56
5. UJI IN VIVO SILASE HIJAUAN PAKAN YANG DIPUPUK PUPUK KANDANG DAN AIR BELERANG PADA DOMBA Pendahuluan Salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat produktivitas ternak adalah rendahnya kualitas bahan pakan yang lazim terdapat di daerah tropis umumnya dan Indonesia khususnya. Rendahnya nilai nutrisi tersebut ditunjukkan dengan rendahnya kandungan protein dan tingginya serat. Oleh karena itu salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah dengan meningkatkan kualitas hijauan pakan. Meningkatkan kualitas hijauan pakan dapat dilakukan dengan pemupukan air belerang dan pupuk kandang. Dari hasil penelitian tahap pertama dan kedua diperoleh bahwa kualitas yang optimal dihasilkan pada rumput P. maximum cv. Riversdale dan leguminosa C. pubescens yang dipupuk air belerang 50% dan pupuk kandang sejumlah 25 ton/ha. Hijauan pakan yang mendapat kombinasi perlakuan pemupukan air belerang 50% dan pupuk kandang 25 ton/ha diproses untuk dijadikan silase dan diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan dan perkembangan
mikroba
rumen. Pemberian hijauan pakan silase yang mendapat perlakuan dengan pemupukkan air belerang, diharapkan dapat berdampak positif terhadap kecernaan pakan serta performans domba yang mengkonsumsinya. Materi dan Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2004 sampai Maret 2004 yang bertempat di Kandang Ruminansia Kecil Balai Penelitian Ternak di Bogor. Hijauan tropis hasil penelitian tahap kedua, yang terbaik dari perlakuan (pupuk kandang 25 ton/ha dan pemberian air belerang 50%) dan tanpa perlakuan (kontrol) pada masing-masing tanaman pakan (P.maximum cv. Riversdale dan C. pubescens), ditanam pada petak-petak percobaan berukuran 10 x 12 m, dengan jarak antar petak 1 meter. Jarak penanaman rumput adalah 30 x 30 cm dan legume 20 x 20 cm. Pemotongan rumput dan legum dilakukan setiap 35 hari. Agar mendapatkan kualitas hijauan potongan yang seragam, maka hijauan (rumput dan leguminosa) setelah panen dibuat silase. Sebelum diproses, hijauan dicacah dan diberi dedak 5%, dicampur merata untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam kantong plastik, dipadatkan kemudian diikat agar kedap udara. Untuk menghindari kebocoran, plastik dilapis dua. Proses pemeraman dilakukaan
57
selama 21 hari. Hijauan rumput dan legume dari masing-masing perlakuan dicampur secara merata kemudian diambil sampel untuk dianalisis kandungan nutrisinya (Tabel 12). Komponen silase (rumput : leguminosa) yang diberikan ke domba yaitu 60% : 40%. Untuk mempelajari nilai biologis hijauan silase (rumput + leguminosa), sejumlah 12 ekor domba Garut (bobot hidup rata-rata 34 kg) digunakan pada kegiatan ini selama 28 hari, dengan tahapan adaptasi selama 3 minggu dan koleksi data selama 7 hari terakhir. Selama tahapan adaptasi jumlah konsumsi harian ternak dicatat untuk pemberian pakan pada tahapan koleksi data setiap ternak adalah 80% dari jumlah konsumsinya per hari. Selama fase koleksi pemberian, sisa pemberian hijauan silase, feses dan urine diukur setiap hari. Pengambilan sampel cairan rumen dilakukan pada akhir masa koleksi. Parameter yang diukur pada penelitian tahap ketiga (in vivo) terdiri dari: konsumsi bahan kering, protein, NDF dan ADF; kecernaan bahan kering, protein, NDF dan ADF; konsentrasi NH3 cairan rumen; konsentrasi VFA total dan parsial cairan rumen; ekskresi alantoin urin; retensi belerang, retensi nitrogen; produksi bulu; dan efisiensi penggunaan ransum. Pengolahan data in vivo menggunakan t- test. Tabel 12. Komposisi nutrien pakan hijauan silase Hijauan Silase
BK
Protein
NDF
ADF
(Riversdale dan Centro)
(%)
(% BK)
Silase perlakuan
25.60
15.80
47.20
35.80
15.85
Silase tanpa perlakuan
20.35
12.30
51.10
39.00
15.21
(% BK) (% BK)
Energi (KJ/g)
Prosedur Pengukuran Berbagai Peubah A. Konsumsi Ransum Ditentukan dengan cara mengurangi jumlah makanan yang diberikan dengan sisa makanan selama masa koleksi data. B. Kecernaan Zat-zat Makanan Ditentukan dengan cara mengurangi jumlah za-zat makanan yang dikonsumsi dengan jumlah zat-zat makanan yang terdapat dalam feses. Kecernaan zat-zat makanan dihitung sebagai berikut : Zat yang dikonsumsi – Zat dalam feses Kecernaan =
x 100% Zat yang dikonsumsi
58
C. Penentuan Alantoin Urin Analisis kadar alantoin urin dilakukan berdasarkan metode kalorimetri. Alantoin dihidrolisis dalam larutan natrium hidroksida (pada suhu l00 °C) menjadi allantoic acid yang selanjutnya didegradasi menjadi urea dan glyoxylic dalam larutan asam klorida (HCl). Glyoxilic acid akan bereaksi dengan fenilhidrazin hidroklorida membentuk fenilhidrazon. Produk tersebut bersama kalium ferrisianida dapat membentuk khromosfer yang tidak stabil, yang warnanya dapat dibaca pada panjang gelombang 522 nm. Untuk membuat kurva linear standar, perlu disiapkan larutan alantoin standar dengan konsentrasi 10, 20, 40, 50 dan 60 mg/l. Sebanyak 1 ml sampel, larutan standar atau akuades (blanko) dimasukan ke dalam tabung 15 ml, lalu ditambahkan 5 ml akuades. Selanjutnya ditambahkan 1 ml NaOH 0 .5 M (dikocok dengan vortex), kemudian tabung tersebut direndam dalam air mendidih selama tujuh menit. Setelah itu diangkat dan didinginkan, lalu kedalam setiap tabung ditambahkan 1 ml HCl 0.5 M lalu ditambahkan 1 ml larutan fenilhidrazin. Setelah dikocok tabung segera direndam lagi dalam air mendidih selama 7 menit, kemudian didinginkan dalam alkohol bath. Tambahkan 3 ml HCl pekat (11.4 N) dan 1 ml kalium ferrisianida kedalam setiap tabung. Setelah tercampur, sebagian dimasukan kedalam cuvet dan dibaca nilai OD (optical density) 522 nm pada spektrofotometer. Perhitungan konsentrasi alantoin sampel didasarkan pada hubungan linier antara konsentrasi alantoin standar dengan OD standar. D. Kadar NH3 Cairan Rumen Kadar NH3 ditentukan dengan tehnik Mikrodifusi Conway (Conway, 1958). Sebanyak 1ml supernatan diletakkan sebelah kiri dekat conway dan 1 ml larutan Na2CO3
jenuh ditempatkan pada sekat sebelah kanan. Pada cawan kecil
dibagian tengah diisi dengan asam borat berindikator merah methil dan brom kresol hijau sebanyak 1 ml. Cawan Conway ditutup rapat dengan tutup bervaselin lalu digoyanggoyang sehingga supernatan bercampur dengan Na2CO3. Dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Amonia yang terikat dengan asam borat dititrasi dengan H2SO4 0.005 N sampai warna berubah kemerah-merahan. Kadar N-NH3 dihitung dengan rumus berikut : NH3 = (ml Titrasi x NH2SO4 x 1000) mM
59
E. Kadar Asam Lemak Volatil (VFA) Individual Analisis konsentrasi VFA individual dilakukan dengan menggunakan tehnik kromatografi gas. Cairan rumen yang diambil dengan stomach tube segera disentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit untuk diambil supernatannya. Sebanyak 2 ml supernatan dipipet kedalam tabung plastik kecil yang bertutup. Kedalam tabung tersebut ditambahkan sebanyak 30 mg 5-sulphosalicylic acid (C6H3(OH)S03H.2H2O) lalu dikocok. Kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm (2660 ref x grafitasi) selama 10 menit dalam suhu 4 °C lalu disaring dengan milipore dan diperoleh cairan jernih. Sebanyak 1 µl cairan jernih diinjeksikan ke gas kromatografi. Sebelum injeksi sampel, terlebih dahulu diinjeksikan larutan VFA standar. Perhitungan konsentrasi dalam sampel dilakukan dengan menggunakan rumus berikut : Tinggi sampel C(mM) =
x konsentrasi standar Tinggi standar
F. Prosedur Pencacahan Populasi Bakteri Rumen Populasi bakteri dan fungsi rumen dicacah menggunakan metode pencacahan
koloni. Bakteri yang dicacah hanya yang hidup. Prinsip
perhitungannya adalah cairan rumen diencerkan secara serial lalu dilakukan pembiakan bakteri dalam tabung hungate selama 7 hari. Kultivasi bakteri dan fungi dilakukan pada pH 7, dibuat suasananya anaerob, dan pada suhu 39 0C. Media pembiakan yang digunakan adalah non selektif media untuk total bakteri, sedangkan untuk selulolitik dan fungi adalah selubiose. Prosedur yang dilakukan adalah menurut Ogimoto dan Imai (1981). Bahan-bahan yang digunakan untuk 100 ml media adalah 16,5 ml larutan A, 16.5 ml larutan B, 16.5 ml larutan cairan rumen steril, 0.1 g pepton, 0.1 g ekstrak ragi, 0.5 g NaHC03, 0.2 g glukosa, 0.1 ml rezasurin 0.1%, dan 50 ml H20. Larutan A terbuat dari campuran (per liter): 3.0 g KH2PO4, 6.0 g NaCl, 3.0 g (NH4), 0.3 g CaCl2, clan 0.3 g MgS04. Larutan B adalah terbuat dari campuran (perliter) : 3.0 g K2HP04. Bahan-bahan tersebut dicampur dalam botol yang dapat disterilisasi dengan autoclaf. Campuran tersebut dipanaskan perlahan-lahan sambil terus dialirkan gas C02, sampai terjacli perubahan warna dari merah menjadi coklat muda. Setelah itu segera didinginkan dengan meletakkan botol tersebut pada air es. Selama pemanasan gas C02 selalu dihembuskan ke dalam media
tersebut.
Setelah
itu
media
dipindahkan
ke
tabung
hungate
masing-masing 5 ml tiap tabung sebelumnya diisi dengan 0.075 g agar
60
(1.5% dari botol media). Selanjutnya tabung ditutup dan disterilkan dengan autoclaf pada suhu 110 0C selama 45 menit. Sebelum diinokulasi, media tersebut diletakan dalam penangas air pada suhu 47 0C. Untuk pembiakan setiap contoh cairan rumen cliperlukan 11 tabung Hungate. Ke-11 tabung diberi nomor dari 0-10. Dengan menggunakan syring steril (satu ml) dilakukan inokulasi clan pengenceran serial dengan cara sebagai berikut: 0.5 ml cairan rumen contoh dimasukan dalam tabung nomor 1. Begitu seterusnya sampai tabung nomor 10. setelah itu media dipadatkan dengan mendinginkannya dengan es, sambil diletakkan mendatar pada mesin pemutar, sehingga media memadat secara merata. Setelah itu seluruh tabung diletakkan dalam inkubator bersuhu 39 0C selama 7 hari, lalu dilakukan perhitungan koloni pada tabung nomor 6-10. Apabila pada tabung nomor 10 terdapat koloni, maka jumlah bakteri cairan rumen pada tabung tersebut adalah (n/0.5) (1010) bakteri per ml cairan rumen. Jumlah bakteri yang dilaporkan adalah nilai rataan pada tabung nomor 6-10. Untuk fungi sebelum cairan rumen dimasukan dalam tabung Hungate terlebih dahulu ditambahkan antibiotika. G. Prosedur Pencacahan Protozoa Rumen Populasi protozoa rumen dihitung berdasarkan teknik pewarnaan dengan menggunakan Trypan Blue Formalin Salin (TBFS) menurut Ogimoto dan Imai (1981). Larutan TBFS terdiri dari 100 ml formaldehid 35%, 2 g triphan blue, 9 g NaCl dan 900 ml air. Cairan rumen yang baru diambil (menggunakan stomach tube) dicampur dengan larutan TBFS dengan perbandingan 1 : 2. Kemudian 1 tetes
campuran tersebut ditempatkan pada ruang hitung (counting chamber).
Kotak terkecil memiliki ketebalan 0.2 mm, luas 0.0625 mm2 , dan seluruhnya berjumlah 16 x 16 buah. Pencacahan jumlah protozoa dilakukan dengan menggunakan mikroskop pada pembesaran 100 kali. Cacahan protozoa per ml cairan rumen (P) dihitung menggunakan rumus berikut : P
= [1 / (0.2 x 0.0625 x 16x16] x 1000 x C x F.
C
= Jumlah protozoa yang terhitung dalam counting chamber
F
= Faktor pengenceran
H. Retensi Belerang dan Nitrogen Retensi belerang dan nitrogen dihitung dengan persamaan : Retensi belerang = Konsumsi S - ( S Feses + S urine ) Retensi nitrogen
= Konsumsi N – (N Feses - N urine)
61
I. Produksi Bulu Produksi bulu dapat diketahui dengan cara menimbang produksi bulu selama penelitian seluas 5 x 5 cm, pada rusuk ke 7 sebelah kiri. J. Efisiensi Penggunaan Ransum Efisiensi penggunaan ransum dihitung dengan membagi pertambahan bobot hidup dengan konsumsi bahan kering yang diperoleh selama penelitian. Hasil dan Pembahasan A. Kondisi Rumen dan Alantoin Urin Nilai rataan hasil perhitungan populasi mikroba rumen (cacahan bakteri, cacahan protozoa dan fungi), kadar amonia (NH3) cairan rumen, nilai pH cairan rumen dan ekskresi alantoin di dalam urine, tertera pada Tabel 13. Pada Tabel 13 di dibawah ini terlihat bahwa pakan hijauan silase pelakuan (P maximum cv. Riversdale + C pubescens) yang mendapat perlakuan pupuk kandang 25 ton/ha dan pemberian air belerang 50% sangat nyata (P<0.01) dapat meningkatkan populasi bakteri rumen, protozoa dan fungi dibandingkan pada domba yang mendapat hijauan silase dari perlakuan kontrol. Mikroba rumen terdiri dari banyak spesis dengan aneka ragam fungsi dan tidak semua mirkroba berperan secara mutualistis. Persaingan (antagonistik) antar spesies mikroba tertentu terjadi karena keterbatasan substrat atau predasi satu spesies terhadap yang lainya. Pertumbuhan spesies mikroba yang lebih cepat mungkin akan menghambat pertumbuhan spesies mikroba yang lain. Kondisi lingkungan rumen (pH, konsentrasi asam lemak mudah terbang, NH3, tekanan osmotik) juga mempengaruhi pola pertumbuhan masing -masing spesies mikroba. Tabel 13 Pengaruh perlakuan terhadap populasi mikroba, kadar amonia dan pH rumen domba Variabel
Rataan pemberian hijauan silase
pengamatan 8
Bakteri cacahan (x 10 / ml) 5
Protozoa (x 10 /ml)
Perlakuan
Kontrol
29.08 a ± 3.07
16.69 b ± 1.84
4.18 a ± 0.13
3.16 b ± 0.31
55.33 a ± 6.31
30.67 b ± 3.71
Alantoin (g)
4.33 a ± 0.44
2.70 b ± 0.39
NH3 (mM)
12.30 a ± 0.47
5.38 b ± 0.60
pH rumen
6.70 a ± 0.07
6.31b ± 0.10
Fungi cacahan (x 104/ml)
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada bari s yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
62
Mikroba rumen berpengaruh sangat besar terhadap status nutrisi ternak ruminansia karena selain berperan pada pencernaan pakan juga merupakan sumber zat nutrisi utama yaitu protein bagi ternak ruminan. Biomasa mikroba yang dihasilkan dari sintesis protein mikroba sangat dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi. Pasokan zat gizi dari pakan yang dikonsumsi sangat menentukan komposisi mikroba di dalam rumen selanjutnya mempengaruhi produk akhir fermentasi. Dari data diatas tersebut terlihat bahwa peranan belerang terbukti memacu pertumbuhan mikroba rumen domba penelitian. Hal tersebut sesuai yang dilaporkan Slyter et al. (1986) dan Suhartati (1997) bahwa belerang berperan memacu pertumbuhan mikroba rumen. Selanjutnya Theodorou dan France (1993) menjelaskan bahwa jumlah bakteri dipengaruhi oleh tercukupinya nutrien untuk mendukung sintesis bakteri. Di dalam rumen belerang dalam bentuk sulfat dengan valensi 6 akan dengan cepat mengalami reduksi dan memasuki pul sulfida rumen dengan valensi 2. Sulfur tereduksi dalam bentuk asam asam sulfida (H2S) selanjutnya akan bereaksi dengan O-acetyl serine membentuk asam amino sistein dan asam asetat. Reaksi tersebut didukung oleh enzim sistein sintetase. Sistein diketahui sebagai prekusor untuk sintesis asam amino metionin. Metionin selanjutnya sangat diperlukan pada proses awal (tahap inisiasi) sintesis protein dalam sel mikroba. Oleh karena fungsi metionin yang sangat strategis dalam proses sintesis protein tersebut, maka penambahan sulfur dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri rumen. Peningkatan populasi bakteri akibat pemberian air belerang 50% berimplikasi pada perbaikan populasi protozoa rumen. Hal ini dikarenakan protozoa sangat tergantung kepada bakteri rumen sebagai pemasok utama kebutuhan nutriennya. Populasi fungi dalam rumen meningkat drastis pada domba yang diberi pakan hijauan silase perlakuan. Peningkatan populasi fungi di dalam rumen ini mendukung penelitian Akin et al. (1983) dan Qi et al. (1993). Alantoin urine merupakan turunan purin dan dapat digunakan untuk menduga pasokan protein asal mikroba rumen kepada induk semang (Chen et al. 1992). Ekskresi alantoin urine untuk silase pakan perlakuan adalah 4 gram/hari, sementara silase pakan kontrol adalah 2.70 gram/hari. Pengeluaran alantoin urin sama dengan respons dari populasi bakteri rumen. Hal ini menunjukkan bahwa sumbangan protein protein asal mikroba rumen terhadap induk semang sesuai dengan populasi bakteri rumen. Nilai tersebut mendekati penelitian Suhartati (1997) yaitu 1.70 sampai 5.09 gram/hari. Adanya peningkatan ekskresi alantoin pada domba yang mendapat pakan (silase
63
optimal) dikarenakan belerang merupakan elemen yang sangat diperlukan dalam sistesis protein mikroba. Sintesis protein mikroba domba yang mendapat hijauan silase optimal dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan Y = 15.501 + 0.2612X. Konsentrasi NH3 cairan rumen domba yang mendapat hijauan silase optimal adalah 12.30 mM lebih tinggi dibanding hijauan silase (kontrol) yaitu 5.38 mM. Amonia selain bermanfaat meningkatkan degradasi pakan juga menjamin kecukupan pasokan nitrogen pada kondisi in vivo. Amonia (NH3) merupakan produk utama dari proses deaminasi asam amino dan kecukupannya dalam rumen untuk
pertumbuhan
mikroba
merupakan prioritas utama dalam
mengoptimalkan fermentasi hijauan (Leng, 1990). Hasil analisis secara berurutan protein dari pakan silase (kontrol) dan (perlakuan) adalah 12.30% dan 15.80% (Tabel
13).
Dengan
demikian
pakan
silase
perlakuan
memungkinkan
menghasilkan konsentrasi NH3 yang lebih tinggi. Hal ini diperkuat oleh Shirley (1986) yang melaporkan bahwa tingkat kandungan protein kasar di atas 13% dapat meningkatkan konsentrasi amonia cairan rumen. Pada kadar NH 3, kurang dari 3.57 mM pertumbuhan mikroba rumen mulai terhambat (Satter dan Slyter, 1974). Sebagian besar mikroba rumen lebih senang menggunakan amonia untuk sintesis de novo protein. Karena itu, kemampuan menyediakan amonia yang cukup di dalam cairan rumen sering dijadikan sebagai patokan pada evaluasi protein pakan untuk ternak ruminansia. Komponen penting dalam poses fermentasi dalam rumen adalah pH. Tabel 13, memperlihatkan bahwa pH cairan rumen untuk kedua perlakuan relatif sama yaitu 6.30-6.74. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan penelitian Pasaribu et al. (1995) dimana pH rumen domba yang mendapat silase kulit jagung yaitu 7.10. Yulistiani et al. (2000) melaporkan bahwa pH rumen dari domba yang mendapat gliricidea yaitu 6.89. Kisaran yang ideal untuk pencernaan serat adalah 6,3-7.0 (Erdman, 1988; Orskov dan Ryle, 1990). Hal ini untuk menunjang pertumbuhan dan aktivitas selulasenya, sehingga kisaran tersebut di atas merupakan pH optimal untuk pencernaan serat. Selanjutnya Piwonka dan Firkins (1996) menyatakan bahwa pencernaan serat mulai terhambat pada kisaran pH 6.0-6.2. Rendahnya pH menghalangi pelekatan bakteri pada dinding sel tanaman dan mengganggu aktivitas sellulase bakteri. Pelekatan sel bakteri pada substrat merupakan syarat mutlak pada pencernaan sellulosa (Grand dan Weidner, 1992).
64
B. Konsumsi Nilai rataan konsumsi zat-zat makanan (bahan kering, protein kasar, NDF dan ADF), kecernaan, retensi dan produksi bulu disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Nilai rataan beberapa peubah yang d iukur pada penelitian (in vivo) Variabel Pengamatan
Rataan pemberian hijauan silase Perlakuan Kontrol
Konsumsi BK (g/ekor)
741.20 a ± 24.46
609.64 b ± 7.97
Konsumsi Protein (g/ekor)
111.25 a ± 3.75
73.13 b ± 0.97
Konsumsi NDF (g/ekor)
348.36 a ± 11.50
310.91 b ± 4.07
Konsumsi ADF (g/ekor)
259.41 a ± 8.55
237.23 b ± 3.08
KCBK (%)
61.35 a ± 0.72
57.48 b ± 0.73
KCBO (%)
64.52 a ± 0.97
60.84 b ± 0.69
Kec. Prot (%)
59.02 a ± 2.41
54.41 b ± 1.64
Kec. NDF (%)
46.35 a ± 1.39
42.35 b ± 1.25
Kec. ADF (%)
32.22 a ± 0.87
29.87 b ± 0.64
Retensi (N) (g/h)
20.13 a ± 1.30
16.25 b ± 1.00
Retensi (S) (g/h)
8.51 a ± 0.84
5.21 b ± 0.69
PBBH (g/h)
61.00 a ± 3.75
41.40 b ± 1.95
EPR
0.08 a ± 0.00
0.07 b ± 0.00
Produksi Bulu (mg/25 cm2)
0.28 a ± 0.01
0.28 a ± 0.01
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
Konsumsi merupakan tolak ukur menilai palatabilitas suatu bahan pakan. Suatu pakan cukup palatabel bagi ternak akan terlihat dari tinggi rendahnya konsumsi
pakan
tersebut.
Waktu
yang
dibutuhkan
untuk beradaptasi
mengkonsumsi hijauan silase secara maksimal 10 hari. Cepatnya periode adaptasi, dikarenakan domba yang dipergunakan telah terbiasa mengkonsumsi silase. Rataan konsumsi bahan kering hijauan silase perlakuan (P maximum cv Riversdale + C pubescens) berbeda nyata dibanding hijauan silase kontrol (P maximum cv Riversdale + C pubescens tanpa perlakuan) dengan nilai masingmasing sejumlah 741.20 g/ekor /hari dan 609.64 g/ekor/hari (Tabel 14). Nilai konsumsi bahan kering tersebut hampir sama dengan nilai yang dilaporkan Mathius et al. (1997) yaitu sebesar 640.0 dan 703.0 g/hari/ekor dari pemberian silase rumput raja ditambah 400 gram konsentrat dan 5-10 % CaCO3. Selanjutnya Parakkasi (1999) menyatakan bahwa jumlah bahan kering yang dikonsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, (a) sifat fisik atau kimia pakan, (b) permintaan fisiologis ternak untuk hidup pokok dan produksi sesuai dengan kapasitas saluran pencernaan, (c) bobot hidup yang berhubungan
65
dengan perkembangan saluran pencernaan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat seiring dengan bobot hidup sehingga mampu menampung bahan kering dalam jumlah yang banyak. Hijauan pakan didaerah tropis memiliki tingkat kandungan serat (NDF dan ADF) yang tinggi. Nutrien tersebut diketahui merupakan faktor utama penyebab rendahnya kemampuan ternak untuk mengkonsumsi pakan hijauan dan mempengaruhi daya cerna ternak serta laju alir partikel pakan hijauan. Dibandingkan dengan pakan hijauan silase kontrol terjadi peningkatan konsumsi zat-zat makanan (protein, NDF dan ADF) pada hijauan silase perlakuan. Hal ini memberi indikasi bahwa perlakuan hijauan perlakuan dapat meningkatkan konsumsi ransum/nutrien. Faktor yang mempengaruhi konsumsi (intake) adalah ransum itu sendiri, status fisiologis ternak, spesies dan umur ternak, komposisi dan ketersediaan zat makanan, struktur dan ukuran partikel ransum (Duran dan Komisarczuuk, 1988). Meningkatnya konsumsi bahan kering juga menyebabkan meningkatnya konsumsi zat makanan, sehingga jumlah zat makanan yang tersedia dalam tubuh ternak semakin bertambah. Konsumsi juga dipengaruhi oleh tingkat kecernaan dan proses fermentasi dalam rumen. Konsumsi akan meningkat jika kecernaan meningkat serta proses fermentasi dalam rumen berjalan optimum. Meningkatnya konsumsi zat-zat makanan pada domba yang mendapat hijauan silase perlakuan dikarenakan kombinasi pupuk kandang 25 ton/ha dan pemberian air belerang 50% mampu meningkatkan kecernaan hijauan silase perlakuan. Menurut Leng (1991) bahwa tingkat konsumsi sangat dipengaruhi oleh koefisien cerna, kualitas ransum, fermentasi dalam rumen, serta status fisiologis ternak. makanan yang
Kualitas pakan ditentukan oleh tingkat kecernaan zat-zat terkandung pada pakan tersebut. Zat makanan yang yang
terkandung dalam ransum tidak seluruhnya tersedia untuk tubuh ternak, sebagian akan dikeluarkan lagi melalui feses. Kecernaan pakan pada ternak ruminansia sangat erat hubungannya dengan jumlah mikroba dalam rumen. Van Soest (1982) melaporkan bahwa kandungan NDF sangat berpengaruh terhadap
kemampuan
ternak
ruminansia
untuk
mengkonsumsi
pakan.
Selanjutnya dikatakan bahwa, kandungan NDF ransum lebih besar 50% akan menekan tingkat konsumsi bahan kering. Struktur dinding sel tanaman (NDF) dengan kandungan lignin bervariasi menurut spesies tanaman serta umur fisiologisnya juga menentukan nilai kecernaan mikrobial rumen. Kandungan lignin yang meningkat dengan umur tanaman menyebabkan kecernaan selulosa menurun dari fraksi selulosa yang potensial dapat dicerna menjadi lebih rendah.
66
Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan zat-zat makanan disajikan pada Tabel 14, pakan hijauan silase perlakuan memiliki tingkat kecernaan bahan kering, protein, NDF, dan ADF yang lebih baik. Hal ini dikarenakan domba yang mendapat pakan hijauan perlakuan jumlah cacahan bakteri, protozoa dan fungi lebih tinggi dibandingkan dengan domba yang mendapat pakan hijauan silase kontrol. Suplementasi belerang dapat memacu laju pertumbuhan bakteri rumen (Slyter et al. 1986) dan fungi rumen (Gulati et al. 1985). Menurut Qi et al. (1992) bahwa pemberian belerang meningkatkan kecernaan serat deterjen asam (ADF). Mikroba rumen sangat berperan sekali dalam pencernaan ransum berserat tinggi dan diperlukan adanya kerjasama antara bakteri dengan fungi rumen. Fungi rumen memiliki aktivitas fibrolitik yang tinggi dan juga dikenal sebagai pelopor dalam pencernaan fraksi serat pakan (Gulati et al. 1985). Adanya belerang rhizoid pada fungi memungkinkan fungi dapat menembus dinding partikel pakan, sehingga dapat menciptakan akses bagi bakteri rumen. C. Retensi Nitrogen Rataan retensi nitrogen disajikan pada Tabel 14, terlihat retensi N yang dihasilkan pada penelitian ini nyata lebih tinggi pada domba yang mendapat hijauan silase perlakuan, yaitu 20.13 g/hari dibandingkan pakan hijauan kontrol yang sebesar16.25 g/hari. Hal ini terjadi karena konsumsi dan kecernaan pada perlakuan ini lebih tinggi sehingga pasokan protein asal mikroba diduga tinggi. Hal ini terlihat dari tingginya kadar alantoin di urine (Tabel 1 3). D. Retensi Belerang Retensi belerang nyata lebih tinggi pada domba yang mendapat silase hijauan perlakuan yaitu 8.51 g/hari dibandingkan pakan silase hijauan kontrol yaitu 5.21 g/hari (Tabel 14). Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Suhartati (1997) dengan perlakuan (air belerang + rumput + konsentrat ) dan rumput adalah 19.86 g/hari dan 4.89 g/hari secara berurutan. Retensi belerang yang tinggi pada domba yang mendapat silase hijauan perlakuan diduga karena adanya kandungan zat-zat makanan (asam amino yang mengandung sulfur) dari hijauan silase perlakuan meningkat dan diduga menjadi lebih tersedia bagi perkembangan mikroba rumen, selanjutnya mikroba rumen dimetabolisme dan diretensi oleh hewan inang.
67
E. Pertambahan Bobot Hidup Harian Pertambahan bobot hidup merupakan cerminan kualitas pakan yang diberikan. Rataan pertambahan bobot hidup domba yang diberi hijauan silase perlakuan nyata lebih tinggi dibandingkan domba yang diberi hijauan silase kontrol yaitu 61.00 g/hari dan 41.40 g/hari (Tabel 14). Hal ini dikarenakan meningkatnya proses fermentasi dalam rumen, konsumsi dan kecernaan pakan hijauan
silase.
Perlakuan
pemberian
hijauan
silase
perlakuan
dapat
meningkatkan pertambahan bobot hidu p harian domba. Selain sebagai mineral yang sangat dibutuhkan ternak (komponen asam asam amino dan vitamin) belerang secara tidak langsung memilik pengaruh positif pada pencernaan fermentatif di dalam rumen. Penambahan belerang dapat meningkatkan laju pertumbuhan mkroba rumen, sehingga meningkatkan produk fermentasi dan pasokan nutrien untuk induk semang. Hal tersebut dapat dilihat pada data populasi bakteri dan protozoa dalam rumen. Selain itu belerang juga sangat diperlukan untuk pertumbuhan fungi di dalam rumen. Fungi memiliki aktivitas fibrolisik yang tinggi dan dikenal sebagai pelopor dalam pencernaan fraksi serat pakan (Gulati et al. 1985). F. Efisiensi Penggunaan Ransum (EPR) Nilai EPR memiliki arti penting dari segi manajemen produksi ternak, dan sering dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan. Efisiensi penggunaan ransum sebesar 0.08 untuk perlakuan hijauan silase perlakuan dan 0.07 untuk perlakuan hijauan silase kontrol (Tabel 14). Hasil ini lebih rendah dibadingkan dengan penelitian Suhartati (1997) yaitu 0.167 dengan perlakuan (rumput + konsentrat + air belerang). Pemberian hijauan silase perlakuan (yang mengandung belerang) dapat digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan asam-asam amino berbelerang,
sehingga diharapkan
akan meningkatkan produksi ternak
(pertumbuhan bobot hidup). Hal ini juga didukung oleh hasil yang sama pada kecernaan, konsumsi dan retensi zat makanan yang meningkat pada pakan hijauan silase perlakuan. G. Produksi Bulu Rataan produksi bulu adalah 0.28 mg/25 cm2 untuk domba yang mendapat hijauan silase perlakuan dan 0.28 mg/25 cm2 untuk domba yang diberi hijauan silase kontrol (Tabel 14). Produksi bulu tidak berbeda nyata diduga dikarenakan
68
masa/waktu penelitian untuk pengamatan produksi bulu terlalu singkat, sehingga belum dapat mencerminkan hasil yang sesungguhnya. Hasil ini masih lebih rendah dibandingkan penelitian Suhartati (1997), yaitu 0.35 mg/25cm2 dengan perlakuan (rumput + konsntrat + air belerang). H. Produksi Asam Lemak Atsiri (VFA) total dan Partial Asam lemak volatil (VFA) merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia dan dihasilkan dari proses fermentasi pakan dalam rumen (Orskov dan Ryle, 1990). Oleh sebab itu, konsentrasi VFA dalam rumen mencerminkan fermentabilitas dari pakan. Rataan pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA total dan VFA individual tersaji pada Tabel 15. Tabel 15 Pengaruh perlakuan terhadap produksi VFA total dan VFA individual (mM) Variabel pengamatan Asetat (mM) Butirat (mM)
Rataan pemberian hijauan silase Perlakuan 74.91 a ± 0.48
Kontrol 67.77 b ± 0.33
6.43 b ± 0.30
7.35 a ± 0.27
Propionat (mM)
16.38 a ± 0.36
15.07 b ± 0.63
Isobutirat (mM)
1.56 a ± 0.08
1.47 b ± 0.03
Valerat (mM)
0.92 b ± 0.06
1.59 a ± 0.05
Isoacids (mM)
8.70 a ± 0.51
7.21 b ± 0.37
Asetat/Propionat
4.57 a ± 0.13
4.49 b ± 0.18
115.70 a ± 0.98
105.83 b ± 1.00
VFA total (mM)
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
Rataan konsentrasi VFA total yaitu 115.70 mM pada perlakuan hijauan silase perlakuan dan 105.85 mM pada perlakuan hijauan silase kontrol. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Suhartati (1997) yaitu 87.47 mM96.10 mM. Penelitian ini masih berada pada kisaran yang dikemukakan oleh France dan Siddon (1993) yaitu 70-130 mM. Adanya peningkatan mikroba rumen dapat meningkatkan aktivitas fermentasi rumen yaitu total VFA. Mikroba rumen yang sangat dominan dalam proses fermentasi tersebut adalah bakteri. Adanya kandungan belerang dapat memacu pertumbuhan bakteri sehingga secara tidak langsung memacu proses fermentasi dalam meningkatkan produksi VFA total. Menurut Hvelplund (1991) konsentrasi VFA berkorelasi dengan dengan efektivitas fermentasi dalam rumen. Pada kondisi tingkat sintesa mikroba yang tinggi, akan diperlukan frekuensi yang penting untuk pertumbuhan mikroba. Namun Steward (1991) VFA akan diabsorbsi melalui dinding rumen dan masuk
69
ke sistem peredaran darah yang kemudian VFA akan dioksidasi di dalam hati yang selanjutnya akan mensuplai sebagian besar kebutuhan energi dari ternak yang bersangkutan. Pemberian hijauan silase perlakuan menunjukkan adanya peningkatan produksi asam asetat yang diikuti oleh asam propionat. Hal ini memperlihatkan bahwa pemberian air belerang menguntungkan bakteri selulitik. Rataan konsentrasi asam asetat adalah 74.91 mM untuk perlakuan hijauan silase perlakuan dan 67.77 mM untuk perlakuan hijauan silase kontrol. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Suhartati (1997) yaitu 48.42-53.59 mM. Lebih tingginya produksi asetat untuk perlakuan hijauan silase optimal, dikarenakan
mengandung
belerang yang merupakan sumber S untuk
pembentukan asam-asam amino bersulfur (sistein, sistin dan metionin), yang merupakan bagian penting dari protein bakteri rumen (Hungate, 1966). Adanya kandungan belerang pakan menyebabkan semakin berkembangnya bakteri rumen sehingga fermentasi serat berlangsung lebih baik dan asetat yang dihasilkan lebih banyak. Pada Tabel 15, juga terlihat asam propionat juga meningkat pada perlakuan hijauan silase perlakuan sejalan meningkatnya asam asetat. Asam propionat merupakan salah satu sumber utama pembentukan glukosa pada ruminansia. Selanjutnya Brockman (1993) menyatakan bahwa lebih kurang 50% glukosa pada ternak ruminansia berasal dari asam propinat. Rataan asam propinat cairan rumen domba yang mendapat hijauan silase perlakuan adalah 16.37 mM dan yang mendapat hijauan silase kontrol adalah 15.07 mM. Adanya peningkatan ini dimungkinkan karena pasokan belerang yang menyebabkan mikroba rumen semakin berkembang selanjutnya asam propinat yang dihasilkan juga meningkat. Rataan konsentrasi asam butirat berkisar 6.48 mM (hijauan silase perlakuan) dan 7.35 mM (hijauan silase kontrol) (Tabel 14). Adanya perbedaaan konsentrasi asam butirat pada kedua pakan tersebut dikarenakan tingkat tersedianya belerang pada kedua hijauan. Asam butirat banyak digunakan di dalam epitel rumen, dalam jaringan tersebut butirat diubah menjadi asam βhidroksi butirat. Senyawa ini masuk kedalam peredaran darah dalam bentuk badan-badan keton (Mc Donald et al. 1988). Tingginya badan-badan keton tidak diharapkan pada hewan ruminansia karena dapat menimbulkan penyakit, yang dikenal dengan “ketosis”.
70
Pada Tabel 15, tersaji kadar isoacids meningkat dengan pemberian hijauan silase perlakuan. Peningkatan pasokan kerangka kabon bercabang tersebut dapat meningkatkan populasi bakteri rumen. Isoacids yang terdiri dari asam lemak bercabang (Isobutirat, 2 metilbutirat dan isovalerat) bersama dengan n-valerat merupakan hasil dekarboksilasi dari deaminasi asam asam amino bercabang (valin, isoleusin, leusin), sedangkan n-valerat adalah produk fermentasi karbohidrat. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa domba yang diberi hijauan silase perlakuan yaitu (P.maximum cv. Riversdale + C. pubescens) yang mendapat pupuk kandang 25 ton/ha dan air belerang 50% memberikan respons positif pada populasi mikroba, kadar amonia, pH rumen, konsumsi (bahan kering, protein, NDF dan ADF), kecernaan (bahan kering, organik, protein, NDF dan ADF) retensi (S dan N), pertambahan bobot badan harian, efisiensi penggunaan ransum, produksi lemak atsiri dan parsial dibandingkan domba yang diberi silase perlakuan kontrol.