Analisis Kebijakan
7
Penanggulangan Perambahan Hutan di Kab. Sukabumi dan Cianjur Ringkasan Di berbagai wilayah di Indonesia telah terjadi bencana alam berupa banjir, erosi dan tanah longsor yang mengakibatkan kerugian materi dan korban jiwa. Bencana ini banyak dikaitkan dengan terjadinya perambahan dan penggundulan hutan di bagian hulu Daerah Aliran Sungai. Penggundulan hutan yang dilakukan sangat intensif dan tanpa kendali telah merusak fungsi hutan sebagai penyangga air. Diduga, sebagian migran di perkotaan, kembali ke pedesaan dan turut merambah lahan-lahan yang seharusnya dipelihara keberadaan dan fungsinya. Sehubungan itu dilakukan kajian singkat untuk mengidentifikasi para pelaku perambahan hutan dan rusaknya fungsi hutan sebagai penyangga serta keterkaitannya dengan arus balik migran dari kota ke desa. Hasil kajian menunjukkan bahwa perambahan hutan bertujuan untuk dua hal. Pertama untuk memperluas lahan garapan dan kedua penjarahan hutan berupa pencurian hasil-hasil hutan khususnya kayu. Peristiwa ini sudah berjalan sejak lama dan pada awal reformasi terjadi sangat luas yang dilakukan banyak pihak. Pada saat ini kegiatan perambahan sudah mereda. Namun demikian, perambaan yang terorganisir ditengarai masih ada, kendati tidak separah seperti kejadian awal reformasi. Dugaan bahwa para perambah hutan juga dilakukan oleh migran yang kembali dari kota (returning migrant), tidak dapat dibuktikan dari kajian ini. Tidak dijumpai mantan migran dari kota yang datang ke desa dan melakukan perambahan hutan. Migrasi dari desa ke kota dan kembali lagi umumnya berasal dari kelompok usia muda terdidik dan tidak ada keterkaitannya dengan kegiatan di sektor pertanian. Migran yang kembali ke desa cenderung memilih kegiatan non pertanian seperti tukang ojeg motor dan pada jenis-jenis kegiatan non pertanian yang bersifat informal. Upaya mengantisipasi perambahan hutan dalam rangka penyelamatan lingkungan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masysarakat, kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) telah diaplikasikan atas dukungan pihak-pihak terkait. Kegiatan tersebut dinilai berhasil mengendalikan dan menekan perambahan hutan. Namun demikian, kegiatan ini seyogyanya lebih difokuskan dan diperkuat dengan basis partisipasi aktif dari semua pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, dalam operasionalisasinya perlu diupayakan koordinasi dan keterpaduan kerja antar semua pihak. Bersamaan dengan itu, pengembangan kemampuan (capacity building) petani merupakan hal yang perlu mendapat perhatian pula. Di berbagai wilayah di Indonesia sering terjadi bencana alam berupa banjir, erosi dan tanah longsor yang mengakibatkan kerugian materi dan juga korban jiwa. Isu mengenai penyebab bencana ini banyak dikaitkan dengan aktivitas manusia yang berakibat terjadinya ketidakseimbangan ekosistem, antara lain disebabkan adanya perambahan dan penggundulan hutan di bagian hulu Daerah Aliran Sungai. Penggundulan hutan terjadi dengan intensif dan sangat sulit untuk dikendalikan. Disamping itu, adanya penebangan liar dan
8
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
pemanfaatan areal hutan yang tidak sesuai dengan kaedah konservasi lahan juga merusak fungsi hutan sebagai penyangga air. Isu perambahan hutan sebagai penyebab bencana alam dikaitkan pula dengan terjadinya arus balik migrasi (returning migration) dari kota ke desa. Sebagian angkatan kerja pedesaan yang bermigrasi ke kota, diduga telah kembali ke pedesaan karena tekanan ekonomi di perkotaan. Sektor pertanian merupakan andalan aktivitas dan menjadikannya sumber pendapatan di pedesaan. Namun demikian, dengan terbatasnya lahan pertanian yang dapat digarap menyebabkan mereka merambah ke lahan-lahan yang seharusnya dipelihara keberadaan dan fungsinya. Kedua aspek ini, yaitu arus balik migrasi dari kota ke desa di satu sisi dan terjadinya perambahan hutan di sisi lain perlu pengkajian secara empirik. Sehubungan itu telah dilakukan pengkajian secara cepat di 2 kabupaten di Jawa Barat, yaitu kabupaten Sukabumi dan kabupaten Cianjur. Kedua kabupaten tersebut memiliki potensi sebagai peristiwa arus balik migrasi dari kota dan kemungkinan terjadinya perambahan hutan. Secara umum, data dan informasi yang dikumpulkan dan didiskusikan dalam kajian ini meliputi 3 aspek, yaitu (i) isu perambahan hutan, (ii) karakteristik perambah hutan, dan (iii) kebijakan penanggulangan perambahan hutan. Data dan informasi dihimpun dari berbagai instansi yang terkait di kedua kabupaten, yakni Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Perum Perhutani, Dinas Tenaga Kerja dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Untuk kelengkapan data dan informasi, juga dilakukan kunjungn dengan melihat langsung (field observation) lokasi desa dan areal hutan disekitarnya, sekaligus berdiskusi dengan masyarakat dan informan kunci (formal dan informal) melalui survey singkat. Lokasi survey dilakukan di desa Unrus Binangun, kecamatan Kadu Dampit, kabupaten Sukabumi dan desa Sukamanah, kecamatan Cibeber, kabupaten Cianjur. Isu Perambahan Hutan Perambahan hutan terjadi secara meluas sekitar awal era reformasi yaitu tahun 1999/2000. Beberapa faktor yang memicu perambahan tersebut, antara lain: (1) masyarakat menyambut gembira era reformasi namun lepas kendali, (2) timbulnya tekanan ekonomi akibat krisis , dan (3) adanya kesalahan interpretasi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah tentang pengelolaan hutan secara bersama (sharing management) antara pemerintah dan masyarakat. Dampak negatif penjarahan hutan pada awal reformasi sangat signifikan terutama bagi masyarakat desa-desa sekitar hutan. Beberapa areal hutan menjadi gundul dan kemudian terjadi bencana banjir, tanah longsor dan erosi di beberapa tempat. Di desa Unrus Binangun misalnya, salah satu desa di Kecamatan Kadudampit Kabupaten Sukabumi bagian utara, akibat yang dirasakan adalah banjir dan tanah longsor yang telah merenggut korban jiwa dan harta benda. Perambahan hutan oleh masyarakat di wilayah utara bertujuan lebih kepada penguasaan areal untuk garapan terutama para petani setempat yang tidak memiliki lahan. Di wilayah lain, bagian selatan kabupaten Sukabumi penjarahan dilakukan dengan motivasi pencurian kayu dan hasil hutan.
Analisis Kebijakan
9
Di kecamatan Jampang Kulon dan Nyalindung, penjarahan yang terjadi tahun 1999 sangat intensif dan keterlibatan masyarakat sangat luas. Hutan jati yang memang sudah saatnya ditebang habis dijarah “masyarakat” namun Perum Perhutani tidak dapat berbuat apa-apa. Pada waktu itu penjarah tidak hanya masyarakat sekitar hutan tapi juga masyarakat dari luar daerah dengan memprovokasi bahwa areal hutan yang ada merupakan tanah milik adat yang dititipkan kepada negara. Dengan demikian, masyarakat berhak atas produksi kayu dan berhak menjadikannya sebagai tanah garapan. Tapi di kecamatan Kadudampit peristiwa serupa dapat dicegah dan digagalkan aparat setempat. Aparat setempat terus menghimbau masyarakat agar menghentikan penjarahan tersebut. Walaupun penjarahan cenderung berkurang, kasus-kasus setempat masih terjadi dan tidak sedikit yang terus diproses ke pengadilan. Ternyata, membawa kasus penjarahan hutan ke pengadilan tersebut membuat masyarakat jera. Penjarahan hutan tidak terjadi secara sporadis tapi terpencar berupa spot-spot tertentu dengan total areal yang luas. Hal ini berakibat bahwa penanganan penghutanan kembali menjadi sulit dan memakan waktu lama. Beberapa areal hutan Perhutani yang belum ditanami akibat penjarahan, dimanfaatkan masyarakat untuk usahatani tanaman pangan seperti padi gogo dan palawija dan sayuran. Dalam jangka pendek, berdampak positif terhadap luas tanam dan produksi tanaman pangan dan sayuran. Dinas Pertanian mencontohkan bahwa perluasan areal tanam padi gogo di kabupaten Sukabumi meningkat lebih dari 10 ribu hektar dengan cara mengizinkan petani mengusahakan tanaman di areal hutan yang belum ditanami tanaman pokok. Akan tetapi, dalam jangka panjang, keterlambatan Perhutani menanam kembali areal hutan yang kosong mengancam berfungsinya areal tangkapan air yang dapat menimbulkan kekeringan. Laporan Dinas Pertanian mencatat bahwa pada tahun 2004 merupakan waktu paling parah dalam hal kekeringan bagi areal pertanian di wilayah Sukabumi, yang meliputi sekitar 14 ribu hektar. Sementara, data terakhir tahun 2006 dirinci bahwa areal sawah yang mengalami kerusakan akibat kekeringan dengan klasifikasi rusak berat seluas 118 Ha, rusak sedang 246 Ha dan rusak ringan seluas 624 Ha. Akhir-akhir ini, kegiatan perambahan hutan sudah sangat berkurang. Namun demikian, perambahan yang terorganisir rapi ditengarai masih tetap ada, kendati tidak separah seperti kejadian pada awal era reformasi. Penjarahan yang terjadi pada awal era reformasi dilakukan dengan motivasi pencurian kayu, tapi perambahan hutan yang terjadi saat ini dilakukan untuk mendapatkan lahan garapan usahatani. Karakteristik Perambahan Hutan Meskipun beberapa anggota masyarakat di sekitar hutan terlibat dalam penjarahan hutan pada awal era reformasi, tapi sebetulnya pelaku utamanya adalah oknum-oknum tertentu yang mempunyai kekuasaan, kekuatan dan kemampuan finansial. Oknum-oknum tersebut sekaligus sebagai penampung hasil jarahan. Pada dasarnya penjarahan hutan pada saat itu merupakan pencurian kayu di areal hutan dengan motovasi ekonomi. Namun seorang kepala desa
10
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
mengatakan bahwa tidak satu orangpun warga desanya yang menjadi kaya dari hasil menjarah hutan. Warga masyarakat yang melakukan perambahan hutan dengan tujuan untuk mendapat areal garapan umumnya memang dari kelompok yang tidak memiliki lahan atau petani dengan luas garapan sempit. Para perambah tidak hanya berasal dari warga desa yang berbatasan langsung dengan areal hutan, tapi juga datang dari daerah/desa lain dalam kecamatan yang sama. Dugaan bahwa para perambah hutan juga berasal dari migran yang kembali dari kota (returning migrant), tidak dapat dibuktikan dari kajian ini. Di dua lokasi yang dikaji tidak dijumpai anggota masyarakat migran dari kota yang datang ke desa dan melakukan perambahan hutan. Meskipun tidak ada data akurat mengenai jumlah anggota masyarakat yang tadinya bermigrasi ke kota dan kembali ke desa, namun dapat dipastikan bahwa sebagian besar diantara mereka berasal dari kelompok usia muda terdidik dan tidak ada keterkaitannya dengan kegiatan di sektor pertanian. Para migran yang bekerja dan berusaha di perkotaan sejak awal umumnya bukanlah pekerja pertanian. Pada kenyataannya, migran yang kembali ke desa cenderung memilih kegiatan non pertanian seperti tukang ojeg motor yang akhir-akhir ini banyak dijumpai di pedesaan dan jenisjenis kegiatan non pertanian lain di sektor informal. Kenyataan ini sejalan dengan hasil penelitian Nurmanaf et al tahun (2000)2 yang menjelaskan bahwa kegiatan di sektor pertanian hanya merupakan kegiatan sementara bagi para mantan migran di pedesaan sebelum mereka mendapatkan pekerjaan yang lebih sesuai ketimbang menganggur. Fenomena migrasi dari desa ke kota telah mengalami pergeseran. Pada periode-periode terdahulu, terdapat keterkaitan antara waktu bermigrasi dengan fase kegiatan pertanian di desa asalnya. Pada saat kegiatan pertanian tidak sibuk, misalnya menunggu panen, pekerja pertanian berangkat ke kota dan akan kembali ke desa bila kegiatan pertanian mulai sibuk kembali. Fenomena seperti ini disebut sebagai migrasi musiman (seasonal migration). Namun, pada saat ini hal demikian tidak terjadi lagi. Sejak awal para migran terdiri dari angkatan kerja muda, relatif terdidik dan bukan berasal dari pekerja pertanian. Oleh karena itu, kegiatan bermigrasi tidak berkaitan dengan kegiatan pertanian di pedesaan yang bersifat musiman dan dilakukan sepanjang tahun3. Hal ini menunjukkan adanya spesialisasi tentang warga yang bekerja sebagai migran di perkotaan dan warga yang bekerja di pedesaan Kebijakan Mengantisipasi Perambahan Hutan Selain memerlukan waktu, tenaga dan biaya, upaya mewujudkan pengelolaan dan mengantisipasi perambahan hutan, memerlukan komitmen yang tinggi baik dari pemerintah maupun masyarakat. Perum Perhutani telah
2
Nurmanaf et al. (2000) :Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Struktur Pasar Tenaga Kerja Pertanian di Pedesaan. Puslitbang Sosek Pertanian. 3 Syafaat et al. (1998). Mobilitas Tenaga Kerja Pedesaan. Puslit Sosek Pertanian.
Analisis Kebijakan
11
mencanangkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program ini berlandaskan payung hukum, seperti: (i) Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sukabumi No.13/2003; (ii) dukungan internal Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No.136/2001 dan N0.001/2002; (iii) Prosedur Tetap (Protap) No.14/2004; dan (iv) Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Jawa Barat No.11/2006. Inti dari program PHBM adalah untuk meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging) melalui kepedulian dan kebersamaan terhadap eksistensi hutan. Hal in sesuai dengan perubahan paradigma pengelolaan hutan dari aspek orientasi produksi kayu ke aspek sosial ekonomi dan budaya, dan dari aspek bantuan ke aspek partisipasi masyarakat. Adapun latar belakang program PHBM adalah: (1) kondisi hutan yang dikelola Perhutani rusak akibat gangguan keamanan, potensi dan produktivitas menurun dan semakin meluasnya tanah kosong, (2) kondisi masyarakat desa sekitar hutan yang dicirikan rendahnya rasa memiliki, rendahnya kesadaran akan fungsi dan manfaat hutan, tekanan sosial ekonomi serta rendahnya kesadaran hukum, (3) tidak terkoordinirnya keterpaduan antara kepentingan masyarakat dengan kegiatan Perum Perhutani, dan (4) adanya budaya lama yang kontra produktif (seperti aroganisme dan feodalistik). Program PHBM mulai dicanangkan tahun 2003 dengan anggaran operasional Perum Perhutani. Sebenarnya program ini merupakan modifikasi dan tindak lanjut dari program pengelolaan sumberdaya hutan yang pernah diaplikasikan sebelumnya. Proyek “malu” (mantri hutan dan lurah) diciptakan tahun 1972; diikuti Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) pada tahun 1982; selanjutnya PMDH yang dilengkapi dengan Perhutanan Sosial (PS) pada tahun 1984. Kemudian PMDH dan PS dilengkapi lagi dengan Pembinaan Desa Hutan (PDH) pada tahun 1990; diteruskan lagi dengan PMDH Terpadu pada tahun 1995, dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan tema “Sukses Tanaman dan Keamanan” tahun 1999. Tujuan yang ingin dicapai dengan program PHBM antara lain: (a) membangkitkan rasa bertanggung jawab semua pemangku kepentingan (stakeholders) terhadap fungsi dan manfaat hutan (hutan lestari), (b) meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dan fihak-fihak lain. Sedangkan bidang kegiatan yang dilakukan melalui PHBM meliputi: (i) keamanan hutan, (ii) pembinaan hutan, (iii) produksi hutan (kayu dan non kayu), dan (iv) pengembangan wisata. Proses kegiatan PHBM ditempuh malalui beberapa fase, diantaranya: (1) sosialisai kegiatan, (2) pembentukan kelembagaan (Kelompok Tani Hutan/KTH dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan/LMDH), (3) pemetaan batas desa dan hutan, (4) inventarisasi potensi sumberdaya, (5) penyusunan perencanaan kegiatan, dan (6) perjanjian atau nota kesepakatan. Sementara itu pemangku kepentingan PHBM terdiri dari Perum Perhutani, masyarakat desa hutan, institusi pemerintahan, LSM, tokoh masyarakat, swasta, koperasi dan fihak-fihak lain terkait. PHBM merupakan kegiatan kerjasama pemanfaatan lahan milik Perum Perhutani oleh masyarakat desa sekitar hutan melalui sistem tumpangsari dengan
12
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
tanaman utama/pokok. Sistem tumpangsari tersebut dilaksanakan melalui perjajnjian dan pengaturan pembagian hasil antara masyarakat petani dengan Perum Perhutani. Secara garis besar, implementasiPHBM adalah sebagai berikut: 1) Perum Perhutani memberikan fasilitas pemanfaatan lahan kehutanan kepada masyarakat di sekitar hutan untuk dikelola secara baik sesuai dengan kaidah konservasi. Pengusahaan lahan dibagi merata antar peserta dengan prioritas bagi yang tidak memiliki lahan. 2) Masyarakat berkewajiban menjaga pohon tegakan/pokok yang pada saat penebangan sebesar 25% menjadi bagian mereka. 3) Pada saat pohon pokok masih muda (tahap penjarangan), masyarakat dapat mengusahakan jenis tanaman semusim yang semua hasil panen nya menjadi hak masyarakat yang mengusahakan. 4) Apabila pohon sudah besar dan secara teknis pengusahaan tanaman semusim tidak layak lagi, masyarakat dapat mengusahakan jenis tanaman tahunan yang sesuai dengan tanaman pokok dan berfungsi sebagai tanaman pelindung. Pembagian hasil panen tanaman tahunan yang ditumpangsarikan dengan tanaman pokok dibagi sebesar 65% untuk masyarakat, 30% untuk Perum Perhutani dan 5% untuk pemerintahan desa. 5) Masyarakat mendapat bimbingan teknis melalui wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Bimbingan tersebut difasilitasi oleh Perum Perhutani, LSM, penyuluh pertanian/kehutanan, penyuluh swakarsa dan jajaran instansi terkait. 6) Untuk menambah wawasan masyarakat, Perum memfasilitasi kegiatan studi banding ke lokasi lain.
Perhutani
juga
Implementasi PHBM di Kabupaten Sukabumi Di kabupaten Sukabumi tercatat sebanyak 142 desa yang merupakan desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan yang disebut desa hutan. Hingga tahun 2005 implementasi kegiatan PHBM telah menjangkau lebih dari 80% desadesa hutan. Warga desa yang diikutsertakan dalam kegiatan PHBM diprioritaskan anggota masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian dan memiliki motivasi tinggi dan sudah biasa mengusahakan kegiatan usahatani khususnya pertanian lahan kering. Rataan luas penggarapan berkisar antara 0.5 sampai 1.0 hektar. Masyarakat tampak antusias mengikuti kegiatan PHBM tersebut. Sebelum ada kegiatan PHBM, masyarakat cenderung takut melakukan aktivitas di areal kawasan hutan. Hal ini terkait pada pengalaman masa lalu beberapa warga yang berurusan dengan pengadilan akibat terlibat penjarahan hutan pada awal era reformasi. Namun demikian, dengan ikut dalam kegiatan PHBM masyarakat dapat memanfaatkan lahan hutan dengan legal tanpa dibebani rasa takut. Sebagian peserta kegiatan PHBM tinggal di hutan dan turun ke perkampungan sekali dalam seminggu. Hal ini menunjukkan tingginya motivasi berusahatani disamping untuk menjaga usahataninya agar aman dari gangguan hama. Data Perum Perhutani juga memperlihatkan bahwa peristiwa perambahan hutan sudah sangat berkurang. Tahun 2003 luas hutan yang dirambah mencapai
Analisis Kebijakan
13
lebih dari 3 ribu hektar dengan perambah lebih dari 5 ribu orang; dibandingkan dengan data tahun 2005 dengan luas hutan yang dirambah hanya 335 hektar dengan jumlah perambah 476 orang. Areal yang dirambah terpencar, berupa spot-spot dengan luasan lebih kecil. Dengan meluasnya kegiatan PHBM diharapkan perambahan hutan akan terus berkurang. Keberhasilan ini dimanfaatkan oleh Dinas Pertanian dengan melaksanakan program pengembangan agribisnis komoditas unggulan (hortikultura) di dataran tinggi dan program Perluasan Areal Tanam (PAT) yang diintegrasikan dengan masyarakat dan areal PHBM. Pada saat kegiatan PHBM berjalan sekitar 2 tahun, dikeluarkan SK Menhut No. 175/2003 tentang perluasan Taman Nasional untuk mengembalikan fungsi konservasi (di Kabupaten Sukabumi mencapai luasan hampir 20 ribu hektar). Sebagian areal merupakan areal yang dicakup program PHBM. Selain itu, diterbitkan SK Gubernur Jawa Barat No.522/tahun 2003 tentang larangan kegiatan tumpangsari pada kawasan hutan dengan kemiringan diatas 40%. Dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut menjadi sangat dilematis bagi peserta kegiatan PHBM yang masuk kawasan Taman Nasional. Untuk mengeluarkan petani yang telah mengelola dan memelihara tanaman pokok hutan dengan pola PHBM tidak mudah, karena dintara petani ada yang telah mengeluarkan biaya yang cukup besar. Untuk menangani masalah tersebut, disusun program lain yang diharapkan dapat dijadikan kompensasi sebagai konsekuensi dikeluarkannya peraturan tersebut. Walaupun bentuknya berbeda, dirancang kegiatan PHBM di luar kawasan hutan. Petani peserta yang harus keluar dari hutan diberikan kesempatan mengusahakan peternakan domba dengan sistem bagi hasil, yaitu 65% pemelihara dan 35% Perum Perhutani. Bagian untuk Perum Perhutani digulirkan pada pemelihara lain. Upaya ini disinergiskan dengan program Dinas Peternakan yang dilaksanakan dengan sistem bagi hasil dari penggemukan domba. Bentuk kompensasi lain berupa pembuatan katering air untuk rumah tangga di desa (bahan dari Perum Perhutani dan tenaga kerja dari masyarakat); pembentukan koperasi simpan pinjam dan usaha pupuk bagi anggota LMDH. Pada kenyataannya, sejauh ini dapat diterima masyarakat dan tidak terjadi dampakdampak negatif. Implementasi PHBM DI Kabupaten Cianjur Kegiatan PHBM di kabupaten Cianjur, secara formal baru pada tahapan pembentukan kelembagaan seperti LMDH dan KTH. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa persiapan-persiapan relatif baik namun masih menunggu operasional kesepakatan secara hukum. Di kabupaten Cianjur ada 148 desa yang berbatasan dengan areal hutan dan diharapkan seluruhnya dapat diikutkan dalam kegiatan PHBM. Sesungguhnya kegiatan berupa kerjasama antara Perum Perhutani dan masyarakat telah ada jauh sebelumnya, yaitu program Perhutanan Sosial (Social Forestry). Dengan demikian, diperkenalkannya kegiatan PHBM di desa mereka disambut baik oleh masyarakat sekitar hutan. Kasus di desa Selagedang tanaman pokok kehutanan adalah pohon pinus. Oleh karena pohon pinus sudah berumur hampir 5 tahun, sudah tidak memadai
14
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
lagi diusahakan tanaman semusim sebagai tanaman tumpangsari. Dengan demikian, atas persetujuan Perum Perhutani jenis tanaman tumpangsari diusahakan tanaman kopi. Keadaan demikian merupakan alasan petani tidak tertarik mengikuti PHBM karena tidak ada kesempatan mengusahakan tanaman semusim khususnya tanaman pangan. Di wilayah lain, petani mengusahakan tanaman pangan yang disinergiskan dengan program Dinas Pertanian Tanaman Pangan, yaitu berupa Program Pengembangan Kedele dan Program Pengembangan Jagung Hibrida. Dinas Pertanian Tanaman Pangan juga merencanakan Perluasan Areal Tanam komoditas kacang tanah dan jagung tahun 2006. Dengan diaplikasikannya kegiatan PHBM dengan Perum perhutani dan berbagai program yang dilaksanakan Dinas Pertanian Tanaman Pangan, diharapkan dapat menekan terjadinya perambahan hutan di kabupaten Cianjur. Masyarakat secara sadar turut mengamankan, merehabilitasi serta melestarikan kawasan disamping memanfaatkannya. Kesimpulan Perambahan hutan yang dilakukan masyarakat bertujuan untuk dua hal yaitu: untuk memperluas lahan garapan dan pencurian hasil-hasil hutan khususnya kayu. Peristiwa ini sudah berjalan sejak lama dan pada awal reformasi hal ini terjadi sangat luas melibatkan banyak pihak. Pada saat ini kegiatan perambahan secara umum sudah mereda. Namun, perambahan yang terorganisir ditengarai masih ada, kendati tidak separah seperti kejadian awal reformasi. Dugaan bahwa para perambah hutan juga dilakukan oleh migran yang kembali dari kota (returning migrant), tidak dapat dibuktikan dari kajian ini. Di lokasi kajian tidak dijumpai anggota masyarakat migran dari kota yang datang ke desa dan melakukan perambahan hutan. Migrasi dari desa ke kota dan kemudian kembali umumnya berasal dari kelompok usia muda terdidik dan tidak ada keterkaitannya dengan kegiatan di sektor pertanian. Migran yang kembali ke desa cenderung memilih kegiatan non pertanian seperti tukang ojeg motor dan jenisjenis kegiatan non pertanian yang bersifat informal. Fenomena migrasi dari desa ke kota pada saat ini telah berubah. Para migran terdiri dari angkatan kerja muda, relatif terdidik dan bukan berasal dari pekerja pertanian. Upaya mengantisipasi perambahan hutan dalam rangka penyelamatan lingkungan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masysarakat, kebijakan yang menciptakan kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) telah diaplikasikan atas dukungan berbagai pihak. Program tersebut dinilai berhasil mengendalikan dan menekan penjarahan/perambahan hutan. Namun demikian, kegiatan ini seyogyanya lebih difokuskan dan diperkuat dengan basis partisipasi aktif dan membangun rasa memiliki dari semua pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, dalam operasionalisasinya perlu diupayakan koordinasi dan keterpaduan kerja antar semua pihak. Bersamaan dengan itu, pengembangan kemampuan (capacity building) petani merupakan hal yang perlu mendapat perhatian pula.
Analisis Kebijakan
15
TABEL-TABEL LAMPIRAN Tabel 1. Jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, 2005 Lapangan pekerjaan
Jumlah Penduduk (jiwa)
Proporsi (%)
1. Pertanian
375.262
45,13
2. Industri
101.048
12,15
3. Perdagangan
186.955
22,48
4. Jasa
73.707
8,87
5. Lainnya
94.495
11,37
813.467
100,00
Total Sumber: BPS Kabupaten Sukabumi, 2006
Tabel 2. Perkembangan rasio rumah tangga pertanian terhadap luas baku lahan pertanian di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, 2003 dan 2005 Uraian
Tahun
Perkembangan
2003
2005
(% per tahun)
63.571
62.715
- 0,67
156.125
144.174
- 3,83
219.696
206.889
- 2,92
288.069
375.262
+ 15,13
0.76
0.55
- 13,82
A. Luas baku lahan pertanian (Ha) 1. Luas sawah 2. Luas daratan
1
Total B. Jml. rumah tangga pertanian (r.tg) C. Rasio LBP thd. RTP (Ha / r.tg) Keterangan:
1
Terdiri dari tegal/ladang/kebun/huma/hutan rakyat dan tanah yang sementara tidak digunakan
Sumber: BPS Kab. Sukabumi 2003 dan 2006
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
16
Tabel 3. Perkembangan jumlah migran dan TKI di Kabupaten Sukabumi, 1999 – 2004 (jiwa) Tahun Uraian
TKI / TKW
1999
2002
2003
2004
8.436
100
12
16.912
291
54
109
116
--
1805
--
2.358
Realisasi Transmigrasi ke Luar Jawa Eksodan (kembali ke Sukabumi) Sumber: BPS Sukabumi 1999 – 2004
Tabel 4. Perkembangan luas kawasan hutan menurut fungsinya di KPH Sukabumi, Jawa Barat, 1999 – 2004 Tahun
Perkembangan
Fungsi hutan 1999
2002
2003
2004
(%/thn)
Hutan lindung
23.818,09
12.579,12
20.401,44
1.662,67
- 23,64
Hutan produksi
63.991,07
68.133,53
57.723,74
56.722,59
- 5,23
Areal PHPA
24.769,36
24.769,39
--
19.739,92
- 10,89
Hutan lainnya
2.573,85
2.453,37
--
2.453,73
- 2,41
105.152,37
107.953,38
78.125,18
80.578,91
- 11,14
Jumlah
Sumber: BPS Kab. Sukabumi 1999 – 2004
Tabel 5.
Perkembangan produksi kayu di KPH Sukabumi, Jawa Barat 1999 –2004 Tahun
Produksi kayu (m3)
1999
76.830
2002
36.158
2003
48.683
2004
15.865.010
Sumber: BPS Kab. Sukabumi
Analisis Kebijakan
17
Tabel 6. Rekapitulasi kemajuan penanganan Sukabumi s/d Maret 2005
BKPH
perambahan
hutan
di
KPH
Jml. awal
Jml. turun
Sisa
Des. 03
s/d 31 maret 05
s/d 31 Maret 05
Luas (Ha)
Peram -bah (org)
Peram
Luas
-bah (org)
(Ha)
Luas
Peram
(Ha)
-bah (org)
2.230,42
2.726
2.095,79
2.511
134,63
215
Cikawung
566,81
1.085
394,94
888
171,87
197
3.
Sagaranten
151,65
514
151,65
514
---
---
4.
Bojong Lopang
43,11
90
14,00
26
29,11
64
5.
Jampang Kulon
6.
Lengkong
7.
UP Gn. Arca
1.
Pelabuhan Ratu
2.
Jumlah
18,00
20
18,00
20
---
---
168,95
588
168,95
588
---
---
2,50
3
2,50
3
---
---
3.181,44
5.026
2.845,83
4.550
335,61
476
pada
Perum
Sumber: Perum Perhutani KPH Sukabumi, 2006
Tabel 7. Implementasi kegiatan Sukabumi, 2006
BKPH
PHBM
Jml. Desa
Jml. Desa
PHBM
PHBM
s/d 2006
s/d 2005
Perhutani
KPH
Tahapan PHBM
1. Plb. Ratu dan Cicirug
19
14
Sdh pelaksanaan
2. Cikawung dan Gede Barat
33
20
Sdh pelaksanaan
3. Sagaranten
20
14
Sdh pelaksanaan
4. Bojong Lopang
9
5
Sdh pelaksanaan
5. Lengkong
20
12
Sdh pelaksanaan
6. Jampang Kulon
14
12
Sdh pelaksanaan
Jumlah
115
77
xxx
Keterangan: KPH = Kesatuan Pemangku Hutan, BKPH = Bidang kesatuan Pemangku Hutan Sumber : perum perhutani KPH Sukabumi, 2006
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
18
Tabel 8. Jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 1999 – 2005
Pertanian
Pertumbuhan (%/thn)
Tahun
Lapangan pekerjaan
1999
2000
2003
2004
2005
446.872
434.399
510.670
456.386
498.959
+ 2,69
42.454
25.474
40.383
38.596
56.983
+ 10,34
103.602
104.487
160.774
123.654
168.474
+ 11,26
Jasa
43.440
119.162
54.795
55.540
62.933
- 3,67
Lainnya
73.022
160.301
75.614
97.047
58.851
- 9,85
709.390
843.823
842.236
771.223
846.200
+ 2,50
Industri Perdagangan
Total
di
Sumber: BPS Kab. Cianjur dan Profil Tenaga kerja Jawa Barat, 2005
Tabel 9. Perkembangan rasio rumah tangga pertanian terhadap luas baku lahan pertanian di kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 1999 – 2005 Tahun Uraian 1999 A.
2003
2004
2005
Perkembangan (%/thn)
Luas baku lh. Pert. (Ha) 1.
Luas sawah
58.275
61.771
61.587
62.873
+ 2,23
2.
Luas daratan
96.866
95.161
94.711
95.769
- 3,91
Total
155.141
156.932
156.298
158.642
+ 0,63
B.
Rumah tangga pertanian.
446.872
510.670
456.386
498.959
+ 2,13
C.
Rasio LBP thd RTP 0,35
0,31
0,34
0.32
- 1,82
(Ha / r.tangga)
Sumber: Dinas pertanian Kab. Cianjur, 1999 – 2005
Analisis Kebijakan
19
Tabel 10. Perkembangan luas kawasan hutan menurut Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 1999 – 2006 (Ha)
Fungsi hutan
fungsinya
di
Perkembangan
Tahun 1999
2000
2002
2003
2006
Produksi
63.440,91
63.440,91
63.440.91
43.283,65
24.506,17
- 18,99
Lindung
(%/thn)
5.215,05
5.215,05
5.215,05
24.259,79
24.305,56
+ 44,56
Wisata
206,54
206,54
206,54
45,87
18.777,48
+ 95,10
Jumlah
68.862,50
68.862,50
68.862,50
67.589,31
67.589,21
+ 4,59
Sumber: BPS Kab. Cianjur 1999 – 2006
Tabel 11.
Perkembangan produksi kayu di KPH Cianjur, Jawa Barat, 2000 – 2006. Tahun
Produksi kayu (m3)
2000
36.610
2001
39.690
2002
22.985
2003
16.370
2004
15.194
2005
29.745
2006
37.429
Sumber: Perum Perhutani KPH Cianjur 2006
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
20
Tabel 12 Perkembangan luas areal lahan pertanian yang terkena bencana alam di kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 1999 – 2005 (Ha) Tahun
Jenis bencana alam
2004
2005
Longsor
447
212
Banjir
718
678
Kekeringan
864
---
2.029
890
Total Sumber: Dinas Pertanian, 1999 dan 2005
Tabel 13.
Perkembangan luas lahan kritis di Kabupaten Cianjur, 1999 – 2004 Tahun
Uraian
Pertumbuhan (%/thn)
1999
2004
Potensi Kritis
76.831
56.792
- 5,22
Semi Kritis
51.523
45.604
- 2,30
Kritis
11.619
16.131
+ 7,77
139.973
118.527
- 3,06
Jumlah
Sumber: Dinas Pertanian Kab. Cianjur 1999 dan 2004
Analisis Kebijakan
Tabel 14.
21
Realisasi/implementasi KPH Cianjur, 2006.
BKPH
kegiatan
Jml. desa PHBM
Jml. desa PHBM
s/d 2006
s/d 2005
PHBM
pada
Perum
Perhutani
Belem-
Kelem
PHBM
Bagaan
bagaan
s/d 2006
LMDH
KTH
s/d 2006
s/d 2006
Thp
Desa
Cianjur
41
20
21
8
Nego
41
Cianjur Utara
14
9
18
9
Nego
14
9
7
8
3
Nego
9
Sukanegara Utara
16
11
11
4
Nego
16
Sukanegara Selatan
21
14
15
2
Nego
21
Cianjur Selatan
Cibarengkok
16
11
4
4
Nego
16
Tanggeung
21
14
14
11
Nego
21
Sindang barang
10
10
10
6
Nego
10
148
96
101
47
Jumlah Keterangan :
KPH : Kesatuan Pemangku Hutan BKPH : Bidang Kesatuan Pemangkuan Hutan LMDH : Lembaga Masyarakat Desa Hutan KTH : Kelompok Tani Hutan
Sumber: Perum Perhutani KPH Cianjur, 2006
148