6. DESAIN KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG DENGAN KONSEP “MARINE CADASTRE” 6.1. Faktor-faktor Dominan dan Indikator-Indikator Penting Faktor-faktor dominan dalam penyelenggaraan suatu “marine cadastre” sebagaimana telah diuraikan dan dianalisis dalam bab-bab sebelum ini, dapat diformulasikan lebih lanjut sebagai berikut (lihat pula Gambar 36): (a) Adanya konsep dasar (filosofis) Telah dipahaminya konsep “the boundary of tenure” melalui konsep penataan ruang pesisir dan laut. Faktor ini berkaitan dengan dipahaminya ruang dan sumberdaya pesisir dan laut sebagai warisan umat manusia yang harus dijaga dan dipelihara, dan oleh karena itu perlu adanya batasan-batasan (restrictions) pemanfaatannya, termasuk batas-batas (boundaries) wilayah, persil, atau zona pemanfaatannya. (b) Adanya kedaulatan negara dan sistem kepemilikan Telah diketahuinya batas laut teritorial Republik Indonesia dengan negaranegara Singapura dan Malaysia.
Faktor ini berkenaan dengan wilayah
“marine cadastre”, yaitu berlaku di wilayah kedaulatan (laut teritorial) suatu negara, yang mana di dalamnya berlaku atau diakuinya pula sistem penguasaan (tenureships) atas ruang dan sumberdaya pesisir dan laut; (c) Adanya tuntutan dan kebutuhan Telah dipahaminya serta dirasakannya secara nyata kondisi geografis, potensi sumberdaya alam dan potensi ekonomi pesisir dan kelautan yang dominan. Faktor ini berkaitan dengan adanya tuntutan dan kebutuhan perlunya penyelenggaraan suatu sistem “marine cadastre”, yang didorong oleh: • kondisi faktor-faktor geografis wilayah yang didominasi oleh bentangan alam pesisir, gugusan pulau-pulau kecil, dan laut; • kondisi potensi sumberdaya pesisir dan lautan; • kondisi potensi ekonomi pesisir dan lautan;
131
100 80 60
SETUJU
40
TIDAK SETUJU
20
ABSTEIN
0
%
PERSIL LAUT & 3R
Gambar 36.
SISTEM TENURIAL
TUNTUTAN KEBUTUHAN
Grafik balok pendapat responden atas faktor-faktor dominan perlunya kebijakan pemanfaatan ruang dengan “marine cadastre”
Berkaitan dengan faktor-faktor dominan sebagaimana telah diuraikan di atas, maka indikator-indikator penting dalam penyelenggaraan suatu “marine cadastre” adalah sebagai berikut (periksa Gambar 37): (a) tersedianya kerangka hukum dan kelembagaan, yaitu peraturan perundangundangan yang mengaturnya serta lembaga-lembaga yang melaksanakannya, yang meliputi pula: • sosialisasi dan upaya-upaya pemahamannya secara terbuka (transparan) dan mendasar; • kejelasan tentang macam-macam hak atas ruang dan penggunaan wilayah pesisir dan laut; • kejelasan tentang batasan dan kewajiban dalam setiap pelaksanaan hak-hak dimaksud (bentuk penguasaan dan pemanfaatan ruang dan sumberdaya) di wilayah pesisir dan laut, termasuk bentuk-bentuk sanksi bagi setiap pelanggaran yang terjadi; • kejelasan
tentang
bertanggungjawab
siapa apa,
yang yaitu
melakukan kejelasan
apa tentang
dan
siapa
yang
instansi-instansi
Pemerintah dan Daerah yang menyelenggarakan “marine cadastre”; (b) tersedianya perencanaan tata ruang wilayah darat dan laut yang dilakukan secara terpadu dengan mengarah kepada tujuan EES (Ekonomi, Ekologi, dan Sosial); (c) tersedianya infrastruktur data spasial yang komprehensif di mana setiap kepentingan di wilayah pesisir dan laut dapat:
132
•
dipetakan, yaitu melalui kejelasan dan kesepakatan dalam sistem koordinat dan proyeksi peta serta datum yang digunakan, termasuk skala peta dan simbol-simbol kartografi yang digunakan;
TUJUAN EKONOMI EFISIENSI & PERTUMBUHAN
• •
DISTRIBUSI PENDAPATAN LAPANGAN KERJA BANTUAN NYATA
•
PENILAIAN LINGKUNGAN VALUASI INTERNALISASI
TUJUAN EKOLOGI KELESTARIAN SUMBERDAYA ALAM
TUJUAN SOSIAL KEMAKMURAN & KESETARAAN
• • •
PARTISIPASI KONSULTASI KEMAJEMUKAN
RETROSPEKTIF (Ex Post): Apa yang telah terjadi dan perbedaan apa yang dihasilkan
PROSPEKTIF (Ex Ante): Apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan (solusi) Kinerja Kebijakan
Evaluasi
Hasil Kebijakan
Pemantauan
FAKTOR DOMINAN
INFRASTRUKTUR DATA STASIAL
KEDAULATAH NEGARA & SISTEM TENURIAL
KERANGKA HUKUM & KELEMBAGAAN
KONSEP DASAR (FILSOFIS): “HERITAGE OF MANKIND” Æ 3R
Prediksi
Perumusan Masalah
Masalah Kebijakan
Perumusan Masalah
Masa Depan Kebijakan
Perum usan Masalah
INDIKATOR PENTING
• •
KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG DENGAN “MARINE CADASTRE”
Perumusan Masalah
•
PEMECAHAN MASALAH Apa solusi masalahnya? Rekomendasi
Aksi Kebijakan
ANALISIS KEBIJAKAN
TUNTUTAN & KEBUTUHAN
Gambar 37. Faktor dominan dan indikator penting kebijakan pemanfaatan ruang dengan “Marine Cadastre” dalam hubungannya dengan tiga tujuan pembangunan berkelanjutan (EES: Economical objectives, Ecological objectives, Social objectives) •
diadministrasikan, yaitu sistem pendaftaran hak yang digunakan,
•
dinilai, dan
133
•
dikelola dengan baik;
(d) tersedianya mekanisme analisis kebijakan publik, mulai dari monitoring, evaluasi, pengungkapan masalah kebijakan, peramalan kebijakan, dan rekomendasi kebijakan. 6.2. Desain Kebijakan Pemanfaatan Ruang Dengan “Marine Cadastre” Kebijakan pemanfaatan ruang harus senantiasa dapat dianalisis agar dapat diukur tingkat keberhasilannya, apakah berhasil guna dan berdaya guna sebagaimana telah direncanakan.
Dari sudut pandang ekonomi lingkungan,
kebijakan publik harus dapat dianalisis dalam tiga aspek utama yang saling terkait dan bersinergi di antara ketiga aspek tujuan EES, yaitu tujuan ekonomi (pertumbuhan), ekologi (kelestarian lingkungan), dan sosial (kesejahteraan atau kemakmuran dalam kesetaraan). Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dalam kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dengan “marine cadastre” harus memuat arahan dan pemanfaatan ruang sebagai berikut (tertuang dalam Gambar 38): 6.2.1 Aspek Legal dan Kelembagaan (a) Arahan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut harus dapat menegaskan tentang adanya kejelasan hak, batasan dan tanggungjawab atas penguasaan dan pemanfaatan ruang dimaksud sesuai konsep “marine cadastre” Melalui kepastian hak dan jaminan kepastian hukum atas pemanfaatan ruang pesisir dan laut, maka nilai manfaat ekonomi meningkat. Wujud nyata kepastian dari hak ini adalah dalam bentuk pemberian hubungan hukum antara subyek hak dan obyek hak. Skenario yang diusulkan adalah dalam bentuk “the bundle of rights”, misalnya: Hak Pengelolaan (HPL) atas kawasan mangrove dan terumbu karang, Hak Guna Usaha (HGU) atas kawasan budidaya perikanan kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat, serta Hak Guna Perairan (HGP) atau Hak Pemanfaatan Ruang Laut (HPRL) kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Demikian pula hakhak atas “sea bed” diberikan dengan HPL, HGU, atau Hak Guna Bangunan (HGB) yang berkaitan dengan pemanfaatan dasar laut perairan teritorial.
HPL
HGU /HGP
HPL/ HGU HPL
HGU /HGP
1 : 2.500.000
SKALA (ORIGINAL)
HPL KAWASAN LINDUNG LAUT UTAMA
HPL & HGU KAWASAN MANGROVE
HPL KAWASAN WISATA BAHARI
HPL KAWASAN TERUMBU KARANG
HGU/HGP BUDIDAYA PERIKANAN
LEGENDA
۞
Gambar 38. Pemetaan batas-batas persil dan zona penguasaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dalam penyelenggraraan “marine cadastre” berikut hak-haknya: asumsi penerapannya di wilayah Kabupaten Kepulauan Riau
HPL/ HP
HPL
U
134
135
Penetapan
hubungan
hukum
atas
zona-zona
atau
persil-persil
perlindungan kawasan dan ekosistemnya ini melahirkan nilai-nilai konservasi kawasan dan ekosistem. Artinya “nilai kerusakan” diasumsikan sebagai nilai “best use” atau nilai awal rehabilitasi kawasan dan sumberdaya, yang diwarisi dari kebijakan masa lalu. Sistesis ini didukung hasil penelitian ini telah memberikan suatu perhitungan biaya (cost) atau “bebannya” yang terus menurun sebesar 2.43% per tahun untuk mangrove,
2.47% untuk terumbu karang, dan nilai
rehabilitasi kerusakan akibat penambangan pasir laut berkurang sebesar 8% per tahun. Melalui perhitungan ini, maka dengan secara total menghentikan eksploitasi sumberdaya dan perusakan ekosistem (kebijakan “best use”), sama artinya dengan mengurangi “nilai kerusakan” sumberdaya dan ekosistem dimaksud. (b) Arahan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut harus menegaskan tentang siapa lembaga-lembaga yang mengelola sistem legal/tenurial atas pemanfaatan ruang dimaksud sesuai konsep “marine cadastre” Pengelolaan sistem legal/tenurial atas penguasaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut diperlukan agar tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menetapkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat dicapai. Amanat UUD ini secara khusus pula memberikan dasar bagi lahirnya kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) kepada negara c.q. lembaga pemerintah yang bertanggung-jawab untuk: 1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; 2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; 3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Pengelolaan sistem legal/tenurial atas penguasaan dan pemanfaatan ruang
136
pesisir dan laut diperlukan juga agar tujuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dapat dicapai, yaitu: 1) terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional; 2) terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya; dan 3) tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas.
100 80 60
BPN-RI
40
DKP-RI PEMDA
20 0
%
Sistem Tenurial
Pengelola Sumberdaya
Gambar 39. Diagram balok pendapat responden tentang lembaga yang mengelola sistem tenurial dan sumberdaya pesisir dan laut (data hasil olahan hasil kuesioner)
Sintesis ini didukung hasil penelitian ini telah mengumpulkan pendapat responden tentang lembaga yang seharusnya mengelola sistem legal/tenurial atas penguasaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut, dengan komposisi sebagai berikut: 1) Pengelola sistem tenurial wilayah pesisir dan laut: • • •
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemerintah Daerah Kab/Kota dan Propinsi
= = =
60 % 10 % 15 %
= = =
15 % 25 % 60 %
2) Pengelola sumberdaya pesisir dan laut: • • •
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemerintah Daerah Kab/Kota dan Propinsi
137
6.2.2 Aspek Ekonomi: Arahan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut kepada pengaplikasian konsep “marine cadastre” karena adanya tambahan nilai ekonomi dari hasil penerapannya Sintesis ini didukung oleh hasil simulasi melalui pemberian Hak Pengelolaan (HPL) kawasan mangrove dan terumbu karang, serta Hak Guna Usaha (HGU) atas Kawasan Pengembangan Perikanan Budidaya, kepada Pemerintah Daerah, yang mengakibatkan timbulnya “hubungan hukum” antara keduanya. Hubungan hukum ini mengakibatkan pelaksanaan hak, kewajiban, dan batasan dalam pemanfaatannya, di mana ketiganya melahirkan pula nilai tambah ekonomi dalam penyelenggaraannya. Di samping hal tersebut di atas, masih terdapat beberapa pemanfaatan kawasan budidaya di wilayah pesisir dan laut yang lain, yaitu: ruang permukiman di pesisir, ruang pariwisata bahari, ruang pelabuhan dan perhubungan, ruang industri maritim, dan ruang arkeologi bawah laut. Semua pemanfaatan kawasan atau ruang ini apabila dilaksanakan dalam kerangka “marine cadastre”, maka dapat menghasilkan nilai tambah yang signifikan, baik dari aspek ekonomi maupun aspek lingkungan hidup. Nilai tambah ekonomi dan ekosistem penyelenggaraan “marine cadastre” dapat didekati dengan asumsi sebagai berikut: •
Peningkatan ekonomi berasal dari penyelenggaraan administrasi kepentingan (3R: rights, responsibility, restriction) dan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan (“marine cadastre”), diasumsikan sebesar 3% dari PDRB tahun 2005 (sama dengan rata-rata kenaikan PDRB dalam empat tahun terakhir);
•
Pajak dan retribusi pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut dalam rangka penyelenggaraan “marine cadastre”, diasumsikan sebesar 1% dari nilai peningkatan ekonomi tersebut di atas (1% dari 3% PDRB). Hasil simulasi selengkapan disajikan dalam Lampiran 2, sedangkan
ringkasannya disajikan dalam Tabel 18 di atas. Perbedaan yang sangat mencolok dihasilkan oleh simulasi analisis valuasi ekonomi “best use” atau “ex-ante” tersebut di atas. Simulasi sederhana menunjukkan bahwa, apabila ada komitmen
138
sungguh-sungguh dari pemerintah dan masyarakat terhadap pengejawantahan hak, kewajiban, dan batasan kebijakan dan program pemanfaatan ruang (melalui pelaksanaan konsep “marine cadastre”), maka tujuan ekonomi dan ekologi dalam trilogi EES dapat ditingkatkan secara signifikan. Tabel 18. Simulasi Analisis TEV “Best Use” untuk Analisis Prospektif (Ex-Ante) di wilayah pesisir dan lautan Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau* No. A 1 2 3
4 5
ECONOMIC COSTS Program dan Pembangunan Perikanan dan Kelautan Pariwisata dan Telekomunikasi Lingkungan Hidup dan Tata Ruang (Mitigasi: Sosialisasi dan Survei & Pemetaan)** Industri Transportasi dan Pekerjaan Umum
Dalam Jutaan Rp.
1 2 3
Perhubungan Nilai Kerusakan Sumberdaya Mangrove Terumbu karang Akibat penambangan pasir laut
ECONOMIC BENEFITS
(Tahun ke 0) 5 246
A 1
DUV: Direct Use Value Perikanan
9 577
2
Industri maritim
Dalam Jutaan Rp. (Tahun ke 0) 38 280 444 740
3 35 349 4 811 99 782
6 B
No.
4 5 6
9 695 1 080 500
7 8 9
1 528 236 3 255 522
TOTAL ECONOMIC COSTS
6 028 718
NET BENEFITS CASH FLOW DR (r) PV NPV EIRR Net B/C NPV (DR = 33.0) NPV ( DR = 33.1) EIRR SIMULASI
- 733 982 - 733 982 0.08 - 733 982 3 084 999 33.31 % 5.54 11 721 (7 889) 33.00 %
B 1 2 C C.1 1 2 C.2 1 2 C.3 1 2
Wisata bahari Angkutan laut Jasa-jasa penunjang Pajak pelaksanaan Marine Cadastre Pengeluaran wisatawan Investasi industri maritim Added value pelaksanaan Marine Cadastre IUV (Indirect Use Value) Fungsi mangrove Fungsi terumbu karang NON-USE VALUE OV (Option Value) Biodiversity mangrove Biodiversity terumbu krg. BV (Bequest Value) Pelestarian mangrove Pelestarian terumbu krg. EV (Exsistence Value) Keberadaan mangrove Keberadaan terumbu krg. TOTAL ECONOMIC BENEFITS
23 120 47 260 1 800 347 1 889 127 1 776 325 34 686 345 261 30 068
541 613 211 709 276 085 77 771 97 003 5 294 736
* DR = 8% (mengambil nilai tengah antara DR untuk soft loan dan commercial loan proyekproyek pembangunan selama sepuluh tahun terakhir 1995 - 2005) ** Untuk analisis “ex-ante”, efisiensi penggunaan program Lingkungan Hidup & Tata Ruang difokuskan kepada program mitigasi, berupa sosialisasi dan survei dan pemetaan wilayah
139
Interpretasi simulasi analisis valuasi ekonomi ini adalah sebagai berikut: a. Program pembangunan yang berkelanjutan telah nampak nyata dalam implementasinya, bahkan dari hasil perhitungan menunjukkan “nilai kerusakan” sumberdaya dan ekosistem secara gradual menurun, sementara itu “nilai ekonomi” kawasan semakin meningkat (hasil hitungan TEV “Best Use” secara lengkap disajikan dalam Lampiran 2);
Tabel 19. Perbandingan Analisis TEV Eksisting (“Ex-Post”) versus “Best Use” (“Ex-Ante”) di wilayah pesisir dan lautan Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau. No. 1 2 3 4 5 6 7
TEV “Ex-Post” TOTAL ECONOMIC COSTS TOTAL ECONOMIC BENEFITS
Dalam Jutaan Rp. (Tahun ke nol)
No. 1
6 028 718 2 5 259 703
NET BENEFITS CASH FLOW DR (r) Soc DF=SOCC (DR=8%) PV
- 769 015 - 769 015 0.08 1.0 - 769 015
NPV [Rumus (2)] EIRR Net B/C
- 682 861 - 0.86 0.04
3 4 5 6 7
TEV “Ex-Ante” TOTAL ECONOMIC COSTS TOTAL ECONOMIC BENEFITS
Dalam Jutaan Rp. (Tahun ke nol) 6 028 718 5 294 736
NET BENEFITS CASH FLOW DR (r) Soc DF= SOCC (DR=8%) PV
- 733 982 - 733 982 0.08 1.0 - 733 982
NPV [Rumus (2)] EIRR Net B/C
3 084 999 33.31 % 5.54
b. Net Present Value (NPV) tahun 2005 bernilai sebesar Rp. 3 085 milyar dan Rp. 3 331.8 milyar dengan dua formula berbeda.
Nilai ini akan terus
meningkat sebagaimana tergambar dari peningkatan nilai Net Benefits (NB) yang juga merupakan Present Value (PV) terus mengalami peningkatan secara gradual (meskipun diawali dengan besaran minus (-) Rp. 733.9 milyar pada tahun ke nol (2005)), hingga masing-masing mencapai sebesar Rp. 2 124.3 milyar dan Rp. 1 062.7 milyar pada tahun ke 9 (tahun 2014); c. Nilai EIRR (Economic Internal Rate of Return) mencapai nilai 33.3 % (dan EIRR Simulasi = 33.00 %), dengan nilai Net B/C sebesar 5.54; d. Ringkasan hasil: NPV > 0, B/C > 1, dan EIRR > DR (r), maka kebijakan eksisting pemanfaatan ruang pesisir dan laut sangat layak untuk dilaksanakan;
140
Gambar 40. Dekomposisi komponen serta aliran aliran masukan (inflow) dan aliran keluaran (outflow) model TEV kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dengan konsep “Marine Cadastre” di wilayah Pulau Bintan (2005 – 2014)
Angka-angka yang diperoleh dari hasil perhitungan TEV melalui program Microsoft Excel© di atas kemudian dimodelkan dengan menggunakan program pemodelsn sistem dinamik STELLA© V.4.02.
Langkah pertama adalah
dekomposisi komponen serta aliran masukan (inflow) dan aliran keluaran (outflow) dari model dimaksud (Gambar 39).
141
Gambar 41. Model sistem dinamik analisis ekonomi kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut: “ex-post” (eksisting) dan “ex-ante” (Marine Cadastre)
Dekomposisi komponen dan aliran ini merupakan dasar pemodelan sistem dinamik komponen dan aliran nilai-nilai ekonomi kawasan. Model ini disusun dari komponen awal berupa “Kegiatan Manusia” (baik program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun aktivitas masyarakat secara individual dan kolektif). Nilai awal komponen “Kegiatan Manusia” adalah total
142
nilai aktivitas ekonomi eksisting (pada saat ini) setelah dikurangi “Rent Ekonomi” dan “Biaya Ekonomi” yang keduanya merupakan “flow” atau aliran masuk dan keluar Gambar 40 di atas menunjukkan bahwa model sistem dinamik ini merupakan model sistem terbuka, dengan kontrol pertama berupa nilai awal yang sama, yaitu nilai eksisting. Kemudian model diberikan kontrol kedua (sekaligus sebagai kontrol dinamika sistem) yaitu nilai penerapan “Marine Cadastre”. Sesuai dengan kaidah model, khususnya dengan program STELLA© V.4.02 ini, perlu dilakukan beberapa “normalisasi” nilai-nilai komponen dan aliran agar model dapat dijalankan. Normalisasi artinya menetapkan nilai relatif dan bukan nilai absolut karena tidak mungkin dilakukan (Tutorial STELLA© V.4.02). Selengkapnya persamaan (equation) dari model ini diuraikan dalam Lampiran 3.
Gambar 42.
Grafik model sistem dinamik analisis ekonomi kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut: “ex-post” (eksisting) dan “ex-ante” (Marine Cadastre) untuk nilai NB (Cash Flow) dan PV
Sebagaimana terlihat dalam Gambar 41 di atas, hasil pemodelan menunjukkan perbedaan yang signifikan antara nilai PV eksisting (garis nomor 3 warna jingga) dengan nilai PV “marine cadastre” (garis nomor 4 warna hijau). PV eksisting berada jauh di bawah nilai PV “marine cadastre” dengan “trend”
143
kenaikan terbatas hingga tahun 2014.
Sebaliknya, grafik nilai PV “Marine
Cadastre” terus meningkat secara signifikan hingga ke level yang sangat tinggi. Demikian pula nilai NB (Net Benefit) eksisting (garis nomor 1 warna merah) menunjukkan peningkatan terbatas dan terus berada jauh di bawah nilai NB “marine cadastre” (garis nomor 2 warna biru) yang terus meningkat secara signifikan.
Gambar 43.
Grafik model sistem dinamik analisis ekonomi kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut: “expost” (eksisting) dan “ex-ante” (Marine Cadastre) untuk nilai NPV dan EIRR
144
Indikator utama lainnya dari metode TEV adalah besaran nilai NPV dan EIRR. Gambar 42 di atas menunjukkan bahwa nilai NPV “marine cadastre” (garis nomor 2 warna merah) jauh berada di atas nilai NPV eksisting (garis nomor 2 warna hijau), dan nilai NPV “marine cadastre” terus menunjukkan kecenderungan meningkat, sementara nilai NPV eksisting sedikit meningkat namun tetap berada di bawah grafik NPV “marine cadastre”. Demikian pula nilai EIRR “marine cadastre” (garis biru) berada dalam grafik jauh di atas nilai EIRR eksisting (garis merah) yang pergerakannya relatif stagnant. Melalui fasilitas test “Sensitivity Analysis” yang ada dalam program STELLA© V.4.02, maka telah dilakukan simulasi sensitifitas model dengan memasukkan nilai-nilai DR (r) antara 10% hingga 30% (Gambar 43). Hasil simulasi atau test menunjukkan bahwa, bahkan dengan nilai DR sebesar 30% pun, nilai NPV tetap secara signifikan layak.
Gambar 44.
Grafik “Sensitivity Analysis” untuk nilai-nilai NPV “Marine Cadastre” dengan rentang nilai DR (r) antara 10% hingga 30%.
Hal ini selaras dengan hasil simulasi hitungan EIRR, yaitu dengan NPV+ -
pada level DR = 33.0 % (break event point) dan NPV pada level DR = 33.1 %, nilai EIRR simulasi berada pada angka 33 % (pada DR = 8% nilai EIRR = 33.31 %). Selengkapnya data hasil hitungan disajikan dalam Lampiran 2.
145
6.2.3 Aspek Lingkungan: Arahan dan pemanfaatan harus menegaskan penerapan prinsip-prinsip 3R (Right, Restriction, Responsibility) atas pemanfaatan ruang dimaksud sesuai konsep “marine cadastre” Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah telah menetapkan norma-norma dan aturan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, namun dalam pelaksanaannya tidak terwujud. Faktor eksternal ikut mempengaruhi keadaan ini, khususnya kebijakan Pemerintah Pusat dalam hal penambangan pasir laut dan penambangan lainnya. Berkenaan dengan itu, hipotesis Kusumastanto (2003a) adalah benar bahwa kerusakan lingkungan pesisir dan laut di Indonesia umumnya akibat tidak jelasnya aturan mengenai pemanfaatan ruang dan sumberdayanya. Sintesis ini didukung oleh data hasil penelitian sebagaimana tertuang dalam tabel berikut ini: Tabel 20. Nilai-nilai kerusakan lingkungan akibat pelaksanaan kebijakan di bidang pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Pulau Bintan: kebijakan eksisting dan kebijakan dengan konsep “marine cadastre” No.
Warisan Kerusakan Lingkungan
Prediksi Kerusakan Lingkungan Akibat Pelaksanaan Kebijakan Eksisting
Prediksi Perlindungan Lingkungan Akibat Pelaksanaan Kebijakan Dengan “Marine Cadastre”
1
Kerusakan lingkungan laut dan pesisir akibat penambangan pasir sebanyak = 332.2 juta meter kubik atau setara dengan Rp. 3.25 triliun (DKP, 2003; WALHI, 2005; Dinas Pertambangan Kepri, 2005)
Terjadi “steadyness” akibat kebijakan penghentian penambangan pasir, namun dari aspek “nilai kerusakan”, maka dapat diasumsikan nilai tersebut berkurang 8% setiap tahun sejalan dengan tingkat inflasi rata-rata per tahun
Terjadi “steadyness” akibat kebijakan penghentian penambangan pasir, namun diikuti dengan perlindungan ekosistem pesisir mangrove dan terumbu karang, maka secara agregat kerusakan zonalindung lau menurun sebesar Rp. 0.78 triliun dalam 10 tahun ke depan
2
Kerusakan ekosistem mangrove seluas = 10 600 hektar dari luas seluruhnya semula = 14 521 hektar atau setara dengan Rp. 1.08 triliun ( dengan menggunakan nilai Toepfer, 2005)
Tetap terjadi laju kerusakan ekosistem sebesar 2.43% per tahun, yaitu agregat kerusakan menjadi = 10 953 hektar atau setara dengan Rp. 1.34 triliun dalam 10 tahun ke depan
Terjadi laju perlindungan ekosistem akibat penerapan prinsip 3R sebesar 2.43% per tahun, yaitu agregat konservasi sebesar = 353 hektar atau setara dengan Rp. 0.21 triliun dalam 10 tahun ke depan
3
Kerusakan ekosistem terumbu karang seluas = 12 654 hektar dari luas seluruhnya semula = 17 100 hektar, atau setara dengan Rp. 1.53 triliun (dengan menggunakan nilai Toepfer, 2005)
Tetap terjadi laju kerusakan ekosistem sebesar 2.47% per tahun, yaitu agregat kerusakan menjadi = 13 076 hektar atau setara dengan Rp. 1.90 triliun dalam 10 tahun ke depan
Terjadi laju perlindungan ekosistem akibat penerapan prinsip 3R sebesar 2.47% per tahun, yaitu agregat konservasi sebesar = 422 hektar atau setara dengan Rp. 0.31 triliun dalam 10 tahun ke depan
146
Pembangunan yang tidak berkelanjutan atau tidak berwawasan lingkungan hanya memberikan keuntungan sesaat (jangka pendek) untuk generasi pelaku eksisting, sementara akibat dan dampaknya sangat merugikan terhadap kawasan dan bagi generasi mendatang. Konsep “marine cadastre” dengan tiga pilar utama, yaitu, 3R: rights (pelaksanaan hak), restriction (batasan dari pelaksanaan hak), dan responsibility (tanggungjawab dari pelaksanaan hak), merupakan konsep paling ideal untuk pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan yang berorientasi kepada rakyat.