5. ARAHAN STRATEGI DALAM PENENTUAN KEBIJAKAN
UNTUK PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP MADIDIHANG (Thunnus albacares) BERBASIS MULTI DIMENSI KEBERKELANJUTAN
Pembangunan sektor perikanan tangkap pada saat ini dijadikan prioritas utama dalam pengembangan perekonomian wilayah selatan Kabupaten Malang. Peranan sektor perikanan tangkap mulai diperhatikan oleh pemerintah Kabupaten Malang setelah berkembangnya perikanan tuna, khususnya Madidihang yang ditangkap oleh nelayan sekoci di wilayah perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa, khususnya di Jawa Timur. Pengembangan tersebut menjadi sangat realistis mengingat Kabupaten Malang memiliki PPP Pondokdadap yang merupakan pelabuhan perikanan terbaik ke dua setelah PPN Cilacap di Jawa Tengah di selatan Jawa. PPP Pondokdadap merupakan tempat yang aman untuk bertambat dan berlabuh kapal perikanan karena letaknya terlindungi oleh Pulau Sempu sehingga aman dari hempasan gelombang sepanjang tahun. Keberadaan pulau Sempu membentuk selat sepanjang 4 km, lebar 600-1 500 m dan kedalaman perairan 18-50 m sehingga menjadi tempat yang cukup ideal untuk mendaratkan hasil tangkapan ikan. Lokasi PPP Pondokdadap cukup mudah diakses melalui jalan hotmix dari kota Malang (70 km) dan Surabaya (157 km) dan berhadapan dengan Samudera Hindia yang memiliki potensi ikan pelagis besar yang tinggi. Pada tahun 2010 produksi ikan hasil tangkapan nelayan Sendang Biru sekitar 4 618 754 kg dengan nilai Rp 54 016 937 195. Dari total produksi tersebut sebagian besar merupakan ikan pelagis besar (98%), terutama dari jenis ikan seperti, Madidihang (Thunnus albacores), Cakalang (Katsuwonus pelamis), Bigeye tuna (Thunnus obesus), Marlin (Tetrapturus angustirostris), Tompek dan Bigeye tuna (Thunnus obesus), dengan proporsi masingmasing adalah 36.71%, 31.45%, 19.57%, 9.66% dan 2.6% yang merupakan komoditas ekspor bernilai tinggi. Dengan demikian, PPP Pondokdadap merupakan salah satu sentra tuna rakyat terbesar di Jawa Timur. Produksi tersebut dihasilkan dari hasil tangkapan nelayan sekoci, payang, sampan pakisan, jukung, dan perahu kunting. Jumlah nelayan yang ada pada tahun 2010 adalah sejumlah 1 663 jiwa. Tingginya kegiatan perikanan tangkap tuna tersebut, selain dapat dijadikan penggerak
182
pertumbuhan ekonomi regional (pro-growth), penyerapan tenaga kerja (pro-job), juga dapat meningkatkan penapatan masyarakat (pro-poor). Besarnya dampak positip dari pemanfaatan sumberdaya ikan tuna tersebut seringkali diikuti dengan dampak yang merugikan atau memiliki dampak negatif, sehingga dapat menimbulkan permasalahan terhadap kelestarian dari sumberdaya Madidihang yang ada di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa. Dengan demikian, maka pengembangan perikanan tuna tersebut, memerlukan strategi dan perencanaan yang baik. Strategi yang diperlukan adalah interfensi kebijakan terhadap permasalahan yang ada pada saat ini di Sendang Biru. Kebijakan harus mengacu kepada sumber masalah yang timbul akibat kegiatan perikanan tuna tersebut dan mengacu pada aturan yang sudah ditetapkan dalam bentuk undangundang, keputusan atau peraturan dari pemerintah provinsi atau pemerintah pusat. Hal ini diperlukan, mengingat Madidihang merupakan ikan pelagis besar yang distribusinya berada di perairan tropis dan subtropis di hampir semua negara (Collette and Nauen 1983). Di Samudera Hindia Madidihang merupakan species utama yang menjadi tangkapan banyak negara (Somvanshi 2002). Artinya dalam membuat strategi pengelolaan harus mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang bersifat internasional di samping ketentuan yang bersifat nasional ataupun regional. Acuan yang dapat digunakan dalam pengelolaan perikanan tuna adalah kebijakan
yang
dapat
mendorong
kegiatan
perikanan
tangkap
dengan
memperhatikan aspek-aspek ekologis (lingkungan), bersifat ramah lingkungan (friendly fishing method), sebagaimana yang disyaratkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dalam ketentuan FAO (1999). Pengambilan kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya ikan tuna harus dilakukan atas partisipasi nelayan sebagai pelaku, disamping stakeholders lainnya yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung terhadap kelestarian dan kelimpahan ikan tuna. Konsep keberlanjutan paling tidak mengandung dua dimensi: Pertama, adalah dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi di masa mendatang. Kedua, adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi, sumber daya alam dan lingkungan (Heal 1998 dalam Fauzi 2004). Dalam menyusun strategi kebijakan tersebut, agar diperoleh hasil yang optimal harus memperhatikan kompleksitas dalam pengelolaannya.
183
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Dalam kaitannya dengan aktivitas pembangunan perikanan dan konsep keberlanjutan, menurut Bengen (2004) bahwa terdapat tiga opsi yakni: 1) aktivitas pembangunan yang tidak berdampak negatif sama sekali terhadap lingkungan, 2) aktivitas yang hanya sedikit dampak negatifnya dan 3) aktivitas yang menimbulkan perubahan besar terhadap lingkungan. Dengan demikian, agar dalam pembangunan terus berkelanjutan, maka dimensi ekonomi perlu diperhatikan. Pembangunan tersebut dilakukan, pada hakekatnya adalah mengekstrasi sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi. Ekstraksi sumberdaya tersebut membutuhkan teknologi dan peraturan, sehingga selain dimensi ekologi dan ekonomi perlu di kaji dimensi lainnya, yaitu dimensi teknologi, kelembagaan dan sosial. Berdasarkan konsepsi tersebut, maka untuk memudahkan pembuatan kebijakan yang dapat mendorong pengembangan dalam pemanfaatan sumberdaya Madidihang yang bekelanjutan, maka diperlukan strategi pengelolaan yang memperhatikan aspek-aspek atau atribut-atribut yang berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan tersebut. Strategi kebijakan pengembangan perikanan Madidihang yang dilakukan oleh nelayan Sendang Biru, dapat dimulai dengan mengurut prioritas dimensi dan atribut prioritas dalam setiap dimensi yang perlu diungkit atau diperbaiki. Untuk mengetahui prioritas yang perlu diperbaiki atau diungkit, maka dilakukan penentuan prioritas dimensi dengan melakukan pengurutan nilai dari indeks keberlanjutan dari masing-masing dimensi, kemudian dimensi yang memiliki nilai indeks lebih rendah dianggap sebagai dimensi yang harus dikelola atau diperbaiki. Berdasarkan urutan dari indeks dimensi keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap tuna yang dilakukan oleh nelayan sekoci Sendang Biru dalam penelitian ini diperoleh nilai indeks keberlanjutan yang harus diprioritaskan, berdasarkan urutan dimensinya, yaitu:1) sosial, 2) kelembagaan, 3) ekologi, 4) teknologi dan ekonomi (Tabel 35).
184
Tabel 35 Urutan prioritas dimensi hasil analisis Rapfish untuk nilai stress dan koefisien determinasi No 1 2 3 4 5
Prioritas Sosial Kelembagaan Ekologi Teknologi Ekonomi
Nilai Indeks 39.4402 39.5672 78.7793 72.5583 72.6006
Kategori Kurang Berkelanjutan Kurang Berkelanjutan Sangat Berkelanjutan Cukup Berkelanjutan Cukup Berkelanjutan
Dari Tabel 35 menunjukkan bahwa dimensi sosial memiliki nilai indeks yang paling rendah, disusul dengan dimensi kelembagaan. Dengan demikian, atribut-atribut yang memiliki sensitifitas tinggi dan mempengaruhi status keberlanjutan ke arah yang kurang baik diprioritaskan untuk diperbaiki, terutama yang memungkinkan untuk dilakukan perbaikan atau interfensi. Interfensi dilakukan dengan pertimbangan:1) rasional, 2) tersedia sumberdaya manusianya, 3) kemampuan keuangan, dan 4) secara teknis bisa diimplementasikan. Namun demikian, selain dari dua dimensi tersebut atribut dari dimensi ekologi, ekonomi dan teknologi yang memberikan nilai sensitifitas besar dan mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan tetap diprioritaskan untuk diperbaiki. Sedangkan atributatribut yang memiliki sensitifitas rendah dan berparuh positif terhadap nilai indeks status
keberlanjutan
dipertahankan
dan
dilakukan
peningkatan
apabila
dimungkinkan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka atribut-atribut dari ke lima dimensi selanjutnya disusun berdasarkan urutan prioritas dengan indikator nilai RMS. Prioritas urutan di mulai dari atribut yang memiliki nilai RMS yang paling besar. Selanjutanya strategi yang dilakukan adalah interfensi terhadap masingmasing atribut yang disusun dalam tindakan berdasarkan prioritas jangka waktu, yaitu jangka pendek dan menengah. Penentuan rentang waktu tersebut, untuk jangka pendek dan menengah adalah 1-5 tahun dan 5-10 tahun. Pertimbangan tersebut didasarkan kepada lamanya kepemimpinan dari kepala pemerintah daerah. Ketentuan perubahan atribut adalah untuk atribut yang diinterfensi sebagai prioritas jangka pendek, skor dari atribut yang diinterfensi meningkat satu skala dan 2 skala atau maksimal untuk prioritas jangka menengah. Interfensi atau perbaikan tersebut merupakan strategi yang akan dilakukan dalam bentuk kebijakan operasional yang mungkin bisa dilakukan dan disesuaikan dengan
185
pertimbangan rasionalitas, ketersediaan biaya, ketersediaan SDM dan dapat dengan mudah untuk dilakukan. Bentuk interfensi dan perubahan skala dari atribut-atribut pada masing-masing dimensi di sajikan pada Tabel 36. Dari hasil skoring dan penentuan jangka waktu pelaksanaan, selanjutnya dilakukan sekenario kebijakkan operasional dalam bentuk program jangka pendek dan menengah. Selanjutnya untuk masing-masing skenario tersebut dievaluasi perubahan indeks multidimensinya dengan menggunakan analisis Rapfish, seperti tersaji pada Tabel 36. Tabel 36 Prioritas atribut yang diinterfensi pada masing-masing dimensi No
Dimensi
1
Sosial
2
Kelembagaan
Atribut 1. Pendidikan formal 2. Keterlibatan nelayan 3. Status konflik 4. Pengalaman nelayan 1. Kondisi dan Kapasitas PPP Pondokdadap
Nilai RMS 6.82
Skor awal 0
4 5
Ekologi Ekonomi Teknologi
Pelatihan penangkapan ikan
Skor akhir 1
Jangka pendek
Keterangan
1
Pelibatan nelayan
2
Jangka pendek
0
Resolusi Konflik
1
Jangka pendek
3.71
1
Pelatihan Keselamatan Melaut
1
Jangka pendek
6.74
0 0 0 0
1. 2. 3. 4.
2 2 1 2
Jangka menengah Jangka Menengah Jangka pendek Jangka menengah
1 1 1 1 2 1 1
Jangka menengah Jangka pendek Jangka pendek Jangka pendek Jangka menengah Jangka pendek Jangka pendek
0
Perluasan dermaga Pengadaan konveyor Perbaikan fasilitas TPI Pengadaan fasilitas transit sheed 5. Pengadaan Lab. Mutu 6. Penempatan Care master 7. Penyedian air 8. Penyedian es 9. Pengadaan dock/sleepway 10.Perbaikan sistem lelang 11.Pelatihan manajemen pelabuhan 12.Pelatihan sistem lelang
1
Jangka pendek
4.43 3.92
0 0 0 0 0 0 0
3
Perbaikan/Interfensi
2. Perusahaan Inti 3. KUD Mina Jaya&LEPM
6.74
0
Pola kemitraan
2
Jangka Menengah
3.22
1
1. Pelatihan Administrasi & Keuangan 2. Pelatihan sistem pelelangan 3. Pelatihan tentang Koperasi 4. Pelatihan tentang logistik
2
Jangka Pendek
4. Kel.Nelayan Rukun Jaya
3.22
1
Pembentukan Koperasi Perikanan
2
Jangka Menengah
Spesies Tangkapan
13.3
2
2
Non-interfensi
Transfer keuntungan
9.55
0
Pengd. Cold storage & Pabrik es
1
Jangka Menengah
5.74
1
Pelatihan pasca panen
2
Jangka pendek
4
1
Pelatihan pasca panen
2
Jangka pendek
Proses Pengawetan Pengolahan Pasca tangkap
186
5.1 Skenario dan Strategi Jangka Pendek Kebijakan Operasional Pengembangan Perikanan Madidihang di Sendang Biru Strategi yang dilakukan adalah membuat skenario dalam bentuk kebijakan operasional yang dapat dilakukan pada jangka pendek. Adapun strategi yang dilakukan adalah interfensi dan perbaikan dalam upaya meningkatkan nilai skala pada atribut-atribut yang memiliki nilai sensitifitas tinggi dari masing-masing dimensi. Kebijakan operasional yang di lakukan pada dimensi sosial, adalah program yang berkaitan dengan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan (soft skill) dari nelayan dan nahkoda kapal yang memiliki tingkat pendidikan formal rendah dan pengalaman rendah. Program yang diusulkan dalam skenario tersebut adalah pelatihan tentang penangkapan dan keselamatan melaut. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat kapal yang digunakan adalah kapal berukuran kecil (panjang 16 m, lebar 3.5 m dan tinggi 1.2) dengan bobot 10 GT. Kapal tersebut, sangat rentan terhadap perubahan cuaca oseanografi di perairan Samudera Hindia yang sangat dipengaruhi oleh angin muson.
Sedangkan pelatihan tentang
penangkapan dilakukan untuk memberikan landasan mengenai prilaku tuna yang berada di rumpon dan penyampaian informasi tentang pengaruh hidro-oseanografi terhadap keberadaan ikan. Sehingga diketahui metode yang tepat, dan alat tangkap yang pas untuk menangkap ikan tuna yang berukuran sesuai dengan kriteria pasar. Pemecahan masalah adanya konflik sudah dilakukan nelayan Pekalongan dan nelayan Sendang Biru yang dimediasi oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Pemprov Jatim dan Jateng, bahkan sudah dituangkan dalam nota kesepahaman bersama. Agar nota kesepahaman tersebut dapat berjalan dengan efektif, maka diperlukan resolusi ditingkat yang lebih tinggi, yaitu di tingkat nasional. Keterlibatan nelayan dalam pembuatan aturan atau kebijakan mengenai kegiatan tangkap sampai saat ini belum dilibatkan secara maksimal, padahal sebagai pelaku utama seharusnya terlibat langsung. Peningkatan keterlibatan nelayan, akan memberikan dampak terhadap keberhasilan penyelesaian masalah yang terjadi di area tangkap maupun di daratan, baik permasalahan yang menyangkut konflik sosial, kelembagaan, dan lingkungan akan mudah di pecahkan apabila para pelaku memahami ketentuan atau aturan yang telah disepakati bersama. Kebijakan operasional yang dilakukan terhadap dimensi kelembagaan dilakukan kepada atribut yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap status
187
keberlanjutan, yaitu atribut PPP Pondokdadap dan KUD Mina dan LEPPM3 serta atribut Keberadaan PPP Pondokdadap sangat menentukan tingkat keberhasilan kegiatan perikanan tuna, karena memiliki fungsi utama dalam hal pendaratan dan pemasaran ikan. Oleh karena ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak, maka memerlukan penanganan cepat, higienis, aman dari benturan, terhindar dari sengatan sinar matahari dan terhindar dari organisme yang bersifat pathogen, seperti bakteri salmonella dan e colli. Interfensi yang dilakukan terhadap atribut PPP Pondokdadap, dilakukan dalam upaya mengefektifkan fungsi operasional dari pelabuhan perikanan pantai, seperti tertuang dalam pasal 22 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 16/Men/2006. Dalam pasal 22 tertuang tentang prasyarat dari pelabuhan dengan kualifikasi pelabuhan perikanan pantai, yang meliputi fasilitas pokok, fungsional dan penunjang. Pada saat ini PPP Pondokdadap sedang dikembangkan, sehingga usulan pada skenario jangka pendek tersebut sangat mungkin untuk dilakukan. Sedangkan untuk kebijakan operasional yang dilakukan terhadap KUD Mina Jaya, adalah yang berkaitan perbaikan administrasi dan manajemen keuangan, dan logistik/perbekalan. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat KUD Mina Jaya memiliki peranan yang sangat strategis, selain penyedia BBM solar, es dan bahan sembako kebutuhan melaut, peran penting lain dari KUD Mina Jaya adalah bertindak sebagai pelaksana pelelangan ikan di TPI dan pemungut uang restribusi. Pengetahuan tentang adminitrasi dan keuangan, logistik dan sistem pelelangan mutlak harus dilakukan, mengingat hampir semua SDM yang ada di KUD Mina Jaya masih berpendidikan rendah. Fungsi utama dari koperasi sering kali tidak berjalan, sehingga diperlukan juga pengetahuan tentang perkoperasian. Kebijakan operasional dari masing-masing atribut yang harus diperbaiki tersaji dalam Tabel 36. Adanya interfensi atau tindakan perbaikan pada dimensi sosial dan kelembagaan, pada skenerio ke-1, mengakibatkan dampak positip terhadap atribut pada dimensi ekologi, yaitu atribut pemahaman nelayan terhadap lingkungan. Hal ini terjadi sebagai akibat peningkatan pemahaman dari nelayan terhadap sumberdaya dan lingkungan setelah adanya pelatihan dalam interfensi atribut dimensi sosial. Sedangkan perubahan pada atribut Kondisi dan kapasitas PPP
188
Pondokdadap memiliki keterkaitan dengan atribut-atribut pada dimensi teknologi dan perubahan harga ikan pada dimensi ekonomi. Perubahan yang terjadi pada atribut proses pengawetan dan penanganan pasca tangkap. Hal ini terjadi atas sikap nelayan, yang menginginkan adanya perubahan sistem pelelangan dan penambahan fasilitas bertambat, berlabuh, TPI, ketersediaan air, es dan care master untuk menentukan kualitas ikan hasil tangkapannya. Apabila terjadi perbaikan dalam sistem pelelangan dengan penentuan harga pokok lelang atas dasar kualitas ikan, maka nelayan akan melakukan penanganan dan pengawetan yang baik di atas kapal. Dengan dilakukannya penanganan di atas kapal, maka akan terjadi perubahan pada atribut harga dan terjadi peningkatan pendapatan pada dimensi ekonomi (Tabel 37). Tabel 37 Perubahan kenaikan atribut dan indikator kebijakan operasioanal pada skenario jangka pendek No
Dimensi
Perubahan skor Awal Akhir
Atribut
Indikator Keberhasilan Mengerti akan lingkungan, tidak merubah alat tangkap dari hand line ke purse seine Harga jual ikan naik >USD $3000 Kg. Pendapatan dari Restribusi naik (PAD Besar)
1
Ekologi
Pemahaman thd Lingkungan
0
1
2
Ekonomi
1. Harga ikan 2. PDRB
3
4
0
2
3
Teknologi
1. Penanganan tangkap 2. Pengawetan
pasca
1
2
1
2
Adanya palka es curah (dry es) mutu ikan baik (segar, kenyal, insang dan mata merah, bau amis., mengkilat >70% untuk loin dan steak
1. Pendidikan Nelayan
formal
0
1
3. Keterlibatan Nelayan dlm membuat kebijakan 4. Status konflik 5. Pengalaman nelayan
1
2
Ketrampilan menangkap ikan meningkat hasil tangkapan baik kualitas dan kuantitasnya meningkat Mengerti dan melaksanakan peraturan
0
1
1
2
Kondisi PPP Pondokdadap
0
2
4
5
Sosial
Kelembagaan
Melakukan Gutting, viceral
Tingkat atau kejadian konplik rendah Skill meningkat (tidak kecelakaan menurun) Fasilitas TPI bersih, hygienis, tingkat pencemaran rendah, tersedia air, es dan sistem pelelangan fair, ada care master, ikan tuna di grade berdasarkan standar mutu
Penerapan kebijakan operasional jangka pendek pada dimensi-dimensi yang memiliki atribut dengan nilai sensitifitas tinggi, apabila kebijakan operasional bisa berjalan sesuai dengan skenario jangka pendek, maka tingkat status keberlanjutan dari masing-masing dimensi tersebut mengalami peningkatan yang nyata seperti nampak pada Gambar 49.
189
Gambar 49 Diagram layang-layang nilai keberlanjutan setiap dimensi pada penerapan kebijakan operasional jangka pendek.
Pada Gambar 49 menunjukan bahwa indeks status keberlanjutan dimensi yang memiliki indeks status dalam kategori kurang berkelanjutan meningkat menjadi cukup keberlajutan. Perubahan yang terjadi pada peningkatan indek keberlanjutan pada dimensi sosial dan kelembagaan, berdampak positip terhadap perubahan nilai indeks status pada dimensi ekologi, ekonomi dan teknologi, yaitu yang semula memiliki kategori status cukup berkelanjutan, berubah menjadi sangat berkelanjutan Dengan demikian, terjadinya peningkatan kategori status pada masingmasing dimensi tersebut, diikuti peningkatan status keberlanjutan secara multidimensi. Nilai indeks keberlanjutan dari multidemensi, setelah diferikasi oleh pakar pada analisis pairwise comparrison diperoleh nilai indeks sebesar 69.39% dengan kategori cukup berkelanjutan. Namun demikian, setelah dilakukan perbaikan-perbaikan pada atribut-atribut yang memiliki nilai sensitifitas tinggi dan berpengaruh secara negatif terhadap nilai indeks keberlanjutan pada skenerio ke1, maka nilai indeks stastusnya menjadi 78.75 dengan kategori sangat berkelanjutan (Tabel 38). Hal ini berarti, apabila dilakukan perbaikan sesuai dengan arahan kebijakan operasional tersebut, kegiatan perikanan Madidihang yang dilakukan oleh nelayan sekoci dapat diunggulkan sebagai kegiatan perikanan tuna tradisional (artisanal) yang berkelanjutan.
190
Tabel 38 Nilai indeks keberlanjutan pada skenario 1 No.
1 2 3 4 5
Aspek Keberlanjutan Ekologi Ekonomi Teknologi Sosial Kelembagaan Jumlah
Bobot Gabungan Penilaian Pakar (n=3) 0.3484 0.2995 0.1238 0.1016 0.0529 0.9262
Bobot Tertimbang 0.3762 0.3234 0.1337 0.1097 0.0572 1.0000
Nilai Aspek Keberlanjutan Monte Skenario 1 Carlo 89.35 76.02 75.64 73.56 81.41 76.7 54.56 53.83 66.72 65.05 367.67
Jumlah Nilai Tanpa skenerio 29.63 23.48 9.70 4.32 2.26 69.39
Skenerio 1 33.61 24.46 10.88 5.98 3.81 78.75
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kebijakan pengembangan perikanan Madidihang yang harus dijalankan adalah kebijakan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang bersifat komprehensif yaitu lemahnya perhatian dalam pengelolaan yang mengakibatkan ketidakberlanjutan perikanan Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur sebagaimana terungkap pada analisis Rapfish dan pairwise comparison. Adapun kebijakan yang dirumuskan pada program operasional jangka pendek dikelompokkan dan diprioritaskan sebagai berikut: (1) Peningkatan kualitas dan kapasitas kelembagaan pada kegiatan perikanan Madidihang di perairan ZEEI oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru (dimensi kelembagaan). (2) Peningkatan kapasitas nelayan dan penyelesaian konflik (dimensi sosial). (3) Peningkatan kualitas ikan hasil tangkapan (dimensi teknologi). Kebijakan peningkatan kapasitas diarahkan kepada perbaikan kualitas fasilitas tempat pelelangan ikan, penyediaan air, es dan pengawas mutu (care master) dan sistem pelelangan serta perbaikan manajemen KUD Mina Jaya sebagai penyelenggara lelang dan penyedia kebutuhan melaut serta penyedia modal bagi nelayan. Kebijakan tersebut mempunyai tujuan untuk memperbaiki kualitas ikan yang dipasarkan, sistem lelang yang fair sehingga diperoleh harga yang wajar dan terciptanya pendapatan hasil penjualan yang tinggi, sehingga sehingga pendapatan nelayan meningkat. Kebijakan peningkatan kapasitas nelayan dan penyelesaian konflik mempunyai tujuan yaitu meningkatkan kualitas SDM nelayan sehingga memperkuat sektor penangkapan sebagaimana tersaji pada Tabel 39.
191
Tabel 39 Strategi dan program implementasi kebijakan pengembangan kapasitas kelembagaan, sosial dan teknologi pada kegiatan perikanan Madidihang di PPP Pondokdadap pada program jangka pendek No 1
2
Strategi
Program
Pelaksana
Peningkatan kapasitas dan kualitas PPP Pondokdadap Peningkatan kualitas SDM Pengelola PPP Pondokdadap (Petugas PPI dan KUD Mina Jaya)
1. Perbaikan lantai TPI dengan pemberian alas dari kayu 2. Pengadaan air bersih dan es
DPK Pemprov Jatim
3. Pelatihan manajemen pelabuhan perikanan 4. Pelatihan sistem pelelangan 5. Penyusunan pedoman dan aturan sistem pelelangan 6. Efektivitas monev di PPP 7. Perbaikan catatan data hasil dan harga ikan di PPP Pondokdadap 8. Penyediaan informasi harga ikan dipasar 9. Penempatan care master 10. Pembuatan Perda tentang sistem dan pelaksanaan lelang 11. Pelaksanaan lelang terbuka 12. Penegakan aturan sistem pelelangan 13. Peningkatan kualitas SDM melalui 14. Pelatihan tentang adminitrasi dan keuangan, logistik, koperasi dan sistem lelang 15. Pengembangan dan penguatan Modal pada KUD Mina Jaya dan LEPM3 16. Peningkatan dan pengalihan penggunaan Modal di LEPM3 kepada KUB Nelayan 17. Peningkatan kualitas SDM melalui pelatihan tentang penangkapan ikan, keselamatan melaut 18. Pelibatan nelayan dalam pembuatan Kebijakan 19. Resolusi konflik antara nelayan sekoci dengan nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke serta nelayan long line Benoa. 20. Pembentukan Pokwasmas bersama 21. Perlindungan dan pengaturan rumpon nelayan sekoci 22. Pelatihan penanganan pasca tangkap di kapal 23. Pelatihan proses pengawetan ikan 24. Pelatihan dan penguatan pemasaran
DKP Kab. Malang, DPK Pemprov Jatim, Dinas Koperasi Kabupaten Malang
3
Standarisasi ikan berdasarkan kualitas
4
Peningkatan Kapasitas dan kualitas SDM KUD Mina Jaya dan LEPM3
5
Peningkatan kapasitas dan kualitas SDM nelayan sekoci
6
Penyelesaian konflik (illegal fishing) di rumpon nelayan sekoci
7
Peningkatan Mutu Hasil pasca tangkap
DPK Kab Malang dan KUD Mina Jaya dan Kelompok Nelayan
Dinas Koperasi dan DKP Kabupaten Malang
DKP Kabupaten Malang
KKP, DPK Pemprov Jatim, DKP Kab. Malang, Kelompok Nelayan, TNI AL, POLAIRUD DPK Pemprov Jatim, DKP Kab Malang dan Kel. Nelayan Rukun Jaya
192
Meningkatnya
keterlibatan
nelayan
dalam
pertemuan
formal
dan
penyusunan pembuatan kebijakan dapat menurunkan frekuensi konflik nelayan dan pemahaman yang tinggi dari nelayan terhadap kelestarian sumberdaya Madidihang. Sedangkan kebijakan pengembangan teknologi penangkapan diarahkan kepada proses penanganan dan pengawetan ikan hasil tangkapan di atas kapal, sehingga diperoleh ikan yang bermutu tinggi dan memiliki nilai jual tinggi. Diharapkan dengan diperolehnya nilai jual ikan yang tinggi, akan berdampak terhadap selektivitas alat tangkap, terkontrolnya penggunaan rumpon, sehingga penerapan teknologi penangkapan yang dilakukan dapat menjaga kelestarian sumberdaya Madidihang yang berkelanjutan Untuk mencapai sasaran sesuai dengan strategi dan kebijakan yang telah ditetapkan,
maka
dirumuskan
programāprogram
jangka
pendek
dalam
pengembangan perikanan Madidihang di PPP Pondokdadap Sendang Biru. Program-program ini dibuat berdasarkan atribut-atribut sensitif yang telah diuraikan dalam analisis Rapfish dan dirasakan sangat diperlukan untuk segera dilaksanakan dalam rangka memperbaiki pengelolaan sumberdaya perikanan Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur. Program pengembangan perikanan Madidihang pada jangka pendeknya seperti tersaji pada Tabel 39 di atas apabila dapat dilaksanakan dengan baik, niscaya kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan nelayan sekoci nelayan PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang akan berkelanjutan. 5.2 Skenario dan Strategi Jangka Menengah Kebijakan Operasional Pengembangan Perikanan Madidihang di Sendang Biru Pada skenario jangka menengah, strategi yang dilakukan adalah menyusun kebijakan yang dapat dioperasionalkan dalam jangka menengah, yaitu dengan melakukan interfensi dan perbaikan dalam upaya meningkatkan nilai skala pada atribut-atribut yang memiliki nilai sensitifitas tinggi, terutama yang terdapat dalam dimensi kelembagaan, yaitu atribut perusahaan inti dan PPP Pondokdadap. Kebijakan operasional jangka menengah ini disusun atas dasar pertimbangan:1) tingkat kesulitan, 2) besaran anggaran dan 3) pembangunan dan proses membutuhkan waktu dan ruang. Bentuk interfensi dari masing-masing atribut pada setiap dimensi perubahannya tersaji pada Tabel 40.
193
Tabel 40 Perubahan kenaikan atribut dan indikator kebijakan operasioanal pada skenario jangka menengah No 1
Dimensi Ekologi
Perubahan skor Awl Akh
Atribut 1. Pemahaman thd Lingkungan 2. Ikan belum matang gonad
0
1
1
2
3 0
5 1
0
1
1
2
1
2
1. Pendidikan formal 2. Keterlibatan Nelayan dlm membuat kebijakan 3. Status konflik 4. Pengalaman nelayan
0 1
2 2
0 1
1 2
1. Kondisi PPP Pondokdadap
0
2
2. Perusahaan Inti
0
2
3.22
2
2
Ekonomi
1. Harga ikan 2. PDRB 3. Transfer keuntungan
3
Teknologi
1. Penanganan tangkap 2. Pengawetan
4
5
Sosial
Kelembagaan
pasca
3. Kel.Nelyn Rukun Jaya
Indikator Keberhasilan Mengerti akan lingkungan, tidak merubah alat tangkap dari hand line menjadi purse seine Yang belum matang gonad (<10 kg) dibawah 10%. Ikan besar (>10 kg) di atas (90%) Harga ikan tinggi (> USD $ 3 000/ton Restribusi naik Berada di Kabupaten Malang (50%). Melakukan Gutting, visceral, Proses pengawetan rantai dingin (Chilled), mutu ikan baik (>70%) kualitas loin Ketrampilan meningkat Mengerti dan melaksanakan peraturan dan kesepakatan sedikit terjadi Konplik Skill meningkat Fasilitas TPI bersih, tersedia air, es dan sistem pelelangan fair, ada care master, ikan tuna di grade berdasarkan standar mutu, tersedia laboratorium, perluasan dermaga, adanya transit sheed, adanya conveyor, tersedia dock/sleepway, Kemitraan Inti-plasma dengan nelayan Sendang Biru Pembentukan Koperasi Perikanan
Pada atribut PPP Pondokdadap, kebijakan operasional yang dilakukan adalah berkaitan dengan efektivitas fungsi pelabuhan perikanan sebagaimana tertuang dalam peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 tahun 2006 tentang pelabuhan perikanan. Pasal 4 dalam peraturan fungsi dari pelabuhan perikanan dinyatakan bahwa fungsi dari pelabuhan perikanan, yaitu berfungsi untuk mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran. Dukungan yang harus dilakukan oleh pelabuhan perikanan tersebut, adalah: 1) pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan, 2) pelayanan bongkar muat, 3) pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan, 4) pemasaran dan distribusi ikan, 5) pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan, 6) pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan, 7) pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan, 8) pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan, 9) pelaksanaan kesyahbandaran, 10) pelaksanaan fungsi karantina ikan, 11)
publikasi hasil riset kelautan dan perikanan, 12)
194
pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari, dan 13) pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan, dan ketertiban (K3). Selanjutanya pada pasal 22 ayat 1 disebutkan untuk mendukung dari fungsi di atas, maka pelabuhan harus memiliki fasilitas pokok, fungsional dan penunjang. Paling tidak tersedianya fasilitas yang wajib ada pada pelabuhan perikanan untuk operasional tersebut (pasal 23), diantaranya yaitu:1) penyediaan fasilitas pokok: dermaga, kolam perairan, dan alur perairan, 2) pengadaan filitas fungsional: kantor, air bersih, listrik, dan fasilitas penanganan ikan. Berdasarkan fungsi pokok tersebut maka dalam memperbaiki atribut PPP Pondokdadap, kebijakan operasional yang dimasukkan dalam skenario jangka menengah adalah perbaikan fasilitas pokok, yaitu
perluasan dermada dan
pengadaan fasilitas penunjang yang berkaitan dengan peningkatan mutu hasil tangkapan, seperti pengadaan konveyor, transit sheed, laboratorium mutu. Hal ini penting dilakukan, mengingat daya tampung dari dermaga yang ada sudah melampaui kapasitas tampung. Sedangkan konveyor dan transit sheed dirancang untuk mempercepat proses bongkar muat ikan dari kapal, terutama untuk Madidihang, yang membutuhkan penanganan khusus, agar terhindar dari benturan fisik dan kontaminasi mikroba pada saat pembongkaran. Sedangkan pengadaan fasilitas transit sheed, dimaksudkan agar Madidihang terhindar dari kontaminasi, pada saat menjelang dilakukan lelang dan pengukuran kualitas ikan, seperti ukuran ketebalan lemak, warna daging, dan kandungan dari bakteri e.coli dan salmonella dan TPC, terutama untuk tuna berukuran besar yang ditujukan untuk pembuatan loin, steak bahkan shasimi. Selanjutnya pengadaan dock/sleepway, dimaksudkan agar fungsi pelabuhan dapat efektif dalam hal pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan, ketertiban dan pencemaran). Selama ini fungsi pengendalian tersebut belum berfungsi, sehingga nelayan mengganti oli dan memperbaiki kapal yang rusak dilakukan di tepi pantai, sehingga apabila dibiarkan terus menerus akan terjadi pencemaran di wilayah pesisir Sendang Biru. Perusahaan inti, dalam atribut kelembagaan menjadi atribut yang sangat sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan dari sistem perikanan tuna yang di lakukan oleh nelayan skala kecil seperti nelayan Sendang Biru. Kehadiran
195
perusahaan besar yang bergerak dalam pengolahan tuna, pada saat ini diharapkan oleh nelayan Sendang Biru. Perusahaan yang menampung tuna hasil tangkapan nelayan Sendang Biru, pada umumnya adalah perusahaan yang bergerak dalam pengalengan, seperti PT Aneka Tuna Indonesia di Pasuruan dan PT Avila di Banyuwangi. Perusahaan pengalengan tersebut, tidak ketat dalam menentukan standar mutu, sehingga kondisi tuna yang ada di Sendang Biru, khususnya Madidihang sebagian besar terserap oleh perusahaan tersebut. Perusahaan tersebut mengambil keuntungan dari buruknya kondisi PPP Pondokdadap pada saat ini, yaitu diperolehnya harga Madidihang yang murah, namun masih masuk pada standar mutu bahan baku pengalengan. Sehingga hampir semua pedagang antara ikan tuna yang ada di Sendang Biru merupakan agen dari ke dua perusahaan tersebut. Berdasarkan fenomena tersebut, terdapat presepsi pada nelayan bahwa proses lelang dilakukan atas dasar kesepakatan diantara para pedagang antara, sehingga harga ikan pada saat pelelangan menjadi murah. Untuk mengantisipasi permasalah tersebut, maka diperlukan perusahaan yang bergerak dalam pengolahan ikan tuna dalam bentuk lain, seperti pengolah loin, steak dan shashimi yang menuntut standar kualitas tinggi. Namun demikian, pada saat ini belum banyak perusahaan yang tergerak untuk mengolah Madidihang hasil tangkapan Sendang Biru menjadi bahan loin, steak dan shasimi, karena sebagain besar (>70%) produksi tuna hasil tangkapan nelayan Sendang Biru, masuk kategori rendah, yaitu hanya sesuai untuk proses pengalengan. Selain alasan tersebut, tidak banyak perusahaan yang mampu bersaing dalam perdagangan tuna dunia, karena dalam konteks perdagangan dunia, banyak hambatannya, seperti adanya kebijakan tarif dan non-tarif yang dikenakan oleh negara tujuan ekspor Indonesia. Hambatan non tarif yang diterapkan kepada produksi tuna Indonesia diantaranya adalah penerapan bea tarif masuk untuk tuna loin dan kaleng ke Uni Erofa (UE) sebesar 24%. Indonesia dikenakan tarif sebesar 12% melalui kuota ekspor yang di treviem setiap 5 tahun sekali. Jepang menerapkan tarif masuk sebesar 10-15% dan USA sebesar 10-15%. Indonesia mendapat fasilitas tarif sebesar 3.5% melalui Generalized system of preference (GSM) ke UE, sementara negara-negara ACP (Afrika,Caribian dan Pasific) dikenakan 0%. Hambatan non tarif lainya, adalah diberlakukannya kuota. Indonesia dibatasi dengan kuota,
196
kuota ekspor Indonesia untuk pasar UE sebesar 11% untuk tuna segar dan 12% untuk tuna olahan. Selain hambatan tarif, tuna Indonesia menghadapi hambatan non tarif, yaitu: 1) Technical Barrier to trade (TBT), yaitu hambatan yang berkaitan dengan regulasi teknis, prosedur konformitas (food labeling, quality requirements for fresh food, packaging dan processed food, product quality, labeling dan eco-labeling, tagging), 2) sanitary and phyto sanitary (SPS), yaitu hambatan yang terkait dengan aplikasi regulasi untuk kesehatan manusia, hewan dan tanaman (contaminant on sea food,residues and poisonous substances in sea food, health certificate, viruses free zones, genetical modified of organism, a higher level of health protection) dan 3) issue lainnya yang menyangkut IUU fishing, compliance issue, subsidi, isu lingkungan dan perdaganan lainnya (Hutagalung 2008). Berdasarkan kompleksitas dari perdagangan tuna, maka agar hasil tangkapan tuna nelayan Sendang Biru dapat dipasarkan, maka dalam pengembangan lebih lanjut harus ada pola kemitraan antara perusahaan dengan nelayan yang sinergis dalam bentuk plasma-inti. Perusahaan yang dimaksud adalah perusahaan multinasional yang sudah terpercaya, ditingkat nasional dan internasional, memiliki pasar luas dan memiliki kepedulian terhadap nelayan kecil. Dalam kebijakan operasional ini di usulkan adalah PT Kelola Mina Laut, karena pada saat ini perusahaan tersebut sedang melakukan pola kemitraan dengan nelayan tuna di Lombok (Najikh 2010). Agar terjadi pola yang sinergis, maka kelompok nelayan Sendang Biru diperbaiki dengan cara peningkatan status atau pembentukan koperasi nelayan seperti yang dilakukan oleh nelayan di Nagasaki Jepang. Berdasarkan kepentingan dan peranan tersebut, maka dalam skenario ke 2, pola kemitraan dan kelompok nelayan dijadikan atribut pengungkit. Apabila terjadi pola kemitraan, selain nelayan maka fungsi pelabuhan akan terdorong untuk meningkatkan pelayanan debagai mana disyaratkan dalam peraturan mentri Kelautan dan Perikanan No 16 tahun 2006. Adanya pola kerja sama dan perbaikan PPP Pondokdadap dalam dimensi kelembagaan, maka diikuti oleh meningkatnya nilai atribut yang ada pada dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial seperti pada Tabel 40 di atas.
197
Penerapan kebijakan operasional jangka menengah pada dimensi-dimensi yang memiliki atribut dengan nilai sensitifitas tinggi tersebut, apabila kebijakan operasional tersebut bisa berjalan dengan sesuai skenario, maka tingkat status keberlanjutan dari masing-masing dimensi tersebut mengalami peningkatan yang nyata (Gambar 50). Pada Gambar 50 menunjukan bahwa indeks status keberlanjutan dimensi yang memiliki indeks status dalam kategori kurang berkelanjutan meningkat menjadi sangat berkeberlajutan. Perubahan yang terjadi pada peningkatan indek keberlanjutan pada dimensi kelembagaan, berdampak positip terhadap perubahan nilai indeks status pada dimensi ekologi, ekonomi dan teknologi, yaitu yang semula memiliki kategori status cukup berkelanjutan, berubah menjadi sangat berkelanjutan.
Gambar 50 Diagram layang-layang nilai keberlanjutan setiap dimensi pada penerapan kebijakan operasional jangka menengah. Dengan demikian, terjadinya peningkatan kategori status pada masingmasing dimensi tersebut, diikuti peningkatan status keberlanjutan secara multidimensi (Tabel 41). Nilai indeks keberlanjutan dari multidemensi, hasil yang telah diferikasi oleh pakar pada analisis pairwise comparison,
sebelum
diinterfensi diperoleh nilai indeks sebesar 69.39% dengan kategori cukup berkelanjutan. Sedangkan setelah diinterfensi pada skenario-1 diperoleh nilai indeks status keberlanjutan sebesar 78.75 Namun demikian, setelah dilakukan
198
interfensi pada atribut PPP Pondokdadap dan Perusahaan inti, maka nilai indeks statusnya menjadi 84.27 dengan kategori sangat berkelanjutan (Tabel 41). Hal ini berarti, apabila dilakukan perbaikan sesuai dengan arahan kebijakan operasional tersebut, kegiatan perikanan Madidihang yang dilakukan oleh nelayan sekoci dapat diunggulkan sebagai kegiatan perikanan tuna tradisional (artisanal) yang berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan setelah mengalami interfensi pada masing-masing atribut tersebut tersaji pada Tabel 41. Tabel 41 Nilai indeks keberlanjutan pada skenario Jangka Menengah
1
Ekologi
Bobot Gab Penilaian Pakar (n=3) 0.3484
0.3762
69.35
89.35
76.06
23.67
33.61
33.61
2
Ekonomi
0.2995
0.3234
72.60
86.38
83.92
23.48
24.46
27.93
3
Teknologi
0.1238
0.1337
72.56
81.72
79.54
9.70
10.88
10.92
4
Sosial
0.1016
0.1097
39.44
59.66
59.00
4.32
5.98
6.54
Kelembagaan
0.0529
0.0572
39.57
92.04
89.12
2.26
3.81
5.26
0.9262
1.0000
287.09
399.1
78.75
84.27
No.
5
Aspek Keberlanjutan
Jumlah
Bobot Tertimbang
Nilai Aspek Keberlanjutan
Jumlah Nilai
TS
SKN2
Monte Carlo
TSKN
SKN1
SKN2
69.39
Keterangan: TSKN=tanpa skenario, SKN1=skenario 1, SKN2=skenario 2. Dari Tabel 41 dapat dilihat bahwa perbandingan nilai indeks keberlanjutan multidimensi untuk masing-masing atribut dalam dimensi, apabila dilakukan interfensi, menunjukkan perubahan yang nyata terhadap nilai indeks status keberlanjutan. Perbaikan melalui kebijakan operasional dengan melakukan pelatihan (skenario1) dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan dari status keberlanjutan. Sedangkan dengan dilakukannya pembangunan fasilitas yang mendukung serta adanya penghela (perusahaan inti), maka keterlibatan nelayan, peran perintah dan lembaga formal lainnya semakin meningkat. Dari hasil evaluasi terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan tuna yang dilakukan oleh nelayan sekoci Sendang Biru, mengindikasikan masih cukup berkelanjutan. Namun apabila dilakukan interfensi terhadap faktor-faktor yang memiliki nilai sensitifitas tinggi dan berpengaruh terhadap nilai indek keberlanjutan, maka statusnya menjadi semakin meningkat menjadi sangat berkelanjutan. Dari atribut-atribut, yang dievaluasi pada masing-masing dimensi atribut PPP Pondokdadap, Pola kemitraan dan KUD Mina Jaya merupakan faktor penentu dalam pembangunan sektor perikanan di Sendang Biru, khususnya
199
pengembangan Madidihang sebagai komoditas unggulan Kabupaten Malang. Namun demikian, agar dalam pengembangan sektor perikanan tuna dapat terus berkelanjutan, maka dalam perencanaannya perlu melibatkan semua stakeholders yaitu pemerintah, pengusaha, masyarakat, perguruan tinggi dan LSM. Sehingga faktor-faktor yang sensitif mempengaruhi nilai keberlanjutan bisa ditekan sedini mungkin. Sedangkan yang memberikan sensitifitas baik, bisa dipertahankan. Niscaya apabila kebersaman tersebut bisa dilaksanakan, potensi sumberdaya ikan tuna yang ada di perairan ZEEI (WPP 573), tidak terabaikan dan dapat dioptimalkan untuk peningkatan kemakmuran bersama. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka kebijakan pengembangan perikanan Madidihang pada jangka menengah yang harus dijalankan adalah kebijakan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang bersifat komprehensif yaitu lemahnya perhatian dalam pengelolaan yang mengakibatkan ketidakberlanjutan perikanan Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur yang belum dilaksanakan pada kebijakan operasional pada jangka pendek. Dari
hasil analisis Rapfish dan pairwise comparison dapat
diperoleh gambaran bahwa
kebijakan yang perlu dirumuskan pada program
operasional jangka menengah
difokuskan pada dimensi kelembagaan dan
ekonomi, namun pelaksanaan dari interfensi dapat dilaksanakan pada jangka menengah. Hasil pengelompokan dan urutan prioritas dari atribut yang sensitif, maka dirumuskan kebijakan yang perlu dilaksanakan adalah: 1. Pengembangan kapasitas kelembagaan yang mendukung kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru yang belum dilaksanakan pada program jangka pendek (dimensi kelembagaan). 2. Peningkatan kapasitas ekonomi terutama pembangunan sarana dan prasarana industri pengolahan ikan hasil tangkapan (dimensi ekonomi). Strategi yang dilakukan pada jangka menengah berkaitan dengan perumusan kebijakan dalam pengembangan kapasitas kelembagaan yang diarahkan kepada pengembangan dan pembangunan serta peningkatan pelayanan PPP Pondokdadap, yang meliputi: (1) perluasan dermaga dan pengadaan konveyor sebagai implementasi fungsi pokok dan penunjang pelabuhan perikanan pantai dalam pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas perikanan, serta
200
pelayanan bongkar muat, (2) pengadaan laboratorium mutu dan kantor pelabuhan sebagai pelaksanaan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan, fungsi karantina, pemasaran, pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan, pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan, publikasi hasil riset (3) penempatan syahbandar, sebagai
pelaksanaan fungsi pelayanan pada
kegiatan operasional kapal perikanan, pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan dan (4) Pembangunan dock/sleepway, sebagai pelaksaan fungsi pelayanan untuk perbaikan dan perawatan kapal, sebagai upaya pengendalian lingkungan (kebersihan, keamanan, dan ketertiban (K3). Pada pengembangan kapasitas kelembagaan, selain perbaikan dan pembangunan sarana dan prasarana PPP Pondokdadap, juga dilakukan strategi pengembangan pemasaran hasil, pengendalian mutu dan peningkatan dalam pengendalian sumberdaya Madidihang melalui kebijakan pemberdayaan pola kemitraan antara nelayan sekoci (plasma) dengan perusahaan (inti) yang bergerak dalam pengolahan tuna, seperti yang dilakukan oleh PT. Kelola Mina Laut Gresik dengan Koperasi nelayan tuna di Mataram (Najikh, 2010). Dengan demikian, untuk mendukung program tersebut, maka strategi lebih lanjut adalah dilakukannya
piningkatan kapasitas kelompok nelayan Rukun Jaya menjadi
koperasi nelayan yang mandiri. Pola ini penting dilakukan mengingat ikan Madidihang merupakan komoditas ekspor yang rentan terhadap peraturan dalam perdagangan dunia yang penuh rintangan dan hambatan, seperti adanya hambatan tarif dan non tarif. Dalam pelaksanaan operasional kerjasama, pihak plasma adalah nelayan yang tergabung dalam kelompok nelayan yang dihimpun dalam wadah koperasi, sedangkan inti adalah perusahaan swasta nasional yang bergerak dibidang Kelautan dan Perikanan. Dalam kerjasama ini, pihak inti tentunya perusahaan swasta nasional yang kredibel dan bankable, karena produk yang dihasilkan adalah Madidihang untuk tujuan ekspor, maka diharapkan perusahaan swasta nasional yang akan menjadi inti harus mempunyai jaringan pemasaran ekspor yang kuat dan pemasaran dalam negeri yang luas. Pelaksanaan pola plasma-inti tersebut akan bisa terwujud apabila adanya kebijakan atas dasar pengetian dan kerjasama yang terintegrasi antara pihak yang
201
berkaitan
dengan
pembangunan
perikanan
tangkap
Madidihang
yang
berkelanjutan. Adapun institusi yang perlu berperan dan memiliki keterkaitan, yaitu: 1.
Kementrian Kelautan dan Perikanan
2.
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur
3.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang
4.
Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten (BAPPEKAB) Malang
5.
Dinas Koperasi Kabupaten Malang
6.
PT. Perhutani
7.
Perusahaan Swasta Nasional sebagai Perusahaan Inti
8.
Koperasi nelayan sebagai wadah yang anggotanya terdiri dari para plasma. Kebijakan yang disusun selanjutnya memuat tentang pemberian tugas,
wewenang dan hak serta kewajiban dari para institusi yang terkait didalam pelaksanaan
pemberdayaan nelayan sekoci PPP Pondokdadap Sendang Biru
Kabupaten Malang. Adapun tugas dan wewenang dari masing-masing intansi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kementrian Kelautan dan Perikanan c.q. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, mempunyai tugas dan wewenang dalam hal melaksanakan : a. Penerbitan Surat Ijin Usaha Perikanan. b. Pengaturan dan perlindungan terhadap rumpon nelayan sekoci dan resolusi konflik dengan nelayan lainnya. c. Pembinaan teknis perikanan dan kepelabuhan perikanan d. Membangun sarana dan prasaran PPP Pondokdadap: perluasan dermaga dan pengadaan konveyor, pengadaan laboratorium mutu dan kantor pelabuhan, pengangkatan dan penempatan syahbandar, pembangunan dock/sleepway. 2. Dinas Kelautan dan Perikanan, bersama-sama dengan BAPPEKAB dan PT. Perhutani Kabupaten Malang, serta Dinas Koperasi Kabupaten Malang mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut : a. Pengadaan lahan untuk perluasan pelabuhan, pembangunan pabrik es, cold storage dan pemukiman nelayan plasma.
202
b. Penambahan daya listrik, air dan pemeliharaan fasilitas umum serta prasarana jalan dan usaha dikawasan pemukiman nelayan (plasma). c. Penyiapan surat perjanjian kerjasama antara perusahaan inti dengan nelayan plasma. d. Penyiapan dan pembentukan koperasi nelayan e. Melakukan bimbingan teknis tentang permodalan dan koperasi f. Melakukan bimbingan teknis pengelolaan lingkungan pemukiman. g. Penyelesaian pengurusan sertifikat hak atas tanah untuk lahan pekarangan dan pemukiman. h. Pemberian bantuan pengadaan air bersih, dan sarana penerangan di pemukiman plasma. 3. Perusahaan Inti, mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut : a. Penyelesaian status areal bagi lahan untuk fasilitas usaha. b. Membangun fasilitas usaha antara lain cold storage, unit pengolahan, dan pabrik es. c. Memberikan bimbingan teknis dan penetapan
kriteria ikan yang
ditangkap baik ukuran maupun mutu serta penanganan pasca tangkap. d. Membantu dan menyediakan permodalan untuk biaya melaut dan penyediaan es. e. Menampung dan memasarkan hasil tangkapan plasma dengan ketentuan harga yang layak berdasarkan hasil musyawarah antara perusahaan inti, pemerintah dan plasma. f. Pemberian asuransi kepada nelayan plasma. g. Memberikan bantuan pelaksanaan penyuluhan, pendaftaran dan seleksi calon plasma. h. Membantu pelaksanaan pengajuan kredit atau bertindak sebagai avalis bagi nelayan plasma yang mengajukan permodalan kepada pihak bank. i. Mengikut sertakan dan memberi kesempatan kerja kepada keluarga plasma dan penduduk sekitar dalam proses produksi. 4. Nelayan Plasma, mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut: a. Melakukan kegiatan penangkapan ikan sesuai dengan kesepakatan kerjasama antara inti dan plasma.
203
b. Mengikuti pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan oleh Pemerintah dan Perusahaan Inti. c. Memelihara kehidupan bermasyarakat antar sesama warga baik penduduk asli maupun pendatang dan masyarakat setempat disekitarnya. d. Memelihara kapal dan peralatannya sesuai dengan petunjuk teknis dari pemerintahan maupun perusahaan inti. e. Menjaga rumah, kebersihan dan kesehatan lingkungan serta fasilitas umum yang tersedia. f. Menjual semua hasil tangkapan kepada perusahaan inti. g. Menandatangani Perjanjian Kerja Bersama antara Plasma, Perusahaan Inti dan Koperasi Maritim. h. Mengembalikan kredit kapal, modal usaha dan perumahan sesuai peraturan. Kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan tersebut apabila dapat dilaksanakan sesuai dengan skenario, maka akan berdampak positip terhadap pertumbuhan ekonomi regional, khususnya di wilayah pesisir Sendang Biru Kabupaten Malang. Pendapatan dari hasil kegiatan perikanan akan berada di Kabupaten Malang, apabila tersedia pabrik es dan unit pengolahan lainnya, sehingga keuntungan yang diperoleh dari kegiatan tersebut tidak akan ditransfer (capital out flow) ke daerah lain, seperti yang terjadi pada saat ini. Dengan demikian, kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan sebagaimana tersebut di atas sesungguhnya tidak akan terlepas dari implementasi kebijakan pembangunan kapasitas ekonomi. Untuk mencapai sasaran sesuai dengan strategi dan kebijakan yang telah ditetapkan, maka dirumuskan programāprogram jangka menengah, yang dapat mendukung implementasi interfensi pada dimensi kelembagaan yang selanjutnya akan berdampak terhadap peningkatan indeks keberlanjutan pada dimensi ekologi, ekonomi, teknologi dan sosial. Program-program pada jangka menengah ini, dibuat berdasarkan atribut-atribut sensitif yang telah diuraikan dalam analisis Rapfish dan pairwise comparison yang dirasakan sangat diperlukan untuk segera dilaksanakan dalam rangka memperbaiki pengelolaan sumberdaya perikanan Madidihang di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur. Adapun
204
program-program pengembangan perikanan Madidihang pada jangka menengah disajikan pada Tabel 42. Tabel 42 Strategi dan program implementasi kebijakan pengembangan kapasitas kelembagaan pada kegiatan perikanan Madidihang di PPP Pondokdadap pada program jangka menengah No Strategi Program Pelaksana Pembangunan KKP, DPK 1 1. Perluasan dermaga, pengadaan kapasitas dan konveyor, pengadaan laboratorium Pemprov Jatim, kualitas PPP DKP Kabupaten mutu dan kantor pelabuhan, Pondokdadap Malang, pembangunan dock/sleepway.
2
3
Peningkatan Kapasitas Kel. Nelayan Rukun Jaya Pemberdayaan nelayan dengan pola plasma-inti
4
Pengadaan fasilitas penunjang
5
Pengawasan dan perlindungan rumpon nelayan di ZEEI
6
Penyelesaian konflik (illegal fishing) di rumpon nelayan sekoci
2. Pengadaan air bersih, peningkatan daya listrik 3. Penyedian lahan untuk perluasan pelabuhan, fasilitas usaha dan pemukiman 4. Pembentukan koperasi nelayan 5. Pelatihan sistem perkoperasian, permodalan dan perkreditan
Bapekap dan PT. Perhutani Malang
DKP Kabupaten Malang, Dinas Koperasi Kab. Malang
6. Penentuan perusahaan swasta nasional sebagai inti 7. Penentuan nelayan sebagai plasma 8. Pembuatan perda tentang pola kerjasama plasma-inti 9. Bimbingan teknis mengenai kriteria ikan yang ditangkap dan mutu 10. Penandatangan nota kesepahaman antara perusahaan initi dan nelayan 11. Pelaksanaan pola plasma-inti 12. Pengawasan pelaksanaan program plasma-inti 13.Pembangunan pabrik es dan cold storage 14. Pembangunan unit pengolahan
DPK Kabupaten Malang dan Perusahaan inti dan Koperasi nelayan dan perusahaan inti
15. Penyusunan atau revisi tambahan mengenai peraturan dan perlindungan terhadap rumpon nelayan kecil di perairan ZEEI 16. Penyelesaian atau resolusi konflik antara nelayan sekoci dan nelayan purs seine dan longline 17. Resolusi konflik antara nelayan sekoci dengan nelayan purse seine dari Pekalongan dan Muara Angke serta nelayan long line Benoa. 18. Efektivitas Pokwasmas bersama antara nelayan sekoci dengan nelayan Pekalongan , Muara Anke dan Benoa
KKP, TNI AL, POLAIRUD, DPK Pemprov Jatim, DKP Kabupaten Malang, Kelompok nelayan KKP, DPK Pemprov Jatim, DKP Kab. Malang, Kelompok Nelayan, TNI AL, POLAIRUD
Perusahaan inti