7 ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SURIMI
7.1 Pendahuluan Surimi pada dasarnya adalah daging ikan yang telah dipisahkan dari kulit dan duri serta telah dibersihkan dari lemak, merupakan bahan baku pembuatan produk olahan lanjutan yang memiliki nilai tambah seperti fish cake, mie ikan, burger dan lain sebagainya. Saat ini, jumlah produsen surimi yang ada di Indonesia sangat terbatas yakni terdapat di Jakarta, Jawa Timur, Tegal-Jawa Tengah, Jambi, Moro-Riau masing-masing 1 (satu) unit pengolahan surimi. Minimnya produsen surimi tersebut berdampak pada ketidakmampuan untuk memenuhi permintaan pasar akan surimi, sedangkan bahan baku surimi masih tergolong mudah untuk diperoleh dengan harga yang terjangkau khususnya apabila bahan baku surimi tersebut dengan memanfaatkan hasil tangkap sampingan (by-catch) kapal pukat udang, mengingat bahwa hasil tangkap sampingan kebanyakan dibuang kembali ke laut. Saat ini, teknologi pengembangan surimi dengan bahan baku hasil tangkap sampingan kapal pukat udang masih sangat terbatas seiring dengan keterbatasan pemanfaatan by-catch itu sendiri, sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut. Hal ini akan sangat bermanfaat baik bagi pelaku usaha penangkapan maupun bagi pelaku usaha pengolahan surimi. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih lanjut mengenai pengembangan industri surimi melalui pemanfaatan hasil tangkap sampingan kapal pukat udang. Pengembangan industri surimi tersebut tidak lepas dari dukungan berbagai pihak dan stakeholder terkait seperti pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota, pelaku usaha penangkapan dan pengolahan, para pakar/ahli pengolahan, akademisi serta pengambil kebijakan lainnya. Analisis kebijakan pengembangan surimi dapat dilakukan dengan cara menggali informasi dan pendapat dari para stakeholder terkait, untuk mengetahui sejauh mana kemungkinan pengembangan industri surimi. Hasil dari analisis tersebut diharapkan adalah dapat diperolehnya informasi mengenai kekuatan yang ada untuk dapat dimanfaatkan serta kelemahan yang dimiliki untuk dapat diminimalisir. Selain itu, diharapkan pula diperoleh informasi mengenai peluang yang dapat dimanfaatkan dan bentuk ancaman yang akan dihadapi dalam upaya pengembangan industri surimi tersebut. Pada akhirnya, diharapkan dapat diperoleh berbagai alternatif-alternatif pilihan termasuk diantaranya diperoleh langkahlangkah operasional yang harus dilakukan dalam upaya pengembangan industri surimi.
97
7.2
Metode Penelitian
7.2.1
Pengumpulan data Pengumpulan data dalam rangka analisis kebijakan pengembangan industri surimi
dilaksanakan pada rentang waktu antara Bulan Maret sampai dengan April Tahun 2007. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan kuesioner terhadap stakeholder perusahaan penangkapan dan pengolahan surimi, pengambil kebijakan serta pakar/ahli dibidang penangkapan dan pengolahan surimi.
7.2.2
Analisis data Analisis kebijakan dalam pengolahan surimi dilakukan melalui penggabungan antara
metode SWOT dengan Analytical Hierarchy Process
(AHP). Langkah pertama yang
dilakukan adalah mengindetifikasi komponen SWOT melalui wawancara kuesioner terhadap responden yang merupakan pengambil kebijakan pada suatu instansi ataupun yang dianggap pakar/ahli pada bidang pengolahan surimi. Adapun jumlah responden yang diwawancarai yang terdiri dari pengambil kebijakan, pakar dan pelaku bisnis bidang penangkapan dan pengolahan. Selanjutnya, setelah komponen SWOT teridentifikasi, maka komponen tersebut diolah lebih lanjut dengan metoda AHP. Dalam analisa melalui AHP digunakan software Expert Choice dan dilakukan melalui beberapa proses yakni sebagai berikut: (1)
Matriks pendapat individu Untuk menyusun prioritas dilakukan identifikasi terhadap intensitas masalah yang
merupakan faktor dominan. Teknik komparasi berpasangan menerapkan penilaian para pakar berdasarkan skala komparasi berpasangan, sehingga membentuk matriks segi (nxn). Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mendapatkan prioritas yang dicari berdasarkan nilai eigen vector dan untuk mendapatkan konsistensi penilaian diukur berdasarkan nilai eigen value. Jika C1, C2, C3,….Cn adalah set elemen suatu tingkat keputusan dalam hirarki, maka kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan setiap elemen terhadap elemennya akan membentuk matriks pendapat individu:
A yang berukuran n x n. eleven Ci,
dibandingkan dengan elemen Cj, maka aij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi
98
yang mencerminkan nilai tingkat kepentingan Ci, terhadap Cj, Nilai matriks aij = 1/aij, yaitu nilai kebalikan dari matriks aij, jika 1=j, maka nilai matriks aij=aji. Formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen C1, C2, …….Cn untuk ij = 1,2,3…….n dan ij merupakan nilai matriks pendapat hasil komparasi berdasarkan nilai tingkat kepentingan Ci,Cj untuk ij = 1,2,3…n 1 1/a/2 1/a/3 . . 1/a/n (2)
a/2
a/3
1 a23 1/a22 1 . . . . 1/a2n 1/a3n
a/4……………….a/n a24……………….a2n a34……………….a3n . . . . 1/a4n…………….1
Matriks pendapat gabungan Matriks Pendapatan Gabungan merupakan susunan matriks baru yang eleven matriknya
gij berasal dari rataan geometrik atau “geometric means” elemen matriks pendapat individu aij yang rasion konsistensinya (CR) memenuhi persyaratan. Persamaan untuk mendapat nilai rataan geometriks dinyatakan dengan rumus:
Keterangan: = elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i dan gij kolom ke-j aij (k) = elemen matriks pendapat individu dengan rasion konsistensi (CR) yang memenuhi persyaratan ke-k = 1,2,3………………..n 1,j = 1,2,3……………….m k = jumlah matriks pendapat individu dengan CR memenuhi m persyaratan
99
(3)
Pengolahan horizontal Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas semua eleven keputusan
pada setiap tingkat hirarki. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horizontal ditunjukan pada persamaan berikut : 1) Perkalian baris (Z) dengan rumus berikut:
k=1
2) Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen dengan rumus berikut:
i=1
k=1
VP = (VPi) untuk 1 =1,2,3…………….n 3) Perhitungan Nilai Eigen maksimum ( λmaks) dengan rumus berikut: VA = (aij) X VP, dengan VA = (vai) VA VB = dengan VB = (Vbi) VP λ maks = 1/n ∑ vbi, untuk 1 = 1,2,3,….n 4) Perhitungan Indeks Konsistensi (CI) dengan rumus sebagai berikut: CI =
λ max − n n −1
5) Perhitungan Rasio Konsistensi (CR) dengan rumus sebagai berikut : CI =
CI RI
Keterangan : RI adalah random indeks
100
Nilai indeks acak bervariasi dengan ordo matriks yang telah dilakukan Oak Ridge laboratory dari matriks berordo 1 – 15 ditunjukkan dalam Tabel 24. Tabel 24 Nilai indeks acak matriks berordo 1 – 15, dengan contoh 100 Orde (n) Indeks Acak (RI) Orde (n) Indeks Acak (RI) 1 0.00 8 1.41 2 0.00 9 1.45 3 0.58 10 1.49 4 0.90 11 1.51 5 1.12 12 1.54 6 1.24 13 1.56 7 1.32 14 1.57 15 1.59 Sumber : Oak Ridge laboratory yang diacu dalam Saaty (1993)
(4) Pengolahan vertikal Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap eleven pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap fokus utama (ultimate goal). Jika Cvij didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh eleven ke-j, pada tingkat -1, terhadap fokus utama dengan humus sebagai berikut: s
CVij =
∑ CH t =1
ij
(t , i − 1) x VW (t , i − 1)
Untuk i = 1,2,3,…….n j = 1,2,3,…….r t = 1,2,3…….s Keterangan: CH ij = (t,i-1) VW (t,i-1)
=
p r s
= = =
Nilai prioritas pengaruh eleven ke-j pada tingkat ke-i terhadap eleven ke-t pada tingkat di atasnya i-1 yang diperoleh dari hasil pengolahan horizontal Nilai prioritas pengaruh eleven ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama yang diperoleh dari hasil pengolahan horizontal Jumlah tingkat hirarki keputusan Jumlah eleven yang ada pada tingkat ke-i Jumlah eleven yang ada pada tingkat ke-j
101
Apabila di dalam hirarki keputusan terdapat dua faktor yang tidak berhubungan (keduanya tidak saling mempengaruhi), maka nilai prioritas sama dengan nol. Vektor prioritas untuk tingkat ke-i (CV) didefinisikan dengan rumus sebagai berikut : sCV = Cvij, untuk j =123……………..r (5) Revisi pendapat Revisi pendapat dapat dilakukan jika rasio konsistensi (CR) pendapat cukup tinggi, dan dianggap konsistensi jika mempunyai nilai sama dengan 0.1, sedangkan nilai akurasi data ditunjukkan dengan nilai RMS dari baris (aij) dan perbandingan nilai bobot baris terhadap kolom (Wi/Wj) dengan rumus sebagai berikut:
7.3
Hasil Penelitian
7.3.1 Identifikasi komponen SWOT Tahap awal dalam melakukan analisis kebijakan menyangkut pengembangan industri surimi
di
Provinsi
Papua
Barat
adalah
melalui
identifikasi
komponen
SWOT
(Strengths/Kekuatan, Weaknesses/Kelemahan, Opportunities/Peluang, Threaths/Ancaman). Komponen kekuatan dan kelemahan merupakan hasil analisis lingkungan internal, sedangkan komponen peluang dan ancaman adalah hasil analisa lingkungan eksternal yang sifatnya tidak bisa dikendalikan.
(1) Komponen S (Kekuatan)
1)
Kebijakan dan legalitas
Pemanfaatan HTS menjadi Surimi mendapatkan dukungan dari pemerintah yang tertuang dalam UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan (pasal 24), menyebutkan bahwa pemerintah mendorong peningkatan nilai tambah produksi hasil perikanan dan sekaligus akan membatasi ekspor bahan baku industri pengolahan ikan untuk menjamin ketersediaan bahan baku di dalam negeri. Hasil riset yang dilakukan kerjasama antara Dinas Perikanan dan
102
Kelautan Provinsi Papua dan Sucofindo yang dituangkan dalam pedoman umum “Perencanaan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil tangkap sampingan Pukat Udang di Laut Arafura” menggambarkan bahwa urutan prioritas pengembangan jenis pengolahan yang dikaji secara menyeluruh adalah surimi, tepung ikan, fillet beku, ikan segar dan tradisional. Analisis tersebut mengindikasikan bahwa pengolahan ikan HTS menjadi surimi merupakan alternatif terbaik ditinjau dari segi teknologi, pemasaran, bahan baku, investasi dan sumberdaya manusia. Berdasarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) article 11 menyebutkan bahwa negara harus mendukung berlangsungnya pengolahan, distribusi dan pemasaran ikan agar dapat meningkatkan pemanfaatan HTS dengan tetap konsisten pada praktek pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai institusi nasional yang bertanggung jawab dalam bidang kelautan dan perikanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri
nomor PER.05/MEN/ 2008 tentang Usaha Perikanan
Tangkap. Salah satu pasal pada peraturan tersebut dinyatakan bahwa ijin penangkapan ikan diberikan kepada perusahaan penangkapan ikan yang memiliki unit pengolahan ikan di dalam negeri. Hasil tangkapan yang dihasilkan wajib didaratkan seluruhnya di pelabuhan pangkalan kecuali ikan hidup, tuna untuk sashimi atau ikan lain yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan. Peraturan tersebut ditindak lanjuti dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan nomor KEP 033/DJ-P2HP/2008 tentang Jenis Ikan Laut Hasil Tangkapan Yang Menurut Sifatnya Tidak Memerlukan Pengolahan. Pada peraturan tersebut dijelaskan kembali bahwa seluruh ikan hasil tangkapan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku unit pengolahan ikan atau konsumsi dalam negeri serta wajib mengalami penanganan dan atau pengolahan. Kedua peraturan tersebut menjadi stimulus bagi pengusaha untuk berinvestasi membangun industri pengolahan ikan, dan secara tidak langsung membuka peluang bagi perkembangan industri surimi yang memanfaatkan hasil tangkap sampingan. 2) Bahan baku (by-catch) melimpah Rasio HTS yang dihasilkan oleh kapal pukat udang adalah 1 : 12, artinya untuk setiap 1 (satu) ton udang akan menghasilkan 12 (lima) ton HTS. Adapun produksi udang per tahun diperkirakan sebesar 60.000 ton per tahun, sehingga HTS yang dihasilkan diperkirakan sebesar 300.000 ton per tahun. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi ikan HTS pukat udang di Laut Arafura diperkirakan sebesar 399.082 ton/tahun (Purbayanto et al. 2004). 103
3) Daya serap tenaga kerja tinggi Pengolahan HTS menjadi surimi mengindikasikan terbukanya lapangan kerja baru yang merupakan salah satu cara untuk menurunkan tingkat pengangguran di Provinsi Papua Barat dikarenakan industri surimi tergolong industri padat karya, sehingga akan melibatkan banyak tenaga kerja baik pada pengolahan HTS menjadi surimi maupun pada tahap pembuatan produk-produk olahan berbahan baku surimi. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi pemerintah provinsi Papua Barat dalam mengurangi tingkat pengangguran yang mencapai 88.165 orang (tahun 2002).
4) Nilai tambah bagi pelaku usaha dan masyarakat Kendala keterbatasan palka dan rendahnya nilai ekonomis apabila HTS dibawa ke darat menyebabkan pemanfaatan HTS tidak optimal, selama ini HTS yang dimanfaatkan hanya sebesar 3,71%, yang terdiri dari jenis ikan ekonomis penting, yaitu kakap, tenggiri, kerapu, dll, sedangkan selebihnya dibuang ke laut. Pemanfaatan tersebut hanya terbatas sebagai bonus bagi ABK sekaligus dimanfaatkan untuk konsumsi ABK, sehingga tidak memberikan nilai tambah. Melalui pengolahan HTS menjadi surimi, HTS yang sekiranya dibuang ke laut, pada akhirnya memiliki nilai tambah yang dapat menjadi sumber pendapatan baru baik bagi pengusaha maupun masyarakat. Bagi pengusaha pengolahan HTS menjadi surimi merupakan sumber investasi baru yang dapat menghasilkan sumber pendapatan yang baru pula. Peraturan menteri ini didukung oleh keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Nomor : KEP.033/DJ-P2HP/2008 tentang jenis ikan laut hasil tangkapan yang menurut sifatnya tidak memerlukan pengolahan, dimana jenis-jenis ikan yang merupakan HTS dan sesuai untuk bahan baku surimi dilarang untuk diekspor dalam bentuk utuh dan harus diolah.
(2) Komponen W (Kelemahan)
1) Infrastruktur lemah Infrastruktur pendukung masih lemah dan belum sepenuhnya tersedia, seperti kebutuhan energi listrik untuk mesin-mesin industri yang masih kurang termasuk untuk mesin-mesin pengolahan surimi, jalur transportasi masih sangat terbatas yang berpengaruh 104
dalam proses distribusi dan pemasaran, kurangnya suplai air bersih yang merupakan komponen penting dalam dan lain sebagainya. Infrastruktur tersebut merupakan prasarana pendukung berlangsungnya industri pengolahan HTS menjadi surimi, sehingga apabila ketersediaannya terbatas maka proses industri akan mengalami hambatan. 2) Keterampilan SDM lokal terbatas Mengingat pengolahan surimi masih tergolong sedikit di Indonesia, sehingga pengetahuan akan hal tersebut juga masih terbatas, terlebih bagi masyarakat di Provinsi Papua Barat yang banyak bermukim di daerah pedalaman. 3) Manajemen pengumpulan bahan baku terbatas HTS yang pada umumnya dibuang ke laut disebabkan oleh terbatasnya palka kapal sebagai tempat penyimpanan di atas kapal sehingga pengusaha pada umumnya memerintahkan kepada ABK untuk membuang HTS di laut. Hal ini mengindikasikan bahwa manajemen pengumpulan HTS sebagai supply bahan baku akan terhambat.
4) Teknologi pengolahan surimi terbatas Pengolahan surimi yang umum dilakukan saat ini adalah untuk bahan baku yang terdiri dari satu jenis ikan (HTS) saja, sehingga untuk pengolahan lebih dari 1 (satu) jenis ikan belum dilakukan dikarenakan teknologi yang masih terbatas. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa HTS terdiri atas campuran antara ikan ekonomis dan non ekonomis baik yang dalam keadaan utuh maupun yang tidak utuh.
(3) Komponen O (Peluang)
1) Potensi pasar luas Perkembangan surimi saat ini sangat pesat, mengingat surimi merupakan bahan baku untuk olahan fish jelly seperti seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan bentuk olahan lainnya. Surimi sudah merupakan produk internasional dengan tingkat permintaan yang setiap tahun mengalami peningkatan. Adapun negara-negara pengimpor surimi adalah Jepang, Amerika Serikat, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia. Namun 105
permintaan tertinggi adalah Eropa terutama Perancis dan Spanyol dengan jumlah permintaan mencapai 18.000 hingga 20.000 ton per tahun. Permintaan tersebut tidak hanya terbatas pada surimi saja tetapi juga pada produk lanjutan/turunan dari surimi. 2) Peningkatan devisa ekspor Potensi pasar surimi yang masih didominasi oleh pasar luar negeri sangat memungkinkan untuk dilakukannya ekspor ke negara pengimpor. Hal ini berarti pemanfaatan HTS untuk memproduksi surimi merupakan peluang besar untuk menambah devisa negara. 3) Kebiasaan konsumsi masyarakat lokal Masyarakat
Papua
Barat
merupakan
masyarakat
yang
memiliki
kebiasaan
mengkonsumsi ikan-ikan ekonomis dari kelompok udang, tuna, tongkol dan cakalang, sedangkan ikan-ikan ekonomis lainnya cenderung kurang diminati terlebih lagi ikan rucah, sehingga kebutuhan konsumsi masyarakat lokal Papua Barat bukan merupakan pesaing bagi industri surimi. (4) Komponen T (Ancaman)
1) Investasi teknologi relatif mahal Selain padat karya, industri surimi juga tergolong padat modal yakni untuk membangun teknologi pengolahannya dibutuhkan modal atau imvestasi yang besar. Hal ini merupakan ancaman dikarenakan alternatif pengolahan HTS yang lain seperti ikan asin tidak memerlukan modal yang besar. Faktor penyebab mahalnya teknologi adalah teknologi pengolahan surimi masih harus diimpor dan belum diproduksi di dalam negeri. Mahalnya teknologi pengolahan surimi dapat mengakibatkan kurangnya minat investor untuk bergabung dalam usaha surimi tersebut. 2) Kebiasaan resistensi pelaku usaha dan masyarakat Resistensi yang dimaksud adalah kecenderungan pelaku usaha dan masyarakat untuk bertahan pada satu bidang usaha saja yang selama ini dirasakan cukup menguntungkan, dan akan menimbulkan kesan tertutup pada usaha lain. Hal ini merupakan ancaman karena akan menimbulkan efek kurang diminatinya usaha pengolahan surimi oleh pelaku usaha. Dengan 106
kata lain, akan ada kemungkinan industri surimi tidak diminati sebagai akibat kurangnya informasi dan pengetahuan tentang surimi. 3)
Kompetitor pengolah surimi Produsen surimi terbesar adalah Thailand yang secara teknologi dan kualitas surimi
yang dihasilkan adalah berstandar internasional. Selain Thailand, beberapa negara penghasil surimi lainnya adalah Singapura. Di Indonesia, baru terdapat 5 (lima) industri surimi dengan dengan kegiatan berada di Indonesia barat 4 (empat) buah dan Indonesia timur 1 (satu) buah. Keberadaan pelaku usaha tersebut merupakan ancaman bagi pengembangan industri surimi apabila tidak diiringi dengan kemampuan bersaing.
7.3.2
Penentuan alternatif strategi Berdasarkan hasil identifikasi komponen SWOT, diperoleh beberapa alternatif
strategi terkait dengan upaya pengembangan industri surimi yakni sebegai berikut:
(1)
Diversifikasi surimi (SO) Strategi diversifikasi surimi merupakan strategi yang dihasilkan dalam upaya
memanfaatkan kekuatan (strengths) yang dimiliki guna mengisi peluang (opportunities) yang ada. Strategi ini memanfaatkan bahan baku dan kebijakan pemerintah serta potensi pasar dalam rangka meningkatkan penyerapan tenaga kerja, peningkatan konsumsi dan nilai tambah bagi pelaku usaha. Diversifikasi surimi adalah upaya dalam proses pengolahan baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal berarti diversifikasi dilakukan dalam hal proses pembuatan surimi dilakukan dengan memanfaatkan bahan baku yang berasal dari berbagai jenis ikan terutama ikan-ikan hasil tangkap sampingan (by-catch) pukat udang, yang komersial maupun non komersil. Adapun diversifikasi secara vertikal berarti pengolahan surimi menjadi berbagai macam produk olahan seperti baso, sosis dan lain sebagainya.
(2)
Peningkatan infrastuktur dan ketrampilan SDM (WO) Strategi peningkatan infrastruktur dan keterampilan sumberdaya manusia merupakan
strategi yang digunakan dalam menyiasati kelemahan yang dimiliki agar tetap dapat mengisi atau memanfaatkan peluang usaha yang ada. Hal ini berarti adanya infrastruktur yang masih 107
lemah serta ketrampilan SDM lokal, manajemen pengumpulan bahan baku dan teknologi pengolahan yang juga masih terbatas harus dapat dimanfaatkan sedemikian rupa agar dapat mengisi potensi pasar yang ada sekaligus guna meningkatkan devisa. Selain itu, peluang lain yang dapat dimanfaatkan adalah adanya kebiasaan masyarakat lokal yang memiliki kecenderungan menyukai ikan ekonomis penting, sedangkan ikan non ekonomis penting kurang diminati. Mengingat peralatan mesin yang masih diimpor dengan harga yang sangat tinggi, maka pengembangan permesinanan surimi dalam negeri harus dipacu untuk mengurangi bagian investasi yang besar. (3)
Clean technology (ST) Clean technology adalah upaya pemanfaatan ikan secara keseluruhan dalam bentuk
bahan baku atau seluruh bagian dari ikan termasuk daging dan tulang sehingga dapat dijadikan komoditi yang bernilai tambah. Strategi clean technology merupakan strategi yang dilakukan dalam upaya mengatasi ancaman yang ada melalui pengoptimalan kekuatan yang ada. Hal ini berarti perlu adanya pemanfaatan bahan baku, dukungan kebijakan dan legalitas serta adanya perolehan nilai tambah guna mengatasi tingginya nilai investasi teknologi, adanya kompetitor pengolah surimi serta kecenderungan resistensi pelaku usaha. (4)
Pemberdayaan masyarakat, efisiensi serta efektivitas usaha (WT) Pemberdayaan masyarakat lokal yang pada umumnya masih minim pengetahuan tentang
pengolahan surimi serta membangun etos kerja yang bertujuan meningkatkan ketrampilan dan bermuara pada efisiensi dan efektifitas usaha merupakan strategi yang perlu dilakukan dalam mengelola kelemahan yang dimiliki guna mengatasi berbagai ancaman yang dihadapi.
7.4 Pembahasan Hasil identifikasi komponen SWOT yang selanjutnya menghasilkan 4 (empat) strategi yang tersusun dalam suatu hirarki strategi pengembangan industri surimi dalam rangka pemanfaatan by-catch pukat Udang di Provinsi Papua Barat seperti yang terlihat pada Gambar 14, dianalisa menggunakan Analytical Hierarcy Process (AHP).
108
7.4.1
Analisis prioritas faktor
5/22/2007 4:02:14 PM
Page 2 of 11
Hasil AHP memperlihatkan bahwa dari keempat komponen SWOT, komponen kekuatan dengan bobot 0, 490 merupakanPriority prioritas utama yang dipilih oleh responden dalam Graphs upaya pengembangan industri surimi melalui pemanfaatan by-catch pukat Udang di Provinsi Papua Barat. Prioritas berikutnya adalah komponen kelemahan dengan bobot 0, 292 yang Combined
Priorities with respect to: Goal: Pengembangan Industri ...
kemudian diikuti oleh komponen peluang dan ancaman, masing-masing dengan bobot 0, 117 dan 0, 101 (Gambar 18). Ancaman Kekuatan Kelemahan Peluang Inconsistency = 0.03 with 0 missing judgments.
.101 .490 .292 .117
Gambar 18 Analisis prioritas faktor terhadap fokus. Combined Priorities with respect to: Goal: Pengembangan Industri Surimi Dalamdalam Rangkaupaya Pemanfaatan By-catch Pukat Udang surimi di Provinsi Jaya Barat Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan industri di Irian Provinsi >Ancaman
Papua Barat, komponen kekuatan merupakan faktor yang dinilai paling sesuai dengan tujuan/fokus yang diinginkan yakni kekuatan berupa adanya dukungan kebijakan dari pemerintah dan legalitas perundang-undangan, besarnya kuantitas bahan Investasi Teknologi Relatif Maberupa peraturan .484
.407kemungkinan tingginya daya serap tenaga kerja serta Kebiasaan Resistensi Pelaku Us udang, baku berupa by-catch pukat Kompetitor Pengolah Surimi .109 Inconsistency = 0.00 Komponen kelemahan sebagai prioritas kedua mengindikasikan bahwa infrastruktur with 0 missing judgments.
adanya nilai tambah yang dapat diperoleh pelaku usaha dan masyarakat.
yang lemah serta keterampilan SDM lokal, manajemen pengumpulan bahan baku dan teknologi pengolahan surimi yang terbatas, harus mendapatkan perhatian lebih
bagi
pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat. Hal ini dapat dilakukan apabila faktor kekuatan yang dijadikan faktor utama, telah dapat diakomodir dengan baik. Demikian pula dengan faktor peluang yang menduduki prioritas ketiga, pengisian peluang berupa pemenuhan permintaan pasar sesuai dengan potensi pasar yang ada dan diharapkan dapat meningkatkan devisa ekspor. Adapun ancaman faktor sebagai prioritas keempat atau terakhir, mengindikasikan bahwa
setelah
faktor
kekuatan,
kelemahan
dan
peluang
dilakukan
upaya-upaya
pengembangan, maka barulah dilakukan segala usaha guna mengatasi segala ancaman yang 109
5/22/2007 4:02:14 PM
Page 4 of 11
Priorities with respect to:
Combined
ada mahalnya teknologi, pelaku usahaIrian serta adanya Goal:yakni Pengembangan Industrinilai Surimiinvestasi Dalam Rangka Pemanfaatanresistennya By-catch Pukat Udang di Provinsi Jaya Barat >Ancaman kompetitor surimi.
>Kompetitor Pengolah Surimi
7.4.2
Analisis prioritas subfaktor
Diversifikasi Surimi
.479 .105
Peningkatan Infrastruktur dan Selain prioritas faktor terhadap fokus, maka terdapat pula prioritas subfaktor terhadap Clean Technology .232 keempat faktor/komponen Pemberdayaan Masyarakat, Efise SWOT .184 yang ada. Subfaktor pada faktor/komponen kekuatan Inconsistency = 0.04 (Gambar 19) memperlihatkan bahwa dari keempat subfaktor, maka subfaktor bahan baku (bywith 0 missing judgments.
catch) melimpah menjadi prioritas utama dengan bobot 0,456 dalam memanfaatkan kekuatan guna pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat. Prioritas berikutnya adalah Priorities respect to: subfaktor nilaiwith tambah bagi pelaku usaha (bobot 0.243), daya serap tenagaCombined kerja tinggi Goal: Pengembangan Industri Surimi Dalam Rangka Pemanfaatan By-catch Pukat Udang di Provinsi Irian Jaya Barat
(bobot 0,151) serta kebijakan dan legalitas dengan bobot 0,149. Bahan baku (by-catch) >Kekuatan yang melimpah dijadikan sebagai subfaktor utama dikarenakan adanya fakta Kebijakan dan Legalitas Bahan Baku (by-catch) Melimpah Daya Serap Tenaga Kerja Tinggi Nilai Tambah Bagi Pelaku Usaha Inconsistency = 0.01 with 0 missing judgments.
.149 .456 .151 .243
Gambar 19 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor kekuatan.
bahwa kurang lebih 300.000 ton per tahun hasil tangkap sampingan (by-catch) alat tangkap pukat udang di perairan Arafura, belum termanfaatkan dan sebagian besar dibuang kembali ke laut. Oleh karena itu, besarnya kuantitas hasil tangkap sampingan (by-catch) tersebut telah membuka jalan bagi pengembangan industri surimi. Hal ini dikarenakan pengembangan awal suatu industri surimi juga bergantung pada ada atau tidaknya bahan baku yang akan diolah menjadi surimi dan dapat menjamin keberlangsungan industri surimi dalam hal bahan baku. Selain itu, ikan-ikan yang merupakan hasil tangkap sampingan (by-catch) pukat udang merupakan ikan-ikan yang dapat diolah menjadi surimi seperti ikan kurisi, swanggi, pisangpisang, bambangan, beloso, biji nangka dan beberapa jenis ikan lainnya. Adanya nilai tambah bagi pelaku usaha menjadi kekuatan kedua dalam pengembangan industri
surimi,
dikarenakan
pengolahan
ikan-ikan
by-catch
menjadi
surimi,
jelas akan memberikan suatu tambahan pendapatan bagi pelaku usaha dari ikan yang 110
terbuang percuma menjadi surimi yang diminati pasar domestik dan internasional. Adapun daya serap tenaga kerja yang tinggi merupakan dampak yang diharapkan dari pemanfaatan bahan baku yang melimpah serta adanya nilai tambah bagi pelaku usaha. Kebijakan dan legalitas merupakan pendukung dari pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat sebagai payung hukum dalam mengatur segala hal yang terkait dengan industri surimi. Selanjutnya, Gambar 20 memperlihatkan bahwa prioritas utama subfaktor pada faktor kelemahan yang perlu dibenahi adalah infrastruktur yang lemah atau kurang dengan bobot 5/22/2007 4:02:14 PM
Page 7 of 11
0,604. Prioritas kedua yakni subfaktor manajemen pengumpulan bahan baku yang terbatas dengan bobot 0,225 dan prioritas ketiga serta keempat adalah subfaktor keterampilan SDM Priorities with respect to:
Combined
lokal dan Goal: teknologi pengolahan surimi terbatas dengan masing-masing Pengembangan Industri Surimi Dalamyang Rangka Pemanfaatan By-catch Pukat Udang di Provinsibobot Irian Jayasebesar Barat >Kelemahan
0,095 dan 0,076.
Infrastruktur Lemah Keterampilan SDM Lokal Terbata Manajemen Pengumpulan Bahan Ba Teknologi Pengolahan Surimi Te Inconsistency = 0.02 with 0 missing judgments.
.604 .095 .225 .076
Gambar Combined Priorities 20 withAnalisis respect to: prioritas subfaktor terhadap faktor kelemahan. Goal: Pengembangan Industri Surimi Dalam Rangka Pemanfaatan By-catch Pukat Udang di Provinsi Irian Jaya Barat >Kelemahan Infrastruktur >Infrastrukturyang Lemah lemah dijadikan prioritas pertama dikarenakan sarana dan
prasarana pendukung pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat masih tergolong kurang seperti kebutuhan energi listrik untuk mesin-mesin industri yang masih kurang Diversifikasi Surimi .098 .533surimi, jalur transportasi masih sangat terbatas yang Infrastruktur dan termasuk Peningkatan untuk mesin-mesin pengolahan Clean Technology
.069
berpengaruh dalam proses distribusi.300 dan pemasaran, kurangnya suplai air bersih yang Pemberdayaan Masyarakat, Efise merupakan Inconsistency komponen= 0.01 penting dalam industri surimi, serta prasarana pelabuhan yang masih with 0 missing judgments.
kurang memadai. Infrastruktur tersebut merupakan prasarana pendukung berlangsungnya industri pengolahan HTS menjadi surimi, sehingga apabila ketersediaannya terbatas maka proses industri akan mengalami hambatan.
111
Fokus
Faktor
Subfaktor
Alternatif Strategi
Strategi Pengembangan Industri Surimi Dalam Rangka Pemanfaatan By-catch Pukat Udang di Provinsi Papua Barat
Kekuatan (L:0,490)
1. Kebijakan dan Legalitas (L:0,149) 2. Bahan Baku Melimpah (L:0,456) 3. Daya Serap Tenaga Kerja Tinggi (L:0,151) 4. Nilai Tambah Bagi Pelaku Usaha dan Masyarakat (L:0,243)
Diversifikasi Surimi
Kelemahan (L:0,292)
1. Infrastruktur Lemah (L:0,604) 2. Keterampilan SDM Lokal Terbatas (L:0,0,95) 3. Manajemen Pengumpulan Bahan Baku Terbatas (L:0,225) 4. Teknologi Pengolahan Surimi Terbatas (L:0,076)
Peningkatan Infrastruktur dan Keterampilan SDM
Ancaman (L:0,101)
Peluang (L:0,117)
1. Potensi Pasar Luas (L:0,671) 2. Peningkatan Devisa Ekspor (L:0,230) 3. Kebiasaan Konsumsi Masyarakat Lokal (L:0,098)
1. Investasi Teknologi Relatif Mahal (L:0,484) 2. Kebiasaan Resistensi Pelaku Usaha dan Masyarakat (L:0,407) 3. Kompetitor Pengolah Surimi (L:0,109)
Clean technology
Pemberdayaan Masyarakat, efisiensi dan efektifitas Usaha
Gambar 21 Struktur strategi pengembangan industri surimi di Sorong – Provinsi Papua Barat.
112
5/22/2007 4:02:14 PM
Page 2 of 11
Priority Graphs Manajemen pengumpulan bahan baku yang terbatas merupakan kelemahan yang harus segera dicarikan solusi dikarenakan selama ini, bahan baku surimi yang berasal dari by-catch Prioritiestersebut with respect to: dibuang ke laut karena adanya keterbatasan kapasitasCombined pukat udang hanya palka kapal.
Goal: Pengembangan Industri ... Adapun keterampilan SDM lokal yang terbatas menjadi prioritas ketiga dikarenakan apabila infrastruktur telah dibenahi dan manajemen pengumpulan bahan baku telah dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah pemberdayaan SDM lokal melalui pemberian pengetahuan Ancaman .101 (pelatihan) tentang pengolahan ikan menjadi surimi. Kelemahan yang menjadi prioritas .490 Kekuatan terakhir adalah teknologi pengolahan surimi yang masih terbatas, namun keterbatasan ini Kelemahan .292 bukanlah Peluang tidak teratasi, dikarenakan .117 teknologi tersebut dapat dibeli dan sudah merupakan wacana umum, bahkan Inconsistency = 0.03 telah dapat dilakukan dalam skala kecil. Oleh karena itu, keterbatasan
with dikategorikan 0 missing judgments. teknologi kelemahan pada prioritas keempat. Adapun untuk prioritas subfaktor terhadap faktor ancaman dalam pengembangan industri surimi melalui pemanfaatan by-catch di Provinsi Papua Barat yaitu
investasi
Priorities respect to: adalah prioritas pertama dengan bobot 0,484, diikuti Combined teknologi yangwith relatif mahal subfaktor Goal: Pengembangan Dalam Rangka0,407) Pemanfaatan Pukat Udang di Provinsisurimi Irian Jaya Barat kebiasaan resistensi Industri pelakuSurimi usaha (bobot dan By-catch kompetitor pengolah diurutan >Ancaman ketiga dengan bobot 0,109 (Gambar 22).
Investasi Teknologi Relatif Ma Kebiasaan Resistensi Pelaku Us Kompetitor Pengolah Surimi Inconsistency = 0.00 with 0 missing judgments.
.484 .407 .109
Gambar 22 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor ancaman.
Mahalnya investasi dalam bidang teknologi pengolahan surimi merupakan subfaktor ancaman yang harus diatasi terlebih dahulu dikarenakan untuk mengembangkan industri surimi, teknologi merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki karena sangat terkait dengan kualitas pengolahan ikan-ikan by-catch menjadi surimi. Selain itu, teknologi pengolahan surimi erat kaitannya dengan daya kreasi seseorang atau sebuah perusahaan dalam menciptakan suatu bentuk olahan termasuk didalamnya pengolahan surimi. Oleh karena itu, nilai mahal dalam hal investasi teknologi tidak hanya seputar fisik dari teknologi namun juga penciptaan teknologi tersebut. 113
Ancaman prioritas berikutnya yakni kebiasaan resistensi pelaku usaha, jelas akan menghambat pengembangan industri surimi dikarenakan kecenderungan pelaku usaha untuk melakukan pengolahan ikan yang lebih sederhana seperti ikan asin, pindang dan lain sebagainya dan memiliki kecenderungan untuk menutup diri dari bentuk usaha olahan yang lain. Hal ini dapat disebabkan kurangnya informasi mengenai pengolahan ikan terutama informasi pengolahan ikan menjadi surimi yang meliputi teknologi dan cara pengolahan. Selain itu, minimnya informasi mengenai potensi pasar surimi juga akan menjadi ancaman dalam pengembangan industri surimi. Hingga saat ini, usaha pengolahan ikan di Provinsi Papua Barat hanya terbatas pada produk ikan beku dan itu pun hanya untuk ikan-ikan ekonomis penting yang memiliki pasar ekspor seperti udang dan tuna. Adapun untuk ancaman dalam hal kompetitor pengolah surimi menjadi subfaktor prioritas ketiga dikarenakan pengolah surimi masih dalam jumlah kecil yakni di Indonesia hanya ada 5 (lima) pengolah, dan dari kelima pengolah tersebut hanya ada 1 (satu) di kawasan timur Indonesia, sedangkan 4 (empat) lainnya di kawasan barat Indonesia. Selanjutnya, urutan prioritas subfaktor terhadap faktor peluang pengembangan industri surimi dengan memanfaatkan hasil tangkap sampingan (by-catch) di Provinsi Papua Barat yakni prioritas pertama dengan bobot 0,671 adalah subfaktor potensi pasar yang luas, diikuti peningkatan devisa ekspor dengan bobot 0,230 dan yang terakhir adalah subfaktor kebiasaan konsumsi masyarakat dengan komposisi bobot 0,098 seperti yang terlihat pada Gambar 23. Potensi pasar yang luas dijadikan prioritas pertama dikarenakan langkah pertama dalam melakukan suatu usaha dalam bidang apapun adalah melihat potensi pasar yang ada, dan hal ini berlaku pula pada upaya pengembangan industri surimi di Provinsi Papua Barat. Potensi pasar surimi saat ini sangat terbuka mengingat surimi merupakan bahan baku untuk olahan fish jelly seperti seperti imitation crab meat, fish ball, fish cake dan bentuk olahan lainnya. Surimi sudah merupakan produk internasional dengan tingkat permintaan yang setiap tahun mengalami peningkatan dan tidak hanya terbatas pada surimi saja tetapi juga pada produk lanjutan/turunan dari surimi. Adapun negara-negara pengimpor surimi adalah Jepang, Amerika Serikat, Eropa, Korea Selatan, Taiwan, Asia Tenggara dan Rusia. Namun permintaan tertinggi adalah Eropa terutama Perancis dan Spanyol dengan jumlah permintaan mencapai 18.000 hingga 20.000 ton per tahun (FAO 2007). Peningkatan devisa ekspor menjadi prioritas kedua karena terkait dengan prioritas pertama yakni apabila potensi pasar yang luas dimanfaatkan terutama untuk ekspor surimi, maka secara otomatis devisa ekspor akan mengalami peningkatan. Untuk subfaktor prioritas ketiga yakni kebiasaan konsumsi masyarakat di sekitar perairan Arafura pada umumnya dan 114
Pemberdayaan Masyarakat, Efise Inconsistency = 0.02 with 0 missing judgments.
.123
di Provinsi Papua Barat pada khususnya, yang cenderung mengkonsumsi ikan-ikan ekonomis penting dan kurang menyenangi ikan-ikan non ekonomis. Oleh karena itu, peluang
Priorities with respect to: Combined Goal: Pengembangan Industri Surimi Dalam Rangka Pemanfaatan By-catch Pukat Udang di Provinsi Irian Jaya Barat semakin>Peluang kecil yang berdampak positif pada upaya pengembangan industri surimi dalam ketersediaan bahan baku semakin tinggi dan adanya kompetitor pengguna bahan baku
rangka pemanfaatan by-catch di Provinsi Papua Barat.
Potensi Pasar Luas Peningkatan Devisa Ekspor Kebiasaan Konsumsi Masyarakat Inconsistency = 0.06 with 0 missing judgments.
.671 .230 .098
Gambar 23 Analisis prioritas subfaktor terhadap faktor peluang.
7.4.3
Analisis dan rekomendasi prioritas strategi/kebijakan Sesuai dengan struktur hirarki pengembangan industri surimi dalam rangka
pemanfaatan by-catch di Provinsi Papua Barat, maka tahapan analisis yang berikutnya adalah analisis terhadap prioritas strategi atau kebijakan yang akan direkomendasikan dalam pengembangan industri tersebut. Adapun urutan prioritas strategi/kebijakan yang dapat direkomedasikan yakni prioritas pertama adalah diversifikasi surimi dengan bobot 0,312, prioritas kedua adalah pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektifitas usaha dengan bobot 0,281 serta prioritas ketiga dan keempat yakni peningkatan infrastruktur dan keterampilan SDM dengan bobot 0,279 dan clean technology dengan bobot 0,128 seperti yang terlihat pada Gambar 24.
Diversifikasi Surimi
0,312
Peningkatan Infrastruktur dan Ketrampilan SDM
0,279
Clean Technology
0,128
Pemberdayaan Masyarakat, Efisiensi dan Efektivitas Usaha
0,281
Gambar 24 Analisis prioritas strategi/kebijakan.
115
Diversifikasi
surimi
sebagai
strategi
utama
yang
diprioritaskan
dalam
mengembangkan industri surimi melalui pemanfaatan hasil tangkap sampingan (by-catch) pukat udang di Provinsi Papua Barat, mengindikasikan bahwa ketersediaan bahan baku berupa ikan by-catch pukat udang tersebut perlu diolah agar tidak lagi dibuang ke laut dengan percuma tetapi dapat dijadikan suatu produk yang lebih bermanfaat. Diversifikasi surimi yang paling tepat dilakukan adalah secara horizontal yakni memanfaatkan berbagai jenis ikan bycatch pukat udang tersebut menjadi surimi melalui teknologi pencampuran ikan-ikan tersebut dengan komposisi tertentu sehingga diperoleh surimi dengan kualitas yang sesuai standar yang diinginkan pasar. Selanjutnya apabila telah diperoleh surimi ikan campuran tersebut, maka dilakukan diversifikasi secara vertikal yakni pemanfaatan surimi tersebut menjadi produk olahan lanjutan seperti baso, sosis, siomay, fish cake, mie ikan, burger dan sebagainya. Mengingat inftrastruktur yang masih kurang dalam mendukung pencapaian diversifikasi surimi maka perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat, efisiensi dan efektivitas usaha sebagai strategi prioritas kedua dalam pengembangan industri surimi tersebut. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengolahan surimi dengan tujuan agar dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Provinsi Papua Barat. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga akan berdampak pada efisiensi dan efektivitas usaha yakni meminimalkan biaya tenaga kerja apabila dibandingkan dengan perekrutan tenaga kerja non lokal. Efisiensi dan efektivitas usaha sangat diperlukan dalam pengembangan industri surimi mengingat bahwa surimi merupakan komoditas ekspor, sehingga dapat menekan biaya produksi surimi yang pada akhirnya akan menurunkan harga jual surimi tersebut. Hal ini berarti salah satu komponen daya jual yaitu harga, dapat lebih bersaing dengan kompetitor lainnya. Namun demikian, terdapat banyak faktor pendukung lainnya yang perlu diperhatikan untuk mencapai hal tersebut. Pemberdayaan masyarakat utamanya masyarakat lokal yang pada umumnya masih minim pengetahuan akan pengolahan ikan menjadi surimi, sehingga perlu dilakukan pelatihan pengolahan surimi dimaksud. Pelatihan tersebut dapat berupa pemberian keterampilan dan pengetahuan akan teknologi pengolahan surimi, cara penggunaan alat pengolah, cara pengolahan yang higienis dan lain sebagainya. Selain itu, pemerintah sebagai aktor pendukung, perlu melakukan upaya peningkatan infrastruktur yang dianggap masih kurang baik melalui perbaikan infrastruktur yang sudah ada ataupun pengadaan infrastruktur yang sebelumnya belum ada, dan dianggap sangat penting bagi pengembangan industri surimi tersebut. Salah satu infrastruktur yang dianggap perlu yakni perbaikan atau pengadaan 116
jalan sebagai sarana transportasi yang akan dimanfaatkan dalam rangka supply ataupun distribusi dan pemasaran surimi. Infrastruktur lainnya adalah penyediaan listrik dalam kapasitas besar mengingat mesin-mesin yang digunakan dalam proses pengolahan adalah mesin dengan kebutuhan listrik dalam jumlah besar. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah penyediaan air bersih guna diperolehnya surimi dengan kualitas terbaik yakni surimi yang bebas di kontaminasi bakteri patogen dan sumber pembusukan lainnya. Strategi sebagai prioritas terakhir adalah clean technology yakni upaya memanfaatkan seluruh bagian dari ikan termasuk daging dan tulang ikan untuk diolah lebih lanjut. Strategi ini sangat diperlukan dalam pengembangan industri surimi melalui pemanfaatan by-catch pukat udang, mengingat by-catch yang diperoleh tidak semuanya dalam keadaan ikan utuh sehingga tidak dapat diolah menjadi surimi. Selain itu, tidak semua jenis ikan memiliki nilai ekonomis bila diolah menjadi surimi, seperti halnya jenis-jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi yaitu kakap merah, tuna, tenggiri, bawal, cakalang lebih menguntungkan diolah dalam bentuk fillet atau utuh beku sedangkan jenis ikan yang mempunyai rendemen (yield) yang kecil seperti peperek tidak menguntungkan bila diolah menjadi surimi. Dalam pengolahan surimi, tidak semua bagian ikan akan dimanfaatkan namun hanya dimanfaatkan (diambil) pada bagian daging, sehingga akan menyisakan bagian tulang, duri dan kulit ikan. Oleh karena itu, melalui clean technology, ikan-ikan tidak utuh (hancur) dan bagian tulang ikan yang tidak dapat diolah menjadi surimi dapat diolah lebih lanjut, salah satunya yakni dijadikan bahan baku pembuatan tepung ikan. Dengan demikian, upaya pengembangan industri surimi dalam rangka pemanfaatan by-catch pukat udang di Provinsi Papua Barat melalui keempat strategi tersebut diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal.
117