4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Keadaan Umum Kota Bogor Kota Bogor merupakan kota pendukung DKI Jakarta yang merupakan ibukota negara Republik Indonesia. Letak geografis Kota Bogor antara 106o48’ Bujur Timur dan 6o30’ Lintang Selatan. Udara Kota Bogor cukup sejuk dengan rerata suhu harian 25oC dan kelembaban udaranya sekitar 70%. Luas Kota Bogor adalah 11.850 ha yang terbagi dalam 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 37 desa. Jumlah penduduk kota ini pada tahun 2002 dan 2003 masing-masing berjumlah 789.423 orang, 820.707 orang dan pada tahun 2005 sebanyak 858.396 orang (Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2006). Kota ini terletak pada daerah perbukitan yang bergelombang dengan ketinggian yang bervariasi antara 190 - 350 m dpl. Kemiringan lahan antara 0-2% seluas 1.763,94 ha, kemiringan 2-15% seluas 8.091,27 ha, 15-25% seluas 1.109,89 ha, 25-40 % seluas 764,96 ha, serta lahan dengan kemiringan lebih dari 40% seluas 119,94 ha. Tipe iklim Kota Bogor menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson termasuk wilayah dengan tipe iklim A. Curah hujan tahunannya antara 3.200-4.600 mm serta hari hujan 200-270 hari dalam setahun. Curah hujan tertinggi biasanya terjadi pada bulan Januari sebanyak 629 mm/bulan dan terendah pada bulan September 118 mm/bulan. 4.1.2. Kependudukan Penduduk merupakan aspek yang penting dalam perencanaan dan pengelolaan kota, karena banyak permasalahan lingkungan berawal dari masalah kependudukan. Oleh sebab itu, data-data mengenai kependudukan ini sangat diperlukan dalam program penyusunan pengelolaan kota. Perkembangan jumlah penduduk di Kota Bogor dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2005 mengalami perkembangan yang berbeda-beda setiap tahunnya, seperti terlihat pada Tabel di bawah ini. Rerata pertambahan penduduk di Kota Bogor pada tahun 1999 - 2005 sekitar 3,06% per tahun (Bapeda Kota Bogor 2005). 53
Tabel 15. Jumlah dan laju pertambahan penduduk Kota Bogor No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tahun
Jumlah Penduduk
Jumlah Pertambahan Penduduk
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
671.405 673.880 680.514 697.496 714.711 760.329 789.423 820.707 845.328 858.396
23.493 2.475 6.634 16.982 17.215 45.618 29.094 31.284 24.621 13.058
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bogor (2006). Pertambahan penduduk selain dipengaruhi oleh kelahiran dan kematian juga dipengaruhi oleh migrasi. Rerata jumlah pendatang per tahun sebanyak 6.570 orang dan yang pindah sebanyak 7.586 orang (Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2004). Penyebaran penduduk cenderung agak merata di seluruh wilayah Kota Bogor. Jumlah penduduk pada tahun 2004 terbesar di Kecamatan Bogor Barat 184.464 orang yang menempati wilayah seluas 32,85 Ha yang mengelompok di Kelurahan Menteng sebanyak 18.533 orang dan terendah di Kelurahan Pasir Mulya sebanyak 4.446 orang. Berdasarkan kecamatan, jumlah penduduk terendah terdapat di Kecamatan Bogor Timur yaitu sebesar 83.907 orang yang menempati wilayah seluas 10,15 Ha. Kepadatan penduduk Kota Bogor pada tahun 1999 sebesar 5.005 orang/km2 dan tahun 2004 menjadi 7.017 orang/km2. Pada tahun 1999 kepadatan terbesar di Kecamatan Bogor Tengah sebesar 12.840 orang/km2, dan pada tahun 2004 kepadatan terbesar masih di Kecamatan Bogor Tengah yaitu sebesar 12.943 orang/km2. Kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Bogor Selatan yaitu sebesar 5.300 orang/km2. Pada tahun 2004 jumlah penduduk berdasarkan pengelompokan usia di Kota Bogor adalah sebagai berikut: usia sekolah (0-14 tahun) mencapai 234.728 orang 54
(28,23 %), usia produktif (15-55 tahun) 529.743 orang (63,7 %), usia lanjut usia (55 tahun keatas) hanya 67.100 orang (8,07%). Jika dilihat dari pengelompokan jumlah penduduk menurut struktur umur, sebarannya relatif merata di setiap kecamatan (Bapeda Kota Bogor 2004). Dengan adanya pertambahan jumlah penduduk, tanpa adanya perubahan nilai laju pertambahan penduduk sampai tahun 2100 yakni sebesar 3,06%, maka dengan perhitungan secara time series diperkirakan jumlah penduduk Kota Bogor di masa yang akan datang adalah sebagai berikut: Tabel 16. Perkiraan jumlah penduduk Kota Bogor sampai tahun 2100 Tahun
Jumlah Penduduk (orang)
2010 2020 2030 2040 2050 2060 2070 2080 2090 2100
998.019 1.349.088 1.823.651 2.465.149 3.332.304 4.504.495 6.089.020 8.230.927 11.126.282 15.040.123
Dari Tabel 16 dapat dinyatakan bahwa penduduk Kota Bogor dengan laju pertambahan penduduk sebesar 3,06% per tahun tetap sampai tahun 2100, diperkirakan jumlah penduduknya pada tahun 2100 akan menjadi 15 juta orang. 4.1.3. Transportasi Kota Bogor merupakan kota penghubung antara Jakarta, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Rangkas Bitung dan Tangerang. Oleh sebab itu, transportasi yang ada di dalam Kota Bogor selain angkutan dalam kota, dan angkutan perkotaan juga ada angkutan kota dalam propinsi dan angkutan kota antar propinsi. Jumlah setiap jenis angkutan dari tahun 1999 – 2003 terdapat pada Gambar berikut ini.
55
Angkutan Kota
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
5000 4000 Jumlah
Jumlah
Angkutan Perkotaan
3000 2000 1000 0
1999
2000
2001
2002
1999
2003
2000
Jumlah
Jumlah
1000 800 600 400 200 0 2001
2003
2002
2003
Angkutan AKAP
AngkutanAKDP
2000
2002
Tahun
Tahun
1999
2001
2002
1200 1000 800 600 400 200 0
2003
Tahun
1999
2000
2001 Tahun
Gambar 10. Perkembangan jumlah kendaraan angkutan kota, angkutan perkotaan, angkutan kota dalam propinsi dan angkutan kota antar propinsi tahun 1999 – 2003. Khusus untuk angkutan kota yang beroperasi di dalam Kota Bogor pada tahun 2006 saja dapat dilihat pada Tabel berikut ini.
56
Tabel 17. Rute dan jumlah angkutan kota di wilayah Kota Bogor No.
Kode
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
01 01A 02 03 04 05 06 07 07A 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Jurusan
Jumlah
Cipinang Gading - Cipaku - Term Merdeka Baranang Siang – Ciawi Sukasari - Terminal Bubulak Baranangsiang – Bubulak Ramayana – Rancamaya Ramayana - Pangrango - Cimahpar Ramayana - Jl. Bangka - Ciheuleut Warung Jambu - H. Juanda - Merdeka Ps. Anyar - Air Mancur - Pondok Rumput Warung Jambu - H. Juanda - Ramayana Warung Jambu - Pajajaran - Sukasari Bantar Kemang - Sukasari - Merdeka Pajajaran - Pasar Bogor Cimanggu - Ma. Salmun – Pasar Anyar Bantar Kemang - Jl. Bangka - Ramayana Sukasari – Cibalagung – Pasir Kuda - Bubulak Terminal Merdeka - Bubulak – Sndang Barang Jero Pasar Anyar – Salabenda Pomad - Tanah Baru- Bina Marga Ramayana – Mulyaharja Terminal Bobolak - Kencana Pasar Anyar - Kencana Jumlah
13 190 585 382 185 162 169 238 53 230 144 92 45 182 155 112 101 239 55 43 75 56 3.506
Sumber : DLLAJ Kota Bogor (2006a) Pertambahan jumlah kendaraan pribadi, sepeda motor dan angkutan kota di Kota Bogor terjadi pesat. Wijaya (2004) telah meneliti jumlah kendaraan dan laju pertambahannya untuk memperkirakan jumlahnya di masa yang akan datang. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Perkiraan jumlah kendaraan bermotor Tahun 2008 – 2010 Jumlah Kendaraan Tahun 2008
Mobil Pribadi 11.977
Mobil Penumpang 5.933
Truk dan Bus 8.864
Motor 74.608
2009
12.335
5.973
8.687
78.050
2010
12.704
6.013
8.513
81.651
Sumber: Wijaya (2004).
57
Pola jaringan jalan di Kota Bogor cenderung berbentuk radial dengan Istana Presiden dan Kebun Raya Bogor sebagai pusatnya. Hal ini mengakibatkan bertumpuknya perjalanan di daerah tersebut. Pergerakan kendaraan dari satu daerah ke daerah yang lain di Kota Bogor cenderung melalui pusat kota, karena jalan utama yang ada mengarah ke pusat kota, sementara jalan antar wilayah tidak dilengkapi dengan jalan pendukung. Mengingat panjang jalan relatif tidak bertambah, maka belakangan ini terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan panjang jalan dengan jumlah kendaraan yang ada. Hal ini ditandai dengan sering terjadinya kemacetan lalu lintas, terutama pada saat berangkat kerja dan sekolah serta ketika saat pulang. Data tentang panjang jalan di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Panjang jalan di Kota Bogor pada tahun 2004 Wewenang Pembinaan No
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bogor Tengah Bogor Utara Bogor Timur Bogor Selatan Bogor Barat Tanah Sareal JUMLAH
Nasional (km) 13.218 1.780 3.400 7.135 2.416 2.250 30.199
Propinsi (km) 1.596 5.455 2.500 9.708 7.500 26.759
Kota (km) 59.926 136.301 71.771 112.236 80.701 102.702 563.637
Jumlah (km) 74.740 143.536 75.171 121.871 92.825 112.452 620.595
Sumber : Dinas Pekerjaan Umum Binamarga Kota Bogor (2004) 4.1.4. Penggunaan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bahan bakar minyak yang berupa bensin dan solar banyak dipergunakan untuk kendaraan bermotor. Oleh sebab itu, kendaraan bermotor merupakan pengemisi gas CO2 yang terbesar. Semakin banyak jumlah kendaraan, maka emisi gas CO2 akan semakin banyak pula. Wijaya (2004) menyatakan jumlah kendaraan yang berlalu-lalang di Kota Bogor sampai tahun 2014 akan meningkat seperti terlihat pada Tabel 20.
58
Tabel 20. Perkiraan jumlah kendaraan bermotor tahun 2008 – 2014 Tahun
Jumlah Kendaraan Mobil Pribadi
Mobil Penumpang
Truk dan Bus
11.977 12.335 12.704 13.084 13.475 13.878 14.293
5.933 5.973 6.013 6.053 6.094 6.135 6.176
8.864 8.687 8.513 8.342 8.175 8.011 7.851
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Motor 74.608 78.050 81.651 85.418 89.359 93.481 97.794
Sumber: Wijaya (2004) Berdasarkan data dari Pertamina Unit Pemasaran III Jakarta penggunaan bahan bakar minyak dan gas untuk Kota Bogor pada tahun 2003 dan 2004 adalah sebagai berikut : Tabel 21. Pemakaian bahan bakar minyak dan gas di Kota Bogor tahun 20032004 Tahun
Bensin (KI)
Solar (Kl)
2003
107.568
2004
114.152
LPG (TON)
Gas *) (m3)
M. Tanah (Kl)
M.Diesel (Kl)
29.175
69.540
5.052
2.075
222.068
26.257
69.530
5.264
6.422
238.545
Sumber : PT. Pertamina Unit Pemasaran III Jakarta (2004) *) PT Gas Negara (2004). Penjualan bensin dan solar dilakukan oleh 14 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang tersebar di seluruh Kota Bogor. Penjualan minyak tanah melalui 12 agen penjualan, sedangkan untuk penjualan LPG dilakukan oleh 2 agen saja (PT Pertamina Unit III 2004). Dengan melihat jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2003 sebanyak 820.707 orang dan tahun 2004 sebanyak 831.571 orang, maka dari data tersebut dapat dinyatakan bahwa rerata penggunaan masing-masing bahan bakar minyak dan gas per orang sebanyak 134,19 l/orang/tahun untuk bensin, 33,55 l/orang/tahun untuk solar, 6,24 l/orang/tahun untuk minyak diesel, 84,17 l/orang/tahun untuk minyak tanah, 5,14 kg/orang/tahun untuk LPG dan 0,28 m3/orang/tahun untuk penggunaan gas dari PT Gas Negara. 59
Jika diasumsikan bahwa penggunaan bahan bakar pada saat penelitian dilakukan tidak berbeda dengan penggunaan bahan bakar di masa yang akan datang, maka kebutuhan bahan bakar pada tahun
2010-2100 adalah sebagai
berikut : Tabel 22. Kebutuhan bahan bakar minyak dan gas untuk tahun 2010 – 2100 Tahun 2010 2020 2030 2040 2050 2060 2070 2080 2090 2100
Bensin (x 106 l) 126,04 142,60 154,09 162,06 167,59 171,43 174,09 175,93 177,22 178,10
Solar (x 106 l) 31,51 35,66 38,53 40,52 41,91 42,86 43,53 43,99 44,31 44,53
M. Tanah (x 106 l) 79,06 89,44 96,65 101,65 104,83 107,53 109,22 110,35 111,16 111,72
M. Diesel (x 106 l) 5,86 6,63 7,17 7,54 7,79 7,97 8,10 8,18 8,24 8,28
LPG (x 106 kg) 4,83 5,46 5,90 6,21 6,42 6,57 6,67 6,74 6,79 6,82
Mengingat bahan bakar yang dipergunakan di Kota Bogor selain bensin, solar, minyak tanah dan LPG juga dipergunakan gas kota yang dikelola oleh PT Gas Negara, maka pembahasan khusus mengenai masalah ini akan dibahas berikut ini. Gas Negara Distribusi gas oleh PT. Gas Negara melalui jaringan pipa gas dengan tekanan 15 bar sepanjang 143.627 km yang dikendalikan oleh 2 unit stasiun gas penerima di Cibinong dan Cimanggis. Jaringan pipa distribusi gas dengan tekanan sebesar 2 bar sepanjang 5.385 km yang dikendalikan oleh 2 unit stasiun gas penyalur. Sedangkan jaringan pipa distribusi bertekanan 0,1 bar sepanjang 259.903 km yang dikendalikan oleh 23 stasiun gas penyalur yang tersebar di wilayah Kota Bogor. Sampai bulan September 2003, jumlah pelanggan sebanyak 14.785 yang terdiri dari 14.500 pelanggan rumah tangga, 187 pelanggan komersil dan 98 pelanggan industri. Volume pemakaian energi gas bagi masyarakat kota yang dilayani oleh PT. Gas Negara Distrik Bogor telah mencapai 3,6 juta m3 untuk rumah tangga, 1,2 juta m3 untuk komersil dan 204 juta m3 untuk industri dengan total pemakaian gas sebanyak 208,8 juta m3 (Badan Pusat Statistik Kota
60
Bogor 2005). Berikut ini disajikan data tentang jumlah pelanggan gas dari tahun 1999 - 2003. Tabel 23. Jumlah pelanggan PT Gas Negara Tahun 1999-2003 Tahun
Jumlah Pelanggan
1999
7.215
2000
8.953
2001
9.241
2002
10.223
2003
14.785
Sumber : Walikota Bogor (2003) Tabel 24. Banyaknya gas yang terjual melalui pipa Kota Bogor No.
Bulan
Jumlah (m3)
1
Januari
2001 11.579.000
2
Februari
11.493.000
13.270.730
17.297.050
18.550.875
3
Maret
12.889.000
14.834.346
19.126.233
20.179.680
4
April
13.445.000
15.557.573
17.961.335
19.487.582
5
Mei
13.628.000
15.850.996
19.179.314
20.360.933
6
Juni
12.933.000
16.110.341
19.108.292
20.260.707
7
Juli
14.698.000
16.691.487
20.204.771
20.757.442
8
Agustus
14.945.000
17.024.780
19.027.313
20.208.152
9
September
13.962.000
17.268.507
18.854.766
19.768.034
10
Oktober
14.299.000
18.259.042
18.586.299
21.221.929
11
November
12.971.000
18.640.988
14.011.772
15.593.702
12
Desember
11.000.000
11.969.810
19.294.008
23.301.715
157.842.000
189.081.288
221.865.559
238.545.050
Jumlah
2002 13.602.688
2003 19.214.406
2004 18.854.299
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bogor (2005) Mengingat jumlah emisi gas CO2 dari gas negara kurang dari 1% dari keseluruhan emisi dari bahan bakar minyak dan gas, maka dalam perhitungan selanjutnya emisi dari gas negara tidak dimasukkan dalam perhitungan. 61
4.1.5. Emisi Gas CO2 Antropogenik Penggunaan bensin, solar, minyak tanah, minyak diesel dan LPG menghasilkan gas CO2. Emisi gas CO2 pada tahun 2006 dari masing-masing bahan bakar dapat dilihat pada Gambar 11. Emisi Gas CO2 tahun 2006 2%
3% 33%
48%
14% Bensin
Solar
M. tanah
M. Diesel
LPG
Gambar 11. Emisi gas CO2 di Kota Bogor tahun 2006 Dari Gambar 11 dapat dikemukakan bahwa emisi terbesar berasal dari bensin 48%, minyak tanah 33%, solar 14%, minyak diesel 3% dan LPG 2%. Prediksi jumlah emisi gas CO2 di Kota Bogor tahun 2010 – 2100 sebagai berikut: Tabel 25. Jumlah emisi gas CO2 di Kota Bogor tahun 2010 - 2100 Tahun
Ton
Emisi CO2 Setara ppmv (x 10-5)
2010
600.216
7,69
2020
679.089
8,70
2030
733.807
9,40
2040
771.768
9,88
2050
798.104
10,20
2060
816.374
10,50
2070
829.049
10,60
2080
837.842
10,70
2090
843.943
10,80
2100
848.175
10,90
62
Dari Tabel 25 dapat dinyatakan bahwa emisi gas ini terus bertambah. Tahun 2010 emisinya 600.216 ton, sedangkan tahun 2100 menjadi 848.175 ton. Dari simulasi emisi gas CO2 di Kota Bogor pada tahun 2007 sebanyak 0,57 juta ton. Sementara Syakuroh (2004) memperkirakan emisi gas ini dari bahan bakar minyak dan gas tahun 2007 di Kabupaten Bogor sebanyak 15,36 juta ton. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa emisi gas CO2 antropogenik di Kota Bogor lebih kecil daripada emisi gas ini di Kabupaten Bogor. Walaupun demikian, Kota Bogor harus ikut dalam program pengembangan hutan kota, agar gas CO2 antropogenik sebagian atau seluruhnya dapat diserap oleh pepohonan hutan kota. Dengan demikian laju penambahan gas ini dapat ditekan serendah mungkin. 4.1.6. Konsentrasi Gas CO2 Ambien Tahun 2006/2007 Data kepadatan lalu lintas menurut waktu khususnya mobil diperlukan untuk menentukan waktu pengambilan sampel ambien gas CO2. Data kepadatan di 5 lokasi dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini. 1400
1200
1000
800
600
(a)
63
1000 950 900 850 800 750 700
(b) Gambar 12. Rerata jumlah mobil yang melewati 5 jalur lokasi penelitian selama 1 Minggu pada (a) musim kemarau tahun 2006 dan (b) musim penghujan tahun 2007. Dari data tersebut dapat dinyatakan bahwa kepadatan lalu lintas tertinggi terjadi antara pukul 07.00-07.30 pada musim kemarau maupun musim penghujan. Rerata jumlah kendaraan yang melewati kelima jalur jalan tersebut pada musim kemarau antara 45.401-47.433 kendaraan per hari, sedangkan pada musim penghujan antara 34.852-45.684 kendaraan per hari. Rerata kepadatan kendaraan tertinggi di Baranang Siang dan terendah di pertigaan Ekalokasari. Data selengkapnya tentang jumlah kendaraan yang melewati ke lima jalur jalan dapat dilihat pada Tabel 26 di bawah ini. Tabel 26. Jumlah kendaraan di 5 lokasi pada musim kemarau 2006 dan musim penghujan 2007 Lokasi Warung Jambu Baranang Siang Ekalokasari Pasar Bogor Jembatan Merah
Jumlah Kendaraan Tahun 2006 Tahun 2007 (kemarau) (penghujan) 46.010 45.563 47.719 45.684 45.401 34.852 47.433 44.536 46.307 43.593
Rerata 45.787 46.702 40.126 45.985 44.950 64
Dari data pada Tabel 26 dapat dikemukakan bahwa pada musim kemarau tahun 2006 jumlah kendaraan yang melewati Baranang Siang merupakan kepadatan tertinggi yang kemudian diikuti oleh Pasar Bogor. Kepadatan kendaraan paling rendah terdapat di Ekalokasari. Pada musim penghujan di tahun 2007 juga mempunyai kecenderungan yang sama yakni tertinggi di Baranang Siang dan terkecil di Ekalokasari. Hasil pengukuran kandungan gas CO2 ambien yang diukur pada jam 07.3009.00 bulan Februari 2006 di 5 lokasi dapat dilihat pada Tabel 27. Rerata kandungan CO2 ambiennya dari 5 lokasi siang dan malam hari adalah 387,49 ppmv. Rerata konsentrasi gas CO2 siang hari sebesar 389,87 ppmv dan malam hari sebesar 385,11 ppmv. Rendahnya konsentrasi gas CO2 di malam hari nampaknya ada hubungannya dengan rendahnya jumlah kendaraan di malam hari. Hasil pengukuran konsentrasi gas CO2 di 5 lokasi siang dan malam hari, sebagai penelitian pendahuluan disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Konsentrasi gas CO2 di 5 lokasi pengukuran siang dan malam hari di bulan Februari 2006 (ppmv) Lokasi Warung Jambu Baranang Siang Ekalokasari Jembatan Merah Hutan Penelitian Dramaga Rerata
Waktu Pengukuran Siang hari Malam hari 389.96 387.18 401.62 389.51 380.16 378.93 396.85 390.90 380.76 379.02 389.87 385.11
Data ini dianggap sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Hawaii pada tahun 2004. Keeling dan Whorf (2005) menyatakan hasil pengukuran pada 4 buah menara dengan ketinggian 7 meter dan 1 buah menara dengan ketinggian 27 meter di Mauna Loa, Hawaii menunjukkan bahwa konsentrasi gas CO2 pada tahun 1959 sebesar 315,98 ppmv dan pada tahun 2004 menjadi 377,38 ppmv (http://en.wikipedia.org/wiki/Carbon dioxide 2006). Penelitian berikutnya dilakukan pada bulan Juni 2006 dan Februari 2007. Berdasarkan data kepadatan kendaraan tertinggi terjadi pada pukul 07.00 sampai pukul 07.30 masih tinggi juga. Oleh sebab itu, pengukuran gas CO2 ambien 65
berikutnya dilakukan antara pukul 07.30 – 10.00. Hasil pengukuran kandungan gas CO2 di 10 lokasi dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28. Konsentrasi gas CO2 ambien pada lokasi padat dan kurang padat kendaraan bermotor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Lokasi Warung Jambu Baranang Siang Ekalokasari Jembatan Merah Pasar Bogor Hutan Penelitian Dramaga Lapangan bola Indraprasta Bogor Lake Side Taman Wisata Cimanggu Ciremai Ujung Rerata
Juni 2006 (Kemarau) 401,06 403,64 380,72 401,06 399,87 382,77 383,57 383,38 387,14 385,91 390,91
Februari 2007 (Penghujan) 398,05 403,44 379,32 400,05 397,61 380,88 383,83 383,77 383,12 387,85 388,87
Dari data pada Tabel 27 dan 28 dapat disimpulkan bahwa konsentrasi gas CO2 bervariasi berdasarkan tempat dan waktu. Selanjutnya dari Tabel 29 dapat dikemukakan bahwa rerata konsentrasi gas CO2 pada tahun 2006/2007 sebesar 389,89 ppmv. Di lokasi yang potensial tercemar yaitu di tengah jalan raya di Warung Jambu, Baranang Siang, Ekalokasari, Jembatan Merah dan Pasar Bogor rerata konsentrasi gas CO2 pada musim kemarau adalah 397,27 ppmv dan pada musim hujan 395,11 ppmv. Sedangkan di 5 lokasi yang kurang padat kendaraan yaitu Hutan Penelitian Dramaga, Lapangan bola Indraprasta, Bogor Lake Side, Ciremai ujung dan Taman Koleksi Cimanggu rerata konsentrasi gas CO2 pada musim kemarau adalah 384,55 ppmv dan pada musim hujan 383,89 ppmv. Nilai konsentrasi gas CO2 di Kota Bogor sudah melebihi angka 350 ppmv. Dengan semakin tingginya jumlah emisi gas CO2, maka diperlukan pengendalian jumlah emisi dan atau memperbesar kapasitas sink, agar konsentrasi ambiennya tidak terus meningkat. Hal ini dimaksudkan agar pemanasan global melalui efek rumah kaca dapat dikendalikan. Metro TV pada tanggal 18 Agustus menyiarkan bahwa kutub Selatan mengalami penyusutan permukaan es yang terparah. Jika hal ini dibiarkan, maka diperkirakan es yang menyelimuti kutub Selatan akan hilang pada tahun 2030. 66
Nilai rerata konsentrasi gas CO2 sebesar 389,89 ppmv akan digunakan sebagai nilai level dalam program Powersim. Level lainnya yang digunakan dalam program ini akan dibahas lebih lanjut dalam Bab 4.2.5. tentang Analisis Kecukupan Luasan Hutan Kota Berdasarkan Daya Sink Gas CO2. 4.1.7. Penggunaan Lahan Kota Bogor terletak 60 km dari DKI Jakarta dan merupakan salah satu alternatif permukiman untuk para penglaju (commutter) yang bekerja di Jakarta. Oleh sebab itu, jumlah rumah meningkat secara nyata yang ditunjukkan oleh meningkatnya penggunaan lahan untuk permukiman, ruko dan lahan terbangun lainnya. Akibatnya, banyak terjadi alih fungsi sawah, kebun dan ruang terbuka hijau lainnya menjadi lahan permukiman dan lahan terbangun lainnya. Data tentang lahan terbangun dan tidak terbangun pada tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Luas lahan Kota Bogor berdasarkan keterbangunan tahun 2003 Luas Lahan (Ha) Tak Terbangun Terbangun Bogor Selatan 1.756 1.325 Bogor Timur 830 185 Bogor Utara 1.214 557 Bogor Tengah 807 7 Bogor Barat 2.199 1.077 Tanah Sareal 1.381 504 Total 8.187 3.655 Kecamatan
Total 3.081 1.015 1.771 814 3.276 1.885 11.842
Persentase Tak Terbangun Terbangun 56,99 43,01 81,77 18,23 68,55 31,45 99,14 0,86 67,12 32,88 73,26 26,74 69,14 30,86
Sumber: Bapeda Kota Bogor (2004). Dari data tersebut dapat dinyatakan bahwa persentase lahan tak terbangun sangat bervariasi berdasarkan kecamatan. Tingginya persentase lahan terbangun nampaknya disebabkan karena Kota Bogor merupakan penyangga ibukota negara yang sangat membutuhkan lahan untuk permukiman, pemerintahan, tempat pendidikan, olahraga, perdagangan dan jasa serta beberapa kegiatan lainnya. Oleh sebab itu, rencana pemanfaatan lahan sampai tahun 2009 perlu disusun. Rencana pemanfaatan lahan sampai tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 30.
67
Tabel 30. Pemanfaatan lahan tahun 1996 dan rencana pemanfaatan lahan pada tahun 1999 – 2009 Jenis Pemanfaatan Lahan Permukiman Jasa dan Perdagangan Industri Pertanian Kebun Raya Taman/Olahraga Kuburan Penggunaan lain Jumlah Sumber:
1) 2)
Pemanfaatan Lahan Tahun 1996 1) Ha % 7.517,90 63,44 237,68 2,00 94,74 0,80 2.888,24 24,37 87,00 0,73 49,15 0,41 186,64 1,57 788,65 6,68 11.850 100
Rencana Pemanfaatan Tahun 1999-2009 2) Ha % 8.741,89 73,35 437,41 3,69 167,96 1,42 249,21 2,10 87,00 0,73 342,33 2,89 305,96 2,58 1.518,24 12,81 11.850 100
Bapeda Kota Bogor (1997). DLLAJ (2006b).
Dari data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengalihan peruntukkan lahan menjadi lahan permukiman sangat tinggi. Sebaliknya alokasi lahan untuk pertanian menjadi sangat rendah. P4W LPPM IPB (2006) menyatakan, lahan terbangun yang dianalisis berdasarkan citra pada tahun 2005 sebesar 52,9% (6.268.650 ha) dan jumlah penduduk pada waktu itu 858.396 orang. Ini berari kebutuhan lahan terbangun per orang sebesar 73,02 m2/orang. Namun dengan melihat kecenderungan penggunaan lahan permukiman yang semakin menyempit, maka dalam perhitungan nilai kebutuhan lahan terbangun digunakan angka 70 m2/orang. 4.1.8. Ruang Terbuka Hijau dan Hutan Kota Telah dijelaskan terdahulu bahwa peralihan peruntukan lahan dari lahan bervegetasi ke lahan terbangun sangat tinggi. Hal ini telah mengakibatkan luasan ruang terbuka hijau yang semula berupa sawah, kebun dan hutan berubah menjadi lahan terbangun. Walaupun demikian, Pemerintah Kota Bogor masih sangat peduli akan kebutuhan ruang terbuka hijau. Hal ini tertuang dalam Rencana Pembangunan ruang terbuka hijau Kota Bogor yang mengacu pada Perda Kota Bogor nomor 1 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Perda nomor 11 Tahun 1995 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota.
68
Sebaran penutupan lahan di 6 kecamatan di Kota Bogor berdasarkan analisis citra yang telah diteliti oleh Indriyani tahun 2006, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 31 berikut ini. Tabel 31. Luas dan persentase tipe penutupan lahan pada masing-masing kecamatan di Kota Bogor Tipe Penutupan Lahan
Bogor Utara
Bogor Timur
Bogor Tengah
Bogor Selatan
Tanah
Bogor Barat
Sareal
Ha
%
Ha
%
Ha
%
Ha
%
Ha
%
45,04
2,52
16,08
1,48
62,01
7,82
113,44
3,60
107,74
4,70
420,14
23,55
277,03 25,50
75,28
9,50
1755,74
55,77
447,17
19,51
532,55 25,30
Ladang
350,87
19,67
169
16,00
39,45
4,98
163,52
5,19
185,97
8,11
214,61 10,20
Sawah
88,11
4,94
69,06
6,36
45,09
5,69
127,15
4,04
339,74
14,82
200,22
9,51
75,29
4,22
16,99
1,56
25,90
3,27
91,07
2,89
96,86
4,22
138,32
6,57
686,11
38,46
481,54 44,33 511,57 64,54
712,54
22,64
832,40
36,31
737,70 35,05
Tanah kosong 88,10
4,94
47,94
4,41
8,98
1,13
166,13
5,28
40,10
1,75
45,91
2,18
Badan air
0,78
0,04
0,21
0,02
0,35
0,04
3,35
0,11
10,37
0,45
2,18
0,10
Awan
29,09
1,63
8,74
0,80
19,26
2,43
8,45
0,27
133,14
5,81
125,95
5,98
0,43
0,02
0,18
0,02
4,79
0,60
6,56
0,21
99,08
4,32
51,04
2,42
1783,96
100
1086,34
100
792,68
100
3147,94
100
2292,57
100
Vegetasi Rapat Vegetasi Jarang
Semak dan rumput Area Terbangun
Bayangan awan Total
Ha
%
56,52
2,69
2105
100
Sumber: Indriyani (2005). Keadaan tutupan lahan pada tahun 2005 yang dibedakan menjadi: vegetasi rapat, vegetasi jarang, sawah, semak dan rumput adalah sebagai berikut. 1. Vegetasi rapat Vegetasi rapat luasnya 613,83 ha (5,18% dari luasan kota). Vegetasi rapat antara lain terdapat di: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Cimanggu 44,60 ha, Istana Presiden 24,00 ha, Hutan Penelitian Dramaga 57,75 ha, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Gunung Batu 5,00 ha, Kebun Raya Bogor 87,00 ha dan sisanya berupa kebun bebuahan dan hutan rakyat seluas 395,48 ha. Nilai rerata kerapatan pada vegetasi rapat adalah 236,78 pohon/ha.
69
(a)
(b)
Gambar 13. Foto vegetasi hutan kota di (a) Hutan Penelitian Dramaga dan (b) Kebun Raya Bogor. 2. Vegetasi Jarang Vegetasi jarang luasannya 2.495,06 Ha (21,06% dari luasan kota) terdiri dari kuburan (299,28 ha), kebun bebuahan dan hutan rakyat (1.995,84 ha), taman kota (19,35 ha), taman jalur (17,18 ha) dan pohon peneduh jalan (163,41 ha). Vegetasi jarang terdiri dari tanaman tahunan yang berumur relatif muda kurang dari 20 tahun yang terdiri dari kebun buah-buahan, tanaman halaman rumah, jalur hijau, pemakaman, sempadan sungai dan sempadan danau. Tanaman tahunan dan tanaman halaman rumah menyebar pada wilayah Bogor Utara, Bogor Selatan (Mulyaharja, Pamoyanan, Rancamaya, Bojongkerta, Kertamaya, Genteng, Muara Sari dan pemakaman Dreded) dan Tanah Sareal (pemakaman Kebon Pedes). Rerata kerapatan pohon pada kerapatan jarang adalah 87,61 pohon/ha.
(a)
(b)
Gambar 14. Foto vegetasi non hutan kota di (a) Jalur hijau di Jalan Baranangsiang, Kecamatan Bogor Timur (b) Jalur hijau di Jalan Heulang, Kecamatan Tanah Sareal.
70
(a) (b) Gambar 15. Foto vegetasi non hutan kota di: (a) pemakaman di Dreded, Kecamatan Bogor Selatan. (b) kebun pembibitan di Sempur, Kecamatan Bogor Tengah. 3. Sawah Luasan sawah mencapai 825,22 ha (6,96% dari luasan kota) dari total penutupan lahan. Lahan persawahan banyak ditemukan pada wilayah Kecamatan Bogor Barat (Situgede, Balumbang Jaya, dan Margajaya) serta beberapa di wilayah Bogor Selatan (Cikaret).
(a)
(b)
(c) (c)
Gambar 16. Foto sawah di (a) dan (b) Balumbangjaya, Kecamatan Bogor Barat (c) Sindangbarang, Kecamatan Bogor Barat. 71
4. Semak dan rumput Penutupan lahan oleh semak dan rumput tahun 2005 luasnya 720,68 Ha (6,08 % dari luas Kota Bogor). Tipe penutupan ini ditemukan di Bogor Barat (Kelurahan Menteng) berupa lapangan golf, Bogor Tengah (halaman Istana Presiden dan taman rumput Kebun Raya Bogor) dan Tanah Sareal (Mekarwangi).
(a)
(b)
(c) Gambar 17. Foto semak dan rumput di (a) halaman Istana Bogor di Kebun Raya Bogor, Kecamatan Bogor Tengah (b) jalan Malabar, Kecamatan Bogor Tengah (c) semak di Menteng, Kecamatan Bogor Barat. Menurut P4W LPM IPB (2006), kondisi keadaan luasan ruang terbuka hijau dan ruang terbangun tahun 1983, 1990, 2001 dan 2005 dapat dilihat pada Gambar berikut ini.
72
90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
78.8 62.1
60.7 47.1
52.9
39.3
37.9 21.2
1983
1990
Ruang Terbuka Hijau
2001
2005
Built Up/ Ruang Terbangun
Gambar 18. Perubahan perimbangan persentase ruang terbuka hijau dan ruang terbangun. Sumber: P4W LPPM, IPB (2006). Dari penelitian yang dilakukan oleh Indriyani (2005) demikian juga Herdiansyah (2006) dan P4W LPM IPB (2006) dapat disarikan data penggunaan lahan dan laju perubahannya seperti yang disajikan pada Tabel 32 di bawah ini. Tabel 32. Penggunaan lahan dan laju perubahannya tahun 2003-2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tipe Penutupan Lahan Vegetasi Rapat Vegetasi Jarang Sawah Semak dan rumput Area Terbangun Lahan kosong Situ Sungai
Luasan Tahun 2005 (Ha) 613,83 2.495,06 825,22 720,68 6.268,65 606,05 109,33 211,18
Laju Penurunan (% per tahun) 0,33 1,15 1,23 1,77 - 3,30 2,82 0,00 0,00
Keterangan: Tanda negatif (-) berarti terjadi pertambahan luasan Sumber: Indriyani (2005) dan Herdiansyah (2006): data telah diolah *) P4W LPM IPB (2007): data telah diolah Dari data ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi peningkatan luasan lahan sebesar 3,30 % per tahun untuk lahan terbangun, namun sebaliknya terjadi penurunan luasan lahan pada vegetasi rapat, vegetasi jarang, sawah, semak dan rumput, serta lahan kosong masing-masing sebesar 0,33 %; 1,15 %; 1,23 %; 1,77 % dan 2,82 %. Sangat tingginya angka konversi lahan kosong menjadi lahan 73
terbangun karena memang lahan tersebut nampaknya sudah siap untuk dibangun. Sedangkan untuk situ dan sungai tidak mengalami perubahan. Hutan kota yakni di Kebun Raya Bogor dan Hutan Penelitian Dramaga merupakan jenis tutupan lahan vegetasi rapat. Keadaan luasan dan karakteristiknya masing-masing akan dijelaskan berikut ini. Tabel 33. Lokasi dan luasan hutan kota di Kota Bogor No.
Lokasi
Luas (ha)
1.
Kebun raya Bogor
87,00
2.
Hutan Penelitian Dramaga
57,75
Total luas
144, 75
Keadaan topografi Kebun Raya Bogor secara umum datar dengan kemiringan 3-5 %. Koleksi tanaman di Kebun Raya Bogor berdasarkan registrasi periode bulan Juni 2007 sebanyak 223 famili, 3.416 jenis, 1.268 marga dan 13.563 spesimen. Beberapa jenis koleksi merupakan koleksi unik, spesifik dan langka seperti tanaman tua yang berumur lebih dari 100 tahun. Tanaman langka terdiri atas 91 jenis. Hutan kota yang kedua terdapat di Hutan Penelitian Dramaga yang termasuk dalam wilayah Desa Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat. Jumlah jenis tanaman di hutan penelitian ini sebanyak 130 jenis, yang terdiri dari 88 marga dan 43 famili. Jenis tanaman tersebut terdiri dari 42 jenis asing dan 88 jenis asli Indonesia. Jenis asing tersebut semuanya adalah pohon, sedangkan jenis asli Indonesia terdiri dari 85 jenis pohon, 1 jenis bambu, 1 jenis rotan dan 1 jenis palmae. Jenis tanaman asli Indonesia yang terdapat di kawasan ini terdiri dari marga Agathis (famili Araucariaceae), Podocarpus (famili Podocarpaceae), dan Pinus (famili Pinaceae). Selain itu, juga terdapat 82 jenis yang termasuk ke dalam kelompok daun lebar yang mencakup 56 marga dan 34 famili. Jenis yang dominan dari marga Shorea (10 jenis), Eugenia (5 jenis), Dipterocarpus (4 jenis) dan Hopea (4 jenis).
74
4.1.9. Daya Sink Gas CO2 4.1.9.1. Penelitian di Rumah Kaca Menggunakan Alat Pengukur Laju Fotosintesis Hasil penelitian di rumah kaca dengan menggunakan alat ADC LCA-4 berupa kurva hubungan laju fotosintesis dan intensitas cahaya yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar 19-23. S=0,52476141 r=0,99357282
Kurva Laju Fotosintesis 12
Laju Fotosintesis (µmol m-2 s-1)
10 8 6 4 2 0 -2 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
2200
Intensitas Cahaya (µmol m-2 s-1)
Gambar 19. Kurva respon cahaya pada jati (T. grandis).
S=0,62703323 r=0,98186365
Kurva Laju Fotosintesis 12
Laju Fotosintesis (µmol m-2 s-1)
10 8 6 4 2 0 -2 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
2200
Intensitas Cahaya (µmol m-2 s-1)
Gambar 20. Kurva respon cahaya pada kenari (C. commune).
75
Kurva Laju Fotosintesis
S=0,62162043 r=0.99004150
12
Laju Fotosintesis (µmol m-2 s-1)
10 8 6 4 2 0 -2 0
200
400
600
800
1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200
Intensitas Cahaya (µmol m-2 s-1)
Gambar 21. Kurva respon cahaya pada mangga (M. indica).
Kurva Laju Fotosintesis
S=0,29532456 r=0,99492571
12
Laju Fotosintesis (µmol m-2 s-1)
10 8 6 4 2 0 -2 0
200
400
600
800
1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200
Intensitas Cahaya (µmol m-2 s-1)
Gambar 22. Kurva respon cahaya pada sawo duren (C. cainito).
76
S=0,74577961 r=0,97207644
Kurva Laju Fotosintesis 12
Laju Fotosintesis (µmol m-2 s-1)
10 8 6 4 2 0 -2 0
200
400
600
800
1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200
Intensitas Cahaya (µmol m-2 s-1)
Gambar 23. Kurva respon cahaya pada tanjung (M. elengi). Dari kurva respon di atas kemudian dihitung beberapa parameter turunan seperti yang tersaji pada Tabel 34 berikut ini. Tabel 34. Parameter-parameter turunan: efisiensi kuantum, laju fotosintesis maksimum dan respirasi No
Jenis Tanaman
ε
Amaks
θ
Rgelap
1
Jati
0,7
11,025
0,061
2,155
2
Kenari
0,7
8,225
0,066
1,258
3
Mangga
0,7
12,572
0,036
0,44
4
Sawo Duren
0,7
7,525
0,043
0,763
5
Tanjung
0,7
8,366
0,022
2,689
Keterangan: (ε) (Amaks) (θ) (Rgelap)
: kemiringan kurva : laju fotosintesis maksimum (µ mol CO2 m-2 s-1) : Efisiensi kuantum (µ mol foton m-2 s-1) : respirasi (µ mol CO2 m-2 jam-1)
77
Data pada Tabel 35 menyatakan laju fotosintesis maksimum terdapat pada mangga kemudian jati, dan efisiensi kuantumnya tertinggi terdapat pada kenari kemudian jati, sedangkan respirasi tertinggi terdapat pada tanjung yang diikuti oleh jati. Dari nilai tersebut kemudian dibuat persamaan laju fotosintesis dari kelima jenis tanaman seperti dijelaskan berikut ini : 1. Jati (T. grandis) A=
(0,061Q+11,025)2 - 1,883Q
0,061Q + 11,025 -
1,4
- 2,155
2. Kenari (C. commune) A=
0,066Q + 8,225 - ( 0,066Q+8,225)2 - 1,520Q
- 1,258
1,4
3. Mangga (M. indica) A=
(0,036Q+12,572)2 - 1,267Q
0,036Q + 12,572 -
- 0,44
1,4
4. Sawo Duren (C. cainito) A=
0,043Q + 7,525 -
(0,043Q+7,525)2 - 0,906Q
- 0,763
1,4
5. Tanjung (M. elengi) A=
0,022Q + 8,366 -
(0,022Q+8,366)2 - 0,515Q
- 2,689
1,4
Dari persamaan ini kemudian dihitung kemampuan sink gas CO2-nya. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 35.
78
Tabel 35. Kemampuan sink gas CO2 per m2 daun Jenis Tanaman Jati
Sink CO2 (µmol m-2 jam-1) 27.97
Sink CO2 (g m-2 jam-1) 1,23
(10 g lembar daun-1 jam-1)
Kenari
17.86
0,79
0,52
Mangga
33.12
1,46
1,87
Sawo Duren
21.71
1,00
0,33
Tanjung
33.16
1,46
0,86
-3
Sink CO2 3,76
Dari Tabel 35 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan daya sink gas CO2 per m2 luasan daun susunan dari tertinggi ke terendah adalah tanjung, mangga kemudian diikuti jati, sawo duren dan terkecil kenari. Berdasarkan daya sink per lembar daun susunan dari terbesar ke terkecil adalah sebagai berikut: jati, mangga, tanjung, kenari dan sawo duren. Data hasil penelitian berdasarkan daya sink per m2 per jam ini kemudian akan digunakan sebagai pembanding daya sink tanaman yang diukur dengan metode karbohidrat seperti yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya. 4.1.9.2. Penelitian Pendahuluan dengan Metode Karbohidrat Metode yang digunakan untuk mengukur laju sink gas CO2 selanjutnya adalah pengukuran kadar karbohidrat pada daun dan ranting. Hasil dari pengukuran dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Hasil pengukuran massa karbohidrat 5 jenis tanaman Jenis Tanaman
Massa Karbohidrat Sampel Daun (g C6H12O6)
Krey Payung
T-0 4,40 ± 0,51
T-2 jam 5,03 ± 0,68
T-4 jam 6,01 ± 0,12
Manggis
4,66 ± 0,58
4,87 ± 0,74
5,66 ± 0,57
Melinjo
4,08 ± 0,35
4,45 ± 0,18
4,95 ± 0,13
Sawo kecik
5,31 ± 0,15
5,62 ± 0,12
6,22 ± 0,05
Trengguli
4,17 ± 0,25
4,35 ± 0,38
4,60 ± 0,07
Setelah dihitung kemampuan sink gas CO2 untuk setiap jenis tanaman diperoleh data sebagai berikut: 79
Tabel 37. Kemampuan sink gas CO2 dengan metode karbohidrat Sink gas CO2 Jenis Tanaman
(g m-2 jam-1)
(10-3g daun-1 jam-1)
Krey Payung
0,95
4,39
Manggis
1,28
7,18
Melinjo
1,31
9,15
Sawo kecik
0,97
5,98
Trengguli
0,72
3,82
Untuk mendapatkan kepastian apakah metode karbohidrat dapat dipergunakan untuk menggantikan metode pengukuran dengan alat, maka dilakukan uji beda nyata parameter sink gas CO2 per m2 per jam. Hasil uji beda nyata dapat dilihat sebagai berikut. Tabel 38. Uji beda nilai tengah dengan menggunakan uji-t Ulangan
Metode yang dipergunakan Alat
Karbohidrat
1
1,23
0,95
2
0,79
1,28
3
1,46
1,31
4
1,00
0,97
5
1,46
0,72
Rerata
1,18
1,05
Simpangan baku
0,30
0,25
Ragam
0,09
0,06
Ragam Gabungan
0,08
Standar gabungan
0,28
Derajat bebas (db)
8
thitung = One-tail
t0.05;8 = 1,86
Two-tail
t0.025;8 = 2,30
0,77
80
Ini berarti bahwa metode pengukuran dengan alat tidak berbeda nyata dengan metode karbohidrat. Dengan demikian, metode karbohidrat dapat dipergunakan untuk menggantikan metode pengukuran dengan alat. Oleh sebab itu, pada penelitian selanjutnya untuk mengukur daya sink gas CO2 di Kebun Raya Bogor dan Hutan Penelitian Dramaga digunakan metode karbohidrat. 4.1.9.3. Penelitian di Kebun Raya Bogor Kadar karbohidrat pada daun dari 25 jenis pohon yang diambil pada pukul 05.00 dan pukul 10.00 dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39. Massa karbohidrat pada ranting dan daun yang diambil pada pukul 05.00 dan 10.00 Nama Jenis Flamboyan Johar Merbau Pantai Asam Kempas Sapu tangan Bunga merak Cassia Krey Payung Matoa Rambutan Tanjung Sawo kecik Angsana Dadap Trembesi Saga Asam Kranji Mahoni Khaya Pingku Beringin Nangka Kenanga Sirsak
Nama Latin Delonix regia Cassia grandis Intsia bijuga Tamarindus indica Coompasia excelsa Maniltoa grandiflora Caesalpinia pulcherrima Cassia sp. Fellicium decipiens Pometia pinnata Nephelium lappaceum Mimusops elengi Manilkara kauki Pterocarpus indicus Erythrina cristagalli Samanea saman Adenanthera pavonina Pithecelobium dulce Swietenia macrophylla Khaya anthotheca Dysoxylum excelsum Ficus benjamina Arthocarpus heterophyllus Canangium odoratum Annona muricata
Massa Karbohidrat (g) 05.00 10.00 Selisih 4,34 5,34 1,00 2,84 4,50 1,66 4,87 5,68 0,82 2,93 3,05 0,12 1,91 2,44 0,53 2,05 2,21 0,16 3,77 5,35 1,58 3,07 4,13 1,60 3,68 3,72 0,04 3,20 3,27 0,08 3,18 3,23 0,05 3,59 4,13 0,54 3,21 3,71 0,50 2,15 2,97 0,83 2,70 3,92 1,22 3,45 4,57 1,20 4,10 5,10 1,00 3,71 4,47 0,76 2,88 3,69 0,81 2,70 3,06 0,27 3,48 3,58 0,11 2,45 3,70 0,62 2,63 2,91 0,29 3,65 6,93 3,29 1,76 3,26 1,50
81
Dari tabel di atas kemudian dihitung daya sink-nya per cm2, per daun dan per pohon, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40. Daya sink gas CO2 oleh tanaman di Kebun Raya Bogor Nama Jenis Flamboyan Johar Merbau Pantai Asam Kempas Sapu tangan Bunga merak Cassia Krey Payung Matoa Rambutan Tanjung Sawo kecik Angsana Dadap Trembesi Saga Asam Kranji Mahoni Khaya Pingku Beringin Nangka Kenanga Sirsak
Sink Gas CO2
Sink Gas CO2 per daun
Sink CO2
(g m jam )
(10-3g daun-1 jam-1)
(kg pohon-1 tahun -1)
2,51 2,92 1,13 0,60 0,98 0,33 2,80 8,90 0,08 0,12 0,12 1,21 1,64 1,19 2,71 1,94 2,05 1,44 1,33 0,55 0,22 1,58 0,57 7,26 3,80
4,39 7,18 9,15 5,98 3,82 4,39 7,18 9,15 5,98 3,82 4,39 7,18 6,15 5,98 3,82 4,39 7,18 9,15 5,98 3,82 4,39 7,18 9,15 5,98 3,82
0,20 1,49 2,19 4,55 8,26 8,48 11,12 19,25 21,90 30,95 34,29 41,78 42,20 75,29 114,03 116,25 126,51 221,18 329,76 404,83 535,90 720,49 756,59 5.295,47 28.488,39
-2
-1
Hasil dari penelitian ini akan digabungkan dengan hasil penelitian di Hutan Penelitian Dramaga (Bab 4.1.9.4) yang kemudian akan dibahas dalam Bab 4.2.2. tentang daya sink gas CO2 dan klasifikasi daya sink tanaman hutan kota. 4.1.9.4. Penelitian di Hutan Penelitian Dramaga Hasil analisis kandungan karbohidrat pada daun tanaman yang diambil pada pukul 5.00 dan pukul 10.00 di Hutan Penelitian Dramaga kemudian dihitung daya sink-nya. Hasil perhitungan daya sink dari 21 jenis tanaman dapat dilihat pada Tabel 41.
82
Tabel 41. Daya sink gas CO2 tanaman di Hutan Penelitian Dramaga Jenis Tanaman Pachira affinis Sapium indicum Shorea selanica Hopea mengarawan Hopea odorata Dipterocarpus retusa Beilschmiedia roxburghiana Cinnamomum parthenoxylon Swietenia macrophylla Swietenia mahagoni Khaya senegalensis Carapa guineensis Acacia mangium Acacia auriculiformis Trachylobium verrucossum Arthocarpus heterophyllus Pterygota alata Schima wallichii Lagerstroemia speciosa Tectona grandis Strombosia zeylanica
Sink Gas CO2 -2
-1
-3
(g m jam )
(× 10 g daun-1 jam-1)
(kg pohon-1 tahun -1)
0,18 0,35 0,17 0,01 0,44 0,15
0,96 0,17 0,22 0,002 0,13 0,33
0,42 4,23 5,28 12,63 15,19 16,50
3,31
4,37
24,24
1,01 0,44 0,61 0,43 0,06 0,25 0,92
1,79 6,98 3,46 1,56 0,99 0,29 0,29
30,95 34,15 36,19 48,68 63,31 83,86 135,27
0,69
5,09
160,14
0,12 0,13 1,51 0,53 1,97 5,36
0,09 0,86 0,97 2,98 15,99 4,40
227,21 295,73 365,79 442,63 562,09 1603,20
Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa hasil penelitian ini akan digabungkan dengan hasil penelitian di Kebun Raya Bogor yang akan dibahas dalam Bab 4.2.2. tentang daya sink gas CO2 dan klasifikasi daya sink tanaman hutan kota. Daya sink tanaman akan diklasifikasikan menjadi 6 yakni: sangat tinggi, tinggi, agak tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah yang kemudian dihitung nilai rerata untuk setiap kelas daya sink. Nilai rerata sink gas CO2 sangat tinggi, tinggi dan agak tinggi akan digunakan sebagai nilai konstanta sink per pohon hutan kota guna menghitung jumlah pohon dan luasan hutan kota yang dibutuhkan sebagai sink gas CO2 antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas dengan menggunakan program Powersim 2.5.
83
4.1.9.5. Ukuran dan Kerapatan Stomata Penelitian tentang ukuran dan kerapatan stomata tidak masuk dalam permodelan. Penelitian ini dimaksudkan untuk menetapkan ada tidaknya hubungan antara sifat morfologis daun berupa kerapatan dan ukuran stomata daun dengan daya sink-nya. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa kerapatan stomata daun berkisar antara 62-941 per mm2, panjang antara 3,75-18,75 μm, sedangkan lebarnya antara 2,50-18,75 μm. Sebagai pembanding dapat dilihat hasil penelitian Agustini tahun 1994 (Lampiran 9). Hasil penelitian tentang kerapatan dan ukuran stomata pada daun tanaman di Kebun Raya Bogor dapat dilihat pada Tabel 42 di bawah ini. Tabel 42. Panjang, lebar dan kerapatan stomata tumbuhan di Kebun Raya Bogor Nama Jenis D. regia C. grandis I. bijuga T.indica C. excelsa M. grandiflora C. pulcherrima Cassia sp. F. decipiens P. pinnata N.lappaceum M. elengi M. kauki P. indicus E. cristagalli S. saman A.pavonina P. dulce S.macrophylla K. anthotheca D. excelsum F. benjamina A. heterophyllus C. odoratum A. muricata
Ukuran (μm) Panjang Lebar 11 8 4 3 4 9 9 11 6 12 11 6 13 13 19 19 8 6 11 11 9 5 6 8 12 9 15 13 13 12 12 5 11 15 6 6 13 9 11 6 12 10 8 7 6 11 13 13 9 8
Kerapatan per mm2 310 811 135 446 706 111 507 503 232 492 941 103 76 76 709 220 624 541 195 351 62 241 141 681 151
84
Menurut Agustini (1994) kerapatan stomata <300 per mm2 dinyatakan sebagai kategori rendah, 300-500 per mm2, sedang dan >500 per mm2 termasuk kategori tinggi. Sedangkan ukuran panjang stomata < 20 µ dinyatakan sebagai kurang panjang, 20 - 25 µ, panjang dan >25 µ termasuk kategori sangat panjang. Foto-foto stomata daun pada tanaman di Kebun Raya Bogor dan Hutan Penelitian Dramaga terdapat pada Lampiran 7 dan 8. Hasil penelitian dari tanaman yang terdapat di dalam kawasan Hutan Penelitian Dramaga adalah sebagai berikut: Tabel 43. Panjang dan lebar serta kerapatan stomata pada daun tumbuhan di areal Hutan Penelitian Dramaga Nama Jenis P. affinis S. indicum H. mengarawan H. odorata D. retusa B. roxburghiana C. parthenoxylon S. macrophylla S. mahagoni K. senegalensis C. guineensis A. mangium A. auriculiformis T. verrucossum A. heterophyllus P. alata S. wallichii L. speciosa T. grandis S. zeylanica
Panjang (µm) 30 13 15 15 8 18 18 10 8 8 23 13 20 13 18 13 18 13 15 18
Lebar (µm)
Kerapatan (per cm2)
20 13 13 13 5 15 13 10 8 8 20 8 15 10 15 10 13 10 13 10
274 239 414 348 239 449 366 629 416 367 393 380 557 297 478 150 483 218 165 274
Dari Tabel 42 dan 43 dapat dinyatakan bahwa jenis yang memiliki kerapatan stomata yang tinggi (>500 stomata/mm2) tanaman di Kebun Raya Bogor adalah N. lappaceum, C. grandis, E. cristagalli, C. excelsa, C. odoratum, A. pavonina, P. dulce, C. pulcherrima dan Cassia sp., sedangkan untuk tanaman di Hutan Penelitian Dramaga adalah S. macrophylla dan A. auriculiformis.
85
Dengan menggunakan program DataFit version 8.2.79 dapat dicari keeratan hubungan antara daya sink gas CO2 dengan panjang stomata, lebar stomata dan kerapatannya seperti dapat dilihat pada Tabel 44. Dari Tabel tersebut dapat dinyatakan bahwa daya sink gas CO2 kurang mempunyai hubungan yang erat baik dengan panjang stomata, lebar stomata maupun dengan kerapatan stomata. Artinya stomata yang semakin rapat dan atau stomata yang semakin panjang dan lebar tidak selalu menghasilkan daya sink yang semakin besar. Data selengkapnya hasil analisis dengan menggunakan program DataFit 8.2.79 dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11. Sementara foto tentang daun tanaman di Kebun Raya Bogor dan stomatanya dapat dilihat pada Lampiran 7 dan foto stomata daun tanaman di Hutan Penelitian Dramaga terdapat pada Lampiran 8. Tabel 44. Hubungan antara nilai sink gas CO2 dengan stomata Persamaan Regresi Linier Kebun Raya Bogor Panjang Y = 0,56X1 - 3,26 Lebar Y = 0,59X2 - 3,24 Kerapatan Y = 0,00X3 + 1,21 Panjang dan Y = 0,14X1 + 0,17X2 lebar Panjang dan Y=0,004X1+ 0,64X3+0,31 Kerapatan Lebar dan Y = 0,03X2 + 0,86X3 + 0,29 Kerapatan Panjang, Y = 5,33X1 + 2,35X2 – 2,35X3 lebar dan kerapatan Hutan Penelitian Dramaga Panjang Y = 4,29X1 + 0,24 Lebar Y = 0,28X2 + 0,85 Kerapatan Y = -3,11 X3 + 0,99 Panjang dan Y = 0,27X1 + 1,63X2 - 1,64 lebar Panjang dan Y = 0,83X1 + 0,26X3 – 0,04 Kerapatan Lebar dan Y = 0,28X2 - 0,12X3 + 1,33 Kerapatan Panjang, Y = 23,20X1 -26,36 X2 + 0,001X3 lebar dan kerapatan
Koefisien Determinasi 0,27 0,33 0,04 0,02 0,01 0,06 0,18
0,03 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,14
86
4.1.10. Simulasi Konsentrasi Gas CO2 Ambien dan Penentuan Kebutuhan Luasan Hutan Kota sebagai Sink Gas CO2 Antropogenik dari Bahan Bakar Minyak dan Gas Luasan hutan kota yang diperlukan untuk menyerap gas CO2 antropogenik hasil pembakaran bahan bakar minyak dan gas perlu ditentukan, agar kadar gas CO2 ambien tidak terus meningkat. Pada keadaan yang ideal semua emisi gas CO2 dari bahan bakar minyak dan gas dapat diserap oleh vegetasi yang ada. Data penggunaan lahan dari tahun 2003 - 2005 yang tercantum pada Tabel 33 menunjukkan bahwa telah terjadi konversi lahan sebesar 3,30 % per tahun menjadi lahan terbangun, namun sebaliknya terjadi penurunan pada vegetasi rapat, vegetasi jarang, ladang, sawah, semak dan rumput, dan lahan kosong masingmasing sebesar 0,33 %; 1,15 %; 1,23 %; 1,77 % dan 2,82 %. Sedangkan untuk situ dan sungai tidak mengalami perubahan. Kebutuhan penambahan luasan hutan kota sebagai penyerap gas CO2 sangat penting diperhatikan mengingat luasan ruang terbuka hijau yang terus menurun dari tahun ke tahun. Data lainnya yang diperlukan untuk menganalisis kebutuhan lahan untuk hutan kota adalah kadar gas CO2 ambien. Konsentrasi CO2 ambien pada tahun 2006/2007 adalah 389,89 ppmv. Data nilai rerata ini yang akan digunakan sebagai level dalam simulasi dengan sistem dinamik. Diagram alir dan nilai konstanta yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Berikut ini disajikan hasil simulasi jumlah emisi gas CO2 dan luasan ruang
800.000.000
Luas RTH (ha)
Emisi Gas CO2 (kg)
terbuka hijau (lihat Gambar 24).
700.000.000
600.000.000
2.020 2.040 2.060 2.080 2.100
4.000 3.000 2.000 1.000
2.020 2.040
Tahun
(a)
2.060 2.080
2.100
Tahun
(b)
Gambar 24. Hasil Simulasi: (a). Emisi gas CO2, dan (b). Luasan RTH. 87
Dari Gambar 24 ini dapat dinyatakan kualitas lingkungan Kota Bogor, jika dilihat dari emisi dan kapasitas sink gas CO2 oleh ruang terbuka hijau semakin mengkhawatirkan, karena terjadi semakin tidak seimbangnya antara emisi dan sink. Di satu pihak emisi yang terus meningkat, namun di lain pihak kapasitas sink ruang terbuka hijau yang terus menurun. Emisi gas CO2 dari bahan bakar antropogenik pada tahun 2010 sebanyak 600.216 ton dan pada tahun 2100 menjadi 848.175 ton. Luasan ruang terbuka hijau tahun 2006 seluas 4.484,62 ha sedangkan pada tahun 2100 tinggal 233,36 ha (1,97%). Akibat terjadinya pengurangan luasan ruang terbuka hijau, maka jumlah sink oleh ruang terbuka hijau juga mengalami penurunan. Jumlah sink oleh ruang terbuka hijau tahun 2006 sebesar 546,46 ton gas CO2, sedangkan pada tahun 2100 sebanyak 26,71 ton. Oleh sebab itu, perlu penambahan jumlah pohon dan luasan hutan kota. Masalah ini akan dibahas dan disajikan dalam Bab 4.2. dan beberapa skenario penanggulangan yang dapat dilakukan. 4.2. Pembahasan Sebelum membahas tentang skenario penanggulangan dan pengelolaan gas CO2 yang berkaitan dengan kebutuhan luasan hutan kota yang penentuannya berdasarkan analisis emisi dan sink menggunakan simulasi model, berikut ini akan dibahas terlebih dahulu masalah emisi dan daya sink gas CO2 di Kota Bogor serta hal-hal yang berkaitan dengan permodelan. 4.2.1. Analisis Emisi Gas CO2 dan Konsentrasi Gas CO2 Seperti telah dijelaskan dalam Bab 4.1.6. yang menyatakan bahwa rerata konsentrasi gas CO2 di Kota Bogor pada tahun 2006/2007 sebesar 389,89 ppmv. Di lokasi yang potensial tercemar yaitu di Warung Jambu, Baranang Siang, Ekalokasari, Jembatan Merah dan Pasar Bogor rerata konsentrasi gas CO2 pada musim kemarau adalah 397,27 dan pada musim hujan 395,11 ppmv, sedangkan di 5 lokasi lainnya yakni: Hutan Penelitian Dramaga, Lapangan bola Indraprasta, Bogor Lake Side, Ciremai ujung dan Taman Koleksi Cimanggu rerata konsentrasi gas CO2 pada musim kemarau adalah 384,55 dan pada musim hujan 383,89 ppmv.
88
Rendahnya konsentrasi gas ini pada musim penghujan, nampaknya karena sebagian gas ini larut di dalam air hujan menjadi asam karbonat. Adanya gas CO2 yang larut dalam air hujan mengakibatkan pH air hujan pada kondisi alami sekali pun selalu kurang dari 7,0 (Manahan 2000). Lebih lanjut Manahan (2000) menjelaskan jumlah CO2 yang terlarut dalam air hujan pada keadaan setimbang dengan konsentrasi CO2 di udara sebesar 350 ppmv pada suhu udara 25oC sebanyak 1,146 x 10-5 M atau setara dengan 5,04 x 10-7 kg/l. Pembahasan masalah ini selanjutnya akan dibahas khusus pada Bab 4.2.4. tentang pengaruh hujan. Kota Bogor terkenal dengan sebutan ”Kota Hujan”. Rerata curah hujan sebesar 4.000 mm/tahun. Artinya jumlah volume air hujan yang jatuh di Kota Bogor yang luasnya 11.850 ha selama satu tahun sebanyak 47,4 x 1010 l. Dengan demikian jumlah gas CO2 yang larut dalam air hujan setahun sebanyak 239 ton/tahun. Selain dari penyebab yang telah disebutkan terdahulu, rendahnya gas CO2 di musim penghujan, karena jumlah kendaraan yang melewati ke lima jalur pada lokasi itu lebih rendah. Pada musim kemarau rerata jumlah kendaraan yang melewati ke lima jalur jalan tersebut antara 45.401 - 47.433 kendaraan per hari, sedangkan pada musim penghujan 34.852 - 45.684 kendaraan per hari.
Gambar 25. Fluktuasi konsentrasi gas CO2 yang diukur pada menara dengan ketinggian 496 m di Kota Carolina Utara. Sumber: Backwin, et al., (1998). Hasil pengukuran konsentrasi gas CO2 ambien di Kota Bogor tahun 2006/2007 masih sejalan dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Backwin 89
dkk. tahun 1998 di Carolina Utara pada menara dengan ketinggian 496 m. Hasil pengukurannya mendapatkan data berkisar antara 345 - 375 ppmv. Demikian juga dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Keeling dan Whorf (2005) di Mauna Loa, Hawaii yang juga menunjukkan bahwa konsentrasi gas ini pada tahun 2004 yakni sebesar 377,38 ppmv (http://en.wikipedia.org/wiki/Carbon dioxide 2006). Dari penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan konsentrasi gas CO2 yang sangat menghawatirkan baik di Bogor maupun di tempat lainnya yaitu sudah melebihi angka 330 ppmv. Konsentrasi gas CO2 yang aman seperti pada awal revolusi industri sekitar 300 – 330 ppmv. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat mengurangi laju peningkatan konsentrasi gas ini. Kekhawatiran lainnya adalah emisi gas CO2 antropogenik yang berasal dari bahan bakar fosil mengandung isotop radioaktif, karena ketika bahan bakar fosil ini masih berada di dalam batuan bumi mendapatkan radiasi dari batuan yang bersifat radioaktif. Oleh sebab itu, emisi gas CO2 dari bahan bakar fosil yang terus bertambah akan mengakibatkan jumlah CO2 radioaktifnya juga terus bertambah. Gas CO2 alami di udara ambien terdiri dari karbon 13
14
12
C, sedangkan isotopnya
12
terdiri dari C dan C. Waktu paruh untuk CO2 antara 50 – 200 tahun (Foley, 1993). Gas
14
CO2 dengan waktu paruh sekitar 5.700 tahun tidak memberikan
sumbangan meningkatnya gas CO2. Sumbangan isotop
13
CO2 dari bahan bakar
fosil sebesar 1% saja, sedangkan 99% lainnya terdiri dari
12
CO2 yang tidak
bersifat radioaktif (http://www.radix.net/~bobg/faqs/scq.CO2rise.html). Peneliti lain menyatakan bahwa emisi dari bahan bakar minyak dan gas sebanyak 1,1% berupa gas
13
CO2 dan 98,9% gas
12
CO2 (http://homepage.mac.com/uriarte/
carbon13.html). Dari keduanya dapat dinyatakan bahwa senyawa gas CO2 yang dihasilkan dari bahan bakar fosil, sekitar 1,0 - 1,1% mengandung senyawa radioaktif 13CO2. Dengan adanya gas CO2 yang berifat radioaktif di udara ambien yang kemudian dapat terserap masuk ke dalam jaringan daun, maka organ tumbuhan juga potensial mengandung
13
C. Para ahli mengukur kandungan
13
C dan
12
C
90
dengan notasi δ13C (dalam ‰) yang terdapat di dalam jaringan tumbuhan dengan rumus (http://homepage.mac. com/uriarte/carbon13. html): (13C/12C) sampel – (13C/12C)standar -------------------------------------------------- x 1.000 (13C/12C) standar Dari beberapa sampel yang diambil dari tegakan di California Utara mendapatkan hasil nisbah
13
C/12C sekitar 1% terdapat pada jaringan tumbuhan
(http://homepage.mac.com/uriarte/ carbon13.html). Dengan demikian emisi gas CO2 yang sebagian mengandung
13
CO2, selain mengakibatkan adanya gas CO2
yang bersifat radioaktif, juga mengakibatkan organ tumbuhan juga dapat mengandung 13C yang juga bersifat radioaktif. Dari kenyataan ini nampaknya semakin maraknya kasus penyakit kanker belakangan ini diantaranya disebabkan oleh paparan dan hirupan udara yang mengandung
13
CO2 yang bersifat radioaktif. Apabila gas yang bersifat radioaktif
ini dihirup, maka gas CO2 radioaktif akan masuk ke dalam paru yang akan membentuk H213CO3 dan Hb-13CO2 dalam darah dan dialirkan ke seluruh tubuh. Beberapa bahan lainnya yang bersifat radioaktif dan bahaya yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45. Beberapa jenis bahan radioaktif dan efek yang ditimbulkan Jenis Radioaktif Strontium 90 Strontium 89
Jenis Radiasi Beta Beta
Cesium 137
Beta-gamma
Karbon 14 Iodin 129 Iodin 131 Kripton 85 Tritium (3H)
Beta-gamma Beta-gamma Beta-gamma Beta Beta
Organ yang Terkena Otot Otot Jaringan lunak, Organ kelamin Seluruh tubuh Tiroid Tiroid Seluruh tubuh
28 tahun 51 hari
Efek yang Ditimbulkan Kanker tulang Kanker tulang
27 hari
Jaringan gonad
5760 tahun 17 juta tahun 8 hari 10,7 tahun 12,3 tahun
Kanker Tiroid Kanker Tiroid Gonad
Waktu Paruh
Sumber: Waldbott (1978: 266) 4.2.2. Daya Sink dan Klasifikasi Daya Sink Tanaman Hutan Kota Dari hasil penelitian tentang daya sink gas CO2 yang menggunakan alat dan penelitian berikutnya yang menggunakan metode karbohidrat setelah diuji 91
dengan uji-t pada taraf kepercayaan 95% menyatakan bahwa kedua metode tersebut tidak berbeda nyata (lihat Bab 4.1.9.2). Oleh sebab itu, metode karbohidrat digunakan untuk mengukur daya sink gas CO2 untuk 25 jenis tanaman yang tumbuh di Kebun Raya Bogor dan 21 jenis tanaman di Hutan Penelitian Dramaga. Hasil penelitian baik untuk tanaman di Kebun Raya Bogor maupun di Hutan Penelitian Dramaga yang kemudian dibuat klasifikasi daya sink-nya secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 46. Tabel 46. Daya sink gas CO2 dan klasifikasi daya sink tanaman di Kebun Raya Bogor dan di Hutan Penelitian Dramaga No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Nama Jenis C. excelsa 1) H. mengarawan2) T. indica1) N. lappaceum1) H. odorata2) E. cristagalli1) M. grandiflora1) P. dulce1) P. indicus1) P. affinis2) A. mangium2) S. indicum2) I. bijuga1) K. anthotheca1) D. retusa2) C. pulcherrima1) C. guinensis2) M. elengi1) P. alata2) M. kauki1) D. regia1) A. auriculiformis2) S. wallichii2) A. muricata1) K. senegalensis2) S. macrophylla1) C. grandis1) A. heterophyllus1)
Sink CO2 (kg pohon-1 tahun -1)
Klasifikasi Daya Sink
0,20 0,42 1,49 2,19 4,23 4,55 8,26 8,48 11,12 12,63 15,19 16,50 19,25 21,90 24,24 30,95 34,15 34,29 36,19 41,78 42,20 48,68 63,31 75,29 83,86 114,03 116,25 126,51
Sr Sr Sr Sr Sr Sr Sr Sr Rd Rd Rd Rd Rd Rd Rd Rd Rd Rd Rd Rd Rd Rd Sd Sd Sd Sd Sd Sd 92
No
Nama Jenis
Sink CO2 (kg pohon-1 tahun -1)
29. T. grandis2) 135,27 2) 30. L. speciosa 160,14 1) 31. A. pavoniana 221,18 2) 32. C. parthenoxylon 227,21 2) 33. S. mahagoni 295,73 1) 34. P. pinnata 329,76 1) 35. F. decioiens 404,83 2) 36. B. roxburghiana 442,63 1) 37. F. benjamina 535,90 2) 38. T. verrucossum 562,09 39. D. excelsum1) 720,49 40. C. odoratum1) 756,59 2) 41. S. zeylanica 1603,20 1) 5.295,47 42. Cassia sp. 1) 43. S. saman 28.488,39 Keterangan: 1) Tanaman di Kebun Raya Bogor 2) Tanaman di Hutan Penelitian Dramaga
Klasifikasi Daya Sink Sd At At At At At At At Tg Tg Tg Tg Tg St St
Klasifikasi (satuan dalam kg pohon-1 tahun -1) Sr (Sangat Rendah) Rd (Rendah) Sd (Sedang)
< 9,99 10 – 49,9 50 – 150
At (Agak tinggi) Tg (Tinggi) St (Sangat Tinggi)
150-500 500-2.000 >2.000
Rerata Nilai Daya Sink Satuan (kg/pohon/tahun) Sangat Rendah Rendah Sedang
3,90 28,00 102,07
Agak Tinggi Tinggi Sangat Tinggi
305,91 835,65 16.891,93
Rerata nilai daya sink agak tinggi, tinggi dan sangat tinggi akan dipergunakan pada simulasi program Powersim. Nilai rerata sink agak tinggi sebesar 305,91 kg/pohon/tahun, tinggi 835,65 kg/pohon/tahun dan sangat tinggi sebesar 16.891,93 kg/pohon/tahun. Dari tabel tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa daya sink gas CO2 sangat bervariasi menurut jenis tanaman. Hal ini sangat sesuai dengan pernyataan Salisbury dan Ross (1992) yang menyatakan bahwa daya sink gas CO2 bervariasi menurut jenis. Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa secara garis besar tumbuhan dapat digolongkan ke dalam tiga golongan yakni: C3, C4 dan CAM 93
(crassulacean acid metabolisms). Sebanyak 95 % dari tumbuhan tingkat tinggi yang ada di dunia ini tergolong ke dalam jenis tumbuhan C3 (http://www.serc. si.edu/labs/co2/c3_c4_plants.jsp), sisanya tergolong jenis C4 dan CAM, sementara ahli lainnya menyatakan jenis C3 85% dari total populasi tumbuhan tingkat tinggi yang ada di permukaan dunia ini (http://homepage.mac.com/uriarte/ carbon13.html.). Contoh jenis C3 adalah padi, kedelai dan umumnya tumbuhan kehutanan, sedangkan contoh tumbuhan C4 adalah tebu, sorgum dan jagung. Perbedaan karakteristik tumbuhan C3, C4 dan CAM adalah sebagai berikut: Tabel 47. Beberapa ciri fotosintetik antara tumbuhan C3, C4 dan CAM C3 Sel fotosintesis tak punya berkas yang jelas Rubisko
Jenis Tumbuhan C4 Sel seludang berkas tertata dengan baik, kaya dengan organel PEP karboksilase, lalu rubisko
1:3:2
1:5:2
CAM Tidak ada sel palisade, vakuola besar pada sel mesofil Gelap: karboksilase. Terang: terutama rubisko 1: 6,5:2
450-950
250-350
18-125
2,8 ± 0,4
3,9 ± 0,6
2,5 - 3,0
Tidak 30-70
Ya 0-10
Ya 0 - 5 saat gelap
Fotosintesis dihambat oleh 21% O2
Ya
Tidak
Ya
Fotorespirasi
Ya
Suhu optimum bagi fotosintesis Produksi bahan kering (ton/ha/th) Maksimum yang tercatat
15-25 0C
Hanya di seludang berkas 30-47 0C
Ada di petang hari ± 35 0C
22 ± 0,3
39 ± 17
Rendah dan sangat beragam
34-39
50-54
Ciri Anatomi daun
Enzim karboksilasi Nisbah kebutuhan energi antara CO2:ATP:NADPH Nisbah transpirasi (g H2O/g peningkatan bobot kering) Nisbah klorofil daun a / b Kebutuhan Na+ Titik kompensasi CO2 (µmol mol-1 CO2)
Sumber : Salisbury dan Ross (1992) : 75 94
Telah dijelaskan terdahulu bahwa konsentrasi gas CO2 ambien terus meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena gas ini merupakan bahan baku fotosintesis, maka peningkatan konsentrasi gas ini di udara ambien akan mengakibatkan meningkatnya laju fotosintesis tanaman. Henderson et al., (1995) menyatakan bahwa peningkatan laju fotosintesis tanaman berbeda-beda menurut jenisnya. Berat kering tanaman C4 meningkat sebesar 22% lebih besar, ketika diberi paparan gas ini dua kali lipat lebih besar dari yang ada pada masa sekarang ini, sedangkan untuk tanaman C3 peningkatannya sebanyak 41% lebih besar. 4.2.3. Pengujian Model Sebelum model digunakan, model harus diuji terlebih dahulu, apakah model tersebut sudah baik atau tidak. Model analisis penentuan kebutuhan luasan hutan kota yang berfungsi sebagai sink gas CO2 antropogenik yang dipergunakan dalam penelitian ini sudah dapat dinyatakan baik, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut ini: 1. Semua komponen sistem dalam batasan sistem yang telah ditetapkan sudah lengkap, baik yang bertindak sebagai masukan, proses maupun sebagai keluaran gas CO2 dengan kendala adanya keterbatasan lahan (Gambar 6). 2. Tanggap perilaku populasi manusia sama dengan perilaku lahan terbangun (lihat Lampiran 5). Lahan terbangun yang dibutuhkan mengikuti pola jumlah penduduk dengan kebutuhan per orang sebesar 0,007 ha. Daya dukung populasi sebanyak 1,3 juta orang pada hamparan lahan terbangun seluas 8.032 ha. 3. Grafik pertumbuhan populasi manusia, lahan terbangun dan jumlah emisi gas CO2 perilakunya bersifat goal seeking (pertumbuhan terbatas). Pola kecenderungan seperti itu dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6. 4. Dengan memasukkan nilai jumlah CO2 sisa yakni besaran emisi dikurangi dengan sink oleh ruang terbuka hijau sama dengan nol, maka kebutuhan luasan hutan kotanya pun menjadi nol. 5. Jika populasi manusia dijadikan nol, maka emisi gas CO2 dan kebutuhan luasan hutan kota juga akan menjadi nol.
95
4.2.4. Pengaruh Hujan Ketika air hujan turun ke bumi, butiran air hujan akan bersinggungan dengan molekul gas CO2. Gas ini akan larut ke dalam air hujan. Menurut Manahan (2000) jumlah CO2 yang terlarut dalam air hujan pada keadaan setimbang dengan konsentrasi CO2 di udara sebesar 350 ppmv pada suhu udara 25oC sebanyak 1,146 x 10-5 M atau setara dengan 5,04 x 10-7 kg/l. Nilai kelarutan gas CO2 dan jumlah air hujan yang turun di Kota Bogor selama setahun sebanyak 474 x 1011 l. Kedua nilai ini akan digunakan pada model. Dari hasil simulasi seperti dapat dilihat pada Gambar 26 dapat dikemukakan bahwa, walaupun gas CO2 sebagian dapat dibersihkan oleh air hujan, namun konsentrasinya di udara ambien terus meningkat dari tahun ketahun. Oleh sebab
Gas CO2 (ppm)
itu, perlu tambahan luasan hutan kota untuk menurunkannya.
389,896 389,894 389,892 389,890 2.020
2.040
2.060
2.080
2.100
Tahun
Gambar 26. Konsentrasi gas CO2 yang terus bertambah, walau sebagian telah dibersihkan oleh air hujan. Berikut ini disajikan hasil simulasi berupa nilai kebutuhan luasan hutan kota jika dilengkapi dengan adanya pengaruh hujan. Jenis pohon yang digunakan pada penambahan luasan hutan kota yang baru adalah jenis berdaya sink sangat tinggi. Kebutuhan luasan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 27.
96
Kebutuhan Luasan H K (ha)
300
250 200
150 2.020 2.040 2.060
2.080 2.100
Tahun
Gambar 27. Kebutuhan luasan hutan kota dengan tanaman berdaya sink sangat tinggi (ha) Dari Gambar 27 menunjukkan bahwa kebutuhan luasan hutan kota sejak tahun 2017 sampai tahun 2100 berkisar antara 300 – 280 ha. Nilai kelarutan gas CO2 dalam air hujan yakni sebesar 5,04 x 10-7 kg/l (Manahan 2000). Dari hasil perhitungan kota Bogor yang luasnya 11.850 ha dengan curah hujan sebesar 4.000 mm/tahun, maka gas CO2 yang larut dalam air hujan selama satu tahun sebanyak 239 ton/tahun. Nilai ini sangat tidak berarti jika dibandingkan dengan jumlah emisi gas CO2 antropogenik di Kota Bogor pada tahun 2010 sebanyak 600.216 ton dan pada tahun 2100 menjadi 848.175 ton. Oleh karena hujan tidak berperan nyata dalam menurunkan konsentrasi gas CO2 ambien dan setelah dibuat simulasi dengan memasukkan pengaruh hujan, ternyata luasan hutan kota yang dibutuhkan sama dengan tanpa pengaruh hujan, maka penentuan kebutuhan luasan hutan kota untuk selanjutnya, pengaruh hujan tidak dimasukkan dalam model. 4.2.5. Analisis Kecukupan Luasan Hutan Kota Menggunakan Tanaman Berdaya Sink Gas CO2 Sangat Tinggi dengan Model Tidak Dipengaruhi Hujan. Oleh karena hasil uji verifikasi dan validasi menyatakan bahwa model ini sudah baik, maka dilakukan simulasi untuk menentukan kebutuhan luasan hutan kota yang berfungsi sebagai sink gas CO2 antropogenik. Untuk melakukan simulasi, nilai daya sink gas CO2 oleh beberapa bentuk ruang terbuka hijau digunakan data seperti tercantum pada Tabel 12, sedangkan nilai kelas daya sink pohon hutan kota digunakan nilai rerata daya sink berdasarkan nilai rerata kelas. 97
Program diagram alir dan data selengkapnya yang digunakan dalam Program Powersim dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4. Untuk melihat kecenderungan jumlah emisi gas CO2, luasan ruang terbuka hijau dan daya sink-nya dilakukan simulasi. Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 28. Dari gambar ini dapat dinyatakan bahwa gas CO2 dari bahan bakar minyak dan gas terus meningkat sementara daya sink ruang terbuka hijau terus
Emisi Gas CO2 (kg)
menurun karena luasan ruang terbuka hijau yang terus menurun.
800.000.000
700.000.000
(a)
600.000.000
2.020
2.040
2.060 2.080
2.100
4.000
Rosot RTH (kg)
Luas RTH (ha)
Tahun
3.000 2.000 1.000
2.020
2.040
2.060
2.080
2.100
500.000.000 400.000.000 300.000.000 200.000.000 100.000.000 2.020 2.040 2.060 2.080 2.100
Tahun
(b)
Tahun
(c)
Gambar 28. Hasil simulasi: (a). Emisi gas CO2, (b). Luas RTH dan (c). Daya sink RTH Dari Gambar ini dapat dinyatakan pula bahwa lingkungan Kota Bogor ditinjau dari emisi dan sink gas CO2 sudah sangat mengkhawatirkan. Emisi gas CO2 pada tahun 2010 sebanyak 600.216 ton dan pada tahun 2100 menjadi 848.175 ton, sementara luasan ruang terbuka hijau pada tahun 2010 seluas 3.865,34 ha dan pada tahun 2100 seluas 233,26 ha. Luasan ruang terbuka hijau yang terus menurun mengakibatkan daya sink ruang terbuka hijau yang semula pada tahun 2010 sebanyak 470.883 ton dan pada tahun 2100 sebesar 26.714 ton. 98
Hasil simulasi yang terdapat pada Gambar 29 menunjukkan bahwa konsentrasi gas CO2 jika tidak dilengkapi dengan penambahan luasan hutan kota akan meningkat menjadi 389,8964 ppmv pada tahun 2100, sedangkan jika dilengkapi dengan luasan hutan kota yang sesuai dengan kebutuhan akan menurun menjadi 389,8752 ppmv pada tahun 2100. 389,890
Gas CO2 (ppm)
Gas CO2 (ppm)
389,896 389,895
389,885
389,894 389,893
389,880
389,892 389,891
389,875
389,890 2.020 2.040 2.060 2.080 2.100
Tahun
(a)
2.020 2.040 2.060 2.080 2.100
Tahun
(b)
Gambar 29. Konsentrasi CO2 ambien hasil simulasi dari tahun 2005 – 2095. (a) Tanpa penambahan luasan HK, (b) Dengan penambahan HK. Berikut ini akan dibahas beberapa skenario yang dapat dilakukan untuk menekan jumlah emisi gas CO2 dan atau menurunkan konsentrasi ambien gas CO2. 4.2.5.1. Skenario Variasi Jenis Daya Sink Gas CO2 Hasil dari penelitian yang telah dibahas pada Bab 4.2.2. yang menghasilkan 6 kelas daya sink yakni sangat tinggi, tinggi, agak tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah, maka dilakukan simulasi berdasarkan variasi daya sink. Yang pertama digunakan adalah nilai daya sink sangat tinggi. Simulasi dengan nilai sink sangat tinggi terdapat pada Gambar 30.
99
300
50.000 40.000
2 3 2
30.000 2 20.000 10.000
3
3
24
1
3
4
2 4 5 4 5 3 15 0 45 5 1 1 2.020 2.060 2.100
Tahun
1 anakan 2 Phn_Remaja 3 Phn_Dewasa 4 Phn_Tua
Luas HK (ha)
Jumlah Pohon
1
250
200
5 Phn_Renta
150 2.020
2.040
2.060
2.080
2.100
Tahun
(a)
(b)
Gambar 30. Hasil Simulasi. (a). Kebutuhan jumlah bibit dan perkembangannya (b). Kebutuhan luasan HK dengan jenis berdaya sink sangat tinggi. Kebutuhan penambahan luasan hutan kota yang baru dengan jenis berdaya sink sangat tinggi, dari hasil simulasi menghasilkan jumlah kebutuhan bibit per tahun yang bervariasi seperti terlihat pada Gambar 30a dan kebutuhan luasan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 30b. Dari simulasi ini pula dapat dikemukakan bahwa jumlah bibit yang diperlukan terus meningkat sejak tahun 2007. Kebutuhan bibit tertinggi pada tahun 2017 sebanyak 54.766 bibit. Setelah tahun 2017 kebutuhan bibit terus menurun. Kebutuhan bibit pada tahun 2100 sebanyak 191 bibit. Dari Gambar 30b dapat dinyatakan kebutuhan luasan hutan kota mulai meningkat sejak tahun 2007 yakni menjadi 147,87 ha. Kebutuhan luasan hutan kota tertinggi terjadi pada tahun 2019 - 2021 seluas 302,45 ha. Keadaan ini terus menurun walaupun penurunannya agak landai. Kebutuhan tahun 2100 seluas 277,39 ha. Keadaan ini akan sangat berlainan, jika yang ditanam jenis yang memiliki daya sink yang tinggi. Dengan memasukkan nilai daya sink gas CO2 yang tinggi ke dalam program, grafik jumlah bibit dan kebutuhan luasannya dapat dilihat pada Gambar 31a dan 31b. Kebutuhan bibit mulai ada pada tahun 2007 sebanyak 31.565 bibit. Kebutuhan tertinggi pada tahun 2017 sebanyak 1.106.522 yang terus menurun dan pada tahun 2100 sebanyak 3.856 bibit tanaman. Luasan hutan kota yang dibutuhkan mulai muncul pada tahun 2007 yakni seluas 271,0 ha yang terus meningkat dan mencapai puncaknya tahun 2019 - 2021 seluas 6.517 ha yang kemudian menurun sampai akhirnya tahun 2100 menjadi 5.505 ha. 100
Jika dikaji berdasarkan luasannya, maka kebutuhan luasan hutan kota dengan jenis tanaman berdaya sink tinggi seluas 5.504,06 ha. Ini berarti menempati lahan seluas 46,45% dari seluruh wilayah kota. Hal ini sangat sulit untuk dilaksanakan mengingat seluas 67,78% lahan dipergunakan untuk lahan terbangun yang dibutuhkan oleh penduduk sampai tahun 2100 sebanyak 1,3 juta orang. Dengan skenario penggunaan jenis tanaman berdaya sink tinggi, maka jumlah lahan terbangun, ruang terbuka hijau dan hutan kota akan melebihi angka 100% yakni sebesar 116,20%
Dengan demikian penggunaan jenis tanaman
berdaya sink tinggi tidak dianjurkan untuk dipergunakan dalam program penanaman di areal hutan kota yang baru.
Jumlah Pohon
1 2
500.000
3 2
2
3 3
3
0
anakan
2
Phn_Remaja
3
Phn_Dewasa
4
Phn_Tua
5
Phn_Renta
4 24
1
1
4
2
Luas H K (ha)
6.000
1.000.000
5.000 4.000 3.000 2.000 1.000
5 5 4 15 5 1 45 1 2.020 2.040 2.060 2.080 2.100 3
2.020
Tahun
(a)
2.040
2.060
2.080
2.100
Tahun
(b)
Gambar 31. (a). Jumlah bibit dan perkembangannya. (b). Luasan hutan kota yang diperlukan dengan penggunaan tanaman berdaya sink tinggi. Dari keterangan yang telah disampaikan tadi maka simulasi dengan nilai daya sink agak tinggi dan yang lebih rendah dari itu menjadi tidak perlu untuk dikaji lagi, karena akan menghasilkan nilai kebutuhan luasan hutan kota yang lebih besar lagi. Upaya lainnya yang dapat dilakukan untuk menekan kebutuhan luasan hutan kota adalah: pengkayaan pada areal bervegetasi jarang, penurunan laju pertambahan penduduk dan penghematan bahan bakar. Masalah ini akan dibahas pada Bab 4.2.5.2, Bab 4.2.5.3 dan Bab 4.2.5.4. 4.2.5.2. Skenario Variasi Laju Pertambahan Penduduk Berikut ini disajikan skenario variasi laju pertambahan penduduk sebesar 1%, 2% dan 3,06%. Dengan menggunakan nilai laju pertambahan penduduk sebesar 3,06% per tahun, maka penduduk dengan skenario lahan terbangun 70 101
m2/orang, dengan bangunan 1 lantai, maka pada tahun 2100 penduduk Kota Bogor menjadi 1,3 juta orang. Jika laju pertambahan penduduk sebesar 3,06%, maka kebutuhan luasan hutan kota bervariasi seperti grafik yang terdapat pada Gambar 32c. Namun, jika laju pertambahan penduduk masing-masing 1% dan 2%, maka kebutuhan luasan
Kebutuhan Luasan HK (ha)
Kebutuhan Luasan H K (ha)
lahan hutan kotanya seperti terlihat pada Gambar 32a dan 32b. 700 600 500 400 300 200 2.020
2.040
2.060
2.080
700 600 500 400 300 200 2.020
2.100
2.040
2.060
2.080
2.100
Tahun
Tahun
Kebutuhan Luasan HK (ha)
(a)
(b)
700 600 500
(c)
400 300 200 2.020
2.040
2.060
2.080
2.100
Tahun
Gambar 32. Kebutuhan luasan hutan kota pada skenario laju pertambahan penduduk (a). 1% per tahun. (b). 2% per tahun, dan (c) 3,06% per tahun. Dari gambar ini dapat dikemukakan bahwa kebutuhan luasan hutan kota untuk laju pertambahan penduduk sebesar 1%, 2% dan 3,06% per tahun tidak berbeda. Oleh sebab itu, pengurangan laju pertambahan penduduk bukan merupakan prioritas yang perlu dilakukan untuk mengurangi kebutuhan luasan hutan kota. 4.2.5.3. Skenario Variasi Penghematan Bahan Bakar Minyak dan Gas Penghematan bahan bakar minyak dan gas secara teoritis dapat memperkecil kebutuhan luasan hutan kota, karena upaya ini dapat memperkecil jumlah
102
emisi gas CO2. Berikut ini disajikan hasil simulasi kebutuhan luasan hutan kota pada berbagai upaya penghematan bahan bakar 10%, 20% dan 30%. Kebutuhan HK (ha)
Kebutuhan HK (ha)
400
400 350 300 250 200
350 300 250 200 150
150 2.020
2.040
2.060
2.080
2.020
2.100
2.040
2.080
2.100
Tahun
Tahun
(a) Kebutuhan HK (ha)
2.060
(b) 350 300 250
(c)
200 150 2.020
2.040
2.060
2.080
2.100
Tahun
Gambar 33. Kebutuhan luasan hutan kota pada berbagai upaya penghematan bahan bakar. (a). Penghematan 10%, (b). Penghematan 20% dan (c). Penghematan 30%. Dari Gambar 33 dapat dinyatakan bahwa pada skenario penghematan sebesar 10%, kebutuhan penambahan luasan hutan baru muncul tahun 2009 seluas 152,03 ha dan mencapai puncaknya tahun 2021 seluas 428,55 ha. Pada tahun 2100 kebutuhan luasan hutan kota sebesar 385,69 ha (Gambar 32a). Pada skenario penghematan sebanyak 20% menghasilkan simulasi kebutuhan penambahan luasan hutan baru muncul tahun 2012 seluas 164,30 ha dan mencapai puncaknya tahun 2023-2024 seluas 396,52 ha. Pada tahun 2100 kebutuhan luasan hutan kota sebesar 360,75 ha (Gambar 32 b). Sedangkan pada skenario penghematan sebesar 30%, kebutuhan penambahan luasan hutan baru muncul tahun 2014 seluas 153,08 ha dan mencapai puncaknya tahun 2026-2027 seluas 365,11 ha. Pada tahun 2100 kebutuhan luasan hutan kota sebesar 336,10 ha (Gambar 33c). Dari Gambar 33 dapat dinyatakan bahwa penghematan bahan bakar sebanyak lebih dari 30% dapat menekan kebutuhan luasan hutan kota. 103
4.2.5.4. Skenario Pengkayaan pada Areal Bervegetasi Jarang dan Upaya Gabungan Upaya lainnya yang dapat dilakukan untuk memperkecil kebutuhan penambahan luasan hutan kota yang baru adalah dengan upaya pengkayaan pada areal bervegetasi jarang dan upaya gabungan yaitu berupa gabungan upaya penggunaan jenis tanaman berdaya sink sangat tinggi, laju pertambahan penduduk hanya 1% dan dilakukan penghematan bahan bakar sebesar 30% serta upaya pengkayaan pada areal bervegetasi jarang. Hasil simulasi berupa kebutuhan luasan
Kebuituhan H K Gabungan (ha)
Kebutuhan HK (ha)
hutan kota dapat dilihat pada Gambar 34.
155
150
145
148 147 146 145
2.020
2.040
2.060
Tahun
(a)
2.080
2.100
2.020
2.040
2.060
2.080
2.100
Tahun
(b)
Gambar 34. Kebutuhan luasan hutan kota pada skenario: (a) Pengkayaan pada areal bervegetasi jarang (b). Upaya gabungan Dari gambar ini terlihat bahwa pada skenario pengkayaan pada areal bervegetasi jarang kebutuhan luasan hutan kota baru muncul mulai tahun 2007 sebesar 151,00 ha yang kemudian agak mendatar sampai tahun 2090 sekitar 150 ha dan pada tahun 2091-2092 mengalami peningkatan menjadi sekitar 151,00 ha dan pada tahun 2093 sampai 2100 menjadi sekitar 158,00 ha. Pada skenario ini terlihat kebutuhan hutan kota walaupun naik turun namun kisarannya tidak terlalu lebar seperti skenario yang telah dipaparkan terdahulu. Pada skenario pengkayaan pada areal bervegetasi jarang kebutuhan luasan hutan kota berkisar antara 145 158 ha per tahun. Simulasi pada skenario gabungan memperlihatkan kebutuhan hutan kota mulai muncul pada tahun 2014 dengan luasan 148,39 ha yang kemudian menurun dengan landai, akhirnya pada tahun 2100 menjadi 147,84 ha. Terlihat kebutuhan hutan kota pada skenario ini berkisar antara 145 - 148 ha per tahun. Walaupun 104
kisarannya agak sama dengan skenario pengkayaan, namun polanya berbeda (lihat Gambar 34). 4.2.6. Daya Dukung Kependudukan Mengingat Kota Bogor jaraknya hanya 60 km dari DKI Jakarta, maka Kota Bogor merupakan tempat pilihan permukiman yang baik bagi para pekerja yang bekerja di DKI Jakarta. Telah dijelaskan pada Bab. 4.1.2. tentang kependudukan yang menyatakan, jika laju pertambahan penduduk sampai tahun 2100 tetap sebesar 3,06% per tahun, maka jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2100 sebanyak 15 juta orang. Jika hal ini terjadi, maka perlu dikaji bagaimana dampaknya terhadap kebutuhan luasan hutan kota yang berfungsi sebagai sink gas CO2 antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas. Berikut ini disajikan simulasi kebutuhan luasan hutan kota yang berfungsi sebagai sink gas CO2 antropogenik yang bervariasi berdasarkan jumlah penduduk yang dianalisis berdasarkan jumlah daya dukung lantai bangunan. Satu kali daya dukung artinya lahan terbangun per orang untuk permukiman, perkantoran dan lain sebagainya dengan bangunan 1 lantai yang kebutuhan luasnya 70 m2 per orang. Angka ini diperoleh dari keadaan penggunaan lahan terbangun dan jumlah penduduk pada tahun 2003 - 2005. Dua kali daya dukung nilainya sebesar 70/2 m2 per orang yang dicapai dengan bangunan 2 lantai dan tiga kali daya dukung sama dengan 70/3 m2 per orang dengan bangunan 3 lantai dan seterusnya. Nilai kebutuhan lahan terbangun sebesar itu dengan memperhatikan persentase ruang terbuka hijau tetap dipertahankan sekitar 32%, karena sebesar 68,00% diperuntukkan untuk lahan terbangun. Persentase luasan harus lebih dari 30% untuk mengikuti ketentuan UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa 30% lahan kota harus disediakan untuk ruang terbuka hijau. Dengan pendekatan ini, jika lahan terbangun dengan 1 lantai penduduknya telah menggunakan lahan sebesar 68%, maka pertambahan penduduk berikutnya menggunakan bangunan berlantai dua, demikian seterusnya. Dengan demikian, berapa pun jumlah penduduk Kota Bogor, ruang terbuka hijau tetap dapat disediakan seluas 32% sementara lahan terbangunnya sebesar 68% dari luasan Kota Bogor.
105
Bangunan baik perumahan maupun bangunan lainnya jika disediakan dua lantai, maka jumlah penduduk yang dapat ditampung serta luasan ruang terbuka hijau dan luasan hutan kota yang diperlukan sebagai sink gas CO2 antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas sebagai hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar
Kebutuhan Luasan H K (ha)
Jml Penduduk
35. 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 2,020 2,040 2,060 2,080 2,100
Tahun
1,500
1,000
500
2,020 2,040 2,060 2,080 2,100
Tahun
Gambar 35 . Skenario bangunan 2 lantai: (a). Perkembangan jumlah penduduk, (b). Kebutuhan luasan hutan kota. Dari Gambar 35 dapat dikemukakan bahwa jika bangunan hanya dua lantai, maka jumlah penduduk yang dapat ditampung hanya sebanyak 2,5 juta orang. Sementara luasan hutan kota yang dibutuhkan bervariasi seperti terlihat pada Gambar 35b. 4.2.7. Implikasi Kebijakan Setelah diketahui luasan hutan kota menurut kajian emisi dan sink gas CO2 sangat kurang, maka diperlukan penambahan luasan hutan kota. Guna membantu menekan kebutuhan luasan hutan kota, beberapa kebijakan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor adalah sebagai berikut: (1). Upaya untuk memperkecil jumlah emisi gas CO2 antara lain berupa: penghematan bahan bakar, penggunaan bahan bakar minyak dan gas serta penggunaan mobil surya dan mobil hibrida dan upaya untuk memperbesar daya sink antara lain penambahan luasan hutan kota dengan jenis berdaya sink sangat tinggi, pengkayaan areal bervegetasi jarang dan juga penurunan nilai laju konversi luasan ruang terbuka hijau. Beberapa upaya dan kelengkapan instrumen yang dapat disarankan kepada Pemerintah Daerah Kota Bogor adalah: 106
1. Pemerintah daerah perlu menaati UU Tata ruang No. 26 tahun 2007 yang menyatakan ruang terbuka hijau harus 30% dari luas kota. Pembangunan lahan terbangun disarankan bangunan secara vertikal berlantai dua untuk jumlah penduduk sebanyak 2,5 juta orang pada lahan terbangun seluas 8.032,11 ha. Sisanya untuk ruang terbuka hijau dan hutan kota. Luasan hutan kota yang dibutuhkan dari tahun 2017 sampai 2100 bervariasi sekitar 1.400 ha. 2. Pemerintah Daerah Kota Bogor perlu mengukuhkan areal kebun koleksi tanaman di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat di Cimanggu, Istana Presiden, Arboretum Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan serta Konservasi Alam Gunung Batu, karena secara fisik ekosistem telah berupa hutan kota. 3. Kelembagaan dengan pengaturan yang jelas serta diperlukan adanya perangkat perundangan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Bogor yang dapat mendukung penyelenggaraan hutan kota lebih baik. 4. Guna menekan nilai kebutuhan luasan hutan kota Pemda Kota Bogor perlu melakukan kampanye dan usaha lainnya untuk penghematan bahan bakar sampai 30%, pengkayaan pada areal bervegetasi jarang dengan jenis pohon berdaya sink sangat tinggi. 5. Mengingat emisi gas CO2 dari LPG lebih rendah kadarnya dibandingkan dengan bahan bakar minyak lainnya, maka penggunaan bahan bakar gas dapat disarankan untuk dikembangkan di Kota Bogor sebagai pengganti atau pelengkap penggunaan bahan bakar minyak. Jika alternatif ini ditempuh, maka pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) dan konversi penggunaan minyak tanah ke Epliji, harus sudah mulai dipikirkan teknis pelaksanaannya. 6. Penggunaan mobil hibrida yakni mobil dengan mesin penggerak berbahan bakar bensin atau solar yang dilengkapi dengan penggerak listrik. 7. Pembatasan jumlah penduduk.
107
4.2.8. Strategi Pembangunan Hutan Kota Setelah diketahui perlu dilakukan penambahan luasan hutan kota, maka untuk mendapatkan hutan kota yang baik dan benar (Dahlan 2004), beberapa faktor yang harus dipertimbangkan adalah: (1). Tanaman harus dipilih cocok dengan keadaan iklim dan tanah setempat. Mengingat Kota Bogor merupakan kota dengan curah hujan yang tinggi dan kondisi tanahnya pun subur, maka keadaan tanah dan iklim bukan merupakan kendala yang berarti. Namun untuk tanaman yang lokasinya sangat dekat dengan sumber pencemar, maka tanaman harus dipilih yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pencemar. (2). Tanaman harus dipilih dan disesuaikan dengan fungsinya dalam pengelolaan lingkungan. Topik yang dibahas dalam penelitian ini adalah masalah gas CO2, maka jenis tanaman yang akan dikembangkan selanjutnya adalah jenis tanaman yang mempunyai daya sink yang sangat tinggi. Dari hasil penelitian ini jenis tanaman yang termasuk ke dalam kategori berdaya sink yang sangat tinggi adalah: kasia (Cassia sp.) dan trembesi atau kihujan (S. saman). Kedua jenis tanaman ini sebaiknya ditanam di pinggir jalan yang sangat padat kendaraan, agar gas CO2 yang dihasilkan dari kendaraan bermotor dapat diserap dengan baik oleh tanaman tepi jalan. Untuk lokasi lainnya yang agak jauh dari jalan raya selain dengan jenis yang berdaya sink sangat tinggi juga ditanam jenis tanaman lainnya disesuaikan dengan tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk pelestarian keragaman hayati. Menurut kaidah ekologi lingkungan dengan keragaman yang tinggi jauh lebih stabil dibandingkan dengan lingkungan dengan indeks keragaman yang rendah (Soeriatmadja 1981). (3). Luasannya cukup. Topik penelitian ini sangat erat kaitannya dengan masalah ini. (4). Estetik. Faktor keindahan harus diperhatikan ketika akan membangun hutan kota, agar hutan kota dapat lebih mempercantik kota. Komposisi tanaman baik berbentuk pohon, semak dan perdu serta rumput diatur sedemikian rupa agar dapat memperindah bangunan rumah, kantor dan lain sebagainya. Dengan demikian tercipta perpaduan yang harmonis dan indah. (5). Jenis yang ditanam tidak menghasilkan getah atau lainnya yang akan mengganggu dan membahayakan manusia.
108
PP No. 63 tahun 2002 menyatakan: (1). Hutan kota dibangun pada suatu hamparan lahan yang kompak dan rapat, (2). Di dalam wilayah perkotaan, (3). Merupakan ruang terbuka hijau yang didominasi oleh pepohonan, (4). Luasan hutan kota minimal dari 0,25 ha. (5). Didominasi oleh jenis pohon. Selain dari persyaratan tersebut agar mampu membentuk atau memperbaiki iklim mikro, estetika, dan berfungsi sebagai resapan air seperti yang dinyatakan dalam PP no. 63 tahun 2002, maka hutan kota juga harus (6). Multi strata. Ada jenis pohon yang tingginya lebih dari 40 – 50 m dan ada juga yang tingginya 20 – 40 m serta jenis dengan ketinggian lebih kecil dari itu. Penyusunan tanaman boleh juga dilengkapi dengan semak dan rumput, namun peletakannya diatur sedemikian rupa, agar tetap indah dan tidak mengganggu. (7). Kepadatan tanaman cukup, artinya cukup padat namun sesuai degan jarak tanam yang disesuaikan dengan lebar tajuk. (8). hutan kota yang dibangun pada tanah negara atau badan usaha milik negara (BUMN) perlu dikukuhkan oleh Walikota; sedangkan hutan kota yang terdapat pada tanah hak perlu dibuatkan kontrak minimal 15 - 25 tahun dengan imbalan yang menarik dan memadai.
109