5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam.
Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu
memberikan informasi yang cepat khususnya untuk informasi yang bersifat spasial. Hal tersebut didukung dengan penggunaan data penginderaan jauh dan dirumuskan dalam suatu perencanaan serta strategi pengolahan data yang sesuai dengan tujuan pemanfaatannya. Data penginderaan jauh khususnya data citra satelit memiliki beberapa keunggulan terutama dalam hal cakupan spasial dan kekontinuitasan data rekaman yang lebih baik dibandingkan dengan data penginderaan jauh yang lain. Data penginderaan jauh ini membutuhkan perlakuan khusus untuk mengekstrak informasi yang diinginkan. Perlakuan khusus ini lebih sering disebut dengan teknik pengolahan citra (Danoedoro 1996). Pengolahan citra mempunyai tujuan untuk mendapatkan citra baru dari citra asli perekaman satelit.
Citra baru yang dihasilkan dapat dianalisis lebih lanjut guna
memperoleh informasi tertentu sesuai dengan tujuan pemanfaatannya. Pengolahan citra dilakukan dalam beberapa tahapan diantaranya yaitu prapemrosesan citra digital yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas citra agar mempunyai kualitas lebih baik (dari citra asli) baik secara geometrik maupun radiometrik. Selanjutnya pengolahan citra disesuaikan dan diarahkan dengan tujuan yang diharapkan. Pada penelitian ini hanya menggunakan 6 dari 8 band yang terdapat pada Landsat-7 ETM+ yaitu band 1- band 5 dan band 7. Pemilihan band karena band 1-band 5 dan band 7 mempunyai resolusi spasial 30 meter x 30 meter, berbeda dengan band 6 yang mempunyai resolusi spasial 120 meter x 120 meter sedangkan band 8 (band pankromatik) mempunyai resolusi spasial 15 meter x 15 meter. 5.1 Koreksi Radiometrik Koreksi radiometrik citra dilakukan untuk memperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan pancaran spektral obyek yang sebenarnya (Guindon 1984 yang diacu dalam Jensen 1986). Koreksi radiometrik ini biasanya mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan
49
utama, sehingga koreksi radiometrik juga dikenal untuk mengurangi atau bahkan dapat menghilangkan gangguan (distorsi) yang ditimbulkan oleh atmosfer. Koreksi radiometrik mempunyai asumsi bahwa nilai piksel terendah pada suatu kerangka liputan (scene) seharusnya bernilai nol (null value) sesuai dengan bit coding sensor.
Apabila nilainya tidak nol, maka nilai penambah (nilai bias=offset) tersebut
dipandang sebagai hasil hamburan atmosfer. beberapa cara, yaitu:
Koreksi ini dapat dilakukan dengan
metode penyesuaian histogram, metode penyesuaian regresi,
metode kalibrasi bayangan maupun metode yang lainnya (Danoedoro 1996; Jensen1986). Masing-masing metode mempunyai keunggulan. Pada penelitian ini koreksi yang digunakan adalah metode penyesuaian histogram (histogram adjustment).
Alasan pemilihan metode ini adalah 1) metode ini cukup
sederhana, 2) waktunya cukup singkat dalam pemrosesan, 3) tidak memerlukan perhitungan matematis yang rumit. Asumsi yang melandasi metode ini adalah setiap obyek yang memberikan respon spektral paling rendah seharusnya bernilai nol (null value) apabila nilainya lebih besar dari nol maka nilai tersebut perlu dikoreksi yaitu dengan jalan mengurangi nilai masing-masing band dengan bias atau nilai minimum yang ada pada masing-masing band. Secara teori, hamburan atmosfer yang terjadi semakin besar pada panjang gelombang yang lebih rendah.
Hamburan atmosfer merupakan faktor pengganggu
kemurnian nilai spektral obyek air yang akan memperbesar setiap nilai piksel dalam suatu liputan citra. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 bab 4. Band 1 (panjang gelombang biru) mempunyai nilai bias yang paling tinggi yaitu 97 disusul dengan band 2 (panjang gelombang hijau) dengan nilai bias 58 kemudian band 3 (panjang gelombang merah) dengan nilai bias 43 disusul dengan band 4 (panjang gelombang inframerah dekat) dengan nilai bias 16, band 5 dan 7 (panjang gelombang inframerah) dengan nilai bias 12 dan 9. Setelah dilakukan pengurangan pada tiap-tiap band dengan masing-masing nilai nilai bias maka nilai minimum spektral setelah koreksi radiometrik adalah nol, seperti terlihat pada gambar 9 untuk band 1 dan Lampiran 1 untuk band 2-band 5 dan band 7. Penghilangan nilai bias tersebut berarti telah menghilangkan faktor gangguan atmosfer pada liputan citra.
50
Secara visual perbedaan citra sebelum dan setelah koreksi radiometrik dapat dilihat pada Gambar 11.
Secara umum gambaran hasil koreksi radiometrik akan
memberikan citra dengan kenampakan visual yang lebih gelap dari citra sebelum koreksi radiometrik. Hal ini karena seluruh nilai piksel terkoreksi radiometrik mempunyai nilai yang lebih rendah dari citra sebelum koreksi sehingga memiliki rona yang lebih gelap dibandingkan dengan citra sebelum koreksi yang disebabkan menurunnya nilai digital masing-masing piksel setelah dikurangi nilai bias (hamburan atmosfer). 5.2 Koreksi Geometrik Koreksi geometrik pada dasarnya merupakan suatu proses penempatan kembali posisi piksel sedemikian rupa sehingga pada citra yang tertansformasi dapat dilihat gambaran-gambaran objek permukaan bumi yang terekam oleh sensor.
Koreksi ini
didasarkan pada ground control points (GCP) atau titik-titik kontrol medan yang telah diketahui koordinatnya dengan pasti di muka bumi. Peta acuan yang digunakan untuk koreksi geometrik adalah Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1: 25000 lembar Pulau Pari (lembar 1210-114) dan Pulau Payung (lembar 1210-113). Secara ideal untuk melakukan koreksi geometrik citra terutama untuk perairan, lebih baik menggunakan peta-peta laut seperti Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN), Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI), Peta Batimetri atau Peta Topografi sebagai acuan. Akan tetapi pada wilayah perairan Pulau Pari tidak terdapat peta-peta laut skala besar karena memang belum dipetakan. Peta-peta laut yang sudah tersedia hanyalah skala kecil dengan kenampakan obyek yang tidak begitu detail sehingga tidak memungkinkan digunakan sebagai acuan untuk koreksi geometrik.
Karena alasan tersebut maka
digunakan Peta Rupa Bumi sebagai acuan dalam melakukan koreksi geometrik. Koreksi geometrik dilakukan dengan dua tahapan yaitu tahap transformasi koordinat (spatial interpolation) dan transformasi spektral (resampling).
Tahap
transformasi koordinat dilakukan dengan metode polinomial karena koreksi ini menggunakan GCP antara citra dengan peta acuan. Fungsi polinomial yang digunakan dalam koreksi ini adalah linear dengan pertimbangan kondisi topografi daerah penelitian yang relatif datar yaitu berupa dataran pantai dan perairan dangkal. GCP yang digunakan untuk 1 scene minimal 30 titik, pemilihan titik kontrol yang baik akan menambah tingkat ketelitian koreksi geometrik.
51
Proses resampling dilakukan dengan metode tetangga terdekat (nearest neighbour interpolation) karena bersifat hanya mencari rerata diantara nilai piksel (kecerahan) terdekat sehingga penggunaan metode ini karena tidak merubah nilai-nilai piksel lainnya. Tingkat ketelitian hasil koreksi geometrik dapat diketahui dari besarnya nilai root means square (RMS) error.
Idealnya nilai RMS error maksimal adalah 0.5 artinya
kesalahan pergeseran titik pusat di lapangan maksimal adalah 0.5 dari resolusi spasialnya. Jika resolusi spasial Landsat-7 ETM+ adalah 30 meter, maka maksimal pergeseran setelah dilakukan koreksi geometrik adalah 15 meter. Nilai RMS yang diperoleh pada penelitian ini adalah 0.03 sehingga pergeseran titik di lapangan adalah 0.03*30 meter yaitu sebesar 0.9 meter. Nilai ini masih kurang dari nilai maksimal yang diperbolehkan untuk Landsat-7 ETM+ sehingga hasil koreksi geometrik dikatakan teliti. 5.3 Pemisahan Obyek Laut dan Bukan Laut (Image Masking) Penggunaan rumus pemisahan obyek laut dan bukan laut dengan menggunakan logika jika nilai spektral band 5 dibagi dengan nilai spektral band 2, hasilnya lebih kecil dari 1 maka nilai tersebut adalah obyek laut dan diberikan nilai sesuai dengan nilai piksel pada masing-masing band. Selain nilai tersebut diberi nilai nol, diberi warna hitam dan dikenal sebagai obyek bukan laut (darat). Pemilihan rasio band 5 dan band 2 dengan alasan bahwa band 5 merupakan band inframerah yang memiliki daya serap tinggi terhadap obyek air sedangkan band 2 memiliki daya tembus yang besar dalam kolom air, apabila nilai spektral band 5 kecil dan nilai spektral band 2 tinggi maka nilai dibawah 1 merupakan obyek air. 5.4 Algoritma Van Hengel dan Spitzer Salah satu tujuan penelitian ini adalah menerapkan algoritma yang dikemukakan oleh dua orang ilmuwan Belanda yaitu Van Hengel dan Spitzer. Algoritma ini hanyalah salah satu dari sekian algoritma yang berfungsi untuk penyadapan informasi kedalaman perairan memanfaatkan data citra penginderaan jauh. Selama ini algoritma yang banyak digunakan untuk mengekstrak kedalaman perairan di perairan Indonesia adalah algoritma Lyzenga(1979) dan Bierwith (1983). Algoritma Van Hengel dan Spitzer merupakan pengembangan algoritma kedalaman yang dipopulerkan oleh Lyzenga.
52
Dalam penelitian ini penulis melakukan modifikasi terhadap penerapan algoritma Van Hengel dan Spitzer. Dalam publikasinya, algoritma Van Hengel dan Spitzer berbentuk perkalian matriks 3x3 yang membutuhkan tiga citra sebagai data masukan. Data yang digunakan adalah Landsat TM multi temporal dengan tiga waktu perekaman yang berbeda pada tempat yang sama, sedangkan pada penelitian ini mencoba menerapkan algoritma Van Hengel dan Spitzer untuk data citra Landsat-7 ETM+ multi band pada waktu perekaman yang sama. Band yang digunakan dalam penelitian ini adalah band yang diyakini memiliki respon spektral terbaik untuk obyek perairan yaitu band 1 (biru dengan panjang gelombang 0.45-0.52 µm), band 2 (hijau; 0.52-0.60 µm) dan band 3 (merah; 0.630.69 µm). Disamping itu karena tiap-tiap band yang dipilih diyakini memiliki karakteristik khusus terhadap perairan dan kombinasi data masukan memungkinkan mempengaruhi data yang diperoleh maka penerapan algoritma Van Hengel dan Spitzer ada enam kombinasi masukan dari tiga band yang digunakan. Pengolahan citra menggunakan algoritma Van Hengel dan Spitzer, dimulai dengan mencari nilai konstanta arah rotasi citra (r dan s) yang diasumsikan sebagai konstanta terhadap citra yang akan dianalisa. Hasil pengolahan untuk semua kombinasi citra diperoleh nilai arah rotasi citra (r dan s) berkisar 1.2°. Hasil pengolahan untuk tiap kombinasi akan menghasilkan tiga buah citra yang diwujudkan dalam anotasi Y1, Y2 dan Y3. Tetapi, hanya citra Y1 saja yang memiliki informasi nilai kedalaman air relatif. Sedangkan citra Y2 dan Y3 merupakan hasil sampingan dan belum diketemukan keterkaitannya dengan apapun termasuk dalam penelitian yang dilakukan oleh Van Hengel dan Spitzer sendiri. Pada prinsipnya untuk mengestimasi kedalaman air laut dari citra satelit tidak seluruhnya murni dari hasil pengolahan citra satelit. Pengolahan citra satelit hanyalah untuk memperjelas faktor yang mempengaruhi nilai kedalaman air laut,
sedangkan
penentuan nilai kedalaman yang sebenarnya tetap membutuhkan data kedalaman air laut yang sudah diketahui kebenarannya secara pasti. Begitu pula dalam penerapan algoritma Van Hengel dan Spitzer ini. Pengolahan dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer hanya digunakan untuk menentukan kedalaman air relatif. Nilai digital Y1 (yang menunjukkan kedalaman relatif) diregresikan dengan nilai kedalaman air laut pada titik sampel hasil pengukuran lapang (Z lapang). Sumbu x sebagai kedalaman lapang dan sumbu Y sebagai data kedalaman air relatif.
53
Cara transformasi pada Tabel 9 didasarkan pada persamaan y=a+bx, dengan y adalah citra hasil pengolahan yang menunjukkan kedalaman relatif. Pada transformasi persamaan diubah menjadi KR (kedalaman relatif), a merupakan slope (kemiringan garis) persamaan, b konstanta intercept atau nilai perpotongan garis regresi pada sumbu y dan x merupakan nilai obyek di lapangan dalam hal ini adalah kedalaman laut.
Untuk
mengetahui nilai x atau kedalaman absolut (kedalaman lapang), maka persamaan tersebut harus dirubah menjadi z=(y-b)/a, dengan z merupakan kedalaman absolut (kedalaman lapang).
Persamaan regresi dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer menjadi
persamaan untuk menentukan kedalaman laut dapat dilihat pada Tabel 9. Citra hasil pengolahan dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer yang telah ditransformasi ulang menggunakan persamaan regresi sudah menunjukkan nilai kedalaman laut. Nilai-nilai digitalnya secara langsung dapat menunjukkan estimasi nilai kedalaman laut sebenarnya di lapangan (kedalaman absolut). Hasil analisa regresi diperoleh enam persamaan regresi yang akan digunakan untuk mencari nilai kedalaman absolut. Hasil persamaan regresi memiliki nilai koefisien determinasi (R2) yang bervariasi antara 0.68-0.80. Koefisien determinasi (R2) tertinggi yaitu 0.80 dihasilkan dari kombinasi band 321 (hasil selengkapnya bisa dilihat pada Tabel 9). Artinya bahwa model yang dihasilkan mampu menerangkan keragaman nilai peubah Y (dalam kasus ini adalah kedalaman relatif) sebesar 80%. Berdasarkan nilai Koefisien determinasi (R2) dapat disimpulkan bahwa kombinasi band 321 merupakan kombinasi terbaik pada pengolahan citra dengan algoritma Van Hengel dan Spitzer. Berdasarkan analisa korelasi terhadap kedalaman lapang dan nilai digital Y1 (kedalaman relatif) diperoleh nilai koefisien korelasi (r) yang cukup tinggi yaitu berkisar antara -0.82 sampai dengan -0.9. Nilai koefisien korelasi tertinggi pada kombinasi band 321 dengan r=-0.9. Nilai koefisien korelasi -0.82 sampai dengan -0.9 menunjukkan keeratan hubungan linear antara kedalaman lapang dengan kedalaman relatif. Koefisien korelasi bernilai negatif, artinya ada hubungan terbalik antara nilai spektral dari kedalaman relatif dengan nilai kedalaman lapang perairan. Semakin dalam perairan maka nilai spektral yang dihasilkan semakin rendah. Demikian pula sebaliknya, semakin dangkal suatu perairan maka nilai spektral yang dihasilkan semakin tinggi. Dari analisis regresi linear dan korelasi menunjukkan bahwa kedalaman lapang dan kedalaman relatif mempunyai hubungan yang erat. Kombinasi terbaik terdapat pada
54
kombinasi band 321. Dari hasil yang diperoleh maka algoritma Van Hengel dan Spitzer dapat dipergunakan untuk memetakan kedalaman perairan khususnya di perairan pulau pari. 5.5 Model dengan Nilai Digital Asli Seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan di atas bahwa penelitian dengan topik ini sudah banyak dilakukan terutama diluar negeri yang kondisi fisik dan alamnya berbeda dengan kondisi Indonesia. Kecuali itu citra penginderaan jauh Landsat (Land Satellite/satelit untuk daratan) merupakan citra yang dibuat untuk kajian-kajian yang difokuskan di darat, sedangkan untuk kajian-kajian kelautan masih mempunyai porsi yang sedikit. Secara teori panjang gelombang yang bisa menembus air adalah sinar tampak dengan panjang gelombang berkisar antara 0.4-0.69μm. Pada satelit Landsat, panjang gelombang tersebut ada pada band 1 (biru; 0,45 – 0,52 μm), band 2 (hijau; 0,52 – 0,60 μm) dan band 3 (merah; 0,63 – 0,69 μm). Pemilihan ini didukung dengan hasil analisa korelasi antar peubah bebas Landsat-7 ETM+ yaitu band-band yang ada pada Landsat tersebut (dalam hal ini adalah band 1-5 dan band 7) dengan kedalaman lapang. Dari analisa korelasi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa band 1, band 2 dan band 3 mempunyai korelasi yang kuat dengan kedalaman lapang. Band 1 mempunyai korelasi yang paling tinggi, hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi -0.90, disusul dengan band 2 dengan nilai -0.88 dan band 3 dengan nilai -0.72. Analisa korelasi (hasilnya dapat dilihat pada Tabel 10) menunjukkan bahwa band 1 dan band 2 mempunyai korelasi yang erat dengan nilai r=0.97, band 1 dan band 3 juga mempunyai korelasi yang erat dengan nilai r=0.79 begitu juga band 2 dan band 3 dengan nilai r=0.86. Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa band 1, band 2 dan band 3 bersifat multikolinear.
Artinya band-band tersebut akan saling meniadakan dalam
menerangkan peubah tak bebas (kedalaman lapang). Sehingga pembuatan kandidat model hanya bisa menggunakan band 1, band 2 dan band 3 secara terpisah (band tunggal). Sifat multikolinear band 1, band 2 dan band 3 diperkuat dengan analisa PCA yang hasilnya bisa dilihat pada Tabel 11. Dengan melihat akar ciri (eigenvalue) yang lebih dari
55
1 dan proporsi ≥ 0 (dalam hal ini PC1), maka hasil analisis komponen utama menunjukkan ada 3 kelompok, yaitu: 1. Band 1, band 2 dan band 3; dengan nilai konstanta PC1 antara 0.481-0.506 merupakan band yang paling berpengaruh (komponen utama) sebagai variabel bebas dalam kandidat model, 2. Band 4 dengan nilai konstanta PC1 0.376 merupakan band yang tidak terlalu berpengaruh sebagai variabel bebas dalam kandidat model, 3. Band 5 dan band 7 dengan nilai konstanta 0.271-0.299 merupakan band yang tidak berpengaruh sebagai variabel bebas dalam kandidat model Berdasarkan sifat panjang gelombang dan didukung dengan hasil analisis korelasi dan analisis komponen utama maka band yang digunakan dalam model penelitian ini adalah band 1 (panjang gelombang biru) yang secara teori mempunyai daya tembus pada kolom air paling besar dibandingkan dengan panjang gelombang lainnya, band 2 (panjang gelombang hijau) dan band 3 (panjang gelombang merah). Namun band 1, band 2 dan band 3 berada pada kelompok utama yang sama dalam PCA artinya masing-masing band memiliki korelasi erat atau bersifat multikolinear yaitu masing-masing band akan menerangkan peubah bebasnya dengan sama kuat. Sehingga dalam satu model tidak memungkinkan terdapat variabel bebas lebih dari satu band komponen utama artinya band yang digunakan adalah band tunggal saja. Penentuan kandidat model dilakukan dengan regresi antara nilai digital dan kedalaman pada masing-masing band. Model yang diajukan ada 4 yaitu linear, logaritmik eksponensial dan power sehingga diperoleh 12 buah kandidat model. Kandidat model dan koefisien determinasi (R2) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12. Penentuan model terbaik dilakukan dengan melihat koefisien determinasi (R2) yang tertinggi kemudian melihat secara visual sisaan yang dihasilkan dari model tersebut. Hasil koefisien determinasi (R2) antara band 1 dan band 2 bisa dikatakan tinggi karena lebih dari 0.75, artinya model yang dibuat bisa menerangkan keragaman kedalaman perairan dangkal sampai lebih dari 75 %. Tetapi kandidat model terkuat adalah band 1 karena secara realitas di lapang kemampuan band 1 untuk berpenetrasi ke dalam kolom air jauh lebih baik dibandingkan dengan band 2.
Kandidat model terkuat tersebut
kemudian dianalisis residual untuk memeriksa asumsi-asumsi yang mendasari model regresi.
Asumsi-asumsi tersebut antara lain kenormalan (normality), keacakan
56
(randomness), kehomogenan ragam (homoscedasticity) (Mattjik dan Sumertajaya 2002) yang hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13 dan Lampiran 5. Dari Tabel 13 diperoleh kesimpulan bahwa semua kandidat model terkuat memenuhi asumsi yang mendasari model regresi.
Sehingga kandidat model yang
ditetapkan sebagai model untuk menduga kedalaman perairan dangkal adalah bentuk eksponential dengan nilai R2 0.84dengan persamaan y=21.07e-0.0591x. 5.6 Evaluasi Kemampuan Algoritma Van Hengel dan Spitzer serta Model Kedalaman Nilai Digital Asli Terbaik dalam Menyajikan Informasi Kedalaman Perairan Citra hasil pengolahan dengan menggunakan algoritma Van Hengel dan Spitzer (321) dan model Nilai Digital Asli Terbaik sudah tentu menunjukkan hasil yang berbeda. Walaupun penelitian ini menggunakan citra yang sama dan data primer yang digunakan juga sama tetapi karena diterapkan algoritma (model) yang berbeda maka memungkinkan memberikan hasil yang berbeda pula. Secara umum kedua algoritma ini mampu menunjukkan kedalaman di perairan Gugus Pulau Pari dengan cukup baik seperti yang ditunjukkan dengan nilai R2 lebih dari 0.80 (0.80 untuk algoritma Van Hengel dan Spitzer (321) dan 0.84 untuk model Nilai Digital Asli Terbaik). Umumnya untuk penelitian kedalaman perairan yang dilakukan di wilayah Indonesia angka tersebut tergolong baik. Tetapi apabila dilihat dari nilai galat (error) untuk masing-masing algoritma maka akan terdapat beberapa perbedaan dari hasil pengolahan ini sebagaimana dilihat pada Tabel 14 dan Gambar 15 serta Gambar 16. Algoritma Van Hengel dan Spitzer (321) menunjukkan nilai galat yang tinggi pada kedalaman ≤ 3 meter, dengan rata-rata galat lebih dari 40%, bahkan pada beberapa titik ada yang mempunyai galat 100%. Kemudian rata-rata galat ini menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Pada kedalaman antara 3-6 meter mempunyai rata-rata galat 38%, pada kedalaman 6-9 meter mempunyai rata-rata galat 17%. Rata-rata galat ini menjadi semakin kecil pada kedalaman lebih dari 9 meter. Model Nilai Digital Asli mempunyai rata-rata galat yang lebih kecil dari algoritma Van Hengel dan Spitzer (321) sampai dengan kedalaman 9 meter. Pada kedalaman lebih dari 9 meter rata-rata galat meningkat kembali. Dari nilai galat (Tabel 14 dan Gambar 17) Model Nilai Digital Asli memberikan estimasi yang mempunyai kesalahan lebih kecil pada kedalaman kurang dari 9 meter
57
sedangkan Algoritma Van Hengel dan Spitzer (321) memberikan nilai kesalahan lebih kecil pada kedalaman lebih dari 9 meter. 5.7 Evaluasi Kemampuan Citra Satelit Landsat-7 ETM+ dalam Menyajikan Informasi Kedalaman Perairan Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat diketahui kekurangan dan kelebihan Landsat-7 ETM+ dalam mengestimasi kedalaman perairan. Landsat mempunyai band 1, band 2 dan band 3 yang merupakan band panjang gelombang sinar tampak. Band-band inilah yang sering digunakan untuk mengestimasi kedalaman perairan karena mempunyai karakteristik tersendiri.
Band biru mempunyai kemampuan berpenetrasi terhadap
kedalaman air paling baik dibandingkan dengan band-band lainnya. Selain itu band biru juga tidak banyak terpengaruh oleh material dasar perairan dan unsur-unsur fisik laut seperti konsentrasi sedimen dan kandungan klorofil di perairan. Sehingga band biru merupakan band yang paling baik dalam mendeteksi kedalaman perairan. Meskipun band biru pada Landsat-7 ETM+ mempunyai banyak kelebihan, namun ada beberapa kekurangannya. Ada percampuran panjang gelombang antara spektrum biru dan spektrum hijau pada band 1 yang mengakibatkan citra band 1 kurang menunjukkan penetrasi yang maksimal dalam menyadap informasi kedalaman perairan. Demikian juga pada band 2 terdapat percampuran panjang gelombang antara spektrum hijau dan merah. Kondisi ini dapat dimaklumi karena Landsat bukanlah satelit yang dikhususkan untuk observasi kelautan tetapi merupakan satelit untuk invetarisasi darat. Citra Landsat-7 ETM+ juga memiliki kekurangan dalam hal resolusi spasialnya terutama untuk aplikasi pemetaan dengan skala yang detail. Resolusi spasial band 1-5 dan band 7 dari Landsat-7 ETM+ adalah 30 meter yang menunjukkan bahwa obyek terkecil yang dapat direkam oleh sensor adalah obyek yang minimal berukuran 30x30 meter. Untuk obyek yang berukuran kurang dari itu maka akan digeneralisir dengan obyek lainnya yang dominan pada luas 30x30 meter.
Untuk pemetaan yang bersifat detail atau
memerlukan kedetailan yang lebih baik lagi citra ini kurang tepat untuk digunakan. Karena satu piksel di citra belum tentu menunjukkan kedalaman yang sama di lapangan. Ukuran 30x30 meter di lapang dapat menunjukkan angka yang sangat bervariasi terutama pada wilayah perairan yang didominasi oleh terumbu karang atau pada perairan yang mempunyai kedalaman tidak menurun secara tajam. Resolusi spasial ini lebih cocok digunakan pada pemetaan kedalaman laut yang memiliki topografi dasar laut yang landai.
58
Metode pemrosesan yang digunakan pada penelitian ini menekankan pada proses penajaman citra untuk ekstraksi kedalaman laut dengan menggunakan transformasi terhadap nilai digital saluran asli. Transformasi ini memegang peranan penting dalam manipulasi data untuk analisa kualitatif.
Transformasi yang digunakan merupakan
transformasi matematis baik untuk algoritma Van Hengel dan Spitzer maupun untuk model nilai digital asli. Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis terhadap hasil pengolahan citra, kedua metode ini menunjukkan hasil yang baik terutama pada wilayah perairan yang mempunyai topografi dasar relatif landai.