Pengaruh Pupuk Kandang dan Pupuk Buatan terhadap Fluks CO2 pada Lahan Gambut yang Didrainase Effect of Manure and Chemical Fertilizers on CO2 Fluxes on Drained Peatlands Maswar*, Husnain, Fahmuddin Agus Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114 I N F O R M A S IA R T I K E L Riwayat artikel: Diterima: 10 Agustus 2014 Disetujui: 16 September 2014
Katakunci: Pupuk kandang Pupuk buatan Fluks CO2 Lahan gambut Keywords: Manure
Abstrak. Drainase dan pemupukan pada lahan gambut dapat menstimulasi dekomposisi gambut, sehingga menyebabkan kehilangan karbon terutama dalam bentuk emisi CO2 ke atmosfer. Dua seri percobaan telah dilaksanakan, yang bertujuan untuk melihat pengaruh kotoran hewan sapi (kohe) dan pupuk buatan terhadap fluks CO2 pada lahan gambut yang didrainase. Penelitian dilaksanakan di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Seikijang, Kabupaten Pelalawan, Propinsi Riau, dari bulan Oktober 2011 sampai dengan Januari 2012. Percobaan pertama yaitu membandingkan tiga perlakuan terdiri atas: 1) kontrol (tanpa perlakuan); 2) aplikasi 10 t ha-1kohe dan 3) kombinasi 10 t ha-1kohe dengan pupuk buatan (urea = 0,1 kg m-2; SP-36 = 0,11 kg m-2; dan KCl = 0,09 kg m-2). Masing-masing perlakuan diulang tujuh kali dengan rancangan acak kelompok. Percobaan kedua merupakan plot berpasangan yang membandingkan antara perlakuan aplikasi pupuk kandang (kotoran sapi) dosis 10 t ha-1 dengan tanpa pupuk pada lahan gambut yang didrainase. Emisi CO2 dari permukaan tanah ditangkap dengan sungkup tertutup dan konsentrasinya diukur dengan Infrared Gas Analyzer (IRGA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi pupuk kandang nyata meningkatkan fluks CO2, namun kombinasinya dengan pupuk buatan tidak nyata meningkatan fluks CO 2 bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Setelah dua bulan setelah aplikasi pupuk kandang, nilai ratarata fluks CO2 10% lebih tinggi dibandingkan plot tanpa pemberian pupuk kandang. Keragaman data hasil pengukuran fluks CO2 di lahan gambut sangat tinggi, baik secara temporal, maupun lintas perlakuan.
Chemical fertilizer CO2 flux Peatlands
Abstract. Drainage and fertilization on peat soils stimulate the decomposition process of peat material, thus substantially increase carbon losses from the soil, especially in the form of CO2. We conducted two series of experiments to study the effect of manure application on CO2 flux in drained peatlands in Lubuk Ogong Village, Bandar Seikijang Sub-District, Pelalawan District, Riau Province from October 2011 to January 2012. The first trial using randomized complete block design consisted of three treatments including: 1) control (no treatment); 2) Application of 10 t ha-1 cow barnyard manure; and 3) combination of 10 t ha-1 manure and chemical fertilizer (urea = 0.1 kg m-2; SP-36 = 0.11 kg m-2; and KCl = 0.09 kg m-2) with three replications. The other trial carried out in pair plots comparing with and without application of 10 t ha-1 manure. CO2 emitted through peat soil surface was captured using closed chambers and its concentration was measured using an Infrared Gas Analyzer (IRGA). The results showed that application of manure significantly increased the flux of CO2, while combination of manure and chemical fertilizer did not increased CO2 flux compared with control. During the two month period after manure applied, CO2 flux average in manure plot was 10% higher than that without manure. Moreover, we found large temporal and treatment-related variations of CO2 flux in peatlands.
Pendahuluan Luas lahan gambut dunia hanya sekitar 3% dari luas permukaan bumi yaitu sekitar 400 juta hektar (Joosten and Clarke 2002; Global Peatlands Initiative 2002); Hooijer et al. 2006), namun menyimpan karbon yang sangat banyak yakni diperkirakan sekitar 550 Giga ton, atau setara * Corresponding author:
[email protected]
ISSN 1410-7244
dengan 75% dari seluruh karbon di atmosfer (Alex and Joosten 2008; Joosten 2009). Khusus Indonesia yang memiliki luas lahan gambut sekitar 14,9 juta hektar (BBSDLP 2011) menyimpan karbon sekitar 54.016 Mt (Joosten 2009). Pada dekade akhir-akhir ini sebagian lahan gambut dunia telah didrainase, kondisi ini menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan ekosistem gambut dari sebagai penyimpan menjadi penyumbang atau emitor karbon. Hal 71
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 38 No. 2 - 2014
ini terjadi karena, pembuatan drainase pada lahan gambut menyebabkan penurunan muka air tanah, akibatnya terjadi perubahan kondisi lingkungan dari anaerob menjadi aerob pada lapisan dekat permukaan gambut, sehingga meningkatkan kehilangan karbon melalui proses dekomposisi gambut (Chimnerand Cooper 2003). Menurut Joosten (2009) secara global emisi CO2 dari lahan gambut yang didrainase telah meningkat dari 1.058 Mt pada tahun 1990 menjadi 1.298 Mt pada tahun 2008 (> 20%). Peningkatan ini terutama terjadi pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, China, Malaysia,dan Papua New Guinea. Khusus Indonesia, menurut Hooijer et al. (2006) diperkiran rata-rata 632 Mt CO2 (interval 355-874 Mt CO2 th-1) diemisikan dari lahan gambut yang didrainase. Menurut Hooijer et al. (2010) emisi CO2 dari lahan gambut yang didrainase pada tahun 2006 adalah antara 355 - 855 Mt th−1, 82% dari jumlah tersebut berasal dari Indonesia. Data terbaru yang disampaikan Joosten (2009) bahwa emisi CO2 tahun 2008 dari lahan gambut Indonesia adalah yang tertinggi di dunia yaitu sebanyak 0,5 Gt dibandingkan Rusia di posisi kedua yang hanya 0,14 Gt. Pemupukan pada lahan gambut dapat mempengaruhi aktivitas biologi dalam tanah, termasuk aktivitas mikroorganisme perombak sehingga dapat mempercepat kehilangan karbon. Pemberian pupuk kandang dan bahan organik tidak hanya merupakan sumber C dan N organik yang mudah dirombak dalam tanah (Nicholson et al. 1996) tetapi juga sebagai sumber berbagai unsur hara lainnya (Khalil et al. 2002). Kotoran hewan, baik yang diam (stogare) maupun yang diaplikasikan secara alami samasama mengemisikan gas methan, CO2 dan N2O. Gas CO2 dilepaskan dari fasilitas penyimpanan (storage) dan tanah terutama dari proses perombakan oleh mikroba yang terkandung dalam kotoran hewan (kohe) (Collins et al. 2010). Menurut Moeller dan Stinner (2009), aplikasi kohe menyebabkan emisi N2O yang tinggi terutama saat tanah mengandung NO3- akibat proses dekomposisi karbon organik yang memacu proses denitrifikasi. Namun demikian,secara umum aplikasi kohe yang sudah dikomposkan memberikan keuntungan bagi peningkatan C stok tanah, perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah dan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Pada sisi lain, keberadaan mikro organisme pada lahan gambut sangat erat kaitannya dengan dinamika karbon, karena aktivitas biologi pada lahan gambut berkaitan erat dengan keberadaan jumlah dan jenis mikro organisme tersebut. Mikro organisme pada lahan gambut memainkan peran dominan dalam proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik, terutama setelah lahan gambut didrainase dan diberi pupuk. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi mineralisasi karbon oleh mikro organisme pada lahan gambut adalah: temperatur, muka air tanah, kandungan
72
mineral, pH, kation-kation dan salinitas (Baldock and Skjemstad 2000; Blodau 2002; Bertrand et al. 2007). Pada kondisi aerob biasanya mikroba dapat menggunakan oksigen sebagai penerima elektron dan mendekomposisi bahan organik serta melepaskan CO2 ke atmosfir. Berkaitan dengan informasi yang telah diuraikan di atas, dilakukan dua paket penelitian lapang, yang bertujuan lebih fokos atau spesifik untuk melihat pengaruh aplikasi pupuk kandang terhadap fluks CO2 pada lahan gambut yang didrainase.
Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan Januari 2012, di Desa Lubuk Ogong, Kecamatan Bandar Seikijang, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, pada koordinat geografis 00o20' 44" LU dan 101o 41’ 11” BT. Lokasi penelitian merupakan hamparan lahan gambut yang telah dikonversi (ditebang) vegetasi hutannya pada tahun 2005, dan telah didrainase. Pada saat penelitian dilaksanakan, lahan dalam kodisi dibiarkan bera ditumbuhi semak belukar. Tingkat kematangan gambut pada permukaan tanah adalah hemik, dan ketebalan gambut sekitar 5,5 m. Penelitian lapang ini, terdiri atas dua paket kegiatan, yang dilaksanakan secara bersamaan waktunya, dan pada lokasi yang berdampingan/berdekatan, yaitu pada satu hamparan lahan gambut yang telah didrainase dan dibiarkan bera dengan kegiatan sebagai berikut. Kegiatan 1 Aplikasi pupuk perlakuannya yaitu:
kandang
dan
pupuk
buatan,
T.1 = Kontrol (tanpa aplikasi pupuk) T.2 = Aplikasi pupuk kandang sapi dengan dosis 10 t ha-1 T.3 = Aplikasi pupuk kandang sapi dosis 10 t ha-1 + (urea = 0,1 kg m-2; SP-36 = 0,11 kg m-2; dan KCl = 0,09 kg m-2) Keterangan: Dosis pupuk urea, SP-36 dan KCl ini berdasarkan pada dosis yang umum diaplikasikan pada lahan gambut khususnya pada budidaya perkebunan kelapa sawit, dimana pada piringan di sekitar pohon kelapa sawit yang luasnya sekitar 12,56 m2 diaplikasikan pupuk: urea 2,5 kg; SP-36 2,75; dan KCl 2,25 kg per tahun). Masing-masing plot perlakuan dibiarkan bera (tanpa tanaman) dan disiangi kalau ada gulma yang tumbuh. Ukuran masing-masing plot adalah 4 x 5 m, dan untuk setiap perlakuan dilakukan ulangan sebanyak tujuh kali. Penempatan plot perlakuan di lapang, dilakukan secara acak berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (Randomized Completely Block Design).
Maswar et al. : Pengaruh Pupuk Kandang dan Pupuk Buatan terhadap Fluks CO2
Pengamatan fluks CO2 dilaksanakan dengan interval periode waktu empat minggu. Namun, pada setiap periode/tahapan pengamatan, dilakukan pengukuran fluks CO2 selama tiga hari berturut-turut, dan untuk setiap harinya dilakukan dua kali pengukuran, yaitu untuk mewakili dua kondisi yaitu “pagi dan siang”, sehingga pada setiap periode pengamatan telah dilakukan enam kali pengukuran fluks CO2 untuk masing-masing plot. Kegiatan 2 Perlakuannya adalah: (1) aplikasi pupuk kandang sapi (PK) dengan dosis 10 t ha-1, dan (2) tanpa perlakuan pemupukan atau kontrol (K). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak empat kali dengan ukuran masingmasing plot 4 x 4m. Kegiatan penelitian 2 ini lokasinya berdampingan dengan kegiatan 1. Pengamatan fluks CO2 dilakukan berdasarkan pada interval waktu setelah dilakukan aplikasi pupuk kandang, yaitu pada hari ke: 1, 2, 3, 5, 7, 10, 15, 20, 25, 30, 45, dan 62 setelah aplikasi pemupukan. Khusus untuk kegiatan 2 ini, frekwensi pengamatan fluks CO2 dianggap sebagai ulangan dari masing-masing perlakuan. Untuk kegiatan 1 dan kegiatan 2, pupuk kandang yang digunakan adalah kotoran sapi yang dikomposkan secara kering (ditumpuk pada lokasi di sekitar kandang). Kondisi sifat kimia kotoran sapi pada saat diaplikasikan ke lahan gambut adalah: pH (1:10) adalah 7,55; karbon (C) = 32,87%; Nitrogen (N) = 1,49%, rasio C/N = 22; P 2O5 = 0,59%; K2O = 1,06%; Ca = 0,68%; Mg = 0,25% dan S = 0,19%. Pengukuran fluks CO2 Fluks CO2 diukur dengan menggunakan alat Infra Red Gas Analyzer (IRGA)model Li820. Gas CO2 ditangkap dengan menggunakan sungkup tertutup dengan diamater 10 inchi dan tinggi 25 cm, dimana bagian bawahnya sekitar 2 cm dibenamkan ke dalam tanah gambut. Pengamatan fluks CO2 dimulai pada saat sungkup mulai ditutup. Gas CO2 dari sungkup yang ditutup dan dihubungkan ke dalam alat IRGA menggunakan pompa tekanan udara yang merupakan bagian dari alat IRGA tersebut. Selama udara mengalir, alat IRGA membaca dan sekaligus merekam konsentrasi gas CO2 dalam setiap periode waktu setengah detik. Waktu yang diperlukan untuk mengukur fluks CO2 pada setiap kali pengukuran (untuk setiap sungkup) adalah 180 detik. Data yang digunakan untuk perhitungan fluks CO2 adalah setelah pengukuran stabil yaitu detik ke-11 sampai ke-180. Hubungan regresi linear antara waktu (detik) dengan konsentrasi CO2 (mole ppm) digunakan untuk menghitung fluks CO2. Perhitungan fluks CO2 mengikuti persamaan atau rumus yang dikemukakan oleh (Madsenet al. 2009):
dimana: fc = Fluks CO2 (μmolm-2det-1) P = Tekanan udara dalam sungkup (kPa) h = Tinggi sungkup (cm) R = Konstanta gas (8,314 Pa m3oK-1mole-1) T = Suhu dC/dt = Perubahan konsentrasi CO2 setiap perubahan waktu, yang digambarkan oleh kemiringan (slope) dari persamaan regresi liner antara waktu dengan konsentrasi CO2 (mole ppm det-1) Pengamatan kedalaman muka air tanah Pada masing-masing titik pengamatan atau pada masing-masing plot dibuat lubang sampai kedalaman sekitar 150 cm menggunakan bor gambut untuk mengamati kedalaman muka air tanah pada setiap kali pengukuran fluks CO2. Kedalaman muka air tanah diamati dengan cara memasukkan tongkat kayu ke dalam lubang bekas bor sampai mencapai permukaan air tanah (ditandai dengan basahnya bagian tongkat yang tercelup ke dalam air). Kemudian bagian tongkat kayu yang sejajar dengan permukaan tanah diberi tanda, dan kedalaman muka air tanah ditentukan dengan cara mengukur panjang bagian tongkat yang kering di atas bagian yang basah (muka air tanah) sampai pada bagian tongkat yang sejajar dengan permukaan tanah. Data diolah menggunakan program SAS, sesuai dengan prosedur statistik, yaitu prosedur analisis Rancangan Acak Kelompok untuk kegiatan 1, dan Uji T test berpasangan (paired T-test) untuk kegiatan 2.
Hasil dan Pembahasan Pengaruh perlakuan dan waktu pengamatan terhadap nilai fluks CO2 Nilai rata-rata fluks CO2 untuk setiap kali pengukuran pada masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 1, dan nilai rata-rata hasil pengamatan (dari 16 kali pengukuran) selama penelitian dilaksanakan (bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan Januari 2012) untuk setiap perlakuan disajikan pada Tabel 1. Dari hasil 16 kali pengamatan (Gambar 1) selama periode waktu tiga bulan (Oktober-Desember 2011) terlihat bahwa pada perlakuan yang sama, nilai hasil pengukuran fluks CO2 sangat bervariasi dari waktu ke waktu (bervariasi berdasarkan perbedaan waktu pengamatan). Dari Gambar 1 juga jelas terlihat bahwa, pengukuran fluks CO2 pada waktu yang sama, nilai fluks CO2 antara masing-masing perlakuan juga bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa nilai atau data hasil pengukuran 73
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 38 No. 2 - 2014
fluks CO2 dilahan gambut keragamannya sangat besar, terutama terlihat dipengaruhi oleh waktu pengamatan dan pengaruh perlakuan. Tabel 1. Rata-rata fluks CO2 pada masing-masing perlakuan Table 1. Average of CO2 flux for each treatment Fluks CO2 t ha-1 th-1
Perlakuan Kontrol
Pukan
Pukan+ urea+ SP-36+ KCl
59,23 b
72,73 a
59,44 b
Keterangan: Angka-angka pada baris yang sama, yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata secara statistik pada taraf nyata 5% menurut Duncan.
Nilai rata-rata kumulatif fluks CO2 tertinggi terjadi pada perlakuan pupuk kandang yakni sebesar 72,73 ton CO2 ha-1th-1. Nilai ini secara statistik berbeda nyata dengan perlakuan kontrol sebesar 59,23 ton CO2 ha-1th-1 dan perlakuan kombinasi pupuk kandang + urea + SP-36 + KCl, sebesar 59,44 ton CO2 ha-1th-1 (Tabel 1). Berkaitan dengan hasil ini, diperkirakan bahwa pemberian pupuk buatan (NPK) bersamaan dengan pupuk kandang dapat mempengaruhi aktivitas mikro organisme yang selanjutnya berpengaruh terhadap fluks CO2. Thornton dan Valente (1996) misalnya melaporkan bahwa pengaruh dari aplikasi pemupukan terhadap fluks CO2 bisa bersifat lebih spesifik lokasi. Menurut Sitaula et al.(1995) penambahan pupuk NH4NO3 dapat mereduksi fluks CO2 sebesar 3040%, ini terjadi karena adanya penurunan respirasi mikroba melalui peningkatan kemasaman tanah. Bowden et al. (2000) juga menemukan bahwa terjadi penurunan
emisi CO2 dengan penambahan pupuk N. Aerts dan Toet (1997) juga mengemukakan bahwa peningkatan suplai NH+4-N menyebabkan penurunan proses perombakan bahan organik dan kehilangan C. Beberapa hasil penelitian mengindikasikan bahwa pupuk kandang mengikat unsur hara secara gradual, menyediakannya dalam bentuk komponen organik (Bouldin and Klausner 1998). Khusus yang terkait dengan respon mikroba, Keller et al. (2005) melaporkan bahwa komunitas mikroba yang respon terhadap dinamika karbon pada tanah gambut adalah jenis yang toleran terhadap konsentrasi hara dan nilai pH yang lebar, dan mungkin kurang sensitif terhadap aplikasi pemupukan. Walaupun demikian, tidak selalu penambahan pupuk buatan (NPK) dapat menekan fluks CO 2. Hasil penelitian Aerts dan de Caluwe (1999) dan Saarnio dan Silvola (1999) misalnya, menunjukkan bahwa aplikasi pupuk N pada lahan gambut memberikan pengaruh yang berbeda terhadap proses dekomposisi. Hasil penelitian Etik (2009) menunjukkan bahwa peningkatan dosis pupuk urea yang ditambahkan pada gambut, diikuti oleh menurunnya kandungan bahan organik dan nilai nisbah C/N pada masing-masing tingkat kematangan gambut. Lebih lanjut Etik (2009) juga melaporkan bahwa penambahan dosis pupuk urea sampai dengan dosis 4 g100g-1 gambut nyata meningkatkan flukss CO2 pada berbagai tingkat kematangan gambut. Hasil pengamatan nilai fluks CO2 dari kegiatan 2 disajikan dalam Tabel 2, dan hasil uji Paired T-test terhadap nilai pengamatan fluks CO2 antara plot yang diberi pupuk kandang dengan tanpa pupuk kandang disajikan dalam Tabel 3.
Gambar 1. Nilai rata-rata fluks CO2 pada setiap kali pengamatan, untuk setiap perlakuan Figure 1.
74
Mean CO2 flux at each time of observation for each treatment
Maswar et al. : Pengaruh Pupuk Kandang dan Pupuk Buatan terhadap Fluks CO2
Tabel 2. Perbandingan fluks CO2 dan hasil T-test antara perlakuan pupuk kandang dan tanpa pupuk kandang sebagai fungsi dari waktu (hari) setelah aplikasi pupuk kandang Table 2. The T-testof CO2 flux comparing manure and no manure treatments as a function of time (days) after manure application Perlakuan Hari setelah aplikasi
Pupuk kandang Rata-rata
1 2 3 5 7 10 15 20 25 30 45 62 Rata-rata kumulatif
Min
Max
Kontrol Std dev.
Rata-rata
Min
Prob. > F'
Max
Std dev.
……………………………..……………….. t ha-1 th-1 …………………..………………………….. 65,16 36,79 104,36 21,44 55,62 35,97 91,68 18,36 45,50 19,36 100,42 20,87 43,66 10,67 68,53 19,67 53,57 22,53 132,40 27,87 43,60 19,23 77,57 19,38 38,36 21,39 71,86 17,11 39,33 18,71 73,43 18,64 16,48 5,67 40,36 11,42 11,96 5,77 21,48 4,83 76,45 16,46 20,35 61,07 70,90 32,27 151,74 36,70 72,14 28,00 152,24 41,37 62,96 19,26 95,83 19,03 64,27 27,03 113,00 31,35 53,76 30,32 97,41 28,12 65,42 17,25 140,43 32,97 63,06 29,31 97,26 20,96 64,33 34,34 135,12 32,95 62,84 24,85 103,70 23,02 78,05 26,65 151,76 48,77 76,27 23,02 150,88 39,16 76,99 15,90 181,95 53,33 68,28 34,51 118,54 24,39 59,73
22,61
112,02
33,38
Terlihat nilai rata-rata dari kumulatif hasil pengukuran fluks CO2 selama 62 hari (12 kali pengamatan) menunjukkan bahwa perlakuan pupuk kandang nyata meningkatkan fluks CO2 dibandingkan tanpa pupuk kandang (Tabel 2 dan 3). Namun pada umumnya terlihat bahwa untuk setiap kali dilakukan pengamatan, tidak ada perbedaan yang nyata nilai fluks CO2 antara perlakuan aplikasi pupuk kandang dengan tanpa pupuk kandang (kontrol). Perbedaan nilai fluks CO2 yang nyata antara perlakuan pupuk kandang dibandingkan dengan kontrol, hanya teridentifikasi pada pengamatan hari ke-7, 15, dan 62 setelah aplikasi pupuk kandang (Tabel 2). Tabel 3. Hasil analisis uji berpasangan terhadap nilai rata-rata fluks CO2 antara perlakuan pupuk kandang dan kontrol (kegiatan 2) selama periode penelitian Table 3. Results ofpaired T-test of CO2 flux between manure and no manure treatments (activity 2) during the study period Mean
Std Dev.
Std Error
T
Prob.> T
7,11
3,9292
1,1847
5,9999
0,0001
Berdasarkan nilai “t values” sebesar 5,99 dengan P = 0,0001 (Tabel 3) terlihat bahwa aplikasi pupuk kandang pada lahan gambut yang didrainase selama periode waktu 62 hari setelah pupuk kandang diaplikasikan nyata meningkatkan fluks CO2 sekitar 10% dibandingkan kontrol (tanpa pupuk kandang). Hasil penelitian ini terlihat hampir sama dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Agus
54,35
23,66
0,6159 0,8486 0,2438 0,7804 0,0082 0,1056 0,0160 0,7249 0,1485 0,2501 0,4788 0,0153
95,67
et al. (2011) pada lahan gambut yang dijadikan kebun karet di Kalimantan Tengah, dimana fluks CO2 pada perlakuan pupuk kandang lebih tinggi dibandingkan kontrol (tanpa pupuk kandang) yaitu 53,61 t ha-1 th-1 perlakuan pupuk kandang berbanding 36,76 t ha-1 th-1 pada perlakuan kontrol. Dari data hasil pengamatan kegiatan 2 ini diperkirakan bahwa setelah aplikasi pupuk kandang pada lahan gambut yang didrainase. karbon dalam pupuk kandang (nilai rasio C/N masih cukup tinggi yaitu 22 pada saat diaplikasikan) mulai mengalami mineralisasi membentuk CO2 yang teremisi ke atmosfir. hal ini berlangsung terus sampai periode waktu 62 hari atau bahkan lebih setelah diaplikasi ke lahan gambut. Pemberian pupuk kandang tidak hanya merupakan sumber C dan N organik yang mudah dirombak dalam tanah (Nicholson et al. 1996) tetapi juga sebagai sumber berbagai unsur hara lainnya (Khalil et al. 2002). Pengaruh muka air tanah terhadap fluks CO2 Hasil pengamatan dalam muka air tanah selama periode pengamatan disajikan dalam Tabel 4, yang memperlihatkan bahwa rata-rata kedalaman muka air tanah pada perlakuan pupuk kandang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya (kontrol dan pukan + NPK), sedangkan antara perlakuan konrol dan pupuk kandang + NPK tidak terlihat perbedaan nyata kedalaman muka air tanahnya. Secara umum, dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi besar atau kecilnya kehilangan karbon dan/atau emisi CO2 pada lahan gambut yang didrainase, 75
Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 38 No. 2 - 2014
dimana semakin dalam muka air tanah kehilangan karbon atau emisi CO2 juga semakin besar. Tabel 4. Kedalaman muka air tanah selama penelitian Table 4. Water table depth during the study Perlakuan
Kontrol Pukan + NPK Pukan
Kedalaman muka air tanah Minimum Maksimum Rata-rata …………………. cm …………………. 38 82,5 57,95 a 33 76,5 56,80 a 37 75,5 54,04 b
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini merupakan kegiatan penelitian kerjasama antara Balai Penelitian Tanah dengan ICRAF dalam rangka pelaksanaan kegiatan REDD-ALLERT. Selama kegiatan penelitian di lapang dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan BPTP Riau. Penghargaan disampaikan kepada Ibu Nurhayati dan Bapak Hery Widyanto staf peneliti BPTP Riau yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan pengambilan data di lapang.
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom 4 tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut analisis Duncan.
Daftar Pustaka
Hooijer et al. (2006) membuat hubungan linear antara kedalaman drainase dengan emisi karbon yakni setiap 10 cm kedalaman drainase mengemisikan karbon sebanyak 2,48 ton C ha-1 th-1 atau setara dengan 9,1 ton CO2 ha-1 th-1. Berdasarkan metode pengamatan subsidence Wösten dan Ritzema (2001) memperkirakan bahwa untuk setiap10 cm kedalaman drainase menyebabkan terjadinya emisi sebanyak 3,54 ton C ha-1 th-1 atau setara dengan 13 ton CO2 ha-1 th-1. Dari hasil kajian ini, terlihat bahwa ada ketidaksesuaian antara teori atau data-data hasil penelitian terdahulu yang pernah dilaporkan oleh beberapa peneliti, bila dibandingkan dengan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini, dimana pada perlakuan pupuk kandang muka air tanahnya lebih dangkal dibandingkan perlakuan lainnya, namun malahan terlihat emisinya (nilai rata-rata fluks CO2) lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa aplikasi pupuk kandang pada lahan gambut (khususnya nilai C/N rasionya yang masih relatif tinggi yaitu 22) lebih dominan memicu terjadinya emisi CO2 dibandingkan dengan pengaruh kedalaman muka air tanah.
Aerts, R. and H. Caluwe. 1999. Nitrogen deposition effects on carbon dioxide and methane emission temperate peatlands soils. Oikos.84(1):44-54.
Kesimpulan 1. Aplikasi pupuk kandang pada lahan gambut yang didrainase nyata meningkatkan fluks CO2, namun demikian kombinasi atau aplikasi pupuk kandang secara bersamaan dengan pupuk buatan (urea, SP-36, dan KCl) tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan fluks CO2. 2. Data atau nilai pengukuran fluks CO2 pada lahan gambut yang telah didrainase, keragamannya sangat tinggi. Keragaman tersebut bisa terjadi antara lain karena: dipengaruhi oleh waktu pengamatan (pagi atau siang hari, periode waktu (berdasarkan hari, tanggal, atau musim), dan pengaruh dari perlakuan yang diaplikasikan pada lahan gambut tersebut.
76
Aerts, R. and S. Toet 1997. Soil Biol. Biochem. 29:1683-1690.
Agus, F., Maswar, F. Anang, Jubaedah,and S. Nurzakiah. 2011. Spatial variation of water table depth and CO2 emission from a peat soil in Indonesia. Final Draft Report. Reducing Emission from All Landuse (REALU II). Submitted to World Agroforestry Centre (ICRAF). Alex, K. and H. Joosten. 2008. Global peatland assessment. Factbook for UNFCCC policies on peat carbon emission. Baldock, J.A. and J.O. Skjemstad. 2000. Role of the soil matrix and minerals in protecting natural organic materials against biological attack. Organic Geochem. 31:697-710. BBSDLP. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia. Skala 1:250.000. Edisi Desember. Bertrand, I., O. Delfosseb, and B. Mary. 2007. Carbon and nitrogen mineralization in acidic, limed and calcareous agricultural soils: Apparent and actual effects. Soil Biol. Biochem. 39:276-288. Blodau, C. 2002. Carbon cycling in peatlands-A review of processes and controls. Environ Rev. 10:111-134. Bouldin, D.R. and S.D. Klausner. 1998. Managing nutrients in manure: general principlesand applications to dairy manure in New York. Pp 65-88. InHatfield, J.L. and B.A. Stewart (Eds.). Animal Waste Utilization: Effective Use of Manure as a Soil Resource. Lewis Publishers. Boca Raton. FL. Bowden, R.D., G. Rullo, G.R. Stevens, and P.A. Steudler. 2000. Soil fluxes of carbon dioxide, nitrous oxide, and methane at a productive temperate deciduous forest. J. Environ. Qual.29:268-276. Chimner, R.A. and D.J. Cooper. 2003. Influence of water table position on CO2 emissions in a Colorado subalpine fen: an in situ microcosm study. Soil Biology and Biogeochemistry. 35:345-351. Collins, H.P., J.D. Streubel, C. Frear, S. Chen, D. Granatstein, C. Kruger, A.K. Alva, and S.F. Fransen. 2010. Application of AD Dairy Manure Effluent to Fields and Associated Impacts. CSANR Research Report 2010-001. P 25. Etik, P.H. 2009. Emisi Karbon Dioksida (CO2) dan Metan (CH4) pada Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut yang
Maswar et al. : Pengaruh Pupuk Kandang dan Pupuk Buatan terhadap Fluks CO2
Memiliki Keragaman dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman. Disertasi S3. Program Studi Ilmu Tanah. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Hlm 158. Global Peatland Initiative. 2002. World Peatland Map.
Keller, J.K., S.D. Bridgham, C.T. Chapin, and C.M. Iversen. 2005. Limited effect of six years fertilization on carbon mineralization dynamics in Minnesota fen. Soil Biol. Biochem. 37(6):1197-1204.
Hooijer, A., M. Silvius, H. Wösten, and S. Page. 2006. PEAT CO2: Assessment of CO2Emission from drained peatlands in SE Asia. Wetland International and Delft Hydraulics report Q3943.
Khalil, M.I., A.B. Rosenani, O. Van Cleemput, Pascal Boeckx, J. Shamshuddin, and C.I. Fauziah, 2002. Nitrous oxide production from an ultisol of the humid tropics treated with diferent nitrogen sources and moisture regimes[J]. Biol. Fertil. Soils. 36(1):59-65.
Hooijer, A., S. Page. J.G. Canadell, M. Silvius. J. Kwadijk, H. Wösten, and J. Jauhiainen. 2010. Current and future CO2 emissions from drained peat soils in Southeast Asia. Biogeosciences. 7:1505-1514.
Madsen, R., Liukang Xu, Brent Claassen, and Dayle McDermitt. 2009. Surface monitoring method for carbon capture and storage projects. Energy Procedia 1(1):2161-2168.
Joosten, H. and D. Clarke. 2002. Wise use of mires and peatlands-Background and principles including a framework for decision-making. International Mire Conservation Group, International Peat Society. P 304. Joosten, H. 2009. Peatland status and drainage related emissions in all countries of the world. The Global Peatland CO2 Picture.Wetlands International. www.wetlands.org. P 35. Sitaula, B.K., L.R. Bakken, and G. Abrahamsen. 1995. Soil Biol.Biochem. 27:1401-1408.
Nicholson, F.A., B.J. Chambers, and K.A Smith. 1996. Nutrient composition of poultry manures in English and Wales [J]. Bioresource Technol. 58(3):279-284. Saarnio, S. and J. Silvola. 1999. Effect of increased CO2 and N on CH4 efflux from a boreal mire: a growth chamber experiment. Oecologia. 119(3):349-356. Wösten, J.H.M. and H.P. Ritzema. 2001. Land and water management options for peatland development in Sarawak. Malaysia. International Peat Journal 11:59-66.
77