant potential development. Based on these statement, an experiment by using sengon leaves has been conducted, which those leaves have an ability to accelerate skin healing empirically. Dried sengon leaves are extracted into water of 96-98oC in 30minutes, and maserized in the 96%ethanol. That extract then fractinated into n-hexane and ethylacetat. Afterward, the microbiological activitie tested by using Staphyloccocus aureus and S.epidermidis by using agar diffusion method. The result shows that the ethanol extract is unable to obstruct the growth of those microbes. Fraction of 100% water obstruct Staphyloccocus aureus in the diameter of 13.73±0.17mm and S. epidermidis of 12.03±0.46 mm. Fraction of ethylacetate 10% which is 14.10 ± 0.22mm of S. aureus and 15.07±0.19mm of S epidermidis. The isolation of secondary metabolic used chloroform-ethyl acetic (9:1) solvent. Fraction of n-hexane which showed the best TLC profile was continued chromatography in toluene-eter (93:7) solvent. Sub fraction inside n-hexane provides zone with fluorescence characteristic and Rf value equals 0.80. Preparative TLC gives a single spot and Rf value is 0.78. Identification used ultra violet and infra red spectrophotometry method showed that metabolic can absorb UV radiation in 201,60 nm. IR identification showed the stretching spectra are C=C at 151.05cm-1 and 1558.48cm1 ; carbonil at 1739.79cm-1 ; C-H aliphatic at 2854.65cm-1 and 2924.09cm-1 ; O-H at 3741.09 cm-1. It’s expected that sengon leaves contains steroid and maybe used as topical antimicrobial. Keywords: Sengon leaves, n-hexane fraction, agar diffusion, Staphylococcus aureus, S. epidermidis
1.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi yang pesat di era global membawa dampak yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Semuanya berubah termasuk gaya hidup dan pola makan. Sebagian besar orang lebih suka makanan yang praktis, cepat saji dan modern. Akibatnya sekarang banyak ditemukan penyakit yang tidak mudah dikenali dan sukar diobati. Untuk mengatasi berbagai gangguan tubuh dan penyakit, pengobatan alternatif juga banyak dipilih. Walaupun waktu pengobatannya lebih lama, seakan-akan dapat dimaklumi, dengan alasan karena efek obat alternatif memang lebih lambat. Pengobatan alternatif yang melibatkan tanaman atau herbal dipercaya akan memberikan keamanan selama terapi. Selain produk herbal dalam negeri, produk herbal impor juga sudah sangat di kenal di Indonesia, seperti herbal Cina dan Amerika. Permintaan konsumen yang luar biasa inilah yang kemudian mendatangkan ‘ide nakal’ bagi beberapa pelaku usaha herbal. Penelitian di Australia dan hasil pantauan FDA terhadap beberapa produk herbal menunjukkan bahwa herbal juga rawan terhadap penipuan. Hasil investigasi pada beberapa produk tersebut menunjukkan adanya kandungan zat kimia dalam sediaan herbal yang dapat membahayakan konsumennya. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut diharapkan peran serta yang baik dari Apoteker sebagai profesional kesehatan. Para apoteker sudah saatnya lebih fokus dalam mengkaji tanaman yang berkhasiat obat, lebih teliti dalam mengawasi peredaran dan penggunaannya di masyarakat serta lebih aktif mempublikasikan hasil penelitiannya terkait dengan tanaman. Apoteker juga harus lebih gesit dalam mengeksplorasi khasiat tanaman obat Indonesia yang sangat beragam. Walaupun herbal impor di atas belum tentu masuk pasar Indonesia, sebaiknya untuk mengurangi resiko penggunaan herbal yang belum pasti aman, pengawasan yang lebih ketat dari Kementerian Kesehatan perlu dilakukan. Program intensif berupa publikasi terhadap khasiat tanaman obat asli Indonesia secara luas dapat membuat konsumen menjadi lebih percaya terhadap produk obat dalam negeri. Produk herbal yang dijamin keamanannya melalui hasil penelitian di perguruan tinggi atau lembaga penelitian di Indonesia juga akan meningkatkan kepercayaan terhadap produk dan memberikan rasa aman secara psikologis bagi konsumennya.
22 ISBN 978-602-70361-0-9
Salah satu tanaman Indonesia yang berpeluang besar sebagai herbal adalah daun sengon (Albizia falcataria (L) Fosberg). Batang kayunya sudah sangat dikenal untuk sektor perumahan dan perlengkapan mebel. Secara empiris, daunnya sudah dikenal dapat mempercepat penyembuhan luka dan peradangan pada kulit (Hutapea J.R, dkk, 1994). Namun karena fungsinya sebagai obat tradisonal belum banyak dikenal, maka daun sengon lebih banyak dibuang sebagai limbah atau sebagai pakan ternak. Data pustaka menunjukkan bahwa daunnya mengandung flavonoid, polifenol, saponin dan tanin (Hutapea, 1994). Senyawa golongan flavonoid dari beberapa bahan alam dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri. Mekanisme kerja flavonoid sebagai antibakteri diduga mendenaturasi protein dan merusak membran sel bakteri. Beberapa hasil penelitian yang terkait dengan aktivitas flavonoid sebagai antimikroba telah banyak dipublikasikan, antara lain: flavonoid yang berhasil di isolasi dari kulit akar-akar (Ficus septica Burm F) menunjukkan daya aktivitasnya dalam menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 100 ppm dan bakteri Vibrio cholera (I.M.Sukadana, 2010). Penelitian lain menunjukkan bahwa fase ekstrak air buah belimbing manis (Averrhoa carambola Linn L) ternyata lebih banyak mengandung senyawa golongan flavonoid dibandingkan dengan ekstrak yang lain. Isolat flavonoid tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 100 ppm dan menghambat Staphylococcus aureus pada konsentrasi 500 ppm (I.M. Sukadana, 2009). Hasil penelitian yang lain lagi menunjukkan bahwa flavonoid yang diperoleh dari fraksi terpilih ekstrak air daun ketapang (Terminalia muelleri Benth) dapat diidentifikasi sebagai flavonoid dengan menggunakan metode spektrofotometri uv-visibel dengan pereaksi geser dan metode FTIR. Hasil penelitian Dyah Arum Ariyanti, dkk. (2013) tersebut menunjukkan bahwa isolat flavonoid daun ketapang di atas dapat di identifikasi sebagai flavonoid jenis herbasitin. Untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat, penelitian yang terkait dengan pengujian antimikroba dari daun sengon sangat diperlukan untuk bisa mempopulerkan khasiat tanaman ini secara luas, sehingga kelak dapat sejajar dengan herbal lokal atau impor yang sudah lebih dahulu menjadi pilihan banyak masyarakat Indonesia sebagai obat alternatif. 2.
Metode
Identifikasi tanaman dilakukan untuk menentukan kepastian nama jenis tanaman yang akan diteliti, yaitu daun sengon ((Albizia falcataria (L) Fosberg.). Determinasi dilakukan di SITH ITB. Simplisia daun sengon dibuat dari tanaman segar yang dikeringkan secara alamiah dengan panas matahari tidak langsung. Bahan segar diperoleh dari daerah Pangandaran dengan cara mengambil daun dari pohonnya. Pengambilan daun segar ini secara tidak langsung dapat mengurang limbah tanaman sengon dan meningkatkan nilai ekonomis dari tanaman tersebut. Standardisasi daun sengon meliputi: penentuan parameter non spesifik, parameter spesifik dan uji kandungan kimia simplisia, yaitu: Pemeriksaan organoleptik, dilakukan seperti pada pemeriksaan organoleptik simplisia (Depkes, 2000). a. Pemeriksaan karakteristik simplisia daun sengon meliputi: penentuan kadar sari larut air, penentuan kadar sari larutan etanol, penentuan susut pengeringan, penentuan kadar air, penentuan kadar abu, penentuan kadar abu tidak larut asam (Depkes, 2000). b. Penapisan golongan kandungan kimia. Penapisan fitokimia simplisia daun sengon meliputi pemeriksaan terhadap senyawa flavonoid, saponin, alkaloid, polifenol, tanin, steroid dan triterpenoid, kuinon, monoterpenoid dan seskuiterpenoid (Depkes, 2000). c. Penetapan Kadar Total Golongan Kandungan Kimia 1) Penetapan Kadar Tanin Penetapan kadar total golongan tanin dilakukan secara titrasi metode permanganometri (Depkes, 2000). 2) Penetapan Kadar Flavonoid Sebelum dilakukan penetapan kadar total golongan flavonoid, simplisia dihidrolisis terlebih dahulu dengan cara hidrolisis asam sebagai berikut : ditimbang sebanyak 200 mg ekstrak kering, dimasukkan ke dalam labu alas bulat dan ditambahkan etanol hidrolisis yaitu 1,0 mL larutan 0,5% b/v heksametilentetraamina, 20,0 mL aseton dan 2,0 mL larutan 25% HCl dalam air. Hidrolisis dilakukan dengan refluks selama 30 menit. Campuran hasil hidrolisis disaring menggunakan kapas ke dalam labu ukur 100,0 mL. Residu hidrolisis ditambah 20,0 mL aseton untuk didihkan kembali sebentar, dilakukan dua kali dan filtrat dikumpulkan semua ke dalam labu ukur. Sebanyak 20 mL filtrat hidrolisat dimasukkan kedalam corong pisah dan ditambahkan 20 mL air, selanjutnya dilakukan ekstraksi kocok, pertama dengan 15 mL etilasetat, kemudian kedua kali dengan 10 mL etilasetat. Fraksi etilasetat dikumpulkan kedalam labu ukur 50,0 mL, dan setelah itu ditambahkan etilasetat sampai tepat 50,0 mL. Sebanyak 10 mL fraksi etilasetat (hidrolisat) dimasukkan kedalam labu ukur 25,0 mL, ditambah 1 mL larutan 2 gram AlCl3 dalam 100 ml larutan asam asetat glasial 5% v/v (dalam metanol). Untuk mendapatkan senyawa metabolit sekunder yang potensial berkhasiat obat, simplisia daun sengon harus di ekstraksi. Metode ekstraksi yang di pilih adalah ekstraksi air dengan menggunakan pemanasan pada suhu
23 ISBN 978-602-70361-0-9
96-98C dan maserasi dalam pelarut etanol 96% pada suhu kamar. Pemilihan metode ekstraksi ini bertujuan untuk mendapatkan rendemen terbanyak dari isolat flavonoid yang dapat diperoleh. Ekstrak yang diperoleh kemudian diujikan terhadap pertumbuhan bakteri kulit. Bakteri uji yang digunakan adalah Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis. Ekstrak yang dianggap berperan sebagai antimikroba adalah jika mampu memberikan hambatan pertumbuhan bakteri uji dengan diameter 14-16 mm. Jika beberapa konsentrasi ekstrak mampu memberikan diameter hambat yang sama, maka yang di pilih sebagai zat antimikroba adalah yang memiliki konsentrasi terkecil, disebut KHM / MIC (Konsentrasi Hambat Minimum / Minimum Inhibiting Concentration). Ekstrak yang memiliki aktivitas terkuat dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji akan diteruskan dengan fraksinasi dalam pelarut n-heksana, etilasetat dan air. Ekstrak yang potensial sebagai antimikroba akan di fraksinasi dalam tiga jenis pelarut, yaitu : n-heksana, etilasetat dan air. Fraksi yang terbaik akan di isolasi lebih intensif, dengan metode kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis (KLT), KLT preparatif dan KLT 2-dimensi. Untuk mendapatkan hasil pemisahan metabolit sekunder yang lebih spesifik perlu dilakukan fraksinasi yang lebih intensif. Fraksinasi dilakukan dengan menggunakan kolom kromatografi menggunakan fasa diam kristal silika dan fase gerak pelarut toluena. Proses fraksinasi dilakukan sedemikian rupa sampai semua ekstrak yang dielusi terpisah secara optimal. Hasil fraksinasi berupa 120 fraksi sub-fraksi. Beberapa fraksi yang terbaik di uji aktivitasnya terhadap pertumbuhan kedua mikroba uji, yaitu bakteri Staphylococcus aureus dan S. epidermidis. Parameter pengamatannya berupa besarnya diameter hambat pertumbuhan mikroba. Fraksi yang dianggap potensial sebagai antimikroba yaitu jika mampu menghambat pertumbuhan mikroba uji dengan diameter 14-16 mm. Konsentrasi terkecil dari fraksi yang dapat menunjukkan diameter hambatan 14-16 mm disebut sebagai KHM (Konsentrasi Hambat Minimum). Fraksinasi dan isolasi terhadap ekstrak daun sengon akan mendapatkan bercak yang jelas dan spesifik golongan flavonoid. Isolat ini selanjutnya akan di identifikasi dengan menggunakan metode analisis fisiko kimia yaitu secara spektrofotometri uv-visibel, spektrofotometri infra merah, spektrometri resonansi magnetik inti dan spektroskopi massa. Hasil identifikasinya kelak akan menunjukkan jenis senyawa tertentu yang termasuk dalam golongan flavonoid. 3.
Hasil dan Pembahasan
Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman dikenal memiliki nama jenis yaitu Albizia falcataria (L) Fosberg, dari keluarga Magnoliophyta. Pemeriksaan dilakukan terhadap simplisia, ekstrak dan fraksi-fraksi. Hasil penapisan pada semua bahan uji menunjukkan adanya kandungan alkaloid dan seskuiterpen. Saponin, kuinon dan steroid-triterpenoid terdapat dalam ektrak etanol, fraksi etilasetat dan fraksi n-heksana. Flavonoid dan polifenol hanya terdapat dalam ekstrak etanol dan fraksi etilasetat. Data karakteristik menunjukkan bahwa simplisia memenuhi standar bahan alam, yaitu mengandung : kadar air 8% ; kadar sari larut air 4,87%; kadar sari larut etanol 4,39% ; kadar abu total 4,60% ; kadar abu larut air 1,30%; kadar abu tidak larut asam 0,8% dan kadar tanin total 0,0129%. Kadar flavonoid total dihitung dengan metode spektrofotometri ultra violet dengan pereaksi aluminiumklorida. Pengukuran kadar dilakukan pada panjang gelombang maksimum flavonoid pembanding kuersetin, yaitu 438 nm. Penetapan kadar flavonoid dilakukan dengan menggunakan metode aluminium-klorida. Kadarnya dihitung dengan bantuan kurva kalibrasi dengan pembanding kuersetin. Pengukuran pada panjang gelombang 438 nm menghasilkan kadar flavonoid 0,00468 mg. Jumlah flavonoid yang berhasil diperoleh sangat sedikit, jadi diragukan keberadaan senyawa tersebut di dalam simplisa. Jika memang ada, diduga jenis flavonoid yang berhasil di analisis adalah flavon dan flavanol, yang dapat terdeteksi dengan metode ini. Aktivitas antimikroba dilakukan untuk melihat potensi ekstrak air dan ekstrak etanol daun sengon dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji. Pengujian dilakukan terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis. Hasil percobaan menunjukkan ekstrak etanol tidak dapat menghambat pertumbuhan kedua bakteri uji. Fraksi n-heksana 80% dapat menghambat bakteri S. aureus dengan diameter 11,87 ± 0,25 mm dan S. epidermidis 12,03 ± 0,46 mm. Fraksi etilasetat 10% menghambat bakteri S.aureus dengan dimeter 14,10 ± 0,22 mm dan S. epidermidis 15,07 ± 0,19 mm. Isolasi metabolit dilakukan dengan menggunakan KLT dan kromatografi kolom. Hasil isolasi yang dianggap terbaik adalah dari fraksi n-heksana. Isolat yang difraksinasi dalam pelarut campur toluene-eter (93:7) memberikan pita dengan fluoresensi dengan nilai Rf = 0,80. KLT preparatif menunjukkan bercak tunggal dengan nilai Rf = 0,78. Isolat metabolit di identifikansi dengan Spektrofotometri UV-vis, panjang gelombang maksimumnya pada 201,60 nm. Data spektra UV belum dapat digunakan untuk memastikan identitas senyawa metabolit. Jadi harus didukung dengan data fisiko kimia yang lain. Identifikasi dengan spektrofotometri infra merah menunjukkan adanya regang C=C aromatik pada bilangan gelombang 1516,05 cm-1 dan 1558,48 cm-1; regang karbonil pada 1739.79 cm-1 ; regang C-H alifatik pada 2854,65 cm-1 dan 2924,09 cm-1 ; regang O-H pada 3741,09 cm-1.
24 ISBN 978-602-70361-0-9
4.
Kesimpulan
Ekstrak etanol daun sengon mengandung flavonoid yang diduga berupa senyawa flavon dan flavanol, dengan kadar 0,004688 mg. Namun karena kadarnya sangat kecil, sehingga diragukan simplisia mengandung metabolit sekunder golongan flavonoid. Fraksi etil asetat memberikan potensi antimikroba yang paling baik, dikuti dengan fraksi n-heksana dan fraksi air. Konsentrasi hambat minimum fraksi etil asetat yang dapat dijadikan acuan dalam penetapan dosis sediaan herbal adalah 10%. Fraksi n-heksana pada 80% dan fraksi air pada 100%. Isolat memiliki karakteristik dapat menyerap radiasi ultraviolet pada panjang gelombang maksimum 201,60 nm. Senyawa dalam isolat juga dapat menyerap radiasi infra merah, yang dapat di identifikasi sebagai regang C=C aromatik pada angka gelombang 1516,05 cm-1 dan 1558,48 cm-1 ; regang karbonil pada 1739.79 cm-1 ; regang C-H alifatik pada 2854,65 cm-1 dan 2924,09 cm-1 ; regang O-H dengan bilangan pada 3741,09 cm-1. Hasil analisis masih berupa dugaan bahwa metabolit sekunder dari daun sengon termasuk golongan seskuiterpenoid atau alkaloid. Kedua jenis senyawa ini berhasil di identifikasi dalam ekstrak etanol, fraksi nheksana dan fraksi etilasetat. Kepastian identitas senyawa metabolit baru dapat ditentukan dengan dukungan data pengukuran yang lain. Walaupun jenis senyawa metabolit sekunder dalam daun sengon belum dapat diketahui, tetapi hasil pengujian aktivitas antimikroba dalam penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk memberikan rekomendasi pada daun sengon sebagai herbal anti mikroba kulit. Daftar Pustaka Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Jakarta, 2000. Dyah Arum Ariyanti, dkk., Identifikasi Senyawa Flavonoid dari Daun Ketapang Kencana (Terminalia muelleri Benth) dan Uji Aktivitas sebagai Bakteri Penyebab Bau Badan, Chem info vol.1, no.1, 2013. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Materia Medika, Jilid III, DEPKES RI. Jakarta, 1989. Harborne, J.B., Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, terbitan kedua, terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, Penerbit ITB. Bandung, 1987. Holt, J.G, dkk, Bergey’s: Manual Determinative Bacteriologi, 8th Edition, Wilkins, USA, 1994. Heineir, Michael, Farmakognosi dan Fitoterapi, Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2009. I.M, Sukadana, Aktivitas Antibakteri Senyawa Flavonoid dari Kulit Akar Awar-awar (Ficus septica Burm F), Jurnal Kimia 4 (1). Januari, 2010. I.M. Sukadana., Senyawa Antibakteri Golongan Flavonoid dari Buah Belimbing Manis (Averrhoa carambola Linn L), Jurnal Kimia 3 (2), Juli, 2009.
25 ISBN 978-602-70361-0-9
Kajian Awal Antituberkulosis dengan Memanfaatkan Ekstrak n-Heksan Daun Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk) Rahmaniar Mulyani*, Yenny Febriani Yun, dan Yusi Fudiesta Program Studi Kimia, FMIPA, UNJANI, Jl. Ters. Jend. Sudirman Cimahi *
E-mail: :
[email protected]
Abstract Today developments of health problems increasingly complex, especially in developing countries, One is the development of tuberculosis (TB). According to WHO data, In 2009, an estimated one-third of the world's population is infected with TB, TB patients Indonesia amounted to 429 thousand people in order to 5 in the world. Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk) has long been used by people as a traditional medicine. Based on the article A Review on Anti - Tubercular Plants there are 48 plants that have the potential as an alternative medicine for tuberculosis (TB), and plants keremunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk) (alcoholic extract) is one of the potential plant. Phase insulation compounds include sample preparation, maceration, and fractionated by chromatography methods, so that D2 isolates obtained were estimated to contain flavonoid compounds. Susceptibility testing of Mycobacterium tuberculosis, performed using Lowenstein-Jensen media containing OAT, n-hexane extract at a concentration of 10,000 and 5,000 ppm, isolated compounds, and Lowenstein - Jensen medium that does not contain the OAT. The results obtained with M. tuberculosis susceptibility testing results that the solvent DMSO used in antituberculosis bioactivity test against n-hexane fraction is toxic, so it is not known nhexane extract of leaves Keremunting as antituberculosis potential Keywords: n-Heksan, Rhodomyrtus tomentosa, M. Tuberculosis, antituberculosis 1.
Pendahuluan
Perkembangan masalah kesehatan saat ini semakin kompleks terutama di negara-negara berkembang, dimana tingkat ekonomi penduduk akan mempengaruhi tingkat kesehatan masyarakatnya. Salah satunya pada perkembangan penyakit tuberkulosis (TB), dimana penyakit ini berkembang cukup pesat di negara-negara berkembang. Menurut data WHO, saat ini diperkirakan sepertiga penduduk dunia terinfeksi oleh TB dan pada tahun 2009, peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (Apriani&Yun, 2002). Penyakit TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) yang pada umumnya menyerang paru-paru dan disebarkan melalui udara. Menurut data Departemen Kesehatan RI tahun 2006, penyakit TB merupakan penyakit menular penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung koroner dan kanker. Penyakit TB dapat ditanggulangi dengan baik jika penderita TB menjalani pengobatan secara disiplin dan teratur. Pengobatan TB menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT); diantaranya Isoniazid (INH), rifampin (RIF), etambutol (EMB), streptomisin, dan pirazinamid (PZA), yang biasanya dilakukan selama 6 bulan bahkan lebih. Penggunaan OAT yang tidak sesuai aturan, mengakibatkan basil M. tuberculosis menjadi tahan dengan OAT dan menimbulkan masalah baru yang disebut dengan multidrug resistant M. tuberculosis (MDR-M. tb). WHO mendefinisikan bahwa MDR-M. tb adalah bakteri M. tuberculosis yang resisten setidaknya terhadap INH dan RIF (Yue dkk., 2003). Efek samping yang biasanya terjadi pada pengobatan TB dengan menggunakan OAT adalah gatal-gatal, kepala pusing, muntah dan mual, bahkan hepatitis (Arya, 2011). hal inilah yang menyebabkan pasien TB tidak melakukan pengobatan secara rutin. Sehingga peneliti tergerak untuk mencari pengobatan alternatif yang berasal dari bahan-bahan alami. Berdasarkan artikel A Review on Anti-Tubercular Plants ada 48 tanaman yang berpotensi sebagai obat alternatif untuk TB, dan tumbuhan keremunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk) (ekstrak alkohol) merupakan salah satu tumbuhan yang berpotensi tersebut. Tumbuhan keremunting ini merupakan salah satu tumbuhan khas yang berasal dari Belitung. Beberapa hasil penelitian yag telah dilakukan sebelumnya diketahui bahwa tumbuhan keremunting ini antara lain bermanfaat untuk: antihepatitis, antidiabetes, antihipertensi, antihiper-kolesterolemia, antihipertrigliseridemia (Saising dkk, 2008), antibakteri (Saising dkk, 2008), antioksidan (Widyastuti, 2008), antikanker (Fahmi dan Rizal 2002), anti penuaan dini, bahan pemutih dan pelembut kulit (Nazhatul dkk, 2002). Menurut penelitian lain dilaporkan bahwa adanya sifat toksik senyawa aktif ekstrak nheksana daun keremunting asal Belitung dengan metode BSLT (Nazhatul dkk, 2002) (Apriani dkk, 2002), dan
26 ISBN 978-602-70361-0-9
adanya aktivitas antioksidan (Yun dkk, 2002) (Susilawati dkk, 2012). Hasil uji aktivitas antioksidan dengan metode Radikal Bebas DPPH menunjukkan pada ekstrak heksan senyawa FHI11h mempunyai sifat antioksidan yang kuat dengan IC50 sebesar 57,05 µg/mL, sedangkan senyawa FF3 mempunyai aktivitas antioksidan yang lemah dengan IC50 sebesar 265,96 µg/mL (Yun dkk, 2013). Hasil uji antibakteri terhadap daun keremunting menggunakan metode disk diffusion, pada ekstrak n-Heksan tidak memiliki zona penghambatan sedangkan senyawa F3 (berupa turunan terpenoid) memiliki zona penghambatan kecil sebesar 3,96 mm pada konsentrasi 300 ppm dan 10 mm pada konsentrasi 100 ppm serta zona penghambatan sedang sebesar 19,6 mm pada konsentrasi 1000 ppm yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi yang menjadi penyebab penyakit tifus (Citra dan Yun, 2012). Berdasarkan pada pemaparan latar belakang tersebut dapat diketahui bahwa ekstrak n-heksan dari tumbuhan keremunting berpotensi sebagai antibakteri, bahkan ekstrak alkohol dari tumbuhan keremunting memiliki aktivitas antibakteri-TB, sehingga menarik untuk melanjutkan penelitian dengan mengadakan pengujian ekstrak n-Heksan terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang diharapkan memberikan hasil yang sama baiknya dengan percobaan yang telah dilakukan sebelumnya. 2.
Metode
Pada penelitian ini, prosedur penelitian yang digunakan yaitu preparasi sampel tumbuhan Keremunting yang diperoleh dari Belitung. Isolasi metabolit sekunder dari ekstrak nonpolar sampai dengan polar, serta dilanjutkan dengan pemurnian senyawa aktif meliputi maserasi, evaporasi, fraksinasi menggunakan KVC dan kromatotron, pemisahan dan penggabungan dengan berbagai metoda kromatografi. Kemudian dilanjutkan dengan uji bioaktivitas anti-TB ekstrak n-Heksan dan senyawa hasil isolasi terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) sensitif (H37Rv) serta Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) resisten terhadap OAT. Tahap preparasi sampel daun keremunting (R.tomentosa (Aiton) Hassk) berasal dari pulau Belitung, selanjutnya dikeringkan pada suhu kamar dan digiling hingga halus, kemudian disimpan dalam wadah bersih. Determinasi sampel daun Keremunting telah dilakukan pada penelitian terdahulu (Apriani dan Yun, 2002). Untuk ekstraksi bahan, sampel daun kering Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa Hassk) diekstraksi dengan menggunakan n-heksan, dan etil asetat, kemudian dipisahkan melalui Kromatografi Vakum Cair (KVC), dan Kromatotron, dengan dipandu Kromatografi Lapis Tipis (KLT), dan uji sitotoksik. Uji fitokimia telah dilakukan penelitian sebelumnya (Apriani dan Yun, 2002). Terdapat beberapa tahapan yang dapat dilakukan untuk proses pemisahan dari daun tumbuhan Keremunting yaitu dengan ekstraksi, fraksinasi dengan metoda KVC, kromatotron, dan penggabungan fraksi. 2.1
Ekstraksi
Metode ekstraksi yang digunakan adalah dengan metode maserasi. Sebanyak 6 kg serbuk kering daun tumbuhan keremunting dimaserasi dengan menggunakan n-heksan dan etil asetat masing-masing 7x24 jam yang dikontrol dengan KLT dan dilakukan pengambilan ekstrak setiap 1x24 jam. Ekstrak hasil maserasi kemudian dipekatkan dengan menggunakan evaporator sehingga diperoleh ekstrak kering n-heksan dan etil asetat, kemudian ditimbang, untuk dilakukan tahap fraksinasi dengan KVC. 2.2
Fraksinasi
Ekstrak kering n-heksan dan etil asetat difraksinasi dengan KVC. Fraksinasi metode KVC menggunakan fasa diam Silika Gel Merck kiegesel 60 GF 254 dengan perbandingan 1:10 (ekstrak kering: silika), kemudian untuk proses impregnasi menggunakan Silika Gel Merck Kiesegel 60 (0,063-0,200 mm) dengan perbandingan 1:2 (ekstrak kering: silika impreg), sedangkan yang bertindak sebagai fasa gerak adalah n-heksan, etil asetat (EtOAc) dan metanol (MeOH). Fraksinasi dengan metode KVC dilakukan sebanyak tiga kali (triplo), dengan tujuan memperbanyak fraksi. Perbandingan eluen KVC pada ekstrak gabungan dengan menggunakan eluen n-heksan, EtOAc, dan MeOH berbagai perbandingan. 2.3
Penggabungan Fraksi
Fraksi-fraksi hasil KVC lalu dilakukan KLT untuk mendapatkan profil pola KLT. Fraksi yang memiliki pola KLT yang sama atau hampir sama dikumpulkan dalam satu fraksi sehingga dapat diperoleh fraksi prospektif dalam jumlah yang banyak untuk dilakukan pemurnian dengan metoda KVC, KG, dan Preparatif, serta teknik kristalisasi.
27 ISBN 978-602-70361-0-9
2.4
Uji Bioaktivitas Antibakteri Mycobacterium tuberculosis
Uji ini dimulai dengan peremajaan bakteri Mycobacterium tuberculosis pada kultur cair media lowenstein – jensen. Dilanjutkan dengan uji kepekaan Mycobacterium tuberculosis. Media pengujian yang dilakukan menggunakan Media Lowenstein-Jensen yang mengandung OAT, Ekstrak n-heksan, senyawa hasil isolasi, dan media Lowenstein-Jensen yang tidak mengandung OAT. Reagen yang digunakan dalam penelitian adalah Aquadest steril. Semua proses dilakukan dalam safety cabinet kelas II B. Gunakan biakan umur 3-4 minggu. Masukkan 2 tetes Aquadest steril ke dalam tabung reaksi steril yang berisi 8-10 buah gelas parel steril. Tambahkan 1 ose penuh (diameter 3mm) koloni kuman ke dalam tabung tersebut di atas. Campurkan sampai dengan homogen dengan menggunakan vortex mixer kurang lebih selama 1 menit. Tambah 7 mL aquades steril, dicampur sampai rata dan dibiarkan selama 15-30 menit. Suspensi kuman dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung tridam. Tambahkan aquades sampai kekeruhan sama dengan 1 Mc Farland (konsentrasi 10 7 bakteri/ mL). Lakukan pengenceran yang diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Variasi Pengenceran Sampel Pengenceran Aquades Steril Suspensi Bakteri
10-1 4,5 mL 0,5 mL
10-2 4,5 mL 0,5 mL
10-3 4,5 mL 0,5 mL
10-4 4,5 mL 0,5 mL
10-5 4,5 mL 0,5 mL
Lakukan pengocokan dengan menggoyangkan tabung tridam. Suspensi bakteri pengenceran 10-3 dan 10-5 masing-masing ditanam sebanyak 2 tetes (100 µL) pada media kontrol (tanpa OAT) dan pada semua media yang berisi OAT, ekstrak n-Heksan, maupun senyawa hasil isolasi, masing-masing dibuat duplo. Inkubasi dalam inkubator 35-370C. Lakukan pegamatan pada hari ke 28 dan 42. 3.
Hasil dan Pembahasan
Tumbuhan keremunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk) diambil dari Pulau Belitung pada bulan oktober 2012 yakni berupa daun segar sebanyak 13,5 kg. Kemudian sampel berupa daun ini dikeringkan di bawah sinar matahari yang bertujuan agar mengurangi kadar air pada sampel. Kemudian dilakukan proses penggilingan yang bertujuan supaya pada saat maserasi, senyawa metabolit sekunder dapat diperoleh sebanyak – banyaknya. Proses penggilingan ini menghasilkan sampel sebanyak 10 kg. 3.1
Tahap Ekstraksi
Sebanyak 10 kg serbuk kering diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut n-Heksan sebanyak 46,1 L selama 12x24 jam pada temperatur kamar, dimana hasil panen diambil setiap 24 jam sekali. Hasil maserasi (maserat) hari pertama sebanyak 4,2 L, hari kedua 3,9 L, hari ke tiga sebanyak 3,5 L, hari ke empat sebanyak 3,1 L, hari ke lima sebanyak 3,1 L, hari ke enam sebnyak 3,1 L, hari ke tujuh sebanyak 2,9 L, hari ke delapan sebanyak 2,9 L, hari ke sembilan sebanyak 2,9 L, hari ke sepuluh sebanyak 2,8 L, hari ke sebelas sebanyak 2,8 L, dan hari terakhir panen menghasilkan sebanyak 2,8 L sehingga total seluruh maserat sebanyak 44,1 L. n-Heksan pada maserasi ini bertujuan untuk mengeluarkan ekstrak dari daun Keremunting agar semua senyawa kimia dari non polar, semi polar sampai polar dapat terambil semaksimal mungkin. n-Heksan merupakan pelarut yang umum digunakan pada proses maserasi karena dapat melarutkan semua golongan senyawa metabolit sekunder yang ada pada sampel. Selain itu dapat dengan mudah terdistribusi ke dalam sampel dengan melewati membran semipermeabel karena memiliki sisi non-polar yang akan menarik senyawa non-polar dari sampel Pada proses maserasi, membran sel pada sampel ini akan pecah akibat dari perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel. Sehingga metabolit sekunder yang terdapat dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik. Filtrat n-Heksan hasil maserasi kemudian diuapkan pelarutnya dengan menggunakan alat rotary evaporator dan diperoleh gabungan ekstrak kental n-Heksan yang berwarna hitam dengan berat 91 g. Kemudian dikeringkan menggunakan hair dryer diperoleh ekstrak kering n-Heksan sebanyak 82,28 g. 3.2
Fraksinasi Menggunakan Metode Kromatografi Cair Vacum, Kromatografi Lapis Tipis Preparatif dan Penggabungan Fraksi
Metode KCV dilakukan pada sampel ekstrak n-Heksan sebanyak 10 g dengan fasa diam berupa Silika Gel Merck Kiesel gel 60 PF254 sebanyak 100 g, untuk proses impregnasi menggunakan Silika gel Merck 60 G Art 7731 sebanyak 10 g. Sementara yang bertindak sebagai fasa gerak adalah n-Heksan dan EtOAc secara bergradien dengan meningkatkan kepolarannya. Pemisahan pada KCV dapat terjadi karena adanya perbedaan afinitas senyawa pada adsorben berupa silika gel dan perbedaan kelarutan senyawa pada eluen/pelarut. Pelarut yang digunakan dimulai dari yang paling non
28 ISBN 978-602-70361-0-9
polar dan dinaikkan gradien kepolarannya hingga pemisahan dapat terjadi. Pada tahap KCV ini digunakan tekanan rendah untuk meningkatkan laju aliran fasa gerak yaitu dengan cara dihisap sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi menggunakan vakum kemudian dielusi kembali dengan eluen yang lebih polar. Bagian atas kolom KCV ini dibuat terbuka untuk memudahkan penggantian pelarut.
Gambar 1. Kromatogram 45 Fraksi Variasi perbandingan fase gerak ini digunakan untuk mendeteksi polaritas sampel. Karena dengan adanya variasi fase gerak maka akan menyebabkan perbedaan interaksi sampel yang terserap dan hal ini akan menyebabkan perbedaan hasil dalam uji kualitatif. Apabila senyawa sampel tersebut memilliki polaritas yang mendekati bahkan mirip dengan polaritas fase gerak, maka akan menyebabkan senyawa sampel banyak yang akan ikut terbawa oleh fase gerak dan fraksi yang ditampung tersebut akan banyak mengandung kandungan aktif sampel. Hasil dari fraksinasi ini diperoleh 45 fraksi. Kemudian dilakukan pemeriksaan dengan cara Kromatografi Lapis Tipis menggunakan eluen campuran n-Heksan: EtOAc (7 : 3), fraksi yang mempunyai pola noda yang sama pada KLT digabungkan sehingga diperoleh 6 fraksi utama. Dari 6 fraksi utama, fraksi D yang mempunyai pola noda yang baik. Dasar dari KLT ini yaitu perbedaan kecepatan migrasi analit melalui fasa diam dengan gerakan fasa gerak berupa cair. Pemeriksaan dengan KLT dilakukan dengan cara menotolkan sampel pada plat KLT yang telah diberi batas pada bagian atas dan bawah plat. Lalu dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang bersi campuran eluen n-Heksan: EtOAc (7: 3). Proses elusi ini dihentikan ketika gerak eluen mencapai garis batas atas plat KLT, kemudian diamati pola noda (spot) yang terbentuk.
Gambar 2. Kromatogram 6 Fraksi utama Fraksi D yang merupakan gabungan dari fraksi no 13 sampai 18 diperoleh berat sebanyak 0,907 g. Kemudian dilakukan lagi KCV kedua. Fraksi D ditimbang sebanyak 0,907 g, silika impreg sebanyak 1 g dan silika sebanyak 10 g dengan variasi pelarut n-Heksan : EtOAc, pada Tabel 3. Tabel 2. Perbandingan Eluen KCV kedua Fraksinasi dari Fraksi D2 Eluen n-Heksan : EtOAc n-Heksan : EtOAc
Perbandingan 8:2
Jumlah 10x100 mL
7:3
10x100 mL
Eluen n-Heksan : EtOAc n-Heksan : EtOAc
Perbandingan 6:4
Jumlah 10x100 Ml
5:5
10x100 mL
Gambar 3. Kromatogram 40 fraksi dari 4 eluen berbeda
29 ISBN 978-602-70361-0-9
Pada KCV kedua ini diperoleh 40 fraksi dari 4 eluen. kemudian dilakukan KLT. Dari 40 fraksi dan yang mempunyai pola noda yang sama dapat digabungkan sehingga menghasilkan 5 fraksi utama. Dari 5 fraksi yang diperoleh, fraksi D2 yang mempunyai pola noda yang baik, karena fraksi D2, mempunyai pola noda yang berada pada tengah – tengah plat KLT, dan pola noda tersebut paling tipis dari fraksi yang lain, yang berkemungkinan klorofilnya paling sedikit. Fraksi D2 diperoleh sebanyak 0,588 g.
Gambar 4. Kromatogram 5 fraksi utama pada KCV kedua Fraksi D2 ini di KLT dengan eluen n-Heksan: EtOAc (7 : 3) yang disemprot dengan H2SO4 10% lalu dipanaskan untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak hitam sampai kecoklatcoklatan. H2SO4 10% merupakan suatu pereaksi yang membuat bercak menjadi tampak dengan jelas. Prinsip penampakan noda pereaksi semprot H2SO4 10% adalah berdasarkan kemampuan asam sulfat yang bersifat reduktor dalam merusak gugus kromofor dari zat aktif simplisia sehingga panjang gelombangnya akan bergeser ke arah yang lebih panjang (UV menjadi Vis) sehingga noda menjadi tampak oleh mata. Fraksi D2 memiliki pola pemisahan KLT yang baik karena lebih terlihat pemisahan pita-pitanya, dan diduga mengandung senyawa terpenoid. 3.3
Uji Bioaktivitas Antituberkulosis Terhadap Fraksi n-Heksan
Pengujian aktivitas antituberkulosis ini dimulai dengan peremajaan bakteri Mycobacterium tuberculosis pada kultur cair media lowenstein–jensen. Dilanjutkan dengan uji kepekaan Mycobacterium tuberculosis. Media pengujian yang dilakukan menggunakan Media Lowenstein-Jensen yang mengandung OAT, Ekstrak n-heksan, senyawa hasil isolasi, dan media Lowenstein-Jensen yang tidak mengandung OAT, Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh ekstrak n-Heksan dan senyawa hasil isolasi daun keremunting R. tomentosa dalam menghambat pertumbuhan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Dari hasil uji aktivitas antituberkulosis teramati pertumbuhan koloni bakteri M. tuberculosis pada kontrol positif Lowenstein-Jensen dengan pengenceran 3 kali dan 5 kali. Pada kontrol media Lowenstein-Jensen dengan menggunakan obat antituberkulosis rifampisin, isoniazid, ethambuthol dan streptomisin tidak teramati pertumbuhan koloni dari bakteri M. Tuberculosis. Pada kontrol media Lowenstein-Jensen dengan menggunakan pelarut DMSO tidak teramati pertumbuhan koloni dari bakteri M. Tuberculosis, begitu juga pada media Lowenstein-Jensen yang diencerkan dengan pelarut DMSO, pada perlauan pengenceran bakteri 3 kali dan 5 kali juga ternyata tidak teramati pertumbuhan koloni dari bakteri M. Tuberculosis tersebut. Dari penelitian yang telah dilakukan terdapat beberapa kendala dalam penelitian ini, diantaranya adalah bahwa ekstrak n-heksan ini tidak dapat larut dengan baik terhadap media Lowenstein-Jensen yang menggunakan pelarut air. Awalnya pelarut yang digunakan merupaka n-heksan, tetapi tidak dapat larut sama sekali terhadap media Lowenstein-Jensen, sehingga penelitian ini dilanjutkan dengan menggunakan pelarut DMSO. Pelarut DMSO pun ternyata hanya dapat melarutkan sebagian sehingga antara ekstrak n-heksan dengan media Lowenstein-Jensen tidak larut semua. Hal ini terjadi akibat sifat n-heksan dan media Lowenstein-Jensen yang menggunakan pelarut air, sehingga sifat antara polar dan non polar mempengaruhi tingkat kelarutan kedua bahan tersebut.
a.
b.
Gambar 6. a. Ekstrak n-heksan + DMSO 5000 ppm. b. ekstrak n-heksan + DMSO 1000 0 ppm
30 ISBN 978-602-70361-0-9
Disimpulkan bahwa tidak terlihat pertumbuhan koloni bakteri M. Tuberculosis, namun hal ini bukan menunjukan nilai positif bahwa telah terjadi penghambatan pertumbuhan koloni dari bakteri M. Tuberculosis. Namun hal ini terjadi karena pelarut DMSO sendiri telah bersifat toksik pada bakteri M. Tuberculosis. 4.
Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ekstrak n-heksan daun keremunting diduga mengandung senyawa flavonoid dan pelarut DMSO yang digunakan dalam Uji Bioaktivitas Antituberkulosis Terhadap Fraksi n-Heksan bersifat toksik, sehingga belum diketahui apakah Ekstrak n-heksan Daun Keremunting ini berpotensi atau tidak sebagai antituberkulosis. Saran peneliti dari tahapan yang sudah dilakukan selama penelitian, perlu dilakukan penelitian kembali untuk mendapatkan pelarut yang paling sesuai untuk digunakan dalam Uji Bioaktivitas Antituberkulosis Terhadap Fraksi n-Heksan. Selain itu perlu dilakukan pemurnian terhadap ekstrak n-heksan daun keremunting, sehingga diketahui dengan pasti kandungan yang ada dalam ekstrak n-heksan tersebut. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Jenderal Achmad Yani yang telah memberi Dana Hibah Penelitian Internal Unjani. Daftar Pustaka Apriani, I. dan Yun, F. Y., 2002. Uji Pendahuluan Senyawa Aktif Ekstrak Etil Asetat dari Daun Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk) Menggunakan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), Skripsi, Kimia-Unjani, Cimahi. Arya, V., 2011, A Review on Anti-Tubecular Plants, International Journal of PharmTech Research, Vol 3, 872 – 880. Citra, F. N. dan Yun, Y. F., 2012, Isolasi dan Identifikasi Metabolit Sekunder Ekstrak n-Heksan Daun Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk) Asal Belitung Sebagai Antibakteri Salmonella typhi, Skripsi, Kimia-Unjani, Cimahi. Fahmi, Rizal, 2002, Cytotoxic Compounds from Karamuntiang (Rhodomyrtus tomentosa), Universitas Andalas, Padang. Nazhatul, F., Siti, dan Yun, F. Y., 2002, Uji Pendahuluan Senyawa Aktif Ekstrak n-Heksana dari Daun Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa Hassk) dengan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), Skripsi, Kimia-Unjani, Cimahi. Saising, J., Hiranrat, A., Mahabusarakam. (2008), New Acylphloroglucinols from the Leaves of Rhodomyrtus tomentosa. Tetrahedron 64(5), 11193-11197. Saising, J., Hiranrat, A., Mahabusarakam and Ongsakul, M. (2008), Rhodomyrton from Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk as a Natural Antibiotic for Staphylococcal Cutaneous Infections. Journal of Health Science, 54(5), 589-595. Susilawati, Ulfa, dan Yun, Y. F., 2012, Potensi Metabolit Sekunder Ekstrak Etil Asetat Daun Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk)) Asal Belitung sebagai Antioksidan, Skripsi, Kimia-Unjani, Cimahi. WHO, 2010, Global Tuberculosis Control: WHO Report 2010, Switzerland. Widyastuti, U., 2008, Ekstraksi Buah Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa) Sebagai Zat Antioksidan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2008. Yue, J., Shi, W., Xie, J., Li, Y., Zeng, E., Wang, H., 2003, Mutation in the rpoB gene of multidrug resistant Mycobacterium tuberculosis isolates from China, J. Clin., Microbiol, 41, 2209 – 2212. Yun, F. Y., Aisyah, L. S., dan Mulyani, R., 2013, Potensi Metabolit Sekunder Hasil Frasinasi Ekstrak n-Heksan Daun Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk) Asal Belitung sebagai Antioksidan, Aristoteles, 11(2).
31 ISBN 978-602-70361-0-9
Aktivitas Sitotoksik Metabolit Sekunder Daun Tumbuhan Keremunting (Rhodomyrtus Tomentosa (Aiton) Hassk) Asal Belitung Terhadap Sel Leukemia P-388 Yenny Febriani Yun*, Lilis Siti Aisyah, Cecep Chandra Doni Respati Alfrilindo, Alivia Muliawati Jurusan Kimia - FMIPA, Unjani, Terusan Jenderal Sudirman Cimahi *
E-mail:
[email protected]
Abstract Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. are many plant in the Pacific region, including the family Myrtaceae. This plant is easily recognized by its fruits are dark red. Phyto chemicals test in MeOH extracts showed the content of secondary metabolites include steroids, triterpenoids, flavonoids, saponins and tannins.Through real experimental laboratory which includes sampling, fractionation with n-hexane, and ethyl acetate, followed by fraction collection and isolation using various chromatographic methods. From n-hexane extract were obtained pure isolates that FHI11h which is a flavonoids, 7 mg yellow needle-shaped crystals with a melting point of 123– 125 C, with anticancer activity IC50 5.6 µg/mL, and isolates FF3 which is derived terpenoids such as white needle crystals weighing 7.8 mg with a melting point of 155-157 0C, with anticancer activity IC50 13.12 µg/mL. Beside that from ethyl acetate extracts was obtained 4 mg isolates showed BCp41 as a terpenoids with a melting point of 133 – 137oC, and anticancer activity of IC50 14.93 µg/mL. Based on this data it can be seen that the three isolates as active compounds of leaf keremunting has significant anticancer activity. Keywords: Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk, active compound, anticancer 1.
Pendahuluan
Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk) merupakan tumbuhan pionir di daerah Belitung, yang dapat tumbuh dan berkembang secara mudah, karena kemampuannya untuk hidup di daerah dengan kondisi unsur hara tanah sangat minim.namun pemanfaatannya belum dilakukan secara maksimal (Dalimunthe, 2006). Pemanfaatan tumbuhan ini secara tradisional di Belitung antara lain, buahnya dapat dimakan secara langsung, namun dapat pula diolah menjadi jus, dodol, pencahar, peluruh haid, penawar muntah darah, dan sebagai pewarna (Apriani, 2002). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa manfaat dari R. tomentosa diantaranya: sebagai antihepatitis, antidiabetes, antihipertensi, antihiperkolesterolemia, antihipertrigliseridemia (Saising, J. dkk, 2008), antibakteri (Rizal, 2002), antikanker (Saising, Hiranrat, Mahabusarakam dan Ongsakul, 2008), antioksidan (Widyastuti, 2008), anti penuaan dini, bahan pemutih dan pelembut kulit (Fahmi& Dachriyanus, 2004). Penelitian lain menunjukkan adanyai sifat toksik dari senyawa aktif yang diisolasi dari ekstrak n-heksan daun R. tomentosa asal Belitung dengan metode BSLT (Siti, 2008). Berdasarkan data pustaka sebelumnya ternyata tumbuhan ini memiliki banyak manfaatnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi senyawa yang memiliki aktivitas sitotoksik dari daun R. tomentosa asal Belitung serta mengidentifikasi senyawa aktifnya. 2.
Metode
Penelitian menggunakan bahan-bahan yaitu daun keremunting, n-heksana, etil asetat, metanol, silika gel 60 G, plat KLT silika gel 60 GF254, akuades, asam sulfat, asam asetat, ferri klorida, kloroform, aseton, etanol. Untuk percobaan menggunakan pinset, seperangkat alat destilasi, seperangkat alat ekstraksi, alat Kromatografi Cair Vakum (KCV), neraca analitik (Acculab ALC-210.4), Chamber, Lampu UV Camag (254/365 nm), Rotary evaporator Heidolph Laborota 4000, Spektrofotometer UV-Vis, 1601 Shimadzu, Spektrofotometer IR, FTIR Versi ke 21 Shimadzu. Hal ini dilakukan dengan preparasi sampel dan determinasi, sampel daun R.tomentosa berasal dari Belitung dikeringkan pada suhu kamar dan digiling hingga halus yang dilakukan dilakukan di SITH-ITB. Penapisan senyawa metabolit sekunder dilakukan dengan ekstrak MeOH daun R.tomentosa diidentifikasi kandungan sterol, triterpen, alkaloid, kumarin, flavonoid, tanin dan saponin. Tahap pemisahan melalui ekstraksi sampel dengan n-Heksan sebanyak 10 kg serbuk kering daun R. tomentosa dimaserasi menggunakan pelarut n-
32 ISBN 978-602-70361-0-9
heksan, kemudian dipekatkan hingga diperoleh ekstrak kental n-Heksan yang berwarna hitam dengan berat 82,28 gram. Ekstraksi sampel dengan etil asetat dilakukan yaitu, sebanyak 10 kg serbuk kering daun R. tomentosa dimaserasi menggunakan etil asetat, kemudian dipekatkan hingga diperoleh ekstrak kental berwarna hijau pekat kehitaman sebanyak 87 gram. Sedangkan tahap fraksionasi yaitu ekstrak kering n-heksan dan etil asetat difraksionasi dengan teknik kromatografi yaitu KCV. Fraksionasi dengan KCV dilakukan secara bergradien dengan eluen n-heksan dan etil asetat (EtOAc). Hasil fraksionasi digabung, melalui panduan pola noda KLT dengan fasa gerak n-heksan: EtOAc (8 : 2), dan dipekatkan. Dari ekstrak n-heksan didapatkan fraksi FHI (7,087 g) dan FF (0,4 g). Fraksi FHI dilanjutkan dengan pemisahan menggunakan metode KCV ke II secara gradien dengan eluen n-heksan: EtOAc. Fraksi-fraksi yang mempunyai profil pola yang sama digabung dan dipekatkan. Dari fraksionasi fraksi FHI didapatkan fraksi FHI1 yang dipisahkan dengan kromatotron menggunakan eluen nheksan : EtOAc (8:2) sehingga didapatkan isolat murni FHI11h berupa padatan kuning sebanyak 7 mg. Untuk fraksi FF dilakukan pemurnian dengan kromatotron menggunakan eluen n-heksan: MTC : EtOAc (4 : ½ : ½ ) sehingga didapatkan isolat FF3 berupa padatan putih kekuningan, kemudian padatan kristal ini dilakukan pemurnian dengan cara rekristalisasi menggunakan n-heksan dan MeOH, hingga didapatkan kristal jarum putih sebanyak 7,8 mg. Dari ekstrak etil asetat didapatkan fraksi B berbentuk padatan berwarna hijau pekat kehitaman sebanyak 0,901 g. Fraksi B dilanjutkan dengan pemisahan menggunakan metode KCV ke II secara gradien dengan eluen nheksan:EtOAc, sehingga didapatkan fraksi B4 sebanyak 50 mg. Fraksi B4 dipisahkan melalui metode kromatografi preparatif, menggunakan fasa gerak n-Heksan : etil asetat (7 : 3), sehingga didapatkan fraksi BCp4 sebanyak 8,4 mg. Untuk meningkatkan kemurnian fraksi BCp4 di preparatif kembali menggunakan eluen nheksan:etil asetat (6:4), hingga didapatkan isolat BCp41 berupa serbuk berwarna putih dengan bobot sebesar 4 mg. Selanjutnya dilakukan pengukuran titik leleh, spektroskopi UV, IR, dan uji antikanker terhadap isolat FHI1, FF3, dan BCp41. Uji Antikanker menggunakan Sel Murine Leukimia P 388 dengan cara, sel P 388 dibiakkan dalam media RPMI 1640 dilengkapi dengan 5% FBS (Fetal Bovine Serum) dan kanamisin (100µg/mL). Sel (3x103 sel/sumur) di kultur dalam mikroplate yang mengandung 100 µL media pertumbuhan per sumur dan diinkubasikan pada 37°C dalam kelembapan atmosfir 5% CO2. Sampel 10µL dengan berbagai konsentrasi ditambahkan ke dalam kultur sehari setelah transplantasi. Pada hari ketiga tambahkan 20µL larutan MTT (5mg/mL) per sumur kedalam tiap media kultur. Setelah 4 jam inkubasi tambahkan 100µL larutan 10% SDS yang dilarutkan dengan 0,01N HCl ke dalam tiap sumur dan kristal formazan dalam tiap sumur dilarutkan dengan pengadukan menggunakan mikropipet. Pengukuran optical density dilakukan menggunakan microplate reader pada dua panjang gelombang (550 dan 700 nm). Setiap uji dan analisis dikerjakan triplo. 3.
Hasil dan Pembahasan
Sampel berupa daun segar sebanyak 10 kg, dikeringkan dan digiling hingga menjadi serbuk hingga diperoleh 4,2 kg. Uji Fitokimia dilakukan sehingga berdasarkan hasil skrining senyawa metabolit sekunder terhadap daun R. tomentosa menunjukkan beberapa golongan metabolit sekunder yang terdeteksi yaitu, steroid, terpenoid, flavonoid, fenol, saponin dan tanin. Ekstraksi Sampel dengan n-Heksan maserasi ini bertujuan untuk menarik semua senyawa non polar dari daun R. tomentosa. Ekstraksi sampel dengan Etil Asetat maserasi ini bertujuan untuk menarik semua senyawa semi polar dari daun R. tomentosa. Pemisahan dan permunian dilakukan Pemisahan dan Pemurnian Ekstrak kering n-heksan dan etil asetat setelah dipisahkan dan dimurnikan maka didapatkan isolat FHI11h berupa padatan kuning sebanyak 7 mg, FF3 berupa kristal jarum putih sebanyak 7,8 mg, dan BCp41 berupa serbuk berwarna putih dengan bobot sebesar 4 mg. Uji Titik Leleh Isolat FHI11h mempunyai titik leleh 123-125oC, isolat FF3 memberikan titik leleh sebesar 155-1570C, sedangkan isolat BCp41 menunjukkan titik leleh sebesar 133 – 137oC. Analisis Spektrum dengan Spektroskopi Ultraviolet-Tampak dan Inframerah Isolat FHI11h Spektrum hasil pengukuran spektrofotometri UV-Vis dan infra merah dari senyawa FHI11h dapat dilihat pada Gambar 1.
33 ISBN 978-602-70361-0-9
F
Gambar 1. Spektrum UV-Vis Isolat FHI11h Pada pengukuran spektrum UV-Vis senyawa FHI11h, pelarut yang digunakan adalah MeOH, diperoleh pita I dengan λmaks 262 nm dan pita II dengan λmaks 301 nm.
2333, 2364,
1623, 1168, 1735, 1375, 1461,
2923,
Gambar 2. Spektrum Inframerah Isolat FHI11h Dari hasil spektrum IR, bilangan gelombang 2923,56 cm-1 mengindikasikan vibrasi regangan asimetris dari ikatan –CH alifatik, bilangan gelombang 1735,62 cm-1 mengindikasikan gugus C=O, bilangan gelombang 1623 cm-1 mengindikasikan gugus C=C, dan bilangan gelombang 1461,78 cm-1 mengindikasikan vibrasi dari gugus – CH3. Spektroskopi Ultraviolet-Tampak dan Inframerah Isolat FF3
Gambar 3. Spektrum UV-Vis Isolat FF3 Pada pengukuran spektrum UV senyawa FF3, diperoleh 2 puncak dengan panjang gelombang 259,4 nm (3) dan 298,6 nm (4) dengan absorptivitas 0,321 dan 0,554. Puncak 3 menunjukkan kromofor C=C dengan transisi π→π* yang didukung dengan hasil analisis spektrofotometri IR pada daerah kiri bilangan gelombang 1600 cm -1
34 ISBN 978-602-70361-0-9
yakni adanya C=C alifatik stretching, sedangkan puncak 4 menunjukkan adanya kromofor C=O dengan transisi n→σ*. Hal ini didukung dari hasil analisis spektrofotometri IR yang menunjukkan senyawa FF3 mempunyai gugus fungsi C=O pada daerah bilangan gelombang 1717,81 cm-1. 30.6
28 523.30
26
3737.98
24 22
966.71 829.49
20 %T
1717.81
18 3273.81
16 1286.05
14
1086.13
2958.72 1429.96 1387.47
12 10
1172.46
8 7.1 4000.0
3600
3200
2800
2400
2000
1800 cm-1
1600
1400
1200
1000
800
600
450.0
Gambar 4. Spektrum Infra Merah Isolat FF3 Spektrum IR untuk kristal senyawa FF3 pada bilangan gelombang 3273,81 cm-1 mengindikasikan adanya gugus-OH, diperkuat dengan gugus C-O stretching pada bilangan gelombang 1086,13 cm-1 dan 1172,46 cm-1 yang mengidentifikasikan adanya gugus hidroksi (OH) yang terikat pada atom karbon. Pada bilangan gelombang 2958,72 cm-1 mengindikasikan gugus C-H alifatik stretching yang memberi petunjuk kemungkinan adanya gugus metil (CH3) dan metilena (CH2). Dugaan ini diperkuat oleh adanya serapan pada daerah bilangan gelombang 1429,96 cm-1 dan 1387,47 cm-1 yang merupakan serapan dari –CH2 dan –CH3 bending yang mengindikasikan adanya gugus gem metil yang merupakan ciri khas dari golongan terpenoid. Kemudian pada bilangan gelombang 1717,81 cm-1 mengidentifikasikan adanya gugus C=O keton, sedangkan munculnya pita serapan tajam dengan intensitas kuat pada daerah bilangan gelombang sebelah kiri 1600 cm-1 menunjukkan adanya gugus fungsi C=C alifatik stretching. Spektroskopi Ultraviolet-Tampak dan Inframerah Isolat BCp41
Gambar 5. Spektrum UV-Vis Isolat BCp41
1735.93 1714.72
3466.08 3427.51
75
1377.17
835.18
723.31
970.19
1068.56
1658.78 1604.77
1273.02
90 %T
1168.86
Spektrum UV isolat BCp41, dengan λmaks 203 nm dengan absorptivitas sebesar 1,3700 menunjukkan adanya ausokrom C=O.
1462.04
60
45
2954.95
2854.65
30
2924.09
15
0
4500 aliv
4000
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 6. Spektrum Inframerah Isolat BCp41
35 ISBN 978-602-70361-0-9
Spektrum IR untuk isolat BCp41 pada bilangan gelombang 3427,51 – 3466,08 cm-1 menunjukkan intensitas serapan yang lebar dengan frekuensi rendah mengindikasikan adanya gugus –OH. Pada bilangan gelombang 2854,65–2954,95 cm-1 dengan intensitas tinggi mengindikasikan adanya gugus C–H alifatik stretching yang memberi petunjuk kemungkinan adanya gugus metil (–CH3) dan metilena (–CH2–). Dugaan ini diperkuat oleh adanya serapan pada daerah bilangan gelombang 1462,04 cm-1 dengan intensitas sedang dan 1377,17 cm-1 dengan intensitas rendah yang merupakan serapan dari gugus –CH2 dan –CH3. Pada bilangan gelombang 1714,72 – 1735,93 cm-1 dengan intensitas lemah mengidentifikasikan adanya gugus C=O. Munculnya pita serapan dengan intensitas lemah pada daerah bilangan gelombang 1604,77 – 1658,78 cm-1 menunjukkan adanya gugus fungsi C=C. Pita serapan pada bilangan gelombang 1168,86 – 1273,02 cm-1 menunjukkan adanya gugus fungsi –C–O. Uji Aktivitas Antikanker Pengujian bioaktivitas antikanker pada senyawa FHI11h diperoleh hasil IC50 5,6 µg/mL, sedangkan senyawa FF3 memberikan aktivitas antikanker sebesar IC50 13,12 µg/mL. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa FHI11h dan senyawa FF3 memiliki keaktivan yang signifikan terhadap Sel Murine Leukemia P 388. Aktivitas antikanker pada senyawa BCp41 diperoleh hasil IC50 14,93 µg/mL yang menunjukkan bahwa senyawa BCp41 menunjukkan aktivitas yang signifikan terhadap Sel Murine Leukemia P 388, signifikan karena memberikan IC50 kurang dari 100 µg/mL (Schobe,2006). 4.
Kesimpulan
Dari ekstrak n-heksan didapatkan isolat FHI11h berbentuk padatan kuning, titik leleh 123-125 C sebanyak 7 mg, yang diduga senyawa turunan flavonoid, dengan IC50 antikanker 5,6 µg/mL, dan isolat FF3 berbentuk kristal putih, titik leleh 155-157 0C sebanyak 7,8 mg, yang diduga senyawa terpenoid, dengan IC50 antikanker 13,12 µg/mL. Dari ekstrak etil asetat didapatkan isolat BCp41 berbentuk serbuk putih, titik leleh 133 – 137oC sebanyak 4 mg, yang diduga senyawa terpenoid, dengan IC50 antikanker 14,93 µg/mL.Hasil uji aktivitas antikanker dengan metode MTT menunjukkan senyawa FHI11h, FF3, dan BCp41 mempunyai sifat antikanker yang signifikan. Ucapan Terimakasih Terima kasih kepada LPPM Unjani yang telah mendanai penelitian ini melalui Hibah Penelitian Unggulan 2012 dan 2013. Daftar Pustaka Dalimunthe, S.,R., Nurhayati, Herwan, dan Suheiti, K., Pemanfaatan Lahan Bekas Penambangan Timah Dengan Penanaman Tanaman Sayuran di Bangka Belitung, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Bangka Belitung, 2006 Apriani, I.,. Uji Pendahuluan Senyawa Aktif Ekstrak Etil Asetat dari Daun Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk) Menggunakan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), Skripsi, Kimia, Unjani, Cimahi, 2002 Saising, J., Hiranrat, A., Mahabusarakam, New Acylphloroglucinols from the Leaves of Rhodomyrtus tomentosa, Tetrahedron, 2008; 64(5): 11193-11197 Rizal, F., Cytotoxic Compounds from Karamuntiang (Rhodomyrtus tomentosa), Disertasi, Universitas Andalas, Padang, 2002 Saising, J., Hiranrat, A., Mahabusarakam and Ongsakul, M, Rhodomyrton from Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk as a Natural Antibiotic for Staphylococcal Cutaneous Infections, Journal of Health Science, 2008; 54(5), 589-595 Widyastuti, U., Ekstraksi Buah Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa) Sebagai Zat Antioksidan, Tesis, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2008. Fahmi, R., Dachriyanus, Cytotoxic Compounds from Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa), Aust. J. Chem., 2004; 55, 229 Siti, N. F., Uji Pendahuluan Senyawa Aktif Ekstrak n-Heksana dari Daun Keremunting (Rhodomyrtus tomentosa Hassk) dengan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), Skripsi, Kimia, Unjani, Cimahi, 2002 Shoeb, M., Anticancer agents from medical plants, Bangladesh J. Pharmacol., 2006; 1:35-41 Dewick, P. M., Medicinal Natural Products: A Biosynthetic Approach, 3 th ed., John Wiley & Sons Ltd., United Kingdom, 2009 Starr, F., Starr, K., Loope, L., United States Geological Survey-Biological Resources Division, Haleakala Field Station, Maui, Hawai', 2003
36 ISBN 978-602-70361-0-9
Motooka, P., Weeds of Hawai‘i’s Pastures and Natural Areas; An Identification and Management Guide College of Tropical Agriculture and Human Resources, University of Hawai‘i at Manoa, 2003 Salni, D., Sargent, M. V.,Skelton, B. W., Soediro, I., Sutisna, M., White, A. H., Yulinah, E., 2002, Rhodomyrtone, an Antibiotic from Rhodomyrtus tomentosa, Aus. J. Chem., 55, 229-232
37 ISBN 978-602-70361-0-9
Evaluasi sediaan kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) sebagai obat herbal yang berkhasiat antihipertensi Afifah B. Sutjiatmo1,2*, Elin Yulinah Sukandar2, Suswini Kusmaningati3, Soraya Riyanti1, Suci Nar Vikasari1,2 1
Jurusan Farmasi, Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi, Indonesia 2 Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung, Indonesia 3 Pusat Ilmu Hayati, Institut Teknologi Bandung, Indonesia *Email:
[email protected]
Abstract Indonesia is known as one of raw herbal medicine producent. Bilimbi (Averrhoa bilimbi L.) is a potential plant that can be develop as herbal medicine. Indonesia society, traditionally, use bilimbi’s leaves and it has tested to cure hypertension, hipercholesterol, and as diuretic. The aims of this research are to formulate and evaluate pharmaceutical dosage form of water extract of bilimbi’s leaves.Water extrct of bilimbi’s leaves is made by boiled the simplisia in aquadest, and dried in 90oC. Capsule is pharmaceutical dosage form of water extract of bilimbi’s leaves. Dose of water extract of bilimbi’s leaves is 500 mg for each capsule. Evaluation of water extract of bilimbi’s leaves capsule included time release, homogenity, loss on drying, aflatoxin contamination, and microbiological contamination.The results showed that time release of water extract of bilimbi’s leavescapsule is 6 minutes, homogenity 497±18 mg, loss on drying 3,88%, aflatoxin contamination negative, total plate count 0 CFU/g, total fungi and yeast 0 Colony Forming Unit (CFU)/g, E. coli contamination 0 CFU/g, Salmonella sp contamination 0 CFU/g, and Pseudomonas aeruginosa contamination 0 CFU/g. Based on evalutiaon, capsule of water extract of bilimbi’s leaves 500 mg each meets the requirement of Kepmenkes RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 about Terms of Traditional Medicine. Keywords: belimbing wuluh, Averrhoa bilimbi L., herbal medicine, capsule, evaluation 1.
Pendahuluan
Tanaman belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L., Oxalidaceae) yang juga dikenal dengan nama belimbing sayur, merupakan spesies tanaman yang diduga berasal dari Maluku (Indonesia). Daunnya diketahui mengandung asam organik, gula, flavonoid, kuinon, tanin dan terpenoid. Ekstrak etanol daun bersifat hipoglikemik, hipotrigliseridemik, antilipid peroksidatif dan antiatherogenik pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotosin. (Morton, 1987; Departemen Kesehatan Republik Indonesai, 1989; Pushparaj, Tan, & Tan, 2000)
Gambar 1. Daun belimbing wuluh Afifah dkk (2011) telah menguji efek antihipertensi ekstrak air daun belimbing wuluh pada tikus Wistar. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak air daun belimbing wuluh dosis 22,5 mg/kg bb, 45 mg/kg bb, dan 67,5 mg/kg bb mempunyai efek antihipertensi yang setara dengan pembanding kaptopril dosis 1,125 mg/kg bb dan propanolol dosis 0,9 mg/kg bb. Ketiga dosis tersebut juga menunjukkan efek diuretik yang setara dengan pembanding furosemid dosis 3,6 mg/kg bb. Ekstrak air daun belimbing wuluh dosis 22,5 mg/kg bb dan 45 mg/kg bb menunjukkan efek antihipertensi yang setara dengan fitofarmaka yang terdaftar di Indonesia (Tensigard® dosis 22,5 mg/kg bb). Ekstrak air daun belimbing wuluh dosis 45 mg/kg bb menunjukkan efek saluretik yang setara dengan pembanding furosemid dosis 3,6 mg/kg bb. (Afifah, 2010) Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini
38 ISBN 978-602-70361-0-9
bertujuan untuk membuat sediaan obat herbal terstandar (OHT) dan mengevaluasi sediaan OHT ekstrak air daun belimbing wuluh. 2.
Metode
2.1
Pembuatan Ekstrak Air Daun Belimbing Wuluh
Ekstrak air daun belimbing dibuat dengan cara perebusan dalam air suling, kemudian dilakukan pengeringan pada oven bersuhu 900C. Formulasi Produk Formulasi ekstrak air daub belimbing wuluh adalah bentuk sediaan kapsul. Tiap kapsul mengandung 500 mg ekstrak air kering daun belimbing wuluh. Sebagai bahan pengisi digunakan silikon dioksida koloidal (aerosil) 2%. Evaluasi Produk Evaluasi sediaan dilakukan sesuai Kepmenkes RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian organoleptik, waktu hancur, keseragaman bobot, kadar air, dan pemeriksaan mikrobiologis. (Kepmenkes, 1994; Depkes, 1995) a. Waktu hancur Kapsul dimasukkan dalam alat uji dengan menggunakan medium air suhu 37 oC. Pada akhir batas waktu, semua kapsul diamati: semua kapsul harus hancur sempurna, ulangi pengujian dengan 12 kapsul lainnya, tidak kurang 16 kapsul dari 18 kapsul yang diuji harus hancur sempurna. Makin cepat daya hancur kapsul diharapkan makin besar dan makin cepat zat aktif yang diserap oleh tubuh. Makin besar dan makin cepat zat aktif yang diserap diharapkan makin cepat obat tradisional tersebut bereaksi di dalam tubuh, sehingga makin cepat dirasakan hasilnya. (Depkes, 1995) b. Keseragaman bobot Penetapan keseragaman bobot kapsul dilakukan sesuai prosedur dalam lampiran Kepmenkes RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional. Pengujian dilakukan terhadap 20 kapsul: tiap kapsul ditimbang, kemudian isi kapsul dikeluarkan dari cangkangnya, dan cangkang yang telah kosong ditimbang, lalu dihitung bobot isi kapsul. Persyaratan keseragaman bobot adalah tidak lebih dari 2 kapsul yang masing-masing bobot isinya menyimpang dari bobot isi rata-ratanya lebih besar dari ± 7,5% dan tidak satu kapsulpun yang bobot isinya menyimpang dari ± 15%. (Kepmenkes, 1994) c. Kadar air Penetapan kadar air dilakukan secara gravimetri menurut Farmakope Indonesia IV dengan cara sebagai berikut: sebanyak 20 gram isi kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh dimasukkan ke dalam wadah yang telah ditara, selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pada suhu 1050C hingga bobot konstan. (Depkes, 1995) d. Cemaran Aflatoksin Sebanyak 2 g isi kapsul dimasukkan ke dalam labu erlemeyer 100 ml, kemudian ditambahkan 1 ml air dan 30 ml kloroform, dikocok selama 15 menit dan disaring. Filtrat ditambah dengan kloroform hingga 50 ml dan ditambah 10 g natrium sulfat anhidrat lalu dikocok. Didiamkan sebentar dan disaring, filtrat yang diperoleh diperiksa dengan cara KLT pada fase diam silika gel GF254, pengembang kloroform-aseton (9:1). Persyaratan kandungan cemaran aflatoksin adalah tidak lebih dari 30 bpj. (Kepmenkes, 1994) e. Cemaran mikroba Pemeriksaan cemaran mikroba dilakukan sesuai Farmakope Indonesia IV untuk mengetahui cemaran bakteri (angka lempeng total), angka kapang dan khamir, E. coli, Salmonella sp, dan Pseudomonas aeruginosa. (Depkes, 1995) 2.2
Pembuatan seri pengenceran sampel
Sebanyak 1 ml sampel yang akan diperiksa dilarutkan dalam 10 ml larutan pengencer yaitu berupa larutan fisiologis steril untuk uji Angka Lempeng Total (ALT) dan media Aqueous Sucrose Agar (ASA) untuk uji Angka Kapang dan Khamir Total (AKT). Dibuat seri pengenceran hingga 10-6 untuk uji ALT (cemaran bakteri) dan 10-4 untuk uji AKT (cemaran kapang/khamir). a. Pengujian cemaran bakteri Sebanyak 1 ml suspensi hasil pengenceran sampel dituang ke dalam piring petri. Ke dalam setiap piring petri tersebut dituangkan media PCA steril yang telah dicairkan dengan temperatur media berkisar pada 40ºC. Sebagai kontrol digunakan media PCA dan larutan pengencer (larutan fisiologis steril). Piring petri selanjutnya diinkubasi pada temperatur 35-37ºC selama 24-48 jam dalam posisi terbalik. Penghitungan jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada media dilakukan sesuai cara penghitungan yang ditetapkan dalam prosedur operasional baku pengujian mikrobiologi oleh Badan POM. (Depkes, 1995).
39 ISBN 978-602-70361-0-9
b.
c.
3.
Pengujian cemaran kapang/khamir Media Potato Dextrosa Agar (PDA) steril yang telah dicairkan dan didinginkan pada temperatur 40ºC ditambahkan kloramfenikol sebesar 1ml/L, dan dituang ke dalam piring petri hingga membeku. Sebanyak 1 ml suspensi hasil pengenceran sampel dituang pada permukaan media PDA yang telah beku dalam piring petri, yang mengandung kloramfenikol, dan diratakan dengan bantuan spreader glass. Sebagai kontrol digunakan media dan larutan pengencer (ASA). Piring petri selanjutnya diinkubasi pada temperatur 2025ºC selama 3-5 hari. Penghitungan jumlah koloni kapang/khamir yang tumbuh pada media dilakukan sesuai cara penghitungan yang ditetapkan dalam prosedur operasional baku pengujian mikrobiologi oleh Badan POM. (Depkes, 1995) Pengujian cemaran E. coli, Salmonella sp, dan Pseudomonas aeruginosa. Untuk mengetahui cemaran E. coli digunakan media Eosin Metilen Blue (EMB) Agar dan untuk mengetahui cemaran Salmonella sp digunakan media Salmonella Shigella Agar (SSA), sedangkan untuk mengetahui cemaran Pseudomonas aeruginosa digunakan media plus TTC. Sebanyak 1 ml suspensi hasil pengenceran sampel dituang ke dalam piring petri. Ke dalam setiap piring petri tersebut dituangkan media yang sesuai yang telah dicairkan dengan temperatur media berkisar pada 40ºC, digunakan juga kontrol yang hanya berisi media dan larutan pengencer (larutan fisiologis steril). Piring petri selanjutnya diinkubasi pada temperatur 35-37ºC selama 24-48 jam. (Depkes, 1995) Hasil Dan Pembahasan
Kapsul Ekstrak Air daun belimbing wuluh Formulasi ekstrak air daun belimbing wuluh adalah bentuk sediaan kapsul. Sediaan kapsul dipilih karena pengerjaan yang mudah dan ekonomis. Selain itu, itu, formulasi menjadi bentuk kapsul ditujukan untuk mengurangi rasa dan bau yang tidak enak. Penentuan kandungan ekstrak air daun belimbing wuluh tiap kapsul berdasarkan hasil uji efek antihipertensi ekstrak air daun belimbing wuluh terhadap tikus Wistar jantan. (Afifah, 2010) Kapsul hasil formulasi ekstrak air daun belimbing wuluh dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh a.
b.
c.
d.
Evaluasi Kapsul Ekstrak Air daun belimbing wuluh Waktu hancur Hasil pengujian waktu hancur kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) adalah 6 menit sehingga dapat dikatakan bahwa kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) memenuhi persyaratan. Keseragaman bobot Hasil pengujian keseragaman bobot kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) adalah 497 ± 18,0 mg, sehingga dapat dikatakan bahwa kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh memenuhi persyaratan. Kadar air Menurut persyaratan, kadar air maksimum adalah 10% sedangkan hasil penetapan kadar air kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) adalah 3,88% sehingga dapat dikatakan bahwa kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh memenuhi persyaratan wuluh. Cemaran aflatoksin Hasil KLT kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh menunjukkan bahwa kapsul berisi ekstrak air daun belimbing wuluh tidak tercemar aflatoksin. Pemeriksaan cemaran aflatoksin perlu dilakukan terutama bila penyimpanan ekstrak tidak dilakukan dengan baik. Aflatoksin yang dihasilkan Aspergillus flavus yang mungkin tumbuh dapat menimbulkan kerusakan hati dan bersifat karsinogenik apalagi jika digunakan terus menerus. (Kepmenkes, 1994).
40 ISBN 978-602-70361-0-9
Keterangan Fase diam : pelat prasalut Kieselgel GF254 (E.Merck) Sistem pengembang : campuran kloroform : aseton (9 : 1) 1 : pembanding (aflatoksin) 2 : ekstrak air daun belimbing wuluh + aflatoksin 3 : ekstrak air daun belimbing wuluh
Gambar 3. Kromatogram Pemeriksaan cemaran aflatoksin e.
Cemaran mikroba Hasil pengujian cemaran bakteri kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh adalah negatif, sehingga dapat dikatakan bahwa kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh memenuhi persyaratan. Hasil pengujian cemaran kapang dan khamir kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh adalah negatif, sehingga dapat dikatakan bahwa kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh memenuhi persyaratan. Hasil pengujian cemaran mikroba (E. coli, Salmonella sp, dan Pseudomonas aeruginosa) kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh adalah negatif, sehingga dapat dikatakan bahwa kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh memenuhi persyaratan.
Hasil evaluasi sediaan kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil evaluasi sediaan kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) No.
Jenis pemeriksaan
Pustaka acuan/Metode
1.
Pemerian serbuk (Organoleptik)
Materia Medika Indonesia
2. 3.
Kadar air serbuk Waktu hancur kapsul
4.
Keseragaman bobot kapsul
5.
Cemaran aflatoksin
Materia Medika Indonesia Farmakope Indonesia IV Lampiran Kep. Menkes. RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 Lampiran Kep. Menkes. RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994
6.
Cemaran mikroba: cemaran bakteri (angka lempeng total), angka kapang dan khamir, E. coli Salmonella sp Pseudomonas aeruginosa
Farmakope Indonesia IV
Hasil Warna coklat abu, bau lemah, rasa pahit 3,88% 6 menit 497 ± 18,0 mg Negatif 0 CFU/g 0 CFU/g 0 CFU/g 0 CFU/g 0 CFU/g
Keterangan : CFU = Colony Forming Unit
4.
Kesimpulan
Hasil evaluasi kapsul ekstrak air daun belimbing wuluh dengan kadar 500 mg ekstrak per kapsul, telah memenuhi persyaratan Kepmenkes RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Obat Tradisional. Daftar Pustaka Afifah, B.S., Sukandar, E.Y., Kusmaningati, S., Vikasari, S.N., dan Anisa, I.N., 2010, Efek Antihipertensi Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) pada tikus Wistar, Seminar Nasional IAI, Makasar.Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Cara pembuatan simplisia. Jakarta: Depkes RI; 1985. Hal. 4-20. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi 4, Depkes RI, Jakarta, Hal. 388-389. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1989, Materia Medika Indonesia, Jilid V, Depkes RI, Jakarta, Hal. 92 – 96.
41 ISBN 978-602-70361-0-9
Kepmenkes RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional. Morton J., 1987, Bilimbi in Fruits of Warm Climates, Florida, Hal. 128 – 129. Pushparaj P, Tan CH, Tan BKH, 2000, Effects of Averrhoa bilimbi leaf extract on blood glucose and lipids in streptozotocin-diabetic rats, J Ethnopharmacol, Vol. 72, hal.69-76.
42 ISBN 978-602-70361-0-9
Efek Antidiare Ekstrak Etanol Kulit Batang Mindi (Melia azedarach Linn) Terhadap Mencit Swiss Webster Jantan Linda P. Suherman*, Faizal Hermanto Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi, Unjani, Jl Terusan Jenderal Sudirman Cimahi 40533 *E-mail :
[email protected]
Abstract Mindi is one of the herbs used to treat diarrhea in Indonesian community. The aim of this study is to determine the anti-diarrheal effect of ethanol extracts of mindi barks in oleum ricini induced mice and intestinal transit method. Ethanol extract is made by using Soxhlet. Anti-diarrheal effect was observed with parameters including diarrhea duration, frequency of diarrhea, diarrhea onset, stool consistency, and stool weight. The results were analyzed statistically using anova and t-test. The results showed that diarrhea duration of ethanol extracts of mindi barks (KBM) 340 and 511 mg/kgbw are shorter than control group. Frequency of diarrhea of KBM 340 mg/ kg bw at 60 and 120 minutes , KBM 511 mg/kg bw at minute 90, KBM 682 mg/kg bw at minute 120 are shorter than control group and all showed significantly different compared to that of control group (p<0,05). Diarrhea onset of KBM 340 and 511 mg/kgbw are longer than control group. KBM 340 mg/kgbw at minutes 60, 150, 240 and 360 increased stool consistency than control group. KBM 340 mg/ kgbw at 60 - 240 and 360 minutes decreased stool weight than control group. The intestinal transit method of KBM 340 , 511 and 682 mg/kg bw inhibited activation of intestine peristaltic compared to that of control group and KBM 340 mg/kg bb showed significantly different compared to that of control group (p<0,05). The result showed that ethanol extracts of mindi barks 340, 511 and 682 mg/kg bb had anti-diarrheal effects and KBM 340 mg/kgbw had best anti-diarrheal effect. Keywords: Mindi, Melia azedarach Linn, anti-diarrheal, intestinal transit method, ethanol extract 1.
Pendahuluan
Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena masih sering timbul dalam bentuk Kejadian Luar Biasa (KLB), dan disertai dengan kematian yang tinggi, terutama di Indonesia Bagian Timur. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007, menunjukkan bahwa penyakit diare merupakan penyebab utama kematian pada balita. (Kemenkes RI., 2011). Pada diare hebat seringkali disertai muntah-muntah, tubuh kehilangan banyak air dengan garam-garamnya, terutama natrium dan kalium, sehingga mengakibatkan tubuh kekeringan (dehidrasi), kekurangan kalium (hipokalemia), dan adakalanya asidosis (darah menjadi asam), yang tidak jarang berakhir dengan syok dan kematian. (Tjay dkk, 2002). Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan diare dikelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu antimotilitas, adsorben, antisekresi, antibiotik, enzim dan mikroflora usus. (Sukandar dkk, 2008). Tanaman obat merupakan sumber yang potensial untuk digunakan sebagai obat antidiare. Salah satunya adalah daun mindi (Melia azedarach Linn). Kandungan kimia daun mindi adalah alkaloid, flavonoid, saponin dan polifenol. (Depkes RI, 2000). Hasil penelitian Kurniawan (2007) menunjukkan bahwa hasil uji fitokimia daun mindi mengandung alkaloid, kuinon, flavonoid, saponin, tanin, polifenol, steroid, terpenoid dan Infusa daun mindi kecil (Melia azedarach Linn) memiliki aktivitas sebagai antidiare pada dosis 7% b/v. Berdasarkan hal tersebutdi atas, maka peneliti akan menguji efek anti diare ekstrak etanol kulit batang mindi (Melia azedarach Linn) pada mencit Swiss webster jantan dengan metode ekstraksi yang berbeda, dengan tujuan untuk mengetahui secara ilmiah penggunaan kulit batang mindi (Melia azedarach Linn) sebagai antidiare dan diharapkan akan terus dilakukan pengembangan obat tradisional kulit batang mindi sehingga dapat digunakan sebagai obat herbal terstandar untuk pengobatan diare. 2.
Metode
Penelitian ini menggunakan bahan kulit batang mindi (Melia azedarach Linn), pakan mencit, Na CMC 0,5%, minyak jarak (Oleum ricini), norit, kertas saring, air suling, etanol dan loperamid BPFI. Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit Swiss Webster jantan dengan bobot 20-35 gram dengan umur rata-rata 8 minggu yang diperoleh dari Pusat Ilmu Hayati Institut Teknologi Bandung. Pembuatan Ekstrak Etanol Kulit Batang Mindi (Melia azedarach Linn) dilakukan dengan cara Simplisia diekstraksi menggunakan etanol 96% dengan seperangkat alat Soxhlet. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dengan
43 ISBN 978-602-70361-0-9
rotary eveporator, diuapkan di atas penangas air dan dikeringkan pada oven bersuhu 60 oC. Rendemen ekstrak etanol kulit batang mindi yang dihasilkan sebesar 8,74%. Efek antidiare ekstrak etanol kulit batang mindi (Melia azedarach Linn) diuji dengan metode transit intestinal dan metode proteksi diare yang diinduksi oleh oleum ricini. (KKIPM, 1993). Hewan uji dibagi 5 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 6 ekor , yaitu kelompok kontrol, diberi suspensi Na CMC 0,5%. Kelompok pembanding, diberi suspensi Loperamid 0,26 mg/kg bb. Kelompok KBM 1, diberi suspensi ekstrak etanol kulit batang mindi 340 mg/kg bb. Kelompok KBM 2, diberi suspensi ekstrak etanol kulit batang mindi 511 mg/kg bb. Kelompok KBM 3, diberi suspensi ekstrak etanol kulit batang mindi 682 mg/kg bb. 2.1
Metode proteksi diare yang diinduksi oleh Oleum ricini.
Mencit dipuasakan selama satu jam sebelum pengujian dimulai. Diberi sediaan per oral 0,5 ml/20 g bb pada setiap kelompok uji. Mencit ditempatkan di dalam bejana individual yang beralaskan kertas saring pengamatan yang terlebih dahulu di timbang. Satu jam setelah perlakuan, tiap mencit diberi 0,75 ml Oleum ricini. Respon yang terjadi pada mencit diamati selang waktu 30 menit selama 4 jam, kemudian selang waktu 60 menit sampai 6 jam setelah pemberian induksi Oleum ricini. Parameter yang diamati adalah frekuensi diare, konsistensi feses, bobot feses, waktu timbul diare dan durasi diare. Data dianalisis secara statistika dengan uji-t dan anova menggunakan perangkat lunak SPSS 20.0. 2.2
Metode transit intestinal.
Mencit dipuasakan terlebih dahulu selama kurang lebih 18 jam sebelum percobaan, tetapi air minum tetap diberikan. Pemberian ekstrak uji, pembawa atau pembanding diberikan pada saat t = 0. Setelah t = 45 menit, mencit diberi suspensi norit sebanyak 0,1 ml/10 g secara oral. Pada t = 65 menit, mencit dikorbankan secara dislokasi tulang leher. Usus mencit dikeluarkan secara hati-hati jangan sampai terenggang. Panjang seluruh usus dan bagian usus yang dilalui marker norit mulai dari pilorus sampai ujung akhir (berwarna hitam) diukur dari masing-masing hewan. Dihitung rasio jarak yang ditempuh marker terhadap panjang usus keseluruhan. Data dianalisis secara statistika dengan metode uji-t menggunakan perangkat lunak SPSS 20.0. 3.
Hasil dan Pembahasan
Pengujian efek antidiare ini menggunakan dua metode yang saling berkaitan yaitu metode proteksi diare yang diinduksi oleh Oleum ricini dan metode transit intestinal. Pada metode proteksi diare digunakan Oleum ricini sebagai penginduksinya. Oleum ricini merupakan trigliserida dari asam risinoleat yang dapat terhidrolisis dalam usus oleh lipase menjadi gliserin dan asam risinoleat. Sebagai surfaktan anionik zat ini bekerja mengurangi absorpsi neto cairan dan elektrolit serta menstimulasi peristaltik usus, sehingga Oleum ricini dapat menyebabkan diare. Parameter yang diamati pada metode proteksi diare yang diinduksi oleh Oleum ricini adalah frekuensi diare, bobot feses, konsistensi feses, waktu timbul diare dan lama diare. Parameter pertama yang diamati pada metode proteksi diare yang diinduksi oleh Oleum ricini adalah frekuensi diare yang dapat dilihat pada gambar 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 340 mg/kg bb menunjukkan frekuensi diare yang lebih sedikit pada menit ke 60 dan menit ke 120 dan menunjukkan perbedaan bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,05). Kelompok ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 511 mg/kg bb menunjukkan frekuensi diare yang lebih sedikit pada menit ke 90 dan menunjukkan perbedaan bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,05). Kelompok ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 682 mg/kg bb menunjukkan frekuensi diare yang lebih sedikit pada menit ke 120 dan menunjukkan perbedaan bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,05). Parameter kedua yang diamati pada metode proteksi diare yang diinduksi oleh Oleum ricini adalah bobot feses yang dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot feses kelompok ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 340mg/kg bb pada menit ke 60-240 dan menit ke 360 memiliki bobot feses lebih ringan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 511 mg/kg bb pada menit ke 90, 150-210 dan menit ke 300-360 memiliki bobot feses lebih ringan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 682 mg/kg bb pada menit ke 60-90 , 90, 150-210 dan menit ke 360 memiliki bobot feses lebih ringan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
44 ISBN 978-602-70361-0-9
Menit ke-30 Menit ke-90 Menit ke-150 Menit ke-210 Menit ke-300
2.75
Frekuensi diare
2.25
Menit ke-60 Menit ke-120 Menit ke-180 Menit ke-240 Menit ke-360
1.75 1.25 0.75 0.25
-0.25
kontrol
Loperamid 0,26 mg/kg bb
KBM 340 mg/kg bb
KBM 511 mg/kg bb
KBM 682 mg/kg bb
Kelompok uji Gambar 1. Diagram batang frekuensi diare ekstrak etanol kulit batang mindi Parameter ketiga yang diamati pada metode proteksi diare yang diinduksi oleh Oleum ricini adalah konsistensi feses yang dapat dilihat pada Gambar 2. Konsistensi feses dikategorikan menjadi 5 yaitu padat (1), padat lembek (2), lembek (3), lembek cair (4) dan cair (5). Konsitensi feses dinilai dengan menggunakan scoring, sehingga kelompok yang dinyatakan memiliki efek antidiare adalah kelompok yang menunjukkan angka konsistensi paling kecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsistensi feses kelompok ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 340 mg/Kg bb lebih kecil pada menit ke 60, 150, 240 dan 360 dibandingkan dengan kelompok kontrol. Konsistensi feses kelompok ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 511 mg/Kg bb lebih kecil pada menit ke 60, 150, 240 - 360 dibandingkan dengan kelompok kontrol. Konsistensi feses kelompok ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 682 mg/Kg bb lebih kecil pada menit ke 60, 150, 240 dan 360 dibandingkan dengan kelompok kontrol. Tabel 1. Data bobot feses ekstrak etanol kulit batang mindi Kelompok uji
Bobot feses pada menit ke30 60 90 120
Kontrol
0,000 ±0,000
Loperamid 0,26 mg/kg bb
0,000 ±0,000
KBM 340 mg/kg bb
0,034 ±0,029
KBM 511 mg/kg bb
0,054 ±0,064
KBM 682 mg/kg bb
0,022 ±0,035
0,186 ±0,212 0,024 ±0,027 * 0,026 ±0,029 * 0,266 ±0,235 * 0,156 ±0,174 *
0,520 ±0,898
0,200 ±0,289
0,197 ±0,303
0,198 ±0,244
0,340 ±0,256 * 0,244 ±0,284 * 0,317 ±0,193 *
0,179 ±0,175 * 0,319 ±0,078 * 0,214 ±0,091 *
150
180
210
0,313 ±0,287 0,072 ±0,118 * 0,140 ±0,185 * 0,135 ±0,228 * 0,164 ±0,128 *
0,188 ±0,319
0,142 ±0,184
240 0,030 ±0,052
300 0,031 ±0,036
360 0,081 ±0,113
0,049 ±0,087
0,010 ±0,012
0,056 ±0,098
0,046 ±0,071
0,009 ±0,022
0,098 ±0,09 *
0,012 ±0,020
0,080 ±0,075
0,009± 0,021
0,083 ±0,121
0,018 ±0,028
0,005± 0,013
0,039 ±0,064
0,061 ±0,037
0,031± 0,043
0,082 ±0,157 * 0,076 ±0,074 * 0,061 ±0,109 *
0,121 ±0,083 * 0,061 ±0,115 *
Keterangan :n=6; *p<0,05 dibandingkan terhadap kelompok kontrol menggunakan Uji-t
Parameter keempat yang diamati pada metode proteksi diare yang diinduksi oleh Oleum ricini adalah waktu timbul diare yang dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 340 dan 511 mg/kg bb memiliki onset diare yang lebih lama dibanding kelompok kontrol. Sedangkan kelompok ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 682 mg/kg bb memiliki onset diare yang lebih pendek dibanding dengan kelompok kontrol yaitu 54,687±7,118 menit.
45 ISBN 978-602-70361-0-9
menit ke-30 menit ke-90 menit ke-150 menit ke-210 menit ke-300
4.5
Konsistensi Feses
4.0
3.5
menit ke-60 menit ke-120 menit ke-180 menit ke-240 menit ke-360
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 kontrol
Loperamid 0,26 mg/kg bb
KBM 340 mg/kg bb
KBM 511 mg/kg bb
KBM 682 mg/kg bb
Waktu pengamatan (menit) Gambar 2. Diagram batang konsistensi feses ekstrak etanol kulit batang mindi Keterangan : Kategori konsistensi feses : 1 = padat 2 = padat lembek
3 = lembek
Waktu timbul diare (menit)
200
4 = lembek cair
5 = cair
176.7
180 160
140 120 100 80
74.167
64.5
58.3
60
54.687
40 20 0 Kontrol
Loperamid KBM 340 0,26 mg/kg mg/kg bb bb
KBM 511 mg/kg bb
KBM 682 mg/kg bb
Kelompok uji
Gambar 3. Diagram batang waktu timbul diare ekstrak etanol kulit batang mindi Parameter kelima yang diamati pada metode proteksi diare yang diinduksi oleh Oleum ricini adalah durasi diare yang dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 340 mg/Kg bb dan ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 511 mg/Kg bb memiliki durasi diare yang lebih pendek dibandingkan kelompok kontrol sedangkan kelompok ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 682 mg/kg bb memiliki durasi diare yang lebih panjang dibandingkan kelompok kontrol.
46 ISBN 978-602-70361-0-9
300 250.333
Durasi diare (menit)
250
221.333 195.500
200
180.833
150 98.167
100 50 0 Kontrol
Loperamid KBM 340 0,26 mg/kg mg/kg bb bb
KBM 511 mg/kg bb
KBM 682 mg/kg bb
Kelompok uji
Gambar 4. Diagram batang durasi diare ekstrak etanol kulit batang mindi Metode yang kedua dalam uji efek antidiare ekstrak etanol kulit batang mindi adalah metode transit intestinal. Prinsip dari metode ini adalah membandingkan panjang usus yang dilalui marker terhadap panjang usus keseluruhan. Marker yang digunakan adalah suspensi norit 5% dalam Na CMC 0,5%. Norit merupakan senyawa yang bersifat adsorbensia dan tidak dapat dicerna. Semakin kecil rasio usus maka dinyatakan memberikan efek antidiare lebih baik. Rata-rata rasio usus yang didapatkan dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa kelompok kontrol memiliki persen rasio yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya. Hasil penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 2 menunjukkan ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 340 mg/Kg bb memiliki rasio panjang usus lebih kecil dan menunjukkan perbedaan bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,05). Ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 511 dan 682 mg/Kg bb memiliki rasio panjang usus lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol. Semua kelompok uji dapat menghambat peristaltik usus dibandingkan kelompok kontrol. Tabel 2. Rasio Panjang Usus yang Ditempuh Marker Terhadap Panjang Usus Keseluruhan Ekstrak Etanol Kulit Batang Mindi Kelompok Kontrol Loperamid 0,26 mg/kg bb KBM 340 mg/kg bb KBM 511 mg/kg bb KBM 682 mg/kg bb
Rasio panjang usus (x/y) 0,51 ± 0,05 0,19 ± 0,04* 0,37 ± 0,08* 0,49 ± 0,02 0,44 ± 0,06
Keterangan : n=6 *p<0,05 jika dibandingkan kelompok kontrol menggunakan Uji-t x = panjang usus yang dilalui marker ; y = panjang usus keseluruhan mencit 4.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan frekuensi diare, bobot feses, konsistensi feses, waktu timbul diare, durasi diare dan rasio panjang usus yang ditempuh marker terhadap panjang usus keseluruhan, ekstrak etanol kulit batang mindi dosis 340, 511 dan 682 mg/kg bb memiliki efek antidiare dibandingkan dengan kelompok kontrol dan dosis 340 mg/kg bb memiliki efek antidiare terbaik pada pengujian antidiare dengan metode proteksi yang diinduksi oleh Oleum ricini dan metode transit intestinal. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unjani yang telah mendanai penelitian ini.
47 ISBN 978-602-70361-0-9
Daftar Pustaka Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (1) jilid 1. Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. 2000. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buletin Data dan informasi kesehatan: Situasi Diare di Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. 2011. Kelompok Kerja Ilmiah PHYTO MEDICA. Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinik. Jakarta. 1993. Kurniawan, E.G. Aktivitas Antidiare Infusa Daun Mindi Kecil (Melia Azedarach Linn) Pada Mencit Galur Swiss Webster Jantan. Skripsi. Cimahi: Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jenderal Achmad Yani; 2007. Sukandar, E.Y., dkk. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan. 2008. Tjay, TH dan Rahardja. Obat-obat penting. edisi kelima. Jakarta: Kelompok Gramedia. 2002
48 ISBN 978-602-70361-0-9
Uji Bioaktivitas Ekstrak dan Fraksi Daun Kembang Dayang (Cestrum nocturnum Linn.) Terhadap Artemia salina Leach Dengan Menggunakan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) Fahrauk Faramayuda*, Julia Ratnawati, Neng Nurlaeni Kelompok Keahlian Biologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani Jalan Terusan Jenderal Cimahi *Email:
[email protected]
Abstract Kembang dayang has been known to the Indonesian people and used as traditional medicine to treat various diseases. Bioactivity testing of kembang dayang has not been widely reported, it is necessary to further test to report it’s cytotoxic potential activity using method BSLT. Extract prepared by maceration using ethanol 96% redestilate as the solvent and the fractions prepared by liquid-liquid extraction using n-hexane solvent, ethyl acetate, and water solvents. Bioactivity testing was performed using shrimp larvae Artemia salina Leach was 48 hours. Number of larvae were used are 10 larvae for each concentration. There are six treatment groups each 3 replication performed for each treatment group. Test doses of 10, 50, 100, 200 and 500 mg / mL. Data were collected for larva mortality after 24 hours was given the test material. LC50 was determined using Probit analysis. Active extracts and fractions tested phytochemical content using thin layer chromatography. LC50 of ethanol extract, water fraction, the fraction of n-hexane, ethyl acetate fraction of kembang dayang leaves is 44.9658 g / mL, 105.3214 mg / mL, 165.8083 mg / mL and 183.0291 mg /mL. The administering of ethanol extract and fraction of kembang dayang leaf had a cytotoxic activity to Artemia salina Leach larvae indicated by LC50 value <1000 µg/mL. Keywords: Kembang dayang, BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), Toxicity, Artemia salina Leach, probit analysis, LC50.
1.
Pendahuluan
Obat tradisional Indonesia merupakan warisan budaya yang telah menjadi bagian dari aspek pengobatan di Indonesia. Dewasa ini, pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional semakin diminati, karena obat tradisional lebih mudah diterima oleh masyarakat, lebih murah dan mudah didapat (Hasan, 1985). WHO merekomendasikan penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat tradisional. Sementara ini banyak orang beranggapan bahwa penggunaan tanaman obat atau obat tradisional relatif lebih aman dibandingkan obat sintesis. Walaupun demikian bukan berarti tanaman obat atau obat tradisional tidak memiliki efek samping yang merugikan, bila penggunaannya kurang tepat. Pengembangan obat tradisional tersebut perlu dilakukan dengan tepat sehingga penggunaan dan khasiatnya dapat dipertanggungjawabkan. Agar penggunaannya optimal, perlu diketahui informasi yang memadai tentang kelebihan dan kelemahan serta kemungkinan penyalahgunaan obat tradisional dan tanaman obat (Harmita dan Maksum, 2003). Salah satu tanaman obat di Indonesia yang diterima oleh masyarakat adalah kembang dayang atau Cestrum nocturnum L. Tanaman ini berkhasiat sebagai obat mencret dan penghalus kulit (Depkes, 1977). Ekstrak air, fraksi air dan fraksi etil asetat dari daun kembang dayang dapat menghambat bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia coli, khamir Candida albicans, kapang Trichophyton mentagrophytes (Sukarno, 2011). Selain itu ekstrak etanol dari daun kembang dayang mempunyai aktivitas antioksidan. Fraksi etil asetat merupakan fraksi yang mempunyai aktivitas antioksidan yang paling tinggi dan tergolong antioksidan kuat, dengan nilai EC50 sebesar 23,74 µg/mL. Hasil KLT menunjukan senyawa yang diduga bertindak sebagai senyawa antioksidan adalah golongan flavonoid (Fauziah, 2011). Pengujian toksisitas dari daun kembang dayang ini belum banyak dilaporkan, Perlu dilakukan upaya penelitian dan pengujian lebih lanjut melaui uji toksisitas dengan menggunakan brine shrimp (Artemia salina Leach). Salah satu sistem deteksi senyawa bioaktif (bioassay) yang sering digunakan adalah BSLT. Parameter
49 ISBN 978-602-70361-0-9
yang digunakan pada metode BSLT adalah kematian larva Artemia salina Leach. Hasil uji dinyatakan sebagai LC50, bila harga LC50 lebih kecil atau sama dengan 1000µg/mL (Harmita dan Radji, 2003). Keuntungan BSLT adalah cepat, murah, sederhana, perlu sedikit bahan yang mudah diperoleh dan dapat dilakukan secara berulang (Mc Laughlin, 1991). 2.
Metode
Bahan–bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah daun kembang dayang (Cestrum nocturnum L) dengan ukuran panjang 15 cm, lebar 4,5 cm. Warna hijau muda, bagian yang diambil daun muda yaitu dihitung dari pucuk sampai daun ke 5 dari pucuk. Air suling, etanol, n-heksana dan etil asetat hasil destilasi, silika gel GF 254, asam hidroklorida pekat (2 N), etanol 95%, asam asetat glasial, air suling, besi (III) klorida, larutan amonia, alumunium (III) klorida, kloroform, toluen, eter, pereaksi Anisaldehid- Asam Sulfat, pereaksi Dragendorff, pereaksi Liebermann-Burchard, pereaksi Mayer, vanilin, dan asam sulfat 10 %, kertas saring, kertas saring bebas abu, kertas whatman. Alat-alat gelas yang digunakan didalam penelitian ini adalah timbangan analitik, timbangan semi-mikro, mikroskop, tanur, rotary evapor, penangas air, seperangkat alat destilasi, oven, desikator, bejana kromatografi (chamber), blender, ball filler, corong pisah, maserator, pemanas listrik, pipet volume 5-10 mL, vial atau botol kaca, plat Kromatografi Lapis Tipis, aquarium, lampu bohlam 40 Watt, dan airator. Determinasi tanaman dan hewan uji bertujuan untuk menentukan kebenaran yang berkaitan dengan cirriciri morfologi secara makroskopis tanaman daun kembang dayang (Cestrum nocturnum Linn) terhadap kepustakaan. Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Sedangkan hewan uji larva Artemia salina Leach dideterminasi untuk menentukan kebenaran jenisnya di Musium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. 2.1
Preparasi Sampel Daun kembang dayang (Cestrum nocturnum Linn.) diperoleh dari kebun percobaan tanaman obat dan aromatik, Manoko Lembang (Jawa Barat) pada bulan Desember 2012. Penyiapan bahan ini dimulai dari proses pengumpulan bahan segar, pembersihan dari bahan pengotor seperti debu, serangga dan pengotor lainnya dengan cara dicuci menggunakan air mengalir, yang bertujuan untuk menjaga kualitas daun kembang dayang. 2.2
Preparasi Ekstrak
Pembuatan ekstrak dilakukan dengan alat maserator dengan pelarut etanol 96% redestilasi. Sampel ditimbang sebanyak 500 g kemudian dimasukkan ke dalam alat maserator yang bagian dasarnya telah dilapisi kapas, alat maserator kemudian diisi dengan pelarut etanol hingga simplisia terendam, dilakukan pengadukan secara berkala selama 6 jam pertama, lalu dibiarkan selama 24 jam. Setelah 24 jam filtrat etanol disaring dan kemudian ditambahkan kembali pelarut etanol ke dalam alat maserator untuk proses ekstraksi selanjutnya terhadap residu simplisia yang masih ada, proses tersebut diulang hingga diperoleh filtrat yang warnanya sudah memudar atau dikatakan bahwa simplisia sudah terekstraksi seluruhnya. Filtrat yang diperoleh selanjutnya di rotavaporasi dengan suhu sesuai dengan pelarut dalam keadaan vakum sampai diperoleh ekstrak pekat, lalu ekstrak pekat diuapkan di atas tangas air, sehingga diperoleh ekstrak kental etanol. Kemudian dihitung rendemen yakni perbandingan antara ekstrak yang diperoleh terhadap simplisia. Ekstrak kental yang diperoleh selanjutnya diuji kandungan fitokimia dan profil kromatografi menggunakan KLT. 2.3
Proses Pemisahan Dengan Metode Ekstraksi Cair-cair
Fraksi non polar didapatkan dengan cara ditimbang ektrak kental sebanyak 5 g, dilarutkan terlebih dahulu dengan 10 mL etanol dan pelarut air sebanyak 90 mL, larutan tersebut dimasukkan ke dalam corong pisah. Kemudian ditambahkan 100 mL pelarut n-heksana untuk menarik kandungan senyawa yang bersifat non-polar dari ekstrak. Pengocokan dilakukan secara perlahan supaya tidak terbentuk lapisan ketiga di antara pelarut air dan n-heksana, campuran didiamkan beberapa saat hingga memisah sempurna. Setelah memisah sempurna kedua lapisan dipisahkan, lapisan n-heksana disimpan didalam botol dan lapisan air diekstraksi kembali dengan pelarut n-heksana yang baru. Proses tersebut dilakukan hingga lapisan n-heksana yang diperoleh berwarna jernih atau telah dikatakan bahwa fraksi non-polar dari ekstrak telah diambil seluruhnya. Fraksi semi polar didapatkan dengan cara ekstraksi lapisan air yang diperoleh dari ekstraksi dengan n-heksana dengan menggunakan pelarut etil asetat. Masingmasing fraksi dihitung rendemennya yakni perbandingan antara ekstrak yang diperoleh terhadap simplisia. Kemudian dilakukan uji kandungan fitokimia dan profil kromatografi menggunakan KLT.
50 ISBN 978-602-70361-0-9
2.4
Penyiapan Kontrol Kontrol negatif yang digunakan pada penelitian ini yaitu larva udang Artemia salina Leach di dalam air
laut. 2.5
Uji Bioaktivitas Dengan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) Penetasan telur
Telur udang ditetaskan 2 hari sebelum dilakukan pengujian. Disiapkan aquarium yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian gelap dan bagian terang. Bagian terang dengan menggunakan lampu bohlam 40 watt, ditujukan untuk menjaga temperatur supaya tetap berada pada suhu 26-31 0C (Djarijah, 1995). Media diarasi dengan menggunakan aerator, aerasi ini berguna untuk mengaduk siste agar tidak mengendap didasar wadah, selain itu bertujuan untuk menambah kadar oksigen (Djarijah, 1995). Telur udang yang akan ditetaskan terlebih dahulu direndam dengan menggunakan air suling selama ± 1 jam, kemudian ditiriskan sampai airnya habis lalu telur ditempatkan pada bagian gelap yang sudah berisi air laut yang sudah disterilkan terlebih dahulu dengan cara memanaskan selama 30 menit setelah mendidih. Larva yang digunakan yaitu larva yang berumur 48 jam. 2.6
Persiapan Larutan Sampel Uji
Ekstrak dan fraksi yang akan diuji dibuat dalam konsentrasi 10 µg/mL, 50 µg/mL, 100 µg/mL, 200 µg/mL dan 500 µg/mL didalam air laut. 2.7
Prosedur Uji Bioaktivitas Dengan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)
Penyiapan ekstrak uji yaitu dengan membuat variasi konsentrasi dengan cara ditimbang masing – masing ekstrak dan fraksi sebanyak 50 mg ekstrak kental kemudian dilarutkan didalam air laut sebanyak 50 mL (1000 µg/ml). Dari larutan induk tersebut dipipet sebanyak 0,1 mL, 0,5 mL, 1,0 mL, 2,0 mL, dan 5,0 mL, masingmasing larutan ditambahkan 3 mL air laut supaya larutan uji tidak terlalu pekat. Kemudian dimasukan 10 ekor larva udang dan ditambahkan air laut sampai volumenya menjadi 10 mL di dalam vial, sehingga konsentrasinya masing-masing menjadi 10, 50, 100, 200 dan 500 µg/mL. Kontrol uji dilakukan tanpa penambahan sampe, dan untuk setiap konsentrasi dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Vial- vial tersebut diletakan dibawah penerangan, jumlah larva yang mati dihitung dengan cara manual. 2.8.
Analisis Data
Perhitungan mortalitas dilakukan dengan cara: mengakumulasikan larva yang mati dengan jumlah akumulasi hidup dan mati (total) dikali 100%. Grafik dibuat dengan log konsentrasi sebagai sumbu x terhadap mortalitas sebagai sumbu y. Nilai LC50 merupakan konsentrasi dimana zat menyebabkan kematian 50% yang diperoleh dengan memakai persamaan regresi linier. 3.
Hasil dan Pembahasan
3.1.
Determinasi Tanaman dan Penyiapan Simplisia
Pada penelitian ini, simplisia uji yang digunakan adalah daun kembang dayang (Cestrum nocturnum Linn.) yang diperoleh dari kebun percobaan tanaman obat dan aromatik, Manoko, Lembang, Jawa Barat. Kemudian dilakukan determinasi tanaman di Herbarium Bandungense, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Hasil determinasi menunjukan bahwa tanaman uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesies Cestrum nocturnum Linn dari suku Solanaceae. Hewan uji yang digunakan adalah telur udang yang diperoleh dari Toko Laksana, Karapitan, Bandung. Dilakukan determinasi hewan di Musium Bandungense, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Hasil determinasi menunjukan bahwa hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesies Artemia salina Leach dari suku Artemidae. Determinasi bertujuan untuk memastikan kebenaran identitas suatu spesies dari daun serta hewan yang digunakan dalam penelitian ini. Karena setiap spesies memiliki karakteristik yang tersendiri. Penyiapan simplisia daun kembang dayang, dimulai dari proses pengumpulan bahan segar, pembersihan dari bahan pengotor seperti debu, serangga dan pengotor lainnya dengan cara dicuci menggunakan air mengalir, yang bertujuan untuk menjaga kualitas daun kembang dayang. Untuk mencegah terjadinya reaksi enzimatis atau hidrolisis pada sel jaringan tumbuhan, serta mencegah terjadinya pertumbuhan jamur, bakteri dan pencemar lainnya, maka daun dikeringkan. Proses pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari secara tidak langsung. Simplisia mengalami proses pengecilan ukuran dengan cara digiling sampai menjadi serbuk. Pemilihan dalam bentuk serbuk yaitu supaya luas permukaan simplisia menjadi lebih besar, sehingga area kontak simplisia dengan pelarut lebih besar maka penarikan metabolit sekunder oleh pelarut lebih maksimal.
51 ISBN 978-602-70361-0-9
3.2
Pemeriksaan Karakteristik Simplisia
Karakteristik simplisia dapat ditentukan dengan cara pemeriksaan organoleptis, mikroskopik, penentuan kadar sari larut dalam air, penentuan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar air, penetapan kadar abu total, penentuan kadar abu larut air, dan penentuan kadar abu tidak larut asam. Pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik dilakukan untuk mengetahui identitas dan karakteristik penanda khas pada simplisia tersebut. Pemeriksaan makroskopik diperoleh simplisia berbentuk serbuk kasar, berwarna hijau tua kecoklatan, rasa pahit dan bau aromatik. Pemeriksaan mikroskopik pada tanaman segar diperoleh epidermis, stomata tipe diasitik dan parenkim. Sedangkan pada simplisia diperoleh stomata tipe diasitik, epidermis, dan rambut penutup. Pada daun kembang dayang kadar sari air 24,3117%b/b ±0,2402%b/b lebih besar dari kadar sari larut etanol 4,123%b/b ±0,3607%b/b hal ini menandakan bahwa simplisia daun kembang dayang mengandung senyawa polar yang lebih tinggi dibanding senyawa non-polar. Kadar abu total daun kembang dayang diperoleh sebesar 15,9875%b/b ±0,2790. Kadar abu larut air menunjukkan adanya abu fisiologis yang larut dalam air yaitu golongan logam alkali dan alkali tanah seperti natrium, kalium, kalsium, dan magnesium. Sedangkan kadar abu tidak larut asam menunjukkan adanya silika dalam pasir. Penetapan kadar air dilakukan dengan metode destilasi dengan menggunakan pelarut toluena yang telah dijenuhkan terlebih dahulu dengan air. Kadar airsimplisia daun kembang dayang sebesar 6,267% v/b±0,462. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar air pada simplisia tersebut memenuhi persyaratan yaitu tidak lebih dari 10% v/b. Penapisan fitokimia simplisia, ekstrak dan fraksi merupakan informasi awal untuk mengetahui adanya komponen metabolit sekunder pada simplisia secara kualitatif yang mempunyai aktivitas biologi. Tabel 1. Penapisan fitokimia daun kembang dayang (Cestrum nocturnum Linn.) No
Senyawa
Simplisia
1 2 3 4 5 6 7
Alkaloid Flavonoid Polifenol Tannin Kuinon Saponin Monoterpen seskuiterpen Steroid triterpenoid
+ + + + + + +
8 + Keterangan: + = mengandung metabolit sekunder - = tidak mengandung metabolit sekunder
3.3
Ekstrak etanol + + + +
Fraksi air + + + +
Fraksi etil asetat + + + +
Fraksi n-hekana + +
+
-
-
+
Prosedur Uji Bioaktivitas dengan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)
Tabel 2. Pengaruh Ekstrak Dan Fraksi Daun Kembang Dayang (Cestrum nocturnum Linn.) terhadap kematian larva Artemia salina Leach Sampel Ekstrak etanol Fraksi air Fraksi etil asetat Fraksi n-heksana
Regresi linier Y= 2,2514x + 1,2787 Y= 4,6188x – 4,3416 Y= 3,9290x – 3,8895 Y= 1,6225x + 1,3987
r 0,9149 0,9935 0,9923 0,9866
LC50(µg/Ml) 44.9658 105.3214 183.0291 165.8083
Terlihat bahwa pada ekstrak etanol, fraksi n-heksana, fraksi etil asetat dan fraksi air mempunyai aktivitas toksik dimana maing-masing ekstrak dan fraksi menghasilkan nilai LC50 ≤1000 µg/mL (Meyer et al, 1982). Nilai LC50 ekstrak etanol daun kembang dayang memiliki nilai yang paling kecil dibandingkan dengan semua fraksi daun kembang dayang. Hal ini menandakan bahwa senyawa toksik yang ada didalam ekstrak merupakan gabungan dari metabolit sekunder, dimana masing-masing metabolit sekunder ini memiliki sel target tersendiri. Semakin bertambah konsentrasi ekstrak uji, jumlah naupli mati relatif bertambah,variasi ini diperkirakan karena perbedaan kelarutan substansi toksik yang terdapat di dalam daun kembang dayang. Adanya flavonoid dalam lingkungan sel, menyebabkan gugus OH- pada flavonoid berikatan dengan protein integral membran sel. Hal ini menyebabkan terbendungnya transport aktif Na + & K+. Transpor aktif yang berhenti
52 ISBN 978-602-70361-0-9
menyebabkan pemasukan ion Na+ yang tidak terkendali ke dalam sel, hal ini menyebabkan pecahnya membran sel (Scheuer, 1994). Selain flavonoid, senyawa lain yang terkandung dalam daun kembang dayang. Yaitu alkaloid, monoterpen-seskuiterpen dan steroid. Cara kerja senyawa-senyawa tersebut adalah dengan bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut. Oleh karena itu, bila senyawa-senyawa ini masuk ke dalam tubuh larva, alat pencernaannya akan terganggu. Selain itu, senyawa ini menghambat reseptor perasa pada daerah mulut larva. Hal ini mengakibatkan larva gagal mendapatkan stimulus rasa sehingga tidak mampu mengenali makanannya. Akibatnya, larva mati kelaparan (Rolliana, 2010). 4.
Kesimpulan
LC50 dari ekstrak etanol daun kembang dayang adalah 44.9658 µg/mL, LC50 dari fraksi air adalah 105,3214 µg/mL, LC50 fraksi n-heksana adalah sebesar 165.8083 µg/mL, LC50 dari fraksi etil asetat adalah sebesar 183,0291 µg/mL.Ekstrak etanol dan fraksi daun kembang dayang (Cestrum nocturnum Linn) memiliki potensi toksik terhadap Artemia salina Leach karena nilai LC50 kurang dari 1000 µg/mL. Daftar Pustaka Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1977. Materia Medika Indonesia, Jilid I, Direktorat Jederal Pengawasan Obat dan Bahan Makanan, Hlm 129-136, 141-146. Jakarta. Djarijah, A.S. 1995. Pakan Ikan Alami. Kanisius. Yogyakarta. Fauziah, R. 2011. Uji AktivitasAntioksidanEkstrak dan Fraksi Daun Kembang Dayang (Cestrum nocturnum L), Skripsi. Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA, Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi. Harmita dan Radji, M. 2008. Buku Ajar Analisis Hayati, Edisi 3, Penerbit buku kedokteran EGC, Hlm 86-88. 7677. Jakarta. Hasan R. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak 11th, Ed.Staff Pengajar Bagian Anak FK UI.: 1072-1077. Jakarta. Mc Laughlin, J.L. 1991. Crown Gall Tumours on Potato Discs and Brine Shrimp Lethality: Two Simple Bioassays for Higher Plant Screening and Fractionation .Methods in Plant Biochemistry, 4 -10, Washington, D.C. Meyer, B.N., N.R. Ferrigni, J.E. Putman, L.B. Jacobsen, D.E. Nichols, and J.L. Mc Laughlin. 1982. Brine Shrimp: A Convenient General Bioassay for Active Plant Constituents, J. of Med. Plant Research Planta Med, 3134. USA. Rolliana, Ercila Rizky. 2010. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Kamboja (Plumeria alba L.)Terhadap Larva Artemia salina Leach Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. Scheuer, J. S. 1994. Produk Alami Lautan. Cetakan pertama. IKIP Semarang Press. Semarang. Sukarno, A.W. 2011. Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Dan Fraksi Daun Kembang Dayang (Cestrum nocturnum L.) Terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Candida albicans, dan Trichopyton mentagrophytes. Skripsi. Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA, Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi.
53 ISBN 978-602-70361-0-9
Efek Antihipertrigliseridemia Ekstrak Etanol Sirih Merah pada Tikus Wistar Jantan Puspa Sari Dewi*, dan Ita Nur Anisa Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi, Unjani, Jalan Terusan Jenderal Sudirman Cimahi *
E-mail:
[email protected]
Abstract Piper crocatum Ruiz and Pav has been used traditionally for decrease lipid blood level. In this study, the effect of ethanol extract of Piper crocatum Ruiz and Pav has been determined on lipid blood level of Wistar rats in hypertriglyceridemic induced rats. Twenty five male rats weighing 180-200 g were divided into five groups receiving Piper crocatum Ruiz and Pav extract at three different doses, atorvastatin as a reference of antihypertriglyceridemic drug and one control group. The extract was given daily for 14 days at the same time as the administration of propylthiouracil and food high in cholesterol content to induce hipertriglyceridemic. The serum levels of triglyceride were measured after 3, 7 and 14 days of treatment. The result were analyzed statistically using t-test. The result shows that ethanol extract of Piper crocatum Ruiz and Pav dose 200 mg kg -1bw decreased triglyceride level compare to control group after 3 days of treatment and most lower after 7 and 14 days of treatment but did not show statistic significantly. Keywords: Piper crocatum Ruiz and Pav, triglyceride, extract
1.
Pendahuluan
Kondisi kelainan metabolisme lipid disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya karena gangguan metabolisme glukosa (diabetes mellitus) ataupun karena kesalahan pola makan. Makanan yang mengandung lemak tinggi dalam tubuh kita akan dicerna, diabsorpsi dan diubah menjadi trigliserida melalui jalur pembentukan lipid eksogen. Peningkatan kadar trigliserida dalam darah menjadi faktor resiko terjadinya penyakit jantung koroner (PJK). Penyakit jantung koroner (PJK) adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh adanya penyempitan dan penyumbatan arteri koronaria yang mengalirkan darah ke otot jantung. Berdasarkan data WHO (Maret 2013) bahwa penyakit jantung merupakan penyakit penyebab kematian nomor 1 di dunia dan sekitar 17,3 juta jiwa meninggal karena PJK pada tahun 2008. Jumlah orang yang meninggal karena PJK terutama karena penyakit jantung dan stroke diperkirakan akan meningkat sampai 23,3 juta jiwa pada tahun 2030 (Mathers, 2006). Pencegahan penyakit kardiovaskuler dapat dilakukan dengan cara menghindari faktor resikonya seperti merokok, diet tak sehat, obesitas, tekanan darah tinggi, diabetes serta peningkatan kadar lipid. Selain itu dapat pula kita gunakan obat-obat yang memiliki khasiat menurunkan tekanan darah, mengurangi obesitas serta menurunkan kadar lipid darah. Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman sumber daya alam yang tinggi. Akan tetapi, kekayaan dan keanekaragaman ini belum dieksplorasi secara optimal sehingga kemanfaatannya pun banyak yang belum diketahui, salah satunya adalah tanaman sirih merah. Salah satu khasiat tanaman sirih merah adalah dapat menurunkan kolestrol dan mencegah stroke sehingga tanaman ini berpotensi pula untuk menurunkan angka kejadian PJK. Oleh karena itu, pada penelitian ini telah diuji efek antihipertrigliseridemia ekstrak etanol sirih merah pada tikus Wistar jantan. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi kesehatan masyarakat Indonesia khususnya, bahwa tanaman sirih merah dapat digunakan untuk mencegah PJK. 2.
Metode
Penelitian ini menggunakan tanaman sirih merah, Carboxy Methyl Cellulosa Natrium (CMC Na), atorvastatin dan aquadest. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang tikus, kandang retriksi, timbangan tikus (Tanita KD-160), timbangan analitik (Sartorius BL 210), sonde oral, spuit 5 ml, tabung ependorf, sentrifuge (Boeco – Germany), mikrolab 300, mikropipet (Biohit), oven (Memmert), seperangkat alat Soxhlet, mortar dan stamper. Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus Wistar jantan yang sehat dengan bobot ratarata 180 – 200 gram. Hewan-hewan dipelihara dibawah kondisi normal yaitu 12 jam gelap dan 12 jam terang serta
54 ISBN 978-602-70361-0-9
mendapat makanan dan minuman yang cukup. Tikus diaklimatisasi di lingkungan laboratorium selama 7 hari sebelum percobaan. Tikus dibagi secara acak menjadi 5 kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Pembuatan ekstrak etanol sirih merah dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat Soxhlet menggunakan etanol 70%, dan diuapkan menggunakan penguap putar (rotavapor), selanjutnya diuapkan di atas penangas air sampai diperoleh ekstrak kental. Obat dan zat uji yang digunakan pada penelitian ini adalah atorvastatin sebagai obat pembanding dan ekstrak etanol sirih merah yang dibuat dalam suspensi CMC Na 0,5% dalam 3 berbeda, yaitu 50 mg/kg bb, 100 mg/kg bb dan 200 mg/kg bb. Sirih merah diperoleh dari daerah Cimahi, Jawa Barat. Determinasi tanaman sirih merah dilakukan di Herbarium Bogoriense. Daun dan batang sirih merah dicuci dengan air bersih yang mengalir kemudian ditiriskan pada rak-rak pengering berlubang. Pengeringan dilakukan dengan cara diangin-anginkan dalam ruangan bersirkulasi udara. Daun dianggap kering bila telah menggulung dan hancur bila diremas. Anak-anak daun yang telah benar-benar kering dilepaskan dari tangkainya, diserbuk dengan mesin penggiling dan diayak. Serbuk simplisia disimpan dalam wadah plastik bertutup (Depkes, 1985). Pengujian praklinis efek antidislipidemia dilakukan dengan metode proteksi pada tikus Wistar jantan. Tikus diinduksi secara eksogen dengan pakan yang mengandung lipid tinggi dan secara endogen dengan PTU 10 mg/kg bb yang diberikan secara oral. Selain itu tikus juga diberi air minum PTU 0,01%. Komposisi pakan penginduksi yang digunakan adalah otak sapi 100 g, minyak barco 50 g, telur burung puyuh 150 g, lemak kambing 150 g dan pakan standar sampai 1 kg. Pada awal percobaan semua hewan ditimbang dan dikelompokkan secara acak. Hewan uji dikelompokkan menjadi lima kelompok dengan masing-masing kelompoknya terdiri dari lima ekor tikus. Masing-masing kelompok terdiri atas kelompok yang diberi diet pakan yang mengandung lipid tinggi dan minuman yang mengandung propilthiourasil 0.01% (kontrol positif), kelompok yang diberi diet pakan yang mengandung lipid tinggi, minuman yang mengandung propilthiourasil 0.01 % dan ekstrak etanol sirih merah (kelompok uji), dan kelompok yang diberi diet pakan yang mengandung lipid tinggi, minuman yang mengandung propilthiourasil 0.01 % dan suspensi atorvastatin (kelompok pembanding) Pada metode proteksi, pemberian sediaan uji dilakukan bersama-sama dengan proses induksi. Penentuan kadar trigliserida dilakukan pada H3, H7 dan H14. Pengambilan darah dilakukan dari pembuluh vena ekor. Darah ditampung ke dalam tabung eppendorf kira-kira sebanyak 1 ml dan disentrifuga selama 10 menit pada 3000 rpm. Serum diambil untuk dilakukan pengukuran. Penentuan kadar trigliserida dalam serum dilakukan secara kolorimetri cara Trider berdasarkan metode enzimatis menggunakan pereaksi `monotest trigliserida’ yang dibaca ekstrinsiknya pada panjang gelombang 546 nm. Cara melakukan reaksi adalah sesuai dengan petunjuk yang tertera pada kit pereaksi. Data yang diperoleh dianalisis dengan perhitungan statistik metode uji T dengan menggunakan program SPSS versi 16,0 EV. 3.
Hasil dan Pembahasan
Sirih merah (Piper crocatum Ruiz dan Pav) memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai obat alternatif dalam mengobati penyakit dislipidemia. Penelitian praklinik efek antihipertrigliseridemia tanaman tersebut telah dilakukan pada penelitian ini dalam berbagai dosis dan dapat dibuktikan bahwa sirih merah berkhasiat sebagai antihipertrigliseridemia. Sirih merah diperoleh dari daerah Cimahi, Jawa Barat. Determinasi tanaman sirih merah dilakukan di Herbarium Bogoriense. Determinasi ini dilakukan untuk memastikan kebenaran tanaman berdasarkan urutan taksonominya dan hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan adalah sirih merah (Piper crocatum Luiz dan Pav). Daun dan batang sirih merah dicuci dengan air bersih yang mengalir kemudian ditiriskan pada rak-rak pengering berlubang. Proses pengeringan pada bahan tanaman yang diperoleh dilakukan bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kadar air yang terkandung dalam sel tanaman sehingga dapat menghentikan proses enzimatik tanaman dan mencegah tumbuhnya kapang atau jasad renik lain yang dapat mengurangi kualitas tanaman. Pengeringan dilakukan dengan cara dianginkan, dilanjutkan dengan oven suhu rendah (40C) untuk menghindari rusaknya kandungan zat yang diakibatkan oleh pemanasan berlebihan. Simplisia yang telah kering kemudian digiling sehingga diperoleh serbuk simplisia. Tujuan pembuatan serbuk ini adalah untuk meningkatkan luas permukaan tanaman yang kontak dengan pelarut pada proses ekstraksi sehingga senyawa yang terkandung di dalamnya dapat tersari secara optimal. Ekstrak etanol sirih merah diperoleh melalui ekstraksi simplisia dengan etanol 70% melalui proses soxhletasi menggunakan seperangkat alat soxhlet. Pemilihan etanol 70% sebagai penyari karena etanol 70% merupakan senyawa organik dengan polaritasnya yang tinggi dimana kandungan air nya cukup besar sehingga diharapkan akan dapat menyari senyawa target secara optimal namun tidak terlalu berbeda jauh dengan pemakaiannya di masyarakat yang menggunakan pelarut air.
55 ISBN 978-602-70361-0-9
Pengujian praklinis efek antihipertrigliseridemia dilakukan dengan metode proteksi pada tikus wistar jantan. Hewan uji (tikus) dengan bobot badan rata-rata 180-200 g, sehat, perilaku normal dan telah dipelihara selama 1 minggu untuk adaptasi dengan lingkungan hidup yang baru. Tikus diinduksi secara eksogen dengan pakan kolesterol tinggi dan secara endogen dengan PTU 10 mg/kg bb yang diberikan secara oral. Selain itu tikus juga diberi air minum PTU 0,01%. Pemberian pakan dengan kandungan lipid tinggi dilakukan untuk meningkatkan kadar lipid secara eksogen melalui peningkatan absorpsi lipid disaluran cerna sedangkan pemberian PTU dilakukan untuk menekan kerja kelenjar tiroid sehingga metabolisme lipid terutama kolesterol naik. Secara metabolisme, meningkatnya jumlah asupan lipid eksogen akan meningkatkan kadar trigliserida darah karena lipid yang diabsorpsi di usus halus akan diubah menjadi bentuk trigliserida dan dibawa dalam darah kita oleh kilomikron. Kilomikron merupakan lipoprotein dengan densitas <0,95 g/ml yang membawa sekitar 86-94% trigliserida. Peningkatan kadar trigliserida memicu resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Selain itu, kadar trigliserida yang tidak terkontrol berhubungan dengan resiko pankreatitis dan nyeri didaerah perut. Meski demikian seringpula peningkatan kadar trigliserida tidak disertai dengan gejala berarti. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ekstrak etanol sirih merah mampu menekan peningkatan kadar trigliserida dalam serum tikus percobaan. Hasil percobaan efek antihipertrigliseridemia ekstrak etanol sirih merah ditunjukkan pada Gambar 1. 160.00
Kadar trigliserida (mg/dL)
140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 H0
H3
H7
H14
Hari ke-
Gambar 1. Kadar trigliserida dalam pengujian efek antihipertrigliseridemia ekstrak etanol sirih merah Keterangan : Kontrol Pembanding SM 50 SM 100 SM 200
: : : : :
Kelompok kontrol CMC Na 0,5% Kelompok pembanding atorvastatin 1,8 mg/kg bb Kelompok uji ekstrak etanol sirih merah 50 mg/kg bb Kelompok uji ekstrak etanol sirih merah 100 mg/kg bb Kelompok uji ekstrak etanol sirih merah 200 mg/kg bb
Berdasarkan diagram di atas, kadar trigliserida dalam darah tikus menurun signifikan pada hari ke-3 sampai hari ke-14 setelah hewan diinduksi. Penurunan kadar trigliserida pada semua kelompok uji salah satunya diakibatkan karena tikus tidak mengkonsumsi semua pakan yang diberikan sehingga absorpsi lipid lebih sedikit dan pembentukan trigliserida juga menurun. Meski demikian, pada kelompok pembanding atorvastatin dan kelompok uji dimana hewan percobaan mendapatkan ekstrak etanol sirih merah, penurunan kadar trigliserida lebih besar dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan obat yang diberikan memiliki efek sebagai antihipertrigliserida. Selisih kadar trigliserida pada semua kelompok uji disajikan pada Tabel 1.
56 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 1. Selisih kadar trigliserida dalam pengujian efek antihipertrigliseridemia ekstrak etanol sirih merah Kelompok
Selisih peningkatan kadar trigliserida darah (mg/dL) pada hari ke-... ∆H3 P ∆H7 p ∆H14
6,97±41,21 Kontrol Pembanding -15,91±30,04 Atorvastatin 1,8 mg/kg bb Ekstrak etanol sirih 19,38±14,15 merah 50 mg/kg bb Ekstrak etanol sirih 25,49±39,61 merah 100 mg/kg bb Ekstrak etanol sirih -21,26±58,87 merah 200 mg/kg bb Keterangan : = Menunjukkan penurunan kadar
p
-
7,27±58,05
-
-33,87±76,05
-
0,345
-48,09±12,93
0,194
-83,49±44,38
0,244
0,566
-14,13±33,40
0,824
-60,53±18,63
0,486
0,482
-24,15±25,71
0,577
-59,55±48,38
0,547
0,404
-50,87±41,17
0,207
-73,31±44,01
0,345
Ekstrak etanol sirih merah dosis 50 mg/kg bb sudah mampu menekan peningkatan kadar trigliserida dalam serum sejak hari ke-3 pengamatan. Kadar trigliserida dalam serum tikus pada hari ke-14 setelah induksi turun (33,87±76,05) mg/dL pada kelompok kontrol, (83,49±44,38) mg/dL pada kelompok pembanding, (60,53±18,63) mg/dL pada kelompok hewan yang diberi ekstrak etanol 50 mg/kg bb, (59,55±48,38) mg/dL pada kelompok yang diberi ekstrak etanol sirih merah 100 mg/kg bb dan (73,31±44,01) mg/dL pada kelompok hewan yang diberi sediaan ekstrak etanol 200 mg/kg bb. Penurunan kadar ini menunjukkan bahwa ekstrak yang diberikan mampu menekan peningkatan kadar trigliserida pada hewan percobaan yang diinduksi lipid eksogen dan endogen. Dosis terbaik ditunjukkan oleh ekstrak etanol sirih merah dosis 200 mg/kg bb dimana dosis tersebut mampu menekan peningkatan kadar trigliserida yang berbeda bermakna dibandingkan kelompok kontrol pada hari ke-7 dan hari ke-14 pengamatan. Dengan demikian tanaman sirih merah dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan untuk mengurangi resiko penyakit jantung koroner serta penyakit-penyakit lainnya yang berhubungan dengan metabolisme lipid. 4.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol sirih merah memiliki efek antihipertrigliseridemia dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok terbaik yang mampu menekan peningkatan kadar trigliserida adalah ekstrak etanol sirih merah dosis 200 mg/kg bb. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada LPPM Unjani yang telah mendanai penelitian ini. Daftar Notasi ∆H
p
= selisih hari ke-n terhadap hari ke-0 = keberartian secara statistik
Daftar Pustaka Anwar, Bahri, Dislipidemia Sebagai Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 2004. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Cara pembuatan simplisia, Depkes RI, Jakarta, 1985: 4-20. Ditjen POM, Direktorat Pengawasan Obat Tradisional, Depkes RI, Parameter Standar Umum Ekstrak Tanaman Obat, Bakti Husada, Jakarta, 2000 : 9-12, 13-18. Sukandar E., Y., Nurdewi, Elfahmi, Antihypercholesterolemic Effect of Combination of Guazuma ulmifolia Lamk. Leaves and Curcuma xanthorrhiza Roxb. Rhizomes Extract in Wistar Rats, International Journal of Pharmacology 8(4), 2012: 277-282 Hasimun P, Sukandar E.Y, Adnyana I. K and D.H Tjahjono, A Simple Method for Screening Antihyperlipidemic Agents, International Journal of Pharmacology 7(1), 2011 : 74-78 L, Laurence. John S, et al., Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, vol 1, 11th ed., McGraw-Hill Medical Publishing Division, New York, 2006 : 933-960 Manoi, Feri, Sirih Merah Sebagai Tanaman Multi Fungsi, Warta Penelitian Dan Pengembangan Tanaman Industri. Volume 13 Nomor 2. Agustus 2007.
57 ISBN 978-602-70361-0-9
Mathers CD, Loncar D. Projections of global mortality and burden of disease from 2002 to 2030. PLoS Med, 2006, 3(11):e442. Puspa Sari, Aktivitas Antihiperlipidemia Kombinasi Ekstrak Etanol Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Dan Ekstrak Air Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) Pada Tikus Jantan Galur Wistar, Buku Tesis, Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung, 2009 R. Hardiningsih, N. Nurhidayat, Pengaruh Pemberian Pakan Hiperkolesterolemia terhadap Bobot Badan Tikus Putih Wistar yang Diberi Bakteri Asam Laktat, Jurnal Biodiversitas 7(2), 2006 : 127-130 Sudewo, Bambang, Basmi Penyakit Dengan Sirih Merah, Jakarta, Agromedia Pustaka, 2010
58 ISBN 978-602-70361-0-9
Aktivitas Analgetik dan Keamanan Ekstrak Metanol Jahe Merah (Zingiber officinale var. Rubra) Evi Sovia*, Welly Ratwita Laboratorium Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi *Email:
[email protected]
Abstract Red ginger (Zingiber officinale var. Rubra) has been used as an analgesic in Indonesian traditional medicine. However the study about efficacy and safety of red ginger extract is still needed. The aim of this study is to observe analgesic effect and safety of red ginger extract. Writhing response method was used to evaluate analgesic effect of red ginger extract. Twenty male Wistar rats were used for this study. They were divided into five groups: control group, was induced by acetic acid without any treatment; 3 treatment groups, were induced by acetic acid and given 40, 60, and 80mg/kgbw of red ginger extract; and compared group given 5 mg/kgbw acetyl salicilic acid. Writhing response was measured 5 minutes after acetic acid injection. The cumulative amount of writhing responses analyzed using one way anova continued with post hoc Duncan. The safety of red ginger extract evaluated using acute toxicity test. Thirty six male mice divided into six groups: control group, and five treatment groups that given 5, 50, 200, 500 and 500 mg/kgbw of red ginger extract. In acute toxicity test, we observed death animal experience and toxic symptom. The histology of liver and kidney also investigated in the end of study. The result of this study showed that red ginger extract with 40, 60, and 80 mg/kgbw have analgesic effect and it is also safe to use. Keyword: red ginger, analgesic, acute toxicity
1.
Pendahuluan
Jahe (Zingiber officinale) digunakan secara tradisional sebagai stomatik, antiemetik, antidiare, ekspektoran, antiasmatik, hemostatik, analgetik, antiinflamasi dan kardiotonik untuk mengobati beberapa penyakit saluran pencernaan dan saluran pernafasan (Tang, 1992). Salah satu varian dari jahe adalah jahe merah (Zingiber officinale var Rubra). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan khasiat empiriknya sebagai antiinflamasi dan analgetik (Wresdiyati, 2003; Sovia, 2013; Raji dkk, 2002: Habib, 2008). Nyeri merupakan salah satu masalah yang cukup menyita perhatian dalam dunia kesehatan, karena masyarakat sering merasakan nyeri (Mutschler, 1991). Nyeri adalah rasa tidak enak atau sakit yang kurang lebih terlokalisasi akibat rangsangan pada ujung-ujung saraf khusus. Nyeri berfungsi sebagai mekanisme perlindungan karena membuat kita menarik diri atau menjauhi sumbernya. Untuk mengatasi nyeri digunakan obat-obatan yang mempunyai efek analgetik. Untuk membuktikan khasiat empiriknya sebagai obat analgetik, dalam penelitian ini dilakukan uji aktivitas analgetik dengan uji geliatan pada tikus yang telah diinduksi dengan asam asetat (writhing test). Kandungan kimia alami dalam jahe merah memiliki banyak fungsi dan manfaat penting bagi kesehatan, diantaranya mengandung beberapa komponen kimia seperti minyak atsiri dan oleoresin. Sedangkan kandungan aktif sebagai analgetik dan antinflamasi adalah minyak atsiri yang mengandung gingerol dan shogaol. (Sudewo, 2004; Agoes, 2010). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol jahe merah mempunyai efek analgetik (Raji, 2002; Ojewole, 2006). Walaupun dalam masyarakat telah digunakan sebagai obat tradisional, namun penelitian yang menjelaskan bagaimana efek analgetik dan keamanan jahe merah masih sangat diperlukan. Berdasarkan pengalaman masyarakat secara empiris dan beberapa penelitian yang sudah ada maka perlu digali tentang efek analgetik dan keamanan jahe merah sehingga dapat menjadi pengobatan alternatif yang relatif aman, murah, poten, selektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek analgetik jahe merah terhadap tikus yang diinduksi asam asetat dan keamanannya menggunakan uji toksisitas akut.
59 ISBN 978-602-70361-0-9
2.
Metode
Penelitian dibagi atas ekstraksi rimpang jahe merah, pengujian efek analgetik, uji toksisitas akut, dan pemeriksaan histologi. 2.1
Ekstraksi rimpang jahe merah
Rimpang jahe merah yang sudah dibersihkan dikeringkan dengan oven blower (40-60°C) selama 30-36 jam hingga diperoleh jahe merah kering. Jahe merah kering digiling kemudian disaring sehingga dihasilkan bubuk jahe merah. Sebanyak 250 gram bubuk jahe merah diekstrak dengan maserator 4 kali dengan menggunakan peklarut metanol (500 ml). Ekstrak yang diperoleh diuapkan dengan alat penguap vakum putar (Buchi Rotavavor R-124, Buchi Waterbath R-480) sampai diperoleh ekstrak kental. 2.2
Pengujian efek analgetik
Geliat diinduksi dengan penyuntikan larutan asam asetat 0,1mL/10g (10 mL/kg) secara intraperitoneal. Hewan percobaan kelompok kontrol positif diberi asam asetil salisilat (5 mg/kgbb secara peroral) 25 menit sebelum penyuntikan asam asetat. Ekstrak metanol jahe merah dengan dosis 40, 60, dan 80 mg/kgbb dilarutkan dalam CMC 0,5% dan diberikan 25 menit sebelum penyuntikan asam asetat. Lima menit setelah penyuntikan asam asetat, jumlah geliat dihitung. 2.3
Uji toksisitas akut
Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan potensi ketoksikan akut dari suatu senyawa dan untuk menentukan gejala yang timbul pada hewan coba. Data yang dikumpulkan pada uji toksisitas akut ini adalah data kuantitatif yang berupa kisaran dosis letal atau toksik, dan data kualitatif yang berupa gejala klinis. Hewan coba dikarantina terlebih dahulu selama 7 hari. Pengkarantinaan ini bertujuan untuk menghilangkan stres akibat transportasi serta untuk mengkondisikan hewan dengan suasana laboratorium. Pada waktu pengkarantinaan, temperatur dan kelembaban harus diperhatikan.Pemberian ekstrak metanol jahe merah pada hewan coba (mencit) memiliki dosis maksimum yaitu 5000mg/kgBB dan juga mempunyai batas maksimum volume cairan yang boleh diberikan pada hewan uji. Ekstrak diberikan secara peroral. Pengamatan dilakukan 24 jam pertama sejak diberikan perlakuan, dan 7 – 14 hari. Hewan coba diamati sebelum dan setelah diberi perlakuan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perubahan gejala yang terjadi setelah diberi perlakuan dengan membandingkan gejala atau perilaku sebelum perlakuan. Kriteria pengamatan meliputi: pengamatan terhadap gejala – gejala klinis (berupa gejala toksik yang muncul dengan parameter aktivitas lokomotor, reaksi yang aneh, fonasi, sensitivitas rasa sakit, sensitivitas terhadap bunyi, sensitivitas sentuhan, interaksi, ekor abnormal, perilaku agresif, ataksia, konvulsi, dan lain-lain (Loomis, 1987)), perubahan berat badan, jumlah hewan yang mati pada masing – masing kelompok uji, dan histopatologi organ hati dan ginjal. 2.4
Pemeriksaan histologi
Untuk pemeriksaan histologi, hati dan ginjal hewan percobaan diambil pada akhir penelitian. Potongan jaringan difiksasi dalam (formaldehid 1,85%, asam asetat 1%) selama 1 minggu pada suhu kamar, didehidrasi dengan etanol bertingkat dan diblok paraffin. Potongan dengan ketebalan 5 μm dideparafinisasi dengan xilene dan diwarnai dengan pewarnaan HE. Semua sampel diobservasi dan difoto. Setiap 3 – 5 potongan dipilih secara acak dari setiap kelompok. 3.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Efek analgetik ekstrak metanol jahe merah terhadap mencit yang diinduksi asam asetat Jumlah geliat hewan yang diberi ekstrak metanol jahe merah dengan dosis 40 mg/kgbb (20,5 ± 1,5), 60 mg/kgbb (15,5 ± 1,7) dan 80 mg/kgbb (12,3 ± 2,2) lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol (30 ± 2,2). Demikian juga dengan kelompok hewan yang diberi asam asetil salisilat (12,3 ± 2,2) (Gambar 1). Pemberian ekstrak metanol jahe merah dengan dosis 40, 60 dan 80mg/kgbb dapat mengurangi jumlah geliat mencit yang diinduksi asam asetat secara signifikan (p< 0,05). Hasil uji post hoc Duncan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan, sedangkan diantara kelompok perlakuan tidak terdapat perbedaan antara kelompok yang diberi ekstrak metanol jahe merah dengan dosis 60 mg/kgbb dan 80 mg/kgBB dengan kelompok yang diberi asam asetil salisilat 5 mg/kgbb. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas ekstrak metanol jahe merah dengan dosis 60 mg/kgbb dan 80 mg/kgbb sama dengan asam asetil salisilat 5 mg/kgbb. Sedangkan ekstrak metanol jahe merah dengan dosis 40 mg/kgbb mempunyai efektivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan asam asetil salisilat 5 mg/kgbb.
60 ISBN 978-602-70361-0-9
Induksi geliat dengan menggunakan asam asetat biasanya digunakan untuk meneliti efek analgetik perifer dari obat. Walaupun penelitian ini tidak spesifik karena aktivitas zat lain seperti antikolinergik, antihistamin, dan zat lain juga menunjukkan aktivitas pada uji ini. Uji ini digunakan secara luas untuk skrining efek analgetik (Salvemini, 2003). Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak metanol jahe merah dengan dosis 40, 60 dan 80 mg/kgbb mempunyai efek analgetik terhadap mencit yang diinduksi asam asetat. Efek ini mungkin berhubungan dengan penghambatan sintesis metabolit asam arahidonat (Subbaramaiah, 2003). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan efek antiinflamasi dari ekstrak jahe merah (Wresdiyati, 2003; Raji dkk, 2002 ;Habib, dkk., 2008). Hasil penelitian ini juga mendukung penggunaan jahe merah sebagai obat tradisional untuk mengatasi nyeri (Ojewole, 2006).
35 30 25 20 15 10 5 0 Kontrol
Jahe merah 40 Jahe merah 60 Jahe merah 80 mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB
Asam Asetil Salisilat
Gambar 1. Jumlah geliat semua kelompok setelah diinduksi dengan asam asetat 3.2
Uji toksisitas akut ekstrak metanol jahe merah
Hasil pengamatan selama 14 hari, berupa jumlah mencit mati dan mencit yang menunjukkan gejala toksik ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 1.
Jumlah Hewan Mati dan Hewan yang Menunjukkan Gejala Toksik 14 Hari Setelah Pemberian Ekstrak Metanol Jahe Merah
Kelompok
Dosis
Jumlah sampel
Jumlah hewan mati
Gejala toksik
1
Kontrol
6
0
tidak ada
2
5 mg/kgbb
6
0
tidak ada
3
50 mg/kgbb
6
0
tidak ada
4
200 mg/kgbb
6
0
tidak ada
5
500 mg/kgbb
6
0
tidak ada
6
5000 mg/kgbb
6
0
tidak ada
Dari hasil yang didapat, tidak terdapat satu pun mencit yang mati dari seluruh kelompok sampai hari ke-14 sesudah perlakuan. Sedangkan hasil pengamatan uji kualitatif, berupa gejala toksik yang muncul dengan parameter aktivitas lokomotor, reaksi yang aneh, fonasi, sensitivitas rasa sakit,sensitivitas terhadap bunyi, sensitivitas sentuhan, interaksi, ekor abnormal, perilaku agresif, ataksia, konvulsi dan lain-lain juga tidak ada gejala toksik yang signifikan pada seluruh mencit di seluruh kelompok. Tabel 2 menunjukkan bahwa berat badan hewan percobaan semua kelompok sebelum perlakuan, 24 jam setelah perlakuan dan 14 hari setelah perlakuan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan (P > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak metanol jahe merah tidak mempengaruhi berat badan hewan percobaan.
61 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 2. Berat Badan Semua Kelompok Sebelum dan Sesudah Perlakuan Berat Badan (g)
P
24 jam setelah perlakuan
0,263
36 ± 3,6 31,50 ± 3,5 33 ± 6,0 35,50 ± 5,6
P
14 hari setelah perlakuan
P
0,153
34,67 ± 2,2 29,83 ± 3,4 33,17 ± 6,9 33,50 ± 4,1
0,261
Kelompok
Sebelum perlakuan
Kontrol 5 mg/kgbb 50 mg/kgbb 200 mg/kgbb
33,67 ± 3,0 31,33 ± 3,4 34,83 ± 6,5 36,67 ± 5,5
500 mg/kgbb
31,75 ± 3,2
37,83 ± 5,3
35,17 ± 4,0
5000 mg/kgbb
33,67 ±3,0
31 ± 3,3
34,67 ± 2,2
Ekstrak jahe merah lazim dipakai di masyarakat sebagai obat tradisional, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak metanol jahe merah termasuk kategori praktis tidak toksik untuk pemakaian oral dosis tunggal. Kandungan berbagai zat dalam jahe merah seperti gingerol dan turunan gingerol yaitu shogoals, serta senyawa lainnya yaitu ginger protease, capsaicin, dan beberapa golongan seskuiterpen (misalnya zingiberol dan zingiberenol) tidak memunculkan efek toksik maupun kematian pada hewan coba. Dari hasil penelitian, tidak ada satupun mencit yang mati setelah dilakukan perlakuan. Berdasarkan kesepakatan yang diambil para ahli, jika dosis maksimal tidak menimbulkan kematian hewan coba, maka LD50 dinyatakan dengan LD50 ‘semu’ dengan mengambil dosis maksimal. Sehingga dalam penelitian ini LD50 diketahui sebagai LD50 semu, yaitu 5000 mg/kgbb. Hasil ini tidak dapat dimasukkan dalam kriteria Loomis, karena LD50 yang didapat bukan merupakan LD50 yang sesungguhnya, tetapi berdasarkan kesepakatan para ahli, bila pada dosis maksimal tidak ada kematian pada hewan coba, maka jelas senyawa tersebut termasuk dalam kriteria “Praktis Tidak Toksik” (Loomis, 1987). Hasil pemeriksaan histopatologi organ hati dan ginjal hewan percobaan pada akhir penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol jahe merah tidak bersifat hepatotoksik maupun nefrotoksik (Gambar 2 dan Gambar 3).
A
D
B
C
E
F
Gambar 2. Hasil pemeriksaan histopatologi hati semua kelompok pada akhir percobaan perbesaran 100x). A. Jahe merah 5 mg/kgbb, B. Jahe merah 50 mg/kgbb, C. Jahe merah 200 mg/kgbb, D. Jahe merah 500 mg/kgbb, E. Jahe merah 5000 mg/kgbb, F. kontrol
A
B
C
Gambar 3. Hasil pemeriksaan histopatologi ginjal semua kelompok pada akhir percobaan (Perbesaran 100x). A. Jahe merah 5 mg/kgbb, B. Jahe merah 50 mg/kgbb, C. Jahe merah 200 mg/kgbb, D. Jahe merah 500 mg/kgbb, E. Jahe merah 5000 mg/kgbb, F. Kontrol.
62 ISBN 978-602-70361-0-9
Dalam beberapa penelitian terdahulu disebutkan bahwa derajat ketoksikan jahe merah pada manusia terbukti cukup rendah (Febrina, 2007). Pada penelitian ini, dosis tertinggi pada percobaan yaitu 5000 mg/kgbb belum menimbulkan kematian hewan coba. Pada penelitian ini ada beberapa spektrum gejala toksik Loomis yang tidak diamati seperti jantung, apnea, dispnea, defekasi, kencing, salivasi, sekret hidung, dan suhu badan. Hal ini dikarenakan keterbatasan sarana untuk menilai gejala – gejala di atas. Selain itu hasil penelitian ini masih perlu dieksplorasi lebih lanjut dengan penelitian potensi toksisitas untuk tingkat subkronis dan kronis serta rentang dosis yang lebih besar dan variasi dosis yang lebih banyak untuk mengetahui potensi ketoksikan yang sesungguhnya dari ekstrak jahe merah. 4.
Kesimpulan dan Saran
Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak metanol jahe merah mempunyai aktivitas analgetik dan aman dikonsumsi. Ekstrak metanol jahe merah dapat digunakan untuk mengatasi gejala nyeri pada beberapa penyakit. Ucapan terima kasih Penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian Hibah Penelitian Unggulan yang didanai oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unjani. Daftar Pustaka Agoes A. Jahe Merah (Zingiber offichinale Rosc.). dalam: Suslia A. Editor. Tanaman Obat Indonesia. Edisi I. Jakarta: Salemba Medika. 2010: 35-37. Febrina E. Uji Khasiat dan Keamanan Kombinasi Ekstrak Rimpang Jahe Merah dengan Buah Mengkudu pada Pengobatan Tuberkulosis Fase Intensif dan Lanjutan. Tesis. Bandung. Institut Teknologi Bandung. 2007. Habib SHM, Makpol S, Hamid NAA, Das S, Ngah WZW, Yusof YAM. Ginger extract (zingiber officinale) has anti-cancer and anti-inflammatory effects on ethionine-induced hepatoma rats. Clinics. 2008; 63:807-813. Loomis TA. Essential of toxicology. 3rd ed. Philadelpia: Lea & Febiger. 1987: 198 – 202. Ojewole JA. Analgesic, antiinflammatory and hypoglycaemic effects of ethanol extract of Zingiber officinale (roscoe) rhizomes (zingiberaceae) in mice and rats. Phytotherapy Research. 2006; 20(9): 764772. Raji Y, Udoh US, Oluwadara OO, Akinsomisoye O, Awobajo O, Adeshoga K.. Anti-Inflammatory and Analgesic Properties of The Rhizome Extract Of Zingiber Officinale. Afr. J. Biomed. Res, 2002; 5 : 121 – 124. Sovia E, Ratwita W. Aktivitas Antiinflamasi dan Antioksidan Ekstrak Metanol Jahe Merah, Jurnal Bahan Alam Indonesia. 2014; 8 (4) : 227-231. Sudewo B. Jahe Merah. Dalam: Muyono, Editor. Tanaman Obat Populer. Edisi I. Jakarta: Agromedia Pustaka; 2004; 9-11. Salvemini D, Ischiropoulos H. dan Cuzzocrea S. Roles of nitric oxide and superoxide in inflammation, Methods in Molecular Biology, 2003; 225: 291–303 Subbaramaiah K. dan Dannenberg A.J. Cyclooxygenase 2: a molecular target for cancer prevention and treatment. Trends in Pharmacological Sciences, 2003; 24 (2): 96–102. Tang W, Eisenbrand G. Chinese Drugs of Plant Origin: Chemistry, Pharmacology, and Use in Traditional and Modern Medicine, Springer-Verlag, Berlin, 1992: 1011-1014. Wresdiyati T, Astawan M, dan Adnyane IKM. Aktivitas Anti Inflamasi Oleoresin Jahe (Zingiber Officinale) Pada Ginjal Tikus Yang Mengalami Perlakuan Stres, Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan, 2003; XIV(2):113120.
63 ISBN 978-602-70361-0-9
Uji Aktivitas Antimalaria Ekstrak Etanol Herba Ketumpang (Tridax procumbens L) pada Plasmodium falciparum Galur 3D7 Faizal Hermanto*, Puspa Sari Dewi Solihah Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi Unjani, Terusan Jenderal Sudirman Cimahi *
E-mail:
[email protected]
Abstract Malaria is still health problem in the world and in Indonesia. The prevalence of malaria from year to year increas, according to the WHO report (World Health Organization) in 2010, 2.4 million cases of malaria occur and deaths occurred in 2426. One of the plants used by empiric as an antimalarial drug is Coatbutton (Tridax procumbens L). The purpose of this study is to prove scientifically the effects of antimalarial herb Coatbutton. The study begins with the collection of Coatbutton, determination and extraction with 96% ethanol. Test antimalarial activity in vitro was initiated by continuous culture of P. falciparum strain 3D7 was cultured in RPMI 1640 medium containing red blood cells, HEPES buffer, Human serum type AB and NaHCO3 appropriate techniques Trager and Jensen. Before testing antimalarial activity, parasites were synchronized using 5% sorbitol. Data were analyzed using the percentage of parasitemia probit analysis method to determine the inhibitor concentration 50 (IC50 ). The results show IC50 ethanol extracts of herbs Coatbutton is 3 µg/mL Keywords: Tridax procumbens L, Plasmodium falciparum, parasitemia
1.
Pendahuluan
Malaria masih merupakan masalah kesehatan di dunia dan di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh parasit protozoa, yaitu genus Plasmodium. Ada 4 spesies Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium falciparum dan Plasmodium ovale. Malaria terutama malaria falciparum merupakan penyakit parasitik terpenting dengan morbiditas dan mortalitas tinggi di dunia pada umumnya dan di negara tropik seperti Indonesia pada khususnya (WHO 2010). Prevalensi malaria dari tahun ke tahun cendrung terus meningkat. Negara indonesia merupakan salah satu negara endemik malaria di daerah Asia tenggara selain India, Bangladesh dan Myanmar. Menurut laporan WHO (World Health Organization) pada tahun 2010 terjadi 2,4 juta kasus malaria dan terjadi 2426 kasus kematian (WHO, 2011). Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengobatan malaria adalah meningkatnya resistensi Plasmodium terhadap obat antimalaria di berbagai daerah sehingga sampai saat ini belum ada obat antimalaria yang ideal. Pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan sebagai bahan obat malaria merupakan hal penting yang kemungkinan dapat mengatasi masalah resistensi malaria. Salah satu tanaman yang digunakan oleh masyarakat sebagai obat antimalaria adalah ketumpang (Tridax procumbens L). Merupakan tumbuhan jenis rumput atau gulma dan termasuk herba berbiji. Tumbuh di daerah tropis, banyak ditemukan di lereng gunung. Biasa dikenal sebagai coat button atau cadillo chisaca dan di Indonesia (terutama di Jawa) biasa disebut Songgolangit (Anonim, 1980). Ketumpang selain berkhasiat sebagai obat antimalaria dapat juga digunakan sebagai obat antiinflamasi dan analgetik. Ketumpang mengandung zat aktif seperti tannin, saponin, dan flavanoid. Tanaman ini juga kaya akan kandungan zat mineral diantaranya kalium (K), magnesium (Mg), dan kalsium (Ca) yang baik untuk menjaga kondisi tulang dan jaringannya. Dari hasil penelusuran pustaka diketahui bahwa sejumlah senyawa yang mempunyai struktur kimia seperti alkaloid, terpenoid, kuinon dan fenolik mengandung zat aktif antimalaria yang umumnya senyawa kimia ini diisolasi dari tumbuhan tinggi (Philipson,1987). 2.
Metode
Penelitian ini diawali dengan pengumpulan bahan uji, determinasi, penyiapan simplisia, karakterisasi simplisia dan penapisan fitokimia serta ekstraksi herba ketumpang dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat Reflux dan etanol 96% sebagai pelarut. Selanjutnya penelitian diarahkan pada proses persiapan dan kultur sinambung P. falciparum yang akan digunakan dalam pengujian aktivitas antimalaria secara in vitro.
64 ISBN 978-602-70361-0-9
P. falciparum galur 3D7 dikultur dalam Medium RPMI 1640 yang mengandung sel darah merah dengan hematokrit 5%, dapar HEPES, serum AB dan NaHCO3 sesuai teknik Trager dan Jensen. 2.1
Sikronisasi Parasit
Kultur yang berisi P. falciparum dipindahkan ke tabung falcon 15 mL lalu disentrifuga pada kecepatan 1.500 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang, terhadap packed sel yang diperoleh ditambahkan sorbitol 5% sebanyak 5 mL. Tabung falcon dibolak balik secara perlahan-lahan beberapa kali lalu dimasukan kedalam inkubator selama 5 menit. Setelah itu kultur disentrifuga dengan kecepatan 1.500 rpm selama 5 menit, lalu supernatan dari kultur dibuang dan packed sel dicuci dengan Medium dasar (RPMI) sebanyak 5 mL. Packed sel disentifuga kembali dengan kecepatan 1.500 rpm selama 5 menit lalu supernatan dari kultur dibuang dan ditambahkan medium kultur (RPHS). Parasit sudah siap dikultur kembali dan seluruh parasit sudah dalam stadium cincin (ring). 2.2
Uji aktivitas antimalaria ekstrak etanol herba ketumpang
Uji aktivitas antimalaria ditentukan dengan parasitemia. Uji ini dilakukan dengan menggunakan kultur Plasmodium falciparum galur 3D7 yang sudah disinkronisasi. Kultur P. falciparum ditempatkan ke dalam lempeng sumur 24 masing-masing berisi 1 mL kultur dengan parasitemia ± 1% dalam medium RPHS. Medium RPHS diganti dengan medium RPHS yang mengandung ekstrak etanol herba ketumpang berbagai konsentrasi (1x10-1 sampai 1x10-7 mg/mL). Kultur diinkubasi selama 48 jam, setelah inkubasi parasit dipanen dan dibuat sediaan apusan darah tipis yang diberi pewarnaan Giemsa. Selanjutnya dihitung persen parasitemia P. falciparum dengan menghitung jumlah eritrosit yang terinfeksi terhadap 1000 eritrosit. Data dianalisis secara statistika dengan memakai metode analisis probit untuk menghitung hambatan parasit sebesar 50% (IC 50) 3. Hasil dan Pembahasan Herba ketumpang kering yang digunakan berasal dari daerah Bogor. Hasil determinasi identitas botani yang dilakukan di Herbarium Bandungense, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung menunjukan bahwa tanaman yang digunakan adalah benar tanaman ketumpang (Tridax procumbens L Tridax procumbens L). Herba ketumpang merupakan salah satu tanaman yang digunakan oleh praktisi etnomedical yang termasuk kedalam famili asteraceae. Simplisia dan Ekstrak etanol herba ketumpang (EEHK) dikarakterisasi dan dilakukan penapisan fitokimia dengan hasil seperti pada Tabel 1. Kadar air herba ketumpang pada penelitian ini hasilnya masih dibawah 10%, hal ini berarti herba ketumpang yang digunakan sudah memenuhi persyaratan karena kadarnya kurang dari 10% sehingga mengurangi potensi menjadi media pertumbuhan mikroorganisme. Tabel 1 Karakteristik dan Penapisan Fitokimia Simplisia Parameter
Simplisia Herba Ketumpang 4,96
Kadar air (% v/b) Kadar abu total 20,88 (% b/b) Kadar abu larut air 18,49 (% b/b) Kadar sari larut etanol (% b/b) 52,25 Kadar sari larut air (% b/b) 34,2 Kandungan Kimia : Flavonoid + Saponin + Alkaloid + Kuinon Tanin + Steroid/Triterpenoid + Polifenol + Keterangan : + = menunjukkan adanya golongan senyawa uji - = menunjukkan tidak adanya golongan senyawa uji
65 ISBN 978-602-70361-0-9
Efek ekstrak etanol herba ketumpang terhadap Plasmodium falciparum diuji secara in vitro. P. falciparum dikultur dalam medium RPMI 1640 yang mengandung sel darah merah, serum AB 10%, dapar HEPES 5,94 g/L, gentamisin 50 µg/mL dan NaHCO3 5% sesuai teknik Trager dan Jensen. Subkultur P. falciparum dilakukan apabila persen parasitemia kultur telah mencapai sekitar 6% dan penggantian medium dilakukan setiap hari. Sebelum dilakukan pengujian aktivitas antimalaria, P. falciparum terlebih dahulu dilakukan sinkronisasi dengan menggunakan sorbitol 5% yang bertujuan agar P. falciparum dalam satu stadium yang sama yaitu parasit dalam bentuk cincing (ring stage). Penggunaan sorbitol 5% menyebabkan eritrosit yang menggandung parasit stadium akhir menjadi lisis, hal tersebut disebabkan karena perbedaan permeabelitas membran sel eritrosit yang terinfeksi dan sensitivitas parasit terhadap sorbito (lambros,1979). Morfologi Plasmodium falciparum setelah penambahan sorbitol 5% ditujukkan pada Gambar 1. A
B
Gambar 1 Morfologi P. falciparum. a) P. falciparum pre sorbitol 5% b) P. falciparum post sorbitol 5% Pengujian aktivitas antimalaria EEHK dilakukan pada lempeng sumur 24 masing-masing berisi 1 mL kultur dengan parasitemia ± 1% dalam medium RPHS. Medium RPHS diganti dengan medium RPHS yang mengandung ekstrak etanol herba ketumpang berbagai konsentrasi (1x10-1 sampai 1x10-7 mg/mL), kemudian kultur diinkubasi selama 48 jam. Inkubasi selama 48 jam merupakan siklus aseksual parasit dalam darah (skizogoni), sehingga dapat dikatakan pengujian ini menghitung besarnya daya hambat senyawa isolat atau ekstrak pada fasa intraeritrositik. Setelah 48 jam diinkubasi, lempeng sumur dikeluarkan.parasit dipanen dan dibuat apusan darah tipis pada preparat dengan cara meratakan permukaan preparat dengan menggunakan bantuan preparat lain. Kemudian hapusan darah dipreparat dibiarkan kering dan difiksasi dengan metanol. Proses fiksasi bertujuan untuk menempelkan darah ke obyek agar tidak mudah terhapus. Preparat apusan darah diwarnai dengan pewarna giemsa setelah apusan darah tipis tersebut kering. Pemberian giemsa ini bertujuan agar parasit mudah diamati. Apusan darah tipis diamati menggunakan mikroskop. Sebelum diamati dengan mikroskop, apusan darah tipis ditetesi dengan minyak immersi yang bertujuan untuk memperjelas pengamatan banyaknya eritrosit yang terinfeksi oleh parasit dibawah mikroskop. Aktivitas antimalaria EEHK terlihat dari persentase parasitemia yang didapat dari menghitung jumlah eritrosit yang terinfeksi terhadap 1000 eritrosit, sedangkan persen penghambatan parasit dihitung dengan membandingkan parasitemia senyawa uji terhadap kontrol. Hasil uji aktivitas antimalaria herba ketumpang disajikan pada Tabel 2. Hasil uji antimalaria ekstrak etanol herba ketumpang seperti tampak pada Tabel 2 terlihat bahwa semakin tinggi dosis ekstrak semakin besar penghambatan pertumbuhan P. falciparum. Semua konsentrasi ekstrak memiliki persentase penghambatan yang berbeda bermakna (p<0,05) bila dibandingkan dengan kontrol. Persentase penghambatan pertumbuhan P.falciparum tertinggi ditunjukan pada EEHK konsentrasi 0,1 mg/mL yaitu sebesar 77,08% sedangkan persentase penghambatan pertumbuhan P.falciparum terendah ditunjukan pada EEHK konsentrasi 1x10-7 mg/mL yaitu sebesar 23,72%. Dari hasil analisis probit didapatkan nilai konsentrasi hambat 50 (IC50) ekstrak etanol herba ketumpang yaitu sebesar 3 µg/mL. Rosoanaivo dkk. (2004) dan Rain dkk. (2007) menyatakan bahwa suatu ekstrak tanaman berefek antimalaria sangat baik bila nilai IC50 kurang dari 0,1µg/mL; baik (aktif) bila IC50 0,1-1 µg/mL; cukup sampai baik bila IC50 1-10 µg/mL; lemah bila IC50 10-25 µg/mL; sangat lemah bila IC50 25-50µg/mL, dan tidak aktif bila IC50 diatas 100µg/mL. Berdasarkan kriteria tersebut maka ekstrak etanol herba ketumpang yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan berefek antimalaria baik. Grafik hubungan antara konsentrasi ekstrak etanol herba ketumpang terhadap persentase penghambatan pertumbuhan P.falciparum dapat dilihat pada Gambar 2.
66 ISBN 978-602-70361-0-9
Kandungan kimia herba ketumpang adalah Alkaloid, Saponin, Flavonoid, Steroid/Triterpenoid, Polifenol. Dari hasil penelusuran pustaka diketahui bahwa sejumlah senyawa yang mempunyai struktur kimia seperti alkaloid, terpenoid, kuinoid dan fenolik mengandung zat aktif antiprotozoa (Phillipson, 1987). Mekanisme kerja beberapa metabolit sekunder dari tanaman terhadap P. falciparum seperti hambatan invasi merozoit terhadap sel darah merah dan penghancuran roset P. Falciparum oleh karbohidrat (Adam Y, 2004), inhibisi biosintesi asam lemak & biomineralisasi hemozoin oleh alkaloid (Dubar F, 2010), inhibisi sintesis protein oleh triterpenoid (Kirby GC, 1989), inhibisi pembentukan β-haematin dan penurunan potensial membran mitokondria oleh steroid (Lopez ML, 2010). Tabel 2 Efek ekstrak etanol herba Ketumpang terhadap pertumbuhan P. Falciparum Zat uji Kontrol EEHK
Konsentrasi (µg/mL) 0
Penghambatan Pertumbuhan P. falciparum (%) 0
100 10 1 0,1 0,01 0,001 0,0001
77,08 44,72 41,04 31,94 30,63 24,45 23,72
Penghambatan Parasit (%)
Keterangan: EEHK : Ekstrak Etanol Herba Ketumpang 100 80 60 40 20 0
Konsentrasi (µg/mL)
Gambar 2. Kurva pertumbuhan P. falciparum yang diinkubasi dengan ekstrak etanol herba ketumpang 4.
Kesimpulan
Hasil skrining fitokimia simplisia herba ketumpang mengandung senyawa flavonoid, saponin, alkaloid, tanin, steroid dan polifenol. Di samping itu didapatkan bahwa ekstrak etanol herba ketumpang memiliki aktivitas sebagai antimalaria, dengan nilai hambatan konsentrasi 50 (IC50) ekstrak etanol herba ketumpang adalah 3 µg/mL. Ucapan Terimakasih Penelitian ini atas biaya LPPM Unjani, dan parasit bersumber dari Lembaga Biologi Molekular Eijkman. Daftar Pustaka Adams Y, Smith SL, Schwartz-Albiez R, Andrews KT. Carrageenans inhibit the in vitro growth of Plasmodium falciparum and cytoadhesion to CD36. Parasitol Res 2005; 97: 290-294 Anonim, Materia Medika Indonesia V, Departemen Kesehatan Indonesia, Jakarta, 1980 Dubar F, Egan TJ, Pradines B, Kuter D, Ncokazi KK,Forge D, et al. The antimalarial ferroquine: role of the metal and intramolecular hydrogen bond in activity and resistance. ACS Chem Biol 2010; 6(3): 275-287 Kirby GC, O‘Neil MJ, Philipson JD, Warhurst DC. In vivo studies on the mode of action of quassinoids with activity against chloroquine resistant Plasmodium falciparum. Biochem Pharmacol 1989;38: 4367-4374 Lambros C, Vanderburg JP, Synchronization ofPlasmodium falciparumerythrocytic stages in culture.J Parasitol 1979;65:418–420
67 ISBN 978-602-70361-0-9
Lopez ML, Vommaro R, Zalis M, de Souza W, Blair S, Segura C. Induction of cell death on Plasmodium falciparum asexual blood stages bySolanum nudum steroids.Parasitol Int 2010; 59: 217-225 Phillipson, J.D., M. J. O'Neill. In : Biologically Active Natural Products, (Hostettman, K.P.J. Lea edition), Clarendon Press, London, 1987;49 Partomuan Simanjuntak, Tumbuhan Sebagai Sumber Zat Aktif Antimalaria, Puslitbang Bioteknologi-LIPI, Bogor;1995 Trager W, Jensen J, Human malaria parasites in continuous culture.Science 1976;193:673–675 World Health Organisation (WHO). The World Malaria Report; World Health Organisation: Geneva, Switzerland;2010 World Health Organisation (WHO). The World Malaria Report; World Health Organisation: Geneva, Switzerland;2011
68 ISBN 978-602-70361-0-9
Pengembangan Probiotik Lactobacillus acidophilus dalam Minuman Herbal Berkhasiat Sayu Putu Yuni Paryati, Eka Noneng Nawangsih Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi *Email : yunisayu@com
Abstract Probiotics are live microorganisms which when administered in adequate amounts confer a health benefit on the host. Raw materials probiotic Lactobacillus acidophilus are more outstanding dominated by cow's milk. Cow's milk has a few weaknesses so required alternative to other raw materials as a medium for the growth of L. acidophilus. Several studies declare soy milk included Indonesian soy milk could prevent many degenerative diseases with a nutrient composition not significantly different from cow's milk. The purpose of this research is to know the potency of soymilk as nutritious herbal drink. This study was done to determine the ability of L. acidophilus growth on fresh cow’s milk and Indonesian pure soy milk, the ability of growth in various temperature, and in the intestinal tract. The result and conclusions of this research are the number of colonies of probiotic bacteria in pure soy milk significantly more than fresh cow’s milk, L. acidophilus grow well in various pH and intestinal tract. The maximum total plate count (TPC) of L. acidophilus obtained in 10% glucose added. Keywords: Lactobacillus acidophilus, soyghurt, soymilk, total plate count, TPC 1.
Pendahuluan
Probiotik adalah pangan yang mengandung mikroorganisme tidak merugikan yang hidup normal di dalam saluran pencernaan. Fungsi utama probiotik adalah menjaga keseimbangan mikroorganisme di dalam saluran pencernaan (Soeharsono, 2010). Probiotik merupakan mikroorganisme yang jika dikonsumsi dalam jumlah yang adekuat akan memberikan manfaat terhadap kesehatan. Bahan baku probiotik Lactobacillus acidophilus yang banyak beredar saat ini didominasi oleh susu sapi. Bagi orang yang alergi protein susu sapi, tidak menyukai susu sapi atau daya belinya kurang, salah satu alternatif yaitu menggunakan susu kedelai. Susu kedelai mempunyai komposisi yang hampir sama dengan susu sapi dan mengandung protein yang lebih tinggi kacang-kacangan lain, sehingga sangat baik sebagai pengganti susu sapi (Sujaya, dkk.,2008; Santoso, 2009). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minuman probiotik yang mengandung bakteri hidup (Lactobacillus) dapat digunakan untuk memperbaiki gangguan saluran pencernaan, memperbaiki sistem imun, dan menurunkan kolesterol. Mekanisme kerja probiotik untuk menghambat pertumbuhan bakteri berbahaya dalam mukosa usus belum sepenuhnya jelas tetapi beberapa laporan menunjukkan dengan cara kompetisi untuk mengadakan perlekatan dengan enterosit (sel epitel mukosa), enterosit yang telah jenuh dengan bakteri probiotik tidak dapat lagi mengadakan perlekatan dengan bakteri yang lain. Kemampuan adhesi bakteri probiotik dapat mengurangi menghambat adhesi bakteri lain misalnya E. coli dan Salmonella sehingga tak terjadi kolonisasi (Oliveira, 2002). Bakteri Lactobacillus acidophilus merupakan bakteri asam laktat yang paling tahan terhadap pH rendah dan lebih toleran terhadap kadar oksigen dalam lingkungan pertumbuhan. Produk pangan probiotik yang beredar di masyarakat saat ini didominasi oleh susu sapi sebagai bahan dasar (Soeharsono, 2010; Sujaya, 2008; Utami, 2011). Susu kedelai dapat dibuat dengan teknologi dan peralatan sederhana dan tidak memerlukan keterampilan khusus, sehingga semua orang dapat membuat sendiri di rumah, namun daya terima konsumen Indonesia terhadap susu kedelai relatif masih rendah. Salah satu penyebab susu kedelai kurang disukai adalah baunya yang langu (beany flavor). Timbulnya bau langu pada susu kedelai diakibatkan oleh aktivitas enzim lipoksigenase atau lipoksidase yang terdapat dalam biji kedelai (Budimarwanti, 2011). Untuk mendapatkan nilai tambah secara ekonomi, peningkatan nilai gizi, daya terima konsumen terhadap produk kacang kedelai serta peningkatan ragam pilihan konsumen akan produk kacang kedelai perlu upaya-upaya proses lebih lanjut. Salah satu upaya tersebut ialah dengan cara fermentasi susu menggunakan bakteri asam laktat (Utami, 2011). Sifat yang terpenting dari bakteri asam laktat adalah kemampuannya untuk memfermentasi gula menjadi asam laktat. Bakteri asam laktat diisolasi untuk menghasilkan antimikroba yang dapat digunakan sebagai probiotik (Herawati dan Wibawa, 2009). Bakteri yang termasuk bakteri asam laktat adalah famili
69 ISBN 978-602-70361-0-9
Lactobacillaceae, yaitu Lactobacillus, dan famili Streptococcaceae, terutama Leuconostoc, Streptococcus dan Pediococcus (Rahayu dan Margino, 1997). Laktosa merupakan sumber energi utama Lactobacillus sp., namun tidak dapat langsung digunakan karena merupakan suatu disakarida. Laktosa harus dipecah menjadi glukosa dan galaktosa. Glukosa yang telah dipecah akan langsung digunakan dalam proses glikolisis anaerob untuk menghasilkan asam laktat sebagai sumber energi bakteri, sedangkan galaktosa akan dimetabolisme menjadi glukosa terlebih dahulu. Kandungan glukosa pada susu kedelai jumlahnya terbatas yaitu 0,24 mg/100g. Untuk mempercepat fermentasi dan memperbanyak bakteri, maka diperlukan penambahan glukosa. Sukrosa merupakan karbohidrat dalam susu kedelai yang digunakan sebagai sumber karbon utama L. acidophilus. Kandungan protein dalam susu kedelai setara dengan albumin putih telur sebagai protein hewani, susu kedelai juga tidak mengandung lemak jenuh yang dapat menyebabkan penyakit degeneratif (Hardiningsih, 2011; Madigan, dkk., 2009). 2.
Metode
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah susu kedelai murni, susu sapi segar, bakteri L. acidophilus dan mencit sebagai hewan model. Bahan lain berupa media Tryptone Soy Broth (TSB) sebagai media peremajaan, medium deMan Rogosa and Sharpe Agar (MRSA) di dalam cawan petri, aquades, larutan asam asetat 1 N, larutan NaOH 0,1 N, susu kedelai, NaCl 0,9%, spiritus, karbol gentian violet, lugol, safranin, dan alkohol 95%. Pengujian Lactobacillus sp. pada Media Susu Sapi dan Susu Kedelai Susu sapi segar atau susu kedelai murni yang akan dijadikan sebagai media penanaman bakteri L. acidophilus disterilisasi selama 15 menit pada suhu 121oC. Sebanyak 20 ml susu sapi segar dan susu kedelai yang telah disterilisasi, masing-masing ditambahkan 1 ml suspensi bakteri L. acidophilus. dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Susu sapi dan susu kedelai yang telah diinkubasi selanjutnya diencerkan hingga 10 -17, ditumbuhkan pada medium deMan Rogosa and Sharpe agar (MRSA) di dalam cawan petri, diinkubasikan selama 48 jam pada suhu 37o C, dihitung TPC menggunakan colony counter. Penanaman bakteri pada media susu kedelai dilakukan dengan cara susu kedelai yang telah diatur pHnya dimasukkan ke dalam tabung reaksi screw masingmasing 9 mL dan diinokulasi dengan inokulum bakteri L. acidophilus sebanyak 1 mL. Selanjutnya tabung reaksi screw tersebut dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 37oC dan diinkubasi selama 48 jam. Uji Daya Simpan Soyghurt Susu kedelai yang sudah dimasukan ke dalam tabung screw sebanyak 9 ml kemudian dipasteurisasi ke dalam oven pada suhu 80°C selama 30 menit kemudian ditambahkan glukosa 10% dan didinginkan sampai suhu 43°C, ditambahkan L. acidophilus sebanyak 1 ml, selanjutnya susu kedelai diinkubasi sampai terbentuk soyghurt yaitu pada suhu ruangan yaitu 25°C selama 15 jam. Penghitungan langsung dilakukan untuk mengetahui apakah jumlah koloni sudah sesuai dengan standar SNI atau tidak dan diinkubasi sesuai dengan kelompok eksperimen yaitu suhu refrigerator, ruangan dan maksimal harian udara luar. Pengamatan kemudian dilakukan pada soyghurt yang telah diinkubasi sesuai dengan suhu penyimpanan, pada suhu refrigerator dilakukan selama 11 hari setiap 3 hari sekali, suhu ruangan dilakukan selama 5 hari setiap 1 hari sekali (24 jam) dan suhu udara maksimum (30 oC) dilakukan setiap 1 hari sekali (24 jam). Uji Daya Tahan Bakteri pada Saluran Pencernaan Sebelum diberikan perlakuan, disiapkan 10 ekor mencit yang homogen dari segi umur, jenis kelamin, berat badan serta bebas dari L. acidophilus. Mencit diadaptasikan selama 7 hari, selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap feses. Feses diambil dengan cara usap rectal, selanjutnya ditanam di media MRSA untuk melihat adanya L. acidophilus. Mencit dicekok dengan minuman probiotik susu kedelai yang telah disiapkan, dan dilakukan pemeriksaan terhadap L. acidophilus pada feses mencit setelah 12, 24 dan 48 jam pasca pemberian soyghurt. Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan yaitu uji one way anova. Analisis data dilanjutkan dengan menggunakan analisis Post Hoc dengan kepercayaan 95% (p≤0,05). 3.
Hasil dan Pembahasan
3.1
Pertumbuhan L. acidophilus pada Media Susu Sapi dan Susu Kedelai
Susu sapi segar dan susu kedelai murni hasil penanaman setelah proses inkubasi mengalami perubahan struktur secara fisik menjadi sedikit mengental akibat denaturasi protein oleh asam laktat yang dihasilkan bakteri
70 ISBN 978-602-70361-0-9
probiotik L. acidophilus. Susu kedelai murni menggumpal karena denaturasi protein oleh asam laktat lebih jelas terlihat. Menurut literatur, pemanasan terhadap susu yang berasal dari kacang-kacangan akan menyebabkan denaturasi protein terutama albumin dan globulin. Perubahan struktur protein memudahkan hidrolisis oleh enzim proteolitik yang dihasilkan bakteri L. acidophilus. Dalam ilmu pangan jenis minuman yoghurt dengan tekstur cenderung encer disebut sebagai drinking yoghurt dan tekstur yang cukup padat disebut stirred yoghurt (Hidayat dkk., 2006). Dari Tabel 1, terlihat jumlah koloni bakteri probiotik L. acidophilus pada susu kedelai murni lebih banyak dari jumlah koloni pada susu sapi segar. Hasil ini tidak sama dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa bakteri probiotik tidak akan mampu tumbuh pada media susu kedelai murni tanpa penambahan sumber karbon utama glukosa bagi metabolisme homofermentatif Lactobacillus. Susu kedelai mengandung karbohidrat atau sumber karbon bagi Lactobacillus berupa fruktosa dan sukrosa, sedangkan susu sapi hanya memiliki sumber karbon utama berupa laktosa. Kemungkinan faktor ini mempengaruhi jumlah koloni probiotik pada susu kedelai murni lebih banyak dari susu sapi. Faktor lain yang juga diduga mempengaruhi pertumbuhan koloni bakteri probiotik pada susu kedelai adalah kandungan prebiotik berupa oligosakarida yang dapat menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas bakteri yang menguntungkan seperti Lactobacillus (Soeharsono , 2010; Erma, 2011). Dalam penelitian yang lain menyatakan Lactobacillus dapat tumbuh pada semua media yang mengandung sumber karbon laktosa, glukosa, sukrosa, fruktosa, dan frukto-oligosakarida. Hasil penelitian menyatakan Lactobacillus tumbuh paling optimal pada media yang mengandung sukrosa dengan jumlah koloni 33x10 30 cfu/ml. Tabel 1. Jumlah koloni bakteri probiotik L. acidophilus pada susu sapi segar dan susu kedelai murni Media Susu sapi segar Susu kedelai murni 3.2
TPC Pengulangan (cfu/ml) 1 2 5,6 x 1010 5,8 x 1010 15 1,7 x 10 1,5 x 1015
3 5,7 x 1010 1,6 x 1015
Daya Simpan Soyghurt
Susu kedelai yang sudah diinokulasi L. acidophilus dan diinkubasi pada 25o C selama 15 jam akan menjadi soyghurt dengan konsistensi kental padat, rasa asam sedikit manis, beraroma seperti tahu dan berwarna putih ditunjukkan pada Gambar 1. Keasaman (pH) soyghurt adalah 4,55, menunjukkan adanya perubahan akibat metabolisme bakteri yang menghasilkan asam laktat. Untuk mengethaui daya simpan soyghurt, dilakukan penghitngan koloni bakteri dengan metode TPC, didapat hasil 2,73 x 1021 cfu/mL. Soyghurt kemudian dibagi menjadi tiga kelompok sesuai dengan perlakuannya, yaitu disimpan pada suhu refrigerator, suhu ruangan, dan suhu maksimal udara harian.
Gambar 1 Soyghurt L. acidophilus. Soyghurt yang telah disimpan sesuai dengan kelompoknya dilakukan perhitungan dengan metode TPC, pengukuran pH dan makroskopisnya. Hasil perhitungan pada tiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 2. Pada awal penyimpanan, soyghurt mempunyai pH 4,55 lalu pada hari pertama pH soyghurt relatif stabil pada suhu refrigerator, pH 4,46 pada suhu ruangan, pH 4,45 pada suhu maksimal udara harian, dan menurun menjadi lebih asam pada hari-hari berikutnya. Hal ini sesuai teori karena L. acidophilus memetabolisme gula dalam soyghurt menjadi asam laktat. Asam laktat membuat suasana lebih asam sehingga saat pengukuran didapatkan pH yang menurun.
71 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 2. Hasil perhitungan rata-rata jumlah koloni bakteri pada soyghurt Penyimpanan (Hari) 1 2 3 4 5 6 7 14 21
Jumlah koloni (cfu/mL) Refrigerator Ruangan 8,8 x 1025 5,03 x 1029 3,5 x 1031 1,43 x 1038 2,87 x 1029 1,8 x 1025 6,5 x 1021 26 1,73 x 10 1,31 x 1032 < 1015
Maksimal Udara 3,13 x 1031 7,16 x 1033 6,16 x 1041 6,76 x 1030 1,27 x 1030 2,73 x 1029
Analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna di antara suhu penyimpanan (p < 0,05). Pada hari pertama, jumlah koloni bakteri pada penyimpanan suhu maksimal udara lebih banyak secara nyata dibandingkan penyimpanan suhu ruangan, penyimpanan pada suhu ruangan lebih banyak secara nyata dibandingkan dengan penyimpanan suhu refrigerator. Jumlah koloni soyghurt yang disimpan pada suhu ruangan dan suhu maksimal udara harian dihitung setiap hari dari hari pertama sampai hari keenam. Pada hari keenam, soyghurt sudah menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan yaitu secara makroskopis sudah tampak adanya whey dan soyghurt berbau busuk sehingga pada hari ketujuh tidak dilakukan lagi perhitungan jumlah koloni. Terdapat perbedaan yang bermakna (p < 0,05) di setiap hari pengukuran pada suhu ruangan dan suhu maksimal udara. Pada suhu refrigerator, jumlah koloni bakteri soyghurt dihitung pada hari 1, 7, 14, dan 21. Soyghurt pada hari ke-21 sudah menunjukkan tanda ketidakstabilan karena sudah tampak adanya whey berbau busuk sehingga perhitungan tidak dilanjutkan untuk hari berikutnya. Analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara pengukuran TPC pada hari ke-1 dan ke-14, serta pada hari ke-7 dan hari ke-14. TPC pada hari ke-1 dan hari ke-7 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (Tabel 3). Tabel 3. Hasil analisis statistic TPC pada kelompok suhu refrigerator Hari
Hari
Sig.
1
7
.184
14
.000
14
.000
7
Soyghurt yang disimpan pada suhu refrigerator stabil sampai hari ke-14, sedangkan soyghurt yang disimpan pada suhu ruangan dan suhu maksimal udara harian stabil sampai hari ke-5. Hal ini sesuai dengan penelitian stabilitas pada soyghurt kedelai impor bahwa soygurt paling stabil pada suhu terendah (Irianto, 2007). Pertumbuhan bakteri lambat disebabkan karena suhu yang minimal akan menghambat aktivitas enzim sehingga metabolisme berkurang drastis dan pertumbuhan bakteri juga terhambat. Pertumbuhan bakteri yang lambat menyebabkan nutrisi pada media soyghurt habis lebih lama sehingga media soyghurt dapat memenuhi kriteria SNI dalam jangka waktu yang lebih lama pula. Suhu maksimal udara merupakan suhu yang paling mendekati suhu optimum untuk pertumbuhan L. acidophilus sehingga pada suhu maksimal udara bakteri mencapai angka paling tinggi (Jawetz, et al., 2007; Jacques et al., 2003). 3.3
Daya Tahan Bakteri pada Saluran Pencernaan
Penghitungan jumlah koloni bakteri probiotik L. acidophilus dilakukan pada media Rogosa agar menggunakan metode total plate count (TPC). Penghitungan TPC dilakukan setelah media agar diinkubasikan selama 72 jam pada suhu 370 C. Hasil penghitungan TPC terlihat pada Tabel 4. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa kelompok tanpa perlakuan menunjukan pertumbuhan jumlah bakteri yang stabil bahkan berkurang, dan terdapat peningkatan jumlah koloni pada kelompok perlakuan yang diberikan soyghurt. Pada jam ke-12, 24 dan 48 jumlah TPC kelompok yang diberikan soyghurt lebih banyak secara nyata (p<.005) dibandingkan kelompok tanpa perlakuan. Pada kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan terdapat pertumbuhan bakteri L. acidophilus hal ini menunjukkan bahwa bakteri tersebut merupakan flora normal dalam saluran pencernaan (FAO, 2002).
72 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 4. Jumlah koloni L.acidophilus pada jam ke-12, jam ke-24 dan jam ke-48 pasca pemberian soyghurt Kelompok
Tanpa perlakuan/ kontrol (-)
soyghurt + glukosa 10%
Signifikansi
Total plate count (TPC) Jam ke-12 Jam ke-24 1,73 x 107 1,85 x 107 7 1,27 x 10 2,23 x 107 7 1,53 x 10 1,80 x 107 6 8,33 x 10 1,86 x 107 7 1,31 x 10 1,41 x 107 7 1,06 x 10 1,20 x 107 13 2,13 x 10 3,70 x 1014 13 9,09 x 10 6,80 x 1014 14 1,75 x 10 2,25 x 1014 13 2,46 x 10 4,07 x 1014 13 1,14 x 10 1,54 x 1016 13 8,00 x 10 1,91 x 1015 .002 .003
Jam ke-48 1,34 x 107 1,00 x 107 1,62 x 107 1,91 x 107 1,78 x 107 1,95 x 107 3,38 x 1010 3,05 x 1010 6,14 x 1011 1,82 x 1011 2,56 x 1011 2,56 x 1011 .004
Pertumbuhan pada kelompok yang diberi perlakuan soyghurt menunjukan bahwa L. acidophilus mampu melewati dan tumbuh berkembang dalam saluran pencernaan mencit. Hal ini disebabkan dari kemampuan L. acidophilus melewati berbagai hambatan mikroba dalam saluran pencernaan mulai dari mulut sampai anus diantaranya adalah enzim lisozim pada air liur, asam lambung (HCL), garam empedu, dan enzim-enzim yang dihasilkan saluran pencernaan, contohnya tripsin. Hambatan yang paling berarti adalah asam lambung dan garam empedu (Hutkins dan Nannen, 1993; Rahmawati, 2010). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil dari penelitian lain mengenai pengaruh berbagai pH yang disimulasikan sebagai pH saluran pencernaan terhadap pertumbuhan Lactobacillus spp. yang ditanam pada media susu kedelai. Dengan pH 6,5 yang didasarkan sebagai pH cavum oris, pH 2 didasarkan sebagai pH gaster, pH 5 sebagai intestin, dan colon dengan pH 7 dan hasilnya Lactobacillus spp. mampu bertahan dalam pH-pH tersebut (Untorowati, 2012). Penelitian lainnya mengenai karakteristik ketahanan BAL indigenous kefir sebagai kandidat bakteri probiotik pada kondisi saluran pencernaan secara in vitro dengan hasil pengujian garam empedu pada saluran pencernaan menunjukkan bahwa L. acidophilus mampu bertahan dengan diikuti pertumbuhan setelah diinkubasi selama 24 jam dan memiliki aktifitas antagonistik terhadap bakteri patogen (S. Aureus, E. coli dan S. typhimurium) (Khan dan Wiyana, 2011). Efek dari berbagai hambatan dalam saluran pencernaan yaitu lisozim yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung terhadap dinding selnya menyebabkan pecahnya dinding sel yang dapat menyebabkan kematian dari bakteri tersebut. Efek dari asam lambung atau HCl yang memiliki tingkat keasaman yang tinggi, HCl membunuh bakteri dengan cara mengganggu enzim-enzim penting dalam bakteri. Garam empedu yang dapat memecah lemak keadaan ini sangat berbahaya bagi kehidupan bakteri dalam usus mengingat membran sel mikroorganisme umumnya tersusun atas lipid atau lemak. Hambatan lainnya yaitu enzim pencernaan tripsin dapat melepaskan struktur dinding bakteri, contohnya ikatan polisakarida dan enzim ini juga melepaskan salah satu komponen pembentuk dinding sel yaitu O-acetyllation sehingga mempengaruhi pertumbuhan/ketahanan hidup bakteri di saluran pencernaan. Keistimewaan dari bakteri L. acidophillus dalam melewati berbagai hambatan tersebut karena bakteri tersebut mempunyai lapisan polisakarida yang bersifat asam dan mampu mempertahankan pH sitoplasma lebih alkali dari pada pH ekstraseluler sehingga tahan terhadap enzim pencernaan dan HCL (Hutkins dan Nannen, 1993). Selain itu, L. acidophilus juga memiliki kemampuan mendekonjugasi garam empedu. Proses dekonjugasi ini terjadi karena L. acidophilus memproduksi enzim Bile Salt Hydrolase (BSH) yang dapat menghidrolisis atau memutuskan ikatan C-24 N-acyl amida yang terbentuk di antara asam empedu dan asam amino pada garam. Proses dari dekonjugasi menghasilkan garam empedu terdekonjugasi (Unconjugated Bile Salt) yang memiliki tingkat solubilitas/kelarutannya di dalam pH fisiologis lebih rendah, sehingga garam empedu terdekonjugasi memiliki kemampuan antimikroba yang rendah, dan tidak terlalu membahayakan kehidupan bakteri (Hutkins dan Nannen, 1993; Untorowati, 2012). 4.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa bakteri L. acidophilus dapat tumbuh lebih baik pada media susu kedelai dibandingkan dengan media susu sapi. Fermentasi susu kedelai oleh L. acidophilus menghasilkan soyghurt dengan konsistensi kental padat, rasa asam sedikit manis, beraroma seperti tahu dan berwarna putih. Soyghurt dapat bertahan selama 5 hari pada suhu ruangan dan suhu maksimal udara, dan dapat disimpan selama 14 hari bila
73 ISBN 978-602-70361-0-9
disimpan dalam refrigerator. Uji daya tahan dalam saluran pencernaan menunjukkan L. acidophilus dapat bertahan dalam saluran penceraan. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih atas terlaksananya penelitian ini kepada Universitas Jenderal Achmad Yani yang telah mendanai penelitian ini dari hibah penelitian internal Universitas Jenderal Achmad Yani tahun 2013. Daftar Pustaka Budimarwanti C. Komposisi dan Nutrisi pada Susu Kedelai. http://staff.uny.ac.id/ sites/default/files/tmp/ [diunduh 2 Agustus 2011]. Departement of education and Culture Directorate General of Higher Education-International Development Program of Australian Universities and Colleges. (DGHE-IDP). Food science. DGHE-IDP. Australian. Erma N. Perbandingan pengaruh sumber karbon:glukosa,laktosa,fruktosa, sukrosa dan frukto-oligosakarida terhadap pertumbuhan Lactobacillus casei. Airlanggadln digital library 2011. Food and Agriculture Organization of the United Nations & World Health Organization. Joint FAO/WHO working Group Report on Drafting Guidelines for the Evaluation of Probotics in Food. FAO/WHO 2002. Hardiningsih R, Natitupulu RNR, Yulinery T. Isolasi dan Uji Resistensi Beberapa Isolat Lactobacillus pada pH Rendah. Biodiversitas 2006; 7: 15-17. http://biodiversitas. mipa.uns.ac.id/D/D0701/D070105.pdf. (verified 7 Januari 2006) [diunduh 8 April 2011]. Herawati DA, Wibawa AA. Pengaruh Konsentrasi Susu Skim dan Waktu Fermentasi terhadap Hasil Pembuatan Soyghurt. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan; 1: 48-58. http://eprints.upnjatim.ac.id/1240/2/dewi_%282% 29.pdf. [diunduh 16 Juni 2011]. Hidayat N, Padaga M, Suhartini S. Mikrobiologi industri. Yogyakarta: Andi Yogyakarta; 2006. Hutkins RW, Nannen NL.Ph Homeostatis in Lactid Acid Bakteria. Journal Dairy Science 1993; 76: 2354-65. Irianto K. Mikrobiologi Menguak dunia mikroorganisme. Bandung: Yrama Widya; 2007 Jawetz, Melnick, Adelberg. Medical microbiology. 24th ed. USA: Lange McGraw-Hill; 2007. Jacques KA, Lyon TP, Kelsall DR. The alcohol textbook. England: Nottingham University Press; 2003. Khan MS, Wiyana A. karakteristik ketahanan bakteri asam laktat indigenous kefir sebagai kandidat bakteri probiotik pada kondisi saluran pencernaan secara in vitro. Bogor: Usulan Program Kreativitas Mahasiswa Institut Pertanian Bogor. 2011. Madigan MT, Martinko MT, Dunlap PV, Clark DP. Brock Biology of Microorganisms. 12th Ed. San Francisco: Pearson Benjamin Cummings Pearson Education; 2009. p. 817. Oliveira MN. Manufacture of fermented lactic beverages containing probiotic cultures. Journal of Food Sciense 2002. Rahayu ES, Margino. Bakteri Asam Laktat: Isolasi dan Identifikasi. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada; 1997. Rahmawati A. Asimilasi kolesterol dan dekonjugasi garam empedu oleh bakteri asam lakat (BAL) dari limbah kotoran ayam secara In Vitro. Yogyakarta : Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Universitas Negeri Yogyakarta. 2010. Sujaya IN, Dwipayanti NMU, Suariani NLP, Widarini NP, Nocianitri KA, Nursini NW. Potensi Lactobacillus spp. Isolat Susu Kuda Sumbawa sebagai Probiotik. Jurnal Veteriner; 9:33-40. 2008. ejournal.unud.ac.id/abstrak/pdf. [diunduh 21 Mei 2011]. Santoso. Susu dan Yoghurt Kedelai. http://labfpuwg.files.wordpress.com/ 2010/ 02/susu-dan-yoghurt-kedelai.pdf. 2009. [diunduh 16 Juni 2011]. Soeharsono, Lovita A, Ratu S, Osfar S, Sirajuddin A, Rita R, dkk, editors. Probiotik basis ilmiah, aplikasi, dan aspek praktis. Ed 1. Bandung: Widya Padjadjaran; 2010. Soeharsono. Probiotik Basis Ilmiah, Aplikasi dan Aspek Praktis. Bandung: Widya Padjadjaran; 2010. Untorowati D. Pengaruh variasi pH terhadap pertumbuhan Lactobacillus sp. pada media susu kedelai. Cimahi: Fakultas Kedokteran Universitas Jendral Achmad Yani. 2012; 12,50. Utami PP. Sifat Organoleptik, Overrun, dan Daya Terima Es Krim yang Dibuat dari Campuran Susu Kedelai dan Susu Sapi dengan Perbandingan yang Berbeda. http://etd.eprints.ums.ac.id/2783/1/J300050003.pdf. 2008. [diunduh 2 Agustus 2011].
74 ISBN 978-602-70361-0-9
Optimasi Suhu Annealing Amplifikasi PCR Domain Transmembran HER-2 pada Pasien Kanker Payudara Indonesia Desriani1*, Ramadhan2, dan Wirsma Arif Harahap3 1
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Jl. Raya Bogor Km 46, Kec. Cibinong, Kab. Bogor, 16911 Timja Payudara Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jl. Letjend S. Parman No. 84-86 Slipi, Jakarta Barat 3 Departemen Bedah Onkologi Universitas Andalas- RSUP M.Djamil Padang. Jl Perintis Kemerdekaan No 94, Padang 2
*
E-mail:
[email protected]
Abstract HER-2 breast cancer is known as the type of cancer with a high malignancy and low survival. This type of cancer is approximately 20-30 % from totally of breast cancer patients. Based on the refference, shows that that mutations in the transmembrane region may serve as a marker of malignancy and as a base for trastuzumab theraphy. The aim of the study was to optimized annealing temperature of PCR amplifying the region containing the mutation in the transmembrane regions HER - 2. The methods consist of genomic extraction, primer design, PCR annealing temperature optimization using KOD polymerase from Novagen 45oC; 50oC; 55oC; 60°C , and beta globin PCR amplify as the internal control. As the result were the target gene successfully amplified and confirmed by 1% agarose and sequensing. Annealing temperature of 60 ° C show that the best annealing temperature to amplify HER - 2 transmembrane regions. Keywords: KOD polymerase, annealing temperature, HER - 2, Breast Cancer , PCR
1. Pendahuluan Kanker payudara positif HER-2 diketahui merupakan jenis kanker dengan tingkat keganasan yang tinggi, dan memiliki angka harapan hidup yang cukup rendah bagi pasien penderitanya. Tercatat 20-30% dari total penderita kanker payudara diketahui mengalami overekspresi HER-2 (Pohlman dkk, 2009). Untuk menjadi aktif, protein HER-2 harus melalui tahapan dimerisasi. Proses dimerisasi tidak saja melibatkan domain ekstraselular itu sendiri, tetapi juga melibatkan domain transmembrannya. Terdapat dua motif pada domain transmembran HER2 yang berperan untuk memicu terjadinya proses dimerisasi yaitu motif Stenberg-Gullick dan motif G***G. Mutasi titik pada daerah transmembran juga berpengaruh terhadap kestabilan dimerisasi reseptornya (Fleishman dkk 2002, Tai dkk, 2010). Berdasarkan hasil modelling protein yang dibuat, Fleishman dkk (2002) menyatakan bahwa dimerisasi reseptor pada HER-2/Val (mutan) bersifat stabil berbeda dengan Ile (wild type) yang bersifat tidak stabil. Keberadaan Valine, dapat menstabilkan aktif site reseptor, mengurangi terjadinya endositosis dan mempercepat receptor recycling. Lebih lanjut dengan HER-2/Ile, walaupun terjadi overekspresi HER-2/Ile tetapi dikarenakan dimerisasi yang terbentuk bersifat tidak stabil, akan berefek terhadap penurunan aktivitas protein tirosin kinase. Stabilitas yang terbentuk pada HER-2/Val dikarenakan terdapat adanya interaksi hidrogen antar reseptor. Stabilitas interaksi hidrogen akan meningkatkan proses autoposforilasi dan aktivasi protein tirosin kinase. Penyebaran Her-2/Val berbeda-beda untuk tiap populasi di dunia. Pada populasi di benua Afrika, Her2/Val tidak ditemukan pada populasi Ghana, 1% di Kenya dan 9% di Sudan. Prosentase yang sama dengan di Sudan ditemukan untuk populasi Asia di Filiphina, 11% untuk di China dan Saudi, sedangkan untuk populasi Kaukasia dan Afrika-Amerika ditemukan dengan frekuensi yang tinggi yaitu 20% dan 24% untuk masingmasingnya. Rendahnya frekwensi penyebaran Her-2/Val di Afrika berkorelasi dengan rendahnya angka penderita kanker payudara, 10orang/100.00kejadian, sebaliknya kasus penderita kanker payudara ditemukan tinggi pada etnis Kaukasia dan Afrika-Amerika, 95orang/100.000 kejadian. Penyebab timbulnya variasi genotipe Her-2/Val diantara etnis sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti (Ameway, 2002). Pada penelitian ini akan dilaporkan hasil optimasi suhu annealing PCR pada daerah transmembran HER-2 dengan menggunakan jaringan kanker payudara HER-2 pasien penderita di Indonesia sebagai sumber templatenya.
75 ISBN 978-602-70361-0-9
2.
Metode
Untuk mendapatkan koleksi sampel jaringan kanker payudara, gen HER-2 diisolasi dari jaringan pasienpasien penderita kanker payudara HER-2/neu IHC +3 yang di peroleh dari Rumah sakit Muhamad Jamil Padang dan Rumah sakit kanker Dharmais Jakarta. Isolasi genom dilakukan dengan proses ekstraksi DNA menggunakan kit dari Invitrogen. Untuk konfirmasi DNA hasil isolasi dilakukan dengan menggunakan agarose elektroforesis 1%. DNA hasil isolasi yang tidak langsung dipergunakan akan disimpan pada suhu -20oC. Optimasi suhu annealing PCR dilakukan menggunakan primer spesifik mengenali pada daerah transmembran HER-2. Optimasi suhu dilakukan pada rentang suhu 45oC, 50oC, 55oC dan 60oC. Produk PCR dikonfirmasi didalam 1% agarose. Konfirmasi gen target hasil isolasi juga dilakukan menggunakan metoda sequensing. 3.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini telah mendapatkan dokumen kaji etik yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Rumah Sakit Kanker Dharmais Pusat Kanker Nasional Indonesia. Sebagai sumber genom diperoleh dari Rumah sakit kanker Dharmais dan dari Rumah sakit M. Djamil Padang. Untuk penentuan jaringan kanker yang ditargetkan sebagai sumber genom, tahapan awal yang dilakukan adalah dengan melakukan skreening menggunakan metoda immunohistochemistry (IHC). Jaringan kanker payudara target yang telah berhasil dikumpulkan selanjutnya disimpan didalam freezer -80oC atau didalam nitrogen cair. Selanjutnya, untuk proses ekstraksi genom dilakukan menggunakan Purelink mini kit dari Invitrogen. Hasil elektroforesis agarose 1% menunjukkan jaringan kanker yang digunakan cukup baik sebagai sumber isolasi genom, yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Hasil ekstraksi genom total dari jaringan kanker payudara Genom total yang telah berhasil diisolasi dan dikonfirmasi selanjutnya digunakan sebagai template untuk PCR. Sebagai kontrol internal digunakan primer yang mengamplifikasi pada daerah beta globin. Pada suhu 45 oC beta globin berhasil diamplifikasi (data tidak ditunjukkan). Ini menunjukkan bahwa genom yang telah diisolasi layak untuk digunakan sebagai template. Untuk proses isolasi gen disini digunakan KOD polymerase yang memiliki fidelity yang tinggi. Optimasi suhu annealing dilakukan pada suhu 45oC, 50oC, 55oC dan 60oC. Hasil optimasi suhu dapat dilihat pada Gambar 2.
76 ISBN 978-602-70361-0-9
o
M 45 C M
50
55
o
60 C
Gambar 2. Optimasi suhu annealing gen penyandi domain transmembran HER-2 kanker payudara Berdasarkan hasil optimasi suhu annealing amplifikasi daerah transmembran HER-2 diatas, suhu 60oC merupakan suhu terbaik untuk mengamplifikasi domain transmembran HER-2. Selanjutnya suhu 60oC tersebut digunakan sebagai suhu annealing menggunakan genom dari jaringan kanker payudara HER-2 dari pasien yang berbeda untuk melihat reprodusibilitas kondisi PCR.
Gambar 3. Produk PCR domain transmembran HER-2 menggunakan template genom dari beberapa pasien kanker payudara. Dari hasil amplifikasi PCR menggunakan suhu 60 oC dapat dilihat bahwa kondisi PCR yang telah didapat melalui proses optimasi, memiliki reprodusibilitas yang tinggi. Dengan demikian kondisi PCR yang didapatkan pada penelitian ini, dapat direkomendasikan untuk aplikasi diagnostik yang berkaitan dengan kanker payudara HER-2. 4.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa isolasi daerah intermembran HER-2 telah berhasil dilakukan. Berdasarkan hasil optimasi suhu annealing isolasi daerah transmembran HER-2 menunjukkan suhu 60oC sebagai suhu yang terbaik untuk amplifikasi PCR daerah transmembran HER-2. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih ditujukan kepada KOMPETITIF LIPI yang telah mendanai penelitian ini.
77 ISBN 978-602-70361-0-9
Daftar Pustaka Ameyaw MM, dkk. Ethnic variation in the HER-2 codon 655 genetic polymorphism previously associated with breast cancer. J Hum Genet. 2002; 47:172-175. Fleishman SJ, J Schlessinger, NB Tal. A putative molecular activation switch in the transmembrane domain of erbB2. PNAS. 2002: 99(25):15937-15940. Pohlman PR., IA Mayer, R Mernaugh. Resistance to Trastuzumab in Breast Cancer. Clin Cancer Res. 2009; 24: 7479-7491. Tai W, R Mahato, K Cheng. The Role of HER-2 in cancer theraphy and targeted drug delivery. Journal of Controlled Release. 2012; 146(3):264-275.
78 ISBN 978-602-70361-0-9
Efek Antiinflamasi Ekstrak Mangostin pada Bayi Tikus Galur Wistar Model Enterokolitis Nekrotikans Berdasarkan Pengamatan Histopatologis Yoke Ayukarningsih*, Teja Koswara, dan Teguh Tri Sutarno Program Studi Pendidikan Dokter, FK Unjani, Jl. Terusan Jenderal Sudirman Cimahi 40533 *
E-mail:
[email protected]
Abstract Necrotizing enterocolitis (NEC) is a multifactorial disease in neonates which can lead to intestinal necrosis. Mangosteen is a fruit that has anti-inflammatory and anti oxidative effect. The purpose of this research is to determine the effect of anti-inflammat ory and effective dose of mangosteen pericarp extract on newborn rat model induced to NEC, with histopathological intestinal necrosis as the parameter. This study used 39 Wistar strain newborn rats divided into 13 groups induced with hypoxia reperfusion and cold stress, formula feedingand mangosteen pericarp extracts with 25 mg/kg bw and 50 mg/kg bw combined with rat breast milk and each group were divided into a group of 6 hours, 24 hours, 48 hours, and 72 hours time. Statistical test was done using Kruskal Wallis with SPSS 19thversion with 95% specificity. The result of the whole samples which were given the extract of mangosteen and rat breast milk showed severity 0 NEC score while K(+) groupshowed the score of 2-4.170This study concluded that the samples given the magosteen extract pericarp which was combined with rat breast milk showed protective role towards NEC compared to those in K(+) group. Keywords: Mangosteen pericarp extract (Garcinia mangostana Linn.), anti-inflammatory, NEC
1.
Pendahuluan
Enterokolitis nekrotikans (EKN) adalah penyakit inflamasi yang paling sering terjadi neonatus (Santulli et al. 1975, Schnabl et al. 2008) yang ditandai dengan distensi abdomen, perdarahan gastrointestinal, ulserasi mukosa, dan pneumatosis intestinalis. Lin dan Stoll (2002) berpendapat enterokolitis nekrotikans merupakan kejadian emergensi pada saluran cerna pada bayi baru lahir dan merupakan penyebab morbiditas serta mortalitas utama pada bayi prematur (Neu dan Walker 2011, Hintz et al. 2005, Anand 2007). Insidensi EKN menurut Maheshwari (2011) pada bayi cukup bulan berkisar 10%, sedangkan pada bayi kurang bulan (prematur) dapat mencapai 90%. Penanganan yang tidak adekuat memerlukan (Hintz et al. 2005) tindakan bedah sebanyak 20–40% dengan angka kematian 20−100% pada EKN yang berat dan sebanyak 10–30% penderita EKN dapat mengalami gagal tumbuh, diare, obstruksi usus dan short bowel syndrome,serta gangguan perkembangan neurologi. Diagnosis EKN ditegakkan berdasarkan gejala klinis, laboratorium, dan radiologis (Bell 1978). Bagian usus yang paling sering terkena pada EKN yaitu ileum dan kolon proksimal (Lin dan Stoll 2002, Ballance 1990). Mulai dari destruksi lapisan mukosa pada stadium awal sampai nekrosis transmural seluruh usus halus dan kolon pada stadium lanjut sesuai dengan penelitian Ballance (1990). Enterokolitis nekrotikans diklasifikasikan menjadi 4 stadium berdasarkan skoring yaitu skor 0: submukosa dan lamina propria utuh, skor 1: tampak pemisahan/kerusakan ringan submukosa dan lamina propria, skor 2: tampak pemisahan sedang submukosa dan lamina propria, skor 3: terjadi pemisahan berat submukosa dan lamina propria, sedangkan skor 4: ditandai dengan nekrosis dan hilangnya struktur vili usus (Dvorak et al. 2002). Patogenesis dan patofisiologis EKN sampai sekarang belum sepenuhnya diketahui tetapi disepakati bahwa EKN merupakan penyakit yang kompleks dan bersifat multifaktorial (Lin dan Stoll 2002, Schnabl et al. 2008, Neu dan Walker 2011, Maheshwari 2011), kombinasi prematuritas, kolonisasi mikrobiota usus yang abnormal, hipoksia reperfusi atau perubahan aliran darah usus, dan asupan formula merupakan faktor risiko mayor EKN (Dvorak et al. 2002). Kombinasi faktor tersebut akan menyebabkan kerusakan integritas barier mukosa usus mengeluarkan mediator proinflamasi antara lain tumor necrosis factor-α (TNF-α) (Halpern et al. 2006, Seitz et al. 2005), lipopolisakarida (LPS), nitric oxide (NO), dan radikal bebas oksigen (Hsueh et al. 2007, Clark et al 1998, Mercurio et al. 1999). Berbagai usaha intervensi dilakukan untuk menurunkan insidensi EKN termasuk TNF-α, sebagai antiinflamasi, steroid prenatal (Bauer et al. 1984), air susu ibu (ASI) (Lucas & Cole 1990), probiotik (Khailova et al. 2010), dan antioksidan (Okur et al. 2009).
79 ISBN 978-602-70361-0-9
Besarnya dampak yang diakibatkan oleh EKN telah mendorong beragam upaya penelitian untuk mencari pengobatan alternatif, baik untuk pencegahan atau pengobatannya. Pada era modern, pemanfaatan kulit manggis, Garcinia mangostana Linn. (GML) secara luas memicu minat para ilmuan untuk menyelidiki dan mengembangkan lebih lanjut aspek ilmiah dari kulit manggis (Rukmana 2003, Gopalakrishnan et al. 1997, Shibata et al. 2011). Salah satu zat aktif yang terdapat pada kulit buah manggis adalah mangostin yang merupakan metabolit sekunder tanaman senyawa polifenol yang tergolong dalam kelas ksanton telah berhasil diisolasi dari ekstrak kulit buah manggis (Rukmana 2003), dengan rumus kimia 1,3,6-trihidroxy-7 methoxy-2,8-bis (3-methyl-2-butenyl-9-xanthenone). Penelitian eksperimental menunjukkan ekstrak GML memiliki aktivitas antijamur (Gopalakrishnan et al. 1997), antiinflamasi (Suksamrarn et al. 2003), antitumor (Shibata et al. 2011), dan sebagai antioksidan (Nakatani et al. 2004). Hasil penelitian Wendra (2003) dengan pemberian mangostin dosis 25 dan 50 mg/kgBB mampu mengurangi jumlah nekrosis hepatosit secara bermakna. Fokus penelitian bagaimana efek antiinflamasi ekstrak kulit manggis pada model tikus yang diinduksi menjadi enterokolitis nekrotikans serta berapa dosis efektif dari pemberian antiinflamasi ekstrak kulit manggis yang berpengaruh pada model tikus yang diinduksi menjadi enterokolitis nekrotikans. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui efek antiinflamasi yang ditimbulkan oleh senyawa kulit buah manggis pada model tikus yang diinduksi menjadi enterokolitis nekrotikans dan untuk mengetahui dosis efektif dari pemberian antiinflamasi ekstrak kulit manggis yang berpengaruh pada model tikus yang diinduksi menjadi enterokolitis nekrotikans. 2.
Metode
2.1
Ekstraksi Kulit Manggis
Ekstrak kulit manggis yang digunakan berasal dari Laboratorium Kimia Fisik Analitik Unpad. Proses pembuatan ekstrak melalui tahapan redees/destilasiuntuk mendapatkan kemurnian zat, lalu dilakukan maserasi dengan cara merendam 6 kg serbuk kulit manggis dalam 18 L pelarut methanol selama 24 jam, kemudian disaring sebanyak 5 kali lalu evaporasi dan divakum hingga terbentuk ekstrak kering (Rukmana 2003). 2.2
Proses Induksi Hewan Coba
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah chamber hipoksia, feeding tube Fr 3.5, oral gavage, 1 set tabung O2 100%, dan 1 set tabung CO2 100%. Bayi tikus diinduksi dengan pemberian cairan hiperosmolar berupa susu tanpa laktosa sebanyak 0,1cc setiap 6 jam, lalu dimasukkan kedalam chamber yang dialiri CO2 100% selama 5 menit, setelah itu chamber dibuka untuk membebaskan CO2 dari chamber selama 10 menit, berikutnya dilakukan reperfusi dengan O2 100% selama 5 menit (sebanyak 2 kali hipoksia-reperfusi), serta mendapat ekstrak kulit manggis 1 jam sebelum induksi kedua (Gopalakrishnan et al. 1997, Suksamrarn et al. 2003, Shibata et al. 2011, Nakatani et al. 2004, Wendra 2003). Tikus didistribusikan ke dalam 13 kelompok berdasarkan rumus Federer dan diberikan perlakuan yang sesuai dengan kelompok tersebut. Perlakuan yang diberikan adalah: 1. Kelompok K(-) : Kelompok kontrol negatif adalah kelompok model tikus tanpa diberikan intervensi ekstrak kulit manggis maupun induksi menjadi EKN. 2. Kelompok K(+)6 : Kelompok kontrol positif yang diinduksi CO2 selama lima menit dan diberikan reperfusi O2 selama lima menit, kemudian ditunggu enam jam tanpa diberikan intervensi ekstrak kulit manggis. 3. Kelompok K(+)24 : Kelompok kontrol positif yang diinduksi CO2 selama lima menit dan diberikan reperfusi O2 selama lima menit, kemudian ditunggu 24 jam tanpa diberikan intervensi ekstrak kulit manggis. 4. Kelompok K(+)48 : Kelompok kontrol positif yang diinduksi CO2 selama lima menit dan diberikan reperfusi O2 selama lima menit, kemudian ditunggu 48 jam tanpa diberikan intervensi ekstrak kulit manggis. 5. Kelompok K(+)72 : Kelompok kontrol positif yang diinduksi CO2 selama lima menit dan diberikan reperfusi O2 selama lima menit, kemudian ditunggu 72 jam tanpa diberikan intervensi ekstrak kulit manggis. 6. Kelompok PD6 : Kelompok percobaan yang diberikan intervensi ekstrak kulit manggis sebanyak 25 mg/kgBB satu jam setelah diinduksi CO2 selama lima menit dan reperfusi O2 selama lima menit, lalu ditunggu selama enam jam. 7. Kelompok PD24 : Kelompok percobaan yang diberikan intervensi ekstrak kulit manggis sebanyak 25 mg/kgBB satu jam setelah diinduksi CO2 selama lima menit dan reperfusi O2 selama lima menit, lalu ditunggu selama 24 jam.
80 ISBN 978-602-70361-0-9
8. Kelompok PD48
: Kelompok percobaan yang diberikan intervensi ekstrak kulit manggis sebanyak 25 mg/kgBB satu jam setelah diinduksi CO2 selama lima menit dan reperfusi O2 selama lima menit, lalu ditunggu selama 48 jam. 9. Kelompok PD72 : Kelompok percobaan yang diberikan intervensi ekstrak kulit manggis sebanyak 25 mg/kgBB satu jam setelah diinduksi CO2 selama lima menit dan reperfusi O2 selama lima menit, lalu ditunggu selama 72 jam. 10. Kelompok PL6 : Kelompok percobaan yang diberikan intervensi ekstrak kulit manggis sebanyak 50 mg/kgBB satu jam setelah diinduksi CO2 selama lima menit dan reperfusi O2 selama lima menit, lalu ditunggu selama enam jam. 11. Kelompok PL24 : Kelompok percobaan yang diberikan intervensi ekstrak kulit manggis sebanyak 50 mg/kgBB satu jam setelah diinduksi CO2 selama lima menit dan reperfusi O2 selama lima menit, lalu ditunggu selama 24 jam. 12. Kelompok PL48 : Kelompok percobaan yang diberikan intervensi ekstrak kulit manggis sebanyak 50 mg/kgBB satu jam setelah diinduksi CO2 selama lima menit dan reperfusi O2 selama lima menit, lalu ditunggu selama 48 jam. 13. Kelompok PL72 : Kelompok percobaan yang diberikan intervensi ekstrak kulit manggis sebanyak 50 mg/kgBB satu jam setelah diinduksi CO2 selama lima menit dan reperfusi O2 selama lima menit, lalu ditunggu selama 72 jam. Induksi hipoksia reperfusi dilakukan sebanyak dua kali sehari (Gopalakrishnan et al. 1997), sedangkan cold stress pada suhu 4 oC selama 10 menit dilakukan setiap setelah induksi CO2 dan reperfusi O2 untuk setiap kelompok kecuali K(-) (Halpern et al. 2006, Seitz et al. 2005, Halpern et al. 2002). Seluruh sampel tikus galur Wistar diadaptasikan dengan diberikan air susu induk tikus dan susu formula bebas laktosa. Perubahan histologis (Dvorak et al. 2002) yang terjadi pada usus berdasarkan skoring dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Skor 0 : submukosa dan lamina propria utuh (A) Skor 1 : pemisahan/kerusakan ringan submukosa dan lamina propria (B) Skor 2 : pemisahan sedang dan edema submukosa serta lamina propria (C) Skor 3 : pemisahan berat dan edema submukosa dan lamina propria serta pengelupasan vili (D) Skor 4 : nekrosis dan hilangnya struktur vili usus atau transmural nekrosis (E) Salah satu penelitian pada hewan coba mencit yang diinduksi dengan carrageenan dan diberikan αmangostin sebanyak 20 mg/kgBB. Hasil penelitian menyatakan α-mangostin mampu mengurangi edema di daerah plantar yang terjadi dalam waktu 3 jam. Pemberian α-mangostin 25 mg/kgBB/per oral efektif melindungi inflamasi hati pada hari ketiga setelah terpapar induktor CCl4 (Wendra 2003). Pemberian γ-mangostin dengan dosis 30 mg/kgBB menginhibisi 60% edema pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan carrageenan pada jam 3−5 percobaan (Shibata 2011). Data yang didapatkan dari hasil penilaian skor histopatologi kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan program perangkat lunak komputer berupa Microsoft Excel 2010 dan statistical product and service solution (SPSS) versi 19. 2.3
Analisis Data
Analisis data untuk mengetahui pengaruh ekstrak kulit manggis dalam menghambat proses inflamasi dinilai dengan metode skor EKN pada model tikus, kemudian distribusi data dengan uji Shapiro-Wilk sebagai uji normalitas, sedangkan untuk melihat homogenitas (variansi) data dianalisis dengan uji Levene. Pengujian hipotesis komparatif kategorik menggunakan analisis uji one way ANOVA jika didapatkan hasil data terdistribusi normal dan homogen, sedangkat uji non parametrik Kruskal Wallis digunakan jika data tidak terditribusi normal dan tidak homogen. Derajat kepercayaan (confidence interval) yang digunakan ialah 95%. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan program statistik SPSS versi 19. 3. Hasil dan Pembahasan Sebanyak 39 ekor tikus galur Wistar usia kurang dari 21 hari didistribusikan dalam 13 kelompok dan diadaptasikan dengan air susu induk tikus dan susu formula bebas laktosa. Kelompok kontrol negatif atau K(-) merupakan kelompok model tikus tanpa diberikan intervensi ekstrak kulit manggis maupun induksi menjadi EKN. Kelompok kontrol positif terdiri dari empat kelompok yang diberi kode K(+) dan diberikan perlakuan induksi berupa pemberian CO2 selama lima menit, reperfusi O2 selama lima menit, dan cold stress selama 10 menit kemudian ditunggu berurutan selama 6 jam, 24 jam, 48 jam, dan 72 jam tanpa diberikan intervensi ekstrak kulit manggis (Dvorak et al. 2002, Gopalakrishnan et al. 1997). Kelompok PD merupakan empat kelompok percobaan yang diberikan air susu induk tikus dan intervensi ekstrak kulit manggis sebanyak 25 mg/kgBB satu jam setelah diinduksi CO2 selama lima menit, reperfusi O2 selama lima menit, dan cold stress selama 10 menit lalu ditunggu
81 ISBN 978-602-70361-0-9
berurutan selama 6 jam, 24 jam, 48 jam, dan 72 jam.Kelompok PLmerupakan empat kelompok percobaan yang diberikan air susu induk tikus dan intervensi ekstrak kulit manggis sebanyak 50 mg/kgBB satu jam setelah diinduksi CO2 selama lima menit, reperfusi O2 selama lima menit, dan cold stress selama 10 menit lalu ditunggu berurutan selama 6 jam, 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Penilaian dilakukan dengan metode penilaian buta sesuai dengan penelitian Halpern (2002). Berdasarkan hasil penelitian, terdapat hasil penilaian skor yang berbeda antara kelompok kontrol negatif atau K(-) dengan kelompok kontrol positif atau K(+). Skor kelompok K(-) adalah 0 sedangkan pada kelompok K(+) didapatkan skor keparahan ≥ 2 yang menunjukan positif EKN hal ini menunjukan bahwa proses induksi menjadi faktor yang berpengaruh terhadap terbentuknya proses EKN berupa asfiksia reversibel karena ikatan proton dengan hemoglobin. Induksi cold stress pada akhirnya akan menyebabkan kerentanan terhadap inflamasi yang menjadi salah satu faktor dari multifaktorial penyebab EKN. Hal ini sesuai dengan perjalanan penyakit EKN yaitu cedera iskemik usus (Ballance 1990). Tabel 1 Data Hasil Penilaian Sediaan Histopatologi Kelompok K(-) No
Kode
1. 2. 3.
K(-) A K(-) B K(-) C
Berat Tikus 15,42 15,77 16,02
Berat Usus 0,64 0,57 0,61
Skor 0 0 0
Kelompok K(-) merupakan kelompok kontrol negatif yang menjadi parameter sediaan normal dengan skor keparahan 0 sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa usus normal pada sediaan mikroskopis bagian usus halus terdiri dari susunan plika sirkularis yang dibentuk dari lapisan submukosa dan mukosa lengkap disertai tonjolan vili kearah lumen (Eroschenko 2003, Junqueira 2003). Keberhasilan induksi mencapai 100% yang ditunjukan pada kelompok K(+) yang merupakan kelompok kontrol positif, angka keberhasilan induksi lebih besar dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang mempunyai keberhasilan induksi sebesar 75% (Nakatani et al. 2004). Faktor berat badan tidak mempengaruhi hasil induksi pada penelitian, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dvorak et al. (2002). Tabel 2 Data Hasil Penilaian Sediaan Histopatologi Kelompok K(+) No
Kode
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
K(+)6 A K(+)6 B K(+)6 C K(+)24 A K(+)24 B K(+)24 C K(+)48 A K(+)48 B K(+)48 C K(+)72 A K(+)72 B K(+)72 C
Berat Tikus 15,59 16,32 15,33 15,66 16,03 15,33 15,77 16,40 16,04 15,35 16,72 15,26
Berat Usus 0,53 0,55 0,59 0,55 0,53 0,49 0,43 0,45 0,42 0,37 0,57 0,65
Skor 4 3 4 3 4 4 4 3 2 4 4 3
Ekstrak kulit manggis dengan dosis 25 mg/kgBB diberikan satu jam setelah induksi pada kelompok PD (PD6, PD24, PD48, dan PD72) dikombinasikan dengan air susu induk tikus memberikan efek protektif terhadap pencegahan EKN pada hewan coba akibat perlawanan multifaktorial yang diberikan dalam bentuk induksi, skor keparahan yang didapatkan pada hasil pemeriksaan sediaan histopatologi menunjukan skor 0 untuk seluruh sediaan. Peningkatan keparahan sesuai dengan teori yang telah ada yang menyatakan bahwa faktor hipoksia dan reperfusi secara langsung mengakibatkan jejas pada mukosa usus akibat ketidakseimbangan endothelin I dan nitrit oxyde sehingga mengganggu barrier mukosa usus yang mempermudah terjadinya migrasi bakteri dan lebih lanjut menyebabkan inflamasi (Chang et al. 2005). Toksisitas akut terjadi saat terpapar CO2 selama lima menit pada konsentrasi 9% atau 90.000 ppm (Shibata et al. 2011). Reperfusi memberikan efek vasodilatasi pada jaringan vaskular usus sebagai respons kompensasi.
82 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 3 Data Hasil Penilaian Sediaan Histopatologi Kelompok PD dan PL No
Kode
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
PD6 A PD6 B PD6 C PD24 A PD24 B PD24 C PD48 A PD48 B PD48 C PD72 A PD72 B PD72 C
Berat Tikus 10,73 11,32 10,98 10,27 11,34 11,73 10,91 10,58 11,31 11,34 10,61 10,70
Berat Usus 0,51 0,48 0,49 0,59 0,63 0,52 0,49 0,62 0,55 0,57 0,65 0,59
Skor
Kode
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
PL6 A PL6 B PL6 C PL24 A PL24 B PL24 C PL48 A PL48 B PL48 C PL72 A PL72 B PL72 C
Berat Tikus 11,77 9,89 10,21 10,33 10,62 10,72 15,48 11,16 10,23 10,88 10,73 9,76
Berat Usus
Skor
0,60 0,57 0,54 0,42 0,53 0,62 0,68 0,60 0,57 0,56 0,56 0,54
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Ekstrak kulit manggis mempunyai aktivitas antiinflamasi dengan menghambat reseptor histaminergik untuk pelepasan histamin dan sintesis prostaglandin dengan menghambat enzim prostaglandin sintetase (Nakatani et al. 2004, Wendra 2003). Chavveri et al. (2008) menyatakan enzim COX-1 dan COX-2 lebih lanjut dapat dihambat oleh gamma mangostin dan alfa mangostin yang merupakan isolat murni dari ksanton. Penelitian Nakatani (2004) menunjukan peran antiinflamasi ekstrak kulit manggis pada dosis 30 mg/kgBB. Penelitian Dvorak et al. (2002) menunjukan adanya faktor susu formula yang dikombinasikan dengan air susu induk tikus atau tanpa dikombinasikan dengan air susu induk tikus dapat meningkatkan angka kejadian EKN berurutan 81% dan 31%. Efek protektif ASI berperan menurunkan angka kejadian EKN menurut Gopalakrishnan et al. (1997), air susu mamalia mengandung banyak substansi aktif yang berperan langsung dalam maturasi dan proteksi mukosa. Epidermal Growth Factor (EGF) merupakan satu dari banyak substansi ASI yang akan membentuk respons biologi berupa peningkatan proliferasi dan differensiasi sel epitel. Pengaruh imunologis berhubungan dengan berbagai faktor aktif khususnya antibodi. Satu dari banyak antibodi yang terdapat dalam ASI adalah sekretori IgA (sIgA) yang melindungi membran mukosa saluran pencernaan dan pernafasan. Kelompok percobaan PL6, PL24, PL48, dan PL72 menunjukan hasil protektif dari pemberian ekstrak kulit manggis dengan dosis 50 mg/kgBB satu jam pasca induksi disertai air susu induk tikus. Penelitian sebelumnya mengenai mangostin, Wendra (2003) telah melakukan penelitian dengan dosis yang sama yaitu 25 mg/kgBB dan 50 mg/kgBB pada tikus yang diinduksi CCl4 namun berperan sebagai antioksidan, dosis 50 mg/kgBB efektif sebagai antiinflamasi diteliti oleh Gopalakrishnan et al. (1997). 4.
Kesimpulan
Pemberian ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana Linn.) pada model tikus yang diinduksi menjadi enterokolitis nekrotikans menunjukan efek antiinflamasi yaitu peranan protektif pada seluruh kelompok pemberian 25 mg/kgBB maupun 50 mg/kgBB. Dosis ekstrak kulit manggisdalam mencegah EKN pada model tikus galur Wistar adalah 25 mg/kgBB dan 50 mg/kgBB yang keduanya menunjukan peran protektif yang sama dan efektif. Perlu dilakukan uji toksisitas pemberian ekstrak kulit manggis terhadap bayi tikus pe untuk menguji batas aman penggunaan dan efek samping terhadap organ lain yang berasal dari pemberian ekstrak kulit manggis. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana efek yang terjadi jika ekstrak kulit manggis diberikan kepada bayi baru lahir dengan faktor risiko EKN. Daftar Pustaka Anand, RJ, Leaphart, CL & Mollen, KP 2007, ‘The role of the intestinal barrier in the pathogenesis of necrotizing enterocolitis’, Shock, vol. 27, hh. 124–33. Ballance, WA, Dahms, BB & Shenker, N 1990, ‘Pathology of neonatal necrotizing enterocolitis: a 10-year experience’, J Pediatr, vol. 117, hh. S6–13. Bauer, CR, Morrison, JC & Poole, WK 1984, ‘A decreased incidence of necrotizing enterocolitis after prenatal glucocorticoid therapy’, Pediatrics, vol. 73, hh. 682−8. Bell, MJ, Ternberg, JL & Feigin, RD 1978, ‘Neonatal necrotizing enterocolitis. Therapeutic decisions based upon clinical staging’, Ann Surg, vol. 187, no. 1, hh. 1–7. Chang, FY, Lu, CL & Luo, JC 2005, ‘Response of blood endothelin-1 and nitrit oxide activity in duodenal ulcer patients undergoing Helicobacter pylori eradication’, World J Gastroenterol, vol. 11, no. 7, hh. 1048-50.
83 ISBN 978-602-70361-0-9
Clark, DA, Fornabaio, DM & McNeill, H 1988, ‘Contribution of oxygen derived free radicals to experimental necrotizing enterocolitis’, Am J Pathol, vol. 130, h. 537. Chavveri, JP, Rodriguez, NC & Ibarra, MO 2008, ‘Review medical properties of mangosteen (Garcinia mangostana)’, Food and Chemical Toxicology, vol. 46, hh. 3227-39. Dvorak, B, Halpern, M & Holubec, H 2002, ‘Epidermal growth factorreduces the development of necrotizing enterocolitis in a neonatal rat model’, Am J Physiol, vol. 282, hh. G156–64. Eroschenko, VP 2003, Atlas histologi di fiore, ed 9, trans. Tambayong, J, Anggraini, D & Sikumbang, TM, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hh. 197-205. Gopalakrishnan, G, Banumathi, B & Suresh, G 1997, ‘Evaluation of the antifungal activity of natural xanthones from Garcinia mangostana and their synthetic derivatives’, J. Nat. Prod, vol. 60, hh. 519−24. Halpern, MD, Clark, JA & Saunders, TA 2006, ‘Reduction of experimental necrotizing enterocolitis with antiTNF-alpha’, Am J PhysiolGastrointest Liver Physiol, vol. 290, hh. G757−64. Halpern, MD, Holubec, H & Dominiguez, JA 2002, ‘Up-regulation of IL-18 and IL-12 in the ileum of neonatal rats with necrotizing enterocolitis’, Pediatr Res, vol. 51, no. 6, hh. 733-9. Hintz, SR, Kendrick, DE & Stoll, BJ 2005, ‘Neurodevelopmental and growth outcomes of extremely low birth weight infants after necrotizing enterocolitis’, Pediatrics, vol. 115, hh. 696−703. Hsueh, W, Caplan, MS & Qu, XW 2007, ‘Neonatal necrotizing enterocolitis: clinical aspects, experimental models and pathogenesis’, World J Pediat, vol. 3, hh. 17−29. Junqueira, LC & Carneiro, J 2003, Histologi dasar teks & atlas, ed 10, trans. Tambayong, J & Dani, J, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hh. 295-306. Khailova, L, Mount, PS & Arganbright, KM 2010, ‘Bifido bacterium bifidum reduces apoptosis in the intestinal epitheliumin necrotizing enterocolitis’, Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol, vol. 299, hh. G1118–27. Lin, PW & Stoll, BJ 2006, ‘Necrotising enterocolitis’, Lancet, vol. 368, no. 9543, hh. 1271–83. Lucas, A & Cole, TJ 1990, ‘Breast milk and neonatal necrotising enterocolitis’, Lancet, vol. 336, hh. 1519–23. Maheshwari, AC & Schelonka, RL 2011, ‘Neonatal necrotizing enterocolitis’, Research and Necrotizing Enterocolitis, vol. 1, hh. 39−53. Mercurio, F & Manning, AM 1999, ‘NF- as a primary regulator of the stress response’, Oncogene, vol. 18, hh. 6163−71. Nakatani, K, Yamakuni, T & Kondo, N 2004, ‘-mangostin inhibits inhibitor-к kinase activity and decreases lipopolysacharide-induced cyclooxygenase-2 gene expression in C6 rat glioma cells’, Mol Pharmacol, vol. 66, hh. 667−74. Neu, J & Walker, WA 2011, ‘Necrotizing enterocolitis’, N Engl J Med, vol. 364, hh. 255−64. Okur, H, Kucukaydin, M & Kose, K 2009, ‘Hypoxia induced necrotizing enterocolitis in the immature rat: the role of lipid peroxidation and management by vitamin E’, J Pediatr Surg, vol. 30, hh. 1416–19. Ridwan, E 2013, ‘Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam penelitian kesehatan’, J Indon Med Assoc, vol. 63, no. 3, hh. 1-5. Rukmana, R 2003, Budidaya manggis, Kanisius, Yogyakarta. Santulli, TV, Schullinger, JN & Heird, WC 1975, ‘Acute necrotizing enterocolitis in infancy: a review of 64 cases.’ Pediatrics, vol. 55, hh. 376−87. Schnabl, KL, VanAerde, JE & Thomson, AB 2008, ‘Necrotizing enterocolitis: a multifactorial disease with no cure’, World Gastroenterol, vol. 14, hh. 2142−61. Seitz, G, Warmann, SW & Guglielmetti, A 2005, ‘Protective effect of tumor necrosis factor alpha antibody on experimental necrotizing enterocolitis in the rat’, J Pediatr Surg, vol. 40, hh. 1440−513. Suksamrarn, S, Suwanapoch, N & Phakhodee, SN 2003, ‘Antimycobacterial activity of prenylated xanthones from the fruits of Garcinia mangostana’, Chem. Pharm. Bull, vol. 51, no. 7, hh. 857−9. Shibata, MA, Iinuma, M & Morimoto, J 2011, ‘α-mangostin extracted from the pericarp of the mangosteen (Garcinia mangostana Linn.) reduces tumor growth and lymph node metastasis in an immunocompetent xenograft model of metastatic mammary cancer carrying a p53mutation’, BMC Med, vol. 9, no. 69, hh. 1−18. Wendra 2003, ‘Efek antioksidan mangostin terhadap nekrosis hepatosit dan proliferasisel Kupffer pada mencit (Mus musculus) galur DDY yang diinduksi CCl4’, Jurnal Eukaryotic, vol. 3, no. 1, hh. 34−9.
84 ISBN 978-602-70361-0-9
Uji Toksisitas Akut Ekstrak Air Daun Kecubung Gunung (Brugmansia suaveolens Bercht & Presl) pada Mencit Galur Swiss Webster Ita Nur Anisa1*, Andreanus A. Soedarmadji2, Suryani, dan Suciayuza Effti1 1
Fakultas Farmasi, Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi. 2 Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung, Bandung *
E-mail:
[email protected]
Abstract Research has been conducted on leaf water extract of amethyst mountain strain SwissWebster mice with 5 dose levels,namely 5,50;30;2000 and 5000 mg / kg bw were administered orally in a single dose to assess the level of security and LD50,response was observed during the first 4 hours.Differences body weight and mortality of mice was monitored continuously every day for up to 14 days after administration.The observation of body weight for 14 days in all mice showed no different when compared to the control(P > 0.05).The results of the index calculation organs of all mice showed variations between organ weights of animals in the group,resulting in a statistically significant difference in male mice testicular organs between the control at dose of 300 mg / kg bw were statistically significantly different at (p<0,05).In female mice showed significant differences to the control at dose of 5 mg/kg bw in the heart organ ,lungs,spleen ,adrenal ,and ovary (P< 0.05). At dose of 2000 mg/kg bw was no significant difference (P<0.05) in the lymph and ovaries compared with control. The observation showed death at dose of 5000 mg / kgbw of 60%, which is said to have LD50 in the range 2000-5000 mg/kgbw. Keywords: Brugmansia suaveolens Bercht & Presl, acute toxicity, Water extracts
1.
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman flora dan banyak tanaman yang secara empirik telah digunakan untuk mencegah atau mengobati penyakit. Salah satu tanaman yang banyak terdapat di Indonesia adalah kecubung gunung. Ketersediaan Kecubung gunung cukup banyak, dan efek yang ditimbulkannya sangat sedikit terpublikasikan. Tanaman kecubung gunung ini, yang secara empiris telah digunakan orang sebagai anti asma atau bronkodilator. Bagian tanaman yang digunakan adalah daun dan bunga Kecubung Gunung, yang secara empiris berdasarkan literatur digunakan sebagai obat sesak nafas dengan cara dihisap (Hutapea, 1993). Tanaman kecubung mengandung alkaloid, kandungan tanaman kecubung pada masing-masing bagian bervariasi (Heyne, 1987). Berdasarkan litelatur jurnal, menunjukkan kandungan alkaloid pada biji kecubung wulung dengan metode Stass-Otto diperoleh kadar alkaloida sebanyak 3,67 dan 3,81%, sedangkan dengan metode Egon Stahl diperoleh kadar alkaloida sebanyak 3,94 dan 3,98% (Palopo, 2009). Tanaman kecubung gunung ini terkenal di masyarakat sebagai tanaman yang beracun, disamping manfaatnya yang cukup potensial, harus diingat pula efek toksik yang timbul saat penggunaan. Untuk menilai kebenaran sisi toksik dari tanaman ini maka dilakukan uji toksisitas akut dari ekstrak air daun kecubung gunung, apakah menimbulkan efek toksik dan pada dosis berapa efek toksik tersebut dapat timbul. Penggunaan daun kecubung gunung untuk uji toksiistas akut karena ketersediaan daun kecubung gunung lebih banyak dibandingkan bunga, kemudian bunga tanaman kecubung gunung ini sangat terbatas karena berbunga tergantung waktu, tidak seperti daun, yang ada sepanjang tanaman tersebut hidup. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti akan meneliti uji toksisitas akut ekstrak air daun kecubung gunung yang bertujuan untuk menilai keamanan penggunaan ekstrak tersebut sebagai obat anti asma. Hasil yang didapatkan dapat menjadi acuan pada tingkatan dosis yang aman sebagai obat asma. 2.
Metode
Bahan dalam penelitian menggunakan daun kecubung gunung yang diperoleh dari daerah Jawa barat, aquadest, dan CMC-Na. Alat yang digunakan adalah platform bundar, Alat gelantung, timbangan mencit, timbangan analitik, sonde oral, seperangkat alat bedah, dan cawan petri. Hewan percobaan adalah mencit sehat, dewasa dari dua jenis kelamin, dan berumur 5-6 minggu. Penelitian diawali, hewan diaklimatisasi selama 7 hari, kemudian dikelompokkan secara acak sehingga penyebaran bobot tubuh merata untuk semua kelompok. Selama
85 ISBN 978-602-70361-0-9
hewan diaklimatisasi, hewan selalu ditimbang. Bila zat uji akan diberikan secara oral, hewan uji dipuasakan terhadap makanan selama 16-18 jam sebelum pemberian zat uji dan diberikan makan lagi 4 jam setelah pemberian zat uji. Pada hari pengujian, semua hewan ditimbang kembali. Terhadap semua hewan dari setiap kelompok dilakukan pengujian gejala toksik dengan melihat parameter berbagai macam efek terhadap sistem syaraf pusat dan otonom, refleks, ritme pernapasan, ekskresi, kondisi kulit dan mukosa, postur tubuh, kecepatan denyut jantung dan beberapa respon lainnya yang umum diamati yang bertujuan untuk melihat toksisitas akut. Pada semua hewan dari setiap kelompok diberikan ekstrak air daun kecubung gunung sesuai dengan kelompoknya pada berbagai tingkatan dosis yaitu 5 mg/kg bb,50 mg/kg bb, 300 mg/kg bb, 2000 mg/kg bb dan 5000 mg/kg bb, sedangkan kelompok kontrol hanya diberi CMC-Na. Semua hewan kembali dilakukan pengujian gejala toksik untuk t30, t60, t120 dan t240. Lakukan pengamatan sekurang-kurangnya 14 hari. Pada akhir percobaan (atau bila ada hewan yang mati), semua hewan uji pada masing-masing kelompok diotopsi.(Depkes, 2003). 3.
Hasil dan Pembahasan
Bobot Badan (gram)
Ekstraksi ekstrak air daun dan bunga kecubung gunung dilakukan dengan cara pemanasan dalam air mendidih dan pengeringan dengan mengunakan freeze dry (Depkes, 1986). Satu kilogram serbuk simplisia dimasukkan ke dalam 6 liter air mendidih selama 15 -30 menit. Perebusan diulang 3 kali. Seluruh ekstrak cair yang didapat kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh dikeringkan dengan freeze dry. Hasil pengamatan bobot badan mencit Swiss Wester jantan dan betina selama 14 hari setelah pemberian ekstrak air daun kecubung gunung dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Hasil perhitungan indeks organ mencit Swiss Wester jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Hasil pengamatan selama 14 hari menunjukkan adanya kematian pada dosis 5000 mg/kg bb sebesar 60%, akan tetapi pada dosis 5,50,300 dan 2000 mg/kg bb tidak terjadi kematian. Ekstrak air daun kecubung gunung ini dikatakan memiliki LD50 yang berada pada rentang 2000 – 5000 mg/kg bb, jadi untuk menentukan LD50 yang tepat, harus diperkecil lagi dosis pengujian toksisitas akutnya antara rentang 2000 – 5000 mg/kg bb.
Pengamanatan Hari keKontrol
D1
D2
D3
D4
D5
Bobot Badan (gram)
Gambar 1. Pengamatan Bobot badan mencit jantan setelah pemberian akut-oral ekstrak air daun kecubung gunung
Pengamanatan Hari keKontrol
D1
D2
D3
D4
D5
Gambar 2. Pengamatan Bobot badan mencit betina setelah pemberian akut-oral ekstrak air daun kecubung
86 ISBN 978-602-70361-0-9
Pada hasil pengamatan bobot badan mencit jantan selama 14 hari, tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dan semua kelompok dosis uji, sedangkan pada mencit betina, ada kenaikan dan penurunan bobot badan tapi perbedaan tersebut tidak signifikan dibandingkan dengan kontrol secara statistic pada P<0,05. Tabel 1. Indeks organ mencit jantan ekstrak air daun kecubung gunung Indeks organ Kelompok
Jantung
Paru
Hati
Ginjal
Limpa
Adrenal
Testis
Vesika seminalis
0,398+ 0,062
0,739+ 0,194
4,927+ 0,451
1,156+ 0,116
0,805+ 0,121
0,008+ 0,002
0,563+ 0,122
0,264+ 0,058
Daun Kg dosis 50 mg/kg bb
0,365+ 0,026 0,389+ 0,027
0,858+ 0,302 0,731+ 0,241
5,414+ 0,856 4,725+ 0,655
1,094+ 0,150 1,089+ 0,062
0,878+ 0,270 0,738+ 0,098
0,008+ 0,003 0,009+ 0,003
0,553+ 0,055 0,469+ 0,108
0,208+ 0,060 0,175+ 0,100
Daun KG dosis 300 mg/kg bb
0,385+ 0,015
0,555+ 0,041
4,689+ 0,437
1,052+ 0,141
0,688+ 0,111
0,009+ 0,003
0,373+ 0,084*
0,252+ 0,054
0,388+ 0,608+ 5,200+ 1,104+ 0,761+ 0,007+ Daun KG 0,029 0,032 0,624 0,105 0,153 0,004 dosis 2000 mg/kg bb 0,485+ 0,611+ 5,583+ 1,259+ 0,820+ 0,009+ Daun KG 0,069 0,000 0,262 0,027 0,100 0,001 dosis 5000 mg/kg bb n=4, *P<0,05, ada beda makna jika dibandingkan kontrol menggunakan Uji-t
0,565+ 0,077
0,231+ 0,044
0,476+ 0,018
0,343+ 0,107
Kontrol Daun KG dosis 5 mg/kg bb
Tabel 2. Indeks organ mencit betina ekstrak air daun kecubung gunung Kelompok
Indeks organ Jantung Paru
Hati
Ginjal
Limpa
Adrenal
Ovarium
Uterus
0,359+ 0,063 0,469+ 0,034*
0,617+ 0,113 0,808+ 0,094*
4,847+ 0,886 5,716+ 0,548
0,867+ 0,136 1,059+ 0,157
0,518+ 0,124 0,831+ 0,154*
0,014+ 0,005 0,028+ 0,004*
0,038+ 0,012 0,059+ 0,011*
0,125+ 0,099 0,218+ 0,084
Daun KG dosis 50 mg/kg bb
0,445+ 0,068
0,727+ 0,147
5,232+ 0,326
1,017+ 0,167
0,666+ 0,318
0,025+ 0,010
0,052+ 0,023
0,160+ 0,149
Daun KG dosis 300 mg/kg bb
0,439+ 0,062
0,658+ 0,104
5,098+ 0,334
1,027+ 0,094
0,616+ 0,252
0,018+ 0,011
0,050+ 0,017
0,175+ 0,098
0,015+ 0,005
0,062+ 0,010*
0,203+ 0,062
0,023+ 0,001
0,064+ 0,012
0,295+ 0,009
Kontrol Daun KG dosis 5 mg/kg bb
0,438+ 0,979+ 4,360+ 1,008+ 0,813+ Daun KG 0,056 0,522 0,771 0,119 0,217* dosis 2000 mg/kg bb 0,468+ 0,629+ 4,674+ 1,010+ 0,595+ Daun KG 0,003 0,007 0,323 0,059 0,013 dosis 5000 mg/kg bb n=5, *P<0,05, ada beda makna jika dibandingkan kontrol menggunakan Uji-t
4.
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini, ekstrak air daun kecubung gunung aman untuk digunakan pada dosis dibawah 2000 mg/kg bb. Pada pengujian toksisitas akut ekstrak air daun kecubung gunung memiliki rentang LD50 antara dosis 2000 – 5000 mg/kg bb.
87 ISBN 978-602-70361-0-9
Ucapan Terimakasih Ucapan terima kasih peneliti sampaikan pada Lembaga Penelitian dan pengabdian Masyarakat Universitas Jenderal Achmad Yani yang telah memberikan bantuan dana penelitian. Daftar Pustaka Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2000) : Parameter standar mutu ekstrak tumbuhan obat, Depkes RI, Jakarta, 13-33. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (2003) : Prosedur Operasional Baku Uji Toksisitas, Depkes RI, Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia(2000) : Inventaris tanaman obat indonesia jilid 1, Depkes dan kesejahteraan sosial RI, Balitbangkes, Jakarta. Hal 43-44. Dipiro (2009), Pharmacotherapy, 7th edition, Mc. Graw Hill Medical. Palopo, P., P, U, L, Toksisitas Ekstrak Biji Kecubung (Datura Metel L.) terhadap Mencit (Mus Musculus Gazaensis) Albino, Skripsi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009. Heyne,K.(1987), Tanaman Berguna Indonesia, Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan,,Jakarta. Hutapea, J. R. dkk (1993), Inventaris tanaman obat Indonesia Jilid II, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Balitbangkes, Jakarta.
88 ISBN 978-602-70361-0-9
Pengaruh Pembentukan Ko-Kristal Alopurinol dengan Asam Benzoat atau D-Asam Tartrat terhadap Kelarutan dan Laju Disolusinya Fikri Alatas*, Hestiary Ratih, Titta Hartyana S, dan Farhan Fakultas Farmasi, Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi, Indonesia *
E-mail:
[email protected]
Abstract Allopurinol (ALO) is an antihyperuricemia has a very low solubility in water. The aim of this study is to know influence of co-crystal formation of ALO with benzoic acid (ABZ) and d-tartaric acid (DAT) on the solubility and dissolution rate of ALO. In this study, each equimolar ratio of physical mixture ALO-ABZ and ALO-DAT was milled in a mortar with the addition of two drops of dimethyl sulfoxide for 15 min. Initial characterization was conducted by determining the powder X-ray diffraction pattern of milling results and compared with powder Xray diffraction pattern of each components. Solubility test was performed on both milling results in pH 1.2; 4.5; and 6.8 buffer solution media at 25 °C. Dissolution rate test was performed using the paddle method in pH 1.2; 4.5; and 6.8 buffer solution media at 37 °C for 60 min. The results of powder X-ray diffraction showed the powder X-ray diffraction patterns of each milling results different from their parent components. It shows the co-crystal formation in both mixtures. The Solubility and dissolution rate test showed the ALU-ABZ and ALO-DAT co-crystals had higher solubility and dissolution rate than pure ALO in all media. The ALO-DAT co-crystal had higher solubility and dissolution rate than the ALO-ABZ co-crystal. The co-crystal ALO-DAT and ALO-ABZ formation can increase the solubility and dissolution rate of allopurinol. Keywords: Allopurinol, co-crystal, benzoic acid, d-tartaric acid, solubility
1.
Pendahuluan
Kebanyakan sediaan farmasi mengandung bahan aktif farmasi (BAF) dalam bentuk kristal. Selama pengembangan obat-obatan, salah satu keputusan awal yang harus dibuat menyangkut bentuk kristal obat yang akan digunakan dalam bentuk sediaan oral. Sifat-sifat fisik dari bentuk padat dapat mempengaruhi efektivitas obat. Kelarutan, laju disolusi, higroskopisitas, dan stabilitas kimia adalah beberapa faktor penting yang harus dipertimbangkan. Susunan molekul pada skala atom mempengaruhi sifat fisik pada tingkat makroskopik dan memanipulasi sifat fisik dengan mengatur kembali molekul dalam keadaan padat melalui pembentukan struktur kristal yang berbeda adalah hal yang dapat dilakukan di industri farmasi (Datta, 2004). Salah satu BAF yang diberikan dalam bentuk sediaan tablet adalah alopurinol. Alopurinol (ALO) atau 1Hpyrazolo[3,4-d]pyrimidin-4(2H)-one, adalah andalan di seluruh dunia untuk pengobatan modern gout. ALO, suatu isomer dari hipoksantin, dan metabolit aktifnya aloxanthin bekerja dengan menghambat xantin oksidase, suatu enzim yang membentuk asam urat (urat) dari xanthin dan hipoksantin (Pacher, 2006). ALO adalah senyawa polar dengan ikatan hidrogen intramolekul yang kuat dan kelarutan yang terbatas dalam media polar dan non polar (Samy, 2000). Kelarutan ALO dalam air sangat buruk hanya 0,48 mg/mL (Benezra, 1978). Pembentukan ko-kristal BAF telah menjadi suatu pendekatan yang dapat diterima untuk menghasilkan bentuk dan sifat fisikokimia yang beragam, seperti kelarutan, stabilitas kimia, dan higroskopisitas (Jayasankar, 2006). Konsep rekayasa kristal atau ko-kristalisasi yang diterapkan untuk obat-obatan menyediakan jalan baru untuk penemuan yang lebih luas dari struktur multikomponen yang mengandung BAF dengan mempertimbangkan kembali jenis molekul dan interaksi antarmolekul yang dapat digunakan untuk membentuk ko-kristal (Aakeroy, 1997; Desiraju, 1995). Ko-kristal adalah material yang mengandung dua atau lebih molekul berbeda yang membentuk satu fasa kristalin baru (Trask dan Jones, 2005). Ko-kristal juga dapat didefinisikan sebagai kompleks kristal dari dua atau lebih molekul netral yang terikat bersama-sama pada perbandingan stoikiometrik dalam kisi kristal melalui interaksi non kovalen, terutama ikatan hidrogen (Jayasankar dkk., 2006). Ko-kristalisasi memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan pembentukan garam. Ko-kristalisasi memiliki potensi untuk diterapkan pada semua BAF, termasuk asam, basa, dan molekul yang tidak terionisasi (Trask dkk., 2006; Vishweshar dkk., 2006). Pembentukan ko-kristal suatu bahan aktif farmasi dapat mengubah sifat-sifat fisiko kimia obat, termasuk meningkatkan kelarutan dan laju disolusi obat, sehingga dapat meningkatkan ketersediaan hayati suatu obat yang
89 ISBN 978-602-70361-0-9
memiliki kelarutan yang sangat buruk. Ko-kristal farmasi baru-baru ini telah diusulkan sebagai bahan yang menjanjikan dalam penemuan dan pengembangan obat (Almarsson dan Zawarotko, 2004). Modifikasi bentuk padatan BAF obat dengan membentuk senyawa ko-kristal telah terbukti mampu meningkatkan kelarutan, disolusi, stabilitas, dan ketersediaan hayati. Pembentukan ko-kristal karbamazepin dengan sakarin mampu meningkatkan stabilitas kimia dan ketersediaan hayatinya (Hickey dkk., 2007). Pada penelitian yang baru saja dilakukan, pembentukan ko-kristal adefovir dipivoxil dengan sakarin mampu meningkatkan kecepatan disolusi dan stabilitas kimia adefovir dipivoxil (Gao dkk., 2011). Studi disolusi menunjukan laju disolusi ko-kristal itrakonazol, suatu antifungi dengan kelarutan yang sangat rendah dengan asam 1,4 dikarboksilat meningkat 4-20 kali lipat dari itrakonazol murni (Remenar dkk., 2003).
Gambar 1.
Gugus-gugus pada alopurinol yang memiliki kemampuan sebagai donor ikatan hidrogen (DIH) dan akseptor ikatan hidrogen (AIH).
Kelarutan ALO dalam air yang sangat buruk (0.48 mg/mL) dan dosis hingga 300 mg tiap tablet ini menyebabkan ketersediaan hayatinya sangat rendah bila diberikan secara oral. Upaya untuk meningkatkan kelarutan alopurinol dapat dilakukan melalui pembentukan ko-kristal. Struktur kimia alopurinol yang memiliki 2 donor ikatan hidrogen dan 3 akseptor ikatan hidrogen seperti pada Gambar 1 membuka peluang untuk terbentuknya senyawa molekular baru (ko-kristal) bila berinteraksi dengan senyawa-senyawa pembentuk ko-kristal atau cocrystal former (CCF) seperti golongan asam karboksilat. Asam benzoat (ABZ) dan asam d-tartrat (DAT) adalah turunan asam karboksilat yang telah diketahui membentuk ko-kristal dengan beberapa senyawa obat dan mampu meningkatkan kelarutan obat-obat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pembentukan ko-kristal alopurinol dengan asam benzoat (ABZ) dan d-asam tartrat (DAT) terhadap kelarutan dan laju disolusi ALO. 2.
Metode
Dalam penelitian ini menggunakan bahan alopurinol, asam benzoat (Merck), asam d-tartrat (Merck), dimetil sulfoksida (Merck), asam hidroklorida (Merck), kalium klorida,(Merck), natrium hidroksida (Merck), kalium dihidrogen fosfat (Merck), asam asetat (Merck), natrium asetat (Merck), dan air suling. Pembuatan kokristal ALO-ABZ dan ALO-DAT dengan metode penggilingan basah atau solvent-drop grinding. Campuran fisik ekimolar ALO-ABZ dan ALO-DAT digiling secara bersamaan dengan penambahan 50µL pelarut dimetil sulfoksida (DMSO) selama kurang lebih 15 menit. Kemudian hasil penggilingan yang diperoleh dikaraktersisasi dengan difraksi sinar-X serbuk. Karakterisasi ko-kristal ALO-ABZ dan ALO-DAT dengan difraktometer sinar-X serbuk. Sebanyak 100200 mg sampel serbuk ALO murni, ABZ murni, DAT murni, ko-kristal ALO-ABZ dan ALO-DAT dengan hatihati ditempatkan pada wadah kaca dan permukaan sampel diratakan. Kemudian diamati pola difraksi sinar-X serbuknya. Pengumpulan data difraksi sinar-X serbuk dilakukan menggunakan instrumen PANanalytical X’pert Pro powder diffractometer (CuKα, tegangan 30 kV, arus 40 mA). Sampel dipindai pada rentang sudut 2θ 5 - 35° pada kecepatan 2°/menit. Uji kelarutan ALO murni dan ko-kristal dilakukan dalam pelarut air, larutan dapar asam hidroklorida pH 1,2; dapar asetat pH 4,5; dan dapar fosfat 6,8. Sebanyak masing-masing 200 mg ALO, ko-kristal ALO-ABZ, dan ko-kristal ALO-DAT dimasukkan ke dalam vial yang berisi 5 mL pelarut dan diputar menggunakan alat pengocok orbital pada kecepatan 250 putaran per menit(ppm) selama 48 jam. Kadar ALO terlarut di dalam masing-masing pelarut ditentukan secara spektrofotometri ultraviolet. Uji disolusi mikrokapsul ketoprofen di ditentukan menggunakan alat disolusi tipe II dengan pengaduk berbentuk dayung di dalam larutan dapar asam hidroklorida pH 1,2; dapar asetat pH 4,5; dan dapar fosfat 6,8. Volume medium 900 mL pada suhu 37+0,5°C, dengan kecepatan putaran pengadukan 50 ppm. Pengujian dilakukan selama 60 menit. Sampel diambil 10 mL setelah 5, 10, 15, 20, 25, 30, dan 45 menit. Setiap pengambilan sampel diganti dengan 10 mL media disolusi.Setiap Sampel yang diperoleh disaring lalu ditentukan persentase ALO terlarut secara spektrofotometri ultraviolet.
90 ISBN 978-602-70361-0-9
Penetapan kadar ALO hasil uji kelarutan dan laju disolusi ALO murni masing-masing dalam air dan ketiga larutan dapar dilakukan secara spektrofotometri ultraviolet pada panjang gelombang serapan maksimum ALO. Panjang gelombang serapan maksimum ALO dilakukan dengan membuat kurva serapan larutan ALO 10 µg/mL masing-masing dalam air, larutan dapat asam hidroklorida pH 1,2; dapar asetat pH 4,5; dan dapar fosfat pH 6,8 secara spektrofotometri ultraviolet pada rentang panjang gelombang 200-350 nm menggunakan spektrofotometer ultraviolet (Shimadzu 1601-PC). Kurva kalibrasi ALO di dalam air dan ketiga larutan dapar ditentukan pada panjang gelombang serapan maksimum ALO dengan rentang konsentrasi 4-16 µg/mL. Pada penetapan kadar ALO dalam larutan campuran ALO-ABZ terlebih dahulu dilakukan penentuan panjang gelombang zero crossing ALO dengan ABZ dengan membuat kurva serapan derivatif pertama masingmasing larutan ALO 10 µg/mL dan ABZ 8 µg/mL dalam air dan ketiga larutan dapar dengan ∆λ=8 nm dan factor=10. Kemudian dibuat larutan kurva kalibrasi derivatif pertama ALO pada panjang gelombang zero crossing ABZ dengan rentang konsentrasi 4-16 µg/mL. Kadar ALO hasil uji kelarutan dan laju disolusi diukur pada panjang gelombang zero crossing ABZ dengan terlebih dahulu dilakukan pengenceran. Penetapan kadar ALO dalam larutan campuran ALO-DAT hasil uji kelarutan dan laju disolusi masingmasing dalam air dan ketiga larutan dapar dilakukan secara spektrofotometri ultraviolet pada panjang gelombang serapan maksimum ALO seperti halnya penetapan kadar ALO dalam larutan hasil uji kelarutan dan uji laju disolusi. 3.
Hasil dan Pembahasan
ALO merupakan obat yang digunakan pada pengobatan pirai atau gout yang merupakan satu-satunya pengurang pembentukan asam urat (urikostatikum) yang saat ini digunakan secara terapeutik. ALO secara struktural analog purin alamiah yaitu hipoxantin yang menghambat xantin oksidase secara kompetitif pada dosis yang tinggi. ALO sangat sukar sekali larut dalam air dan etanol. Pada sistem klasifikasi biofarmasetika atau Biopharmaceutics Classification System (BCS), ALO tergolong dalam kelas II, yaitu obat yang memiliki kelarutan rendah tetapi memiliki permeabilitasnya tinggi. Bahan baku ALO yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Nanjing Pharma Chemical Plant, China dengan kemurnian 99,86%. Pemeriksaan dengan difraksi sinar-X serbuk menunjukkan pola difraksi sinar-X serbuk bahan baku ALO yang digunakan sesuai dengan pola difraksi sinar-X serbuk ALO dengan kode referensi ALOPUR yang telah dilaporkan oleh Prusiner dan Sundaralingam (1972) dan ditampilkan pada Gambar 2. Bahan baku ALO memiliki banyak puncak dengan puncak-puncak utama terletak pada sudut 2θ 10,6; 12,1; 14,9; 17,3º; 25,8º, dan 28,1°.
Gambar 2. Pola difraksi sinar-X (a) bahan baku ALO, (b) ALO dengan kode referensi ALOPUR Berbagai metode dapat dilakukan untuk penapisan pembentukan ko-kristal. Metode eksperimental untuk penapisan pada pembentukan ko-kristal secara garis besar terbagi dalam dua kategori. Metode pertama adalah berbasis padatan, misalnya kristalisasi dari leburan, penggilingan kering, dan penggilingan basah. Metode kedua adalah kristalisasi berbasis larutan, misalnya penguapan pelarut, slurry, penguapan pelarut, dan reaksi kristalisasi. Penapisan pembentukan ko-kristal ALO dengan metode penggilingan basah dilakukan terhadap CCF dari golongan asam karboksilat, yaitu ABZ dan DAT. Metode penggilingan basah melibatkan penggilingan obat dan CCF secara bersama-sama dengan penambahan sedikit pelarut (Jones dkk., 2006). Metode ini dikenal juga dengan istilah solvent-drop grinding (SDG) atau liquid-assist grinding (LAG). Metode ini hanya menggunakan sedikit pelarut, sehingga metode ini lebih hemat biaya dan ramah lingkungan dibandingkan metode berbasis larutan (Trask dkk., 2004; Braga dan Grepioni, 2005). Adanya sejumlah kecil pelarut dapat meningkatkan laju pembentukan cocrystal (Shan dkk., 2002). Pemilihan pelarut yang digunakan dalam metode penggilingan basah sangat penting, yaitu pelarut harus mampu melarutkan setidaknya sebagian kecil dari komponen pembentuknya. Pelarut bertindak sebagai katalis yang dapat mempercepat pembentukan ko-kristal. Informasi kelarutan ALO, ABZ, dan DAT sangat penting sebelum melakukan penapisan pembentukan ko-kristal dengan metode penggilingan basah. Kelarutan ALO dalam
91 ISBN 978-602-70361-0-9
air dan etanol sangat rendah (di bawah 1 mg/mL), sedangkan kelarutannya dalam DMSO lebih tinggi, yaitu 4,6 mg/mL. Kelarutan ABZ dan DAT dalam DMSO juga cukup tinggi, sehingga DMSO digunakan sebagai pelarut pada pembuatan ko-kristal ALO-ABZ dan ALO-DAT. Karakterisasi awal dengan difraktometer sinar-X serbuk dilakukan untuk mengetahui terbentuknya kokristal. Jika pola difraksi sinar-X serbuk yang dihasilkan dari produk setelah penggilingan berbeda dari pola difraksi sinar-X masing-masing komponen, maka dapat disimpulkan terbentuknya fasa padatan baru atau fasa kokristal(Shanpui dkk., 2009). Gambar 3 memperlihatkan pola difraksi sinar-X serbuk dari ALO, ABZ dan ko-kristal ALO-ABZ. ABZ memiliki puncak-puncak utama pada sudut 2θ 8,1; 16,3; 17,3; 24,0; dan 26,0. Pola difraksi sinarX serbuk hasil penggilingan basah campuran fisik ALO-ABZ (1:1) menunjukkan hilangnya puncak-puncak utama ABZ dan munculnya puncak baru pada sudut 2θ 5,9 dan 17,7.
Gambar 3. Pola difraksi sinar-X serbuk (a) ALO, (b) ABZ (c) ko-kristal ALO-ABZ Pola difraksi sinar-X serbuk dari ALO, DAT dan ko-kristal ALO-DAT pada Gambar 4 menunjukkan perbedaan pola difraksi sinar-X serbuk ko-kristal ALO-DAT hasil penggilingan dengan pola difraksi sinar-X serbuk komponen-komponen pembentuknya. Puncak-puncak utama DAT terletak pada sudut 2θ 11,7; 21,0; 25,3; 35,5; dan 37,9º. Munculnyapuncak-puncak baru pada sudut 2θ 20,6; 29,2; dan 29,7° dan hilangnya beberapa puncak-puncak ALO dan DAT menunjukkan terbentuknya fasa ko-kristal.
Gambar 4. Pola difraksi sinar-X serbuk (a) ALO, (b) DAT (c) ko-kristal ALO-DAT Penambahan pelarut pada penggilingan basah berperan sebagai katalis pada pembentukan ko-kristal. Proses penggilingan membantu pergerakan molekul, sehingga mendorong terjadinya nukleasi ko-kristal. Fasa cair yang terikat di dalam kisi kristal komponen pembentuknya, seperti senyawa hidrat atau solvat atau pembentukan eutektik antara kedua komponen pembentuknya juga dapat menjadi perantara pembentukan ko-kristal. Pembentukan fasa amorf akibat kekuatan mekanik saat penggilingan dapat juga menjadi perantara pembentukan ko-kristal. Kecepatan pembentukan ko-kristal dengan metode penggilingan basah dipengaruhi kelarutan ALO, ABZ, dan DAT dalam DMSO. Pembentukan fasa larutan akibat penambahan pelarut dan meningkatnya pergerakan molekul akibat penggilingan merangsang terjadinya nukleasi dan pertumbuhan ko-kristal, sehingga proses ko-kristalisasi berlangsung lebih cepat daripada penggilingan kering (Friscic dkk., 2009). Proses pelarutan zat padat dalam pelarut membutuhkan energi untuk memecah ikatan intermolekular antar zat terlarut dan antar pelarut. Energi yang dibutuhkan untuk memecah ikatan antar zat padat terlarut bergantung pada struktur padatan dan gaya tarik menarik intermolekular antar zat padat terlarut. Jadi struktur padatan sangat berperan dalam kelarutan zat padat tersebut. Pengujian kelarutan di dalam air, larutan dapar asam hidroklorida pH 1,2; dapar asetat pH 4,5; dan dapar fosfat pH 6,8 pada suhu 25 °C dilakukan terhadap ALO murni, ko-kristal ALOABZ dan ko-kristal ALO-DAT. Penggunaan larutan dapar dengan pH tersebut menggambarkan pH cairan yang terdapat pada bagian-bagian saluran cerna. Penetapan kadar ALO terlarut dalam larutan ALO murni dan campuran ALO-DAT hasil uji kelarutan dilakukan secara spektrofotometri ultraviolet langsung pada panjang gelombang serapan maksimum 250 nm. Adanya DAT di dalam larutan tidak mengganggu penetapan kadar ALO, karena DAT tidak memberikan serapan pada panjang gelombang 250 nm. Penetapan kadar ALO dalam larutan campuran ALO-ABZ hasil uji kelarutan
92 ISBN 978-602-70361-0-9
tidak dapat dilakukan secara spektrofotometri ultraviolet langsung, karena ABZ dapat memberikan serapan pada panjang gelombang 250 nm. Oleh karena itu untuk penetapan kadar ALO dalam larutan campuran ALO-ABZ hasil uji kelarutan dilakukan secara spektrofotometri derivatif pertama untuk menghilangkan interferensi ABZ terhadap penetapan kadar ALO. Penetapan kadar ALO dilakukan pada panjang gelombang zero crossing derivatif pertama dari ABZ, karena nilai sinyal derivatif pertama (dA/dλ) dari setiap komponen pada panjang gelombang zero crossing adalah nol. Panjang gelombang zero-crossing derivatif pertama ABZ di dalam air, larutan dapar asam hidroklorida pH 1,2; dapar asetat pH 4,5; dan dapar fosfat pH 6,8 berturut-turut adalah 260,2; 260,0; 266; dan 224,6 nm. Uji kelarutan dilakukan menggunakan metode flask yang dikembangkan oleh Wermuth (2008). Metode ini sederhana dan cepat untuk memperoleh data kelarutan suatu BAF. Pada uji kelarutan dengan dengan metode ini sejumlah zat padat ditambahkan ke dalam wadah seperti vial hingga ada bagian zat padat yang tidak larut. Kemudian dikocok selama 48 jam hingga tercapai kesetimbangan, disaring, dan ditetapkan kadarnya. Hasil uji kelarutan menunjukkan ko-kristal ALO-ABZ dan ALO-DAT memiliki kelarutan lebih tinggi daripada ALO murni di dalam seluruh media uji. Ko-kristal ALO-DAT memiliki kelarutan lebih tinggi daripada ko-kristal ALO-ABZ di dalam seluruh media uji. Peningkatan kelarutan ALO pada ko-kristal ini mungkin disebabkan oleh terbentuknya ikatan hidrogen antara ALO dengan ABZ atau DAT sehingga dapat meningkatkan polaritas ALO. Hasil uji kelarutan ALO murni, ko-kristal ALO-ABZ, dan ko-kristal ALO-DAT selengkapnya ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Kelarutan ALO murni, Ko-kristal ALO-ABZ, dan ALO-DAT Bahan ALO murni Ko-kristal ALO-ABZ Ko-kristal ALO-DAT Keterangan : replikasi (n) = 3
Kelarutan (μg/mL) Air pH 1,2 560,1±5,4 671,9±11,5 589,5±11,0 756,1±16,1 634,0±14,5 828,3±14,9
pH 4,5 599,9±8,0 610,1±7,2 659,9±6,6
pH 6,8 578,7±3,2 596,8±6,4 631,0±2,4
Gambar 4. Profil disolusi ALO murni, ko-kristal ALO-ABZ, dan ko-kristal ALO-DAT di dalam media (a) larutan dapar asam hidroklorida pH 1,2, (b) larutan dapar asam asetat pH 4,5, dan (c) larutan dapar fosfat pH 6,8 Pembentukan ko-kristal ALO-ABZ dan ALO-DAT mampu meningkatkan laju disolusi alopurinol di dalam ketiga media larutan dapar. Ko-kristal ALO-DAT memiliki laju disolusi lebih tinggi daripada ko-kristal ALOABZ. Profil disolusi alopurinol dalam media larutan dapar asam hidroklorida pH 1,2 pada Gambar 5a menunjukan ko-kristal ALO-DAT memiliki persentase alopurinol terdisolusi selama 60 menit atau dissolution percentage (DP60 menit) lebih tinggi daripada ALO murni dan ko-kristal ALO-ABZ. DP60menit dalam media larutan dapar asam hidroklorida pH 1,2 untuk ALO murni, ko-kristal ALO-ABZ, dan ko-kristal ALO-DAT berturut-turut adalah 81,9; 93,5; dan 100,4%. Profil disolusi alopurinol dalam media larutan dapar asam asetat 4,5 menunjukkan DP60menit ko-kristal ALO-DAT juga lebih tinggi daripada ALO murni dan ko-kristal ALO-ABZ. DP60menit dalam media larutan dapar asam asetat pH 4,5 untuk ALO murni, ko-kristal ALO-ABZ, dan ko-kristal ALO-DAT berturut-turut adalah 79,9; 92,0; dan 98,5%. Profil laju disolusi alopurinol dalam larutan dapar fosfat pH 6,8 ditampilkan pada gambar 5c. Seperti halnya pada larutan dapar pH 1,2 dan 4,5, DP60menit ko-kristal ALO-DAT pada larutan dapar
93 ISBN 978-602-70361-0-9
fosfat pH 6,8 juga lebih tinggi daripada ALO murni dan ko-kristal ALO-ABZ. DP60menit dalam media larutan dapar asam fosfat pH 6,8 untuk ALO murni, ko-kristal ALO-ABZ, dan ko-kristal ALO-DAT berturut-turut adalah 78,0; 89,1; dan 95,1%. Peningkatan laju disolusi ko-kristal ALO-ABZ dan ALO-DAT ini disebabkan peningkatan kelarutan ALO-ABZ dan ALO-DAT di dalam ketiga media uji tersebut. Semakin tinggi kelarutan suatu zat semakin cepat laju disolusinya. 4.
Kesimpulan
Alopurinol dapat membentuk ko-kristal dengan asam benzoat dan d-asam tartrat. Pembentukan ko-kristal ALO-ABZ dan ALO-DAT dapat meningkatkan kelarutan dan laju disolusi alopurinol. Ko-kristal ALO-DAT memiliki kelarutan dan laju disolusi lebih tinggi daripada ALO murni dan ALO-ABZ di dalam media air dan larutan dapar pH 1,2; 4,5; dan 6,8. Ucapan Terimakasih Terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Achmad Yani yang telah memberikan dana bantuan penelitian ini. Daftar Pustaka Aakeroy, C.B. Crystal Engineering: Strategies and Architectures, Acta Crystallographica B. 1997, 53: 569-586. Almarsson, M. dan Zaworotko, M.Z. Crystal Engineering of the Composition of Pharmaceutical Phases. Do Pharmaceutical Co-Crystals Represent a New Path to Improved Medicines? Chemical Communications. 2004: 1889-1896. Benezra, S.A., Bennet, T.R. Allopurinol, In Analytical Profiles Drug Substances and Excipients, Vol 7, Academic Press, San Diego. 1978: 1-18. Braga, D. dan Grepioni, F. Making Crystals from Crystals: A Green Route to Crystal Engineering and Polymorphism, Chemical Communications. 2005: 3635-3645. Datta S. dan Grant D.J.W. Crystal Structures of Drugs: Advances in Determination, Prediction and Engineering, Nature Review Drug Discovery. 2004, 3: 42-57. Desiraju, G.R. Supramolecular Synthons in Crystal Engineering: A New Organic Synthesis, Angewandte Chemie International Edition. 1995, 34: 2311-2327. Friscic, T, Childs, S, Rizvi, S.A.A., dan Jones, W. The Role of Solvent in Mechanochemical and Sonochemical Cocrystal Formation: A Solubility-based Approach for Predicting Cocrystallisation Outcome, CrystEngComm. 2009, 11: 418-426. Gao, Y., Zu, H., dan Zang, J. Enhanced Dissolution and Stability of Adefovir Dipivoxil by Cocrystal Formation, Journal of Pharmacy and Pharmacology. 2011, 63: 483-490. Hickey, M.B., Peterson, M.L., Scoppettuolo, L.A., Morrisette, S.L., Vetter, A., Guzmán, H, Remenar, J.F., Zhang, Z., Tawa, M.D., Haley, S., Zaworotko, M.J., dan Almarsson, O. Performance Comparison of a Co-crystal of Carbamazepine with Marketed Product, European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics, 2007, 67:112-119. Jayasankar, A., Somwangthanaroj, A., Shao, Z.J., dan Rodríguez-Hornedo, N. Cocrystal Formation during Cogrinding and Storage is Mediated by Amorphous Phase, Pharmaceutical Research, 2006, 23: 2381-92. Pacher, P.; Nivorozhkin, A; Szabó, C. Therapeutic Effects of Xanthine Oxidase Inhibitors: Renaissance Half a Century after the Discovery of Allopurinol, Pharmacological Reviews, 2006, 58 (1): 87–114 Prusiner, P. and Sundaralingam, M. Stereochemistry of Nucleic Acids and Their Constituents. XXIX. Crystal and Molecular Structure of Allopurinol, A Potent Inhibitor of Xanthine Oxidase, Acta Crystallography Section B. 1972, 28(7): 2148–2152. Remenar, J. F.; Morissette, S. L.; Peterson, M. L.; Moulton, B. (2003); MacPhee, J. M.; Guzman, H. R.; Almarsson, Ö. Crystal Engineering of Novel Cocrystals of A Triazole Drug with 1, 4-dicarboxylic acids, Journal of American Chemical Society. 2003, 125: 8456. Samy, E.M., Hassan, M.A., Tous, S.S., Rhodes, C.T. Improvement of Availability of Allopurinol from Pharmaceutical Dosage Forms I: Suppositories. European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics. 49: 119-127. Shan, N., Toda, F., dan Jones, W. Mechanochemistry and Co-crystal Formation: Effect of Solvent on Reaction Kinetics, Chemical Communications. 2002: 2372-2373. Trask, A.V., Motherwell, W.D.S., dan Jones, W. Physical Stability Enhancement of Theophylline via Cocrystallization, International Journal Pharmaceutics. 2006, 320: 114-123. Trask, A.V., Motherwell, W.D.S., ones, W. Solvent-drop Grinding: Green Polymorph Control of Crystallisation, Chemical Communications. 2004: 890-891.
94 ISBN 978-602-70361-0-9
Vishweshwar, P., McMahon, J.A., Bis J.A., Zaworotko, M.J. Pharmaceutical Co-crystals, Journal of Pharmaceutical Sciences. 2006, 95: 499-516. Wermuth, C.G. The Practice of Medicinal Chemistry, 3rd edition, Academic Press, Burlington, USA 750. 2007.
95 ISBN 978-602-70361-0-9
Standardisasi Dan Karakterisasi Simplisia Bunga Kamboja Putih (Plumeria Alba L.) yang Berasal dari Desa Plumbon Kabupaten Cirebon Soraya Riyanti*, Julia Ratnawati, dan Reisha Permata Sari Kelompok Keahlian Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi *
E-mail:
[email protected]
Abstract Plumeria alba L or known white frangipani is widely in the yard, field, or sometimes growth on wild type. Frangipani plants (Plumeria alba L) has phytochemical content of polyphenols and flavonoids which had a role in the process of free radical scavengers. Differences place to grow, different species, different varieties were affected as crude drug for traditional medicine. Test on standardization and characterization of crude drug made to ensure the quality of raw materials simplicia Frangipani flowers. Standardization of crude drug Frangipani flowers included determination of ash, water content, loss on drying, and water soluble extract and ethanol soluble extract. Thin layer chromatography profile was determined from ethanol extract of white frangipani flowers. Result of standardized white frangipani flowers obtained a total ash, water soluble ash, acid insoluble ash, water soluble extract, ethanol soluble extract, water content and loss on drying respectively 5.59%; 4.03%; 0.42%; 33.81%; 15.04%; 3.99%; and 7.65%. The results of phytochemical screening that white frangipani flowers were positive contain compounds polyphenols, flavonoids, tannins, quinones, monoterpenes and sesquiterpenes. Determination by microscopic of white Frangipani flowers showed the fragment unicellar hair, epidermal tissue containing essential oils. Keywords: Frangipani, Plumeria alba L, standardization, crude drug, phytochemical screening, Chromatography
1.
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar dan sudah banyak data empirik dari penggunaan tanaman untuk pengobatan. Pengobatan menggunakan tanaman merupakan warisan kekayaan yang harus dilestarikan dan tentu harus dilakukan pembuktian secara ilmiah. Seluruh tumbuhan memiliki potensi sebagai antioksidan karena mengandung senyawa-senyawa fenolik. Perbedaan tempat tumbuh, berbeda spesies, berbeda varietas akan mempengaruhi potensinya sebagai antioksidan. Beberapa tanaman yang telah diteliti dan memiliki potensi antioksidan yang tinggi diantaranya kulit buah cokelat, kulit buah manggis, daun dan buah sirsak, dan daun kembang dayang. Selain tanaman yang telah diteliti dan memiliki potensi yang tinggi sebagai antioksidan, tanaman hias seperti kamboja (Plumeria alba L) memiliki kandungan kimia berupa polifenol dan flavonoid yang diduga berperan dalam proses penangkal radikal bebas (Hutapea, 1994). Tanaman kamboja ini memiliki jenis bunga yang berbeda-beda, diantaranya putih, merah dan kuning. Seluruh tumbuhan memiliki potensi sebagai antioksidan karena mengandung senyawa-senyawa fenolik. Perbedaan tempat tumbuh, berbeda spesies, berbeda varietas akan mempengaruhi potensinya sebagai bahan baku obat tradisional. Pengujian terhadap standarisasi dan karakterisasi simplisia dilakukan untuk menjamin kualitas bahan baku simplisia bunga kamboja putih (Plumeria alba L). Tanaman kamboja termasuk dalam keluarga Apocynaceae dengan marga Plumeria (Cronqist A, 1981). 2.
Metode
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bunga kamboja putih, pereaksi Dragendorf, pereaksi Mayer, HCl, asam sulfat, logam magneesium, amil alkohol, kloral hidrat 25%, pereaksi Lieberman Bouchard, vanilin sulfat. Alat yang diperlukan adalah mikroskop binokuler, Furnace (Thermoline), oven (Memmert), kertas saring bebas abu, desikator vakum, kaca obyek dan penutup gelas serta peralatan gelas standar yang digunakan di laboratorium. Penyiapan simplisia meliputi pengambilan bahan, determinasi tumbuhan dan pengeringan bahan sampai menjadi simplisia. Karakterisasi simplisia bunga kamboja putih meliputi penetapan kadar abu total, penetapan kadar air, dan penapisan fitokimia simplisia meliputi pemeriksaan senyawa flavonoid, saponin, kuinon, alkaloid, tanin, steroid dan triterpenoid, monoterpennoid dan seskuiterpenoid, dan polifenolat.
96 ISBN 978-602-70361-0-9
Bunga Kamboja Putih (Plumeria alba L) setelah dipanen dari pohon dicuci dengan air bersih yang mengalir kemudian ditiriskan pada rak-rak pengering berlubang. Pengeringan dilakukan dengan cara diangin-anginkan dalam ruangan bersirkulasi udara. Bunga dianggap kering bila hancur ketika diremas. Bunga yang telah kering, diserbuk dengan mesin penggiling dan diayak. Serbuk bunga kamboja putih disimpan dalam wadah plastik bertutup (Depkes, 1985). 2.1
Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan secara mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia bunga kamboja putih untuk mengetahui karakteristiknya yang meliputi rambut penutup, sel epidermis dan fragmen bunga lainnya. 2.2
Penetapan Kadat Abu Total
Sejumlah 2 g serbuk simplisia yang telah digerus dan ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam krus silikat atau krus platina yang telah dipijarkan dan ditara, lalu serbuk diratakan. Krus dipijarkan perlahan-lahan hingga suhu 500-600oC hingga arang habis, didinginkan dan ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat hilang, ditambahkan air panas, disaring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa arang dan kertas saring dalam krus yang sama. Filtrat dimasukkan ke dalam krus, diuapkan dan dipijarkan, kemudian ditimbang hingga bobot tetap. Kadar abu dihitung dalam persen terhadap simplisia yang telah dikeringkan di udara. 2.3
Penetapan Kadar Sari Larut Air
Sebanyak 5 g simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan 100 mL kloroform LP menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Setelah disaring, 20 mL filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Selanjutnya residu dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara dalam persen senyawa yang larut dalam air. 2.4
Penetapan Kadar Sari Larut Etanol
Sebanyak 5 g simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 mL etanol (95%) menggunakan labu bersumpat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Ekstrak disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sebanyak 20 mL filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Residu selanjutnya dipanaskan pada suhu 105 oC hingga bobot tetap. Kadar dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara dalam persen senyawa yang larut dalam etanol. 2.5
Penetapan Kadar Air
Penetapan kadar air dilakukan dengan cara destilasi. Sebanyak 20 g serbuk simplisia yang ditimbang seksama, yang diperkirakan mengandung 2 – 4 mL air, dimasukkan kedalam labu kering. Ditambahkan lebih kurang 200 mL toluen P yang telah dijenuhkan dengan air ke dalam labu. Tabung pendingin dan tabung penerima yang sudah dibersihkan dan dikeringkan, dihubungkan dengan labu, kemudian labu dipanaskan selama 15 menit dengan hati - hati. Setelah toluen mendidih, disuling dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes/detik, hingga sebagian besar air tersuling. Kemudian dinaikkan kecepatan penyulingan hingga 4 tetes/detik. Setelah semua air tersuling, dicuci bagian dalam pendingin dengan toluen, sambil dibersihkan dengan sikat tabung yang disambung pada sebuah kawat tembaga dan telah dibasahi dengan toluen. Dilanjutkan penyulingan selama 5 menit. Tabung penerima dibiarkan hingga suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca. Jika ada tetesan air yang melekat pada dinding tabung penerima, digosok dengan karet yang diikat pada sebuah kawat tembaga dan dibasahi dengan toluen hingga tetesan air turun. Kadar air dihitung terhadap bahan awal dalam % v/b. 2.6
Penapisan Golongan Kandungan Kimia
Penapisan Fitokimia simplisia bunga kamboja putih meliputi pemeriksaan terhadap senyawa flavonoid, saponin, alkaloid, polifenol, tanin, steroid dan triterpenoid, kuinon, monoterpenoid dan seskuiterpenoid (WHO, 1998; Depkes, 2000). Alkaloid Serbuk simplisia sebanyak 1 gram dibasakan dengan 5 mL amonia encer sambil digerus dalam mortir kemudian ditambahkan 20 mL kloroform sambil terus digerus. Kemudian disaring, filtrat dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 5 mL asam klorida 2N. Campuran dikocok kuat–kuat sampai terbentuk dua
97 ISBN 978-602-70361-0-9
lapisan. Lapisan asam dipisahkan kemudian dibagi menjadi 3 bagian. Bagian 1 digunakan sebagai blanko, bagian 2 ditambah 2–3 tetes pereaksi Mayer kemudian diamati ada atau tidaknya endapan berwarna putih. Bagian ke 3 ditambahkan 2-3 tetes pereaksi Dragendorff dan diamati ada atau tidaknya endapan berwarna jinga coklat. Flavonoid Sejumlah 1 gram serbuk simplisia dipanaskan dengan air diatas tangas air, kemudian disaring. Ke dalam 5 mL filtrat dimasukkan serbuk magnesium dan 1 mL asam klorida 2N. Campuran dipanaskan diatas tangas air kembali, lalu disaring. Filtrat dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditambahkan 5 mL amil alkohol. Campuran lalu dikocok kuat dan dibiarkan memisah. Adanya flavonoid ditandai dengan terbentuknya warna kuning hingga merah pada lapisan amil alkohol. Kuinon Sejumlah 1 gram serbuk simplisia dipanaskan dengan air diatas tangas air, kemudian disaring. Filtrat ditambah 2-3 tetes larutan kalium hidroksida 5%. Adanya kuinon ditunjukkan dengan terbentuknya warna kuning hingga merah. Polifenolat Sejumlah 1 gram serbuk simplisia dipanaskan dengan air diatas tangas air, kemudian disaring. Sebagian filtrat ditambahkan 2-3 tetes larutan besi(III)klorida 1%. Adanya polifenolat ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau biru kehitaman. Saponin Sejumlah 1 gram serbuk simplisia dipanaskan dengan air diatas tangas air, disaring, dinginkan dan kemudian dikocok kuat – kuat selama 30 detik. Terbentuknya buih yang mantap selama tidak kurang 10 detik setinggi 1 cm sampai 10 cm menunjukkan adanya saponin dan pada penambahan 1 tetes asam klorida 2N buih tidak hilang. Steroid dan triterpenoid Sebanyak 1 gram serbuk simplisia digerus dengan 20 mL eter, kemudian disaring. Filtrat yang didapat diuapkan pada cawan penguap hingga kering. Pada residu diteteskan pereaksi Lieberman-Buchard sebanyak 2–3 tetes. Terbentuknya warna hijau violet atau biru menunjukkan adanya steroid/triterpenoid. Monoterpenoid dan seskuiterpenoid Sebanyak 1 gram serbuk simplisia digerus dengan 20 mL eter, kemudian disaring. Filtrat yang didapat diuapkan pada cawan penguap hingga kering. Pada residu diteteskan pereaksi vanilin 10% sebanyak 2–3 tetes. Terbentuknya warna–warni menunjukkan adanya monoterpenoid dan seskuiterpenoid. Tanin Sebanyak 1 gram simplisia digerus dengan 15 mL air hingga lumat, dipindahkan kedalam tabung reaksi dan dididihkan selama beberapa menit, kemudian saring. Filtrat ditetesi (5 tetes) larutan pereaksi gelatin 1 %. Terbentuknya endapan berwarna putih menunjukkan adanya senyawa tannin 3.
Hasil dan Pembahasan
Bunga kamboja putih (Plumeria alba L) dikumpulkan dari desa Plumbon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat pada bulan Juni sampai Juli tahun 2013 dan dilakukan determinasi di Herbarium Bandungense, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung. Bunga Kamboja Putih dilakukan pemeriksaan secara makroskopis dan mikroskopis, diperoleh informasi secara makroskopis mengenai morfologi atau bentuk bunga, warna bunga dan aroma bunga. Bunga kamboja putih merupakan bunga majemuk berbentuk malai, panjang tangkai bunga berukuran 15-20 cm, berbulu, kelopak bunga kecil, benang sari berwarna putih, putik lonjong, berbulu dan berwarna putih. Mahkota bunga berbentuk bintang dengan panjang 3-4,5 cm, lebar 2,5-3,5 cm, berambut dan berwarna putih. Penentuan karakteristik dan standarisasi simplisia mengacu pada buku parameter standar ekstrak tumbuhan obat yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan Quality Control Methods for Herba Materials yang dikeluarkan oleh WHO. Simplisia sebagai bahan baku untuk obat tradisional harus memenuhi standar agar dapat memenuhi kriteria keamanan, khasiat dan kualitas yang baik sebagai obat tradisional.
98 ISBN 978-602-70361-0-9
Minyak atsiri bunga kamboja putih memiliki efek yang baik sebagai antifungi, terutama terhadap Aspergillus niger, Candida albicans, Penicillium chrysogenum (Kumari et al, 2012). Sifat antifungi yang terdapat dalam daun dan batang tanaman kamboja putih memiliki spektrum yang luas. Daun kamboja putih memiliki aktivitas sebagai inhibitor enzim reverse transkriptase pada HIV tipe 1 (Tan G.T, 1991). Ekstrak metanol daun kamboja putih memiliki aktivitas antioksidan dengan metode lipid peroksidasi menggunakan asam linoleat. Konsentrasi ekstrak 200 µg/mL memberikan persen penghambatan sebesar 52,83% (Devprakash et al, 2010). Dari penelusuran pustaka, bagian tumbuhan yang banyak diteliti adalah bagian daun dan batang tanaman kamboja putih. Minyak atsiri bunga kamboja putih memiliki aktivitas antifungi dengan spektrum luas dan ini merupakan kesempatan untuk dapat dikembangkan menjadi pilihan pengobatan untuk infeksi fungi atau jamur. Sebelum dikembangkan menjadi sediaan untuk pengobatan infeksi fungi, maka perlu ditentukan standardisasi dari bagian bunga kamboja putih agar terjamin keamanan, khasiat dan kualitas dari bahan baku bunga kamboja putih.
Gambar 1. Bunga kamboja putih
A
B
C
Gambar 2. Hasil Pengamatan secara mikroskopis bunga kamboja putih Keterangan
: A. Fragmen Rambut Penutup Multiseluler Bunga Kamboja Putih B. Fragmen Epidermis dengan Sel Minyak Berwarna Orange C. Fragmen Pareknim dengan Berkas Pembuluh
Sel epidermis bunga kamboja putih berbentuk lonjong sampai bersegi banyak jika diamati secara membujur. Dinding sel epidermis yang tipis, dan memiliki stomata pada daun tipe parasitik. Rambut penutup berbentuk multiseluler dan tidak bercabang. Bentuk rambut penutup runcing dan sempit dengan dinding yang tipis. Tabel 1. Hasil penapisan fitokimia simplisia bunga kamboja putih (Plumeria alba L) No 1
Golongan Senyawa
2 3 4 5
Polifenol Flavonoid Tanin Kuinon
Alkaloid
Pereaksi Dragendorff Mayer FeCl3 Serbuk Mg, HCl, amilalkohol Gelatin 1% KOH 5%
Hasil + + + +
99 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 1. Hasil penapisan fitokimia simplisia bunga kamboja putih (Plumeria alba L) (lanjutan) No 6 7 8
Golongan Senyawa Saponin Monoterpenoid-seskuiterpenoid Steroid-triterpenoid
Pereaksi HCl 2N Vanilin-asamsulfat 10% Liberman-Bouchard
Hasil + --
Penapisan fitokimia dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui golongan metabolit sekunder yang terdapat dalam simplisia bunga kamboja putih. Kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam bunga kamboja putih dapat dijadikan parameter standar dan menjadi acuan untuk pengujian aktivitas biologi. Hasil menunjukkan bahwa bunga kamboja putih positif mengandung senyawa monoterpenoid dan seskuiterpenoid, yang artinya bunga kamboja putih ini mengandung senyawa-senyawa minyak atsiri yang memberikan aroma wangi yang khas. Kandungan minyak atsiri bunga kamboja putih dapat dimanfaatkan sebagai aroma terapi. Senyawa polifenol dan flavonoid terdeteksi positif dalam bunga kamboja putih, dan diduga senyawa ini dapat berkontribusi memberikan aktivitas antioksidan yang baik. Tabel 2. Hasil standardisasi simplisia bunga kamboja putih Parameter Standarisasi Simplisia Kadar Abu Total Kadar Abu Larut Air Kadar Abu Tidak Larut Asam Kadar Sari Larut Air Kadar Sari Larut Etanol Kadar Air Susut Pengeringan
Hasil 5,59 % b/b 4,03 % b/b 0,42 % b/b 33,81 % b/b 15,04 % b/b 3,99 % b/v 7,68 % b/b
Penetapan kadar abu terdiri dari abu total, abu larut air, dan abu tidak larut asam, tujuannya adalah untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal serta unsur anorganik yang terkandung dalam simplisia. Hasil pengujian menunjukkan kadar abu larut air lebih besar dibandingkan dengan kadar abu tidak larut asam yaitu 4,03% dan 0,42%. Kadar abu larut air menunjukkan adanya abu fisiologis seperti alkali dan alkali tanah yang terdapat dalam simplisia. Kadar abu tidak larut asam menunjukkan banyaknya abu non fisiologis seperti silika. Penetapan kadar air dilakukan dengan cara destilasi, bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan air dalam simplisia. Hasil dari penetapan kadar air untuk simplisiabunga kamboja putih yaitu 3,99% b/b yang artinya bahwa simplisia ini memenuhi persyaratan kadar air di bawah 10%, sehingga pertumbuhan mikroba ataupun jamur dapat dicegah dan kualitas simplisia tetap terjaga dengan baik. Penetapan kadar sari yang dilakukan terdiri dari penetapan kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol. Hasil menunjukkan bahwa pada simplisia bunga kamboja putih mengandung jumlah senyawa yang terlarut dalam air lebih banyak dibandingkan dengan senyawa yang terlarut dalam etanol, dengan kadar sari larut air adalah 33,81 %b/b, dan kadar sari larut dalam etanol bunga kamboja putih adalah 15,040 %b/b. Data standaridisasi mengenai simplisia bunga kamboja putih ini dapat digunakan sebagai acuan dalam pengolahan lebih lanjut simplisia bunga kamboja putih. 4.
Kesimpulan
Simplisia bunga kamboja putih yang berasal dari desa Plumbon Kabupaten Cirebon memiliki karakteristik sebagai berikut : a. Bunga kamboja putih merupakan bunga majemuk berbentuk malai, tangkai bunga memiliki ukuran 15-20 cm, berbulu, kelopak bunga kecil, benang sari berwarna putih, putik lonjong, berbulu dan berwarna putih. Mahkota bunga berbentuk bintang dengan panjang 3-4,5 cm, lebar 2,5-3,5 cm, berambut dan berwarna putih. b. Hasil penapisan simplisia bunga kamboja putih (Plumeria alba L) mengandung senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid, tanin, polifenol, kuinon, monoterpenoid dan seskuiterpenoid. c. Hasil standarisasi simplisia bunga kamboja putih menunjukkan bahwa semua parameter yang ditentukan masih memenuhi persyaratan ekstrak tumbuhan obat. Kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, kadar abu larut air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar air simplisia dan susut pengeringan simplisia bunga kamboja putih berturut-turut adalah 5,59%; 0,42%; 4,03%; 33,81%; 15,04%; 3,99 % v/b; dan 7,68%.
100 ISBN 978-602-70361-0-9
Ucapan Terimakasih Terima kasih kepada LPPM UNJANI yang telah membiayai penelitian ini melalui program penelitian unggulan di bidang kesehatan dan obat-obatan. Daftar Pustaka Dalimartha, Setiawan, (1999) : Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 1, Trubus Agriwidya, Jakarta, vii. Devprakash et al (2012) : An Review of Phytochemical Constituents and Pharmacological Activity of Plumeria Species, International Journal of Current Pharmaceutical Research. 1:1-6 Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (1995) : Farmakope Indonesia Edisi 4, Depkes RI, Jakarta, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1989).Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Jakarta :DepKes RI, 1-37. Farnsworth R. Norman (1966), Biological and Phytochemical Screening of Plants, Journal of Pharmaceutical Sciences 55:3, 225-269. Heinrich, Michael et al., (2009) : Farmakognosi dan Fitoterapi, EGC, Jakarta, 65, 120-126. Hutapea (1994) : Inventaris Tanaman Obat Indonesia (III), Departemen Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 223-224. Kumari Sangita et al (2012) : In Vitro Antifungal Activity of The Essential Oil of Flower of Plumeria alba Linn (Apocynaceae), IJPRIF, 4:1, 208-212 Radha R, Sivakumar T, Arokiyaraj S (2008) : Pharmacognostical Evaluation of Plumeria alba Linn, Research J.Pharm and Tech, 496-501 Tan G.T (1991) : Evaluation of Natural Products as Inhibitor of Human Immunodeficiency Virus Type 1 (HIV-1) Reverse Transcriptase, Joutnal of Natural Products, 54:143-154 WHO (1998), Quality Control Methods for Herbal Materials, World Health Organozation
101 ISBN 978-602-70361-0-9
Deteksi Staphylococcus Patogen (Staphylococcus aureus dan Staphylococcus intermedius) dalam Susu Kambing Peranakan Ettawah (PE) serta Sensitivitas dan Resistansi terhadap Antibiotik A.E.T.H. Wahyuni*, Doddy Yudha Buntara1, Agustina Dwi Wijayati, Aulia Rhiahayu Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada Jl. Fauna No.2, Karangmalang, Yogyakarta 55281 *
E-mail:
[email protected]
Abstract Mastitis is the most infection in milk, one of the bacteria that is often found is genus Staphylococcus. Staphylococcus aureus and S.intermedius are zoonotic pathogen and thus are dangerous to humans. The treatment is usually done by using antibiotics. The inappropriate use of antibiotics can cause bacterial resistance. This research aims to detec S.aureus and .S. intermedius and the sensitivity to antibitics. A total of fourty Ettawah crossbread goat milk were cultured on Mannitol Salt Agar (MSA) medium. Colonies that grew and it is surrounded by yellow colour are S.aureus and S.intermedius. To distinguish between the two tested by Asetonin production with Voges Proskauer (VP) media. Staphylococcus aureus to produce Asetonin while S.intermedius are not. Sensitivity test on antibiotics was done by Disk Diffusion method Kirby-Bauer. The result of the research were founded both of S. aureus and S.intermedius 9 (33.33%). Staphylococcus aureus sensitive to gentamicin and chloramphenicol (100 %) and methicillin (78 %), and resistant to ampicillin (55 %). Staphylococcus intermedius were sensitive to gentamisis and methicillin (100 %), chloramphenicol (67 %) and were resistant to ampicillin (67 %). The conclusion of this study were founded Staphylococcus pathogens and resistant to ampicilin. Keywords: Staphylococcus aureus, Staphylococcus intermedius, goat 's milk, resistance , antibiotic.
1. Pendahuluan Susu kambing Peranakan Ettawah (PE) mulai menarik perhatian dan diperhitungkan untuk menjadi salah satu sumber protein hewani di Indonesia dan penghasil susu yang cukup potensial serta mempunyai keunggulan penting dibanding dengan susu sapi (Devandra dan Burns, 1994). Komposisi susu kambing dan susu sapi tidak banyak berbeda, namun dibandingkan dengan susu sapi, susu kambing mengandung mineral kalsium, fosfor, vitamin A, vitamin E dan vitamin B kompleks yang lebih tinggi (Blakely dan Bade, 1985). Persentase kandungan butiran lemak susu kambing juga lebih banyak yang berdiameter kecil dan homogeni sehingga susu kambing lebih mudah dicerna alat pencernaan manusia. Selain itu, susu kambing memiliki beberapa khasiat untuk terapi penyakit, antara lain Tuberculosis (TBC) dan penyakit eksim, serta memperlambat osteoporosis atau kerapuhan tulang (Sodiq dan Abidin, 2002). Kendala utama pada susu kambing PE adalah kejadian penyakit mastitis, baik mastitis klinis maupun mastitis subklinis. Bakteri yang sering ditemukan pada kasus mastitis kambing adalah S.aureus, Streptococcus agalactiae, dan Streptococcus dysgalactiae, S. caprae, Mycoplasma capricolum, Staphylococcus koagulasenegatif termasuk Staphylococcus hyicus, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus intermedius dan Staphylococcus xylosus (Browning, 2008). Staphylococcus aureus merupakan agen penyebab utama mastitis pada sapi perah maupun kambing. Staphylococcus aureus pada susu segar dan produk pangan dapat menyebabkan toxic shock syndrome sebagai akibat dari keracunan pangan. Sekitar 50% galur S. aureus memproduksi enterotoksin yang dapat menimbulkan keracunan pangan pada manusia. Staphylococcus intermedius memiliki sifat resisten terhadap panas dan enzim pencernaan, sehingga memiliki peranan penting pada kesehatan manusia karena dapat menyebabkan terjadinya keracunan makanan (Hirsh dan Zee,1999) Sampai sekarang pengobatan mastitis masih menggunakan antibiotik. Seperti kita ketahui bahwa pemakaian antibiotika yang tidak tepat akan menimbulkan beberapa hal salah satunya adalah resistensi terhadap antibiotik tersebut. Sampai sekarang masih sedikit laporan keberadaan S.aureus dan S.intermedius dari susu kambing PE. Demikian juga bagaimana sensisitivitas maupun resistensinya terhadap berbagai antibiotik belum banyak dilaporkan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui keberadaan S.aureus dan S.intermedius dari susu kambing PE serta mengetahui sifat sensitivitas maupun resistensinya terhadap beberapa antibiotik.
102 ISBN 978-602-70361-0-9
2.
Metode
2.1
Isolasi dan Identifikasi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus intermedius.
Sebanyak 40 sampel susu kambing PE dikultur pada media Manitol Salt Agar (MSA), diinkubasikan 1824 jam suhu 37C. Koloni yang tumbuh yang dikelilingi zona kuning adalah Staphylococcus patogen yaitu S.aureus dan S.intermedius. Koloni yang tumbuh tetapi warna sekitarnya merah adalah Stapylococcus selain yang patogen. Untuk mebedakan S.aureus dan S.intermedius dilakukan uji kemampuan menghasilkan Asetonin dengan media Voges Proskauer (VP). Uji VP S. aureus positif sedang S.intermedius VP negatif (Collins et al, 2004). 2.2.
Penentuan Sensitivitas dan Resistensi Staphylococcus aureus dan Staphylococcus intermedius terhadap beberapa antibiotika.
Metode uji sensitivitas bakteri terhadap antibiotik digunakan metode difusi. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus intermedius dibiakkan pada kaldu brain herat infusion (BHI) selama 1-24 jam pada suhu 370C. Biakan yang sudah disentrifus dan disetarakan dengan jumlah bakteri 1,8X108 colony forming unit (CFU)/ml kemudian dikultur pada media Mueller-Hinton Agar (MHA). Disk ampisilin, kloramfenikol, eritromisin, gentamisin dan metisilin diletakkan diatas MHA dan diinkubasikan pada suhu 370C selama 18-24 jam. Zona hambat yang terbentuk kemudian diukur diameter nya. Untuk menentukan sifat sensitif, intermediet dan resisten dibandingkan dengan zona standar Kirby-Bauer (Bell dkk.,2009). 3.
Hasil dan Pembahasan
Hasil isolasi dan identifikasi dari 40 sampel susu kambing PE, diperoleh sebanyak 27 Staphylococcus yang terdiri dari sembilan (33,9%) Staphylococcus aureus dan sembilan (33,3%) adalah Staphylococcus intermedius. Selain kedua Staphylococcus tersebut diperoleh Staphylococcus yang tidak patogen dan tidak bersfat zoonosis yaitu lima (18,5%) Staphylococcus epidermidis dan empat (14,8%) Staphylococcus hyicus (14,8%). Hasil ini sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya (Wahyuni, 2011) ditemukan S.aureus sebesar 50% dan S. intermedius 7,8% dari susu kambing PE di peternakan di Yogyakarta namun dari peternakan yang berbeda. Hasil isolasi dan identifikasi Staphylococcus secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Morfologi sel bakteri dengan pengecatan Gram dan pertumbuhan koloni pada media MSA disajikan pada Gambar 1. Tabel 1. Hasil Isolasi danIidentifikasi Staphylococcus dari Susu Kambing PE No
Gram
MSA
VP
Kesimpulan
1 2 3 4
Kode Isolat A1Xa A3Yi A4Ya A5Ya
kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+)
FM FM FM FM
+* +* +* +*
S. aureus S. aureus S. aureus S. aureus
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
A11Xa A11Xc A13Xa A13Ya A17Ya A7Xe A7Ya A7Ye A11Ya A12Ya A15Xa A15Xe A17Yc A18Ya A3Xk A4Xc A8Xc A13Xc A19Yc A4Xa A4Yc A8Xa A13Yk
kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+) kokus (+)
FM FM FM FM FM FM FM FM FM FM FM FM FM FM NFM NFM NFM NFM NFM NFM NFM NFM NFM
+* +* +* +* +* –* –* –* –* –* –* –* –* –* +* +* +* +* +* –* –* –* –*
S. aureus S. aureus S. aureus S. aureus S. aureus S. intermedius S. intermedius S. intermedius S. intermedius S. intermedius S. intermedius S. intermedius S. intermedius S. intermedius S. epidermidis S. epidermidis S. epidermidis S. epidermidis S. epidermidis S. hyicus S. hyicus S. hyicus S. hyicus
103 ISBN 978-602-70361-0-9
Keterangan: (+): Gram positif (berwarna ungu) FM: Fermentasi Mannitol, NFM: Non Fermentasi Mannitol, +*: warna kaldu merah, –*:warna kaldu kuning
Gambar 1. Bakteri berbentuk kokus, Gram + dan bergerombol
Gambar 2. Koloni Staphylococcus pada Media MSA. S.aureus dan S.intermedius koloni dikelilingi zona kuning Hasil uji sensitivitas maupun resistensi baik S. aureus dan S. intermedius terhadap ampisilin, kloramfenikol, eritromisin, gentamisin dan metisilin dan prosentasenya disajikan pada Tabel 2. dan Gambar 3.
Tabel 2. Presentase (%) Hasil Uji sensitivitas S. aureus dan S.intermedius terhadap terhadap Ampisilin, Kloramfenikol, Eritromisin,Gentamisin dan Metisilin. Antibiotika Ampisilin Kloramfenikol Eritromisin Gentamisin Metisilin
S.aureus
S 45 100 45 100 78
S.intermedius
I 0 0 33 0 22
R 55 0 22 0 0
S 33 67 33 100 100
I 0 33 67 0 0
R 67 0 0 0 0
104 ISBN 978-602-70361-0-9
A. Ampisilin B. Metisilin C Gentamisin D. Eritromisin E. Kloramfenikol
Gambar 3. Hasil Uji Sensitivitas S.aureus dan S.intermedius terhadap Ampisilin, Kloramfenikol, Eritromisin, Gentamisin dan Metisilin. Hasil uji sensitivitas S.aureus terhadap ampisilin, masih sensitif (45%) dan resisten (55%). Sensitivitas S.intermedius terhadap ampisilin (33%) dan resisten (67%). Dari hasil ini S.aureus dan S.intermedius sudah resisiten terhadap ampisilin. Hasil ini juga sesuai dengan hasil penelitian Correa dkk (2005) S.intermedius sudah resisiten terhadap ampisilin (78,9%). Ampisilin merupakan antibiotik beta laktam (β-laktam). Antibiotik ini sering digunakan untuk pengobatan mastitis pada sapi dan kambing. Oleh karena itu wajar jika dari hasil uji sensitivitas ini sudah resisten terhadap ampisilin (55%) dan bahkan 67% untuk S.intermedius. Menurut Katzung (2001) resistensi terhadap ampisilin dan antibiotik β-laktam lainnya disebabkan oleh salah satu dari empat mekanisme umum yaitu inaktivasi antibiotik oleh enzim β-laktamase, adanya modifikasi proteins binding penicilin (PBPs) pada target, kerusakan penetrasi obat ke dalam PBP target, dan adanya suatu pompa aliran keluar. Hasil uji sensitivitas S. aureus dari susu kambing PE semuanya masih sensitif terhadap kloramfenikol (100%). Penelitian yang sama dilakukan di Malaysia oleh Sasidharan (2011) ditemukan semua S. aureus masih sensitif dengan kloramfenikol. Namun demikian sudah agak berbeda dengan S.intermedius yang sensitif sebesar 67% dan sudah intermediate sebesar 33%. Hal ini perlu menjadi perhatian karena sudah ada S.intermedius yang bersifat tidak sensitif lagi/intermediate. Antibiotika ini tidak dianjurkan untuk pengobatan mastitis dan jarang digunakan. Dengan adanya hasil uji seperti ini, bisa dijadikan peringatan kepada dokter hewan dalam pengawasan penggunaan antibiotika di lapangan. Menurut Plumb (2008) kloramfenikol merupakan antibiotika berspektrum luas dalam melawan bakteri Gram positif maupun negatif. Bakteri Gram positif yang bersifat aerobik yang secara umum sangat sensitif terhadap kloramfenikol adalah spesies Streptococcus sp dan Staphylococcus sp. Hasil uji sensitivitas S.aureus terhadap eritromisin masih sensitif (45%), intermediate (33%) dan resisten (22%)., sedang S.intermedius sensitif (33%), intermediet (67%). Hasil yang sama dengan penelitian Ebrahimi (2007). Eritromisin adalah antibiotika makrolida yang sering digunakan untuk pengobatan intramammary dan tersedia dalam pengobatan masa laktasi maupun kering (Nicola dkk., 1998) . Hasil uji sensitivitas S.aureus dan S.intermedius terhadap gentamisin masing-masing sebesar 100%, sehingga dikatakan sangat sensitif. Hasil yang sama dilakukan oleh Ebrahimi dkk (2007) . Gentamisin merupakan antibiotika dari golongan aminoglikosida. Spektrum aktivitas gentamisin yang utama adalah bakteri Gram negatif yang bersifat aerobik. Namun gentamisin juga mampu bekerja melawan bakteri Gram positif. Sifat antibiotika golongan aminoglikosida ini sebagai bakterisidal (Hirsh dan Zee, 1999). Jadi penggunaan gentamisin untuk pengobatan terutama mastitis sangat dianjurkan. Hasil uji sensitivitas S.aureus terhadap metisilin, masih sensitif (78%) dan intermediet (22%). Hasil ini berbeda dengan penelitian Sashidaran (2011) bahwa S.aureus sensitif terhadap metisilin (87%) dan resisten (13%). Dari hasil uji sensitivitas S.aureus terhadap metisilin belum ada yang resisten, namun demikian sudah 22% bersifat intermediet. Ada yang mengatakan bahwa suatu antibiotika jika sudak tidak sensitif berarti resisten. Jadi hanya mengelompokkan sensitif dan resisten saja. Dengan hasil intermediet tidak menutup kemungkinan suatu saat akan terjadi S. aureus yang resisten terhadap metisilin atau methicilin resistant Statphylococcus aureus (MRSA) apabila pemakaian antibiotika di lapangan tidak dipantau dengan seksama. Seperti diketahui bahwa MRSA adalah salah satu strain bakteri yang telah menjadi masalah yang serius di seluruh dunia dan sering dihubungkan dengan penyebab mastitis pada sapi. Grup MRSA ini merupakan strain S.aureus yang tahan terhadap berbagai antibiotik termasuk metisilin. Saat ini MRSA merupakan bakteri patogen nosokomial pada hewan dan manusia, serta bersifat zoonosis dan sangat berbahaya. Bakteri inimenginfeksi baik manusia atau hewan terutama yang memiliki daya tahan tubuh rendah. Pada manusia mengakibatkan infeksi pada kulit, jerawat, ruam, bisul atau gigitan laba-laba. Infeksi ini biasanya menyakitkan, merah, bengkak dan dapat masuk ke dalam tubuh dengan cepat, hingga menimbulkan bengkak yang menyakitkan. Bakteri MRSA juga dapat
105 ISBN 978-602-70361-0-9
menembus ke dalam tubuh dan berpotensi menyebabkan infeksi pada tulang, sendi, aliran darah, jantung dan paruparu yang dapat menyebabkan kematian. Penularannya dapat menyebar dengan mudah melalui kontak kulit atau melalui sentuhan terhadap barang yang sudah terkontaminasi. Penularan bisa dari manusia ke hewan dan sebaliknya. Seperti kita ketahui bahwa pemerahan susu kambing PE ini dilakukan oleh pemerah dengan menggunakan. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya MRSA yang ditularkan dari kambing ke pemerah maupun sebaliknya. Oleh karena itu dengan ditemukannya MRSA pada susu kambing PE ini harus menjadi peringatan untuk kita semua, karena tidak menutup kemungkinan akan terjadi penularan kepada manusia. Ada baiknya dilakukan juga penelitian MRSA yang diisolasi dari tangan pemerah, sehingga kita dapat mengetahui kemungkinan MRSA juga sudah ada dari tangan pemerah. Methicillin resistant Staphylococcus aureus adalah salah satu strain S. aureus yang resisten terhadap antibiotik golongan beta-laktam yaitu antibiotik metisilin. Resistensi MRSA tidak hanya terhadap antibiotik golongan beta-laktam tetapi juga resisten terhadap beberapa kelas antibiotik (Todar, 2002). Strain MRSA merupakan bakteri yang resisten secara luas terhadap antimikroba lainnya (Khanna dkk., 2008; Wishart dkk., 2008). Strain MRSA resisten terhadap semua antibiotik beta-laktam, tidak tergantung pada produksi betalaktamase namun bergantung pada modifikasi Penicillin Binding Protein (PBP2a) tertentu dalam bakteri yang mempunyai afinitas rendah terhadap semua antibiotik beta-laktam. Gen mecA merupakan suatu gen yang mengkode 78 kDa modifikasi Penicillin Binding Protein (PBP2a) sehingga resisten terhadap antibiotik beta-laktam seperti metisilin. Deteksi gen mecA merupakan gold standard dalam mengidentifikasi bakteri MRSA (Khan dkk., 2012; Krishnan dkk., 2002). Oleh karena itu dalam penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan deteksi gen mecA dari MRSA yang sudah ditemukan ini. 4.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini ditemukan Staphylococcus patogen yaitu S.aureus dan S.intermedius pada susu kambing PE sama prosentasinya . Staphylococcus aureus sensitif gentamisin dan kloramfenikol, metisilin dan resisten ampisilin serta eritromisin. Staphylococcus intermedius sensitif gentamisin dan metisilin, kloramfenikol dan resisten ampisilin. Selain itu ditemukan S. aureus tidak sensitif/resisten terhadap metisilin sebesar. Ucapan Terimakasih Penelitian ini bagian dari Kegiatan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (PUPT) tahun 2012 dengan judul “ Identifikasi dan Deteksi Gen Penyandi toxic shock syndrome toxin-1 (tst) Staphylococcus aureus dari Susu Kambing Peranakan Ettawah (PE) di Yogyakarta”. Daftar Pustaka Bell, S.M., Pham, J.N., Fisher, G.T.2009. A Manual for Medical and Veterinary Laboratories 2009. Edisi ke 5. Australia, South Eastern Area Laboratory Service. 12. Blakely, J. dan Bade, D. H. 1985. Ilmu Peternakan. Edisi ke 4. Penerjemah: Srigandono, B. Judul buku asli: The Science of Animal Husbandry. Edisi ke 4. UGM Press. Yogyakarta, 407-408. Browning, M. L. 2008. Mastitis in Goats. Alabama A&M University Press. Alabama. Carter, G. R. dan Wise, D.J. 2004. Essentials of Veterinary Bacteriology and Mycology. Edisi ke 6. A Blackwell Publishing Company. Iowa, 179-197. Collins, C.H., Lyne, P.M., Grange, J.M., dan Falkinham, J. . 2004. Collin and Lyne’s Microbiological Methods. Edisi ke 8. Arnold, London. Correa, I., Correa, M.G.P., Marin, J.M. 2005. Antimicrobial Susceptibility of Strains of Coagulase-Positive Staphylococcus Isolated from Mastitic Bovine Milk. Ars Veterinaria Jaboticabal. Vol.21, pp. 69-76 Devandra, C. dan Burns, M. 1994. Produksi kambing di Daerah Tropis. Penerjemah: Putra, Harya. Judul buku asli: Goat Production in the Tropic. Penerbit ITB. Bandung Ebrahimi, A. Lotfalian, S.H., Karimi, S. 2007. Drug Resistance in Isolated Bacteria from Milk of Sheep and Goats with Subclinical Mastitis in Shahrekord District. Iranian Journal of Veterinary Research, University of Shiraz. Vol,8, No.1, Ser, No.18 Hirsh, D.C. dan Zee, Y.C. 1999. Veterinary Microbiology. Blackwell Science. USA, 115-119. Katzung, B.G.2001. Basic and Clinical Pharmacology. Edisi ke-8. McGraw-Hill Education, New York. 6-7 Khan, S., Shetty, P., Sarayu, L., Chidambaram, A., dan Ranganathan. 2012. Detection of mecA genes of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus by Polymerase Chain Reaction. International Journal of Health and Rehabilitation Sciences. 7:230-235. Khanna T, Friendship R, Dewey C, Weese JS. 2008. Methicillin resistant Staphylococcus aureus colonization in pigs and pig farmers. Vet Microbiol 128: 298–303.
106 ISBN 978-602-70361-0-9
Krishnan PU, Miles K, Shetty N. 2002. Detection of methicillin and mupirocin resistance in Staphylococcus aureus isolates using con- ventional and molecular methods: a descriptive study from a burns unit with high prevalence of MRSA. J. Clin. Pathol., 55: 745-748. Nicola, F.G., Linda, K., James, M.D., Biddle, W., Tenover, F.C. 1998. Characterization of Erythromycin-Resistant Iaolates of Staphylococcus aureus Recovered in The United States from 1958 through 1969. Antimicrob. Agents. 18: 525 Plumb, D.C. 2008. Plumb’s us by Cell Wall Active Antibiotics Oxacillin and Vancomycin. J.Antimicro. Agents and Drug Handbook. Edisi ke-6. Blackwell Publishing, Iowa Sasidharan, S., Prema, B., Yoga, L.L.2011. Antimicrobial Drug Resistance of Staphylococcus aureus in Dairy Products. Asian Pacific Jurnal of Tropical Biomedicine, 130-132. Sodiq, A dan Abidin, Z. 2002. Mengenal Lebih Dekat Kambing Peranakan Etawa. Agro Media Pustaka. Jakarta, 4- 14. Wahyuni, A.E.T.H. 2011. Bakteri Patogen yang Diisolasi dari Susu Kambing Peranakan Ettawah (PE) di Sayegan, Sleman, Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan III. Hal:8-12. Wishart, K., Goldsmith, C.E., Loughrey, A., McClurg, B. dan Moore, J.E. 2008. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus: A Microbiological Update. The Biomedical Scientist, Jano 08. 39-41.
107 ISBN 978-602-70361-0-9
Uji Sitotoksik dan Aktivitas Antioksidan Beberapa Ekstrak Daun Tanaman Famili Fabaceae Subfamili Mimosoideae Fahrauk Faramayuda*, Endang Kumolowati, Mira Andam Dewi, Akhirul K. Syam Faculty of Pharmacy Universitas Jenderal Achmad Yani
Jl, Terusan Jenderal Sudirman Cimahi *E- mail :
[email protected]
Abstract Fabaceae is the botanical name for a plant family which consists of three subfamily, namely Caesalpinioideae, Mimosoideae and Faboideae (Leguminosae is equivalent in Papilionoideae). Subfamily Mimosoideae and Caesalpinioideae sometimes raised to the rank of family Mimosaceae and Caesalpiniaceae, so it has two botanical names ie Fabaceae or Papilionaceae. Research comparing the cytotoxic and antioxidant activity of the plant family Fabaceae subfamily mimosoideae not been done, therefore this research will be testing the power of cytotoxic and antioxidant activity of four plant family Fabaceae subfamily mimosoideae ie Leucaena leucocephala, Albizia falcataria, Mimosa pudica, and Parkia speciosa. Extracts were tested using the method of power Cytotoxic Brine Shrim Lethaly Test (BSLT) and antioxidant activity using DPPH reagent. Cytotoxic activity with results obtained BSLT method LC50 values Leucaena leucocephala is 728, 44 mg / mL, Mimosa pudica leaves 1848.33 mg / mL, Parkia speciosa leaf 763.31 mg / mL and leaves Albizia falcataria 83.25 mg / mL. From these results the plants that have cytotoxic activity is Leucaena leucocephala, Parkia speciosa leaves and leaf Albizia falcataria because if the LC50 is less than 1000 mg / mL declared toxic and active. Antioxidant activity of the test results obtained for leaf Albizia falcataria IC50 was 1924.28 mg / mL, Leucaena leucocephala 786 mg / mL, Parkia speciosa leaf 21.73 mg / mL, Mimosa pudica leaves 15.96 mg / mL and 1.88 mg comparison quersetin / mL. Leaves Mimosa pudica has the best antioxidant activity compared with the other leaves. Keywords: Fabaceae, Mimosoideae, Mimosaceae, Cytotoxic, Antioxidant.
1.
Pendahuluan
Kondisi kesehatan manusia zaman sekarang, sangat berbeda dengan kondisi kesehatan pada beberapa ratus tahun silam. Perbedaan itu bisa dilihat dari beberapa fakta, antara lain penyakit kanker diderita oleh satu dari dua puluh tujuh orang. Sekarang satu dari tiga orang di negara-negara berkembang berpotensi terkena kanker, dan hingga saat ini, kanker adalah penyakit mematikan nomor dua setelah penyakit pembuluh dan jantung koroner di dunia (Shinya, 2010). Dalam terapi pengobatan kanker, banyak digunakan antioksidan yang memiliki beberapa khasiat. Yang terpenting adalah kemampuan antioksidan memperangkap dan menetralisir radikal bebas. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab utama penyakit kanker. Senyawa antioksidan bekerja anti-aterogen melalui penghambatan oksidasi LDL-kolesterol. Juga berdaya antitumor dengan jalan menghambat induksi kimiawi dari tumor melalui stimulasi enzim yang menginaktifasi induktornya. Beberapa yang umum digunakan adalah vitamin A, C dan E, mineral selenium (Se) dan seng (Zn), kurkumin, genistein, kuersetin, ubikuinon, piknogenol dan asamasam amino sistein dan metionin (Tjay 2007). Oleh karena itu perlu dikembangkan penelitian tentang aktivitas sitotoksik dan antioksidan dari tanaman di Indonesia, mengingat potensi beberapa tanaman di Indonesia yang memiliki aktivitas sitotoksik dan antioksidan. Fabaceae adalah nama botani untuk sebuah famili tumbuhan yang terdiri dari tiga subfamili, yaitu Caesalpinioideae, Mimosoideae dan Faboideae (padanannya dalam Leguminosae ialah Papilionoideae). Subfamili Mimosoideae dan Caesalpinioideae terkadang dinaikkan ke peringkat famili Mimosaceae dan Caesalpiniaceae, sehingga mempunyai dua nama botani yaitu Fabaceae atau Papilionaceae. Beberapa tanaman dari famili ini telah diteliti mempunyai aktivitas farmakologis seperti petai cina Petai cina (Leucaena leucocephala Lam De Wit) merupakan salah satu tumbuhan yang secara etnobotani telah dikenal dan dimanfaatkan daunnya oleh masyarakat Indonesia sebagai obat-obatan diantaranya sebagai obat luka dan obat bengkak. Pemanfaatannya dengan cara dikunyah atau diremas, kemudian ditempelkan pada bagian yang bengkak (Wahyuni, 2006). Pucuknya digunakan
108 ISBN 978-602-70361-0-9
untuk mengobati diare (Chanwitheesuk et al., 2005), daun dan buah sebagai pakan ternak yang dapat meningkatkan produksi susu ternak, biji petai cina berkhasiat sebagai peluruh air seni dan obat cacing , kulit batang sebagai antiseptik (Bussman et al, 2010). Daun petai cina mengandung saponin, flavonoid, tanin dan triterpene lupeol (Sartinah, 2011). Daun sengon mengandung senyawa flavonoid, saponin, polifenol dan tanin (Hutapea, 1994). Penelitian yang membandingkan daya sitotoksik dan aktivitas antioksidan dari tanaman – tanaman famili fabaceae subfamili mimosoideae belum pernah dilakukan, oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan pengujian daya sitotoksik dan aktivitas antioksidan dari empat tanaman famili fabaceae subfamili mimosoideae yaitu daun petai cina, sengon, putri malu dan petai. Metode ekstraksi yang digunakan adalah menggunakan alat maserator dengan menggunakan pelarut etanol. Ekstrak yang didapat selanjutnya diuapkan dengan penguap vakum putar (rotary evaporator), sampai didapatkan ekstrak kental. Kemudian ekstrak diuji daya sitotoksiknya dengan menggunakan metoda Brine Shrimp Lethaly Test (BSLT) dan aktivitas antioksidannya menggunakan pereaksi DPPH. Penggunaan BSLT sebagai bioassay pertama kali dilaporkan oleh Tarpley untuk menentukan beberapa residu insektisida, menentukan senyawa anestetik, serta menentukan tingkat toksisitas air laut. Selanjutnya, Meyer dan kawan-kawan menggunakan BSLT dalam penapisan senyawa-senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak tanaman yang ditunjukan sebagai toksisitas terhadap larva Artemia Salina Leach (Harmita dan Radji, 2008). Parameter yang digunakan untuk menunjukan adanya aktivitas biologi suatu senyawa terhadap Artemia salina Leach. adalah kematian. Senyawa-senyawa yang menunjukan ketoksikan yang tinggi dalam BSLT sering dikaitkan dengan potensinya sebagai anti kanker. Suatu ekstrak dianggap toksik bila memiliki nilai LC50 di bawah 1000 ppm dan dianggap tidak toksik bila nilai LC50 di atas 1000 ppm (Fajarningsih dkk, 2006). DPPH merupakan suatu radikal bebas sintetis yang umum digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan. DPPH dapat diperoleh secara komersial, memiliki radikal nitrogen yang bersifat reaktif sebagai radikal bebas. Senyawa ini dapat terlarut maksimum pada pelarut polar seperti metanol dan etanol, sehingga pengujian aktivitas antioksidan terbatas pada sampel yang terlarut dalam pelarut polar tersebut. Metode DPPH merupakan metode yang mudah dilakukan, berlangsung dalam proses yang cepat dan sensitif terhadap berbagai senyawa antioksidan (Rohman dkk, 2005). IC50 adalah konsentrasi sampel yang diperlukan untuk meredam 50% jumlah radikal bebas. Nilai IC50 inilah yang kemudian dibandingkan antara sampel terhadap senyawa pembanding tertentu. Senyawa pembanding ini dapat berupa tokoferol, kuersetin, BHT, vitamin C dan senyawa antioksidan lain (Gandjar dkk, 2007). 2.
Metode
Dalam penelitian ini menggunakan alat-alat gelas yang umumnya digunakan di laboratorium, timbangan anlitik, Spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu), mikroskop, lup, kaca objek dan penutup, mortir dan stamper, blender, seperangkat alat maserasi, vacum rotary evaporator, corong pisah, oven, krus porselen, vial atau botol kaca, pengatur udara dan lampu neon 40 watt. Bahan–bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini yaitu etanol 95%, n-heksan, etil asetat, DPPH, Metanol pa, Asam klorida, Serbuk Mg, Eter, Asam Sulfat, besi(III)klorida 1%, Kalium Hidroksida, Kloralhidrat, pereaksi Dragendorff, pereaksi Mayer, pereaksi Liebermann-Bouchard, pereaksi vanillin 10%, pereaksi gelatin 1 %, KLT, Silika GF254, aquadest, air laut. Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun Petai cina, Sengon, Putri malu dan petai yang diperoleh dari Balai Tanaman Manoko Lembang. Hewan percobaan yang digunakan adalah larva udang laut Artemia salina Leach. yang diperoleh dari Toko Hewan Laut Karapitan, Bandung. 2.1
Penyiapan Simplisia
Sebelum melakukan penelitian tanaman dideterminasi terlebih dahulu di Herbarium Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB. Tahap penyiapan simplisia ini meliputi proses panen, sortasi, pengeringan dan tahap selanjutnya adalah memperkecil ukuran partikel dengan menggunakan blender dengan maksud untuk memperbesar luas permukaan bahan serta menyeragamkan ukuran partikel agar mempermudah kontak antara bahan dengan pelarutnya, sehingga ekstraksi berlangsung dengan baik. 2.2
Pemeriksaan Karakteristik Simplisia
Pemeriksaan karakteristik simplisia daun petai cina, sengon, putri malu dan petai. meliputi pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, penetapan kadar abu total, kadar abu larut air, kadar abu tidak larut asam, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol dan penetapan kadar air.
109 ISBN 978-602-70361-0-9
2.3
Penapisan Fitokimia Simplisia
Penapisan fitokimia meliputi golongan senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, polifenol, terpenoid dan seskuiterpenoid, triterpenoid dan steroid, dan kuinon (Depkes, 1977). 2.4.
Ekstraksi
Sebanyak masing-masing 500 gram serbuk simplisia daun petai cina, sengon, putri malu dan petai diekstraksi menggunakan cara dingin yaitu dimaserasi selama 24 jam dengan menggunakan pelarut etanol 95% dengan perbandingan simplisia : pelarut sekitar 1:3, dilakukan pengadukan selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Setelah 24 jam, filtrat disaring, dan residu dimaserasi kembali dengan pelarut baru yang sama. Proses ini dilakukan berulang kali hingga diperoleh filtrat yang bening. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan sebagai ekstrak total. Ekstrak dipekatkan dengan penguap putar sampai dihasilkan ekstrak pekat. Ekstrak pekat kemudian diuapkan diatas penangas air sampai diperoleh ekstrak kental, kemudian ditimbang. 2.5
Penetasan Telur Artemia Salina Leach.
Penetasan telur Artemia salina Leach. dilakukan dalam aquarium yang berisi air laut yang terdiri dari dua bagian ruang yaitu bagian terang yang disinari lampu dan bagian gelap yang ditutupi aluminium foil. Telur Artemia salina Leach. yang akan ditetaskan terlebih dahulu direndam dalam aquadest selama 30-60 menit, telur yang mengapung dibuang dan yang tenggelam diambil kemudian dimasukan ke dalam wadah penetasan yaitu diletakkan pada bagian gelap dimana suhu penetasan adalah + 25-300C. Telur akan menetas menjadi larva yang disebut nauplii setelah 18-24 jam, nauplii yang telah menetas akan berenang menuju tempat yang terang. Nauplii yang siap untuk diuji adalah nauplii yang berumur 48 jam setelah menetas. 2.6
Uji Toksisitas Ekstrak Etanolik Tanaman Famili Fabaceae Subfamili Mimosoidiae
Penyiapan ekstrak uji dilakukan dengan membuat variasi konsentrasi, ekstrak daun petai cina 100 – 600 µg/mL, daun putri malu 800 – 1800 µg/mL, daun petai 20 – 100 µg/mL dan daun sengon 20-100 µg/mL . Untuk kontrol dilakukan tanpa penambahan sampel. Setiap konsentrasi dilakukan 3 kali pengulangan. Setelah 24 jam, jumlah larva yang mati dihitung dengan bantuan alat kaca pembesar. Selanjutnya efek toksisitas dianalisi dari pengamatan dengan persen kematian, yaitu persamaan (1) %𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 𝑢𝑗𝑖
x 100%
(1)
Dengan mengetahui kematian larva Artemia salina Leach., kemudian dicari nilai probit melalui tabel dan dibuat persamaan (2): x𝑦 = 𝑎𝑥 + 𝑏 (2) Dimana: y = nilai probit x = konsentrasi ekstrak Dari persamaan tersebut kemudian dihitung LC50 dengan memasukan nilai probit Y = 5,00 (kematian 50%). Suatu zat dikatakan aktif atau toksik bila nilai LC50 nya < 1000 ppm untuk ekstrak dan < 30 ppm untuk suatu senyawa. Apabila pada kontrol ada larva yang mati, maka % kematian ditentukan dengan persamaan (3) 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖−𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 %𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 = (3) 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 𝑢𝑗𝑖 2.7
Pengujian Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanolik Tanaman Famili Fabaceae Subfamili Mimosoidiae
Pengujian aktivitas antioksidan terhadap radikal bebas DPPH dilakukan terhadap ekstrak–ekstrak dari tanaman Famili Fabaceae Subfamili Mimosoidiae. 2.8
Penyiapan Larutan Pereaksi DPPH
Larutan pereaksi DPPH dibuat dengan konsentrasi 30µg/mL dalam pelarut metanol. Pembuatan larutan pereaksi yaitu dengan melarutkan 10,0 mg DPPH dilarutkan dengan 10,0 mL metanol dalam labu takar, kemudian dikocok sampai homogen. Kemudian dari larutan tersebut dipipet 3,0 mL dan dimasukan dalam labu takar 100 mL dan ditambahkan metanol sampai tanda batas. Didapatkan pereaksi dengan konsentrasi 30 µg/mL.
110 ISBN 978-602-70361-0-9
2.9.
Penetuan Kurva Serapan Larutan Pereaksi DPPH
Larutan pereaksi kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 400-800 nm dengan blanko metanol untuk mendapatkan panjang gelombang maksimum. 2.10
Penyiapan Seri Larutan Uji
Larutan uji yaitu ekstrak-ekstrak tanaman Famili Fabaceae Subfamili Mimosoidiae dibuat dalam pelarut metanol dengan konsentrasi daun petai cina 200 - 1200 µg/mL, daun petai 10 – 110 µg/mL, daun putri malu 5 – 30 µg/mL, daun sengon 300 – 2300 µg/mL dan larutan pembanding kuersetin 0,5 – 3 µg/mL 2.11
Pengukuran Serapan Peredaman Radikal Bebas DPPH
Masing-masing sampel ini dipipet sebanyak 1,5 ml, kemudian ditambahkan 3,0 ml pereaksi DPPH dalam tabung reaksi yang terlindung dari cahaya dan udara bebas. Didiamkan selama 30 menit lalu diukur serapannya secara spektro UV-Visible. 2.12
Analisis Kandungan Metabolit Sekunder Dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Dilakukan identifikasi kandungan metabolit sekunder terhadap ekstrak-ekstrak dari tanaman Famili Fabaceae Subfamili Mimosoidiae. Ekstrak dilarutkan ke dalam pelarut metanol, kemudian ditotolkan pada pelat silika gel GF254 dengan ukuran 10x1 cm. Digunakan pengembang Toluen : Etil Asetat dengan perbandingan 7:3 dan dijenuhkan dalam bejana tertutup selama 30 menit. Kemudian pelat dimasukkan ke dalam bejana untuk dielusi dengan pengembang diatas hingga batas yang telah ditentukan pada pelat silika. Selanjutnya dilakukan identifikasi kandungan dengan memberikan penampak bercak yang spesifik untuk setiap golongan senyawa. 3.
Hasil dan Pembahasan
3.1
Determinasi dan Rendemen Ekstrak
Sebelum melakukan penelitian tanaman dideterminasi terlebih dahulu di Herbarium Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB. Hasil determinasi menyatakan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah sengon (Albizia falcataria (L).Fosberg), daun putri malu (Mimosa pudica), daun petai (Parkia speciosa) dan daun petai cina (Leucaena leucocephala). Determinasi bertujuan untuk mengetahui kebenaran dari jenis tanaman yang akan digunakan dalam penelitian. Rendemen ekstrak etanol tiap – tiap ekstrak adalah daun petai cina 0,275 %, daun petai 7,516 %, daun putri malu 13,27 % dan daun sengon 5 %. Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Karakteristik Simplisia No 1 2 3 4 5 6 7
Pengujian Kadar Air Kadar Abu Total Kadar Abu Larut Air Kadar Abu Tidak Larut Asam Kadar Sari Larut Air Kadar Sari Larut Etanol Kadar Tanin Total
Putri Malu 9,59 % 6,13% 2,39% 0,72% 16,98% 11,06% 0,02%
Sengon 8% 4,62% 1,38% 0,80 % 4,80% 3,91% 0,01%
Petai Cina 8,99% 10,25% 3,50% 0,68% 19,82% 5,47% 0,02%
Peuteuy 8,59% 4,13% 1,38% 0,83% 7,61% 4,19% 0,03%
Hasil Penapisan Fitokimia Simplisia dan Ekstrak diperlihatkan pada Tabel 2 dan Tabel 3.
111 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 2. Hasil Penapisan Fitokimia Simplisia Tanaman Golongan Alkaloid Flavonoid Polifenol Tanin Kuinon Saponin MonoSeskuiterpen SteroidTriterpenoid
Petai Cina
Petai
Putri Malu
Sengon
+ + + + -
+ + + + +
+ + + -
+ + + + +
Petai Cina + + + + -
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Tabel 3. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Tanaman Golongan
Petai Cina
Petai
Putri Malu
Sengon
Petai Cina + + + + +
Alkaloid + + + Flavonoid + + + + Polifenol + + + + Tanin Kuinon + + + + Saponin + + + Mono+ + + + + Seskuiterpen Steroid+ + + + + Triterpenoid Ket : + Menunjukkan terdapat metabolit sekunder yang dimaksud - Menunjukkan tidak terdapat metabolit sekunder yang dimaksud Uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan uji pendahuluan yang dapat digunakan untuk menemukan senyawa sitotoksik dan diharapkan dalam pengembangan selanjutnya dapat digunakan sebagai obat antikanker. Metode ini menggunakan nauplii udang laut Artemia salina Leach untuk menentukan LC50. Tingkat kematian larva udang dari metode BSLT akan memberi makna terhadap potensi aktivitasnya terhadap antikanker. Meskipun uji sitotoksisitas ini tidak spesifik untuk antikanker, namun hasil uji senyawa antikanker menunjukkan korelasi yang signifikan terhadap kematian larva udang. Hasil uji dinyatakan sebagai LC50. Dari pengujian aktifitas sitotoksik dengan metode BSLT diperoleh hasil nilai LC50 untuk daun petai cina adalah 728, 44 µg/mL, daun putri malu 1848,33 µg/mL, daun petai 763,31 µg/mL dan daun sengon 83.25 µg/mL. Dari hasil ini tanaman yang memiliki aktivitas sitotoksik adalah daun petai cina, daun petai dan daun sengon karena bila harga LC50 kurang dari 1000 μg/mL dinyatakan toksik dan aktif. Dari hasil pengujian aktivitas antioksidan diperoleh IC50 untuk daun sengon adalah 1924,28 µg/mL, daun petai cina 786 µg/mL, daun petai 21,73 µg/mL, daun putri malu 15,96 µg/mL dan pembanding quersetin 1,88 µg/mL. Daun putri malu memiliki aktivitas antioksidan terbaik dibandingkan dengan daun yang lainnya tetapi bila dibandingkan dengan quersetin aktivitas antioksidan quersetin masih lebih baik daripada daun putri malu. Senyawa metabolit sekunder yang diduga sebagai antioksidan pada putri malu adalah polifenol, dari hasil penapisan fitokimia simplisia dan ekstrak putri malu menunjukkan adanya kandungan polifenol. Polifenol sebagai antioksidan bekerja melalui empat mekanisme, yaitu : merusak radikal bebas, mencegah pembentukan radikal bebas melalui ikatan hydrogen, menonaktifkan oksigen tunggal yang bertindak sebagai radikal bebas dalam tubuh dan mekanisme terakhir yaitu berikatan dengan logam (Rohdiana, 2009).
112 ISBN 978-602-70361-0-9
3.2
Analisis Kandungan Metabolit Sekunder Dengan Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Dari hasil pengamatan profil KLT pada ekstrak daun petai dibawah sinar UV 366 terdapat spot di Rf 0.25 berwarna merah, Rf 0.35 berwarna merah, pada pengamatan di bawah sinar UV 254 tidak nampak adanya spot. Profil KLT ekstrak daun sengon pada pengamatan di bawah sinar UV 366 terdapat spot pada Rf 0.375 berwarna biru muda, pada pengamatan di bawah sinar UV 254 tidak Nampak adanya spot. Profil KLT ekstrak daun putri malu terdapat spot di Rf 0,1 berwarna biru muda, Rf 0.15 berwarna merah tua, Rf 0.287 berwarna merah muda, Rf 0.4 berwarna biru tua dan Rf 0.975 berwarna merah muda. UV 254
a
UV 366
b
a
b
Gambar 1. Hasil KLT Ekstrak Daun Putri Malu dan Daun Petai Cina Ket :
a = Ekstrak Daun Putri Malu b = Ekstrak Daun Petai Cina
UV 254
a
b
UV 356
a
b
Gambar 2. Hasil KLT Ekstrak Daun Petai Dan Daun Sengon Ket :
4.
a = Ekstrak Daun Petai b = Ekstrak Daun Sengon Kesimpulan
Aktifitas sitotoksik dengan metode BSLT diperoleh hasil nilai LC50 untuk daun petai cina adalah 728, 44 µg/mL, daun putri malu 1848,33 µg/mL, daun petai 763,31 µg/mL dan daun sengon 83.25 µg/mL. Dari hasil ini tanaman yang memiliki aktivitas sitotoksik adalah daun petai cina, daun petai dan daun sengon karena bila harga LC50 kurang dari 1000 μg/mL dinyatakan toksik dan aktif. Hasil pengujian aktivitas antioksidan diperoleh IC50 untuk daun sengon adalah 1924,28 µg/mL, daun petai cina 786 µg/mL, daun petai 21,73 µg/mL, daun putri malu 15,96 µg/mL dan pembanding quersetin 1,88 µg/mL. Daun putri malu memiliki aktivitas antioksidan terbaik dibandingkan dengan daun yang lainnya Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Unjani yang telah membantu secara moril dan materil, sehingga penelitian ini bisa terlaksana dengan baik.
113 ISBN 978-602-70361-0-9
Daftar Pustaka Bussman, R. W., Glenn, A., Sharo, D., 2010, Antibacterial Activity of Medical Plants of Northen Peru - Can Traditional Applications Provide Leads for modern Science, Indian Journal of Traditional Knowledge, 9(4): 742-743. Chanwitheesuk, A., Teerawutgulrag, A., Rakariyatham, N., 2005, Screening of Antioxidant Activity and Antioxidant Compounds of Some dible Plants of Thailand, J. Food Chemistry, 92 : 491–497. DEPKES. 1977.Materia Medika, Jilid 1, Jakarta. Fajarningsih et al. 2006. Potensi Antitumor ekstrak spons Crella papilata Asal Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Journal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan PerikananI Vol. 1 No. 1. Gandjar, I Gholib. Rohman ,Abdul. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, 228-230, 262. Harmita dan Radji, M. 2005 Biomed Edisi kedua, Departemen FMIPA Universitas Indonesia. Hutapea, Johny R. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia, Edisi II. Departemen Kesehatan RI, Badan Penelitiandan Pengembangan Kesehatan : Jakarta. Rohman, Abdul. Riyanto, Sugeng. Daya Antioksidan ekstrak etanol Daun Kemuning (Murraya paniculata (L) Jack) secara in vitro, Jurnal Majalah Farmasi Indonesia edisi 16, Jakarta, 2005, 136-140. Sartinah, A., 2011, Isolasi dan Identifikasi Senyawa Antibakteri dari Daun Petai Cina (Leucaena leucocephala Lam de Wit.), Tesis, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta. Shinya, Hiromi.2008. The Miracle of Enzyme, Self Healing Program, Qanita, Bandung, 8-62. Tjay, Tan Hoan. Rahardja, Kirana.2007. Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. 208-209, 233, 857. Wahyuni, 2006, Efek Antiinflamasi Infusa Daun Petai Cina pada Tikus Jantan Galur Wistar, Skripsi, Fakultas Farmasi UMS, Surakarta.
114 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambaran Kurva Pertumbuhan Lactobacillus spp. pada Media Susu Kacang Hijau (Vigna radiata) Yusuf Firmansyah, Eka Noneng Nawangsih* Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Unjani Cimahi *E-mail:
[email protected]
Abstract Probiotics are bacteria that if taken would be beneficial to human health. Probiotic drink from milk using the probiotic bacteria Lactobacillus spp as the use of carbohydrates for the fermentation process. Green bean reached 62.9% carbohydrates and fat 1.2% is estimated to be suitable for the growth of Lactobacillus spp. This study aims to determine the Total Plate Count (TPC) and the growth curve of Lactobacillus spp grown on a green bean milk media compared with standard probiotic drinks (107CFU/mL). This research method is a descriptive study conducted in the laboratory to determine the in vitro growth of Lactobacillus spp in green bean milk media. Observations were made every 8 hours for 64 hours. The method used for calculating the number of colonies was then TPC method described in the form of growth curve The results showed the growth curve of Lactobacillus spp in green bean from log phase to death phase began at the 8, 16, 24, 32, 40, 48, 56 to 64 hours by respectively the number of TPC 2,9x107CFU/mL, 5,4x1012CFU/mL, 1,8x1014CFU/mL, 8,2 x1015CFU/mL, 9,7x 1016, 3,6 x 1016 , 2,2 x 1015 and 5,9 x108CFU/mL Stationary phase of the curve drawn at the 40 to 48 hours. Total plate count (TPC) results indicate that green bean milk media suitable for growth of Lactobacillus Spp. media due to the high amount of TPC and reach over for standard probiotic drinks. Keywords: Lactobacillus spp., green bean milk, the growth curve
1.
Pendahuluan
Diare saat ini telah menjadi penyakit yang menyerang lebih dari 1 milyar manusia. Sebanyak 100 juta orang yang terkena diare akut di Amerika Serikat, 250.000 orang dirawat di rumah sakit, dan sekitar 5.000 orang meninggal. Kerugian ekonomis penyakit ini mencapai lebih dari 20 milyar US dolar atau senilai 172 trilyun rupiah. Diare dapat menyebabkan mortalitas yang tinggi pada anak, mencapai 2-3 juta kematian per tahunnya di negara berkembang. Lebih dari 90% kasus diare akut disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, dan organisme patogen lainnya. Selain diare, penyakit demam tifoid menjadi masalah pencernaan yang cukup serius. Kasus deman tifoid diperkirakan mencapai 22 juta kasus dengan angka mortalitas mencapai 200 ribu kematian pada tahun 2002 di dunia. Penyakit tersebut menyebabkan penurunan kualitas hidup, produktivitas kerja, dan kerugian finansial yang signifikan. Oleh karena itu, perlu ada solusi untuk mencegah penyakit saluran pencernaan tersebut (Camilleri MA, Murray J, 2008). Probiotik telah dipercaya dan terbukti secara ilmiah mampu mencegah bahkan mengobati beberapa penyakit saluran cerna. Uji klinis telah menunjukkan bahkan Lactobacillus spp. mampu menekan pertumbuhan bakteri E. coli enterophatogenic (EPEC) yang merupakan salah satu organisme yang sering menyebabkan diare akut. Penelitian yang dilakukan oleh David dkk (2002) menunjukkan hasil yang signifikan untuk mengobati diare kronik dengan menggunakan Lactobacillus spp. Lactobacillus spp. merupakan flora normal pada usus. Konsumsi produk probiotik mampu meningkatkan jumlah Lactobacillus dan menurunkan jumlah bakteri patogen pada usus. Probiotik dilaporkan mampu mengatasi kejadian diare yang disebabkan oleh Escherichia coli, baik E. coli enteroksigenik (ETEC) maupun E. coli enterohemoragik (EHEC). Probiotik juga mampu mencegah Crohn disease, kolitis ulseratif, infeksi Helicobacter pylori, kanker kolorektal, dan meningkatkan sistem imun di saluran cerna. Probiotik merupakan salah satu solusi yang tepat untuk mencegah dan mengobati penyakit saluran cerna tersebut (Arief II, Jennie SL, Astawan M, Witarto AB, 2010; Gaon D et al, 2002). Berdasarkan hasil penelitian Arief dkk (2010), produk probiotik yang memiliki kualitas baik dan bermanfaat bagi saluran cerna harus dapat terukur dan memenuhi jumlah koloni sesuai standar yang ada. Penghitungan jumlah koloni Lactobacillus spp. pada media biakkan dapat diukur dengan menggunakan metode total plate count dengan quebec colony counter. Saat ini telah banyak tersedia media yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri Lactobacillus spp. Untuk pertumbuhan yang optimal, bakteri ini membutuhkan karbohidrat dalam jumlah besar karena bakteri ini
115 ISBN 978-602-70361-0-9
memfermentasi karbohidrat untuk kebutuhan energinya. Media yang sering digunakan adalah susu sapi dan susu kacang kedelai. Susu sapi yang biasa digunakan sebagai media pertumbuhan memiliki beberapa kekurangan, yaitu harganya relatif mahal, kandungan karbohidrat hanya mencapai 47%, dan tingginya kadar lemak yang mencapai 33% cukup berbahaya bagi kesehatan. Perlu media alternatif untuk pertumbuhan Lactobacillus spp. secara optimal yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi dengan biaya yang relatif murah dan rendah lemak. Kacang hijau memenuhi kriteria tersebut. Kacang hijau (Vigna radiata) memiliki kadar karbohidrat yang sangat tinggi, mencapai 62,9 %, harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan susu sapi dengan kadar lemak yang hanya mencapai 1,2 %. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti ”gambaran kurva pertumbuhan Lactobacillus spp. pada media susu kacang hijau (Vigna radiata)” (Pusat Pengembangan Bioteknologi Universitas Muhammadiyah Malang, 2002; Purwono MS, Rudi H, 2008; Marzuki AR, Soeprapto HS, 2004) 2.
Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif laboratorik. Pembuatan media susu kacang hijau dilakukan dengan ekstraksi cara panas (Chen KH, McFeeters RF, Fleeming HP, 1983). Bakteri probiotik yang digunakan adalah Lactobacillus spp. Pengukuran jumlah koloni Lactobacillus spp. dilakukan dengan total plate count. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2011 dan berakhir pada bulan Januari 2012. 3.
Hasil dan Pembahasan
3.1
Reidentifikasi bakteri
Reidentifikasi Lactobacillus spp. dilakukan melalui proses pemeriksaan makroskopis, pemeriksaan mikroskopis dan uji biokimiawi. 3.2
Pemeriksaan makroskopis
Berdasarkan hasil pemeriksaan makroskopis, didapatkan gambaran koloni pada Gambar 1 Lactobacillus spp. sebagai koloni bakteri yang berbentuk pin point, bundar, dan berwarna putih. Koloni bakteri menghasilkan aroma asam. Hal ini sesuai dengan sifat khas koloni Lactobacillus spp. (Soeharsono H, 2010).
Gambar 1 Koloni Lactobacillus spp. 3.3
Pewarnaan Gram
Berdasarkan hasil pewarnaan Gram didapatkan gambaran bahwa Lactobacillus spp. adalah bakteri gram positif, basil, formasi berbentuk rantai yang sesuai dari gambaran mikroskopis pada referensi. Pewarnaan Gram dilakukan pada setiap proses sebelum peremajaan, setelah peremajaan, sebelum penanaman bakteri pada agar MRS dan setelah penanaman agar MRS untuk memastikan bahwa koloni yang ditanam homogen dan bebas dari bakteri kontaminan (Soeharsono H, 2010; Cappucino JG, Sherman N, 2005)
116 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 2. Pewarnaan Gram sediaan susu fermentasi kacang hijau 3.4
Pemeriksaan biokimia
Pemeriksaan biokimia meliputi uji katalase dan uji fermentasi karbohidrat. Uji katalase pada Gambar 3 menunjukkan hasil negatif. Hal ini ditandai dengan tidak terbentuknya gelembung pada sediaan (Cappucino JG, Sherman N, 2005).
Gambar 3. Uji katalase (-) Uji fermentasi karbohidrat meliputi maltosa, fruktosa, sukrosa, glukosa, laktosa, dan monosa dilakukan selama 48 jam. Gambar 4 menunjukan warna karbohidrat sebelum proses fermentasi adalah ungu. Larutan karbohidrat berwarna ungu karena larutan tersebut mengandung larutan indikator brone cresol purple (BCP). Pada proses fermentasi, suspensi Lactobacillus spp. yang ditambahkan ke dalam karbohidrat melakukan proses metabolisme dengan mengubah karbohidrat menjadi asam laktat dan energi. Adanya asam laktat menyebabkan perubahan pH. Perubahan pH tersebut menyebabkan terjadinya perubahan warna dari ungu menjadi merah. Hasil fermentasi 6 macam karbohidrat di atas adalah positif. Perubahan warna pada karbohidrat setelah proses fermentasi ditunjukkan Gambar 4 (Cappucino JG, Sherman N, 2005).
lak (+)
glu (+)
gal (+)
fruk (+)
suk (+)
mal (+)
Gambar 4. Deret gula-gula setelah fermentasi
117 ISBN 978-602-70361-0-9
3.5
Gambaran kurva pertumbuhan Lactobacillus spp. pada media susu kacang hijau
Kurva pertumbuhan Lactobacillus spp. diperoleh dengan cara total plate count pada koloni yang tumbuh pada cawan petri selama 64 jam. Fermentasi dilakukan selama 64 jam karena hasil uji pendahuluan pada penelitian ini telah menunjukkan bahwa dalam waktu 64 jam hasil penelitian telah mampu menunjukkan gambaran kurva secara lengkap. Jumlah koloni yang dapat dihitung angka 25 sampai dengan 250 koloni (Cappucino JG, Sherman N , 2005). Jumlah koloni dihitung dengan alat Stuart Colony Counter. Dari hasil pengukuran, diambil rata-rata dari jumlah koloni yang terbaca. Hasil pengukuran jumlah koloni diambil dari hasil pengenceran terbesar dari koloni yang dapat dihitung. Berdasarkan hasil pengukuran, didapatkan gambaran kurva pertumbuhan Lactobacillus spp. pada gambar 5.
KURVA PERTUMBUHAN LACTOBACILLUS SPP. 18 16 14
14
Jumlah 12
16
15
16
15
12
10
Koloni/ml 8 (pangkat)
8
7
6 4
2 0 8
16
24
32
40
48
56
64
Waktu Fermentasi (Jam) Gambar 5. Kurva pertumbuhan Lactobacillus spp. Gambar 5 menunjukkan gambaran pertumbuhan Lactobacillus spp. pada media susu kacang hijau selama 64 jam. Gambaran kurva tidak menunjukkan adanya fase lag karena sebelum dilakukan fermentasi, starter Lactobacillus spp. telah melalui proses peremajaan bakteri di media tripton sugar agar (TSB). Proses peremajaan starter menyebabkan bakteri starter mensintesis enzim-enzim yang cukup untuk memasuki fase lag pada media peremajaan di TSB. Gambaran kurva yang menunjukkan fase logaritmik dicapai pada fermentasi jam ke-0 sampai jam ke-40. Fase logaritmik adalah fase pertumbuhan bakteri pada saat bakteri membelah dengan cepat dan mengalami pertumbuhan ukuran sel. Proses ini menyebabkan jumlah koloni bakteri meningkat. Fase logaritmik ini ditandai dengan adanya peningkatan jumlah koloni bakteri dari 2,9 x 10 7 sampai dengan 9,7 x 1016. Gambaran kurva yang menunjukkan fase stasioner dicapai pada fermentasi jam ke-40 sampai dengan jam ke 48. Fase stasioner adalah fase pertumbuhan bakteri pada saat jumlah sel yang membelah sama dengan jumlah sel yang mati. Keadaan tersebut menyebabkan jumlah koloni bakteri yang ada relatif tetap. Produk probiotik perlu disimpan pada lemari pendingin pada fase stasioner ini agar bakteri yang ada tidak masuk kedalam fase kematian. Gambaran kurva yang mencapai fase kematian atau decline dicapai pada proses fermentasi jam ke-48 sampai dengan jam ke64. Fase stasioner adalah fase pertumbuhan bakteri pada saat media pertumbuhan yang ada sudah habis sehingga bakteri yang mati lebih banyak daripada bakteri yang membelah. Keadaan tersebut menyebabkan jumlah koloni bakteri yang ada menurun. Hal ini berbeda dengan penelitian Widowati dkk (2002). Pada penelitian tersebut, Lactobacillus spp. mencapai fase logaritmik pada jam ke-4 sampai dengan jam ke-16. Fase stasioner dicapai pada jam ke-16 sampai dengan jam ke-20. Fase kematian dicapai pada jam ke-20 sampai dengan jam ke-24. Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan cara pembuatan media dan metode pengukuran yang dipakai. Pada penelitian tersebut menggunakan metode spektofotometri yang mengharuskan media yang digunakan disaring hingga jernih sehingga banyak nutrisi karbohidrat yang tersaring. Kadar karbohidrat yang berkurang menyebabkan bakteri cepat melalui fase pertumbuhan sehingga fase pertumbuhan Lactobacillus spp. menjadi lebih singkat. Metode spektofotometri juga ikut menghitung bakteri yang mati sehingga hasilnya kurang akurat bila dibandingkan dengan metode TPC. (Widowati S, Misgiyarta, 2002)
118 ISBN 978-602-70361-0-9
3.6
Fase stasioner Lactobacillus spp. pada media susu kacang hijau
Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan, didapatkan hasil total plate count setiap pengukuran 8 jam selama 64 jam. Lactobacillus spp. mencapai fase stasioner pada jam ke-40 dan jam ke-48. Hasil total plate count yang ada merupakan hasil dari rata-rata jumlah koloni yang dihitung dalam 2 cawan petri. Tabel total plate count Lactobacillus spp. pada media susu kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Total Plate Count Lactobacillus spp. pada media susu kacang hijau. Jam Pengamatan 8 16 24 32 40 48 56 64
Jumlah koloni (dalam CFU/ml) 2,9 x 107 5,4 x 1012 1,8 x 1014 8,2 x 1015 9,7 x 1016 3,6 x 1016 2,2 x 1015 5,9 x 108
Tabel 1 menunjukkan gambaran jumlah koloni Lactobacillus spp. pada media susu kacang hijau. Berdasarkan hasil perhitungan jumlah koloni tersebut, jumlah koloni bakteri tertinggi dicapai pada fermentasi jam ke-40, yaitu 9,7 x 1016 CFU. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa pertumbuhan dan jumlah koloni bakteri sesuai dengan kadar nutrisi dalam medianya dan berbanding lurus dengan nutrisi tersebut. Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang diperlukan oleh Lactobacillus spp. untuk proses metabolisme dan pertumbuhan. Kadar karbohidrat yang tinggi dalam kacang hijau yang mencapai 63% memungkinkan bakteri dapat tumbuh dengan baik karena adanya nutrisi yang cukup. Semakin banyak Lactobacillus spp. yang ada ke dalam susu fermentasi, maka akan semakin tinggi jumlah bakteri yang dapat masuk dalam usus. Media standar yang biasa digunakan untuk menumbuhkan Lactobacillus spp. adalah MRS broth. Proses fermentasi Lactobacillus spp. pada media MRS broth selama 48 jam hanya dapat menumbuhkan koloni sebanyak 107 CFU/ml (Chen KH, McFeeters RF, Fleeming HP, 1983). Hal ini berbeda dengan jumlah koloni dalam susu kacang hijau, fermentasi selama 48 jam mampu menumbuhkan koloni Lactobacillus spp. sampai dengan 3,6 x 1016 CFU/ml. Dapat disimpulkan bahwa susu kacang hijau sangat baik sebagai media pertumbuhan Lactobacillus spp. Jumlah koloni Lactobacillus spp. yang ada dalam kolon merupakan salah satu indikator kesehatan saluran pencernaan pada manusia dan hewan. Lactobacillus spp. merupakan bakteri yang bersimbiosis secara mutualisme dengan manusia. Lactobacillus spp. mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen, membantu menjaga sistem imunitas tubuh, dan berperan dalam mencegah penyakit kanker kolon (Cunningham RS et al, 2000, Oyetayo VO et al.2004). Menurut penelitian Hardiningsih R, Napitupulu RNR, Yulinery T (2005) yang menguji pengaruh pH saluran pencernaan terhadap pertumbuhan koloni Lactobacillus spp., diperoleh kesimpulan bahwa pH 2 di lambung yang sangat asam menurunkan jumlah koloni secara signifikan. Terjadi penurunan jumlah koloni pada pH 2 yang dapat dilihat dari penurunan hasil absorbansi spektrofotometri sebanyak 0,6 dari nilai awal 1,2 pada pH 6,5. Oleh karena itu, agar Lactobacillus spp. dapat sampai ke dalam kolon dalam jumlah yang banyak, diperlukan koloni dalam jumlah besar pada produk probiotik. Jumlah koloni Lactobacillus pada susu kacang hijau yang mencapai 9,7 x 1016 sangat mendukung untuk tujuan tersebut. Jumlah koloni yang banyak tersebut diharapkan menyebabkan koloni Lactobacillus spp. yang bertahan sampai ke dalam kolon lebih banyak daripada produk probiotik biasa sehingga dapat bermanfaat bagi kesehatan saluran cerna. Dapat disimpulkan bahwa susu kacang hijau adalah media yang baik untuk produk probiotik. Jumlah koloni Lactobacillus spp. maksimum yang dicapai pada fase stasioner berkaitan dengan dosis konsumsi produk probiotik. Semakin banyak koloni yang ada dalam tiap ml produk probiotik maka semakin rendah dosis konsumsinya, sehingga dapat diperoleh dosis konsumsi yang lebih efektif. 3.7
Lama waktu tumbuh Lactobacillus spp. untuk mencapai total plate count minimum pada media susu kacang hijau
Jumlah koloni minimum sesuai dengan SNI yaitu 107(Badan Standardisasi Nasional, 2009). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, lama waktu tumbuh Lactobacillus spp. pada media susu kacang hijau untuk mencapai jumlah koloni minimum sesuai dengan SNI adalah 8 jam. Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah koloni bakteri yang ada dalam media mencapai 2,9 x 107. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Rihastuti (1996) bahwa Lactobacillus bulgaricus telah mencapai jumlah sesuai SNI pada jam ke-2 fermentasi pada media susu sapi skim. Hal ini terjadi karena karbohidrat yang ada pada media susu skim lebih sedikit dan perbedaan spesies Lactobacillus
119 ISBN 978-602-70361-0-9
mempengaruhi lama pertumbuhannya.20 Dari segi aplikasi, untuk membuat yoghurt susu kacang hijau hanya diperlukan waktu 8 jam untuk mencapai SNI. Namun karena dalam produk probiotik yang berkualitas diperlukan jumlah koloni Lactobacillus spp. dalam jumlah yang banyak, maka proses fermentasi sebaiknya dilakukan selama 40 jam. Lama waktu tumbuh Lactobacillus spp. tersebut dapat digunakan sebagai rujukkan mengenai waktu efektif produksi produk probiotik dari susu kacang hijau. 4.
Kesimpulan
Gambaran kurva menunjukkan adanya fase pertumbuhan Lactobacillus spp. yang meliputi fase logaritmik, stasioner, dan kematian. Fase stasioner pertumbuhan Lactobacillus spp. pada media susu kacang hijau dicapai pada jam ke-40 dan jam ke-48. Lactobacillus spp. memerlukan waktu fermentasi selama 8 jam untuk mencapai jumlah koloni sesuai SNI. Rekomendasi perrlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh suhu, pH, pengaruh penambahan glukosa dan fruktosa, uji organoleptik, uji stabilitas, dan uji in vivo terhadap pertumbuhan Lactobacillus spp. agar dapat dikembangkan menjadi produk yang dapat digunakan sebagai produk kesehatan. Untuk aplikasi penyimpanan, produk probiotik dari susu kacang hijau sebaiknya disimpan pada lemari pendingin setelah fermentasi selama 40 jam agar bakteri yang ada jumlahnya tidak menurun Daftar Pustaka Camilleri MA, Murray J. (2008). Diarrhea and constipation In: Faucy SA, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison principle of internal medicine. 17th ed. New York Chicago San Francisco Lisbon London Madrid Mexico City New Delhi San Juan Seoul Singapore Sydney Toronto: Mc Graw Hill; 245-9. Arief II, Jennie SL, Astawan M, Witarto AB (2010). Efektivitas probiotik Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus acidophilus 2B4 sebagai pencegah diare pada tikus percobaan. Media Peternakan, 33: 13943. Gaon D et al (2002). Effect of lactobacillus strains (L. casei and L. acidophillus strains cerela) on bacterial overgrowth-related chronic diarrhea. Medicina, 62: 159-163. Johansson ML, Molin G, Jeppsson B, Nobaek S, Ahrne S, Bengmark S (1993). Administration of different Lactobacillus strains in fermented oatmeal soup: in vivo colonization of human intestinal mucosa and effect on the indigenous flora. Appl Environ Microbiol, 59: 15-20. Oyetayo VO et al (2004). Performance of rats orogastrically dosed with faecal strains of Lactobacillus acidophilus and challenged with Escherichia coli. Afr. J. Biotechnol, 3: 409-11. Medellin MJ, Griffi M (2009). Effects of molecules secreted by Lactobacillus acidophilus strain La-5 on Escherichia coli O157:H7 colonization. Appl. Environ. Microbiol, 75: 1165-72. Schultz M, Timmer A, Herfarth HH, Sartor RB, Vanderhoof JA, Rath HC (2004). Lactobacillus GG in inducing and maintaining remission of Crohn's disease. BMC Gastroenterol, 4: 5. Gotteland M, Cruchet S (2003). Suppressive effect of frequent ingestion of Lactobacillus johnsonii La 1 on Helicobacter pylori colonization in asymptomatic volunteers. J Antimicrob Chemother, 19: 716-21. Golden B (1996). The metabolic activity of the intestinal microflora and its role in colon cancer. Nut. Today 1996; 31(6): 24 – 7. Cunningham RS et Al (2000). Probiotics and immune response. Am J Gastroenterol, 95(1): 19. Pusat Pengembangan Bioteknologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) (2002). Bioteknologi fermentasi susu. UMM. Malang. Purwono MS, Rudi H. Kacang hijau (2008). Jakarta: Penerbit Swadaya, Hal. 8-11. Marzuki AR, Soeprapto HS (2004). Bertanam kacang hijau. Bogor: Penebar Swadaya, hal. 4-6. Chen KH, McFeeters RF, Fleeming HP (1983). Fermentation characteristic of heterolactic acid bacteria in green bean juice. J Food Sci, 48: 962-6. Widowati S, Misgiyarta. (2002). Efektivitas bakteri asam laktat (BAL) dalam pembuatan produk fermentasi berbasis protein/susu nabati. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Soeharsono H. (2010) Probiotik basis ilmiah, aplikasi dan aspek parktis. Bandung: Widya Padjadjaran, hal. 11729. Cappucino JG, Sherman N. (2005). Editors. Microbiology a laboratory manual. 7 th ed. San Francisco: Pearson Benjamin Cummings Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2009). Yoghurt. BSN. Jakarta. Hardiningsih R, Napitupulu RNR, Yulinery T. (2005). Isolasi dan uji resistensi beberapa isolat Lactobacillus pada pH rendah. Biodiversitas, 7: 15-7.
120 ISBN 978-602-70361-0-9
Perubahan Warna Pada Permukaan Plat Resin Akrilik Heat Cured Yang Dipoles Dan Yang Tidak Dipoles Akibat Perendaman Larutan Teh Hitam Wivda Putriani 1, Rachman Ardan2*, dan Andi Supriatna3 1
Program Studi Pendidikan Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Unjani 2 Bagian Prostodonti Fakultas Kedokteran Unjani 3 Bagian Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UNJANI *
E-mail:
[email protected]
Abstract Heat cured acrylic resin is an ethylene derivative containing vinyl group in its structure. Surface roughness is included in the physical properties of heat cured acrylic resin that can affect the color change, in this study the changes occurring in the external color or stain. The content of tannins in black tea cause discoloration on the surface of heat cured acrylic resin. The purpose of this study is to determine the change in color on the polished surface of acrylic resin and polished. Design of this study is purely experimental. The sample size has a length of 65mm, width 10mm, thickness of 2,5 mm and a total of 32 pieces are done polishing on one side. All samples were given the same treatment that soaked in a solution of black tea for 15 days. The Brightness degree of heat cured acrylic plate surface before and after immersion were analyzed by paired T- test to determine differences in the effect of surface discoloration at polished and not polished before and after soaked in the solution of black tea, as well as unpaired T- test to determine differences between surface discoloration polished and not polished after soaked in solution of black tea. The results of the comparative test showed a significant difference (p=0.000). The conclusion of this study is there is a color change on the surface of heat cured acrylic resin plate that polished and not polished, before and after soaked in the solution of black tea, and there is a colour difference between the surface of resin that polished and not polished after soaked in a solution of black tea. Keywords: Discoloration, heat cured acrylic resin, roughness, black tea
1.
Pendahuluan
Resin akrilik telah digunakan sejak tahun 1940. Resin akrilik heat cured dipakai karena beberapa kelebihan, antara lain estetik yang terpenuhi, tahan terhadap fraktur, reparasi yang mudah, dan ekonomis, sedangkan kekurangan dari bahan resin akrilik heat cured adalah adanya porositas dan dalam jangka waktu tertentu resin akrilik heat cured akan menyerap air atau cairan, bahan kimia, dan zat warna dari makanan atau minuman (Richard, 2007; Baga dkk, 2011). Pemolesan dilakukan untuk menghasilkan permukaan halusdapat mencegah terjadinya akumulasi sisa makanan yang tertinggal, pengendapan zat warna pada makanan dan minuman, serta mencegah terjadinya kolonisasi bakteri patogen. (Annusavice, 2013; Marcia & Michael, 2009; Rejab, 2011). Kekasaran dan lama paparan bahan stain yang terkandung dalam minuman dan makanan dapat mempengaruhi pigmentasi plat resin akrilik heat cured (Baga dkk, 2011; Mahanani dkk, 2009). Masyarakat Indonesia mengonsumsi hampir 705 juta liter teh setiap tahunnya karena minuman teh diyakini sebagai minuman kesehatan yang mengandung antioksidan dan dipercaya dapat menangkal radikal bebas dalam tubuhmenjadi alasan suatu komoditas unggulan dalam dunia perkebunan di Indonesia, sekitar 157.000 ha luas perkebunan teh di Indonesia terdiri dari 54% perkebunan teh milik rakyat, 24% perkebunan teh milik negara, dan 22% perkebukan teh milik perusahaan swasta (Baga dkk, 2011; Yulianto dkk, 2007). Kandungan sebagian besar teh hitam adalah tanin atau katekin yang juga sering disebut polifenol karena memiliki banyak gugus fungsi hidroksil. Zat tanin yang terkandung dalam teh merupakan komponen utama yang mendominasi berat kering teh sebesar 30%, sehingga tanin menjadi senyawa utama dalam menentukan mutu, rasa, warna teh, maupun warna air seduhan teh (Yulianto dkk, 2007). Warna pada plat landasan gigi tiruan merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai nilai estetik yang baik, selain itu keinginan untuk memperoleh penampilan yang alami juga diharapkan (Munadziroh & David, 2005). Perubahan warna pada resin akrilik heat cured disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik disebabkan karena penambahan bahan pewarna atau pigmentasi agar menyerupai penampilan jaringan mulut yang digantikannya, sedangkan faktor ekstrinsik seperti stain diakibatkan karena
121 ISBN 978-602-70361-0-9
absorpsi bahan pewarna dari teh, kopi, minuman soda, dan minuman ringan lainnya yang mengandung zat pewarna makanan.Kedua faktor ini menyebabkan terjadinya reaksi kimia-fisik, yaitu perlekatan partikel zat warna pada permukaan resin akrilik heat cured kemudian terjadi absorpsi dari zat warna yang masuk ke dalam rongga-rongga resin akrilik heat cured. (Annusavice, 2013; Baga dkk, 2011, Mahanani dkk, 2009). Pemakaian gigi tiruan berbahan dasar resin akrilik heat cured dan kebiasaan mengonsumsi teh hitam menjadi dasar pemikiran peneliti untuk melihat perubahan warna yang terjadi pada permukaan mekanis yang dipoles dan permukaan anatomis tanpa pemolesan dari plat resin akrilik heat cured. 2.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitianeksperimental murni yang dilaksanakan di laboraturium.Obyek dari penelitian adalah plat resin akrilik heat curedsebanyak 32 sampel, dengan ukuran sampel 65mm x 10mm x 2.5mm (Keyuan dkk, 2009), dan setiap plat terdiri dari permukaan dipoles dan tidak dipoles yang memiliki nilai kekasaran yang sama pada masing-masing permukaan. Pembuatan sampel dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu: a. Pembuatan pola lilin dari potongan base plate wax sesuai ukuran yang ditentukan, yaitu 65mm x 10mm x 2,5mm. b. Pola lilin yang telah dipotong dipendam dalam kuvet yang berisi gips. Permukaan lilin rata dengan adonan gips, setelah adonan gips pada kuvet bawah mengeras, olesi vaselin pada permukaan gips, kemudian kuvet atas diisi dengan adonan gips yang sama, kuvet digetarkan untuk mengeluarkan udara yang terjebak dalam adonan. Tutup kuvet dipasang dengan skrup dan dipres hingga rapat (metal to metal). Diamkan hingga gips pada kuvet atas mengeras. c. Pembuangan lilin dilakukan dengan cara merebus kuvet dalam air mendidih 100 0C selama 5 menit. Kuvet diangkat, dibuka, dan cairan sisa malam dikeluarkan. Rongga yang masih terdapat sisa lilin dibersihkan dengan cara disiram dengan air panas sampai tidak ada malam yang tersisa. d. Pengolahan resin akrilik heat cured diawali dengan mengoleskan mold space dengan cairan CMS, kemudian menakar bubuk polimer dan cairan monomer dengan perbandingan air: bubuk adalah 15ml : 20gr. Monomer disiapkan dalam pot, kemudian bubuk dimasukkan sedikit-demi sedikit sampai terlihat seperti pasir basah atau fase sandy stage, sambil pot digetarkan agar kelebihan monomer naik ke permukaan lalu pot ditutup kemudian diaduk dengan menggunakan spatula semen sampai fase sticky stage. Fase selanjutnya adalah dough stage, kemudian seluruh adonan diambil dengan spatula dan dimasukkan kedalam rongga. Permukaan adonan dilapisi dengan kertas cellophane. Kuvet atas dipasang beserta tutupnya lalu dilakukan pengepresan, hal in dilakukan berulang sampai kuvet atas dan bawah berkontak (metal to metal). Pengepresan terakhir dilakukan tanpa menggunakan kertas cellophane. e. Kuvet dimasukkan kedalam air dan merebusnya hingga air mendidih 100 0C selama 20 menit, kemudian angkat kuvet dan biarkan sampai suhu turun dengan sendirinya, setelah mekanisme polimerisasi selesai keluarkan plat resin akrilik dari dalam kuvet. f. Pemolesan dilakukan pada satu sisi di setiap potongan akrilik (permukaan A). Sisi lain yang tidak dilakukan pemolesan (permukaan B). g. Setelah plat akrilik selesai dipoles, akrilik siap dipotong sesuai ukuran yang ditentukan, yaitu 65mm x 10mm x 2,5mm sebanyak 32 buah. h. Pengukuran nilai kekasaran permukaan poles dan tidak poles dilakukan sebelum plat akrilik direndam dengan menggunalan alat Surfcorder SE1200. Hasil uji kekasaran didapatkan nilai kekasaran pada permukaan poles ±0,539µm dan pada permukaan yang tidak dipoles ±0,986µm.
Gambar 1 Pengukuran nilai kekasaran permukaan dengan Surfcorder SE1200. Tahap Penelitian adalah sebagai berikut: a. Pengukuran warna pada permukaan resin akrilik sebelum direndam larutan teh hitam dengan Dino-Lite Digital Microscope–DinoCapture 2.0 (Aristiana, 2012).
122 ISBN 978-602-70361-0-9
b. Masukkan air 3000 ml kedalam panci dan panaskan hingga mendidih. c. Seduhan teh hitam dibuat dengan cara merendam 24 gram teh hitam dengan 3000 ml air (skala besar dari perbandingan 2gr teh hitam dalam 250ml aquades) yang sudah direbus lalu dibiarkan. Minuman teh hitam ini baru dibuat pada saat akan digunakan (Aristiana, 2012; Khatimah dkk, 2012; Dino, 2012). d. Rendam seluruh plat didalam larutan teh hitam yang diganti setiap harinya selama 15 hari.10-12 e. Setelah 15 hari, permukaan resin akrilik diukur perubahan warnanya dengan bantuan alat Dino-Lite Digital Microscope–DinoCapture 2.0. f. Setelah didapatkan hasil pengukuran perubahan warna pada hari ke-15 maka data tersebut akan dianalisis untuk mengetahui nilai perubahan warna yang terjadi. g. Gambar dianalisis frekuensi warna red, green dan blue menggunakan program aplikasi MATLAB (John, 2012; Syarif, 2012; Basuki, 2006).
Gambar 2 Perendaman akrilik dalam larutan teh hitam.
Gambar 3 Pengukuran warna permukaan akrilik.
Hasil dari pengukuran berupa data rasio yang akan ditampilkan. Pengolahan data hasil pengukuran dianalisis dengan uji statistik dengan menggunakan aplikasi software statistik dengan tingkat signifikan 0,05 (p<0,05) dan taraf kepercayaan 95% (p≤0,05) dianggap signifikan. Uji normalitas dilakukan sebelumnya pada data yang telah uji hipotesisnya untuk mengetahui apakah data yang diperoleh memiliki distribusi normal atau tidak dengan menggunakan uji normalitas Shapiro-Wilk untuk sampel yang berjumlah kurang dari atau sama dengan 50. Uji hipotesis komparatif variabel numerik berdistribusi normal pada dua kelompok berpasangan digunakan untuk menganalisa perubahan permukaan A dan B plat akrilik sebelum dan setelah direndam larutan teh hitam selama 15 hari yang memiliki distribusi normal. Uji hipotesis komparatif variabel numerik berdistribusi normal pada dua kelompok tidak berpasangan digunakan untuk menganalisa perubahan permukaan A dan B plat akrilik setelah direndam larutan teh hitam selama 15 hari yang memiliki distribusi normal (Aristiana, 2012). 3.
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan derajat kecerahan dari permukaan resin akrilik heat cured sebelum dan setelah dilakukan perendaman dalam larutan teh hitam selama 15 hari sadapt dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rerata derajat kecerahan permukaan resin akrilik head cured yang dipoles dan tidak dipoles Permukaan
Derajat Kecerahan Sebelum
Setelah
Poles 145,59 110,07 Tidak dipoles 147,71 104,15 Tabel 1 dapat diketahui bahwa perendaman akrilik dalam larutan teh hitam dapat mempengaruhi derajat kecerahan dari permukaan resin akrilik heat cured baik pada permukaan yang dipoles dan tidak dipoles, perubahan derajat kecerahan menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan nilai derajat kecerahan sebelum direndam dalam larutan teh hitam. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 2.
123 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 2 Hasil uji statistik T-berpasangan untuk masing-masing permukaan poles dan tidak poles Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference
0-15
t Df Std. Std. Lower Upper Deviation Error Mean 35.52469 7.60459 1.34431 32.78294 38.26643 26.426 31
0-15
43.55562 8.14905
Mean
Poles Tidak Poles
1.44056 40.61758 46.49367 30.235 31
Sig. (2tailed)
.000 .000
Tabel 2 menunjukkan bahwa terjadi perubahan warna pada permukaan yang dipoles dan tidak dipoles, sebelum dan setelah direndam dalam larutan teh hitam dengan angka signifikan (p=0,000).
Poles-sebelum
Poles-setelah
Tidak Poles-sebelum
Tidak Poles-setelah
Gambar 4 Permukaan resin akrilik heat cured yang dipoles dan tidak dipoles, sebelum dan setelah perendaman. Perbedaan perubahan warna antara permukaan poles dan tidak poles dapat dilihat dari Tabel 3.
Interval Derajat Kecerahan
Tabel 3 Perbedaan perubahan warna pada permukaan poles dan tidak dipoles setelah direndam dalam larutan teh hitam
A, 1, 145.59
A, 2, 131.71
A, 3, A, 4, 118.39 110.07 A B
Hari
15
Gambar 4 Perbedaan derajat kecerahan permukaan poles dan tidak dipoles.
124 ISBN 978-602-70361-0-9
Hasil uji statistik t-tidak berpasangan diperoleh angka signifikan (p=0,000, hal ini dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan perubahan warna yang bermakna antara permukaan poles dan permukaan tidak dipolesmenjadi lebih gelap dari permukaan yang dipoles setelah direndam dalam larutan teh hitam selama 15 hari. Kekasaran suatu permukaan akan berpengaruh pada derajat kecerahan dari suatu permukaan, karena semakin tinggi derajat kekasaran semakin tinggi pula derajat kecerahan yang dimiliki suatu permukaan tersebut, pada penelitian ini permukaan poles dan permukaan yang tidak dipoles memiliki perbedaan warna pada saat sebelum dilakukan perendaman dalam larutan teh hitam. Permukaan yang kasar memiliki derajat kecerahan lebih tinggi dari permukaan halus, menurut hukum Snell yang berbunyi “Sudut sinar yang dipantulkan adalah sama dengan sinar datang” artinya, sinar cahaya yang tiba di permukaan halus akan dipantulkan dalam satu arah yang disebut arah specular, dan ketika sinar cahaya tiba pada permukaan yang kasar, cahaya tersebut akan tersebar ke setiap arah ruang dengan intensitas yang berbeda-beda sesuai dengan arah sinar datang, arah pantulan, dan profil dari kekasaran permukaan. Cahaya yang tersebar ini disebut refleksi difus (Rejab, 2011).
Gambar 5 Perbedaan sudut sinar pada permukaan yang halus dan kasar. Zat warna seperti tanin dalam teh hitam akan lebih mudah mengendap pada permukaan yang kasar dari plat resin akrilik heat cured, selain itu kemampuan resin akrilik dalam penyerapan cairan berperan dalam perubahan warna dan derajat kecerahan (Annusavice, 2013; Munadziroh & David, 2005; Mcabe, 2008).. Ikatan reaksi kimia-fisik yang terjadi adalah perlekatan partikel tanin pada permukaan resin dan perlekatan yang melekat pada permukaan plat resin akrilik heat cured. Lama waktu paparan plat resin akrilik terhadap larutan teh hitam dapat berpengaruh dalam perubahan warna dan derajat kecerahan pada permukaan plat resin resin akrilik heat cured (Annusavice, 2013; Baga dkk, 2011; Mahanani dkk, 2009). 4.
Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Perubahan warna pada permukaan plat resin akrilik heat cured yang dipoles dan tidak dipoles terjadi akibat perubahan warna secara eksternal. Stain terjadi karena pengendapan bahan pewarna tanin yang terkandung dalam teh hitam, kekasaran dan lama waktu paparandapat mempengaruhi pigmentasi resin, semakin lama waktu paparan yang diperlakukan maka akan semakin rendah tingkat kecerahan dari plat resin akrilik heat cured. Daftar Pustaka Annusavice K., Shen Chiayi, Rawls HR. Plillips’ Science of dental material. 12th ed. China: Elsevier Saunders; 2013. Hal. 92-110. Noort R.,. Introduction to dental material. 3rd ed. China: Mosby Elsevier; 2007. Hal. 216-22. Baga I, Handajani, Putri Aldila Rahma. Efek lama perendaman resin akrilik heat cured dalam minuman teh hijau terhadap perubahan warna. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.2011. Gladwin Marcia, Bagby Michael. Clinical aspects of dental material. 3rd ed. China: Lippincot William & Wilkins; 2009. Hal. 147-9. Rejab Lamina. Digital analysis of the color of the heat cured acrylic resin. Al-Rafidain. 2011; 11. 89-95. Mahanani Erlina, Arief Erry, Samuel Samantha. Comparison of effectiveness of salvadora persica whitening toothpaste with commercial whitening toothpaste at removing stain. Padjajaran journal of dentistry. 2009; 21: 1559. Yulianto, Ariwibowo, Arifan, Kusumayanti, Nugraheni, Senin. Model perpindahan massa proses steaming inaktivasi enzim polifenol oksidase dalam pengolahan teh. Semarang: Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. 2007. Munadziroh Elly, David. Perubahan warna lempeng resin akrilik yang direndam dalam larutan desinfektan sodium hipoklorit & klorheksidin. MKG. 2005; 38.36-40.
125 ISBN 978-602-70361-0-9
Moharamzadeh K, Brook M, Noort RV. Biocompatibility of resin-based dental materials. Materials. 200; 2. 51448. Aristiana B.. Pengaruh lama perendaman dalam larutan teh hitam terhadap perubahan warna pada resin komposit hybrid. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.2012. Khatimah K., Aristiana Bungawati, Yuliana, Agustiono. Pengaruh lama perendaman dalam larutan kunyit asam terhadap perubahan warna resin komposit hybrid. Insisiva dental Journal. 2012;1:69-73. DinoCapture User's Manual. http://www.dino-lite.com (verified 2010) [diunduh 20 Desember 2013]. Adler John, Penjaitan, Awaluddin. Penerapan jaringan syaraf tiruan (jst) untuk mendeteksi pola gambar pada permukaan yang memiliki corak tertentu. Jurnal Sistem Komputer Unikom.2012;1:1-10. Syarif Syarifuddin, Harun, Tola, et all. Sistem cerdas deteksi citra dengan metode discrete cosinetransform. Makasar: Fakultas Teknik Universitas Hassanuddin. 2012. Basuki Achmad. Image formation. Surabaya: Politeknik Elektronika Institut Teknologi Surabaya. 2006. McCabe John, Walls Angus. Applied dental materials. 9th ed. Hongkong Singapore: Black Well; 2008. Hal. 11012.
126 ISBN 978-602-70361-0-9
B. BIDANG ENERGI BARU DAN TERBARUKAN
127 ISBN 978-602-70361-0-9
Kajian Pengaruh Temperatur dan Ukuran Partikel Terhadap Perolehan Bio-Oil pada Proses Pirolisis dari Beberapa Biomassa Hendriyana*, Bambang H. P., Dian Daniati dan Nurul Inayah Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Unjani. Jl. Terusan Jend. Sudirman, Cimahi *Email:
[email protected]
Abstract Banche-scale bio-oil production from biomass (rice husk, corn cob and water hyacinth) pyrolysis has been under development for the past year. The influences of temperature and particle size of biomass on bio-oil yield were investigated. The results show that temperature and particle size has a significant effect to bio-oild yield. The highest result of bio-oil yield achieved by corn cobs at the temperature condition 450oC and particle size +2mm, with bio-oil yield of 49%. Keyword: biomass, pyrolisis, bio-oil, yield
1.
Pendahuluan
Bahan bakar merupakan hal yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Salah satu kegiatan dalam kehidupan manusia yang memerlukan bahan bakar adalah memasak. Saat ini, di Indonesia kebutuhan bahan bakar untuk memasak dipenuhi oleh gas Liquefied Petroleum Gas (LPG/elpiji) dengan kapasitas tabung 3 kg dan 12 kg. Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor elpiji yang merupakakan bahan bakar tak terbarukan. Kajian yang telah dilakukan oleh BPPT pada tahun 2009, akibat lonjakakan perrmintaan LPG, Indonesia menjadi pengimpor LPG (Gambar 1). Sebenarnya, elpiji tersebut diproduksi di dalam negeri dengan peruntukkan untuk ekspor. Namun demikian, mengingat kebutuhan elpiji dalam negeri lebih besar, maka elpiji tersebut dikategorikan sebagai komoditi impor.
Gambar 1 Jumlah impor elpiji tahun 2003-2006 Pada tahun 2030 kebutuhan elpiji di sektor rumah tangga diperkirakan akan mencapai 11 juta. Peningkatan kebutuhan elpiji yang begitu pesat, kemampuan produksi elpiji dalam negeri diprediksi tidak akan mampu memenuhi kebutuhan domestik, sehingga pemenuhan elpiji akan sangat tergantung pada impor. Karena itu, diperlukan bahan bakar lain yang dapat mensubstitusi atau bahkan menggantikan elpiji. Miomassa merupakan sumber bahan bakar yang sangat potensial di Indonesia, karena Indonesia merupakan negara agraris. Melalui proses pirolisis biomassa dapat dikonversi menjadi bio-oil, gas mempan bakar dan arang (karbon) sebagai produk samping. Dari 100 kg biomassa dapat dihasilkan 60 kg bio-oil, 20 kg gas mempan bakar dan 20 kg arang (Cedric Briens, dkk). Bio oil diharapkan dapat menggantikan elpiji (Cedrik, dkk).
128 ISBN 978-602-70361-0-9
Penggunaan bio-oil sebagai bahan bakar pengganti gas alam pada tungku pembakaran di unit boiler telah berhasil dilakukan oleh Wagenaar, dkk, yang secara prinsip memiliki fungsi yang sama dengan kompor untuk memasak. Penelitian difokuskan pada kajian pirolisis skala laboratorium dengan bahan baku eceng gondok, tongkol jagung dan sekam padi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh temperatur operasi dan ukuran bahan terhadap perolehan produk bio-oil. 2.
Metode
Sekam padi, janggel jagung dan eceng gondok digunakan sebagai bahan baku. Temperatur dan ukuran partikel merupakan variabel operasi. Tahapan percobaan terdiri dari: perancangan alat operasi proses pirolisis, sebagai mana disajikan Gambar 2, danperlakuan awal yang terdiri dari pengecilan ukuran, pengeringan, penggilingan, dan pengayakan. Operasi pirolisis dilakukan dengan memasukkan biomassa ke dalam reaktor yang dipanaskan sampai pada suhu 450⁰C atau 550⁰C. laju pengurangan massa biomassa yang drastis dan munculnya uap dalam jumlah yang besar dari dalam reaktor merupakan indikasi keberlangsungan pirolisis. Uap yang keluar dari reaktor dialirkan ke dalam kondensor sehingga terbentuk cairan bio-oil karena proses pengembunan 9
10 11
8 2
3
4
6
1
5
7
Keterangan: 1 = Labu keher
4 = Statif
8 = Furnace
2 = Kondensor
5 = Water Cooling in
9 = Reaktor
3 = Klem
6 = Water Cooling out
10 = Controller
7 = Bak Penampung Air
11 = Aliran gas
Gambar 2 Skema alat pirolisis 3.
Hasil dan pembahasan
3.1.
Perlakuan awal
Kadar air untuk masing-masing biomassa dapat dilihat pada Tabel 1. Kadar air awal terbesar (berasal dari sumbernya) adalah eceng gondok dan diikuti oleh tongkol jagung dan sekam padi. Nilai kadar air yang rendah pada bahan baku akan mempercepat proses tercapainya pirolisis dan penguapan air dalam bahan. Sedangkan nilai kadar air yang tinggi akan mempengaruhi proses pemanasan dan pirolisis yang berlangsung lebih lama untuk menguapkan air pada bahan. Penguapan yang terlalu lama akan memperlambat waktu bahan yang terbakar sehingga mengurangi jumlah bio-oil cairan hasil pirolisis.
129 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 1 Kadar air bahan baku biomassa Kadar Air (%) No
1 2 3 4 5
Bahan Sekam Padi Tongkol Jagung Eceng Gondok (Daun) Eceng Gondok (Batang) Eceng Gondok (Campuran)
Awal
Pengeringan dengan sinar matahari
Operasi -2/+1 mm
+2 mm
9.16 74.08 86.00 97.00 90.00
4.55 68.54 46.81 81.69 57.41
4.55 4.00 6.25 6.67 11.11
4.00 7.69 6.25 5.88 13.33
Karena itu, masing-masing biomassa tersebut dikeringkan dengan menggunakan metode pengeringan konvensional, yaitu dijemur di bawah sinar matahari selama beberapa hari (lihat Gambar 3). Sekam padi dijemur selama 1 hari, sedangkan tongkol jagung dijemur selama 2 hari dan eceng gondok selama 3 hari. Perbedaan lama pengeringan tersebut dibatasi oleh kadar air yang sudah mencapai nilai konstan pada waktu di atas dengan pengamatan kadar air selama 1 jam sekali.
Gambar 3. Proses pengeringan konvensional Kadar air mengalami perubahan yang sangat signifikan selama proses pengecilan ukuran dipelihatkan pada Tabel 1. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh adanya gesekan antara mesin penggiling dengan biomassa yang dapat menimbulkan panas, sehingga menyebabkan air dalam biomassa menguap. Selain itu, semakin kecil ukuran biomassa, maka akan mengakibatkan luas penampang perpindahan massa air ke lingkungan akan semakin besar pula. Sehingga jumlah air yang berpindah dari padatan ke lingkungan akan semakin besar. 3.2. Pembuatan bio-oil dengan model operasi batch Proses pembuatan bio-oil dilakukan dalam skala meja (bench scale) dengan menggunakan model operasi batch. Produk pirolisis yang didapatkan terdiri dari bio-oil, arang dan gas non condensable seperti pada Gambar 4. Perolehan untuk masing-masing produk pada berbagai variabel operasi ditampilkan pada Tabel 2.
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Produk proses pirolisis; (a) bio-il; (b) arang dan (c) gas non condensable
130 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 2 Perolehan produk pirolisis Perolehan (%) No.
1
2
Biomassa
Bagian
Sekam Padi
Tongkol Jagung
Daun
3
Eceng Gondok
Batang
Campuran: 50% daun+ 50% batang
Produk
450oC
550oC
-2/+1 mm
+2 mm
-2/+1 mm
+2 mm
Bio-oil Arang Gas
29.78 46.22 24.00
33.72 44.83 21.44
43.06 43.56 13.39
42.67 39.78 17.56
Bio-oil
42.17
49.06
44.56
45.89
Arang Gas
29.28 28.56
27.22 23.72
24.44 31.00
27.17 26.94
Bio-oil Arang Gas
37.72 38.50 23.78
35.83 40.00 24.17
42.06 35.17 22.78
22.39 39.50 38.11
Bio-oil
30.89
Arang
36.78
27.78 36.89
32.11 38.56
28.56 34.44
Gas
32.33
35.33
29.33
37.00
Bio-oil Arang Gas
33.56 35.44 31.00
32.67 36.33 31.00
25.11 36.89 38.00
31.78 32.22 36.00
3.2.1 Pengaruh temperatur pirolisis Pengaruh suhu operasi pirolisis terhadap perolehan bio-oil ditunjukkan pada Gambar 5 dan Gambar 6. Pada suhu operasi yang lebih tinggi sebagian besar perolehan bio-oil meningkat. Hal tersebut, kemungkinan adanya peningkatan dekomposisi struktur biomassa seperti lignin, selulosa,dan hemiselulosa. Menurut Yang (2006) pada suhu operasi pirolisis tinggi dapat mengakibatkan degradasi lignin yang lebih tinggi sehingga menyebabkan produksi bio-oil tinggi.
60 Sekam padi
50
Tongkol jagung
% Bio-oil
40
Eceng gondok (Daun)
30 Eceng gondok (Batang)
20
Eceng gondok (Campuran)
10 0 723
823 T (K)
Gambar 5 Perolehan bio-oil terhadap suhu pada berbagai biomassa ukuran +2mm
131 ISBN 978-602-70361-0-9
50 45
Sekam padi
40 Tongkol jagung
% Bio-oil
35 30
Eceng gondok (Daun)
25
Eceng gondok (Batang)
20
Eceng gondok (Campuran)
15 10 5 0 723
823 T (K)
Gambar 6 Perolehan bio-oil terhadap suhu pada berbagai biomassa ukuran -2mm +1mm
3.2.2 Pengaruh ukuran partikel Pengaruh ukuran partikel terhadap perolehan bio-oil ditunjukkan pada Gambar 7 dan Gambar 8. Perolehan bio-oil cenderung meningkat pada ukuran partikel yang lebih kecil. Ukuran partikel yang lebih kecil akan menghasilkan perolehan bio-oil yang lebih tinggi, kemungkinan partikel dengan luas permukaan yang kecil akan menghasilkan perpindahan panas yang cepat sehingga akan menghasilkan perolehan bio-oil yang tinggi. 50.00 Sekam Padi
40.00
Tongkol jagung
% Bio-oil
30.00
Eceng gondok (Daun) Eceng gondok (Batang)
20.00 Eceng gondok (Campuran)
10.00 0.00 1.5 2 Diameter partikel rata-rata (mm) Gambar 7 Perolehan bio-oil terhadap diameter partikel rata-rata berbagai biomasssa pada suhu 450oC
132 ISBN 978-602-70361-0-9
50.00 40.00
Sekam padi
% Bio-oil
Tongkol jagung
30.00 Eceng gondok (daun) Eceng gondok (batang)
20.00
Eceng gondok (campuran)
10.00 0.00
1.5 2 Diameter partikel rata-rata (mm) Gambar 8. Perolehan bio-oil terhadap diameter partikel rata-rata berbagai biomasssa pada suhu 550oC 4. Kesimpulan Perolehan terbesar dicapai oleh tongkol jagung pada kondisi 450 oC dan +2 mm dengan nilai perolehan sebesar 49,06 %.Temperatur dan ukuran memiliki pengaruh signifikan terhadap perolehan bio-oil. Ucapan terimakasih Penelitian ini didanai oleh Program Hibah Unggulan Internal Universitas Jenderal Achmad Yani tahun 2013. Daftar pustaka Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2011, Outlook Energi Indonesia 2009, ISBN 978-979-95202-6-5. B.M. Wagenaar, J. H. Florijn, E. Gansekoele, R.H. Venderbosch, F.W.M. Penninks, and A. Stellingwerf, BIOOIL AS NATURAL GAS SUBSTITUTE IN A 350 MW POWER STATION, BTG Biomass Technology Group BV Pantheon 12, 7521 PR Enschede, The Netherlands and Electrabel Nederland NV P.O. Box 10087, 8000 GB Zwolle, The Netherlands. Cedric Briens, Franco Berruti and Lorenzo Ferrante, A Mobile Pyrolyzer for The Conversion of Biomass into Biooil, Institute for Chemicals and Fuels from Alternative Resources (ICFAR) , Faculty of Engineering, The University of Western Ontario London, Ontario N6A 5B9 – Canada . Yang, H.P., Van, R., Chen, H.P., Zheng, C.G., Ho, L., Tee, L.D., (2006), Energy Fuel
133 ISBN 978-602-70361-0-9
Kajian Potensi Biokerosin dari Biji Karet sebagai Sumber Energi Alternatif Pedesaan Merry Asria*, Fejri Subriadi dan Harmiwati Akademi Teknologi Industri Padang Jl. Bungo Pasang Tabing, Padang *E-mail :
[email protected]
Abstract Rubber seed is still lack of utilization in each of rubber plantations. The objective of this research was to explore the potency of biokerosene from rubber seed as an alternative energy source to ignite kerosene. It could increase the income of smallholders and develope bioenergy management at the village level. In this research, rubber seed oil yield was determined by the variation of whole seeds, ground seeds, the seeds dried and milled in 7 days, and rubber seed weight variation. The oil was obtained by using a hydraulic press with 20 tons of jack and 5 kg capasity materials. Oil content, moisture content and ash content of fresh rubber seed was determined. The volume of oil was measured and characterized by using density analysis and free fatty acid levels. The result showed that fresh rubber seed oil contained of 25% oil, 25.13% water, and 2.74% ash. Oil was obtained in 35.20% - 80.27% yield, and the highest was the dried rubber seed and milled 7 days. The bright yellow and clear oil had 0.912 g/mL density and 23.13% free fatty acids. Rubber seed oil could substitute 10% kerosene in each of kerosene stoves. Keywords: Biokerosene, Rubber Seed, Alternative Energy Sources, Rural
1.
Pendahuluan
Sebagai upaya mengatasi krisis energi terutama minyak tanah, pemerintah menerapkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas. Namun, adanya keterbatasan ekonomi, pengetahuan dan budaya masyarakat menjadi salah satu penyebab program tersebut kurang sesuai dilakukan di pedesaan. Untuk menyiasati kelangkaan minyak tanah masyarakat pedesaan lebih memilih menggunakan kayu bakar. Salah satu cara untuk mengurangi konsumsi minyak tanah adalah subsitusi dengan biokerosin. Biji karet (Hevea brasiliensis) sampai saat ini belum dimanfaatkan dengan baik, umumnya masih dibuang di setiap perkebunan. Kemungkinan biji karet berpotensi menjadi biokerosin dapat dipertimbangkan sebagai substitusi minyak tanah. Hal ini juga dapat meningkatkan nilai tambah perkebunan karet bagi pendapatan masyarakat dan dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan pengelolaan bioenergi di tingkat pedesaan, serta mendorong kegiatan ekonomi produktif yang memanfaatkan bahan bioenergi dari biji karet. Salah satu metode pengambilan minyak biji karet adalah dengan pengepresan mekanik. Yunarlaeli dan Betti (2008) telah mempelajari rendemen pengambilan minyak yang terbesar adalah sekitar 30%, dimana biji karet memperoleh perlakuan pengukusan dalam autoclave. Variabel yang digunakan adalah berat total: 350 gram; perlakuan: disanggrai, pengukusan atmosferik, tanpa perlakuan, dijemur matahari dan pengukusan dalam autoclave. Ukuran umpan: 0,5 dan 1 cm. Pokok masalah dalam penelitian ini adalah belum dimanfaatkannya biji karet secara optimal, karena selama ini masyarakat belum mengetahui cara pengolahan/mamfaat biji karet, sehingga biji karet masih merupakan limbah atau barang yang tidak bermanfaat. Sejauh ini belum diketahui apakah terdapat variasi rendemen minyak biji karet dari biji utuh dengan biji yang dijemur dan digiling, jumlah rendemen dengan variasi berat biji dengan kapasitas alat press hidraulik yang lebih besar. Tujuan penelitian ini adalah Mempelajari potensi biokerosin dari perkebunan milik petani berdasarkan produktivitas biji dan metode pengepresan biji karet, mempelajari rendemen minyak biji karet utuh dengan biji yang dijemur dan digiling setelah pengepresan, mengetahui karakteristik minyak biokerosin yang dihasilkan, dan mengetahui kemampuan biokerosin biji karet untuk menyalakan kompor minyak tanah di rumah tangga. Pembahasan masalah dibatasi pada penentuan rendemen minyak biji karet dengan variasi biji utuh dan biji yang dijemur dan digiling, dan variasi berat biji karet (1 kg, 2 kg, 3 kg, 4 kg). Minyak diperoleh dengan menggunakan alat press hidraulik dengan dongkrak 20 ton dan kapasitas 5 kg bahan. Ditentukan kadar minyak dari daging biji karet dengan metode soxletasi, kadar air dan abu dengan metode gravimetri. Minyak yang dihasilkan ditentukan rendemen dan dikarakterisasi yang meliputi analisis densitas dan kadar asam lemak bebas.
134 ISBN 978-602-70361-0-9
Serta dilakukan pengujian kemampuan biokerosin minyak biji karet untuk subtitusi minyak tanah pada kompor rumah tangga. Biji karet berpotensi menjadi biokerosin dan dapat dipertimbangkan sebagai substitusi minyak tanah, sehingga memberikan nilai tambah perkebunan karet bagi pendapatan masyarakat. Bahan yang digunakan adalah biji karet yang diperoleh dari Desa Sungai Puar kec. Palembayan Kab Agam, NaOH 10%, Asam posfat 20% . Alat yang digunakan dalam proses pengambilan minyak biji karet adalah berupa alat press yang bekerja dengan sistem hidrolik seperti (Gambar 1b) dengan dongkrak 20 ton dan kapasitas 5 kg bahan, mini crusher, peralatan gelas, panci aluminium dan kompor minyak tanah. 2.
Metode
Bahan yang digunakan adalah biji karet yang diperoleh dari Desa Sungai Puar kec. Palembayan Kab Agam, NaOH 10%, Asam posfat 20% . Alat yang digunakan dalam proses pengambilan minyak biji karet adalah berupa alat press yang bekerja dengan sistem hidrolik seperti (Gambar 1b) dengan dongkrak 20 ton dan kapasitas 5 kg bahan, mini crusher, peralatan gelas, panci aluminium dan kompor minyak tanah. Penelitian dilakukan dua tahap yaitu tahap pertama survei lokasi penelitian Desa Sungai Puar kec. Palembayan Kab Agam. Dan penelitian laboratorium meliputi penentuan kadar minyak dari daging biji karet dengan metode soxletasi, kadar air dan abu secara gravimetri. Untuk pengepressan biji: Biji karet dipecahkan dan dibersihkan dari kulit dan kotorannya. Biji karet dipress secara mekanis menggunakan alat press mekanik dengan variasi yang diberikan adalah biji karet giling dengan variasi 2 kg, 2,5 kg, 3 kg dan 4 kg; biji karet utuh, biji yang digiling dan biji karet yang dijemur 7 hari dan digiling; dan biji karet yang dijemur 7 hari dan digiling dengan variasi berat biji 1 kg, 2 kg, 3 kg. Minyak hasil pengepresan diukur volume, berat, dan ditentukan rendemennya. Minyak biji karet yang diperoleh selanjutnya didegumming dan dinetralisasi.Karakteristik minyak biji karet, meliputi densitas dan % asam lemak bebas, serta pengujian kemampuan biokerosin minyak biji karet untuk subtitusi minyak tanah pada kompor rumah tangga. 3.
Hasil dan pembahsan
3.1
Hasil survey
Desa Sungai Puar terletak di daerah perbukitan di kecamatan Palembayan Kabupaten Agam. Penduduk pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani dan hidup secara sederhana. Untuk kebutuhan memasak mereka menggunakan bahan bakar minyak tanah dan banyak juga yang menggunakan kayu bakar. Luas perkebunan karet yang telah ditanami pada saat ini di Desa Sungai Puar adalah sekitar 5 hektar, dengan jumlah pohon 3000 batang. Sampai saat ini para petani masih menanami bibit pohon karet di lahan mereka. Kebun karet dapat menghasilkan sekitar 800 – 1200 kg biji/ha/tahun. Rata-rata jumlah biji karet per kilogram adalah 205 butir. Dalam satu hektar terdapat 505 pohon karet dan jumlah biji karet yang dihasilkan dari satu pohon 1000 biji atau 5 kg/tahun, maka jumlah biji karet dalam satu hektar 2.525 kg/ha/musim atau 5.050 kg/ha/tahun dan angka ini menunjukkan bahwa jumlah biji karet dari tahun ke tahun semakin meningkat (Aritonang, 1986). Mengacu dari hal di atas, maka dari jumlah pohon karet yang ada di Desa Sungai Puar yaitu 3000 pohon, jika dianggap semua pohon sudah menghasilkan biji secara maksimal, maka diperkirakan jumlah biji karet yang dihasilkan adalah 600.000 biji/Ha/tahun atau 3000 kg/Ha/tahun. Dan diperkirakan akan menghasilkan minyak biji karet ( dengan kadar lemak biji karet 25 % ) sebanyak 3750 kg/tahun. 3.2
Pengepressan biji karet
Dari penelitian didapatkan bahwa untuk 1 kg biji rata-rata mengandung 61,33 % isi yang berwarna putih dan 38,67 % kulit. Dari analisis kandungan biji karet segar diperoleh nilai kadar minyak adalah 25% , 25,13% air, dan 2,74% abu. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa biji karet berpotensi untuk diambil minyaknya karena kadar minyak yang cukup tinggi. Hasil proses pengambilan minyak biji karet giling dapat dilihat pada Gambar 2a. Dari grafik tersebut menunjukkan bahwa semakin berat biji karet yang dipress, maka rendemen akan semakin besar. Dari Gambar 2b, terlihat bahwa perlakuan dengan penjemuran selama 7 hari dan kemudian biji digiling (BGJ) akan memberikan rendemen minyak yang jauh lebih besar yaitu 76,8 %. Rendemen minyak dari perlakuan biji utuh (BU) 38 % sedikit lebih tinggi daripada perlakuan biji yang digiling (BG) yaitu 35,20 %. Tetapi minyak yang dihasilkan dari biji utuh (BU) bersifat agak kental dan berwarna coklat gelap. Hal ini diperkirakan disebabkan karena pada saat pengepresan getah biji ikut keluar bersama-sama dengan minyak. Warna minyak dari biji yang digiling (BG) kuning kemerahan dan cukup jernih, sedangkan untuk biji yang dijemur 7 hari lebih dulu dan digiling (BGJ) menghasilkan minyak yang sangat jernih dan berwarna kuning kemerahan.
135 ISBN 978-602-70361-0-9
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
35.2
38.24
2 kg
2.5 kg
39.47 3 kg
Rendemen (%)
Rendemen (%)
Gambar 1 (a). Biji karet (Hevea brasiliensis), (b) Alat press hidraulik
44.5 4 kg
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Berat biji karet (g)
76.8 38
35.2
BU
BG
BGJ
Gambar 2 (a). Hasil pengepresan biji karet yang digiling; (b) Hasil pengepresan biji karet utuh, biji karet giling, dan biji karet yang dijemur 7 hari dan digiling. Dengan cara menjemur lebih dulu selain diharapkan mengurangi kandungan air, juga agar getah biji menjadi kering, sehingga tidak diperlukan lagi untuk melakukan tahapan degumming yang dimaksudkan untuk menghilangkan getah dan zat-zat yang ikut terbawa pada saat pengepresan, sehingga akan mengurangi biaya produksi. Perlakuan biji dijemur 7 hari dan digiling (BGJ) dengan variasi berat biji pada saat pengepresan memberikan rendemen yang tinggi dan hasilnya tidak jauh berbeda, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Rendemen (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
76.8
76.8
80.27
1 kg
2 kg
3 kg
Berat biji karet (g) Gambar 3. Hasil pengepresan dengan perlakuan biji dijemur 7 hari dan digiling Pada saat pengepresan biji karet, minyak yang keluar membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu antara 2 – 3 hari untuk setiap perlakuan. Sehingga jika dipandang dari segi waktu, maka cara pengambilan minyak dengan metode ini memang tidak efisien dan efektif. Tetapi jika dipandang dari segi besarnya rendemen minyak yang diperoleh, jika dibandingkan dengan hasil penelitian Yunarlaeli (2008) memberikan rendemen 8,3 % sampai 30 %, dan hasil penelitian Siahaan (2009) memberikan rendemen 21 % sampai 40 %, maka pada penelitian ini
136 ISBN 978-602-70361-0-9
memberikan rendemen 35,20 % sampai 80,27 %. Sehingga metode pengepresan dengan alat press hidrolik ini cukup bagus karena memberikan rendemen yang lebih besar. Hasil analisis minyak biji karet memberikan nilai densitas 0,912 g/mL dan kadar asam lemak bebas 23,13 %. Nilai ini lebih tinggi daripada hasil penelitian Siahaan Sarma (2009) yaitu sebesar 4,5 – 6,28 %; dan hasil penelitian Yunarlaeli dan Betti (2008) yaitu 16,57 %. Nilai asam lemak bebas yang tinggi dapat disebabkan oleh kandungan air yang cukup tinggi di dalam minyak, sehingga sebahagian ester trigliserida mengalami hidrolisis. 3.3
Aplikasi minyak biji karet ke kompor minyak tanah
Pada penelitian ini minyak biji karet yang diperoleh dicampur dengan minyak tanah dengan volume total 500 mL untuk memasak 1 liter air sampai mendidih. Pada saat pencampuran bahan bakar terlihat bahwa minyak biji karet tersebut larut di dalam minyak tanah atau tidak terlihat adanya bidang batas antara minyak tanah dengan minyak biji karet atau membentuk larutan yang homogen. Minyak biji karet dapat mensubstitusi minyak tanah pada kompor minyak tanah sebesar 10%. 4.
Kesimpulan
1. Desa Sungai Puar dan beberapa desa lain di kecamatan Palembayan Kab Agam memiliki perkebunan yang cukup luas, sehingga memiliki potensi untuk memanfaatkan biji karet sebagai biokerosin 2. Metode pengepressan menggunakan alat press hidraulik memberikan rendemen minyak biji karet yang cukup tinggi yaitu antara 35,20 % sampai 80,27 %, yang mana rendemen tertinggi diperoleh dari biji karet yang dijemur 7 hari dan digiling. 3. Karakteristik dari minyak biji karet adalah nilai densitas 0,912 g/mL dan 23,13% asam lemak bebas. 4. Minyak biji karet dapat mensubstitusi minyak tanah pada kompor minyak tanah sebesar 10%. Ucapan terimakasih Ucapan terimakasih peneliti tujukan kepada Akademi Teknologi Industri Padang sebagai pemberi dana penelitian dan/atau pihak-pihak yang membantu terlaksananya penelitian ini. Daftar pustaka Aritonang. Pemanfaatan minyak biji karet untuk industri. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. 1986. Ramadhas A.S., C.Muraleedharan, dan S. Jayaraj. 2005. Characterization and effect of using rubber seed oil as fuel in the compression ignition engines. Renewable Energi.30: 795–803. Ikwuagwu, O.E., Ononogobu, I.C., Njoku. O.U. 2000, Production of biodiesel using rubber (Hevea brasiliensis) seed oil, Ind Crops Prod.. 12, pp.57-62. Siahaan Sarma, Dwi Setyaningsih dan Hariyadi. 2009. Potensi Pemanfaatan Biji Karet (Hevea Brasiliansis Muell.Arg) Sebagai Sumber Energi Alternatif Biokerosin. Jurnal Teknik Industri Pertanian.. Vol 19 (3). IPB. 145-151. Statistik Perkebunan Indonesia 2001–2011, Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. 2012. Yunarlaeli, Fitria dan Betti Rochmatika. Pengaruh Metode Pengepresan Terhadap Yield Minyak Biji Karet. FT Univ. Diponegoro. Semarang. 2008. Zuhra, Cut Fatimah. Karet. Departemen Kimia FMIPA USU. Medan. 2006.
137 ISBN 978-602-70361-0-9
Pemanfaatan Sampah Domestik Sebagai Sumber Energi Alternatif Baru Terbarukan Ramah Lingkungan Elin Nurlina 1* , Ate Romli2, Toto Saputra3 dan Sunubroto4 1
Program Studi Teknik Elektro, FT, UNJANI Cimahi Program Studi Teknik Kimia, FT, UNJANI Cimahi 3 Program Studi Teknik Mesin, FT, UNJANI Cimahi 4 Program Studi Teknik Elektro, FT, UNJANI Cimahi 2
*
Email:
[email protected]
Abstract The limited availability of petroleum and natural gas sourced from fossil fuels will take effect on the limited supply of energy in the market , so it is necessary the existence of alternative energy. To achieve the objectives of national energy policy in 2025 that targets renewable energy from biomass, hydropower, solar power, wind power is targeted to more than 5%, then the research has been conducted to obtain renewable energy that is not derived from food sources, are environmentally friendly, with cheap raw materials and easy to obtain. This then lead to the development of biomass energy, the use of domestic waste. Methodology this study is an experimental method , created by the construction of bioreactors Dume Fix system. With this construction, the volume of waste in the bioreactor was fixed, so that the biogas production on a large scale can increase the pressure inside the bioreactor, which is formed from the bioreactor gas supplied to the biogas collection. Utilization of domestic waste after the waste obtained acclimatized for a month biogas composition consisting of 50 % CH4 (methane), ± 8 % CO2 (carbon dioxide), 28 % N2, 14 % CO. Composition of biogas as an energy improvement can be achieved through a fermentation process that extended through the reactor with a continuous system. From these results, to be produced in the form of methane gas products, pH and alkalinity are very influential . pH will affect the solubility of compounds and reactions. Based on observations hasi , the best conditions for the formation of biogas, which is in the range of pH neutral atmosphere (pH 7), but the pH range of 6.8 to 7.9 biogas produced is still quite good. In the atmosphere is too acidic or alkaline will ferment at speeds lower product formation. Keywords: Biogas, domestic waste, alternative energy, environmentally friendly
1.
Pendahuluan
Indonesia sebagai wilayah tropis memiliki sumber bahan baku biomassa yang sangat besar, sehingga limbah biomassanya dapat dimanfaatkan secara optimal bagi upaya subtitusi minyak bumi, disamping akan berdampak pada perbaikan ekonomi .Kebijakan Energi Nasional 2006 (KEN 2006) dalam Perpres no. 5 Tahun 2006, sasaran jangka panjang pengembangan energi terbarukan adalah Target bauran dari energi hidro, panasbumi, surya, nabati dan energi baru lainnya. Secara lebih tepatnya, sasaran kebijakan energi nasional pada tahun 2025 adalah: minyak bumi menjadi kurang dari 20%, batubara menjadi lebih dari 33%, Gas bumi menjadi lebih dari 30%, panas bumi menjadi lebih dari 5%, Bahan bakar nabati menjadi lebih dari 5% , Energi baru & energi terbarukan (biomassa), tenaga air, tenaga surya, tenaga angin menjadi lebih dari 5%. Para ahli menegaskan, untuk mengantisipasi hal tersebut, harus dikembangkan energi terbarukan (renewable) yang bukan berasal dari sumber bahan pangan, bersifat ramah lingkungan, dengan bahan baku murah dan mudah diperoleh. Inilah yang kemudian mengarah pada pengembangan energi biomassa dengan memanfaatkan limbah domestik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan energi terbarukan yang ramah lingkunga dengan memanfaatkan limbah domestik untuk dijadikan media dalam memproduksi biogas. untuk membantu program pemerintah dalam mendukung realisasi program Kebijakan Energi Nasional (KEN 2006) yang menetapkan bahwa Energi baru & energi terbarukan yang memanfaatkan biomassa sebagai bahan bakunya, target penggunaannya menjadi lebih dari 5%. Mengingat program substitusi dari minyak ke gas ini merupakan program pemerintah bagi masyarakat, maka keterlibatan masyarakat merupakan. Penelitian ini memberi kontribusi agar terjadi pergeseran peradaban manusia menuju masyarakat berbasis pengetahuan (Knowledge Based Society) yang berbasis sumber daya alam menuju pembangunan berbasis sumber daya masyarakat berpengetahuan. Sehingga memberikan implikasi terhadap terjadinya proses transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasis pengetahuan (Knowledge Based Economy).
138 ISBN 978-602-70361-0-9
Karena Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan unsur utama dalam kemajuan peradaban manusia menuju terbentuknya masyarakat berbasis pengetahuan 3.
Metode
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah domestik berupa sampah rumah tangga, yaitu sampah dapur dan sampah kebun. Limbah digunakan sebagai media untuk pembuatan biogas. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen , yaitu menggunakan sebuah biorekator. Reaktor yang digunakan dalam penelitian ini merupakan reaktor an aerob dengan model seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Bioreaktor Untuk Biogas. Keterangan 1. Tangki pecampur dengan pipa masukan Limbah 2. Digester . 3. Kompensator dan tangki buangan 4. Tempat gas (gas holder ) . 5. Pipa gas.
6. Entry hatch with gastight seal . 7. Akumulasi sludge yang tebal 8. Pipa outlet . 9. Referensi ketinggian . 10. Buih . (Werner Kossmann, 1999).
Konstruksi bioreaktor dibuat dengan sistem Fix dume. Bioreaktor menggunakan bahan fiber dan dirancang secara khusus. Fix dume mewakili konstruksi reaktor dengan volume tetap sehingga produksi gas akan meningkatkan tekanan di dalam reaktor, gas yang terbentuk akan disalurkan ke pengumpul gas di luar reaktor. Reakor Fix dume diberi pengaman untuk membatasi tekanan maksimal reaktor sesuai dengan kekuatan konstruksi reaktor dan tekanan hidrostatik slurry (biomassa dan air yang telah tercampur) di dalam reaktor Bioreaktor tersebut dibuat dengan spesifikasi seperti dalam tabel 1. Tabel 1. Spesifikasi Bioreaktor Bioreaktor Bahan Tinggi Diameter Keliling Luas Volume Biodigester Drum Umpan Pengaman tekanan Biogas Penampung Biogas Kapasitas biodigester Kapasitas umpan Volume umpan padat Kompor
Spesifikasi Fiber 1 .2 1 3.14 0.785 m2 0.942 m3- 1 m3 1 1 Gas hothotex 1 m3 0.75 m3 0.375 m3 1, dapat tersambung melalui selang terpasang ke bioreaktor
Reaktor diisi hingga mencapai ¾ volume reactor. Pengukuran komposisi biogas secara kualitatif dilakukan melalui chromatografi gas. Kondisi temperatur proses dibuat pada suhu kamar dan pH dibuat dalam kondisi tanpa termodifikasi. Mikroba yang digunakan sebagai starter mikroba dalam pembuatan biogás ini
139 ISBN 978-602-70361-0-9
bersumber dari limbah peternakan sapi yang terdapat dalam instalasi biogás di balai peternakan sapi perah di Cikole Lembang. Tabel 2 Parameter yang dianalisis beserta metode yang digunakan NO 1 2 3 4 5
PARAMETER Logam PH Temperatur Kelembaban Gas CO2, H2, N2, CO, CH4
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1
Analisis Komposisi Biogas
METODE ANALISIS AAS Indikator pH dan PH meter Termometer Higrometer Kromatografi Gas
Dari hasil analisis kromatografi biogas, limbah domestik dapat digunakan sebagai substrat dalam pembentukan biogas, biogas terbentuk dengan adanya penambahan starter mikroba yang bersumber dari limbah peternakan sapi. Karena mikroba yang terdapat dalam limbah organik saja tidak mampu mengolah limbah hingga dihasilkan methan secara optimal. Data awal terbentuknya biogas setelah limbah diaklimatisasi selama 1 bulan dapat dilihat dalam grafik Gambar 2
Gambar 2. Data Kromatografi pada Awal Mulai Terbentuknya Biogas Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa kadar gas methan baru terbentuk sebanyak 2,1733 % dari komposisi biogas yang terbentuk. Gas nitrogen masih relatif tinggi (45,944 %), dan gas CO2 sebanyak 10,006 %. Komposisi ini masih jauh dari komposisi biogas yang diinginkan sebagai sebagai bahan bakar. Pada kondisi ini , diduga mikroba methanogen yang tumbuh belum terkondisi baik untuk memproduksi senyawa gas methan. Berdasarkan hasil pengukuran pH, suasana dalam biorekator masih suasana asam, karena dalam proses pembentukan biogas, suasana asam merupakan satu tahapan poses reaksi kimia yang harus dilalui untuk terbentuknya biogas, seperti dalam mekanisme reaksi sebagai berikut ( Metcalf and Eddy., 1991) 1. Hidrolisis serta penguraian material-material organic pada limbah seperti protein, karbohidrat ( polisakharida), lemak atau minyak menjadi asam-asam amino, gula dan asam lemak 2. Asidogenesa (fermentasi asam), dari proses ini dihasilkan asam-asam vo lat il dengan produk ut ama berupa aset at (CH3 C0OH), propionat (CH 3 CH2 COOH), dan butirat (CH3 CH2 CH2 COOH). asam format (HCOOH), kaprat (CH3CH2CH2CH2CH2COOH), isovalerat ((CH3)2CHCH2COOH), valerat (CH3CH2CH2COOH), dan suksinat yang diproduksi oleh beberapa
140 ISBN 978-602-70361-0-9
3.
4.
bakteri tertentu menjadi propionat dan CO2 .Asetogenesa , pada proses ini terjadi konversi dari H2, CO2, alkohol, asam-asam volatil rantai pendek menjadi asam asetat yang merupakan substrat utama bagi bakteri pembentukan metan pada tahap metanogenesa. Metanogenesa, merupakan proses akhir dari fermentasi anaerob. pada proses ini di akan hasilkan produk akhir berupa metan. reaksi pembentukan metan. Rangkaian Mekanisme reaksinya adalah 12: a. Propionat asetat CH3CH2C00- + 3H20 -> CH3C00- + 14+ + 14CO3- + 3 H2 b. Butirat asetat CH3CH2 CH2C00- + 2H20 2CH3C00- + 1-1+ + 2 H2 c. Etanol asetat CH3CH2 OH+ H20 --> CH3C00- + H+ d. Laktat asetat CH3CHOHC00- + 21420 2CH3C00- + HCO3 + 14+ + 2 H2 e. Asetat metan CH3C00- + 2H20 -> HCO3 + CH4
Pengamatan yang dilakukan hingga minggu ke 4 setelah aklimatisasi, komposisi biogas mengalami perubahan. Berdarkan hasil pengukuran terhadap sampel diperleh data seperti dalam Gambar 3
Berdasarkan hasil kromatografi tersebut terlihat bahwa gas methan merupakan gas yang persentasinya mengalami kenaikan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan gas lainnya. Dari data kromatogram menunjukan kadar metan mengalami peningkatan menjadi 49 ,44 %, sedangkan Gas C0 2 dan N2 mengalami penurunan menjadi 10 % dan 30 %. Demikian juga data lain menunjukkan adanya peningkatan kadar pada produksi gas methan dan penurunan produksi pada komposisi gas-gas lainnya, seperti dalam Gambar 4.
Berdasarkan Grafik pada Gambar 4 tersebut , tampak bahwa kadar metan mengalami peningkatan yang cukup tajam setelah mengalami fermentasi selama 4 minggu dari proses aklimatisasi. Kadar gas methan diproduksi sebanyak 50 % dari komposisi biogas secara keseluruhan. Sampel lain yang diambil dari bioreactor yang berbeda dengan kondisi fermentasi yang sama menunjukan kadar seperti dalam Gambar 5.
141 ISBN 978-602-70361-0-9
Senyawa gas metan yang dihasilkan pada bioreactor B setelah 4 minggu proses aklimatisasi, kadarnya sebanyak 35 % dari komposisi biogas secara keseluruhan, gas N2 berjumlah sekitar 15 %. Sampel lain yang diambil dari bioreactor yang berbeda dengan kondisi fermentasi yang sama menunjukan kadar seperti dalam Gambar 6.
Gambar 6, Data kromatografi biogas menunjukkan adanya kadar gas metan 49, 69% , namun kadar sesungguhnya mungkin lebih besar dari data ini, karena pada pengukuran terdetekasi adanya gas O2. Gas O2 ini masuk dan terukur, mungkin saat terjadi sampling atau mungkin kondisi bioreactor ada kebocoran sehingga sedikit terdedah terhadap udara. Dalam aplikasi dilapangan, kondisi proses yang sesungguhnya biodigester harus tetap dijaga dalam keadaan anaerob yaitu tidak terjadi kontak langsung dengan oksigen. Udara yang mengandung O 2 sebanyak 21 vol % , sehingga jika memasuki biodigester dapat menyebabkan produksi metana. Penyebabnya dalah bakteri alami untuk proses penguraian bahan organic membutuhkan kondisi kedap udara , sehingga jika terdapat udara yang mengandung O2 menyebabkan mikroba pembentuk metana tidak berkembang sempurna (Suyitno, dkk 2010). Data hasil kromatografi dapat dilihat pada lampiran 3. Dari seluruh data kromatogram komposisi biogas , bahwa gas methan yang diproduksi dari sampah organik , komposisi methan tertinggi mencapai 50.79%, Padahal komposisi biogas yang baik terdiri atas ± 60 % CH4 (metana), ± 38 % CO2 (karbon dioksida), ± 2 % N2, O2, H2, H2S (Metcalf and Eddy, 1991) Persyaratan untuk terjadinya biogas yang menghasilkan produksi biogas yang tinggi, diperlukan nilai rasio C/N tertentu. Perbandingan antara unsur C (karbon) dengan unsur N (nitrogen) yang secara umum dikenal dengan nama rasio C/N. Agar mempunyai nilai bakar yang baik maka persyaratan rasio C/N antara 20-25 (Rika dan Anny, 2011) atau C/N antara 20-30 (Suyitno dkk, 2010). Karena jika C/N terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mempengaruhi daya bakar. Jika rasio C/N terlalu rendah , maka hasil biogasnya akan mempunyai nilai bakar rendah atau kurang memenuhi syarat sebagai bahan energi.
142 ISBN 978-602-70361-0-9
3.2
Data Elemen Mineral yang Terdapat pada Bioreaktor Biogas
Bakteri fermentasi membutuhkan beberapa bahan gizi tertentu dan sedikit logam. Kekurangan salah satu nutrisi atau bahan logam yang dibutuhkan dapat memperkecil proses produksi metana (Metcalf and Eddy., 1991. Kadar Elemen mineral sampah yang terdapat dalam bioreaktor I tampak seperti dalam Gambar 7.
Gambar 7. Data Kadar Mineral Sampah Yang Terdapat Pada Bioreaktor 1 Berdasarkan gambar tersebut nikel (Ni), tembaga (Cu), dan selenium dan kalsium terdapat dalam jumlah yang relative kecil dibandingkan kadar besi (Fe) dan aluminium (Al) berada dalam jumlah yang sedikit. E lemen mineral t er sebut diper lukan da lam proses pembuat an biogas di ant aranya adalah besi, nikel, magnesium, kalsium, sodium, tungsten, barium, molibdat, selenium dan kobalt. Selenium dan nikel berpengaruh secara enzimatis pada proses asidogenesa dan metanogenesa (McCarty, 1986). Sedangkan proses enzimatis dehidrogenase dan hidrogenase oleh mikroba Metanococcus v a n i el i i , d a n p r o s e s e nz i m d e hi d r o ge na s e o le h C l o st r i d i u m thermoaceticum dan enzim hidrogenese oleh Desulforibio desulfuricans, proses terjadi bila terdapat mineral selenium, tungsten, dan nikel. Namun selain itu, fosfor dalam bentuk fosfat (PO4), magnesium (Mg) dan seng (Zn) dalam jumlah yang sedikit juga diperlukan. Nutrisi yang diperlukan antara lain ammonia (NH3) sebagai sumber nitrogen (McCarty, 1986). Pada umumnya di dalam limbah secara mendasar telah mengandung nutrien, mineral dan ion yang diperlukan. Namun tergantung kepada jenis bahan organiknya, jika terdapat elemen logam atau mineral yang tidak sesuai dengan kebutuhan mikroba, maka kehadiran ion seperti akibat adanya ion sulfat dapat mempengaruhi proses metanogenesa terutama pengaruhnya dalam hal menekan kompetisi antara bakteri pereduksi sulfat dengan bakteri pembentuk methan Kondisi operasi dan kondisi lingkungan perlu dipertimbangkan karena dalam proses fermentasi untuk dapat dihasilkan produk berupa gas metan, pH dan alkalinitas sangat berpengaruh. pH akan mempengaruhi kelarutan senyawa dan terjadinya reaksi (.Klass, 1986). Berdasarkan hasi pengamatan, pembentukan biogas terjadi terbaik dalam kisaran suasana netral (pH 7) namun pada rentang pH 6,8-8,0, biogas masih diproduksi dengan cukup baik.. Pada suasana terlalu asam atau basa akan memfermentasi dengan kecepatan pembentukan produk yang lebih rendah. 4.
Kesimpulan
Limbah domestik dapat dimanfaatkan sebagai substrat dalam pembuatan biogas, dengan stater mikroba yang bersumber dari kotoran peternakan sapi. Biogas dalam reaktor dengan sistem fix dome dapat terbentuk dengan komposisi metan (CH4) dan CO2 yang sesuai sebagai bahan bakar, tanpa kondisi proses termodifikasi, setelah sebelumnya mengalami aklimatisasi selama 1 bulan, namun untuk produksinya diperlukan umpan limbah secara kontinyu. Dalam penelitian ini , komposisi methan tertinggi mencapai 50.79%,, Hal ini menunjukkan bahwa biogas yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai energy, namun daya bakarnya masih rendah, karena N 2 yang terbentuk komposisinya sebaiknya dibawah 5 % hal tersebut dapat di capai melalui proses fermentasi yang diperpanjang melalui reactor dengan system yang kontinyu. Daftar Pustaka _________. PT.Gabc.Kadin Indonesia. Jakarta. _________ . Keputusan Menteri Negara LH No Kep-51/MENLH/10/1995, tanggal 23 Oktober 1995. Ivet Ferrera,1, Sergio Ponsáb, Felícitas Vázquezc, Xavier Fontb. Increasing biogas production by thermal (70 ◦C) sludge pre-treatment prior to thermophilic anaerobic digestion. Biochemical Engineering Journal 42 (2008) 186–192.
143 ISBN 978-602-70361-0-9
Jami l Musanif, Wildan A. Ardisasmita, David Manariur Nababan “Program Bio EnergiPedesaan (BEP)”. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, DitjenPPHP Deptan.Jakarta.2006. Klass, Donald L., Methane from Anaerobic fermentation” Science.Vol 223.1984 Malina, Joseph F., & Pohland, Frederick G ., Design of Aerobic. Processes for the Treatment of Industrial and Municipal Waste ‘, Technomic Publishing company Inc., Pensilvania, 1992. McCarty, P.L., “Anaerobic Wastewater Treatment ”, Environmental Science Technology.,1986. Metcalf and Eddy., 1991. Waste Water Engineering: Treatment, Disposal and Reuse, McGraw Hill Book Company, Singapore17. Rika Widya Sukmana dan Anny Muljatiningrum. ISBN: 978-602-8394-15-4. Biogas Dari Limbah Ternak Penerbit Nuansa. Cetakan 1 , Januari 2011. Bandung Standar Methods for in Examination of Water & Waste Water 21 st. (Organic & Volatile Acids (5560 D)/ Gas Chromatographic Method. Edition 2005. APHA. AWWA. WEF Underwood, A.L dan R.A. Day, Jr. Analisa Kimia Kuantitatif. Erlangga.Jakarta.1980. Winkler, Michael. Biological Treatment of Waste watwer. John Wiley and Sons. New York.1981.
144 ISBN 978-602-70361-0-9
Perancangan Tungku Pembakar Sampah yang Efektif, Efisien dan Ergonomi dengan Menggunakan Metoda Perancangan Rasional Rinto Yusriski1*, Pradoto Ambardi2, Budi Astuti1, Uju Mintarja3 dan Hari Rizki1 1
Program Studi Teknik Industri, FT, UNJANI, Jl. Jenderal Gatot Subroto Po.Box 807 Bandung Program Studi Teknik Metalurgi, FT, UNJANI Jl. Jenderal Gatot Subroto Po.Box 807 Bandung 3 Praktisi Lingkungan Hidup Masyarakat Sadar Lingkungan (MASDARLING) desa Buah Batu Bandung 2
*
E-mail:
[email protected]
Abstract This research discusses the design of waste furnace with effective, efficient, ergonomic and environmentally friendly. The Effective is defined as the ability of the furnace to burn organic and non-organic garbage. The efficient is defined as lower energy. The ergonomic is defined as a safe design and user friendly for operator. Environmental friendly is defined as lower-pollution. The research has an objective for reducing the delivery of waste to the Garbage Disposal Station (TPS) by burning the waste in the local village area using furnace. The research using rational methods approach that able to accommodate the desires of the user and system. The result of this study is a waste furnace that effective in burning the organic and non-organic waste with lower cost. The furnace has designed with attention to safety and user friendly for operator. In addition, the results of manual visual testing show thin smoke of burning and the smell is not overpowering so it is considered lower-pollution Keywords: design, waste furnace, rational method 1.
Pendahuluan
Laju pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan mengakibatkan peningktan daerah pemukiman yang semakin luas dan padat. Kondisi ini berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah sampah yang dihasilkan. Masalah sampah tersebut biasanya timbul karena ketidakseimbangan antara produksi sampah dengan pengolahannya. Hal ini diperburuk juga dengan semakin menurunnya daya dukung sarana prasarana dan kondisi tempat pembuangan sampah. Tempat Pembuangan Sampah (TPS) kota-kota besar di Indonesia saat ini hanya mampu menampung sekitar 60% dari total sampah yang dikumpulkan (Nuraini dan Wahyuni, 2007). Berdasarkan hal tersebut, problematika sampah merupakan masalah penting yang perlu mendapat perhatian. Pada saat ini, peneliti yang telah membahas mengenai penanganan masalah sampah di antaranya adalah Safitri, dkk. (2012), Nuraini dan Wahyuni (2007), Fadhilah, dkk., (2011). Safitri, dkk. (2012) membahas mengenai pemilihan skenario pengolahan sampah dengan menggunakan Analitical Network Process. Hasil pengolahan menunjukkan bahwa kriteria sosial dan lingkungan merupakan kriteria utama dalam pemilihan alternatif pengolahan sampah. Meskipun begitu, penelitian tersebut belum membahas mengenai aspek operasional pengolahan sampah. Nuraini dan Wahyuni (2007) telah meneliti mengenai operasional pengolahan sampah. Hasil penelitian tersebut menjelaskan perlunya kesiapan faktor penunjang dan faktor operasional untuk menerapkan konsep zero waste. Faktor penunjang yang dimaksud adalah berupa organisasi, fasilitas, pembiayaan dan pengaturan. Sementara faktor teknik berupa tempat penyimpanan setempat, pengumpulan dan pengangkutan, pengelolaan dan pembuangan akhir. Fadhilah, dkk., (2011) membahas mengenai kategori teknik pengelolaan sampah yaitu: pengurangan, penggunaan kembali dan pendaur-ulangan sampah. Latief (2010) sebenarnya telah membahas mengenai konsep pengurangan sampah dengan metoda pembakaran sampah (insinerasi). Penelitian tersebut membahas dampak positif dan negatif penggunaan insinerator pengolahan sampah. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa pengurangan sampah dengan menggunakan alat insinerator dapat memusnahkan sampah organik maupun non-organik dengan cepat dan tidak memerlukan lahan yang luas namun membutuhkan investasi besar, berbahaya dan kurang ramah lingkungan. Penelitian tersebut belum mempertimbangkan aspek ergonomis dalam perancangan insinerator. Penelitian ini membahas mengenai perancangan tungku pembakar sampah yang efektif dalam membakar sampah, efisien dari segi penggunaan energi serta mempertimbangkan aspek ergonomis. Efektif didefinisikan sebagai kemampuan tungku dalam membakar sampah organik dan non organik. Efisien didefinisikan sebagai rancangan yag relatif hemat energi. Ergonomis didefinisikan sebagai rancangan yang aman bagi operator dan
145 ISBN 978-602-70361-0-9
kemudahan dalam pengoperasian. Pembahasan masalah dibagi dalam tiga bagian yaitu penjelasan mengenai metoda perancangan yang digunakan, perancangan produk dan pembahasan serta penarikan kesimpulan.
2.
Metode
Metode perancangan menggunakan metoda perancangan rasional model Cross (1994). Tahapan perancangan model Cross ditunjukkan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Langkah-langkah perancangan model cross (1994) Metodologi perancangan Model Cross dibagi menjadi tiga bagian yaitu: perancangan konseptual, perancangan teknis dan perancangan detail. Perancangan konseptual meliputi klarifikasi tujuan, penetapan fungsi, penetapan kebutuhan dan penentuan karakteristik. Perancangan teknis terdiri atas tahap membangkitkan alternatif solusi dan evaluasi alternatif. Perancangan detail meliputi peningkatan detail rancangan. 3. Hasil dan pembahasan 3.1 Perancangan tungku pembakar sampah 3.1.1 Perancangan konseptual a. Klarifikasi Tujuan (Clarifiying Objectives) Tahap ini didefinisikan kebutuhan sistem dan pengguna tungku pembakar sampah. Metode yang digunakan pada tahap ini adalah metode pohon tujuan. Keinginan atau kebutuhan pengguna ditunjukkan dalam Gambar 2. Tungku pembakaran sampah sesuai kebutuhan
Nyaman
Memasukan sampah dengan mudah
Praktis
Mudah di bersihkan
Aman
Tahan lama
PANAS BAGIAN CHAMBER TIDAH MEMBAHAYAKAN
Tidak mudah berkarat
Efisien Ramah lingkungan
Asap tipis tidak beracun
Asap tanpa sisa pembakaran
Waktu proses pembakaran cepat
Gambar 2. Hirarki pohon tujuan
146 ISBN 978-602-70361-0-9
Pada Gambar 2 terlihat bahwa pada hirarki level 2, pengguna menginginkan tungku dengan karakteristik (1) mudah memasukkan sampah (ergonomi), (2) bagian dalam tungku mudah untuk dibersihan, (3) panas pada bagian chamber (badan tungku) tidak membahayakan pengguna, (4) terbuat dari bahan yang tidak mudah karat, (5) asap yang dihasilkan tipis dan tidak beracun, (6) asap yang keluar sudah tidak mengandung partikel sisa pembakaran sampah dan (7) tungku mampu membakar sampah dengan cepat. b. Penetapan fungsi (Establishing Function) Pada tahap ini didefinisikan fungsi-fungsi yang terdapat atau harus dimiliki oleh alat tungku pembakar sampah. Metoda yang digunakan adalah metoda analisa fungsi. Proses pembakaran sampah sampah dalam tungku dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) sampah kering dibakar dengan api dan dibantu udara untuk menghasilkan pembakaran awal; (2) sampah basah dan kering kemudian dimasukkan pada tungku sehingga timbul pembakaran sempurna dan menghasilkan keluaran berupa abu, partikel sisa pembakaran dan asap (mengandung racun); (3) panas pembakaran memanaskan air sehingga timbul uap air yang berguna untuk menetralkan asap beracun; (4) asap kemudian disaring dengan penyaring udara (scruber) dan keluar melalui cerobong sebagai asap tipis yang relatif ramah lingkungan; (5) partikel sisa pembakaran disaring agar tidak keluar dari ruang pembakaran; (6) abu sisa pembakaran kemudian keluar melalui saluran pembuangan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan fungsi-fungsi dalam tungku pembakaran sampah seperti ditunjukkan pada Tabel 1 Tabel 1. Hasil dari analisa fungsi. No 1 2 3
Fungsi Pintu masuk sampah ruang pembakaran Penyuplai udara
4
Penetral asap
5 6 7 8
Penyaring partikel sisa pembakaran Penyaring udara Cerobong asap Saluran pembuangan abu
Penjelasan Tempat masuknya sampah ke ruang pembakaran Tempat pembakaran sampah Mensuplai udara untuk membantu pembakaran sempurna Menetralisir asap beracun sisa pembakaran dalam ruang pembakaran Menyaring partikel sisa pembakaran Menyaring udara sebelum dialirkan melalui cerobong Tempat keluarnya asap Tempat keluar abu sisa pembakaran
c. Penetapan kebutuhan (Setting Requirement) Tahap ini dilakukan pemisahan antara fungsi yang harus dimiliki dan fungsi yang merupakan fitur tambahan. Metoda yang digunakan adalah spesifikasi performance seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi performansi No
1
2
3
4
Kebutuhan/ Atribut Primer Nyaman
Praktis
Aman
Tahan lama
Objective
Memasukkan sampah dengan mudah Mudah dibersihkan
Kriteria
1. pintu sampah a. Bentuk pintu sampah b. Bentuk handle pintu sampah 2. tungku dapat bongkar pasang a. Bagian chamber b. Bagian secondary chamber c. Bagian cerobong Panas bagian 3. material mampu menahan panas chamber tidak a. Bahan bagian dalam tahan membahayakan panas hingga 500 C b. Bagian luar menggunakan pelat tebal Tidak berkarat 4. penanganan material a. Tungku dilapisi cat b. Pemilihan material tahan lama
Kebutuhan
Keinginan
x x x x x x x
x x
147 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 2. Spesifikasi performansi (lanjutan) No
5
6
Kebutuhan/ Atribut Primer Ramah lingkungan
Efisien
Objective
Kriteria
Asap tanpa sisa pembakaran Asap tipis tidak beracun
5. menggunakan material penyaring
x
6. menggunakan material water sprayer (tabung sprayer, p pa, water supply 7. supply udara yang baik (material penyangga aero support dan pipa
x
Waktu pembakaran cepat
Kebutuhan
Keinginan
x
Tabel 2 menunjukkan spesifikasi yang harus dimiliki adalah tungku (terdiri atas bagian chamber, secondary chamber dan cerobong), terdapat komponen aero support, water sprayer dan penyaring. bahan tungku harus tahan karat dan panas. Sementara spesifikasi yang merupakan keinginan pengguna adalah pintu sampah yang ergonomis dan bagian luar yang kuat dan tungku yang memenuhi aspek estetis (dicat). d.Penentuan karakteristik (Determining characteristics) Tahap ini adalah tahap menerjemahkan keinginan konsumen menjadi karakteristik teknis perancang. Matrix hubungan kebutuhan yang mengkorelasikan antara kebutuhan konsumen dengan karakteristik teknis ditunjukkan pada Tabel 3. Perancangan teknis a.
b.
Pembangkitan alternatif (Generating Alternatives) Pada tahap ini dilakukan pembangkitan alternatif-alternatif pengadaan dari setiap karakteristik teknis. Metoda yang digunakan adalah peta morphology. Evaluasi alternatif (Evaluating Alternatives) Pada tahap ini dilakukan evaluasi terhadap alternatif-alternatif hingga diperoleh alternatif terpilih. Metoda yang digunakan adalah peta weighted objectives evaluation chart. Luaran dari tahap pembangkitan alternatif dan evaluasi alternatif ditunjukkan pada Gambar 3.
Tabel 3 Korelasi kebutuhan konsumen dan karakteristik teknik Keinginan pengguna Memasukkan sampah dengan mudah Mudah dibersihkan
Panas bagian chamber tidak membahayakan Tidak berkarat
Asap tanpa sisa pembakaran Asap tipis tidak beracun Waktu pembakaran cepat
Karakteristik Teknik 1. pintu sampah c. Bentuk pintu sampah d. Bentuk handle pintu sampah 2. tungku dapat bongkar pasang d. Bagian chamber e. Bagian secondary chamber f. Bagian cerobong 3. material mampu menahan panas c. Bahan bagian dalam tahan panas hingga 500 C d. Bagian luar menggunakan pelat tebal 4. penanganan material c. Tungku dilapisi cat d. Pemilihan material tahan lama 5. menggunakan material penyaring 6. menggunakan material water sprayer (tabung sprayer, p pa, water supply 7. supply udara yang baik (material penyangga aero support dan pipa
148 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 3. Sketsa rancangan tungku pembakar sampah 3.1.2 Perancangan detail a. Peningkatan detail rancangan (improving detail) Perancangan detail dilakukan dengan cara menghitung dimensi beberapa komponen tungku agar memenuhi aspek ergonomis diantaranya dimensi pegangan pintu dan tinggi pintu sampah. Data antropometri yang digunakan adalah tebal telapak tangan genggam (TTTG) dan tinggi bahu berdiri (TBB) yang diperoleh dari 100 mahasiswa unjani yang telah divalidasi pada laboratorium Analisa Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi Teknik Industri UNJANI. Hasil perhitungan ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel 4. Penggunaan data antropometri dalam perancangan tungku No 1 2
Komponen Diameter handle pintu sampah Tinggi pintu sampah
Dimensi Antropometri Tebal telapak tangan Tinggi bahu berdiri
Persentil 50% 5%
Ukuran 30.66 mm 1460 mm
b. Dokumentasi rancangan Setelah peningkatan rancangan melalui sentuhan ergonomi maka hasil rancangan kemudian didokumentasikan dalam gambar teknik, peta proses operasi dan prosedur penggunaan. Gambar rancangan detail ditunjukkan dalam Gambar 4.
149 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 4. Rancangan detail tungku pembakar sampah
3.2
Pembahasan
Pada tahap ini dilakukan percobaan dan analisa mengenai produk tungku pembakar sampah berdasarkan kriteria tujuan penelitian yaitu aman, efektif, murah dan ramah lingkungan. Diketahui sampah yang di hasilkan oleh Kampus Unjani Bandung 30kg/hari, dalam seminggu sampah yang di hasilkan 210 kg/minggu. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tungku pembakaran mampu menampung 15 kg/sekali pembakaran dengan waktu pembakaran selama 2 jam. Sehingga untuk volume sampah sebanyak 210 kg membutuhkan 14 kali pembakaran dengan kebutuhan waktu selama 28 jam. Pada saat ini tungku pembakar sampah yang terdapat di Fakultas Teknik UNJANI Bandung mampu membakar sampah sebanyak 210 kg selama 48 jam. Dengan demikian tungku rancangan dinilai memiliki kemampuan atau efektif dalam membakar sampah. Selain itu proses pembakaran tungku rancangan juga memiliki kelebihan berupa hemat energi yaitu proses pembakaran sempurna dilakukan dengan bantuan tenaga udara tanpa menggunakan bantuan energi lain seperti listrik. Hasil beberapa pengujian pembakaran sampah menunjukkan asap hasil pembakaran tipis dengan bau pembakaran yang tidak menyengat. 4.
Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil perancangan dan pembahasan adalah: (1) penelitian ini berhasil menghasilkan rancangan produk tungku pembakar sampah yang efektif dalam mengolah sampah; (2) tunggu dirancang dengan memperhatikan keamanan dan kenyamanan pengguna karena rancangan memperhatikan aspek ergonomi dan standard keamanan material yang tidak membahayakan operator, (3) hasil pengujian secara visual, rancangan dinilai ramah lingkungan yang dibuktikan dengan asap hasil pembakaran yang tipis dengan bau pembakaran yang tidak menyengat. (4) tungku rancangan dinilai hemat energi karena pembakaran dibantu dengan bantuan udara tanpa menggunakan energi lain (misalnya listrik). Meskipun dinilai efektif dan ramah lingkunagan namun penelitian masih dilakukan dalam skali laboratorium dengan fasilititas yang terbatas sehingga perlu adanya penelitian lanjutan untuk mengukur secara pasti kinerja pembakaran serta mengkur tingkat ramah lingkungan dari asap pembakaran yang dihasilkan. Ucapan terimakasih Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNJANI dan Masyarakat Sadar Lingkungan (MASDARLING) desa Buah Batu Bandung yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.
150 ISBN 978-602-70361-0-9
Daftar pustaka Cross, N. Engineering Design Methods, Strategies for Product Design. Second edition: John Willey & Sons. England. 1994. Fadhilah A, Sugianto H, Hadi K., Firmandhani S W, Murini T W, Pandelaki E E. Kajian Pengelolaan Sampah Kampus Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Jurnal MODUL. 2011; 1(11): 62-71. Latief A S. Manfaat dan Dampak Penggunaan Insinerator Terhadap Lingkungan. Jurnal TEKNIS. 2010; 5 (1): 20–24. Nuraini D, Wahyuni S. Pengembangan Sistem Pengolahan Sampah di Kelurahan Bagan Barat Kecamatan Bangko, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau Tahun 2007, Hasil Penelitian Universitas Sumatra Utara. 2007. Safitri D, Chaerul M, Sembiring E. Multi Kriteria Terhadap pemilihan Alternatif Pengolahan Sampah Organik Dengan Menggunakan Metoda Analitical Network Process (Studi Kasus: Kota Sungai Penuh-Jambi). 7th Asian-Pacific Landfil Symposium, 8-11 Oktober 2012, Bali, Indonesia. 2012
151 ISBN 978-602-70361-0-9
Kajian Kinerja dan Keekonomian Turbo Gasification Stove Berbasis Limbah Pertanian Suhartono1*, Ikhwan Maulana1, Yapto Muhamad Maulana1 dan War’an Rosihan2, 1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Jenderal Achmad Yani Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Jenderal Achmad Yani Jl. Terusan Jenderal Sudirman, Kota Cimahi, Telp. (022) 6642064, fax. (022) 6642064 2
*E-mail
[email protected] dan
[email protected]
In this research, the using of turbo gasification stove in an effort to utilize waste of corncob as an alternative renewabale energy resource could increased thermal efficiency and more economical, compared with the conventional combustion of biomass or liquid petroleum gas (LPG). This turbo gasification stove design has capacity of biomass up to ±10 kg by the operation time about 1.5 hour. The water boiling time by using water boiling test method (WTB) for 5 kg of water was about 9,8 min. and economically about Rp.125,00. Whereas, thermal efficiency and fire power were 23,588% and 14,134 kWth, respectively. The further developments of the design of turbo gasification stove are based on biomass continuesly feeding, downdraft gas flow and scale up to be implemented and produced commercially for household and small industry. Keyword: biomass, turbo gasification stove, thermal efficiency, fire power, water boiling test
1.
Pendahuluan
Biomassa di Indonesia lebih banyak berasal dari limbah sektor pertanian dan perkebunan yang mencapai 85% sedangkan sisanya dari hutan (Dewi, 2010). Di Indonesia potensi biomassa yang cukup besar lebih banyak digunakan di sektor rumah tangga sekitar 84%, namun demikian penggunaannya masih sebagai bahan bakar konvensional dengan kompor sederhana. Potensi biomassa terutama janggel di seluruh Indonesia pada tahun 2011 17.643 juta ton, sedangkan di pulau jawa 945.104 ton dengan pruduktifitas mencapai 64.23 Ku/Ha (DEPTAN, 2011), jumlah ini dapat terus bertambah. Karena itu, perlu adanya upaya pengembangan untuk pemanfaatan limbah janggel jagung tersebut. Konversi janggel jagung menjadi energi termal melalui proses gasifikasi dapat meningkatkan efisiensi termal hingga dua kali lipat daripada pembakaran secara konvensional (Najib, 2012). Gasifikasi merupakan konversi bahan bakar padat secara termo-kimia menjadi gas mempan bakar dengan komposisi karbonmonoksida (CO), hidrogen (H2), dan metan (CH4) (Hermanto dkk, 2012). Turbo gasification stove merupakan hasil pengembangan teknologi gasifikasi dalam upaya memanfaatkan janggel jagung untuk memenuhi kebutuhan energi disektor rumah tangga atau industri kecil, menggantikan minyak tanah dan elpiji. 2.
Metode
Turbo gasification stove terdiri dari reaktor dengan ukuran diameter dalam 35 cm dan tinggi ruang pembakaran 100 cm dengan diameter dalam 35 cm. Sebuah blower digunakan untuk memasok udara sebagai gasification agent dan udara pembakaran gas mempan bakar. Janggel jagung dipilih sebagai asupan bahan bakar turbo gasification stove ini. Konfigurasi turbo gasification stove yang digunakan pada percobaan ini disajikan pada Gambar 1. Kinerja turbo gasification stove berupa efisiensi termal, konsumsi bahan bakar, fire power didasarkan pada variabel-variabel hasil pengukuran saat percobaan dan dihitung menggunakan persamaan-persamaan empiris (Belonio, 2005; Rajvanshi, 1986). Efisiensi termal dihitung dengan persamaan; ηTh =
4,186 x MW x ∆T + 2260 x MV mfB x CV
Konsumsi biomassa untuk memasak selama operasi digunakan persamaan; Waktu Memasak (menit) mfB = x mC (kg) Waktu Total Operasi (menit)
(1)
(2)
152 ISBN 978-602-70361-0-9
Fire power merupakan daya keluaran rata-rata kompor sampai operasi selesai; FP =
mfB x CV
(3)
60 x t
Keekonomian turbo gasification stove dilakukan dengan metode water boiling test, merupakan biaya yang diperlukan untuk pendidihan air dengan dasar harga listrik Rp. 997 per kWh dan harga janggel jagung Rp. 250 per kilogram denga nilai kalor 17275 kJ/kg yang dihitung atas dasar hasil analisa ultimat.
Gambar 1. Konfigurasi gasification stove
3.
Hasil dan Pembahasan
Kinerja turbo gasification stove disarikan pada Tabel 1. Penggunaan biomassa janggel jagung (± 3cm) sebagai asupan gasifier memberikan pembakaran awal (start up time) 0,138 jam. Porositas janggel jagung yang besar, densitas kecil dan kandungan volatile matter besar (75,52%-db), menyebabkan reaksi oksidasi di dalam gasifier lebih cepat yang berpengaruh terhadap start up time. Waktu pendidihan dipengahruhi oleh proses pembakaran gas mempan bakar, semakin besar fire power dan kuantitas gas mempan bakar yang dihasilkan menyebakan nilai kalor pembakaran gas semakin besar. Nilai kalor pembakaran gas semakin besar, mengakibatkan lebih banyak energi yang hilang ke lingkungan (tidak termanfaatkan), begitu pula laju penguapan air pendidihan menjadi lebih besar. Namun demikian, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap efisiensi termal pada setiap percobaan. Tabel 1. Parameter kinerja Turbo gasification stove Parameter Kinerja Start up time, jam Thermal effeciency, % Konsumsi biomassa, kg Fire Power, kWTh Suhu flame maksimum, oC
Simbol
Janggel Jagung
tStart
0,138 23,588 3,267 14,134 670,000
η Th
mC FP TfMax
153 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 2. Evolusi suhu flame gas mempan bakar Waktu operasi gasification stove dengan asupan ±2-3 cm asupan janggel jagung kira-kira ± 80 menit (Gambar 2). Kondisi ini memberikan nilai waktu operasi masing-masing sebesar 0,749 jam per kg asupan biomassa. Evolusi suhu flame dari pembakaran gas memban bakar mempunyai kecenderungan meningkat menuju suhu maksimumnya, kemudian menurun seiring dengan waktu (Gambar 2.). Hal tersebut dapat dipahami, mengingat proses gasifikasi dalam gasification stove dilakukan secara batch. Penurunan suhu flame diakibatkan oleh kuantitas gas mempan bakar yang dihasilkan berkurang, seiring dengan berkurangnya ketersediaan janggel jagung dalam reaktor. Kajian keekonomian dilakukan sebagai upanya mengetahui salah satu keunggulan turbo gasification stove dibanding kompor minyak berbahan bakar minyak tanah, elpiji dan jenis lainnya. Disamping keunggulan keekonomian, turbo gasification stove menghasilkan gas mempan bakar yang dibakar terpisah dengan reaktor (di multi burner) dan dapat ditampung terlebih dahulu. Kajian keekonomian disarikan pada Tabel 2, dalam setiap kali operasi turbo gasification stove dengan basis 5 kg biomassa, biaya untuk pendidihan 5 kg air sekitar Rp. 121,967. Tabel 2. Keekonomian Turbo Gasification Stove Keekonomian
Janggel Jagung
untuk operasi 5 kg biomassa Waktu Operasi, jam Konsumsi Listrik, watts Konsumsi Biomassa, kg Harga Penggunaan Listrik, IDR Harga Biomassa, IDR
1,114 6,682 3,267 6,662 816,667
untuk WBT 5 kg air Waktu Mendidihkan Air, min Konsumsi Listrik, watts Konsumsi Biomassa, kg Harga Penggunaan Listrik, IDR Harga Biomassa, IDR
9,830 0,983 0,488 0,980 121,967
Harga keenomian ini masih jauh lebih murah dibanding dengan menggunakan kompor minyak tanah, Rp188/kg air dan kompor elpiji, Rp250/kg air (Suhartono dkk, 2013). Demikian pula masih lebih murah dibanding menggunakan gasification stove single blower janggel jagung 34,85/kg air (Suhartono dkk, 2013). 4.
Kesimpulan
Konversi janggel jagung menjadi gas mempan bakar sebagai sumber energi alternatif menggantikan minyak tanah dan elpiji dapat dilakukan dengan menggunakan gasification stove. Turbo gasification stove ini terbukti jauh lebih unggul dan murah dibanding dengan penggunaan kompor minyak tanah dan kompor elpiji, dengan efisiensi termal 23,588 % dan fire power 14,134 kWTh, memberikan keekonomian sebesar Rp.20,00-25,00 untuk pendidihan setiap kilogram air.
154 ISBN 978-602-70361-0-9
Ucapan terimakasih Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNJANI yang telah membantu pendanaan atas terlaksananya penelitian ini Daftar Pustaka Belonio Alexis. T. (2005): Rice Husk Gas Stove HandBook, Department of Agricultural Engineering and Environmental management, College of Agriculture Central Philippine University, Iloilo City, Philippines. Dewi, R.G., 2010 Indonesia Position on Bioenergy and Bioreneweble, prosiding The Global Sustainable Bioenergy (GSB) Convention for The Asia – Oceania Region, Kuala Lumpur, 14-16 Juni. DEPTAN., 2011, Basis Data Statistic Pertanian, Indonesia Najib Lailun, 2012, Karakterisasi Proses Gasifikasi Biomassa Serpihan Kayu Pada Reaktor Downdraft Sistem Batch Dengan Variasi Air Fuel Ratio (AFR) Dan Ukuran Biomassa, Jurnal Teknik ITS vol.1, ISSN:23019271 Hermanto, Fermi M. I, Zulfansyah., 2012, Evaluasi Kinerja Kompor Gasifikasi Forces Draft, SNTKI 2012 Universitas Indonesia, EL-12. Rajvanshi, A.K., 1986, Biomassa Gasification, In DY Guswani (ed), Atlernative Energy in Agriculture, CRC Press, Maharashtra, vol 2, pp. 83 – 102. Saravanakumar A, Haridasan T.M, Reed Thomas B., 2010, Flaming pyrolysis model of the fixed bed cross draft long-stick wood gasifier. Fuel processing technology Suhartono, War’an Rosihan, Pujianti Intan P dan Silvia Wulandari (2013). Kajian Kinerja dan Keekonominan Rancangan Gasification Stove Berbasis Limbah Pertanian, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”, ISSN 16934393, UPN Yogyakarta.
155 ISBN 978-602-70361-0-9
Pengaruh Perlakuan Awal Kimia dan Penyaringan Menggunakan Membran pada Produksi Etanol dari Jerami Padi Nadiem Anwar*, Gatot Trilaksono Program Studi Teknik Kimia, FT, UNJANI Jl. Terusan Jenderal Sudirman Cimahi *
E-mail:
[email protected]
Abstract As an agricultural country, Indonesia produce a lot of rice straw in which cellulose and hemicellulose contained in straw can be converted to biofuels. The objective of this work are to investigate the effect of alkaline pretreatment to reducing sugar produced in acid hidrolysis of rice straw and the effect of filtration of hydrolyzate to ethanol produced in fermentation. Rice straw was grinded and sieved to about 0,125 – 0,250 mm. Furthermore straw was boiled at 80 °C with 2% sodium hydroxide for 75 minute. Hydrolysis was conducted in 1 L of closed reactor equipped with temperature controller by varying acid concentration. Hydrolyzate is then filtered by using polysulphonate membrane. Batch fermentation was conducted in 250 mL Erlenmeyer flask. The results showed that the alkaline pretreatment was increase the concentration of reducing sugar slightly. The maximum of sugar concentration is 44,3 g/L achieved at 1% w/v acid concentration with the ratio of straw to acid solution 1/5 for delignified rice straw. Filtering of hydrolyzate using polysuphonate membrane did not increase ethanol yield yet. Keyword: rice straw, delignification, sulfuric acid, hydrolysis, reducing sugar.
1.
Pendahuluan
Kebutuhan bahan bakar meningkat terus seiring dengan pertumbuhan penduduk, sedangkan cadangan bahan bakar fosil semakin menurun. Penggunaan energi berbasis fosil juga meningkatkan akumulasi CO2 di atmosfir yang mengakibatkan pemanasan global, oleh karena itu perlu dikembangkan sumber energi alternatif pengganti bahan bakar fosil, salah satunya adalah bioetanol. Bioetanol dapat diproduksi dari bahan terbarukan, melimpah, ramah lingkungan dan harganya murah yaitu biomassa. Indonesia sebagai negara agraris setiap tahunnya menghasilkan 180 juta ton jerami padi kering (Sabiham dan Mulyanto, 2005) yang mengandung 32– 47% selulosa, 19–37% hemiselulosa dan 5–24% lignin (Dewi, 2002, Karimi dkk., 2006; Chang dkk., 2011) dengan kandungan nutrisi 0,5–0,8% N; 0,16–0,27% P2O5; 1,4–2% K2O; 0,05–0,1% S dan 4–7% Si dalam basis kering (Dobermann dan Fairhust, 2002). Selulosa dan hemiselulosa dapat dihidrolisis menghasilkan terutama glukosa dan xilosa (Chang dkk., 2011; Dewi dkk., 2011, Anwar, 2011) yang selanjutnya dapat difermentasi menjadi etanol . Penelitian menyangkut hidrolisis jerami padi telah dilakukan sebelumnya menggunakan enzim murni (Anwar dkk., 2010) maupun campuran enzim kasar (Anwar dkk., 2011). Hasilnya menunjukkan bahwa pada hidrolisis secara batch selama tujuh jam menggunakan campuran enzim kasar menghasilkan peningkatan perolehan gula reduksi yang signifikan dibandingkan dengan menggunakan enzim komersial, akan tetapi waktu yang diperlukan masih terlalu lama. Hal ini menjadi kendala besar jika akan dilakukan produksi dalam jumlah besar. Pemanfaatan jerami padi menjadi sumber energi juga telah dilakukan sebelumnya yaitu menjadi hidrogen dengan konversi keseluruhan perolehan total sekitar 15% (Anwar, 2012). Penggunaan hidrogen sebagai sumber energi masih memiliki banyak kendala baik untuk industri, transportasi maupun rumah tangga, oleh karena itu pada penelitian ini hasil hidrolisis jerami padi diarahkan untuk menjadi bahan baku fermentasi etanol. Lignin merupakan bagian yang berada paling luar dalam lignoselulosa dan berfungsi sebagai pelindung selulosa terutama dari aksi mikroorganisme maupun aksi kimiawi, oleh karena itu dalam penelitian ini akan dipelajari pengaruh perlakuan awal menggunakan NaOH terhadap performa hidrolisis jerami padi menggunakan asam sulfat. Pada hidrolisis jerami padi, selain dihasilkan bahan-bahan yang dapat difermentasi, juga menghasilkan bahan-bahan yang dapat mengganggu fermentasi, oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan penyaringan hidrolisat untuk menurunkan pengaruh bahan-bahan tersebut.
156 ISBN 978-602-70361-0-9
2.
Metode
Jerami padi yang digunakan pada penelitian ini diambil dari sawah di sekitar kampus Unjani. Jerami padi yang telah digiling, delignifikasi menggunakan NaOH 2% pada suhu 80 °C selama 75 menit. Tahap berikutnya adalah hidrolisis jerami baik yang telah didelignifikasi maupun yang tidak didelignifikasi. Hidrolisis dilakukan menggunakan asam sulfat dengan konsentrasi antara 0,5 – 5%. Rasio Jerami padi dengan larutan asam yang dipilih adalah 1/5 (w/v) dengan volume larutan asam tetap 1000 mL. Hidrolisis dilakukan pada temperatur 150 °C dengan waktu hidrolisis 90 menit. Gula reduksi yang dihasilkan ditentukan menggunakan kromatografi unjuk kerja tinggi (HPLC) dengan kolom Animex HPX 87-H. Sebelum dilakukan fermentasi, gula reduksi yang dihasilkan disaring menggunakan membran polisulfonat kemudian dipekatkan dengan cara penguapan sampai konsentrasi yang diinginkan. Fermentasi etanol dilakukan secara batch dalam labu Erlenmeyer 250 mL dengan volume kerja 100 mL. Mikroba yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae R55 dari ITB yang sebelumnya dibiakkan terlebih dahulu dalam larutan glukosa dengan konsentrasi sesuai konsentrasi gula dalam hidrolisat. Sepuluh persen volume biakan diinokulasikan kedalam 90 mL media hidrolisat yang mengandung 0,5 g ekstrak ragi dan 0,2 g KH 2PO4 dan yang telah disterilisasi pada 121 o C selama 15 menit. Fermentasi dilakukan selama 48 jam pada suhu 35 oC dan pH 4,5. 3.
Hasil dan Pembahasan
3.1
Pengaruh konsentrasi asam terhadap konsentrasi gula reduksi
Komponen utama jerami padi adalah selulosa dan hemiselulosa yang jika dihidrolisis menghasilkan glukosa dan xilosa. Gambar 1a adalah konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan pada hidrolisis menggunakan H2SO4 0,25% – 2% untuk jerami yang tidak didelignifikasi pada berbagai konsentrasi H 2SO4. Gambar tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan, maksimum pada konsentrasi H 2SO4 1%. Menurut Balat dkk. (2008), pada proses hidrolisis tersebut, larutan H2SO4 dalam air akan terionisasi membentuk 2 ion H+ dan SO42-. Gugus H+ akan memecah ikatan glikosidik pada selulosa maupun hemiselulosa membentuk radikal gula reduksi. Radikal tersebut akan berikatan dengan gugus ion OH - dari hasil disosiasi air membentuk gula reduksi yang stabil. Semakin banyak ion OH- hasil disosiasi air, maka semakin banyak pula radikal gula reduksi yang dapat distabilkan. Akan tetapi jika konsentrasi H+ dari asam terlalu tinggi ion H+ tersebut akan menghambat proses disosiasi air sehingga konsentrasi OH - dalam air akan semakin kecil dan proses penstabilan radikal gula reduksi menjadi lebih kecil. Hal ini juga didukung oleh hasil hidrolisis untuk jerami yang didelignifikasi terlebih dahulu, yaitu konsentrasi gula reduksi hasil hidrolisis menggunakan asam dari 1% – 5% semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi H2SO4. 3.2.
Pengaruh delignifikasi terhadap komposisi gula reduksi
Konsentrasi glukosa yang dihasilkan pada hidrolisis jerami yang tidak didelignifikasi menunjukkan kenaikan dengan semakin tingginya konsentrasi H2SO4 sampai konsentrasi H2SO4 2% (Gambar 1.a) dan untuk jerami yang mengalami delignifikasi (Gambar 1.b), konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan maksimum pada konsentrasi H2SO4 3% yaitu sekitar 20 g/L. Di sisi lain, konsentrasi xilosa maksimum diperoleh pada hidrolisis menggunakan H2SO4 1% yaitu sekitar 34%. Hal ini dimungkinkan karena adanya perbedaan sifat-sifat kimia antara glukosa dengan xilosa sehingga afinitas radikal xilosa lebih besar pada konsentrasi ion H + dan OH- lebih rendah (1%) sedangkan afinitas radikal glukosa tinggi pada konsentrasi ion OH – dan H+ yang lebih tinggi (3%). Konsentrasi gula reduksi tertinggi yang diperoleh pada penelitian ini adalah 44,3 g/L yang dihasilkan pada konsentrasi H2SO4 1% dengan rasio jerami terhadap larutan asam (J/A) = 0,20 untuk jerami yang didelignifikasi terlebih dahulu. Hasil ini hampir dua kali dari hasil hidrolisis ranting kering yang diperoleh oleh Megawati dkk. (2009) pada temperatur 220 °C yaitu 23,8 g per 200 g bahan baku tetapi masih jauh lebih rendah dari yang dihasilkan pada hidrolisis jerami padi yang dilakukan oleh Karimi dkk. (2006) pada tekanan 20 bar yaitu 43,7% (437 g/L). Gula reduksi yang dihasilkan lebih kecil dari yang dihasilkan oleh Karimi dkk. karena tekanannya jauh lebih kecil. Gambar 1.a dan1.b juga menunjukkan bahwa delignifikasi menggunakan NaOH 2% selama 75 menit pada temperatur 80 °C belum cukup efektif untuk meningkatkan perolehan gula reduksi.
157 ISBN 978-602-70361-0-9
40
50 Xilosa Glukosa
Kons. gula reduksi (g/L)
Kons. gula reduksi (g/L)
50
30 20 10
0
40
xilosa glukosa
30 20 10 0
0.25
0.5
1
2
1
2
3
4
5
Konsentrasi H2SO4 (% b)
Konsentrasi H2SO4 (% b) (a)
(b)
Gambar 1 Komposisi gula reduksi yang dihasilkan pada hidrolisis dengan rasio J/A = 0,2 (a) jerami tidak didelignifikasi; (b) jerami padi yang didelignifikasi 3.3
Pengruh Konsentrasi Awal Gula Reduksi
Hasil pengamatan fermentasi etanol dari hidrolisat jerami padi diperlihatkan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut tampak bahwa makin besar konsentrasi gula reduksi awal dalam umpan, makin tinggi konsentrasi etanol yang dihasilkan, akan tetapi belum memperlihatkan konsentrasi gula reduksi optimum. Hal ini menunjukkan bahwa inhibisi oleh etanol produk belum berpengaruh karena konsentrasi etanol yang dihasilkan masih cukup kecil sedangkan etanol mulai dapat menghambat fermentasi pada konsentrasi yang cukup tinggi yaitu sekitar 70 g/L. Tabel 4. Konsentrasi dan perolehan etanol Perlakuan awal
Tanpa delignifikasi
Dengan delignifikasi
Gula
Etanol
awal
Kons.
Berat
Yield
( g/L )
( g/L )
(g)
(%)
64,0
27,7
2,77
4,81
49,8
21,9
2,19
4,88
32,0
19,6
1,96
6,11
64,0
28,6
2,86
4,97
49,8
26,3
2,63
5,88
32,0
22,2
2,22
6,91
Yield etanol juga masih sangat rendah, hal ini dimungkinkan karena fermentasi tidak dilakukan secara terpisah dengan pengembangbiakan ragi. Jadi sebagaian gula yang tersedia digunakan untuk perkembangbiakan ragi terlebih dahulu sehingga gula yang dikonversi menjadi etanol lebih kecil. Selain itu gula yang terdapat dalam hidrolisat lebih dari satu macam dengan tingkat konversi yang berbeda-beda. Ragi yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae yang pertumbuhan dan produksi etanolnya sangat baik bila substrat yang digunakan adalah glukosa, sedangkan pada hidrolisat jerami padi jumlah xilosa juga cukup tinggi sehingga memungkinkan yield yang lebih tinggi jika dihitung berdasarkan konsentrasi glukosa awal. Akan tetapi konsentrasi glukosanya sendiri tidak diukur, jadi tidak dapat dihitung yield yang didasarkan pada glukosa. 3.4
Pengaruh Delignifikasi dan Penyaringan
Tabel 1 juga menunjukkan bahwa konsentrasi etanol yang dihasilkan pada hidrolisat dari jerami padi yang mengalami delignifikasi secara keseluruhan sedikit lebih tinggi dari konsentrasi etanol yang berasal dari hidrolisat jerami yang tidak didelignfikasi. Hal ini dimungkinkan karena lignin yang tidak dipisahkan dapat menghasilkan furfural dalam hidrolisat. Konsentrasi furfural dalam hidrolisat jerami yang tidak mengalami delignifikasi terlebih dahulu diperkirakan akan lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi furfural pada hidrolisat dari jerami yang didelignifikasi sehingga inhibisinya selama fermentasi etanol juga cukup tinggi. Sebelum difermentasi dilakukan, hidrolisat terlebih dahulu disaring menggunakan membran polisulfonat. Pada penyaringan ini diperkirakan bahwa
158 ISBN 978-602-70361-0-9
konsentrasi furfural yang lolos pada membrane tidak banyak berbeda sehingga pengaruh inhibisinya hampir sama. Perbedaan tertinggi terjadi pada hidrolisat dengan konsentrasi awal gula reduksi 49,8 g/L yaitu sekitar 20%. 4.
Kesimpulan
Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hidrolisis jerami padi, optimum pada konsentrasi H 2SO4 1% dan rasio jerami terhadap larutan asam 1 : 5 dengan konsentrasi total gula reduksi tertinggi 44,3 g/L. Delignifikasi mengunakan NaOH 2% pada temperatur 80 °C selama 75 menit belum cukup efektif untuk meningkatkan performa hidrolisis menggunakan asam sulfat. Penyaringan menggunakan membrane polisulfonat juga belum dapat meningkatkan perolehan etanol secara signifikan. Ucapan Terimakasih Terima kasih kepada LPPM UNJANI yang telah membiayai penelitian ini melalui Hibah Unggulan Unjani dengan kontrak No. SPT/042/LPPM-UNJANI/2012 tertanggal 5 Oktober 2012. Daftar Pustaka Anwar, N., A. Widjaja, S. Winardi (2010), "Enzymatic Hydrolisis of Rice Straw to Glucose Using Commercial Cellulase from Aspergillus niger" , Prosiding International Seminar on Fundamental and Application on Chemical Engineering, Dept. of Chemical Engineering - Sepuluh Nopember Institute of Technology, Bali, 3-4 Nopember 2010, Makalah A-005. Anwar, N., A. Widjaja, S. , S. Winardi., (2011) "Study of Enzymatic Hydrolisis of Alkaline-Pretreated Rice Straw Using Cellulase of Varous Source and Compositions", International Review of Chemical Engineering, Vol. 3 (2). Anwar, N., (2012), “Produksi Hidrogen dari Jerami Padi Secera Fermentasi anaerobik Non-Fotosintesis Melalui Hidrolisis Enzimatik”, Disertasi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2012. Balat, M., H. Balat (2008), “Progres in Bioethanol Processing”, Progress in Energy and Combustion engineering Science, 34, 551-573. Chang, K.L., J. Thitikorn-Amorn, J.F. Hsieh, B.M. Ou, S.H. Chen, K. Ratanakhanokchai, P.J. Huang, Shui-Tein Chen (2011), “Enhanced enzymatic conversion with freeze pretreatment of rice straw, Biomass and bioenergy, 35, 90–95. Dewi, K.H. (2002), “Pengaruh Pengecilan ukuran Partikel and Sumber Limbah Pertanian pada Hidrolisis Secara Enzimatik”, Akta Agrosia, 5, 14-21. Dobermann, A., T.H. Fairhust (2002), “Rice Straw Management”, Better Crops International, Vol. 16, Special Supplement. Dewi, M.D., N. Anwar, A. Widjaja, S. Winardi (2011), “Pengaruh Konsentrasi Substrat pada Proses Produksi Hidrogen Secara Fermentasi Anaerobik Menggunakan Enterobacter aerogenes”, Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Riset dan Teknologi di Bidang Industri ke-17, Yogyakarta, 16 Mei 2011, ISBN: 978-979-95620-7-4, Makalah TRTP-31. Karimi, K., S. Kheradmandinia, M.J. Taherzadeh (2006), “Conversion of rice straw to sugars by dilute-acid hydrolysis”, Biomass and Bioenergy, 30, 247 – 253. Megawati, Sediawan, W. B., Sulistyo, H., dan Hidayat, M., (2009), Kinetika Reaksi Hidrolisis Lignoselulosa dari Sampah Organik Perkotaan dengan Asam Encer pada Kondisi Non-Isotermis, Prosiding Seminar Soebardjo Brotohardjono VI, A3-1-7, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya. Sabiham, S. and B. Mulyanto (2005), “Biomass Utilization in Indonesia: Integration of Traditional and Modern Principles of Organic Matter Management”, Paper is presented in APECATC Workshop on Biomass.
159 ISBN 978-602-70361-0-9
C. BIDANG TRANSPORTASI DAN MANUFAKTUR
160 ISBN 978-602-70361-0-9
Perancangan Alat Bantu di Mesin Stamping 60 Ton untuk Meminimasi Cacat Fungsi Produk Collar 1382 Di CV. GMI Rida Norina*, Moro Sudjatmiko, Reninta Reminda Program Studi Teknik Industri, FT UNJANI Jl. Gatot Subroto TP.807 Bandung *Emial :
[email protected]
Abstract CV . Grand Manufacturing Indonesia ( GMI ) is manufacturing company which produces a wide range of products such as plate , motor vehicle spare parts , punch & dies , jigs & fixtures , and other precision tools with “make to order” production systems . This research was conducted at the stamping department. Products with the largest losses due to product defects is Collar 1382 ,a product that serves as a sub- assembly function for a part in a motor vehicle clutch. Defects type that occur in 1382 Collar products are classified to visual defects (rust and burry) and function defective (hole thickness ). The dominant defect is hole thickness as a function defective . Based on the results of depth interviews with production process operators, obtained recommendation to reduce defect by designing a setting tool. Design method used is Rational Method. Results of generated simulation can be used as a medium for visualization. This machine setting tools combine two visual function : determine the spacing size and service life of dies. These information shown in LCD display so that the results of the measurement and the counting process more accurate and easily understood by the operator. This design is expected to minimize product defects. Keyword: product defects, in dept interviews, design, rational method
1.
Pendahuluan
CV. Grand Manufaktur Indonesia (GMI) adalah perusahaan yang bergerak dibidang manufaktur yang menghasilkan berbagai macam produk seperti plate, spare part kendaraan bermotor, punch & dies, jig & fixture, konstruksi automation, dan other precision tools dengan sistem produksi yang bersifat make to order. Penelitian ini dilakukan pada departemen stamping yang menghasilkan berbagai jenis produk stamping untuk spare part kendaraan bermotor. Adapun produk yang sering dipesan diantaranya Bracket 1375, Bracket 0075, Cover 0035, Collar 1382, dan Plate 0769. Dari data pengendalian kualitas terlihat bahwa jumlah produk dan kerugian terbesar akibat produk cacat yang dihasilkan terdapat pada produk Collar 1382 yang merupakan salah satu produk sub assembly yang berfungsi sebagai function part pada kendaraan bermotor untuk pemutar kopling, Jenis cacat yang terjadi pada produk Collar 1382 diklasifikasikan menjadi cacat visual untuk jenis (cacat karat dan cacat burry) dan cacat fungsi (dimensi ketebalan lubang), dengan cacat dominan adalah cacat fungsi yaitu dimensi ketebalan lubang, produk yang dianggap cacat harus dibuang. Berdasarkan hasil in dept interview terhadap bagian proses produksi diperoleh rekomendasi untuk mengurangi produk cacat adalah dengan merancang alat bantu setting di mesin stamping 60 Ton. Perumusan yang muncul adalah berdasarkan fenomena dalam latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana meminimasi cacat dimensi ketebalan lubang pada produk Collar 1382 dengan merancang alat bantu setting pada mesin stamping 60 Ton. Sehingga tujuan penelitian ini adalah Merancang alat bantu setting di mesin stamping 60 ton untuk meminimalkan jumlah produk cacat fungsi collar 1382. 2.
Metode
Metode pemecahan masalah yang adalah metode rasional yang mengacu pada Nigel Cross (2005) yang secara umum ada 6 tahapan yaitu objective tree, function analysis, performance specification, quality function deployment, morphological chart, dan weighted objective. Tahapan proses akan digambarkan pada Gambar 1.
161 ISBN 978-602-70361-0-9
Klarifikasi Objektif -Pohon Tujuan
Perancangan Alat Bantu Dengan Metode Rasional
Penetapan Fungsi - Transparant Box
Penetapan Spesifikasi - Tabel Spesifikasi Performansi
Penentuan Karakteristik Teknik - Metode Quality Function Deployment
Penentuan Alternatif - Peta Morfologi
Evaluasi Alternatif
Gambar 1. Tahapan metode rasional 3.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan dan in dept interview diperoleh informasi bahwa kelemahan mesin Press 60 Ton yang ada saat ini antara lain sebagai berikut: a.
b.
Tidak adanya display yang menginformasikan ukuran jarak setting antara punch & dies pada mesin stamping 60 ton, menyebabkan operator cenderung menggunakan feeling untuk menentukan ukuran jarak setting sehingga ketelitian pengukuran jarak setting tidak akurat. Tidak adanya display yang menginformasikan umur pakai punch & dies, menyebabkan operator harus melakukan proses tambahan berupa kegiatan menggerindra punch & dies tersebut.
Berdasarkan kelemahan sistem diatas menyebabkan tingginya produk cacat saat ini yang mencapai 10%, dari kondisi inilah akan dirancang alat bantu yang yang mampu menjadi media visualisasi ukuran jarak setting antara pinch dan dies sehingga tidak menggunakan felling, tapi pengukuran jarak settingnya benar-benar akurat. a.
Identifikasi Kebutuhan Pengguna Pengelompokan hasil in dept interview dengan bagian proses produksi tentang kebutuhan alat bantunya, dapat dilihat pada tabel 1. Kebutuhan yang didapat dari hasil wawancara dengan pihak terkait dalam perusahaan (operator dan pemilik usaha) dikelompokkan sesuai kesamaan tujuan pada setiap kebutuhan yang telah didapat dari hasil indentifikasi Tabel 1 Pengelompokan kebutuhan berdasarkan in dept interview No 1 2 3 4 5 6
Kebutuhan Alat bantu dapat meminimasi produk cacat Dapat dijadikan media visualiasi sehingga memudahkan operator Memiliki fungsi untuk menentukan jarak ukuran setting dan umur pakai punch & dies Mudah dalam pengoperasikan alat bantunya Mudah dalam installasi pada mesin Tidak mudah rusak dan tahan terhadap getaran mesin
Pengelompokkan Alat bantu mampu mengurangi cacat pada produk Collar 1382
Mudah dalam penggunannya Tidak mudah rusak
162 ISBN 978-602-70361-0-9
b.
Klarifikasi Objektif / Tujuan, Metode yang digunakan adalah Metode Pohon Tujuan (Objective tree) yaitu suatu metode yang mencoba menguraikan kebutuhan pengguna dan sistem yang telah diperoleh menjadi hubungan tujuan dari sub tujuan dan menjelaskan hubungan yang terjadi antara keduanya, akan dijelaskan pada gambar 2 berikut. Level 1 dari pohon tujuan yang ada pada gambar dibawah didapat dari kebutuhan yang telah dikelompokkan. Mengurangi cacat dimensi ketebalan lubang yang tidak sesuai spesifikasi
Menggabungkan fungsi media visualisasi
Menginfromasikan jarak ukuran antara punch & dies
Menginfromasikan umur pakai punch & dies
Alat Bantu Setting Mesin sebagai media visualisasi
Mudah dalam penggunaanya
Mudah dalam pengoperasian setting alat bantu Mudah dalam pemasangan/installasi pada mesin
Tahan terhadap naik turunnya voltase listrik Alat bantu yang tidak mudah rusak Tahan terhadap getaran mesin
Gambar 2 Pohon Tujuan c.
d.
Penetapan Fungsi, tahapan ini menggambarkan input-proses- dan output dari hasil produk yang dirancang. Input yang diperlukan adalah energy listrik dan dimensi produk sedangkan output nya adalah digital display yang akan menjadi panduan untuk operator. Penentuan Spesifikasi Penetapan spesifikasi digunakan untuk menentukan batasan – batasan dalam perancangan alat bantu setting mesin, pada Table 2 dijelaskan spesifikasi alat bantu setting mesin yang dibutuhkan oleh pengguna : Tabel 2. Spesifikasi Performansi
Atribut Primer Mengurangi cacat pada produk Collar 1382
Mudah dalam penggunannya
Tidak mudah rusak
e.
Atribut Sekunder Adanya fungsi media visualisasi dalam bentuk digital untuk menginformasikan jarak antara punch & dies Adanya fungsi media visualisasi dalam bentuk digital untuk menginformasikan umur pakai punch & dies Mudah dalam pengoperasian setting alat bantu Mudah dalam pamasangan/ installasi pada mesin Tahan terhdap naik turunnya voltase listrik Tahan terhadap getaran mesin
Atribut Tersier Menggunakan sensor posisi pembaca pergerakan liniear antara punch & dies Menggunakan sensor counter untuk membaca proses pengepress-an Desain alat rancangan yang sesuai, serta adanya display mengenai cara pengoperasian alat bantu Adanya manual book mengenai cara penginstallasian alat bantu Adanya Power Supply dalam rangkaian alat rancangan untuk mengubah arus AC ke DC Adanya pelindung pada alat bantu
Penetapan Karakteristik Teknik, alat yang digunakan adalah QFD yang akan dijelaskan gambar 3 berikut Pada Metode QFD yang digunakan untuk menunjukkan nilai hubungan antara atribut produk dengan karakteristik teknik produk. Nilai tersebut diukur dengan nilai Tingkat Kepentingan Absolut (TKA) yang dihasilkan. Nilai TKA didapat dengan Persamaan (1), TKA = Ʃ(Bobot Atribut x Nilai Kepentingan Karakteristik Teknik).
(1)
163 ISBN 978-602-70361-0-9
3
3
0
9
26.67
0
9
3
3
0
9
Desain pelindung material
Jenis material pelindung
0
Desain display
Jenis material tombol
9
Desain tombol
Jenis perawatan
33.33
Jenis LCD
Jenis power supply
Terdapat fungsi visualisasi dalam bentuk digital untuk menginformasikan umur pakai punch & dies Rangkaian alat rancangan mudah untuk dioperasikan
Jenis sensor pembaca proses pengepressan
Terdapat fungsi visualisasi dalam bentuk digital untuk menginformasikan jarak setting
Jenis sensor pembaca pergerakan linear
Atribut
Bobot (%)
Karakteristik Teknik
0
0
0
1
0
0
0
1
13.33
1
1
0
0
9
1
1
3
0
1
Tahan terhadap naik turunnya voltase listrik
13.33
0
0
0
0
1
9
1
1
1
9
Rangkaian alat rancangan mudah untuk penginstallasian mesin
6.67
3
3
9
1
0
0
0
0
0
0
Tahan terhadap getaran mesin
6.67
9
9
3
0
0
9
0
0
0
9
0.039
0.033
0.019
0.013
0.069
0.003
0.005
0.001
0.025
Target Produksi
Tingkat Kepentingan Absolut (TKA)
0.026
Gambar 3. House of Quality f.
Peta Morfologi (Morfologi Chart) Peta Morfologi, yaitu suatu alternatif solusi pemecahan yang tidak dibatasi jumlahnya dan untuk masingmasing masalah tidak harus memiliki solusi dalam jumlah yang sama.
g.
Evaluasi Alternatif Metoda yang digunakan adalah Metoda Bobot Tujuan (Methode Weighted Objective), yaitu suatu metoda yang memberikan suatu penilaian terhadap perbandingan rancangan-rancangan alternatif dengan menggunakan bobot. Alternatif yang lebih baik adalah yang memiliki bobot paling besar yang akan dijelaskan pada tabel 3 . Alternatif dengan nilai total guna yang didapat pada tabel dibawah adalah hasil evaluasi alternatif dari beberapa alternatif yang dimunculkan di peta morfologi kemudian dilakukan evaluasi menggunakan metode bobot tujuan untuk mendapat alternatif ternaik dari beberapa alternatuf yang dimunculkan. Alternatif yang dipilih adalah alternatif yang memiliki nilai total guna terbesar. Nilai total guna didapat dari rumus, Nilai Total Guna = Ʃ(Bobot Atribut x Skor Parameter Alternatif Terkait). Tabel 3. Alternatif yang dipilih Fitur / Fungsi
Alternatif
Nilai Total Guna
Potensiometer
4.67
Optocoupler H21A3
4.47
Power Supply
4.20
Jenis perawatan
Preventive Maintenance
4.67
Jenis material tombol
Plastik
4.53
Jenis material pelindung
Box Plastik
4.80
Jenis LCD
LCD 2 X 16
4.80
Jenis sensor posisi pembaca pergerakan linear Jenis sensor counter pembaca proses pengepress-an Jenis Power Supply
164 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 3. Alternatif yang dipilih (lanjutan) Fitur / Fungsi
Alternatif
Desain tombol
Nilai Total Guna 4.13
Desain Display
Kotak
4.20
Desain box pelindung material
Kotak
4.80
h. Embodiment Design Alat bantu setting mesin ini antara lain Sensor posisi potensiometer, Sensor counter optocoupler H21A3, Power supply, LCD , Tombol pengendali, Box pelindung alat yang dijelaskan pada gambar 4 berikut.
Gambar 4. Display Penggunaan Alat Bantu Setting Mesin Analisis yang membahas kondisi saat ini dengan kondisi setelah perbaikan, yang dijelaskan pada Tabel 5. Pada tabel tersebut dijelaskan analisis yang didapat dari perbandingan sistem kerja awal dan usulannya dengan setiap variabel yang relevan untuk setiap kondisi awal dan usulan.
165 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 5. Perbandingan Sistem Kerja Awal & Usulan Variabel Kondisi setting mesin Penentuan jarak setting antara punch & dies Waktu setting Frekuensi penentuan ukuran setting antara punch & dies
Penentapan umur pakai punch & dies
Sistem Kerja Awal Pada saat melakukan setting mesin terutama untuk memasangkan punch & dies ke mesin stamping dilakukan oleh operator secara manual. Dalam menentukan tinggi stroke terhadap dies operator cenderung menggunakan feeling. Denga mengandalkan feeling, waktu yang dihabiskan untuk proses setting ini ± 30 menit. Akibat mengandalkan feeling dalam menentukkan ukuran tinggi stroke antara punch & dies proeses setting bisa dilakukan beberapa kali yakni ± 3-4 kali sampai didapatkan ukuran tingggi stroke yang sesuai. Dalam menentukan umur pakai punch & dies operator cenderung mengira-ngira dalam hitungan bulan, sehingga sering terjadi kesalahan perkiraan dan menyebabkan operator harus melakukan proses tambahan yaitu menggerinda punch & dies tersebut.
Sistem Kerja Usulan Pada saat melakukan setting mesin terutama untuk memasangkan punch & dies ke mesin stamping dilakukan oleh operator secara manual. Dengan adanya alat bantu setting mesin operator dapat langsung menginputkan ukuran tinggi stroke yang diharapkan tanpa harus menggunakan feeling sehingga ukuran setting lebih akurat. Dengan adanya alat bantu setting mesin ini diperkirakan waktu yang dihabiskan ±15 menit. Dengan adanya alat bantu setting mesin ini dapat meminimasi kegiatan setting berulang karena ukuran tinggi stroke dapat dengan langsung operator input dan sensor dalam alat bantu akan menyesuaikan tinggi stroke dengan ukuran yang diharapkan. Dengan adanya alat bantu setting mesin ini dapat meberikan informasi mengenai umur pakai punch & dies tanpa harus melakukan perkiraan dalam pergantian punch & dies tersebut.
Berdasarkan perbandingan sistem awal dan sistem usulan diatas maka perancangan alat bantu setting mesin ini dapat membantu operator dalam melakukan pekerjaannya, diantaranya : a. Memberikan informasi yang akurat mengenai ukuran jarak setting antara punch & dies. b. Meminimasi waktu setting yang awalnya ± 30 menit menjadi ± 15 menit. c. Frekuensi penentuan ukuran jarak setting pun cukup dilakukan satu kali karena operator hanya tinggal menentukkan ukuran jarak setting yang diharapkan tanpa mengandalkan feeling dalam menentukan ukuran setting yang sesuai. d. Penentapan umur pakai punch & dies dapat teridentifikasi dengan jelas tanpa harus mengandalkan perkiraan.
4.
Kesimpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah rancangan alat bantu setting mesin dapat digunakan sebagai media visualisasi pada saat setting mesin untuk mengurangi kesalahan operator dalam melakukan aktivitas kerjanya. Alat bantu setting mesin ini menggabungkan dua fungsi visual yaitu untuk menentukan ukuran jarak setting dan untuk menentukan umur pakai punch & dies yang ditampilkan dalam display LCD yang berbentuk digital sehingga hasil pengukuran dan proses pencacahan lebih akurat dan mudah dimengerti oleh operator. Rancangan alat bantu ini juga dapat meminimasi waktu setting selama 15 menit. Daftar Pustaka Agus Kristanto, Perancangan Meja Dan Kursi Kerja Yang Ergonomis Pada Stasiun Kerja Pemotongan Sebagai Upaya Peningkatan Produktivitas, Vol. 10 No. 2 Cross, Niegel., Engineering Design Method : Strategies for Product Design 2nded. Chichester : John Wiley & Sons, Third Edition 2005 : 1- 182 Hilman, Azmi. Perancangan dan analisis stamping dies untuk pembuatan produk bracket bummper dengan proses multi forging. Perpustakaan Gunadarma Jakarta 2011 Herawati Heny, , Mekanisme dan kinerja pada system perontok padi, Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah, 2008 Vol. 6 No. 2
166 ISBN 978-602-70361-0-9
Rida Norina dan Meinard, Perbaikan Sistem kerja pemindahan kayu secara manual melalui perancangan alat angkut dan penyangga mesin saw mill di perusahaan furniture PT. Dwipapuri Asri, Jurnal metris Jur. Teknik Industri, Fakultas Teknik Unika Atma Jaya, 2010 Vol 11 No.1 Rida Norina, Moro dan Sri, Perbaikan sistem kerja melalui perancangan alat angkut komponen mind clamp produk live – connector di departemen pengecoran PT. PLN-JP Unit Bandung, proceeding The Evolution of Industrial Engineering with Information system toward knowledge Era, Bandung 2012, hal 201-210 Rida Norina, Moro dan Reninta, Penerapan Metoda Six Sigma untuk Meminimasi Produk Cacat (Studi kasus produk collar 1328 di CV. GMI), Proceeding Industrial Engineering Conference on Telecommunication, Bandung 2013 hal 170 - 178
167 ISBN 978-602-70361-0-9
Kajian Terhadap Kualitas Lubang Hasil Proses Pengeboran Kecepatan Tinggi pada Material S50C dan SCM415 P.Y.M. Wibowo Ndaruhadi*, dan Toto Triantoro B.W Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Unjani – Ters. Jend. Sudirman, Cimahi *
E-mail:
[email protected]
Abstract The drilled hole quality of the results of high speed drilling process is important to be evaluated and improved, considering the number of use of the drilling process and variation applications in the manufacturing industry. This study aims to knows and quantify the effects of drilling parameters on material S40C and SCM415 of the drilled hole quality as a results of high-speed drilling operation. A series of the drilling experimental carried out by using three parameters as input variables (cutting speed, feed rate and workpiece material), which has two data levels, respectively. Meanwhile, the dimensional quality of drilled hole as the output variable is defined using three machining responses, namely enlargement diameter, circularity and cylindricity error. Design of Experiment (DoE) on the Design Expert software v.6.0.5 and analysis of variance (ANOVA) was used in this study. The study results showed that for all the responses occurring similarity phenomenon effects, that is drilling using high cutting speeds with low feed rate on S50C material will provide the best quality of drill hole. However, based on ANOVA conducted on all responses stated that all drilling parameters used in this study did not have a significant effect, except for the type of material on the enlargement diameter response of drilled hole. Keywords: drilling, dimensional quality, drilled hole
1.
Pendahuluan
Perkembangan industri manufaktur saat ini berdampak terhadap siklus hidup produk yang semakin pendek dan semakin tingginya tuntutan terhadap kualitas produk. Kondisi tersebut mengharuskan pelaku industri manufaktur untuk secara kontinyu dan berkesinambungan berusaha meningkatkan effisiensi dan efektivitas dalam segala lini operasionalnya. Dikarenakan operasi produksi memegang peranan yang signifikan dalam menentukan keberhasilan operasional industri secara keseluruhan, maka menjadi penting untuk dievaluasi dan diperbaiki atau bahkan ditingkatkan. Proses pengeboran merupakan proses pemotongan pada logam ataupun non-logam untuk membuat lubang yang berbentuk bulat dengan menggunakan suatu perkakas potong yang umum disebut sebagai mata bor. Hampir 50% dari semua operasi permesinan yang dilakukan di beberapa negara adalah proses pengeboran (Haber-Haber. R et al., 2007), sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa proses tersebut merupakan suatu proses permesinan yang utama dalam operasi produksi industri manufaktur. Tidak berbeda dengan operasi proses pemesinan yang lainnya, kinerja proses pengeboran dalam operasi pemotongan dipengaruhi oleh banyak parameter maupun faktorfaktor pendukungnya. Peningkatan kecepatan spindle akan menurunkan nilai kekasaran permukaan, kecepatan spindle yang tinggi akan mengurangi gaya dan getaran serta memberikan permukaan akhir yang lebih baik (Kuram. E et al., 2010). Hal senada juga disampaikan oleh Kalpakjian dan Schmid (2009), bahwa kecepatan putar (speed) dan pemakanan (feed) dalam pemesinan merupakan salah satu aspek yang penting karena akan dapat berpengaruh terhadap kualitas tertentu dari permukaan akhir produk. Sementara pengaruhnya terhadap kualitas dimensional diantaranya telah dilaporkan oleh Katz dan A Poustie (2001), Robert Karl et al. (2011), Lincoln et al (2011), Ula¸s Çayda et al (2011) serta Sharif, S et al (2012). Beberapa studi yang telah dilakukan oleh para peneliti tersebut adalah berkaitan dengan pengaruh dari beberapa variasi parameter dan kondisi pemotongan dalam proses pengeboran pada jenis material dan respon yang berbeda-beda. Selain itu, studi yang berkenaan dengan pengaruh parameter dan kondisi pemotongan dalam pengeboran pada material bukan logam juga telah disampaikan oleh Joon Hwang, et al. (2012) dan P.Y.M.W. Ndaruhadi et al (2014). Banyak produk disekeliling kita yang memiliki lubang bulat hasil proses pengeboran dan terbuat dari material baja, khususnya yang dalam penggunaannya tergolong pada kelompok baja pemesinan (machinery steel) seperti jenis material S50C dan SCM415. Variasi produk yang ada identik dengan variasi aplikasi yang akan berdampak pada bervariasinya kualitas yang dituntut dari suatu lubang hasil proses pengeboran, termasuk kualitas dimensional. Hal tersebut yang mendorong studi ini penting untuk dilakukan, yang bertujuan untuk mengetahui
168 ISBN 978-602-70361-0-9
dan mengkuantifikasi efek dari kondisi dan parameter pengeboran pada material S40C dan SCM415 terhadap kualitas lubang bor hasil operasi pengeboran kecepatan tinggi. Untuk itu. serangkaian kerja eksperimental proses pengeboran kecepatan tinggi akan dilakukan dalam studi ini. Berdasarkan hasil studi, diharapkan rekomendasi proses pengeboran kecepatan tinggi untuk kedua jenis material tersebut akan dapat dihasilkan. 2.
Metode
Dua jenis material baja yang sering digunakan dalam pembuatan komponen (part) digunakan dalam studi ini, yaitu S50C (190-210 HB) dan SCM415 (130-150 HB). Keduanya mempunyai kandungan unsur yang hampir sama, kecuali pada unsur karbon (C), kromium (Cr) dan molybdenum (Mo). Dalam melaksanakan set-up eksperimental proses pengeboran kecepatan tinggi, specimen atau material benda kerja diletakkan dan dijepit dengan menggunakan sebuah alat bantu pemosisi (jig) yang telah dipersiapkan sebelumnya, seperti terlihat pada gambar 1. Sementara mata bor yang digunakan dalam studi ini adalah mata bor high speed steel (HSS) berdiameter 5,1 mm yang memiliki point angle sebesar 118o dan bergalur (flutes) 2 dengan sudut 30o. Proses pengeboran lubang tembus (throught hole) pada setiap material benda kerja dalam kerja eksperimental dilakukan dengan menggunakan mesin milling CNC LEADWELL MCV-610 CR dengan kondisi pendinginan flooded cooling yang menggunakan mineral oil cutting fluid yang umum digunakan oleh industri pemesinan logam. Maksimal sebanyak 10 lubang bor atau tingkat keausan mata bor tidak melebihi 0,2 mm untuk setiap kombinasi variabel input ditetapkan sebagai batasan dalam melakukan eksperimental proses pengeboran kecepatan tinggi.
Gambar 1. Set-up eksperimental proses pengeboran kecepatan tinggi Tiga faktor dari kondisi maupun parameter pemotongan yang masing-masing memiliki dua level data digunakan sebagai variabel input dalam studi ini, yaitu S50C dan SCM415 sebagai material benda kerja serta parameter kecepatan potong (cutting speed) 37 dan 62 m/min dan laju pemakanan (feed rate) 0,03 dan 0,07 mm/rev. Selain itu dalam studi ini, kualitas dimensional lubang bor ditetapkan sebagai variabel output melalui tiga respon pemesinan, yaitu pembesaran diameter (enlargement diameter), kesalahan kesilindrisan (cylindricity error) dan kesalahan kebulatan (circularity error) dari lubang bor. Variabel input dan output dalam studi ini seperti yang disajikan pada tabel 1. Two level factorial pada design of experiment (DoE) dengan menggunakan perangkat lunak Design Expert v.6.0.5 dipakai dalam merencanakan kerja eksperimental dan analisis hasilnya. Sementara analisis of variance (ANOVA) dilakukan pada semua data respon untuk mengetahui signifikansi efek dari semua variabel input pada tingkat kepercayaan 95%. Tiga respon pemesinan yang meliputi pembesaran diameter (enlargement diameter), kesalahan kebulatan (circularity error) dan kesalahan kesilindrisan (cylindricity error) dari lubang bor diketahui dengan menggunakan Coordinate Measurement Machine (CMM) Mitutoyo KN 810. Pengukuran dilakukan mengacu pada metode pengukuran yang dilakukan P.Y.M.W. Ndaruhadi et al (2014) dalam studinya, yaitu tiga posisi pengukuran untuk setiap lubang seperti diillustrasikan dalam gambar 2a. Diameter dan kebulatan (circularity) setiap lubang bor diketahui melalui dua puluh titik sentuh (touching point) pada setiap keliling lingkaran penampang posisi pengukuran dengan jarak yang sama antar titik sentuhnya dari ketiga posisi pengukuran yang dilakukan, seperti diilustrasikan pada gambar 2b. Sementara penyimpangan atau kesalahan kesilindrisan (cylindricity error) dari setiap lubang bor diketahui berdasarkan pergeseran titik pusat (centre) setiap posisi pengukuran (gambar 2a) pada lubang bor yang sama dengan menggunakan titik pusat (centre) posisi pengukuran yang pertama sebagai referensi.
169 ISBN 978-602-70361-0-9
Data-data pengukuran yang telah diperoleh kemudian diolah menggunakan program Excel dan dicari nilai rataratanya sebagai data masukan pada perangkat lunak (software) Design Expert v.6.0.5. Tabel 1. Variabel Input dan Output yang Digunakan dalam Studi Variabel Input Material benda kerja (Workpice material) Kecepatan potong (Cutting speed) Laju pemakanan (Feed rate) Variabel Output
SCM 415 37 m/min 0,03 mm/rev
Pembesaran diameter (Enlargement diameter) Kesalahan kebulatan (Circularity error) Kesalahan kesilindrisan (Cylindricity error)
(µm) (µm) (µm)
S50C 62 m/min 0,07 mm/rev
Gambar 2. Illustrasi pengukuran kualitas dimensional lubang bor; (a) Tiga posisi pengukuran dari setiap lubang; (b) Touching point pada setiap keliling lingkaran penampang posisi pengukuran 3.
Hasil dan Pembahasan
Hasil pengukuran dari semua respon yang digunakan dalam studi ini pada kedua jenis material benda kerja (workpiece materials) seperti yang tersajikan dalam tabel 2. Kisaran pada respon pembesaran lubang (enlargement diameter) berada direntang nilai 19,6 – 33,2 µm, sedangkan pada respon kesalahan kebulatan (circularity error) dan kesilindrisan (cylindricity error) masing-masing berada dikisaran nilai 5,1 – 18,3 µm dan 13,8 – 23,2 µm. Kinerja proses pengeboran yang terbaik untuk ketiga respon pemesinan dihasilkan dari penggunaan parameter kecepatan potong (cutting speed) 62 m/min dengan laju pemakanan (feed rate) 0,03 mm/rev pada jenis material S50C. Tabel 2. Design Expert v.6.0.5: Desain Eksperimen 2-Level Factorial dan Hasilnya
Std
Run
Factor-1 A: Workpiece Material
Factor-2 B: Cutting Speed (m/min)
Factor-3 C: Feed Rate (mm/rev)
Response-1 Enlargemen t Diameter (µm)
Response-2 Circularity Error (µm)
Response-3 Cylindricity Error (µm)
1 2 3 4 5 6
6 4 3 2 8 1
S50C SCM415 S50C SCM415 S50C SCM415
37 37 62 62 37 37
0.03 0.03 0.03 0.03 0.07 0.07
24.6 30.4 19.6 27.4 25.7 33.2
9.1 12.7 5.1 12.4 9.9 18.3
14.9 20.4 13.8 17.2 17.4 23.2
7 8
7 5
S50C SCM415
62 62
0.07 0.07
23.3 31.4
7.3 13.7
16.0 15.7
170 ISBN 978-602-70361-0-9
(a)
(c)
(e)
Gambar 3.
(b)
(d)
(f)
Efek dari kecepatan potong (cutting speed) dan laju pemakanan (feed-rate) terhadap semua respon
(a) pembesaran diameter (enlargement diameter) pada material S50C dan (b) pada material SCM415; (c) kesalahan kebulatan (circularity error) pada material S50C dan (d) pada material SCM415; (e) kesalahan kesilindrisan (cylindricity error) pada material S50C dan (f) pada material SCM415; Gambar 3 menyajikan grafik-grafik data hasil pengukuran dari semua variabel input pada semua variabel output atau respon pemesinan. Terlihat adanya kemiripan fenomena efek pada semua respon, yaitu bahwa kinerja proses pengeboran yang lebih baik akan diperoleh dari penggunaan parameter kecepatan potong (cutting speed) yang tinggi (62 m/min) dengan laju pemakanan (feed rate) yang rendah (0,03 mm/rev) pada jenis material S50C sebagai material benda kerja (workpiece material). Fenomena tersebut senada dengan hasil studi yang dilakukan oleh Lincoln et al (2011) dan Ula¸s Çayda et al (2011). Dalam studinya yang menggunakan material baja yang dikeraskan (hardened steel) dengan empat parameter pengeboran, Lincoln et al (2011) menyatakan bahwa kecepatan potong yang tinggi (high cutting speed) terbukti lebih baik dalam mengurangi kesalahan diameter (diameter error). Sementara dalam studi tentang efek dalam proses pengeboran pada material AISI 304 Stainless Steel Austenitic yang dilakukan oleh Ula¸s Çayda et al (2011), terungkap bahwa dalam hal akurasi diameter, hasil yang semakin baik akan diperoleh pada kondisi kecepatan potong rendah (low cutting speed) pada mata bor HSS berlapis TiN, sedangkan untuk kondisi pengeboran yang lebih ekstrim dengan menggunakan mata bor HSS akan menghasilkan kualitas yang tidak diinginkan. Begitupun fenomena efek yang terjadi pada respon kesalahan kebulatan (circularity error), berdasarkan hasil studinya Lincoln et al (2011) menyatakan bahwa penggunaan kecepatan potong yang tinggi akan memperoleh hasil terbaik untuk kesalahan kebulatan (circularity error) lubang bor, khususnya pada proses pengeboran dengan menggunakan mata bor baru (new drill). Sementara itu, hasil studi proses pengeboran pada tulang yang dilakukan oleh Ndaruhadi et al (2014) juga menunjukkan hasil yang senada, kecuali fenomena efek yang terjadi pada respon pembesaran diameter (enlargement diameter) yang menunjukkan kontradiksi fenomena efek atas kecepatan potong (cutting speed).
171 ISBN 978-602-70361-0-9
Terjadinya fenomena efek pada Gambar 3 dapat dikaitkan dengan gaya pemotongan (cutting force) saat terjadinya proses pemotongan, walaupun untuk respon tersebut tidak diukur dalam studi ini. Kecepatan potong yang tinggi akan meningkatkan panas saat pemotongan terjadi dan kondisi tersebut dapat mengakibatkan material benda kerja menjadi lebih lunak, sehingga akan menurunkan gaya potong yang diperlukan dalam pemotongan (M.Y. Noordin, et al., 2012; S. Sharif, et al., 2007). Walaupun dalam studi ini juga tidak dilakukan pengukuran, adanya springback karena fenomena deformasi elastis dari material benda kerja selama gerakan perkakas potong serta kemampuan mata bor dalam mempertahankan mekanisme pemotongan dan kinematika proses yang berpengaruh terhadap perilaku dinamis dari mata bor saat pengeboran, juga terlibat dalam memberikan efek tersebut (Ula¸s Çayda, et al,2011; Lincoln, et al, 2011). Kecepatan rotasi merupakan sebagian faktor yang dapat mempengaruhi perubahan natural frequency mata bor dalam proses pengeboran, sehingga properties dan perilaku dinamiknya saat pengeboran akan berubah dan berpengaruh terhadap akurasi lubang bor (Z. Katz and A. Poustie, 2001; Kurt, M, et al., 2008; N. Bertollo, et al., 2008; Chang Kuan Yu, et al., 2009; Ula¸s Çayda¸s, et al., 2011)
Tabel 3. Hasil Perhitungan ANOVA (partial sum of squares) dari data semua respon pemesinan
Tabel 3. menunjukkan hasil perhitungan analysis of variance (ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 95% dari data semua respon pemesinan yang digunakan dalam studi ini. Berdasarkan hasil ANOVA tersebut diketahui bahwa pada hampir semua variabel input tidak memiliki efek yang signifikan terhadap semua respon pemesinan yang digunakan. Material benda kerja (workpiece material) merupakan satu-satunya variabel input yang mampu memberikan efek secara signifikan, khususnya terhadap respon pembesaran diameter (enlargement diameter) dari lubang bor. Jenis material S50C memberikan performa pembesaran diameter (enlargement diameter) lubang bor yang lebih baik daripada jenis material SCM415. Kekerasan dan kandungan unsur karbon dalam material akan berpengaruh terhadap sifat material (Harsono W dan Toshie Okumura, 2004), sehingga dapat berpengaruh juga terhadap proses dan kualitas hasil dalam proses pemotongan logam (metal cutting). 4.
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan dapat diberikan sebagai hasil dari studi yang telah dilakukan, yaitu sebagai berikut: a) Pada semua respon terjadi kesamaan fenomena efek yang ditimbulkan, yaitu pengeboran dengan menggunakan kecepatan potong (cutting speed) yang tinggi dengan laju pemakanan (feed-rate) yang rendah serta penggunaan jenis material S50C sebagai material benda kerja akan memberikan kualitas lubang yang lebih baik.
172 ISBN 978-602-70361-0-9
b) Respon pembesaran diameter (enlargement diameter) lubang bor tidak dipengaruhi secara signifikan oleh parameter kecepatan potong (cutting speed) dan laju pemakanan (feed-rate), namun jenis material memberikan pengaruh yang signifikan. Jenis material S50C memberikan performa pembesaran diameter (enlargement diameter) lubang bor yang lebih baik bila dibandingkan terhadap jenis material SCM415. c) Respon kesalahan kebulatan (circularity error) dan kesalahan kesilindrisan (cylindricity error) tidak dipengaruhi secara signifikan oleh semua variabel input maupun kombinasinya yang digunakan dalam studi ini. d) Rentang nilai parameter kecepatan potong (cutting speed) 37 – 62 m/min dan laju pemakanan (feed rate) 0,03 – 0,07 mm/rev direkomendasikan dapat digunakan dalam proses pengeboran kecepatan tinggi menggunakan mata bor HSS berdiameter maksimum 5,1 mm untuk jenis material benda kerja C50C dan SCM415 dalam menghasilkan rentang toleransi lubang bor sebesar 19,6 – 33,2 µm; 5,1 – 18,3 µm dan 13,8 – 23,2 µm, masingmasing untuk pembesaran diameter (enlargement diameter), kesalahan kebulatan (circularity error) dan kesalahan kesilindrisan (cylindricity error) Ucapan Terimakasih Penelitian ini didanai dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat – Universitas Jenderal Achmad Yani (LPPM – UNJANI) melalui Program Hibah Unggulan UNJANI 2013. Penelitian ini dibantu oleh PT. Presa Genta Engin eering – Bandung dan Universiti Teknologi Malaysia (UTM) – Malaysia. Daftar Pustaka Chang Kuan Yu, Chang Hong Chang, Yu Pu Ping, Yen Ke Tien, and Huang Bo Wun. (2009). Natural Properties in a Micro Drill Cutting into Bones, Life Science Journal, Vol 6, No 4. 28-33. Haber-Haber. R, R. Haber, M. Schmittdiel, and R. M. Del Toro. (2007). A classic solution for the control of a high-performance drilling process. International Journal of Machine Tools and Manufacture, vol. 47, no. 15, 2290–2297. Harsono W, Toshie Okumura. (2004). Teknologi Pengelasan Logam, cetakan ke sembilan, Pradnya Paramita, Jakarta. Joon Hwang, Eui-Sik Chung and Yong-Kyu Lee. (2012). An Assessment of Cutting Force for Dental Implant Drilling, Advanced Materials Research Vols. 472-475, 2542-2547. Kalpakjian, S., and Schmid, S. R. (2009). Manufacturing Engineering and Technology (6th ed.): Prentice Hall. Katz. Z and A. Poustie. (2001). On the Hole Quality and Drill Wandering Relationship, Int J Adv Manuf Technol, 17:233–237. Kuram. E, B. Ozcelik, E. Demirbas, and E. Şık (2010). Effects of the Cutting Fluid Types and Cutting Parameters on Surface Roughness and Thrust Force, Proceedings of the World Congress on Engineering Vol II, London, U.K. Kurt, M.; Kaynak, Y.; Bagci, E. (2008). Evaluation of drilled hole quality in Al 2024 alloy. International Journal of Advanced Manufacturing Technology, 37, 1051–1060. Lincoln Cardoso Brand˜ao, Frederico Ozanan Neves, and Greg´orio Christo Nocelli. (2011). Evaluation of Hole Quality in Hardened Steel with High-Speed Drilling Using Different Cooling Systems. Advances in Mechanical Engineering (Article ID 746535, doi:10.1155/2011/746535, 7 pages) M.Y. Noordin, D. Kurniawan, Y.C. Tang, K. Muniswaran. (2012). Feasibility of mild hard turning of stainless steel using coated carbide tool. International Journal of Advanced Manufacturing Technology. 60,853-863. Ndaruhadi. P.Y.M.W., S. Sharif and D. Kurniawan. (2014). Experiment Investigation of Hole Accuracy and Surface Roughness in Femur Bone Drilling using Different Parameters. Advanced Materials Research Vol. 845, 720-723. N. Bertollo, T.K. Gothelf, W.R. Walsh. (2008). 3-Fluted orthopaedic drills exhibit superior bending stiffness to their 2-fluted rivals: Clinical implications for targeting ability and the incidence of drill-bit failure, Injury, Int. J. Care Injured 39:734-741. Robert Karl Heinemann. (2011). The effect of starting hole geometry on borehole quality and tool life of twist drills, Int J Adv Manuf Technol, DOI 10.1007/s00170-011-3625-7. Sharif, S., Rahim, E. A., and Sasahara, H. (2012). Machinability of Titanium Alloys in Drilling. In D. A. K. M. N. Amin (Ed.), Towards Achieving Enhanced Properties for Diversified Applications. InTech. S. Sharif, E.A. Rahim. (2007). Performance of coated and uncoated carbide tools when drilling of titanium alloy – Ti-6Al4V. J. Mater. Process. Technol. 185, 72-76. Ula¸s Çayda¸s, Ahmet Hasçalık, Ömer Buytoz, and Ahmet Meyveci. (2011). Performance Evaluation of Different Twist Drills in Dry Drilling of AISI 304 Austenitic Stainless Steel. Materials and Manufacturing Processes, 26: 951–960.
173 ISBN 978-602-70361-0-9
Perancangan dan pembuatan alat bantu clamping semiotomatis slang air brake kereta api dengan metoda OFD Cucu Wahyudin1*, Aan Mintarsih2, Urip Subagjo3, dan Taufik Fauzan4 1
Jurusan Teknik Industri , FT Unjani Jl Gatot Subroto Bandung Jurusan Teknik Metalurgi FT Unjani Jl Gatot Subroto Bandung 3 Jurusan Teknik Mesin FT Unjani Jl Gatot Subroto Bandung 4 Jurusan Teknik Industri , FT Unjani Jl Gatot Subroto Bandung * E-mail:
[email protected]
2
Abstract Air brake hose coupling is an important part that connecting brake system between railway coach. The parts comprised by coupler, nozzle, hose, and clamp. Coupler and nozzle are assembled to hose with steel ring. Air pressure at hose up to 3, 8 bars, so tying between coupler/ nozzle with hose must be strong. Since tying process manually made feel fatigue to operate, which is influencing productivity, the tying process need some fixture. This research studying how to design and produce clamping machine which can improve productivity and minimizing fatigue. Machine will be designed by pneumatic system that proved can work semi automatically. Designed machine shows reducing process time from 25 minutes/unit to 9 minutes/unit, so the fixture can improve tying process productivity. The Designed machine that produce in this research will be integrates with another assembly process on the next research. Hopefully, the machine would be more effective and more helpful. Keywords: Fixture, Air Brake Hose Coupling, quality function deployment
1.
Pendahuluan
Kereta api adalah moda transportasi massal dengan daya angkut tinggi yang pada tahun 2013 berhasil mengangkut 174 133 000 orang (BPS, 2014). PT KAI pada tahun 2007 memiliki armada kereta dan gerbong lebih dari 4000 unit, sehingga untuk menjamin keandalannya diperlukan pemeliharaan dan perbaikan sarana yang memadai. Tingginya perhatian PT KAI terhadap pemeliharaan dan perbaikan sarana ditunjukkan oleh besarnya anggaran biaya pemeliharaan, yang pada tahun 2013 mencapai Rp 1,7 T (PT KAI, 2014). Bagian yang mendapat perhatian khusus dalam perbaikan dan pemeliharaan sarana kereta api adalah sistem pengereman. Setiap gerbong atau kereta dilengkapi oleh satu unit sistem pengereman. Dengan jumlah armada yang demikian besar, maka kebutuhan PT KAI terhadap perbaikan dan penggantian sistem pengereman sangat tinggi setiap tahunnya. Salah satu komponen sistem pengereman kereta api yang sangat vital dan menghubungkan sistem pengereman antar gerbong adalah kopling slang air brake (Brake Hose Coupling). Slang air brake tersusun dari komponen kopler, nozel, slang khusus, dan pengikat. Kopler dan nozel terbuat dari material cor/foundry dengan spesifikasi tertentu, dan berfungsi menjadi penyambung antar gerbong. Kopler dan nozel dirakit dengan slang yang panjangnya 620 mm atau 720 mm, disesuaikan dengan spesifikasi gerbong. Untuk memperkuat perakitan kopler dan nozel dengan slang dilakukan pengikatan dengan cincin plat. Tekanan yang dialirkan melalui slang bisa mencapai 3,8 bar, sehingga ikatan antara kopler dan nozel dengan slang harus kuat. Untuk mendapatkan hasil ikatan dengan kekuatan yang memadai dan memudahkan proses pengikatannya, diperlukan alat bantu proses pengikatan. Pengikatan secara manual dan mekanis cukup menyulitkan operator dalam proses pengerjaannya, dan produktivitasnyapun sangat rendah. Penelitian ini merancang mesin untuk proses pengikatan kopling slang air brake, sehingga memudahkan operator dalam melakukan proses pengikatan dengan produktivitas yang tinggi. Mesin yang dirancang menggunakan sistem pneumatic, yaitu udara yang dihasilkan oleh kompressor akan disalurkan melalui tabung pneumatic (PLC) dan dipakai untuk menarik plat yang menjadi pengikat slang dengan kopler dan nozel. Pendekatan perancangan dalam penelitian ini dilakukan secara simultan dengan pengembangan proses yang disebut concurrent engineering (Fine et.al, 2005). Aplikasi Concurrent Engineering dilaporkan dapat mereduksi 30-60% time to market, 15-50% life cycle cost dan 55-95% permintaan perubahan rancangan (Bopana dan Chonhuat, 1997). Sebaliknya, pengambilan keputusan secara serial menghasilkan solusi dengan dua kekurangan (Gunasekaran, 1998), yaitu proses pengambilan keputusan akan berjalan lambat karena kesempatan untuk melakukan proses secara paralel tidak ada dan proses tersebut akan menghasilkan solusi yang sub optimal karena
174 ISBN 978-602-70361-0-9
pada setiap tahapannya menghasilkan solusi yang lokal optimal. Tahapan perancangan mesin dilakukan dengan metoda quality function deployment (QFD). 2.
Metoda
Metoda yang dipakai dalam melakukan perancangan alat bantu adalah metoda quality function deployment (QFD) yang dilakukan secara simultan dengan perencanaan manufaktur (Concurrent engineering). Hasil observasi di industri pembuat kopling slang air brake menunjukan bahwa proses pengikatan membutuhkan waktu hingga 25 menit untuk setiap unitnya. Waktu pengikatan yang terlalu lama mengakibatkan proses menjadi bottleneck pada bagian perakitan. Oleh karenanya diperlukan alat bantu yang meminimasi penggunaan tenaga operator. Penelitian diawali dengan identifikasi proses yang dilakukan pada saat ini, dan menghasilkan peta proses operasi. Berdasarkan informasi hasil observasi, dilakukan perancangan alat bantu dengan menggunakan 7 tahapan dalam quality function deployment. Ketujuh tahapan tersebut meliputi identifikasi kebutuhan sistem, identifikasi kebutuhan pengguna, klarifikasi tujuan (Clarifying Objectives), penetapan fungsi, pembagian fungsi menjadi sub fungsi, setting requirement, dan penentuan karakteristik teknik alat bantu. Pada setiap tahapan dilakukan pengkajian tentang kemampuan proses di industri tempat penelitian dilakukan, sehingga hasil pada setiap tahapan memiliki kelayakan yang tinggi untuk diterapkan. Responden yang dijadikan sebagai mitra dalam penelitian adalah para operator dan supervisor produksi. Responden memberikan informasi pada setiap tahapan penelitian, baik melalui wawancara ataupun pengisian kuesioner. Informasi yang disampaikan kemudian diolah sesuai dengan prosedur baku dalam metoda quality function deployment. Hasil pengolahan data berupa spesifikasi teknis dari alat bantu yang akan dirancang. Berdasarkan spesifikasi teknis yang dihasilkan kemudian dibuat prototype alat bantu yang diinginkan. Prototype alat bantu kemudian diuji fungsinya dan divalidasi dengan melakukan perbandingan dengan metoda pengikatan existing. 3.
Hasil dan Pembahasan
Identifikasi sistem saat ini (existing system) menginformasikan bahwa kopling slang air brake tersusun dari kopler, nosel, pen, slang bertekanan tinggi, plat pengikat dan O-ring karet. Proses produksi kopling slang air brake ditunjukan pada Gambar 1. O-ring karet
Nosel
Kopler
Slang tekanan tinggi
Proses bubut
Proses Bubut
Pemotongan sesuai spesifikasi
Proses Milling
Proses Keling
Perakitan
Pengujian
Gambar 1. Proses perakitan kopling slang air brake Identifikasi terhadap kebutuhan sistem dan kebutuhan pengguna, yang merupakan tahapan awal dalam perancangan alat bantu pengikatan dengan metoda QFD, ditunjukan pada Tabel 1.
175 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 1. Data Suara Pengguna (voice of consumers) No 1
Nama Pekerja (Operator)
2
(Supervisor)
Kebutuhan dan Keinginan Mesin pengikat mudah digunakan. Ikatan yang dihasilkan kuat dan konsisten. Mesin tidak mudah rusak, tahan lama, dan murah. Mesin pengikat mudah dioperasikan, sederhana, aman bagi operator. Perawatan mesin sederhana.
Voices of consumers dijadikan sebagai informasi awal dalam pengklasifikasian tujuan yang merupakan tahap ketiga dalam metoda QFD. Pohon tujuan ditunjukkan pada Gambar 2. Pohon tujuan ini selanjutnya menjadi panduan tahap keempat dalam QFD, yaitu penetapan fungsi. Penetapan fungsi ditunjukan pada Tabel 2. Merujuk pada penetapan fungsi di Tabel 2, alat bantu yang dirancang dalam penelitian ini menggunakan sistem pneumatik, dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya. Pemilihan alternatif sistem pneumatik juga didukung oleh sudah tersedianya kompressor di perusahaan tempat dilakukannya penelitian, sehingga nilai investasinya menjadi lebih murah. Penetapan fungsi-fungsi produk rancangan akan didasarkan pada sistem pneumatik. Alat bantu pengikat slang air brake yang sesuai dengan harapan sistem
Mudah dioperasikan bagi operator
Tuas nyaman saat digunakan
Material Awet
Ekonomis
Kekuatan ikat konsisten
Desain tidak rumit
Dimensi sesuai antropometri
Material tahan terhadap korosi
Harga material murah
Struktur mesin tahan hentakan
Ketersediaan Display
Material yang digunakan ringan
Umur ekonomis lama
Prosedur penggunaan jelas
Aman penggunaan
Tenaga yang dikeluarkan minimal
Sesuai antropometri
Mudah Perawatan
Rancangan sudut tumpul
Mudah dalam instalasi
Gambar 2. Pohon Tujuan Tabel 2. Perbandingan Alternatif Prinsip Kerja Sistem Mekanik
Kelebihan 1. Biaya rendah 2. Dapat memanfaatkan tenaga manusia sebagai sumber tenaga
Hidrolik
1. Ringan 2. Mudah dalam pemasangan 3. Sistem hidrolik sangat efisien
Pneumatik
1. Ketersediaan yang tak terbatas 2. Mudah disalurkan 3. Fleksibilitas temperature 4. Aman & Bersih 5. Komponen penyususn lebih murah 6. Pemindahan daya dan Kecepatan sangat mudah diatur 7. Dapat disimpan
Kekurangan 1. Penempatan posisi tenaga transmisi tidak fleksibel, 2. Berpotensi memunculkan tenaga yang tidak konsisten. 1. Fluida yang digunakan (Oli ) Mahal 2. Apabila Terjadi kebocoran Akan terjadi kekotoran pada sistem. 3. Membutuhkan perawatan yang intensif, 1. Memerlukan instalasi peralatan penghasil udara, 2. Mudah terjadi kebocoran, 3. Menimbulkan suara bising 4. Mudah Mengembun
Tahap kelima dalam metoda QFD adalah pembagian fungsi menjadi sub fungsi yaitu membuat sebuah gambaran yang lebih spesifik dari yang mungkin dikerjakan oleh elemen produk untuk menetapkan keseluruhan fungsi dari alat pengikat. Proses penggambaran fungsi dan sub fungsi yang ditunjukan pada Gambar 2, dan menjadi
176 ISBN 978-602-70361-0-9
dasar dalam penentuan atribut produk (setting requirement) dalam tahap 6 di metoda Quality Function Deployment. Atribut produk ditunjukan pada Tabel 3, dan menjadi informasi utama dalam penentuan karakteristik produk. Dengan menggunakan diagram rumah kualitas seperti yang ditunjukan pada Gambar 3, maka diperoleh rancangan alat bantu/mesin pengikatan seperti pada Gambar 4. INPUT
OUTPUT
Udara yang dimampatkan (Kompressor)
Gerakan mekanis Udara disedot oleh kompresor dan disimpan pada reservoir air ( tabung udara) hingga mencapai tekanan kira-kira sekitar 6 – 9 bar.
udara bertekanan itu disalurkan ke sirkuit dari pneumatik dengan pertama kali harus melewati air dryer (pengering udara) untuk menghilangkan kandungan air pada udara.
Gerakan air cylinder tergantung dari selenoid.
Dilanjutkan menuju ke katup udara (shut up valve), regulator, selenoid valve dan menuju ke cylinder kerja.
Bila selenoid valve menyalurkan udara bertekanan menuju ke outlet dari air cylinder maka piston akan bergerak mundur.
Cincin Plat
Air Cylinder akan menarik cincin plat yang telah dicekam oleh tuas sampai melingkar di slang air brake
Cincin Plat terikat kencang pada slang air brake
Gambar 2. Penggambaran fungsi dan sub fungsi Keterangan : : Menunjukan perpindahan energi : Menunjukan perpidahan bahan
Tabel 3. Atribut Produk Alat Bantu No
Atribut produk alat bantu
1
Mudah dioperasikan bagi operator
2
Tuas nyaman saat digunakan
3
Material Awet
4
Ekonomis
5
Kekuatan ikat konsisten
6
Aman penggunaan
7
Mudah dalam perawatan
Kriteria Desain tidak rumit Ketersediaan display Dimensi sesuai dengan antropometri Material yang digunakan ringan Material alat pengikat tahan terhadap korosi Harga material murah Umur ekonomis lama Operator 1 orang Struktur mesin tahan terhadap hentakan Prosedurpenggunaanjelas Tenaga yang dikeluarkan minimal Sesuai antropometri Rancangan sudut tumpul Mudah dalam pemasangan / instalasi
177 ISBN 978-602-70361-0-9
Title: House Of Quality Alat Bantu Pengikat Slang Air Brak e Author: Taufik Fauzan Ismail Date: 15 Desember 2013 Notes:
▬
▬
┼ ▬ ┼ ┼ ▬ ┼┼ ▬ ┼ ▬ ┼┼ ▬ ┼┼ ┼ ┼ ▬ ▬ ┼ ┼ ┼ ▬ ┼ ▬ ┼ ┼ ▬ ┼┼ ┼ ┼ ▬ ▬ ┼ ▬ ┼ ┼┼ ┼┼ ▬ ▬ ┼┼ ▬ ▬ ┼ ┼ ┼┼ Column # Direction of Improvement: Minimize (▼), Maximize (▲), or Target (x)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
▲
▲
▲
▲
▲
▲
▲
x
▲
▲
Bentuk display
Desain rangka
Desain tombol/pengendali
Desain Tuas
Mekanisme Tuas
Jenis dan fungsi kompressor
Ketahanan material
Material rangka
Material tuas
Nilai ekonomis material
9
15.4 15% Tenaga yang dikeluarkan minimal
▲
Ο
▲
Θ
Θ
Θ
Ο
▲
Ο
Ο
2
9
14.1 14% Struktur mesin tahan terhadap hentakan
▲
Θ
▲
Ο
Ο
▲
Θ
Θ
Ο
Θ
3
9
12.8 13% Material alat pengikat tahan terhadap korosi
▲
▲
▲
▲
▲
▲
Θ
Θ
Θ
Θ
4
9
9.0
9% Mudah dalam pemasangan / instalasi
Θ
Ο
Ο
Ο
Ο
▲
▲
▲
▲
▲
5
3
7.7
8% Material yang digunakan ringan
▲
Ο
▲
▲
Ο
▲
Ο
Ο
Ο
Ο
6
9
7.7
8% Umur ekonomis lama
▲
Ο
Ο
Ο
▲
Ο
Θ
Ο
Ο
Θ
7
3
6.4
6% Desain tidak rumit
Ο
Ο
Ο
Ο
Ο
▲
▲
▲
▲
Ο
8
9
6.4
6% Dimensi sesuai dengan antropometri
Ο
Θ
Θ
Θ
Ο
Ο
▲
▲
▲
▲
Weight / Importance
Max Relationship Value in Row
1
Relative Weight
Row #
Quality Characteristics (a.k.a. "Functional Requirements" or "Hows")
Demanded Quality (a.k.a. "Customer Requirements" or "Whats")
9
3
6.4
6% Rancangan sudut tumpul
▲
Ο
Ο
Ο
▲
▲
▲
▲
▲
▲
10
9
5.1
5% Sesuai antropometri
▲
Θ
Θ
Θ
Ο
Ο
▲
Ο
Ο
▲
11
9
3.8
4% Harga material murah
▲
▲
▲
▲
▲
▲
▲
Θ
Θ
Θ
12
3
3.8
4% Prosedur penggunaan jelas
Ο
▲
▲
▲
▲
▲
▲
▲
▲
▲
13
9
1.3
1% Ketersediaan display
Θ
▲
▲
▲
▲
▲
▲
▲
▲
Ο
9
9
9
9
9
9
9
9
9
9
Target or Limit Value Difficulty (0=Easy to Accomplish, 10=Extremely Difficult) Max Relationship Value in Column Weight / Importance Relative Weight
215.4 410.3 251.3 402.6 320.5 261.5 423.1 387.2 333.3 469.2 6.2
11.8
7.2
11.6
9.2
7.5
12.2
11.1
9.6
13.5
Gambar 3. Rumah kualitas
Gambar 4. Alat bantu hasil rancangan
178 ISBN 978-602-70361-0-9
Proses pengujian alat bantu pengikat kopling slang air brake kereta api menunjukan bahwa alat dapat berfungsi dengan baik dan memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi dari alat bantu manual yang ada saat ini. Hasil pengujian ditunjukan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil pengujian alat bantu proses pengikatan No
Spesifikasi pengujian
Alat bantu manual (existing)
1 2 3
Pemasangan pengikat per unit Penarikan ikatan per unit Finishing per unit Jumlah waktu total
5 menit 10 menit 10 menit 25 menit
4.
Alat bantu semi automatic (hasil penelitian) 2 menit 2 menit 5 menit 9 menit
Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa alat bantu pengikat (clamping) semi otomatis slang air brake dengan sistem pneumatik yang dihasilkan pada penelitian dapat berfungsi dengan baik. Waktu proses pengikatan dengan menggunakan alat bantu hasil penelitian lebih cepat dibandingkan dengan proses perakitan dengan alat manual. Pengikatan dengan proses manual membutuhkan waktu 25 menit/unit, sedangkan dengan menggunakan alat bantu membutuhkan waktu 9 menit/unit. Metoda Quality Function Deployment dapat diterapkan denga efektif dalam perancangan alat bantu pengikatan kopling slang air brake, dan pelaksanaannya secara simultan dengan perancangan proses manufaktur (concurrent Engineering) menghasilkan tingkat kelayakan yang tinggi untuk diaplikasikan. Perlu penelitian lebih lanjut untuk proses integrasi pengikatan slang dengan proses pemasukan nosel/kopler ke dalam selang, sehingga proses menjadi lebih efisien. Penelitian alat bantu yang sudah terintegrasi perlu memperhatikan data antropometri operator, sehingga memberikan kenyamanan bagi operator dalam bekerja Daftar Pustaka Cohen,L.,1995. Quality Function Deployment : How To Make QFD Work For You, Addison-Wesley Publishing Company,Massachusetts, Cross, N.,1994. Engineering Design Methods : Strategies For Product Design, John Wiley & Sons (SEA), Singapore. Fine, C.H., Boaz Golany, Hussein Naseraldine. Modelling Tradeoffs in Three Dimensional concurrent engineering: a goal programming approach. Journal of Operation Management 23 (2005).p 389-403 Fixson, S.K. Product Architecture assesment: a Tool to Link Product, Process, and Supply Chain Design Decision. Journal of Operation Management 23 (2005).p 345-369. Garg, A. An application of designing products and process for supply chain management. IIE Transaction (1999) 31, 417-429. Gershenson, J.K., G.J. Prasad. Product Modularity : Measures and Design Methods. J. Eng. Design, Vol 15 No 1, February 2004. p 33-51 Gershenson, J.K., G.J. Prasad., Z. Zhang. Product Modularity : definition and benefits. J. Eng. Design, Vol 14 No 3, September 2003. p 295-313 Huang, C.C. Overview of Modular Product Development. Proc.Nat.Sci.Counc.ROC(A). Vol.24,No 3, 2000.p 149-165. Koufteros, X., M. Vonderembse., William Doll. Concurrent Engineering and its consequences. Journal of Operation Management 19 (2001).p 97-115. Koufteros, X., M. Vonderembse., William Doll. Concurrent Engineering and its consequences. Journal of Operation Management 19 (2001).p 97-115. PT Kereta Api Indonesia. Roadmap product development based on core competence. Paparan PT KAI dalam kunjungan kerja menteri perhubungan. Madiun, 2007. Wahyudin, C., Ikhsan, M. 2012. Perancangan Alat Bantu Proses Penyortiran Alumina Ball pada Mesin Ball Mill di Depaartemen Body Preparation PT XYZ. Prosiding Seminar Pendidikan Nasional Teknik Industri BKTIPII.
179 ISBN 978-602-70361-0-9
Kajian Kinerja Struktur Eksisting terhadap Peraturan Gempa Baru SNI 03-1726-2012 (Studi Kasus Gedung Teknik Sipil Unjani) Yudi Herdiansah*, Prima Sukma Yuana Program Studi Teknik Sipil, FT UNJANI-Cimahi * E-mail:
[email protected]
Abstract Along with the advance of technology and science, Indonesia seismic code was change in several times. Since SNI 03-1726-2002 published, there have been several earthquakes in Indonesia that its magnitude greater than previous estimates such as incident earthquake in Aceh (2004) and Nias (2005). It cause make a map of earthquake in 2002 is not considered relevant. Therefore, the further research is needed to analyze the high rise building that has been built by using SNI 03-1726-2002 and SNI 03-1726-2012 to determine whether the plan used seismic load is still quite relevant. The method of research was done by dynamic inelastic time history analysis of the building being simulated. Model of the building using the as-built drawings, while the material data obtained from primary data by conducting surveys using Schmidt Hammer Test. The analysis showed that the performance level of the building encumbered with El Centro acceleration adjustment SNI 03-1726-2002 and 2012 according to FEMA 356 and ATC - 40 is Life Safety. In accordance with the level of performance of the resulting, the structure does not require retrofitting. The structure is still considered capable of withstanding earthquake loads. But in another case, suppose that the level of performance as a result of the earthquake SNI 2012 exceeds the level of performance due to the earthquake of SNI 2002, it should be made retrofitting the structure elements, especially the element resistance lateral force. Keywords: earthquake, time history analysis, El Centro, SNI 03-1726-2002, SNI 03-1726-2012
1.
Pendahuluan
Seiring dengan majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, maka peraturan pembebanan dan perencanaan bangunan tahan gempa di Indonesia pun beberapa kali mengalami perubahan. Sejak diterbitkannya SNI 03-17262002, telah terjadi beberapa kejadian gempa besar di Indonesia yang memiliki magnituda lebih besar dari magnituda maksimum perkiraan sebelumnya, seperti Gempa Aceh (2004) dan Gempa Nias (2005). Hal ini membuat peta gempa pada tahun 2002 dinilai kurang relevan lagi. Beberapa tahun terakhir telah dikembangkan metoda analisis baru yang bisa mengakomodasi model atenuasi sumber gempa tiga dimensi (3-D). Hal tersebut bisa menggambarkan atenuasi penjalaran gelombang secara lebih baik dibandingkan model 2-D yang digunakan untuk penyusunan peta gempa SNI 03-1726-2002. Selanjutnya penelitian-penelitian yang intensif mengenai fungsi atenuasi terkini dan studi-studi terbaru tentang sesar aktif di Indonesia semakin menguatkan kebutuhan untuk memperbaiki peta gempa Indonesia yang berlaku saat ini. SNI 03-1726-2012 tentang Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung disusun mengacu pada ASCE 7-10, berdasarkan perioda ulang gempa 2475 tahun (probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun). Sekilas terlihat jauh meningkat dibandingkan dengan peraturan gempa sebelumnya di Indonesia, yaitu SNI-03-1726-2002 dengan perioda ulang gempa 475 tahun (probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun). Bangunan yang telah terbangun sebelumnya dengan menggunakan desain beban gempa rencana yang mengacu pada SNI 03-1726-2002 mulai dipertanyakan, seperti besar perubahan yang terjadi, keamanan, dan penanganannya. Berdasarkan permasalahan tersebut, bagaimana kinerja struktur gedung yang didesain berdasarkan SNI 03-1726-2002 terhadap SNI 03-1726-2012. Tujuan dari penelitian adalah mengetahui pengaruh perubahan peraturan gempa terhadap kinerja struktur bangunan eksisting berdasarkan SNI 03-17262012, serta memberikan rekomendasi mengenai langkah perbaikan kinerja struktur apabila diperlukan. Pada penelitian ini, struktur gedung didesain menggunakan peraturan gempa Indonesia SNI 03-1726-2002 dan dievaluasi terhadap peraturan gempa baru SNI 03-1726-2012, analisis kinerja struktur dilakukan dengan time history analysis, dengan kategori level kinerja berdasarkan FEMA 273/356 dan ATC-40. Data percepatan gempa yang digunakan adalah Gempa EL Centro 1940, yang disesuaikan dengan gempa rencana berdasarkan SNI 031726-2002 dan SNI 03-1726-2012. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang cukup baik, dalam memberi gambaran mengenai proses untuk mengukur kinerja bangunan eksisting terhadap peraturan baru mengenai Tata Cara
180 ISBN 978-602-70361-0-9
Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung dan Non Gedung SNI 03-1726-2012 dengan menggunakan analisis riwayat waktu (time history analysis). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemilik prasarana gedung, untuk melakukan langkah perbaikan apabila diperlukan, guna menyesuaikan dengan peraturan baru mengenai Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung dan Non Gedung SNI 03-1726-2012. 2.
Metode
Penelitian dilakukan dengan simulasi numerik yang dibantuan software elemen hingga SAP 2000. Bangunan sebagai studi kasus dimodelkan berdasarkan gambar bangunan eksisting (as-built drawing) dengan properti material berdasarkan hasil pengujian langsung dilapangan. Model bangunan studi kasus dapat dilihat pada Gambar 1, dengan deskripsi sebagai berikut: Fungsi gedung : Gedung perkuliahan Jenis struktur : Beton bertulang Jumlah lantai : 3 lantai Tinggi lantai : 3,8 m Jenis tanah : Sedang
Data material struktur bangunan adalah sebagai berikut: Mutu beton : K-225 Berat Jenis Beton : 24 Modulus Elastisitas (E) : 4700 √fc’ Tegangan leleh baja (lentur,fy) : 400 Tegangan leleh baja (geser,fyv) : 240
KN/m3 MPa MPa MPa
Gambar 1. Model struktur Analisis riwayat waktu digunakan untuk evaluasi kinerja struktur bangunan, dengan kategori level kinerja berdasarkan FEMA 273/356 dan ATC-40. Data akselerogram gempa rencana dibutuhkan untuk analisis riwayat waktu, yang disesuaikan dengan kurva respons spektrum dari wilayah gempa lokasi gedung berada. Kurva respons spektrum berdasarkan peraturan SNI 03-1726-2002 dan SNI 03-1726-2012 untuk lokasi bangunan studi kasus dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Respons spektrum gempa rencana
181 ISBN 978-602-70361-0-9
Percepatan gempa rencana yang digunakan dalam kajian adalah Gempa El Centro 1940, direkam pada 15 Mei 1940 di California, pada jarak 9 km dari pusat gempa, dengan durasi 13,98 detik. Skala gempa 6,4 Richter. Percepatan gempa tersebut dimodifikasi sehingga spektrum responsnya sesuai dengan spektrum respons gempa rencana dalam konsep SNI 03-1726-2002 dan SNI 03-1726-2012. Untuk memodifikasi percepatan gempa digunakan Software SeismoMatch. Percepatan gempa El Centro yang sudah dimodifikasi dengan Software SeismoMatch ditunjukan pada gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Akselerogram dengan penyesuaian SNI 03-1726-2002
Gambar 4. Akselerogram dengan penyesuaian SNI 03-1726-2012 3.
Hasil dan Pembahasan
Analisis modal dilakukan untuk mendapatkan nilai perioda getar alami struktur. Perioda getar alami struktur (T) dapat ditentukan dengan bantuan program SAP 2000. Dalam hal ini perioda bangunan pada saat mode 1 dominan untuk arah-x dan mode 2 dominan untuk arah-y. Nilai perioda struktur yang dihasilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Perioda alami struktur Mode 1 2
Perioda Struktur 0,53 detik 0,48 detik
Untuk mencegah penggunaan struktur gedung yang terlalu fleksibel, nilai waktu getar alami fundamental (T1) dari struktur gedung harus dibatasi, bergantung pada koefisien 𝜉 untuk wilayah gempa tempat struktur gedung berada dan tinggi bangunan yang kemudian dievaluasi menurut SNI 03-1726-2002 pasal 5.6 tentang pembatasan waktu getar alami fundamental. Pembatasan perioda fundamental (T1) berdasarkan SNI 03-1726-2002 adalah T1 = ξ ∙ n = 0,17 ∙ 3 = 0,51 detik. Berdasarkan hasil tersebut, perioda alami struktur melebihi nilai perioda batas berdasarkan SNI 03-1726-2002. Pembatasan perioda fundamental (T1) berdasarkan SNI 03-1726-2012 dihitung untuk 2 nilai batas (maksimum dan minimum), yaitu: 1. 𝑇𝑎 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 = 𝐶𝑟 ∙ ℎ𝑛𝑥 𝑇𝑎 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 = 0,0466 ∙ 11,40.9 = 0,42 detik 2. 𝑇𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 = 𝐶𝑢 ∙ 𝑇𝑎 𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 𝑇𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚 = 1,4 ∙ 0,42 = 0,588 detik Berdasarkan hasil tersebut, dapat dilihat bahwa perioda alami struktur berada dalam batas nilai perioda berdasarkan SNI 03-1726-2012. Level kinerja yang dihasilkan oleh analisis time history ini ditentukan oleh besarnya perpindahan maksimum yang terjadi. Perpindahan maksimum tersebut memberikan gambaran kondisi sendi plastis yang terbentuk pada struktur. Hasil analisis riwayat waktu dengan program SAP2000 dapat memperlihatkan
182 ISBN 978-602-70361-0-9
terbentuknya sendi plastis pada saat terjadi leleh pertama (δy) dan pada saat perpindahan maksimum (δm), seperti yang ditunjukan pada Tabel 2 dan 3. Akibat gempa rencana SNI 03-1726-2002, untuk tinjauan arah-X, leleh pertama pada elemen terjadi pada detik ke 3,07 dan kondisi maksimum terjadi pada detik ke 10,54 dan untuk arahY leleh pertama pada elemen terjadi pada detik ke 4,98 dan kondisi maksimum terjadi pada detik ke 10,22. Sedangkan untuk gempa rencana SNI 03-1726-2012, untuk tinjauan arah-X, leleh pertama terjadi pada detik ke 3,11 dan kondisi ultimit terjadi pada detik ke 10,55 dan untuk arah-Y leleh pertama pada elemen terjadi pada detik ke 5,74 dan kondisi ultimit terjadi pada detik ke 10,59. Tabel 2. Kondisi sendi plastis saat perpindahan maksimum (Arah-X) PERATURAN SNI 2002 SNI 2012
PERPINDAHAN δy (mm)
Time (s)
δm (mm)
Time (s)
1.552 1.677
3.07 3.11
58.855 74.053
10.54 10.55
KONDISI SENDI PLASTIS IO – LS IO – LS
Tabel 3. Kondisi sendi plastis saat perpindahan maksimum (Arah-Y) PERATURAN SNI 2002 SNI 2012
PERPINDAHAN δy (mm)
Time (s)
δm (mm)
Time (s)
5.147 4.223
4.98 5.74
57.655 86.104
10.22 10.59
KONDISI SENDI PLASTIS IO – LS IO – LS
Dalam analisis time history, ditinjau level kinerja struktur saat terjadi perpindahan maksimum akibat gempa rencana dan dari hasil analisis envelope, diperoleh nilai perpindahan maksimum pada struktur seperti yang diberikan pada tabel berikut ini.
(a) Perpindahan arah X
(b) Perpindahan arah Y
Gambar 5. Kurva Perpindahan Gambar 5 menunjukan bahwa perpindahan maksimum akibat gempa rencana SNI 03-1726-2012 lebih besar daripada gempa rencana SNI 03-1726-2002. Tetapi untuk level kinerja struktur berdasarkan FEMA 273/356, kedua model bangunan yang dibebani gempa rencana tersebut berada pada level kategori yang sama yaitu Life Safety, baik untuk arah x maupun arah y. Tabel 4. Evaluasi kinerja menurut ATC-40 (Arah-X)
Perpindahan Tinggi gedung Drift Ratio
D= H= D/H =
SNI 03-17262002 58.855 mm 3800 mm 0.0155
SNI 03-17262012 74.053 mm 3800 mm 0.0195
183 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 5. Evaluasi kinerja menurut ATC-40 (Arah-Y)
Perpindahan Tinggi gedung Drift Ratio
D= H= D/H =
SNI 03-17262002 57.655 mm 3800 mm 0.0152
SNI 03-17262012 86.104 mm 3800 mm 0.0227
Dari Tabel 4 dan Tabel 5, untuk kedua model struktur yang masing-masing dibebani gempa rencana berdasarkan SNI 03-1726-2002 maupun SNI 03-1726-2012, diperoleh nilai drift ratio di atas 0,015. Berdasarkan kriteria ATC-40 pada Tabel 6, untuk drift ratio yang bernilai antara 0,01 samapi dengan 0,02, level kinerja struktur adalah Damage Control. Tabel 6. Level kinerja menurut ATC-40
Sumber: ATC-40 Level kinerja berdasarkan FEMA 273/356 maupum ATC 40, untuk kedua model yang dibebani gempa rencana berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan SNI 03-1726-2012, berada pada level yang sama, yaitu diantara Immediate Occupancy (IO) dan Life Safety (LS). Kondisi Life Safety menunjukkan terjadinya kerusakan elemen struktur, kekakuan berkurang, tetapi masih mempunyai ambang yang cukup terhadap keruntuhan. Komponen nonstruktur masih ada tetapi tidak berfungsi. Dapat dipakai lagi bila sudah dilakukan perbaikan. 4.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian kinerja struktur dengan analisis nonlinear time history pada struktur bangunan yang menjadi studi kasus, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Struktur bangunan gedung memiliki nilai perioda alami yang melebihi nilai batas berdasarkan SNI 031726-2002, akan tetapi berada dalam batas nilai perioda berdasarkan SNI 03-1726-2012. 2. Perpindahan maksimum akibat gempa rencana SNI 03-1726-2012 lebih besar dari SNI 03-1726-2002 untuk kedua arahnya. Ini membuktikan bahwa beban gempa rencana berdasarkan SNI 03-1726-2012 lebih besar daripada SNI 03-1726-2002. 3. Level kinerja menurut FEMA 273/356 maupun ATC-40 untuk gedung yang dibebani gempa rencana berdasarkan SNI 03-1726-2002 dan 2012 adalah sama, yaitu antara Immediate Occupancy (IO) dan Life Safety (LS). 4. Kodisi Gedung Teknik Sipil Unjani setelah menerima gempa rencana berdasarkan SNI 03-1726-2012 adalah terjadi kerusakan elemen struktur, tetapi masih mempunyai ambang yang cukup terhadap keruntuhan. Komponen nonstruktur masih ada tetapi tidak berfungsi dan dapat dipergunakan kembali apabila sudah dilakukan perbaikan. Daftar Notasi E fy fyv δ
= = = =
modulus elastisitas [MPa] tegangan leleh baja lentur [MPa] tegangan leleh baja geser [MPa] perpindahan [mm]
Daftar Pustaka Applied Technology Council, “ATC 40 - Seismic Evaluation and Retrofit of Concrete Buildings”, Redwood City, California, U.S.A., 1996
184 ISBN 978-602-70361-0-9
ASCE, “FEMA 356 - Prestandard and Commentary for the Seismic Rehabilitation of Buildings”, Federal emergency Management Agency, Washington, D.C., 2000 ATC-33 Project, “FEMA 273 - NEHRP Guidelines for the Seismic Rehabilitation of Buildings”, Building Seismic Safety Council, Washington, D.C., 1997 Standar Nasional Indonesia, “SNI-1726-2002 - Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung, Standar Nasional Indonesia”, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta, 2002 Standar Nasional Indonesia, “SNI-03-2847-2002 - Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung”, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta, 2002 Standar Nasional Indonesia, “SNI-1726-2013 - Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung”, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta, 2002 Dewobroto. W, “Evaluasi Kinerja Portal Baja Tahan Gempa Dengan SAP2000”, www.uph.edu.wiryantoo, 2006 Lumantarna, B. (TT), “Perkembangan Peraturan Pembebanan dan Perencanaan Bangunan Tahan Gempa”, Universitas Kristen Petra, Surabaya. Pranata , Y.A., dan Wijaya, P.K, “Kajian Daktilitas Struktur Gedung Beton Bertulang Dengan Analisis Riwayat Waktu dan Analisis Beban Dorong”, Jurnal Teknik Sipil, 8(3), 250 – 263, 2008 Wibowo, Purwanto, E., Yanto, D,”Menentukan Level Kinerja Struktur Beton Bertulang Pasca Gempa”, Media Teknik Sipil, X (1) ,49 – 54, 2010
185 ISBN 978-602-70361-0-9
Pengembangan Peta Hidrologi Daerah Aliran Sungai Cimahi Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) Ariani Budi Safarina*, Agus Juhara Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Jenderal Achmad Yani Jalan Terusan Jenderal Sudirman Cimahi 40531 * E-mail:
[email protected]
Abstract Cimahi water resource issues related to the destructive power of water such as floods have repeatedly occurred , especially at peak total rainfall . The floods inundated almost the entire Cimahi main road with puddles reaching an average height of 1 m and the impact on traffic jammed, damage to human residence and erosion in some locations such as pillars of bridges and river banks . The purpose of this research is to develop basic maps into a hydrology map of Cimahi watershed based on Geographic Information System (GIS). The method used in this research is overlapping base maps in such a scale of 1 : 25000 , with some points coordinate were measured at Cimahi river . Location of the study lies in Cimahi River located in Cimahi city, Bandung Regency and West Bandung Regency . The result of this study is the hydrology map of Cimahi Watershed based on GIS with six layers , namely topography , river network , land use and soil type, watershed boundary and hydrologic station . The map is useful as an analysis of water resources in Cimahi city, analysis of river water level , river discharge , river morphology and flood analysis. Keywords: flood, GIS, hydrology map, layer, rainfall
1. Pendahuluan Daerah aliran sungai (DAS) Cimahi dengan sungai utamanya sungai Cimahi, wilayahnya meliputi kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi dan kabupaten Bandung. Sungai Cimahi merupakan sungai terbesar di kota Cimahi dan mengalir dari daerah hulunya di situ Lembang kabupaten Bandung Barat, bagian tengah sungai melintasi kota Cimahi dan bagian hilir bertemu dengan sungai Citarum di kecamatan Margaasih kabupaten Bandung. Masalah sumberdaya air kota Cimahi yang cukup signifikan adalah banjir. Banjir di kota Cimahi sudah sering terjadi baik di daerah utara seperti Citeureup, Cipageran, maupun Cibabat, Cihanjuang dan Cibeber. Kedalaman banjir tersebut bisa menjapai setengah meter sehingga mematikan arus lalu lintas selama beberapa jam. Beberapa sumber mengatakan bahwa penyebab luapan air ini adalah karena terjadinya penyempitan badan sungai di daerah hulu karena pemukiman di sempadan sungai sehingga sungai tidak lagi mampu menampung debit yang terjadi. Di daerah utara luapan air juga berasal dari gorong gorong, sedangkan di daerah tengah dan selatan genangan di jalan raya utama terjadi karena tidak berfungsinya drainase lokal. Analisa sumberdaya air kota Cimahi merupakan bagian utama dari pengelolaan Kota Cimahi terutama penataan ruang dan wilayah. Rencana tata ruang kota yang merujuk pada rencana tata ruang wilayah Propinsi Jawa Barat, memerlukan peta kota yang proporsional skala dan kelengkapan data lainnya seperti topografi, jaringan sungai, stasiun curah hujan dan stasiun muka air sungai. Sungai sungai besar yang melintas kota Cimahi secara hidrolik tidak dapat menampung pengaliran overland flow bahkan terjadi overtopping dari sungai sehingga sebagian runoff menjadi genangan di lahan. Mekanisme runoff routing ini dapat dipelajari dengan detail apabila terdapat peta hidrologi DAS Cimahi dengan kelengkapan topografi spatial setiap titik dan data hidrologi real time sehingga dapat dianalisis secara simultan kondisi hidraulik dan hidrologis DAS setiap saat terutama pada kondisi total rainfall yang besar (Maitment, 1998). Banjir merupakan pengaruh menahun dari sebuah proses perubahan hidrolik saluran dan topografi, karena itu banjir ditanggulangi secara bertahap pula mulai dari identifikasi morfologi saluran, tataguna lahan, kondisi hidrologis yaitu curah hujan dan iklim, kondisi hidrolik yaitu pengukuran penampang sungai hingga penataan kembali morfologi saluran, tata ruang dan manajemen DAS yang terintegrasi antara aspek engineering dan aspek sosial seperti koordinasi antar stakeholder, partisipasi masyarakat, undang undang dan law inforcement nya. Untuk meminimalkan dampak bencana tersebut dibutuhkan suatu sistem informasi yang mampu memberikan data dan informasi kondisi sungai sebagai bagian penting dalam mekanisme runoff routing saat terjadi hujan. Untuk ini dibutuhkan sebuah peta hidrologi daerah aliran sungai dengan kelengkapan atributnya yaitu
186 ISBN 978-602-70361-0-9
kontur, jaringan sungai, dan posisi stasiun pengukur. Selain hidrologi DAS, juga dibutuhkan informasi hidrolika sungai yaitu penampang melintang sungai di beberapa cross section alur sungai. 2.
Metode
DAS dapat diasumsikan sebagai sistem linier lumped, jumlah air yang tersimpan dalam suatu sistem hydrologi dihubungkan dengan inflow dan outflow, dapat dituliskan dalam persamaan (1( sebagai berikut:
dS I Q dt Dimana S adalah sistem hydrologi, I inflow dan Q outflow. I(t)
S(t ) Q(t )
Gambar 1. Model Hidrologi Linier Karakteristik fisik utama dari suatu DAS adalah luas, bentuk, elevasi, kemiringan, orientasi, jenis tanah, jaringan saluran, kapasitas penampungan air dan tutupan lahan. Pengaruh jenis karakteristik tersebut berbedabeda. Jenis tanah dapat mengontrol infiltrasi, tampungan air permukaan, dan air dalam tanah. Pengaruh yang dikombinasikan dari semua faktor adalah klasifikasi untuk DAS kecil dan DAS besar. DAS besar adalah suatu DAS dengan pengaruh kapasitas penampungan dominan, sehingga pengaruh hujan terhadap penampungan ini kecil. DAS yang besar tidak sensitif terhadap variasi intensitas hujan hujan dan land use. Umumnya DAS besar mempunyai ukuran yang besar dengan sungai utama. DAS kecil dikontrol oleh aliran overland, land use, kemiringan dll, mempunyai variasi debit puncak yang sangat besar. Pengaruh kapasitas penampungan kecil, dan DAS sangat sensitif terhadap curah hujan, sehingga respon terhadapnya cepat. DAS di daerah rawa yang sedikit kecil, mempunyai karakteristik DAS seperti DAS besar. Tata guna lahan (landuse) suatu DAS nenunjukkan jenis permukaan atau tutupan lahan dari DAS tersebut. Permukaan lahan mempengaruhi banyaknya air yang terinfiltrasi ke dalam tanah, karena itu jenis permukaan lahan menjadi variabel penentu besarnya koefisien pengaliran atau koefisien limpasan (Sosrodarsono Suyono and Kensaku, 2003). Hundecha dkk (2004) mengklasifikasikan kelas land use dalam penelitiannya menjadi hutan, perkotaan dan pertanian. Soil Conservation Services, SCS (1975) menentukan kelas land use dan jenis tanah untuk mendapatkan besarnya runoff curve number (CN) yang digunakan dalam menghitung abstraksi (Hundecha Y. and Andras B, 2004 ). Dalam mekanika fluida, studi mengenai kesebangunan aliran fluida dari ukuran yang berbeda adalah unsur yang penting karena berkaitan dengan hasil dari studi model skala kecil sampai aplikasi prototipe skala besar. Dalam hidrologi, geomorfologi dari DAS, atau studi kuantitatif dari bentuk permukaan tanah, digunakan untuk mendapatkan ukuran kesebangunan geometri dalam DAS, khususnya dalam jaringan alirannya. Studi kuantitatif dari jaringan aliran dikembangkan oleh Horton (1945), dari Chow, 1988. Ia mengembangkan sistem untuk menyusun jaringan aliran dan menurunkan aturan yang berkaitan dengan nomor dan panjang aliran dari urutan yang berbeda. Sistem pengurutan aliran dari Horton, sedikit dimodifikasi oleh Strahler (1964), dari Chow pada Gambar 1
i=3 i=1
i=2
outlet
Gambar 2. Batas DAS dan Jaringan Sungai
187 ISBN 978-602-70361-0-9
Saluran terkecil diberi nomor orde 1. Aliran di saluran ini biasanya hanya pada musim basah. Pertemuan saluran orde 1, adalah hilir saluran orde 2. Secara umum, pertemuan saluran orde ke i adalah saluran orde i+1. Jika saluran dari orde yang lebih rendah bertemu dengan saluran dengan orde yang lebih tinggi, salurannya adalah dua orde lebih tinggi. Orde dari DAS ditandai sebagai orde dari outletnya yang merupakan orde tertinggi dalam DAS, I. Contoh gambar jaringan aliran dapat dilihat pada Gambar 2. Pengaliran air di permukaan DAS merupakan proses yang complicated, karena bervariasi dalam tiga dimensi ruang dan waktu. Dimulai ketika air tergenang di permukaan DAS, pada kedalaman yang cukup menghasilkan gaya retensi permukaan dan mulailah terjadi aliran. Air Permukaan adalah air yang tersimpan atau mengalir di permukaan bumi. Sistem air permukaan terdiri dari proses aliran di lahan (overland flow), limpasan permukaan (surface runoff), outflow dari aliran bawah permukaan (subsurface) dan air tanah (groundwater) dan limpasan (runoff) ke sungai dan laut. (Chow, 1988). Dua jenis aliran dapat dibedakan secara mendasar yaitu aliran di lahan (overland flow) dan aliran di saluran (channel flow). Aliran lahan mempunyai lapisan tipis dengan permukaan yang luas, sedangkan aliran saluran merupakan aliran di dalam saluran yang lebih sempit dan dalam lintasan yang terbatas. Pada DAS yang natural, aliran lahan merupakan awal mekanisme pengaliran air permukaan namun hanya dapat bertahan pada jarak yang pendek (sampai dengan 100ft) sebelum ketidakseragaman permukaan DAS memusatkan aliran pada saluran yang berlikuliku. Secara bertahap, dari saluran sungai sungai kecil ini bergabung ke saluran saluran yang terakumulasi ke arah hilir dan membentuk aliran di outlet DAS. Aliran air permukaan mengikuti prinsip prinsip kontinuitas dan momentum. Aplikasi prinsip prinsip tersebut untuk aliran unsteady tiga dimensi pada permukaan DAS memungkinkan hanya untuk kondisi yang sangat disederhanakan, sehingga asumsi yang digunakan adalah satu atau dua dimensi(Chow, 1988). Aliran pada dataran seragam dimana hujan jatuh dengan intensitas i dan laju infiltrasi yang terjadi adalah f. Dalam waktu ini seluruh aliran dalam kondisi steady. Ukuran dataran adalah dalam satuan lebar dan panjang L o, dengan sudut kemiringan terhadap horisontal, Ө, sehingga slope S o = tan Ө Persamaan kontinuitas untuk aliran steady dengan ρ konstan adalah
V .dA 0
(2)
cs
Waktu pengaliran suatu aliran dari suatu tutik pada DAS ke titik lainnya dapat dideduksi dari jarak aliran dan kecepatan. Jika dua titik dalam sungai berjarak L dan kecepatan sepanjang lintasan itu adalah v(l), maka waktu pengaliran t adalah L
dl v(l ) 0
t
(3)
Karena waktu pengaliran ke outlet DAS, hanya sebagian dari DAS yang mengkontribusi aliran permukaan pada setiap waktu t. Daerah yang mengkontribusi aliran dalam DAS, digambarkan dalam suatu mekanisme runoff routing, dapat dilihat pada Gambar 3. Jika hujan dengan intensitas konstan i mulai jatuh dan terus berlangsung lama , maka permukaan bagian dengan garis putus-putus t1 akan mengkontribusi debit sungai dalam DAS, demikian juga setelah t2, adalah permukaan dengan garis putus-putus t2. Batas t1 dan t2 tersebut disebut isokhron. Waktu dimana seluruh DAS mulai mengkontribusi debit, disebut waktu konsentrasi Tc, ini adalah waktu pengaliran dari titik terjauh ke outlet DAS. t2
t1
outlet
Gambar 3. Mekanisme Ruonoff Routing
188 ISBN 978-602-70361-0-9
Dalam analisa hujan di suatu DAS, hujan titik (point rainfall) dari stasiun hujan, dijadikan hujan rata-rata wilayah atau hujan wilayah. Metoda yang paling sederhana adalah metoda rata-rata aritmetik. Cara ini akan menghasilkan estimasi yang baik di daerah yang datar jika stasiun hujan terdistribusi seragam dan masing-masing stasiun tidak bervariasi terhadap rata-rata (Gupta Ram S, 1989). Metoda Thiessen mencoba mendapatkan hujan wilayah untuk distribusi tidak seragam dengan memberikan faktor pemberat pada setiap stasiun. Hasil dari methoda ini biasanya lebih akurat dari methoda aritmetik. Kekurangan methoda Thiessen adalah harus menentukan kembali jaringan segitiga jika terdapat perubahan pada jaringan stasiun.Cara ketiga adalah metoda isohiet, yaitu dengan menggunakan peta isohyet hujan pada peta topografi dengan interval 10mm sampai 20mm. Cara ini adalah cara rasional yang terbaik jika garis garis isohiet dapat digambar dengan teliti, tetapi jika titik titik stasiun banyak dan variasi hujannya besar, maka pada pembuatan peta isohiet ini akan terdapat kesalahan pribadi (individual error) pembuat peta (Sosrodarsono Suyono and Kensaku, 2003) . Ketiga metoda di atas dapat dilihat pada Gambar 4. o150
o150
o150 o100
o100
o250
o120
o120
o140
o100
o140
o130
o130
o100
o100
o100
o100 o125
Metoda Rata rata
o240
o130
o100 o220 o125
Metoda Thiessen
o325
Metoda Isohyet
Gambar 4. Curah Hujan Wilayah Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System disingkat GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola, menganalisa dan menampilkan informasi bereferensi geografis.Secara umum SIG bekerja berdasarkan integrasi 5 Komponen, yaitu: hardware, software, data, manusia dan metode. Salah satu faktor yang penting dalam analisis menggunakan SIG adalah tingkat kedetailan data,dalam SIG tingkat kedetailan data di lambangkan dengan skala data. Semakin detail skala data-nya maka data-nya pun akan semakin baik . Biasanya untuk penelitian dengan provinsi, menggunakan peta dengan skalan 1:50.000 Untuk penelitian ini, tingkat kedetailan data yang di pakai adalah menggunakan data-data peta dengan skala 1:25.000. Peta dengan skala 1:25.000 biasanya didapatkan dengan melakukan pendigitasian citra dari citra Landsat. Dari citra landsat ini, kita analisis secara visual .Dalam peta skala 1:25.000 data-data parameter fisik penunjang dapat diindentifikasi dengan cukup akurat, misalnya untuk sebaran sungai dan anak sungai dapat terlihat dengan sangat jelas. Hal ini karena penginterpretasian sungai dilakukan secara manual, yaitu dengan melakukan pedigitasian sungai diderah tersebut. Proses pendigitasian ini cukup memakan waktu yang lama, dikarenakan penginterpretasian sungai itu cukup sulit dilakukan, hal ini membutuhkan suatu keahlian dalam bidang remote sensing. Namun dibalik kerumitan tersebut, data yang akan kita dapatkan akan mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi, salah satu-nya adalah dalam perhitungan panjang sungai-sungai. Jika dibandingkan dengan perhitungan parameter fisik DAS dengan metode konvensional, contohnya adalah perhitungan panjang menggunakan benang/tali, perhitungan panjang sungai menggunakan SIG ini jauh lebih akurat dan efesien. Perhitungan panjang sungai dilakukan secara otomatis dari hasil pendigitasian sungai pada citra. Semakin baik kedetailan peta, maka tingkat keakurasian panjang sungai pun akan semakin baik. Pada penelitian ini digunakan peta dasar rupa bumi dalam format AUTOCAD skala 1:25000 yang didapat dari Bakosurtanal, yang kemudian diimport menjadi pata SIG, yang dioverlapkan dengan batas DAS Cimahi, jaringan sungai, stasiun curah hujan, stasiun muka air sungai, ketinggian, jenis tanah, lansuse dan profil penampang di beberapa cross section.
189 ISBN 978-602-70361-0-9
Studi Literatur
Pengumpulan Data
Data Primer -Pengukuran penampang melintang S.Cimahi -Pengukuran kecepatan aliran S.Cimahi
-Pembuatan penampang melintang S.Cimahi
Data Sekunder -Peta RBI 1:25000 -Peta existing S.Cimahi
-Overlapping peta RBI -Batas DAS.Cimahi -Input koordinat stasiun AWLR dan ARR
Luaran -Peta Hidrologi DAS Cimahi digital berbasis SIG dengan layernya : batas DAS, kontur, jaringan sungai, landuse, jenis tanah dan stasiun hidrologi
Gambar 5. Bagan Alir Penelitian 3.
Hasil dan Pembahasan Hasil dari penelitian ini adalah a. Penampang kali Cimahi di tiga lokasi utama yaitu bagian hulu di Curug Layung, bagian tengah di Kantor Pemkot Cimahi dan bagian hilir di Margaasih kabupaten Bandung b. Peta Digital DAS Cimahi dengan kelengkapannya adalah kontur, jaringan sungai, stasiun pengukuran Hidrologi, koordinat setiap titik dalam peta, tataguna lahan dan jenis tanah.
Peta Citra S.Citarum-
Gambar 6. Peta Citra Satelit DAS Cimahi
Gambar 7. Peta Kontur Ketinggian DAS Cimahi
190 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 8. Peta Landuse DAS Cimahi
Gambar 9. Peta Jenis Tanah DAS Cimahi
Peta di atas merupakan layer yang terdapat di dalam peta Hidrologi DAS Cimahi skala 1:25000. Jumlah layer dapat dikembangkan sesuai kebutuhan dan ketersedian data. Sebagai contoh, dapat di overlap kan juga batas administrasi kecamatan kota Cimahi. Penampang melintang sungai Cimahi di dua lokasi yaitu cross section A, dan B seperti yang ditunjukkan dalam peta di atas dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 10. Gambar Cross Section A S. Cimahi
Gambar 11. Gambar Cross Section B S. Cimahi
Penyempitan badan sungai terlihat dari penampang melintang A di lokasi hilir dengan lebar sungai 5,15 m menjadi 3.9 m di lokasi kantor Pemkot Cimahi. 4.
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini disimpulkan beberapa hal yaitu a. Peta hidrologi DAS Cimahi menggambarkan wilayah batas DAS, morfologi sungai, ketinggian, tata guna lahan, jenis tanah dan lokasi stasiun hidrologi sehingga dapat digunakan sebagai referensi yang penting dalam analisis sumberdaya air b. Penyempitan dimensi penampang melintang yang terjadi semkin besar ke arah hilir, dapat terlihat dengan jelas pada peta hidrologi sehingga dapat memberikan kontribusi dalam analisis banjir kota Cimahi.
191 ISBN 978-602-70361-0-9
Daftar Notasi I = inflow (m3/s) l = panjang sungai [km] Q = outflow (m3/s) V = kecepatan aliran (m/s) T = waktu (second) Daftar Pustaka Chow VT, Maidment, Mays L. W. (1988) : Applied Hidrologi, McGraw-Hill International Edition Sosrodarsono Suyono and Kensaku Hidrologi Untuk Pengairan (Pradnya Paramita, Jakarta, Indonesia, 2003). Hundecha Y. and Andras B, Modeling of the Effect of Land Use Changes on The Runoff Generation of a River Basin Trough Parameter Regionalization of a Watershed Model, , Journal of Hydrology, Institut of Hydraulic Engineering, University of Stuttgart, Germany, 292, 2004, 281-295. Gupta Ram S. (1989) : Hydrology and Hydraulic System, Prentice Hall New Jersey Gray, D.M. (1961) : Interrelationships of watershed characteristics, J. Geophys. Res.66 Agus Bejo: C & AVR; Rahasia Kemudahan Bahasa C dalam Mikrokontroller ATMega8535, Graha Ilmu, 2008 Andrew S. Tanenbaum, Maarten Van Steen: Distributed System, Principles and Paradigms, Pearson Prentice Hall, 2007. Curtis D. Johnson : Process Control Instrumentation Technology, Eighth Edition, Pearson Prentice Hall, 2006. Vygory Viva CR: Pemrograman Jaringan Dengan Visual Basic, Penerbit Gava Media, Yogyakarta. http://www.inilahjabar.com/read/detail/1798386/cimahi-terancam-banjir-dahsyat http://www.mediaindonesia.com/read/2011/11/18/277378/289/101/Banjir-Dahsyat-Ancam-Cimahi https://sites.google.com/site/banjiropenthinklabs/home/liputan-media-massa/jawa-barat/cimahi/cimahi-dihantuibanjir-longsor-dan-kebakaran
192 ISBN 978-602-70361-0-9
Otomatisasi Proses Desain dan Analysis Aerodinamika Saya Pesawat Terbang dengan Perangkat Lunak NWDU-VSAERO I Gusti Ngurah Sudira Program Studi Teknik Penerbangan Universitas Nurtanio Bandung Email:
[email protected]
Abstract This paper describe a method to create wing configuration and grid point on the wing surface automatically as an input for computational fluid dynamic (CFD) code. Nusantara Wing Design Utility (NWDU) is a software for creating an input of CFD code VSAERO in the form of panel system consist of basic input, grid point (wing coordinate) and wake point. The main performance of NWDU is creating wing configuration started from planform definition, and then airfoil installation, automatic mashing (panelling), until input preparation for VSAERO code. NWDU can be used to generate wing configuration as depicted by planform definition and wing profile modification as depicted by airfoil design or modification for the whole of wing section. Experiences said that most of the time consumption in design and analysis process of the wing, especially from aerodynamic point of view, was spent for geometrical definition including grid generation. CATIA, as a common drawing tool is still taking a lot of time for preparing wing geometry before executed by CFD code. Manual preparation of wing geometry using CATIA can be replaced by NWDU for supporting VSAERO to calculate aerodynamic characteristic of the wing. Planform parameters namely aspect ratio, taper ratio, sweep angle, kink location, and area can be isolated in generating wing configuration. Wing configuration with high lift devices can be generated as well by NWDU automatically. Some aerodynamic characteristic are demonstrated in corelation with a certain wing configuration. Keywords: NWDU, CFD, Otomatisation
1.
Pendahuluan
Dalam proses desain dan analisis sayap pesawat terbang atau computational fluid dynamic (CFD) sebagian besar waktu yang diperlukan adalah untuk mempersiapkan konfigurasi sayap dan juga titik-titik grid yang menyertainya. Konfigurasi sayap yang biasanya dipersiapkan dengan menggunakan perangkat lunak Computer Aided Three-dimensional Interactive Application (CATIA) membutuhkan waktu cukup lama sampai pada hasil yang siap dieksekusi oleh program CFD. Program CFD dalam hal ini VSAERO yang dibuat berdasarkan metode panel hanya membutuhkan grid berupa titik-titik koordinat di permukaan sayap atau sering disebut dengan surface grid, sebagaimana dilukiskan dalam Gambar 1. Dengan menggunakan CATIA, waktu pembentukan planform dan surface sayap serta sistem paneling untuk masukan program VSAERO membutuhkan waktu cukup lama dan cukup melelahkan. Hal ini menjadi masalah selama berlangsungnya proses perancangan sayap, karena bidang aerokonfigurasi menempatkan posisi awal urutan desain sayap. Data aerodinamik menjadi masukan bidang-bidang lainnya terutama kelompok desain struktur sayap dan juga untuk kepentingan perhitungan beban yang dapat dipikulnya. Image courtesy of Analytical Methods, Inc.
(a) Grid permukaan sayap
(b)
Simulasi aliran hasil VSAERO
Gambar 1 Ilustrasi Titik-titik hrid pada permukaan sayap dan simulasi aliran pada konfigurasi penuh pesawat terbang, [Kroo Ilan]
193 ISBN 978-602-70361-0-9
Perangkat lunak NWDU VSAERO dapat digunakan untuk desain dan analisis aerodinamika sayap. Desain yang dimaksud adalah membuat konfigurasi sayap dalam suatu bentuk tertentu yang diwakili oleh titik-titik koordinat permukaan sayap. Analisis adalah menghitung karakteristik aerodinamika sayap dengan program CFD dari suatu konfigurasi yang telah didefinisikan. Metode otomatisasi desain dan analisis aerodinamika sayap utamanya terletak pada usaha untuk mengganti peran CATIA dalam menyiapkan konfigurasi sayap dan proses pembuatan titik-titik grid sebagai data masukan program CFD. Proses pembuatan konfigurasi sayap dan titik-titik grid permukaan sayap secara manual dengan CATIA akan diganti dengan program NWDU yang dapat dilakukan dengan cara otomatis. Hasil NWDU sudah disesuaikan dengan kebutuhan masukan program VSAERO sehingga proses pembuatan geometri sayap dan proses perhitungan karakteristik aerodinamikanya dapat dilakukan secara simultan. Manfaat utama yang diperoleh dari proses otomatisasi desain dan analisis aerodinamika ini adalah berkurangnya waktu yang dibutuhkan untuk proses desain sayap secara aerodinamika. Makin kompleks sayap di desain atau makin banyak variabel desain yang dioptimasi maka efisiensi waktu yang diperoleh dari metode ini akan semakin besar. Dengan menggunakan metode ini, disamping efisiensi waktu yang diperoleh, juga memberikan kemudahan bagi perancang sayap untuk menyiapkan geometri sayap yang diperlukan oleh program CFD. Dengan metode yang diperkenalkan ini, permasalahan yang dapat dikaji sehubungan dengan proses desain dan analisis aerodinamika sayap dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok kasus yaitu pertama menyangkut bentuk planform dan yang kedua menyangkut bentuk profil sayap. Beberapa parameter planform yang biasa dikaji sehubungan dengan bentuk planform yaitu aspek rasio, taper rasio, sudut sweep, luas planform dan lokasi tekukan (kink) yang akan membentuk yehudi pada bagian trailing edge dan membentuk glove pada bagian leading edge sebagaimana dilukiskan dalam Gambar 2. Masih tentang bentuk planform, khusus di bagian ujung sayap juga sering menjadi topik kajian baik dalam konteks memperpanjang planform (wing tip extention) maupun membentuk winglet. Pengaruh perubahan taper rasio dan aspek rasio masing-masing terhadap bentuk beban aero sepanjang span dan slope koefisien gaya angkat dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4
-2 -1
0 1
2
==> x
3
4 5
6 7
8 9
10 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
==> y
Gambar 3 Distribusi Lift Pada CL=1 untuk Sayap Lurus dengan Variasi Taper Ratio dari 0.0 sampai dengan 1.0, [Torenbeek, 1982]
Gambar 2 Contoh Bentuk Planform dengan Yehudi dan Glove, [Sudira, 2011].
0.20 wing with Modified Apex Location 0.15
basic wing
0.10
==> z
0.05
0.00 -0.05
-0.10 -0.15
-0.20 8.40
Gambar 4 Distribusi Lift terhadap sudut serang untuk Aspek Rasio yang berbedabeda, [Hurt, 1965]
8.60
8.80
9.00
9.20
9.40
9.60
9.80
10.00
== > x Fig.6.1c Apex Location Modification, Rear 10.%-C Apex Untwisted Wing, Profile = Naca0012, y= 16.58312 (tip)
Gambar 5 Contoh Profil Sayap dengan Lokasi Apex Berbeda, [Sudira, 2011].
194 ISBN 978-602-70361-0-9
Studi tentang profil sayap merupakan langkah awal dan strategis untuk menentukan level teknologi aerodinamika yang akan diterapkan dalam proses desain sayap. Profil sayap dalam bentuk dua dimensi dikenal dengan istilah aerofoil yang sering menjadi topik riset menarik untuk memperoleh aerofoil dengan gaya angkat (L) yang setinggi-tingginya dan gaya tahan (D) yang serendah-rendahnya, atau perbandingan L/D yang maksimal. Dalam proses iterasi perancangan aerodinamika sayap, aerofoil atau profil sayap ada kalanya diubah sesuai dengan kesesuaian lokasi dan bentuk aerofoil sepanjang span (b), sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1.5 yang mengalami perubahan lokasi apex. Beberapa variabel lain yang sering mengalami perubahan sehubungan dengan profil sayap yaitu rasio ketebalan, sudut serang lokal atau dikenal dengan istilah twist, camber, nose radius, dan lain sebagainya. Semua parameter dan variabel desain tersebut di atas akan menghabiskan waktu banyak jika tidak didukung dengan perangkat desain yang dapat beroperasi secara otomatis. 2.
Metode
Langkah otomatisasi dalam desain dan analisis aerodinamika sayap diawali dengan kemampuan perangkat lunak NWDU untuk mendefinisikan bentuk planform apakah dalam bentuk planform referensi atau planform aktual sebagaimana dilukiskan dalam Gambar 6. Planform referensi dibutuhkan untuk mengantisipasi terjadinya modifikasi planform aktual ketika proses desain sayap sedang berlangsung. Beberapa parameter yang memiliki besaran sama antara planform referensi dan planform aktual yaitu sudut sweep di ¼ chord, luas planform (S), aspect ratio (AR) dan panjang chord di ujung (Ct), sementara panjang chord di root (Cr) bisa berubah. Formula yang diterapkan untuk menghasilkan koordinat planform adalah: 2
AR =
b S
TR =
Ct Cr
-4
(1)
(2)
Planform Aktual -2
Garis sudut sweep (1/ 4 Chord Outboard)
-2.00
Planform Referensi TR dihitung dari luasan trapesium
0 0.00
S = 80
Meter Persegi
S = 100 Meter Persegi
2 2.00
S = 120 Meter Persegi
Croot 4.00
Inboard sudut sweep
Outboard
6
==> X
4
6.00
8
8.00
Ctip Batas Inboard dan Outboard 10.00
10
12.00
12 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Gambar 6. Hubungan Planform Aktual dan Referensi [Sudira, 2001]
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00
==> b/ 2 Gambar 4.1a Perbandingan Planform Akibat Perubahan Area AR = 12, TR = 0.35, Sweep(1/ 4C)=25 deg., Kink=6.25
Gambar 7. Perubahan bentuk planform akibat perubahan parameter luas, dimana AR=12; TR=0.35; sweep= 25o; kink=6,25 m, [Sudira, 2001]
Setelah planform terdefinisi dan juga aerofoil telah ditentukan sesuai dengan target performa yang diharapkan maka instalasi aerofoil ke dalam planform akan dikerjakan secara otomatis oleh NWDU yang sekaligus menciptakan panel input yang siap dieksekusi oleh VSAERO. Pada waktu instalasi aerofoil ini sudut dihedral dapat ditentukan di setiap segmen sayap sepanjang span. Dengan metode ini, dapat diteliti pengaruh parameter atau variabel desain satu persatu secara terisolasi dengan menetapkan parameter atau variabel desain yang lain sebagai konstanta. Sebagai contoh untuk meninjau hanya pengaruh perubahan luas planfrom maka parameter yang lain yaitu aspek rasio, taper rasio, sudut sweep, dan lokasi kink dapat dibuat tetap sebagaimana dilukiskan dalam Gambar 7. Begitu pula kalau pengaruh parameter yang lain yaitu aspek rasio, taper rasio (TR), sudut sweep, dan lokasi kink dapat dilakukan dengan cara yang sama, dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 8a-8d. Jumlah dan lokasi section sayap sepanjang span yang diwakili oleh koordinat profil sayap dapat ditentukan sesuai kebutuhan, biasanya berbeda untuk setiap program CFD. Interpolasi arah chord dan span dapat dilakukan untuk menentukan jumlah titik koordinat yang membentuk grid pada permukaan sayap. Distribusi twist, ketebalan dan lokasi apex profil sayap sepanjang span dapat ditentukan menurut kebutuhan desain. Pusat twist sepanjang chord untuk setiap profil sayap dapat ditentukan sesuai dengan pertimbangan
195 ISBN 978-602-70361-0-9
menyeluruh aspek desain sayap. Ketebalan profil sayap dapat diubah berdasarkan referensi garis chord dan garis camber. -2.00 -2.00
-2.00
0.00
0.00
kink = 0. M
sweep = 30 deg.
2.00
kink = 3. M
sweep = 40 deg.
TR = 0.35
2.00
TRdihitung dari luasan trapesium
sweep = 20 deg.
TR = 0.30
AR = 10
kink = 6.25 M
2.00
AR = 12
4.00
4.00
6.00
4.00
==> X
6.00
==> X
==> X
4.00
==> X
2.00
0.00
TR = 0.25
AR = 8
-2.00
TR dihitung dari luasan trapesium
TR dihitung dari luasan trapesium
TR dihitung dari luasan Trapesium
0.00
8.00
6.00
6.00
10.00
8.00
8.00
8.00 12.00
10.00
10.00
10.00
12.00
14.00
0.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00
0.00
2.00
4.00
6.00
==> b/ 2 Gambar 4.1b Perbandingan Planform Akibat Perubahan Aspect Ratio (AR) S = 110 Sq. M, TR = 0.35, Sweep(1/ 4C)=25 deg., Kink=6.25 M
12.00
16.00
12.00 2.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
==> b/ 2 Gambar 4.1c Perbandingan Planform Akibat Perubahan Taper Ratio (TR) S = 110 Sq.M, AR = 10, Sweep(1/ 4C)=25 deg., Kink=6.25 M
18.00
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
18.00
20.00
==> b/ 2 Gambar 4.1d Perbandingan Planform Akibat Perubahan Sudut Sweep S = 110 Sq. M, AR = 10, TR = 0.35, Kink=6.25 M
2.00
0.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
(a) (b) (c) (d) Gambar 8 Perubahan bentuk planform akibat perubahan parameter ; (a) aspek rasio, (b) taper rasio, (c) sudut sweep, dan (d) lokasi king [Sudira, 2001]
Di samping dapat membangun sayap dalam kondisi clean (cruise), NWDU juga dapat membangun sayap yang dilengkapi high lify devices (HLD) dengan kombinasi segmen sepanjang span sebagaimana dilukiskan dalam Gambar 9 dan 10. Jumlah komponen HLD arah chord termasuk sudut defleksinya dan jumlah segmen sayap arah span dapat ditentukan sesuai dengan kebutuhan desain. Waktu yang dibutuhkan untuk membangun sayap lengkap dengan HLD, yang siap untuk dihitung dengan program CFD jauh lebih banyak dibandingkan dengan kondisi clean. Dengan demikian proses otomatisasi NWDU dapat memberikan efisiensi waktu yang siginifikan dalam proses pembentukan konfigurasi sayap dengan HLD.
Gambar 9 Potongan sayap dengan HLD 2 segmen
Gambar 10 Potongan sayap dengan HLD 4 segmen
NWDU adalah perangkat lunak yang dibuat dalam rangka mempercepat proses perancangan sayap dari aspek aerodinamika. Permukaan sayap (wing surface) yang biasanya dibuat secara manual menggunakan CATIA diganti dengan NWDU yang beroperasi secara otomatis untuk menghasilkan data masukan program CFD VSAERO. Karena itu, dapat dilakukan simulasi untuk inovasi dengan mengubah geometri sayap pesawat terbang sesuai pengalaman dan kepekaannya untuk menghasilkan bentuk sayap yang sesuai tanpa harus ketergantungan dengan spesialis pengguna CATIA.. Manfaat lain menggunakan NWDU adalah untuk menjaga konsistensi hasil panelling dan menghindari kesalahan karena faktor kelelahan atau kejenuhan bagi pengguna CFD. 3.
Hasil dan Pembahasan
Untuk menunjukkan suatu siklus desain dan analisis aero-konfigurasi sayap, ditampilkan konfigurasi sayap tertentu hasil NWDU, lengkap dengan hasil perhitungan karakteristik aerodinamikanya pada Gambar 11. Tidak semua performa NWDU dapat dibahas dalam penelitian ini. Performa NWDU juga telah disampaikan dalam penelitian terdahulu (Sudira, 2011) . Konfigurasi sayap basic yang diberi kode W2SC yang menggunakan aerofoil SC20712 dan ketebalan sama serta tanpa twist sepanjang span dengan besaran parameter planform sebagai berikut: Luas = 82,8 m2 , AR = 8,135, TR = 0,31, sudut sweep = 25,10 , dan lokasi kink = 3,6 m. dilukiskan pada Gambar 11. Konfigurasi W2SC-TC adalah W2SC yang ketebalannya (t/c) diubah sepanjang span; W2SC-TW adalah W2SC-TC yang dikenakan sudut twist serta W2SC-SEC merupakan W2SC-TW yang mengalami pergantian profil pada lokasi pangkal sayap dan kink. Hasil koefisien tekanan untuk konfigurasi sayap W2SC dan W2SC-TC adalah sebagaimana dilukiskan pada Gambar 11. Perubahan distribusi ketebalan untuk W2SC-TC sebagaimana pada Gambar 13 memberikan perubahan koefisien tekanan yang hampir bersifat lokal. Perubahan yang paling signifikan terjadi pada daerah pangkal sayap sebagaimana tampak pada Gambar 11a. Distribusi koefisien lift (Cl) dan aero-load (Cl*c/CL*Cavg) menunjukkan perbedaan yang siginifikan antara W2SC dan W2SC-TC, terutama di pangkal sayap sebagaimana pada Gambar 12.
196 ISBN 978-602-70361-0-9
18.00
b/ 2 Gambar 4.1e Perbandingan Planform Akibat Perubahan Lokasi Kink S = 110 Sq. M, AR = 10, TR = 0.35, Sweep(1/ 4C)=25 deg.
Perbedaan cukup signifikan terjadi ketika W2SC-TC diubah distribusinya twist nya sebagaimana dilukiskan pada Gambar 16. Pengaruh perubahan sudut twist terhadap koefisien tekanan (Gambar 14) dan lift ( Gambar 15) masih bersifat lokal. Perbedaan siginifikan terjadi pada pangkal dan ujung sayap, yang mengalami perubahan nilai cukup signifikan akibat perubahan sudut serang lokal. Seperti halnya kasus dua dimensi, berlaku juga untuk kasus sayap yang memberikan nilai Cl yang lebih besar ketika sudut serang lokal ditingkatkan atau sebaliknya. Hal ini berguna untuk mengatur bentuk beban aerodinamik sepanjang span yang akan berpengaruh terhadap kekuatan struktur. Bentuk beban yang cenderung eliptik lebih diharapkan oleh bidang desain aerodinamik, sementara bagi bidang desain struktur bentuk beban yang cenderung segitiga yang lebih diharapkan. -0.80
-1.20
-1.60
-1.60
-1.40 -1.00
W2SC (basic)
-0.60
-1.40
W2SC (sayap awal)
W2SC_TC (perubahan t/c)
W2SC (basic)
W2SC_TC (hasil perubahan t/c)
W2SC (basic)
W2SC_TC (perubahan t/c)
-1.20
W2SC_TC (perubahan t/c)
-1.20
-0.80 -0.40
-1.00
-1.00
-0.60
-0.80
-0.80
-0.20 -0.60
==> Cp
0.00
-0.60
==> Cp
==> Cp
==> Cp
-0.40
-0.40
-0.20
-0.40
-0.20
0.00
-0.20
0.20
0.00
0.00
0.20
0.40
0.20
0.20
0.40 0.40
0.40
0.60 0.60 0.60
0.80
0.80 0.20
0.00
0.60
0.40
1.00
0.80
0.60
0.80 0.20
0.00
0.60
0.40
==> x
1.00
0.80
0.80 0.20
0.00
0.60
0.40
==> x
1.00
0.80
0.00
0.20
0.60
0.40
==> x
0.80
1.00
==> x
(a) (b) (c) (d) Gambar 11 Perbandingan koefisien tekanan konfigurasi W2SC dan W2SC-TC yang diambil pada lokasi 2y/b sebesar: (a) 0,03 ; (b) 0,32 ; (c) 0,68 ; dan (d) 0,99
1.00
2.00 Distribusi Cl sepanjang span pada CL=0.5
0.90
0.80
W2SC_TC (perubahan t/c)
Sayap W2SC_TC 0.15
1.20
0.50
0.14
1.00
0.80
0.40
0.13
0.60
0.30
Sayap W2SC
0.16
W2SC_TC (perubahan t/c)
==> t/ c
==> Cl
0.60
Modifikasi distribusi ketebalan sayap W2SC
0.17
W2SC (basic)
1.40
==> Cl*c/CL*CBAR
0.70
0.18 Distribusi Cl sepanjang span pada CL=0.5
1.80
1.60
W2SC (Basic)
0.12
0.40
0.20
0.11
0.20
0.10
0.10
0.00
0.00 0.00
2.00
6.00
4.00
8.00
10.00
14.00
12.00
2.00
0.00
6.00
4.00
10.00
8.00
2.00
0.00
14.00
12.00
(a)
4.00
10.00
8.00
12.00
14.00
==> Y
(b) Gambar 13 Perbandingan t/c antara W2SC dan W2SC-TC
Gambar 12 Distribusi: (a) Cl dan (b) Cl*c/CL*Cavg antara W2SC dan W2SC-TC -0.80
-1.20
-1.60
-1.60 -1.40
-1.40 -1.00
W2SC_TC (perubahan t/c)
-0.60
6.00
Gambar 5.4b Perbandingan Distribusi ketebalan Sayap W2SC dan W2SC_TC
==> Y
==> Y
W2SC_TW (perubahan twist)
W2SC_TC (perubahan t/c)
W2SC_TC (perubahan t/c)
W2SC_TC (perubahan t/c) W2SC_TW (perubahan twist)
W2SC_TW (perubahan twist)
-1.20
W2SC_TW (perubahan twist)
-1.20
-0.80 -0.40
-1.00
-1.00 -0.60
-0.80
-0.80 -0.20
-0.60
==> Cp
0.00
-0.60
==> Cp
==> Cp
==> Cp
-0.40
-0.40
-0.40
-0.20
-0.20
-0.20
0.00 0.20
0.00
0.00 0.20
0.40
0.20
0.20
0.40 0.40
0.40 0.60 0.60
0.60
0.60
0.80
0.80 0.00
0.20
0.60
0.40
0.80
1.00
0.20
0.60
0.40
==> x
(a)
0.80
0.80 0.00
0.80
1.00
0.00
0.20
==> x
(b)
0.60
0.40
0.80
1.00
0.00
0.20
(c)
0.60
0.40
0.80
1.00
==> x
==> x
(d)
Gambar 14 Perbandingan koefisien tekanan konfigurasi W2SC-TC dan W2SC-TW yang diambil pada lokasi 2y/b sebesar: (a) 0,03 ; (b) 0,32 ; (c) 0,68 ; dan (d) 0,99
197 ISBN 978-602-70361-0-9
2.00 1.00
1.60
0.80
W2SC_TC (hasil perubahan t/c)
W2SC_TC (hasil perubahan t/c)
W2SC_TW (hasil perubahan twist)
1.40
W2SC_TW (hasil perubahan twist) ==> Cl*c/CL*CBAR
0.70
6.00
1.20
0.60 0.50
W2SC (sayap awal) W2SC_TW (hasil perubahan twist)
4.00
1.00
0.80
0.40
==> sudut twist (derajat)
==> Cl
Distribusi Cl sepanjang span pada CL=0.5
1.80
Distribusi Cl sepanjang span pada CL=0.5
0.90
0.60
0.30
0.40
0.20
0.20
0.10
0.00
0.00 2.00
0.00
6.00
4.00
10.00
8.00
14.00
12.00
2.00
0.00
6.00
4.00
==> Y
10.00
8.00
14.00
12.00
2.00
0.00
-2.00
Lokasi Cp
==> Y
-4.00
(a)
(b)
-6.00 2.00
0.00
6.00
4.00
10.00
8.00
14.00
12.00
==> y
Gambar 5.5b Perubahan Distribusi Twist Sayap W2SC Sepanjang Span
Gambar 16 Perbandingan sudut twist antara W2SC-TC dan W2SC-TW
Gambar 15 Distribusi: (a) Cl dan (b) Cl*c/CL*Cavg antara W2SC-TC dan W2SC-TW
-1.20
-1.60
-1.20
-1.60
-1.40
-1.00
-1.40
W2SC_TW (perubahan twist)
-1.00
W2SC_TW (perubahan twist)
W2SC_SEC (perubahan profil inboard)
-1.20
-0.80
W2SC_TW (perubahan twist)
W2SC_TW (perubahan twist)
-1.20
W2SC_SEC (perubahan profil inboard)
-1.00
W2SC_SEC (perubahan profil inboard)
W2SC_SEC (perubahan profil inboard)
-0.80
-1.00
-0.60
-0.60
-0.80
-0.80
-0.40
-0.40 ==> Cp
-0.20
-0.40
-0.40
-0.20
0.00
==> Cp
-0.60
==> Cp
==> Cp
-0.60
-0.20
0.00
-0.20
0.00
0.00
0.20
0.20 0.20
0.20
0.40
0.40 0.40
0.40
0.60
0.60 0.60
0.80
0.60
0.80
0.00
0.20
0.60
0.40
1.00
0.80
0.80
0.80 0.00
0.20
0.60
0.40
==> x
1.00
0.80
0.20
0.00
0.40
==> x
(a)
0.60
0.80
1.00
0.00
0.20
(b)
(c)
0.60
0.40
0.80
1.00
==> x
==> x
(d)
Gambar 17 Perbandingan koefisien tekanan konfigurasi W2SC-TW dan W2SC-SEC yang diambil pada lokasi 2y/b sebesar: (a) 0,03 ; (b) 0,32 ; (c) 0,68 ; dan (d) 0,99
1.00
2.00 Spanload pada CL=0.5
0.90
0.80
Spanload pada CL=0.5
1.80
W2SC_TW(perubahan twist)
W2SC_TW (perubahan twist)
1.60
W2SC_SEC (perubahan profil sayap)
W2SC_SEC (perubahan profil sayap) 1.40
==> Cl*c/CL*CBAR
0.70
==> Cl
0.60
1.20
0.50
0.40
1.00
0.80
0.30
0.60
0.20
0.40
0.10
0.20
0.00
0.00 0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
==> Y
(a)
14.00
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
==> Y
(b)
Gambar 20 Garis Isobar W2SCSEC
Gambar 19 Profil sayap W2SCSEC Secara umum aerofoil hasil desain atau seleksi hanya ditempatkan pada posisi aliran quasi dua dimensi yaitu kira-kira di 70% span sayap. Pada lokasi yang lain boleh jadi menggunakan aerofoil yang berbeda sama sekali dengan aerofoil hasil seleksi (Gambar 19). Untuk langkah desain sayap ini sering kali harus mengganti profil sayap sepanjang span untuk memperoleh performa aerodinamik sayap yang optimum. Koefisien tekanan W2SCSEC mengalami perubahan hampir di seluruh permukaan sayap dibandingkan dengan W2SC-TW walaupun yang diganti hanya di pangkal sayap dan kink, (Gambar 17). Perbedaan yang signifikan juga ditunjukkan untuk nilai Cl dan Cl*c/CL*Cavg sepanjang span, (Gambar 18). Para desainer aerodinamik mengharapkan garis isobar yang lurus sepanjang span mengikuti prosentase chord yang sama, (Gambar 20). Gambar 18 Distribusi: (a) Cl dan (b) Cl*c/CL*Cavg antara W2SC-TW dan W2SC-SEC
198 ISBN 978-602-70361-0-9
4. Kesimpulan NWDU memiliki peranan penting dalam mempercepat proses iterasi desain dan analisis aerodinamika sayap. Makin banyak variabel desain yang dikaji makin signifikan peranan NWDU dalam mempermudah para pangguna dibidang desain aerodinamika sayap. Output NWDU telah disesuaikan dengan input VSAERO sehingga kedua perangkat lunak ini dapat dijalankan secara simultan. Ucapan Terimakasih Terimakasih kepada bapak Wawan Hermawan dan Suprayitno, atas usahanya dalam mendukung terciptanya perangkat lunak NWDU. Semoga hasil karya ini berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan dibidang kedirgantaraan Indonesia. Daftar Pustaka Hurt H.H., 1965, Aerodynamics for Naval Aviators, University of Southern California, Issued by The Office of The Chief of Naval Operations Aviation Training Division, Revised January 1965; Kroo Ilan, Applied Aerodynamics, A Digital Textbook, Stanford University,
[email protected], P.O. Box 20384, Stanford, CA 94309, (650) 424-8588 (Phone); Sudira IG.N., 2001, Aerodynamics Wing Design Utility Program, Tesis Magister Program Studi Teknik Penerbangan Program Pasca Sarjana Istitut Teknologi Bandung; Sudira IG.N., 2011, Pengaruh Penambahan Glove Dan Pengurangan Yehudi Serta Pergeseran Lokasi Apex Terhadap Karakteristik Aerodinamika Sayap Pesawat Terbang, Jurnal Teknologi Dirgantara, Lapan, Vol. 9 No.2, Desember 2011, ISSN 1412-8063; Torenbeek E., 1982, Synthesis of Subsonic Airplane Design, Delft University Press, Martinus Nijhoff Publishers;
199 ISBN 978-602-70361-0-9
D. BIDANG INFORMASI DAN KOMUNIKASI
200 ISBN 978-602-70361-0-9
Klasifikasi Tingkat Kelelahan Berdasarkan Sinyal Electroencephalogram (EEG) Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation Ahmad Arif*, Esmeralda C. Djamal Program Studi Informatika FMIPA UNJANI *Email :
[email protected]
Abstract Elektroencephalogram (EEG) is an bio-electricity information activity that occurs in the brain so that it can reflect a state of mind and other brain activity. EEG signal is not stationary, it has a small amplitude and do not have a certain standard pattern, so the processing becomes difficult. Several studies have been conducted for the classification of EEG signals. This research builds a classification system based on the EEG signals tired and not tired using wavelet extraction and Artificial Neural Network (ANN) with backpropagation learning method. The use of wavelet extraction with filters Daubechies4 intended to reduce noise EEG signals are mixed into the wave theta, alpha, and beta which is a review of classification research. Classification of EEG signals is used to couple the channel C3-C4 and O1-O2. The results showed the use of wavelets can improve classification accuracy of 49,48% without the use of wavelets to 38,02% after using wavelets. With the EEG signal classification systems using wavelets and ANN back propagation obtained an accuracy of 48,44% in the C3-C4 channel and 49,48% for channel O1-O2. Classified system has been applied in the software so easy to public used. Keywords : EEG signals, backpropagation, wavelet, daubechies 4.
1.
Pendahuluan
Elektroencephalogram (EEG) adalah instrumen yang menggambarkan aktivitas listrik di otak. Di dunia kesehatan EEG digunakan antara lain untuk diagnosa penyakit yang berhubungan dengan kelainan otak dan kejiwaan. Sementara aplikasi lebih luas dari EEG adalah untuk mendeteksi pola pikiran atau kondisi mental seseorang. Pengamatan visual secara langsung sangat sukar mengingat amplitudo sinyal EEG demikian rendah dan polanya yang sangat kompleks. Sinyal EEG terdiri dari komponen-komponen gelombang yang dibedakan berdasarkan daerah frekuensinya, yaitu gelombang alfa (8 – 13 Hz) yang dominan muncul dalam keadaan sadar, mata tertutup dan kondisi rileks; gelombang beta (14 – 30 Hz) dominan muncul pada saat seseorang berfikir; gelombang teta (4 – 7 Hz) umumnya dominan muncul pada saat seseorang yang sedang tidur ringan, mengantuk atau stress emosional, contoh sinyal EEG dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Sinyal EEG Penelitian sinyal EEG menggunakan transformasi wavelet antara lain untuk klasifikasi terhadap rangsangan suara (Djamal dkk., 2005), penelitian lain melakuakan klasifikasi sinyal EEG terhadap rangsangan visual (Hindarto., 2013), ketepatan klasifikasi dengan menggunakan wavelet sebesar 53.33%, penelitian lain melakukan pengenalan sinyal EEG menggunakan pembelajaran Jaringan Syaraf Tiruan (JST) ketepatan klasifikasi sistem sebesar 80%, penelitian lain melakukan kalsifikasi EEG terhadap 4 (empat) kondisi menggunakan Koefisien Regresi dan JST ketepatan klasifikasi sebesar 51%. Pada penelitian ini akan melakukan klasifikasi sinyal EEG terhadap 2 (dua) kondisi, yaitu lelah dan tidak lelah. Pemilihan metode yang sesuai untuk pra proses dan pembelajaran akan memaksimalkan ketepan sistem dalam melakukan proses klasifikasi, penelitian ini menggunakan metode wavelet dan pembelajaran menggunakan backpropagation dengan jumlah input 280 dan 1 hidden layer dengan jumlah neuron 100 diambil kurang lebih
201 ISBN 978-602-70361-0-9
setengah dari jumlah neuron pada input layer dan 2 neuron pada lapisan output. Pada penelitian ini dilakukan proses perekaman sinyal selama 8 menit untuk satu sesi perekaman dengan frekuensi sampling 256 Hz, sehingga jumlah data untuk satu sesi perekaman adalah 122880. Hasil perekaman dibagi tiap 5 detik, maka untuk satu sesi perekaman menghasilkan 96 data dengan masing-masing data berjumlah 1280, seperti ditunjukkan pada Gambar 2 dan hasil segmentasi sinyal dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2. Proses Segmentasi
Gambar 3. Sinyal EEG segmentasi ke-1 Sinyal EEG yang akan ditransformasi menggunakan wavelet dilakukan proses segmentasi terlebih dahulu, dengan melakukan segmentasi setiap 5 detik. Wavelet merupakan metode yang dilakukan untuk mengkonversi suatu fungsi atau sinyal ke dalam komponen frekuensi yang berbeda, proses yang dilakukan untuk memperoleh sinyal dengan frekuensi adalah dengan melakukan dekomposisi wavelet yaitu dengan melewatkan koefisien pada suatu filter melalui sub sampling. Proses untuk mendapatkan frekuensi teta, alfa dan beta pada sinyal EEG tidak dapat diperoleh hanya dengan menggunakan dekomposisi wavelet, proses ekstraksi sinyal dilakukan dengan dengan menggunakan dekomposisi paket wavelet yang merupakan perluasan dari dekomposisi wavelet yang memberikan kemungkinan lebih banyak untuk melakukan analisis pada sinyal EEG tersebut. Perbedaan dari dekomposisi wavelet dengan dekomposisi paket wavelet adalah dari segi sinyal yang didekomposisinya, untuk dekomposisi wavelet sinyal yang didekomposisi untuk level berikutnya adalah sinyal hampirannya atau aprosimasi sedangkan sinyal detail tidak didekomposisi lagi, sedangkan untuk dekomposisi paket wavelet sinyal detail juga didekomposisi untuk proses dekomposisi level berikutnya sehingga jumlah sinyal 𝑛−1 pada level ke-𝑛 ada 22 sinyal yang dihasilkan dari dekomposisi paket wavelet. Pada proses dekomposisi terdapat 2 proses yang dilakukan yaitu konvolusi dan downsampling, konovolusi adalah proses melewatkan koefisien terhadap suatu filter. Filter yang digunakan pada penelitian ini adalah daubechiees4 dengan nilai masing-masing koefisiennya low-pass filter pada Persamaan (1): ℎ0 =
1+√3 4√2
, ℎ1 =
3+√3 4√2
, ℎ2 =
3−√3 4√2
, ℎ3 =
1−√3
(1)
4√2
Low-pass filter merupakan filter yang digunakan untuk menyaring suatu sinyal terhadap filter rendahnya, selain low-pass proses dekomposisi juga melewatkan sinyal terhadap sinyal tinggi yang biasa disebut high-pass filter dengan masing-masing koefisien pada Persamaan (2):
𝑔0 =
1−√3 4√2
, 𝑔1 = −
3−√3 4√2
, 𝑔2 =
3+√3 4√2
, 𝑔3 = −
1+√3 4√2
(2)
Setelah melewatkan sinyal terhadap frekuensi rendah dan tinggi, sinyal asli dihilangkan beberapa tergantung faktir yang digunakan sehingga panjang sinyal setelah dekomposisi sinyal berkurang setengahnya.
202 ISBN 978-602-70361-0-9
Untuk lebih detailnya proses dekomposisi dapat dilihat pada Gambar 4 dan untuk hasil dari transformasi wavelet dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 4. Dekomposisi Paket Wavelet
Gambar 5. Hasil transformasi wavelet 2.
Metode
Penelitian ini menggunakan data masukan berupa sinyal EEG yang sudah dalam bentuk digital yang disimpan dalam format text (.txt). pembelajaran yang digunakan adalah menggunakan pembelajaran backpropagation dengan 280 neuron di input layer, 100 neuron di hiddem layer, dan 2 di output layer. Proses pembelajaran selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6.
203 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 6. Arsitektur MLP
Sistem klasifikasi tingkat kelelahan berdasarkan EEG terdiri dari proses pelatihan dan proses pengujian, kedua proses tersebut melakukan pra proses yang sama yaitu dengan melakukan segmentasi terhadap sinyal dan melakukan ekstraksi ciri untuk mengenali sinyal teta, alfa dan beta. Proses pelatihan akan menghasilkan bobot yang digunakan untuk proses pengujian sistem, sehingga data latih yang valid dan jumlah yang banyak dan bervariasi akan membuat sistem klasifikasi memiliki tingkat akurasi yang semakin baik metode penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Gambaran sistem 3.
Hasil dan Pembahasan
Sistem yang dibuat sudah di uji coba dengan menggunakan data latih dan data uji, pengujian menggunakan data latih bertujuan untuk mengecek apakah proses pembelajaran sudah baik atau belum. Proses pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memiliki nilai MSE lebih kecil dari toleransi eror yang ditentukan pada saat pelatihan., jika proses pelatihan berhenti dikarenakan jumlah iterasi sudah lebih besar dari maksimum epoch yang
204 ISBN 978-602-70361-0-9
ditentukan pada saat pelatihan dan jika hal tersebut terjadi maka coba ganti parameter-parameter yang digunakan dalam proses pembelajaran seperti range bobot awal -0.5 s/d 0.5, laju pembelajara, maksimum epochepoch yang digunakan dalam penelitian ini. Berikut merupakan tabel hasil pengujian terhadap sistem klasifikasi, baik menggunakan data latih maupun menggunakan data uji baru. Tabel 1. Pengujian data latih kanal C3-C4 No
Naracoba
Kelas
1
Naracoba 1
Tidak lelah
88
2
Naracoba 1
Lelah
96
3
Naracoba 2
Tidak lelah
4
4
Naracoba 2
Lelah
96
5
Naracoba 3
Tidak lelah
18
6
Naracoba 3
Lelah
96
7
Naracoba 4
Tidak lelah
0
8
Naracoba 4
Lelah
96
Total tepat dikenali
Jumlah Tepat Dikenali
494
Tabel 2. Pengujian data latih kanal O1-O2 No Naracoba 1 Naracoba 1 2 Naracoba 1 3 Naracoba 2 4 Naracoba 2 5 Naracoba 3 6 Naracoba 3 7 Naracoba 4 8 Naracoba 4 Total tepat dikenali
Kelas Tidak lelah Lelah Tidak lelah Lelah Tidak lelah Lelah Tidak lelah Lelah
Jumlah Tepat Dikenali 49 96 6 96 12 96 3 96 454
Tabel 3. Pengujian data uji kanal C3-C4 No Naracoba 1 Naracoba 5 2 Naracoba 5 3 Naracoba 6 4 Naracoba 6 Total dikenali
Kelas Tidak lelah Lelah Tidak lelah Lelah
Jumlah Tepat Dikenali 1 92 3 90 186
Tabel 4. Pengujian data uji kanal O1-O2 No
Naracoba
1 Naracoba 5 2 Naracoba 5 3 Naracoba 6 4 Naracoba 6 Total dikenali
Kelas Tidak lelah Lelah Tidak lelah Lelah
Jumlah Tepat Dikenali 5 91 1 93 190
205 ISBN 978-602-70361-0-9
4.
Kesimpulan
Penelitian ini telah menghasilkan sebuah sistem klasifikasi terhadap kondisi lelah dan tidak lelah dari sinyal EEG menggunakan transformasi wavelet dan algoritma pembelajaran backpropagation. Berdasarkan pengujian penggunaan transformasi wavelet untuk melakukan ekstraksi sinyal EEG mampu meningkatkan akurasi pengenalan sebesar 130,14%, dengan akurasi pengenalan untuk sistem klasifikasi tanpa menggunakan transformasi wavelet sebesar 38,02% dan untuk sistem klasifikasi dengan menggunakan wavelet sebesar 49,48%. Penelitian ini menggunakan 4 kanal untuk proses klasifikasi, yaitu C3-C4 dan O1-O2. Berdasarkan pengujian terhadap data baru kanal C3-C4 memiliki tingkat akurasi sebesar 48,44% dan kanal O1-O2 memiliki tingkat akurasi sebesar 49,48%. Proses klasifikasi menggunakan kanal O1-O2 memiliki tingkat pengenalan lebih baik dibandingkan dengan kanal C3-C4. Perlu melakukan pengkajian ulang terhadap metode yang digunakan untuk melakukan ekstraksi sinyal EEG dan perbandingan dominasi sinyal yang muncul ditiap-tiap data. Proses perbandingan perlu dilihat juga dari masing-masing kanal untuk melihat pengaruh penempatan elektroda pada saat lelah dan tidak lelah. Daftar Pustaka Djamal, E.C., Harijono A. Tjokronegoro. 2005. Identifikasi dan Klasifikasi Sinyal EEG terhadap Rangsangan Suara dengan Ekstraksi Wavelet dan Spektral Day. Prosiding ITB. Bandung. 2005. Hindarto. 2013. Identifikasi Sinyal EEG Menggunakan Koefisien Regresi dan Jaringan Syaraf Tiruan. Seminar Nasional Teknologi Terapan. 2013. Karyawan , M.A., Arifin, Agus Zainal., Saikhu, Ahmad. 2011. Klasifikasi Sinyal EEG Menggunakan Koefisien Auoregresif, F Score, dan Least Squares Support Vector Machine. Jurnal TIF. Bandung. 2011;2;1. Djamal, E.C., Suprijanto. 2011. Regocnition of Electroencephalogram Signal Pattern against Sound Stimulation using Spectral of Wavelet. TENCON. 2011. Hindarto. 2008. Pengolahan Sinyal Elektroencephalogram (EEG) Menggunakan Hidden Markov Model (HMM). Seminar Nasional Matematika. 2008;ISSN 1412-6184. Puspita, Analia., Eunike. 2007. Penggunaan Jaringan Syaraf Tiruan Metode Backpropagation untuk Memprediksi Bibir Sumbing. Seminar Nasional Teknologi, ISSN : 1978 – 9777.
206 ISBN 978-602-70361-0-9
Pengalokasian Bandwith Secara Otomatis Menggunakan Metode Per Connection Queue Sandy Kosasih Program Studi Sistem Informasi, STMIK Pontianak, Jalan Merdeka No. 372 Pontianak E-mail:
[email protected] dan
[email protected]
Abstract This research paper results in a technique used existing method for dividing the bandwidth automatically by using Per Connection Queue (PCQ) method to keep it optimal and evade individual control among the users, load limitation in using the available bandwidth, and excessive bandwidth capacity. The allocation of bandwidth is divided evenly and based on all users’ needs and can reduce the company’s cost of bandwidth investment. In this research, used case study at PT. Asuransi Jasindo Pontianak and using NDLC (Network Development Life Cycle) to optimize the bandwidth allocation by applying top down approach model. The result of this research shows that all users can stably access the internet with the same data transfer rate; thus, they can optimally utilize the bandwidth capacity owned by the company and evade bandwidth leakage. The test also shows that the configuration of bandwidth limiter using Queue Tree method is very well done, whereby the scores between upload and download needs do not have the significant difference. Keywords: Optimization of Bandwidth, Per Connection Queue Method, Top-Down Approach
1.
Pendahuluan
Pemakaian jasa internet setiap pengguna menginginkan kecepatan akses internet yang maksimal. Kecepatan akses internet tentunya akan berhubungan dengan besarnya kapasitas bandwidth yang tersedia dalam suatu jaringan. Untuk mendapatkan kecepatan akses yang maksimal dan dengan resource bandwidth yang terbatas, maka bandwidth memerlukan pengaturan yang baik untuk menjaga lalu lintas data dalam suatu jaringan komputer agar tidak terjadi kemacetan sebagai akibat dari adanya permintaan akses yang overload dalam jaringan. Dewasa ini kebutuhan akses internet dalam perusahaan PT. Asuransi Jasindo sangat tinggi dan seringkali pemanfaatannya kurang optimal sehingga mengganggu aktivitas dan kinerja karyawan dalam bekerja. Persoalan yang sering terjadi antar pengguna adalah tidak adanya pembatasan pemakaian kapasitas bandwidth sehingga yang terjadi adalah perbedaan kecepatan antara pengguna yang satu dengan pengguna yang lain. Kenyataan ini jelas memberikan pengaruh yang sangat signifikan untuk kelancaran penyelesaian pekerjaan dan layanan untuk proses bisnis aktivitas perusahaan. Membagi kapasitas bandwidth dengan PCQ (Per Connection Queue) prinsipnya menggunakan metode antrian untuk menyamakan bandwidth yang dipakai pada multiple client. Metode PCQ yang diterapkan menggunakan metode NDLC (Network Development Life Cycle) dengan pendekatan Top-Down. Sementara teknologi yang digunakan untuk mengimplementasikanya didasarkan pada pendekatan yang disebut QoS (Quality of Service). Secara default QoS ini berada dalam perangkat mikrotik untuk mengatur traffic jaringan dan lalu lintas data/informasi (Herlambang, 2008). Mikrotik dapat dijalankan pada sebuah PC (Personal Computer) biasa atau pada sistem mini routerboard yang bisa berfungsi sebagai router, bridge, hotspot gateway, firewall, bandwidth limiter, dan lain-lain. Mikrotik merupakan sistem operasi linux-based yang dirancang secara khusus untuk keperluan networking (Harijanto, 2008). Fasilitas router dalam mikrotik mempunyai peran penting untuk menghubungkan client ke jaringan Internet melalui Network Address Translation (Kustanto, 2008). Cara kerja QoS adalah dengan cara mengidentifikasi lalu lintas data yang melalui jaringan, kemudian menerapkan kebijakan QoS yang digunakan untuk melindungi, memprioritaskan atau untuk memberikan batasan (Santoso, 2007). Melalui teknik ini keseluruhan kapasitas bandwidth yang tersedia dapat digunakan secara optimal tanpa ada sumberdaya yang terbuang percuma. Metode PCQ merupakan metode dengan antrian membagi kapasitas bandwith sehingga dapat melakukan pembatasan. Dalam PCQ juga menciptakan subqueues, mengenai parameter pcqclassifier. Subqueue masingmasing memiliki data rate batas pcq-rate dan ukuran pcq-limit paket. Ukuran total antrian PCQ tidak dapat lebih besar dari pcq-total-limit paket. Metode PCQ ini dilengkapi dengan penerapan Queue Tree, agar kapasitas bandwidth dapat dibagi secara otomatis oleh sistem dengan batasan limit bandwidth sehingga jika terdapat satu client bisa mencapai keseluruhan kapasitas bandwidth yang ada (Ni, 2007).
207 ISBN 978-602-70361-0-9
2.
Metode
Berdasarkan dari hasil tinjauan pustaka dari sejumlah literatur, wawancara dan obeservasi yang sesuai dengan kenyataan dan permasalahan yang di hadapi dari objek penelitian yang berupa studi kasus, demi memahami strategi penelitian dalam konteks tunggal agar mengacu kepada objek penelitian yaitu pengalokasian kapasitas bandwith secara otomatis dengan metode Per Connection Queue (PCQ). Pengembangan sistem jaringan yang dilakukan mengacu kepada model Network Development Life Cycle (NDLC), yaitu suatu pendekatan proses dalam komunikasi data yang menggambarkan siklus yang tiada awal dan akhirnya dalam membangun sebuah jaringan komputer. Adapun sistem jaringan yang akan dikembangkan disesuaikan dengan pendekatan Top Down, yaitu suatu pendekatan yang meliputi strategi dalam pemrosesan informasi dimana NDLC merupakan salah satu aspek pendukung didalamnya. Responden dalam penelitian ini berjumlah 30 dengan teknik accidental sampling. 3.
Hasil dan Pembahasan
Sistem pengalokasian kapasitas bandwith secara otomatis dengan metode PCQ pada perusahaan PT. Asuransi Jasindo menggunakan arsitektur switched Ethernet untuk menghubungkan setiap komputer yang ada dalam perusahaan tersebut. Sistem jaringan didukung oleh penggunaan mikrotik router dan perangkat fireboxwatchguard sebagai firewall (Intrusion Detection System) jaringan dan setiap PC dilengkapi NIC 10/100/1000 untuk memungkinkan peningkatan kecepatan yang mudah ke jaringan Gigabit Ethernet generasi berikutnya. Selanjutnya melakukan analisa jaringan agar koordinasi dan pengurutan kegiatan-kegiatan pabrik/proyek yang kompleks, dapat saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain. Analisis jaringan juga bertujuan agar perencanaan dan pengawasan semua kegiatan dapat dilakukan secara sistematis sehingga dapat diperoleh efisiensi kerja. Berikut ini adalah uraian dari perangkat dan kebutuhan sevice lainnya yang digunakan untuk mendukung pengembangan jaringan adalah berupa media transmisi menggunakan kabel UTP (Unshielded Twisted Pair) kategori 5, untuk switch berupa router WAG120N (switch layer 3), mikrotik, Router RB750, dan ISP menggunakan Telkom Net Speedy. Adapun aplikasi yang digunakan daam penelitian ini adalah sistem operasi menggunakan Windows 2003 Server, Router menggunakan MikrotikOS, client menggunakan OS Windows 7, Database menggunakan microsoft acces 2010, Microsoft SQL Server 2008, MySQL 5 Community Edition. Sementara untuk network menggunakan wireshark, multi router traffic grapher, Squid Analysis Report Generator.
Gambar 1. Koneksi Jaringan Komputer Memiliki 12 komputer yang dalam pengoperasiannya saling berbagi data dan 1 unit komputer difungsikan sebagai pusat data atau server. Supaya keinginan untuk mengkoneksikan ke 12 unit komputer termasuk server maka setiap komputer perlu berada pada satu subnet yang sama (lihat gambar 1). Implementasi jaringan dan pengujian kapasitas bandwidth melalui mikrotik dengan metode PCQ (Per Connection Queue) prinsipnya menggunakan metode antrian/Queue untuk menyeimbangkan kapasitas bandwidth yang dipakai pada multiple client. Saat memiliki kapsitas bandwidth internet sebesar 2 Mbps, dan perlu membagi kapasitas bandwidth menjadi 12 PC, maka ketika semua PC tersebut terpakai, maka akan mendapatkan kapasitas bandwidth sebesar 2Mbps/12 = sekitar 200kbps, tetapi pada saat komputer yang terpakai hanya 5 buah, maka masing-masing PC secara otomatis akan mendapatkan bandwidth sebesar 2Mbps/5 = 400kbps sehingga keseluruhan bandwidth bisa terpakai secara optimal. Berikut ini adalah pengujian kegiatan pengimplementasian jaringan internet dengan menerapkan metode Queue Tree. Kondisi ini diawali dengan memberikan IP Address pada komputer admin yang
208 ISBN 978-602-70361-0-9
digunakan untuk mengkonfigurasi Mikrotik tersebut seperti pada Gambar 2. Selanjutnya untuk masuk ke peralatan mikrotik user harus melakukan login lebih dahulu, seperti pada Gambar 3.
Gambar 2. Konfigurasi IP Address
Gambar 3. Login User Mikrotik Langkah berikutnya melakukan konfigurasi interface. Pada bagian interface ini, ada 4 (empat) port yang dapat digunakan yaitu ether2, ether3, ether4 dan ether5. Dalam penelitian ini menggunakan port ether2 yang terhubung ke jaringan internet dan ether4 yang terhubung ke switch. Berikut ini adalah gambar interface dari mikrotik. Pemberian nama interface diperlukan untuk mempermudah dalam mengenal port yang akan digunakan. Port ether2 diberikan nama “internet” dan port ether5 diberikan nama “local”. Port ether2 diganti dengan nama local yang mengacu kepada nama port untuk mengkoneksikan komputer local seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Konfigurasi Interface Local Mikrotik Kemudian untuk port ether5 diganti dengan nama internet yang mengacu kepada nama port untuk mengkoneksikan komputer local dengan internet. Pemberian IP Address Interface Internet adalah 192.168.2.4/24. mikrotik akan mendapatkan IP Address secara otomatis dari modem dengan cara mengaktifkan DHCP Client seperti pada Gambar 5.
209 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 5. Koneksi Interface Internet Untuk pemberian IP Address Interface Local yang digunakan adalah 192.168.40.1/24. IP Address ini akan menjadi gateway bagi semua komputer yang terhubung ke internet. Langkah selanjutnya adalah pemberian IP Address Interface Internet, IP Address yang akan dijadikan sebagai jalur untuk pengaksesan internet oleh semua komputer yang terhubung pada jaringan. Mikrotik akan mendapatkan IP Address secara otomatis dari modem dengan cara mengaktifkan DHCP Client. Berikutnya melakukan konfigurasi pemberian DNS Server IP Address DNS Server dengan IP Address yang dimiliki oleh modem yaitu 192.168.2.1 seperti pada Gambar 6.
Gambar 6. Pemberian DNS Server Untuk menghubungkan menghubungkan lebih dari satu komputer ke jaringan internet dengan menggunakan satu alamat IP perlu melakukan konfigurasi Network Address Translation (NAT). Banyaknya penggunaan metode ini disebabkan karena ketersediaan alamat IP yang terbatas, kebutuhan akan keamanan, dan kemudahan serta fleksibilitas dalam administrasi jaringan, seperti pada Gambar 7.
Gambar 7. Network Address Translation
210 ISBN 978-602-70361-0-9
Setelah melakukan konfigurasi NAT maka selanjutnya akan di lakukan konfigurasi mikrotik sebagai bandwith limiter mikrotik juga dapat digunakan untuk bandwidth limiter (queue) yaitu yang akan melakukan kontrol terhadap mekanisme alokasi data rate melalui proses mangle. Mangle Mikrotik disini berfungsi sebagai pembelah IP traffic dan memberi tanda (Mark) pada suatu IP traffic yang nanti akan di proses selanjutanya sesuai kebutuhan jaringan seperti pada Gambar 8. Mangle memiliki komponen chain dan action. Komponen chain melakukan proses prerouting ini akan menyaring proses traffic dari sisi LAN ke Internet (Upload), jadi untuk semua proses dari LAN mengambil Chain Prerouting. Selanjutnya proses postrouting atau forward ini akan memproses semua traffic dari arah Internet ke LAN (Download), jadi untuk semua proses dari Internet mengambil Chain Postrouting. Sementara komponen action melakukan proses berupa Mark-connection. Proses ini akan menandai suatu traffic koneksi yang telah berlangsung yang sudah diketahui servicenya jadi suatu traffic yang sudah di pisah ini biar tidak bercampur dengan traffic koneksi yang lainnya. Lalu melakukan proses Mark-packet. Proses ini akan menandai suatu traffic dengan nama paket yang akan diproses ke queue atau bandwith limiter. Jadi untuk sebuah pengelolaan kapasitas bandwith disini harus mengenal terlebih dahulu traffic-traffic apa saja yang perlu dipisahkan dan kemudian baru membagi kapasitas bandwithnya.
Gambar 8. Bandwidth Limiter Hasil dari konfigurasi mangle untuk Connection Mark dan Packet Mark untuk satu buah komputer. Mengingat pengaturan bandwidth tidak bergantung pada banyaknya komputer maka Connection Mark dan Packet Mark tidak perlu dibuat sebanyak 12 kali, seperti pada Gambar 9.
Gambar 9. Pembuatan Queue Type Setelah proses pembuatan queue type selesai, maka akan tampil dua buah nama queue type pada queue list. Pembuatan queue berikut ini akan menentukan parent local dan parent internet. Artinya downstream mengacu kepada parent local dan upstream mengacu kepada internet. Setelah pembuatan queue selesai maka selanjutnya membuat parent, seperti pada Gambar 10.
211 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 10. Pembuatan Parent Teknik pembagian bandwidth dengan metode PCQ adalah membagi secara merata total bandwidth kepada semua pengguna. Jika total bandwidth 512 kbps dan pemakainya hanya satu komputer maka total bandwidth yang didapat pengguna tersebut adalah 512 kbps. Apabila pengguna sebanyak 2 orang maka total bandwidth per orang adalah sebesar 256 kbps. Sesudah selesai dengan implementasi maka akan melakukan pengujian dari hasil dari konfigurasi. Untuk menguji kinerja dari router mikrotik yang telah dikonfigurasi sebagai manajemen bandwidth dengan metode PCQ dan menggunakan sistem antrian queue tree. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi dalam jaringan dimana beberapa client mungkin saja melakukan aktivitas yang sama yaitu download atau upload serta mungkin juga melakukan aktivitas yang berbeda dimana beberapa client melakukan aktivitas upload sedangkan client yang lain melakukan download. Pengujian kecepatan akses internet atau yang sering disebut dengan test speed adalah sebuah kegiatan untuk melakukan pengecekan terhadap kecepatan akses internet yang telah disediakan oleh ISP (Internet Service Provider). Pengujian ini juga bertujuan untuk memastikan apakah kecepatan akses internet yang disediakan sama dengan jumlah yang harus dibayar. Di dalam internet adalah istilah CIR (Committed Information Rate) yang berarti kecepatan minimal yang harus dipenuhi oleh ISP dalam layanannya harus sesuai dengan kontrak antara perusahaan yang menggunakan internet dengan perusahaan penyedia layanan internet (ISP). Dalam pengujian ini menggunakan http://speedtest.cbn.net.id dan http://10.speedtest.telkomspeedy.com. Pada pengujian dengan menggunakan http://speedtest.cbn.net.id/, dapat dilihat bahwa download speed sebesar 251 kbps dari 256 kbps yang dialokasikan. Sedangkan Upload Speed sebesar 117 kbps dari 128 kbps yang dialokasi. Walaupun ada selisih angka antara hasil dan dengan yang dilalokasikan, namun angkat tidak terlalu tinggi. Ini membuktikan konfigurasi bandwidth limiter dengan metode Queue Tree sudah sangat baik. Pengujian dengan menggunakan http://10.speedtest.telkomspeedy.com/, dapat dilihat bahwa download speed sebesar 246 kbps dari 256 kbps yang dialokasikan. Sedangkan Upload Speed sebesar 102 kbps dari 128 kbps yang dialokasi. Walaupun ada selisih angka antara hasil dan dengan yang dilalokasikan, namun angkat tidak terlalu tinggi. Ini membuktikan bahwa konfigurasi bandwidth limiter dengan metode Queue Tree sudah sangat baik. Dari gambar tersebut khusunya pada transfer rate, diperlihatkan bahwa kecepatan download adalah 246 kbps dengan transfer rate 30.8 KB/sec. Artinya apabila komputer dengan IP address 192.168.40.4 melakukan download program, maka rata-rata transfer per detik adalah 30.8 KB. Melakukan pengujian terhadap download adalah sebuah kegiatan yang bertujuan untuk memastikan apakah hasil konfigurasi pengaturan bandwidth dan test speed sesuai dengan kenyataan. Berikut ini pengujian dengan cara melakukan download sebuah program. Untuk data pengujiannya menggunakan program Mikrotik Winbox yaitu all_packages-x86-6.2.zip dengan ukuran file 16,140 MB. Hasilnya memperlihatkan transfer rate adalah 30,209 KB/sec. Angkat ini memberikan gambaran bahwa file all_packages-x86-6.2.zip dengan ukuran 16,140 MB di download dengan kecepatan rata-ratanya adalah 30.209 KB/sec. Ini berarti bahwa hasil test speed seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah sesuai walaupun ada selisih sedikit dari angka yang ada di test speed dengan angkat pada saat download. 4.
Kesimpulan
Pembagian kapasitas bandwidth dilakukan dengan metode PCQ dilakukan secara merata ke semua pengguna yang menggunakan format IP Address 192.168.40.0/24. Agar kestabilan dan kecepatan transfer data sama dan tidak terjadi tarik menarik bandwidth antar pengguna, dan pengalokasian kapasitas bandwidth dapat menjadi lebih optimal berdasarkan ukuran data dan kapasitas yang ada. Daftar Pustaka Arifin, Yunus. Implementasi Quality of Service Dengan Metode HTB (Hierarchical Token Bucket) Pada PT. Komunika Lima Duabelas. JELIKU Vol 1 No.2 Nopember 2012. Hal 1-7.
212 ISBN 978-602-70361-0-9
Fahlevi, Sapta Okta dan Rahman, Abdul. Rancangan Dan Implementasi Mikrotik Router OS Pada Warung Internet QQ. AMIK GI MDP. Hal 1-9. Harijanto, Pribadi. Firewall Melindungi jaringan dari Ddos menggunakan Linux dan Mikrotik. Yogyakarta: Andi Offset. 2008. Herlambang, Linto Moch., Azis Catur L. Panduan Lengkap Menguasai Router Masa Depan Menggunakan Mikrotik Router OS. Yogyakarta: Andi Offset. 2008. Kustanto, D. Membangun Server Internet dengan Mikroti OS. Surakarta: Gava Media. 2008. Mujahidin, Tafaul. OS Mikrotik Sebagai Manajemen Bandwith Dengan Menerapkan Metode Per Connection Queue. Naskah Publikasi. STMIK AMIKOM Yogyakarta. 2011. Ni, Dong Xiao. Application of Neural Networks to Character Recognition. Seidenberg School of CSIS. New York: Pace University. White Plains. 2007. Santoso, Budi. Manajemen Bandwidth Internet dan Intranet. 2007. http://budisantoso.com
213 ISBN 978-602-70361-0-9
Desain Interaksi Sistem Berteknologi Mobile untuk Pembelajaran Membaca pada Anak Usia TK Menggunakan Metode User Centered Design (UCD) Rezki Yuniarti1*, Agus Komarudin1 1
Jurusan Informatika, FMIPA, UNJANI Jl. Ters. Jend.Sudirman Cimahi 40521 *E-mail:
[email protected]
Abstract Some elementary schools establish some requirements that children are required to have the ability to read or write. Due to that term, some children at the kindergarten must be able to read. The development of information technology has resulted in a capacitive touch screen which can support the child in order to perform activities of learning to read or write. To achieve the learning experience through the software, need an interaction design, which supports activities such as : recognize letters, and write a letter. Methods of User Centered Design (UCD) focus on the user. So the focus of the software has a focus on achieving usability goals and user experience goals. Interaction design software for learning system to recognize letters and to read for the children, using UCD has already made. Establishing an understanding of interaction design is done and involve users during the design process. The approach of reading instruction used Jolly Phonics and letter recognition. After designing the user experience, then implemented and evaluated the design of the prototype. Some children may get bored, but the principle of UCD is to receive feedback from users and manage them continuously. This research is only executing one cycle prototype evaluation. 80,9% of children recognize letter with a good result. Keywords: User Centered Design, Interaction Design, phonics
1.
Pendahuluan
Membaca dan menulis merupakan keterampilan dasar seorang anak. kemampuan membaca menjadi prediktor kuat untuk konsep diri yang positif dan negatif di bidang akademik (Chapman, Tunmer, dan Prochnow, 2000). Dengan menulis, anak dapat meningkatkan kemampuan psikomotorik halus. Di sisi lain, perkembangan teknologi Informasi telah menghasilkan smartphone. Beberapa di antaranya menggunakan layar sentuh yang dapat menarik bagi anak-anak untuk menggoreskan huruf atau gambar. Hal ini dapat meningkatkan kemampuan kinaestetik, seperti menarik garis lurus di atas layar sentuh, bermain puzzle dan lain sebagainya. Selain itu juga dapat meningkatkan kemampuan spatial yaitu membedakan arah huruf dan bentuk. Untuk itu perlu sistem berbasis mobile, yang dapat mendukung kegiatan anak dalam rangka melakukan kegiatan belajar membaca ataupun menulis. Metode Jolly Phonics untuk mengenali huruf dan metode Glen Domann untuk mengenali kata akan diterapkan ke dalam sistem. Dalam pembuatan edu game, dapat mempertimbangkan metode pembelajaran untuk diterapkan kepada sistem, agar terjadi proses pembelajaran (Rezki Y. & Agus K, 2013). Metode User-centered Design (UCD) berfokus kepada pengguna. Dalam penelitian ini telah dibangun sistem interaksi yang dapat memberikan pengalaman belajar membaca dan menulis pada anak usia TK menggunakan metode Glen domann, atau Jolly phonics melalui layar sentuh. Penelitian tidak membahas secara rinci mengenai metode yang digunakan untuk mengenali tulisan huruf dan mengubahnya menjadi teks, namun untuk mencapai desain interaksi yang diinginkan aplikasi tersebut harus terdapat di dalam sistem. 2.
Metode
Standar desain terpusat kepada pengguna didefinisikan pada ISO 13407 (Human Centered Design Processes for Interactive Systems). UCD dilakukan dengan cara melibatkan user pada saat proses desain dan evaluasi sistem, sehingga selalu terdapat umpan balik[2]. UCD menghasilkan perangkat lunak / produk yang mudah dipahami dan digunakan; meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi tekanan pada pengguna serta menigkatkan kepuasan pengguna; meningkatkan produktivitas dan efisiensi operasional perorangan ataupun organisasi (Daly dan Jones., 1999). Proses UCD adalah proses yang berulang, dimana langkah-langkah untuk mendesain dan evaluasi dibangun sejak awal memulai pembuatan sistem sampai tahap implementasi[4]. Terdapat frekuensi keterlibatan yang dapat ditentukan oleh pengembang. (A. Dix dkk., 1993) membuat observasi yang sangat relevan untuk pembangunan dengan pendekatan UCD. Berikut ini adalah pendekatan UCD didasarkan pada: a. Diawali dengan fokus kepada pengguna
214 ISBN 978-602-70361-0-9
b.
c.
Secara langsung mempelajari kognitif, karakteristik perilaku, dan sikap pengguna. Dalam penelitian, mempelajari pengguna anak-anak usia TK dilakukan dengan cara mengamati anak di sekolah. Mengamati reaksi anak ketika menggunakan smartphone. Melakukan studi literatur mengenai prilaku anak. Pengukuran Empiris Reaksi dan kinerja pengguna untuk skenario, manual, simulasi dan prototipe harus diamati, dicatat dan dianalisis. Desain iteratif Ketika masalah yang ditemukan dalam pengujian pengguna, diperbaiki, kemudian aplikasi diperbaiki dan dilakukan kembali pengujian (berulang)
Penelitian ini menggunakan metode: a. Identifikasi dan pemahaman pengguna memahami pengguna sejak awal, mempelajari melalui observasi, literatur mengenai anak usia TK dan melalui penyebaran kuisioner b. Menentukan desain Interaksi Setelah mendapatkan hasil dari kuisioner pra-desain, maka ditentukan desain kemudian implementasi desain serta diujikan kembali kepada pengguna yaitu anak usia TK. Dengan bantuan orang tua. Sesuai dengan langkah-langkah UCD yang telah ditentukan pada ISO 13407[5], maka dilakukanlah langkah-langkah penelitian sebagai berikut, setiap pelaksanaan konsep/metode UCD dijelaskan pada sub bahasan 2: 1) Identifikasi kebutuhan UCD 2) Memahami dan menspesifikasikan konteks penggunaan 3) Spesifikasi pengguna dan kebutuhannya 4) Menghasilkan solusi desain 5) Mengevaluasi desain apakah melanggar atau sesuai dengan kebutuhan dari pengguna 6) Terus terjadi iterasi, jika hasil evaluasi tidak sesuai, maka dilakukan kembali langkah dua. Dalam penelitian ini dilakukan satu siklus iterasi saja. Langkah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Jika telah sesuai maka akan tercipta sistem yang sesuai dan memuaskan pengguna. Tahapan tersebut akan dijelaskan pada sub bahasan 2.1 hingga 2.3. kemudian dijelaskan juga pada sub bahasan 3. Identifikasi Kebutuhan Pemahaman dan penentuan konteks penggunaan aplikasi Penentuan spesifikasi pengguna (anak usia TK) dan persyaratannya
Siklus UCD dapat berulang. Namun penelitian ini hanya menerapkan Menghasilkan solusi 1 siklus perulangan
desain aplikasi belajar membaca (penerapan Jolly Phonics)
Evaluasi desain terhadap persyaratan Sistem memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan anak TK
Gambar 1. Tahapan penelitian yang telah dilakukan dengan pendekatan UCD 2.1
Identifikasi Kebutuhan
Proses yang terjadi pada aplikasi, akan menyesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Dimana teknologi dititikberatkan kepada teknologi aplikasi mobile. Setiap proses, dapat menggunakan metode dan teknik UCD berdasarkan framework yang ditentukan Criteria for selecting methods in user-centred design (Bevan, Nigel, 2001). Proses ini dan seterusnya menjadi fokus penelitian dalam menentukan desain interaksi. Untuk identifikasi kebutuhan mengggunakan metode In-depth analysis of work and lifestyles, maka dilakukan studi analisis terhadap
215 ISBN 978-602-70361-0-9
21 sampel anak usia TK dalam hal penggunaan teknologi Smartphone dan bagaimana mereka memperlakukan aplikasi pada Smartphone. Terdapat 61,9% anak senang bermain smartphone. Sebagian besar orangtua memberikan kebebasan kepada anak untuk menggunakan smartphone. Sebanyak 52,4% orangtua menyatakan setuju. Orangtua berharap anak dapat belajar melalui smartphone. 47,6% orangtua menyatakan sangat setuju dan 33,3% menyatakan setuju anaknya menggunakan smartphone untuk belajar. Ini artinya, smartphone telah menjadi framework untuk belajar, tidak hanya untuk berkomunikasi. Hal ini akan dibahas kemudian di konteks penggunaan. Sehingga dibutuhkan suatu aplikasi yang dapat diinstalasi di dalam smarphone capasitive touchscreen yang memungkinkan anak untuk belajar membaca. Dari hasil observasi, anak juga membutuhkan respon cepat, sebanyak 66% anak tidak suka jika aplikasi tidak memberikan respon benar. Dan 70% anak merasa kesal jika aplikasi salah atau tidak sesuai harapan. Hasil-hasil tersebut menjadi dasar solusi desain. Untuk mencapai belajar membaca, anak setidaknya harus mengenali huruf terlebih dahulu. Bottom-up process seperti contohnya metode Jolly Phonics dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengenal huruf (Dwiastuti , 2010). Sehingga aplikasi harus menyebutkan huruf (bersuara) dan memberikan contoh kata. Anak yang menggunakan metode Jolly Phonics memiliki kemampuan lebih daripada anak yang menggunakan metode reguler (Ruhaena, L, 2008). Hasil dari fase ini adalah : 1. Anak membutuhkan aplikasi yang terinstalasi di dalam smartphone, dikarenakan kebebasan ukuran device ini 2. Aplikasi akan menerapkan metode pembelajaran Jolly Phonics 3. Orangtua memberikan kebebasan kepada anak untuk bermain smartphone, yang sebaiknya dipergunakan untuk belajar 4. Aplikasi harus memberikan respon yang benar sesuai dengan permintaan anak.
2.2
Konteks Penggunaan
Anak menggunakan smartphone dalam konteks seperti apa, dilakukan observasi kembali. Dengan melakukan observasi terhadap sampel, maka hasil observasi dengan memperhatikan tingkah anak saat menggunakan smartphone, ternyata didapatkan 47,6% sangat setuju dan 42,9% setuju jika anak senang menorehkan tulisan/goresan ke atas layar seolah mereka sedang menulis. Ketika diberikan aplikasi menulis menggunakan jari tangan, sebanyak 42,9% orangtua menyatakan sangat setuju jika anak senang dengan aplikasi menulis. Sementara terdapat 38,1% orangtua menyatakan setuju. Artinya dapat disimpulkan, konteks penggunaan smartphone bagi anak adalah: 1. Anak menggunakan smartphone tidak hanya untuk main game, tetapi juga untuk belajar 2. Anak senang menekan tombol dan mereka cenderung membaca gambar, padahal seharusnya mereka juga membaca tulisan 3. Anak juga melakukan “corat-coret” pada smartphone 2.3
Spesifikasi Pengguna dan Kebutuhannya
Ditetapkan kembali, bahwa pengguna adalah anak usia TK. Maka spesifikasi pengguna berdasarkan kedua langkah di atas secara fungsional adalah aplikasi harus dapat menyediakan sarana kepada anak untuk belajar membaca, menerapkan metode Jolly Phonics, mengajarkan bunyi huruf-huruf secara multisensori, menyajikan huruf dan contoh kata, berwarna-warni, harus mengakomodasi anak menorehkan tulisan huruf sebagai sarana berlatih menulis huruf, harus memiliki algoritma pengubah goresan tangan menjadi teks huruf. Sementara spesifikasi pengguna secara non fungsional adalah aplikasi harus berada di atas platform mobile, yang memiliki OS Android. 3.
Hasil dan Pembahasan
Bagian ini adalah masih tergabung dalam satu proses UCD, yaitu hasil penelitian berupa solusi desain dan evaluasi desain interaksi yang dihasilkan. Hasil penelitian ini adalah sebuah aplikasi belajar yang terinstalasi di smartphone. Penelitian ini hanya melakukan satu siklus tahapan UCD. Setelah melalui tiga tahapan UCD, selanjutnya menghasilkan solusi desain seperti berikut ini.
3.1
Solusi Desain Dari fase sebelumnya, maka ditentukan konseptual model berdasarkan aktivitas adalah :
216 ISBN 978-602-70361-0-9
1.
2.
Manipulating and navigating Bentuk jenis ini membuat pengguna bertingkah (melakukan sesuatu) pada objek dan berinteraksi dengan objek-objek virtual, dalam hal ini adalah tombol virtual. Manipulasi menggunakan touch and tap. Exploring and browsing Bentuk jenis ini mebuat pengguna ingin mencari tahu lebih lanjut dan belajar lebih. Seperti pada kegiatan menulis huruf
Dalam bahasan HCI, tahapan pengembangan perangkat lunak tidak dibahas. Namun solusi desain tahap satu (Prototype 1) berdasarkan fase sebelumnya, didapatkan hasil seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Halaman menu utama aplikasi pada smartphone 1. 2.
Terdapat dua menu dalam solusi desain tahap 1 ini, yaitu : Menu pembelajaran huruf yang mana menerapkan metode Jolly Phonics Menu menulis huruf untuk anak agar dapat berlatih menuliskan huruf. Disini terdapat algoritma konversi dari tulisan tangan menjadi huruf (teks)
Gambar 3. Menu terdiri dari dua pilihan Lalu ketika memilih mengenal huruf, anak akan disajikan pembelajaran dengan metode Jolly Phonics seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Mengenal huruf menggunakan metode Jolly Phonics Dalam menu ini, anak akan mendengarkan pelafalan suara huruf dan kata. Disediakan tombol untuk melanjutkan ke huruf berikutnya, dan tombol menuju halaman utama. Anak dapat menekan tombol kanan kiri untuk berpindah ke huruf sebelum atau sesudahnya. Anak dapat mencoba menu belajar menulis huruf. Aktivitas disini yaitu menuliskan huruf di atas kertas virtual seperti pada Gambar 5. Ketika anak menulis huruf, akan dikonversi menjadi teks yang ditampilkan di atas. Seperti pada Gambar 6.
217 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 5. Aplikasi kertas virtual untuk berlatih menulis huruf
Gambar 6. Hasil konversi tulisan tangan huruf menjadi teks 3.2
Hasil Pengujian terhadap Desain Interaksi
Untuk menguji apakah solusi desain telah memenuhi permintaan sesuai langkah 1 sampai 3 dalam proses UCD, maka sekali lagi melibatkan 21 responden anak berusia TK[6]. Dari 21 anak tersebut, terdapat: 1. 9 anak belum dapat membaca, 2. 12 anak belum mengenal huruf, 3. anak belum dapat menulis Setelah melakukan instalasi aplikasi di dalam smartphone, kemudian responden diberikan aplikasi tersebut. Metode pengujian adalah dengan melakukan wawancara yang kemudian diisikan di dalam kuisioner, dikarenakan responden belum cukup usia untuk mengisi kuisioner. Namun orangtua juga membantu anak pada saat mengisi kuisioner ini. Hasil dari wawancara dan pengisian kuisioner, sebanyak 28,5% anak menyatakan sangat setuju dan 61,9% anak menyatakan setuju, senang mendapati aplikasi tersebut di dalam smartphone. Saat mencoba aplikasi ini, dengan melalui bantuan orangtua, saat mengamati anak menggunakan aplikasi ini, para orang tua menyatakan : 1) 23,8% menyatakan sangat setuju, 2) 28,5% menyatakan setuju, 3) 28,5% menyatakan ragu-ragu, dan 4) 14,2% orangtua menyatakan kurang setuju Terhadap pernyataan bahwa anak perhatian anak terfokus kepada aplikasi ini. Anak cenderung mulai merasa bosan dan biasanya saat membuka aplikasi, enggan untuk meneruskan. Hal ini akan menjadi evaluasi dan perbaikan untuk aplikasi ini. Ketahanan anak dalam membuka dan mencoba aplikasi ini menghasilkan : 1) 9,52% bertahan bermain selama 3 Menit 2) 28.57% bertahan bermain selama 4 Menit 3) 28.57% bertahan bermain selama 5 Menit 4) 4.76% bertahan bermain selama 6 Menit 5) 14.29% bertahan bermain selama 7 Menit Meskipun daya tahan anak terhadap aplikasi masih sebentar, namun melalui bantuan orangtua, saat mengamati anak menggunakan aplikasi ini sebanyak 42,8% orangtua menyatakan sangat setuju dan 57,1% orangtua menyatakan setuju bahwa anak memperhatikan kata yang ditampilkan di aplikasi ini. Untuk selanjutnya, hasil rekapitulasi pengujian akan ditampilkan dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Hasil Pengujian Anak Terhadap Aplikasi Jolly Phonics
218 ISBN 978-602-70361-0-9
No
Pengujian
1
Anak menghafal kata pada aplikasi ini
2
Anak mengulangi kata tersebut (dilafalkan)
Hasil Sangat Setuju 33,% Setuju 42,8% Ragu-ragu 14,2% Tidak Setuju 9,5% Sangat Setuju 28,5% Setuju 66,6% Ragu-ragu 4,7%
Tabel 2. Hasil Pengujian Anak Terhadap Aplikasi Menulis Huruf Hasil
No
Pengujian
1
Anak menulis secara bebas
2
Bagaimana respon anak saat tulisannya benar (pada aplikasi menulis huruf)
3
Anak membuka kembali aplikasi phonics
4
Anak membuka kembali aplikasi menulis
5
Anak dapat menyebutkan kata jika ditanya huruf awalnya saja
Sangat Setuju 47,6% Setuju 47,6% Senang 80,9% Diam 4,7% Tepuk Tangan 4,7% Teriak 4,7% Mencoba Lagi 4,7% Sangat Setuju 23,8% Setuju 66,6% Ragu-ragu 9,5% Sangat Setuju 28,5% Setuju 57,1% Ragu-ragu 14,2% Sangat Setuju 28,5% Setuju 52,3% Ragu-ragu 19,04%
Sehingga rata-rata respon anak adalah anak cenderung membuka kembali aplikasi dan menyukainya. Kemudian diujikan ke pada para responden, untuk menjawab soal secara lisan. Yaitu menyebutkan kata yang berawalan dari huruf yang ditentukan. Pengujian terhadap kata berawalan huruf A, S, I, B dan G, adapun pemilihan soal tidak berdasar atas pertimbangan apapun. Sebanyak 100% anak dapat menjawab kata berawalan huruf A, 66,7% anak dapat menjawab kata berawalan huruf S, 85,7% anak dapat menjawab kata berawalan huruf I, 81% anak dapat menjawab kata berawalan huruf B, dan 71,4% anak dapat menjawab kata berawalan huruf G. Sehingga rata-rata anak dapat menjawab kata berawalan huruf yang ditanya adalah :
Pr esentase _ rata 2 _ anak _ dapat _ menjawab 4.
100 66,7 85,7 81 71,4 80,9% 5
Kesimpulan
Pembangunan aplikasi akan menjadi bermanfaat jika solusi desain melibatkan pengguna. Dari total 21 responden berusia TK, dengan bantuan orangtua, telah didapatkan solusi desain tahap 1 yang menerapkan metode Jolly Phonics untuk proses pembelajaran tahap mula, serta diterapkan algoritma pengenalan huruf (mengubah tulisan tangan menjadi huruf) untuk mendukung anak berlatih menulis. Rata-rata 80,9% anak dapat menjawab pertanyaan menyebutkan kata dengan awalan huruf yang ditentukan. Sebagian besar anak membuka kembali aplikasi Jolly Phonics, dan hanya terdapat 9,5% anak yang enggan membuka kembali aplikasi tersebut. Begitupun dengan aplikasi menulis, sebanyak 14,2% anak ragu untuk membuka kembali aplikasi tersebut. Namun ketahanan anak dalam membuka aplikasi masih sangat rendah. Sebanyak 28.57% anak hanya membuka aplikasi selama 4 dan 5 menit. Padahal aplikasi pembelajaran seharusnya dapat memancing pengguna untuk memakainya lebih lama. Seperti telah dibahas, UCD adalah proses yang dapat dilakukan berulang. Penelitian ini dilakukan hanya 1 siklus. Sehingga desain interaksi harus mengalami perbaikan dan terus mengulangi siklus UCD sampai tercapai hasilnya sesuai harapan. Rekomendasi untuk penelitian berikutnya, solusi desain siklus pertama masih harus mengalami banyak perbaikan. Solusi desain UCD tidak dapat berhenti di siklus pertama, sebab harus dilakukan berulang
219 ISBN 978-602-70361-0-9
sampai tercapai yang diinginkan agar dapat mempertahankan pengguna menggunakan aplikasi dengan waktu yang lebih lama. Daftar Pustaka Bevan, Nigel. Criteria for selecting methods in user-centred design, I-USED workshop paper, London, 2009 Duarte Nuno Jardim Nunes. Object Modeling for User-Centered Development and User Interface Design: The Wisdom Approach., Disertasi, Portugal : UNIVERSIDADE DA MADEIRA, 2001 Dwiastuti, Penggunaan Metode Jolly Phonics sebagai Alternatif Pembelajaran Mengenal Huruf pada Anak Usia dini di Taman Kanak-kanak, Tesis, Program Studi Magister Profesi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, 2010 Gould, J. D., & Lewis, C., Designing for usability: Key principles and what designers think. Communications of the ACM, 1985; 28:300–311. International Organization for Standardization, Human-Centred Design Processes for Interactive Systems,Geneva, Switzerland. Nesset, Valerie. & Large, Andrew, Children in the information technology design process: A review of theories and their applications, Elsevier Inc, 2004; 26: 140–161 Ruhaena, L. Pengaruh Metode Pembelajaran Jolly Phonics Terhadap Kemampuan Baca-Tulis Permulaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Pada Aanak Prasekolah, Jurnal Penelitian Humaniora, 2008; 9:192-206 Rezki Y. & Agus K., Pendekatan UCD Untuk Game Pengingat Resep Masakan, Jurnal SNIA, ISSN:2339-2304, 2013
220 ISBN 978-602-70361-0-9
Sistem Identifikasi Fitur-Fitur Citra Tulisan Tangan dan Tanda Tangan untuk Pengenalan Kepribadian dengan Jaringan Syaraf Tiruan Esmeralda C. Djamal*, Febriyanti, Aris Juliyanto, Sheldy Nur Ramlan 1
Jurusan Informatika Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi *Email :
[email protected]
Abstract Graphology is the standard of handwriting analysis to predict personality. As image, the analysis of graphology is divided into two approaches that graphics features and segmentation digit each character. In this research, using graphical approach based on a combination of signature and handwriting to predict the more personality using structure algorithms and multiple artificial neural networks (ANN). Several researches identified handwriting using some features such page margin, spaces between words, spacing between lines, the presence of the letter t, as well as signatures. This research is part of an integrated system to identify the personality through handwriting. Image of handwriting extracted into three features are the slope of the letter, the appearance of unique letters i, t, b, d and speed of writing. It used graphics and symbols approaches. The system was built using a multilayer neural network perceptron architecture. Especially for feature writing speed, the identification is developed in stages to the slope of the border, and the spacing between lines to be made to the decision function. The system has been implemented into the software, can recognize the personality through handwriting in order to obtain three aspects of personality. It is intended to be easy to use by the public for employee selection or election of further studies. System testing conducted on 25 test data obtained by the slope of unique occurrences of the letter writing and have an accuracy of 60%. While testing the accuracy of features obtained speed by 80%. Keywords: Handwriting and signature analysis; predict personality; Graphology; structure algorithms; multiple multilayer perceptron
1.
Pendahuluan
Tulisan Tangan mengungkapkan kepribadian sejati termasuk pengeluaran emosional, ketakutan, kejujuran, pertahanan dan lebih banyak lainnya ciri-ciri kepribadian individu. Analisis tulisan tangan baik dalam bentuk narasi ataupun tanda tangan bukan ditujukan sebagai dokumen pemeriksaan atau penentuan pihak mana yang menulisnya, tetapi lebih jauh mengungkapkan karakteristiknya. Tulisan tangan sering disebut sebagai brain writting atau cerminan otak. Saat menulis, gerakan-gerakan kecil terjadi secara tidak sadar. Setiap ditulis gerakan atau goresan mengungkapkan ciri kepribadian tertentu (Poizner, 2004). Dalam Grafologi, tulisan tangan dianalisis dengan elemen grafis struktural dalam rangka untuk memperoleh informasi tentang kepribadian penulis. Dengan bantuan teori grafologi, grafologis mengidentifikasi kualitas, sifat, sikap, sentimen atau postur yang tampaknya ditunjukkan dalam tulisan tangan, mencari wawasan tentang bagaimana aspek-aspek kedirian dapat mengintegrasikan bersama-sama untuk membentuk organisasi yang dinamis yang kita kenali sebagai kepribadian penulis. Beberapa pedoman untuk analisis tulisan tangan tujuh elemen dasar: kecepatan, tekanan, bentuk, dimensi, kontinuitas, arah, dan keteraturan (Ludvianto, 2011). Jika tes grafologi masih dilakukan secara manual dibutuhkan waktu yang lama mempertimbangkan aspek ditinjau dalam grafologi sangat banyak. Selain itu, akurasi analisis tulisan tangan tergantung pada seberapa terampil seorang ahli grafologi. Meskipun intervensi manusia dalam analisis tulisan tangan telah efektif, namun sangat mahal dan rentan terhadap kelelahan. Pengembangan bidang pengolahan citra dan pengenalan pola menyebabkan pengenalan tipe tulisan tangan berdasarkan grafologi dapat dilakukan secara otomatis. Hal ini membantu mengungkapkan kepribadian yang sesungguhnya dari sang penulis tanpa disadarinya, tanpa tekanan dari tipe tes lainnya, yang dapat digunakan oleh masyarakat luas. Grafologi mempunyai dua pendekatan, yaitu menganggap citra tulisan sebagai satu kesatuan sehingga dianalisis secara grafis, termasuk tandatangan yang menggunakan metode ini. Pendekatan kedua dengan menganggap sebagai simbol atau huruf. Beberapa penelitian menggunakan komputer untuk prediksi kepribadian dari tulisan tangan secara otomatis, di antaranya ditinjau dari fitur garis dasar, tekanan pena, dan ketinggian tiang pada huruf t untuk prediksi kepribadian penulis (Champa & Anandakumar, 2010). Penelitian lain menganalisis enam fitur yaitu ukuran huruf, kemiringan huruf dan kata, garis dasar, tekanan pena, spasis antar huruf dan spasi
221 ISBN 978-602-70361-0-9
antar kata menggunakan SVM. Kemudian dibangun beberapa parameter dan dihitung secara trigonometri dan teknik threshold. (Grewal, 2012). Kemudian selanjutnya penelitian menggunakan metode polygon untuk pengenalan pola garis dasar, kemiringan huruf, tekanan pena dan mengidentifikasi huruf unik i dan f menggunakan template matching dan JST (McNichol, 1994). Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian terdahulu yang telah menggunakan lima fitur untuk mengenali pola tulisan tangan yang dalam selembar kertas A4 yang dapat menggambarkan lima tinjauan aspek kepribadian yang berbeda (Djamal, Darmawati, & Ramlan, 2013). Penelitian tersebut memperoleh pengenalan sesuai pengamatan visual sebesar 78-100%. Penelitian ini telah dirancang sistem tulisan tanda tangan yang ditinjau dari tiga fitur secara paralel yaitu, kemiringan, kemunculan huruf unik i,t,,b,d dan kecepatan tulisan sehingga dapat memberikan identifikasi kepribadian secara otomatis. Sistem dirancang untuk menggunakan JST berarsitektur Multilayer Perceptron dengan algoritma backpropagation. Dari fitur yang diidentifikasi, menghasilkan 15 tipe kepribadian yang mungkin muncul lebih dari satu mengingat aspek yang ditinjau berbeda tiap fiturnya. Sistem telah diaplikasikan dalam perangkat lunak, sehingga dapat digunakan untuk seleksi awal pegawai. 2.
Metode
Setiap fitur mempunyai makna dalam gambaran kepribadian. Kemiringan tulisan menunjukkan bagaimana seseorang mengekspresikan perasaannya. Seseorang yang sangat mudah mengekspresikan perasaannya disebut dengan orang yang emosional (Ludvianto, 2011). Hal ini dapat dibedakan seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kepribadian berdasarkan kemiringan tulisan (Ludvianto, 2011) No. 1.
2.
Kemiringan Tulisan Tulisan miring ke kanan
Tulisan tegak
Contoh Tulisan
Kepribadian Ekspresif, memperlihatkan apa yang dirasakan.
Secara dominan menggunakan logikanya untuk memutuskan sesuatu.
3.
Tulisan miring ke kiri
Orang yang menarik diri dan menutupi perasaan aslinya.
4.
Kemiringan tidak jelas
Tidak jelas ekspresi dan pengelolaan emosinya.
Untuk kategori huruf-huruf unik tertentu telah diketahui mencirikan adanya hambatan diri atau penghalang dalam upaya pencapaian kesuksesan seseorang. Kategori huruf unik diperlihatkan pada Tabel 2.
222 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 2. Huruf unik dalam tulisan tangan No. 1.
Huruf Unik Huruf “d” dengan tangkai yang menggelembung
2.
Huruf “i” dengan titik yang berbentuk paku dan berada pada posisi sebelah kanan tiang Huruf “i” titiknya terletak di sebelah kiri tiang
3.
Contoh Tulisan
Kepribadian Tanda takut dikritik.
Tanda mudah marah dan tidak sabar.
Tanda suka menunda.
Huruf “m” yang Tanda takut ditolak. lingkungan keduanya lebih besar 5. Huruf “t” dengan cross Tidak percaya diri. bar terletak rendah pada tiangnya. 6. Huruf “t” cross bar yang Harga diri yang tidak sehat (mirip sangat rendah dan dengan tanda percaya diri jelek). pendek. 7. Huruf “t” cross bar yang Tanda mudah marah dan tidak sabar. lari di sebelah kanan tiang. 8. Huruf “t” menyerupai Keras kepala. tenda suku Indian di Amerika. 9. Huruf “t” cross bar yang Tanda suka menunda. terletak disebelah kiri tiang. Kecepatan menulis seseorang menunjukan seberapa cepat orang tersebut berfikir, memutuskan, serta menyesuaikan diri dengan perubahan[4]. Untuk dapat mengukur seberapa cepat seseorang menulis melalui tulisan tangan dapat diketahui melalui beberapa fitur struktur tulisan lainya yaitu margin, spasi antar kata dan baris. Untuk melihat kepribadian yang ditentukan melalui kecepatan menulis dapat dilihat pada Tabel 3. 4.
Tabel 3 Kecepatan Penulisan No. 1
Jenis Kecepatan Cepat
Gambar Bentuk Kecepatan Penulisan
Kepribadian
2
Normal
Mampu mengatur sesuatu dengan baik.
3
Lambat
Tenang, senang bersiap – siap namun lambat dalam eksekusi
Merespon dan berfikir cepat, terkesan terburu – buru, kurang sabar.
Untuk mengetahui kriteria dari masing – masing kelas kecepatan menulis perlu ditinjau dari struktur tulisan (margin, spasi antar kata, dan spasi antar baris) [1]. Fungsi keputusan untuk mengetahui kecepatan menulis yang ditinjau berdasarkan struktur – struktur tulisan seperti ditunjukan pada Tabel 4.
223 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 4 Tabel Fungsi Keputusan Kecepatan Tulisan No.
Jenis Kecepatan Tulisan
Fungsi Keputusan Struktur Tulisan Batas Tepi Kanan Sempit
Spasi Kata
Spasi Baris
Lebar
Lebar
1
Cepat
Kiri Lebar
2
Normal
Lebar
Lebar
Normal
Normal
3
Lambat
Menyempit
Melebar
Sempit
Sempit
Gambar 1 menjelaskan proses pengenalan kepribadian melalui tulisan tangan seseorang dengan pendekatan integrasi struktur dan simbol berdasarkan tiga kategori yaitu kemiringan, kemunculan huruf unik dan kecepatan. INPUT
Citra tulisan 2496x3496 px
PROSES
Segmentasi Tepi
Matriks 1900x2900 px Grayscale
Threshold
Segmentasi Kotak
Matriks 1685x2030 px
Segmentasi Vertikal
Hitung Jumlah Baris
Segmentasi Baris
Segmentasi Kata Struktur ukuran tulisan dengan pengolahan citra
Segmentasi Huruf 20x25 px
Data latih huruf
Normalisasi
Pelatihan JST Backpropagation
Data latih huruf Bobot Pelatihan JST Backpropagation
Identifikasi kemiringan tulisan dengan JST
Kelas Kepribadian
Bobot
Identifikasi huruf “d” dengan JST
Kelas Kepribadian (12 kelas kepribadian)
Identifikasi huruf “i” dengan JST
Identifikasi huruf “m” dengan JST
Identifikasi huruf “t” dengan JST
Kelas Kepribadian (9 kelas kepribadian)
OUTPUT
Gambar 1 Sistem pengenalan kepribadian melalui tulisan tangan
224 ISBN 978-602-70361-0-9
Citra tulisan tangan akan diidentifikasi dari kertas yang berukuran kertas A4 tanpa garis bantu, diproses dengan grayscale, threshold, segmentasi, dan normalisasi, sebagau masukan citra dalam sistem pengenalan kepribadian ini semua format gambar dapat diidentifikasi. Berdasarkan pada proses normalisasi akan mendapatkan vektor biner yang akan dijadikan masukan untuk proses jaringan syaraf tiruan dengan algoritma backpropagation. Untuk meningkatkan kualitas pengenalan maka diperlukan proses segementasi, yaitu segmentasi tepi, segmentasi kotak, segmentasi vertikal, segmentasi baris, segmentasi kata, dan segmentasi huruf. Segmentasi tepi akan menghilangkan 20 pixel dalam setiap citra digital tulisan tangan, proses ini bertujuan untuk menghilangkan noise pada citra digital tulisan tangan yang sudah melewati proses scanning dan juga bertujuan agar citra digital tulisan tangan mempunyai ukuran yang sama untuk melakukan proses selanjutnya dalam pengolahan citra. 3.
Hasil dan Pembahasan
Hasil pengujian JST backpropagation untuk data yang tidak pernah dilatih. Berdasarkan pengujian terhadap data uji terdapat tulisan yang sesuai dan tidak sesuai, yaitu terdapat 12 tulisan yang sesuai dengan mengidentifikasi kemiringan tulisan dan delapan tulisan yang sesuai dengan mengeidentifikasi huruf unik yang ada pada tulisan tersebut. 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑡𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑛𝑎𝑙𝑖 Presentase hasil huruf unik = 𝑥 100 % 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑡𝑎 15
= 25 𝑥 100 % = 60 % Presentase hasil huruf kemiringan tulisan =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑡𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑛𝑎𝑙𝑖 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑡𝑎 15
𝑥 100 %
= 25 𝑥 100 % = 60 % Pengenalan pola huruf pada sistem ini tidak begitu baik dikarenakan pada saat proses segmentasi kotak dalam pra prosesing terdapat enam data uji yang bermasalah dan hal ini sangat berpengaruh pada hasil pengenalan huruf. Penulisan yang tidak tebal juga sangat berpengaruh terhadap pengenalan pola huruf yang dibutuhkan, terdapat satu data uji yang penulisannya menggunakan pensil dan hasil dari pengenaan pola hurufnya tidak begitu jelas. Untuk akurasi dari pengenalan pola huruf terhadap fitur sebanyak 25, maka akurasinya: 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑡𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑘𝑒𝑛𝑎𝑙𝑖 Presentase kecepatan = 𝑥 100 % 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑡𝑎 =
20
25
𝑥 100 %
= 80%
Sistem diterapkan dalam perangkat lunak dengan tampilan pada Gambar 2.
Gambar 2. Tampilan perangkat lunak 4.
Kesimpulan
Pada penelitian ini telah membangun sistem menggunakan gabungan metode identifikasi struktur dan JST berarsitektur MLP yang dapat mengenali pola tulisan tangan ditinjau dari tiga fitur yaitu huruf unik, kemiringan dan kecepatan Hal ini dilakukan mengingat tipe dari ketiga fitur tersebut dapat memperkirakan kepribadian penulisnya. dapat mengenali sifat kepribadian berdasarkan tipe tanda tangannya. Sistem diterapkan dalam
225 ISBN 978-602-70361-0-9
perangkat lunak, dengan masukan citra tulisan dalam selembar kertas dengan tingkat kehitama yang cukup, yang kemudian discan secara off line. Hal ini dimaksudnya agar pengujian dilakukan tanpa disadari oleh penulisnya. Mengingat dari setiap tulisan tangan kemungkinan muncul lebih dari satu fitur, maka kesembilan fitur tersebut diidentifikasi secara paralel. Daftar Pustaka Champa, H.N, Ananda, K.R, 2010, Artificial Neural Network for Human Behavior Prediction through Handwriting Analysis, International Journal of Computer Applications (0975 – 8887), 2(2, May). Djamal, EC, Recognition of Human Personality Based on Handwriting Using Multi Structures Algorithm and Artificial Neural Networks”, 2nd IEEE Conference on Control, Systems & Industrial Informatics, Bandung, June 23-26. Grewal, P.K., Prashar, D., 2012, Behavior Prediction Through Handwriting Analysis, IJCST , 3(2), April - June Ludvianto, B., 2011, Analisis Tulisan Tangan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. McNichol, A., 1994, Handwriting Analysis Putting It to Work for You, Contemporary Books. Prasad, S., Singh, V.K. , Sapre, A., 2010, Handwriting Analysis based on Segmentation Method for Prediction of Human Personality using Support Vector Machine, International Journal of Computer Applications (0975 – 8887), 8 (12), October.
226 ISBN 978-602-70361-0-9
Pemodelan Kromosom Optimasi Penempatan Sumber Daya Manusia Berdasarkan Proyek Menggunakan Algoritma Genetika Fatan Kasyidi*, Esmeralda C. Djamal, 1Program Studi Informatika, FMIPA, Unjani dan Jalan Terusan Jenderal Sudirman, Cimahi, Jawa Barat, Indonesia *
E-mail:
[email protected]
Abstract Project is an activity that has systematically working order and have a time limit of the job. Important factor in the execution of project is the Human Resources (HR), cost and time. Selection of HR to handle the project and its position will be occupied by the HR in project requires a long process, but it’s a lot HR being selected so as to give rise to inaccuracies in placing HR for a short amount of time in selecting the necessary HR so that a more rapid and effective HR in order to increase the accuracy of the election. Genetic Algorithm (GA) is an optimal solution search method that can handle these problems by making a model of a chromosome that will be completed specifically by these methods. Modeling chromosomes are made according to the needs of problem solving. In addition to selecting HR, HR modeling can determine placed in a particular project of several projects to be undertaken over a period which is divided into several periods can be determined so that HR will not work twice in one period. With GA and modeling will be known chromosomal optimal solution based on the placement of HR. Keywords: Project, Chromosom, Modelling, Optimal, Human
1.
Pendahuluan
Proyek merupakan kegiatan skala besar yang pengerjaannya dilaksanakan dengan sistematis, memiliki rentang waktu pengerjaan yang pasti tentang awal dan akhir suatu kegiatan proyek. Oleh karena itu, segala aspek yang berhubungan langsung dengan kegiatan proyek harus diatur dengan benar agar semua aspek penting dalam proyek digunakan secara efektif dan efisien. Salah satu faktor penting dari keberhasilan kegiatan proyek adalah Sumber Daya Manusia (SDM). SDM sebagai pelaku dalam kegiatan proyek harus memiliki kapabilitas yang baik dalam mengerjakan suatu proyek. SDM memiliki peran penting yaitu untuk mengelola dua faktor penting lain dalam proyek mengenai uang dan waktu. Oleh karena itu, pemilihan SDM harus dilakukan dengan benar sehingga tidak terjadi kekeliruan atau kesalahan pemilihan. Pemilihan SDM ini dicocokan dengan kualifikasi proyek terutama posisi yang ada pada proyek tersebut. Kualifikasi SDM menjadi pengaruh tertinggi keberhasilan pengerjaan proyek, salah satu yang disoroti adalah pengeloaan resiko (Yudha., 2011). Seleksi SDM yang dilakukan dengan cara yang cukup lama, mulai dari tes tertulis hingga wawancara, seleksi tersebut dilakukan person to person sehingga dapat menimbulkan kekeliruan dikarenakan human error. Oleh karena itu dibutuhkan suatu metode atau cara untuk meminimalkan kekeliruan tersebut. Jumlah SDM yang diseleksi menjadi masalah lain yang dapat menambah waktu seleksi disamping kebutuhan proyek yang dituntut tepat waktu. Maka perlu dioptimalkan proses seleksi tersebut dengan mempertimbangkan aspek kualitas, jumlah SDM yang diseleksi dan jumlah SDM yang dibutuhkan. Secara matematis, kemungkinan SDM yang ditempatkan pada posisi tertentu sesuai dengan kualifikasi dalam suatu proyek memiliki jumlah kemungkinan yang banyak. Permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan metode algoritma genetika yang dapat memunculkan solusi optimal dari jumlah kemungkinan solusi yang banyak. Untuk mendapatkan solusi tersebut, harus dilakukan pemodelan kromosom sebagai representasi kemungkinan solusi yang akan diproses oleh algoritma genetika. Pada penelitian sebelumnya tentang penjadwalan tenaga kerja proyek kereta barang, pemodelan kromosom didasarkan pada jumlah hari yang dijadwalkan dan jumlah pekerja yang terlibat (Widya dkk,. 2012). Adapun pada kasus penjadwalan mesin pesanan industri karton, pemodelannya menggunakan hybrid flowshop yang telah dikembangkan (Nora dkk., 2011). Sedang untuk kasus pemilihan portofolio saham menggunakan model markowitz sebagai pemodelan kromosom (Wawan dan Silvia., 2005). Jadi pada dasarnya pemodelan kromosom dapat disandarkan terhadap teori lain yang tepat untuk kasus tertentu.
227 ISBN 978-602-70361-0-9
2.
Metode
Algoritma Genetika adalah suatu algoritma optimasi yang memilih solusi menggunakan pendekatan cara evolusi genetik. Algoritma genetika dapat digunakan apabila masukan terhadap metode tersebut berbentuk kromosom. Kromosom merupakan pemodelan bentuk solusi yang disesuaikan dengan topik permasalahan. Pemodelan kromosom ini sangat penting karena nilai – nilai yang akan diproses dalam algoritma genetika tergantung pemodelan kromosom itu sendiri. Pemodelan ini merupakan salah satu dari praprocessing pengolahan data masukan ke metode algoritma genetika. Proses membentuk model kromosom berasal dari spesifikasi struktur kegiatan proyek berdasarkan jumlah proyek yang akan dilaksanakan, jumlah SDM yang terlibat dan jumlah periode pengerjaan proyek. Spesifikasi ini dapat berubah tergantung kebutuhan. Spesifikasi tersebut memenuhi sebagai bentuk solusi untuk optimasi penempatan SDM. Kemudian pemodelan kromosom dibentuk dengan rincian sebagai berikut. 1. Pengerjaan proyek dilakukan empat periode, satu periode berarti tiga bulan. 2. Satu periode terdapat empat proyek yang dikerjakan bersamaan, berarti terdapat 16 proyek yang dikerjakan dalam empat periode. 3. Satu proyek memiliki 10 pos posisi yang ditempati oleh SDM, berarti terdapat 160 posisi yang dapat ditempati oleh SDM yang akan diseleksi.
Maka struktur model kromosom yang terbentuk adalah sebagai berikut. 1. Kromosom memiliki panjang sebanyak 160 gen. Gen merepresentasikan posisi yang isi dari gen tersebut adalah SDM. 2. Setiap 10 gen merepresentasikan satu proyek yang memiliki 10 posisi. 3. Setiap 40 gen merepresentasikan satu periode pengerjaan proyek.
Gambar 1. Pemodelan kromosom optimasi penempatan proyek
228 ISBN 978-602-70361-0-9
Kriteria optimal untuk solusi kromosom adalah seorang SDM bekerja hanya satu kali dalam satu periode, menempati satu posisi dalam satu kegiatan proyek, memenuhi syarat setiap posisi yang ditempati dan memenuhi nominal total gaji yang ditentukan. Kriteria ini digunakan untuk membentuk fitness function pada tahapan utama algoritma genetika. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan fitness function adalah sebagai berikut. 1 𝐹𝐾 = (1) 𝑛 (𝑥)) 1 + (∑𝑖=1 𝑓𝑖
Dengan 𝑓𝑖 (𝑥 ) merupakan nilai/skor aturan ke-i. Setiap kromosom diperiksa mengenai seberapa banyak kromosom melanggar aturan yang telah didefinisikan. Definisi melanggar berlaku untuk aturan pertama sampai ketiga, sedangkan untuk aturan keempat dihitung berdasarkan persamaan encode algoritma genetika, persamaan tersebut adalah sebagai berikut. (2) 𝑥𝑗 = 𝑟𝑏 + (𝑟𝑎 − 𝑟𝑏 )(∑𝑛𝑖=1 𝑔𝑛 × 10−𝑛 ) Dimana xj adalah proyek ke-j, ra adalah batas terkecil rate gaji, rb adalah batas tertinggi rate gaji, g n adalah nilai gen ke-n. Selanjutnya proses evolusi berjalan untuk menemukan kromosom yang memiliki fitness function sama atau lebih dari nilai standar kecocokan. Nilai standar didapat dari hasil pengujian 500 kali evolusi, jumlah evolusi dalam pengujian disesuaikan dengan kemampuan hardware yang digunakan karena semakin besar jumlah evolusi, maka waktu eksekusi akan semakin panjang. Proses persilangan adalah proses menyilangkan atau mengawinkan sepasang kromosom yang akan menghasilkan kromosom baru yang mengandung unsur kedua induk yang disilangkan. Setiap persilangan akan melahirkan dua kromosom anak Empat kromosom yang memiliki fitness function terbaik akan disilangkan dengan teknik Partially Mapped Cross Over (PMX). Langkah-langkah proses persilangan dengan teknik tersebut yaitu : 1. Tentukan dua titik secara random untuk membagi induk. Area yang terletak antara dua titik pada kromosom induk disebut area pemetaan (mapping). 2. Pertukaran area mapping dari dua induk untuk diturunkan kepada anak. Area mapping dari induk pertama dicopy untuk diturunkan pada anak kedua, sedangkan area mapping dari induk kedua di-copy untuk diturunkan pada anak pertama. 3. Definisikan pemetaan pada area mapping antara dua induk. 4. Isi anak kromosom dengan gen yang di-copy secara langsung dari induk secara berurutan dari kiri ke kanan. Jika gen tersebut sudah terdapat area mapping yang di-copy-kan sebelumnya, lakukan pengisian gen dengan melakukan pemetaan. Teknik persilangan PMX secara visual dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Teknik persilangan PMX Proses mutasi adalah proses perubahan unsur gen pada satu kromosom. Empat kromosom terbaik dari proses persilangan akan melakukan mutasi. Prinsip sederhananya menukar gen tertentu dengan gen yang lain pada kromosom yang sama. Maka keempat kromosom itulah yang akan dimutasi. Hasil mutasi satu kromosom akan menghasilkan satu kromosom anak sehingga jumlah kromosom hasil mutasi yang akan dihitung fungsi kecocokannya adalah delapan kromosom. Cara memutasikan kromosom menggunakan teknik Shift Mutation. Cara
229 ISBN 978-602-70361-0-9
kerjanya adalah dengan menggeser isi gen yang posisinya ditentukan secara random. Jumlah pergeseran gen telah ditentukan yaitu sebanyak 20% dari total gen. Jika satu gen digeser sebanyak 20% dari total gen, maka sebanyak 20% gen pula yang berpindah. Shift Mutation apabila diterapkan dalam algoritma akan sama dengan sequential sort. Shift Mutation dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Shift mutation 3.
Hasil dan Pembahasan
Hasil yang didapat merupakan model kromosom dengan struktur yang disesuaikan dengan kasus penempatan SDM berdasarkan proyek seperti pada Gambar 1. Kemudian model tersebut diujicobakan dengan melakukan pengujian 500 kali evolusi dengan hasil yang terdapat pada Gambar 4.
Gambar 4. Hasil pengujian 500 kali evolusi Pada Gambar 4 didapat grafik menaik dengan sampel data sementara sebanyak 500 orang. Grafik tersebut menunjukan bahwa pemodelan kromosom yang dibentuk telah tepat karena individu yang muncul pada setiap evolusi memiliki nilai yang semakin membaik. Oleh karena itu, pemodelan ini dapat diteruskan untuk memunculkan solusi optimal mengenai penempatan SDM dengan jumlah lebih dari 500 orang. 4.
Kesimpulan
Dari hasil kajian ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kasus seleksi SDM untuk spesifikasi proyek dapat dimodelkan oleh pemodelan kromosom yang disesuaikan dengan aturan kasus itu sendiri yang selanjutnya pemodelan ini akan menjadi masukan terhadap proses evolusi dalam algoritma genetika sehingga menjadi tepat algoritma genetika menjadi metode penyelesaian masalah tersebut. Kemudian dilihat dari hasil implementasi pemodelan kromosom dalam penerapan algoritma genetika menunjukan hasil yang sesuai yaitu fitness function semakin tinggi.
230 ISBN 978-602-70361-0-9
Daftar Pustaka I Nyoman YA. Analisa Kualifikasi Sumber Daya Manusia Dalam Pengelolaan Resiko Pada PT ADHI KARYA (Persero) Tbk. Jurnal Ilmiak Teknik Sipil. 2011; 15(2): 183-194. Widya H, Wiwik A, Retno AV. Penjadwalan Tenaga Kerja Proyek Kereta Barang PT.XYZ Menggunakan Algoritma Genetika. Jurnal Teknik POMITS. 2012; 1(4): 1-4. Wawan TN, Silvia R. Penggunaan Algoritma Genetika Untuk Pemilihan Portofolio Saham Dalam Model Markowitz. 2005; 6(2): 105-109. Nora A, Irawadi J, Yandra A, Djumali M. Penjadwalan Pesanan Menggunakan Algoritma Genetika Untuk Tipe Produksi Hybrid And Flexible Flowshop Pada Industri Kemasan Karton. Jurnal Teknik Industri. 2011; ISSN:1411-6340.
231 ISBN 978-602-70361-0-9
Perancangan Networked Control Systems dalam Platform Robosoccer Asep Najmurrokhman*, Sunubroto, Kusnandar, Syurya Abidin Jurusan Teknik Elektro Universitas Jenderal Achmad Yani * E-mail:
[email protected]
Abstract The advancement of information technology which driven by the electronics and informatics technology has motivated some control engineers to include communication network in part of control loop. In a such feedback system, information is exchanged between sensor and controller as well as between controller and actuator via communication network. It is a type of feedback system which called networked control system. The use of communication network will induce some constraints includes time delay and packet dropout, limited bandwidth, and so on. Conventional analysis in control systems which requires point-to-point, without delay, and perfect transmission must be evaluated before it is applied to networked control system. This study is developed to foster networked control system framework in robotics systems by considering some constraints in networked control system such as time delay and packet dropout. In our study, two or more robots are coordinated to gain a common goal. We employ humanoid robot which applied to robosoccer. Two or more robots are like a football player which cooperates for making a goal. For that purpose, two humanoid robots with a certain sensor and actuator have been developed and have well functioned. Due to the number of humanoid robot is limited, coordination among robots is shown through simulation. Further research is focused on testing the communication ability among robots by using communication module embedded in robots to realize the robosoccer. Keywords: actuator, camera sensor, networked control systems, robosoccer.
1. Pendahuluan Lebih dari satu dekade, perkembangan teknologi komputasi dan komunikasi maju dengan pesat. Sebagai akibat dari perkembangan tersebut, implementasi sistem kendali akhir-akhir ini diarahkan menuju sistem kendali melalui jaringan komunikasi. Sistem kendali yang melibatkan jaringan komunikasi sebagai bagian dari lingkar kendali disebut sebagai networked control systems (NCS) [Hespanha, 2007]. Penggunaan jaringan komunikasi menawarkan keuntungan yang cukup signifikan dalam hal keandalan, penggunaan sumber daya, pemeliharaan, diagnosa sistem apabila terjadi kesalahan, dan sebagainya [Zhang, 2001]. Aplikasi NCS dapat ditemukan dalam kendaraaan yang menerapkan kendali otomatis, robotika, pesawat udara nirawak (unmanned aerial vehicle), jaringan sensor nirkabel, dan sebagainya [Varsakelis, 2005]. Disamping keuntungan yang ditawarkan, ada beberapa parameter yang muncul dalam jaringan komunikasi seperti waktu tunda transmisi dan kemungkinan hilangnya data saat transmisi yang bisa menyebabkan penurunan kinerja sistem dan bahkan bisa menyebabkan ketidakstabilan [Zhang, 2001]. Heemels, dkk. (2010) menyimpulkan beberapa parameter jaringan yang harus dipertimbangkan meliputi waktu tunda transmisi data yang bervariasi, adanya kemungkinan data hilang (yang disebut packet dropout) di tengah jalan akibat ketidakhandalan jaringan, adanya error kuantisasi disebabkan keterbatasan panjang kata (finite word length), interval pencacahan yang berubah-ubah secara acak, dan penggunaan bersama jaringan oleh beberapa komponen (multi nodes). Secara skematik, sebuah NCS diberikan dalam Gambar 1.
232 ISBN 978-602-70361-0-9
Server
Pengguna Akuisisi Data Data Sensor
Plant
Sinyal Kendali
Data Sensor
Sinyal Kendali
Ethernet LAN
Pengguna Pengendali
Pengguna
Gambar 1. Skema NCS [Najmurrokhman, 2010] Dalam Gambar 1 sebuah objek (yang disebut plant) akan dikendalikan oleh pengendali melalui jaringan komunikasi yang digunakan bersama-sama dengan pengguna lainnya. Keberadaan pengguna lain dalam kanal komunikasi memungkinkan volume data yang ditransmisikan sangat padat, sehingga terjadi waktu tunda transmisi data dari pengendali ke plant atau sebaliknya. Kondisi lain yang mungkin terjadi adalah hilangnya paket data (packet dropout) karena ketidakhandalan jaringan atau akibat penumpukan data yang melebihi kapasitasnya (buffer overflow). Dengan demikian, perancangan dan implementasi NCS harus mempertimbangkan parameter jaringan tersebut. Berbagai metode telah dikembangkan oleh para peneliti dalam hal pemodelan, analisis stabilitas, dan perancangan pengendali untuk NCS yang mempertimbangkan keberadaan parameter jaringan komunikasi. Karena penelitian dalam bidang NCS masih tergolong baru, hasil-hasil yang dilaporkan dalam literatur masih mempertimbangkan beberapa parameter jaringan di atas, sementara parameter jaringan lainnya diabaikan. Rasool (2011), Shi (2011), Shi (2009), Gao (2008), dan Lam (2007) melibatkan efek waktu tunda transmisi, kehilangan paket data, dan kuantisasi dalam kinerja NCS kemudian merancang pengendali yang mampu mengatasi parameter tersebut. Sementara itu, Wang (2011) dan Zhao (2011) menguraikan NCS dengan parameter packet dropout dan waktu tunda transmisi. Peneliti lainnya melibatkan faktor kehilangan data dalam pemodelan NCS, kemudian menurunkan karakterisasi eksak dalam sintesis pengendali [Ma (2010), Aberkane (2008), Hirche (2008), Ishii (2008)]. Makalah lain membahas tentang efek kuantisasi dalam NCS kemudian mengembangkan sebuah pengendali yang mampu menangani efek tersebut [Nesic & Liberzon, (2009]. Di lain pihak, robot sepakbola menjadi tren penelitian dalam bidang kendali yang sedang berkembang cukup pesat. Hal tersebut dimotivasi oleh penyelenggaraan kompetisi robot sepakbola di ajang internasional dalam bentuk Robocup. Tahun 2012 adalah penyelenggaraan Robocup ke-16 yang bertempat di Mexico City, Mexico. Di Indonesia sendiri, kompetisi robot sepakbola dimulai tiga tahun terakhir dalam salah satu event di Kompetisi Robot Cerdas Indonesia (KRCI). Tujuan penyelenggaraan Robocup adalah mempromosikan penelitian terkait bidang robotika dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Salahsatu impian dari penggagas Robocup seperti dilansir dalam laman www.robocup.org adalah menghasilkan tim robot humanoid otonom pada tahun 2050 yang mampu melawan tim sepakbola pemenang Piala Dunia. Pengembangan robot sepakbola terkait dengan teknologi sensor, prosesor, dan komunikasi antar robot. Dalam sebuah tim robot sepakbola, beberapa robot bekerja sama saling memindahkan bola dan berkoordinasi menghasilkan gol di gawang lawan seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Tim robot sepakbola Dalam konteks NCS, tim robot sepakbola adalah robot-robot yang dihubungkan melalui jaringan komunikasi. Ada dua tipe jaringan komunikasi yang dikembangkan dalam penelitian terkait dengan robot
233 ISBN 978-602-70361-0-9
sepakbola ini, yaitu melalui mekanisme client server dan otonom. Dalam mekanisme client server, operator akan memberikan instruksi kepada robot untuk bergerak ke arah bola. Operator tersebut mensimulasikan pelatih sepakbola yang memberikan arahan kepada pemain bola dalam memainkan peranannya di lapangan selama pertandingan berlangsung. Sementara itu, robot sepakbola otonom memberikan kepercayaan penuh kepada robotrobot humanoid yang berada di lapangan dalam bermain. Dalam konfigurasi tim sepakbola otonom, media komunikasinya umumnya berbentuk wireless. Oleh karena itu, tujuan penelitian robot sepakbola adalah merancang sistem robot humanoid yang dilengkapi dengan sensor yang memadai sehingga mampu berkomunikasi secara wireless dengan robot humanoid lain dan mampu menghasilkan gol ke gawang lawan. Menurut FIRA (federation of international robosoccer association) sebagai organisasi yang mengembangkan robot sepakbola, penelitian terkait dengan robot sepakbola mencakup penelitian tentang koordinasi antar bagian dalam satu tim yang masing-masing anggotanya disebut agen, sehingga tim robot sepakbola disebut multi agent. Setiap agen memiliki dinamika dan karakteristik spesifik tetapi secara keseluruhan tim tersebut harus berkoordinasi mencapai tujuan yang diinginkan. Koordinasi antar agen dilakukan dengan protokol komunikasi tertentu dan melalui skema pengendali terdistribusi. Dalam konteks NCS, sistem robot sepakbola adalah sistem NCS yang pengendalinya terdistribusi dalam ruang dan saling berkoordinasi dengan memanfaatkan jaringan komunikasi. Dengan demikian, berdasarkan uraian sebelumnya, salahsatu keberhasilan dalam robot sepakbola adalah menangani parameter jaringan komunikasi yang muncul seperti waktu tunda transmisi dan kehilangan paket data selama pertukaran data antar robot. Beberapa penelitian terkini terkait dengan robot sepakbola diantaranya penggunaan komunikasi dengan menggunakan bahasa manusia [Schiffer dkk. (2012), Argall dkk. (2005)], pengembangan algoritma pengendali menggunakan jaringan syaraf tiruan [Jolly dkk. (2007)], dan konstruksi protokol komunikasi untuk mendukung sistem robot sepakbola [Sanfeliu dkk. (2008)]. 2.
Metode
Platform robot sepakbola dibangun oleh setiap robot humanoid yang dilengkapi dengan kemampuan pengenalan objek dan gerak yang fleksibel serta komunikasi antar robot. Salahsatu tipe robot humanoid yang telah dan sedang dikembangkan diperlihatkan dalam Gambar 3. Komponen utama pendukung robot sepakbola adalah sensor, prosesor, motor dan drivernya, serta algoritma pengendali yang efektif mendukung keberhasilan pencapaian tujuan pengendaliannya.
Gambar 3. Robot humanoid dan komponen utamanya
Sensor utama yang dimiliki oleh robot sepakbola adalah gyroscope dan sensor kamera. Gyroscope adalah suatu alat berupa sensor gyro untuk menentukan orientasi gerak dengan bertumpu pada roda atau cakram yang berotasi dengan cepat pada sumbu seperti diperlihatkan pada Gambar 4.
234 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 4. Sensor gyroscope Gyroscope memiliki output yang peka terhadap kecepatan sudut dari arah sumbu x yang nantinya akan menjadi sudut phi (roll), dari sumbu y nantinya menjadi sudut theta (pitch), dan sumbu z nantinya menjadi sudut psi (yaw). Penggunaan gyroscope pada robot humanoid adalah sebagai sensor keseimbangan yang dimana apabila robot jatuh dapat berdiri sendiri tanpa bantuan manusia. Sementara sensor kamera yang digunakan adalah CMUCAM yang diperlihatkan dalam Gambar 5. CMUCAM terdiri dari SX52 mikrokontroler dengan antarmuka OV6620 atau OV7620 Omnivision CMOS camera dalam sebuah Chip. Modul komunikasi menggunakan RS-232 atau TTL serial port. Pergerakan dengan gambar yang berbeda 26 gambar perdetik. Jenis kamera ini memiliki resolusi maksimum 160 x 255 dengan kemampuan menangani servo sebanyak 5 buah dan kecepatan transmisi data (dalam satuan baudrates) sebesar 115200, 57600, 38400, 19200, 9600, 4800, 2400, dan 1200. CMUcam2 digunakan sebagai sensor penglihatan pada robot humanoid. Semua warna yang ditangkap oleh kamera diolah prosesor CMUcam dan dikodekan untuk dapat mengontrol robot, sehingga robot dapat menendang bola berwarna jingga. Selain itu robot juga dapat membedakan warna untuk memasukkan bola tersebut ke dalam gawang. Dalam pengembangan berikutnya, untuk menambah kemampuan robot sepakbola, selain dua sensor diatas ditambahkan pula sensor kompas dan sensor tekanan untuk mendeteksi orientasi robot dan pengukuran jarak.
Gambar 5. CMUcam2 GUI dan diagram bloknya
Secara konseptual, gerak robot menendang bola diperlihatkan pada Gambar 6. Gambar tersebut mengilustrasikan tendangan penalti yang akan dilakukan robot. Dalam hal ini, posisi bola didefinisikan sebagai pusat tujuan. Awalnya, robot mengenali posisi bola. Kemudian, robot itu sendiri memulai posisi dari arah A ke B dan robot bergerak menuju posisi yang berada di belakang posisi bola. Secara teoretis, posisi ini disebut dengan subgoal (posisi B), dan ini ditentukan dari arah berlawanan dari bola dan pusat tujuan dengan daerah pada offset tertentu. Namun, karena keterbatasan bidang pandang kamera dan arsitektur kamera tunggal, sulit untuk tepat menentukan posisi subgoal secara akurat. Oleh karena itu, robot hanya bergerak menuju ke subgoal kecil pada daerah offset sekitar 5-10 cm. Ketika robot bergerak di sekitar subgoal, robot mencoba untuk bergerak sendiri sehingga bola dan pusat tujuan berada di depan robot. Pada saat ini, robot ini sangat dekat dengan subgoal teoretis. Selanjutnya, robot bergeser kiri atau kanan sehingga bola berada di depan satu kaki. Akhirnya, robot bergerak sendiri untuk mencapai bola dan kemudian menendang bola ke gawang.
235 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 6. Menendang bola ke gawang. Dalam satu tim robot sepakbola, pola pergerakan robot menjadi lebih kompleks. Selain harus mendeteksi pergerakan bola, setiap robot harus mengenali anggota tim dan juga lawannya. Komunikasi antar robot dalam satu tim bisa menggunakan sinyal suara atau deteksi warna. Dalam konteks NCS, setiap robot harus memiliki kemampuan mengenali teman satu tim dan lawannya serta memberikan informasi posisi relatif terhadap temannya agar bisa menyelesaikan tugasnya dihadapkan kepada kendala komunikasi yang mungkin muncul seperti adanya waktu tunda sinyal komunikasi atau adanya kemungkinan informasi dari salah satu robot tidak mencapai robot yang lain, dan sinyal gangguan dari luar. Berbeda halnya dengan implementasi NCS di industri atau aplikasi jaringan sensor yang bersifat statis, platform robot sepakbola menghasilkan konsep NCS untuk sistem yang dinamis. Dalam perkembangannya, konsep NCS untuk sistem dinamis seperti robot sepakbola atau koordinasi antar pesawat, sistem pengaturan lalu lintas secara otomatis, dan sebagainya mempertimbangkan dinamika dari setiap pergerakan bagian-bagian dalam sistem tersebut. 3.
Hasil dan Pembahasan
Berkaitan dengan simulasi robot sepakbola, TrueTime Simulator yang dibangun oleh peneliti Lund University sejak tahun 1999 memungkinkan untuk mensimulasikan konsep NCS dalam robot sepakbola [Andersson dkk. (2005)]. Dalam perangkat simulasi ini, semua pemain dimodelkan oleh blok yang tersedia dalam library-nya serta komunikasi antar pemain ditentukan melalui fasilitas yang ada dalam library yang lain. Setiap pemain robot sepakbola dalam simulator ini disebut mote. Dinamika setiap pemainnya ditentukan dan diasumsikan bergerak secara planar (datar). Bentuk diagram blok dari setiap pemain dalam robot sepakbola diperlihatkan dalam Gambar 7.
Gambar 7. Diagram blok untuk tiap pemain dalam robot sepakbola Diagram blok yang diperlihatkan dalam Gambar 7 merepresentasikan dinamika setiap mote yang bergerak dalam arah sumbu x dan sumbu y secara bebas. Selain itu, setiap mote memiliki dua buah output D/A yang menyatakan arus motor listrik yang digunakan. Dinamika antara arus dan posisi motor diberikan oleh fungsi transfer dalam blok tersebut. Dalam sistem ini, posisi dan kecepatan setiap robot diasumsikan dapat ditentukan secara langsung, sehingga memiliki empat buah input A/D untuk sinyal-sinyal tersebut. Komunikasi antara mote difasilitasi oleh port Snd dan Rcv. Salahsatu tampilan dari simulator yang menggambarkan proses memasukkan bola ke gawang diperlihatkan dalam Gambar 8.
236 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 8. Urutan proses memasukkan bola ke gawang 4.
Kesimpulan
Makalah ini telah menguraikan perspektif networked control system serta aplikasinya dalam robot sepakbola. Pertimbangan teknis dan praktis dalam membangun robot sepakbola mencakup pemilihan komponen sensor, prosesor, motor, dan kemampuan komunikasi antar robot. Sebuah perangkat simulasi untuk mensimulasikan pergerakan robot dalam suatu tim robot sepakbola juga telah diuraikan. Perangkat tersebut dapat digunakan dalam simulasi robot sepakbola dengan mengeksplorasi dinamika setiap robot dan kondisi komunikasi antar robotnya. Penelitian lanjutan yang sedang dikembangkan berupa pengujian kemampuan komunikasi antar robot menggunakan modul komunikasi yang dibuat di setiap robot. Penerapan desain pengendali untuk sistem NCS seperti dilaporkan dalam Najmurrokhman dkk. (2013) dalam konteks robot sepakbola juga sedang dikaji. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unjani yang telah mendanai penelitian ini dalam skema Penelitian Unggulan tahun anggaran 2013. Daftar Pustaka Aberkane S, Ponsart J.C., Sauter D. Output-Feedback H2/H Control of A Class of Networked Fault Tolerant Control Systems. Asian Journal of Control. 2008; 10(1): 34 – 44. Andersson M, Henriksson D, Cervin A, Arzen KE. Simulation of Wireless Networked Control Systems. Proc. IEEE Conf. Decision and Control. Seville, Spain. 2005: 476-481. Argall B, Gu Y, Browning B, Veloso, M. The First Segway Soccer Experience:Towards Peer-to-Peer HumanRobot Teams. Carnegie Mellon School of Computer Science, Technical Report CMU-CS-05-161, 2005. Gao H, Chen T, Lam J. A New Delay System Approach to Network-based Control. Automatica. 2008; 44(1): 39 – 52. Heemels WPMH., et al. Networked Control Systems with Communication Constraints: Tradeoffs between Transmission Intervals, Delays and Performance. IEEE Trans. on Automatic Control. 2010; 55(8): 1781 – 1796. Hespanha J, Naghshtabrizi P, Xu Y. A Survey of Recent Results in Networked Control Systems. Proc. of The IEEE. 2007; 95(1): 138-162. Hirche S, Chen CC, Buss M. Performance Oriented Control Over Networks: Switching Controllers and Switched Time Delay. Asian Journal of Control. 2008; 10(1):24-33. Ishii H. H∞ control with limited communication and message losses. Systems & Control Letters. 2008; 57: 322331. Jolly KG, Ravindran KP, Vijayakumar R, Kumar RS. Intelligent decision making in multi-agent robotsoccer system through compounded artificial neural networks, Robotics and Autonomous Systems Journal. 2007; 55(7): 589-596. Lam J, Gao H, Wang C. Stability Analysis for Continuous Systems with Two Additive Time Varying Delay Components. Systems Control Letters. 2007; 56(1): 16-24. Luo RC (2000): Development of a multi-behavior based mobile robot for remote supervisory control through the Internet, Trans. on Mechatronics. 2000; 5(4): 376-385. Ma D, Dimirovski GM, Zhao J. Hybrid state feedback controller design of networked switched control systems with packet dropout, Proc. of American Control Conference. Baltimore, Maryland. 2010: 1368-1373. Najmurrokhman A, Riyanto B, Rohman AS. Output Feedback Controller for Dissipative Networked Control Systems via Markovian Jump System Approach. Proc. International Conf. on Intelligent Unmanned Systems. Bali. 2010: 510-515.
237 ISBN 978-602-70361-0-9
Najmurrokhman A, Riyanto B, Rohman AS, Hendrawan. Dissipative Controller Design for Networked Control Systems via the Markovian Jump System Approach. Journal of Engineering and Technological Sciences. 2013; 45(1): 25-46. Nesic D, Liberzon D. A Unified Framework for Design and Analysis of Networked and Quantized Control Systems. IEEE Trans. on Automatic Control. 2009; 54(4): 732-747. Rasool F, Nguang SK, Krug M. Robust H∞ output feedback control of networked control systems with multiple quantizers. Proc. of IEEE Conf. on Industrial Electronics and Applications. 2011: 1541-1546. Sanfeliu A, Hagita N, Saffiotti A. Network Robot Systems. Robotics and Autonomous Systems Journal. 2008;56(10): 793-797. Schiffer S, Hoppe N, Lakemeyer G. Flexible Command Interpretation on an Interactive Domestic Service Robot. Proc. of the 4th International Conference on Agents and Artificial Intelligence (ICAART 2012). Algarve, Portugal. 2012: 26-35. Shi P, Yang R, Gao H. State Feedback Control for Networked Systems with Mixed Delays Subject to Quantization and Dropout Compensation. Proc. of Chinese Control and Decision Conference, Mianyang, China. 2011: 295-299. Varsakelis DH, Levine, WS. Handbook of Networked and Embedded Control Systems. Boston: Birkhauser. 2005. Wang YL, Liu WT, Zhu XL, Du Z. A Survey of Networked Control Systems with Delay and Packet Dropout. Proc. of Chinese Control and Decision Conference. Mianyang, China. 2011: 2342-2346. Zhang W, Branicky MS, Phillips SM. Stability of Networked Control Systems. IEEE Control Systems Magazine. 2001; 21: 84-99. Zhao MY, Liu HP, Li ZJ, Sun DH. Fault Tolerant Control for Networked Control Systems with Packet Loss and Time Delay. International Journal of Automation and Computing. 2011; 8(2): 244-253.
238 ISBN 978-602-70361-0-9
Pengenalan Wajah Mahasiswa Dalam Presensi Kuliah Menggunakan Algoritma Eigen Face Berbasis Perangkat Mobile Android Ridwan Ilyas*, Wina Witanti1, dan Rezki Yuniarti 1
Program Studi Informatika, Universitas Jenderal Achmad Yani Jl. Terusan Jenderal Sudirman Cimahi Jawa Barat *Email:
[email protected]
Abstract Build a face recognition system on mobile devices has some challenges. The biggest challenge of the problem is the capacity and capability of data and the processor is lower than the personal computer. Camera components that exist on every type of mobile device is different so it is a challenge. In this study designed a face recognition system based on mobile devices which can then be paired in the Presence student system. The method used to recognize faces is Eigen Face. Before the process using the Eigen Face facial recognition, facial recognition porse then performed in the image area using EyeMap method possible. Format of the processed image is gray image (gyascale) without going through the process threshold. Normalization of the processed image size is 30x20 pixels obtained from pre-study results of face detection capabilities. From the test results, obtained 77% accuracy the results of the test object 30 people with 5 data train and a test data on each person. The system can detect faces even look left, right, up and down a distance of not more than one meter. The average time to compute Eigen Face is 1272 milliseconds. The average time to test the new data is 70 milliseconds. The system can recognize many faces in a single image. Keywords: Facial Recognition, Eyes Detection, Eigen Face, EyeMap, Android.
1.
Pendahuluan
Pengenalan wajah dalam dunia modern saat ini sudah dipakai dalam banyak hal, seperti pencarian orang dengan deteksi wajah, autentifikasi selain password untuk log in dan lain sebagainya yang berhubungan dengan privasi seseorang. Perkembangan teknologi informasi berbasis komputer saat ini telah mendorong segala sesuatunya berbasis komputer, salah satunya adalah sistem presensi. Sistem presensi yang ada pada saat ini digunakan sebagai kepentingan pencatatan kehadiran seseorang secara umum. Pada universitas, digunakan sebagai beberapa prasyarat bagi seorang mahasiswa, misalnya sebagai syarat ujian. Bagi dosen atau guru, dapat menjadi acuan prestasi, bahkan di beberapa perguruan tinggi benar-benar dapat mempengaruhi gaji. Salah satu hal yang paling unik pada seseorang adalah wajah. Pemindai wajah dapat digunakan sebagai presensi seseorang arena mempunyai keunikan masing-masing. Dengan perangkat mobile yang memiliki kamera, citra wajah dapat ditangkap dan dideteksi sebagai cara presensi baru. (Turk & Pentland, 1991). Dalam penelitian sebelumnya telah dilakukan pengenalan wajah menggunakan eigen face dengan tingkat 84.3% (Dave & friends). Dalam penelitian tersebut eigen value dicari hanya untuk setiap wajah tanpa proses penentuan eigen value untuk setiap klasifikasi wajah, tahapan segmentasi wajah menggunakan template matching. Dalam penelitian ini dilakukan pengenalan wajah menggunakan eigen face. Untuk meningkatkan kualitas pengenalan maka gambar wajah yang diambil melalui kamera disegementasi hanya pada area wajah. Hal tersebut dilakukan dengan tahapan segementasi kulit berdasarkan warna RGB. Kemudian segementasi mata dengan eyemap yang menghasilkan area wajah untuk diproses dengan eigen face. Di sisi lain, deteksi area mata untuk segementasi wajah telah dilakukan dalam penelitian terdahulu sehingga menghasilkan tingkat akurasi 98,54% (Nasiri & friends). Sistem yang dihasilkan dari penelitian ini diimplementasikan dalam perangkat mobile dengan sistem operasi android. Algoritma eyemap terbukti dapat mendeteksi keberadaan mata baik dalam citra warna maupun citra modifikasi (misal: pengabuan atau deteksi tepi). Pada citra warna yang tidak mengalami perubahan didapat tingkat akurasi sebesar 83.75% (Shafi & Chung, 2009). Dalam penelitian tersebut digunakan pula eyemap seperti pada penelitian ini. Yang membedakan adalah prose pencarian mata menggunakan eyemap pada penelitian ini hanya dilakukan pada area/wilayah warna kulit, sedangkan dalam penelitian sebelumnya dilakukan pencarian untuk seluruh area citra dan citra yang menjadi masukan sudah berupa citra wajah.
239 ISBN 978-602-70361-0-9
2.
Metode
Sistem yang dibangun menghimpun seluruh proses pengolahan citra dalam mengenali wajah seseorang sehingga dimunculkan nama pemilik wajah. Proses tersebut melibatkan beberapa wajah masukan yang disimpan pada basis data berupa nilai vektor. Dalam proses pembelajaran data wajah yang masuk hanya satu, sedangkan dalam proses pengujian data wajah yang ada pada citra boleh dari satu. Semua input berupa data wajah dari satu hingga ke-n diproses melalui tahapan praposes untuk menemukan segementasi wajah dan tahapan proses utama untuk menemukan eigen vektor. Proses segementasi wajah dimulai dengan segementasi kulit, segementasi mata sehingga akhirnya muncul koordinat mata. Proses eigen face dimulai dengan pencarian nilai eigen sehingga kemudian ditemukan eigen vektor. Kedua tahapan itu dilakukan terhadap semua data wajah. Data wajah uji yang masuk ke dalam sistem, diproses sebagaimana data latih yaitu melalui rahapan praproses dan eigen face. Hasil akhir dari data uji berupa eigen vektor dari wajah tersebut. Untuk menentukan pemilik wajah dari data uji, maka dicari nilai error atau jarak simpangan antara eigen vektor data uji dengan seluruh data wajah. Nama pemilik data latih dengan nilai error paling kecil dianggap sebagai pemilik wajah data uji. Arsitektur sistem dapat dilihat pada Gambar 1.
Data Masukan
Segementasi Wajah (area kulit, posisi mata)
Praposes (pengabuan, normalisasi, matrik vektor)
Pencarian Error
Data Uji
Eigen Face
Pemilih wajah
Gambar 1. Arsitetur sistem pengenalan wajah dengan tahapan segmentasi, praproses dan Eigen Face. Proses pengujian merupakan tahapan untuk menentukan nama dari pemilih wajah. Eyemapc adalah algoritma mengolah citra untuk menemukan penggambaran wajah berdasarkan mata. Dalam prosesnya citra RGB dirubah terlebih dahulu ke format YCbCr. Nilai dari Cb dan Cr citra tersebut diolah sehingga hanya menghasilkan area wajah. Eyemapl adalah algoritma tahap lanjut mengeolah citra untuk menemukan mata pada citra. Format citra yang digunakan sama seperti eyemapl yaitu citra dengan format YCbCr. Tahap akhir dari algoritma eyemap adalah menggabungkan citra hasil pengolahan eyemapc dan eyemapl. Penggabungan tersebut yaitu dengan menghitung tiap pixel wajah kedua citra untuk dimasukkan ke dalam citra baru dengan fungsi and. Tahapan pengujian/deteksi dalam eigen face dimulai dengan mencari eigen face dari data uji merujuk kepada rataan vektor kelompok wajah, kemudian menghitung nilai error kepada semua eigen face populasi wajah dengan menghitung selisih absolute semua pixel wajah, dan terakhir mencari nilai error terkecil dari semua perhitungan no2 sehingga wajah dengan dengan error terkecil terdefinisi sebagai wajah yang mirip dengan wajah uji. Tahapan pertama dari Algoritma eigen value adalah memproyeksikan citra dua dimensi hasil normalisasi ke deret aray satu dimensi. Persamaan yang digunakan untuk memproyeksikan citra adalah: Projection Face[x][y]→Face(0,Face(x,y))
(1)
dimana: Face[x][y] adalah nilai pixel citra dalam matriks x,y
Setelah semua wajah sudah dalam satu array satu dimensi, maka harus dicari vektor dari kelompok wajah atau eigen value. eigen value dari semua wajah digunakan untuk mencari eigen face setiap wajah. eigen value dicari dengan persamaan :
240 ISBN 978-602-70361-0-9
𝑛−1
𝑉𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑥̅ = ∑ 𝑖=0
𝑣𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟𝑖 + 𝑣𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟𝑖+1 𝑛
(2)
dimana: Vektor 𝑥̅ adalah vektor rataan (eigen value), Vektor i adalah vektor wajah. Setelah ditemukan rataan vektor, maka dicari eigenface dari setiap wajah. eigen face ini yang akan menjadi acuan dalam penentuan nilai error dari wajah uji dengan wajah latih. Untuk mencari eigen face digunakan persamaan: 𝐸𝑖𝑔𝑒𝑛 𝐹𝑎𝑐𝑒 𝑊𝑎𝑗𝑎ℎ 𝑥 (𝛽𝑥 ) = 𝑉𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑊𝑎𝑗𝑎ℎ 𝑥 − 𝑉𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑥̅ (3) dimana: Vektor 𝑥̅ adalah array rataan (eigen value), Vektor x adalah array wajah. Untuk melakukan pengujian, maka wajah uji diperlakukan sama seperti wajah latih. Untuk mencari eigen face dari wajah uji digunakan persamaan: 𝐸𝑖𝑔𝑒𝑛 𝐹𝑎𝑐𝑒 𝑊𝑎𝑗𝑎ℎ 𝑥 (𝛽𝑥 ) = 𝑉𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑊𝑎𝑗𝑎ℎ 𝑥 − 𝑉𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑥̅
(4)
Setelah itu dicari nilai error dari wajah uji dengan menghitung nilai absolute dari jumla selilih antar pixel wajah uji dan wajah latih. Untuk mencari nilai error digunaan persamaan: 𝐸𝑖𝑔𝑒𝑛 𝐹𝑎𝑐𝑒 𝑊𝑎𝑗𝑎ℎ 𝑈𝑗𝑖 (∅) = 𝑉𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑊𝑎𝑗𝑎ℎ 𝑈𝑗𝑖 − 𝑉𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑥̅
(5)
dimana: Vektor 𝑥̅ adalah array rataan (eigen value), Vektor x adalah array wajah. Untuk melakukan pengujian, maka wajah uji diperlakukan sama seperti wajah latih. Untuk mencari eigen face dari wajah uji digunakan persamaan: 𝐸𝑖𝑔𝑒𝑛 𝐹𝑎𝑐𝑒 𝑊𝑎𝑗𝑎ℎ 𝑈𝑗𝑖 (∅) = 𝑉𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑊𝑎𝑗𝑎ℎ 𝑈𝑗𝑖 − 𝑉𝑒𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑥̅
(6)
Setelah itu dicari nilai error dari wajah uji dengan menghitung nilai absolute dari jumla selilih antar pixel wajah uji dan wajah latih. Untuk mencari nilai error digunaan persamaan : 𝑛
𝐸𝑟𝑟𝑜𝑟 𝐷𝑖𝑠𝑡𝑎𝑛𝑐𝑒 𝑡𝑒𝑟ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝 𝑤𝑎𝑗𝑎ℎ 𝑥(𝜔𝑥 ) = ∑|∅(𝑥,𝑦) − 𝛽𝑥(𝑥,𝑦) |
(7)
𝑖=1
dimana: ∅(𝑥,𝑦) adalah eigen face wajah uji ke x,y 𝛽𝑥(𝑥,𝑦) adalah eigen face setiap wajah latih. 3.
Hasil dan Pembahasan
Pengujian kemampuan sistem dalam mendeteksi wajah dilakukan dengan dua model pengujian. Model pertama adalah kemampuan sistem mendeteksi wajah dimana objek foto menghadap lurus ke arah kamera dengan beberapa variasi jarak. Data hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
241 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 1. Hasil Uji Deteksi Wajah Untuk Data Latih No
Jarak (meter) 0.3 L T 80 120 69 105 80 120 80 120 70 104 80 120 85 129 75 112 65 98 70 105 70 105 80 120 69 104 61 91 74 112
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Mahasiswa 1 Mahasiswa 2 Mahasiswa 3 Mahasiswa 4 Mahasiswa 5 Mahasiswa 6 Mahasiswa 7 Mahasiswa 8 Mahasiswa 9 Mahasiswa 10 Mahasiswa 11 Mahasiswa 12 Mahasiswa 13 Mahasiswa 14 Mahasiswa 15
0.6 L 56 43 53 57 56 53 53 49 42 40 50 49 75 43 43
T 85 64 79 85 85 79 79 74 65 60 74 74 112 65 64
0.9 L 40 40 40 40 40 40 40 40 50 43 40 40 43 45 x
T 60 60 60 60 60 60 60 60 74 64 60 60 64 69 x
1.2 L 40 x x 40 40 40 x x x x x 40 40 x x
T 60 x x 60 60 60 x x x x x 60 60 x x
1.5 L x x x x x x x x x x x
T x x x x x x x x x x x
x x x
x x x
Keterangan : L = Lebar area wajah (px) T = Tinggi area wajah (px) X = Wajah tidak terdeteksi Berdasarkan pada hasil uji deteksi di atas, kita dapat mengetahui beberapa hal yaitu: 1. Rata-rata jarak maksimum yang dapat mendeteksi wajah adalah satu meter. Pada jarak lebih dari satu meter, wajah responden ada yang terdeteksi dan ada yang tidak, 2. Pada jarak satu setengah meter (1.5) sudah tidak dimungkinkan bagi sistem untuk mendeteksi wajah, 3. Lebar dan tinggi wajah minimum pada jarak deteksi terjauh adalah 40x60 pixel, 4. Pada jarak 0.3 dan 0.6 meter tingkat akurasi 100%, 5. Pada jarak 0.9 meter tingkat akurasi (14/15) x 100% = 93%, 6. Pada jarak 1.2 meter tingkat akurasi (6/16) x 100% = 37%, Pengujian kemampuan deteksi wajah, dilakukan pula untuk model wajah yang tidak lurus menghadap ke kamera. Pada model kedua ini setiap responden diminta memalingkan wajahnya ke empat buat sudut yaitu atas, kiri, bawah dan kanan. Data hasil pengujian pada model ini dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Hasil uji kemampuan deteksi wajah untuk data latih Jarak (meter) No
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Mahasiswa 1 Mahasiswa 2 Mahasiswa 3 Mahasiswa 4 Mahasiswa 5 Mahasiswa 6 Mahasiswa 7 Mahasiswa 8 Mahasiswa 9 Mahasiswa 10 Mahasiswa 11
10 11
0.3
0.6
0.9
1.2
Kn Y Y Y Y Y Y Y Y Y
Kr Y Y Y Y Y Y Y Y Y
Md Y Y Y Y Y Y Y Y Y
Mn Y Y Y Y Y Y Y Y Y
Kn Y Y Y Y Y Y Y Y Y
Kr Y Y Y Y Y Y Y Y Y
Md Y Y Y Y Y Y Y Y Y
Mn Y Y Y Y Y Y Y Y Y
Kn Y T Y Y Y Y Y Y T
Kr Y Y Y Y Y Y Y Y Y
Md Y Y Y Y Y Y Y Y Y
Mn Y Y Y Y Y Y Y T T
Kn T T T T T T T T T
Kr T T T T T T T T T
Md T T T T T T T T T
Mn T T T T T T T T T
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
T
T
Y
Y
T
T
T
T
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
T
T
T
T
242 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 2. Hasil uji kemampuan deteksi wajah untuk data latih (lanjutan) Jarak (meter) No
12 13 14 15
Nama
0.3
Kn Kr Md Mahasiswa Y Y Y 12 Mahasiswa Y Y Y 13 Mahasiswa Y Y Y 14 Mahasiswa Y Y Y 15 Keterangan : T : Wajah tidak terdeteksi Y : Wajah terdeteksi Kn : Menengok ke kanan Kr : Menegok ke kiri Md : Menunduk Mn : Menengadah
0.6
0.9
1.2
Mn
Kn
Kr
Md
Mn
Kn
Kr
Md
Mn
Kn
Kr
Md
Mn
Y
Y
Y
Y
Y
Y
T
Y
Y
Y
T
T
T
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
T
T
T
T
Y
Y
Y
Y
Y
Y
T
Y
Y
T
T
T
T
Y
Y
Y
Y
Y
T
T
T
T
T
T
T
T
Berdasarkan pada hasil data yang ada, kita dapat mengetahui beberapa hal yaitu: 1. Pada jarak lebih dari satu meter, wajah dari responden sudah tidak memungkinkan untuk terdeteksi. 2. Pada jarak dimawa wajah dalam keadaan lurus tidak terdeteksi, pada model ini pun wajah responden tidak dapat terdeteksi baik itu minghadap ke kanan, atas, kiri maupun bawah (lihat no 15). 3. Pada jarak mendekati satu meter (0.9 m) tidak semua wajah responden dapat terdeteksi. Pengujian tahap akhir adalah pengujian kemampuan sistem dalam melakukan pembelajaran dan pengujian. Parameter yang diuji adalah waktu yang diperlukan sistem dalam melakukan pembelajaran dan pengujian. Parameter lain yang paling utama adalah kemampuan sistem dalam mengenala data uji baru. Data hasil pengujian parameter waktu dengan komponen-komponen di atas dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil perhitungan waktu proses komponen pelatihan dan pengujian No 1
Komponen Pelatihan/Pengujian
2 3
Mencari Rataan Vektor (eigen value) Menentukan Eigen Face Menguji Dengan Semua Data Latih Menguji Dengan Satu Wajah Data Latih Menguji Pengenalan Satu Wajah
4 5
5 732
10 904
Waktu Proses (milidetik) Jumlah Mahasiswa 15 20 25 30 1432 1770 2344 2348
5586 1166
6961 2320
12729 2408
25179 2963
14086 4241
19340 4273
20211 6171
50907 7532
538
884
1184
1556
1847
2139
2463
3104
300
587
997
1278
1693
1965
2679
2808
35 3132
40 6495
Dari hasil pengukuran waktu proses di atas dapat dihitung waktu rata-rata setiap wajah untuk memproses kelima tahapan uji. Rata-rata waktu untuk mencari eigen value adalah 162 milidetik. Rata-rata waktu untuk menentukan eigen face adalah 1272 milidetik. Rata-rata waktu untuk menguji dengan semua data latih adalah 188 milidetik. Rata-rata waktu untuk dengan satu data latih 77 milidetik. Rata-rata waktu untuk menguji dengan data baru adalah 70 milidetik. Pengujian kemampuan deteksi wajah dilakukan terhadap data dari mahasiswa yang sebelumnya sudah masuk dalam sistem juga satu data mahasiswa baru yang tidak ada dalam sistem. Pengujian dilakukan dengan data latih dan data baru. Pengujian dilakukan dengan 30 data wajah baru dari mahasiswa yang telah diambil sebelumnya. Pada pengujian ini, selain perameter ketepatan mendeteksi wajah, juga analisa parameter waktu proses dan nilai error yang ditampilkan oleh sistem. Jika ketepatan dari pengenalan salah, maka dilakukan analisa terhadap pengujian tersebut.
243 ISBN 978-602-70361-0-9
Dari hasil pengujian dengan data latih dihitung tingkat akurasi pengenalan wajah. Dari tiga puluh (30) data uji, dua puluh tiga (23) diantaranya menunjukan nama yang benar, sedangkan 7 sisa menunjukkan data yang salah. Karena hal itu maka didapatkan tingkat akurasi : 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑑𝑒𝑡𝑒𝑘𝑠𝑖 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑝𝑎𝑡 23 ≈ 𝑥 100% = 77% 30 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑡𝑎 4.
Kesimpulan
Sistem pengenalan wajah menggunakan eigen face dapat mengklasifikasi wajah dengan benar sebesar 77%. Tingkat akurasi tersebut didapat dari 150 gambar wajah sebagai data latih dari 30 orang mahasiswa dan diuji dengan 30 gambar wajah sebagai data uji. Permasalahannya, klasifikasi tiap segmentasi wajah hanya diwakili oleh satu nilai simpangan terhadap rata-rata, sehingga hal ini sangat rentan terhadap nilai ekstrim. Misalnya dijumpai tidak akuratnya pengenalan pada wajah yang tertutup rambut, warna kerudung yang berbeda atau mirip dengan rentang warna RGB kulit. Kemampuan sistem dalam mengklasifikasi area wajah dengan benar dengan kemampuan deteksi terbatas pada jarak di bawah satu meter, yang tergantung dari resolusi gambar wajah serta perangkat prosesor yang digunakan. Sistem mampu mendeteksi wajah pada citra meskipun mahasiswa yang diambil gambarnya menengok ke kiri, kanan atas dan bawah dengan sudut tidak lebih dari 300. Sistem dapat mengenali beberapa wajah yang yang ada pada citra. Dalam proses pengujian terdapat beberapa mahasiswa yang diambil gambarnya secara bersamaan. Dalam satu gambar dapat dikenali lebih dari tiga gambar. Rata-rata waktu untuk mencari eigen face dalam proses pelatihan adalah 1,272 detik. Dalam penelitian ini terdapat banyak kekurangan juga beberapa hal yang dapat dikembangkan dikemudian hari, oleh karena itu terdapat beberapa rekomendasi untuk penelitian selanjutnya yaitu: 1. Memperbesar nilai resolusi gambar yang akan diidentifikasi dari 30x20 menjadi lebih besar lagi. 2. Dalam tahapan praproses dilakukan penyeragaman pencahayaan (perbaikan citra) agar nilai terang citra yang diolah menjadi terstandar. 3. Penggunana perangkat dengan kemampuan menangkap gambar dengan resolusi yang lebih besar, agar proses pengenalan dapat lebih banyak dan jangkauan pengenalan lebih jauh. 4. Menggabungkan dengan sistem presensi mahasiswa agar dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya secara langsung. Daftar Notasi Face[x][y] 𝑥̅ ∅(𝑥,𝑦) 𝛽𝑥(𝑥,𝑦) Vektor x Vektor 𝑥̅
= matrik citra wajah dengan lebar x dan tinggi y = nilai rata-rata = satuan eigen x terhadap y = satuan eigen wajah ke x = vektor dengan nama x = vektor rataan
Daftar Pustaka Dave, & friends. (n.d.). Face Recognition in Mobile Phones. Stanford: Department of Electrical Engineering Stanford University. Nasiri, J. A., & friends. (n.d.). Eye Detection Algorithm on Facial Color Images. Second Asia International Conference on Modelling & Simulation. Yazd: University of Yazd. Shafi, M., & Chung, P. W. (2009). A Hybrid Method for Eyes Detection in Facial Images. International Journal of Electrical and Electronics Engineering, 3-4. Turk, M., & Pentland, A. (1991). Eigenfaces for Recognition. Journal of Cognitive Neuroscience, 3(1), 71-86.
244 ISBN 978-602-70361-0-9
Sistem Pendukung Keputusan Alat Ukur Penempatan Ulang Pegawai Berdasarkan Psikotes Menggunakan Fuzzy Analytic Hierarchy Process Fajar Eka Purwa Saputra1* , Esmeralda C. Djamal1 , Agung Wahana2 1
2
Jurusan Informatika, Universitas Jenderal Achmad Yani Teknik Informatika, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati * Email :
[email protected]
Abstract Placement of employees in a company or institution is crucial in improving the performance of employee. Many different variations of the character in a company or institution on certain positions that can affect the performance of employees. Within the character of on employee to get variations can be done by psychological test, where as perform calculations can using fuzzy analytic hierarchy process. This method is a combination method with the method of fuzzy analytic hierarchy process (AHP) is used within treatment of psychological and employee data. So that it can provide results in accordance with redeploying employee of certain positions. Based on calculation of the percentage data processing within deployment of staff, there were found with 60% test data corresponding and 40% are not appropriate. The result of this calculation is based on psychological test scores and employee data requirements to achieve maximum performance within staffing in accordance certain positions. The results of this study can assist within redeploying needs of company employee with the appropriate character on certain positions. Keywords : fuzzy AHP , psychological , employee data , maximum
1.
Pendahuluan
Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam perusahaan adalah hal yang sangat penting dalam menempatkan suatu posisi jabatan tertentu. Proses manajemen SDM terdapat beberapa tahapan, diantaranya proses seleksi pemilihan orang-orang yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk mengisi jabatan disebuah organisasi atau perusahaan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah membuat sistem untuk mengetahui karakteristik pegawai dalam rekomendasi penempatan suatu jabatan tertentu atau dalam proses penempatan ulang suatu pegawai, dimana sistem tersebut mencakup penilaian sikap kerja dan kecerdasan seorang pegawai untuk ditempatkan pada posisi jabatan sesuai karakteristik yang sudah ditentukan, dimana sistem ini menggunakan variabel tertentu sebagai prasyarat tertentu dalam penempatan pegawai perusahaan yang lebih dari 100 orang. Beberapa penelitian sebelumnya masih menggunakan cara manual seperti pada pemilihan untuk memilih pegawai dalam mendapatkan hadiah sebagai penghargaan (Amborowat, 2017), penerimaan seleksi pegawai baru (Aggarwal Remica, Singh Sanjeet, 2013), serta seleksi pejabat struktural untuk menduduki kepala bagian pada Sekolah Tinggi (Banerjee Ruchika, Nath Ghosh Dipendra. August, 2013). Penelitian ini dapat membantu pihak human resource development dalam penempatan ulang pegawai, mempercepat melakukan penempatan ulang pegawai dan memaksimalkan kinerja pegawai dengan karakteristik pegawai pada suatu jabatan tertentu. 2.
Metode
Metode penelitian ini hasil wawancara yang telah dilakukan dan diterapkan pada konsep metode untuk rekomendasi penempatan ulang pegawai pada jabatan tertentu akan diimplementasikan dalam sebuah perangkat lunak yang akan dibangun, seperti pada Gambar 1.
245 ISBN 978-602-70361-0-9
Proses AHP
Biodata Pegawai (Lulusan, Jabatan,Golongan)
Mengubah ke Bentuk Perbandingan Matriks
Proses Fuzzy
1. 2. 3. 4. 5.
Psikotes Psikotes Psikotes Psikotes Psikotes
Matriks Perbandingan Berpasangan
Logikal Numerical Penalaran Perbal antonym Ruang Analitik
Normalisasi Matriks Normalisasi
Menghitung Eigent
Nilai Keanggotaan Tiap Kriteria
Vektor Eigen yang Dinormalisasi
Menghitung Bobot Prioritas Bobot Prioritas dan Bobot Evaluasi
Menghitung Lamda Max Nilai CI
Perengkingan / Prioritas
Rekomendasi Kecocokan Jabatan dengan Pegawai
Gambar 1. Metode Penelitian Fuzzy AHP Data pribadi Pegawai pada sebuah perusahaan biasanya meliputi data penting seseorang, diantaranya Nama, Jenis Kelamin, Tempat Lahir, Tanggal Lahir, Golongan, Lulusan dan Jabatan. Biodata pegawai tersebut untuk meliputi berbagai variasi yang ada diperlukan untuk pengolahan data pegawai dalam penempatan ulang pegawai[8]. Data akademis merupakan riwayat singkat pendidikan akhir yang dimiliki seorang pegawai, yaitu pendidikan: SD, SMP, SMA, D1, D2, D3, S1, S2, S3. Beberapa psikotes yang diberikan untuk penempatan pegawai, antara lain tes bakat, tes kecenderungan untuk berprestasi, tes minat bidang pekerjaan, tes kepribadian, seperti: a. Psikotes Logika Aritmatik b. Psikotes Logika Penalaran Ruang c. Psikotes Analog Verbal
d. Psikotes Analitik e. Psikotes Antonim f. Psikotes Kemampuan Numerik
Logika Fuzzy dapat membagi dalam derajat keanggotaan dan derajat kebenaran sehingga suatu pernyataan dapat menjadi sebagian benar dan sebagian salah pada waktu bersamaan. Digunakannya konsep logika fuzzy adalah konsep matematis yang didasari penalaran fuzzy yang sangat sederhana dengan suatu sifat fuzzy mudah dimengerti, sangat fleksibel, memiliki toleransi terhadap data yang tidak tepat, dan mampu memodelkan fungsi-fungsi nonlinear yang sangat kompleks. Proses pemetaan himpunan fuzzy ke himpunan tegas (crips) disebut defuzzyfikasi yang merupakan kebalikan dari proses fuzzyfikasi. Logika fuzzy merupakan suata cara yang tepat untuk memetakan suatu ruang masukan ke dalam suatu ruang keluaran. Dalam logika fuzzy, terdapat beberapa hal yang perlu diketahui seperti variabel fuzzy, himpunan fuzzy, semesta pembicaraan, dan domain. Fungsi keanggotaan adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik masukan data ke dalam nilai keanggotaannya dengan menggunakan fungsi keanggotaan kurva bahu. Representasi kurva bahu terletak di tengah-tengah suatu variabel yang direpresentasikan dalam bentuk segitiga, pada sisi kanan dan kiri akan naik dan turun dengan beberapa penambahan untuk menyelesaikan tiap suatu permasalahan seperti pada Gambar 2. µ(x)
Bahu kanan
Bahu kiri
a
b
c
1
0
a
b
a
b
a
c
e
Gambar 2. Bentuk Kurva Bahu
Fungsi keanggotaan: 0;
𝑥 ≤𝑎
(𝑥−𝑎)
µ[x]= {(𝑏−𝑎) ;
𝑎 <𝑥 <𝑏
1;
𝑥≥𝑏
(𝑏−𝑥)
µ[x] = {
; (𝑏 –𝑎)
0; 𝑎 <𝑥 <𝑏
0;
𝑥 ≥𝑏
(𝑥−𝑎)
µ[x] =
𝑥 ≤ 𝑎 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑥 ≥ 𝑐 ;
𝑎 <𝑥 <𝑏
{ (𝑐−𝑏) ;
𝑏 < 𝑥 <𝑐
(𝑏−𝑎) (𝑐−𝑥)
.
(1) µ[x]
= nilai masukan
a = µ[rendah] = 0,3 ;
b = µ[sedang] = 0,6 ;
c = µ[tinggi] = 0,9
AHP (Analytic Hierarchy Process) adalah salah satu metode dalam sistem pengambilan keputusan yang menggunakan beberapa variabel dengan proses analisis bertingkat. Analisis dilakukan dengan memberi nilai prioritas dari tiap-tiap kriteria, kemudian melakukan perbandingan berpasangan dari kriteria-kriteria dan altematifalternatif yang ada dan bersifat komprehensif.
246 ISBN 978-602-70361-0-9
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik, serta menata dalam suatu hierarki. Penggunaan AHP ( Analytic Hierarchy Process) dimulai dengan membuat struktur hirarki dari permasalahan (dekomposisi) melakukan pembandingan berpasangan antar kriteria, melakukan analisis/evaluasi, dan menentukan altematif terbaik, beberapa penelitian (Amborowati, 2007; Banerjee Ruchika, Nath Ghosh Dipendra, 2013; C. K. Kwong, H. Bai, 2011) menggunakan AHP dalam perhitungan penelitiannya. Pada dasarnya langkah-langkah dalam metode AHP diuraikan sebagai berikut: 1. Menyusun hirarki dari permasalahan yang dihadapi. Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan altematif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki seperti Gambar 3. Goal
GOAL
Kriteria
Alternatif
KRITERIA 1
ALTERNATIF 1
KRITERIA 2
KRITERIA 3
ALTERNATIF 2
ALTERNATIF 3
KRITERIA ...
ALTERNATIF ...
KRITERIA ...N
ALTERNATIF ...N
Gambar 3. Struktur Hierarki AHP 2.
Penilaian kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan 1 3 5 7 9 2,4,6,8
Keterangan Kedua Elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lainnya Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan
Perbandingan dilakukan berdasarkan kebijakan pembuat keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen terhadap elemen lainnya pada proses perbandingan berpasangan, dimulai dari level hirarki paling atas yang ditujukan untuk memilih alternatif, misalnya A, kemudian diambil elemen yang akan dibandingkan, misal Al, A2, dan A3. Selanjutnya susunan elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan Alternatif / Alternatif A1 A2 A3
A1 1 A2/A1 A3/A1
A2 A1/A2 1 A3/A2
A3 A1/A3 A2/A3 1
Untuk menentukan nilai kepentingan relatif antar elemen digunakan skala bilangan dari 1-9. Apabila suatu elemen dibandingkan dengan dirinya sendiri maka diberi nilai 1. Jika elemen 1 dibandingkan dengan elemen j mendapatkan nilai tertentu, maka elemen j dibandingkan dengan elemen i merupakan kebalikannya. Dalam AHP ini, penilaian alternatif dapat dilakukan dengan metode langsung (direct), yaitu metode yang digunakan untuk memasukkan data kuantitatif. 3.
Penentuan prioritas untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan. Nilainilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat altematif dari seluruh altematif. Baik
247 ISBN 978-602-70361-0-9
kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan proritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan disintesis untuk memperoleh keseluruhan prioritas melalui tahapan-tahapan berikut: a. kuadrat matriks hasil perbandingan berpasangan; b. hitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian lakukan normalisasi matriks; c. konsistensi Logis. Penghitungan konsistensi logis dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: a. mengalikan matriks dengan proritas bersesuaian. b. menjumlahkan hasil perkalian perbaris. c. hasil penjumlahan tiap baris dibagi prioritas bersangkutan dan hasilnya dijumlahkan. d. hasil C dibagi jumlah elemen, akan didapat 𝜆maks. e. indeks Konsistensi (CI)(𝜆maks-n) I (n-1). f. rasio Konsistensi = CI/ RI, dimana RI adalah indeks random konsistensi. Jika rasio konsistensi < 0.1, hasil perhitungan data dapat dibenarkan seperti pada Tabel 3. Tabel. 3. Indeks Random RIn nilai CI dipilih secara acak N RIn g. 2.1
1dan 2 0
3
4
5
6
7
...
0,58
0,90
1,12
1,24
1,37
...
perhitungan nilai vektor eigen dengan hasil bobot nilai perbandingan kriteria dan alternatif.
Penerapan Contoh Kasus pada Perhitungan
Perhitungan dalam sebuah metode matematik diperlukan sebuah contoh kasus untuk menguji nilai data masukan apakah sesuai atau tidak menggunakan metode tersebut. Nilai didapat dari sebuah psikotes yang telah dilakukan oleh pegawai, seperti: Pegawai 1 1. 2. 3. 4.
Skor Psikotes Analitik Skor Psikotes Ruang Skor Psikotes Numerik Skor Psikotes Antonim
= 54 point = 48 point = 16 point = 30 point
5. Skor Psikotes Verbal 6. Lulusan Akademik 7. Lama Bekerja
= 60 point = S1 =≥2
Skor nilai yang didapat dari hasil psikotes dan biodata pegawai dilakukan perhitungan fuzzy yang digunakan yaitu fuzzyfikasi dengan menggunakan kurva bahu untuk menentukan derajat keanggotaan pada setiap kriteria. Perhitungan fuzzy dilakukan untuk mendapatkan nilai bobot yang akan dimasukan pada perhitungan AHP, perhitungan untuk mendapatkan bobot fuzzy dapat dilihat pada Gambar 4. 1) Fuzzy Keanggotaan Analitik di gambarkan grafik sebagai fungsi keanggotaan dari analitik, Sedang
Rendah
Tinggi
1
Skor Analitik 54 point menggunakan pada persamaan 1
μ[x] Rumus µsedang = { 0
𝑥≤𝑎=1 𝑥≥𝑏=0 𝑏−𝑥 𝑎<𝑥<𝑏=
Analitik µsedang =
75−54 75−45
=
21 30
= 0,7
𝑏−𝑎
9
15
30
45
54
60
75
90
Gambar 4. Keanggotaan Analitik Perhitungan fuzzy dilakukan menghasilkan nilai bobot yang diperlukan oleh perhitungan AHP untuk pencarian nilai bobot vektor kriteria. Nilai fuzzy yang didapat dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Nilai Bobot Fuzzy dari Kriteri Pegawai Nama
Analitik
Ruang
Numerik
Antonim
Verbal
Pegawai 1
0,6
0,9
0,3
0,6
0,9
Lulusan Akademik 0,9
Lama Bekerja 0,9
248 ISBN 978-602-70361-0-9
2. 2.
Proses Perhitungan AHP Tahapan untuk menetukan rekomendasi penempatan ulang pegawai dapat di lihat pada gambar 5. GOAL Rekomendasi Jabatan Penempatan Ulang Pegawai
Goal
Kriteria
Kriteria Psikotes analitik
Kriteria Psikotes Numerik
Kriteria Psikotes Antonym
Alternatif Jabatan Sekretaris
Alternatif
Kriteria Psikotes Verbal
Kriteria Psikotes Ruang
Alternatif Jabatan Administrasi
Kriteria Lulusan Akademik
Kriteria Lama Bekerja
Alternatif Jabatan Keuangan
Gambar 5. Proses Perhitungan AHP Nilai psikotes yang telah didapat dari nilai fuzzy keanggotan akan dimasukan pada martiks perbandingan, perbandingan matriks akan menghasilkan nilai vektor kriteria yang digunakan dalam perbandingan kriteria dan alternatif. Pada tabel tingkat kepentingan ini melakukan perhitungan dengan membandingakn kriteria dengan kriteria sehingga menghasilkan nilai kriteria dan menghasilkan nilai decimal pada Tabel 5. Tabel 5. Matriks Normalisasi Hasil Perbandingan Tingkat Kepentingan dalam Bentuk Desimal
Analitik Ruang Numerik Antonim Verbal Lulusan Akademik Lama Bekerja ∑ kolom
Analitik
Ruang
Numerik
Antonim
Verbal 1,5 1 3 1,5 1 1
Lulusan Akademik 1,5 1 3 1,5 1 1
Lama Bekerja 1 0,6667 2 1 0,6667 0,6667
1 0,6667 2 1 0,6667 0,6667
1,5 1 3 1,5 1 1
0,5 0,3333 1 0,5 0,3333 0,3333
1 0,6667 2 1 0,6667 0,6667
1
1,5
0,5
1
1,5
1,5
1
7,0001
10,5
3,4999
7,0001
10,5
10,5
7,0001
Matriks hasil perbandingan dalam bentuk desimal kemudian dijumlahkan dalam setiap kriteria dan hasil jumlah setiap kriteria menjadi nilai vektor eigen. Nilai vektor eigen di hasilkan dari nilai rata-rata nilai bobot relatif untuk tiap baris. Dalam melakukan perhitungan vektor eigen, kriteria dibagi dengan nilai rata – rata yang sudah didapat dari nilai keseluruhan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Perhitungan Vektor Eigen Kriteria dari Hasil Normalisasi Analitik
Ruang
Numerik
Antonim
Verbal
0,1428 0,0952 0,2857 0,1428 0,0952 0,0952 0,1428
0,1428 0,0952 0,2857 0,1428 0,0952 0,0952 0,1428
0,1428 0,0952 0,2857 0,1428 0,0952 0,0952 0,1428
0,1428 0,0952 0,2857 0,1428 0,0952 0,0952 0,1428
0,1428 0,0952 0,2857 0,1428 0,0952 0,0952 0,1428
Lulusan Akademik 0,1428 0,0952 0,2857 0,1428 0,0952 0,0952 0,1428
Lama Bekerja 0,1428 0,0952 0,2857 0,1428 0,0952 0,0952 0,1428
Vektor Eigen 0,1428 0,0952 0,2857 0,1428 0,0952 0,0952 0,1428
Hasil perhitungan pada tabel sudah didapatkan nilai vektor eigen yang dinormalisasi yang dibandingakan dengan vektor eigen alternatif, sehingga nilai vektor eigen yang telah dinormalisasi melakukan uji konsistensi. 1. Mencari nilai max atau uji konsistensi nilai vektor eigen λmax = (( 7,0001 x 0,1428 ) + ( 10,5 x 0,0952 ) + ( 3,4999 x 0,2857 ) + ( 7,0001 x 0,1428 ) + ( 10,5 x 0,0952 ) + ( 10,5 x 0,0952 ) + ( 7,0001x 0,1428 )) = 6,9975
249 ISBN 978-602-70361-0-9
2. Mencari nilai CI 6,9975−7 −0,0025 −4,1666 CI = 7−1 = 6 = -4,1666 Untuk n=0 maka RI7=1,32 = 1,32 = -3,1565 Jika CI=-3,1565 cukup konsisten, Karena hasilnya ≤0,1 maka konsisten Nilai skor jabatan ini di dapat berdasarkan ketentuan syarat alternatif jabatan yang menjadi nilai alternatif pada setiap jabatan – jabatan tertentu dengan penggunaan Nilai Saaty yang mengasumsikan nilai tingkat kepentingan syarat alternatif jabatan untuk mendapatkan nilai perbandingan agar dapat menentukan rekomendasi pegawai sehingga nilai rekomendasi berbeda dan yang tertinggi akan menjadi rekomendasi yang diajukan. Nilai syarat alternatif jabatan yang ditentukan dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Syarat Jabatan Sekertaris Versus Administrasi Intensitas Kepentingan (saaty) 1
Analitik
Antonym
Ruang
Numerik
Verbal
Lulusan Akademik
Lama Bekerja
√ sama pentingny √ sedikit lebih penting
3
√ satu lebih penting
5 √ lebih mutlak penting
7
√ lebih mutlak penting √ mutlak penting
9
√ mutlak penting
2,4,6,8
Perhitungan syarat alternatif jabatan memiliki nilai yang berbeda dibandingkan tiap kriteria yang sama pada tiap alternatif jabatan, sehingga mendapatkan nilai vektor eigen alternative. Matriks perbandingan tahapan ini menghitung nilai setiap perbandingan antar nilai alternatif dengan alternatif untuk mengubah nilai dalam bentuk desimal sehingga dilakukan perhitungan selanjutnya dari normalisasi hingga vektor eigen pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Normalilasi Perhitungan Alternatif pada Psikotes Analitik Perbadingan Tingkat Kepentingan Alternatif Sekretaris Administrasi Keuangan Sekretaris 1 1 0,71 Administrasi 1 1 0,71 Keuangan 1,4 1,4 1 ∑ kolom 3,4 3,4 2,42 Matriks ini hasil perhitungan alternatif yang diubah kedalam sebuah bentuk bilangan desimal, nilai setiap alternatif dijumlahkan dan dibagi dengan nilai total setiap alternatif yang akan dilakukan pada perhitungan selanjutnya. Matrik untuk mencari vektor eigen tiap alternatif dibagi nilai jumlah setiap alternatif masing – masing pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil Perhitungan Nilai Vektor Eigen Analitik yang sudah dinormalisasi Alternatif Sekretaris Admin Keuangan
Sekretaris 0,29 0,29 0,41
Administrasi 0,29 0,29 0,41
Keuangan 0,29 0,29 0,41
Vektor eigen 0,29 0,29 0,41
Matriks ini adalah hasil perhitungan pencarian nilai vektor eigen analitik, kemudian dinormalisasi menjadi nilai ketentuan untuk dibandingkan dengan kriteria.
250 ISBN 978-602-70361-0-9
λmax CI =
2,95−3 3−1
=
= ((3,4x0,29)+( 3,4x0,29)+( 2,42x0,41)) = 2,93 −0,05 2
= -0,025, Untuk n=3 maka RI3= 0,58 =
−0,025 0,58
= -0,043 ; Karena hasilnya -0,043< 0,1 maka
cukup konsisten 3.
Keluaran
Untuk mendapatkan bobot nilai prioritas yaitu dengan menggabungkan hasil perhitungan perbandingan nilai matriks nilai rata – rata nilai kriteria psikotes, dan alternatif jabatan dikalikan dengan bobot nilai vektor eigen yang sudah berbentuk matriks dan hasil perkalian sebuah matrik akan mendapatkan bobot nilai prioritas ditujukan pada Tabel 14. Tabel 10. Perhitungan Nilai Vektor Eigen dengan Hasil Bobot Nilai Perbandingan Vektor Eigen Kriteria dan Vektor Eigen Alternatif
Analitik Ruang Numerical Antonym Verbal Lulusan Akademik Lama Bekerja Hasil Kaili Vektor
Vektor Eigen 0,143 0,071 0,071 0,143 0,143
Sekreta ris 0,29 0,14 0,64 0,816 0,6
Administ rasi 0,29 0,43 0,27 0,087 0,46
Keung an 0,41 0,43 0,38 0,087 0,46
0,214 0,214
0,173 0,37
0,337 0,37
0,556 0,25
0,416
0,321
0,367
Hasil dari masukkan data skor psikotes dilakukan pengolahan perhitungan menggunakan metode fuzzy AHP, hingga mendapatkan hasil rekomendasi untuk penempatan ulang pegawai. Hasil perhitungan merekomendasikan jabatan sekretaris cocok dengan karakter pegawai yang telah melakukan psikotes dengan hasil perhitungan 0,416 merekomendasikan jabatan sekretaris. 3.
Hasil dan Pembahasan
Pengujian berdasarkan metode yaitu menyamakan perhitungan manual dengan hasil perhitungan yang dihasilkan oleh sistem maka akan memberikan kesimpulan kesesuaian atau tidak dengan rekomendasi yang dihasilkan oleh sistem. a. Pengujian rekomendasi penempatan pegawai Pengujian yang dilakukan dari hasil sistem menghasilkan rekomendasi penempatan ulang pegawai yang sesuai kriteria online tes dan penambahan kriteria lulusan dan pengalaman kerja. Hasil pengujian ini dapat di lihat pada Tabel 11 akan menampilkan rekomendasi penempatan pegawai.
251 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 11. Pengujian rekomendasi penempatan pegawai
skor psikotes
vektor eigen kriteria dan alternative
Rekomendasi jabatan
kriteria analitik numerik antonym verbal ruang kriteria analitik numerik antonym verbal ruang lulusan pengalaman kerja keuangan administrasi sekretaris
bobot 9 8 6 10 15 Eigen Vektor 0.125 0.125 0.125 0.125 0.188 0.125
Skor 60 60 60 100 50
Level Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang
nilai 0,6 0,6 0,6 0,9 0,6
Sekretaris
Administrasi
Keuangan
0.091 0.455 0.714 0.143 0.333 0.091
0.455 0.455 0.143 0.143 0.333 0.455
0.455 0.091 0.143 0.714 0.333 0.455
0.188 0.357 0.331 0.312
0.333
0.333
0.333
Salah satu pengujian yang dilakukan menghasilkan perhitungan merekomendasikan jabatan keuangan kepada pegawai yang telah melakukan psikotes dengan hasil skor yang didapat sesuai isian oleh pegawai tersebut. Perhitungan sistem ini telah sesuai berdasarkan dengan perhitungan manual. 4.
Kesimpulan
Penelitian ini telah menghasilkan sistem pendukung keputusan penempatan ulang pegawai dengan lima kriteria psikotes dan dua kriteria dari biodata untuk salah satu dari tiga alternatif jabatan. Kriteria yang digunakan analitik, ruang, numerik, antonim, verbal, lulusan akademik dan lama bekerja untuk jabatan sekretaris, administrasi dan keuangan. Pengujian dilakukan terhadap 10 sampel pegawai dengan nilai total 100% yang melakukan psikotes berdasarkan tingkat kepentingan prasyarat jabatan telah sesuai 60% dan 40% dinyatakan tidak sesuai dengan prasyarat jabatan, sehingga dapat menempatkan pegawai berdasarkan kecocokan karakter pegawai pada jabatan tertentu pada sebuah perusahaan atau institusi. Berdasarkan data uji didapatkan hasil sistem dengan kepentingan jabatan dengan menentukan nilai kepentingan kriteria psikotes terlebih dahulu dan penambahan kriteria lulusan akademik serta lama bekerja. Jika tidak memenuhi salah satu hal tersebut maka hasil tidak dapat merekomendasikan penempatan ulang pegawai. Banyaknya kriteria akan menghasilkan banyak alternatif jabatan yang menjadi sebuah rekomendasi untuk sebuah sistem pendukung keputusan penempatan pegawai pada sebuah perusahaan atau institusi, sehingga dapat mengoptimalkan suatu kinerja pegawai dengan kecocokan penempatan ulang jabatan. Menentukan nilai pada perbandingan alternatif yang di olah dengan syarat jabatan diperlukan analisa lebih lanjut agar menghasilkan perbedaan bobot evaluasi membuat nilai perbandingan alternatif dan kriteria sehingga dapat lebih akurat. Daftar Pustaka Amborowati Armadyah. Sistem Pemilihan Pejabat Struktural Dengan Metode AHP. 2007; Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi III, ISSN 1907-5022. Aggarwal Remica, Singh Sanjeet. AHP and Extent Fuzzy AHP Approach for Prioritization of Performance Measurement Attributes. 2013; International Journal of Social, Human Science and Engineering vol : 7 No : 1. Banerjee Ruchika, Nath Ghosh Dipendra. August 2013. Faculty Recruitment in Engineering Organization Through Fuzzy Multi-Criteria Group Decision Making Methods. International Journal of u- and e- Service, Science and Technology Vol. 6, No. 4. C. K. Kwong, H. Bai. A Fuzzy AHP Approach to The Determination of Importance Weight of Customer Requirements in quality Function Deployment. 2002; Journal of Intelligent Manufacturing, 13, 367-377. Daneshvar Rouyendegh Babak, Erman Erkan Turan. Selection Of Academic Staff Using The Fuzzy Analytic Hierarchy Process (FAHP) : A Pilot Study. 2012; ISSN 1330-3651. Hafsarah Maharani, Ratih., Syukur, Abdul., Catur P, Tyas. Penerapan Metode Analytical Hierarchi Process Dalam Penerimaan Pegawai Pada PT. Pasir Besi Indonesia. 2010; Volume 6 Nomer 1, ISSN 1414-9999.
252 ISBN 978-602-70361-0-9
Kong Feng, Liu Hongyan. Applying Fuzzy Analytic Hierarchy Process to Evaluate Success Factors of ECommerce. 2005; International Journal of Information and System Sciences Volume 1, Number 3-4, Page 406-412 Supriyono., Arya Wardhana, Wisnu., Sudaryo., Sistem Pemilihan Pejabat Struktural Dengan Metode AHP. Seminar Nasional III, ISSN 1987-0176. Rahardjo Jani, Sutapa I Nyoman. Aplikasi Fuzzy Analytical Hierarchy Process dalam Seleksi Karyawan. 2002; Jurnal Teknik Industri vol. 4, NO, : 82-92.
253 ISBN 978-602-70361-0-9
Building Symmetrical Art Image by Multi-object of Fractal Model based on Mirroring Methods Tedjo Darmanto* 1
Program Studi Teknik Informatika, STMIK AMIK Bandung, Jl. Jakarta 28 Bandung 40272 *
E-mail:
[email protected]
Abstract The fractal model in creating an art image offers many advantages compared to the traditional way, such as a flexible and easy way of creating a symmetrical art object by almost in any kinds of forms arbitrarily. The other advantages are the art object mathematically can be represented by the self-affine transformation as a set of code called IFS code and consequently can be modified by mirroring methods of the transformation, combined with the original object and reconstructed at any positions as a multi-object. Additionally an interesting twisted symmetical art image can be made by halfing region technique. As long as the IFS code is in text format, no matter the complexity of the art object, it can be saved in a small repository space, so it can be delivered and uploaded into a web page efficiently and displayed by an applet application at any moments. Keywords: fractal, symmetrical art object, IFS code, multi-object, mirroring methods, halfing region technique 1. Introduction A symmetrical art image is beautiful and can be used as an illustration or an artistic image of the web pages. There are two criteria to be considered in designing a web page which is contradictive to each other, the performance of the process in uploading images, and the fashion of web pages appearance. So there is a trade off in between both criteria, to have less time in uploading images to a web page means less images of web page to be uploaded and contrarily to make a web page more attractive means more artistic images in a web page and will degrade the time performance of uploading images. Fortunately there is a way to overcome the problem mentioned above by drawing the fractal objects as the artistic images in a web page by means of the construction algorithm of IFS (Iterated Function Systems) code set of fractal object recursively which is embedded as an applet application in the web page script. By uploading IFS code set as a text file, the time of displaying the web page is enhanced instead of by uploading image file traditionally. In this paper, the fractal model of symmetrical art image construction is presented. In fractal model the construction of the symmetrical art images are easy and flexible by means of a decoding algorithm to decode IFS code set called random iteration algorithm (Barnsley, 1993). To build a multi-object of fractal, the partitionedrandom iteration algorithm is used as a modified version of the random iteration algorithm (Darmanto et al., 2012). 2.
Methods
2.1
Fractal Models
The general model and the the term of fractal first proposed by Benoit Mandelbrot, the father of fractal as a new mathematical field, and as a superset of Euclidean geometry (Mandelbrot, 1982). Generally there are at least two kinds of fractal model, the L-systems and IFS fractal models. The L-systems fractal model is first introduced by Lindenmayer, which is suitable for generating the plant-like fractal objects by means of the turtle-like movement rules (Lindenmayer et al., 1992). The other fractal model is IFS fractal model, which is first introduced by Michael Barnsley and S Demko (Barnsley et al., 1985) based on the collage theorem and the Hutchinson’s self similarity concept (Hutchinson, 1981). As a model, IFS fractal is more general than the L-systems and can be used to generate almost all of fractal objects in any forms, including in the forms of the regular and simple geometrical objects. The symmetrical art images of fractal objects in any forms discussed in this paper is just suitable generated by the IFS fractal model which is based on mathematical model as described in equation (1) below as a self-affine transformation in 2D form and collage theorem, by means of the partitioned-random algorithm and mirroring methods as explained in the next section 𝑥 𝑒 𝑥′ 𝑎 𝑏 (1) 𝑤[ ] = [ ] ∗ [𝑦] + [𝑓 ] 𝑦′ 𝑐 𝑑
254 ISBN 978-602-70361-0-9
2. 2 Algorithm As mentioned in the previous section, to generate a single multi-object of IFS fractal, the partitionedrandom algorithm as a deterministic algorithm is used, which can be described as a decission tree as represented in figure-1 below. Both the random iteration and partitioned-random iteration algorithms are based on the selfaffine equation displayed as equation (1) above which has six coefficients: a, b, c, d, e and f and probability factor value p of each self-affine function and coded as IFS code set. For generating any kinds of symmetrical art image of multi-object in fractal model, at least two kinds of mirroring operation method are needed, as the flip over Y axis and the flip over X axis mirroring operation methods. As an extension mirroring operation method, it is possible to accomplish the twisted mirroring operation methods in both directions as described later in the next corresponding section. To have the flip over Y axis form of any forms of fractal object is just change the sign of the coefficients: b, c and e in IFS code set from negative value to positive one or vice versa. To have the flip over X axis form of any forms of fractal object is just change the sign of the coefficients: a, d and f in IFS code set also from negative value to positive one or vice versa.
Figure 1. Partitioned-random iteration algorithm in the decission tree form that depends on the probability factors in each IFS code function for each fractal object as a component of a multi-object of fractal 2.3
Modelling Techniques
To model a symmetrical art object or multi-object of fractal, there are at least four techniques, as-it is technique, X direction or flip over Y axis mirroring technique using flip over Y axis operation method as explained in the above section, Y direction or flip over X axis mirroring technique using flip over X axis operation method as also explained in the above section, and the twisted mirroring techniques version of the last two techniques. Additionally in composing collages, there are a special technique to have an interesting symmetrical art image, named halfing region technique as described and illustrated later in the next section as a simulation examples to clarify the introductory explanation in this section. The idea of this technique is to compose collages by splitting collages into two groups of collage, each group of collage is designed to fill each half region. The first group of collage is as the basic form of fractal object occupying the first half region, the first collage of the second group of collage is to fill the first half of second region and the the second collage of the second group of collage is to fill the second half of the second region. So consequently from the above idea, the number of collage in the first group can be assigned as many as needed to make an interesting basic form, but in the second group, the number of collage should be and is only two.
255 ISBN 978-602-70361-0-9
3.
Simulation and Images Result
To show how the methods is working well, there are eight simulation examples implemented by java programming language, start from the simplest one to the most complicated and interesting result of symmetrical art images in fractal model. As mentioned in the previous section above, there is an as-it is technique as the simplest way by utilizing the symmetrical property of fractal as described in table-1 below as a set of IFS code, the only example IFS code set presented in this paper and as illustrated in figure-2 below as the first result of the art image example. Tabel 1. The 5 functions IFS code set of a simple symmetrical fractal object as-it is example of IFS code set. No 1 2 3 4 5
a 0.3 0.3 0.297 0.302 0.404
b 0.003 0.0 0.0 0.002 0.0
c 0.0 0.001 0.002 0.0 0.004
d 0.3 0.302 0.296 0.296 0.395
e -0.34 0.352 0.352 -0.34 0.001
f 0.001 -0.00 -0.70 -0.70 -0.30
p (max:3212) 600 604 596 604 808
The first image at the left side of figure-2 below is the collage composition design by as it-is way, the second image at the right side of figure-2 below is the art image as the result of the collage composition design at the left side as the first symmetrical art image example
Figure 2.
As-it is image example generated by as-is technique of naturally symmetrical fractal image
The first image at the left side of figure-3 below is the collage composition design, the second image at the middle side of figure-3 below is the art image as the result of the collage composition design at the left side and the third image at the right side of figure-3 is the multi-object as the mirroring composition of the middle object as the second symmetrical art image example.
Figure 3.
A symmetrical image example generated by mirroring in X direction method
256 ISBN 978-602-70361-0-9
The first image at the left side of figure-4 below is the collage composition design, the second image at the middle side of figure-4 below is the art image as the result of the collage composition design at the left side and the third image at the right side of figure-4 is the multi-object as the mirroring composition of the middle object as the third symmetrical art image example, which is symmetric in X direction only.
Figure 4. A symmetrical image example generated by mirroring in X direction method The first image at the left side of figure-5 below is the collage composition design, the second image at the middle side of figure-5 below is the art image as the result of the collage composition design at the left side and the third image at the right side of figure-5 is the multi-object as the mirroring composition of the middle object as the forth symmetrical art image example, which is symmetric in both X and Y directions.
Figure 5.
A symmetrical image example generated by mirroring in X direction method
The first image at the left side of figure-6 below is the collage composition design, the second image at the middle side of figure-6 below is the art image as the result of the collage composition design at the left side and the third image at the right side of figure-6 is the multi-object as the mirroring composition of the middle object as the fifth symmetrical art image example, which is symmetric in X direction only.
257 ISBN 978-602-70361-0-9
Figure 6. A fern-like symmetrical image example generated by mirroring in X direction method The first image at the left side of figure-7 below is the collage composition design, the second image at the middle side of figure-7 below is the art image as the result of the collage composition design at the left side and the third image at the right side of figure-7 is the multi-object as the mirroring composition of the middle object as the sixth symmetrical art image example, which is symmetric in X direction only.
Figure 7. A symmetrical image example generated by mirroring in X direction method The first image at the left side of figure-8 below is the collage composition design, the second image at the middle side of figure-8 below is the art image as the result of the collage composition design at the left side and the third image at the right side of figure-8 is the multi-object as the mirroring composition of the middle object as the seventh symmetrical art image example, which is symmetric in diagonal directions.
Figure 8. Twisted symmetrical image example generated by halfing region technique
258 ISBN 978-602-70361-0-9
The first image at the left side of figure-9 below is the collage composition design, the second image at the middle side of figure-9 below is the art image as the result of the collage composition design at the left side and the third image at the right side of figure-9 is the multi-object as the mirroring composition of the middle object as the eighth symmetrical art image example, which is symmetric in diagonal directions.
Figure 9.
Twisted symmetrical image example generated by halfing region technique
The eighth and ninth symmetrical art image above are generated by means of the halfing region technique. In this technique the object as a result of collages composition is combined with the twisted mirror version in X direction by means of mirroring method in X direction. To have the twisted mirror version, the combination of mirroring method in Y direction and moving procedure in Y direction is used, so both versions of image are inline in X direction, before being composed to become a final image as a multi-object. 4.
Conclusion
To build a symmetrical art image by IFS fractal model that is presented in this paper, at least there are three points can be concluded. The first point is the effort of creating a symmetrical fractal image can be accomplished by composing collages in such a way, so the IFS code produced can be reconstructed naturally as a symmetrical object as it is. The second effort, in general any forms of fractal object can be converted to a new multi-object of fractal, by composing the original form with the mirror form in X direction version by means of partition-random iteration algorithm. The last conclusion is to have an interesting symmetrical image which is simmetric in diagonal directions or twisted symmetric can be made by means of halfing region technique and the combination of .mirroring methods in X and Y directions. From the combination of .mirroring methods point of view the choice of which mirroring method to be the first and second one, there is a suggestion to try mirroring method in X direction first instead of in Y direction first as presented in this paper as an alternative procedure. References Mandelbrot, Benoit B; “The Fractal Geometry of Nature”; WH Freeman and Company; 1982 Hutchinson, John E; “Fractals Self-similarity”; Indiana University Mathematics Journal 30; 1981 Barnsley, Michael F; Demko, S; “Iterated Function Systems and the Global Construction of Fractals”; Royal Society Publishing; 1985 Lindenmayer, A., Fracchia, F.D., Hanan, J., Krithivasan, K., Prusinkiewicz, P.; Lindenmayer Systems, Fractals, and Plants; Springer Verlag; 1992 Barnsley, MF; “Fractals Everywhere”; Morgan Kaufmann, 2nd Edition; 1993 Darmanto T, Suwardi I.S, Munir R; ”Animation Model of Multi-object in Fractal Form Based on Partitionedrandom Iteration Algorithm”; International Conference of Electrical Engineering and Informatics 2013 (ICEEI 2013); 2212-0173© 2013; Published by Elsevier B.V.; pages:96-101
259 ISBN 978-602-70361-0-9
Analisa Tepi Pada Citra Video Berbasis Metode Operator Gradien Pertama Andiani*, Partomuan A. S Tarihoran, dan Dwi Adlina Putri Teknik Informatika, FT, Univ. Pancasila, Jagakarsa, South Jakarta, 12640, Indonesia *E-mail:
[email protected],
Abstract In image data retrieving or delivery process generally often produced images that are not perfect due to noise (less light). To improve the quality of the image due to such things, it would require image processing. One of image processing, is aimed to identifying parameters such as characteristicsin (features) of objects in the image. Image analysis is divided into three phases, namely the extraction image (feature extraction), segmentation and classification. A key factor in extracting characteristic is the ability to detect the presence of edges (edge) of the object image using the Sobel operator, Prewitt and Roberts. Keywords: differential gradient, operator Sobel, Prewitt dan Roberts, simulation. 1.
Pendahuluan
Pengambilan data citra maupun proses pengirimannya sering kali menghasilkan citra yang tidak sempurna akibat adanya noise atau kurangnya pencahayaan. Untuk memperbaiki kualitas citra akibat adanya hal-hal tersebut maka diperlukan pemrosesan citra (image processing) dengan tujuan menghasilkan citra dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan citra semula. Langkah selanjutnya dalam pengolahan citra adalah analisis citra (image analysis) yang bertujuan mengidentifikasi parameter-parameter berupa ciri (feature) dari obyek didalam citra tersebut. Analisis citra dibagi menjadi tiga tahapan yaitu ekstraksi ciri (feature extraction), sementasi dan klasisfikasi. Faktor kunci dalam mengekstraksi ciri adalah kemampuan mendeteksi keberadaan tepi (edge) dari citra obyek. Pengidentifikasian masalah dilaksanakan pada saat pengambilan data citra video maupun proses pengirimannya seringkali menghasilkan citra yang tidak sempurna akibat adanya noise atau kurangnya pencahayaan. Yang menjadi masalah dalam proses ekstraksi ciri adalah bagaimana mendeteksi keberadaan tepi obyek citra video sehingga menghasilkan batas tepi citra obyek agar lebih nyata. Maka dari itu citra sebagai sumber informasi dapat digunakan untuk beberapa aplikasi pada berbagai bidang, salah satu diantaranya adalah untuk pengenalan pola (pattern recognition). Contohnya antara lain pemillahan produk pertanian dari citra sebuah kentang dapat diambil informasi mengenai tentang itu sendiri berupa ukuran, warna kulit, bentuk ada atau tidaknya bagian busuk. Aplikasi sensor visual untuk mengenali kendaraan yang lewat dapat diambil informasi mengenai warna dan jenis kendaraan, pengenalan pola sidik jari seseorang, penyakit kanker dan lain sebagainya. 2.
Metode
2.1
Pendeteksian Tepi
Pendeteksian tepi merupakan langkah pertama untuk melingkupi informasi di dalam citra. Tepi mencirikan batas-batas objek dan karena itu tepi berguna untuk proses segmentasi dan identifikasi objek di dalam citra. Tujuan operasi pendeteksian tepi adalah untuk meningkatakan penampakan garis batas suatu daerah atau objek di dalam citra. Karena tepi masuk ke dalam komponen berfrekuensi tinggi, maka pendeteksian tepi dapat dilakukan dengan penapis lolos-tinggi. Terdapat beberapa teknik yang digunakan untuk mendeteksi tepi, antara lain operator gradient pertama (differential gradient), operator turunan kedua (Laplacian), operator kompas (compass operator), (Gonzales, Rafael C, dkk, 1987).
2.2
Operator Gradien Pertama
Perubahan intensitas yang besar dalam jarak yang singkat dipandang sebagai fungsi yang memiliki kemiringan yang besar. Kemiringan fungsi biasanya dilakukan dengan menghitung turunan pertama (gradient). Karena citra f(x,y) adalah fungsi dwimatra dalam bentuk diskrit maka turunan pertamanya adalah secara parsial, masing-masing dalam arah-x dan dalam arah-y sebagai berikut.
260 ISBN 978-602-70361-0-9
𝜕𝑓
𝐺𝑥 𝜕𝑥 𝑉𝑓 = [𝜕𝑓 ] = [𝐺 ] 𝑦
(1)
𝜕𝑦
dalam hal ini, 𝐺𝑥 =
𝜕𝑓(𝑥,𝑦)
𝐺𝑦 =
𝜕𝑓(𝑥,𝑦)
𝜕𝑥
𝜕𝑦
=
𝑓(𝑥+Δ𝑥,𝑦)−𝑓(𝑥,𝑦)
=
𝑓(𝑥,𝑦+Δ𝑦)−𝑓(𝑥,𝑦)
Δ𝑥
Δ𝑦
(2) (3)
Biasanya Δ𝑥 = Δ𝑦 = 1 sehingga persamaan turunan pertama menjadi : 𝐺𝑥 =
𝜕𝑓(𝑥,𝑦)
𝐺𝑥 =
𝜕𝑓(𝑥,𝑦)
𝜕𝑥
𝜕𝑥
= 𝑓(𝑥 + 1, 𝑦) − 𝑓(𝑥, 𝑦)
(4)
= 𝑓(𝑥, 𝑦 + 1) − 𝑓(𝑥, 𝑦)
(5)
Titik yang terlibat dalam perhitungan turunan pertama diperrlihatkan pada gambar 1.
Gambar 1. Titik yang dilibatkan dalam perhitungan gradient Kedua turunan tersebut dapat dipandang sebagai dua buah mask konvolusi sebagai berikut 1 𝐺1 (𝑥) = [−1 1] dan 𝐺1 (𝑦) = [ ] −1 Berdasarkan konvolusi dengan kedua mask tersebut kita mengghitung kekuatan tepi G[f(x,y)] yang merupakan magnitude dari gradien dan arah tepi 𝛼(𝑥, 𝑦) untuk setiap pixel : 𝐺 [𝑓 (𝑥, 𝑦)] = √𝐺𝑥2 + 𝐺𝑦2 ........ (6) 𝐺𝑥 −1 𝛼 (𝑥, 𝑦) = tan 𝐺 ...... (7) 𝑦
Karena menghitung akar adalah persoalan rumit dan menghasilkan nilai riil maka dalam praktek kekuatan tepi biasanya disederhanakan perhitungannya dengan menggunakan salah satu alternative dari persamaan (8-11) 𝐺 [𝑓(𝑥, 𝑦)] = |𝐺𝑥2 | + |𝐺𝑦2 | (8) 𝐺 [𝑓(𝑥, 𝑦)] = |𝐺𝑥 | + |𝐺𝑦 | (9) 𝐺 [𝑓(𝑥, 𝑦)] = 𝑚𝑎𝑘𝑠{|𝐺𝑥2 |, |𝐺𝑦2 |} (10) 𝐺 [𝑓(𝑥, 𝑦)] = 𝑚𝑎𝑘𝑠{|𝐺𝑥 |, |𝐺𝑦 |} (11) Dalam praktek persamaan (9) dan (11) biasanya lebih disukai dan lebih mudah dikerjakan karena mengandung jumlah operasi aritmatika yang lebih sedikit. Hasil pendeteksian tepi adalah citra tepi (edges image ) g(x,y), yang dinilai setiap pixel-nya dinyatakan kekuatan tepi: 𝑔(𝑥, 𝑦) = 𝐺[𝑓(𝑥, 𝑦)] (12) keputusan apakah suatu pixel merupakan tepi atau bukan tepi dinyatakan dengan operasi berikut : 1, 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝐺 [𝑓(𝑓, 𝑦)] ≥ 𝑇 𝑔(𝑥, 𝑦) = { ....................................... (13) 0, 𝑙𝑎𝑖𝑛𝑛𝑦𝑎 yang dalam hal ini T adalah nilai ambang, pixel tepi dinyatakan putih sedangkan pixel bukan tepi dinyatakan hitam.
261 ISBN 978-602-70361-0-9
Selain operator gradien yang sudah disebutkan di atas, masih ada beberapa operator gradien pertama yang lain dapat digunakan untuk mendeteksi tepi dalam citra, antara lain Operator Sobel Tinjau pengaturan pixel di sekitar pixel (x,y): 𝑎0 𝑎1 𝑎2 [𝑎7 (𝑥, 𝑦) 𝑎3 ] 𝑎6 𝑎5 𝑎4 Operator Sobel adalah magnitude dari gradien yang dihitung dengan 𝑀 = √𝑠𝑥2 + 𝑠𝑦2 dalam hal ini turunan parsial dihitung dengan : 𝑠𝑥 = (𝑎2 + 𝑐𝑎3 + 𝑎4 ) − (𝑎0 + 𝑐𝑎7 + 𝑎6 ) 𝑠𝑦 = (𝑎0 + 𝑐𝑎1 + 𝑎2 ) − (𝑎6 + 𝑐𝑎5 + 𝑎4 ) Dengan konstanta c = 2. Dalam bentuk mask, dan sx dapat sy dinyatakan sebagai −1 0 1 1 2 1 𝑆𝑥 = [−2 0 2] 𝑑𝑎𝑛 𝑆𝑦 = [ 0 0 0] −1 0 1 −1 −2 −1 Arah tepi dihitung dengan persamaan 𝑆
∝ (𝑥, 𝑦) = tan−1 (𝑆𝑦 )
(14) (15)
(16)
𝑥
Operator Prewitt Persamaan gradien pada Operator Prewitt sama seperti Operator Sobel, tetapi menggunakan nilai c = 1: −1 0 1 1 1 1 𝑃𝑥 = [−1 0 1] 𝑑𝑎𝑛 𝑃𝑦 = [ 0 0 0] −1 0 1 −1 −1 −1 Operator Roberts Operator Roberts sering disebut juga operator silang (Gambar 2). Gradien Roberts dalam arah-x dan arah y dihitung dengan rumus : 𝑅+ (𝑥, 𝑦) = 𝑓 (𝑥 + 1, 𝑦 + 1) − 𝑓(𝑥, 𝑦) (17) 𝑅− (𝑥, 𝑦) = 𝑓 (𝑥, 𝑦 + 1) − 𝑓(𝑥 + 1, 𝑦)
(18)
Gambar 2. Operator silang Operator R+ adalah hasil turunan berarah dalam arah 45, sedangkan R- adalah hasil turunan bararah dalam arah 135. Dalam bentuk mask konvolusi, operator Roberts adalah : 1 0 0 1 ] dan 𝑅− = [ ] 𝑅+ = [ 0 −1 −1 0 Khusus untuk operator Roberts arah tepi dihitung dengan rumus 𝜋
𝑅
∝ (𝑥, 𝑦) = 4 + tan−1 (𝑅− ) +
(19)
Sedangkan kekuatan tepi umumnya dihitung dengan rumus
262 ISBN 978-602-70361-0-9
𝐺 [𝑓(𝑥, 𝑦)] = |𝑅+ | + |𝑅−|
(20)
(Gonzales, Woods RE, dkk, 2004), (Jain, Anil.K, dkk, 1995), (Low, Adrian.K, 1991), Diagram alir proses pendeteksian tepi menggunakan data citra video pada database ditujukan dalam Gambar 3 : (Munir, Rinaldi, 2004), (Murti, Aniati, dkk, 1992), (Pitas, Ioaniss, 1993), (Abdullah.M, 2010)
Gambar 3. Diagram alir proses pendeteksian tepi menggunakan data citra video pada database 3.
Hasil dan Pembahasan
Blok diagram pendeteksian tepi menggunakan metode gradient pertama menggunakan Simulink Matlab ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Blok diagram pendeteksian tepi dengan data citra video dari database menggunakan Simulink
263 ISBN 978-602-70361-0-9
Dari proses pendeteksian tepi, dengan operator gradient pertama yang terdiri dari metode Sobel, Prewitt dan Roberts dihasilkan citra video yang hampir sama, khususnya pola citra keabuanya. Ini menunjukkan metode pendeteksian dapat digunakan pada pengolahan citra sehingga, batas tepi dari suatu obyek yang terdeteksi di dalam citra diperoleh. Sedangkan untuk proses pendeteksian tepi, menggunakan data citra video real-time, proses diawali dengan pengambilan data dari akuisisi citra kamera. Karena citra yang akan diproses adalah data citra keabuan (grayscale) dan tipe data single berupa intensitas, maka citra video warna (RGB) harus diskonversikan terlebih dahulu menjadi grayscale dalam blok Color Space Conversion. Selanjutnya citra video intensitas grayscale akan diproses pendeteksian tepi pada blok Edge Detection, proses selanjutnya sama dengan proses pendeteksian tepi dengan data citra video original dari database.
264 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 9. Blok diagram pendeteksian tepi dengan data citra video real-time menggunakan Simulink Dari Program Simulink telah dijalankan selain data citra video yang diambil dari database, inputan data juga dapat diambil dari akuisisi citra video real-time. Hasil pendeteksian tepi obyek menggunakan ketiga metode yang digunakan pada operator gradient pertama menunjukkan hasil keluaran yang sama dengan inputan data citra video dari database. (Thomson, Clay M, dkk, 1995), (Gonzales, Woods. R, dkk, 2004), (Wijaya, Marvin Ch, dkk, 2004). 4.
Kesimpulan
Dari proses pendeteksian tepi dengan operator gradient pertama yang terdiri dari metode operator Sobel, Prewitt dan Roberts dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Dihasilkan kualitas keluaran citra video yang hampir sama pada penunjukan batas tepi obyek dari proses pendeteksian tepi menggunakan metode operator Sobel, Prewitt dan Roberts dengan inputan dari citra video database yang diawali pengambilan data citra video dengan format data citra keabuan (grayscale) dan tipe data single dengan ukuran 320 X 240 piksel. 2. Dari program simulink yang telah dijalankan selain data citra video yang diambil dari database, inputan data juga dapat diambil dari akuisisi citra video real-time. Hasil pendeteksian tepi obyek menggunakan ketiga metode yang digunakan pada operator gradient pertama menunjukkan hasil keluaran yang hampir sama dengan inputan data citra video dari database. Daftar Pustaka Abdullah, M. 2010. “Pendeteksian Tepi Pada Citra Video Menggunakan Metode Operator Gradien Pertama Dengan Matlab Simulink”. Program Strata I. Universitas Suryadarma. Jakarta. Gonzales, Rafael C., Wintz Paul,”Digital Image Processing”,2 nd edition, Addison-Wesley Publishing Company, 1987. Gonzales Rafael C., Woods Richard E., Eddins Steven L.,”Digital Image Processing Using Matlab” Pearson Prenttice Hall, New Jersey, 2004. Gunaidi Abdia Away.”The Shortcut of Matlab Programming” Informatika Bandung,2006. Jain, Anil K.,”Fundamentals of Digital Image Processing”,Prentice-Hall of India,1995. Low, Adrian K,”Introductory Computer Vision and Image Processing”,McGraw-Hill, 1991. Munir Rinaldi,”Pengolahan Citra Digital Dengan Pendekatan Algoritma”,Informatika, Bandung,2004. Murni Aniati,”Pengatur Pengolahan Citra”,Elex Media Komputindo,1992. Pitas, Ioannis,”Digital Image Processing Algoritma”, Prentice-Hall International,1993. Thompson, Clay M & Loren Shure,”Image Processing Toolbox for use with Matlab, The MathWorks Inc,1995.
265 ISBN 978-602-70361-0-9
Wireless Networking Using Mesh Method as Smart City Application in South Jakarta Reza Saputra Yusuf1*, Putri Zahara1, and Yohanes Dewanto1 Teknik Informatika, FT, Univ. Pancasila, Jagakarsa, South Jakarta, 12640, Indonesia *
E-mail:
[email protected] ,
[email protected] ,
[email protected]
Abstract Nowadays, Wireless Sensor Networks are introduced in different application models. ZigBee is one of transmitter are most widely used in wireless sensor networks. ZigBee uses the IEEE 802.15.4 standard, the specifications for low data rate WPAN (LR-WPAN) in addition to the advantages to support the use of low-power monitoring and control devices. Zigbee provides network, security, and application support services operating on top of the IEEE 802.15.4 Medium Access Control (MAC) and Physical Layer (PHY) standard wireless. This device supports scalability, error check correction to manage various data traffic patterns. And also methods MESH network and can provide high capability widened its reach without the help of other wireless devices. This technique is good for high speed information, because ZigBee is independent network and have high network security (128 bit encryption). For data transmission distances of tens and even hundreds of kilometers can use this as a method of wireless devices that can connect MESH between devices so that the distance relay can be extended. Keywords: Wireless Sensor Networks, Mesh Method, Zigbee.
1.
Pendahuluan
ZigBee adalah spesifikasi untuk jaringan protokol komunikasi tingkat tinggi, menggunakan radio digital berukuran kecil dengan daya rendah, dan berbasis pada standar IEEE 802.15.4-2003 untuk jaringan personal nirkabel tingkat rendah, seperti saklar lampu nirkabel dengan lampu, alat pengukur listrik dengan inovasi In-Home Display (IHD), serta perangkat-perangkat elektronik konsumen lainnya yang menggunakan jaringan radio jarak dekat dengan daya transfer data tingkat rendah (Building Wireless Network, Orielly). Teknologi yang memenuhi spesifikasi dari ZigBee adalah perangkat dengan pengoperasian yang mudah, sederhana, membutuhkan daya sangat rendah serta biaya yang murah jika dibandingkan dengan WPANs lainnya, yakni Bluetooth. ZigBee fokus pada aplikasi Radio Frequency (RF) yang membutuhkan data tingkat rendah, baterai tahan lama, serta jaringan yang aman. ZigBee sangat bermanfaat jika di aplikasikan di berbagai perangkat umum, salah satunya Lampu lalu lintas, di bantu dengan perangkat kamera untuk mengawasi dan lampu lalu lintas dapat di kendalikan menggunakan perangkat ZigBee. Karakteristik dan Topologi ZigBee Frekuensi yang dapat digunakan 2.4GHz dan 868/915 MHz dual mode PHY yang mewakili tiga lisensi jalur bebas yaitu 2,4 - 2,4835 GHz, 868-870 MHz dan 902-928 MHz. Merupakan jumlah saluran yang dialokasikan untuk masing-masing pita frekuensi tetap pada enam belas (nomor 11-26), satu (nomor 0) dan sepuluh (nomor 110) masing masing. Memiliki konsumsi daya rendah sehingga dengan baterai bisa tahan berbulan-bulan, maksimum kecepatan data 250 kbps @ 2,4 GHz dan 40 kbps pada 915 MHz dan 20 kbps pada 868 MHz, memiliki akses channel yang menggunakan Carrier Sense Multiple Access with Collision Avoidance (CSMA-CA), memiliki pengalamatan 64 bit IEEE dan 65.535 Jaringan, memiliki komunikasi 2 arah secara maksimal. ZigBee memiliki 3 topologi model jaringan yaitu topologi star, Mesh (Peer to Peer) serta Cluster Tree.
266 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar1. Topologi Jaringan Zigbee Topologi Star Pada topologi star komunikasi dilakukan antara perangkat dengan sebuah pusat pengontrol tunggal, disebut sebagai koordinator PAN (Personal Area Network). Aplikasi dari topologi ini bisa untuk otomasi rumah, perangkat Personal Computer (PC), serta mainan anak-anak. Setelah sebuah FFD diaktifkan untuk pertamakali maka ia akan membuat jaringannya sendiri dan menjadi koordinator PAN. Setiap jaringan star akan memilih sebuah pengenal PAN yang tidak sedang digunakan oleh jaringan lain didalam jangkauan radionya. Ini akan mengijinkan setiap jaringan star untuk bekerja secara tersendiri. Topologi Mesh (Peer to peer) Dalam topologi peer to peer juga hanya ada satu koordinator PAN. Berbeda dengan topologi star, setiap perangkat dapat berkomunikasi satu sama lain sepanjang ada dalam jarak jangkauannya. Peer to peer dapat berupa ad hoc, self-organizing dan self healing. Penerapannya seperti pengaturan di industri dan pemantauan, jaringan sensor tanpa kabel, pencarian aset dan inventory yang akan mendapat keuntungan dengan memakai topologi ini. Topologi Cluster Tree Cluster tree merupakan sebuah model khusus dari jaringan peer to peer dimana sebagian besar perangkatnya adalah FFD dan sebuah RFD mungkin terhubung ke jaringan cluster tree sebagai node tersendiri di akhir dari percabangan. Salah satu dari FFD dapat berlaku sebagai koordinator dan memberikan layanan sinkronisasi ke perangkat lain dan koordinator lain. Hanya satu dari koordinator ini adalah koordinator PAN. Koordinator PAN membentuk cluster pertama dengan membentuk Cluster Head (CLH) dengan sebuah Cluster Identifier (CID) nol, memilih sebuah pengenal PAN yang tidak terpakai dan memancarkan frame-frame beacon ke perangkat sekitarnya. Sebuah perangkat menerima frame beacon mungkin meminta untuk bergabung ke network CLH. Jika koordinator PAN mengijinkan untuk bergabung, maka akan menambahkan perangkat baru ini sebagai perangkat turunannya dalam daftar perangkat disekitarnya. Proses ini berlanjut dilakukan oleh perangkat yang baru itu ke perangkat sekitarnya. Keuntungan dari struktur cluster adalah peningkatan daerah jangkauan seiring dengan peningkatan biaya untuk latency pesan. 2.
Metode
Data Traffic yang digunakan 1. Data Periodic. Pada sistem ini menentukan kecepatan data, aktivasi sensor dan memeriksa data serta menon-aktifkannya. 2. Data Intermittent. Metode penghematan daya agar baterai berumur panjang dimana pengiriman datanya di tentukan sewaktu waktu saja. 3. Data Repetitive. Data berulang ulang dikirim dan tidak berubah, tergantung dari slot waktu yang diberikan, teknik ini disebut Guaranteed Time Slot (GTS). ZigBee Menggunakan 2 mode 1. Beacon mode ini digunakan ketika koordinator menggunakan baterai low power sehingga daya tahan baterai bisa lebih lama. 2. Non Beacon mode ini antara perangkat dan koordinator saling bertukar data secara terus menerus, sehingga di perlukan daya yang lebih besar. Sistem ini tidak cocok untuk penggunaan baterai.
267 ISBN 978-602-70361-0-9
Pada Mode Beacon perangkat (end user) mengirimkan data sekali ke Koordinator (Router) lalu setelah itu Koordiantor menentukan kapan Perangkat akan mengirimkan data kembali, setelah itu perangkat dalam mode tidur (Sleep), bahkan Koordinator pun setelah menyelaraskan data dengan perangkat, menjadi mode tidur. Yang harus menjadi perhatian koordinator harus dijaga stabil dayanya agar seluruh perangkat mempunyai pewaktuan yang sangat tepat.
Gambar 2. Beacon Network Communication (www.zigbee.org/en/resources )
Gambar 3. Non-Beacon Network Communication (www.zigbee.org/en/resources) 3.
Hasil dan Pembahasan
Mengikuti standar Open System Interconnection referensi (OSI) model , ZigBee stack protokol terstruktur lapisan /layer protocol. Dua lapisan pertama, fisik (PHY) dan akses media (MAC), yang didefinisikan oleh IEEE 802.15.4 standar. Lapisan di atas didefinisikan oleh ZigBee Alliance, menggunakan direct - sequence spread spectrum dalam 2.4GHz band dengan offset - quadrature phase - shift keying modulasi. Lebar saluran adalah 2MHz dengan channel spacing sebesar 5MHz.
Gambar 4. Arsitektur Zigbee Struktur Frame. Menggambarkan empat jenis kerangka dasar dalam 802.15.4 yaitu:
268 ISBN 978-602-70361-0-9
1. Data, Frame data Payload menyediakan hingga 104 bytes. Nomor Frame memastikan bahwa semua paket dilacak. Sebuah urutan frame-cek memastikan bahwa paket diterima tanpa kesalahan. Struktur rangka ini meningkatkan kehandalan pada kondisi yang kompleks. 2. Acknowledgement (ACK) - pengakuan bingkai ini memberikan umpan balik dari penerima ke pengirim yang menyatakan bahwa keuntungan dari mode tidur/ sleep antara frame untuk mengirim paket setelah data siap di kirim paket diterima tanpa kesalahan 3. Perintah MAC, menyediakan mekanisme untuk pengendali jarak jauh dan konfigurasi client node. 4. Beacon, frame beacon adalah frame yang membangunkan client yang sedang mode tidur, yang mendengarkan alamat mereka dan kembali tidur jika mereka tidak menerimanya. Beacon penting untuk mesh dan jaringan cluster-tree untuk menyimpan semua node yang sudah disinkronisasi, sehingga dapat menghemat penggunaan baterai.
Gambar 5. Struktur Frame
1. 2. 3. 4.
Keamanan. Empat teknik pengamanan yang digunakan yaitu: Akses kontrol, perangkat menyimpan daftar perangkat yang diperbolehkan berkomunikasi dalam jaringan Enkripsi data, 128 bit Encription frame integrity, melindungi bila ada modifikasi tanpa menggunakan cryptographic keys sequential freshness , untuk menolak frame data yang sudah di kirim dengan cara membandingkan dengan data sebelumnya.
269 ISBN 978-602-70361-0-9
Contoh Aplikasi Pada Model Smart City End Device/ Client
Statiun Cuaca
KWH Meter Depok
Koordinator 1
Sensor Gas CO, NO
Traffic Light
End Device/ Client
Jakarta
Statiun Cuaca
KWH Meter
Koordinator 2 Admin
Traffic Light
Sensor Gas CO, NO
Gambar 6. Aplikasi Model Smart City Cara Kerja Setiap end device berkomunikasi dengan koordinator masing masing dan antar koordinator (router) bisa saling berhubungan dan berkomunikasi dengan Pusat Data / server komputer. Kelebihan metode mesh adalah bila akan menambah perangkat dan jarak jangkauan tidak terjangkau antara koordinator 1 dengan koordinator 3 maka koordiantor 2 bisa sebagai bridge (penyambung perluasan jaringan nirkabel). Koordinator juga bisa sebagai pengganti bila ada salah satu koordinator yang rusak akan di gantikan dengan koordiantor lain yang di setting sebagai koordinator cadangan/ backup. 4.
Kesimpulan dan Saran
Untuk informasi dengan kecepatan tinggi sangat baik menggunakan teknik ini, karena Zigbee merupakan jaringan mandiri dan memiliki keamanan jaringan yang tinggi (128 bit ecncription). Untuk pengiriman data mandiri dengan jarak ratusan bahkan puluhan kilo meter dapat menggunakan perangkat nirkabel ini karena metode MESH yang dapat menyambungkan antar perangkat sehingga secara estafet jaraknya dapat di perpanjang. Informasi yang berbasis data seperti suhu, kelembaban, emisi gas buang, kondisi lampu merah, lampu PJU (Penerangan Jalan Umum) sangat baik menggunakan teknik ini. Tetapi kalau untuk informasi gambar sebaiknya tidak menggunakan perangkat nirkabel ini karena kecepatannya tidak mencukupi untuk pengiriman data berupa gambar. Daftar Pustaka Bose, R. Bauer, GR dan Jacoby. (2004). “Two-Dimensional Line of Sight Interference Analysis of LMDS Networks for the Downlink and Uplink”. IEEE Transactions On Antennas And Propagation, Vol.52, No. 9. Setiawan Djunaedi, Gamantyo Hendrantoro dan Affandi, Achmad. “Pengembangan Jaringan Akses Nirkabel Pita Lebar Berbasis WiFi Pada Backhaul WIPAS Untuk e-Learning. Widiasrini , P. Tri Riska Ferawati. “ZIGBEE: KOMUNIKASI WIRELESS BERDAYA RENDAH”. SNATI . 2005:H-65 – H-69 Zen, Toha. “Wireless Networking Metode Mesh”. STMIK ERESHA. Jakarta. 2014
270 ISBN 978-602-70361-0-9
E. BIDANG BIODIVERSITAS, LINGKUNGAN, DAN SUMBER DAYA ALAM
271 ISBN 978-602-70361-0-9
Pembuatan Gliserol Monooleat dengan Proses Esterifikasi Tanpa Katalis Heri Heriyanto*, Dina Kartika Yulis, Mimi Ainurrohim Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa *E-mail : herfais@yahoo,com
Abstract Esterification reaction between glycerol and oleic acid without a catalyst to form glycerol monooleate. Specific uses of glycerol monooleate is as antifoam in juice processing and as a lipophilic emulsifier for water-in-oil applications. The purpose of the study was to calculate the reaction rate constant of glycerol monooleate with temperature variation and the ratio of reactants. Stages in the research of technical glycerol is first heated to 140 ° C for 2 hours, the second stage is the esterification reaction between oleic acid with glycerol with mole ratios (1:1, 1:3). Stirring 600 rpm with temperature variation (180; 190; 200) ° C a reaction time of 90 minutes. The analysis is performed is the reduction of free glycerol and free fatty acid levels. From the data obtained in the fatty acid levels of oleic acid and free glycerol levels in glycerol so that the temperature decreases to between glycerol and oleic acid reacting the products. At a 1:1 ratio the value of k1 = 4.91059 x 1013 exp (-17 031 / T) mol-1menit-1 and the 3:1 ratio of the value of k1 = 7.744632324 exp (-2914 / T) mol-1menit-1 where T in kelvins. Keywords: esterification, glycerol monooleate, reaction kinetics constants, the activation energy
1. Pendahuluan Biodiesel adalah energi terbaharukan yang dihasilkan dari transesterifikasi antara minyak dan methanol. Biodiesel dapat digunakan pada mesin diesel. Salah satu keunggulan biodiesel terletak dari bahan bakunya yaitu minyak nabati sehingga produk yang dihasilkan tidak mengandung sulfur dan mengandung 11% oksigen. Reaksi antara minyak dan metanol tersebut menghasilkan metil ester dan produk samping yaitu gliserol. Dengan semakin meningkatnya produksi biodiesel sehingga mengakibatkan keberadaan gliserol yang terus meningkat akan menyebabkan turunnya nilai ekonomi gliserol. Fenomena ini dapat menjadi kendala yang cukup berarti jika tidak ditangani dengan cermat. Untuk itu, usaha pengolahan gliserol menjadi produk lain harus dilakukan agar nilai ekonomis dari gliserol lebih meningkat. Gliserol monooleat adalah produk yang dihasilkan dari reaksi esterifikasi antar gliserol dan asam oleat. Kegunaan spesifik dari gliserol monooleat ini sebagai antifoam dalam pengolahan jus, pengemulsi lipofilik untuk aplikasi air dalam minyak, pelembab, dan flavoring agent. Reaksi esterifikasi tanpa katalis dapat dilakukan dengan cara menggunakan temperatur tinggi, waktu reaksi yang lama dan reaktan yang berlebih. Tujuan penelitian ini adalah menghitung konstanta laju reaksi gliserol monooleat dengan variasi suhu dan rasio reaktan 1.1
Gliserol
Gliserol adalah senyawa gliserida yang paling sederhana, dengan hidroksil yang bersifat hidrofilik dan higroskopik. Gliserol merupakan komponen yang menyusun berbagai macam lipid, termasuk trigliserida. Gliserol dapat diperoleh dari proses saponifikasi dari lemak hewan, transesterifikasi pembuatan bahan bakar biodiesel dan proses epiklorohidrin. Gliserol banyak digunakan dalam industri farmasi dan kosmetik sebagai bahan dalam preparat yang dihasilkan. Disamping itu gliserol berguna untuk sintesis lemak di dalam tubuh. CH2 OH CH
OH
CH2
OH
Gambar 1 Rumus Molekul Gliserol
272 ISBN 978-602-70361-0-9
1.2
Asam Oleat
Asam oleat (C18H34O2) merupakan asam lemak tak jenuh yang tersusun dari 18 atom C dengan 1 ikatan rangkap di antara atom C ke-9 dan ke-10. Bentuk jenuh dari asam ini adalah asam stearat. Molekul - molekul dari asam oleat ini adalah oleat-oleatnya. Asam oleat biasanya diperoleh dari hidrolisa lemak dan minyak. Sumbersumber lemak atau minyak dapat berasal dari hewani maupun nabati. Minyak nabati yang dapat diekstraksi untuk menghasilkan asam oleat seperti minyak kedelai, minyak biji kapuk, minyak jagung dan kanola (Pardi, 2005). Dan 55-80% asam oleat diperoleh dari minyak zaitun. Asam oleat ini dapat bersifat hipotensif (mengurangi tekanan darah) sebagai efek dari minyak zaitun. Dalam bidang farmasi, asam oleat ini berfungsi sebagai agen pengemulsi dan pelarut pada produk-produk aerosol. 1.3
Gliserol Monooleat
Gliserol monooleat secara fisik berwujud cair berwarna jernih kekuning – kuningan atau kuning pucat. Gliserol monooleat tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol, kloroform, eter dan petrolium eter (Food Chemicals Codex dalam Padri,2005). Gliserol monooleat dapat berbentuk sebagai mikro emulsi dalam air, gugus gliserinnya bersifat sempurna larut dalam air sedangkan gugus asam oleat tidak larut dalam air. ( Burdock dalam Padri, 2005). Rumus empris gliserol monooleat C21H40O4, rumus bangun gliserol monooleat: CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7COOCH2CCH2OHHOH. 1.4
Kinetika Reaksi
Kinetika reksi adalah bagian ilmu kimia fisika yang mempelajari laju reaksi kimia,faktor-faktor yang mempengaruhinya serta penjelasan hubungannya terhadap mekanisme reaksi. Kinetika kimia disebut juga dinamika kimia, karena adanya gerakan molekul, elemen atau ion dalam mekanisme reaksi dan laju reaksi sebagai fungsi waktu (Purba,1990). Faktor-faktor yang berpengaruh pada reaksi esterifikasi antara lain : a. Waktu Reaksi Semakin lama waktu reaksi maka kemungkinan kontak antar zat semakin besar sehingga akan menghasilkan konversi yang besar. Jika kesetimbangan reaksi sudah tercapai maka dengan bertambahnya waktu reaksi tidak akan menguntungkan karena tidak memperbesar hasil. b. Pengadukan Pengadukan akan menambah frekuensi tumbukan antara molekul zat pereaksi dengan zat yang bereaksi sehingga mempercepat reaksi dan reaksi terjadi sempurna. Sesuai dengan persamaan Arrhenius : k R E A k
= A e(-Ea/RT), dengan T = Suhu absolut ( C) = Konstanta gas umum (cal/grmol K) = Tenaga aktivasi (cal/grmol) = Faktor tumbukan (s-1) = Konstanta kecepatan reaksi (s-1)
Semakin besar tumbukan maka semakin besar pula harga konstanta kecepatan reaksi. Sehingga dalam hal ini pengadukan sangat penting mengingat larutan minyak-katalis methanol merupakan larutan yang immiscible. c.
d.
1.5
Katalisator Katalisator berfungsi untuk mengurangi tenaga aktivasi pada suatu reaksi sehingga pada suhu tertentu harga konstanta kecepatan reaksi semakin besar. Pada reaksi esterifikasi yang sudah dilakukan biasanya menggunakan konsentrasi katalis antara 1 - 4 % berat sampai 10 % berat campuran pereaksi (Mc Ketta, 1978). Suhu Reaksi Semakin tinggi suhu yang dioperasikan maka semakin banyak konversi yang dihasilkan ini sesuai dengan persamaan Arrhenius. Bila suhu naik maka harga k makin besar sehingga reaksi berjalan cepat dan hasil konversi makin besar. Pembuatan Gliserol Monooleat
Dalam penelitian pembuatan gliserol monooleat kali ini dipilih cara yang pertama yaitu esterifikasi langsung antara gliserol dengan asam – asam lemak, asam lemak yang digunakan adalah asam oleat.Pada penelitian Padri,2005 dengan katalis kalium hidroksida, didapatkan kondisi optimum seperti berat gliserol monooleat sekitar 42,35% dengan kondisi alternatif katalis 0,145% dan rasio gliserol dan asam oleat = 1:1 atau
273 ISBN 978-602-70361-0-9
katalis 0,16% dan rasio gliserol dan asam oleat = 3:1, dengan waktu reaksi 77,5 menit. Selain Padri, Anik (2006) melakukan penelitian tentang esterifikasi antara gliserol dan asam oleat dengan katalis asam mendapatkan hasil yaitu menunjukkan bahwa keberhasilan reaksi dipengaruhi oleh ratio kedua reaktan dan katalis, pada rasio katalis dan reaktan 1:100 menunjukkan peningkatan berat molekul. Dengan semakin meningkatnya suhu menunjukkan bahwa bilangan asam semakin menurun, mengakibatkan konversi semakin meningkat. Hasil konversi maksimum 93,75% terjadi pada suhu reaksi 240 C , ratio katalis dan reaktan 1:100 dengan rentang berat molekul sekitar 19,502.06 gr/grmol hingga 20.034,94 gr/grmol, rentang viskositas sekitar 0,0514 poise hingga 0,0534 poise. Sedangkan densitas produk menunjukkan 0,95 gr/cm3 sampai dengan 1,045 gr/cm3.
Gambar 2 Reaksi esterifikasi gliserol dengan asam oleat 2.
Metode
Penelitian menggunakan gliserol teknis dari CSK dan asam oleat dari Pabrik X, dengan alat esterifikasi yang terdiri dari pemanas, pengaduk, labu leher tiga, kondensor, agitator, thermometer, seperti pada Gambar 3.
Gambar 3 Rangkaian alat pembuatan gliserol monooleat Penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap reaksi esterifikasi antara gliserol dan asam oleat. Tahap persiapan gliserol adalah tahap dimana mengetahui kadar gliserol total dan densitas gliserol teknis sebelum direaksikan dengan asam oleat. Gliserol dipanaskan pada suhu 140 OC selama 2 jam. Kemudian dianalisa untuk menentukan kadar gliserol total yaitu dengan titrasi iodometri. Pada tahap reaksi esterifiksi, gliserol yang sudah diketahui kadar dan densitas dimasukan dalam labu leher tiga bersama asam oleat. Dengan rasio reaktan 1:1 3:1 dan aduk dengan kecepatan putaran pengadukan 600 rpm. dan pengambilan sample pada saat suhu (180 ; 190 ; 200)C. Selanjutnya sampel dianalisa. 3.
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian ditinjau pengaruh suhu terhadap kadar asam lemak bebas, pengaruh rasio mol terhadap asam lemak bebas, pengaruh suhu terhadap gliserol bebas, dan konstanta laju reaksi. 3.1
Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Asam Lemak Bebas
Pengaruh suhu terhadap asam lemak bebas terlihat pada Gambar 4 semakin tinggi suhunya maka kadar asam lemak bebasnya semakin menurun. Hal ini di sebabkan asam lemak yang berupa asam oleat bereaksi dengan gliserol membentuk gliserol monooleat.
274 ISBN 978-602-70361-0-9
Esterifikasi langsung ini dapat berlangsung tanpa kehadiran katalis. Proses dengan reaksi nonkatalisis ini membutuhkan temperatur tinggi, dan waktu reaksi yang relatif lama (Simon, 2010). Dengan waktu reaksi yang lama maka molekul- molekul dari asam oleat akan bereaksi dengan molekul gliserol
kadar asam lemak bebas (%)
Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Asam Lemak Bebas T= 180 c T=190 c T=200 c
waktu (menit)
Gambar 4 Pengaruh suhu terhadap kadar asam lemak bebas 3.2
Pengaruh Rasio Mol Terhadap Asam Lemak Bebas Pengaruh rasio mol terhadap penurunan asam lemak bebas dapat dilihat pada Gambar 5.
Kadar Asam Lemak Bebas (%)
Pengaruh Rasio Mol Terhadap penurunan Asam Lemak Bebas 1:1 (180 oC) 1:1 (190 oC) 1:1 (200 oC) 3:1 (180 oC) 3:1 (190 oC) 3:1 (200 oC) Waktu ( menit)
Gambar 5 Pengaruh rasio mol terhadap penurunan asam lemak bebas Pada Gambar 5 terlihat bahwa rasio 1:1 terlihat bahwa penurunan asam lemaknya lebih rendah dari 3:1. Rasio mol yang tinggi menyebabkan molekul - molekul yang bereaksi semakin banyak sehingga molekul tersebut lebih sering bertumbukan dengan molekul lain. Rasio mol reaktan berpengaruh dalam reaksi pembentukan gliserol monooleat, semakin besar rasio mol maka penurunan asam lemak semakin rendah dikarenakan konversinya semakin tinggi (Setyawardhani, 2008). 3.3
Pengaruh Suhu Terhadap Gliserol Bebas Dari hasil percobaan didapatkan data penurunan kadar gliserol bebas seperti pada Gambar 6.
275 ISBN 978-602-70361-0-9
Gliserol Bebas (mgrek/gram)
Pengaruh Suhu Terhadap Kadar Gliserol Bebas T = 180 c T= 190 c T= 200 c
Waktu (menit)
Gambar 6 Pengaruh suhu terhadap kadar gliserol bebas Terlihat bahwa semakin tinggi temperatur reaksi, gerakan molekul-molekul reaktan bertambah cepat mengakibatkan frekuensi tumbukan besar dan energi yang dihasilkan semakin besar yang melebihi energi aktivasinya. maka konsentrasi gliserol bebas semakin kecil, karena disebabkan oleh energi kinetik yang dimiliki oleh molekul – molekul akan meningkat. Sehingga molekul banyak yang bertumbukan dan menyebabkan reaksi kimia semakin cepat. 3.4
Konstanta Laju Reaksi
Dengan mengolah data dari grafik ln k dan 1/T berdasarkan persamaan arrhenius maka nilai energi aktivasi dapat ditentukan. Kinetika reaksi pada percobaan ini di pengaruhi oleh suhu dan rasio mol reaktan. Semakin besar rasio mol reaktan dan suhu maka konstanta laju reaksi semakin cepat. Hal ini karena gerakan molekul yang bertumbukan semakin cepat menyebabkan terbentuknya gliserol monooleat.Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan reaksi agar reaksi tersebut menghasilkan produk. Semakin kecil nilai energi akivasi (Ea) maka semakin kecil energi yang di butuhakan agar reaksi tersebut menghasilkan produk. Energi aktivasi berbanding terbalik dengan konstanta laju reaksi, semakin besar energi aktivasi yang dibutuhkan maka nilai konstanta laju reaksi semakin kecil atau reaksi berlangsung lambat. Nilai konstanta laju reaksi pada suhu yang sama yaitu 180C pada rasio mol 1:1 adalah 0,0025 mol-1 menit 1 dan rasio 3:1 adalah 0.0122 mol-1 menit -1 . konstanta laju reaksi dengan rasio yang sama yaitu 1:1 pada suhu 180C adalah 0,0025 mol-1 menit -1 , suhu 190C adalah 0,0044 mol-1 menit -1, suhu 200C adalah 0,0123 mol-1menit -1. 4.
Kesimpulan
Kesimpulan untuk penelitian ini adalah konstanta laju reaksi di pengaruhi oleh suhu dan rasio mol reaktan yang mengakibatkan konstanta laju reaksi semakin besar. Pada rasio mol yang sama dengan suhu yang semakin tinggi maka konstanta laju reaksi semakin meningkat. Konstanta kecepatan reaksi dengan suhu dapat dihubungkan dengan menggunakan persamaan Arrhenius, maka didapat persamaan sebagai berikut : k1= 4.91059 x 1013 exp (-17031/T) mol-1 menit -1 (T dalam Kelvin dan rasio 1:1 ) k1= 7.744632324 exp (-2914/T)mol-1 menit-1 (T dalam Kelvin dan rasio 3:1 ) Daftar Pustaka Handayani S anik, Marsudi Sidik, M Nasikin, dan M Subdibandriyo. 2006. Reaksi Esterifikasi Asam Oleat dan Gliserol Menggunakan Katalis Asam. ITI: Tangerang Hilmawan, Putra Ramdani. 2009. Pembuatan Gliserol Monooleat dari Gliserol dan Asam Oleat dengan Proses Esterifikasi. ITS: Surabaya Mc.Ketta. (1978), “Encyclopedia of Chemical Processing Design”, Vol 5, merchel Dekker Inc, New York. Novita, Nita dan Devi Lestariningsih. 2010 . Kinetika Alkoholis Pada Sintesis Alkid Resin Dari Minyak Biji Jarak. Jurusan teknik kimia universitas sultan ageng tirtayasa. Cilegon Othmer. (1990), Encyclopedia of Chemical Technology. John Wiley & Sons, Inc., New York. Pardi. 2005. Optimasi Proses Produksi Gliserol Monooleat dari Gliserol Hasil Samping Pembuatan Biodiesel. USU:Medan
276 ISBN 978-602-70361-0-9
Purba, Michael.dkk.1990. Ilmu Kimia edisi 2. Erlangga : Jakarta Putrawan ,I.D.G.A., Shobih, Soerawidjaja ,T.H., 2006, Stabilisasi Dedak Padi sebagai Sumber Minyak Pangan, Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia, Palembang. Setyawardhani, dwi Ardiana.dkk.2008 . Pengaruh Rasio Metanol / Minyak Terhadap Parameter Kecepatan Reaksi Metanolisis Minyak Jelantah Dan Angka Setana Biodiesel. Ekuilibrium vol 7 no 1.januari 2008 hal 23-27. Jurusan teknik kimia fakultas teknik UNS. Surakarta Suharsini, maria.dkk.2007. Kimia dan Kecakapan Hidup. Ganeca Exact. Jakarta Suryani, Ani., Windarwati, Sri., Hambali, 2007, Pemanfaatan Gliserin Hasil Samping Produksi Biodiesel dari Berbagai Bahan Baku (Sawit, Jarak, Kelapa) untuk Sabun Transparan, Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Jakarta, LPPM IPB. Tampubolon, Fretello Simon. 2010. Pembuatan Gliserol Monooleat dengan Esterifikasi Gliserol Hasil Samping Pembuatan Biodiesel dan Asam Oleat Kapasitas Produksi 27.500ton/tahun. USU:Medan
277 ISBN 978-602-70361-0-9
Sintesa Tawas dari Batuan Kaolin sebagai Alternatif Pengembangan Sumber Daya Alam Hernandi Sujono*, Jasmansyah 1
Jurusan Kimia, FMIPA Unjani, Cimahi *
E-mail :
[email protected]
Abstract A research synthesis of alum from kaolin with sulphurising and crystallization process and the determination of the metal content by the method of atomic absorption spectrophotometer. The results of the qualitative analysis of kaolin prove that Cicalengka Narawita village of Bandung as the main raw material, positif metal containing Al, Fe, Pb, and As. Having performed a quantitative analysis of the levels of 18.53% Al2O3, 0.11% Fe2O3, 0.006% Pb and As 0.005%, the results of this analysis based on SNI 0032:2011, for the synthesis of raw materials alum. Manufacture of alum with sulphurising method by heating at a temperature of 7000C produces alum who also fulfill standard SNI 0032:2011, the kaolin 100 mesh (TWS 100) grading 18.53% Al2O3, 0.11% Fe2O3, Pb 0.006% and 0.005% As and kaolin 150 mesh (TWS 150) Al2O3 18.71%, Fe2O3 0.12%, 0.006% Pb and As 0.005%. The results of the analysis of the synthesis process in a way that has been done to give good results with no loss of Al during the process and the amount of other metals such as Fe, Pb and As also can be suppressed so as not to exceed the threshold value, kaolin from the Narawita village can be used as raw materials of alum synthesis. Keywords: alum, atomic absorption spectrophotometer, SNI 0032:2011.
1.
Pendahuluan
Tawas terdapat dalam dua jenis yaitu tawas alam dan tawas buatan. Tawas buatan yang dikenal dengan nama alumunium sulfat, yang merupakan produk industri kimia dengan salah satu bahan baku utamanya adalah bijih bauksit. Tawas alam merupakan sulfat ganda dari logam Al, Cr atau logam bervalensi satu lainnya (Onuegbu dkk., 2011). Pemakaian tawas pada industri hilir menggunakan tawas buatan, yaitu alumunium sulfat, hal ini disebabkan tawas alam sangat terbatas jumlahnya. Dengan menurunnya produksi penambangan bauksit akan memberikan dampak negatif terhadap persediaan tawas dalam negeri. Oleh sebab itu sudah selayaknya untuk mencari sumber daya alam pengganti bauksit, agar tidak terjadi kelangkaan tawas dalam negeri. Salah satu mineral batuan yang mengandung aluminium tinggi adalah kaolin, dalam penelitian ini diarahkan pada sintesa tawas menggunakan bahan baku kaolin. Disamping itu bauksit mengandung kadar besi yang tinggi akan mempengaruhi kadar tawas untuk besi perlu dihilangkan atau diturunkan dan ini memerlukan tambahan analisa sekaligus akan mempertinggi biaya produksi tawas. Kaolin mempunyai rumus kimia Al2O3.2SiO2.2H2O. Kaolin sebagai bahan tambang tidak ada yang murni, biasanya mengandung oksida-oksida logam lainnya seperti kalsium oksida, magnesium oksida, natrium oksida, dan titanium oksida. Kaolin yang berupa batuan mineral dengan kandungan aluminium terbesar sekitar 32,79 %. Hoeriyah (2004) telah melaporkan bahwa kondisi yang optimum pada ekstraksi kaolin dengan H2SO4 7 M dan waktu pengadukan 90 menit dan waktu pembakaran 1 jam menghasilkan Al2O3 sebesar 11,64% dan masih jauh dari standar SNI 0032:2011 yaitu sebesar 17,00%. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variasi ukuran partikel kaolin yang lebih halus,agar luas permukaannya menjadi lebih besar dan mudah bereaksi menghasilkan tawas yang diharapkan sesuai dengan standar SNI 0032:2011. Kaolin mempunyai prospek yang lebih karena cadangan yang cukup banyak serta kandungan besi yang cukup rendah. Indonesia mempunyai potensi endapan kaolin yang cukup besar dan tersebar di pulau Belitung, Bangka , Jawa, Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi. Eksplotasi kaolin di Indonesia baru dilakukan di beberapa lokasi seperti : Sulawesi utara, Bangka, Belitung, dan beberapa di daerah pulau Jawa. Penelitian ini menggunakan kaolin yang berasal dari desa Narawita Cicalengka Bandung. Penggunaan Kaolin dari alam harus dilakukan analisa kandungan logamnya terutama logam aluminium dan logam pengikut seperti besi, kalsium, magnesium, kalium dan natrium. Kriteria Kaolin yang akan dipakai adalah kandungan aluminium sekitar 30 – 40 % dan kandungan logam ikutan antara 0,05 – 2,00 %. Hal ini bertujuan agar didapatkan kualitas tawas yang sesuai dengan standar SNI 0032:2011, dimana kandungan aluminium oksidanya (Al2O3) sebesar 17,00 % dan besi oksidanya (Fe2O3) sebesar 0,10 %. Jika tidak didapatkan Kaolin kandungan aluminium dan logam ikutan seperti yang diharapkan,
278 ISBN 978-602-70361-0-9
maka dilakukan prakonsentrasi Kaolin, sehingga kandungan logamnya memenuhi kriteria untuk itu. Tawas yang dinyatakan layak pakai dilakukan proses sulfotasi, pengenceran, penyaringan dan kristalisasi untuk mendapat tawas. Hasil Tawas yang diperoleh dilakukan analisa logam lengkap dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). 2.
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan kuantitatif dengan proses sulfurisasi, kristalisasi dan penentuan kandungan logam dengan metode spektrofotometer serapan atom (SSA). Dengan bahan yang digunakan adalah NH4Ac 6M, pereaksi aluminon, (NH4)2CO3 ,pereaksi Morin, KSCN 2M, larutan K4Fe(CN)6 , K2CrO4 1 M, NaOH 2M, H2SO4 2 M, H2SO4 7 M alkohol, NaOH 6M, beberapa potong kecil Al, sepotong kertas yang telah dibasahi larutan HgCl2 , larutan H2O2 3 % , HNO3 pekat, pereaksi molibdat, larutan standar Al, larutan standar Fe, larutan standar Pb, larutan standar As, aquaregia, aquades dan sampel kaolin yang diperoleh dari desa Narawita Cicalengka Bandung. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah alat jaw-crushel, alat penghalus ball-mill, ayakan mesh, pembakar bunsen, tungku pemanas, peralatan gelas dan SSA. Analisa kualitatif logam Al, Fe, Pb dan As dilakukan dengan metode reagen spesifik: 1.
2. 3.
4.
Sebanyak 5 tetes sampel ditambah 2 tetes larutan NH4Ac 6 M tambah 3 tetes pereaksi aluminon, kemudian panaskan 5 menit, tambahkan larutan (NH4)2CO3 sampai larutan basa tambahkan 3 tetes lagi dan terjadi endapan merah ,tambahkan 3 tetes sampel lalu ditambah pereaksi Morin terjadi fluoresensi hijau. Sebanyak 1-2 tetes sampel ditambah setetes larutan KSCN 2 M sampai terjadi warna merar darah atau sejumlah 1-2 tetes sampel ditambah setetes larutan K4Fe(CN)6 sampai terjadi warna biru. Setetes sampel ditambah setetes larutan K2CrO4 1 M, terjadi endapan kuning yang larut dalam NaOH 2 M atau setetes sampel ditambah setets larutan H2SO42 M dan setetes alcohol sampai terbentuk endapan putih. Sebanyak 5 tetes sampel ditambahkan 10 tetes larutan NaOH 6 M dan beberapa potong kecil Al dalam tabung reaksi. Mulut tabung diletakan sepotong kertas yang telah dibasahi larutan HgCl2 sampai timbul warna jingga / coklat atau sebanyak 5 tetes sampel ditambahkan 5 tetes larutan H 2O2 3 % dan panaskan hingga semua H2O2 hilang, kemudian tambahkan 5 tetes larutan HNO3 pekat dan 10 tetes pereaksi molibdat dan akan terjadi endapan putih.
Analisa kuantitatif pengukuran menggunadakan metode spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Timbang masing-masing sampel 5 g masukan kedalam labu keydhal, tambahkan 25 ml aquaregia, pasang pendingin terbalik leibig yang dimodifikasi ada kran penambah reagen, destruksi sampai warna bening. Tambahkan hati-hati H2O2 sampai warna coklat hilang dan larutan sampel berwarna bening. Dinginkan dan pindahkan dengan saring kedalam labu ukur 250ml, kemudian diencerkan dengan aquades sampai tanda batas. Larutan sampel siap untuk dengan AAS, kemudian dihitung kadar masing-masing logam Al, Fe, Pb dan As dari masing-masing sampel melalui persamaan regresi linier. 3.
Hasil dan Pembahasan Hasil pengukuran logam pada sampel dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini : Tabel 1 Hasil pengamatan kualitatif logam yang terkandung dalam kaolin dari Narawita. No 1 2 3 4
Jenis logam Al Fe Pb As
Hasil Pengamatan Positif Positif Positif Positif Tabel 2 Hasil pengukuran logam Al, Fe, Pb, dan As
Kode Sampel
Al2O3 (%)
Fe 2O3 (%)
Pb (%)
As (%)
TWS 100 TWS 150
18,53 18,71
0,11 0,12
0,006 0,006
0,005 0,005
279 ISBN 978-602-70361-0-9
19 Ket : TWS 100 = Tawas 100 mesh, TWS 150 = Tawas 150 mesh Sehubungan dengan penambangan bauksit sudah mulai menurun, berdampak positif terhadap produksi tawas, sedangkan kebutuhan selalu meningkat. Alternatif bahan baku kaolin untuk sintesa tawas sebagai pengganti bauksit sangat memungkinkan dikarenakan ketersediaannya di alam sangat mendukung. Disamping itu dari hasil penelitian juga terbukti bahwa kaolin memenuhi syarat standar SNI 0032:2011 sebagai bahan baku sintesa tawas. Analisa kuantitatif memberikan hasil yang sesuai untuk bahan baku sintesa tawas. Kadar Al dihitung sebagai kadar Al2O3 , dimana kondisi yang optimum pada ekstraksi kaolin dengan H2SO4 7 M, waktu 90 menit menghasilkan Al2O3 sebesar 18,53 %. Hasil perhitungan tersebut relatif mendekati kandungan Al2O3 standar sebesar 17 % yang direkomendasikan SNI 0032:2011. Logam Fe sebagai logam ikutan dihitung dalam bentuk kadar Fe2O3 dimana kadar Fe2O3 dari tawas menurut standar SNI 0031:2011 adalah maksimal sebesar 0,1 % sedangkan pada Fe2O3 hasil penelitian mempunyai konsentrasi 0,053 %, jadi kandungan Fe2O3 hasil penelitian masih relatif memenuhi standar. Hal ini merupakan keuntungan menggunakan kaolin karena pada kaolin yang berasal dari Narawita mempunyai kandungan Fe2O3 yang relatif rendah. Kelarutan Fe2O3 pada penelitian ini kelarutannya tidak terdeteksi karena pada proses penyaringan tersaring sempurna hal ini menunjukan hasil yang baik yang artinya tawas larut dengan sempurna dengan penambahan asam (HCl yang dipanaskan). Asam sulfat bebas hasilnya sangat kecil karena semua semua terikat dalam komposisi tawas, hal ini disebabkan asam sulfat yang dapat bereaksi dengan komposisi kaolin kecil. Sampel kaolin sebelum digunakan untuk pembuatan tawas terlebih dahulu dihaluskan dengan ukuran partikel -100 mesh sampai + 150 mesh, yang bertujuan untuk memudahkan batuan kaolin bereaksi dengan asam sulfat, dilihat dari sifat kaolin yaitu tidak terlalu keras bila dibandingkan dengan batuan mineral lain oleh karena itu penghalusan langsung menggunakan jaw crusher yang mempunyai hasil ukuran 0,5 cm, sebelumnya jaw crusher dibersihkan dari kotoran zat lain dengan mengggunakan mineral yaitu zeolit karena zeolit merupakan mineral yang mirip dengan kaolin. Sampel di ball mill yang berfungsi sebagai penggilingan atau penghalusan sampai menghasilkan ukuran partikel -100 mesh sampai + 150 mesh yang digunakan untuk pembuatan tawas. Tawas yang didapat memenuhi standar SNI 0032:2011, dimana kaolin dengan kehalusan 100 mesh dan 150 mesh, diperoleh kadar Al2O3 18,53 % dan 18,71 % , Fe2O3 0,11 % dan 0,12%, Pb 0,006 % dan 0,006 % , As 0,005 % dan 0,005 %. Hasil analisa dari kedua tingkat kehalusan memberikan hasil yang sama dan memenuhi standar SNI 0032:2011. 4.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang sintesa tawas dari bahan baku kaolin yang berasal dari Narawita Cicalengka Bandung adalah tawas yang dihasilkan memenuhi SNI 0032:2011,dengan kehalusan 100 mesh,serta kandungan Al2O3 18,53 %., Fe2O3 0,11 %, Pb 0,006 % dan As 0,005 % , Tawas kehalusan 150 mesh diperoleh Al2O3 18,71 %., Fe2O3 0,12 %, Pb 0,006 % dan As 0,005 % . Pemakaian H2SO4 teknis konsentrasi 7 M dengan waktu ekstraksi 90 menit cukup efektif untuk menghasilkan tawas berkualitas. Daftar Pustka Basri, Wahyudi. Bahan Galian Industri Kaolin.Direktorat Jenderal Pertambangan Umum.Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral.Bandung.1995. Husaini. Penelitian Pendahuluan Pembuatan Tawas dari Bauksit Kijang. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara.Bandung. 2008. Onuegbu, Ejimofor. Flame Retardant Effects of Potassium Aluminium Sulphate (Alum) on Kraft Sheet. International Journal of Basic and Applied Chemical Sciences.ISSN : 2277-2073.2011. Parulian, Alwin. Monitoring dan Analisis Kadar Alumunium (Al) dan Besi (Fe) pada Pengolahan Air Minum PDAM Tirtanadi Tunggal. Tesis. Universitas Sumatera Utara Medan; 2009.
280 ISBN 978-602-70361-0-9
Fitokimia dari Lemak Biji Tengkawang Valentina Adimurti Kusumaningtyas1, Iis Inayati Rakhmat2, Dasli Noedin1, Anceu Murniati1 1
Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jenderal Achmad Yani Jl. Terusan Jenderal Sudirman PO. Box. 148, Cimahi, Indonesia *E-mail :
[email protected], Fax : +62-22-6631560 2
Fakultas Kedokteran, Universitas Jenderal Achmad Yani Jl. Terusan Jenderal Sudirman PO. Box. 148, Cimahi, Indonesia *E-mail :
[email protected] Fax : +62-22-6631591
Abstract The use of synthetic food preservatives that are not in accordance with the rules set by Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) may be a carcinogen agent, so it is necessary to find other food preservatives that are safer and derived from natural products. This study has been carried out phytochemical screening of tengkawang seeds fat (Shorea sumatrana Sym.) with a common phytochemical screening method, obtained results that it contains alkaloids, steroids and phenolic compounds, so it can be used as reference compounds on the tengkawang seeds fat. Keywords: tengkawang seeds fat, Shorea sumatrana Sym., alkaloids, steroids, flavonoids
1.
Pendahuluan
Dipterocarpaceae adalah suatu famili tumbuhan yang besar, yang tersebar di daerah tropika Asia, dan dapat menghasilkan berbagai senyawa kimia. Kelompok tumbuhan ini banyak ditemukan, terutama sekali di wilayah Malaysia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, ditemukan tiga genus utama, yaitu Shorea, Hopea, dan Dipterocarpus dikenal dengan nama Meranti, Merawan atau Tengkawang atau Damar Mata Kucing, dan Keruing.(Cronquist, 1981; Soerianegara, 1994) Famili dari tumbuhan ini menghasilkan berbagai senyawa kimia, antara lain terpenoid, flavonoid, arilpropanoid, dan oligostilbenoid. Senyawa turunan stilben yang merupakan salah satu jenis polifenol yang utama, banyak memperlihatkan bioaktivitas yang berguna, seperti kemopreventif, hepatoprotektif, antiinflamasi, antibakteri, antimitotik dan sitotoksik (Hakim, 2002a). Keutamaan penelitian ini adalah langkah awal dari suatu rangkaian kegiatan evaluasi sumber daya biologi hutan tropika Indonesia, yaitu tumbuh-tumbuhan yang termasuk famili Dipterocarpaceae, sebagai sumber bahan kimia yang berguna. Selanjutnya, data yang berhasil dikumpulkan, dan pengetahuan yang diperoleh dari rangkaian penelitian ini diharapkan akan membuka lebih banyak lagi peluang untuk penemuan bahan-bahan kimia baru yang berguna, serta penelitian-penelitian yang orisinil dengan basis sumber daya hayati yang unggul dan membuka peluang untuk digunakan sebagai lead compounds dalam penelitian farmasi (Sootheeswaran, 1993; Hakim, 2002a). Selain itu Selain itu, dari hasil penelitian ini, juga diharapkan dapat dijadikan model serta landasan bagi kegiatan penelitian selanjutnya terhadap tumbuh-tumbuhan yang termasuk famili Dipterocarpaceae yang terdapat di hutan tropika Indonesia, untuk menemukan bahan-bahan kimia yang baru dan berguna di bidang kesehatan, dalam rangka pemanfaatan keanekaragaman hayati bagi pembangunan nasional berwawasan lingkungan. 2.
Metode
Penelitian ini dilakukan dengan cara eksperimental sungguhan (True – Experimental Research) yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan secara langsung dan mandiri untuk mendapatkan data primer. Penelitian ini dilakukan di laboratorium dengan beberapa tahap kerja, meliputi uji fitokimia dari lemak biji tengkawang (S.sumatrana) yang diperoleh dari Jambi yang telah dihaluskan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan maserasi, lalu ekstrak dari hasil maserasi tersebut dilakukan pengeringan dengan rotary evaporator. Ekstrak kering yang didapat difraksinasi kemudian dilakukan uji fitokimia dengan metode yang lazim digunakan (Darwis, 2002) .
281 ISBN 978-602-70361-0-9
3.
Hasil dan Pembahasan
Uji fitokimia merupakan langkah awal dalam uji pendahuluan penentuan kandungan senyawa. Pada sampel S. sumatrana telah dilakukan uji fitokimia dengan hasil sebagai berikut: Tabel 1. Data Pengamatan Uji Fitokimia No 1
Senyawa Alkaloid
Gambar
Hasil ++
2
Saponin
-
3
Flavonoid
-
4
Steroid
++
5
Fenolik
+
6
Terpenoid
-
Keterangan : ++ : sangat jelas + : jelas : tidak terdeteksi
Hasil uji fitokimia pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pada identifikasi alkaloid dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih yang sangat jelas menandakan adanya alkaloid sebagai metabolit sekunder. Dari hasil identifikasi terpenoid terbentuk dua fasa yaitu fasa kloroform dan fasa air. Pada fasa kloroform setelah ditambahkan pereaksi Liebermann – Burchard tidak terbentuk warna merah/pink/violet hal ini menandakan tidak ada kandungan senyawa terpenoid, melainkan terbentuk warna kehijauan yang menunjukkan adanya golongan senyawa steroid. Sedangkan pada fasa air nya setelah dikocok selama satu menit tidak terbentuk busa yang tidak hilang selama lima menit menandakan tidak adanya golongan senyawa saponin. Demikian pula pada fasa air ini setelah ditambahkan besi (III) klorida, timbul warna hijau menandakan adanya golongan senyawa fenolik tetapi setelah ditambahkan asam klorida pekat dan serbuk magnesium tidak timbul warna merah menunjukkan tidakadanya senyawa flavonoid. 4. Kesimpulan Lemak biji tengkawang (S.sumatrana) mengandung senyawa metabolit sekunder golongan alkaloid, steroid dan fenolik. Ucapan Terimakasih Dalam kesempatan ini disampaikan ucapan terimakasih kepada LPPM UNJANI atas biaya penelitian melalui Hibah Penelitian Unggulan UNJANI.
282 ISBN 978-602-70361-0-9
Daftar Pustaka Cronquist, A. An Integrated System of Classification of Flowering Plants. New York: University Press. 1981: 316318. Darwis, D., Teknik Isolasi, Kromatografi dan Kristalisasi dalam Penelitian Kimia Bahan Alam Hayati. Workshop Peningkatan Sumber Daya Manusia Kajian Kimia Organik Bahan Alam dan Pelestarian Hutan. 2002: 11 – 14. Hakim, E.H. Oligostilbenoid dari Tumbuh-Tumbuhan Dipterocarpaceae. Bull. Soc. Nat. Prod. Chem. (Indonesia). 2002a; 2(1): 1. Soerianegara, I. Dan Lemmens, R.H.M.J. Plant Resources of South-East Asia. Timber trees: major commercial timbers, PROSEA, 1994; 5(1): 166-193. Sotheeswaran, S. dan Pasupathy, V. Distribution of Resveratrol Oligomer in Plants. Phytochemistry. 1993; 32(5): 1083-1092.
283 ISBN 978-602-70361-0-9
Fotodegradasi Zat Warna Tekstil dengan Fotokatalis TiO2, Al2O3 dan H2O2 Senadi Budiman*, Dadan Suryasaputra, Dera Ristianti Prodi Kimia FMIPA Universitas Jenderal Achmad Yani 2 Prodi Farmasi FMIPA Universitas al-Ghifari *
Email :
[email protected]
Abstract Determination of textile dyes photodegradation done with photocatalyst TiO2, Al2O3 and H2O. This study includes the determination of the optimum pH, optimum photocatalyst concentration, optimum photodegradation time, and the most influential photocatalyst. The results showed that the optimum pH conditions are obtained, which is the optimum pH of the photocatalyst Al2O3 with pH = 14, pH = 14 TiO2 and H2O2 at pH = 6. Data reduction in absorbance value for the concentration, time and effect of some optimum photocatalyst is determined by percentage (%) degradation. Do photocatalyst effect of Al2O3, TiO2 and H2O2 concentrations of 8, 12% and degradation time for 2, 4 and 6 hours to photodegradation properties of textile dyes. From the results indicate that the entire treatment effect of different testing the optimum concentration of 8%, the optimum degradation time of 6 hours and H2O2 optimum photocatalyst. Keywords: photodegradation, Photocatalyst, textile dyes, TiO2, Al2O3 and H2O2 1.
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Saat ini perkembangan dan kemajuan industri tekstil di Indonesia telah berkembang sangat pesat. namun bagi kehidupan manusia, perkembangan industri tekstil juga menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Hal ini dikarenakan dalam industri tekstil selalu dihasilkan limbah, salah satunya limbah zat warna. Limbah zat warna merupakan senyawa organik yang sukar terurai, bersifat resisten, dan toksik. Apabila limbah tersebut dibuang ke perairan terdekat maka dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Dalam industri tekstil, metilen biru merupakan salah satu zat warna tartazine yang sering digunakan,karena harganya ekonomis dan mudah diperoleh Penggunaan metilen biru juga dapat menimbulkan efek seperti iritasi saluran pencernaan jika tertelan, menimbulkan sianosis jika terhirup, dan iritasi pada kulit jika tersentuh oleh kulit (Ayu, 2011). Rhodamin B merupakan salah satu zat warna sintetis yang sering terdapat pada limbah industri tekstil. Salah satu teknologi yang sedang banyak digunakan untuk mendegradasi berbagai limbah industri adalah proses fotodegradasi. Fotodegradasi adalah suatu proses degradasi suatu material dengan bantuan energi foton yang berasal dari sinar ultra violet (UV). Fakta ini penting mengingat sinar matahari yang masuk ke permukaan bumi sebagian terdiri dari sinar ultra violet (UV) sehingga terjadi reaksi fotokimia (Bismo, 2006). Proses fotodegradasi memerlukan suatu fotokatalis. Bahan fotokatalis yang digunakan dalam metode fotodegradasi merupakan suatu semikonduktor, seperti : TiO2, dan Al2O3. Aktivitas fotokatalis akan meningkat dengan diserapnya sinar UV, sehingga dihasilkan elektron dan hole (Wahi, 2005). Berdasarkan uraian di atas maka akan dilakukan proses Fotodegradasi dari zat warna tekstil seperti metilen biru, dan rhodamin B, dengan fotokatalis Al2O3, TiO2, ZnO, H2O2, dan kamfer pada berbagai variasi pH dan waktu radiasi (Ayu, 2011). Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas diharapkan ada pengaruh penambahan fotokatalis Al2O3, TiO2, dan H2O2, pada zat warna metilen biru, dan rhodamin B dalam proses fotodegradasi. Besar penurunan nilai absorbansi zat warna tekstil metilen biru, dan rhodamin B setelah ditambahkan fotokatalis Al2O3, TiO2 dan H2O2 diharapkan cukup signifikan Sinar UV digunakan untuk mengetahui pengaruh penambahan fotokatalis Al2O3, TiO2 dan H2O2, terhadap sifat fotodegradasi zat warna tekstil rhodamin B dan metilen biru, Batasan parameter yang diukur dalam penelitian ini yakni penurunan nilai absorbansi dan zat warna tekstil metilen biru, dan rhodamin B.
284 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 1 Struktur Molekul Rhodamin B
Gambar 2 Struktur Metilen Biru
Variabel berubahnya adalah jenis fotokatalis yang ditambahkan, konsentrasi fotokatalis, pH larutan sampel dan waktu degradasi. Kegunaan Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai upaya penanggulangan limbah zat warna tekstil metilen biru dan rhodamin B dan upaya untuk pelestarian lingkungan. 1.2
Zat Warna
Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh dengan kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat warna dengan serat. zat organik tidak jenuh yang dijumpai dalam pembentukan zat warna adalah senyawa aromatik antara lain senyawa hidrokarbon aromatik dan turunannya, fenol dan turunannya serta senyawa-senyawa hidrokarbon yang mengandung nitrogen. (Heaton, 1994) Gugus kromofor adalah gugus yang menyebabkan molekul menjadi berwarna. Pada Tabel 1 dapat dilihat beberapa nama gugus kromofor dan memberi daya ikat terhadap serat yang diwarnainya. Tabel 1. Nama dan Struktur Kimia Kromofor (Heaton, 1994) Nama Gugus Nitroso Nitro Grup Azo Grup Etilen Grup Karbonil Grup Karbon -Nitrogen Grup Karbon Sulfur
Struktur Kimia NO atau (-N-OH) NO2 atau (NN-OOH) -N N-C C-C O-C=NH ; CH=N-C=S ; -C-S-S-C-
Zat warna dapat digolongkan menurut sumber diperolehnya yaitu zat warna alam dan zat warna sintetik. Van Croft menggolongkan zat warna berdasarkan pemakaiannya, misalnya zat warna yang langsung dapat mewarnai serat disebutnya sebagai zat warna substantif dan zat warna yang memerlukan zat-zat pembantu supaya dapat mewarnai serat disebut zat reaktif. Henneck membagi zat warna menjadi dua bagian yakni : 1. Zat warna monogenetik apabila memberikan hanya satu warna. 2. Zat warna poligenatik apabila dapat memberikan beberapa warna. Penggolongan zat warna yang lebih umum dikenal adalah berdasarkan konstitusi (struktur molekul) dan berdasarkan aplikasi (cara pewarnaannya) pada bahan, misalnya didalam pencelupan dan pencapan bahan tekstil, kulit, kertas dan bahan-bahan lain. Penggolongan zat warna menurut Colours Index volume 3, yang terutama menggolongkan atas dasar sistem kromofor yang berbeda misalnya zat warna azo, antrakuinon, ftalosia, nitroso, indigo, benzodifuran, okazin, poli metil, di- dan tri-Aril karbonium, poli ksilik, aromatik karbonil, quionftalen, sulfer, nitro, nitrosol (Meyer, 1981) 1.3
Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil
Pengolahan limbah cair industri tekstil dapat dilakukan secara kimia, fisika, biologi ataupun gabungan dari ketiganya. Pengolahan secara kimia dilakukan dengan koagulasi, flokulasi dan netralisasi. Proses koagulasi dan flokulasi dilakukan dengan penambahan koagulan dan flokulan untuk menstabilkan partikel koloid dan padatan tersuspensi membentuk gumpalan yang dapat mengendap oleh gaya gravitasi. Proses gabungan secara kimia dan fisika seperti pengolahan limbah cair secara kimia yang diikuti pengendapan lumpur atau dengan cara oksidasi menggunakan ozon (Meyer, 1981). Dari cara pengolahan di atas pengolahan limbah cair secara kimia akan menghasilkan lumpur dalam jumlah yang besar, sehingga menimbulkan masalah baru untuk penanganan lumpurnya. Oksidasi menggunakan ozon selain biaya tinggi juga tidak efektif untuk mereduksi sulfur yang ada di dalam limbah. Penggunaan karbon
285 ISBN 978-602-70361-0-9
aktif dalam pengolahan limbah yang mengandung zat warna menghasilkan persen penurunan zat warna tinggi, tetapi harga karbon aktif relatif mahal dan juga akan menambah ongkos peralatan untuk regenerasi karbon aktif tersebut. Proses pengolahan limbah cair secara biologi adalah salah satu alternatif pengolahan yang sederhana dan ekonomis. Pada proses ini tidak diperlukan bahan kimia seperti pada proses koagulasi sehingga biaya operasinya relatif lebih rendah. Pengolahan limbah cair secara biologi ini dapat dikategorikan pada pengolahan limbah secara anaerobik dan aerobik atau kombinasi keduanya. Namun sampai sekarang ini pengolahan dengan sistem lumpur aktif tidak efisien untuk menghilangkan warna dari efluen industri tekstil. Fakta dapat dilihat dari hasil penelitian Meyer (1981), bahwa penghilangan warna dari antrakuinon dan azo pada sistem ini sangat kecil. Meskipun penelitian yang lain menunjukkan bahwa mikroorganisme aerobik strain tertentu dapat beradaptasi untuk mendegradasikan zat warna azo sederhana (Kulla.,.1981). 1.4.
Fotokatalisis
Proses fotodegradasi memerlukan suatu fotokatalis, yang umumnya merupakan bahan semikonduktor dan bahan aditif lain sebagai pemercepat laju degradasi. Prinsip fotodegradasi adalah adanya loncatan elektron dari pita valensi ke pita konduksi pada fotokatalis jika dikenai suatu energi foton. Loncatan elektron ini menyebabkan timbulnya hole (lubang elektron) yang dapat berinteraksi membentuk radikal. Radikal bersifat aktif dan dapat berlanjut untuk menguraikan senyawa target. Beberapa fotokatalis semikonduktor seperti TiO 2, ZnO, Fe2O3, CdS, ZnS dan fotokatalis lain seperti H2O2, kamfer dan benzophenon sering digunakan dalam proses fotodegradasi untuk menyerap foton dan melakukan reaksi fotokimia (Kurniadi, 2000). 1.5
Semikonduktor
Material umumnya dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu konduktor, isolator, dan semikonduktor. Pengelompokan ini dibuat berdasarkan perbedaan nilai konduktivitas listrik (σ), struktur pita (pita valensi terisi penuh atau terisi sebagian), serta besarnya energi celah (band gap energy) antara pita valensi dan pita konduksi (Mills, 1997). 2.
Metode
2.1
Diagram Alir Penelitian
Gambar 2 Diagram alir Penelitian 2.2
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah zat warna Metilen biru, zat warna rhodamin B, tartazin, alumunium oksida (Al2O3), titanium oksida (TiO2),, hydrogen peroksida (H2O2), natrium hidroksida (NaOH), asam klorida (HCl), etanol 70%, trietanolamin, PEG 4000, metanol, dan akuades 2.3
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen fotodegradasi, lampu UV ( Philips T-UV 15 / GF 15 ) dengan daya 15 Watt, UPS, pengaduk magnetic, sentrifus, timbangan analitik, kawat kassa, bunsen, kaki tiga, batang pengaduk, pipet, gelas kimia, labu ukur, gelas ukur, kertas perkamen, spatel, tabung reaksi, pinset dan plastik wrapping.
286 ISBN 978-602-70361-0-9
2.4
Pembuatan fotokatalis a.
Pembuatan sol-gel Al2O3 4%, 8%, 12% PEG 4000 ditimbang sebanyak 6 g, larutkan dalam 600 mL etanol 70%, diaduk terus-menerus sampai PEG larut. Tambahkan 31,8 g trietanolamina (TEA) dan Al2O3 (untuk Al2O3 4% ditimbang sebanyak 29,13 g; untuk Al2O3 8% ditimbang sebanyak 58,26 g dan untuk Al2O3 12% ditimbang sebanyak 87,39g, aduk dan didiamkan selama beberapa menit. Tambahkan 5,4 mL akuades, diaduk terus menerus selama 3 jam pada suhu kamar sampai campuran homogen (Ali dan Hassan, 2008).
b. Pembuatan sol-gel TiO2 4%, 8%, 12% PEG 4000 ditimbang sebanyak 6,0 g, larutkan dalam 600 mL etanol 70%, diaduk terus-menerus sampai PEG larut. Tambahkan 31,8 g trietanolamina (TEA) dan TiO2 (untuk TiO2 4%, ditimbang sebanyak 29,13 g; untuk TiO2 8% ditimbang sebanyak 58,26 g dan untuk TiO2 12%. Timbang sebanyak 87,39 g. Aduk dan diamkan selama beberapa menit, tambahkan 5,4 mL akuades, diaduk terus menerus selama 3 jam pada suhu kamar sampai campuran homogen (Ali dan Hassan, 2008). c.
Pembuatan sol H2O2 4%, 8%, 12% 1.
2.
3.
Pembuatan larutan H2O2 4% Larutan H2O2 50 % dipipet sebanyak 8 mL, masukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan ditambahkan akuades hingga volume 100 mL, dikocok sampai homogen. Pembuatan larutan H2O2 8% Larutan H2O2 50 % dipipet sebanyak 12 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan ditambahkan akuades hingga volume 100 mL, dikocok sampai homogen. Pembuatan larutan H2O2 12 % Larutan H2O2 50 % dipipet sebanyak 24 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan ditambahkan akuades hingga volume 100 mL, dikocok sampai homogen
2.4 Fotodegradasi Larutan Sampel a.
Preparasi instrument fotodegradasi Instrument fotodegradasi berupa kotak kayu yang dilengkapi Lampu UV C ( Philips T-UV 15 / GF 15 ) dengan daya 15 Watt dan UPS.
b. Fotodegradasi Sampel terhadap variasi pH : Metilen biru + fotokatalis H2O2 dengan konsentrasi 4%, 8%, 12% dengan pH 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14 selama 2, 4, dan 6 jam. Rhodamin B + fotokatalis TiO2 dengan konsentrasi 4%, 8%, 12% dengan pH 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14 selama 2, 4, dan 6 jam. c.
Fotodegradasi sampel untuk konsentrasi fotokatalis dan lamanya waktu degradasi: Metilen biru + fotokatalis Al2O3, TiO2 dan H2O2,dengan konsentrasi 4%, 8%, 12% dengan pH optimum selama 2, 4, 6 jam Rhodamin B + fotokatalis Al2O3, TiO2 dan H2O2 dengan konsentrasi 4%, 8%, 12% dengan pH optimum selama 2, 4, 6 jam.
287 ISBN 978-602-70361-0-9
3.
Hasil Dan Pembahasan
3.1 pH Optimum Proses Fotodegradasi Metilen Biru, dan RhodaminB Fotodegradasi metilen biru dipelajari pada pH yang berbeda, yaitu pada rentang pH 1-14 dengan penambahan konsentrasi fotokatalis H2O2 4%, 8%, diradiasi sinar UV selama 2, 4, dan 6 jam. Fotodegradasi rhodamin B pada pH yang sama seperti metilen biru dengan penambahan konsentrasi fotokatalis TiO2 4% dan 8% diradiasi sinar UV selama 2, 4, dan 6 jam. pH optimum diketahui dari kurva pH Vs Persentase Degradasi (%D).
60%
60%
60%
40%
40%
40%
20%
20%
20%
pH1 pH2 pH3 pH4 pH5 pH6 pH7 pH8 pH9 pH10 pH11 pH12 pH13 pH14
0%
Gb.3 pH Vs Rhodamin B dengan fotokatalis TiO2 4%, 8% dan 12% dalam 2 Jam
0%
0%
pH1 pH3 pH5 pH7 pH9 pH11pH13
pH1 pH3 pH5 pH7 pH9 pH11 pH13
Gb. 4 pH Vs Rhodamin B dengan fotokatalis TiO2 4%, 8% dan 12 % dalam 4 Jam
Gb. 5 pH Vs Rhodamin B dengan fotokatalis TiO2 4%, 8% dan 12% dalam 6 Jam
Dari gambar di atas dapat kita lihat bahwa pH optimum untuk fotokatalis TiO 2 terhadap sampel rhodamin B menunjukan pH optimum pada pH 14.
60% 40% 20%
0% pH1 pH3 pH5 pH7 pH9 pH11pH13
Gb. 6 pH Vs Metilen Biru dengan fotokatalis H2O2 4%, 8% dan 12 % dalam 2 Jam
H2O2 - 4%2
H2O2 8%3
pH1 pH2 pH3 pH4 pH5 pH6 pH7 pH8 pH9 pH10 pH11 pH12 pH13 pH14
60% 40% 20% 0%
Gb. 7 pH Vs Metilen Biru dengan fotokatalis H2O2 4%, 8% dan 12 % dalam 4 Jam
60% 40% 20% 0% pH1 pH3 pH5 pH7 pH9 pH11pH13
Gb. 8. pH Vs Metilen Biru dengan fotokatalis H2O2 4%, 8% dan 12% dalam 6 Jam
Dari gambar di atas dapat kita lihat bahwa pH optimum untuk fotokatalis H2O2 terhadap sampel metilen biru menunjukan pH optimum pada pH 6, banyak dihasilkan radikal maka radikal tersebut mempercepat proses fotodegradasi. Pengaruh waktu juga berpearan dalam fotodegradasi, makin lama proses fotodegradasi terjadi pengurangan nilai absorbansi dari zat warna tekstil 4.
Kesimpulan
Pengaruh pH menunjukkan bahwa zat warna ditambah dengan fotokatalis semikonduktor bersifat basa sedangkan untuk fotokatalis oksidator kuat dan kamfer berada pada pH asam. Hasil fotodegradasi fotokatalis H2O2 dengan konsentrasi 8 % dan waktu 6 jam menghasilkan absorbansi minimum jika dilihat dari grafik. Daftar Pustaka Ali, Rusmidah dan Hasan, Siti Habsah., Degradation Studies on Paraquat and Malation using TiO2/ ZnO Based Photocatalyst., The Malaysian Journal of Analytical Sciences, 2008; 12( 1);, 77-87 Ayu., Ida., dkk,. Fotodegradasi Metilen Biru Dengan Sinar UV dan Katalis Al2O3., Jurusan Kimia Universitas Udayana, Bukit Jimbaran;.2011; ISSN : 1907-9850 Heaton, Alan, The Chemical Industry, 2nd , Blackie Academic and Profesional., Chapman & Hal London., 1994 Kurniadi, Tedi.,Studi Fotodegradasi dan Biodegradasi PET Beraditif Benzofenon Naftalen dan Kitin., FMIPA Univeritas Diponegoro, 2000 Meyer U. In : Microbial Degra-dation of Xenobiotic and Recaltci-trant Compounds, Leisinger, T., A.M. M. Cook, Hutter, R. and J. Nuesch (Eds.), Academic Press London, 1981 : 371-385.
288 ISBN 978-602-70361-0-9
Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Subang Karina Andalusia *, Dyah R. Panuju, dan Bambang H. Trisasongko Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, FAPERTA, IPB, Jl. Meranti Kampus IPB Dramaga BOGOR 16680 *
E-mail:
[email protected]
Abstract Subang regency is located near to Jakarta on the north coast of West Java. This strategic situation has positioned Subang having an added value of easy access, therefore, is exposed to increasing regional growth and development. Approximately 10.526 ha of the area have been allocated in spatial plans (RTRW) as industrial area. The allocation causes land alteration, primarily in agricultural fields. Considering its significant impact, land conversion needs to be controlled. This research aims to observe the patterns of agricultural land use change in Subang during 2007-2013, as well as to study factors affecting land conversion by using logistic regression. Analysis of land use conversion in 2007-2013 indicates that mixed garden and built-up increased to 36.52 ha (1.68%) and 411.80 ha (18.91%) respectively. This rises consume other land use types, including plantations area, rice fields, and dry land agriculture, respectively about 0.75 ha (16.27%), 330.28 ha (15, 17%), and 101.77 ha (4.67%). Other land use types remained constant. Logistic regression analysis concluded that the change of agricultural fields to built-up was influenced by several factors, including soil type, spatial plan, and distance to the capital city. Keywords: land use change, logistic regression, spatial plan, Subang
1.
Pendahuluan
Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi yang menyertainya. Dinamika masyarakat dalam menjalankan kegiatannya baik secara sosial, ekonomi, dan budaya, dapat berimbas pada perubahan struktur penggunaan lahan di suatu wilayah. Simulasi skenario perubahan penggunaan lahan yang dilakukan oleh Verburg dkk. (1999) menunjukkan bahwa penggunaan lahan sawah di Pulau Jawa mengalami penurunan pada tahun 1994-2010 yang disebabkan oleh peningkatan perumahan, perkebunan dan pertanian lahan kering. Subang merupakan kabupaten yang memiliki areal lahan sawah terluas ketiga di Jawa Barat setelah Indramayu dan Karawang. Selain itu, Subang merupakan penyumbang produksi padi terbesar ketiga di Jawa Barat. Pada tahun 2012 luas lahan sawah Kabupaten Subang tercatat sekitar 41,96% dari total luas wilayahnya. Letak geografis yang berdekatan dengan ibukota propinsi dan ibukota negara serta berada pada lintasan jalur transportasi pantura Jawa Barat menjadikan Kabupaten Subang memiliki nilai tambah berupa aksesibilitas yang mudah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan daerah yang pesat. Kurang lebih 11.250 Ha di Kabupaten Subang dialokasikan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebagai kawasan industri (Bappeda Subang 2012). Peruntukan lahan tersebut menjadi salah satu pendorong alih fungsi lahan terutama lahan pertanian. Konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian merupakan salah satu isu sentral pembangunan pertanian karena dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap produksi pangan (Irawan 2008). Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mempertahankan lahan pertanian sebagai areal penghasil pangan. Upaya tersebut perlu didukung oleh perolehan dan analisis data yang kemprehensif, termasuk diantaranya adalah mengidentifikasi areal potensial sawah, serta mengidentifikasi lokasi lahan pertanian yang terkonversi dalam enam tahun terakhir. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor yang berperan dalam proses konversi lahan tersebut. 2.
Metode
2.1
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Data penggunaan lahan diperoleh melalui klasifikasi visual citra penginderaan jauh ALOS AVNIR-2 tahun 2007 dan 2010, serta Landsat 8 tahun 2013. Keseluruhan citra dianalisis berdasarkan kerangka kerja yang disajikan pada Gambar 1. Citra ALOS AVNIR-2 dan Landsat 8 memiliki ukuran piksel masing-masing sebesar 10 dan 30
289 ISBN 978-602-70361-0-9
meter. Untuk mengatasi kendala resolusi yang berbeda, penelitian ini menggunakan teknik data fusion pada data Landsat. Tujuan analisis tersebut adalah untuk meningkatkan resolusi citra multispektral dengan menggabungkan karakteristik spektral dari data pankromatik yang memiliki resolusi lebih tinggi (Vrabel 1996). Sistem proyeksi yang digunakanadalah sistem UTM dengan datum WGS 84 pada zona 48S. Sebelum melakukan proses klasifikasi visual, ketiga citra terlebih dahulu dikoreksi geometri. Citra ALOS AVNIR-2 tahun 2010
Koreksi geometri
Peta Dasar sungai dan jalan)
Citra ALOS AVNIR-2 tahun 2010 terkoresi
Citra Landsat-8 tahun 2013
Citra Landsat-8 tahun 2013 resolusi tinggi
Citra ALOS AVNIR-2 tahun 2007
Data fusion
Citra Landsat-8 tahun 2013 terkoreksi Klasifikasi visual dan digitasi
Image to image
Citra ALOS AVNIR-2 tahun 2007 terkoresi
Cek lapang
Penggunaan lahan tahun 2007, 2010, dan 2013
Gambar 1 Bagan alir analisis data penggunaan lahan Koreksi geometri dilakukan dengan menentukan titik kontrol GCP (Ground Control Point) sebanyak 20 titik untuk proses registrasi image-to-image, mengingat wilayah Kabupaten Subang cenderung relatif datar atau berombak, kecuali pada wilayah selatan. Citra ALOS AVNIR-2 tahun 2010 terlebih dahulu direktifikasi terhadap peta dasar (jalan dan sungai) untuk mempermudah melihat objek yang sama pada peta dasar dan citra yang akan dikoreksi. Kemudian citra ALOS AVNIR-2 tahun 2010 yang telah terkoreksi digunakan untuk mengkoreksi citra ALOS AVNIR-2 tahun 2007 dan citra Landsat 8 tahun 2013. Keseluruhan citra selanjutnya diinterpretasi secara visual sehingga menghasilkan peta penggunaan lahan tahun 2007, 2010, dan 2013. Penggunaan lahan dibedakan menjadi sembilan kelas, yaitu badan air (BA), hutan (HT), kebun campuran (KC), lahan terbangun (LT), mangrove (MV), perkebunan (PK), sawah (SW), tambak (TB), dan tanaman pertanian lahan kering (TPLK). Penggunaan lahan pada tahun yang berbeda selanjutnya dianalisis untuk memperoleh matriks transisi yang menginformasikan pola perubahan penggunaan lahan di wilayah kajian. Matriks transisi dibuat pada setiap periode pengamatan, yaitu tahun 2007-2010, 2010-2013, dan 2007-2013. Selanjutnya dilakukan proses pengecekan lapang dengan tujuan untuk membandingkan penggunaan lahan hasil interpretasi citra dengan kondisi yang sebenarnya. Perangkat yang digunakan adalah GPS (Global Positioning System) dan kamera digital. Pengambilan titik-titik cek lapang dipandu oleh poligon wilayah yang terindikasi mengalami perubahan. Terdapat 96 titik pengamatan yang diamati dengan mempertimbangkan sebaran lokasinya. Selama pengumpulan data lapang, wawancara dengan masyarakat setempat dilakukan untuk menggali data kepemilikan lahan, pelaku perubahan lahan, dan sejarah penggunaan lahan masa lampau. 2.2 Analisis Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Analisis faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan melibatkan peta penggunaan lahan, peta administrasi, peta RTRW 2011-2031, peta jenis tanah, peta kemiringan lereng serta data statistik seperti keragaman fasilitas tahun 2008, dan 2012. Penggabungan jumlah jenis fasilitas ekonomi, industri, dan sosial dari data potensi desadilakukan pada setiap desa dengan basis data spasial yang telah dibuat sebelumnya. Penelitian ini menggunakan metode regresi logistik biner, mengingat variabel respon yang digunakan bersifat kategorik dan dikotomi (Y=0 jika tidak terjadi perubahan; Y=1 jika terjadi perubahan). Proses analisis faktor perubahan penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan variabel yang digunakan dalam regresi logistik biner disajikan pada Tabel 1. Secara umum model logistik biner adalah sebagai berikut :
P(y = 1) = π =
𝑒𝛽0 +𝛽1 X1 +⋯..𝛽𝑘𝑋𝑘 1+𝑒𝛽0 +𝛽1 X1 +⋯..𝛽𝑘𝑋𝑘
(1)
290 ISBN 978-602-70361-0-9
dimana π = Peubah respon biner dimana terjadi perubahan penggunaan lahan (Y=1) β0, β1, ..., βk = Parameter regresi logistik X1, ..., Xk = Faktor yang diduga mempengaruhi proses perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan terbangun.
Peta administrasi Kabupaten Subang
Titik pusat kota
Peta lereng Kabupaten Subang
Peta jalan Kabupaten Subang
Peta landuse tahun 2007, 2010, dan 2013 Kabupaten Subang
Peta jenis tanah Kabupaten Subang
Peta RTRW Kabupaten Subang
Tumpang tindih
Keragaman fasilitas tahun 2008 dan 2012
Keluaran 1
Penggabungan
Center of mass
Distance matrix
Keluaran 2
Analisis regresi logistic biner
Gambar 2 Bagan alir analisis faktor perubahan penggunaan lahan
Tabel 1 Variabel dalam pendugaan penentu perubahan penggunaan lahan Peubah respon (y) Data biner kode terjadinya perubahan poligon lahan pertanian menjadi lahan terbangun (1) atau poligon tidak berubah (0)
Peubah penjelas (x) (X1) Kelas kemiringan lereng (1= <2%;2= 2-8%; 3= 9-15%; 4= 16-25; 5= 26-40%) (X2) Jenis tanah (1= Aluvial;2= Andosol; 3= Glei; 4= Grumusol; 5= Latosol; 6= Podsolik Merah Kuning; 7= Regosol) (X3) Alokasi Ruang dalam RTRW (1= Cagar alam, 2= Hutan produksi terbatas, 3= Hutan produksi tetap, 4= Kawasan hankam, 5= Pantai berhutan bakau, 6= perikanan budidaya, 7= Perkebunan, 8= Pemukiman perkotaan, 9= pertanian lahan basah, 10= Pertanian lahan kering, 11= Tangkapan air waduk, 12= Kawasan wisata, 13= Permukiman perdesaan, 14= situ, 15= zona industri ) (X4)Laju pertumbuhan fasilitas ekonomi (X5) Laju pertumbuhan fasilitas sosial (X6) Laju pertumbuhan fasilitas industri (X7) Jarak poligon perubahan ke pusat kota (X8) Jarak poligon perubahan ke jalan tol (X9) Jarak poligon perubahan ke jalan kolektor
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1
Analisis Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kabupaten Subang pada tahun 2007, 2010, dan 2013 masih didominasi oleh lahan pertanian baik lahan basah maupun lahan kering. Luas penggunaan dominan pada tiga titik tahun adalah lahan sawah, yang diikuti oleh TPLK, perkebunan, lahan terbangun, kebun campuran, hutan, tambak, badan air dan mangrove. Dilihat dari pola penyebarannya, lahan terbangun cenderung terkonsentrasi di sepanjang jalan utama. Sawah, TPLK, kebun campuran, dan lahan terbangun merupakan penggunaan lahan yang tersebar hampir di setiap kecamatan (Gambar 3).
291 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 3 Penggunaan lahan di Kabupaten Subang berdasarkan citra ALOS AVNIR-2 (a) 2007, (b) 2010, serta citra Landsat 8 (c) 2013 Penggunaan lahan badan air, hutan, mangrove, dan tambak di Kabupaten Subang dalam kurun waktu enam tahun (2007-2013) tidak banyak mengalami perubahan (lihat Tabel 2). Perubahan yang terjadi adalah penurunan luas kawasan pertanian lahan basah maupun lahan kering karena adanya penyediaan kawasan terbangun untuk industri, pemukiman, maupun jasa lainnya. Selain itu terjadi peningkatan dan penurunan penggunaan lahan salah satunya di Kecamatan Serangpanjang yang berada di Subang bagian selatan yang didominasi oleh kebun campuran. Perubahan lahan sawah menjadi lahan terbangun terjadi menyebar di hampir seluruh wilayah kecamatan. Perubahan terbesar terjadi di bagian tengah, antara lain di Kecamatan Subang, Pabuaran dan Pagaden. Daerah tersebut merupakan pusat kegiatan di Kabupaten Subang dan memiliki jumlah penduduk terbanyak. Selain sawah yang berubah menjadi lahan terbangun, juga terdapat perubahan lahan sawah menjadi kebun campuran, yang kemudian berubah menjadi lahan terbangun. Perubahan ini terjadi di daerah tengah yang didominasi oleh sawah beririgasi teknis. Kebun campuran dapat dianggap sebagai lahan transisi perubahan sawah menjadi lahan terbangun (Karyati dkk., 2013). Diluncurkannya undang-undang terkait lahan pertanian pangan berkelanjutan yaitu UU No. 41 Tahun 2009 membatasi proses alih fungsi lahan pada lahan pertanian beririgasi teknis atau sawah secara umum sehingga perubahan menjadi lahan terbangun terjadi lebih banyak di lahan non sawah. Tabel 2 Jenis penggunaan lahan, luas dan proporsinya tahun 2007, 2010, dan 2013 Penggunaan lahan
Badan air Hutan Kebun campuran Lahan terbangun Mangrove Perkebunan Sawah Tambak Tanaman pertanian lahan kering Total
2007 Luas (Ha) 704.04 13139.32 17340.01 17781.49 295.67 18864.96 102109.70 11730.14 35760.27
Proporsi (%) 0.32 6.03 7.96 8.17 0.14 8.66 46.90 5.39 16.42
217725.60
100
2010 Luas (Ha) 704.04 13139.32 17447.87 17891.27 295.67 18858.26 101939.50 11730.14 35719.51
Proporsi (%) 0.32 6.03 8.01 8.22 0.14 8.66 46.82 5.39 16.41
217725.60
100
2013 Luas (Ha) 704.04 13139.32 17376.53 18193.28 295.67 18848.69 101779.40 11730.14 35658.51
Proporsi (%) 0.32 6.03 7.98 8.36 0.14 8.66 46.75 5.39 16.38
217725.60
100
Berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Subang tahun 2012, tercatat 80,80% wilayah Kabupaten Subang memiliki kemiringan 0°-17°, sisanya memiliki kemiringan diatas 18°, yang sangat cocok untuk penggunaan lahan pertanian dan lahan terbangun. Di bagian utara Kabupaten Subang terdapat pertanian lahan basah (sawah) terbesar. Selain itu di utara, yang berbatasan dengan Laut Jawa, juga terdapat tambak dan mangrove. Perkebunan dan hutan terdapat di bagian tengah dan selatan. Penggunaan lahan badan air menyebar merata baik di seluruh wilayah. Gambar 4 menyajikan data penggunaan lahan tahun 2013 yang dipadu dengan kondisi lapang tahun 2013.
292 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 4 Penggunaan lahan dan kondisi lapangan tahun 2013 3.2
Faktor Penentu Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Subang
Hasil analisis regresi logistik biner untuk mengidentifikasi faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis regresi logistik biner menghasilkan model regresi dengan nilai Pseudo-R2 (Nagelkerke R2) sebesar 81%. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui faktor-faktor yang signifikan (pada tingkat kepercayaan 95%) mempengaruhi perubahan penggunaan lahan secara umum. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan atas variabel yang berperan meningkatkan peluang terjadinya konversi lahan dan variabel yang berpeluang menurunkan terjadinya konversi lahan. Hasil analisis menunjukan bahwa variabel yang berperan meningkatkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan terbangun adalah jenis tanah. Sedangkan variabel lainnya yang juga berperan adalah pola ruang, serta jarak ke pusat kota yang secara umum menurunkan peluang terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian. Hasil analisis faktor penentu konversi lahan tersebut sejalan dengan pendapat Panuju dkk. (2013) yang menyatakan bahwa variabel yang berperan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan pertanian secara umum adalah variabel aksesibilitas ke lokasi pusat kota, variabel kondisi biofisik wilayah yang terdiri dari jenis tanah, serta kebijakan alokasi ruang. Tabel 3 Ringkasan hasil analisis regresi logistik biner untuk mengidentifikasi faktor penentu perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun Variabel Kelas lereng I. <2 % II. 2-8 % III. 9-15 % IV. 16-25 % V. 26-60 % Pertumbuhan industri (2007-2013) Kelas jenis tanah 1. Aluvial 2. Andosol 3. Glei 4. Grumosol 5. Latosol 6. Podsolik
B
6.989 15.060 15.651 15.879 16.716 203.143 -11.929 2.478 -9.572 -17.514 -.277 -13.459
Statistik wald 6.418 .000 .000 .000 .000 .000 .012 23.734 .002 5.664 .000 .000 .060 .003
Nilai P .268 .996 .991 .991 .991 .990 .915 .001 .962 .017 .983 .990 .807 .955
Rasio odd 1085.026 3471879.798 6270643.351 7871019.353 18188295.803 1.68E+88 * *
.000 11.922 .000 .000 .758 .000
293 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 3 Ringkasan hasil analisis regresi logistik biner untuk mengidentifikasi faktor penentu perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun (lanjutan) Variabel Kelas pola ruang 1. Cagar alam 2. Hutan produksi terbatas 3. Hutan produksi tetap 4. Kawasan hankam 5. Kawasan pantai berhutan bakau 6. Kawasan perikanan budidaya 7. Kawasan perkebunan 8. Kawasan pemukiman perkotaan 9. Kawasan pertanian lahan basah 10. Kawasan pertanian lahan kering 11. Kawasan tangkapan air waduk 12. Kawasan wisata 13. Kawasan pemukiman pedesaan 14. Situ Jarak ke pusat kota
B
-18.388 -4.349 -3.885 -18.667 -3.863 5.148 -4.243 -3.027 -1.887 -4.644 -17.645 -2.011 -3.478 -4.641 -.136
Statistik wald 66.142 .000 .000 22.565 .000 40.185 .000 .000 28.149 11.515 37.378 .000 6.533 33.177 .000 12.344
Nilai P .000 .998 1.000 .000 .997 .000 1.000 1.000 .000 .001 .000 .997 .011 .000 1.000 .000
Rasio odd *
* *
* * * * * *
.000 .013 .021 .000 .021 172.106 .014 .048 .152 .010 .000 .134 .031 .010 .873
Tanah Kompleks Andosol cenderung berpeluang meningkatkan konversi lahan pertanian karena penyebarannya berada di bagian selatan Kabupaten Subang, sehingga memiliki jarak yang jauh dari pusat kota yang terletak di bagian tengah kabupaten. Kecenderungan untuk mudah dikonversi dimungkinkan karena kurangnya pengawasan dari pemerintah setempat. Menurut Suputra dkk. (2012), salah satu faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan di Subak Daksina diantaranya dipengaruhi oleh lokasi lahan dan jarak terhadap pusat kota. Penetapan alokasi ruang dan jarak ke pusat kota justru berpeluang menurunkan konversi lahan pertanian. Dalam analisis ini, pusat kota yang dimaksud adalah Kantor Bupati Subang. Alokasi ruang merupakan suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah setempat untuk mengendalikan pola ruang dan konversi lahan pertanian. Mengingat alokasi ruang ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah, oleh karena itu RTRW yang berisi pola ruang memiliki kekuatan hukum yang menjadi panduan bagi pemerintah, pengembang dan masyarakat dalam membentuk pola ruang masa depan. Secara tidak langsung alokasi ini juga menjadi bentuk aturan yang mengontrol terjadinya perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah. Terbukti dari hasil analisis bahwa RTRW menjadi salah satu faktor penting yang terkait erat dengan kejadian perubahan penggunaan lahan. 4.
Kesimpulan
Penggunaan lahan di Kabupaten Subang pada 2013 masih didominasi oleh lahan pertanian baik lahan basah maupun lahan kering. Lahan terbangun cenderung terkonsentrasi di sepanjang jalan utama. Penggunaan lahan di Kabupaten Subang dalam kurun waktu 6 tahun (2007-2013) tidak banyak mengalami perubahan terutama pada penggunaan lahan seperti badan air, hutan, mangrove, dan tambak. Perubahan yang terjadi adalah penurunan luas kawasan pertanian lahan basah maupun lahan kering karena adanya penyediaan kawasan terbangun untuk industri, pemukiman, maupun jasa lainnya. Selain itu terjadi peningkatan dan penurunan penggunaan pada kebun campuran. Penurunan luas lahan sawah menjadi lahan terbangun terjadi hampir di seluruh wilayah Subang dengan perubahan terbesar di bagian tengah yaitu di Kecamatan Subang, Pabuaran dan Pagaden. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan terbangun dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis tanah, pola ruang, dan jarak ke pusat kota. Hasil analisis regresi logistik membuktikan bahwa RTRW menjadi salah satu faktor penting untuk mengontrol kejadian perubahan penggunaan lahan. Ucapan Terimakasih Terimakasih kepada Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai Ciliwung (BPDAS), Badan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan, Ketahanan Pangan (BP4KKP) Kab. Subang, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kab. Subang, Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kab. Subang, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan Dinas Tata Ruang, Pemukiman dan Kebersihan, Kab. Subang, Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W-IPB), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
294 ISBN 978-602-70361-0-9
Daftar Pustaka Irawan B. Meningkatkan efektifitas kebijakan konversi lahan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 2008; 26(2): 116131. Karyati NE, Panuju DR, Trisasongko BH. Proyeksi penggunaan lahan menggunakan metode Markov Chain: Studi kasus Kabupaten Klaten. Prosiding Lokakarya Nasional dan Seminar Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia. Bogor. 2013; 810-818. Panuju DR, Karyati NE, Trisasongko BH. Pola konversi lahan sawah di Kabupaten Klaten. Prosiding Lokakarya Nasional dan Seminar Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia. Bogor. 2013; 798-809. Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Subang Tahun 2012. Suputra DPA, Ambarawati IGAA, Tenaya IMN. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan studi kasus di Subak Daksina, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Jurnal Agribisnis dan Agrowisata, 2012.;1(1):61-68. Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. 2009. Verburg PT, Veldkamp AT, Bouma J. Land use change under conditions of high population pressure: The case of Java. Global Environmental Change, 1999; 9: 303-312. Vrabel J. Multispectral imagery band sharpening study. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 1996; 62(9): 1075-1083
295 ISBN 978-602-70361-0-9
Optimasi Pola Tanam pada Lahan pertanian dengan Mempertimbangkan Potensi Erosi, Land Rent, dan Kecukupan Beras di Wilayah Subang, Jawa Barat R. Ianatus Sholihah1*, Dyah R. Panuju2, dan Enni D. Wahjunie3 Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, FAPERTA, IPB, Jl. Meranti Kampus IPB Dramaga- BOGOR *
E-mail:
[email protected]
Abstract Increasing population causes escalation in demand of land for food production, settlements, and public facilities. Meanwhile, land availability is fixed and limited which encourage marginal or unsuitable land utilization. Land utilization for food production which not comply its capability would have negative effect both physically and economically. To avoid those effects, optimal cropping pattern should be determine to support sustainable agricultural development. This research aims to determine optimal land for food production areas by considering the potential erosion, land rent, and rice sufficiency. Linear goals programming is employed to devise the optimal choice of land use pattern. The study area includes four sub-districts namely Cipeundeuy, Kalijati, Pabuaran, and Patokbeusi that is situated in Subang, West Java. Optimum cultivation pattern on the agricultural land was organized to achieve three targets including (1) to minimized erosion for land preservation, (2) to provide the highest economic benefits for farmers, and (3) to meet rice sufficiency of study area. This study designed twelve scenarios with different targets combination. It is showed that scenario VI and XII is the best combination comply the expected targets. Both of these scenarios produce optimal cropping patterns with the lowest erosion values of 85.528,10 tons/year, generate the highest economic benefit for farmers at Rp 525.890.970.000,- and yield 46.598 tons rice for scenario VI and 181.730 tons rice for scenario XII. Decision tree analysis shows that spatial distribution pattern of land optimal optimization were strongly influenced by the economic benefits. Keywords: cropping pattern, erosion, land rent, linear goals programming, rice sufficiency
1.
Pendahuluan
Kabupaten Subang memiliki luas lahan 205.176 ha yang secara garis besar dibedakan menjadi lahan sawah dan lahan kering, dengan rincian lahan sawah seluas 84.928 ha (41,39%) dan lahan kering seluas 120.247 ha atau sekitar 58,61% dari luas kabupaten. Hasil inventarisasi lahan menunjukkan luas lahan kritis meningkat dari 7.785 ha pada tahun 2011 menjadi 9.581 ha pada tahun 2012 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang 2013). Kondisi ini terjadi karena lahan pertanian diusahakan secara intensif dalam waktu yang relatif lama sehingga mengalami kerusakan baik secara fisik, kimia maupun biologi yang berdampak pada penurunan produktivitas tanah (Simbolon, 2012). Seiring perkembangan teknologi dan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan akan lahan untuk mendukung berbagai peningkatan aktivitas juga semakin meningkat. Berbagai dampak negatif mulai dirasakan diantaranya meningkatnya ketidakteraturan tata kota, kerusakan lingkungan, meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi, semakin berkurangnya lahan pertanian dan hutan. Hal ini makin diperburuk dengan masih minimnya kesadaran masyarakat terutama terkait kerusakan lingkungan seperti degradasi lahan (Zielinska dkk., 2008). Upaya pengelolaan lahan dibutuhkan untuk menjaga eksistensi pemanfaatan lahan sesuai peruntukan penggunaan lahan. Partisipasi dan dukungan masyarakat setempat diperlukan untuk menjaga eksistensi lahan pertanian sehingga produktivitas lahan pertanian terpelihara (Pahlawan dkk ., 2013). Pemanfaatan lahan yang intensif umumnya dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan usahatani, namun dalam jangka panjang berakibat menurunkan daya dukung lahan untuk pertanian. Karena itu, diperlukan rencana pemanfaatan lahan yang mampu menjamin kelestarian sumberdaya alam dan meningkatkan penerimaan usahatani. Penelitian tentang perencanaan pengelolaan lahan pertanian yang mampu menyeimbangkan antara kelestarian lahan dengan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat khususnya petani dibutuhkan untuk mengetahui pola optimal tersebut. Untuk mendapatkan model perencanaan pengelolaan lahan pertanian yang berkelanjutan diperlukan metode yang mampu memilih kombinasi pemanfaatan yang menghasilkan target yang diharapkan. Metode linear goals programming (LGP) merupakan alternatif teknik untuk mencapai target pemilihan
296 ISBN 978-602-70361-0-9
pemanfaatan dengan prinsip persamaan linier. Dengan mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan, beberapa aspek perlu dipertimbangkan dalam mengoptimasikan pola tanam di lahan pertanian wilayah Subang antara lain aspek ekologi, ekonomi, dan kondisi sosial masyarakat. Pemilihan kondisi potensi erosi, land rent, dan kecukupan beras wilayah digunakan untuk mewakili unsur pembangunan berkelanjutan tersebut. 2.
Metode
2.1.
Lokasi dan Data
Penelitian ini dilakukan di empat kecamatan Kabupaten Subang yaitu Kecamatan Cipeundeuy, Kalijati, Pabuaran, dan Patokbeusi. Penelitian dilakukan di empat kecamatan tersebut dengan pertimbangan bahwa variasi pola tanam di wilayah tersebut tinggi karena berada di bagian tengah Kabupaten Subang dengan topografi datar sampai berbukit/bergelombang. Penelitian dikhususkan pada penggunaan lahan berupa sawah, kebun campuran, dan tegalan seluas 10.694,09 hektar. Perencanaan penggunaan lahan dengan pola tanam yang optimal dalam penelitian ini lebih diarahkan pada penggunaan lahan sawah, kebun campuran, dan tegalan, karena ketiga penggunaan lahan tersebut merupakan sumber pendapatan bagi para petani di Kabupaten Subang. Data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan atas data statistik primer dan sekunder serta data spasial. Data primer diperoleh dari hasil survei lapang melalui pengamatan dan wawancara kepada petani dengan menggunakan kuesioner. Sejumlah 146 petani berkontribusi menjadi responden dan memberikan informasi terkait pola tanam dan input-output usahatani. Sedangkan data sekunder di antaranya dokumen perencanaan, curah hujan, karakteristik lahan, dan Subang dalam angka 2009-2013. Data spasial yang digunakan adalah peta administrasi, peta tanah, peta lereng, peta curah hujan, peta pola ruang skala 1:100.000 serta peta rupa bumi Indonesia (peta jalan dan sungai) skala 1:50.000. Disamping itu juga digunakan data penggunaan lahan yang diinterpretasikan secara visual dari citra ALOS AVNIR-2 tahun 2010. 2.2.
Analisis
Optimasi pola tanam dianalisis dengan menggunakan model tujuan ganda (Multiple Goals ProgrammingMGP) agar diperoleh rekomendasi alternatif pola tanam optimal pada satuan lahan tertentu. Pada penelitian ini terdapat tiga kendala sasaran yang disusun dalam model optimasi, yaitu manfaat ekonomi, erosi, dan produksi beras wilayah. Manfaat ekonomi diperoleh berdasarkan nilai land rent suatu sistem usahatani pada satuan lahan tertentu yang datanya didapat dari hasil wawancara dengan petani. Land rent merupakan nilai ekonomi yang diperoleh pada suatu bidang lahan, apabila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan usahatani. Prediksi erosi dilakukan dengan menggunakan persamaan Universal Soil Loss Equation (USLE) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith dalam Arsyad (1989). Persamaan USLE ini dihitung dengan memanfaatkan data curah hujan, karakteristik tanah, tipe lereng, faktor pengelolaan tanaman, dan teknik konservasi tanah. Produksi beras wilayah didasarkan pada analisis kebutuhan beras wilayah dengan mempertimbangkan jumlah penduduk dan konsumsi beras setara gabah per kapita. Perumusan model optimasi dilakukan dengan menggunakan software General Algebraic Modelling System (GAMS) 22.2 dengan struktur data sebagai berikut : 1. Peubah Keputusan (Decision Variable) Peubah keputusan (Xij) adalah pola tanam ke-i pada satuan lahan ke-j dengan luasan tertentu dalam hektar. 2. Fungsi-fungsi Kendala a. Kendala Real Alokasi penggunaan lahan pada setiap satuan lahan optimal (Xij) dibatasi oleh total luas dari setiap satuan lahan (Aj) dalam meter persegi. Secara matematis fungsi kendala real dirumuskan sebagai berikut : n
X j 1
ij
A j 100000
(1)
b. Kendala Sasaran Kendala sasaran 1 (Manfaat ekonomi/surplus) Nilai lahan dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek fisik, ekonomi, dan sosial-budaya (Ridwan et al., 2013). Setiap pola usahatani mempunyai implikasi terhadap besarnya nilai ekonomi lahan (land rent) unit lahan tersebut sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi atau surplus bagi petani yang mengusahakannya. Secara matematis fungsi kendala manfaat ekonomi ini dirumuskan sebagai berikut : n
X j 1
ij
LRij Lp j Ln j LRij A j 10000
(2)
dimana :
297 ISBN 978-602-70361-0-9
Xij LRij Lpj Lnj LRj
: Luas areal optimum pola tanam ke-i pada satuan lahan ke-j : Land rent pola tanam ke-i pada satuan lahan ke-j : Simpangan positif sasaran manfaat ekonomi : Simpangan negatif sasaran manfaat ekonomi : Land rent pada satuan lahan ke-j
Kendala sasaran 2 (Erosi) Setiap penggunaan lahan mempunyai pengaruh terhadap besarnya nilai erosi aktual. Tingkat erosi tersebut harus diminimalisasikan sehingga mendekati nilai erosi yang ditoleransikan (tolerable soil loss-TSL). Nilai TSL ditetapkan dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Hammer (Arsyad, 1989) yang dihitung dari data kedalaman ekivalen setiap jenis tanah dibagi dengan umur guna tanah (400 tahun). Fungsi kendala erosi dirumuskan sebagai berikut :
Et j
n
X j 1
ij
10000
Ep j En j Aa j
(3)
dimana : Xij : Luas areal optimum pola tanam ke-i pada satuan lahan ke-j Etj : Erosi yang ditoleransikan pada satuan lahan ke-j Epj : Simpangan positif sasaran erosi Enj : Simpangan negatif sasaran erosi Aaj : Erosi aktual pada sataun lahan ke-j Kendala sasaran 3 (Produksi Beras) Total padi yang diproduksi oleh wilayah perencanaan setidaknya dapat memenuhi kebutuhan beras penduduk di wilayah tersebut. Secara matematis fungsi kendala ini dapat dirumuskan sebagai berikut : n
m
X i 1 j 1
ij
Yij Bp Bn M Brs
dimana : Xij Yij Bp Bn M
: Luas areal optimum pola tanam ke-i pada satuan lahan ke-j : Produktivitas padi pola tanam ke-i pada satuan lahan ke-j : Simpangan positif sasaran produksi padi : Simpangan negatif sasaran produksi padi : Jumlah penduduk empat kecamatan
Brs
: Nilai konsumsi beras per kapita per tahun
(4)
Kendala sasaran 4 (Tujuan) Tujuan dari penyusunan model optimasi ini adalah meminimumkan simpangan-simpangan dari target optimasi yang disusun agar mendekati nol. Secara matematis fungsi kendala ini dapat dirumuskan dengan Z=0. 3. Fungsi Tujuan Agar setiap kendala terpenuhi, maka fungsi tujuan dari model LGP ini adalah meminimalkan total tertimbang dari simpangan masing-masing fungsi kendala dalam studi kasus ini. Goal programming sangat cocok digunakan untuk masalah multi tujuan karena melalui variabel deviasinya, pendekatan ini secara otomatis memberi informasi tentang pencapaian relatif tujuan-tujuan yang ada. Oleh karena itu solusi optimal yang diberikan dapat dibatasi pada solusi fisibel yang menggabungkan ukuran-ukuran performasi yang diinginkan (McAllister dkk., 2000). Secara matematis fungsi tujuan ini dirumuskan sebagai berikut :
n Z WLn j Ln j WLp j WEn j WEp j Ep j WBn Bn WBp Bp j 1 (6) dimana :
298 ISBN 978-602-70361-0-9
WLnj.Lnj WLpj.Lpj WEnj.Enj WEpj.Epj WBnj.Bnj WBpj.Bpj
: Koefisien pembobot simpangan negatif sasaran manfaat ekonomi : Koefisien pembobot simpangan positif sasaran manfaat ekonomi : Koefisien pembobot simpangan negatif sasaran erosi : Koefisien pembobot simpangan positif sasaran erosi : Koefisien pembobot simpangan negatif sasaran produksi padi : Koefisien pembobot simpangan positif sasaran produksi padi
4. Skenario Penyusunan skenario optimasi pola tanam pada lahan pertanian di wilayah Subang dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dan ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh adanya faktor potensi erosi, nilai land rent, dan kebutuhan beras yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan skenario. Penggunaan lahan yang menjadi masukan model LGP dalam studi kasus ini adalah penggunaan lahan sawah, tegalan, dan kebun campuran. Pada penelitian ini terdapat 12 skenario yang disusun dengan model MGP dengan target yang berbeda. Perbedaan skenario dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Skenario-skenario dalam LGP Target Skenario I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII
Manfaat Ekonomi (% LR) 80 100 120 80 100 120 80 100 120 80 100 120
Erosi < TSL < TSL < TSL <0.95 TSL <0.95 TSL <0.95 TSL < TSL < TSL < TSL <0.95 TSL <0.95 TSL <0.95 TSL
Produksi Beras = KSI = KSI = KSI = KSI = KSI = KSI =3.9 X KSI =3.9 X KSI =3.9 X KSI =3.9 X KSI =3.9 X KSI =3.9 X KSI
Keterangan : LR= Land Rent, TSL= Tolerable Soil Loss, KSI= Kebutuhan beras saat ini Kombinasi skenario dibedakan atas 3 alternatif pencapaian manfaat ekonomi yaitu 80%, 100% dan 120% dari nilai land rent tertinggi, dua alternatif pencapaian erosi yaitu sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (TSL) atau lebih rendah dari TSL (95%), serta dua alternatif produksi beras yaitu sama dengan kebutuhan masyarakat atau sama dengan produksi saat ini yaitu 3,89 kali dari kebutuhan konsumsi saat ini. Selanjutnya untuk mengetahui faktor yang paling mempengaruhi pola spasial hasil optimasi maka dilakukan analisis regression tree. Penyusunan pohon keputusan (decision tree) pada penelitian ini didasarkan pada beberapa variabel, yaitu pola sebaran spasial lahan optimal sebagai dependent variable (variable tergantung) sedangkan tiga kombinasi kriteria hasil optimasi yaitu manfaat ekonomi, nilai erosi, serta produksi beras wilayah sebagai variabel penduganya. 3.
Hasil dan Pembahasan
Menurut Li dkk. (2009), model alokasi penggunaan lahan (APL) dapat digunakan untuk meminimumkan fungsi tujuan (misalnya minimumkan biaya) ataupun memaksimumkan fungsi tujuan (misalnya maksimumkan indeks kepadatan). Hasil optimasi dari 12 skenario yang disusun menghasilkan tiga pola sebaran spasial lahan optimal seperti yang ditunjukkan Gambar 1. Skenario I, IV, VII, dan X menghasilkan pola spasial a, skenario II,V,VIII, dan XI menghasilkan pola spasial b, dan skenario III,VI,IX, dan XII menghasilkan pola spasial c.
299 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 1. Sebaran spasial lahan optimal a) skenario I,IV,VII, dan X b) skenario II,V,VIII, dan XI c) skenario III,VI,IX, dan XII Skenario dengan pola sebaran spasial a mencakup 20 pola tanam, skenario dengan pola sebaran spasial b mencakup 17 pola tanam, dan skenario dengan pola sebaran spasial c mencakup 16 pola tanam. Pola tanam padipadi-padi (PT 2), kacang tanah-padi-jagung (PT 3), cabe rawit-terung (PT 22), dan cabe merah kelapa (PT 23) mendominasi sebaran spasial di ketiga pola yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dalam Gambar 2 bahwa keempat pola tanam tersebut paling besar luasan lahan optimalnya. Hal ini menunjukkan bahwa keempat pola tanam tersebut merupakan kombinasi yang mampu memenuhi target optimasi dengan nilai erosi terendah, manfaat ekonomi tertinggi, dan mampu memenuhi kebutuhan beras wilayah. Hasil optimasi semua skenario dengan model LGP dapat saling dibandingkan berdasarkan nilai manfaat ekonomi, erosi dan produksi beras wilayah. Kriteria kendala sasaran yang diskenariokan dan hasil optimasi skenario tersebut dengan model LGP ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Skenario Berdasarkan Tiga Kombinasi Kriteria
Skenario
Kriteria yang Diskenariokan
Hasil Optimasi Skenario
Manfaat Ekonomi Erosi Total Produksi Beras (Rp/tahun) (ton/tahun) Ton GKP S1 M1 E1 B1 350.599.820.000 88.252,99 46.598 S2 M2 E1 B1 438.248.250.000 88.252,99 46.598 S3 M3 E1 B1 525.890.970.000 88.252,99 46.598 S4 M1 E2 B1 350.599.820.000 85.528,10 46.598 S5 M2 E2 B1 438.248.250.000 85.528,10 46.598 S6 M3 E2 B1 525.890.970.000 85.528,10 46.598 S7 M1 E1 B2 350.599.820.000 88.252,99 181.730 S8 M2 E1 B2 438.248.250.000 88.252,99 181.730 S9 M3 E1 B2 525.890.970.000 88.252,99 181.730 S10 M1 E2 B2 350.599.820.000 85.528,10 181.730 S11 M2 E2 B2 438.248.250.000 85.528,10 181.730 S12 M3 E2 B2 525.890.970.000 85.528,10 181.730 Keterangan: S= skenario, M= manfaat ekonomi, E= erosi, B= produksi beras M
E
B
Pola Spasial a b c a b c a b c a b c
Erosi di wilayah penelitian yang ditetapkan dengan menggunakan prediksi USLE sebesar 133.575 ton/tahun dengan nilai TSL sebesar 311.785,2 ton/tahun. Nilai erosi dalam model LGP disusun lebih rendah daripada TSL, sehingga erosi hasil optimasi lebih rendah daripada TSL dan erosi dugaan USLE. Erosi hasil optimasi berdasarkan Tabel 2 pada skenario-skenario yang disusun sebesar 85.528,10 ton/tahun dan 88.252,99 ton/tahun, atau sama dengan 27%-28% TSL. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pola tanam optimal hasil optimasi secara ekologi lebih menjamin kelestarian lahan. Sintesis hasil optimasi dengan linear goals programming menghasilkan skenario VI dan XII dengan pola sebaran spasial c sebagai skenario terbaik. Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa kedua skenario tersebut menghasilkan potensi erosi paling rendah sebesar 85.528,10 ton/tahun, memberikan manfaat ekonomi sebesar Rp 525.890.970.000, serta mampu memenuhi
300 ISBN 978-602-70361-0-9
kebutuhan beras penduduk di wilayah penelitian. Kebutuhan beras wilayah dihitung dari perkalian antara jumlah penduduk dan konsumsi beras setara gabah (kg GKP/kapita/tahun) wilayah penelitian sehingga didapatkan total kebutuhan beras dengan satuan ton GKP/tahun. Skenario VI hanya cukup memenuhi kebutuhan beras penduduk wilayah penelitian tanpa menghasilkan surplus produksi beras. Selanjutnya skenario XII selain mampu memenuhi kebutuhan beras penduduk setempat, juga menghasilkan surplus beras karena produksi beras diskenariokan 3,9 kali lipat kebutuhan penduduk wilayah penelitian. Hasil analisis decision tree disajikan pada Gambar 2.
Manfaat ekonomi ≤ 482.069.610.000 T
Y
Manfaat ekonomi ≤ 394.424.035.000 Y
Pola spasial A
Pola spasial C
T
Pola spasial B
Gambar 2. Decision tree pola spasial model LGP Gambar 2 menunjukkan bahwa pola spasial lahan optimal hasil optimasi sangat dipengaruhi oleh manfaat ekonomi yang diperoleh petani. Wirosudarmo dan Apriadi (2012) menyatakan bahwa ukuran keberhasilan petani dalam mengelola usahataninya adalah besarnya tingkat keuntungan yang mampu diterimanya. Berdasarkan hasil analisis decision tree, skenario akan menghasilkan pola spasial a jika memiliki nilai manfaat ekonomi kurang dari sama dengan 394.424.035.000. Pola spasial b dihasilkan dari skenario yang memiliki manfaat ekonomi lebih dari 394.424.035.000 namun kurang dari sama dengan 482.069.610.000. Selanjutnya untuk skenario yang memiliki manfaat ekonomi lebih dari 482.069.610.000 akan menghasilkan sebaran lahan optimal dengan pola spasial c. 4.
Kesimpulan
Hasil optimasi dengan model MGP menghasilkan tiga pola sebaran spasial lahan optimal. Pola tanam padipadi-padi (PT 2), kacang tanah-padi-jagung (PT 3), cabe rawit-terung (PT 22), dan cabe merah-kelapa (PT 23) mendominasi sebaran spasial di ketiga pola yang dihasilkan. Kombinasi keempat pola tanam tersebut mampu memenuhi target optimasi dengan nilai erosi terendah, manfaat ekonomi tertinggi, dan mampu memenuhi kebutuhan beras wilayah. Hasil decision tree menunjukkan bahwa pola spasial lahan optimal hasil optimasi sangat dipengaruhi oleh manfaat ekonomi yang diperoleh petani. Skenario yang disarankan untuk dapat diterapkan oleh petani, yaitu skenario VI dan XII dengan pola sebaran spasial c. Berdasarkan hasil optimasi dengan MGP kedua skenario tersebut mampu memenuhi target yang diharapkan dibandingkan skenario lainnya, yaitu menghasilkan pola tanam optimal dengan nilai erosi paling rendah sehingga dapat menjaga kelestarian lahan, memberikan manfaat ekonomi tertinggi bagi petani, dan memenuhi kebutuhan beras penduduk di wilayah penelitian. Skenario terpilih diharapkan dapat mewujudkan program pertanian berkelanjutan. Dibutuhkan konsolidasi kelembagaan yang mantap, baik di tingkat petani, pihak swasta maupun pemerintah untuk mendukung keberhasilan perwujudan pertanian berkelanjutan. Perwujudan paradigma pembangunan pertanian berkelanjutan diharapkan menjadi solusi alternatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat tanpa mengabaikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Ucapan Terimakasih Terimakasih kepada JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) atas akses data ALOS AVNIR-2, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Subang, serta Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian atas akses data-data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini
Daftar Pustaka Arsyad S. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. 1989. Badan Pusat Statistik. Subang dalam Angka 2013. Subang: BPS Kabupaten Subang. 2013.
301 ISBN 978-602-70361-0-9
Li X, Chen Y, and Daoliang L. A spatial decision support system for land use structure optimization. WSEAS Transaction on Computer. 2009; 8: 436-448. McAllister CD, Simpson TW. Goal programming application in multidisciplinary design optimization. American Onstitute of Aeronautics and Astronautics Meeting Papers. 2000; doi: 10.2514/6.2000-4717. Ridwan BW, Saraswati E, Sapta B. Pemanfaatan citra Ikonos dan sistem infomasi geografis untuk zonasi harga lahan di Kecamatan Godean Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Bumi Indonesia. 2013; 2(2):121-128. Simbolon SD. Prediksi erosi dengan metode USLE (Universal Soil Loss Equationi) di kebun Tambunan A Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat. VISI. 2012; 20(1): 773-797. Wirosoedarmo R, Apriadi, U. Studi perencanaan pola tanam dan pola operasi pintu air jaringan reklamasi rawa Pulau Rimau di Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Jurnal Teknologi Pertanian. 2012; 3(1):5666. Zielinska AL, Church RL, Jankowski P. Spatial optimization as a generative technique for sustainable multiobjective land-use allocation. International Journal of Geographical Information Science. 2008; 22(6): 601-622.
302 ISBN 978-602-70361-0-9
‘Kampung Kota’ Di RW-12 Blok Babakan Andir Kelurahan Padasuka Kota Bandung – Kondisi Sosial-Ekonomi dan Permukimannya Udjianto Pawitro, Achsien Hidayat, Nanang Suherman. Jurusan Teknik Arsitektur – FTSP Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung Gedung 17 Lantai 1 Jalan Penghulu Hasan Mustopha 23 Bandung 40124
E-mail :
[email protected] /
[email protected] /
[email protected]
Abstract Looking at the history since the 1950s in major cities in Indonesia formation of ‘city-village’ involving some community inhabitants. The phenomenon of ‘city-village’ lasted is basically in line with two important processes associated with the urban areas, namely : ( a) the process of urbanization, and (b) the process of urbanism. Urbanization is the process of migration from rural areas to the urban areas. While urbanism process ongoing due to changes in the culture of rural communities are becoming urbanized society. City village community discussion related to the socio-economic aspects are basically involves three important things, namely : (a) work or livelihood, (b) large of income, and (c) the priority of spending in the family financing. In relation to the settlement areas, socio-economic aspects of the city village community will relate to three important things, namely: ( a) large funds or ability level of funding set aside for residential maintenance, (b) the ability of the family in caring homes and (c) the level of the family's ability to stay home maintenance periodically. Discussion related phenomenon of ‘city village’ basically three important aspects associated therein, namely: (a) the background of the sociocultural aspect of their society, (b) socio-economic aspects of their community, and (c) the aspects of their settlement condition. In physical settlements condition of ‘city villages’ its look as un-planned settlement, not organized and tends to look dull or dirty due to poorly-maintained, as well as having a low environmental health conditions. In this research addressed three major sub-topics, namely : (a) discuss the background of the city village phenomenon, (b) discuss social-economic conditions of the city village community , and (c) discuss the physical condition of the city village and their improvement efforts. The research method used is descriptive analysis method by topical. And this research raised the case studies : the communities and the settlement at RW-02 Block Babakan Andir - Padasuka Bandung. Keywords : city village society, socio-economic, conditions of the settlement.
1.
Pendahuluan
Dalam dekade 1980 sampai dengan 2010 pertumbuhan dan perkembangan wilayah perkotaan (urban areas) mengalami peningkatan yang sangat pesat. Hal ini dapat dilihat terutama di kawasan kota-kota besar di dunia termasuk pula kota-kota besar di Indonesia. Seperti misalnya kota-kota besar : Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Makassar (Ujung Pandang), dsb. yang secara nyata mengalami partumbuhan wilayah yang sangat pesat. Dalam periode antara tahun 1980-an s/d 2010-an banyak kota-kota besar di Indonesia yang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Untuk beberapa kota besar di Indonesia pertumbuhannya mencapai tingkat kota metropolitan. Faktor-faktor pendorong dari pertumbuhan kawasan kota antara lain adalah : (1) laju pertumbuhan penduduk kota yang sangat tinggi, (2) laju urbanisasi ke kawasan perkotaan yang tinggi, (3) perubahan budaya kehidupan dari corak masyarakat rural ke masyarakat bercorak urban (perkotaan) yang dikenal sebagai proses ‘urbanisme’, (4) makin mahal atau makin tingginya harga jual lahan di kawasan perkotaan, (e) tingginya intensitas penggunaan lahan / tanah untuk kawasan perkotaan, (f) serta tingginya daya tarik ekonomi kawasan perkotaan (lihat pula Hall, 2000). Faktor utama meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan dari kawasan perkotaan, khususnya untuk kota-kota besar di Indonesia setidaknya terdapat tiga faktor, yaitu: (a) tingginya tingkat urbanisasi di kawasan perkotaan, (b) proses beralihnya masyarakat pinggir kota menjadi kawasan kota besar akibat adanya perluasan area atau wilayah kota, dan (c) daya tarik ekonomi dari kawasan kota yang tinggi menyebabkan area pinggir kota terimbas menjadi kawasan kota. Sedangkang proses urbanisme atau adanya perubahan budaya masyarakat urban, pesat dan lambatnya bergantung pada tingginya tingkat pengaruh dari kota-kota besar sebagai kota induknya.
303 ISBN 978-602-70361-0-9
Kota dalam pengertian ‘perkotaan’ (dalam bahasa Inggirsnya disebut ‘urban’), pada dasarnya lebih membahas tentang apa dan bagaimana perkotaan dan permasalahan yang melingkupinya. Sedangkan kata ‘kota’ dalam pengetian lingkungan bentukan fisik (dalam bahasa Inggris disebut ‘city’). Ada dua kata penting yang berkaitan erat dengan pemahaman ‘urban’ atau perkotaan, yaitu: (a) urbanisasi, serta (b) urbanisme. Urbanisasi diartikan sebagai proses perpindahan penduduk desa ke daerah atau kawasan perkotaan secara fisikal. Sedangkan ‘urbanisme’ diartikan sebagai fenomena atau peristiwa dari proses sosio-kultural masyarakat bercorak perdesaan kearah masyarakat yang bercorak perkotaan (lihat pula : Salim, 2010). Fenomena masyarakat kampung kota yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia pada dasarnya merupakan hal menarik untuk diamati dan dibahas. Fenomena kampung kota pada dasarnya menyangkut aspek sosial-budaya dan sekaligus aspek sosial-ekonomi yang melingkupi keseluruhan penduduk kampung kota. Selain untuk mengamati dan membahas kondisi sosial-budaya dan sosial ekonomi pada masyarakat kampung kota di kawasan perkotaan, juga menarik untuk mengamati dan mencermati latar-belakang serta proses terjadinya ‘urbanisme’ yaitu proses perubahan budaya yang melibatkan pola perilaku dan kebiasaan hidup masyarakat kampung kota (Dieter Evers, dkk., 2002). 2.
Metode
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian berupa metode analisis deskriptif yang dilakukan secara topikal. Adapun tiga topik utama dalam penelitian ini adalah (a) mengamati proses fenomena ‘kampung kota’ yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia, (b) mengamati aspek ‘sosio-ekonomi’ pada masyarakat kampung kota, dan (c) mengamati kondisi permukiman dari kampung kota. Untuk mendukung pembahasan dalam penelitian ini dilakukan kegiatan persiapan berupa Survey Lapangan dengan kegiatan penyebaran kuesioner (jumlah responden = 40 kk) dan pengambilan Photo-photo Lapangan. Studi kasus dalam penelitian ini diangkat permukiman dari masyarakat kampung kota di RW-02 Blok Babakan Andir Kelurahan Padasuka Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung. Masyarakat kampung kota (the urban campoong society) adalah kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan yang tetap mempertahankan budaya ‘kampung’ di kawasan tempat tinggalnya. Akibat mempertahankan budaya ‘kampung’ didalam kehidupan sehari-harinya, maka tatanan fisik kawasan kampung kota cenderung tidak tertata dengan baik, cenderung kumuh atau kusam serta cenderung tidak teratur. Masyarakat kampung kota pada dasarnya masih tetap ada mendiami kawasan perkotaan yang pada awalnya berupa kampung (villages) dan kemudian berkembang menjadi kampung di kawasan perkotaan (Suparti, A Salim (editor), 2010). Kampung kota yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia, pada dasarnya merupakan hal yang menarik untuk diamati dan dibahas. Fenomena kampung kota pada dasarnya menyangkut aspek sosial-budaya dan sosialekonomi dari keseluruhan warga masyarakat kampung kota yang akan diamati. Aspek sosial-budaya yang diamati dalam masyarakat kampung kota pada dasarnya meliputi aspek-aspek : etnik, suku bangsa, agama atau kepercayaan, pola perilaku (bihaviour) dan kebiasaan sehari-hari (habits) dari masyarakatnya. Aspek sosial-ekonomi masyarakat kampung kota yang dibahas meliputi aspek-aspek : mata pencaharian atau jenis pekerjaan, tingkat pendapatan atau besar penghasilan, prioritas pembiayaan dalam keluarga, prioritas pembiayaan dalam keluarga, tingkat kemampuan untuk menabung (menyisihkan uang/pendapatan), tingkat kemampuan untuk merawat atau memelihara rumah, tingkat kemampuan pembiayaan untuk menyisihkan dana guna merawat atau memelihara rumah, hingga kemampuan pemeliharaan rumah, dsb. (Udjianto Pawitro, 2012). Persoalan sosial ekonomi dan sosial budaya yang menimpa masyarakat kampung kota seperti misalnya : terdapatnya kawasan kumuh (slumb areas), perumahan atau permukiman yang ’tidak teratur’ dan ‘tidak tertatabaik’, kawasan kampung kota cenderung menjadi kumuh atau kusam akibat rumah-rumahnya tidak terpelihara dengan baik. Kondisi sarana dan prasarana kawasan lingkungan permukiman yang tidak memadai serta kondisi lingkungan permukiman yang kurang sehat – memperburuk lingkungan fisikal dari permukimannya. Bahasan berkaitan dengan kondisi social-ekonomi masyarakat kampung kota, mempunyai tujuan antara lain untuk mengetahui dan mengenal berbagai aspek yang terkait didalamnya. Aspek-aspek yang terkait didalamnya antara lain: (a) aspek social : ikatan social dan pola kekerabatan, (b) pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari, (c) pola kebiasaan atau ‘habits’ yang biasa dilakukan oleh anggota keluarga, dan (d) nilai dan orientasi kehidupan yang masih tetap dipertahankan dalam keluarga atau kerabat. Sedangkan dalam aspek ekonomi yang terkait didalamnya antara lain adalah : (a) mengetahui jenis pekerjaan mata pencaharian, (b) tingkat pendapatan atau ;penghasilan dari kepala keluarga, (c) prioritas dari pengeluaran dalam keluarga, dan (d) tingkat kemampuan dana untuk memelihara rumah (tempat tinggal). Tujuan utama diketahui dan dikenalnya kondisi social-ekonomi dari masyarakat kampung kota dalam bidang arsitektur khususnya sub-bidang perumahan dan permukiman, adalah untuk mengetahui tingkat kemampuan keluarga dalam memelihara / merawat rumah (tempat tinggal)-nya.
304 ISBN 978-602-70361-0-9
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1
Hasil
Deskripsi Lokasi Masyarakat Kampung Kota belokasi di RW-02, kelurahanBlok Babakan Andir – Kelurahan Padasuka, Kecamatan Cibeunying Kidul, Bandung. Jumlah kepala keluarga (KK) yang menjadi responden dalam penelitian ini : 40 KK. Kondisi Permukiman Kampung Kota di RW-02 Blok Babakan Andir Kelurahan Padasuka Kecamatan Cibeunying Kidul – Kota Bandung diperlihatkan pada Gambar 1.
Photo 01 : Kondisi Rumah Di Babakan Andir Padasuka Yang Terlihat Kurang Terawat / Terpelihara.
Photo 04 : Kondisi Permukiman Yang Padat Huni Terlihat Disebagian Permukiman Kampung Kota.
Photo 02 : Kondisi Kampung Kota Dimana Kegiatan Usaha Sektor Informal terlihat Dominan.
Photo 03 : Kondisi Permukiman Terlihat Padat Terutama Disekitar Bantaran Sungai.
Photo 05 : Kondisi Usaha Sektor Informal Di Permukiman Kampung Kota Blok Babakan Andir.
Photo 06 : Kondisi Ruang Terbuka / Open Space yang Digunakan Untuk ‘Menjemur’.
Gambar 1. Kondisi pemukiman kampong kota Data kuesioner kondisi sosio-ekonomi masyarakat kampung kota diperlihatkan pada Tabel 1-Tabel 6. Tabel 1. Jenis Pekerjaan / Mata Pencaharian Jenis Pekerjaan / Mata Pencaharian Menganggur / Tdk Ada Pekerjaan) Sektor Informal / Buruh / Tidak Tetap. c) Pegawai Swasta (Sektor Formal) d) Pegawai Negeri (PNS) e) Wirausaha / Dagang, dsb.
Jumlah orang orang orang orang orang
1 12 15 4 8
Prosentase 2,50 % 30,00 % 37,50 % 10,00 % 20,00 %
Tabel 2. Jumlah / Besar Penghasilan atau Pendapatan dari Responden Jumlah / Besar Penghasilan atau Pendapatan Dibawah Rp 500.000,- / bulan Rp 501.000,- s/d Rp 1.000.000,- / bulan c) Rp 1.001.000,- s/d Rp 1.500.000,- / bulan d) Rp 1.501.000,- s/d Rp 2.000.000,- / bulan e) Rp 2.001.000,- s/d Rp 2.500.000,- / bulan Lebih dari Rp 2.500.000,- / bulan
Jumlah 1 orang 5 orang 15 orang 16 orang 2 orang 1 orang
Prosentase 2,50 % 12,50 % 37,50 % 40,00 % 5,00 % 2,50 %
305 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 3. Prioritas atau Konsentrasi Dalam Pembiayaan (Pengeluaran) Keluarga Prioritas Dalam Pembiayaan (Pengeluaran) Prioritas I - Untuk Biaya Kebutuhan Dasar (Makan) Prioritas II - Untuk Biaya Pendidikan & Kesehatan c) Prioritas III - Untuk Biaya Kebutuhan Transportasi. d) Prioritas IV- Untuk Biaya Pemeliharaan Rumah. Prioritas V - Untuk Tabungan, Cadangan & Rekreasi.
Jumlah 32 orang 32 orang 30 orang 12 orang 5 orang
Prosentase 80,00 % 80,00 % 75,00 % 30,00 % 12,50 %
Tabel 4. Kondisi Usia Rumah / Tempat Tinggal Pada Saat Ini Kondisi Usia Rumah / Tempat Tinggal : Kondisi Rumah Sangat Tua (Usia rumah > 35 tahun) b) Kondisi Rumah Tua(Usia rumah 25 tahun s/d 35 tahun) c) Kondisi Rumah Cukup Tua (Usia rumah 15 s/d 25 tahun) d) Kondisi Rumah Sedang (Usia rumah 5 s/d 15 tahun) e) Kondisi Rumah Masih Baru (Usia rumah < 5 tahun)
1 16 18 4 1
Jumlah rumah rumah rumah rumah rumah
Prosentase 2,50 % 40,00 % 45,00 % 10,00 % 2,50 %
Tabel 5. Kondisi Tingkat Pemeliharaan Dari Rumah (Tempat Tinggal) Kondisi Tingkat Pemeliharaan Rumah (Tempat Tinggal) Kondisi Sangat Tidak Terawat (Tidak Ada Perawatan) Kondisi Tidak Terawat c) Kondisi Cukup Terawat Kondisi Terawat Kondisi Terawat Baik.
Jumlah 2 rumah 14 rumah 18 rumah 5 rumah 1 rumah
Prosentase 5,00 % 35,00 % 45,00 % 12,50 % 2,50 %
Tabel 6. Kondisi Tingkat Pemeliharaan Rumah Dilihat Dari Aspek Pembiayaan Tingkat Pemeliharaan Rumah Dari Aspek Pembiayaan Kondisi Sangat Sulit Untuk Pemeliharaan Rumah Kondisi Sulit Untuk Pemeliharaan Rumah c) Kondisi Sedang/Cukup Untuk Pemeliharaan Rumah d) Kondisi Baik Untuk Pemeliharaan Rumah e) Kondisi Sangat Baik Untuk Pemeliharaan Rumah Sumber : Data Survey Lapangan (10 Juni s/d 10 Juli 2013). 3.2
Jumlah 2 rumah 15 rumah 16 rumah 6 rumah 1 rumah
Prosentase 5,00 % 37,50 % 40,00 % 15,00 % 2,50 %
Pembahasan
Fenomena Kampung Kota Femonema kampung kota yang terjadi di RW-02 Blok Babakan Andir Kelurahan Padasuka Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung ini dapat dilihat dari sejarah perkembangan dan latar-belakang terjadinya kampung kota tersebut. Dari sejarah perkembangannya kampung kota ini berawal dari masyarakat pendatang yang mengalami proses urbanisasi dan kemudian berhuni di lokasi kampung kota Blok Babakan Andir Kelurahan Padasuka Kota Bandung. Proses pembentukan kampung kota di lokasi yang diamati dimulai pada awal tahun 1960-an (1960 hingga 1965) yang kemudian berkembang pesat pada dekade 1970 s/d 1980-an menjadi kawasan permukiman kampong kota yang padat huni. Para pendatang (urbanist) mendatangi wilayah kota Bandung, dengan mendiami area tanah milik sebagian penduduk kawasan yang mempunyai lahan cukup luas. Para pemilik lahan tersebut kemudian menjualnya kepada para pendatang dengan cara membagi-bagi lahan yang tersisa kedalam luasan (besaran) lahan yang cukup sempit. Para pendatang yang membeli tanah atau lahan dari pemilik lahan sebelumnya berasal dari kota-kota sekeliling kotamadya Bandung dan kota-kota besar di Jawa Barat. Tujuan utama dari para pendatang tersebut terutama sekali adalah untuk mencari pekerjaan yang lebih layak di kawasan perkotaan. Mereka sebagian besar dari para pendatang menaruh harapan besar untuk dapat hidup layak di wilayah kota Bandung. Seiring dengan berjalannya waktu, serta kemampuan keuangan mereka yang terbatas, mereka secara sendiri-sendiri maupun berkelompok berupaya mendirikan bangunan sementara yang ‘ala kadarnya’ yang bersifat ‘tidak tetap’ (temporer). Beruntung bagi mereka yang dapat membeli lahan atau tanah dari para pemilik sebelumnya – mereka dapat dengan leluasa membangun rumah tempat tinggal dengan kualitas yang lebih baik.
306 ISBN 978-602-70361-0-9
Sebagian dari para pendatang tersebut mereka menyewa tanah-tanah milik Pemerintah Kota Bandung dengan biaya sewa yang masih terjangkau. Para penghuni kawasan atau areal ini dapat dikatakan ‘ilegal’ atau ’semi-legal’ karena mereka menduduki tanah milik Pemerintah Kota atau dengan cara menyewa pada pihak Pemerintah Kota. Dari segi hukum sebagian dari mereka ada yang melanggar hukum’ karena tidak disertai kepemilikan yang sah dari tanah yang mereka huni. Kejadian ini terus berlangsung hingga dekade tahun 1980-an dimana mereka sering disebut ‘penghuni liar’ yang menyebabkan terjadinya kawasan kumuh di perkotaan. Pihak Pemerintah Kota Bandung kemudian mulai sadar bahwa banyak lahan milik Pemda Bandung yang diduduki dan dihuni secara tidak sah, inilah awal-mula dari terbentuknya kampung kota. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Kampung Kota. Dilihat dari jenis pekerjaan atau mata pencaharian dari 40 responden yang menjadi masyarakat kampung kota di RW-02 Blok Babakan Andir Kelurahan Padasuka Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung, didapat data-data sebagai berikut: (a) terbanyak kedua adalah Sektor Informal / Buruh / Karyawan Tidak Tetap sebanyak 30,00% dan (b) terbanyak pertama adalah Pegawai Swasta / Sektor Formal sebanyak 37,50%, (c) terbanyak ketiga adalah Wirausaha atau Dagang sebanyak 20,00%. Sisanya PNS (Pegawai Negeri Sipil) sebanyak 10,00 % dan sebanyak 1 orang = 2,5% adalah Menganggur / Tidak Ada Pekerjaan Tetap. Melihat pada jumlah penghasilan atau pendapatan dari responden (total responden = 40 KK), didapat kondisi sbb.: (a) terbanyak pertama yaitu sebesar 40,00% responden mempunyai penghasilan antara Rp 1.501.000,- hingga Rp 2,000.000,- perbulan, (b) terbanyak kedua yaitu 37,50% responden mempunyai penghasilan antara Rp 1.000.000,- hingga Rp 1.500.000,- perbulan, (c) terbanyak ketiga yaitu sebanyak 12,50% mempunyai penghasilan antara Rp 501.000,- hingga Rp 1.000.000,- perbulan. Sedangkan sisanya yaitu sebanyak 5% responden mempunyai penghasilan antara Rp 2.000.000,- hingga Rp 2.500.000,- perbulan. Kemudian sebanyak 2,50% responden berpenghasilan dibawah Rp 500.000,- perbulan. Berdasar kondisi diatas maka didapat angka rata-rata penghasilan responden adalah sebesar Rp 1.495.000,- perbulan. Melihat pada prioritas dalam struktur pembiayaan atau struktur pengeluaran keluarga, didapat urutan-urutan sbb.: (a) Prioritas I - Untuk Biaya Kebutuhan Dasar Keluarga (Sandang-Pangan) sebesar 80,00% responden, (b) Prioritas II - Untuk Biaya Pendidikan & Kesehatan, sebesar 80,00% responden, (c) Prioritas III - Untuk Biaya Kebutuhan Transportasi / Mobilisasi Keluarga sebesar 75,00% responden, (d) Prioritas IV- Untuk Biaya Pemeliharaan Rumah hanya sebesar 30,00% dari responden, dan (e) Prioritas V - Untuk Tabungan, Cadangan & Rekreasi – dengan besaran 12,50% dari responden. Berdasarkan pada prioritas / konsentrasi pembiayaan dalam keluarga, maka pembiayaan untuk pemeliharaan rumah (tempat tinggal) merupakan prioritas tingkat ke-IV (tingkat kuarter) bagi responden di kawasan kampung kota di RW-02 Blok Babakan Andir Kelurahan Padasuka Kota Bandung. Kondisi Permukiman Dari Masyarakat Kampung Kota. Penyebaran dari masyarakat kampung kota untuk kawasan RW-02 Blok Babakan Andir Kelurahan Padasuka Kecamatan Cibeunying Kidul kota Bandung, kondisinya ‘tersebar secara tidak merata’ dengan kondisi terpencar-pencar disebagian besar wilayah Blok Babakan Andir. Keberadaan masyarakat kampung kota pada dasarnya identik dengan keadaan permukiman dan perumahan yang cenderung dalam keadaan kumuh (kotor) yang dikenal dengan istilah ‘slumb areas’. Kawasan permukiman kumuh yang ada dan tetap dihuni oleh sebagian besar masyarakat kampung kota disebabkan karena rendahnya kondisi kesehatan lingkungan pada permukiman dan hal ini jelas terlihat pada permukiman penduduk yang berada di kawasan kantong-kantong terdalam dari area kamping kota. Lahan dimana permukiman kumuh yang dihuni oleh sebagian besar warga masyarakat kampung kota, pada awalnya berupa tanah adat serta tanah girig yang berasal dari turun-temurun atau dari orang tua mereka. Sebagian besar dari lahan tersebut diduga berupa memiliki surat keterangan tanah yang bentuknya bukan surat sertifikat tanah. Adanya pemecahan lahan atau split lahan untuk dijual ataupun diwariskan menjadikan bentuk lahan menjadi tidak teratur dan tidak tertata dengan rapih. Akibat dari hal diatas bentukan permukiman di kawasan kampung kota cenderung tidak tertata dan tidak teratur, karena tidak ada perencanaan awal dari kawasan permukimannya. Dari data hasil penyebaran kuesioner (dengan jumlah responden 40 kepala keluarga) di kawasan permukiman RW-02 Blok Babakan Andir yang diamati didapat data-data sebagai berikut : (a) terbanyak pertama, usia rumah antara 15 tahun hingga 25 tahun sebanyak 45,00%, (b) terbanyak kedua, usia rumah antara 25 tahun s/d 35 tahun yaitu sebanyak 40,00%, (c) terbanyak ketiga, yaitu usia rumah antara 5 tahun hingga 15 tahun sebanyak 10,00% dan sisanya yaitu (d) usia rumah lebih dari 35 tahun yaitu sebanyak 2,50% dan (e) usia rumah kurang dari 5 tahun yaitu sebesar 2,50%. Jika diambil umurrata-rata rumah tinggal untuk seluruh responden adalah 20 hingga 30 tahun atau tepatnya 23,75 tahun yaitu umur ruma tempat tinggal yang terbilang ‘tua’.
307 ISBN 978-602-70361-0-9
Kondisi rumah atau tempat tinggal dari masyarakat kampung kota di wilayah yang di survey cenderung dalam kondisi antara permanen (tetap) hingga kondisi tidak permanen (mudah berubah). Kondisi struktur bangunan dan jenis bahan bangunan yang digunakan pada umumnya berupa: dinding bata (yang telah berumur tua/ lama), konstruksi atap dari bayu dan bahan penutup atap berupa genteng tanah liat, sedangkan pondasi bangunan pada umumnya berupa pondasi batu-kali sederhana. Diperkirakan umur dan keawetan rumah / tempat tinggal mereka-pun beragam, antara: 20 hingga 30 tahun saja. Melihat kondisi tingkat pemeliharaan atau perawatan dari rumah tinggal di kawasan kampung kota di RW02 Blok Babakan Andir Kelurahan Padasuka Kecamatan Cibeunying Kidul kota Bandung ini, didapat gambaran kondisi sebagai berikut : (a) terbanyak pertama dalam kondisi ‘cukup terawat’ yaitu sebanyak 45,00%. (b) terbanyak kedua dalam kondisi ‘tidak terawat’ sebesar 35,00%, (c) terbanyak ketiga dalam kondisi ‘terawat’ atau sebanyak 12,50%. (d) Sisanya adalah dalam kondisi ‘sangat tudak terawat’ yaitu sebesar 5,00%. Dan (e) dalam kondisi ‘terawat baik’ yaitu sebesar 2,50%. Dari kondisi diatas didapat rata-rata kondisi tingkat perawatan atau pemeliharaan rumah adalah antara kondisi ‘tidak terawat’ hingga kondisi ‘cukup terawat’. Melihat pada aspek pembiayaan pada kegiatan pemeliharaan atau perawatan rumah tinggal, didapat gambaran sebagai berikut : (a) terbanyak pertama dari responden dalam kondisi ‘cukup/sedang pemeliharaan‘ untuk pemeliharaan rumah (pemeliharaan sekitar 3 tahun sekali) yaitu sebesar 40,00%, (b) terbanyak kedua dalam kondisi ‘sulit pemeliharaan’ ( yaitu pemeliharaan sekitar 4 tahun sekali) yaitu sebesar 37,50 %, (c) terbanyak ketiga dalam kondisi ‘baik pemeliharaan’ (yaitu pemeliharaan 2 hingga 3 tahun sekali) yaitu 15,00%, dan yang terakhir (d) dalam kondisi ‘sangat sulit pemeliharaan’ (yaitu pemeliharaan sekitar 5 hingga 6 tahun sekali) yaitu sebesar 5,00 %. Kondisi secara rata-rata dari aspek tingkat pemeliharaan atau perawatan rumah tinggal adalah ‘sulit perawatan dan pemeliharaan’.
4.
Kesimpulan
Proses perubahan budaya masyarakat kampung kota pada dasarnya terjadi seiring dengan dua peristiwa penting lainnya, yaitu: (a) urbanisasi atau proses berpindahnya penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan, serta (b) proses pembentukan kawasan perkotaan yang terjadi di kota-kota besar. Fenomena urbanisme dapat dilihat sebagai fenomena yang bersifat sosio-kultural maupun yang bersifat sosio-ekonomis. Fenomena urbanisme secara sosiologis difokuskan pada proses perubahan kultur atau budaya ataupun kebiasaan (habits) serta perilaku dari orang-orang yang membentuk masyarakat perkotaan. Penyebaran dari masyarakat kampung kota untuk kawasan RW-02 Blok Babakan Andir Kelurahan Padasuka Kecamatan Cibeunying Kidul kota Bandung, keadaannya ‘tersebar secara tidak merata’ dengan kondisi terpencar-pencar disebagian besar wilayah Blok Babakan Andir. Keberadaan masyarakat kampung kota pada dasarnya identik dengan keadaan permukiman dan perumahan yang cenderung dalam keadaan kumuh (kotor) yang dikenal dengan ‘slumb areas’. Kawasan permukiman kumuh yang ada serta tetap eksis dan dihuni oleh sebagian besar masyarakat kampung kota disebabkan karena rendahnya kondisi kesehatan lingkungan hal ini jelas terlihat pada permukiman penduduk yang berada di sekitar area kantong-kantong terdalam dari permukiman kampung kota yang diamati. Kondisi perumahan dan permukiman di kawasan kampung kota di RW-02 Blok Babakan Andir ini terlihat kurang tertata dengan baik, tidak teratur serta cenderung kurang terpelihara dengan baik. Kondisi permukimannya tidak tertata dengan baik serta memiliki kondisi kesehatan lingkungan yang rendah (kurang sehat). Penyediaan Air Bersih, Drainase Air Hujan, serta MCK (Mandi, Cuci dan Kakus) serta Sarana Pembuangan Sampah menjadi prasarana yang perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Kota. Akibat dari hal tersebut kondisi permukiman yang ada cenderung menjadi lingkungan yang kusam, kumuh dan kotor. Dengan istilah lain muncul permukiman kumuh atau ‘the slumb areas’ Upaya perbaikan perumahan dan permukiman di kawasan kampung kota, dapat dilakukan antara lain dengan: (a) meningkatkan kemampuan menabung atau menyisihkan dana dari penghasilan bersih kepala keluarga, (b) meningkatkan akses terhadap sumber-sumber keuangan di tingkat Kelurahan atau Kecamatan (seperti: BPR, Koperasi Simpan Pinjam, Pegadaian, dsb.), (c) meningkatkan pengetahuan terhadap aspek teknis-teknologis dalam pemeliharaan rumah tempat tinggal sehingga kegiatan perawatan dan pemeliharaan yang dilakukan dapat berhasilguna, serta (d) meningkatkan peran-serta anggota masyarakat guna melaksanakan kegiatan pemeliharaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman. Daftar Pustaka Dieter Evers, Hans & Korff, Rudinger, (2002) : Urbanisme Di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-ruang Sosial, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hall, Peter & Pfeiffer, Ulrich, (2000) : Urban Future 21 : A Global Agenda For 21th Century Cities, E & FN Spon Publishing Company, New York.
308 ISBN 978-602-70361-0-9
Match, C. Richard (editor), (1984) : The Scope of Social Architecture, Van Norstrand – Reinhold, Co., New York. Suparti, A Salim (editor), (2010) : Mengusik Tata Penyelenggaraan Lingkungan Hidup Dan Permukiman (70 Tahun Tjuk Kuswartojo), KBK Perumahan & Permukiman SAPPK ITB, Bandung. Tjuk Kuswartojo, (1998) : Gelar Nalar Prof. Hasan Poerbo: Lingkungan Binaan Untuk Seluruh Rakyat, Yayasan Akatiga, Bandung. Udjianto Pawitro, (2012) : Menelaah Fenomena Masyarakat Kampung Kota Sebagai Bagian Dari Emphatic Architecture (Studi Kasus Kampung Kota Di RW-07 Kelurahan Gumuruh Binong Jati Kota Bandung), (Makalah), Seminar Nasional Toward The Emphatic Architecture, Jurusan Arsitektur FT Universitas Kristen Petra, Surabaya, 4-5 Mei 2012 Udjianto Pawitro, (2012) : Masyarakat Kampung Kota: Kondisi Permukimannya Dan Upaya Perbaikan Lingkungan Kampung Kota (Studi Kasu RW-12 Kelurahan Babakan Surabaya Kecamatan Kiaracondong Kota Bandung), (Makalah), Seminar Pembangunan Jawa Barat, Jarlit Jabar dan LPPM Unpad, Jatinangor, 14-15 Juni 2012.
309 ISBN 978-602-70361-0-9
Aktivitas polifenol oksidase dalam buah apel Ceri Malang (Malus domestica) yang Berpotensi untuk Deteksi Fenol Anceu Murniati1*, Buchari2, Suryo Gandasasmita2, Zeily Nurachman3 , Valentina Adimurti1 dan Merika 1
2
Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Jenderal Achmad Yani Kelompok Keahlian Kimia Analitik FMIPA Institut Teknologi Bandung 3 Kelompok Keahlian Biokimia FMIPA Institut Teknologi Bandung *Email :
[email protected]
Abstract Polyphenol oxidase (PPO) is a biocatalyst which has two copper atoms of the active site, which potentially to detect phenols in wastewater contaminated phenol. Based on the literature, that enzyme contained in many food materials such as vegetables and fruits. PPO is contained in Malang Apple Ceri B have been isolated in microorder by simple and precise method, relatively low cost, with the addition of some chelating compounds, ie triton X-100, PVP, and MgCl2 in 50 mM phosphate buffer solution in optimum pH 6.5.The purpose of the PPO isolation, as alternatetif the availability of pure PPO which can be purchased at a high cost, for a single use laboratory analysis process. Calculation of PPO activity was determined by the initial rate method as measured by uv-visible spectrophotometer, in which PPO isolates were added to the catechol, ascorbic acid and NaEDTA. In a 50 g apples, obtained the highest PPO activity of 10.01 units / mL and a protein content of 0.04%. Meanwhile, the PPO isolates have been applied to the artificial solution containing 2 mM of phenol. Within 60 minutes, the color changes from light yellow to dark brown which indicates the oxidation process of phenol into quinone, with the percent conversion of as much as 98%. To effectively the performance of PPO in response to phenol in a sample, then isolates of PPO should be immobilized in a polymer (eg polypyrrole or chitosan), the resulting membranebased enzyme product, later as the development of this research. Keywords: apples, polyphenol oxidase, enzyme activity, spectrophotometry
1.
Pendahuluan
Pemanfaatan senyawa fenol digunakan sebagai bahan aditif secara luas dalam industri kimia dan farmasi misalnya untuk produksi pestisida, bahan pencelup, desinfektan, antioksidan, dan obat-obatan. Namun demikian, terdapat juga kerugian akibat penggunaan fenol, karena korosif dan beracun. Dengan demikian, keberadaan senyawa fenol dan turunannya dalam air perlu dipantau karena limbahnya dapat mencemari lingkungan (Yaropolov dkk., 2005). Berdasarkan keputusan menteri lingkungan hidup Nomor Kep.42/MENLH/10/1996 bahwa nilai ambang batas fenol total dalam limbah cair adalah 2 mg/L (Anonimus, 2010). Beberapa penelitian penanganan limbah cair tercemar fenol yaitu Chan dan Li (1976), Matsura dan Sourirajan (1971), Gupta dkk. (2002), Parka dkk. (2006) serta Mixa dan Staudt (2008) yang dilaporkan dalam penelitian Murniati (2013b), hingga saat ini upaya penentuan kuantitas fenol dalam limbah berjalan secara paralel dengan upaya-upaya pemisahan fenol. Sementara itu, kehadiran polifenol oksidase (PPO) sebagai biokatalis dalam mempercepat reaksi pencoklatan dari substrat fenol yang mengalami reaksi degradasi oksidatif menghasilkan katekol dan kuinon (Siegbahn, 2003, 2004; Siegbahn dan Guell 2007). PPO memiliki dua sisi aktif atom Cu yaitu monofenolase dan difenolase secara berturut-turut melalui tahapan konversi fenol menjadi katekol (aktivitas monofenolase), selanjutnya konversi katekol menjadi kuinon. PPO dengan berat molekul 128.000 g/mol yang memiliki karakteristik tidak berwarna dan stabil dalam pelarut bufer fosfat dengan pH netral. PPO ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan dengan konsentrasi sangat tinggi seperti dalam jamur, umbi kentang, apel, pisang, alpukat, daun teh, biji kopi, dan daun tembakau. PPO terdapat juga pada hewan seperti dalam cangkang serangga. Pada manusia, PPO sangat penting untuk pigmentasi kulit, rambut dan mata (Whitaker, 1994). Saat ini, PPO murni diperoleh dengan biaya relatif mahal untuk sekali analisis laboratorium. Oleh karena itu, perlu diproduksi crude-PPO yang terkandung dalam beberapa bahan pangan dengan prosedur sederhana dan relatif murah. Salah satu bahan pangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah apel malang Ceri tipe-B. Isolasi crude-PPO diperoleh dengan prosedur yang sederhana dengan cara ekstraksi dengan penambahan beberapa agen pengkhelat (MgCl2, Triton-X, dan PVP).
310 ISBN 978-602-70361-0-9
Uji aktivitas PPO dilakukan dengan metode laju awal berdasarkan berkurangnya konsentrasi katekol terhadap perubahan waktu selama reaksi berlangsung yang diukur menggunakan instrumentasi spektrofotometer uvtampak. Kandungan PPO dalam crude apel terukur sebesar 10,01 unit/mL yang stabil pada pelarut bufer 50 mM pH 6,5 pada suhu ruang. 2.
Metode
Sejumlah bahan kimia digunakan merupakan bahan dengan berkualitas pro-analisis (p.a) yang diperoleh dari Sigma Aldrich dan Merck, yaitu:Triton X-100 (C14H21(C2H4O)nOH), Etilen Diamin Tetra Asetat (EDTA), Asam Siitrat, Polivinil Pirolidin (PVP), Natrium dihidrofosfat (NaH2PO4) dan Dinatrium hidrofosfat (Na2HPO4). Semua bahan kimia tersebut dilarutkan dalam akuabides. Preparasi sampel dan produksi crude-PPO Preparasi sampel dan produksi crude-PPO melalui tahap homogenasi dengan blender dan sentrifugasi. Apel dalam keadaan bersih dan segar dimasukkan kedalam freezer selama kurang lebih 1 jam bertujuan untuk membekukan apel agar pada proses pembuatan ekstrak PPO berlangsung dalam keadaan dingin. Apel yang telah membeku dipotong-potong dan ditimbang sebanyak 50 gram dengan mengulitinya terlebih dahulu kemudian dimasukan bahan-bahan pendukung dan pelarut untuk membuat ekstrak PPO (5% PVP, 1M NaCl, 0,5% Triton X100 dan 2 mM EDTA), lalu digunakan pelarut bufer fosfat 50 mM pada kisaran pH 6 sampai 8. Seluruh bahan dicampur hingga 50 mL lalu dihaluskan menggunakan homogenizer. Selanjutnya, dilakukan penyaringan dengan kertas saring dan filtratnya sebagai crude-PPO berwarna hijau kekuningan bening. Filtrat disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 20 menit. Uji kualitatif dan aktivitas crude-PPO Uji pendahuluan dilakukan pada crude-PPO ditambahkan sejumlah larutan fenol dengan konsentrasi tertentu untuk memastikan ada atau tidaknya kandungan PPO yang ditandai dengan reaksi pencoklatan di dalam crude-PPO. Menurut Queiroz dkk. (2008) bila crude-PPO ditambahkan substrat fenol mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan menandakan adanya PPO. Uji aktivitas PPO diukur dengan instrumentasi spektrofotometer uv-tampak dengan perhitungan laju awal dari berkurangnya konsentrasi katekol atau fenol terhadap perubahan waktu sampai terbentuk kuinon. Pengukuran aktivitas PPO dalam crude-PPO dari apel, dilakukan dengan metode spektrofotometri uv-tampak disesuaikan dengan prosedur sigma (Anonimus, 1994 dalam Murniati, 2013b). Analisis data dengan program UPVC dan pengolah data program Microsoft Excel. (Murniati, 2013b; Murniati dkk., 2013c; Widayanti, 2013a; Widayanti, 2013b; Armedia, 2013a; Armedia, 2013b) 3.
Hasil dan Pembahasan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah apel malang (Malus domestica) tipe Ceri-B yang telah diidentifikasi oleh Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB yang dilaporkan dalam penelitian Widayanti (2013b). Crude-PPO diperoleh dengan cara ekstraksi melalui tahap homogenasi dan sentrifugasi dengan penambahan beberapa bahan kimia selama proses ekstraksi yaitu PVP yang berfungsi untuk mencegah terjadinya denaturasi protein. Sementara itu, penggunaan NaCl sebagai stimulan untuk mencegah teradsorsinya kembali enzim ke dinding sel dan terjadinya pengendapan pada saat disentrifugasi. Penambahan Triton X-100 untuk melarutkan protein, sedangkan penggunaan EDTA sebagai agen pengompleks. Agar enzim tetap stabil dan dapat bekerja dengan optimal, maka selama proses ekstraksi dilakukan pada kondisi optimum yaitu pelarut bufer fosfat 50 mM pH 7, yang sebelumnya dilakukan optimasi pH dalam larutan bufer fosfat 50 mM pada berbagai pH dari 6 hingga 7 (6, 6,5 dan 7,5. Diperoleh crude-PPO dari apel malang yang berwarna coklat kekuningan yang stabil dalam pelarut bufer fosfat 50 mM pH 6,5 pada suhu ruang seperti diperlihatkan dalam Gambar 1a. Reaksi pencoklatan terjadi ketika substrat fenol ditambahkan pada larutan crude-PPO yang menandakan adanya PPO (Gambar 1b). Lebih jauh, penelitian perlu dikembangkan untuk analisis FTIR terhadap crude-PPO yang diharapkan dapat memberikan informasi adanya PPO yang terkandung dalam crude-PPO berdasarkan gugus fungsi data spektrum IR.
a
b
Gambar 1a. Crude-PPO dan 1b.hasil reaksi pencoklatan antara crude-PPO dan substrat fenol
311 ISBN 978-602-70361-0-9
Absorban
a
b
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
y = 1,0403x + 0,0725 R² = 0,9981
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Konsentrasi katekol
Gambar 2a. Kurva kalibrasi katekol dan Gambar 2b. Kurva serapan katekol Hasil uji kualitatif crude-PPO apel malang menunjukkan bahwa PPO adalah sebagai biokatalis yang dapat mendegradasi fenol menjadi katekol dan kuinon (Gambar 3).
OH
OH
aktivitas monof enolase
O
aktivitas dif enolase
1/2 O OH f enol
1/2O2
O
H2O
katekol
o-kuinon
Gambar 3. Aktivitas monofenolase dan difenolase, serta peranan PPO dalam oksidasi o-difenol menjadi o-benzokuinon (Krebs dkk., 2004; Siegbahn dan Guell, 2007) Aktivitas PPO dalam apel malang terbesar 10,01 unit/mL yang diperoleh dari crude-PPO tanpa pengenceran (100%) seperti yang diamati dalam Gambar 4, yang dihitung dengan berdasarkan metode laju awal berdasarkan berkurangnya konsentrasi katekol terhadap perubahan waktu. Pengukuran aktivitas PPO berdasarkan intrumentasi spektrofotometer uv-tampak yang didukung dengan data kurva kalibrasi (Gambar 2a) dan panjang gelombang maksimum katekol 276 nm (Gambar 2b). Sementara itu dapat diamati pula aktivitas PPO dalam crude-PPO yang didalam pelarut bufer fosfat dengan konsentrasi 50% dan 25% berturut-turut 7,48 dan 6,30 unit/mL unit/mL. Dengan demikian, pengenceran larutan 6,30626 unit/mL mengakibatkan berkurangnya jumlah PPO yang menghasilkan aktivitas PPO menjadi semakin rendah. Namun demikian, penelitian lebih lanjut perlu juga divariasikan konsentrasi substrat fenol sehingga dihasilkan kondisi optimum PPO yang stabil dalam pelarut bufer dengan konsentrasi substrat yang optimum pula. Atas dasar tersebut, penelitian perlu dikembangkan dalam produksi PPO yang terdapat dalam beberapa bahan pangan dengan prosedur sederhana serta biaya relatif murah. Selanjutnya, untuk mengefektifkan kinerja PPO dalam degradasi limbah fenol, maka crude-PPO perlu diperangkap dalam suatu matriks polimer seperti pada penelitian sebelumnya berhasil mensintesis membran alginatglutaraldehid yang menjerap PPO Ensuncho dkk. (2005) dan sintesis membran bioreaktor berbasis PPO dengan kualitas PPO murni (Murniati dkk., 2012d; Murniati, 2013b). 12
Aktivitas (Unit/ml)
8 25% 50%
4
100%
0 6
6.5
7
7.5
8
pH Bufer
Gambar 4. Aktivitas PPO dalam apel dengan variasi pengenceran larutan crude-PPO
312 ISBN 978-602-70361-0-9
4.
Kesimpulan
Uji kualitatif crude-PPO terhadap substrat fenol memberikan hasil positif yang menandakan terdapat sejumlah PPO terkandung dalam buah apel malang Ceri tipe-B. Aktivitas PPO dalam 100 mg apel malang sebesar
10,01 unit/mL yang stabil dalam dalam pelarut bufer fosfat pH 6,5 pada suhu 25°C. CrudePPO yang diisolasi dari buah apel malang Ceri tipe-B sangat berpotensi dalam degradasi limbah cair tercemar fenol. Ucapan Terimakasih Terima kasih kepada Prof Dr. Buchari, Dr. Suryo Gandasasmita, Dr. Zeily Nurachman atas saran-sarannya dalam pengembangan penelitian ini. Terimakasih atas dukungan dana penelitian swadana LPPM Unjani. Daftar Pustaka Anonimus., Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.42 Tahun 1996 Tentang Baku Mutu Limbah Cair (BMLC) bagi kegiatan minyak dan gas serta panas bumi, 2010, Diunduh tanggal 23 oktober 2013. Armedia,R, Penentuan Aktivitas Polifenol Oksidase Yang Terkandung Dalam Crude Hasil Ekstraksi dari Kentang, Skripsi, Kimia, Unjani, 2013a. Armedia,R, Pemanfaatan Polifenol Oksidase dalam Kentang yang berpotensi untuk degradasi Limbah cair Industri Tercemar Fenol, Laporan Akhir Program Kreativitas mahasiswa (PKM-P) Dikti, Kimia, Unjani, 2013b. Kreb,B., Merkel,M and Rompel,A, Catechol oxidase and biometric approaches, The Journal of the Argentine Chemical Society, 2004, 92,1 ̶ 15. Ensuncho,L., Cuenza,M.A., dan Legge, R.L, Removal of aqueous phenol using immobilized enzymes in bench scale and pilot scale three-phase fluidized bed reactor, Bioprocess and Biosystems Engineering, 2005, 27, 185 ̶ 191. Murniati, A., Buchari., Gandasasmita,S and Nurachman, Synthesis and Characterization of Polypyrrole Polyphenol Oxidase on Platinum Elektrode, Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences. 2012d, 3, 855-859. Murniati, A, Amobilisasi polifenol oksidase pada film polipirol secara elektropolimerisasi, Disertasi, Kimia, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 2013b. Murniati, A, Kusumaningtias,V.A dan Muchtar,R Pemanfaatan polifenol oksidase yang terkandung dalam buah apel sebagai produk membran bioreaktor, Laporan Hibah Penelitian Unggulan Internal, Unjani, Cimahi, 2013c. Queiroz, C. Lopez, M. L. Fialho, E., Mesquita, L. V. Polyphenol Oxidase : Characteristics and Mechanisms of Browning Control. Universidade Federal do Rio de Janeiro. Rio de Janeiro. Brasil, 2008. Siegbahn, P.E.M, The catalytic cycle of tyrosinase: peroxide attack on the phenolate ring followed by O-O bond cleavage, Journal of Biological Inorganic Chemistry, 2003, 8, 567 ̶ 576. Siegbahn,P.E.M and Guell,M, The catalytic cycle of catechol oxidase: Journal of Biological Inorganic Chemistry, 2007, 9, 577 ̶ 590. Whitaker,J.R, Principles of Enzymology for the Food Sciences, Second Edition, Marcell Decker Inc, ISBN: 08247-9148-7, 1994. Widayanti, M.I, Penentuan Aktivitas Polifenol Oksidase Yang Terkandung Dalam Crude Hasil Ekstraksi dari Buah Apel (Malus domestica), Skripsi, Kimia, Unjani, 2013. Widayanti,M.I, Pemanfaatan Polifenol Oksidase dalam buah Apel (Malus domestica) yang berpotensi untuk degradasi Limbah cair Industri Tercemar Fenol, Laporan Akhir Program Kreativitas mahasiswa (PKM-P) Dikti, Kimia, Unjani, 2013
313 ISBN 978-602-70361-0-9
Pengaruh Penggunaan Sabun Alami terhadap Ketahanan Warna Batik Warna Alami Dwi Suheryanto Balai Besar Kerajinan dan Batik Badan Pengkajian Kebijakan Iklim Dan Mutu Industri – Kementrian Perindustrian RI Jl. Kusumanegara No 7 Yogyakarta, Telp.(0274) 546111,512456, Fax.(0274) 543582 E-mail:
[email protected]
Abstract In the daily use of batik - a good day in terms of the interests of consumers and producers, resilience color has a meaning that is important, because the resistance of the color is one of the qualities of batik. Resilience color batik natural color strongly associated with discoloration, the easier it will fade, meaning low resistance fabric color, the color faded fast, and vice versa. To find out how much resistance the natural color of batik colors to washing soap, tested in accordance with the Indonesian National Standard (SNI). During the washing materials used for testing color fastness natural color of batik cloth using soap is soap textile standard for AATCC. If soap is used for testing the natural color of batik cloth will show the value that is less good, it is possible the presence of the chemical ingredients in soaps stretcher. The purpose of this study was to determine the effect and the right kind of natural soap as a soap substitute in AATCC test method quality natural color of batik cloth. In this study, the two types, namely natural color of batik cloth batik and batik cotton silk, three types of natural soaps are lerak liquid soap, fruit lerak and virgin coconut oil (VCO) and two types of synthetic soap as a comparison standard AATCC soap and soap powder detergent, with a variation of soap concentration of 3 g/l, 4 g/l, 5 g/l at 40 oC. The result shows, the use of soap lerak with a concentration of 3 g/l at 40 oC, effect on color fastness of fabric with a batik natural color discoloration values between 4 and 4-5 (Good). Keywords: AATCC soap, batik natural color, color resistance, natural soap.
1.
Pendahuluan
Sektor industri sandang merupakan salah satu sektor agro-industri yang sangat penting peranannya dalam perekonomian di Indonesia dan berpeluang untuk dikembangkan, karena sandang merupakan kebutuhan skunder bahkan bisa dikatakan kebutuhan primer karena merupakan keharusan bagi setiap manusia. Industri sandang juga menghasilkan devisa yang cukup besar, keberadaannya dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak serta mampu mendorong berdirinya industri – industri penunjang, misalnya industri zat warna. Salah satu bahan sandang adalah kain batik. Batik Indonesia secara resmi telah diakui UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) dengan dimasukkan ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-benda Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) dalam Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (Fourth Session of the Intergovernmental Committee) tentang Warisan Budaya Tak-benda di Abu Dhabi pada 30 September 2009. Dengan masuknya Batik Indonesia dalam UNESCO diharapkan dapat memotivasi dan mengangkat harkat para pengrajin batik dan mendukung usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keberadaan batik sebagai warisan budaya tak benda ternyata diminati masyarakat dunia, karena itu keberadaannya harus senantiasa dilestarikan. Demikian disampaikan oleh Direktur UNESCO dalam bidang Pusat Warisan Budaya (World Heritage Center), Francesco Bandarin saat berkunjung di Museum Batik dan Kampung Batik Kauman Pekalongan. Pakaian batik dipakai secara rutin dalam kegiatan bisnis dan akademis melalui seragam sekolah, seragam kantor pada hari-hari tertentu. Ketahanan warna batik dalam pemakaiannya mempunyai arti penting bagi kepentingan konsumen maupun produsen, karena ketahanan warna batik dipengaruhi saat pencucian (pemakaian sabun), penjemuran (sinar matahari), pemakaian (keringat), dan penyetrikaan. Hal tersebut sangat terkait dengan luntur warna, semakin kain batik cepat luntur, berarti ketahanan warna kecil, warna cepat pudar, begitu pula sebaliknya. Balai Besar Kerajinan dan Batik mempunyai laboratorium uji dengan nama LUK-IKB (Laboratorium Uji dan Kalibrasi Industri Kerajinan dan Batik) telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dengan nomor sertifikat LP–235–IDN dengan ruang lingkup diantaranya tekstil dan batik. Saat ini untuk pengujian ketahanan luntur warna batik, masih mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk tekstil dengan menggunakan sabun standar AATCC, yaitu deterjen tanpa pemutih optik. Cara Uji tersebut menunjukan hasil uji
314 ISBN 978-602-70361-0-9
yang kurang bagus. hal ini disebabkan adanya bahan kimia yang terkandung dalam sabun tersebut lebih alkalis. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan sabun alami sebagai substitusi sabun AATCC pada metode uji kualitas batik, khususnya batik dengan menggunakan pewarna alam, dan untuk mengetahui jenis sabun alami yang lebih tepat digunakan untuk uji batik warna alam. Zat warna yang digunakan sebagai pewarna batik berpengaruh terhadap katahanan warna batik. Ada dua jenis zat warna batik yaitu: zat warna alam (ZWA) dan zat warna sintetis (ZWS). ZWA adalah zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam seperti dari hasil ekstrak tumbuhan atau hewan, sedangkan ZWS adalah zat warna buatan atau sintesis yang dibuat melalui proses reaksi kimia dengan bahan dasar ter, arang batu bara atau minyak bumi yang merupakan hasil senyawa turunan hidrokarbon aromatik seperti benzena, naftalena dan antrasena. Zat warna alam dapat berasal dari tumbuh-tumbuhan:seperti darti, kayu, umbi, akar, daun, kulit buah kulit kayu dan getah. Zat warna yang terkandung diambil melalui proses ekstraksi/perebusan dengan pelarut air dengan rasio 1:10 selama 1 jam. Ekstrak yang diperoleh digunakan untuk mencelup kain katun atau sutera. Pencelupan dilakukan berulang-ulang mencapai warna tertentu, selanjutnya kain difiksasi dengan larutan tawas, kapur maupn tunjung. Suhu ekstraksi berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas ekstrak yang diperoleh.. Ada beberpa cara pewarnaan pada kain batik diantaranya; medel. Medel adalah memberi warna biru (dari zwa indigo) pada kain setelah kain dicap atau dicanting dengan lilin. Untuk mencapai warna biru tua harus dilakukan pencelupan berkalikali (Susanto,1980). Sebagai reduktor biasanya dipakai reduktor lemah seperti tetes, abu zeng atau tunjung masingmasing dicampur dengan kapur. Penggolongan zat warna alam ada empat yaitu : zat warna mordan, bejana, direk dan zat warna alam asam/basa (Lestari K, 1988). Proses penggabungan tersebut terjadi karena adanya reaksi kimia antara keduanya. Tahapan proses pencelupan zat warna alam meliputi, pemordanan, pencelupan, pembangkitan warna atau fiksasi, pencucian.(Hasanudin, dkk, 2001). Tanaman lerak (Sapindus rarak) atau dikenal juga sebagai rerek atau lamuran termasuk tumbuhan ’’raksasa’’, pohonnya tinggi-besar, dapat mencapai 42 meter dengan diameter batang sekitar satu meter. Tanaman ini daunnya berbentuk bundar telur sampai lanset, perbungaannya majemuk, malai, terdapat di ujung batang, dan berwarna putih kekuningan. Bentuk buahnya bundar, kalau sudah tua berwarna cokelat kehitaman, dengan permukaan buah yang licin dan mengkilap. Bijinya bundar, berwarna hitam terbungkus kulit cukup keras bulat seperti kelereng. Daging buahnya sedikit berlendir dan mengeluarkan aroma dan mengandung saponin, suatu alkaloid beracun, saponin inilah yang menghasilkan busa dan berfungsi sebagai bahan pencuci/deterjen tradisional. Saponin ini bekerja sebagai surfaktan, yang membuat air cucian “lebih basah”. sehingga saponin mudah masuk ke dalam serat-serat kain yang sudah dicuci, mengikat kotoran yang melekat, dan melepas kotoran dari air cucian. Sabun Virgin Coconut Oil (VCO), merupakan minyak alamiah berkualitas tinggi yang diperoleh dari santan kelapa segar. kandungan asam lemak terutama asam laurat dan oleat dalam VCO, dapat berfungsi untuk melembutkan kulit, peningkat penetrasi, moisturizer dan mempercepat penyembuhan pada kulit. VCO ternyata juga memiliki aktivitas sebagai antibakteri, kandungan utama asam laurat ini memiliki sifat antibiotik, anti bakteri dan jamur. Sabun AATTC (American Association of Textile Chemist and Colorist), adalah sabun standar tanpa pemutih optik. Sabun ini yang dipersyaratkan dalam SNI cara uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian tekstil. Kandungan sabun AATCC (Fraksi berat) sebagai berikut; Alkisulfonit linier, (LAS):14,00 ± 0,002; Alkohol Etoksilat:2,30 ± 0,002; Sabun dengan berat molekul tinggi:2,50 ± 0,002; Natrium Tripoliphospat:48,00 ± 0,002; Natrium Silikat (SiO2 : Na2O= 2:1):9,70 ± 0,002; Natrium Sulfat:15,40 ± 0,002; Karboksimetil selulosa (CMC): 0,25 ± 0,002; Air:7,85 ± 0,002. Kain sutera, adalah kain yang terbuat serat protein yang merupakan kumpulan asam karbon amino dengan ikatan peptina, melalui pembentukan asam karbon diamino dan asam dikarbon amino (asam asparatik, asam glutamar). Sifat – sifat, sutera menyerap asam lemak dari larutan, tahan terhadap larutan asam encer hangat, tetapi larut dan rusak dalam larutan asam kuat. Komposisi serat sutera sebagai berikut, fibrion (serat) 76%, serisin (perekat) 22%, garam-garam mineral 1,5%, dan lilin 0,5%. Mori primissima (jenis kain katun) merupakan golongan mori yang paling halus, dengan anyaman polos dan telah diputihkan. Mori dibuat dari serat kapas yang merupakan selulosa alam yang terdriri dari polimer dengan rantai molekul panjang. Kekuatan serat kapas terutama dipengaruhi oleh kadar selulose dalam serat, panjang rantai dan orientasinya. Kekuatan serat kapas dalam keadaan basah semakin tinggi. Moisture Regain serat kapas, berkisar antara 7 – 8,5 %. Komposisi serat kapas terhadap berat kering adalah, selulose 94%, protein 1,3%, pektak 1,2%, lilin 0,6%, abu 1,2% Ketahanan warna sangat terkait dengan luntur warna, semakin cepat luntur, berarti ketahanan warna kain kecil, warna cepat pudar, begitu pula sebaliknya Ketahanan luntur warna meliputi ketahanan luntur warna terhadap pencucian, keringat, gosokan dan sinar. Penilaian tahan luntur warna dilakukan dengan mengamati adanya perubahan warna asli batik, setelah dilakukan pengujian, hasil penilaian dapat a) tidak berubah, b) ada sedikit perubahan, c) cukup berubah, d) berubah sama sekali Disamping dilakukan penilaian terhadap perubahan warna yang terjadi, juga dilakukan penilaian penodaan warna terhadap kain putih. Penilaian secara visual dilakukan dengan membandingkan perubahan warna yang terjadi dengan suatu standar perubahan warna yang dikeluarkan oleh International Standart Organization (ISO) yaitu standar Skala Abu – Abu (Grey Scale) dan Standar Skala Penodaan (Staining scale). Standar Skala Abu – abu (Grey Scale), digunakan untuk menilai perubahan warna pada
315 ISBN 978-602-70361-0-9
uji tahan luntur warna. Nilai – nilai tersebut dinyatakan dengan rumus nilai kekhromatikan Adam dalam satuan CD (Colour Deferance) (Moerdoko, 1975). Hasil evaluasi tahan luntur warna terhadap angka – angka Standar Skala Abu -abu Nilai 5:Baik, 4-5:Baik, 4:Baik. 3-4:Cukup Baik, 3:Cukup, 2-3:Kurang, 2:Kurang, 1-2:Jelek, 1:Jelek. Standar Skala Penodaan (Staining scale), dipakai untuk menilai penodaan warna pada kain putih yang digunakan dalam menentukan tahan luntur warna. Penilaian penodaan pada kain adalah 5, 4, 3, 2, dan 1 yang menyatakan perbedaan penodaan terkecil sampai terbesar , juga berlaku nilai antara angka – angka tersebut. Dalam uji tahan luntur warna, dilakukan dengan membandingkan perbedaan warna dari kain putih yang dinodai dan yang tidak dinodai dengan perbedaan yang digambarkan oleh Standar Skala Penodaan, yang dinyatakan dengan nilai kekhromatikan. Pengujian, adalah untuk mengetahui nilai perubahan warna dan nilai penodaan warna pada kain dilakukan pengujian dengan acuan Standar Nasional Indonesia (SNI). Penilaian tahan luntur warna dilakukan melalui pengujian dengan menggunakan acuan SNI ISO 105 - C06 : 2010. Cara uji tahan luntur warna terhadap pencucian rumah tangga dan komersial. Sedangkan untuk evaluasi hasil pengujian yaitu penilaian terhadap perubahan warna dan penilaian terhadap penodaan kain putih digunakan SNI ISO 105 - A02 : 2010 : Skala abuabu untuk penilaian perubahan warna dan SNI ISO 105 - A03 : 2010 : Skala abu-abu untuk penilaian penodaan. 2.
Metode
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimental, yaitu observasi dibawah kondisi buatan (artificial condition) dimana kondisi tersebut dibuat dan diatur. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengujian kain batik katun dan sutera, dengan beberapa variable yaitu 2 jenis sabun alami, yaitu sabun lerak cair, dan sabun VCO padat, dan sebagai pembanding menggunakan sabun AATCC. Bahan yang digunakan adalah kain batik katun dan sutera, hasil celupan dengan ekstrak kulit kayu tinggi, sabun lerak cair, sabun VCO padat, sabun AATTC, aquadest steril. Bahan evaluasi: kain pelapis multi fiber, dan kertas pH. Peralatan uji mekanik yang terdiri dari penangas air yang dilengkapi dengan batang berputar, tabung baja tahan karat karat, kelereng baja tahan karat, dan peralatan evaluasi terdiri dari lempeng berwarna abu-abu dan tidak mengkilap, seta peralatan proses. Diagram alir penelitian diperlihatkan pada Gambar 1. KONDISI PERLAKUAN
Sabun AATCC Sabun Lerak Cair
Kain Batik Warna Alam (Katun & Sutera)
Temperatur : 40 ºC
EVALUASI
Waktu : 45 mnt Sabun VCO Padat Konsentrasi : 3, 4, dan 5 g/l Gambar 1. Diagram alir penelitian Prosedur penelitian dilakukan dengan persiapan kain yang diuji, kain batik katun dan sutera dari hasil celupan ekstrak kayu tingi. Kain dipotong untuk diuji dengan ukuran 40 mm x 100 mm. Jumlah sampel yang harus diuji sesuai dengan desain penelitian, variabel konsentrasi 3, variabel sabun 3, pengulangan uji (n) 4 kali, adalah n = 2 jenis x 3 x 3 x 4 = 72 sampel. Bahan untuk uji, sabun lerak cair, diperoleh dari pasar, sabun VCO padat, Sabun AATCC, diperoleh dari disuplier. Kain pelapis multi fiber/multi serat, dipotong- potong dengan ukuran kain yang diuji yaitu 40mm x 100mm. Pelaksanaan dilakukan dengan tempelkan kain yang akan diuji pada sehelai kain pelapis multi fiber, jahit pada salah satu sisi terpendek, sehingga permukaan kain pelapis multi serat berhadapan dengan permukaan contoh uji. Kemudian dilakukan pengujian sesuai dengan prosedur pengujian yang tercantum dalan SNI ISO 105 - C06: 2010 : Cara uji tahan luntur warna terhadap pencucian rumah tangga dan komersial. Setelah selesai pengujian, maka dilakukan evaluasi untuk mengetahui perubahan warna yang terjadi dan seberapa penodaan warna terhadap kain pelapis (multi fiber). Evaluasi dilakukan sesuai dengan SNI ISO 105 - A02: 2010 : Skala abu – abu untuk penilaian perubahan warna dan SNI ISO 105 - A03 : 2010 : Skala abu-abu untuk penilaian penodaan. Prinsip evaluasi untuk perubahan warna, yiatu letakkan contoh yang asli dan contoh yang telah diuji berdampingan pada bidang datar dengan arah yang sama, kemudian letakkan skala abu- abu disampingnya dengan arah yang sama. Warna yang dinilai adalah perbedaan secara keseluruhan atau kekontrasan antara contoh asli dengan contoh yang diuji, sedang prinsip evaluasi untuk penodaan pada kain pelapis:dengan meletakkan sehelai kain pelapis yang tidak ternoda,dan kain pelapis yang telah ditempelkan pada contoh uji dan telah diuji, berdampingan dengan bidang datar.
316 ISBN 978-602-70361-0-9
3.
Hasil dan Pembahasan
Sebelum dilakukan pengujian terhadap ketahanan luntur warna terhadap pencucian, maka dilakukan pengukuran pH terhadap sabun untuk pengujian seperti pada Tabel 1. Hasil penelitian diperlihatkan pada Tabel 2-7. Tabel 1. Hasil Pengukuran pH terhadap Sabun NO
Nama Sabun
pH
1 2 3
Sabun AATCC Sabun Lerak Cair Sabun VCO Padat
9,5 7 7
Dari hasil pengukuran pH seperti terlihat pada Tabel 1 bahwa penggunaan sabun AATCC menunjukan angka pH yang relatif tinggi yaitu 9,5, sedang untuk sabun lerak cair, dan sabun VCO padat menunjukan angka pH 7,. Hal tesebut menunjukan bahwa sabun AATCC lebih alkalis dibanding kedua sabun alami. Suasana ini akan menyebabkan intensitas warna pada kain batik akan rusak atau menurun, sebagai akibat rantai molekul zat warna putus atau rusak. Kondisi akan jelas terlihat dan berpengaruh pada pewarnaan batik dengan menggunakan zat pewarna alam. Tabel 2. Hasil Pengujian Tahan Luntur Warna terhadap Pencucian untuk Jenis Kain Batik Katun pada Konsentrasi 3 g/l Jenis Sabun VCO Padat Sabun Lerak Cair
AATCC
Kode Contoh Kbk 1 Kbk 2 Kbk 3 Kbk 4 Kbk 1 Kbk 2 Kbk 3 Kbk 4 Kbk 1 Kbk 2 Kbk 3 Kbk 4
Perubahan Warna 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4–4–4
Acetat 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Kapas 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 3-4, 3-4, 3-4 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 3-4, 3-4, 3-4 3-4, 3-4, 3-4 4–4–4
Nilai Penodaan Warna Poliamida Polyester 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Akrilat 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Wool 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Tabel 3. Hasil Pengujian Tahan Luntur Warna terhadap Pencucian utk Jenis Kain batik Sutera pada Konsentrasi 3 g/l Jenis Sabun VCO Padat Sabun Lerak Cair
AATCC
Kode Contoh Kbs a Kbs b Kbs c Kbs d Kbs a Kbs b Kbs c Kbs d Kbs a Kbs b Kbs c Kbs d
Perubahan Warna 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Acetat 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Kapas 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Nilai Penodaan Warna Poliamida Polyester 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Akrilat 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Wool 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Hasil pengujian tahan luntur warna terhadap pencucian untuk jenis kain katun, pada Tabel 2, bahwa dari hasil pengujian tahan luntur warna yang paling baik adalah pada penggunaan sabun cuci dari sabun lerak cair bila dibanding dengan penggunaan sabun sintetis AATCC. Pada konsentrasi 3 g/l menunjukan nilai rata-rata 4-5, sedang pada konsentrasi 4 g/l dan 5 g/l nilai rata-rata perubahan warna 4. Nilai 4 adalah contoh uji dari kain batik katun dengan pewarna alam dari ekstrak tinggi, sedang nilai 4-5 dengan pewarna sintetis. Untuk sabun alami dari VCO menunjukan nilai rata-rata 4. Sedang pada penggunaan sabun cuci sintetis AATCC, menunjukan nilai ratarata perubahan warna dengan nilai 4. Perubahan warna tersebut dikarenakan subun sintetis sangat alkalis bila
317 ISBN 978-602-70361-0-9
dibanding dengan sabun lerak cair maupun sabun VCO padat, yang berarti penggunaan konsentrasi bahan alkali pada sabun sintetis sangat kuat, yang dapat mengakibatkan putusnya rantai molekul zat warna Tabel 4. Hasil Pengujian Tahan Luntur Warna terhadap Pencucian untuk Jenis Kain Batik Katun pada Konsentrasi 4 g/l Jenis Sabun VCO Padat Sabun Lerak Cair
AATCC
Kode Contoh Kbk 1 Kbk 2 Kbk 3 Kbk 4 Kbk 1 Kbk 2 Kbk 3 Kbk 4 Kbk 1 Kbk 2 Kbk 3 Kbk 4
Perubahan Warna 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4–4–4 3-4, 3-4, 3-4 4–4–4
Acetat 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Kapas 4-5, 4-5, 4-5 3-4, 3-4, 3-4 3-4, 3-4, 3-4 3-4, 3-4, 3-4 4–4–4 4–4–4 4–4–4 3-4, 3-4, 3-4 3-4, 3-4, 3-4 3-4, 3-4, 3-4 3-4, 3-4, 3-4 3-4, 3-4, 3-4
Nilai Penodaan Warna Poliamida Polyester 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5
Akrilat 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Wool 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5
Tabel 5. Hasil Pengujian Tahan Luntur Warna terhadap Pencucian untuk Jenis Kain batik Sutera pada Konsentrasi 4 g/l Jenis Sabun VCO Padat Sabun Lerak Cair AATC C
Kode Contoh Kbs a Kbs b Kbs c Kbs d Kbs a Kbs b Kbs c Kbs d Kbs a Kbs b Kbs c Kbs d
Perubahan Warna 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4–4–4 4, 4-5, 4 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4, 4-5, 4 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5
Acetat 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Kapas 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Nilai Penodaan Warna Poliamida Polyester 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Akrilat 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Wool 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Tabel 6. Hasil Pengujian Tahan Luntur Warna terhadap Pencucian untuk Jenis Kain Batik Katun pada konsentrasi 5 g/l Jenis Sabun VCO Padat Sabun Lerak Cair AATC C
Kode Contoh Kbk 1 Kbk 2 Kbk 3 Kbk 4 Kbk 1 Kbk 2 Kbk 3 Kbk 4 Kbk 1 Kbk 2 Kbk 3 Kbk 4
Perubahan Warna 3-4, 3-4, 3-4 4–4–4 3-4, 4, 4 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4–4–4 3-4, 3-4, 3-4 4–4–4
Acetat 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Kapas 4-5, 4-5, 4-5 3-4, 3-4, 3-4 3-4, 3-4, 3-4 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4–4–4 4–4–4
Nilai Penodaan Warna Poliamida Polyester 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Akrilat 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Wool 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
318 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 7. Hasil Pengujian Tahan Luntur Warna terhadap Pencucian utk Jenis Kain Batik Sutera pada Konsentrasi 5 g/l Jenis Sabun
Kode Contoh
VCO Padat Sabun Lerak Cair AATC C
Kbs a Kbs b Kbs c Kbs d Kbs a Kbs b Kbs c Kbs d Kbs a Kbs b Kbs c Kbs d
Perubahan Warna 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4–4–4 4–4–4 4–4–4 4–4–4
Acetat 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Kapas 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Keterangan Nilai penodaan warna : 4 – 5 : Warna kain sampel melunturi kain multifiber hanya sedikit sekali hampir tidak terjadi perubahan 4 : Melunturi kain multifiber sedikit terlihat samar-samar 3 – 4 : Melunturi kain multifiber terlihat jelas 3 : Melunturi kain multifiber dengan sangat signifikan
Nilai Penodaan Warna Poliamida Polyester 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Akrilat 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Wool 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5 4-5, 4-5, 4-5
Nilai perubahan warna : 5: baik sekali, 4 – 5: Baik 4: Baik 3 – 4: Cukup baik 3: cukup Kbs
: Kain batik sutera.
Kbk
: Kain batik katun
Hasil pengujian tahan luntur warna terhadap pencucian untuk jenis kain sutera, pada tabel 7, menunjukan bahwa dari hasil pengujian tahan luntur warna yang paling baik adalah pada penggunaan sabun cuci dari sabun lerak cair, bila dibanding dengan penggunaan sabun sintetis AATCC, yaitu baik pada konsentrasi 3 g/l, 4 g/l, dan 5 g/l menunjukan niliai rata-rata yang sama 4-5, untuk sabun alami dari VCO menunjukan nilai rata-rata 4, sedang penggunaan sabun cuci sintetis AATCC menunjukan nilai rata-rata perubahan warna 3-4. Pada penggunaan konsentrasi 3 g/l, nilai perubahan warna yang baik ditunjukan pada penggunaan sabun lerak cair, yaitu 4-5. Perubahan intensitas warna tersebut dikarenakan sabun sintetis lebih alkalis bila dibanding dengan sabun alami baik dari sabun lerak cair maupun sabun VCO padatan, yang berarti penggunaan konsentrasi bahan alkali pada sabun sintetis sangat kuat, yang dapat mengakibatkan rusaknya rantai molekul zat warna, sehingga akan meluntur sebagian warna yang terikat dan menempel pada kain. 4.
Kesimpulan
Penggunaan sabun alami sangat sesuai untuk pencuaian kain batik warna alam, khususnya kain batik katun dan sutera. ketahahan luntur warna batik terhadap pencucian, dengan nilai perubahan warna antara 4 dan 4-5. Sabun lerak cair adalah yang terbaik bila dibanding dengan sabun alami VCO maupun sabun sintetis AATTC terhadap ketahanan luntur warna pada pencucian kain batik. Penggunaan sabun lerak cair dengan konsentasi 3 g/l pada suhu 40oC merupakan kondisi yang optimal untuk pengujian ketahanan luntur warna batik terhadap pencucian. Daftar Pustaka Hasanudin, M., Widjiyati, Sumardi, Mudjini, Hanudji S., dan Wisnu P., Penelitian Penerapan Zat Warna Alam dan Kombinasinya pada Produk Batik dan Tekstil Kerajinan. Balai Besar Kerajinan dan Batik Y., 2001, Yogyakarta Isminingsih, dan Rasjid Djufri, Pengantar Kimia Zat Warna. Institut Teknologi Bandung, 1979, Bandung. Lestari K, Haryanti.R Moelyono, Soeprapto H., Zat Warna Tumbuh-Tumbuhan untuk Batik, Balai Besar Kerajinan dan Batik, 1996/1997, Yogyakarta Moerdoko, Wibowo; Isminingsih, Budiarti dan Widayat, Evaluasi Tekstil (bagian kimia). Institut Teknologi Tekstil, Bandung, 1975, Bandung. Sudjana, Disain Eksperimen dan Analisis. , Penerbit Tarsito 1980, Bandung Susanto,S.Sk, Seni Kerajinan Batik Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Kerajinan dan Batik, 1980, Yogyakarta Soeprijono, P., Poerwanti, Widayat, dan Jumaeri, Serat-serat Tekstil. Institut, Cetakan ke 2 Institut Teknologi Tekstil, 1974, Bandung.
319 ISBN 978-602-70361-0-9
Penggunaan Pengawet Alami Daun Babadotan terhadap Tingkat Keawetan Bambu Petung Dwi Suheryanto Balai Besar Kerajinan dan Batik Badan Penelitian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri - Kementrian Perindustrian RI Jl Kusumanegara 7 Yogyakarta 55166. Telp. (0274) 546111 Fax (0274) 543582. E-mail:
[email protected]
Abstract Bamboo extract contains highly susceptible to insect destroyer bamboo, because starch is a source of bamboo insect. Leaves babadotan (Sundanese) (Ageratum conyzoides Linn) is a plant of the family Asteraceae weeds, containing biological active compound saponin, flvanoid, and pilifenol. These include the type of pesticide compounds insektidisa the vegetable pesticide. The purpose of this study was to find out the level of durability petung bamboo (Dendrocalamus asper) on preservation by immersion. Sample of the type of test used is petung bamboo between 10-12 cm in diameter, 5-6 mm thick bamboo, Sequence of activities covers manufacturing preservatives extract from the leaves dry babadotan by boiling at temperatures between 90-100 °C, the ratio of material and water weight ratio of 1:8, to a solution of the remaining 50 %, then left for 24 hours. Sample test extract was further immersed in the immersion time variation 24, 48, 72, and 96 hours at room temperature. Observed were mortality insects creep, retention and degree of damage on a regular basis every three months during the period of nine months. The results showed that the use of leaf extract was babadotan on petung bamboo preservative effect on retention level and degree of damage. The longer the immersion time increases retention, and reduce the degree of damage to petung bamboo. Immersion time of 96 hours, resulting in the retention of 8.49 % or 0.097 g/cm3 and the lowest degree of damage that is 0.25 %. From the economic aspect to preservative 1 (one) petung bamboo sticks measure 2 m required cost IRD 7700. Keywords: babadotan leaves, petung bamboo, preservative, soaking
1.
Pendahuluan
Bambu petung mempunyai kekuatan cukup baik untuk dijadikan bahan konstruksi, mebel, dan interior. Permasalahan yang timbul adalah tingkat keawetan dari bambu petung yang sangat rentan terhadap serangan serangga perusak bambu seperti kumbang bubuk dan rayap, mengingat kadungan pati bambu petung relatif tinggi bila dibanding dengan jenis bambu lainnya. Kandungan pati bambu merupakan supply makanan bagi serangga tersebut (Sultoni.,1983). sehingga dalam pemanfaatannya, bambu petung perlu diawetkan. Pegawetan bambu menggunakan bahan pengawet kimia sangat berbahaya bagi pekerja, pengguna, dapat mencemari lingkungan, oleh sebab itu penggunaan pengawet pestisida nabati dari daun babadotan berpeluang untuk dikembangkan sebagai bahan pengawet alami bambu yang ramah lingkungan. Penggunaan pengawet alami berupa ekstrak daun babadotan dengan pengekstrak air, diharapkan dapat meminimalisasi atau mencegah kerusakan bambu tehadap serangga perusak bambu. Tanaman bambu diidentifikasi sebaga spesies dari sub-family Bambusoidea, keluarga (family) Gramineae Genera bambu pertama adalah Bambos, yang ditemukan oleh A.J. Retzius pada bulan November 1788. Penyebaran tanaman bambu tersebar dibeberapa belahan dunia, dan dapat dibagi kedalam tiga besar divisi, yaitu Asia and Pasific, Amerika dan Afrika, China, India, Negara Asia Tenggara, beberapa Negara Afrika dan Amerika latin adalah negara yang kaya akan sumber alam bambu (Zhou, 2008). Tanaman bambu di Indonesia diperkirakan luas area 0,06 juta ha, terdapat 9 genera dan 30 specias, urutan ke 9 setelah negara Jepang dan Vietnam masing-masing 0,138 juta ha dan 0,141 ha.(Fu Maoyi, 2007). Sebagai salah satu sumber alam hutan, tanaman bambu dunia diperkirakan menghasilkan sekitar 5-20 ton. Pertumbuhannya sangat cepat dari 20-30 cm mencapai 150-200 cm dalam waktu 24 jam. Dendrocalamus sinicus (sympodial) dapat tumbuh 40-45 m tingginya dalam waktu 100-120 hari (Chen Y, 2008). Serangga perusak bambu yang nama latinnya diantaranya adalah Lyctus brunncous merupakan salah satu penyebab kerusakan bambu. Ukuran badan serangga rayap bambu kecil sampai sedang, bersayap yang digunakan untuk terbang, saat berpindah. Makanan dari kumbang ini adalah pati batang bambu, berkembang biak dengan telur, larva, atau pupa. Serangga Rayap bambu hidup dan berkembang didalam jaringan serat bambu. serangga betina menggerek melintang bagian bambu yang secara nisbi lebih lunak, yaitu bagian dalamnya atau melalui
320 ISBN 978-602-70361-0-9
bekas-bekas luka pecahan atau potongan oleh alat-alat tajam. Induk kumbang rayap tersebut kemudian meletakkan telur-telurnya yang amat kecil berbentuk kapsul lonjong didalam jaringan pembuluh sari makanan melalui luka bekas gesekan. Setelah 4-7 hari diletakkan didalam jaringan pembuluh telur-telurnya akan menetas menjadi larva atau ulat kecil yang langsung dapat mengambil sari makanan yang terdapat didalam jaringan-jaringan pembuluh tersebut (Suheryanto, 2009). Menurut Chen Y (2008), beberapa metode yang dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan bambu yaitu dengan cara perendaman dalam air mengalir (sungai atau kolam), mekanik (pemanggangan, menggunakan tekanan tinggi, pengasapan, gas adjusting, infra merah, micowave, dan radiasi), kimia (DDT, borak, borak-borik, Na2Cr2O2, Cu2SO4, CrO2). Senyawa boor (asam boraks) juga dipakai untuk pengawetan bambu untuk bahan baku mebel (Iwata Y,1958). Bahan kimia yang lain untuk menghilangkan rayap adalah Permet 100 EC, dan untuk pencegahan fungi menggunakan Microcide 100 EC (Arifin,2007). Penggunaan bahan pengawet kimia memang sangat efektif hasilnya, akan tetapi dampaknya terhadap lingkungan sangat merusak, dapat berpengaruh kepada kesehatan bagi pelaku dan pengguna, selain itu bahannya masih sebagian import. Dari permasalahan tersebut diatas, maka dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ekstrak daun babadotan pada pengawetan bambu dengan cara perendaman, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan keawetan bambu petung. Penelitian pengawetan bambu menggunakan bahan alami telah banyak dilkakukan, diantaranya penggunaan ekstrak daun sambiloto (Sambiloto conyzoides Linn) yang mengandung kandung senyawa aktif saponin, flvanoid, dan polifenol, dapat digunakan sebagai obat, pestisida dan herbisida. Senyawa tersebut termasuk jenis pestisida insektidisa golongan pestisida nabati, diduga kuat mempunyai allelopathy, suatu keadaan dimana tumbuhan mengeluarkan eksudat kimia yang dapat menekan mencegah pertumbuhan serangga pada pengawetan bambu ampel (Suheryanto,2012). Sebagai bahan pencegah pertumbahan serangga perusak, ekstrak daun mimba yang mengandung unsur bioaktif yaitu unsur azadirachtin. dapat berfungsi sebagai zat penolak makanan (anti-feedant) dan zat yang berdaya repelansi (repellent) yang dapat menggangu pertumbuhan. Bambu yang direndam dalam ekstrak daun mimba dengan rasio 1:3 menghasilkan mortalitas serangga rayap tertinggi sebesar 52,38%, dapat meminimalisasi kerusakan akibat serangan serangga rayap (Suheryanto, 2009). Ekstrak biji mimba, daun sirsak, gadung, biji bengukuang, tuba,daun sirih, brotowali juga dapat mencegah serangga perusak. Bambu petung (Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex Heyne, nama lokal: bambu petung, buluh betung, bulu jawa, betho. Tinggi pohon bambu petung bisa mencapai 20-30 m (batang berbulu tebal dan tebal dinding batang 11-36 mm); dengan diameter 8-20 cm (jarak buku 10-20 cm di bagian bawah dan 30-50 cm di bagian atas); warna batang krem. Tempat tumbuh, mulai dataran rendah hingga ketinggian 1500 m, tumbuh terbaik pada ketinggian antara 400-500 m dengan curah hujan tahunan sekitar 2.400 mm. Babadotan (Sunda) (Ageratum conyzoides Linn) dengan nama lain tumbolok, lateng (Jawa) merupakan tumbuhan dari famili Asteraceae. Tumbuhan ini mengandung bahan aktif saponin, flavanoid, dan polifenol dimana senyawa tersebut termasuk jenis pestisida insektisida, dan merupakan tanaman herbal menahun, tegak dengan ketinggian 30 - 80 cm dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga mudah tumbuh di mana-mana dan sering menjadi gulma yang merugikan para petani (Suheryanto, 2012). Pengukuran kerusakan bambu, yaitu meliputi, Retensi (Fibro-vascular bundle) bahan pengawet, dan Derajat Kerusakan. Retensi yaitu merupakan jumlah bahan pengawet tanpa larutan ekstrak yang telah masuk kedalam bambu, yang merupakan selisih berat berat kering angin contoh uji sebelum dan setelah pengawetan, dan Retensi dapat dihitung dengan persamaan (1), (Suheryanto, 2009). Retensi
Wi Wo V
( gram / cm 3 )
(1)
dimana
Wi = berat contoh uji setelah diawetkan (g), Wo = berat contoh uji sebelum diawetkan (g) V = volume contoh uji (cm3) Derajat Kerusakan, yaitu skala yang digunakan untuk mengukur derajat kerusakan berdasarkan pada pengurangan berat contoh uji untuk kemudian dibandingkan dengan kontrol (Suheryanto, 2009). Skala derajat kerusakan pada Tabel 1. Derajat Kerusakan =
KR x100% KK
(2)
dimana KR= pengurangan berat contoh uji (g), KK= pengurangan berat kontrol (g) Tabel 1. Skala Derajat Kerusakan Pengurangan Berat (%) < 10 11 – 40 41 – 70 > 71
Kondisi Contoh Uji Serangan ringan, ada bekas gigitan Serangan sedang, beberapa saluran yang tidak dalam Serangan berat, beberapa saluran yang dalam dan lebar Serangan sangat berat
321 ISBN 978-602-70361-0-9
2.
Metode
Bahan: bambu petung yang masih segar diambil dari daerah Kabupaten Sleman Yogyakarta, layak tebang dengan Ǿ10-12 cm, dan tebal bambu 5-6 mm. Pengambilan bambu dilakukan pada bulan November, dimana kondisi ini kadar pati bambu relatip tinggi yaitu 0,90 % (Sultoni A.,1983). Daun babadotan segar diperoleh dari daerah Kabupaten Bantul Yogyakarta. Alat: gergaji sirkel dan gergaji tangan, untuk memotong bambu dalam penyiapan contoh uji, timbangan manual dan analitik, untuk menimbang contoh uji dan bahan ekstrak, kaliper dan meteran, untuk mengukur dimensi bambu, oven listrik, parang, untuk mencacah/menghaluskan daun babadotan, bak perendam ukuran 60 cm x 90 x 60 cm, bak pengekstrak ukuran 60 cm x 90 cm x 60 cm, bahan cat, kwas, dan kertas saring, dan pemberat. Prosedur kerja Pembuatan contoh uji: bambu petung segar bebas cacat, dipotong secara acak bagian pangkal dan tengah, dengan panjang 20 cm, diameter rata-rata antara 10 cn-12 cm, dan tebal bambu 5-6 mm. Dari beberapa batang bambu diambil 20 potong secara acak untuk contoh uji (n=5) dan 4 potong untuk blanko. Contoh uji (bambu) dan blanko dibersihkan kulit bagian luarnya, kemudian ditutup kulit bagian luarnya dengan cat kayu. Kemudian contoh uji dikering dengan oven listrik hingga beratnya konstan. Kemudian contoh uji diberi tanda untuk penggunaan rasio (variasi) konsentrasi, dimana Xo= blanko pelarut tanpa larutan ekstrak daun babadotan, X1 = perendaman 24 jam; X2 = perendaman 48 jam; X3 = perendaman 72 jam, dan X4 = perendaman 96 jam. Penyiapan bahan pengawet: daun babadotan yang masih segar dan tidak terlalu muda dicacah hingga menjadi bentuk cacahan selanjutnya dikeringkan dengan oven listrik dengan kadar air (MC) 10-12%. Kemudian membuat larutan pengawet, yaitu melalui perebusan, dengan perbandingan berat bahan dan air 1:8 pada suhu 100oC, hingga tersisa 50% larutan, kemudian larutan dibiarkan selama 24 jam. Selanjutnya disaring dan diperas, sehingga diperoleh larutan pengawet ekskstrak daun babadotan. Pengawetan dengan perendaman dingin Metode yang digunakan adalah metode perendaman dingin, contoh disusun dalam bak perendam sedemikian rupa. Agar seluruh contoh terendam sempurna dalam larutan ekstrak, maka bagian atasnya diberi pemberat. Sebelum diawetkan contoh uji dikeringkan dengan oven listrik hingga beratnya konstan (W0), kemudian hitung volume contoh uji untuk perhitungan retensi. Contoh uji direndam dalam larutan ekstrak dengan variasi waktu perendaman 24, 48, 76, dan 96 jam. Setelah perendaman selesai, contoh uji diangkat dan diatuskan dari larutan ekstrak, kemudian di gosok dengan kain bersih. Selanjutnya contoh uji dikeringkan dengan oven listrik hingga mencapai berat konstan, maka diperoleh berat bambu setelah pengawetan (Wi). Pengujian (tanpa pengumpanan serangga), contoh uji dibiarkan didalam ruang gelap pada suhu kamar, tanpa diletakkan serangga perusak bambu pada contoh uji, kemudian diamati secara berkala setiap 3 (tiga) bulan dalam kurun waktu 9 bulan, apakah timbul lubang-lubang jarum dan serbuk kuning pada permukaan kulit bambu, kemudian ditimbang untuk menentukan berat contoh uji (W3). Pengujian meliputi nilai Retensi (Fibro-vascular bundle) bahan pengawet, dan derajat kerusakan bambu/contoh uji. 3.
Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Hasil Rata-Rata Berat dan Kadar Air Bambu Petung Segar Contoh Uji
Berat Awal (g)
Berat Akhir (g)
Kadar Air Awal (%)
Kadar Air Akhir (%)
n1 n2 n3 n4 n5 Jumlah Rata-rata
497.3 571.2 407.4 493.7 443.5 2413.1 482.6
452.5 552.6 439.2 509.9 403.1 2357.3 471.5
41 39 42 40 40 202 40,4
12 10 12 12 11 57 11,4
Pada Tabel 2 terlihat hasil pengukuran contoh uji berat awal dan kadar air bambu yang masih segar menunjukan nilai rata-rata berat awal rata-rata, yaitu 508,02 g, dengan kadar air awal rata-rata 40,4 % ini dimungkinkan karena bambu/contoh uji masih segar dan basah, akan tetapi setelah melalui pengeringan dengan oven listrik hingga mencapai berat konstan diperoleh berat akhir contoh uji rata-rata 469,46 g, sedang untuk kadar air akhir menunjukan nilai rata-rata 11,4%, dimana pengukuran kadar air menggunakan alat MC Tester jarum.
322 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 3. Nilai Rata-rata retensi dan serangan serangga perusak Contoh Uji n1 n2 n3 n4 n5 Jumlah Rata-rata Retensi Blanko n1 n2 n3 n4 n5 Jumlah Rata-rata Retensi Blanko n1 n2 n3 n4 n5 Jumlah Rata-rata Retensi Blanko n1 n2 n3 n4 n5 Jumlah Rata-rata Retensi Blanko
Waktu Perendama n (jam)
Berat Awal (gr)
Berat Akhir (gr)
Retensi (%)
24 24 24 24 24
444.2 458.3 449.1 448.6 462.4 2262.6 452.52
475.4 483.3 481.1 476.7 491.8 2408.3 481.66
6.56 5.17 6.65 5.89 5.98 30.26 6.05
Serangan Serangga Perusak/Bubuk (jumlah lubang jarum/cm2) - (Bulan ke) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
-
-
-
-
-
-
3 1 -
3 6 5 3 2
8 11 8 9 6 42 8,4
-
5 -
7 -
10 1 -
12 2 4 -
15 7 7 5 11 9 39 7,8
-
3 -
5 -
11 -
-
-
-
-
12 1
17 3 5 1 3 12 2,4
-
2 -
4 -
9 -
12 -
16 2 3 5 1
1
5
6
10
13
18
-
-
0.063 g/cm3 48 48 48 48 48
446.7 444.1 458.4 449.5 448.3 462.8 2263.1 452.62
475.2 483.8 481.6 476.1 491.2 2407.9 481.58
6.54 5.25 6.67 5.84 5.78 30.08 6.02
-
-
-
-
0.077 g/cm3 72 72 72 72 72
456,4 469.2 427.4 424.3 431.1 444.1 2196.1 439.22
509.3 464.2 461.5 472.1 483.1 2390.2 478.04
7.87 7.93 8.06 8.68 8.07 40.62 8.12
-
-
-
-
0.084 g/cm3 96 96 96 96 96
442,2 475.1 473.3 445.5 527.7 412.2 2333.8 466.8
518.3 513.6 491.5 575.1 451.3 2549.8 509.95
8.33 7.85 9.36 8.24 8.66 42.4 8.49
-
-
-
-
0.097 g/cm3 468,2
Retensi bahan pengawet merupakan indikator keberhasilan proses pengawetan, retensi adalah jumlah bahan pengawet tanpa pelarut yang terdapat didalam bambu pada waktu proses pengawetan telah selesai dilakukan. Hasil analisa nilai retensi seperti terlihat pada Tabel 3 menunjukan bahwa faktor penggunaan variasi waktu perendaman menunjukan nilai retensi yang berbeda nyata, semakin lama penggunaan waktu perendaman nilai retensi cenderung meningkat, sedangkan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini berarti retensi dipengaruhi oleh faktor tunggal zat pengekstrak maupun faktor rasio waktu perendaman. Nilai rata-rata retensi bahan pengawet ekstrak daun babadotan kedalam bambu terbesar adalah pada waktu perendaman selama 96 jam yaitu retensinya 8,49% atau 0,097 g/cm3, kemudian berurutan masing-masing 8,12% atau 0,084 g/cm3 untuk waktu perendaman 72 jam, 6,03% atau 0,077 g/cm3 perendaman 48 jam, dan 6,03% atau 0,063 g/cm3 untuk perendaman selam 24 jam. Faktor zat pengekstrak, rasio, dan waktu perlakuan relatif memberi pengaruh terhadap nilai retensi.Zat pengekstrak (air) mempunyai kemampuan dalam melarutkan senyawa-senyawa yang terdapat dalam daun babadotan, dan tertinggal didalam jaringan serat bambu (fibro-vascular bundle). Diperkirakan semakin lama waktu perendaman bambu kedalam larutan pengawet ekstrak daun babadotan, retensi cenderung semakin miningkat hingga mencapai titik jenuh (optimal), sehingga bahan pengawet yang tertinggal didalam jaringan serat bambu relatip semakin meningkat. Hal ini menunjukan bahwa retensi memiliki kecenderungan meningkat sebanding dengan peningkatan kepekatan rasio ekstrak, dan penggunaan waktu perlakuan sampai batas optimal, karena terjadi titik kesetimbangan penyerapan antara larutan pengekstrak dengan jaringan serat bambu.
323 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 4. Hasil Pengamatan Selisih Berat Nilai Derajat Kerusakan Bambu Contoh Uji n1 n2 n3 n4 n5 Jumlah Rata-rata Blanko n1 n2 n3 n4 n5 Jumlah Rata-rata Blanko n1 n2 n3 4 n5 Jumlah Rata-rata Blanko n1 n2 n3 n4 n5 Jumlah Rata-rata Blanko
Waktu Perendaman (jam)
Berat Awal (gr)
Berat Akhir (gr)
Selisih berat (g)
Selisih berat (%)
24 24 24 24 24
475.4 483.3 481.1 476.7 491.8 2408.3 481.7 446.7 475.2 483.8 481.6 476.1 491.2 2407.9 481.6 456.4 509.3 464.2 461.5 472.1 483.1 2390.2 478.04 442.2 518.3 513.6 491.5 575.1 451.3 2549.8 509.95 468.2
463.8 472.2 467.7 463.1 480.9 2347.7 469.5 431.8 464.9 475.7 477.8 460.6 481.7 2360.7 472.1 439.2 506.2 464,2 455.7 470.1 478.9 2374.9 474.98 426.3 518,3 513,6 488.8 575,1 447.4 2642.2 528.44 449.6
11.6 11.1 13.4 13.6 10.9 60.6 12.1 14.9 10.3 8.1 3.8 15.5 9.5 47.2 9.4 17.2 2.8 0 5.3 1.9 4.1 14.1 2.82 15.9 0 0 2.2 0 3.6 5.8 1.16 18.6
2.44 2.30 2.79 2.85 2.22 12.59 2.52 3.34 2.17 1.67 0.79 3.26 1.93 9.82 1.96 3.77 0.55 0.00 1.16 0.40 0.86 2.98 0.60 3.60 0.00 0.00 0.45 0.00 0.80 1.25 0.25 3.97
48 48 48 48 48
72 72 72 72 72
96 96 96 96 96
Derajat kerusakan adalah salah satu tolok ukur untuk melihat intensitas serangan serangga perusak bambu. Derajat kerusakan dinyatakan sebagai persen perbandingan antara pengurangan berat yang diberi perlakuan terhadap pengurangan berat contoh uji kontrol, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhinya tidak berbeda dengan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai pengurangan berat. Dari hasil pengamatan pada Tabel 4 terlihat bahwa nilai derajat kerusakan tertinggi pada perendaman dengan waktu 24 jam pengurangan beratnya sebesar 12,1 g dengan jumlah jarum rata-rata 8,4 buah (Tabel 3) yang ditandai adanya bubuk berwarna krem kekuningan dipermukaan bambu, atau rata-rata nilai derajat kerusakan sebesar 2,52%, sedang pada blanko menunjukan nilai derajat kerusakan 3,34% dengan pengurangan berat sebesar 14,9 g dengan lubang jarum sebanyak 15 buah (Tabel 3). Nilai derajat kerusakan terendah terjadi pada pengawetan dengan waktu perendaman 96 jam, yaitu rata-rata 0,25% dengan penurunan berat sebesar 1,16 g dengan jumlah jarum rata-rata 1 buah.(Tabel 3), sedang pada blanko nilai derajat kerusakan 3,97% dan penurunan beratnya 18,6 g dengan jumlah lubang jarum 18 buah (Tabel 4). Nilai derajat kerusakan bambu tersebut masih lebih kecil atau masih dibawah 10% pengurangan beratnya dan masuk katagori “serangan ringan, ada bekas digitan” (Tabel 1). Rata-rata derajat kerusakan cenderung semakin menurun seiring lamanya pengunaan waktu perendaman yang berkaitan langsung dengan semakin besar masuknya bahan pengawet kedalam jaringan bambu (Retansi) sampai mencapai batas optimal . Berdasarkan nilai rata-rata derajat kerusakan yang dihasilkan, pengawetan bambu dengan cara perendaman menggunakan ekstra daun babadotan, dapat mengurangi kerusakan bambu dari serangan serangga perusak bambu, sehingga direkomendasikan ekstrak daun babadotan dapat dikembangkan untuk bahan pengawet alami (nabati) sebagai bahan pengganti (substitusi) pengawet kimia yang ramah lingkungan. Aspek Ekonomi (perhitungan Harga Pokok Produksi) Jumlah bambu petung yang diawetkan = 10 batang, dengan panjang 200 cm, Ø ± 10-12 cm, tebal bambu ± 5-6 mm. Larutan ekstrak daun babadotan diperkirakan 40 lt (rasio 1:8), sehingga daun babadotan kering yang dibutuhkan 10 kg
324 ISBN 978-602-70361-0-9
Daun babadotan segar 10 kg @ Rp 4.500,Upah TK pembuat ekstrak 10 kg @ Rp 1.000,Upah TK pengawetan 10 bt bambu @ Rp 1.000,Air 80 lt @ Rp 25,Penyusutan 2 % per tahun dr total investasi alat Rp. 2.500.000,- dibagi 250 hr Biaya untuk mengawetkan 10 batang Jadi biaya pengawetan per batang bambu 4.
= Rp 45.000,= Rp 10.000,= Rp 10.000,= Rp 2.000,= Rp 10.000,= Rp 77.000,= Rp 7.700,-
Kesimpulan
Pengawetan dengan ekstrak daun babadotan pada bambu petung dapat meminimalisasi kerusakan akibat serangan serangga perusak bambu. Faktor rasio waktu perendaman berpengaruh nyata terhadap retensi dan derajat kerusakan, semakin lama waktu perendaman semakin besar bahan pengawet yang masuk (retensi) kedalam jaringan bambu, dan semakin menurukan nilai derajat kerusakan bambu. Pengawetan bambu dengan larutan ekstrak daun babadotan rasio 1:8, waktu perendaman 96 jam, menghasilkan nilai retensi terbesar 8,49 % atau 0,097 g/cm3 dan nilai derajat kerusakan terendah 0,25 %. Dari analisa aspek ekonomi untuk pengawetan 1 batang bambu ukuran 2 m diperlukan biaya Rp 7.700,- Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan ratio ekstrak, jenis zat pengekstrak, teknik dan waktu pengawetan yang optimal. Daftar Pustaka Arifin, Treatment Material, (2007), Brosur Produk Bio Chemical Indonesia, 2007, Yogyakarta Chen Y., Structure and Properties of Bamboo Timber, Utilization of Bamboo, Training Course on Bamboo Technologies for Developing Countries, China National Bamboo Research Center, 2008, Hangzhou China. Fu M., Sustainable Management and Utilization of Sympodial Bamboos, China Forestry Publishing, 2007, China. Iwata Yoshio, Hand book for Bamboo Culture and Processing, Asia Kyokai, 1958, Tokyo. Maoyi, F, Yang Xiasheng, dan Jiang Shenxue. 2007. Technical Manual on Utilization of Sympodial Bamboos, China Forestry Publishing House, China Susilaning L, Dwi Suheryanto, Pengaruh Waktu Pertendaman Bambu dan Penggunaan Borak-Borik Terhadap Tingkat Kewetan Bambu, Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) Periode III 3 November 2012, Prosiding ISSN:1979-911X, 2012, Yogyakarta. Suheryanto Dwi, Tri Haryanto, Penelitian Pengaruh Larutan Senyawa Bor Terhadap Keawetan Bambu Untuk Bahan Baku Mebel” Makalah yang dsampaikan pada Seminar Nasional Kimia Bervisi SETS (Science, Environment. Technology, and Society) Kontribusi Bagi Kemajuan Pendidikan dan Industri, penyelenggara Himpunan Kimia Indonesia Jawa Tengah, Hotel Puri Garden, 21 Maret 2009, 2009, Semarang, Suheryanto Dwi, Pengaruh Ekstrak Daun Mimba Terhadap Keawetan Bambu Ampel, Majalah Dinamika Kerajinan dan Batik, Balai Besar Kerajinan dan Batik, 2009, Yogyakarta Suheryanto Dwi, dkk., Pengembangan Bahan dan Proses Pengawetan Bambu dan Sant Menggunakan Bahan Alami, Laporan Kegiatan DIPA Tahun Anggaran 2012, Balai Besar Kerajinan dan Batik, BPKIMI Kementerian Perindustrian RI, Januari 2013, Yagyakarta. Sultoni Achmad, Petunjuk Ilmiah Pengawetan Bambu Tradisional Dengan Perendaman Dalam Air, International Development Research Center, Ottawa Canada, 1983, Yogyakarta. Zhou, F.C.. Theory and Technology of China’s Moso Bamboo Cultivation, Training Course on Bamboo Technologies for Developing Countries, China National Bamboo Research Center, 2008, Hangzhou China.
325 ISBN 978-602-70361-0-9
Pembuatan dan Karakterisasi Hidrogel Superabsorben Poli (Kalium Akrilat)-Pati dengan Irradiasi Sinar Gamma (ϒ) Dhena Ria Barleany1*, Ahmad Dzikrillah, Ermawati, Heri Heriyanto, Rahmayetty, Teguh Kurniawan, Erizal2 1
2
Jurusan Teknik Kimia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jln. Jend. Sudirman Km.3 Cilegon, Banten
Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Batan, Jl. Lebak bulus Raya no.49 Jakarta *E-mail:
[email protected]
Abstract Poly-(kalium acrilate) is one of hydrogel based materials which have great performance for the application of baby diapers. The mixtures of acrylic acid, kalium hydroxide, and starch were exposed to gamma irradiation to synthesize hydrogels for baby diapers. The aims of this study were to produce poly-(kalium acrylate)-starch hidrogels superabsorbent and apply the product on the absorption of liquid contained urine components (water, NaCl, KCl, CaCl2, urea). The effect of starch concentrations to the swelling behavior of hydrogels were investigated. 45 mL of 30% (v/v) acrylic acid solution was mixed with 6,1 g kalium hydroxide and 50 mL of different concentration starch solution, and then exposed to gamma irradiation. Poly-(kalium acrylate)-starch hydrogels superabsorbent were formed after exposion of gamma irradiation at 10, 20, and 30 kGy. The swelling study confirmed that hydrogel which was synthesize from Casava starch resulted higher water absorption capacity than that from the Corn starch. The highest water absorption capacity of the hydrogels reached 489g/g, resulted by gamma irradiation at 10 kGy of 1% (w/v) Casava starch concentration in the mixture. The absorption study showed that the hydrogel produced in this research could be considered as a potential baby diaper material. Keywords: hydrogel superabsorbent, starch, gamma irradiation, diaper
1.
Pendahuluan
Dalam waktu beberapa tahun ini, penelitian mengenai hidrogel telah mengalami banyak kemajuan. Penggunaan hidrogel dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang, salah satunya sebagai bahan polimer superabsorben. Keunggulan hidrogel dibandingkan dengan bahan absorben lain seperti kertas, selulosa dan kapas adalah kemampuannya dalam mengabsorpsi air mencapai beberapa kali lipat dibandingkan berat keringnya (superabsorben), tahan terhadap tekanan, dan 90% bahannya ramah lingkungan (Erizal, 2010). Karena memiliki daya serap tinggi, maka penggunaan hidrogel superabsorben dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang, antara lain dibidang pertanian sebagai soil conditioner untuk kantung air pada daerah kering dan irigasi (Haji-Saeid dkk, 2007), di bidang industri digunakan untuk pengolahan air yang terpolusi logam (Barleany, et al., 2013), pada bidang farmasi dan kesehatan digunakan dalam sistem penghantaran obat (Zhou dkk, 2008), serta sebagai bahan penyerap urin pada sediaan popok bayi (Abd Alla dkk, 2012). Poli (asam akrilat) memiliki daya serap terhadap air (swelling) yang sangat tinggi (Al-qudah, 2012). Anionik hidrogel superabsorben berbasis asam akrilat atau sodium akrilat dan akrilamida telah sangat dikenal (Magalhaes dkk, 2012). Modifikasi hidrogel superabsorben akrilamida–asam akrilat (Erizal, 2010) dilakukan dengan metode iradiasi sinar gamma pada dosis 20 kGy hingga 40 kGy, diperoleh fraksi gel tertinggi 100% serta rasio swelling 130 g/g pada dosis 20 kGy dan konsentrasi asam akrilat 0,75 %. Penggunaan material sintetis seperti poli akrilat banyak menyebabkan masalah di bidang lingkungan, sehingga perlu dilakukan modifikasi atau penggabungan dengan material alami. Hidrogel superabsorben poli (akrilamida-ko-asam akrilat) telah digabungkan dengan pati (Erizal, 2012) dan diperoleh nilai fraksi gel tertinggi 93% serta rasio swelling 250 g/g hydrogel dengan komposisi asam akrilamida 5%, asam akrilat 15 % dan pati 1%. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam akrilat yang telah dimurnikan dan dipolimerisasi dengan penambahan kalium hidroksida sehingga terbentuk poli (kalium akrilat). Pati yang digunakan adalah pati singkong dan pati jagung, dengan teknik irradiasi sinar gamma untuk proses polimerisasinya. Penggunaan bahan kimia sebagai pengikat silang dapat meninggalkan residu yang bersifat toksik sehingga dapat berbahaya bagi
326 ISBN 978-602-70361-0-9
manusia dalam aplikasinya, sehingga teknik irradiasi menggunakan sinar dengan intensitas rendah sering dilakukan para peneliti untuk mengembangkan teknologi yang lebih aman. Tujuan dari penelitian ini yaitu mendapatkan produk hidrogel superabsorben poli (kalium akrilat)-pati dan menguji kemampuan hidrogel yang diperoleh untuk aplikasi penyerapan terhadap zat-zat yang terkandung dalam urin (air, Nacl, KCl, CaCl2, urea). 2.
Metode
Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahap, yaitu tahap pembuatan hidrogel superabsorbent dan tahap absorpsi. Pada tahap pembuatan hidrogel, diukur sejumlah 30 ml aquades dalam wadah beaker glass 250 ml, kemudian ditambahkan 15 ml asam akrilat dan KOH ( kalium hidroksida) 6,1 gr hingga membentuk larutan kalium akrilat, kemudian ditambahkan dengan 1 gr pati yang sudah dilarutkan dengan 50 ml aquades pada suhu 80 oC hingga homogen. Campuran larutan tersebut dikemas dalam wadah plastik 10x15 cm2 dengan ketebalan 0,1 cm, kemudian diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis yang berbeda yaitu 10 kGy, 20 kGy dan 30 kGy. Hasil radiasi yang berupa gel kemudian dikeluarkan dari wadah plastik dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 60 oC selama 24 jam. Hidrogel kering yang diperoleh kemudian dipotong kecil- kecil untuk memudahkan proses penghalusan menggunakan blender, sehingga didapat hidrogel kering dengan ukuran ±60 mesh. Hidrogel yang diperoleh kemudian dimasukan ke dalam botol kaca rapat untuk disimpan. Tahap absorpsi dilakukan untuk menguji kemampuan penyerapan hidrogel terhadap air dan beberapa jenis larutan yang terkandung di dalam urin. Hidrogel superabsorben diuji nilai swelling di dalam aquades dan larutan garam ( KCl 0,15M; NaCl 0,15M; CaCl2 0,15M; dan urea ). Proses absorpsi dilakukan pada rentang waktu 15, 30, 60, 90, 120, 150, 180, 210, 240, 270, 300 detik. Analisa fraksi gel dan swelling mengikuti prosedur yang dilakukan pada penelitian Barleany, et al. (2013). Tahap analisa pada gugus fungsi yaitu dengan analisis perbedaan gugus dari bahan baku menjadi produk sintesis dilakukan dengan cara membaca spektrum dari spektrofotometer FT-IR. 0,01 gr hidrogel superabsorben dimasukan dalam cup spektrofotometer, kemudian membaca spektrum dari spekrofotometer. Dalam penelitian ini terdapat variabel tetap dan bebas, dimana variabel tetapnya meliputi kecepatan stirer absorpsi 200 rpm, massa HSA dalam absorpsi (0,1 gram), suhu absorpsi yaitu suhu ruang dan volume larutan untuk absorpsi 50 ml. Variabel bebasnya meliputi dosis radiasi 10, 20, 30 kGy, jenis pati (singkong, jagung), massa pati (1, 2, 3 gr) dan waktu absorpsi (15, 30, 60, 90, 120, 150, 180, 210, 240, 270, 300) detik. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan analitik NJW 300, oven Hereaus Instrumen Vacuterm, iradiator Co60 (iradiator karet), spektrofotometer Fourier Transform Infrared Shimadzu Prestige-21, magnetic stirrer (motor Heildoph), blender, penyaring, stopwatch dan alat-alat gelas ( gelas ukur, beaker dan lain-lain ). Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam akrilat (Merck), pati (singkong, jagung), KOH (Merck), urea 2,5%; KCl 0,15M; NaCl 0,15M; CaCl2 0,15M dan aquades. 3.
Hasil dan Pembahasan
3.1.
Pengaruh Jenis Pati
Jenis pati yang digunakan pada penelitian ini yaitu pati singkong dan jagung. Uji yang dilakukan mencakup fraksi gel dan rasio swelling. Fraksi gel dilakukan untuk mengetahui banyaknya persentase gel yang terbentuk dari polimer superabsorben. Swelling adalah kondisi hidrogel dalam keadaan mengembang, sedangkan rasio swelling menunjukan banyaknya air atau pelarut lain yang masuk kedalam jaringan hidrogel. Rasio swelling menjadi ukuran utama kinerja suatu hidrogel dan dalam hal ini menguji jumlah air yang terserap dalam hidrogel. Hasil pengujian fraksi gel dan swelling dari hidrogel poli (kalium akrilat)-pati dengan variasi jenis pati disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Penentuan Fraksi Gel Poli-(Kalium Akrilat)-Pati Jenis Pati Nilai Fraksi Gel Swelling (pada 120 detik)
Singkong 74,012% 459 g/g
Jagung 69,53% 349 g/g
Dari Tabel 1 didapatkan fraksi gel dari produk hidrogel menggunakan penambahan pati singkong sebesar 74,012% lebih baik dibandingkan dengan penambahan pati jagung yang hanya 69,53% . Dari dua jenis pati yang diujikan, pati singkong memiliki nilai yang lebih baik karena jumlah polimer yang diubah menjadi hidrogel lebih banyak dan nilai swelling yang diperoleh pada interval 120 detik yaitu sebesar 459 g/g.
327 ISBN 978-602-70361-0-9
3.2
Pengaruh Dosis Radiasi dan Waktu Perendaman
Pada penelitian ini sintesis hidrogel dilakukan dengan irradiasi gamma dengan dosis 10, 20, 30 kGy. Produk gel yang diperoleh kemudian diuji rasio swellingnya selama 300 detik setiap selang waktu 30 detik. Hasil uji swelling pada variasi dosis radiasi ditunjukkan pada Gambar 1.
Rasio swelling (g/g)
600 500 400 10 kGy
300
20 kGy
200
30 kGy
100 0 0
50
100
150
200
250
300
Waktu (detik) Gambar 1. Hubungan antara Waktu terhadap Rasio Swelling dalam Media Air Dari Gambar 1 terlihat bahwa semakin lama waktu perendaman dari 15 detik sampai 300 detik maka rasio swelling polimer superabsorben akan semakin meningkat. Hal ini dikarenakan semakin lama waktu perendaman maka semakin banyak air yang diserap dan masuk dalam pori-pori polimer superabsorben. Kemampuan absorpsi terhadap air akan menjadi konstan atau mencapai keadaan kesetimbangan apabila jaringan polimer superabsorben telah terisi penuh oleh molekul air. Gambar 5 juga menunjukkan bahwa semakin besar dosis radiasi dari 10 - 30 kGy maka semakin kecil rasio swellingnya. Hal ini disebabkan oleh semakin rapatnya ikatan silang yang terbentuk maka semakin kecil pori-pori dalam polimer superabsorben sehingga air yang berpenetrasi ke dalam jaringan polimer superabsorben juga semakin sedikit. Polimer superabsorben dengan dosis iradiasi 10 kGy mempunyai rasio swelling tertinggi sebesar 489 g/g. 3.3
Pengaruh Konsentrasi Pati Singkong
Hasil pengujian rata-rata fraksi gel hidrogel poli (kalium akrilat)-pati yang disintesis menggunakan radiasi gamma ditunjukkan pada Gambar 2. 600 Rasio swelling (g/g)
500 400 1 gr Pati
300
200 100
2 gr pati
0
3 gr Pati
0
50
100 150 200 Waktu (detik)
250
300
Gambar 2. Pengaruh Penambahan Pati terhadap Rasio Swelling Dari Gambar 2 terlihat bahwa peningkatan penambahan dosis pati akan menunrunkan nilai rasio swelling. Hal ini dikarenakan jika kandungan pati berlebih dalam polimer poli (kalium akrilat)-pati maka akan menimbulkan banyak celah antara ikatan polimer. Dampak negatif dari adanya pati berlebih yaitu daya serap terhadap air akan berkurang karena daya serap pati lebih kecil dibandingkan dengan daya serap kalium akrilat. Kalium akrilat
328 ISBN 978-602-70361-0-9
merupakan absorber primer dalam polimer ini. Sedangkan pati berfungsi sebagai absorber sekunder karena fungsi utama pati pada polimer ini yaitu hanya menciptakan celah sebagai trap untuk air dan menangkap sedikit air. 3.4
Uji Penyerapan Terhadap Kandungan Urin
Rasio Swelling (g/g)
Uji ini dilakukan untuk aplikasi hidrogel superabsorben sebagai bahan penyerap cairan urin dalam sediaan popok. Uji rasio swelling hidrogel superabsorben terhadap urea sebagai larutan simulasi pengganti urin dilakukan dengan komposisi 95% air, 2.5% urea dan 2.5% campuran mineral, garam, hormon dan enzim. Hasil pengujian pengaruh larutan urea dan larutan garam terhadap rasio swelling terdapat pada Gambar 3. 450 400 350 300 250 200 urea 2,5% 150 100 50 0 0 50 100 150 200 250 300 Waktu (detik) Gambar 3. Hubungan waktu terhadap rasio swelling dalam larutan urea Dari Gambar 3 terlihat bahwa semakin lama waktu perendaman dari 15 detik sampai 300 detik maka rasio swelling akan semakin meningkat. Hal ini terjadi karena jika dilihat dari struktur molekul dan bobot molekulnya, urea memiliki struktur molekul dan bobot molekul yang lebih besar dari air sehingga rasio swelling pada larutan urea lebih kecil dibanding dengan air. Uji pengaruh garam dilakukan untuk melihat perbedaan rasio swelling akibat dari adanya jenis garam yang berbeda, hal ini juga dilakukan untuk uji aplikasi sebagai bahan penyerap dalam popok karena di dalam urin juga mengandung berbagai jenis garam. Fungsi waktu terhadap rasio swelling hidrogel superabsorben dalam berbagai jenis garam yaitu NaCl, KCl dan CaCl2 terdapat pada Tabel 4. 60 Rasio Swelling (g/g)
50 40
NaCl
30
KCl
20
CaCl2
10 0 0
50
100 150 200 Waktu (detik)
250
300
Gambar 4. Hubungan Waktu terhadap Rasio Swelling dalam Larutan Garam 0,15M. Dari Gambar 4 terlihat bahwa adanya perbedaan nilai rasio swelling antara garam NaCl, KCl, CaCl2. Semakin besar jari-jari atom (Na+ >K+) dan juga kenaikan valensi ion Ca2+ maka rasio swelling semakin menurun. Hal ini terjadi karena partikel garam akan menghalangi air untuk masuk ke dalam jaringan hidrogel superabsorben. Semakin besar jari-jari partikel garam maka jumlah air yang berpenetrasi ke dalam jaringan hidrogel superabsorben semakin sedikit. Adanya kenaikan valensi ion juga menyebabkan proses ionisasi dalam hidrogel superabsorben semakin ditekan sehingga tekanan osmotik akan menurun dan rasio swelling pun menurun.
329 ISBN 978-602-70361-0-9
3.5
Uji Gugus Fungsi Menggunakan Spektrofotometer FTIR
Uji gugus fungsi dengan Spektrofotometer FTIR dilakukan untuk melihat kemungkinan terjadinya pembentukan ikatan silang selama proses iradiasi atau untuk menentukan kemungkinan mekanisme reaksi pembentukan ikatan silang antara asam akrilat dan pati. Hasil spektrum IR dapat tunjukkan pada Gambar 5. 35 %T 30
25
20
15
10
1160.23
1345.41
2933.85
3376.54
0
3138.32
1640.53
5
-5
4000 pati(sagu)
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 5. Spektrum FTIR Hidrogel Superabsorben Tabel 2. Frekuensi Absorpsi Daerah Inframerah dari Berbagai Gugus Fungsi Grup Alkana Alkena Alkuna Aromatis
Alcohol Eter Amin Aldehida Keton Asam karboksilat Amida
Gugus fungsi -CH ulur -CH2 tekuk -CH3 tekuk Oleofinik Asetilenik –CH ulur Aromatic –CH ulur -C=C- ulur -OH ulur -OH tekuk -C-O ulur C-O -NH ulur primer -NH ulur sekunder -C=O ulur -C=O ulur -C=O ulur
Bilangan gelombang (cm-1) 3000-2842 1450 1375-1300 3100- 3000 3333-3267 3100-3000 1600-1585 3650- 3584 1420- 1330 1260- 1000 1300- 1000 3500-3200 3340-3310 1740-1720 1870- 1540 1760- 1700
-C=O ulur -NH ulur -NH tekuk
1694 3400 1655- 1620
Diprediksikan bahwa (kalium akrilat)-pati setelah di radiasi akan kehilangan ikatan rantai C=C karena adanya efek energi yang memutus ikatan dan adanya gangguan dari radikal bebas H* sehingga ikatan rangkap berubah menjadi ikatan tunggal C-C. Untuk memastikan reaksi tersebut perlu diidentifikasi menggunakan FTIR. Hasil identifikasi pengukuran spektrum FTIR hidrogel poli (kalium akrilat)-pati yang di lanjutkan dengan iradiasi dapat dilihat pada Gambar 5. Terlihat bahwa pada polimer asam akrilat terdapat gugus C-H dan C=O. Untuk gugus C-H sedangkan gugus C=C tidak teridentifikasi sehingga sesui dengan prediksi mekanisme reaksi poli (kalium akrilat)-pati. Untuk gugus C-H teridentifikasi pada daerah bilangan gelombang 3375.54 cm-1 dan untuk gugus C=O terdapat pada daerah bilangan gelombang 1640.53 cm-1. 4.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hidrogel superabsorben poli (kalium akrilat)-pati dapat disintesis dengan teknik iradiasi gamma. Pati yang berasal dari singkong memiliki nilai faksi gel dan rasio swelling
330 ISBN 978-602-70361-0-9
yang lebih baik dari pada pati jagung. Nilai rasio swelling tertinggi terhadap air pada penelitian ini diperoleh saat penggunaan pati singkong sebanyak 1 gram dan dosis radiasi 10 kGy, yaitu sebesar 489 g/g. Uji penyerapan terhadap kandungan urin selama 5 menit menghasilkan nilai rasio swelling 426 g/g untuk urea, 50,7 g/g untuk NaCl, 44 g/g untuk KCl, dan 15,7 g/g untuk CaCl2. Daftar Pustaka Al-qudah, Y.H.F., Swelling and Drug Release Properties of Starch Based Copolymer Hydrogel Prepared by Ionizing Radiation, Arab Journal of Nuclear Science and Application, 2012, 45 (2), 179-185 Barleany, D.R., Sofiyati, Unayah, Erizal, Aplikasi Hidrogel Superabsorben Kopoli (Asam Akrilat-Hidroksi Etil Akrilat)-Kitosan Hasil Irradiasi Gamma untuk Adsorpsi Ion Logam Cu2+ dalam Larutan, Jurnal Pengolahan Limbah, 2013, vol. 16, no. 3, BATAN, Jakarta Erizal, Sintesis Hidrogel Superabsorben Poli (Akrilamida Ko kalium Akrilat) dengan Teknik Radiasi dan Karakteristiknya, Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi, 2010, Vol. 6, No. 2, BATAN, Jakarta Erizal, Synthesis of Poly (Acrylamide-co-Acrylic Acid)-Starch Based Superabsorbent Hydrogels by Gamma Radiation: Study it’s swelling Behavior, Indo J. Chem., 2012, 12 ((2), 113-118 Haji-Saeid, M., Sampa, M.H., Ramamoorthy, N., Guven, O., Chemielewesky, A.G., Nuclear Instruments and Methods in Physics Research B, 2007, 265, 51-57 Magalhaes, A.S.G., Neto, M.P.A., Bezerra, M.N., Ricardo, N.M.P.S., Feitosa, J.P.A., Application of FTIR in The Determination of Acrylate Content in Poly (Sodium Acrylate-co-Acrylamide) Superabsorbent Hydrogels, Quim. Nova, 2012, Vol. 35, No. 7, 1464-1467 Zhou, H.N., Chen, X.G., Kjong, M.,Liu, C.S., Cha, D.S., Kennedy, J.F., Effect of Molecular Weight and Degree of Chitosan Deacetylation on The Preparation and Characteristics of Chitosan Thermosensitive Hydrogel as a Delivery System, Carbohyderate Polymer, 2008, 73, 265-273
331 ISBN 978-602-70361-0-9
Proses Penjumputan Hidrogen dari Gas Campuran (H2, N2, dan CO) Menggunakan Membran Pd75-Ag25 Rusdi1* , Yogi Wibisono Budhi2, Irwan Noezar3 1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Tirtayasa Cilegon-Banten 2 Kelompok Keahlian Perancangan dan Pengembangan Proses Teknik Kimia 3 Kelompok Keahlian Perancangan dan Pengembangan Proses Teknik Kimia Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung *E-mail:
[email protected]
Abstract Hydrogen is one the promising energy sources in the future. Hydrogen can be produced from natural gas, coal, gasoline, methanol, or biomass. The biomass is a good raw material alternative because it is renewable and environmentally friendly. Gasification of the biomass results in a so called producer gas which primarily contains H2, N2, CO, CO2, and CH4. The separation of hydrogen from producer gas can be performed using a membrane. Pd75-Ag25 alloy membrane shows good selectivity and permeability for separating hydrogen from producer gas. The major drawbacks during this separation are time lag period and membrane deactivation as the existence of CO, CO2, and N2 compounds. Several experiments that have been done formerly is by purging the surface of membrane using pure hydrogen. This method produces the hydrogen production discontinue.This research aimed to assess the performance membrane in separating H2 from the gas mixture (H2, N2, and CO) using a membrane module with steady-state and unsteady state operations.Feed gas at steady state was a gas mixture of H2, N2, CO, and He. Each flow rate was 2 ml/sec and 1 ml/sec, and CO was varied from 0,5 to 1,5 ml/sec. Gas He is used as balancing gas. Pure N2 is used as sweep gas. The results recovery H2 greatest content of CO = 0,5 ml/sec at 14,93%. Conditions dynamic conducted disturbances in the feed gas and to vary the switching time of 30 seconds, 1 minute, 3 minutes, and 5 minutes. The results recovery H2 greatest of the unsteady condition reached at 23,40%. Keywords: Hydrogen, Membrane, Dynamic, Recovery. 1.
Pendahuluan
Sejak pertama kali krisis energi pada tahun 1973, orang-orang mulai memperhatikan pada betapa pentingnya pelestarian sumber energi. Setelah itu, mempelajari managemen energi dan pengembangan energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan menjadi perhatian besar. Pada tahun-tahun belakangan ini, fenomena pemanasan global dan kenaikan harga minyak bumi menjadi pendorong percepatan pengembangan energi terbarukan tersebut (Chen dan Chiu, 2009). Sekarang ini, dunia internasional memperhatikan pada pengembangan teknologi baru untuk memproduksi hidrogen sebagai penyelesaian yang baik untuk penambahan energi dan keamanan ekonomi. Proses produksi hidrogen dapat dikategorikan ke dalam: reforming, elektrolisis, nuklir, dan proses nonkatalitik. Didasarkan pada bahan baku, proses produksi hidrogen dapat dibagi dalam proses dengan bahan fosil seperti gas alam, naphta, batubara, dan metanol serta non fosil seperti air dan biomassa (Patil, 2005). Biomassa adalah alternatif bahan baku yang baik karena mempunyai beberapa keuntungan seperti biorenewability dan ramah lingkungan. Saat ini, untuk memproduksi hidrogen dari biomassa adalah dengan proses konversi termokimia dan biokimia. Gasifikasi adalah proses umum yang dipakai pada konversi termokimia. Dibandingkan dengan steam reforming dari gas alam, biaya bahan baku untuk gasifikasi biomasa lebih murah, tetapi secara keseluruhan biaya steam reforming metana lebih murah. Pengembangan teknologi ke depan, yaitu dengan reaktor membran, diharapkan dapat mengurangi biaya produksi secara berarti (Haryanto dkk., 2007). Menurut IUPAC, reaktor membran adalah sebuah peralatan yang mengkombinasi membran sebagai proses pemisahan dengan sebuah langkah reaksi kimia dalam satu unit (Dittmeyer dkk., 2001). Dengan konsep reaktor membran di atas maka diperlukan membran yang selektif terhadap hidrogen, mampu dioperasikan pada tekanan dan temperatur tinggi, dan tahan terhadap kontaminan yang bermacam-macam seperti hidrogen sulfida. Untuk itu semua maka diperlukan membran logam dan yang paling banyak digunakan adalah membran terbuat dari paladium dan paduan paladium (Basile dkk., 2005). Ishitsuka dkk. (2008) melakukan percobaan dengan paduan logam amorf yang dilapisi membran paladium yang terdiri dari satu dan empat membran paladium disusun seri dengan komposisi umpan gas campuran seperti komposisi gas steam reforming metanol (75%-v, 23%-v, dan 2%-v) serta tanpa gas penyapu. Hasil percobaan yang
332 ISBN 978-602-70361-0-9
diperoleh bahwa empat membran yang disusun seri mendapatkan fluks hidrogen yang lebih murni daripada satu membran. Criscuoli dkk. (2000) melakukan percobaan pada reaktor unggun tetap, mesoporous dan reaktor membran paladium dengan umpan gas campuran diperoleh kesimpulan bahwa hasil selektivitas dan permeabilitas reaktor membran paladium lebih baik dari pada reaktor unggun tetap dan reaktor membran mesoporous. Peters dkk. (2009) melakukan percobaan bahwa membran paladium-perak Pd77-Ag23 pada temperatur 623-673 K dan tekanan umpan 5-20 bar dengan umpan H2 dan N2 menghasilkan hidrogen yang lebih murni dan stabil. Pada umpan gas campuran seperti CO, CO2, CH4, dan N2 pada permukaan membran dapat mempengaruhi permeasi hidrogen. Mejdell dkk. (2009) meneliti bahwa kehadiran gas CO dan CO2 dapat menurunkan permeasi hidrogen, sedangkan Wang dkk. (2006) menyatakan kehadiran nitrogen pada permukaan membran ternyata dapat menurunkan permeasi hidrogen. Para peneliti menitikberatkan pada bagaimana mencegah penurunan permeasi hidrogen tersebut dengan mencari kondisi temperatur dan tekanan yang optimum. Rionaldo (2009) melakukan percobaan stabilitas dan dinamika permeasi hidrogen pada membran Pd75-Ag25 dengan umpan gas campuran H2/N2. Hasil percobaan yang diperoleh bahwa proses dinamik dapat mencegah atau mengurangi deaktivasi membran. Gas umpan campuran yang mengandung CO, N2, dan H2 dan melewati buluh membran dapat menyebabkan penurunan kinerja permeasi H2 melalui permukaan membran. Sebagai tambahan, satu molekul CO dapat menghalangi lebih dari satu tempat disosiasi hidrogen (Mejdell dkk., 2009). Kehadiran nitrogen pada umpan juga akan mempengaruhi permeasi hidrogen (Wang dkk., 2006) Chen dan Chiu (2009 ) mengatakan pada saat awal gas umpan campuran masuk terjadi time lag sehingga campuran gas umpan yang akan dipermeasikan pada membran tidak langsung terpisahkan. Wang dkk. (2006) melakukan penelitian pada umpan campuran hidrogen dan nitrogen dengan perbandingan yang sama pada temperatur 673-723 K. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pada temperatur 673 K fluks hidrogen pada sisi permeat dari awal stabil selama 280 menit, sedangkan pada temperatur 723 K fluks hidrogen dari awal stabil selama 150 menit kemudian menurun secara bertahap sampai angka tertentu. Kondisi ini disebabkan akibat terjadinya lapisan tipis karena terbentuknya molekul NHx pada permukaan membran. Beberapa penelitian telah dilakukan oleh Peters dkk. (2009) dan Mejdell dkk. (2009) bahwa untuk mendapatkan permeasi hidrogen yang lebih baik, didapat dengan mencari kondisi temperatur optimum, perbedaan tekanan parsial pada sisi permeat dan retentat juga mengurangi konsentrasi gas lain yang ada pada umpan. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan sistem operasi dinamik. Dengan umpan yang dilakukan secara dinamik diharapkan masalah-masalah yang terjadi seperti terbentuknya lapisan tipis pada permukaan dalam dari membran dan terbentuknya senyawa lain yang menganggu permeabilitas hidrogen serta stabilitas pemisahan dapat dikurangi. 2.
Metode
Percobaan permeasi hidrogen menggunakan umpan berupa gas umpan CO, H2, N2, dan He sebagai balancing gas dilakukan pada operasi kontinyu. Percobaan dilakukan dengan mengalirkan gas umpan pada tube membran pada berbagai variasi laju alir gas umpan dan variasi switching time. Keseluruhan percobaan dilakukan pada variabel tetap, yaitu temperatur 623 K dan laju alir gas penyapu. Percobaan dilakukan untuk dua kondisi operasi, yaitu tunak dan tak tunak. Kondisi tunak dimaksudkan sebagai “base case”. Kondisi tak tunak dilakukan dengan mengubah laju alir atau komposisi umpan secara periodik. Kinerja permeasi H 2 melalui membran Pd75Ag25 pada kondisi tak tunak dibandingkan dengan kondisi tunak. 2.1
Prosedur
Setelah seluruh alat dan bahan disiapkan, percobaan permeasi H 2 menggunakan gas umpan H2, N2, CO, dan He dilakukan melalui beberapa langkah kerja seperti terlihat pada diagram alir kerja Gambar 1. Sebelum melaksanakan percobaan, beberapa yang perlu dikerjakan dan diperhatikan adalah pemeriksaan alat, penentuan laju alir gas umpan dan gas penyapu, dan purging. Sebelum percobaan dimulai, unit membran paladium-perak diperiksa baik tube maupun shellnya apakah ada aliran yang bocor atau tidak. Kemudian udara dialirkan kedalam tube dan shell lalu diperiksa semua sambungan dari selang penghubung yang masuk maupun yang keluar tube dan shell, kalau ada gelembung busa berarti bocor dan sebaliknya. Penentuan laju alir gas umpan dan gas penyapu dilakukan secara manual dengan mengatur bukaan valve sedemikian rupa sehingga didapatkan laju alir yang sesuai dengan rancangan percobaan. Laju alir gas diidentifikasi dengan menggunakan bubble soap flow meter. Laju alir gas umpan dan gas penyapu yang memberikan perolehan hidrogen rendah pada kondisi tunak digunakan sebagai basis pada percobaan kondisi tak tunak atau dinamik. Purging adalah pengaliran gas inert ke dalam membran tube paladium-perak dengan tujuan untuk membuang gas-gas yang ada di dalam membran tube paladium-perak. Purging dilakukan dengan mengalirkan campuran gas hidrogen dan helium selama 30 menit dan dilanjutkan dengan gas hidrogen selama 30 menit. Proses purging dilakukan hingga dipastikan pada membran tube paladium-perak bersih dari gas-gas selain hidrogen dan
333 ISBN 978-602-70361-0-9
ini dibuktikan dengan menganalisis gas keluaran pada membran tube paladium-perak dengan gas chromatography (GC). Proses purging ini dilakukan setiap akan memulai percobaan. Mulai
Tahap Persiapan Alat
Purging
Apakah masih mengandung gas selain H2 ?
Ya
Tunak
Atur laju alir gas penyapu (N2)
Tak Tunak
Atur laju alir gas umpan (H2, N2, CO, dan He)
Atur Switching time gas umpan
Atur laju alir gas penyapu (N2)
Membran Pd75Ag25 Sampel gas umpan setelah Mixer Sampling
Sampel gas produk/ permeat
Analisis GC
Interprestasi data
Selesai
Gambar 1. Diagram alir percobaan permeasi hidrogen pada membran paladium perak. 2.2
Variasi Percobaan
Untuk kondisi operasi tunak, variabel proses yang digunakan adalah laju alir umpan H2/N2 : 2/1 dan variasi gas CO mulai 1,5 ml/detik, 1,0 ml/detik, dan 0,5 ml/detik. Percobaan dilakukan 2 kali (replikasi) pada kondisi operasi yang sama. Pada operasi tak tunak, variabel yang divariasikan adalah switching time. Variasi percobaan yang akan dilakukan secara kondisi tunak maupun tak tunak dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Variasi Percobaan Umpan Kondisi Tunak
H2 2 2 2
N2 1 1 1
Laju alir umpan (ml/detik) Umpan CO He 0,5 1,0 1,0 0,5 1,5 0,0
Gas Penyapu N2 3 3 3
Tabel 2. Variasi Percobaan Umpan Kondisi Tak Tunak Laju alir umpan (ml/detik) H2 3 1 Umpan N2 1,5 0,5 CO 2,25 0,75 Gas penyapu N2 3 3 Switching time 30 detik 1 menit 3 menit 5 menit
334 ISBN 978-602-70361-0-9
2.3
Analisis Sampel
Sampel percobaan dianalisis menggunakan peralatan Gas Chromatography (GC) tipe 14-B Shidmazu. Komposisi gas umpan, produk, dan permeat diketahui dari printout GC. 14-B. Komposisi tersebut didapatkan dengan membandingkan luas area yang terbentuk antara komponen gas pada hasil GC. Komponen gas diketahui dengan membandingkan waktu retensi gas hasil GC dengan waktu retensi gas umpan hidrogen, nitrogen dan karbon monoksida murni. 3.
Hasil dan Pembahasan
Pada penelitian ini, pemisahan hidrogen dari gas umpan campuran (H2, N2, dan CO) menggunakan membran Pd75-Ag25 ditunjukkan dengan persen penjumputan hidrogen rata-rata dan time lag. Kondisi operasi yang dilakukan adalah kondisi tunak dan tak tunak. Kondisi tunak dilakukan di mana laju alir gas umpan campuran konstan selama proses operasi berjalan tanpa adanya gangguan. Kondisi tak tunak dilakukan dengan mengubahubah laju alir gas umpan campuran dengan melakukan variasi switching time (waktu pertukaran antara laju alir umpan tinggi dan rendah), yaitu 30 detik, 1 menit, 3 menit, dan 5 menit. Pada kondisi tak tunak, perbandingan laju alir umpan (H2, N2, dan CO) tinggi (FUH) dan rendah (FUL) divariasikan, yaitu 3/1 dan 2/1 dengan komposisi masing-masing umpan sama. 3.1 Kondisi Percobaan Umpan Tunak Pada kondisi tunak, gas umpan campuran dengan laju alir (H 2/N2) 2 : 1 ml/detik dan variasi laju alir gas CO 0,5 sampai 1,5 ml/detik dilakukan untuk melihat pengaruh dalam perolehan hidrogen selama operasi berlangsung. Data awal diambil 5 menit setelah gas umpan campuran (H2, N2, dan CO) masuk membran Pd75Ag25 dan waktu pengambilan data-data berikutnya dilakukan secara konstan setiap 30 menit sampai perolehan hidrogen stabil. Kriteria kestabilan perolehan H2 adalah kondisi dimana perbedaan perolehan H2 antara data dari laju alir umpan tinggi dan rendah kurang lebih 5%. Pengaruh Umpan Gas CO Percobaan ini mempelajari pengaruh variasi umpan gas CO pada permeasi hidrogen melalui membran Pd75-Ag25. Gambar 2 menunjukkan hasil percobaan untuk memperoleh pengaruh variasi gas CO pada umpan masuk membran Pd75-Ag25 pada temperatur 623 K. Pada awal operasi, perolehan hidrogen terus naik kemudian setelah tercapai kondisi maksimum perolehan hidrogen menurun sampai tercapai kondisi stabil. Gambar 2.a, perolehan hidrogen maksimal mencapai 19,05% pada waktu 125 menit, kemudian turun menuju stabil pada waktu 185 menit sampai 245 menit. Gambar 2.b, perolehan hidrogen maksimal mencapai 18,31% pada waktu 125 menit, kemudian menuju stabil pada waktu 185 menit sampai 245 menit. Gambar 2.c, perolehan hidrogen maksimal mencapai 12,03% pada waktu 125 menit, kemudian menuju stabil pada waktu 185 menit sampai 245 menit. Persen penjumputan hidrogen rata-rata pada periode stabil menurun dengan bertambahnya komposisi CO pada umpan. Tabel 3 menunjukkan persen penjumputan hidrogen rata-rata pada periode stabil dan Time lag pada beberapa variasi umpan gas CO. Pada CO = 0,5 ml/detik persen penjumputan H 2 rata-rata 13,80%, CO = 1,0 ml/detik persen penjumputan H2 rata-rata 14,42%, dan CO = 1,5 ml/detik persen penjumputan H2 rata-rata 10,60%. Hasil pada percobaan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Mejdell dkk. (2009), menyatakan bahwa kehadiran CO dapat menyebabkan penurunan kinerja membran, sehingga perolehan hidrogen juga menurun. Sebagai tambahan, satu molekul CO dapat menghalangi lebih dari satu tempat disosiasi hidrogen. Time lag pada beberapa variasi umpan gas CO pada membran Pd75-Ag25 terjadi pada rentang waktu yang sama, yaitu 185 sampai 245 menit. Time lag didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan membran Pd75-Ag25 untuk mencapai kondisi stabil pada operasi steady-state. Iwuchukwu dan Sheth (2008) menyatakan bahwa perolehan hidrogen berubah-ubah dikarenakan tahap adsorpsi dan desorpsi cenderung bergeser ke arah kesetimbangan. Tabel 3. Variasi CO dengan Penjumputan H2 rata-rata dan Time Lag pada Proses Tunak melalui Membran Pd75-Ag25 Laju alir CO pada umpan Penjumputan H2 rata-rata (ml/detik) (%) 0,5 13,80 1,0 14,42 1,5 10,60
Time Lag (menit) 185 185 185
335 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 2. Kelakuan permeasi hidrogen pada modul membran tanpa dinamisasi umpan sebagai fungsi waktu permeasi: (a) CO = 0,5 ml/detik, (b) CO = 1,0 ml/detik, (c) CO = 1,5 ml/detik. Garis horizontal menunjukkan nilai rata-rata penjumputan hidrogen, garis vertikal menunjukkan time lag. Komposisi H2/N2 = 2/1.
3.2
Kondisi Percobaan Umpan Tak Tunak
Percobaan umpan tak tunak pada membran Pd75-Ag25 dilakukan dengan mengubah-ubah total laju alir umpan masuk bergantian antara laju alir umpan tinggi dan laju alir umpan rendah. Total laju alir umpan pada percobaan umpan tak tunak sama dengan percobaan umpan tunak. Percobaan umpan tak tunak dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh perolehan hidrogen dibandingkan dengan umpan tunak. Untuk mengetahui pengaruh perubahan laju alir umpan dari laju alir tinggi ke laju alir rendah terhadap perolehan hidrogen dilakukan dengan memvariasikan switching time pada alat modulator. Switching time (waktu pertukaran antara laju alir umpan tinggi dan rendah) pada percobaan ini adalah 30 detik, 1 menit, 3 menit, dan 5 menit. Gambar 3 menunjukkan persen penjumputan hidrogen melalui membran Pd75-Ag25 sebagai fungsi waktu permeasi dalam kondisi operasi tak tunak pada variasi switching time terhadap perbandingan laju alir umpan tinggi/rendah berbeda, yaitu 3 : 1 dan 2 : 1. Masing-masing switching time menunjukkan perolehan hidrogen yang berubah-ubah. Garis horizontal menunjukkan persen penjumputan hidrogen rata-rata dan garis vertikal menunjukkan time lag. Persen penjumputan H2 rata-rata diperoleh dari rata-rata penjumputan H2 pada laju alir umpan tinggi dan laju alir umpan rendah. Perbedaan perbandingan laju alir umpan tinggi/rendah (3 : 1 dan 2 : 1) sangat mempengaruhi perolehan hidrogen. Perbandingan laju alir umpan tinggi/rendah 3 : 1 memperoleh persen penjumputan hidrogen rata-rata tertinggi, yaitu 14,44% pada switching time 30 detik. Pada switching time yang sama (30 detik), persen penjumputan hidrogen rata-rata pada perbandingan laju alir umpan tinggi/rendah 2/1, yaitu 4,53%. Perbedaan perolehan ini disebabkan pada laju alir umpan tinggi/rendah 3 : 1 terdapat umpan gas hidrogen yang besar. Penelitian Wang dkk. (2006) menyimpulkan bahwa laju alir umpan yang mengandung hidrogen tertinggi akan mencegah efek inhibisi, yaitu tertutupnya area aktif permukaan membran akibat dari terbentuknya molekul NHx. Pengaruh switching time pada perolehan hidrogen dengan kondisi tak tunak lebih tampak terlihat pada perbandingan laju alir umpan tinggi/rendah 3 : 1 dari pada perbandingan laju alir umpan tinggi/rendah 2 : 1. Perbandingan laju alir umpan tinggi/rendah 3 : 1 memberikan tekanan umpan yang lebih besar sehingga membuat laju alir umpan lebih dinamik. Chen dan Chiu (2009), mengatakan bahwa untuk menghasilkan penjumputan hidrogen bervariasi, yaitu dengan memberikan tekanan umpan yang dinamik. Kondisi umpan yang dinamik pada membran Pd75-Ag25 ini berakibat perolehan hidrogen yang tinggi.
336 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 3. Kelakuan permeasi hidrogen pada modul membran dengan umpan dinamik sebagai fungsi waktu permeasi: (a, b) ts = 30 detik, (c, d) ts = 1 menit, (e, f) ts = 3 menit, (g, h) ts = 5 menit, ts = Switching time. (a, c, e, g) FUH/FUL = 3 : 1. (b, d, f, h) FUH/FUL = 2 : 1. Garis Vertikal menunjukkan time lag, garis horizontal menunjukkan penjumputan H2 rata-rata. 3.2.1. Pengaruh Variasi Switching Time pada Time Lag Switching time yang bervariasi pada percobaan umpan tak tunak memberikan pengaruh pada perolehan H 2 dan juga pada time lag. Gambar 4.a menunjukkan pengaruh switching time terhadap perolehan H2 pada membran Pd75Ag25. Persen penjumputan H2 rata-rata pada perbandingan laju alir umpan tinggi/rendah 3 : 1 berbanding tebalik dengan switching time (semakin besar switching time perolehan hidrogen semakin menurun). Pada perbandingan laju alir umpan tinggi/rendah 2 : 1 setelah switching time 1 menit memperlihatkan pola perolehan hidrogen semakin tinggi. Switching time 30 detik menunjukkan persen penjumputan hidrogen rata-rata tertinggi, pada laju alir umpan tinggi/rendah 3 : 1 sebesar 14,44% dan pada laju alir umpan tinggi/rendah 2 : 1 sebesar 4,53%. Semakin lama switching time semakin lama gas umpan campuran melewati membran yang berakibat gas-gas selain H2, yaitu N2 dan CO menyebabkan perolehan hidrogen terhambat. Hasil percobaan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wang dkk. (2006) menyatakan bahwa, kehadiran gas-gas lain pada umpan (CO dan N2) akan mempengaruhi perolehan hidrogen pada membran Pd75-Ag25. Gambar 4.b menunjukkan pengaruh switching time terhadap time lag. Pengaruh switching time pada perbandingan laju alir umpan tinggi/rendah 3 : 1 dan 2 : 1 dimulai antara 35 sampai 65 menit.
Gambar 4. Kelakuan membran Pd75-Ag25, variasi switching time terhadap pada: (a) % penjumputan H2, (b) time lag.
337 ISBN 978-602-70361-0-9
4.
Kesimpulan
Bertambahnya konsentrasi CO pada umpan mengakibatkan penurunan fluks hidrogen. Sistem operasi dinamik memberikan perolehan hidrogen yang lebih besar dari sistem tunak. Switching time yang menghasilkan perolehan hidrogen paling besar dan time lag yang kecil adalah switching time 30 detik. Sistem operasi dinamik dengan perbandingan laju alir umpan yang lebih besar (FUH/FUL : 3/1) akan menghasilkan perolehan hidrogen yang maksimum dari pada perbandingan laju alir umpan kecil (FUH/FUL : 2/1). Daftar Pustaka Akis, B.C. (2004): Preparation of Pd-Ag/PSS Composite Membranes for Hydrogen Separation, A-Thesis from Worcester Polytechnic Institute in The United States of America, 5-10. Basile, A., Chiappetta, G., Tosti, S., Violante, V. (2001): Experimental and simulation of both Pd and Pd/Ag for a water gas shift membrane reactor, Journal of Separation and Purification Technology, 25, 549-571. Criscuoli, A., Basile, A., Driolli, E. (2000): An Analysis of the performance of membrane reactors for the water gas shift reaction using gas feed mixtures, Journal of Catalysis Today, 56, 53-64. Chen, W-H., Chiu, I. (2009): Transient dynamic of hydrogen permeation through a paladium membrane, Journal of Hydrogen Energy,1 – 9. Dittmeyer, R., Hollein, V., Daub, K. (2001): Membrane reactors for hydrogenation and dehydrogenation processes based on supported palladium, Journal of Molecular Catalysis A: Chemical, 173, 135-184. Foletto, E.L., Wirbitzki Da Salviera, J.V., Jahn, S.L. (2008): Preparation of palladium-silver alloy membranes for hydrogen permeation, Latin American Applied Research, 38, 79-84. Holladay, J.D., Hu, J., King, D.L., Wang, Y. (2009): An overview of hydrogen production technologies, Journal of Catalysis Today, 139, 244-260. Haryanto, A., Fernando, S., Adhikari (2007): Ultrahigh temperature water gas shift catalysis to increase hydrogen yield from biomass gasification, Journal of Catalysis Today, 129, 269-274. Ishitsuka, M., Hara, S., Mukaida, M., Haraya, K., Kita, K., Kato, K. (2008): Hydrogen separation from dry gas mixtures using a membrane module consisting of palladium coated a morphous alloy, Journal of Desalination, 234, 293-299. Iwuchukwu, I, J., Sheth A. (2008): Mathematical modeling of high temperature and high-pressure dense membrane separation of hydrogen from gasification, Chemical Engineering and Processing, 47, 1292-1304. Li, X., Liu, T.M., Fan, Y.Q., Xu, N.P. (2008): Preparation of composite palladium-silver alloy membranes by photocatalytic deposition, Article in Press of Thin Solid Films of Science Direct, 516, 7282-7285.
338 ISBN 978-602-70361-0-9
Aktivitas Antimikroba dan Uji Efektivitas Pengawet Ekstrak Etanol Selaput dan Biji Buah Galinggem Dewi Meliati Agustini 1*, Putranti A. 2, Rahmaniar1 1
Jurusan Kimia FMIPA UNJANI, Cimahi; 2 Jurusan Farmasi UNJANI, Cimahi. * E-mail:
[email protected]
Abstract This research aimed to know the potential of ethanol extracts of fruit membrane and seeds galinggem as natural coloring and food preservative from antimicrobial activity and effectiveness of preservative. Stages of research has conducted includes sample preparation, maceration, evaporating, antimicrobial assay by method of diffusion perforation against Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Aspergillus niger and Candida albicans, preservative effectiveness test toward colorless jelly which coloring with extract, and antibacterial test by diffusion discs method against S. aureus and E. coli. The results showed that the extract concentration range at 20%-80% provided inhibitory activity against P. aeruginosa, S. aureus and A. niger. The test of preservatives effectiveness on colorless jelly which coloring with extract 20% showed more effective as a preservative on day 1st storage because the population of all microbial testing has decreased significantly. But in terms of aesthetics, the appearance of jelly with extract 20% isn’t very good. In the further research need to try with the variation concentration extract is less than 20% because based on the antibacterial test against S. aureus showed inhibitory activity on the extract 5%. The ethanol extracts of fruit membrane and seeds galinggem have potential as a food natural coloring and preservative. Keywords: Galinggem, natural food dyes, ethanol extract of fruit seeds and membrane galinggem, test the antimicrobial, preservative effectiveness test
1.
Pendahuluan
Tumbuhan Bixa orellana Linn atau Annatto tree (Inggris) merupakan tumbuhan obat yang termasuk ke dalam famili tumbuhan Bixaceae, dikenal dalam bahasa daerah yaitu Galinggem (Sunda), bunga Parada (Bugis), Kunyit Jawa (Melayu), Taluka (Ambon), Kesumba (Minangkabau), Jarak Balanda (Malaysia) dan Sumba Keling (Jawa). Tumbuhan ini merupakan tumbuhan yang kaya akan berbagai kandungan senyawa kimia yang sudah diketahui misalnya pada bagian batang dan daun terdapat tanin, kalsium oksalat, saponin, lemak. Pada akar dan biji terdapat zat warna di antaranya adalah orelin, zat samak, dammar, dan biksin, serta norbiksin (Hariana, 2009). Di Indonesia, tumbuhan ini digunakan sebagai tumbuhan pagar, peneduh dan penghias jalan karena daunnya lebat dan bunganya indah (Departemen Kehutanan R.I., 2006). Seperti tanaman Kunyit yang mengandung pigmen zat warna kukurmin yang tergolong kelompok karotenoid, tumbuhan galinggem juga merupakan salah satu tumbuhan yang menghasilkan pigmen zat warna kelompok karotenoid juga yang dapat digunakan sebagai pewarna makanan, kosmetik dan tekstil. Sebagai pewarna makanan, biji buah tumbuhan galinggem dan ekstraknya telah digunakan oleh produsen produk susu seperti keju dan mentega serta di India diaplikasikan pada pewarnaan untuk daging manis. Di tingkat kepentingan ekonomi dunia, pigmen ini menempati peringkat kedua setelah karamel dengan perkiraan kebutuhan dunia 14.500 ton biji galinggem dengan harga rata-rata US$ 1100/mton biji. Sebagai pewarna makanan, biji buah tumbuhan galinggem dan ekstraknya telah digunakan hampir 70 % oleh produsen produk susu seperti keju dan mentega serta di India telah diaplikasikan pada pewarnaan untuk daging manis (Venugopalan et al., 2011, Chattopadhyay et al., 2004, Lemmens et al., 1992, Scotter, 2009, Balaswamy et al., 2012). Menambahkan warna pada bahan makanan seperti makanan komersial dan tradisional terutama untuk menarik konsumen. Penggunaan warna makanan sintetis mengakibatkan masalah pada kesehatan masyarakat. Annatto dari tumbuhan Galinggem (B. orellana L.) merupakan salah satu zat warna makanan yang berasal dari alam tertua yang dikenal untuk aplikasi dalam persiapan berbagai makanan dan diakui sebagai yang aman. Menurut FAO / WHO, batas ADI untuk Biksin adalah 0-12 mg / kg berat badan dan norbiksin 0-0,6 mg berat / kg badan. Sesuai Peraturan Standar Keselamatan Makanan India, batas maksimum yang diizinkan untuk annatto dalam makanan adalah 200 ppm, kecuali disebutkan kebijakan yang lain (Balaswamy et al., 2012).
339 ISBN 978-602-70361-0-9
Di Indonesia, tumbuhan ini hanya berfungsi sebagai peneduh dan penghias jalan serta digunakan hanya sebagai pewarna tekstil. Untuk meningkatkan nilai ekonomis tumbuhan ini di Indonesia maka dicoba diterapkan sebagai pewarna alami makanan tetapi di Indonesia sendiri belum ada ketentuan tingkat keamanan untuk ekstrak selaput dan biji Galinggem yang bersifat mudah larut dalam air. Dari hasil penelitian uji toksisitas akut yang dilakukan oleh Agustini dkk (2013) terhadap ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem menunjukkan ekstrak tersebut tidak toksik, aman, dan dapat digunakan sebagai pewarna alami makanan. Hasil uji pertumbuhan mikroba dengan Metode Cawan Sebar dengan waktu penyimpanan selama tiga hari dalam lemari es terhadap tahu putih hasil pewarnaan dengan 3% ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem menunjukkan pertumbuhan mikroba yang lebih kecil dibandingkan dengan tahu putih hasil pewarnaan dengan 3% ekstrak kunyit. Sehingga dari hasil tersebut diperkirakan ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem dapat memberikan sifat antimikroba. Hasil review yang dilakukan Venugopalan et al. (2011) terhadap tumbuhan B. orellana L. bahwa ekstrak annatto menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap Clostridium perferingens dan C. botulinum. Ekstrak daun dan bijinya juga menunjukkan aktivitas antimikroba spektrum luas, hasil ini mendukung penggunaan tumbuhan ini sebagai obat tradisional untuk mengobati sakit tenggorokan dan kebersihan mulut. Ekstrak daunnya pun mempunyai aktivitas antifungal dan ekstrak batangnya juga mempunyai aktivitas antigonorrheal. Hal yang serupa ekstrak bunga dan daun mempunyai aktivitas antibakteri secara in vitro terhadap E. coli, Shigella dysenteriae, dan Staphylococcus sebagai agen penyebab diare dan disentri. Dengan diketahui potensi dan keamanan sebagai zat pewarna makanan dan potensi antimikroba tersebut maka dilakukan penelitian tentang aktivitas antimikroba dan efektivitas pengawet ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem untuk mengetahui sifat antimikroba ekstrak untuk mengetahui konsentrasi efektif ekstrak yang diaplikasikan sebagai pewarna alami makanan yang juga dapat berlaku sebagai pengawet untuk beberapa jenis makanan yang tidak tahan lama pada uji efektivitas pengawet dan konsentrasi efektif ekstrak untuk diaplikasikan pada bahan pangan. Keutamaan dari penelitian lanjutan ini diharapkan dapat meningkatkan manfaat serta potensi zat warna dari buah galinggem sebagai zat pewarna dan pengawet pangan alami beberapa makanan dan minuman yang cenderung bersifat tidak tahan lama, dan meningkatkan daya guna tumbuhan galinggem tidak hanya sebagai peneduh dan penghias jalan tetapi mempunyai potensi nilai ekonomis untuk dibudidayakan sebagai sumber zat pewarna dan pengawet alami. Selanjutnya diharapkan Indonesia dapat sebagai produsen ekstrak annatto dan biksin yang bernilai ekonomi tinggi di tingkat dunia. 2.
Metode
Bahan – bahan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah selaput dan biji buah galinggem, lima biakan mikroba dari PAU Teknik Kimia ITB yaitu biakan bakteri E. coli, S. aureus, P. aeruginosa, biakan kapang A. niger, biakan khamir C. albicans, media pertumbuhan Nutrient Agar (NA), media pertumbuhan Sabouraud Dextrose Agar (SDA), serbuk agar-agar tidak berwarna Swallow, akuades, larutan NaCl fisiologis (0,9%), Dimetilsulfoksida (DMSO), pelarut etanol absolut. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat gelas, spatula, oven, kulkas, neraca analitik, mikropipet, stomacher, cawan petri,ose, inkubator, autoklaf, Spektrofotometer UV-Vis (Hp 8452 A Shimadzu). 2.1
Uji Aktivitas Antimikroba (Departemen Kesehatan RI, 1995)
Semua mikroba uji dilakukan peremajaan dalam media pertumbuhan yang sesuai. Bakteri E. coli, S. aureus, dan P. aureginosa dalam media NA dan diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Kapang A. niger dalam media SDA dan diinkubasi pada 250C selama 5 hari. Khamir C. albicans dalam media SDA dan diinkubasi pada 300C selama 3 hari. Ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem dibuat variasi konsentrasi 0%, 2,5%, 5%, 10%, 20%, 40%, 60% dan 80% dengan pelarut etanol absolut dan jika masih ada yang tidak larut ditambahkan sejumlah tertentu pelarut DMSO sehingga semua ekstrak terlarut sempurna. Semua mikroba yang akan dikontakkan dengan bahan uji harus dibuat suspensi dengan jumlah populasi tertentu, yaitu antara 100 ribu sampai satu juta koloni. Suspensi mikroba dibuat dengan larutan NaCl fisiologis kemudian diukur transmitansnya. Jumlah populasi mikroba uji dibuat dengan cara mengatur kekeruhan suspensinya dengan alat spektrofotometer visibel pada panjang gelombang 258 nm. Kekeruhan suspensi semua bakteri dan khamir diatur pada transmitans T = 25% dan suspensi kapang diatur pada transmitans 10%. 2.1.1
Uji Antibakteri
Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan menentukan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dengan metoda difusi-perforasi. Suspensi bakteri yang telah dibuat dan diukur kekeruhannya dipipet 1 mL ke dalam cawan petri masing-masing dan ditambahkan media agar NA cair yang telah disterilkan, dihomogenkan dengan dilakukan pemutaran cawan ke depan dan ke belakang atau membentuk angka delapan dan didiamkan
340 ISBN 978-602-70361-0-9
sampai menjadi padat. Setelah media agarnya memadat, dibuat enam lubang di tiap cawan petri dengan diameter 8 mm dengan menggunakan blue tip steril. Keenam lubang diperuntukkan untuk konsentrasi ekstrak 20%, 40%, 60%, 80%, blanko pelarut etanol absolut dan pelarut DMSO. Kemudian masing-masing 50 µL sampel ekstrak dengan variasi konsentrasi tersebut dimasukkan pada lubang yang telah dibuat. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Diamati dan diukur diameter daerah terang/bening yang menunjukkan daerah terjadinya hambatan. Pengerjaan di atas dilakukan duplo/triplo. 2.1.2 Uji Antijamur Pengujian aktivitas antijamur dilakukan dengan menentukan KHM dengan metoda difusi-perforasi. Masing-masing suspensi kapang dan khamir yang telah dibuat dan diukur kekeruhannya dipipet 1 mL ke dalam cawan petri masing-masing dan ditambahkan media agar SDA cair yang telah disterilkan, dihomogenkan dengan dilakukan pemutaran cawan ke depan dan ke belakang atau membentuk angka delapan dan didiamkan sampai menjadi padat. Setelah media agarnya memadat, dibuat enam lubang di tiap cawan petri dengan diameter 8 mm dengan menggunakan blue tip steril. Keenam lubang diperuntukkan untuk konsentrasi ekstrak 20%, 40%, 60%, 80%, blanko pelarut etanol absolut dan pelarut DMSO. Kemudian masing-masing 50 µL sampel ekstrak dengan variasi konsentrasi tersebut dimasukkan pada lubang yang telah dibuat. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 3 hari untuk uji dengan C. albicans dan untuk uji dengan A. niger diinkubasi pada suhu kamar selama 5-7 hari. Diamati dan diukur diameter daerah terang/bening yang menunjukkan daerah terjadinya hambatan. Pengerjaan di atas dilakukan duplo/triplo. 2.2
Penyiapan Bahan Uji dan Pengujian Efektivitas Bahan Pengawet
Penyiapan bahan uji dan pengujian efektivitas bahan pengawet dilakukan mengacu pada prosedur dalam Farmakope Indonesia edisi IV yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI (1995) dengan modifikasi. 2.3
Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode Difusi Cakram Mc Farland terhadap Ekstrak Etanol Selaput dan Biji Buah Galinggem pada Rentang Konsentrasi 0%, 2,5%, 5%, 10% dengan Blanko Larutan 0,25% NaOH dalam Etanol
Metoda ini mengacu pada Stephen (2005) dilakukan terhadap ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem dengan rentang konsentrasi di bawah 20% untuk mengamati ada tidaknya hambatan dengan konsentrasi tersebut di atas dengan blanko larutan 0,25% NaOH dalam etanol. Dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pelayanan Jurusan Kimia Universitas Padjadjaran karena pada metode difusi-perforasi yang telah dilakukan tidak terjadi difusi sampel dalam media agarnya. 3.
Hasil dan Pembahasan
3.1
Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Selaput dan Biji Buah Galinggem
Hasil uji aktivitas antimikroba pada rentang konsentrasi ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem 0%, 20%, 40%, 60% dan 80% dengan metoda difusi-perforasi menunjukkan aktivitas penghambatan. Sedangkan hasil uji aktivitas antimikroba pada rentang konsentrasi ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem 2,5%, 5%, dan 10% dengan metoda difusi-perforasi tidak menunjukkan adanya penghambatan dikarenakan tidak terdifusinya sampel tersebut ke dalam media agar. Sampai pengulangan duplo masih terjadi hal yang sama sehingga kemudian pada akhirnya dilakukan uji aktivitas antimikroba di rentang konsentrasi tersebut di Laboratorium Penelitian dan Pelayanan Jurusan Kimia Universitas Padjadjaran dengan metoda Difusi Cakram Mc Farland. Tabel 1. Diameter Hambat Ekstrak Etanol Selaput dan Biji Buah Galinggem terhadap Lima Mikroba Uji No.
1. 2. 3. 4.
Konsentrasi Uji Ekstrak Etanol Selaput & Biji Buah Galinggem (%)
Diameter Hambat Terhadap Mikroba Uji
E. coli
P. aeruginosa
S. aureus
A. niger
C. albicans
20 40 60 80
-
16,02 ± 0,38 20,8 ± 0,40 23,05 ± 0,78 26,5 ± 0,25
15,68 ± 0,06 19,33 ± 0,52 16,15 ± 1,03 18,53 ± 2,71
10,93 ± 0,24 12,15 ± 0,07 12,46 ± 1,56 11,46 ± 0,22
-
341 ISBN 978-602-70361-0-9
Hasil uji aktivitas antimikroba dari Tabel 1 menunjukkan bahwa ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem dengan rentang konsentrasi 20%, 40%, 60%, dan 80% memberikan aktivitas penghambatan terhadap P. aeruginosa, S. aureus, dan A. niger yang ditandai dengan terbentuknya zona inhibisi yang dari nilai diameternya menunjukkan aktivitas penghambatan dalam rentang yang cukup kuat sampai kuat. Sedangkan terhadap E. coli dan C. albicans pada rentang konsentrasi tersebut di atas, ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem tidak menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap E. coli dan C. albicans yang ditandai dengan tidak terbentuknya zona inhibisi. Hasil yang ditunjukkan dari Tabel 1 juga memberikan informasi bahwa pada konsentrasi ekstrak 20% merupakan konsentrasi minimum pada rentang tersebut yang dapat menghambat pertumbuhan ketiga mikroba uji yaitu P. aeruginosa, S. aureus, dan A. niger, sehingga kemudian dipilih sebagai konsentrasi yang akan digunakan dalam uji efektivitas pengawet karena belum diperoleh data hasil uji dari Laboratorium Penelitian dan Pelayanan Jurusan Kimia UNPAD untuk rentang konsentrasi di bawah 20% karena dengan metoda difusi-perforasi pada rentang konsentrasi tersebut dapat dinyatakan gagal karena sampel ekstrak tidak dapat berdifusi. Sampel ekstrak tidak dapat berdifusi kemungkinan konsentrasi yang terlalu rendah untuk metoda ini atau pemilihan pelarut yang kurang tepat untuk konsentrasi rendah untuk metoda ini sehingga dicoba metoda lain. 3.2.
Pengujian Efektivitas Pengawet Ekstrak Etanol Selaput dan Biji Buah Galinggem terhadap Bahan Pangan Agar-agar
Pengujian dilakukan dengan membandingkan jumlah mikroba uji yang sengaja dikontakkan dalam pangan sebelum dan setelah penyimpanan. Populasi awal mikroba uji pada pengujian pertama ini adalah 567 x 10 4 untuk C. albicans, 68,5 x 105 untuk A. niger, 1650 x 104 untuk E.coli, 1178 x 104 untuk P. aeruginosa, dan 361 x 104 untuk S. aureus. Penyimpanan hari ke-1, ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem yang ditambahkan ke dalam bahan pangan uji yaitu agar-agar tidak berwarna dapat menurunkan populasi S. aureus, P. aeruginosa, dan E.coli hingga di atas 99% dan juga menurunkan populasi C. albicans hingga di atas 91%, sedangkan terhadap A. niger hanya menurunkan sekitar 50%-nya. Penyimpanan hari ke-3, ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem yang ditambahkan ke dalam bahan pangan uji yaitu agar-agar tidak berwarna dapat menurunkan populasi S. aureus, P. aeruginosa, dan E.coli dalam rentang 94-100% populasi mikroba dan juga dapat menurunkan populasi A.niger hingga 73%. Tetapi terhadap C. albicans terjadi peningkatan populasi, kemungkinan hal tersebut tidak terdistribusi secara merata ekstrak tersebut ke dalam botol uji untuk mikroba tersebut. Penyimpanan hari ke-5, ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem yang ditambahkan ke dalam bahan pangan uji yaitu agar-agar tidak berwarna dapat menurunkan populasi S. aureus dan C. albicans hingga 100% populasi awal, terhadap P. aeruginosa, dan E.coli dapat diturunkan hingga 99% sedangkan terhadap A.niger hanya dapat diturunkan di rentang 55%. Penyimpanan hari ke-7, ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem yang ditambahkan ke dalam bahan pangan uji yaitu agar-agar tidak berwarna dapat menurunkan populasi C. albicans hingga 100% populasi awal, dan dapat menurunkan populasi S. aureus, P. aeruginosa, dan E.coli di rentang 99% populasi awal. Sedangkan terhadap populasi A. niger hanya turun hingga di rentang 70% populasi awal. Senyawa metabolit sekunder utama yaitu norbiksin dan biksin yang memberikan warna yang terkandung dalam ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem dengan konsentrasi 20% ini mampu menghambat mikroba kontaminan pada pangan yaitu E. coli, S. aureus, P. aeruginosa, C. albicans, dan A. niger. Selama penyimpanan selama 7 hari, pertumbuhan populasi C. albicans dapat dihambat hingga hari ke-1 dan ke-3, A. niger dapat dihambat hingga hari ke-1 sampai 7, E. coli dapat dihambat hingga hari ke-1, 5, dan 7. Sedangkan P. aeruginosa dapat dihambat hingga hari ke-1 sampai dengan hari ke-7, dan terhadap S. aureus dapat dihambat hingga hari ke1, 3, dan 7. Suatu bahan dianggap efektif sebagai bahan pengawet apabila populasi mikroba yang dapat hidup jumlahnya tetap atau berkurang 0,1% dari jumlah populasi awal. Penggunaan ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem pada konsentrasi 20% lebih efektif di hari ke-1 karena semua mikroba uji mengalami penurunan jumlah populasi yang signifikan.
Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Lima Mikroba Uji dalam Sampel Bahan Pangan Uji
342 ISBN 978-602-70361-0-9
Ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem belum dapat dikatakan efektif sebagai pengawet alami karena adanya kandungan ion Na+ pada ekstrak dan diduga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Hal ini akan dibuktikan dalam pengujian antimikroba berikut dengan blanko pelarut 0,25% NaOH dalam etanol memberikan daerah hambatan atau tidak. Penggunaan NaOH dalam proses ekstraksi senyawa biksin dan norbiksin dari selaput biji buah galinggem telah dilakukan pula oleh Chowdhurry et al. (2010) dan Sharma et al. (2013) dan proses tersebut termasuk proses ekstraksi reaktif. Ekstraksi reaktif yaitu ekstraksi dengan menggunakan reaksi kimia. Ekstraksi reaktif dilaporkan menjadi metode yang efektif untuk pemisahan selektif senyawa tertentu dari campurannya seperti asam karboksilat, antibiotik, dan lain-lain (Sharma et al., 2013). Penggunaan NaOH 0,25 gram dalam 100 mL pelarut etanol adalah untuk mengubah gugus karboksilat dari norbiksin menjadi garamnya sehingga dapat larut dalam air, dan dengan adanya NaOH pun dapat menghidrolisis gugus ester dalam senyawa biksin menjadi gugus karboksilat yang kemudian akan tergaramkan juga menjadi garam norbiksin yang mudah larut dalam air. Senyawa biksin cenderung kurang larut baik dalam air. Berdasarkan penelitian yang dilaporkan oleh Sharma et al. (2013) bahwa norbiksin dapat diperoleh dari tumbuhan annatto melalui ekstraksi reaktif dan pemurniannya dengan menggunakan Aliquat-336 sebagai zat pembawa untuk pemisahan pigmen pewarna dari bahan inert yang lain (Sharma et al., 2013). Tetapi pada umumnya senyawa organik dengan gugus karboksilat kelarutannya dalam air akan lebih tinggi jika diubah menjadi garamnya. Dan pada umumnya biksin dan norbiksin banyak digunakan sebagai pewarna alami untuk bahan pangan dengan media minyak atau lemak. Sehingga selanjutnya akan diuji aktivitas antimikroba dengan blanko larutan 0,25% NaOH dalam etanol untuk mengetahui apakah dengan adanya ion Na+ memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan mikroba uji atau tidak. 3.3
Hasil Uji Aktivitas Antibakteri dengan Metode Difusi Cakram Mc Farland terhadap Ekstrak Etanol Selaput dan Biji Buah Galinggem pada Rentang Konsentrasi 0%, 2,5%, 5%, 10% dengan Blanko Larutan 0,25% NaOH dalam Etanol
Metoda ini mengacu pada Stephen (2005) dilakukan terhadap ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem dengan rentang konsentrasi di bawah 20% untuk mengamati ada tidaknya hambatan dengan konsentrasi tersebut di atas dan ada tidaknya hambatan terhadap blanko larutan 0,25% NaOH dalam etanol. Dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pelayanan Jurusan Kimia Universitas Padjadjaran karena pada metode difusiperforasi yang telah dilakukan tidak terjadi difusi sampel dalam media agarnya. Hasil jasa analisis ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem pada rentang konsentrasi 2,5%, 5% dan 10% dengan kontrol negatif pelarut air serta kontrol positif Amoxicillin (10.000 ppm) terhadap bakteri E. coli ATCC 25922 turunan >30 dengan metoda Difusi Cakram Mc Farland (duplo) menunjukkan bahwa ekstrak tersebut dengan rentang konsentrasi tersebut di atas tidak memberikan aktivitas penghambatan terhadap bakteri E. coli yang ditandai dengan tidak terbentuknya zona inhibisi. Hasil jasa analisis ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem pada rentang konsentrasi 2,5%, 5%, 10%, 20%, 40%, 60% dan 80% dengan blanko larutan NaOH 0,25% dalam etanol, kontrol negatif pelarut air serta kontrol positif Amoxicillin (10.000 ppm) terhadap bakteri S. aureus ATCC 6538 turunan >30 dengan metoda Difusi Cakram Mc Farland (duplo) menunjukkan bahwa ekstrak tersebut pada konsentrasi 2,5% tidak memberikan aktivitas penghambatan terhadap bakteri S. aureus yang ditandai dengan tidak terbentuknya zona inhibisi, sedangkan pada rentang konsentrasi ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem 5%, 10%, 20%, 40%, 60%, dan 80% memberikan aktivitas penghambatan terhadap bakteri S. aureus yang ditandai dengan terbentuknya zona inhibisi berturut-turut adalah 7,40 mm, 9,00 mm, 12,78 mm, 13,08 mm, 12,85 mm dan 13,28 mm. Larutan blanko yaitu larutan NaOH 0,25% dalam etanol dan kontrol negatif yaitu pelarut air menunjukkan tidak adanya aktivitas penghambatan terhadap bakteri tersebut yang ditandai dengan tidak terbentuknya zona inhibisi. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya ion Na+ dalam ekstrak sebagai pembentuk garam dari gugus karboksilat norbiksin tidak memberikan efek penghambatan terhadap bakteri uji baik S. aureus dan E. coli sehingga pada uji efektivitas pengawet pengaruh ion Na+ bukanlah penyebab utama terjadinya penurunan jumlah populasi kedua bakteri uji tersebut di atas. Sedangkan terhadap bakteri P. aeruginosa, kapang A. niger dan khamir C. albicans, Laboratorium Penelitian dan Pelayanan Jurusan Kimia Universitas Padjadjaran tidak dapat melakukan jasa analisis di rentang konsentrasi ekstrak 2,5%, 5% dan 10% serta pada blanko larutan NaOH 0,25% dalam etanol sehingga untuk sementara waktu ini belum dapat membuktikan pengaruh ion Na+ dalam penurunan populasi bakteri P. aeruginosa, kapang A. niger dan khamir C. albicans dalam uji efektivitas pengawet yang telah dilakukan. Aktivitas penghambatan bakteri S. aureus pada konsentrasi ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem 5% mengarahkan untuk penelitian lanjutan berikutnya penggunaan konsentrasi 5% untuk pewarnaan bahan pangan yang selanjutnya dilakukan uji efektivitas pengawet sehingga kemudian dapat diketahui apakah dengan konsentrasi ekstrak 2,5% dan 5% masih efektif atau tidak sebagai pengawet dibandingkan dengan konsentrasi ekstrak yang 20%. Dari segi estetika penampilan bahan pangan yang diwarnai dengan ekstrak 20% tidak terlalu baik (tidak menarik) sehingga perlu dicoba pewarnaan bahan pangan dengan konsentrasi ekstrak 2,5% dan 5% agar memperoleh penampilan bahan pangan dari segi estetika menarik untuk dilihat dan untuk memakannya.
343 ISBN 978-602-70361-0-9
Pada penelitian ini karena menipisnya ketersediaan ekstrak dikarenakan tumbuhan galinggem termasuk tumbuhan yang berbuah pada waktu tertentu saja sehingga belum dapat dilakukan uji efektivitas pengawet pada bahan uji agar-agar tidak berwarna dan tahu putih pada konsentrasi ekstrak 2,5% dan 5%. 4.
Kesimpulan
Ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem dengan konsentrasi 20%, 40%, 60% dan 80% menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap bakteri P. aeruginosa, S. aureus dan kapang A. niger, sedangkan terhadap bakteri E. coli dan khamir C. albicans tidak menunjukkan aktivitas penghambatan. Penggunaan ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem pada konsentrasi 20% pada bahan uji berbasis karbohidrat yaitu agar-agar tidak berwarna lebih efektif pada penyimpanan hari ke-1 karena semua mikroba uji mengalami penurunan jumlah populasi yang signifikan. Dari segi estetika penampilan bahan pangan yang diwarnai dengan ekstrak 20% tidak terlalu baik (tidak menarik). Ekstrak etanol selaput dan biji buah galinggem pada konsentrasi 5% masih dapat memberikan aktivitas penghambatan terhadap bakteri S. aureus. Adanya ion Na+ dalam ekstrak bukan penyebab utama penurunan populasi bakteri uji. Ucapan Terimakasih Terimakasih kepada LPPM Unjani yang telah mendanai penelitian ini. Daftar Pustaka Agustini, D.M., Faizal Hermanto, P. Adirestuti, R. Mulyani, 2013. Pengembangan Potensi Selaput dan Biji Buah Galinggem sebagai Pewarna Alami untuk Makanan. Laporan Akhir Hibah Penelitian Unggulan Tahun ke 1. UNJANI. Balaswamy, K., PG Prabhakara Rao, MB Prabhavathy and A Satyanarayana, 2012. Application of annatto (Bixa orellana L.) dye formulations in Indian traditional sweetmeats: Jilebi and jangri. Indian Journal of Traditional Knowledge 11(1):103-108. Chattopadhyay, I., Biswas, K., Bandyopadhyay, U. And Banerjee R.K., 2004. Tumeric and Curcumin : Biological action as medicinal application. Current Science. 87 (1) : 44-53. Chowdhury, A.I., Md. A.I. Molla, M/ Sarker, A.A. Rana, S.K. Ray, H.P. Nur, and M.M. Karim, 2010. Preparation of edible grade dye and pigments from natural sources Bixa orellenae Linn. International Journal of Basic and Applied Sciences IJBAS-IJENS 10(04):7-22. Departemen Kehutanan R.I., 2006. Daftar Binaan Tanaman. Direktori Jendral Perkebunan. Jakarta, hal 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV, Depkes RI. Jakarta. Hariana, A., 2009. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2, Penebar Swadaya, Bogor, hal 49-50. Lemmens, R. H. M. J., 1992. Dye and Tanin-Producing Plants. Plant Resources of South East Asia, No. 3 Scholarone, 2009. Food Additives and Contaminants. TFAC-2009-079. R1. Hal 2. Scotter, M, 2009. The chemistry and analysis of annatto food colouring: a review. J. Food additives and Contaminants: 1-83. Sharma, P., Bora, M.M., Borthakur, S., Rao, P.G., Dutta, N.N., 2013. Separation of Norbixin from Bixa orellana Seed Raw Dye by Aliquat-336. Environmental Progress & Sustainable Energy 32 (1) DOI 10.1002/ep: 134138. Stephen, J., 2005, Manual of Antimicrobial Susceptibility Testing, American Society for Microbiology. Venugopalan, A., P. Giridhar and G.A. Ravishankar, 2011. Food, Ethnobotanical and Diversified Applications of Bixa orellana L. : A Scope For Its Improvement Through Biotechnological Mediation. Indian Journal of Fundamental and Applied Life Science. 1(4) : pp. 9-31.
344 ISBN 978-602-70361-0-9
Isolasi dan Karakterisasi Morfologi Bakteri Nitrifikasi Indigen dari Limbah Cair Industri Pupuk Urea Sri Wardhani1*, Moh. Rasyid Ridho2, Arinafril3, Susila Arita4, Ngudiantoro2 1
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Unsri, Jl Padang Selasa no. 524 Palembang 2 Fakultas MIPA Unsri, Jln Raya Palembang Prabumulih KM 32 Inderalaya 3 Fakultas Pertanian Unsri, Jln Raya Palembang Prabumulih KM 32 Inderalaya 4 Fakultas Teknik Unsri, Jln Raya Palembang Prabumulih KM 32 Inderalaya *)
E-mail:
[email protected]
Abstract Industrial wastewater treatment biologically can be done by using bacteria. Naturally to obtain the bacteria which have the potential to decompose pollutants can be done by isolating the bacteria contained in the waste itself which is called bacterial indigen. Bacteria which is obtained through indigen way has a better adaptability. Isolation and characterization of cell morphology and nitrifying bacteria colonies derived from urea fertilizer industrial wastewater have been done. The objective of this study aims to do the isolation and characterization of nitrifying the morphology of the bacteria colony as the initial stage of the identification process, which includes refining, observation the morphology of the colony, cell shape ,and Gram staining. Isolation and enrichment are done by using a liquid medium Winogradsky. Dilutions of samples culture are taken from three levels of dilution. Purification was carried out in order to obtain medium Nutrient Agar culture samples. The selection is done with the viability of using a medium which has two sources of nitrogen, namely Zobell Agar medium so that the synthetic ammonia added. The results were obtained 20 isolates that have different morphological forms of colonies, with two kinds of cells which form cocci and bacilli. Keywords: isolation, characterization of morphology, urea fertilizer industrial wastewater, nitrifying bacteria
1.
Pendahuluan
Proses produksi dari kegiatan industri pupuk urea selain menghasilkan produk yang diinginkan, juga menghasilkan limbah, baik yang berbentuk limbah padat, cair dan gas. Salah satu jenis limbah industri pupuk urea adalah limbah cair yang mengandung senyawa nitrogen dalam bentuk amoniak dan nitrit. Kadar amoniak yang tinggi dalam limbah cair harus dikurangi jumlahnya sebelum di buang ke lingkungan. Amoniak yang terdapat dalam badan air dapat mengganggu kehidupan biota perairan, mendorong terjadinya eutrofikasi, bahkan dapat menyebabkan keracunan yang berakibat kerusakan paru-paru dan kematian. Selain itu dapat menyebabkan pencemaran udara karena menimbulkan bau yang tidak sedap. Begitu pula dengan nitrit, walaupun dalam konsentrasi rendah, nitrit besifat toksik bagi ikan dan organisme akuatik lain (Metcalf dan Eddy, 2003). Senyawa nitrit dalam air yang dikonsumsi dapat menyebabkan bahaya karena nitrit dapat bereaksi secara kimia dengan amino membentuk nitrosamin yang sangat karsinogenik. Selain itu, nitrit dapat berikatan dengan haemoglobin darah sehingga menyebabkan gangguan pernapasan (Atlas dan Bartha, 1998). Salah satu alternatif pengolahan limbah cair adalah pengolahan secara biologi. Proses pengolahan secara biologi dilakukan dengan memanfaatkan mikroorganisme, seperti bakteri, yang mampu menguraikan atau mendekomposisi bahan-bahan pencemar dalam limbah cair menjadi bahan atau senyawa yang kurang atau tidak berbahaya (Kristanto, 2002). Pengolahan limbah cair secara biologi seringkali merupakan pengolahan tahap kedua (secondary treatment) dalam sebuah Instalasi Pengolahan Air Limbah (Sumada, 2012). Amoniak adalah senyawa nitrogen yang dapat diubah menjadi nitrat dalam proses yang disebut nitrifikasi. Nitrifikasi adalah oksidasi amoniak menjadi nitrat secara biologis yang merupakan proses kunci dari siklus nitrogen global dan merupakan komponen integral dari instalasi pengolahan limbah cair modern (Juretschko dkk., 1998). Dengan memanfaatkan bakteri nitrifikasi diharapkan dapat mengurangi kandungan amoniak dalam limbah cair industri. Bakteri yang diinokulasikan dapat asli berasal dari lokasi tercemar (indigenous) atau berasal dari luar lokasi tercemar (non-indigenous). Bakteri indigen yang diisolasi dari lokasi tercemar akan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Menurut Sumantri dkk. (2010) bakteri indigen dalam kerjanya dapat berinteraksi saling
345 ISBN 978-602-70361-0-9
menguntungkan selama terjadinya degradasi. Selain itu, kemampuan adaptasi bakteri yang tinggi memungkinkan untuk tumbuh pada substrat dan lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan organisme lain (Bollag dan Bollag, 1992). Untuk memperoleh bakteri indigen dilakukan dengan cara mengisolasinya. Isolasi bakteri merupakan tahap awal untuk mendapatkan bakteri yang baik sebagai agen biologis untuk proses pengolahan limbah cair. Isolasi bakteri yang baik dan benar merupakan penentu bakteri mana yang cocok, sehingga prinsip pemilihan bakteri hasil isolasi dapat memberikan kinerja yang optimal dalam penurunan bahan pencemar (Thompson, et al., 2005). Secara alami, jumlah bakteri yang diinginkan terdapat dalam jumlah yang sedikit bila dibandingkan dengan jumlah yang tidak diinginkan (Barrow dan Feltham, 2003). Selain itu, mikroorganisme jarang ditemukan dalam bentuk koloni spesies tunggal yang terisolasi, tetapi hidup sebagai suatu komunitas. Tujuan mengisolasi bakteri adalah untuk mendapatkan bakteri yang diinginkan dengan cara mengambil sampel mikroba dari lingkungan yang ingin diteliti (Tortora, dkk., 2010). Selanjutnya sampel tersebut dikulturkan secara murni di laboratorium (Labeda, 1990) dengan menggunakan media universal atau media selektif sesuai tujuan yang ingin dicapai (Tortora dkk, 2010). Bakteri dari sampel inilah yang nantinya diperbanyak untuk nantinya digunakan sebagai agen pendegradasi bahan pencemar dalam limbah cair. Penelitian isolasi dan karakterisasi morfologi koloni bakteri nitrifikasi yang berasal dari limbah cair industri pupuk urea merupakan proses identifikasi tahap awal, yang meliputi pemurnian, pengamatan morfologi koloni, bentuk sel dan pewarnaan Gram. Pengidentifikasi awal ini akan menghasilkan informasi mengenai karakteristik bakteri yang diperoleh sebelum dilakukan identifikasi lanjutan berupa uji biokimia/fisiologis. 2.
Metode
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas MIPA Universitas Sriwijaya Inderalaya dan Laboratorium Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Palembang. Sampel limbah cair diambil dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) industri pupuk PT Pupuk Sriwidjaja Palembang pada kolam pengolahan terakhir yaitu kolam aerasi/kolam limbah, dimana konsentrasi limbah cair yang diolah pada kolam limbah ini mengandung amoniak yang cukup tinggi. Pengambilan sampel dilakukan secara stratified random sampling, dengan menentukan tiga titik stasiun pengambilan sesuai arah aliran limbah dari inlet ke outlet. Dari setiap stasiun ditentukan dua titik sampling secara acak. Sampel limbah cair diambil secara aseptik dengan botol kaca berpenutup sebanyak 500 ml. Sampel dimasukkan ke dalam kotak icebox yang sudah diberi es batu, untuk dibawa ke laboratorium. Dari masing-masing sampel diambil sebanyak 25 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 225 ml medium pengaya Winogradsky cair. Media kultur diinkubasi selama 5 hari di atas shaker dengan kecepatan 100 rpm pada suhu ruang (Munawar et al., 2006). Selanjutnya kultur sampel diencerkan secara bertingkat berdasarkan seri pengenceran 10-1 sd 10-7 dengan akuades steril. Sampel sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam 9 ml akuades steril, kemudian divortex untuk mendapatkan sampel biakan yang homogen, selanjutnya diinokulasi dalam medium Zobell Agar dengan menggunakan teknik cawan tuang (pour plate), dan diinkubasi selama 5 hari. Setiap koloni yang tumbuh dengan ciri-ciri yang berbeda diamati untuk selanjutnya dimurnikan dalam medium NA dengan metode cawan gores (streak plate) sampai diperoleh koloni yang murni yang berupa koloni tunggal yang tumbuh terpisah. Koloni yang tumbuh dengan bentuk, warna dan jenis permukaan yang seragam dipindahkan ke dalam medium NA baru secara aseptis, dan diinkubasi kembali selama 2-3 hari. Subkultur dilakukan sebanyak 3 kali atau hingga diperoleh isolat yang murni. Isolat murni yang didapat kemudian diinokulasikan pada media agar miring dan disimpan sebagai stok kultur kerja. Medium pengaya adalah medium Winogradsky yang dimodifikasi yang terdiri dari 5 gram CaCO3, 1,0 g (NH4)2SO4, 1 gram K2HPO4, 1 gram NaCl, 0,5 gram MgSO4.7H2O dan 0,4 gram FeSO4 (Atlas, 2005). Medium Zobell mengandung 5 gram pepton, 1 gram yeast extract, 0,01 gram FeSO4, 0,012 gram K2HPO4 dan 15 gram agar nutrisi. Medium yang digunakan untuk kultur bakteri adalah Nutrient Agar (NA) dengan komposisi 1 gram meat extract, 2 gram yeast extract, 5 gram pepton dan 5 gram garam NaCl dan 15 gram agar. Media disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 C bertekanan 15 psi selama 15 menit. Setelah diperoleh kultur sampel yang sudah murni, dilakukan identifikasi tahap awal untuk mengetahui bentuk koloni, bentuk sel dan sifat sel melalui metode pewarnaan Gram. Pengamatan bentuk sel dan dinding sel menggunakan mikroskop jenis mikroskop cahaya dengan perbesaran 1000x dengan menggunakan minyak imersi. Penghitungan jumlah koloni dilakukan dengan menggunakan colony counter.. 3.
Hasil dan Pembahasan
Isolasi terhadap bakteri nitrifikasi diawali dengan pengenceran sampel secara bertingkat dengan menggunakan akuades steril. Pengenceran dilakukan selain untuk mengetahui perkiraan jumlah koloni yang terdapat dalam sampel limbah cair, juga agar koloni bakteri yang tumbuh pada media tidak terlalu padat dan
346 ISBN 978-602-70361-0-9
memudahkan dalam pengamatan dan identifikasi. Pengenceran dilakukan dari 10-1 hingga 10-7. Adapun jumlah koloni yang diperoleh dari pengenceran disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Koloni dengan Berbagai Tingkat Pengenceran No 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat Pengenceran 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7
Jumlah Koloni TBUD (Terlalu Banyak Untuk Dihitung) TBUD TBUD 187 89 34 8
Menurut Cappuccino dan Sherman (2005) bahwa untuk menentukan jumlah koloni bakteri per ml sampel mengacu pada jumlah koloni yang berkisar antara 30-300. Dalam penelitian ini yang diambil adalah pada tiga tahapan pengenceran, yaitu 10-4, 10-5 dan 10-6, karena pada pengenceran dibawah 10-4 jumlah koloni terlalu banyak dan pengenceran diatas10 -6 jumlah koloni terlalu sedikit. Jumlah koloni yang terlalu padat menyebabkan pertumbuhannya saling bertumpuk satu sama lain sehingga tidak seluruh koloni dapat terhitung, sedangkan jumlah koloni yang terlalu rendah (dibawah 30 koloni) tidak dapat mewakili jumlah pertumbuhan koloni. Pengenceran yang terlalu tinggi akan menghasilkan lempengan agar yang umumnya relatif rendah (Hadioetomo, 1990). Hasil isolasi bakteri nitrifikasi yang berasal dari limbah cair industri pupuk urea didapatkan 20 isolat bakteri. Jumlah isolat yang paling banyak terdapat pada kode sampel W1 sebanyak 13 isolat, dan yang paling sedikit ada 2 isolat pada sampel W3. Sampel W1, W2 dan W3 posisinya searah aliran limbah cair dalam kolam aerasi IPAL industri, yaitu dari inlet ke outlet. Berdasarkan posisi pengambilan sampel tersebut, maka jumlah isolat terbanyak terdapat pada inlet yaitu W1 dimana terdapat konsentrasi bahan pencemar berupa amoniak yang paling tinggi, dan semakin menurun jumlah isolatnya pada W2, dan lebih sedikit lagi pada W3 yang merupakan daerah outlet dengan konsentrasi bahan pencemar yang lebih kecil. Keadaan ini menyebabkan jumlah isolat pada daerah outlet lebih sedikit bila dibandingkan dengan jumlah isolat yang berada lebih dekat dengan inlet. Tabel 2. Jumlah Isolat Bakteri Nitrifikasi dari Limbah Cair Industri Pupuk Urea Kode Sampel W1 W2 W3
Jumlah Isolat 13 5 2
Jumlah
20
Kode Isolat a1, b1, c1, d1, e1, f1, g1, h1, i1, j1, k1, l1, m1 a2, b2, c2, d2, e2 a3, b3
Morfologi Koloni Isolat bakteri nitrifikasi diidentifikasi berdasarkan keberagaman morfologi koloni yang tumbuh dalam cawan dari teknik cawan tuang (pour plate). Dari seluruh koloni yang tumbuh pada masing-masing hasil pengenceran diambil beberapa koloni yang berbeda berdasarkan pada morfologinya. Dari perbedaan morfologi tersebut, terdapat 20 isolat bakteri dengan sifat-sifat morfologi berbeda, yang disajikan pada Tabel 3. Bentuk sel dan Pewarnaan Dari 20 isolat koloni yang berhasil diisolasi, terdapat dua bentuk sel yaitu bulat (coccus) dan batang (bacillus). Beberapa sel mempunyai bentuk penataan diplokokus, streptokokus, sarcina, dan sisanya adalah monokokus. Pada bakteri bentuk basil, terdapat penataan serupa rantai yang bergandeng dua dua (diplobasilus) dan seperti rantai panjang (streptobasilus). Bentuk penataan seperti ini juga menjadi ciri-ciri dari bakteri. Pewarnaan merupakan salah satu prosedur yang paling banyak digunakan dalam klasifikasi bakteri, diantaranya adalah pewarnaan Gram. Pewarnaan Gram digunakan untuk mengetahui sifat dinding sel bakteri, dimana komposisi dinding sel bakteri gram negatif berbeda dengan bakteri gram positif. Bakteri gram positif mempunyai dinding sel yang lebih tebal dengan kandungan peptidoglikan, sedangkan bakteri gram negatif mempunyai kandungan lipid yang lebih tinggi (Pelczar & Chan, 2005). Perbedaan struktur dinding sel kedua jenis bakteri inilah yang menyebabkan perbedaan reaksi dalam permeabilitas zat warna dan penambahan larutan pemucat. Dalam pengecatan, bakteri gram positif ditandai dengan dinding sel berwarna ungu dan bakteri gram
347 ISBN 978-602-70361-0-9
negatif berwarna merah. Beberapa contoh bentuk koloni dan bentuk sel dari isolat bakteri nitrifikasi yang ditemukan disajikan dalam Gambar 1. Tabel 3. Karakter Morfologi Koloni, Bentuk Sel dan Pewarnaan Gram Bakteri Hasil Isolasi Limbah Cair Industri Pupuk Urea Kode Isolat a1
Bentuk Bulat
Permukaan Licin Licin
d1
Tidak beraturan Bulat dengan tepian terang Bulat
Licin
Karakter Morfologi Koloni Tepian Elevasi Bergelombang Timbul (undulate) (umbonate) Bergelombang Timbul (undulate) (umbonate) Berombak Datar (lobate) Licin (Entire) Datar
e1
Bulat
Licin
Licin (Entire)
Cembung
Putih
f1
Tidak beraturan Bulat
licin
Bercabang
Timbul
Licin
Licin (Entire)
Timbul
Bulat dengan tepian terang Tidak beraturan Bulat
Licin
Timbul (umbonate) Datar
Licin Licin
Licin (entire)
Licin
Berombak (lobate) Licin (entire)
Timbul (umbonate) Datar
a2
Tidak beraturan Bulat dengan tepian terang Tidak beraturan Bulat
Bergelombang (undulate) Tidak beraturan Bergelombang (undulate) Licin (entire)
Keputihputihan Kuning kehijauan Kuning
b2
Bulat
Licin
c2
Bulat
d2 e2
b1 c1
g1 h1 i1 j1 k1 l1 m1
a3
b3
licin
Licin Licin
Licin
Cembung Datar
Datar
Licin
Bergelombang (undulate) Licin (entire)
Timbul (umbonate) Datar
Bulat
Licin
Licin (entire)
Tidak beraturan Tidak beraturan
Licin
Bundar dengan tepian terang
Licin
Berombak (lobate) Tidak beraturan (erose) Wooly
Timbul (umbonate) Datar
Licin
Datar
Timbul (umbonate)
Warna Kuning muda Keputihputihan Putih Krem
Keputihputihan Kuning Kuning kehijauan Kuning Kecoklatan Kekuningkuningan Putih pucat Kuning tua Kuning muda Kekuning an Kuning
Kuning
Optikal Tidak tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tembus cahaya Tidak tembus cahaya Tidak tembus cahaya
Bentuk Sel Kokus
Sifat Gram -
Kokus
-
Kokus
-
Kokus
-
Basilus
-
Kokus
-
Kokus
-
Kokus
-
Kokus
-
Kokus
-
Kokus
-
Basilus
+
Basilus
-
Basilus
+
Basilus
+
Basilus
-
Basilus
-
Kokus
-
Kokus
-
Kokus
-
Gambar 1. Bentuk morfologi koloni beberapa isolat bakteri nitrifikasi yang ditemukan, isolat g1 (kiri), isolat d2 (tengah) dan isolat i1 (kanan)
348 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 2. Bentuk dan sifat sel beberapa isolat bakteri nitrifikasi, berbentuk kokus negatif (kiri), berbentuk kokus positif (tengah) dan berbentuk basilus positif (kanan) 4.
Kesimpulan
Isolasi dan identifikasi tahap awal terhadap karakter morfologi koloni dan bentuk sel dari isolat bakteri nitrifikasi indigen yang berasal dari limbah cair industri pupuk urea berjumlah 20 isolat yang terdiri dari berbagai bentuk koloni dengan dua macam bentuk sel yang dihasilkan dari pewarnaan gram, yaitu kokus dan basilus. Setelah dilakukan identifikasi lanjutan berupa uji karakteristik biokimia diharapkan dapat diketahui jenis dan potensi bakteri nitrifikasi tersebut sehingga dapat digunakan sebagai agen biologi dalam pengolahan limbah cair yang mengandung amoniak Daftar Pustaka Atlas, R.M. and R. Bartha. Microbiology Ecology: Fundamental and Aplications. California: The Benjamin Cummings Publication Co. 1998 Atlas, R.M. Handbook of Media for Environmental Biology. Second Edition. Boca Raton: Taylor & Francis Group. 2005. Barrow. G. I. and R. K. A. Feltham. Cowan and Steel’s Manual for the Identification of Medical Bacteria. Third Edition. Cambridge, UK: Cambridge University Press. 2003. Bollag, W.B. and J.M. Bollag. Biodegradation. In: Lederberg, J. (ed.). Encyclopedia of Mikrobiology. Toronto: Academic Press Inc. 1992. Cappuccino, J. G. and N. Sherman. Microbiology: A Laboratory Manual. San Fransisco: Benjamin Cummings Publication. San Fransisco. 2005. Eaton, A. D., L. S. Clesceri, A. E. Greenberg and M. A. H. Franson. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. 19th Edition. American Public Health Association. Baltimore, Maryland, USA: United Book Press, Inc. 1995. Hadioetomo, R. S. Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium Mikrobiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993. Juretschko, S. G. Timmermann, M. Schmid, K-H Schleifer, A. P.Roser, H. P. Koops and M. Wagner. Combined Molecular and Conventional Analyses of Nitrifying Bacterium Diversity in Activated Sludge: Nitrosococcus mobilis and Nitrospira-Like Bacteria as Dominant Populations. Applied and Environmental Microbiology. 1998; Volume 64 No. 8: 3042-3051. Kristanto, P. Ekologi Industri. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2002. Labeda, D. P. Isolation of Biotechnological Organisms from Nature. New York: McGraw-Hill. 1990. Metcalf dan Eddy. Wastewater Engineering : Treatment and Reuse. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill. 2003. Munawar, H. Widjajanti dan U. Prihandini. Isolasi, Seleksi dan Karakterisasi Bakteri Pendegradasi Amoniak dari Limbah Cair Industri Eksplorasi Produksi Minyak bumi. Jurnal Pengelolaan Lingkungan dan SDA. 2006; Volume 6 No. 4: 84-92. Pelczar, M. J and E. C. S. Chan. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid 1 dan 2. Jakarta: Penerbit UI Press. 2005. Sumada, K. Pengolahan Air Limbah secara Fisika, Kimia dan Biologi Yogyakarta: Jurusan Teknik Kimia Universitas Pembangunan Nasional (UPN). 2012. Sumantri, I., Sumarno dan N. Afiati. Pengolahan Limbah Cair Pupuk Kadar Amoniak Tinggi Dengan Proses Gabungan Microalgae Dan Nitrifikasi-Denitrifikasi Autotrofik. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang. 2010: 35-40. Thompson, I.P., C. J. Van der Gast, L. Ciric and A. C. Singer. Bioaugmentasi for Bioremediation: The Challenge of Strain selection. Environmental Biology. 2005; 7 (7): 909-915. Tortora, G. J., B. R. Funke, and C. L. Case. Microbiology: an Introduction. 10th Edition. 2010.
349 ISBN 978-602-70361-0-9
Sintesis Seng Oksida (ZnO) Nano Partikel Sebagai Bahan Aktif Pada Sensor Gas Dengan Metode Sol Gel Slamet Widodo dan Goib Wiranto Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPET-LIPI) Kampus LIPI Jl. Sangkuriang Bandung 40135 Telp. : (022) 2504660, 2504661; Fax : (022) 2504659 E-mail:
[email protected];
[email protected]
Abstract Gas sensor was needed to detect and the presence of gas, either for toxic gas or non toxic gas. The one of the important part in gas sensor instrument are the metal oxide. There are some ways to make metal oxide for sensing material of gas sensor; the one is sol-gel process. The purpose of this experiment is to make zinc oxide by sol-gel process. Zinc acetate dehydrate was dissolved in diethylene glycol and heated up to 130 0C until a clear solution was obtained. After adding de-ionized water under vigorous stirring the resulting mixture was heated at 180 0C for 2 hours. After drying at 400 0C for 2 hours and annealing at 600 0C for 1 hour, a yellow fine powder was obtained, which was identified by using XRD and SEM. From this observation, Zinc Oxide has been formed in nano size range, it is around 100 nanometer as the major phase with homology peak value of XRD between ZnO standard and product is 98. Keywords: Active sensing material ZnO, nano crystalline, sol gel, gas sensor 1.
Pendahuluan
Keberadaan gas beracun sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu diperlukan alat bantu yang dapat memonitor kandungan gas. Sensor semikonduktor merupakan jenis sensor yang murah dan mudah dalam memonitor kebaradaan gas. Untuk bagian sensitif dari sensor gas semikonduktor biasanya dipakai senyawa oksida logam (Mitra dkk., 1998). Sensor gas menggunakan bagian sensitive oksida logam memiliki peranan penting dalam mendeteksi beberapa polutan berbahaya seperti karbon monoksida (CO) dan hydrogen sulfide (H2S). Sensor berbentuk pelat tipis banyak dipakai karena ukurannya yang kecil, konsumsi energi yang sedikit, dan pembuatannya mudah (Abbaspour-Sani dkk., 2007). Salah satu senyawa oksida logam yang banyak dipakai untuk sensor gas semikonduktor adalah senyawa seng oksida. Telah banyak percobaan dilakukan, dan gas-gas yang dapat dideteksi misalnya gas-gas alcohol seperti gas etanol dan methanol (Cheng dkk, 2004). Ada beberapa metode yang telah digunakan untuk menghasilkan lapisan sensitif oksida logam sebagai dasar sensor gas, diantaranya yaitu metode ball milling dan proses sol-gel. Namun dengan metode ball milling, butiran oksida logam yang dihasilkan kurang mencapai ukuran nanometer dibandingkan dengan menggunakan proses sol-gel. Oleh karena itu, proses sol-gel menjadi metode yang lebih handal untuk digunakan dalam pembuatan lapisan sensitif oksida logam berukuran nanometer (Wiranto dk., 2008). Proses sol-gel dipilih karena memiliki keuntungan, yaitu ukuran partikelnya yang mencapai ukuran nano dan permukaan yang dihasilkan lebih seragam dan rata, sehingga gas yang diadsorpsi pun akan semakin banyak. Selain itu pembuatan sensor ini memerlukan biaya yang tidak terlalu mahal (Lieznerski, 2004). Logam Oksida telah banyak dipakai dalam industri dan teknologi karena berbagai macam sifatnya (optikal, elektrikal, magnetic dll magnetic dan lain-lain), dikombinasikan dengan karakteristiknya yang keras, stabil terhadap suhu dan tahan terhadap bahan kimia. Biasanya, struktur material oksida yang dibutuhkan ialah yang kristalin. Kristalin dalam hal ini sama artinya dengan kristalin sebagaimana pada logam. Strukturnya berulang dalam periode tertentu dan dalam tiga dimensi. Untuk mengetahui kualitas kristal material, kita dapat menggunakan X-ray diffractometer (XRD). Melalui pengamatan scanning electron microscope scanning electron microscope (SEM), kristal dapat dilihat sebagai kumpulan butiran. Butiran ini bisa besar bisa kecil ukurannya. Kristalinitas material oksida bisa tinggi apabila butirannya besar, begitu pula sebaliknya. Butiran ini dalam pertumbuhannya terhenti oleh pertumbuhan butiran yang lain. Batas antara butir dalam dunia material ini disebut dengan batas butir. Batas butir terjadi karena adanya pertumbuhan butir kristal. Apabila butir kristal tumbuh kemudian bertemu dengan butiran kristal lain yang berbeda orientasi kristalnya maka terjadilah batas butir. Pada material sensor gas, batas butir inilah yang mengambil peranan. Adsorpsi oksigen terjadi pada batas butir ini
350 ISBN 978-602-70361-0-9
dikarenakan energi permukaan pada batas butir yang lebih tinggi dari butir atau kristal gas lebih mudah terdifusi dan teradsorbsi ke daerah batas butir (Nunung, 2008). Pada suhu ruangan, oksigen diadsorpsi pada segala permukaan (termasuk pada permukaan oksida logam). Molekul oksigen bereaksi dengan elektron dari oksida logam dan menurunkan konsentrasi dari electron bebas. Dalam lingkungan yang memiliki kadar oksigen, spesies oksigen lingkungan berdifusi ke material oksida. Oksigen terdifusi ke permukaan batas butir. Jadi semakin banyak batas butirnya, maka semakin besar probalitas oksigen terdifusi dan terikat di dalam material oksida. Artinya, di dalam gas sensor, kita membutuhkan butiran kristal yang kecil-kecil. Terdifusinya oksigen ke dalam material oksida dikarenakan adanya perbedaan konsentrasi kadar oksigen. Dalam termodinamika, potensial kimia akibat perbedaan konsentrasi oksigen di lingkungan dengan oksigen di dalam material oksida-lah yang mendorong oksigen berdifusi ke material oksida (Wibowo, 2008). Prinsip pendeteksian gas dari sensor gas semikonduktor oksida logam bergantung pada kemampuan adsorpsi/desorpsi antara molekul gas dengan permukaan. Pada kasus sensor gas semikonduktor, semua proses reaksi gas dapat dibagi dalam lima tahap penting, yaitu: difusi reaktan pada daerah aktif, adsorpsi reaktan ke dalam daerah aktif, reaksi pada permukaan, desorpsi produk dari daerah aktif, difusi produk meninggalkan daerah aktif (Hildenbrand, 2003). Perkembangan proses sol-gel dimulai pada tahun 1880-an. Berbagai jenis membrane mikrofiltrasi telah dikenal selama ini, yang berdasarkan logam atau karbon, tetapi aplikasinya terbatas terhadap relatifitas ukuran dari pori-pori. Proses sol-gel terdiri atas beberapa tahapan, antara lain: hidrolisis, kondensasi, gelatasi, pematangan, pengeringan, densifikasi (Mulder, 1996). Proses sol-gel adalah suatu teknik kimia basah (deposisi larutan kimia) untuk pembuatan suatu material (khususnya oksida logam) dimulai dari suatu larutan kimia yaitu bagian sol, atau partikel koloidal (sol untuk partikel berukuran nanometer) sampai pembuatan suatu bagian gel. Prekursor atau bahan awal dalam pembuatan oksida logam biasanya adalah alkoksida logam dan khlorida logam, yang kemudian mengalami reaksi hidrolisis dan reaksi polikondensasi untuk membentuk koloid sol, yaitu suatu system yang terdiri dari partikel-partikel padat (ukuran partikel antara 1 – 100 nanometer) yang terdispersi di dalam pelarut. Sistem koloid sol dapat mengalami proses lebih lanjut untuk membentuk material keramik dengan berbagai bentuk, antara lain sol ini dapat dilapiskan pada suatu substrat untuk membentuk film melalui proses dip-coating atau spin-coating. Sol ini juga dapat dibentuk menjadi suatu system gel yang kemudian dikeringkan dan dikalsinasi (dipanaskan) menghasilkan suatu keramik padat. Apabila gel ini mengalami pengeringan di bawah kondisi superkritikal, maka material yang dihasilkan adalah suatu aerogel (Hench & West, 1990).
Gambar 1 Teknologi sol-gel dan produk-produk yang dihasilkan Dari beberapa tahapan proses sol-gel, terdapat dua tahapan umum dalam pembuatan oksida logam, yaitu hidrolisis dan polikondensasi. Pada tahap hidrolisis terjadi penyerangan molekul air (penyerangan nukleofilik), yaitu atom oksigen pada air, pada bagian atom yang menjadi pusat muatan positif, yang pada umumnya berupa logam (Iler, 1979).
Gambar 2 Reaksi hidrolisa pada senyawa alkoksida Proses hidrolisis ini dapat dikatalis dengan suatu asam atau basa agar laju reaksi menjadi lebih cepat. Bagian sol atau partikel koloidal akan terbentuk setelah dilakukannya reaksi hidrolisis. Bagian sol ini merupakan koloid
351 ISBN 978-602-70361-0-9
yang berupa fase padat terdispersi dalam fase cair. Gugus hidroksi akan terbentuk pada precursor yang mengalami hidrolisis, baik dengan katalis asam maupun katalis basa. Sebagai contoh precursor yang digunakan adalah senyawa silikon. Katalis Asam
Gambar 3 Reaksi hidrolisa yang dikatalis oleh katalis Asam Katalis Basa
Gambar 4. Reaksi hidrolisa yang dikatalis oleh katalis Basa Gugus hidroksi yang terbentuk akan melakukan penyerangan terhadap precursor atau reaktan yang lain yang dikenal sebagai reaksi kondensasi
Gambar 5 Reaksi polikondensasi Meningkatnya viskositas dari larutan menandakan bahwa proses polimerisasi atau kondensasi telah terjadi. Melalui pengubahan muatan pada permukaan dari partikel (potensial zeta) atau peningkatan konsentrasi partikel yang kemudian diikuti oleh proses aglomerasi, maka bagian gel akan terbentuk (Mulder, 1996). Proses sol-gel sangat menguntungkan dan menarik karena biaya yang murah dan menggunakan suhu yang rendah sehingga cukup aman dalam prosesnya, serta dapat dengan mudah untuk mengontrol dalam penentuan komposisi produk kimia yang diinginkan. Proses sol-gel dapat digunakan dalam proses memproduksi keramik, atau sebagai suatu alat pembuatan film yang sangat tipis dari metal oksida untuk berbagai proses (Wibowo, 2008). Seng oksida (ZnO) telah menarik perhatian komunitas ilmiah sebagai material masa depan karena sifat materal ini yang biokompatibel dan tahan terhadap radiasi. Pada tekanan dan suhu ruangan, kristal ZnO berada dalam struktur wurtzite (tipe b4), seperti pada gambar dibawah ini (Jagadish & Pearton, 2006).
352 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 5. Struktur wurtzite heksagonal dari ZnO. Material seng oksida ini digunakan untuk berbagai aplikasi, misalnya sebagai sensor hidrogen. Yang sudah digunakan yaitu sebagai sensor gas hidrogen pada sistem bahan bakar kapal luar angkasa. Keunggulan sensor ini yaitu kemampuan untuk mendeteksi hidrogen pada suhu ruang dengan kehadiran udara. Selain itu, energi yang dibutuhkan sangat kecil dan beratnya juga ringan. 2.
Metode
Peralatan yang digunakan adalah gelas, kui, pemanas listrik dan tanur furnace. Alat uji karaktreristik kristal atau bubuk yang disintesis adalah SEM dan XRD. Bahan-bahan yang digunakan terdiri atas air suling / (de-ionized) H2O, dietilene glikol (Merck, 99%), Seng Asetat dihidrat (Aldrich 99,99%). Sebanyak 1,52 gram Seng Asetat dilarutkan dalam Dietilen Glikol. Kemudian campuran tersebut dipanaskan dengan suhu 130 0C sampai didapat larutan yang homogen. Setelah itu, ditambahakan 2 ml air suling ke dalam larutan tersebut dan diaduk dengan cepat. Hasil dari pengadukan kemudian dipanaskan dengan suhu 180 0 C selama 2 jam. Butiran halus Seng Oksida berwarna putih didapat setelah dilakukan pengeringan dengan suhu 400 0C selama 2 jam dan kalsinasi dengan suhu 600 0C selama 1 jam (Koplin et al., 2006). Cara kerja ini secara sederhana digambarkan oleh Gambar 6.Material hasil sintesis yang berupa bubuk atau kristal diuji karakteristiknya berupa struktur dan jenis kristal dikarakterisasi dengan menggunakan XRD, sedangkan ukuran kristal dikarakterisasi dengan menggunakan SEM. Seng Asetat Dihidrat Zn(CH3COO)2 2H2O - dilarutkan dalam DiEtilene Glikol (DEG) - dipanaskan dengan suhu 130 0C - diaduk Larutan Homogen - ditambahkan 2 ml aquades - diaduk dengan cepat - dipanaskan dengan suhu 180 0C selama 2 jam Larutan Homogen - dikeringkan pada suhu 400 0C selama 2 jam - dikalsinasi pada suhu 600 0C selama 1 jam Serbuk Seng Oksida (ZnO) Berwarna Putih - dikarakterisasi - dengan XRD - Struktur Kristal - Tingkat Kemurnian Kristal - Jenis Kristal
- dengan SEM
- Ukuran Kristal
Gambar 6. Tahapan proses sintesis ZnO nano kristalin dengan metode Sol Gel 3.
Hasil dan Pembahasan
3.1
Pembuatan Zink Oksida dengan proses Sol Gel
Pembuatan bahan sensor gas merupakan penelitian yang sedang dikembangkan oleh banyak peneliti di dunia. Bahan sensor gas yang merupakan senyawa metal oksida merupakan salah satu bagian penting dalam sensor gas. Kemampuan pendeteksian terhadap suatu gas tergantung jenis senyawa metal oksidanya. Suatu metal oksida memiliki sensitifitas tertentu terhadap suatu gas. Kemampuan adsorpsi suatu senyawa metal oksidadipengaruhi juga oleh ukuran partikelnya. Semakin kecil ukuran partikel yang dimiliki oleh senyawa metal oksida tersebut, maka sensitifitasnya akan semakin tinggi. Oleh karena itu dalam penelitian ini dibuat senyawa metal oksida dengan ukuran nano meter. Banyak proses yang dapat dilakukan untuk menghasilkan senyawa metal oksida. Proses sol-
353 ISBN 978-602-70361-0-9
gel dipilih karena merupakan proses yang paling banyak dipakai dengan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi, selain itu juga caranya pun mudah dan cepat. Bahan-bahan yang diperlukan antara lain air bebas mineral (deionized H2O), dietilen glikol (DEG), Seng Asetat dihidrat. Seng Asetat dihidrat dilarutkan dalam dietilen glikol lalu dipanaskan dengan suhu 130 0C sampai didapat larutan yang homogen yang tidak berwarna. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: Zn(CH3COO)22H2O(s) + HO(CH2)2O(CH2)2OH
Zn(OH) + HOOC(CH2)2º(CH2)2COOH + 2H2O (1)
Tahap awal ini merupakan tahap solvasi (1). Pada tahap ini asetat terlepas dan terbentuk senyawa Seng dihidroksida. Setelah itu ditambahkan air bebas mineral (De-ionized H2O) kedalam larutan dan dipanaskan dengan suhu 180 0C kemudian diaduk dengan cepat selam 2 jam. Akibat penambahan air suling tersebut terjadi reaksi hidrolisis (2) yang menghasilkan kation Zn2+ dan anion –OH- mengikuti reaksi: Zn(OH)42- (aq) + 2H+
Zn(OH) (aq) + 2H2O
(2)
Hasil koloid yang diperoleh dikeringkan dengan menggunakan tanur (furnace) pada suhu 400 0C. selama 2 jam. Tahap ini merupakan tahap pengeringan untuk menghilangkan sebagaian besar pelarut yang ada dan sekaligus terjadi proses polimerisasi lanjutan dari sistem koloid sol dan kemudian menghasilkan sistem koloid gel yang disebut Xerogel. Setelah dikeringkan selama 2 jam, kemudian dilakukan tahap akhir, yaitu tahap kalsinasi pada suhu 500 0C selama 1 jam. Pada saat kalsinasi terjadi reaksi polimerisasi kompleks hidroksil tersebut membentuk jembatan ”Zn_O-Zn” dan akhirnya berubah menjadi ZnO (3) sesuai dengan reaksi: Zn(OH)4 2- (aq)
ZnO (s) + H2O(g) + 2OH --
(3)
Terjadi juga fase transisi dari cairan menjadi padat dan penghilangan fraksi volatil atau pelarut yang masih tersisa dan senyawa lain yang dihasilkan melalui reaksi samping, seperti H 2O dan OH-- . 3.2
Karakterisasi Partikel Seng Oksida (ZnO)
Untuk mengkarakterisasi partikel ZnO yang dihasilkan. Selain menggunakan XRD, digunakan juga alat mikroskop pemindai elektron (SEM) untuk mengetahui morfologi dari partikel kristal, berupa ukuran kristal dan keseragaman dari kristal ZnO. Gambar 7 memperlihatkan hasil karakterisasi XRD dari bubuk ZnO. Melalui perbandingan pola puncak ZnO hasil sintesis dengan pola puncak standar yang menunjukkan suatu kesamaan yang cukup besar dengan nilai 98, maka dapat diyakini bahwa bubuk yang dihasilkan merupakan bubuk ZnO Yang memiliki struktur kristal berupa heksagonal wurzit. Tabel 1. Parameter XRD serbuk Seng Oksida dibandingkan dengan standar (JCPDS 36-1451) ZnO Hasil Penelitian 2 d-spacing/Å 31.7914 2.81247 34.4584 2.60065 36.2818 2.47402 47.5882 1.90928 56.6305 1.62400 62.9100 1.47615
JCPDS 36-1451 d-spacing/Å 2.8143 2.6033 2.4759 1.9111 1.6247 1.4771
Tabel 2 Hasil identifikasi kemurnian Seng Oksida Kode Nilai Nama Pergeseran Faktor Rumus Standar Senyawa [0 2] Skala Kimia 01-089- 98 Seng Oksida 0.000 0.900 ZnO 0510
354 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 7. Hasil XRD dari serbuk Seng Oksida
Gambar 8. Plot perbandingan antara ZnO standar (merah/bawah) dengan ZnO hasil sintesis (hijau/atas) Pada Gambar 8 dapat dilihat nilai dan bentuk dari puncak-puncak hasil XRD untuk ZnO. Puncak-puncak 2 theta itu memiliki nilai d-spacing yang kemudian dibandingkan dengan nlai d- spacing dari standar. Dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa nilai-nilainya relatif sama. Gambar 4.2 menunjukkan perbandingan puncak-puncak yang muncul pada pengukuran. Pengukuran dilakukan pada posisi 2 dari 30 sampai dengan 70. Puncak-puncak dari ZnO hasil sintetis (hijau/atas) menunjukkan kemiripan yang cukup signifikan dengan standar (merah/bawah). Dari data hasil pengukuran, nilai kesamaan perbandingan puncak antara ZnO standar dengan hasil sintetis cukup besar yaitu 98. Maka proses sol-gel memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi untuk sintetis Zink Oksida ini. Untuk mengetahui ukuran dari partikel Zink Oksida hasil sintetis, maka dilakukan pengambilan gambar dengan SEM. Gambar 9 merupakan hasil karakterisasi dengan menggunakan SEM merek JOEL tipe T30A yang memperlihatkan struktur morfologi bubuk ZnO dengan perbesaran 20.000 kali.
Gambar 9. Foto SEM serbuk ZnO hasil sintesis dengan perbesaran 20.000 kali
355 ISBN 978-602-70361-0-9
Dapat dilihat dari skala pada foto tersebut dimana ukuranpanjang garis putih mewakili 1000 nm. Ukuran partikel ZnO terkecil yang dapat dicapai dengan proses sol-gel adalah kurang dari 100 nm. Dari gambar 4.3 bisa dilihat bahwa terdapat beberapa partikel yang ukurannya sudah mencapai kurang dari 100 nm. Selain foto dengan perbesaran 20.000 kali, dilakukan juga pengambilan foto dengan SEM dengan perbesaran 40.000 kali. Perbesaran 40.000 kali merupakan batas maksimal perbesaran dari alat SEM yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil foto yang didapat kurang begitu tajam. Meskipun begitu, dari Gambar 9. berikut kita bisa melihat rata-rata ukuran dari partikel ZnO
Gambar 9 Foto SEM serbuk ZnO hasil sintetis dengan perbesaran 40.000 kali Dapat dilihat bahwa untuk perbesaran 40.000 kali, garis putih mewakilili skala 500 nm. Beberapa bagian dari partikel ZnO sudah mencapai ukuran kurang dari 100 nm. 4.
Kesimpulan
Bubuk Seng Oksida (ZnO) sebagai fase utama dapat disintesis melalui proses sol-gel dengan menggunakan bahan Seng Asetat Dihidrat, Dietilena Glikol dan air bebas mineral (de-ionized H2O) dengan nilai kesamaan puncak 2 sebesar 98. Bubuk Seng Oksida yang diperoleh melalui proses sol-gel memiliki nilai ukuran mencapai skala 100 nanometer). Daftar Pustaka Abbasour-Sani, E., et al., 2007, Application of SnO2 Nano-Powder on MEMS Type Gas Sensors, Sensors & Transducers Journal, Vol. 78, pp. 1108-1113. Bender, M., et al. , 2002, Production and Characterization of Zinc Oxide Thin Films for Room Temperature Ozone Sensing, Thin Solid Films, 418, 45-50. Brinker, C.J. & Scherer, G.W., 1990, Sol-Gel Science: The Physics and Chemistry of Sol-Gel Processing, Academic Press Inc., New York. Cheng, X.L., et.al., 2004, ZnO Nanoparticulate Thin Film: Preparation, Characterization and Gas-Sensing Property, Sensor Actuators, B 102, 248-252. Gruber, D., et al., 2003, A NovelGas Sensor Design Based on CH4/H2/H2O Plasma Etched ZnO Thin Films, Sensors Acuators, B.92, 81-89. Hench, L.L. & West, J.K., 1990, The Sol-Gel Process Chem., Vol.90, pp. 33-72. Hildenbrand, J., 2003, Simulation and Characterisation of a Micromachined Gas Sensor and Preparation for Model Order Reduction, Diploma Thesis, Albert Ludwig University Freiburg Germany. Iler, R.K., 1979, The Chemistry of Silica, John Wiley, New York. Jagadish, C., & Pearton S., 2006, Zinc Oxide Bulk, Thin Films and Nanostructures, Elsevier Limited, USA. Lieznerski, B., 2004, Thick Film Gas Microsensors Based on Tin Dioxide, Bulletin of the polish academy of sciences, Technical Sciences, 52, (1), 37-42. McPherson, A, 2003, Introduction to Macromolecular Crystallography, John Wiley & Sons, York. Mitra, P., et al., 1998, ZnO Thin Film Sensor, Matter Lett., 35, 33-38. Nunung, 2008, Pengembangan Sensor Gas Hidrogen Sulfida Berbasis Reagen Kering Timbal Asetat, http://one.indoskripsi.com/content/pengembangan-sensorgas-hidrogen-sulfida-berbasis-reagen-keringtimbal-asetat. Osborne, J.J., et al., 2000, Thin Film Semiconductor Sensors for Hyperthermal Oxygen Atoms, Sens. Actuators, B.63, 55-62. Weittkamp, P & Puppe, L., 1999, Catalysis and Zeolites, Fundamentals and Applications, Springer, Boston. Wiranto, G., Sugandi, G., Hermida, I.G.P., Widodo, S., Supriyanto, E., 2008, Pengembangan Metode Baru Dalam Rancang Bangun Sistem Sensor Berbasis MEMS Untuk Monitoring Pencemaran
356 ISBN 978-602-70361-0-9
Proses Sintesis Indium Tin Oksida Nano Partikel dengan Metode Sol Gel sebagai Lapisan Aktif pada Sensor Gas CO Slamet Widodo dan Goib Wiranto Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPET-LIPI) Kampus LIPI Jl. Sangkuriang Bandung 40135 Telp. : (022) 2504660, 2504661; Fax : (022) 2504659 E-mail:
[email protected];
[email protected]
Abstract Technique of making Indium Tin Oxide (ITO) for active layer at fabrication of CO gas sensor with sol gel method, accompanied mechanism of reaction and process parameters influencing it. With this sol gel technology can be synthesized ITO of fine powder to get particles of the size nano crystalline. Sol gel technique gets many advantages between it : measure nano particle, its (the process is briefer, low temperature, and the result obtained is pure. From observation by using SEM for ITO grains that obtained of the size is under 100 nanometers. Keyword: Sol gel, process mechanism, ITO, nano particles, gas sensor devices 1.
Pendahuluan
Saat ini berbagai jenis solid state sensor atau dikenal dengan sensor mikroelektronik telah banyak dan berhasil diaplikasikan ke bidang seperti lingkungan atau untuk aplikasi monitoring pencemaran udara, kesehatan dan berbagai industri. Keberhasilan ini membuat kebutuhan akan sistem sensor diberbagai bidang juga semakin meningkat. Hal ini memacu bagi peneliti atau produsen sensor untuk membuat jenis sensor yang berukuran kecil (mikrosensor) dan low cost dari yang ada saat ini. Dengan perkembangan teknologi mikroelektronika atau nanotechnology saat ini, telah membuka peluang melakukan inovasi teknologi dalam pembuatan sistem sensor yang lebih compact, kecil dengan akurasi dan performance yang lebih baik. Komponen-komponen metal oksida (MOX) seperti: SnO2, In2O3, WO3, ZnO, TiO2, ITO dan lain-lain, adalah sebagai bahan pembuat lapisan sensitif sensor gas. Oleh karena itu dalam penelitian ini metoda yang digunakan adalah metoda sol gel, dimana pemilihan metoda tersebut disebabkan karena prosesnya lebih singkat, temperatur yang digunakan lebih rendah, dapat menghasilkan serbuk metal oksida dengan ukuran nano partikel dan dapat menghasilkan karakteristik yang lebih baik dari pada proses metalurgi serbuk. Prekursor atau bahan awal dalam pembuatannya adalah alkoksida logam dan klorida logam, yang kemudian mengalami reaksi hidrolisis dan reaksi polikondensasi untuk membentuk koloid, yaitu suatu sistem yang terdiri dari partikel-partikel padat (ukuran partikel antara 1 nm sampai 1 µm) yang terdispersi dalam suatu pelarut. Prekursor juga dapat disimpan pada suatu substrat untuk membentuk film (seperti melalui dip-coating atau spincoating), yang kemudian dimasukkan kedalam suatu container yang sesuai dengan bentuk yang diinginkan contohnya untuk menghasilkan suatu keramik monolitik, gelas, fiber atau serat, membran, aerogel, atau juga untuk mensitesis bubuk baik butiran mikro maupun nano (Hench & West, 1990).
Gambar-1: Skema umum proses pembuatan Sol Gel
357 ISBN 978-602-70361-0-9
Dari beberapa tahapan proses sol-gel, terdapat dua tahapan umum dalam pembuatan metal oksida melalui proses sol-gel, yaitu hidrolisis dan polikondensasi seperti terlihat pada Gambar 1. Pada tahap hidrólisis terjadi penyerangan molekul air. Kimia sol gel adalah didasarkan pada hidrolisis dan kondensasi dari prekursor. Umumnya pada sol gel ditunjukkan penggunaan alkoksida sebagai prekursor. Alkoksida memberikan suatu monomer yang dalam beberapa kasus yang terlarut dalam bermacam-macam pelarut khususnya alkohol. Alkohol membolehkan penambahan air untuk mulai reaksi, keuntungan lain alkoksida adalah untuk mengontrol hidrolisis dan kondensasi. Dengan alkoksida sebagai prekursor, kimia sol gel dapat disederhanakan dengan persamaan reaksi berikut. Reaksi Sol Gel Ada dua tahapan reaksi dalam Sol Gel (1) Hidrolisis metal alkoksida
(2) Kondensasi
Menurut Iler (1979), polimerisasi sol-gel terjadi dalam tiga tahap: 1. Polimersasi monomer-monomer membentuk partikel 2. Penumbuhan partikel 3. Pengikatan partikel membentuk rantai, kemudian jaringan yang terbentuk diperpanjang dalam medium cairan, mengental menjadi suatu gel, seperti ditunjukkan pada Gambar-2 berikut.
Gambar-2: a) Tahapan pembentukan Sol dan b) Tahapan pembentukan Gel Keuntungan menggunakan metoda Sol Gel adalah homogenitasnya lebih baik, temperatur rendah, kemurnian lebih baik, hemat energi, pencemaran rendah, menghindari reaksi dengan container dan kemurnian tinggi, fase pemisahan cepat, kristalisasi cepat, padatan non kristalin keluar membentuk gelas. Pembentukan fase kristal baru dari padatan non kristal baru. Produk glass lebih baik ditentukan dengan sifat-sifat gel, Produk film spesial.
358 ISBN 978-602-70361-0-9
Kerugian menggunakan metoda Sol Gel material proses cukup mahal, Residu butir-butir halus, Residu hidroksil. Parameter proses Sol Gel diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter Proses Sol Gel Tahapan proses Larutan Kimia
Tujuan proses Membentuk Gel
Aging
Mendiamkan gel untuk mengubah sifat Menghilangkan air dari gel
Pengeringan (Drying) Kalsinasi
Mengubah sifat-sifat fisik/kimia padatan, sering menghasilkan kristalisasi dan densifikasi
Parameter proses Tipe prekursor, Tipe pelarut, Kadar air, Konsentrasi prekursor, Temperatur, dan pH Waktu, Temperatur, Komposisi cairan, Lingkungan aging Metoda pengeringan (ovaporative, supercritical, dan freeze drying), Temperatur, Tekanan, Waktu Temperatur, Waktu, Gas (inert atau reaktif)
Dari sisi ekonomi, sensor gas juga aplikasinya cukup luas untuk pengontrolan gas pencemar di lingkungan seperti gas-gas: CO, NOx, SOx, NH3, H2S dan lain-lain atau gas-gas yang dihasilkan di tempat-tempat tertentu seperti pabrik dan laboratorium serta rumah tinggal. Dari sisi kesehatan, sensor gas dapat membantu pemeliharaan lingkungan hidup untuk tetap menyehatkan karena merupakan sarana pengontrolan gas-gas berbahaya yang ada di lingkungan. Adapun tipe metal oksida dan gas-gas yang terdeteksi dapat dilihat pada Tabel 2 dan untuk penambahan zat aditif pada gas-gas spesifik pada Tabel 3. Tabel 2. Metal Oksida Semikonduktor untuk mendeteksi Gas-gas yang spesifik Tipe Oksida SnO2 In2O3, WO3 TO2 In2O3 ITO, Fe2O3 LaFeO3 Cr 1,8 Ti 0,2 O3
Gas yang terdeteksi H2, CO, NO2, H2S, CH4 NO2, NH3 H2, O2, C2H5OH NO2,O3 CO NO2, NOX NH3
Pembuatan sol murni metal oksida tanpa dan dengan doping, dan pembuatan serbuk nano material dengan teknologi sol gel ini dengan karakterisasi sistem sensor gas berbasis metal oksida, yang diaplikasikan pada divais sensor gas dengan menggunakan teknologi thick film dan thin film dengan bahan sensitif seperti Fe 2O3, In2O3, WO3, ZnO, SnO2 dan ITO. Berbagai bahan aditif seperti Pt, Au, Pd, dan Ag akan digunakan sebagai dopant maupun katalis untuk meningkatkan sensitivitas dan selektivitas sensor, selain menerapkan sistem jaringan syaraf tiruan (artificial neural network) untuk divais multi sensor. Tabel 3. Metal Oksida -aditif untuk mendeteksi Gas-gas yang spesifik Gas yang terdeteksi H2 CO H2S NO2 CH4 NH3
Metal adititif /SC Pt/SnO2, Pd/SnO2 In2O3, Ag/Pt/SnO2 Pt/SnO2, Pd/SnO2 Cu/SnO2, In2O3, ITO CuO/SnO2, Ag/SnO2 WO3 CuO/SnO2, SnO2 In2O3, WO3 Pd/SnO2 Mo/SnO2
359 ISBN 978-602-70361-0-9
Dalam Gambar-3 dapat dilihat konsep rancang bangun sensor gas berbasis metal oksida seperti dalam Gambar 3. MATERIAL ADITIF MATERIAL METAL OKSIDA ITO In2O3 WO3 TiO2 Fe2O3 ZnO CuO Ga2O3 etc.
Dopant/ Katalis
Teknologi MicroMachining
Pt Au Ag Pd etc.
SENSOR TUNGGAL
Jaringan Syaraf Tiruan
Dopant/ Katalis
Sol Gel
BUTIRAN SKALA NANO
SENSOR ARRAY
Gambar 3. Konsep Rancang Bangun Sensor Gas berbasis Metal Oksida (ITO) 2.
Metode
Bahan baku yang digunakan adalah garam Indium Nitrat In(CH 3COO)3, dan garam Timah (IV) klorida (SnCl4.5H2O) dicampur dan diaduk (stirring) selama 2 jam pada suhu sekitar 650C, setelah kedua larutan garam tersebut tercampur homogen kemudian pH larutan diatur 7,0 – 7,5 dengan menambahkan larutan basa NH4OH dan diaduk sampai rata (homogen) selama 5 jam pada suhu ruangan, akan terbentuk Gel Hidroksida (Mixed Hydroxide Gel). Setelah terbentuk Gel dilakukan penyaringan (filtering), pencucian dengan air bebas mineral (De-ionized water) dan pengeringan (drying) akan terbentuk silika gel (mixed hydroxide powder) kemudian dimasukkan kedalam Tungku (Furnace) untuk dilakukan pembakaran (baking) pada suhu sekitar 300 0C selama 3 jam dan kemudian serbuk dibiarkan dingin, dan akan didapatkan serbuk nano partikel ITO yang akan dikarakterisasi dengan alat SEM. Adapun proses pembuatan Indium Tin Oxide (ITO) nano partikel dengan metode Sol Gel dapat dilihat pada Gambar 4 skema berikut ini.
Aq.In(NO3)3 Solution
Aq.SnCl4.5H2O Solution (In:Sn = 90:10, 70:30 & 50:50) Strirring, 2h, ~65oC Mixed Solution (i) Aq.NH3; (ii) pH, 7.0-7.5; (iii) Strirring 5h, ambient temp. Mixed Hydroxide Gel (i) Filtering; (ii) Washed (with water); (iii) Air drying (over silica gel) Mixed Hydroxide Powder Baking, ~300oC, 3h Mixed Oxide Powder
Gambar 4. Skema Proses Sol Gel Sintesis ITO Nanomaterial 3.
Hasil dan Pembahasan
Pembuatan serbuk ITO nano material dengan metoda Sol Gel dan karakterisasi sistem sensor gas berbasis metal oksida, yang diaplikasikan pada divais sensor gas dengan menggunakan teknologi thick film dan thin film dengan bahan sensitif seperti ITO. Berbagai bahan aditif seperti Pt, Au, Pd, dan Ag akan digunakan sebagai dopant maupun katalis untuk meningkatkan sensitivitas dan selektivitas sensor, selain menerapkan sistem jaringan syaraf tiruan (artificial neural network). Adapun morfologi butiran nano ITO dilihat dengan alat SEM dapat dilihat pada Gambar 5.
360 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambar 5. Morfologi butiran nano ITO dilihat dengan alat SEM, Size: < 100 nm, perbesaran: 20.000x. 4.
Kesimpulan
Untuk mengatasi permasalahan diatas dan mencapai sasaran yang tepat, maka metodologi yang diterapkan dalam penelitian ini adalah: 1.Modifikasi material metal oksida untuk meningkatkan sensitivitas sensor. Beberapa hasil penelitian saat ini menunjukkan bahwa penambahan aditif dari bahan logam mulia (Pt, Au, Ag) dapat meningkatkan sensitivitas material metal oksida terhadap gas-gas tertentu. Aditif ini bisa berupa dopant yang dicampurkan dengan material dasar, atau dalam bentuk katalis yang dilapiskan di permukaan material dasar. Selain itu, sensitivitas sensor juga akan meningkat dengan pengecilan ukuran butiran material metal oksida sampai ke skala nanometer. 2.Penggunaan sensor array untuk meningkatkan selektivitas sensor. Perbedaan temparatur pengoperasian dan komposisi bahan aditif menyebabkan perbedaan respon dari sensor terhadap gas yang sama. Dengan kata lain, sensor yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda pula. Maka bila sensor-sensor ini digabungkan menjadi satu kelompok, didapat satu sistem sensor yang mampu mendiskriminasi gas polutan yang berbeda-beda dengan bantuan jaringan syaraf tiruan. 3. Penggunaan teknologi sol gel disamping thick film atau thin film dan teknologi MicroMachining untuk menghasilkan divais dengan konsumsi daya yang rendah. Tahap pertama, divais-divais sensor yang dikembangan akan difabrikasi dengan teknik screen printing untuk mendapatkan prototipe yang cepat dengan kinerja sesuai yang diharapkan. Tahap kedua adalah mewujudkan divais tersebut dengan teknologi MicroMachining dalam rangka proses miniaturisasi lebih lanjut. Semakin kecil sensor yang dibuat, akan semakin rendah pula konsumsi dayanya. 4. Pemilihan jenis material dan metoda proses yang belum banyak dieksplorasi penggunaannya dalam rancang bangun sensor gas akan memberikan aspek orisinalitas. Oleh karena itu, penelitian ini akan difokuskan pada penggunaan material Indium Tin Oksida (ITO) tersebut dan modifikasinya agar peluang mendapatkan konsepkonsep ilmiah baru bisa lebih mudah. 5. Dengan teknologi Sol Gel didapatkan hasil yang efektif dan efisien seperti mendapatkan butiran kristal nano sehingga devais yang dihasilkan menjadi lebih sensitif dan kinerjanya menjadi lebih tinggi. Daftar Pustaka Bârsan, N. & Ionescu, R., ‘SnO2-based gas sensors as chromatographic detectors’, Sensors and Actuators B, vol. 18-19, 1994, pp. 470-473. Barsan, N., Stetter, J. R., Findlay, Jr., M. & Gopel, W., ‘High-performance gas sensing of CO: comparative tests for semiconducting (SnO2-based) and for amperometric gas sensors’, Analytical Chemistry, vol. 71, 1999, pp. 2512 – 2517. Briand, D., Labeau, M., Currie, J. F. & Delabouglise, G., ‘Pd-doped SnO2 thin films deposited by assisted ultrasonic spraying CVD for gas sensing: selectivity and effect of annealing’, Sensors and Actuators B, vol. 48, 1998, pp. 395-402. Cosandey, F., Skandan, G. & Singhal, A., ‘Materials and processing issues in nanostructured semiconductor gas sensors’, JOM-e, 52 (10), 2000, http://www.tms.org/pubs/journals/JOM/0010/Cosandey/Cosandey0010.html. Figaro Products Catalogue, Figaro gas sensors 1-series 8-series, Figaro Engineering Inc. Iler, R.K., 1979, The Chemistry of Silica, John Wiley, New York, 1979. Kersen, U., ‘The gas-sensing potential of nanocrystalline SnO2 produced by a mechanochemical milling via centrifugal action’, Applied Physics A: Material Science & Processing, vol. 75, 2002, pp. 559-563.
361 ISBN 978-602-70361-0-9
Korotcenkov, ‘Gas response control through structural and chemical modification of metal oxide films: state of the art and approaches’, Sensors and Actuators B, vol. 107, 2005, pp. 209 – 232. Mizsei, J. & Lantto, V., ‘Air pollution monitoring with a semiconductor gas sensor array system’, Sensors and Actuators B, vol. 6, 1992, pp. 223-227. Moon, B. U., Lee, J. M., Shim, C. H., Lee, M. B., Lee, J. H., Lee, D. D. & Lee, J. H., “Silicon bridge type microgas sensor array”, Sensors and Actuators B, vol. 108, 2005, pp. 271 – 277. Mochida, T., Kikuchi, K., Kondo, T., Uono, H. & Matsuura, Y., ‘Highly sensitive and selective H2S gas sensor from r.f. sputtered SnO2 thin film’, Sensors and Actuators B, vol. 24-25, 1995, pp. 433-437. Moseley, P. T., ‘Thick-film semiconductor gas sensors’, in Thick Film Sensors, ed. M. Prudenziati, Elsevier Science, Amsterdam, 1994, pp. 289-311. Suzuki, T., Kunihara, K., Kobayashi, M., Tabat, S., Higaki, K. & Ohnishi, H., ‘A micromachined gas sensor based on a catalytic thick film/SnO2 thin film bilayer and thin film heater Part 1: CH4 sensing’, Sensors and Actuators B, vol. 109, 2005, pp. 185-189. Seiyama, T., Kato, A., Fujushi, K., & Nagatani, M., ‘A new detector for gaseous components using semiconductive thin films’, Analytical Chemistry, vol. 34, 1962, p. 1502f.
362 ISBN 978-602-70361-0-9
Senyawa yang bersifat sitotoksik dari daun Kalanchoe tomentosa (Crassulaceae) Lilis Siti Aisyah1*, Yenny Febriani Yun1, Unang Supratman2, Tati Herlina2, Euis Julaeha2 1
Kelompok Kimia Bahan Alam, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jenderal Achmad Yani, Jalan Ters. Jend. Sudirman PO BOX 148 CImahi 2 Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjajaran *E-mail :
[email protected]
Abstract Kalanchoe plants are the largest genus of the family Crassulaceae , and distributed in the tropics and subtropics, Kalanchoe Plant in Indonesia known as the " cocor bebek " and has been used as a medicinal plant and ornamental. In our ongoing research activity to search for cytotoxic compounds from plant Kalanchoe Indonesia, the results showed that the methanol extract of Kalanchoe tomentosa showed significant cytotoxic activity against murine leukemia P388 cells . Fresh leaves were extracted with methanol at room temperature. Methanol extract obtained was concentrated under reduced pressure resulting methanol extract concentrated dark brown . Concentrated methanol extract was dissolved in water and partitioned successively with n - hexane and ethyl acetate . The ethyl acetate extract showed the highest cytotoxic activity separated by various chromatographic techniques resulting isolates 1 and 2 . The chemical structure of isolates 1 and 2 were identified as kaempferol and kaempferol-3-O-α-L- ramnopiranodisa ( afzelin ) based on spectroscopy data and comparison of the data with spectral data obtained from the literature . Compounds 1 and 2 showed cytotoxic activity against murine leukemia cells P-388 with IC50 values consecutively IC50 > 100 and 3.32 mg/mL. Keywords : Kalanchoe tomentosa, Crassulaceae, kaempferol, afzelin, cytotoxic activity
1.
Pendahuluan
Kanker merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia. Lebih dari 10 juta orang didiagnosa mengidap penyakit kanker tiap tahunnya, bahkan penyakit ini menyebabkan kematian hingga 12% per tahun dari populasi dunia (WHO, 2004). Teknik pengobatan kanker yang saat ini berkembang di antaranya adalah radioterapi, kemoterapi, immunoterapi, gen terapi, dan pembedahan. Meskipun saat ini pengobatan tersebut merupakan pengobatan utama kanker, tetapi terapi ini membutuhkan biaya yang sangat mahal dan timbul efek samping dalam pengobatan, seperti mual, pusing, diare, penurunan sel darah putih, terjadinya malnutrisi, dan kebotakan. Hal ini menyebabkan banyak penderita kanker cenderung mencari alternatif pengobatan lain, yaitu dengan penggunaan tanaman obat. Penggunaan tanaman obat untuk kanker meningkat karena murah dan dianggap efek sampingnya rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian potensi antikanker dari tanaman-tanaman yang diketahui berpotensi dalam mengobati kanker. Salah satu tanaman obat yang memiliki potensi antikanker, yaitu Kalanchoe tomentosa (Cocor bebek). Selain mengatasi demam dan sakit kepala, secara tradisional tumbuhan Kalanchoe bermanfaat pula untuk membunuh bakteri, virus, jamur, relaksasi otot, menyembuhkan batuk, melegakan saluran pernafasan, menurunkan kadar kolesterol, memperlancar haid, obat luka, sakit dada, bisul, dan penyakit kulit lainnya (Taylor, 2005).Tumbuhan Kalanchoe sangat popular dijadikan tanaman hias sehingga penyebarannya sangat luas dan mudah didapat, termasuk di Indonesia. Dalam penelitian berkelanjutan terhadap pencarian senyawa antikanker baru dari tumbuhan Indonesia, diperoleh bahwa bufadienolida pada tumbuhan K. pinnata memiliki potensi untuk digunakan sebagai anti bakteri, antitumor, anti kanker, dan insektisida (Lana, 2005). Sebagian besar senyawa aktif yang terkandung dalam beberapa spesies Kalanchoe adalah senyawa bufadienolida, terutama pada bagian daun. Bufadienolida, merupakan senyawa yang sangat aktif dan menarik untuk diteliti (Biswas, et al., 2011;Supratman, et al., 2001). Hal ini dibuktikan pula dengan adanya aktivitas antitumor senyawa bufadienolida yang diisolasi dari K. pinnata dan K. daegremontiana x tubifloria (Supratman, et. al., 2001). Metil daigremonat merupakan suatu insektisida bufadienolida yang diisolasi dari K. daegremontiana x tubifloria (Supratman, et. al., 2001), sedangkan briofilin A (briotoksin C) dan briofilin C adalah insektisida bufadienolida yang diisolasi dari K. pinnata (Supratman, et. al.,
363 ISBN 978-602-70361-0-9
2000). Dua bufadienolida juga telah diisolasi dari K. daigremontiana, yaitu daegremontianin dan bersaldegenin1,3,5-ortoasetat yang juga ditemukan pada K. tubifloria Hamet dan memberikan aktivitas positif inotropic dan CNS (Wagner, 1985). Tiga senyawa bufadienolida baru yaitu kalanchosida A-C (1-3) telah berhasil diisolasi dari K. gracilis.Senyawa ini memberikan hasil yang sangat signifikan pada aktivitas sitotoksik terhadap sel tumor, sedangkan bryophyllin B dapat menginhibisi replikasi HIV dalam sel limfosit H9 (Wu, Pei-Lin., et al., 2006).Hellibrigenin-3-asetat adalah salah satu dari tiga bufadienolida yang diisolasi dari K. lanceolata Forsk (L. A., Anderson, et al., 1983). Berdasarkan studi literatur, telah diketahui bahwa hasil-hasil penelitian kandungan kimia tumbuhan Kalanchoe menunjukkan aktivitas antikanker. Penelitian ini adalah peluang dalam upaya penemuan senyawasenyawa aktif baru yang memiliki aktivitas sebagai antikanker dari genus yang sama tetapi spesies berbeda. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dijelaskan bahwa penelitian kandungan kimia kalanchoe ini akan berhasil menemukan senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antikanker. 2.
Metode
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun K. Tomentosa, n-heksana; n-butanol; etil asetat; metanol; kloroform; dan aseton, silika GF254, silika G60 (70-230 dan 230-400 mesh), asam sulfat 10% dalam etanol serta alumunium klorida. Penelitian menggunakan alat gelas laboratorium, maserator, rotary evaporator R-200 Buchi dengan pompa vakum Vac V-500 Buchi dan penangas air B-490 Buchi, kolom kromatografi terbuka berbagai ukuran, lampu UV Vilbert luomart (λ 254 nm dan λ 365 nm), spektrofotometer FTIR Spectrum One Perkin Elmer, Spektrometer Nuclear Magnetic Resonance (NMR) JEOL JNM ECA-500 , MS : Mariner Biospectrometry-Finnigan instrument. Daun K. tomentosa (18,3 kg) dibersihkan, dan diblender sampai halus, kemudian dimaserasi dengan metanol dipekatkan sampai diperoleh ektsrak pekat metanol (390,75 g). Ekstrak pekat metanol dipartisi dengan n-heksana. menghasilkan ekstrak pekat n-heksana (20 g). Fraksi air selanjutnya dipartisi dengan etil asetat, menghasilkan ekstrak pekat etil asetat (8 g). Isolasi Senyawa dari Ekstrak Etil Asetat Daun K. tomentosa Ekstrak pekat etil asetat (8 g) dimurnikan dengan menggunakan metode kromatografi vakum cair yang dipandu dengan KLT (Kromatografi Lapis Tipis). Fasa diam yang digunakan untuk kromatografi vakum cair adalah silika gel G60 dan fasa geraknya adalah n-heksana, etil asetat, dan metanol. Fasa diam yang digunakan untuk KLT adalah silika gel GF254 dan fasa gerak yang digunakan sama dengan fasa gerak pada kromatografi vakum cair. Selain itu juga digunakan teknik kromatografi kolom yang dipandu kromatogram KLT (kromatografi lapis tipis). Fasa diam yang digunakan untuk kromatografi kolom adalah silika gel G 60 dan fasa geraknya adalah etil asetat dan kloroform. Fasa diam yang digunakan untuk KLT adalah silika gel GF254 dan fasa gerak yang digunakan sama dengan fasa gerak pada kromatografi kolom. Penentuan Struktur Isolat Isolat ditetapkan struktur senyawanya secara spekstroskopi menggunakan spektrofotometer inframerah, spektrometer resonansi magnet inti proton (1H-NMR), spektrometer resonansi magnet inti karbon (13C-NMR), HH Correlated Spectroscopy (H-H COSY), Heteronuclear Multiple Quantum Coherence (HMQC), dan Heteronuclear Multiple Bond Connectivity (HMBC). Uji Antikanker menggunakan Sel Murine Leukimia P 388 Sel P 388 dibiakkan dalam media RPMI 1640 dilengkapi dengan 5% FBS (Fetal Bovine Serum) dan kanamisin (100µg/mL). Sel (3x103 sel/sumur) di kultur dalam mikroplate yang mengandung 100 µL media pertumbuhan per sumur dan diinkubasikan pada 37°C dalam kelembapan atmosfir 5% CO2. Sampel 10µL dengan berbagai konsentrasi ditambahkan ke dalam kultur sehari setelah transplantasi. Pada hari ketiga tambahkan 20µL larutan MTT (5mg/mL) per sumur kedalam tiap media kultur. Setelah 4 jam inkubasi tambahkan 100µL larutan 10% SDS yang dilarutkan dengan 0,01N HCl ke dalam tiap sumur dan kristal formazan dalam tiap sumur dilarutkan dengan pengadukan menggunakan mikropipet. Pengukuran optical density dilakukan menggunakan microplate reader pada dua panjang gelombang (550 dan 700 nm ). Setiap uji dan analisis dikerjakan triplo. 3.
Hasil dan Pembahasan
Daun K. tomentosa diblender sehingga terbentuk bubur. Bubur daun K. tomentosa diekstraksi menggunakan pelarut metanol. Filtrat dikumpulkan dan dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40o C sehingga diperoleh ekstrak pekat metanol. Ekstrak pekat metanol kemudian dilarutkan dengan campuran pelarut air dengan
364 ISBN 978-602-70361-0-9
kandungan metanol 10%. Fraksi metanol-air lalu dipartisi menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat diperoleh (8 g) ekstrak etil asetat dari daun K. tomentosa. Selanjutnya, dipartisi menggunakan pelarut n-butanol diperoleh (20 g) ekstrak n-butanol dari daun K. tomentosa. Ekstrak pekat etil asetat dari daun K. tomentosa sebanyak 8 g dipisahkan dengan berbagai teknik kromatografi dan diperoleh tujuh fraksi yakni fraksi A, B, C, D, E, F, dan G. Pada fraksi D terbentuk padatan amorf berwarna kuning, setalah dilakukan rekristalisasi didapat fraksi endapan dari fraksi D sebagai isolat 1. Pada fraksi E dilakukan pemisahan dengan berbagai teknik kromatografi sehingga diperoleh enam fraksi gabungan yaitu E1, E2, E3, E4, E5, E6. Berdasarkan pola noda KLT fraksi E6 menunjukkan pola noda yang lebih sederhana pada eluen kloroform: etil asetat (1:9). Dilihat dari bentuk isolat juga fraksi E6 menunjukkan padatan amorf berwarna kuning sehingga dapat diduga fraksi E6 telah murni dari pengotor. Isolat D diperoleh berupada padatan amorf berwarna kuning sebanyak 10 mg yang berpendar di bawah sinar UV 254 dan 365 nm, diukur menggunakan spektroskopi UV, terdapat pita serapan pada 353, 348, 266 dan 203 nm., kemudian diukur menggunakan spektroskopi inframerah untuk mengidentifikasi keberadaan gugus fungsi yang terdapat dalam suatu senyawa. menunjukkan adanya gugus fungsi utama yaitu gugus hidroksil (-OH), yang terlihat dari adanya serapan pada 3259 cm -1, adanya cincin aromatik pada 1597-1435 cm-1 diperkuat oleh serapan pada daerah sidik jari yaitu pada 1045 cm -1 yang merupakan regang dari gugus C-O alkohol. Pita serapan pada 1654 cm-1 mengindikasikan adanya gugus karbonil pada isolat D dan dukungan dari data C-NMR pada C 176,558 ppm. Selanjutnya diukur dengan NMR proton maupun karbon seperti pada tabel 1 Tabel 1 dilakukan perbandingan data senyawa Kaempferol dari Saffron petali. Serta diukur dengan menggunakan Spektroskopi massa memperlihatkan ion molekul pada m/z 284,98 [M+H]+, Tabel 1 Perbandingan data NMR isolat D dengan senyawa Kaaempferol dari Saffron petali (Hadizadeh et al., 2003) Posisi H
1
13
C-NMR δC (ppm) 157,760 136,608 176,558 162,290 99,198 164,998
1
H-NMR referensi δH (mult, J, Hz) 6,27 d, 1H, 2.1 -
13
2 3 4 5 6 7
H-NMR isolat δH (mult, J, Hz) 6,25 -
C-NMR δC (ppm) 158.2 136.1 179.0 162.3 99.7 162.8
8 9 10
6.52 -
94.433 146.973 104,110
6,72 d, 1H, 2.1 -
94.7 157.2 107.1
1’ 2’ 3’ 4’ 5’ 6’
8.15 7,01 6.9 8,13
123,303 130,412 116.300 160,131 94.514 99.093
7,81 dd, 1H, 9.1, 1.8 6,98 dd, 1H, 8.9, 2.1 6,98 dd, 1H, 8.9, 2.1 7,81 d, 1 H, 9.1, 1.8
121.4 131.3 116.6 161.6 116.6 131.5
Isolat E6 diperoleh sebagai padatan amorf berwarna kuning dan data spektral massa disarankan rumus molekul sebagai C21H20O10. Senyawa 2 memiliki total 21 karbon. Terdiri dari metil sp3 karbon δC 17,8 ppm, lima sp3 gula karbon metin pergeseran khas di C 72,0; 72,1; 72.2; 73,3 ppm dan 103,4 ppm, empat belas terkonjugasi aromatik sp2 karbon pada C 94,9; 99,9; 103,6; 105,9; 116,6; 122,7; 132,0; 136,3; 158,6; 159,4; 161,7; 163,3; 165,96 ppm, dan karbon karbonil pada C 179,7 ppm. Berdasarkan 13C-NMR spektrum spektrum dengan teknik DEPT 1350 dapat dilihat bahwa isolat E6 memiliki enam kelompok metin terkonjugasi yang diduga berasal dari dua cincin benzena (CH =) pada c 99,9; 94,9; 132,0 (2x); dan 113.6 (2x) ppm. Sebuah kelompok metil di C 17,8 ppm. Sementara lima kelompok oksigen lainnya diduga berasal dari gula ramnosida muncul di c 72,0; 72,1; 72.2; 73,3; dan 103,6 ppm. Selain itu, senyawa 2 juga memiliki sembilan karbon kuaterner seperti yang ditunjukkan oleh sinyal tidak muncul dalam spektrum DEPT 1350. Enam oksigen kuaterner karbon (CO =) muncul dalam bidang lemah dengan c 136,3; 158,6; 159,4; 161,7; 163,3; 165,9 ppm. Serta dua oksigen karbon kuaterner non pada 105,99 dan C 122,7 ppm. Karbon karbonil muncul di H 179,7 ppm. Dalam spektrum H-NMR dapat dilihat dengan adanya enam proton aromatik (sp2) di daerah H 6,19-7,75 ppm. Hal ini juga dapat dilihat dengan adanya kelompok gula yang khas muncul dalam H 3,32-4,22 ppm dengan anomeric proton pada H 5,32 ppm dan kelompok metil pada H 0,92 ppm, serta 'meta kopling' proton sinyal aromatik di H 6.19 ppm (1H, d, J = 2 Hz)
365 ISBN 978-602-70361-0-9
dan 6.36 ppm (1H, d, J = 2 Hz) ppm, yang diduga sebagai proton terikat C-6 dan C-8 pada cincin A kerangka flavon. dua sinyal proton sebagai 'orto kopling' di H 6.93 (1H, d, J = 8,9 Hz) dan 7,75 (2H, d, J = 9,0 Hz) ppm, yang diyakini sebagai sinyal proton pada C-2 ', C-3 ', C-5, dan C-6' cincin B yang merupakan karakteristik dari flavon 3,5,7,4'-tetrasubstitusi. 1H-NMR di atas juga menunjukkan anomeric proton sinyal doublet pada H 5,32 ppm menunjukkan gula ramnosida. Dugaan ini diperkuat dengan munculnya sinyal doublet sebagai kelompok metil sekunder pada 0,93 ppm dan tidak munculnya oksimetilen kelompok di posisi C-5 unit gula (Chaturvedula & Prakash, 2012), Tabel 2. Data Perbandingan NMR E6 dengan Senyawa Afzelin dari Hibiscus canabinus (Lee et al., 2005) 13C NMR Senyawa E6 1,586,110 1,362,817 1,796,812 1,632,847 999,216 1,659,650 948,472 1,593,645
C-2 C-3 C-4 C-5 C-6 C-7 C-8 C-9
Afzelin 158.7 136.2 179.6 163.2 99.88 165.9 94.8 159.3
C-10 C-1' C-2' C-3' C-4' C-5' C-6'
106.0 122.7 131.9 116.5 161.6 116.5 131.9
1,059,975 1,226,991 1,319,990 1,166,041 1,616,537 1,166,041 1,319,990
C-1" C-2" C-3" C-4" C-5" C-6"
103.5 72.0 72.2 71.9 73.2 17.6
1,035,747 721,278 721,745 720,028 732,524 177,488
1H NMR Afzelin 7,77 (d, 2H, J = 8,4 Hz 6.94 (d, 2H, J = 8,4 Hz 6.38 (s, 1H) 6,20 (s, 1H) 5.38 (s, 1H) 4.22 (s, 1H) 3.75 (m, 1H) 3.39 -3.31 (m, 2H)
Senyawa E6 77,690 69,402 63,695 61,983 53,798 42,293 37,195 3.3070 -3.3135
0,94 (d, 3H, d, J=6.5 Hz
0.9307
Uji aktivitas antikanker terhadap sel murinee P388 leukemia flavonoid diisolasi menunjukkan aktivitas dengan nilai IC50 51,83 dan 3.32 µg / mL. Nilai ini menunjukkan bahwa senyawa tersebut sangat aktif sebagai flavonoid antikanker untuk isolat E6. Menurut Cho et al. [. Cho, et al, 1998] aktivitas antikanker yang kuat dinyatakan sebagai berikut: 1 IC50 5 mg / mL = sangat aktif; 2 IC50 5-10 mg / mL = aktif; 3 IC50 11-30 mg / mL = sedang; dan 4 IC50> 30 ug / mL = tidak aktif Penemuan senyawa pada spesies ini dilaporkan untuk pertama kalinya dalam penelitian ini. 4.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil interpretasi spektrum UV, IR, MS, 1H-NMR, 13C-NMR, dan data data pembanding, isolat ditetapkan sebagai senyawa D adalah Kaempferol dan senyawa E6 adalah Kaempferol-3-O-α-Lrhamnopiranosida (Afzelin). Senyawa D dan senyawa E6 menunjukkan aktivitas sitotoksik terhadap sel murin leukimia P-388 dengan nilai IC50 51,83 dan 3,32 µg/mL
366 ISBN 978-602-70361-0-9
Ucapan Terimakasih Terima kasih kepada LPPM UNJANI yang telah mendanai penelitian ini melalui Hibah Penelitian Dosen Pemula 2012 dan Hibah Penelitian Unggulan 2013. Daftar Pustaka Biswas, S. K., et al., Literature Review on Pharmacological Potentials of Kalanchoe pinnata (Crassulaceae), African J. Pharmacy and Pharmacology, 5(10): (2011) 1258-1262 Chaturvedula, V.S.P. & I. Prakash. Kaempferol Glycosides from Siraitia grosvenorii. J. Chem. Pharm. Res., 2011, 3(6):799-804 L. A., Anderson, R. A., Schultz, J. P., Joubert, L., Prozesky, T. S., Kellerman, G. L., Erasmus, J., Procos, Krimpsiekte and Acute Cardiac Glycoside Poisoning in Sheep Caused by Bufadienolides from the Plant Kalanchoe lanceolata Forsk., Onderstepoort J. Vet. Res., 1983, 50(4): 295-300 Lana, A.,. Toksisitas Fraksi Etil asetat Daun Cocor Bebek Kalanchoe daigremontiana Hamet & Perrier. 2005http://hpt.unpad.ac.id Supratman, U., Fujita, T., Akiyama, K., and Hayashi, H., Insecticidal compounds from Kalanchoe daigremontiana x tubiflora, Phytochemistry., 2001,58, 311-314. Supratman, U., Fujita, T., Akiyama, K., Hayashi, H., Murakami, A., Sakai, H., Koshimizu, K., Ohigashi, H., Antitumor promoting activity of bufadienolides from Kalanchoe pinnata and K. daigremontiana × tubiflora. Biosci. Biotechnol. Biochem. 2001.65, 947–949. Supratman, U., Fujita, T., Akiyama, K., Hayashi, H., New insecticidal bufadienolide, bryophyllin C, from Kalanchoe pinnata. Biosci. Biotechnol. Biochem. 2000. 64, 1309–1311. Taylor, L. : The Healing Power of Rainforest Herbs, Raintree Nutrition, Inc., Carson City, (2005) Wagner, H., Fischer, M., Lotter, H., Isolation and Structure Determination of Daigremontianin, a Novel Bufadienolide from Kalanchoe daigremontiana, Planta Med., 1985, 51(2): 169-170 Wu, P.L., Hsu, Y.L., Wu, T.S., Bastow, K.F., and Lee, K.H., Kalanchosides A-C, new cytotoxic bufadienolides from the aerial parts of Kalanchoe gracilis, Organic Letters, 2006,8(23), 5207-5210
367 ISBN 978-602-70361-0-9
F. BIDANG SOSIOHUMANIORA
368 ISBN 978-602-70361-0-9
Profil Psikologis Korban Bencana Banjir di Desa Dayeuh Kolot, Jawa Barat Eka Susanty*, Bambang Setyawan, Rachmat Taufiq , dan Endah Pratiwi 1
Fakultas Psikologi Unjani, Jl Terusan Jenderal Sudirman, Cimahi *
E-mail:
[email protected]
Abstract Natural disasters is an event that could raise danger, damage, and lost both materally and immaterially. Dayeuhkolot District, Bandung is one of the area that often suffer from flood disaster. This research intent to describe psychological resilience of flood Disaster Survivor at Dayeuhkolot District, West Java. According to Reivich and Shatte (2002), resilience is ability to adapt and become tough in a bad situation. Technique of data acquisition used Resilience Quotient (RQ) questionnaire from Reivich & Shatte (2002). Assesment has purpose to measure subject’s resilience that suffering aftermath. Total samples are 206 subjects . They are adult (aged 21-60) that consist of housewives and housemasters. This research find four low scored resilience capability : emotion regulation (71,80%) , empathy (60,2%), self efficacy (72%) and reaching out (51,5%). Two capability got medium result : optimism (67,5%) and causal analysis (70,4%) and one capability got the high score : that was impulse control (90,77%). Conclusion of this research that most of people in Dayeuhkolot had a low score of resilience capability. Keywords: resilience, profile, flood, disaster
1.
Pendahuluan
Bencana alam telah memberikan dampak yang signifikan secara fisik, psikologis maupun sosial. Sebagai contoh bencana banjir merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda wilayah di Indonesia. Bencana banjir yang melanda beberapa wilayah di Indonesia merupakan stressor kehidupan yang memerlukan proses adaptasi. Para korban bencana merasakan berbagai dampak akibat bencana. Bencana banjir yang merendam pemukiman warga di sebagian wilayah Kabupaten Bandung sejak tanggal 21 Desember 2012 merupakan kondisi rutin yang dialami masyarakat sejak tiga tahun terakhir. Penyebab banjir akibat luapan air sungai Citarum hulu dan anak-anak sungai lainnya. Kondisi ini diperparah dengan kerusakan daerah aliran sungai Citarum, sedimentasi sungai, sampah di sungai dan berkembangnya pemukiman di bantaran sungai. Akibat banjir sekitar 10.250 kepala keluarga atau 40.000 jiwa jadi korban banjir dan sekitar 369 kepala keluarga diantaranya mengungsi. Berdasarkan laporan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bandung, sedikitnya ada empat korban jiwa dalam bencana banjir ini Meski bencana banjir secara rutin dialami warga sejak tiga tahun terakhir dampak bencana menyisakan masalah fisik, psikis dan sosial. Akibat terendam banjir warga mengalami kerugian materi dalam bentuk perabotan rumah tangga, tidak berproduksinya aktivitas home industry, tidak berjualan bagi para pedagang, dan terhentinya aktivitas belajar disekolah. Kemudian beberapa hari setelah banjir menyusut sebagian warga terutama anak-anak terserang penyakit misalnya : muntaber, batuk pilek, cikungunya, dan demam berdarah. Dampak banjir juga tidak lepas dari persoalan psikologis terutama pada anak-anak yang mengalami trauma akibat banjir. Penderitaan dan kesulitan paska bencana disertai dengan tingkat ekonomi yang rendah memunculkan respon maladaptif terhadap kejadian bencana. Gangguan trauma paska bencana merupakan reaksi umum yang akan muncul ketika seseorang berhadapan dengan bencana. Kemunculan simptom-simptom traumatik dapat menjadi indikator apakah seseorang resiliens atau tidak dalam menghadapi suatu tekanan kehidupan. Aspek psikologis yang dirasakan terkait dengan proses kehilangan; kehilangan barang, kehilangan orang yang dikasihi, kehilangan komunitas, dan kehilangan ikatan kekeluargaan dan lain sebagainya. Setelah 2 tahun kejadian bencana atau pada tahap rekonstruksi sebagian korban bencana telah mengalami pemulihan namun sekitar 5-10% dari korban membutuhkan intervensi psikologis. Dalam hal ini banjir merupakan sumber stres yang dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan psikologis atau tidak. Beberapa faktor resiko yang meningkatkan atau mengurangi terjadinya gangguan psikologis paska bencana adalah: memiliki sejarah gangguan mental, dukungan sosial, serta faktor resilience yang dimiliki
369 ISBN 978-602-70361-0-9
seperti; coping strategy, self-efficacy, dan berespon efektif meskipun mengalami perasaan takut (William dan Poijula, 2002). Berdasarkan uraian di atas diketahui banyak faktor yang menentukan apakah seseorang akan mengalami gangguan psikologis paska bencana atau tidak. Resiliensi adalah salah satu konsep yang komprehensif dalam mengungkapkan proses psikologis yang berkembang pada diri seseorang dalam menghadapi stressor kehidupan yang intens. Resiliensi akan berperan penting dalam memfasilitasi fungsi kesehatan seseorang. Oleh karena itu penting digambarkan resiliensi psikologis pada suatu komunitas yang tertimpa bencana. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal dalam membuat program pengembangan masyarakat yang resilien. Resiliensi didefenisikan sebagai proses perkembangan psikologis dalam berespon terhadap stressor kehidupan yang mempengaruhi fungsi kesehatan. Berbagai variasi defenisi tentang resiliensi diantaranya berkaitan dengan tidak adanya simptom yang menyertai setelah kejadian traumatik, yang menunjukkan performa selama menghadapi berbagai tantangan fisik atau psikologis atau mempertahankan pandangan positif meskipun menghadapi kesulitan atau kesukaran. Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi merupakan kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satu pun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik. Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi dapat ditingkatkan melalui perubahan cara pandang individu terhadap permasalahan yang dikemas dalam tujuh kemampuan yaitu: 1. Regulasi emosi (emotion regulation) Yaitu kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Orang yang resilien dapat mengontrol emosi, khususnya ketika berhadapan dengan kesulitan atau tantangan, tetap focus pada tujuan. Faktor ini penting untuk kesuksesan kerja, membentuk relasi yang intim dan menjaga kesehatan fisik. 2. Pengendalian Impuls (impuls control) Kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaran serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu yang mampu mengontrol impulsivitasnya adalah individu yang mampu mencegah kesalahan pemikiran sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang dihadapi. Faktor ini sangat berkaitan dengan regulasi emosi. 3. Analisis Kausal (causal analysis) Kemampuan seseorang dalam mengidentifikasi penyebab masalah dengan akurat. Jika seseorang tidak dapat mengidentifikasi penyebab masalah dengan akurat ia cenderung untuk mengulang kesalahan yang sama. Individu yang resilien akan mampu berfikir diluar kebiasaan untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab dan solusi yang mungkin. 4. Efikasi diri (self-efficacy) Keyakinan pada kemampuan diri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses Individu dengan efikasi diri tinggi akan memiliki komitmen dalam memecahkan masalah dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. 5. Optimis (realistic optimism) Kemampuan untuk tetap positif tentang masa depan dan realisitis dalam merencanakan. Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang akan datang. 6. Empati (emphatic) Kemampuan untuk membaca perilaku orang lain dengan memahami tanda-tanda psikologis dan emosi serta membangun relasi yang lebih baik. Individu yang resilien dapat membaca tanda-tanda nonverbal orang lain seperti ekspresi wajah, nada suara, dan bahasa tubuh dan menentukan apas yang individu pikirkan dan rasakan. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif. 7. Mencapai yang positif (Reaching Out) Kemampuan untuk meningkatkan aspek positif dari kehidupan dan berani mengambil kesempatan dan tantangan baru . Resiliensi tidak hanya penting untuk menghadapi pengalaman hidup yang negatif seperti mengatasi masalah berat atau pulih dari trauma tetapi juga memperkaya hidup, memperdalam hubungan dan mencari pengalaman baru. Penelitian ini untuk menggambarkan profil psikologis resiliensi dari suatu komunitas korban bencana yaitu korban banjir di desa Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung. Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi tentang profil kemampuan resiliensi masyarakat korban banjir di desa Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung untuk dijadikan data awal dalam merancang program pengembangan masyarakat paska bencana.
370 ISBN 978-602-70361-0-9
2.
Metode
Penelitian yang dilakukan termasuk pada jenis penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat karakteristik populasi tertentu. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif yaitu metode yang digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrument/alat ukur, dan analisis data bersifat kuantitatif. Adapun yang menjadi variabel penelitian adalah resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit (Reivich dan Shatte, 2002). Definisi operasional resiliensi adalah besarnya kemampuan seseorang untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi paska bencana, yang diukur berdasarkan tujuh struktur faktor resiliensi yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, analisis kausal, efikasi diri, optimis, empati dan reaching outAdapun jumlah sampel pada penelitian ini adalah 206 yang terdiri dari 132 orang perempuan dan 64 laki-laki. Teknik sampel menggunakan nonprobability sampling khususnya menggunakan sampling quota yaitu teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai sesuai dengan jumlah (kuota) yang diinginkan (Sugiyono, 2006). Adapun karakteristik dari subyek penelitian adalah sebagai berikut: 1. Usia antara 21-60 tahun 2. Pendidikan minimal SMP 3. Memiliki anak atau tanggungan anggota keluarga Teknik pengumpulan data menggunakan kuesionair Resilience Quotient Test (RQ test), yaitu skala yang mengukur tingkat resiliensi seseorang. Alat ukur ini dikembangkan oleh Reivich dan Andrew Shatte (2002). Kuesionair terdiri dari 56 item pernyataan yang dibagi menjadi dua yaitu 28 item positif dan 28 item negative. Sebagai penunjang digunakan teknik wawancara untuk mendapatkan informasi yang mendukung latar belakang subyek (biodata). 3.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengukuran menggunakan RQ test maka diperoleh gambaran secara keseluruhan profil resiliensi sebagai berikut: Tabel 1 Profil resiliensi korban bencana banjir Kemampuan Resiliensi Emotion regulation Impulse Control Optimism Causal Analysis Empathy Self-efficacy Reaching Out
Tinggi
Sedang
Rendah
Jumlah 0
(%) 0
Jumlah 58
(%) 28,20
Jumlah 148
(%) 71,80
187 57 13 0 8 17
90,77 27,7 6,3 0 4 8,3
18 139 145 82 49 83
8,74 67,5 70,4 39,8 24 40,3
1 10 48 124 149 106
0,49 4,9 23,3 60,2 72 51,5
Berdasarkan Tabel 1 diperoleh gambaran secara umum bahwa dari tujuh kemampuan resiliensi responden sebagian besar berada dalam kategori rendah yaitu untuk kamampuan emotion regulation (71,80%) , empathy (60,2%), self efficacy (72%), dan reaching out (51,5%). Dua kemampuan resiliensi sebagian responden berada dalam kategori sedang adalah optimism (67,5%) dan causal analysis (70,4%). Hanya satu kemampuan resiliensi yang sebagian besar responden berada dalam kategori tinggi yaitu impulse control (90,77%).Gambaran tujuh kemampuan resiliensi responden lebih jelas diperlihatkan pada Gambar 1 :
371 ISBN 978-602-70361-0-9
Profil Tujuh Kemampuan Resiliensi Responden Dayeuh Kolot 100 80 60 40 20 0
tinggi sedang rendah
Gambar 1 Profil tujuh kemampuan resiliensi responden Dayeuh Kolot. Gambar 1 memberikan gambaran keseluruhan prosentase dari masing-masih kemampuan resiliensi setiap kategori dari responden. Berdasarkan grafik diperoleh kemampuan impulse control sebagian besar responden berada dalam kategori tinggi. Kemampuan optimism dan causal analysis sebagian besar responden berada dalam kategori sedang. Sedangkan kemampuan emotion regulation, empathy, self efficacy dan reaching out sebagian besar responden berada dalam kategori rendah. Berdasarkan komposisi tersebut secara umum dapat diketahui profil keseluruhan kemampuan resiliensi responden berada dalam kategori rendah yang artinya kapasitas responden untuk merespon secara sehat dan produktif ketika dihadapkan pada kesulitan seperti ketika menghadapi banjir masih dalam kategori rendah. Kapasitas ini digunakan untuk mengelola stress sehari-hari dalam kehidupan. 3.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengolahan data kuesionair resilience quotient (RQ) diketahui bahwa korban banjir desa Dayeuh Kolot yang mengalami banjir menunjukkan profil resiliensi yang bercirikan kemampuan impulse control (90,77%) pada kategori tinggi. Korban banjir yang memiliki impulse control yang baik bertindak akan mampu mengendalikan perilaku-perilakunya dalam menghadapi kondisi banjir dan tidak impulsive. Mereka dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran sehingga memberikan respon yang tepat pada saat mengalami permasalahan. Menurut Reivich & Shatte (2002) seseorang yang memiliki skor Resiliensce Quotient yang tinggi cenderung akan memiliki emotion regulation yang tinggi pula. Namun kenyataannya agak berbeda dengan kemampuan regulasi emosi pada korban bencana banjir pada masyarakat Desa Dayeuh Kolot. Mereka sebagian besar memiliki kemampuan regulasi emosi yang berada dalam kategori rendah (71,80%). Hal ini ditunjukkan pada Gambar 1 . Artinya sebagian besar responden tidak mampu mengontrol emosi, atensi dan perilaku mereka serta tidak mampu mengelola dan mengekspresikan emosi mereka secara tepat. Meskipun sebagian besar masyarakat memiliki pengendalian diri yang tinggi namun mereka memiliki kemampuan regulasi emosi yang rendah. Hasil pengamatan dan wawancara pada sekelompok responden yang memiliki impulse control yang tinggi diketahui bahwa perilaku mereka dapat terkendali dan sabar dalam mengendalikan dorongan serta tekanan yang muncul dari dalam diri ketika banjir. Meskipun banyak gangguan ketika menghadapi banjir mereka dapat mengerjakan tugas-tugas mereka seperti peran sebagai ibu rumah tangga atau sebagai kepala keluarga. Mereka sabar menghadapi situasi dan mampu mengendalikan dorongan untuk tetap menjalankan peran dan tugasnya dalam keseharian. Hanya saja jika dikaitkan dengan kemampuan regulasi emosi yang rendah berarti secara emosi mereka tidak tenang dan tidak fokus dalam menghadapi situasi yang menekan. Perasaan-perasaan negative mudah muncul seperti cemas, gelisah, dan khawatir dirasakan setiap saat. Pada tataran pemikiran mereka mampu mengendalikan diri namun pada aspek perasaan mereka sulit untuk bisa tenang dalam menghadapi situasi banjir. Jadi mereka sesungguhnya dalam kondisi yang tidak sehat secara mental karena pengendalian diri yang kuat secara berlebihan tidak disertai dengan regulasi emosi yang baik. Mereka merasa sedih, marah dan kecewa dalam menghadapi banjir berulang. Namun kemarahan yang mereka rasakan terpendam dalam hati dan tidak dikelola dengan baik. Mereka juga merasa kecewa dengan pihakpihak terkait yang tidak mampu mengatasi persoalan desa mereka yang sering dilanda banjir. Situasi banjir yang sering mereka alami dan secara berkala terjadi tampaknya cukup berpengaruh dengan kemampuan pengendalian
372 ISBN 978-602-70361-0-9
diri. Mereka mampu menjalankan peran keseharian mereka seperti sebagai kepala keluarga untuk tetap fokus bekerja, sebagai ibu rumah tangga tetap menjalankan tugas-tugas rumah tangga. Kemampuan berikutnya yang menjadi ciri pada masyarakat korban banjir adalah optimism, yaitu keyakinan seseorang memiliki kemampuan untuk menangani kesulitan-kesulitan yang pasti akan muncul di masa yang akan datang. Mereka memiliki harapan untuk masa yang akan datang dan yakin bahwa mereka dapat mengontrol arah hidup mereka. Dengan kata lain, optimism adalah kemampuan untuk berfikir positif terhadap permasalahan yang dihadapi, dalam hal ini situasi banjir yang mereka hadapi. Sebagian masyarakat memiliki kemampuan optimism yang berada dalam kategori sedang (67,5%). Hal ini berarti sebagian besar responden belum cukup mampu mengontrol arah dan tujuan hidupnya serta sulit percaya bahwa mereka bisa menjadi lebih baik dalam mengatasi kesulitan atau kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hanya sebagian masyarakat yang memiliki kemampuan optimis dalam kategori tinggi (27,7%). Mereka memiliki keyakinan bahwa setiap masalah ada jalan keluar atau solusi namun mereka belum cukup mampu mengontrol arah dan tujuan bagi penyelesaian masalah. Mereka juga meyakini bahwa dengan cara bekerja keras maka mereka akan memperoleh hasil yang setimpal sesuai dengan jerih payah yang mereka lakukan. Dalam halnya menghadapi situasi sulit seperti banjir mereka mengetahui apa yang seharusnya mereka lakukan untuk mengatasi banjir agar tidak terulang. Namun pada kenyataannya mereka tidak berdaya untuk mengatasinya karena persoalannya melibatkan berbagai pihak. Hasil wawancara terhadap sejumlah masyarakat di desa Dayeuh Kolot menyebutkan mereka yakin bisa mengatasi banjir misalnya dengan membuat gorong-gorong atau menghentikan limpahan sampah yang selalu menumpuk dari kota namun bingung untuk mengupayakannya karena sering sekali kecewa dengan berbagai pihak termasuk pemerintah daerah yang kurang peduli keadaan mereka. Optimism yang dimiliki masyarakat korban banjir sejalan dengan self-efficacy yang berada dalam kategori rendah (72%) . Hal ini berarti sebagian besar masyarakat kurang yakin bahwa mereka mampu memecahkan masalah yang dihadapi dan mampu mencapai kesuksesan. Mereka cenderung mengandalkan orang lain dalam menyelesaikan masalah, mudah menyerah, kurang percaya diri , tidak mau mencoba cara-cara baru dalam menyelesaikan masalah dan mudah terpuruk. Jika mereka menghadapi masalah mereka tidak mampu berusaha dan mencari solusi-solusi yang berbeda hingga ditemukan solusi yang tepat. Mereka lebih memilih melakukan sesuatu yang mudah dikerjakan dari pada sesuatu yang mengandung resiko meskipun dapat menyelesaikan masalah. Hal ini pun berpengaruh terhadap pilihan pekerjaan yang mereka lakukan yakni tugas-tugas rutin sederhana dan tidak perlu adanya perubahan. Menurut Reivich & Shatte (2002), optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi dengan self-efficacy. Hal ini karena dengan optimisme seorang individu terus didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik. Berdasarkan hal itu dapat dipahami kondisi optimism masyarakat korban banjir yang cenderung rendah akan disertai pula dengan kondisi self efficacy yang rendah. Mereka tidak banyak melakukan sesuatu perubahan terkait dengan kondisi banjir yang mereka hadapi. Mereka menghadapi situasi banjir sebagai sesuatu yang rutin dan kurang terdorong untuk mencari solusisolusi baru dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka dalam menangani situasi banjir . Optimism yang cenderung kurang pada akhirnya akan mempengaruhi rendahnya self efficacy yang dimiliki masyarakat korban banjir. Dari data penelitian juga diketahui bahwa sebagian masyarakat korban banjir (51,5%) memiliki kemampuan reaching out yang rendah dan sebagian lagi dalam kategori sedang (40,3%). Reaching out adalah kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu hal-hal baru atau di luar kebiasaan. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki reaching out tidak hanya aktif mencari informasi, tetapi mereka juga akan aktif melakukan sesuatu di luar kebiasaannya berdasarkan pengetahuan yang sudah ia miliki dan perhitungan resiko. Pada penelitian ini tampak bahwa sebagian besar masyarakat korban banjir tidak menyukai hal-hal baru dan tantangan-tantangan baru, namun lebih menyukai kegiatan rutin, mudah terpengaruh orang lain dan tidak mampu melihat hal positif. Para ibu-ibu rumah tangga melihat situasi banjir sebagai sesuatu yang rutin dan terkadang mereka menikmati kejadian banjir sebagai sesuatu yang bisa dinikmati bersama. Hal ini dirasakan ketika keadaan memaksa yaitu ketika banjir mencapai ketinggian 1-2 meter mereka harus mengungsi di penampungan. Hasil wawancara menunjukkan sebagian dari mereka belum mampu menangkap makna atau pelajaran apa yang mereka dapatkan dari kejadian banjir dan belum tahu rencana ke depan dalam menghadapi banjir selanjutnya. Mereka tidak punya pilihan untuk pindah ke tempat lain yang bebas dari banjir. Namun sebagian kecil masyarakat yang memiliki reaching out yang tinggi mampu menghadapi situasi banjir dengan cara yang lebih positif yaitu memaksa mereka untuk lebih bekerja keras untuk mendapatkan uang dan akhirnya bisa digunakan untuk membangun rumah bertingkat. Dengan demikian setidaknya bisa membantu mereka ketika menghadapi banjir. Ciri lain terkait kemampuan resiliensi adalah kemampuan causal analysis. Causal analysis adalah kemampuan individu untuk mengidentifikasi secara akurat penyebab dari masalah yang mereka hadapi. Berdasarkan data penelitian sebagian besar causal analysis masyarakat berada dalam kategori sedang (70,4%) yang berarti bahwa sebagian besar masyarakat belum mampu menemukan sebab akibat dari permasalahan yang dihadapi, terkadang masih terpaku pada satu solusi, belum mampu mencari alternative jawaban dan masih sering
373 ISBN 978-602-70361-0-9
menyalahkan orang lain. Mereka belum terbiasa untuk bisa menemukan akar permasalahan dan menganalisis persoalan untuk bisa akhirnya mencari solusi. Hanya sebagian kecil dari masyarakat yang mampu untuk mengidentifikasi secara akurat penyebab permasalahan yang mereka hadapi. Kemampuan resiliensi yang terakhir adalah empathy, yaitu kemampuan yang sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte,2002). Pada masyarakat Desa Dayeuh Kolot kemampuan empati berada dalam kategori rendah, yang berarti sebagian besar responden tidak mampu menafsirkan bahasa nonverbal orang lain, sulit merasakan apa yang orang lain rasakan dan sering salah memperkirakan maksud orang lain. Hal ini terkait dengan kondisi yang sering mereka alami ketika saat banjir. Mereka sulit memahami perasaan yang dialami orang lain. Hal ini dapat dipahami karena ketika kondisi sulit mereka akan menghayati apa yang sedang mereka rasakan dari pada apa yang orang lain rasakan . Mereka lebih focus tentang kesulitan yang mereka hadapi terutama dalam menyelamatkan barang-barang di rumah, membersihkan rumah ketika banjir, mengurus anggota keluarga serta berbagai aktivitas yang terfokus pada penyelamatan diri dan keluarga. 4.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut : profil resiliensi korban bencana banjir Desa Dayeuh Kolot menunjukkan sebagian besar kemampuan resiliensi berada pada kategori rendah. yaitu : emotion regulation (71,80%) , empathy (60,2%), self efficacy (72%) dan reaching out (51,5%). Dua kemampuan berada dalam kategori sedang yaitu : optimism (67,5%) dan causal analysis (70,4%), serta satu kemampuan berada dalam kategori tinggi yaitu : impuls control (90,77%). Saran dari penelitian ini adalah pada korban banjir dapat dibuatkan program bagi peningkatan kemampuan resiliensi terutama untuk kemampuan resiliensi yang masih tergolong pada kategori rendah yaitu impuls control, self efficacy, empathy dan reaching out. Ucapan Terimakasih Terimakasih kepada lembaga yaitu LPPM Unjani yang telah membiayai penelitian ini. Daftar Pustaka Benard, Bonnie. 2004. Resiliency. What we have learned. WestEd. San Fransisco. Bonanno, G.A. 2004. Loss, Trauma and human resilience : Have we underestimated the human capacity to thrive after extremely aversive event? American Psychologist. 59. 20-28. Bonanno,G.A., Galea, Sandro., Bucciarelli, Angela & Vlahov, David. 2006. Psychological Resilience After Disaster. New York City in the aftermath of the September 11th terroris Attack. Psychological Science. Vol 17 No 3, 181-186 De Bruijne,M.,A.,ABoin,A & van Eeten,M. 2010. Resilience Exploring the Concept and Its Meaning, in Confort L.K.,Boin, A & Demchak, CC [eds] Designing Resilience, preparing for extreme events, University of Pittsburgh Press, Pittsburg. Djalante, Riyanti & Thomalla . 2011. Climate Change and Development Policy. An Innovative Framework for an Adaptive and Integrated Disaster Resilience Strategy. United Nations University. Helsinki. Ehrenreich, John H. 2001. Coping With Disasters. A Guidebook to Psychosocial Intervention. Revised Edition. Center for Psychology and Society, State University of New York. Johnson D, et al. 2009.Resilience and response to stress : Development and Initial validation of the Response to Stressful Experience Scale (RSES). Journal of Affective Disorder. Perez-Sales, Pau., et al. 2005. Post-traumatic Factors and Resilience : The Role of Shelter Management and Survivour’ Attitudes after the Earthquakes in El Salvador (2001). Journal of Community & Applied Social Psychology. Vol. 15 : 368-382. Reivich, Karen & Shatte, Andrew. 2002. The Resilience Factor. 7 Essential Skill for Overcoming Life’s Inevitable Obstacles. Random House,Inc. New York. . Sugiyono .2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Penerbit Alfabeta.Bandung. Susanty, Eka. Albanik,Hatta & Prathama, A.Gimmy. The Effectiveness of the Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) therapy in handling Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) the housewives earthquake survivor, in Pangalengan district, Jawa Barat. South East Asian Psychology Conference, SEAP, Sabah, Malaysia.2012. Williams, M.B & Poijula, S. 2002. The PTSD Workbook. Simple, Effective Techniques for Overcoming Traumatic Stress Symptom. New Harbinger Punlication, Inc. USA.
374 ISBN 978-602-70361-0-9
Studi Deskriptif Mengenai Tingkat Kecemasan Pada Karyawan yang Akan Memasuki Masa Pensiun Endah Andriani Pratiwi*, Litra Amanda Metra Program Studi Psikologi, Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi *E-mail :
[email protected]
Abstract Human resources are considered to be productive when it is physically they are in productive age. Based on psychological theories of human development is actually divided up into early adulthood , middle adulthood, and older adults. Under government regulations, the age of a human resource that can still be said to work is up to the age of 56 years . Where an employee enters after age 56 years of age , then they will see the retirement stage or stops working because it has entered old age. Feeling worried, nervous , unclear and uncertain said to be feeling anxious . The intent of this study was to obtain empirical data on the level of anxiety experienced by the employees who will retire. The purpose of this study was to obtain an overview of the level of anxiety in employees who retire. The approach used in this study is the inductive - deductive approach . Research conducted including the descriptive research that aims to systematically and accurately describe the characteristics of a particular population. The method used is a quantitative method. Measuring instruments used in this study is a questionnaire about anxiety. Samples are employees who will retire and numbering 20 people . Results illustrate that the level of anxiety experienced employee differences depending on how the level of anxiety trait possessed by every employee . If the employee has a high trait anxiety and face the momentary situation or state that worries the higher the level of anxiety . Keywords : anxiety , retirement
1.
Pendahuluan
Sumber daya manusia yang dianggap produktif adalah ketika memang secara fisik memang mereka berada dalam usia produktif. Berdasarkan teori psikologi perkembangan manusia hidup mengikuti tahapantahapan perkembangan kehidupan yang dimana setiap tahapannya memiliki tugas-tugas perkembangan, hambatanhambatan di dalam setiap tahapannya serta masalah yang biasanya terjadi pada tahapan perkembangan tertentu. Menurut John W Santrock (2007), sebenarnya manusia dewasa terbagi ke dalam usia dewasa awal, dewasa madya dan dewasa tua. Dewasa awal adalah usia 21 - 40 tahun, dewasa madya usia 40- 60 tahun dan kemudian dewasa tua adalah dari mulai usia 60 tahun hingga meninggal. Sedangkan sumber daya manusia yang dapat mulai bekerja dan produktif adalah ketika mereka memasuki usia dewasa awal dan juga dewasa madya yaitu sejak usia 21 tahun hingga 60 tahun atau sampai batas usia pensiun yang ditetapkan oleh pemerintah. Di usia dewasa tua, mereka memiliki tugas-tugas perkembangan seperti menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan, menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup, membentuk hubungan dengan orang-orang seusia dan menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes. Sedangkan usia dewasa tua biasanya secara fisik mereka sudah mengalami penurunan sehingga mungkin akan mempengaruhi produktifitas mereka di dalam bekerja. Berdasarkan peraturan pemerintah, usia seorang sumber daya manusia yang masih dapat dikatakan bekerja adalah sampai usia 56 tahun. Dimana setelah usia seorang karyawan memasuki usia 56 tahun, maka mereka akan menemui tahap pensiun atau berhenti bekerja karena memang sudah memasuki usia tua. Penetapan usia ini memang dikarenakan pada usia tua ini para karyawan dianggap kurang produktif untuk bekerja secara optimal untuk dapat menghasilkan suatu output yang optimal. Peraturan yang pemerintah tetapkan memang sedikit berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh para ahli psikolog, seperti John W Santrock (2007) yang mengatakan usia dewasa tua adalah mulai usia 60 tahun. Sedangkan usia pensiun di Indonesia adalah 56 tahun, dimana artinya secara fisik dan kognitif mereka masih berada pada tahapan usia produktif namun telah diminta untuk berhenti secara aktifitasnya di dalam melaksanakan kegiatan kerjanya sehari-hari. Seringkali para karyawan yang telah berada pada tahapan pensiun sebenarnya masih memiliki kekuatan fisik yang baik serta masih memiliki keinginan untuk dapat tetap produktif bekerja. Hanya saja memang aturan yang menetapkan bahwa mereka sudah tidak diperkenankan lagi untuk bekerja sebagai karyawan. Namun
375 ISBN 978-602-70361-0-9
jika diperhatikan tidak sedikit para individu yang telah berada di dewasa tua dan sudah pensiun masih banyak melakukan aktifitas-aktifitas yang menandakan bahwa mereka masih tetap produktif. Meskipun demikian banyak juga para individu yang telah memasuki masa pensiun memilih untuk tidak bekerja secara produktif dan memilih untuk beristirahat saja. Kemampuan setiap orang di dalam menyesuaikan diri memang sangat beragam, dimana hal tersebut tergantung dari pribadi masing-masing. Begitu pula ketika seorang individu yang memasuki masa pensiun maka ia akan menghadapi situasi dan tugas-tugas yang baru. Apa yang mereka hayati ketika pensiun dan bagaimana mereka melakukan penyesuaian dirinya akan menjadi berbeda. Ketika seseorang mendekati masa pensiun akan banyak hal yang mereka pikirkan dan rasakan, dimana akan banyak kemungkinan yang terjadi ketika mereka memasuki gerbang pensiun. Sebagai seorang individu yang akan memasuki masa pensiun, mereka akan mencoba mempersiapkan diri secara fisik maupun psikologis, namun persiapan psikologis seseorang akan juga tergantung pada kepribadian masing-masing individu tersebut. Rasa khawatir ketika memasuki masa pensiun memang merupakan hal yang sangat wajar terjadi pada para karyawan yang akan memasuki masa pensiun. Karena pada tahapan ini mereka akan menghadapi dunia yang baru yang mungkin akan banyak mengalami perubahan-perubahan dari yang biasanya mereka alami dan hayati. Perasaan-perasaan yang mereka alami adalah seperti merasa khawatir mengenai apa yang akan terjadi ketika mereka pensiun, bagaimana tanggapan keluarga, apa aktifitas yang dapat dilakukan dan bagaimana ketika menghadapi situasi yang juga baru serta masih banyak lagi. Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut mempengaruhi bagaimana persepsi dan penghayatan para karyawan terhadap masa pensiun. Spielberger (1966) dengan State-Trait Anxiety Theory menjelaskan bahwa kecemasan merupakan suatu keadaan atau kondisi emosi yang tidak menyenangkan, karena mengantisipasikan kejadian yang akan datang sebagai ancaman. Kecemasan dicirikan pula sebagai perasaan tegang, ketakutan, kekhawatiran yang subyektif dan oleh terbangkitnya sistem syaraf otonom. Selanjutnya muncul usaha individu untuk mengatasi keadaan yang tidak menyenangkan tersebut. Spielberger (1966:13) mengatakan bahwa ada dua jenis kecemasan yang berperan terhadap tergugahnya penghayatan kecemasan, yaitu kecemasan sesaat (State Anxiety) dan kecemasan dasar (Trait Anxiety). Kecemasan sesaat merupakan keadaan emosi sesaat yang akan meninggi derajatnya jika berada dalam keadaan yang dianggap mengancam dan akan menurun dalam keadaan yang tidak mengancam. Kecemasan sesaat dihayati individu secara subjektif, individu mengalami perasaan ketakutan, khawatir dan gelisah, yang disertai juga dengan aktifnya syaraf otonom. Kecemasan dasar merupakan refleksi pengaruh terhadap pengalaman masa lalu yang dalam beberapa hal dianggap menentukan perbedaan individu dalam kerentanan kecemasan. Hal ini tidak langsung termanifestasi dalam perilaku, namun tergantung dari seringnya dan lamanya kecemasan sesaat yang tergugah. Individu yang memiliki kecemasan dasar yang tinggi, memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menghadapi dunia dan lingkungannya sebagai keadaan yang membahayakan dirinya dan membuatnya merasa terancam daripada individu yang memiliki kecemasan dasar yang rendah. Karyawan yang memasuki masa pensiun akan menghadapi tahapan baru, tahapan dimana mereka akan memasuki masa mereka berhenti bekerja dari tugas-tugas rutin yang selama ini mereka lakukan. Penghayatan setiap karyawan terhadap masa pensiun memang berbeda-beda, jika karyawan memang sudah merasa siap untuk memasuki masa pensiun maka mereka sudah mulai memikirkan rencana yang akan mereka lakukan ketika pensiun. Gambaran kecemasan yang mereka hayati juga bisa menjadi beragam. Untuk itu maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai : “Bagaimana gambaran kecemasan yang dihayati oleh karyawan ketika mereka memasuki masa pensiun?”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat kecemasan yang dihayati oleh para karyawan yang memasuki masa pensiun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat ditarik beberapa gambaran yang ingin dicapai yaitu tingkat kecemasan para karyawan yang akan menghadapi masa pensiun dilijat dari tingkat kecemasan trait dan tingkat kecemasan state yang dihayati karyawan yang akan memasuki masa pensiun . 2.
Metode
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan induktif-deduktif. Dimana dalam pendekatan induktif, peneliti akan melakukan pengamatan yang berhubungan dengan variabel penelitian yang akan digunakan di dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan dalam pendekatan deduktif dilakukan studi kepustakaan, yaitu peneliti berusaha untuk memperoleh informasi mengenai masalah yang akan diteliti serta untuk menentukan alat ukur yang sesuai dan dapat digunakan dalam penelitian. Penelitian yang dilakukan termasuk pada jenis penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat terhadap karakteristik populasi tertentu. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif yaitu metode yang digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrument/alat ukur, dan analisis data bersifat kuantitatif.
376 ISBN 978-602-70361-0-9
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sampel seluruh karyawan yang akan memasuki masa pensiun di tahun 2014, di suatu perguruan tinggi swasta. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner mengenai kecemasan yang terdiri dari kuesioner kecemasan trait 20 pernyataan dan kuesioner kecemasan state 20 pernyataan. Alat ukur ini merupakan alat ukur baku dan diberikan secara langsung kepada subjek 3.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan kepada ke semua sampel para karyawan yang akan memasuki masa pensiun, maka diperoleh hasil yaitu bahwa secara keseluruhan para karyawan yang akan memasuki masa pensiun memiliki kecemasan yang rendah. Dimana hal ini terlihat dari tingkat kecemasan trait (dasar) yang diperoleh adalah sebesar 100% karyawan yang menghadapi masa pensiun memiliki tingkat kecemasan trait (dasar) yang rendah. Sedangkan untuk kecemasan state (sesaat), diperoleh 90% karyawan memiliki tingkat kecemasan state (sesaat) yang rendah dan 10% memiliki tingkat kecemasan state (sesaat) yang sedang. Kecemasan merupakan istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan adanya perasaan tidak enak yang menyakitkan, namun individu yang merasakannya tidak dapat menunjukkan secara pasti sumber tidak enak tersebut. Dalam teorinya Spielberger (1966) menjelaskan kecemasan merupakan suatu keadaan atau kondisi emosi yang tidak menyenangkan, karena mengantisipasikan kejadian yang akan datang sebagai ancaman. Kecemasan dicirikan pula sebagai perasaan tegang, ketakutan, kekhawatiran yang subyektif dan oleh terbangkitnya sistem syaraf otonom. Selanjutnya muncul usaha individu untuk mengatasi keadaan yang tidak menyenangkan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian terhadap para karyawan yang akan memasuki masa pensiun di suatu instansi perguruan tinggi di Bandung, maka terlihat bahwa sebenarnya terdapat perbedaan penghayatan terhadap kecemasan yang ada pada diri individu. Kecemasan trait merupakan kecemasan yang memang sudah menjadi dasar pribadi individu, dimana hal tersebut diperoleh dari pengalaman dan pendidikan di masa lalu yang pada akhirnya menjadi suatu kecenderungan individu ketika menampilkan diri dan ketika menghadapi situasi tertentu. Sedangkan kecemasan state dalam kasus ini adalah kecemasan yang memang dihayati oleh para karyawan yang akan menghadapi masa pensiun terhadap situasi-situasi yang tengah mereka hadapi. Dalam hal ini situasi yang mereka hadapi adalah situasi pensiun yang sebentar lagi akan mereka alami. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pada dasarnya semua karyawan yang akan menghadapi masa pensiun di instansi ini memiliki kecemasan trait yang rendah. Artinya mereka bukanlah pribadi yang pencemas, dimana pengalaman dan pendidikan yang mereka alami selama ini tidak membuatnya menjadi seorang pribadi yang mudah cemas. Mereka memang bukan orang yang mudah cemas karena dasar psikologis ataupun pribadi yang ditampilkannya tidak mengindikasikan bahwa mereka merasa khawatir, cemas atau apapun terhadap lingkungan sekitar. Pada pribadi ini mereka akan lebih tenang, lebih mampu mengenali gejolak emosi yang mereka rasakan, mereka lebih mampu mengelola apa yang mereka rasakan sebagai sebuah pengalaman yang memang seharusnya mereka alami dan hayati. Tidak ada hal yang membuat mereka menjadi khawatir dan takut karena disini mereka lebih melihatnya sebagai sesuatu yang pasti dan akan dialami oleh setiap orang. Sedangkan kecemasan state adalah kecemasan yang dikarenakan ada situasi yang membuat mereka menghayati adanya suatu kecemasan. Dalam hal ini sumber kecemasan tersebut bukan berasal dari dalam dirinya sendiri, namun berasal dari situasi yang akan ataupun tengah dihadapi individu tersebut. Situasi yang dihadapi akan dihayati berbeda pula pada setiap individu, namun situasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah situasi yang sama-sama dialami oleh para karyawan yang akan memasuki masa pensiun tersebut yaitu masa pensiun yang sebentar lagi akan mereka alami. Situasi pensiun yang memang belum mereka jalani merupakan hal yang sama sekali baru buat mereka. Situasi baru yang belum mereka ketahui memang dapat menimbulkan perasaan khawatir apabila ternyata individu memang menghayati bahwa situasi tersebut membuat kurang nyaman bagi dirinya. Dalam penelitian ini terdapat bahwa 90% karyawan yang akan memasuki masa pensiun menghayati bahwa situasi pensiun yang akan mereka alami bukanlah sesuatu yang menakutkan ataupun mengkhawatirkan. Mereka menganggap bahwa itu adalah merupakan salah satu peristiwa yang biasa dan tidak menimbulkan reaksi psikologis yang berarti. Dalam hal ini artinya situasi masa pensiun dihadapi dengan perasaan tenang, nyaman dan cukup dapat diterima oleh dirinya. Mereka merasa sudah siap di dalam menghadapi masa pensiun tersebut, mereka sudah mampu membayangkan apa yang akan terjadi dan apa yang akan mereka lakukan ketika berada dalam masa pensiun. Maka hal ini lah yang membuat mereka merasa bahwa situasi masa pensiun bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Berdasarakan pandangan psikologi perkembangan, pensiun dapat dijelaskan ke dalam suatu masa transisi ke pola hidup baru ataupun merupakan akhir pola hidup. Transisi ini meliputi perubahan peran dalam lingkungan sosial, perubahan minat, nilai dan perubahan dalam segenap aspek kehidupan seseorang. Jadi seseorang yang memasuki masa pensiun, bisa merubah arah hidupnya dengan mengerjakan aktivitas lain, tetapi bisa juga tidak mengerjakan aktivitas tertentu lagi. Sedangkan 10% karyawan yang akan menghadapi masa pensiun cukup merasakan perasaan kahawatir, cemas dan bimbang ketika mereka menghadapi masa pensiun. Hal ini dikarenakan mereka membayangkan apa
377 ISBN 978-602-70361-0-9
yang akan mereka lakukan dan apa yang akan terjadi pada saat pensiun itu datang. Perasaan dan pikiran mengenai masa pensiun yang terjadi pada diri mereka merupakan hal yang sangat wajar terjadi pada setiap orang, karena situasi tersebut merupakan sesuatu yang baru dan sesuatu yang masih belum pasti lebih karena belum terjadi. Akan tetapi mereka masih mampu menerima kenyataan dan situasi yang akan mereka hadapi tersebut karena merasa bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang wajar dialami oleh setiap orang, mereka sendiri masih mampu menghayati apa yang mereka rasakan dan mampu mengelola bagaiman reaksi emosional yang seharusnya mereka tampilkan. Perasaan aman terhadap kemungkinan yang terjadi pun membuat mereka pun tidak begitu berat menghayati situasi pensiun yang akan mereka jalani. Jika kita meninjau siklus dunia pekerjaan dari sudut psikologi masa pensiun ini ditandai dengan adanya suatu periode dimana ada saat untuk melakukan proses penyesuaian diri kembali dan juga melakukan proses sosialisasi kembali sejalan dengan tuntutan dari pekerjaan yang baru. Pensiun dapat dikatakan masa titik balik karena masa ini adalah masa peralihan dari seseorang memasuki dewasa akhir atau manula. 4.
Kesimpulan
Penelitian menunjukkan sebanyak 100% karyawan yang menghadapi masa pensiun memiliki tingkat kecemasan trait (dasar) yang rendah. Sebanyak 90% karyawan yang menghadapi masa pensiun memiliki tingkat kecemasan state (sesaat) yang rendah. Sebanyak 10% karyawan yang menghadapi masa pensiun memiliki tingkat kecemasan state (sesaat) yang sedang. Meskipun karyawan tidak mengalami kecemasan yang tinggi, namun pihak instansi dapat menyediakan fasilitas yang memberikan kesempatan kepada para karyawan yang akan menghadapi masa pensiun agar lebih siap menghadapi tahapan dan situasi yang baru Program pengenalan diri akan memberikan manfaat bagi para karyawan yang akan menghadapi masa pensiun agar mereka lebih mengenali segala potensi yang dimilikinya sehingga dapat memanfaatkan potensi tersebut di masa pensiunnya Daftar Pustaka Chaplin, Charlie.P, Kamus Lengkap Psikologi, alih bahasa Kartini Kartono, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983 Cox, Tom, Stress, Macmillan Press Ltd, London, 1978 Hurlock, B.Elizabeth, Developmental Psychology, Mc Graw, Hill Publishing Co. Ltd, New Delhi, 1978 Lazarus, Richard S, and Folkman, Susan, Stress Appraisal and Coping, Springer Publishing Company, New York, 1984 Lazarus, Richard S, Pattern of Adjustment and Human Effectiveness, Mc Graw, Hill Inc, New York, 1969 Sari, E.D dan Kuncoro J. 2006. Kecemasan Dalam Menghadapi Masa Pensiun Ditinjau Dari Dukungan Sosial Pada PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. Jurnal Psikologi Proyeksi.Vol 1. No 1. Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung, Semarang Sieber, J.E, O’Neil. Jr and S. Tobias, Anxiety, Learning and Instruction, Lawrence Erlbaum Associates Inc, New Jersey, 1977
378 ISBN 978-602-70361-0-9
Student Involvement pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Angkatan 2012 Amir Nuyman Setyadiredja* dan Miryam Adriane Sigarlaki Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi Unjani, Jl. Terusan Jenderal Sudirmal PO.Box 148 cimahi *E-mail:
[email protected]
Abstract The Student Involvement is an important part associated with the retention level or students resistance level in education. The research was conducted from the beginning of FY 2012-2013 odd semester - end of the second semester of FY 2012-2013 which aims to obtain data on student involvement in Class 2012. This research using survey method, with 90 respondents involved consisting of 59 female students and 31 male students. The instruments has 0,747 point of reliability, which means that this instrument can be reliable and have good regularity. The results showed that the respondents had a level of involvement that is not too high. In conclusion, several activities related to student engagement both academically and socially is not always done by the student . Students spend more time on entertainment activities compared to the activities related to the academic and social activities on campus. Suggestions need to be established academic and social climate that supports the growth of student engagement, so masiswa of other pathways may also be involved in various academic activities. Keywords : Student involvement, retention, PMDK, Faculty of Psychology Unjani
1.
Pendahuluan
Fakultas Psikologi Unjani merupakan salah satu fakultas yang didirikan pada tahun 2003 di Universitas Jenderal Achmad Yani. Setelah hampir 10 tahun, jumlah calon mahasiswa Fakultas Psikologi Unjani semakin bertambah, bahkan jumlah mahasiswa yang melakukan registrasi seringkali melebihi kapasitas daya tampung kelas yang dimiliki oleh Fakultas Psikologi Unjani. Data tahun 2013 yang di dapat dari bagian akademik Prodi didapatkan bahwa terdapat penyusutan jumlah mahasiswa pada angkatan 2012. Berdasarkan pengamatan dan data yang ada pada Program Studi (S1) Psikologi didapatkan bahwa penyusutan jumlah mahasiswa angkatan 2012 sekitar 23.23%. Angkatan 2012 adalah angkatan dengan jumlah pendaftar yang melakukan registrasi terbanyak yaitu sebanyak 198orang yang berasal dari berbagai jalur masuk yaitu Penelusuran Minat Dan Kemampuan (PMDK) Prestasi 1 dan 2 serta jalur Ujian Saringan Masuk (USM). Namun pada saat memasuki semester 2 jumlahnya mengalami penyusutan menjadi 152 orang beberapa penyebab yang sementara ini menjadi asumsi adalah karena banyak mahasiswa yang kembali mencoba mengikuti USM serta ada beberapa diantaranya tidak pernah muncul kuliah sejak semester pertama di jalankan. Kurikulum dan proses belajar yang diterapkan di perguruan tinggi sangat berbeda dengan kurikulum di SMA. Belajar di perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk bertanggung jawab dan mampu mengambil keputusan dalam merencanakan studi yang akan mereka jalani. Dalam proses belajarnya, mahasiswa harus mau lebih meluangkan lebih banyak waktu untuk belajar secara mandiri, rajin mencari dan membaca buku referensi serta informasi lain yang berhubungan dengan materi kuliah atau tugas yang diberikan, sering melakukan diskusi dengan rekan, senior maupun dosen. Hal ini tidak lain untuk meningkatkan pemahaman mereka mengenai konsep atau teori yang diajarkan. Untuk bisa meningkatkan pemahaman serta mempermudah akses ilmu pengetahuan baik dari senior maupun dari para dosen, seorang mahasiswa harus lebih mandiri dan bisa terlibat secara penuh dengan berbagai aktivitas kampus, bukan saja yang berkaitan dengan kegiatan ko kurikuler akan tetapi juga kegiatan ekstra kurikuler. Hal ini yang disebut dengan student involvement. Gambaran fenomena yang muncul pada angkatan 2012 bisa jadi merupakan gambaran yang menunjukkan kurangnya keterlibatan mereka dalam berbagai aktivitas akademik. Sebagai angkatan yang sudah melewati masa adaptasi, sudah seharusnya mahasiswa angkatan 2012 ini lebih aktif dalam berbagai kegiatan di kampus. Keterlibatan mahasiswa menurut Astin mengacu pada level energy fisik dan psikologis dimana para mahasiswa secara antusias mendedikasikannya untuk pengalaman akademik. Ada suatu harapan yang alamiah bahwa mahasiswa yang mendedikasikan energinya untuk belajar, akan mempertimbangkan penggunaan waktunya di kampus, berpartisipasi secara aktif pada organisasi kemahasiswaan dan berinteraksi secara berkala dengan para
379 ISBN 978-602-70361-0-9
anggota fakultas serta mahasiswa lainnya. Mengacu pada teori ini, ketika keterlibatan mahasiswa ini pada fakultas meningkat, tingkatan belajar dan pengembangan pribadi siswa akan meningkat pula.(Astin,1999; Amir, 2010). Berdasarkan fenomena yang telah disampaikan sebelumnya, maka peneliti mengasumsikan bahwa keterlibatan mahasiswa Fakultas Psikologi Unjani angkatan 2012 dalam kegiatan akademik masih rendah, baik pada mahasiswa yang masuk pada jalur pmdk, usm maupun prestasi, demikian pula dengan mahasiswa Unjani angkatan 2012 pada umumnya. Oleh karena hal tersebut di atas, penelitian ini memiliki tujuan untuk mendapatkan data empirik mengenai student involvement yang akan diukur melalui level energi fisik dan psikologis yang dicurahkan mahasiswa dalam mendedikasikan dirinya dalam pengalaman akademik yang akan dikaitkan dengan jalur masuk ke Unjani. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana interaksi antara mahasiswa dengan dosen dalam proses belajar mengajar serta gambaran mengenai kualitas keterlibatan mahasiswa dalam berbagai aktivitas baik yang sifatnya akademik maupun sosial. 2.
Metode
Salah satu teori pengembangan mahasiswa, untuk menjelaskan mengenai keterlibatan mahasiswa. Keterlibatan mahasiswa mengacu pada level energy fisik dan psikologis dimana para mahasiswa secara antusias mendedikasikannya untuk pengalaman akademik. Ada suatu harapan yang alamiah bahwa mahasiswa yang mendedikasikan energinya untuk belajar akan mempertimbangkan penggunaan waktunya di kampus, berpartisipasi secara aktif pada organisasi kemahasiswaan dan berinteraksi secara berkala dengan para anggota fakultas serta mahasiswa lainnya Mengacu pada teori ini, ketika keterlibatan mahasiswa meningkat, tingkat hasil belajar dan pengembangan pribadi mahasiswa akan meningkat pula (Astin, 1999) Teori keterlibatan siswa yang dikemukakan oleh Astin memiliki lima postulat dasar, yaitu: (1) keterlibatan mengacu pada investasi energy fisik dan psikologis yang difokuskan pada objek seperti tugas perkuliahan, pertemanan, hubungan dengan anggota keluarga. (2) keterlibatan merupakan konsep berkelanjutan; bahwa siswa yang berbeda akan menghabiskan derajat energy yang berbeda yang difokuskan pada objek yang berbeda pada waktu yang berbeda. (3) keterlibatan memiliki ciri kuantitatif maupun kualitatif. (4) sejumlah proses belajar siswa dan perkembangan pribadi secara langsung menunjukkan proporsi secara kualitatif dan kuantitatif pada keterlibatan siswa tersebut. (5) efektivitas dari kebijakan pendidikan berhubungan dengan kapasitasnya untuk meningkatkan keterlibatan mahasiswa (Astin, 1999 dalam Amir, 2010). Seorang mahasiswa yang tidak terlibat akan menghindar dari studinya, meluangkan sedikit waktu di kampus, tidak mengikuti kegiatan ektrakurikuler, dan memiliki frekuensi yang rendah dalam melakukan interaksi baik dengan pihak fakultas maupun dengan mahasiswa lainnya. Student involvement theory ini lahir sebagai jawaban atas adanya kecenderungan banyak akademisi memperlakukan siswanya sebagai sebuah “kotak hitam”. Pada input kotak hitam ini terdapat berbagai macam program dan kebijakan pada perguruan tinggi, sedangkan pada output diakhiri dengan berbagai pengukuran prestasi atau nilai dari berbagai macam bentuk tes/pengujian. Melihat hal ini ada proses yang hilang yaitu mekanisme yang “mengantarai” yang dapat menjelaskan bagaimana program pendidikan dan kebijakan perguruan tinggi diterjemahkan pada prestasi dan perkembangan dari mahasiswa. Pada kesempatan ini sangatlah berguna untuk mempelajari secara implisit pendekatan pedagogi di atas dan untuk menunjukkan bagaimana student involvement theory dapat membantu secara langsung pada hasil perkembangan mahasiswa. Ada beberapa konsep implisit yang berhasil ditemukan pada pendekatan pedadogi yang bersifat tradisional yang untuk memudahkan dibagi menjadi tiga yaitu: the subject matter, the resources dan individualized atau eclectic. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode survei. Sementara itu variabel dalam penelitian ini adalah Student Involvement yang dikaitkan dengan jalur masuk yang diikuti oleh mahasiswa Fakultas Psikologi pada saat mendaftar di UNJANI di tahun 2012. Untuk keperluan pengukuran, peneliti mengembangkan sebuah alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat keterlibatan mahasiswa dalam berbagai aktivitas akademik maupun sosial yang diturunkan dari konsep yang dikemukakan oleh Astin. Tahapan pengembangan alat ukur ini dimulai dengan menentukan definisi konseptual yang kemudian diturunkan menjadi definisi operasional sebelum kemudian disusun menjadi item pertanyaan. Dalam penelitian ini, keterlibatan mahasiswa yang dimaksud adalah mengacu pada sejumlah energi fisik dan psikologis yang dicurahkan pada pengalaman akademik yang diukur melalui intensitas mahasiswa dalam mengikuti kegiatan akademik maupun kegiatan sosial di lingkungan kampus. Survei dilakukan terhadap 90 sampel dari populasi mahasiswa Psikologi Unjani angkatan 2012. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 1 alat ukur utama yaitu berupa kuesioner mengenai student involvement yang akan dikembangkan dari konsep yang dikemukan oleh Alexander Astin. Sementara data tambahan yang akan digunakan adalah biodata mahasiswa 2012 terkait dengan jalur masuk dan data demografi yang dimiliki, serta data hasil analisis yang berkaitan dengan PPMB Unjani. Dari hasil pengujian pertama, alat ukur ini memperoleh nilai alpha sebesar 0,625
380 ISBN 978-602-70361-0-9
Untuk memperbaiki tingkat reliabilitas alat ukur, peneliti membuang 4 item yang memiliki validitas rendah sehingga jumlah item untuk mengukur student involvement menjadi 19 item dengan tingkat reliabilitas sebesar 0,747 Sementara untuk mengukur kualitas keterlibatan digunakan alat ukur yang bertujuan mengukur seberapa banyak waktu yang diluangkan untuk mengerjakan suatu aktivitas tertentu yang berjumlah 16 item. Berdasarkan hasil analisis reliabilitas, alat ukur ini dapat diandalkan dengan tingkat keandalan sebesar 0,800 seperti yang tertuang pada tabel dibawah ini: Setelah perhitungan untuk mendapatkan alat ukur yang valid (mengukur apa yang hendak di ukur) dan reliabel (ajeg) maka kemudian peneliti menyusun item item tersebut dalam bentuk susunan kuesioner dengan item yang diacak. Setelah itu baru kemudian kuesioner disebar kepada populasi yang dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Angkatan 2012. 3.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh angkatan 2012 fakultas Psikologi berasal dari berbagai wilayah, namun dominan masih berasal dari Jawa Barat. Sedangkan jumlah mahasiswa yang berasal dari kota Cimahi dan Bandung masih mendominasi. Mahasiswa fakultas Psikologi Unjani angkatan 2012 sebagian besar atau 83,3% berasal dari jurusan IPA, 10% berasal dari IPS sementara sisanya berasal dari berbagai jurusan di SMK seperti keperawatan, farmasi, kelistrikan. Hal ini menunjukan bahwa lulusan dari IPA masuk mendominasi sumber mahasiswa Fakultas Psikologi Unjani. Responden dalam penelitian ini yang berasal dari jalur PMDK merupakan responden yang paling banyak yaitu sebanyak 40 orang atau 44,4%, sementara responden yang berasal dari jalur USM dan Prestasi berturut turut sebanyak 28 atau 31,3% dan 22 orang atau 24,4%. Tabel 1. Gambaran Responden Berdasarkan Keikutsertaan dalam Kegiatan Kemahasiswaan
Tidak Pernah PMDK Jalur Masuk Unjani USM Prestasi Total
8 5 4 17
Ikut kegiatan kemahasiswaan kurang dari 1-2 jam 3-5 jam 6-10 jam 1 jam 4 7 19 2 5 11 7 0 5 5 7 0 14 23 33 2
Total 11-15 jam 0 0 1 1
40 28 22 90
Pada Tabel 1 dapat disampaikan bahwa dari 90 orang responden, dari 40 orang Mahasiswa yang berasal dari jalur PMDK, 19 diantaranya meluangkan waktu antara 3-5 jam untuk aktivitas kemahasiwaan, bahkan ada 2 orang yang meluangkan waktu antara 6-10 jam untuk aktivitas kemahasiswaan. Sementara dari 28 mahasiswa yang berasal dari jalur USM, hanya 7 orang yang meluangkan waktu antara 3-5 jam untuk aktivitas kemahasiswaan, dan yang terbanyak adalah sekitar 1-2 jam. Data lain menunjukan ada 1 siswa yang meluangkan waktu antara 1115 jam untuk aktivitas kemahasiswaan, yaitu mahasiswa yang berasal dari jalur prestasi. Jumlah waktu ideal untuk aktivitas kemahasiswaan memang antara 3-5 jam, karena bagaimanapun mahasiswa memiliki kewajiban yang lebih banyak ada aktivitas akademiknya, sehingga jumlah waktu yang dialokasikan untuk kegiatan kemahasiswaan tentunya terbatas. Tabel 2. Gambaran Responden Berdasarkan Aktivitas Bertanya Di Dalam Kelas Saat Perkuliahan Berlangsung
Jalur Masuk Unjani Total
PMDK USM Prestasi
Bertanya didalam kelas saat perkuliahan berlangsung Sering KadangTidak kadang Pernah 5 31 4 3 24 1 5 17 0 13 (14,4%) 72 (80%) 5(5,6%)
Total
40 28 22 90
Berdasarkan Tabel 2, terlihat bahwa pada saat perkuliahan berlangsung, dari 90 orang responden hanya 13 orang atau 14,4% yang sering bertanya. Sementara itu 5 orang atau sebanyak 5,6% bahkan tidak pernah bertanya di kelas pada saat perkuliahan berlangsung. Sedangkan sebagian besar sisanya yaitu sebanyak 72 orang atau 80% menyampaikan bahwa mereka melakukan aktivitas bertanya di kelas hanya kadang-kadang saja.
381 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 3. Gambaran Responden Berdasarkan Aktivitas Membaca Buku Untuk Belajar
Jalur Masuk Unjani Total
PMDK USM Prestasi
Membaca buku untuk belajar kurang dari 1-2 jam 3-5 jam 6-10 jam 1 jam 8 25 6 1 4 17 5 2 7 10 5 0 19 52 16 3
Total 40 28 22 90
Namun hal menarik didapatkan pada tabel 3. Dimana didapatkan data bahwa untuk aktivitas belajar, khususnya membaca buku untuk kepentingan belajar, para mahasiswa sebagian besar hanya meluangkan waktu sekitar 1-2 jam saja. Hal ini tentunya perlu diwaspadai, karena sebagian besar aktivitas mahasiswa seharusnya merupakan aktivitas yang mendukung pencapaian prestasi akademiknya. Dari 40 orang mahasiswa yang berasal dari jalur PMDK hanya ada 6 orang yang meluangkan waktu antara 3-5 jam untuk membaca buku, sebagian besar yaitu 25 orang hanya meluangkan waktu sebanyak 1-2 jam saja dan ada 8 orang yang membanca buku kurang dari 1 jam dalam sehari. Sementara dari 28 orang mahasiswa yang berasal dari jalur USM, ada 5 orang yang yang meluangkan waktu 3-5 jam untuk membaca dan 10 orang yang yang meluangkan waktu antara 1-2 jam. Ketidaktahuan mahasiswa akan apa saja yang harus dilakukan sebagai mahasiswa dan kurangnya keterampilan akademik mahasiswa seperti membaca buku teks berbahasa Inggris, cara bertanya di kelas, menyampaikan pendapat serta berdiskusi merupakan hambatan-hambatan yang menyebabkan siswa menjadi tidak terlalu terlibat dalam kativitas akademik. Hal ini sebenarnya bisa diantisipasi dengan diadakannya program persiapan akademik mahasiswa yang biasanya terintegrasi dengan kegiatan penerimaan mahasiswa baru atau PPS (Program Pengenalan Profesi dan Studi) yang biasanya dilelenggarakan oleh Unjani, baik di tingkat universitas sampai dengan tingkat prodi. 4.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa Fakultas Psikologi Unjani lebih banyak memfokuskan dirinya lebih banyak pada aktivitas sosial dan aktivitas kemahasiswaan, ditunjukkan dengan banyaknya rata-rata waktu luang yang mereka alokasikan untuk aktivitas kemahasiswaan yaitu sebanyak 3-5 jam per harinya. Sementara pada aktivitas yang sifatnya akademik, baik mahasiswa yang berasal dari jalur PMDK, USM maupun prestasi masih terbatas. Hal ini dapat dilihat dari jumlah waktu yang mereka luangkan untuk aktivitas membaca. Selain itu, hanya sebagian kecil saja mahasiswa yang sering melakukan proses bertanya di dalam kelas, dan hal ini nampaknya berlaku untuk semua mahasiswa dari ketiga asal jalur masuk ke Fakultas Psikologi. Namun demikian nampak bahwa keterlibatan ini cukup dapat membuat mereka tetap bertahan di Fakultas Psikologi. Jalur PMDK merupakan jalur yang paling menonjol, dimana sebaran aktivitasnya cukup besar. Namun dari segi kualitas dan dengan mempertimbangkan proporsi dari jumlah responden, nampak bahwa ketiga jalur tersebut nampaknya tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam kualitas maupun kuantitas keterlibatan mahasiswa, baik dalam bidang akademik maupun dalam bidang sosial. Daftar Pustaka Amir Nuyman S, Pengembangan Program Tahun Pertama Mahasiswa Fakultas Psikologi Unjani. Tesis, Bandung, Universitas Padjadjaran, 2010. Antony M. Graziano & Michael L. R. 2000. Research Methods a Prosess of Inquiry 4th edition. Allyn and Bacon. Astin, Alexander W., Student Involvement: A Developmental Theory for Higher Education, Journal of College Student Development, September/October 1999, Vol 40 No 5 page 518-529.
382 ISBN 978-602-70361-0-9
Gambaran Kesejahteraan Psikologis Mahasiswa Tingkat Satu Unjani Ayu Riana S*. dan Winna Andini H. Fakultas Psikologi Universitas Jenderal Achmad Yani *E-mail:
[email protected]
Abstract Studying in university might not easy for new students. Adjusting to new environment and demand of a university is sometime creates problems. Psychological Wellbeing is a healthy individual psychology condition which shows a functional positive psychologist such as self acceptance, positive relations with others, autonomy, enviromental mastery, purpose in life and personal growth.This study aims to understand the picture of psychological wellbeing of first year – University Jenderal Achmad Yani’s students (Unjani). The study is using deskriptif quantitative. The study took sample from 280 first year students in Unjani by using proportionate cluster sampling. The study is also using Psychological Well-Being’s scale which consists of 84 items. The study reliability of 0.894 is according to Alpha Cronbach Analysis. We conclude that 36.4% first year students of Unjani have a medium level, 32,9% students have low level, and 30,7% students have high level of psychological wellbeing. From six aspects of wellbeing, the lowest score is on the environmental mastery. If we compare among faculties, Faculty of Medicine has more first year students with high score of psychological wellbeing (64,9%). In other hand, Faculty of Politics and Social has more first year students with low score of psychological wellbeing (41,7%). Keywords: psychological wellbeing, first year student
1.
Pendahuluan
Belajar di perguruan tinggi bukanlah hal yang mudah terutama bagi mahasiswa baru. Mahasiswa baru, merupakan kelompok yang rawan terhadap stres (D’Zurilla & Sheedy, 1991). Mereka harus menyesuaikan diri karena tinggal terpisah dari rumah untuk pertama kalinya, mempertahankan pencapaian akademik yang baik, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang baru (Ross, Niebling & Heckert, 1999). Memasuki lingkungan sosial yang baru artinya dihadapkan juga pada tuntutan-tuntutan dalam lingkungan sosial tersebut. Mahasiswa baru dituntut untuk dapat beradaptasi dengan kehidupan di perguruan tinggi yang berbeda dengan kehidupan ketika mereka belajar di sekolah menengah. Secara akademik, sistem pembelajaran dengan sistem kredit semester menuntut mahasiswa baru untuk dapat secara mandiri menentukan sendiri beban studi yang harus mereka tempuh disesuaikan dengan kemampuan mereka baik dilihat dari potensi akademik, waktu maupun biaya. Tuntutan akademik tersebut dapat menimbulkan tekanan tersendiri pada mahasiswa. Tugas akademik yang banyak, kurangnya waktu belajar, tugas setiap semester, ujian, motivasi yang rendah dan tingginya harapan keluarga menimbulkan stres yang moderat bagi mahasiswa. Sedangkan takut akan kesalahan merupakan sumber stres terbesar diantara mahasiswa (Bataineh, 2013). Selain tuntutan akademik, mahasiswa baru pun dituntut untuk dapat mengikuti aturan yang berlaku di perguruan tinggi dan mampu menjalin hubungan dengan dosen, pegawai, rekan seangkatan maupun mahasiswa senior. Terkait dengan itu, mahasiswa pun dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan pergaulan di lingkungan sosial baik itu lingkungan pergaulan di kampus maupun di luar kampus seperti di tempat kos. Proses penyesuaian diri tidaklah mudah dan seringkali menimbulkan masalah pada diri mahasiswa. Apabila masalah tersebut tidak teratasi maka akan berlanjut menjadi masalah yang lebih besar dan berdampak pada lamanya waktu studi yang melebihi ketentuan (4 tahun), indeks prestasi akademik yang rendah, rendahnya tingkat kehadiran mahasiswa di kelas, pengambilan cuti akademik baik secara formal maupun cuti sepihak, penghentian studi mahasiswa sebelum waktunya, atau adanya perubahan perilaku mahasiswa seperti tidak mengerjakan tugas, lebih fokus pada kegiatan di luar akademis, menurunnya motivasi, pelanggaran aturan akademis, sampai munculnya permasalahan psikologis seperti stres atau depresi. Stres merupakan hal wajar yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia sehari-hari (Khan, Gulzar &Yahya, 2013). Berdasarkan penelitian pada sekelompok mahasiswa, diperoleh data bahwa mahasiswa seringkali mengalami stres yang berasal dari berbagai sumber diantaranya adalah kebiasaan merawat diri yang kurang baik, tuntutan akademik, permasalahan hidup sehari-hari, dan penghayatan kontrol akan situasi yang penuh stres. Hal-hal ini dapat mempengaruhi hasil akademik dan kesejahteraan mahasiswa (Fogle, 2012).
383 ISBN 978-602-70361-0-9
Permasalahan-permasalahan ini merupakan hal yang sering terjadi di setiap perguruan tinggi begitu pula di Universitas Jenderal Achmad Yani. Sampai saat ini belum ada data yang resmi terkait permasalahan mahasiswa di perguruan tinggi. Namun demikian, ditemukan kasus-kasus mahasiswa dari yang ringan dan berat diantaranya adalah menurunnya motivasi belajar, ketidakjelasan minat, sampai kasus yang berat seperti pacaran di luar kepantasan sosial, kehamilan di luar pernikahan, seks bebas, homoseksual, penggunaan narkoba dan minuman beralkohol, depresi dan percobaan bunuh diri. Permasalahan tersebut di atas dapat merupakan tampilan dari penyesuaian diri yang kurang tepat serta adanya stres dan strategi penanggulangan stres yang kurang tepat. Penanggulangan stres yang kurang tepat dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis mahasiswa. Menurut Ryff (1995) kesejahteraan psikologis (psychological well being) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif. Kesejahteraan psikologis adalah suatu kondisi psikologis individu yang sehat ditandai dengan berfungsinya aspek-aspek psikologis positif dalam proses mencapai aktualisasi diri. Aspek-aspek psikologis tersebut antara lain penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), kemandirian (autonomy), penguasaan lingkungan (enviromental mastery), tujuan hidup (purpose in life) dan pengembangan pribadi (personal growth). Kesejahteraan psikologis ini adalah hal yang sangat penting. Seringkali penanganan terhadap gangguan kesejahteraan psikologis mahasiswa terlambat dan baru terdeteksi ketika permasalahan telah menjadi besar dan mempengaruhi nilai atau waktu penyelesaian studi. Oleh karena itu penting kiranya tingkat kesejahteraan mahasiswa dapat diketahui dari awal sejak mahasiswa memasuki perguruan tinggi untuk mendapatkan penanganan yang tepat dari lembaga. Oleh karena itu, perlu untuk meneliti mengenai kesejahteraan psikologis (psychological wellbeing) mahasiswa tingkat satu Unjani. Adapun permasalahan penelitian yang akan diangkat adalah : 1.Gambaran kesejahteraan psikologis mahasiswa tingkat satu Universitas Jenderal Acmad Yani? (Baik secara umum maupun dilihat pada masing-masing fakultas) 2.Gambaran masing-masing enam aspek dari kesejahteraan psikologis mahasiswa tingkat satu Universitas Jenderal Acmad Yani. (Secara umum maupun dilihat pada masing-masing fakultas) 3.Gambaran data demografi terkait kesejahteraan psikologis mahasiswa tingkat satu Unjani 2.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif, untuk mendapatkan gambaran mengenai kesejahteraan psikologis mahasiswa tingkat satu Unjani. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh mahasiswa tingkat satu Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi yaitu mahasiswa S-1 reguler angkatan 2013, tercatat aktif, tidak pernah mengambil cuti dan belum pernah mengambil pendidikan di perguruan tinggi dengan rentang usia 18-20 tahun, berjumlah 1791 mahasiswa (Sumber data : Panitia PMB Unjani 2013, update data Selasa, 29 Oktober 2013 pukul. 08.00 WIB). Sampel penelitian diambil melalui populasi dengan menggunakan probability sampling, yaitu proportionate cluster sampling. Jumlah setiap mahasiswa yang diambil sebagai sampling dihitung dengan menggunakan rumus perhitungan sampel minimal dari Cochran. Pada penelitian ini diperoleh data sebanyak 280 mahasiswa, dengan proporsi pada Tabel 1. Tabel 1. Proporsi sampel No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Fakultas Teknik Kedokteran MIPA Ekonomi ISIP Psikologi Farmasi Total Sampel
Jumlah Mahasiswa 73 37 40 40 36 28 26 280
Alat ukur yang dipergunakan dalam penelitian ini berbentuk kuesioner yang diisi sendiri oleh mahasiswa (self report) untuk mengukur kesejahteraan psikologis. Selain itu diberikan pula daftar pertanyaan untuk menggali data demografi mahasiswa yang menggali jenis kelamin dan kesesuaian minat dengan jurusan yang ditempuh. Pengukuran kesejahteraan psikologis mahasiswa menggunakan skala Psychological Well-Being yang dikembangkan oleh Ryff (1989). Skala ini dikembangkan berdasarkan teori yang ia kembangkan dari beberapa teori dasar dalam Psikologi. Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning
384 ISBN 978-602-70361-0-9
person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan. Juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa, konsep Neugarten tentang kepusaan hidup, serta kriteria positif tentang orang yang bermental sehat yang dikemukakan Johada. Menurut Ryff (1995), pondasi untuk diperolehnya kesejahteraan psikologis adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psychological functioning). Adapun aspek-aspeknya adalah sebagai berikut: 1. Penerimaan diri (self-acceptance), individu yang memiliki penerimaan diri menunjukkan karakteristik: memiliki sikap positif terhadap dirinya, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik yang bersifat baik maupun buruk; serta merasa positif dengan kehidupan masa lalunya. 2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), karakter yang ditunjukkan oleh indiviu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain: mempunyai kehangatan dan kepuasan, berhubungan berdasarkan kepercayaan, perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, mempunyai empati yang kuat, memiliki afek, dan kedekatan. 3. Otonomi (Autonomy), yaitu kemampuan melakukan dan mengarahkan perilaku secara mandiri, penuh keyakinan diri. Individu yang mampu melakukan aktualisasi diri dan berfungsi penuh memiliki keyakinan dan kemandirian, sehingga dapat mencapai prestasi dengan memuaskan. 4. Tujuan hidup (Purpose in Life), mental yang sehat meliputi adanya keyakinan bahwa dapat melakukan sesuatu bagi orang lain adalah tujuan hidup seseorang. 5. Perkembangan pribadi dan (Personal growth), berfungsi secara optimal tidak saja diartikan sebagai telah tercapainya prestasi di waktu yang lalu, namun juga dapat terus mengembangkan potensi diri, disesuaikan dengan kapasitas periode perkembangannya. 6. Penguasaan terhadap lingkungan (Environmental Mastery), mental yang sehat dikarakteristikkan dengan kemampuan individu untuk memiliki atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiknya. Berdasarkan keenam dimensi tersebut Ryff (1989) menyusun skala pengukuran Kesejahteraan Psikologis menjadi item pernyataan yang berjumlah 84 item. Skala ini terdiri dari 6 pilihan jawaban yang berkisar dari sangat tidak setuju – sangat setuju. Pengujian reliabilitas alat ukur pada penelitian ini menggunakan analisis varians Alpha Cronbach. Adapun hasil uji realibilitas skala Kesejahteraan Psikologis sebesar 0,894. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa keseluruhan alat ukur memiliki reliabilitas yang baik. Validitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson. Untuk pengolahan data, dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif, dengan bantuan SPSS vrs 18. Tujuan dari pengolahan statistik deskriptif adalah untuk menggambarkan penyebaran data suatu gejala. Dalam statistik deskriptif menggunakan pengolahan data berupa penyebaran frekuensi [distribusi frekuensi]. Hal ini untuk menggambarkan penyebaran data dari variabel penelitian pada sampel penelitian. Misalnya, menggambarkan penyebaran kategori dari Kesejahteraan Psikologis dan dimensi pembentuknya pada fakultas yang ada di Unjani. Sebelum mendapatkan penyebaran frekuensi, peneliti melakukan kategorisasi pada hasil skor sampel. Skor sampel dikelompokkan menjadi tiga kategori derajat Kesejahteraan Psikologis yaitu Tinggi, Sedang dan Rendah. Sebelum melakukan kategorisasi, skor sampel diubah dalam bentuk baku menggunakan perhitungan Tscore karena kategorisasi yang digunakan mengacu pada norma ideal menggunakan Persamaan (1) Tscore = (Zscore*50) + 100
(1)
Selanjutnya, skor sampel yang diubah dalam bentuk Tscore dikelompokkan dalam tiga kategori yang mengacu pada perhitungan norma ideal dengan Persamaan (2) sehingga diperoleh Tabel 2. Mean baku + (0.5*SD baku) = 100 + (0.5*50)
(2)
Tabel 2. Kategorisasi Skor Kategori Tinggi Sedang Rendah
Nilai Tscore >125 76-124 <75
385 ISBN 978-602-70361-0-9
3.
Hasil dan Pembahasan
Pada penelitian ini, diperoleh gambaran kesejahteraan psikologis beserta enam aspek pembentuknya pada mahasiswa tingkat satu Unjani baik dilihat secara keseluruhan maupun dilihat berdasarkan masing-masing fakultas. Untuk melengkapi pembahasan, maka digunakan pula data demografi mahasiswa. Gambaran mengenai Kesejahteraan Psikologis mahasiswa tingkat satu baik dilihat secara keseluruhan maupun per-fakultas dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Distribusi kesejahteraan psikologis Fakultas Teknik Kedokteran MIPA Ekonomi ISIP Psikologi Farmasi Unjani
Rendah 28 (38,4%) 4 (10,8%) 15 (37,5%) 17 (42,5%) 15 (41,7%) 5 (17,9%) 8 (30,8%) 92 (32,9%)
Kesejahteraan Psikologis Sedang Tinggi 24 (32,9%) 21 (28,8%) 9 (24,3%) 24 (64,9%) 15 (37,5%) 10 (25%) 20 (50%) 3 (7,5%) 13 (36,1%) 8 (22,2%) 12 (42,9%) 11 (39,3%) 9 (34,6%) 9 (34,6%) 102 (36,4%) 86 (30,7%)
Jumlah 73 (100%) 37 (100%) 40 (100%) 40 (100%) 36 (100%) 28 (100%) 26 (100%) 280 (100%)
Apabila dilihat secara keseluruhan, mahasiswa tingkat satu Unjani cenderung memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tergolong sedang. Meskipun demikian, apabila dilihat antara kategori rendah, sedang dan tinggi, terlihat bahwa sebaran datanya cenderung merata. Apabila dilihat dari masing-masing fakultas, maka terlihat bahwa mahasiswa Fakultas Kedokteran banyak yang memiliki kesejahteraan psikologis tergolong tinggi. Sedangkan mahasiswa tingkat satu Fakultas Teknik dan Fakultas ISIP banyak yang memiliki kesejahteraan psikologis tergolong rendah. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih detil terkait kesejahteraan psikologis mahasiswa, maka peneliti akan melihat kesejahteraan psikologis berdasarkan dimensinya. Secara keseluruhan, mahasiswa tingkat satu Unjani memiliki kemandirian (autonomy), kemampuan pengembangan diri (personal growth), kemampuan dalam menjalin hubungan hangat yang positif dengan orang lain (positive relation with others), kemampuan dalam menentukan arah dan tujuan hidup (purpose in life), dan penerimaan diri (self acceptance) yang tergolong sedang. Secara keseluruhan, mahasiswa tingkat satu Unjani memiliki penguasaan terhadap lingkungan (enviromental mastery) yang cenderung tergolong rendah. Mahasiswa tingkat satu Unjani memiliki tingkat kesejahteraan psikologis (psychological wellbeing) yang sedang (36,4%). Apabila ditinjau dari masing-masing dimensi pembentuk kesejahteraan psikologis, maka dapat dijelaskan sebagai berikut : Mahasiswa tingkat satu Unjani memiliki kemandirian (autonomy) yang sedang (38,9%), yang menunjukkan bahwa mahasiswa tingkat satu Unjani cukup mandiri dalam berpikir dan bertindak, cukup mampu dalam mengatur tingkah lakunya serta cukup mampu dalam mengevaluasi dirinya sendiri berdasarkan standar pribadi. Namun mahasiswa tingkat satu Unjani memiliki penguasaan lingkungan (enviromental mastery) yang rendah (34,3%), yang menunjukkan bahwa mahasiswa tingkat satu Unjani mengalami kesulitan dalam menangani permasalahan hidup sehari-hari, merasa tidak sanggup untuk merubah lingkungan, kurang menyadari adanya peluang dan kurang dapat menguasai lingkungannya. Meskipun demikian, kemampuan mengembangkan diri (personal growth) mahasiswa tingkat satu Unjani cukup memadai (41,4%), hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa tingkat satu Unjani cukup memiliki keinginan untuk mengembangkan diri, cukup mampu terbuka akan pengalaman baru, cukup mampu dalam menyadari potensi dirinya dan melihat peningkatan pada dirinya, serta cukup dapat berubah untuk menjadi lebih baik. Mahasiswa tingkat satu Unjani cukup mampu (39,2%) dalam menjalin hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others), yang menunjukkan bahwa mahasiswa tingkat satu Unjani cukup mampu menjalin hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain, cukup peduli akan kesejahteraan orang lain, cukup memiliki empati, afeksi dan cukup mampu dalam menjalin hubungan dekat serta cukup mampu memahami hubungan yang timbal balik dengan orang lain. Adapun kemampuan menentukan tujuan (purpose in life) mahasiswa tingkat satu Unjani tergolong sedang (39,2%), artinya mahasiswa tingkat satu Unjani cukup memiliki arah dan tujuan dalam hidupnya serta cukup memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna pada tujuan hidupnya. Hal ini didukung pula oleh kemampuan penerimaan diri (self acceptance) yang cukup baik (40,7%). Dimana mahasiswa tingkat satu Unjani cukup memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri, cukup mengenali dan menerima baik aspek positif maupun aspek negatif dirinya dan cukup memandang positif masa lalunya.
386 ISBN 978-602-70361-0-9
Kesejahteraan psikologis yang dimiliki oleh mahasiswa tingkat satu dari setiap fakultas di Unjani memiliki kekhasan masing-masing. Berikut adalah gambaran kesejahteraan psikologis dari masing-masing fakultas: a. Fakultas Teknik Kesejahteraan psikologis mahasiswa tingkat satu Fakultas Teknik cenderung rendah. Meskipun demikian, apabila dilihat dari masing-masing dimensi pembentuk kesejahteraan psikologis yaitu autonomy, enviromental mastery, personal growth, positive relation with others, purpose in life dan self acceptance maka seluruhnya tergolong pada kategori sedang. b. Fakultas Kedokteran Mahasiswa tingkat satu Fakultas Kedokteran kebanyakkan memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tergolong tinggi. Hal ini didukung pula oleh hasil dari setiap dimensi pembentuk kesejahteraan psikologis yang tergolong tinggi. Dimensi yang paling dominan adalah dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan hubungan positif dengan orang lain. c. Fakultas MIPA Diperoleh hasil kesejahteraan psikologis mahasiswa tingkat satu Fakultas MIPA tergolong sedang dan tinggi. Dilihat dari keenam dimensi pembentuk kesejahteraan psikologis, lima dimensi tergolong sedang yaitu penguasaan lingkungan, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup dan penerimaan diri. Hanya dimensi kemandirian yang tergolong rendah. d. Fakultas Ekonomi Diperoleh hasil tingkat kesejahteraan psikologis kebanyakan mahasiswa tingkat satu Fakultas Ekonomi tergolong sedang. Apabila dilihat dari dimensi pembentuk, keempat dimensi tergolong sedang yaitu kemandirian, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup dan penerimaan diri. Hanya dua dimensi lain yaitu penguasaan lingkungan dan pengembangan diri kebanyakan mahasiswa Fakultas Ekonomi tergolong rendah. e. Fakultas ISIP Diperoleh hasil kebanyakan mahasiswa tingkat satu Fakultas ISIP memiliki kesejahteraan psikologis yang tergolong rendah. Apabila dilihat dari masing-masing dimensi pembentuk kesejahteraan psikologis, maka dimensi kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup dan penerimaan diri tergolong rendah. Sedangkan dua dimensi lainnya tergolong sedang yaitu pengembangan diri dan hubungan positif dengan orang lain. f. Fakultas Psikologi Mayoritas mahasiswa tingkat satu Fakultas Psikologi memiliki kesejahteraan psikologis yang tergolong sedang. Apabila dilihat dari masing-masing dimensi pembentuk kesejahteraan psikologis maka pada dimensi penguasaan lingkungan, kebanyakan mahasiswa tingkat satu Fakultas Psikologi tergolong tinggi. Sementara kelima dimensi lain yaitu pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup dan penerimaan diri tergolong sedang. g. Fakultas Farmasi Diperoleh hasil bahwa kebanyakan mahasiswa tingkat satu Fakultas Farmasi memiliki kesejahteraan psikologi yang tergolong sedang dan tinggi. Apabila dilihat dari masing-masing dimensi pembentuk kesejahteraan psikologis, maka pada dimensi penguasaan lingkungan dan hubungan positif dengan orang lain, kebanyakan mahasiswa tingkat satu Fakultas Farmasi tergolong tinggi. Sementara keempat dimensi lain yaitu kemandirian, tujuan hidup, penerimaan diri dan pengembangan diri tergolong sedang. Pada penelitian ini, data demografi jenis kelamin dan kesesuaian minat dengan jurusan yang ditempuh. Ditinjau pula distribusi data faktor kesejahteraan psikologis berdasarkan jenis kelamin dan kesesuaian minat. Tingkat kesejahteraan psikologis perempuan lebih tinggi (mean = 143.27) dibandingkan dengan laki-laki (mean = 135.52). Meskipun demikian, berdasarkan uji perbedaan dengan menggunakan Mann-Whitney U, dihasilkan bahwa perbedaan yang ditampilkan tidak signifikan yaitu nilai sebesar 0.443 (> 0.05). Berdasarkan keseuaian minat pada jurusan, mahasiswa yang memberikan data sebanyak 241 orang. Sedangkan sisanya sebanyak 39 orang tidak memberikan keterangan. Tingkat kesejahteraan psikologis mahasiswa pada jurusan yang sesuai minatnya (mean = 121.88) lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang jurusannya tidak sesuai dengan minatnya (mean = 102.92). Meskipun demikian, berdasarkan uji perbedaan dengan menggunakan Mann-Whitney U, dihasilkan bahwa perbedaan yang ditampilkan tidak signifikan yaitu nilai sebesar 0.126 (> 0.05). 4.
Kesimpulan
Secara umum, mahasiswa tingkat satu Unjani memiliki tingkat kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang tergolong sedang (36,4%), dengan masing-masing dimensi kemandirian (autonomy), pengembangan diri (personal growth), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), tujuan hidup (purpose in life) dan penerimaan diri (self acceptance) yang tergolong sedang. Namun dimensi penguasaan lingkungan (enviromental mastery) tergolong rendah. Apabila dilihat dari masing-masing fakultas,
387 ISBN 978-602-70361-0-9
a. Fakultas Teknik secara umum memiliki tingkat kesejahteraan psikologis tergolong rendah hanya keenam dimensi pembentuk kesejahteraan psikologis tergolong sedang. b. Fakultas Kedokteran secara umum memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tergolong tinggi. Dengan keenam dimensi pembentuk kesejahteraan psikologis yang tergolong tinggi. Dimensi yang paling dominan adalah dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan hubungan positif dengan orang lain. c. Fakultas MIPA secara umum memiliki tingkat kesejahteraan psikologis tergolong sedang dan tinggi. Kelima dimensi pembentuk tergolong kecuali dimensi kemandirian yang tergolong rendah. d. Fakultas Ekonomi secara umum memiliki kesejahteraan psikologis tergolong sedang. Keempat dimensi tergolong sedang sementara dimensi penguasaan lingkungan dan pengembangan diri kebanyakan mahasiswa tergolong rendah. e. Fakultas ISIP secara umum memiliki kesejahteraan psikologis yang tergolong rendah. Keempat dimensi pun tergolong rendah hanya dimensi pengembangan diri dan hubungan positif dengan orang lain tergolong sedang. f. Fakultas Psikologi secara umum memiliki kesejahteraan psikologis yang tergolong sedang. Kelima dimensi pembentuk tergolong sedang hanya dimensi penguasaan lingkungan yang tergolong tinggi. g. Fakultas Farmasi secara umum memiliki kesejahteraan psikologi yang tergolong sedang dan tinggi. Pada dimensi penguasaan lingkungan dan hubungan positif dengan orang lain, kebanyakan mahasiswa tergolong tinggi, keempat dimensi lain tergolong sedang. Unjani perlu memberikan perhatian pada tingkat kesejahteraan mahasiswa tingkat satu, terutama kemampuan dalam penguasaan lingkungan (enviromental mastery) perlu ditingkatkan, memberikan penanganan khusus pada mahasiswa Fakultas ISIP yang memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah serta dibuat bagian yang khusus menangani permasalahan mahasiswa dari berbagai fakultas di Unjani. Ucapan Terimakasih Terimakasih atas dana yang diberikan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Achmad Yani untuk menyelesaikan penelitian ini. Daftar Pustaka Bradburn NM. The Structure of Psychological Wellbeing.Chicago : Aldine Publishing Company. 1969. Bataineh MS. Academic stess among undergraduate students : The case of education faculty at King Saud University. International Interdisciplinary Journal of Education. 2013; 2 (1). Cohen S, Karmarck T, Mermelstein R. A global measure of perceived stress. Journal of Health and Social Behaviour. 1983; 24: 385-396. Cooke R, Beewick BM, Barkham M, Bradley M, Audin K. Measuring, monitoring and managing the psychological wellbeing of first year university students. British Journal of Guidance & Counselling. 2006 : 34 (4); 505-517. D’Zurilla TJ, Sheedy CF. Relation between social problem solving ability and subsequent level of psychological stress in college students. Journal of Personality and Social Psychology. 1991; 61(5): 841-846. Franzoi SL. Social Psychology. 5th ed. New York : McGraw-Hill. 2009. Holmbeck GN, Grayson N, Wandrei ML. Individual and relational predictors of adjustment in first year college students. Journal of Counseling Psychology. 1993; 40(1): 73-78. Khan KUD, Gulzar S, Yahya F. Crucial factors affecting stress : A study among undergraduates in Pakistan. International Journal of Asian Social Science. 2013; 3 (2): 428-442. Linley PA, Joseph S. Positive Psychology in Practice. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc. 2004. Pitkethly A, Prosser M. The first year experience project.: A model for university change. Higher Education Research & Development. 2001; 20(2): 185-198. Reifman A, Dunkel-Schetter C. Stress, structural social support, and well-being in university students. Journal of American College Health. 1990; 38: 271_277. Ryff CD. Happiness is everything, or is it? Explorations on The Meaning of Psychological Well-being. Journal of Personality and Social Psychology. 1989; 57: 1069-1081. Ryff CD, Keyes C. The Structure of Psychological Well-being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology. 1995; 69: 719-727. Silalahi U. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. 2009. Snyder CR, Lopez SJ. Handbook of Positive Psychology. Oxford University Press. 2005. Zimet GD, Dahlem NW, Zimet SG, Farley GK. The Multidimentional Scale of Perceived Social Support. Journal of Personality Assessment. 1988; 52: 30-41.
388 ISBN 978-602-70361-0-9
Analisis Stabilitas dan Prediktabilitas Unbiased Beta Portofolio Indeks LQ45 yang Optimal Ferikawita Magdalena Sembiring1*, Nunung Aini Rahmah 2 1
Program Studi Manajemen, FE, Unjani Program Studi Akuntansi, FE, Unjani
2
*Email:
[email protected]
Abstract The investors can invest their money in optimal portfolio using single index model, which considers historical data performance of each stock in the portfolio. Optimal portfolio is a selected portfolio which may provide the best combination of investment return and it risk. From the first step of the model we can find beta (β) value shares which would be used to predict the expected return of the portfolio. However, the accuracy of the prediction can be reduced if the value of beta is biased because of the non-synchronous trading problem in the stock market. To reduce this bias, we used Fowler and Rorke correction model adopted from single index model, then by using the Pearson correlation model, we can test the stability and predictability of the unbiased beta for predicting the expected return. These result indicates that the optimal portfolio using unbiased beta formed in 2009-2011 of stocks LQ-45 index, turned out to be unstable and become unpredictable. This means that the beta of optimal portfolio is not a good predictor to predict the expected return of portfolio in the next period. Keywords : beta bias, stock portfolio, stability and predictability beta
1.
Pendahuluan
Setelah mengalami masa krisis keuangan pada tahun 2008, kondisi pasar modal di Indonesia kemudian menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Jika di tahun 2008 IHSG sebagai indikator kinerja bursa sempat terpuruk di posisi minus 50,64%, namun pada tahun berikutnya, pasar modal mengalami bullish yang ditandai dengan kenaikan IHSG sebesar 86, 98%. Selanjutnya pada tahun 2010 dan 2011, IHSG mengalami kenaikan masing-masing sebesar 46,13% dan 3,20%, (BPS, BEI, dalam Investor, 2012). Sedangkan pada tahun 2012, IHSG mengalami kenaikan sebesar 12,94%, dan menempati posisi tertinggi keempat di antara bursa di Asia, setelah Hongkong (22,96%), Tokyo (22,90%), dan Singapura (20,50%). Kenaikan IHSG ini juga diikuti oleh kenaikan indeks saham unggulan LQ-45 yang naik 5,03 poin atau 0,69% dari tahun sebelumnya (BEI, dalam Investor, 2013). Perkembangan pasar modal yang cukup signifikan pada periode pasca krisis keuangan tahun 2008, telah menimbulkan sejumlah fenomena yang kiranya menarik untuk diteliti lebih lanjut, khususnya untuk kepentingan pihak investor. Dengan begitu banyaknya jumlah saham yang tersedia di bursa atau pun di dalam suatu kelompok indeks tertentu, seperti Indeks LQ-45, maka para investor pasar modal sering dihadapkan pada masalah bagaimana memilih kombinasi saham yang terbaik untuk diinvestasikan ke dalam portofolionya. Model indeks tunggal (single index model) merupakan model yang dapat digunakan untuk membantu investor dalam membentuk portofolio saham yang optimal, dengan mempertimbangkan data historis kinerja (track record) dari masing-masing saham pembentuk portofolio. Berdasarkan pertimbangan bahwa investor di Indonesia cenderung berkarakter risk averse (penghindar risiko), maka dalam penelitian ini, saham-saham pembentuk portofolio lebih difokuskan pada saham-saham unggulan yang tergabung dalam kelompok Indeks LQ-45. Untuk menghindari bias perhitungan, maka nilai beta setiap saham tersebut akan dikoreksi terlebih dahulu dan selanjutnya diuji stabilitas dan prediktabilitasnya dengan tujuan untuk mengetahui tingkat akurasinya dalam meramalkan expected return portofolio. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang hasilnya adalah bahwa sebagian dari unbiased beta saham-saham LQ-45, diperoleh dari nilai beta awal dan dari hasil koreksi beta awal dengan menggunakan satu periode lag dan lead. Namun pada beberapa saham unggulan, ada juga yang memerlukan periode koreksi sampai dengan 4 lag dan 4 lead, artinya bahwa walaupun relatif likuid, namun saham-saham unggulan seperti saham LQ-45 tetap berpotensi terimbas masalah non synchronous trading. Selain itu diketahui bahwa dengan menggunakan unbiased beta, maka saham-saham yang berpeluang untuk membentuk portofolio optimal berdasarkan model indeks tunggal (akan dilakukan dalam penelitian ini), relatif menjadi lebih banyak
389 ISBN 978-602-70361-0-9
sehingga komposisi saham-saham dalam portofolio optimal investor yang akan dibentuk akan lebih bervariasi (Ferikawita dan Nunung AR, 2013). Diperkirakan dengan semakin banyaknya saham-saham yang konsisten membentuk portofolio optimal pada setiap sub periode, maka akan semakin stabil nilai beta portofolio tersebut, sehingga dapat menjadi prediktor yang baik dalam meramalkan expected return. Dengan demikian tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan suatu cara atau metode yang dapat digunakan untuk membantu investor dalam perencanaan investasinya di pasar modal. Metode tersebut dikembangkan dari model-model yang berkaitan dengan pembentukan portofolio optimal, perhitungan unbiased beta, dan akurasi peramalan expected return. 2.
Metode
2.1
Operasionalisasi Variabel
Variabel-variabel penelitian yang akan dioperasionalisasikan berdasarkan setiap model yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Model indeks tunggal (single index model) serta model Fowler dan Rorke, mengoperasikan return indeks pasar (Indeks Harga Saham Gabungan-IHSG) sebagai independent variable dan return setiap saham yang masuk ke dalam kelompok Indeks LQ-45 sebagai dependent variable. 2. Model korelasi Pearson, mengoperasikan nilai unbiased beta portofolio optimal pada satu periode dengan unbiased beta pada periode berikutnya. Dengan demikian yang menjadi independent variable adalah unbiased beta pada periode saat ini, sedangkan dependent variable adalah unbiased beta pada periode berikutnya. 2.2
Sampel Penelitian
Pengambilan sampel ditentukan secara purposive sampling. Berdasarkan metode tersebut, maka sahamsaham yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah saham-saham emiten yang selama periode 2009–2011 masuk ke dalam kelompok Indeks LQ-45 yang berjumlah 40 saham. Fokus dari penelitian adalah pada kinerja harian (yang diukur dengan return) dari setiap saham tersebut selama periode 2009–2011. 2.3.
Metode Analisis Data
Metode analisis data mengacu pada model indeks tunggal menurut Elton and Gruber (2003 : 130) dengan langkah-langkah : a. Membentuk portofolio–portofolio optimal untuk setiap sub periode yang telah ditetapkan selama periode 2009–2011, berdasarkan single index model yang menggunakan nilai beta yang telah dikoreksi (unbiased beta), dengan terlebih dahulu menentukan data-data input expected return saham dengan rumus : (1) 𝐸 (𝑅𝑖 ) = 1⁄𝑛 ∑𝑛𝑡=1 𝑅𝑖𝑡 b.
Menentukan risiko sistematis dan risiko tidak sistematis Risiko sistematis yang diukur dengan diperoleh dengan meregresikan return saham individu (Rit) terhadap return pasar (Rmt), berdasarkan model indeks tunggal. Sedangkan risiko tidak sistematis dihitung dengan rumus : 𝜎𝑒𝑖2 = 𝜎𝑖2 − 𝛽𝑖2 . 𝜎𝑚2
(2)
Risiko total investasi dalam model indeks tunggal adalah : 𝜎𝑖 2 = 𝛽𝑖2 . 𝜎𝑚2 + 𝜎𝑒𝑖2 c.
Meranking peringkat saham didasarkan dari ERB terbesar ke ERB terkecil atau secara descending berdasarkan nilai excess return to beta (ERBi), dengan rumus : 𝐸𝑥𝑐𝑒𝑠𝑠 𝑟𝑒𝑡𝑢𝑟𝑛 𝑡𝑜 𝑏𝑒𝑡𝑎 (𝐸𝑅𝐵𝑖 ) =
d.
(3)
𝐸(𝑅𝑖 )−𝑅𝑓 𝛽𝑖
(4)
Menentukan portofolio optimal, dengan cara membandingkan antara excess return to beta (ERB) dengan cut-off point masing-masing saham dengan rumus : 𝐶𝑖 =
[𝐸(𝑅)𝑗 −𝑅𝑓 ]𝛽𝑗 𝜎𝑒𝑗2
𝜎𝑚2 ∑𝑖𝑗=1
𝑗
1+𝜎𝑚2 ∑𝑖=1
𝛽𝑗2 𝜎𝑒𝑗2
(5)
390 ISBN 978-602-70361-0-9
e.
Menentukan proporsi investasi untuk setiap saham pembentuk portofolio optimal dan menghitung risiko total setiap portofolio optimal untuk dibandingkan dengan risiko total masing-masing saham pembentuk portofolio. Rumus yang digunakan : 𝑍 𝑊𝑖 = ∑𝑛 𝑖 (6) 𝑗=1 𝑍𝑗
f.
Menentukan unbiased beta portofolio optimal berdasarkan metode rata-rata tertimbang dari setiap unbiased beta saham, dengan rumus : 𝛽𝑝 = ∑ 𝑋𝑖 . 𝛽𝑖 (7)
g.
Mengelompokkan dan menganalisis setiap unbiased beta portofolio optimal ke dalam sub periode yang telah ditetapkan dan menguji stabilitas dan prediktabilitas unbiased beta portofolio optimal berdasarkan model korelasi Pearson, untuk mengetahui akurasinya dalam meramalkan expected return. Rumus yang digunakan : 𝑁(∑ 𝑋𝑌)−(∑ 𝑋)(∑ 𝑌) 𝑟𝑥𝑦 = (8) 2 2 2 2 √[𝑁 ∑ 𝑋 −(∑ 𝑋) ] [𝑁 ∑ 𝑌 −(∑ 𝑌) ]
3.
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil penelitian sebelumnya telah diperoleh nilai beta awal untuk setiap saham emiten selama periode 2009-2011. Oleh karena nilai beta saham secara empirik terbukti bias akibat masalah perdagangan yang tidak sinkron di pasar modal, maka nilai beta tersebut dikoreksi berdasarkan model koreksi Fowler dan Rorke. Adapun setelah diperoleh nilai unbiased beta untuk setiap saham, maka tahap berikutnya adalah membentuk portofolio optimal berdasarkan model indeks tunggal (single index model). Dalam model indeks tunggal, nilai unbiased beta digunakan untuk mendapatkan nilai excess return to beta atau E(Rbi) yang selanjutnya akan dibandingkan dengan nilai cut-off (Ci) sehingga akan diperoleh saham-saham yang dapat membentuk portofolio optimal, yaitu saham-saham dengan nilai E(Rbi) lebih besar daripada nilai Ci, maka diperoleh sahamsaham yang menjadi pembentuk portofolio optimal pada setiap sub periode selama tahun 2009 – 2011, sebagaimana yang terdapat dalam Tabel 1 – Tabel 3. Berdasarkan Tabel 1 – Tabel 3, maka dapat diketahui bahwa pada setiap sub periode di tahun 2009 sampai dengan 2011, khususnya tahun 2010 dan 2011, hanya sebagian kecil saham yang berada dalam portofolio yang terbentuk di setiap sub periode namun tidak cukup konsisten untuk selalu berada pada sub periode berikutnya. Berdasarkan keterbatasan tersebut, maka dilakukan analisis jumlah frekuensi saham pada setiap tahunnya. Selanjutnya, dilakukan eliminasi atas saham-saham yang pada satu tahun atau lebih memiliki frekuensi 0 (nol) atau saham-saham yang tidak konstisten ada pada tahun pengamatan, sehingga saham-saham yang diperhitungkan hanya saham-saham yang memiliki nilai frekuensi saja. Namun dengan mempertimbangkan nilai frekuensi saham yang sangat variatif, maka dilakukan simulasi dalam 2 (dua) kategori atas saham-saham yang : (1) Memiliki nilai frekuensi pada setiap tahun, dan (2) Memiliki total nilai fekuensi sama dengan 8 kali atau lebih (jumlah sub periode pada setiap tahunnya). Tujuan dari simulasi ini adalah untuk mendapatkan hasil apakah beta portofolio yang terbentuk dari saham-saham yang masuk dalam setiap kategori stabil dan predictable.
391 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 1 Saham-saham Pembentuk Portofolio Pada Tahun 2009 Sub Periode I
Sub Periode II
Sub Periode III
Sub Periode IV
Sub Periode V
Sub Periode VI
Sub Periode VII
Sub Periode VIII
KLBF
LPKR
KLBF
UNVR
ENRG
UNVR
SMCB
LSIP
INDY
INDY
LPKR
KLBF
KLBF
JSMR
CPIN
INTP
INCO
ANTM
UNVR
LPKR
LSIP
BISI
BMRI
SMGR
ADRO
MEDC
SMCB
ISAT
UNVR
KLBF
TLKM
JSMR
JSMR
BBCA
ENRG
TLKM
LPKR
SMGR
ASII
TLKM
CPIN
ASII
JSMR
ADRO
JSMR
CPIN
SMGR
INDF
LPKR
UNSP
UNSP
SMGR
PGAS
SGRO
INCO
ADRO
SMCB
INTP
ITMG
JSMR
ADRO
SMCB
BISI
BDMN
ELSA
BLTA
BRPT
INDF
SGRO
INTP
INDF
LPKR
UNSP
KLBF
ELSA
ASII
ADRO
BNBR
UNVR
INTP
INKP
SMGR
CPIN
BBNI
PTBA
ELSA
INKP
ELTY
INDF
INCO
PGAS
BBCA
SGRO
BBNI
ITMG
BLTA
AALI
INCO
KLBF
SMCB
BRPT
BDMN
ELTY
INDY
BDMN
ELSA
ASII
PGAS
AALI
INKP
BNBR
ENRG
MEDC
MEDC
TINS
BNBR
TLKM
INKP
BBCA
BMRI
BDMN
BRPT
AALI
ENRG
INDY
PTBA
UNVR
SGRO
UNTR
BMRI
ELSA
UNTR
JSMR
AALI
TLKM
TBLA
TBLA
MEDC
SGRO
BBRI
SMGR BBNI BBRI PGAS INDF SMCB
392 ISBN 978-602-70361-0-9
Tabel 2 Saham-saham Pembentuk Portofolio Pada Tahun 2010 Sub Periode I
Sub Periode II
Sub Periode III
Sub Periode IV
Sub Periode V
Sub Periode VI
Sub Periode VII
Sub Periode VIII
INKP
SMCB
UNVR
CPIN
CPIN
CPIN
LPKR
BBNI
KLBF
ELSA
MEDC
UNVR
KLBF
INDF
BBNI
ENRG
ISAT
INCO
INTP
BMRI
JSMR
BISI
BLTA
BNBR
TBLA
ITMG
INDY
INDF
BBNI
INKP
LSIP
UNTR
LPKR
PTBA
INDY
JSMR
AALI
INDY
CPIN
ADRO
LSIP
ELTY
BBRI
BBNI
SGRO
TINS
ADRO
BBCA
INCO
LPKR
BDMN
ANTM
TINS
BRPT
KLBF
TBLA
PTBA
PGAS
BMRI
ISAT
ASII
ENRG
KLBF
BBNI
Tabel 3 Saham-saham Pembentuk Portofolio Pada Tahun 2011 Sub Periode
Sub Periode II
Sub Periode III
Sub Periode IV
Sub Periode V
BLTA
PTBA
BLTA
UNTR
UNVR
BDMN
ENRG
TBLA
ADRO
CPIN
SMGR
INCO
BISI
BNBR
JSMR
TBLA
ELSA
TBLA
CPIN
ENRG
BBCA
INDF
JSMR
SGRO
UNSP
ASII
LPKR
ELTY
UNVR
BRPT
SMCB
KLBF
INTP
UNTR
ENRG
I
Sub Periode VI
Sub Periode VII
TLKM
PTBA
Sub Periode VIII UNVR
LPKR ELTY TLKM
Berdasarkan hasil pengelompokan, diketahui bahwa ada sebanyak 24 saham yang masuk dalam kategori 1, dan 9 saham yang masuk dalam kategori 2. Berdasarkan hasil analisis beta dengan menggunakan model korelasi Pearson, dapat diketahui bahwa : 1. Pada simulasi 1, dimana saham-saham yang digunakan adalah saham-saham yang konsisten berada di setiap periode pembentukan portofolio, walaupun tidak konsisten di setiap sub periodenya, beta portofolio ternyata tidak dapat digunakan untuk memprediksikan return portofolio di waktu yang akan datang. Hal ini terlihat dari nilai beta yang positif namun tidak signifikan untuk korelasi tahun 2009-2010, dan negatif namun tidak signifikan untuk korelasi tahun 2010-2011 dan tahun 2009-2011. 2. Pada simulasi 2, dimana saham-saham yang digunakan adalah saham-saham yang konsisten berada di setiap periode pembentukan portofolio dengan tingkat konsistensi yang lebih tinggi daripada simulasi 1, nilai beta
393 ISBN 978-602-70361-0-9
relatif lebih stabil walaupun tetap tidak dapat digunakan untuk memprediksi return portofolio untuk tahun yang akan datang. Hal ini terlihat dari nilai beta yang positif untuk korelasi tahun 2009-2010 dan 2010-2011, namun negatif untuk tahun 2009-2011. Kedua hasil ini menunjukkan bahwa pada periode 2009-2011, nilai beta portofolio yang diperoleh dari beta saham-saham yang telah dikoreksi (unbiased beta) bukan merupakan predictor yang baik untuk meramalkan expected return portofolio saham di masa yang akan datang. 4.
Kesimpulan
Beta portofolio yang dibentuk pada tahun 2009-2011 dari saham-saham yang nilai betanya telah dikoreksi (unbiased beta) bersifat tidak stabil dan tidak predictable. Hal ini berarti bahwa beta portofolio yang terbentuk pada periode tersebut bukan merupakan predictor yang baik untuk meramalkan expected return portofolio saham di periode berikutnya atau periode yang akan datang. Beta portofolio dalam penelitian ini terbukti tidak stabil sehingga tidak predictable, sehingga saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah : (a) penggunaan data bulanan untuk mengurangi masalah fluktuasi data serta menambah periode waktu, misalnya lima tahun untuk mengkompensasi keperluan pengujian koreksi bias beta dan pembentukan portofolio optimal, serta (b) membuat pengelompokan saham-saham yang akan dianalisis berdasarkan sektor usaha masing-masing kemudian dilakukan analisis berdasarkan tahap-tahap yang telah ditentukan. Tujuannya adalah untuk mengurangi variabilitas data yang kemungkinan disebabkan oleh kondisi perekonomian yang berdampak pada kondisi masing-masing sektor usaha yang pada akhirnya akan mempengaruhi nilai saham perusahaan (emiten) yang bersangkutan. Hal ini juga diharapkan dapat membantu investor untuk mengetahui saham-saham dari sektor mana yang dapat dipertimbangkan untuk membentuk portofolio optimalnya. Daftar Pustaka Blume, Marshall E, Betas and Their Regression Tendencies, The Journal of Finance, 1975, Vol. XXX No. 3 Eko, Sumanto, Analisis dan Penilaian Kinerja Portofolio Optimal Saham–saham LQ 45, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi : Bisnis dan Birokrasi Universitas Indonesia, 2008, Volume 15 Nomor 3 Elton, Edwin J, and Martin J, Gruber, and Manfred W. Padberg, Simple Criteria for Optimal Portfolio Selection, The Journal of Finance, 1976, Volume XXXI No. 5 Elton, Edwin J. and Martin J, Gruber, Modern Portfolio Theory and Investment Analysis, Sixth Edition, John Wiley & Sons, New York, 2007 Elton, Edwin J, Simple Criteria for Optimal Portfolio Selection : Tracing Out The Efficient Frontier, The Journal of Finance, 1978, Volume XXXIII No. 1 Fabozzi, Frank J. and Jack Clark Francis, Stability Tests for Alphas and Betas Over Bull and Bear Market Conditions, The Journal of Finance, 1977, Vol. XXXII No. 4 Ferikawita MS, Analisis Stabilitas dan Prediktabilitas Beta Sebagai Komponen Penting dalam Pengambilan Keputusan Investasi pada Portofolio Reksadana Saham, Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Universitas Islam Bandung, 2011, Volume 2 No.1 Ferikawita MS, Analisis Pembentukan Portofolio Optimal Berdasarkan Single Index Model pada Saham-saham yang Dikelola oleh Manajer Investasi, Jurnal Portofolio FE - Universitas Jenderal Achmad Yani, Bandung, Edisi Mei, 2012 Ferikawita MS, Pembentukan Portofolio Optimal dari Saham-saham yang Diperkirakan Memiliki Kinerja Unggul pada Tahun 2012, Majalah Ilmiah Vijaya Kusuma, Universitas Jenderal Achmad Yani, Bandung, Edisi Mei, 2012 Ferikawita MS dan Nunung AR, Analisis Bias Beta Saham-saham Unggulan, Prosiding Seminar Nasional Sustainable Competitive Advantage-3, Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, 1 November 2013 Jogiyanto, Teori Portofolio dan Analisis Investasi, Edisi Pertama, PT. BPFE, Yogyakarta, 2009 Klemkomsky, R.C and J.D Martin, The Adjusment of Beta Forecast, The Journal of Finance, 1975, Vol.XXX No. 4 Lantara, I Wayan Nuka, Analisis Stabilitas dan Prediktabilitas Beta Saham : Studi Empiris di BEJ, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000 Nassir, A. Md, dan Shamsher, M , Stock Pricing in Malaysia, Longman Singapore Publisher Ltd, Singapore, 1996 Nunung A. Rahmah, Analisis Portofolio Optimal dengan Menggunakan Model Indeks Tunggal, Jurnal Portofolio FE - Universitas Jenderal Achmad Yani, Bandung, Volume 4 Nomor 1, 2007 Reily, Frank K and Keith C. Brown, Investment Analysis and Portfolio Management, Seventh Edition, SouthWestern USA, 2003 Scott, Elton and Stewart Brown, Biased Estimators and Unstable Betas, The Journal of Finance, 1980, Vol. XXXV No. 1
394 ISBN 978-602-70361-0-9
Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung, 2010 Sukarno, Muhamad, Analisis Pembentukan Portofolio Optimal Saham dengan Menggunakan Metode Indeks Tunggal di Bursa Efek Jakarta, Tesis, Universitas Diponegoro Semarang, 2007 Tandelilin, Eduardus, Teori Portofolio dan Analisis Investasi : Teori dan Aplikasi, Edisi Pertama ; Penerbit Kanisius Jogjakarta, 2010 Tandelilin, Eduardus dan I Wayan Nuka Lantara, Stabilitas dan Prediktabilitas Beta Saham : Studi Empiris di Bursa Efek Jakarta, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2001, Vol. 16, No. 2
395 ISBN 978-602-70361-0-9