4 Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1
Sintesis serta Karakterisasi H 2 SbBP
Sintesis ligan H 2 SbBP dilakukan dengan mereaksikan MPP dengan sebakoil pada suhu 100125oC selama 5 jam. Pada sintesis ligan H 2 SbBP digunakan Ca(OH) 2 sebagai sumber OHuntuk membantu keberlangsungan reaksi. CH3
CH3
N
N H
N
+
HO
-
O
+
N -H2O
H
Cl Cl 6
O
O
O
-
sebakoil
MPP
CH3 N
O
O
-
-
N
Cl 6
Cl
N
+ N
O
O
H3C MPP
CH3
O
O
N
Cl
N
N
6 O
O
-
N
H3C +
CH3
N
H
O
O
N N
6
O
+
N
O
H3C
H
H
CH3
N
O
O
N N
6
N
O
O
H3C
H H2SbBP
Gambar 4.1 Mekanisme reaksi sintesis H 2 SbBP
Gambar 4.1 menunjukkan mekanisme reaksi yang terjadi selama proses sintesis H 2 SbBP. Sintesis dilakukan sesuai dengan prosedur Jensen2. Mula-mula MPP direaksikan dengan basa Ca(OH) 2 untuk mengaktifkan MPP. OH- akan menyerang atom hidrogen pada Cα sehingga elektron berpindah dan membentuk enolat. Selanjutnya ikatan rangkap yang terbentuk menyerang salah satu gugus karbonil pada sebakoil dan menyebabkan atom Cl pada sebakoil terlepas. Reaksi dilanjutkan dengan penyerangan MPP teraktivasi ke gugus karbonil lainnya pada sebakoil dengan mekanisme yang sama dan akhirnya membentuk H 2 SbBP dalam larutan basa. Dari mekanisme reaksi yang terlihat pada Gambar 4.1, diperkirakan reaksi berjalan agak lambat. Maka, reaksi sintesis dilakukan selama 5 jam untuk memastikan bahwa semua sebakoil telah bereaksi membentuk H 2 SbBP. Media pelarut yang digunakan adalah 1,4-dioksan karena semua reagen dan produk akan larut cukup baik dalam 1,4dioksan sehingga reaksi dapat berlangsung.
Gambar 4.2 Hasil sintesis H 2 SbBP setelah ditambah HCl Setelah proses sintesis selama 5 jam selesai, ligan H 2 SbBP yang terbentuk akan larut dalam suasana basa. Setelah didinginkan, larutan ditambah HCl 2 M agar H 2 SbBP yang terbentuk mengendap dan dapat disaring (Gambar 4.2).
Gambar 4.3 Ligan H 2 SbBP setelah disaring dan dikeringkan Ketika ditambah HCl, atom O pada cincin pirazolone akan mengikat H+ menyebabkan ligan H 2 SbBP cenderung menjadi bentuk keto enolnya. Endapan yang diperoleh kemudian disaring untuk memisahkan endapan dengan pelarutnya. Ketika disaring, endapan dicuci 26
dengan aqua dm hingga pH larutan pencuci mencapai 7. Tahapan ini bertujuan untuk memastikan bahwa endapan telah terbebas dari kelebihan Ca(OH) 2 dan HCl. Gambar 4.3 menunjukkan ligan H 2 SbBP yang telah dikeringkan. Ligan H 2 SbBP hasil sintesis berwarna kuning dan berjumlah 12,2027 gram. Secara stoikiometri, reaksi keseluruhan yang terjadi adalah: 2MPP + Ca(OH) 2 + sebakoil → H 2 SbBP + 2H 2 O + Ca2+ + 2Clatau 2C 10 H 10 N 2 O + Ca(OH) 2 + C 10 H 16 O 2 Cl 2 → C 30 H 34 O 4 N 4 + 2H 2 O + Ca2+ + 2ClMaka, menurut perhitungan teoritis jika jumlah MPP adalah 0,0354 mol, Ca(OH) 2 0,0281 mol, dan sebakoil 0,0140 mol akan menghasilkan H 2 SbBP sebanyak 0,0140 mol, yaitu 7,196 gram. Maka rendeman yang diperoleh adalah: (Pers. 4.1)
Dari hasil penelitian diperoleh jumlah ligan yang lebih besar dibandingkan hasil perhitungan sehingga rendemannya melebihi 100%. Hal ini dapat disebabkan karena penimbangan dilakukan dalam keadaan sedikit basah atau adanya senyawa pengotor lain dalam endapan yang diperoleh. Untuk mengetahui apakah H 2 SbBP hasil sintesis cukup murni, maka dilakukan penentuan titik leleh. Menurut penelitian yang telah dilakukan, titik leleh H 2 SbBP adalah 136oC.12 Sedangkan ligan yang berhasil kami sintesis memiliki titik leleh 127,8-132oC. Perbedaan titik leleh yang diperoleh menunjukkan bahwa ligan yang disintesis belum murni dan perlu dilakukan rekristalisasi. Sebelum melakukan rekristalisasi, dilakukan pengujian kelarutan untuk menentukan pelarut terbaik yang akan digunakan dalam rekristalisasi. Adapun hasil pengujian kelarutan yang dilakukan: Tabel 4.1 Hasil Uji Kelarutan H 2 SbBP Senyawa
n-heksan
metanol
CHCl 3
H2 O
Etanol : air
CHCl 3 : n-heksan
5:1
1:1
Pelarut MPP
+
++++
++++
x
++++
++
Sebakoil
++++
++++
++++
x
++
++++
H 2 SbBP
++
+++
++++
x
++
+++
Keterangan: + = sedikit larut ++++ = sangat larut
x = tidak larut
27
Dari hasil uji kelarutan yang dilakukan maka dipilih etanol:air = 5:1 sebagai pelarut untuk melakukan rekristalisasi. Setelah dilakukan rekristalisasi, diperoleh endapan yang lebih murni. Hal ini ditunjukkan dengan hasil penentuan titik leleh yang mendekati titik leleh menurut literatur (136oC) yaitu 132,9-135,4oC. Namun, rendeman hasil rekristalisasi hanya 56,48%. Tabel 4.2 Data spektrum IR H 2 SbBP dan H 2 AdBP12 vOH
vas C=O
Ulur cincin pirazolon 1562 s
vas C=C=C
vC=O
1631 s
Fenil vC=C 1594 s
H 2 AdBP
-
1498 s
1364 s
H 2 SbBP
3350 b
1626 s
1592 s
1552 s
1498 s
1364 m
Vibrasi cincin kelat 632 m 508 m 640 m 508 m
Tabel 4.2 menunjukkan vibrasi-vibrasi gugus utama dari senyawa H 2 AdBP dan H 2 SbBP yang berhasil disintesis oleh Uzuokwu. Puncak-puncak yang diperoleh Uzuokwu ternyata juga terlihat pada spektrum IR H 2 SbBP yang berhasil disintesis. Hal ini mengindikasikan bahwa senyawa H 2 SbBP berhasil disintesis. Pada spektrum IR H 2 SbBP yang diperoleh (Gambar 4.4), terlihat adanya puncak vibrasi – OH pada bilangan gelombang 3450,65 cm-1. Adanya puncak –OH ini menandakan bahwa H 2 SbBP yang disintesis ada dalam bentuk tautomer ketoenol. Sedangkan tautomer diketon dari senyawa ini tidak akan memberikan puncak –OH. Puncak pada 3072,60 cm-1 menandakan adanya stretching –CH dari gugus benzen. Vibrasi –CH 2 alifatik terlihat pada 2939,52 cm-1. Pada daerah 2300-2400 cm-1 terlihat adanya puncak khas CO 2 yang merupakan gangguan dari udara saat pembuatan pellet KBr. Puncak khas lainnya sesuai dengan hasil yang diperoleh Uzuokwu, yaitu vibrasi C=O asimetrik pada 1624,06 cm-1, vibrasi C=O simetrik pada 1363,67 cm-1, vibrasi C=C fenil pada 1591,27 cm-1, stretching cincin pirazolon pada 1556,55 cm-1, vibrasi asimetrik-C=C- pada 1494,83 cm-1, serta daerah sidik jari yang menunjukkan vibrasi cincin kelat pada 640,37 cm-1 dan 507,28 cm-1. Jika dibandingkan dengan spektrum reagen-reagen yang digunakan, yaitu sebakoil dan MPP, terlihat adanya beberapa puncak-puncak khas. Puncak-puncak khas tersebut menandakan bahwa adanya pembentukan senyawa baru, bukan hanya pencampuran fisik dua senyawa.
28
15
0 4000 4500 H2SbBP kita
30 -CH2-
3500 3000 2500 1462.04 1438.90
-C=O -C=C fenil Stretching cincin Pirazolone -C=C=C-
2000 1750 1556.55 1494.83
CO2
1500 1250
-C=O
1000
686.66
983.70
750
507.28 489.92
607.58
725.23 640.37
775.38
1159.22
1710.86
1876.74 1782.23
3072.60
908.47 854.47 831.32
1028.06
1182.36
1271.09
-OH
750.31
60 1211.30
1363.67 1321.24
-C-H benzen
1074.35
1396.46
75
1624.06 1591.27
45 2939.52
%T
3450.65
90
Vibrasi cincin kelat
500 1/cm
Gambar 4.4 Spektrum IR H 2 SbBP 29
O
75
Cl Cl 6
501.49
821.68
1201.65
%T
1143.79 1109.07
1346.31 1296.16
3550.95
90
O
-C-H stretching -C=O
0 4000 4500 Sebacoil
3500
3000
2500
2000
432.05
1797.66
2933.73
30
723.31
2858.51
952.84
678.94
1462.04 1404.18
45
15
569.00
60
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4.5 Spektrum IR sebakoil 30
30 N
10 4500 MPP CH3
20 N
4000 3500 3000 -C=O -C=C fenil Stretching cincin Pirazolone -C=C=C-
2500 2000 1750 688.59
40
1500
1155.36
1390.68 1346.31 1303.88
802.39 752.24
-CH2
1523.76 1498.69
-C-H benzen
1602.85
50 1024.20
2360.87 2337.72
60
1250
615.29
1000 750
574.79
653.87
916.19 896.90 850.61
1074.35
1195.87
1807.30
997.20
1240.23
1456.26
2569.18
70 2922.16 2850.79
80 3126.61
100
%T
90
-C=O
O
500 1/cm
Gambar 4.6 Spektrum IR MPP 31
Pada spektrum IR sebakoil (Gambar 4.5), terlihat dua puncak utama, yaitu pada bilangan gelombang 2933,73 cm-1 yang berasal dari stretching –CH 2 alifatik dan pada 1797,66 cm-1 yang berasal dari vibrasi gugus karbonil. Sedangkan puncak-puncak pada spektrum IR MPP (Gambar 4.6) hampir sama dengan puncak-puncak yang ditunjukkan oleh spektrum IR H 2 SbBP. Perbedaannya terletak pada puncak –OH dan puncak pada daerah sidik jari yang berasal dari cincin pengkelat. Selain itu, terlihat adanya pergeseran beberapa puncak, misalnya puncak stretching cincin pirazolon yang bergeser dari 1523,76 cm-1 (pada MPP) menjadi 1556,55 cm-1 (pada H 2 SbBP). Pergeseran puncak ini menunjukkan bahwa cincin pirazolon pada MPP tidak sama dengan cincin pirazolon pada H 2 SbBP. Puncak lainnya yang bergeser adalah puncak C=O, dari 1602,85 cm-1 (pada MPP) menjadi 1624,06 cm-1. Setalah dilakukan rekristalisasi dengan etanol:air = 5:1, dilakukan penentuan spektrum IR kembali. Spektrumyang diperoleh (Gambar 4.7) menunjukkan puncak-puncak yang relatif sama dengan spectrum IR H 2 SbBP sebelum dilakukan rekristalisasi.
Selain itu, dilakukan juga penentuan titik leleh H 2 SbBP yang telah direkristalisasi untuk mengamati perbedaan ligan sebelum dan sesudah direkristalisasi. Ternyata H 2 SbBP setelah rekristalisasi memiliki titik leleh 132,9-135,4oC. Hasil ini menunjukkan adanya perubahan titik leleh, mendekati hasil yang diperoleh Uzuokwu, yaitu 136oC. Oleh karena itu, dengan adanya tahapan rekristalisasi, H 2 SbBP menjadi lebih murni. Secara teori, senyawa yang murni memiliki range titik leleh hanya 1oC. Range titik leleh yang diperoleh cukup lebar (2,5oC) menandakan senyawa
tidak
murni.
Namun,
dipertimbangkan
juga
bahwa
H 2 SbBP
berkemungkinan ada dalam bentuk tautomer diketon dan ketoenol yang memiliki titik leleh berbeda. Maka, H 2 SbBP hasil rekristalisasi termasuk ligan dengan tingkat kemurnian tinggi. Namun, dengan mempertimbangkan kecilnya rendeman (56,48%), kesamaan spektrum IR yang diperoleh, dan fungsi ligan sebagai ekstraktan, maka ligan yang selanjutnya digunakan dalam penentuan kapasitas sorpsi Ce3+ adalah ligan H 2 SbBP yang tidak direkristalisasi.
32
15
0 4000 4500 H2SbBP -C=O -C=C fenil Stretching cincin Pirazolone -C=C=C-
3500 3000 2500 2000 1750 1496.76
30 1625.99
1500
1398.39
1250 1000
688.59
983.70
1745.58 1710.86
3072.60
-C=O
750
725.23 640.37 607.58 509.21 491.85
777.31
910.40 854.47 831.32
1184.29 1159.22
1271.09
1028.06 1002.98
1211.30
1363.67 1323.17
75
750.31
1074.35
45 1463.97 1440.83
60 2854.65
-OH
1554.63
-C-H benzen 2939.52
%T 3466.08
90
Vibrasi cincin kelat
-CH2-
500 1/cm
Gambar 4.7 Spektrum IR H 2 SbBP setelah rekristalisasi 33
4.2
Sintesis serta Karakterisasi H 2 AdBP
Sintesis ligan H 2 AdBP dilakukan dengan mereaksikan MPP dengan adipoil pada suhu 100125oC selama 5 jam. Sama halnya dengan sintesis H 2 SbBP, pada sintesis ligan H 2 AdBP digunakan Ca(OH) 2 sebagai sumber OH- untuk membantu keberlangsungan reaksi. CH3
CH3
N
N H
N
+
HO
-
O
+
N
Cl Cl
H O
O
O
-
adipoil
MPP
CH3 N
O
O
-
-
N
Cl Cl
N
+ N
O
O
H3C MPP
CH3
O
O
N
Cl
N
N O
O
-
N
H3C +
CH3
N
H
O
O
N N O
+
N
O
H3C
H
H
CH3
N
O
O
N N N
O
O
H3C
H H2AdBP
Gambar 4.8 Mekanisme reaksi sintesis H 2 AdBP 34
Mekanisme reaksi sintesis H 2 AdBP ditunjukkan pada Gambar 4.8. Secara keseluruhan mekanisme sintesis H 2 AdBP sama dengan mekanisme reaksi sintesis H 2 SbBP. Perbedaannya hanya pada jumlah rantai etilena, dan hal tersebut itu mempengaruhi mekanisme reaksi sintesis. Pada sebakoil jumlah rantai etilena lebih panjang, yaitu 8, sedangkan pada adipoil hanya 4.
Gambar 4.9 Hasil sintesis H 2 AdBP setelah ditambah HCl Walaupun hanya berbeda pada jumlah rantai etilena, secara fisik H 2 AdBP berbeda dengan H 2 SbBP. H 2 SbBP berwarna kuning sedangkan H 2 AdBP cokelat dan terlihat seperti endapan yang lebih halus (Gambar 4.9).
Gambar 4.10 Penyaringan H 2 AdBP
Gambar 4.11 Filtrat hasil sintesis H 2 AdBP 35
Ketika disaring (Gambar 4.10) diperoleh filtrat hasil sintesis (Gambar 4.11) berwarna coklat karena merupakan sisa reagen atau produk samping yang larut dalam dioksan pada suasana asam. Reagen yang mungkin tersisa adalah MPP dan Ca(OH) 2 .
Gambar 4.12 H 2 AdBP setelah dikeringkan Gambar 4.12 menunjukkan ligan H 2 AdBP yang telah dikeringkan. Ligan H 2 AdBP hasil sintesis berwarna coklat dan berjumlah 3,9106 gram. Secara stoikiometri, reaksi keseluruhan yang terjadi adalah: 2MPP + Ca(OH) 2 + adipoil → H 2 AdBP + 2H 2 O + Ca2+ + 2Clatau 2C 10 H 10 N 2 O + Ca(OH) 2 + C 6 H 8 O 2 Cl 2 → C 26 H 26 O 4 N 4 + 2H 2 O + Ca2+ + 2ClMaka, menurut perhitungan teoritis dimana jumlah MPP adalah 0,0252 mol, Ca(OH) 2 0,0682 mol, dan sebacoyl 0,0123 mol akan menghasilkan H 2 SbBP sebanyak 0,0123 mol, yaitu 5,6334 gram. Sesuai dengan Persamaan 4.1, maka rendeman yang diperoleh adalah:
Dari hasil penelitian diperoleh jumlah ligan yang lebih kecil dibandingkan hasil perhitungan sehingga rendemannya kurang dari 100%. Hal ini dapat disebabkan karena adanya ligan yang tertinggal saat pemindahan dari suatu wadah ke wadah lain, adanya ligan yang lolos saat penyaringan, atau kurangnya jumlah HCl yang ditambahkan sehingga suasana larutan kurang asam dan ada molekul ligan yang belum mengendap sempurna. Untuk mengetahui apakah H 2 AdBP hasil sintesis cukup murni, maka dilakukan penentuan titik leleh. Menurut penelitian yang telah dilakukan, titik leleh H 2 AdBP adalah 193 oC untuk tautomer diketon dan 199 oC untuk tautomer ketoenol.12 Sedangkan ligan yang berhasil disintesis memiliki titik leleh 190,3-197,6oC. Besarnya range titik leleh yang diperoleh 36
menunjukkan bahwa ligan yang disintesis belum murni dan perlu dilakukan rekristalisasi. Rekristalisasi dilakukan dengan CHCl 3 : n-heksan = 3:2. Namun, karena hasil rekristalisasi sangat sedikit dan mempertimbangkan kebutuhan karakterisasi selanjutnya, maka rekristalisasi tidak dilakukan pada semua ligan.
Gambar 4.13 Hasil rekristalisasi H 2 AdBP Pada penentuan spektrum IR, puncak-puncak dari H 2 AdBP relatif sama dengan spektrum yang diperoleh Uzuokwu. Pada spektrum IR H 2 AdBP yang diperoleh (Gambar 4.14), terlihat adanya puncak vibrasi –OH pada bilangan gelombang 3446,79 cm-1. Adanya puncak –OH ini menandakan bahwa H 2 AdBP yang disintesis ada dalam bentuk tautomer ketoenol. Sedangkan tautomer diketon dari senyawa ini tidak akan memberikan puncak –OH. Puncak yang menandakan adanya stretching –CH dari gugus benzen muncul pada bilangan gelombang sekitar 3000 cm-1 namun intensitasnya sangat kecil sehingga kurang terlihat. Vibrasi –CH 2 alifatik terlihat pada 2926,01 cm-1. Pada daerah 2300-2400 cm-1 terlihat adanya puncak khas CO 2 yang merupakan gangguan dari udara saat pembuatan pelet KBr. Puncak khas lainnya sesuai dengan hasil yang diperoleh Uzuokwu, yaitu vibrasi C=O asimetrik pada 1629,85 cm-1, vibrasi C=O simetrik pada 1363,67 cm-1, vibrasi C=C fenil pada 1593,20 cm-1, stretching cincin pirazolon pada 1560,41 cm-1, vibrasi asimetrik-C=Cpada 1494,83 cm-1, serta daerah sidik jari yang menunjukkan vibrasi cincin pengkelat pada 636,51 cm-1 dan 507,28 cm-1.
37
3500
3000
2500
2000
1750
688.59
507.28
584.43 636.51
812.03
910.40
1006.84
1205.51
974.05
752.24
Vibrasi cincin kelat
1494.83 1560.41
0
1629.85
-C=O -C=C fenil Stretching cincin Pirazolone -C=C=C-
15
4500 4000 H2AdBP
-C=O
1593.20
30
1074.35
-CH2-
1168.86
45
1458.18 1442.75
-OH
1292.31
1388.75
60
2926.01
3446.79
75
1363.67
2858.51
%T
1743.65
1951.96
90
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4.14 Spektrum IR H 2 AdBP 38
100 %T 90 80 70
O
-C-H stretching
4500 4000 Adipoil
3500
401 19
734.88 686.66
927.76
1691.57
2958.80
20 10
1801.51
30
1192.01
1462.04 1406.11
2669.48
40
1276.88
50
513.07
1355.96 1313.52
60
433.98
Cl Cl
569.00
1085.92
O
-C=O
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4.15 Spektrum IR adipoil 39
Jika dibandingkan dengan spektrum reagen-reagen yang digunakan, yaitu adipoil dan MPP, terlihat adanya beberapa puncak-puncak khas. Puncak-puncak khas tersebut menandakan bahwa adanya pembentukan senyawa baru, bukan hanya pencampuran fisik dua senyawa. Pada spektrum IR adipoil (gambar 19), terlihat dua puncak utama, yaitu pada bilangan gelombang 2958,80 cm-1 yang berasal dari stretching –CH 2 alifatik serta pada 1801,51 cm-1 dan 1691,57 cm-1 yang berasal dari vibrasi gugus karbonil. Sedangkan puncak-puncak pada spektrum IR MPP (gambar 10) hampir sama dengan puncak-puncak yang ditunjukkan oleh spektrum IR H 2 AdBP. Perbedaannya terletak pada puncak –OH dan puncak pada daerah sidik jari yang berasal dari cincin pengkelat. Selain itu, terlihat adanya pergeseran beberapa puncak, misalnya puncak stretching cincin pirazolon yang bergeser dari 1523,76 cm-1 (pada MPP) menjadi 1560,41 cm-1 (pada H 2 AdBP). Pergeseran puncak ini menunjukkan bahwa cincin pirazolon pada MPP tidak sama dengan cincin pirazolon pada H 2 AdBP. Puncak lainnya yang bergeser adalah puncak C=O, dari 1602,85 cm-1 (pada MPP) menjadi 1629,85 cm-1.
4.3
Pembuatan Kurva Kalibrasi Larutan Standar Ce3+
Pembuatan kurva
kalibrasi larutan standar
Ce (III)
dilakukan dengan
metoda
spektrofotometri UV-Vis. Syarat penggunaan metoda spektrofotometri UV-Vis adalah larutan yang akan diukur absorbansnya memiliki warna yang masuk dalam daerah sinar ultraviolet atau tampak. Oleh karena itu, Ce(III) terlebih dahulu dikomplekan dengan alizarin red S. Pemilihan alizarin red S sebagai agen pengompleks didasarkan sifat alizarin red S yang mampu menangkap ion logam dengan baik. Selain itu, alizarin red S adalah agen pengompleks yang ramah lingkungan. Jurnal tahun 2004 telah melaporkan bahwa kompleks yang dibentuk dengan logam tanah jarang cukup stabil dan memiliki energi pengomplekan yang rendah.2 O SO 3Na
Ce O
OH O
Gambar 4.16 Struktur kompleks Ce-alizarin red S Gambar 4.16 adalah salah satu kemungkinan struktur kompleks Ce-alizarin red S yang terbentuk. Kompleks Ce-alizarin yang terbentuk berwarna merah kecoklatan. Jika konsentrasi serium rendah, larutan berwarna coklat, ketika konsentrasi cukup tinggi, larutan 40
berubah menjadi merah hingga ungu, jika sangat pekat. Warna merah meneruskan sinar dengan panjang gelombang 610-750 nm, dan warna komplementernya, yaitu biru-hijau, memiliki panjang gelombang 490-560 nm. 4 Oleh karena itu, ketika dilakukan pengukuran panjang gelombang maksimum, diperoleh λ maks adalah 530 nm. Kompleks serium-alizarin relatif stabil setelah 1 jam pada pH 4-5.13 Oleh karena itu, ditambahkan buffer asetat pH 4-5 dan setelah penambahan alizarin red S pada larutan serium, campuran didiamkan selama 1 jam. Setelah kompleks cukup stabil (lebih dari 1 jam), pengukuran larutan standar dilakukan pada panjang gelombang 530 nm. Hasil pengukuran penyerapan deret larutan standar serium (III) secara lengkap terdapat pada Lampiran. Dari data penyerapan diperoleh kurva kalibrasi serium (III) pada Gambar 4.17. Dari kurva kalibrasi serium (III) didapat persamaan garis Y = 0,041 X – 0,021. Berdasarkan hukum Labert Beer, terdapat hubungan linear antara konsentrasi serium (III) dengan absorbans yang diperoleh ketika nilai ekstingsi molar (ε) dan lebar kuvet (b) adalah sama, sehingga Persamaan 2.3 dapat dituliskan kembali sebagai berikut: A = kc
(Pers. 4.2)
Dimana k adalah suatu tetapan. Oleh karena itu, ketika dibuat aluran antara A terhadap konsentrasi larutan Ce (III) akan diperoleh garis linear.
Kurva Kalibrasi Ce (III) 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 A 0,4 0,3 0,2 0,1 0 -0,1 0
y = 0,041x - 0,021 R² = 0,995
5
10
15
20
25
konsentrasi Ce3+ (ppm)
Gambar 4.17 Kurva kalibrasi serium (III) Persamaan garis yang diperoleh tidak melewati titik (0,0), malainkan memiliki penyimpangan 0,021. Secara teori, seharusnya diperoleh kurva y = mx, yang berarti tidak ada serapan yang terukur apabila tidak terdapat analit dalam larutan yang diukur. Namun, secara eksperimen hal tersebut sulit diperoleh, dapat disebabkan karena pengaruh instrumen yang digunakan. Penyimpangan 0,021 termasuk kecil, dengan r2 = 0,995, maka persamaan 41
garis yang diperoleh dapat digunakan untuk analisis kuantitatif sampel serium (III). Konsentrasi sampel yang ditentukan harus berada dalam rentang daerah linear pengukuran pada kurva kalibrasi, yaitu memiliki nilai absorbans diantara 0,119 dan 0,8014.
4.4
Ekstraksi Cair-Cair Ce3+ dengan Variasi [H 2 SbBP], [H 2 AdBP], dan pH
Prinsip dasar pemisahan dengan ekstraksi cair-cair adalah terdistribusinya suatu solut dari fasa umpan ke fasa pelarut. Fasa umpan dan pelarut harus saling tidak campur. Oleh karena itu, fasa umpan dalam penelitian ini adalah larutan aqua dm yang mengandung solut, yaitu cerium (III), sedangkan fasa pelarut adalah larutan kloroform yang mengandung ligan H 2 SbBP atau H 2 AdBP. Ligan H 2 SbBP dan H 2 AdBP berfungsi sebagai ekstraktan yang dapat mempermudah distribusi serium ke fasa kloroform.
Gambar 4.18 Skema proses ekstraksi serium (III) Keterangan: L adalah ligan SbBP/AdBP
Dari Gambar 4.18, terlihat beberapa reaksi kesetimbangan yang mungkin mempengaruhi proses ekstraksi dan terjadi dalam fasa air, yaitu: 1.
Reaksi pembentukan kompleks antara logam Ce3+ dengan ion OH- yang berasal dari H 2 O. Reaksi ini memungkinkan terbentuknya endapan Ce(OH) 3 . Namun dalam penelitian yang dilakukan, tidak terlihat adanya endapan putih Ce(OH) 3 sehingga reaksi pengomplekan ini diasumsikan tidak terjadi. (Pers. 4.3) (Pers. 4.4) (Pers. 4.5)
42
2.
Reaksi disosiasi ligan dalam fasa air. Ligan H 2 SbBP maupun H 2 AdBP adalah ligan yang bersifat asam organik lemah. Oleh karena itu ada kemungkinan terjadi penguraian menghasilkan H+ dalam fasa air. Namun, karena kelarutan ligan sangat kecil dalam fasa air. Maka, reaksi disosiasi ini diasumsikan tidak terjadi. (Pers. 4.6) (Pers. 4.7)
3.
Reaksi pembentukan kompleks kelat antara serium (III) dengan ligan. Reaksi ini lebih tepat dikatakan terjadi di antarmuka fasa air-kloroform. (Pers. 4.8) Mula-mula ligan di fasa kloroform (LH 2 ) org terdistribusi ke antarmuka kemudian mengikat ion serium yang ada di antarmuka. Kompleks CeLn yang dihasilkan kemudian terdistribusi ke fasa kloroform. Oleh karena itu, konsentrasi logam dalam fasa air akan berkurang karena sebagian terikat ke fasa kloroform. Reaksi distribusi yang terjadi adalah: (Pers. 4.9)
(Pers. 4.10) Agar lebih mudah, untuk selanjutnya penulisan
disingkat dengan
.
Jika diasumsikan reaksi yang terjadi dalam fasa (air) hanya reaksi pembentukan kompleks, maka: (Pers. 4.11)
(Pers. 4.12) Jika maka,
Log D = Log Kd 2 – 2nLog [H+] + Log K + n Log [LH 2 ]
(Pers. 4.13)
Log Kd 2 + Log K = K’ 43
Log D = K’ + 2n pH + n Log [LH 2 ]
(Pers. 4.14)
Jika pH tetap, aluran log D terhadap log [LH 2 ] akan menghasilkan garis linear. Titik potong garis dengan sumbu y akan menghasilkan nilai K’ + 2n pH. Kemiringan garis adalah nilai n. Jika [LH 2 ] tetap, aluran log D terhadap pH akan menghasilkan garis linear. Titik potong garis dengan sumbu y akan menghasilkan nilai K’ + n log [LH 2 ]. Kemiringan garis adalah 2n. Pada penelitian yang dilakukan, mula-mula ekstraksi serium dilakukan pada pH 3,5. Konsentrasi ligan H 2 SbBP dan H 2 AdBP divariasikan dengan mempertimbangkan perbandingan mol logam dan ligan. Hasil penyerapan logam yang tersisa dalam fasa air terdapat dalam Lampiran. Ketika dibuat aluran log D terhadap log [ligan] diperoleh kurva linear naik. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak ligan yang digunakan dalam ekstraksi, maka semakin banyak cerium yang terekstraksi ke fasa kloroform. Ketika digunakan ligan H 2 SbBP, diperoleh persamaan garis Y = 1,386X + 2,254 (Gambar 4.19), sedangkan ligan H 2 AdBP menghasilkan persamaan garis Y = 1,275X + 1,289 (Gambar 4.20). Ligan H 2 SbBP maupun H 2 AdBP menghasilkan persamaan garis dengan kemiringan mendekati 1,5. Oleh karena itu, dapat disimpulkan nilai n untuk Pers. 4.8 adalah 1,5.
Ekstraksi serium-variasi [H2SbBP] 2,5000 2,0000 1,5000 1,0000 log D
y = 1,386x + 2,254 R² = 0,994
0,5000 0,0000
-3,0000
-2,5000
-2,0000
-1,5000
-1,0000
-0,5000 -0,50000,0000
0,5000
-1,0000 log [H2SbBP](M)
-1,5000
Gambar 4.19 Kurva hasil ekstraksi serium dengan variasi [H 2 SbBP]
44
Ekstraksi serium-variasi [H2AdBP] 1,5000 1,0000 0,5000
log D
0,0000 -3,0000 -2,5000 -2,0000 -1,5000 -1,0000 -0,5000 -0,50000,0000
0,5000
-1,0000 y = 1,275x + 1,289 R² = 0,997 log[H2AdBP]
-1,5000 -2,0000
Gambar 4.20 Kurva hasil ekstraksi serium dengan variasi [H 2 AdBP] Dari nilai n yang diperoleh maka dengan mensubstitusikan nilai 1,5 ke Pers. 4.8, diperoleh reaksi pembentukan kompleks: (Pers. 4.15) Agar diperoleh koefisien bernilai bulat, maka Pers. 4.16 dikalikan dengan faktor pengali 2, sehingga diperoleh persamaan pembentukan kompleks: (Pers. 4.16) Dari Pers. 4.15 diketahui bahwa sebuah ion logam Ce3+ berinteraksi dengan 3 sisi donor βdiketon dari ligan H 2 SbBP maupun H 2 AdBP. Interaksi yang terjadi terlihat pada Gambar 4.21.
Gambar 4.21 Interaksi antara Ce3+ dengan H 2 SbBP dan H 2 AdBP2
45
Pada tahapan penentuan kinerja ligan dalam berbagai pH, massa ligan dibuat tetap sedangakan pH divariasikan dari 2-5. Hasil penyerapan logam yang tersisa dalam fasa air terdapat dalam Lampiran. Ketika dibuat aluran log D terhadap pH diperoleh kurva linear naik. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pH ekstraksi, maka semakin banyak serium yang terekstraksi ke fasa kloroform. Ketika digunakan ligan H 2 SbBP, diperoleh persamaan garis Y = 0,439X + 1,289 (Gambar 4.22), sedangkan ligan H 2 AdBP menghasilkan persamaan garis Y = 0,208X + 1,291 (Gambar 4.23). Menurut Pers. 4.14 seharusnya kemiringan dari kurva log D terhadap pH bernilai 2n. Namun hasil penelitian menunjukkan hasil lain. Oleh karena itu, asumsi bahwa reaksi kesetimbangan dalam fasa (air) hanya reaksi pembentukan kompleks tidak berlaku pada ekstraksi variasi pH.
Ekstraksi serium-variasi pH, H2SbBP 1,2000 1,0000 0,8000 0,6000 0,4000 log D 0,2000 0,0000 -0,2000 0 -0,4000 -0,6000 -0,8000
1
2
3
y = 0,439x - 1,289 R² = 0,831 4 5
6
pH
Gambar 4.22 Kurva hasil ekstraksi cerium menggunakan H 2 SbBP dengan variasi pH
Ekstraksi cerium-variasi pH, H2AdBP 0 -0,1 0 -0,2
1
2
3 4 y = 0,208x - 1,291 R² = 0,895
5
6
-0,3 log D -0,4 -0,5 -0,6 -0,7 -0,8
pH
Gambar 4.23 Kurva hasil ekstraksi cerium menggunakan H 2 AdBP dengan variasi pH
46
Walaupun untuk rentang pH 2-5 diperoleh kurva linear naik, untuk rentang pH di atas 5 tidak dapat dipastikan bahwa hasil ekstraksi akan terus meningkat dengan naiknya pH. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh reaksi-reaksi kesetimbangan lain yang mungkin terjadi saat kondisi pH larutan berubah. Reaksi kesetimbangan yang mungkin mempengaruhi ekstraksi telah dijelaskan di halaman 42, yaitu reaksi pengendapan Ce(OH) 3 dan disosiasi ligan. Kedua reaksi tersebut dapat menurunkan efisiensi ekstraksi. Untuk mengetahui pengaruh reaksi-reaksi tersebut masih perlu dilakukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut. Dari hasil penentuan kinerja ligan pada ekstraksi cair-cair serium (III) dengan variasi [ligan] (Gambar 4.24) dan variasi pH (Gambar 4.25), dapat disimpulkan bahwa ligan H 2 SbBP memiliki kinerja yang lebih baik sebagai ekstraktan pada berbagai variasi [ligan] dan variasi pH. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa ligan dengan rantai polimetilen yang lebih panjang (untuk n= 4 dan n= 8) akan memiliki efisiensi ekstraksi lebih besar.2
Kinerja ekstraktan-variasi [ligan] 1,4000 1,2000 1,0000 D
0,8000 0,6000
H2SbBP
0,4000
H2AdBP
0,2000 0,0000 0,0000 0,0050 0,0100 0,0150 0,0200 0,0250 0,0300 [ekstraktan]
Gambar 4.24 Kurva kinerja ekstraktan sebagai fungsi [ligan]
Kinerja ekstraktan-variasi pH 7,0000 6,0000 5,0000 D
4,0000 3,0000
H2SbBP
2,0000
H2AdBP
1,0000 0,0000 0
1
2
3
4
5
6
pH
Gambar 4.25 Kurva kinerja ekstraktan sebagai fungsi pH 47
4.5
Penentuan Faktor Pisah antara Serium dan Itrium
Untuk dapat mengetahui apakah pemisahan suatu ion logam dari logam lainnya dapat dilakukan dengan proses ekstraksi pelarut atau tidak, perlu dilakukan penentuan nilai faktor pemisahan atau selektivitas (α). Selektivitas merupakan suatu perbandingan antara angka banding distribusi logam yang satu dengan logam yang lain. Agar dapat dilakukan pemisahan, nilai α harus melebihi 1. Dari Gambar 4.26 terlihat bahwa ekstraksi dengan H 2 SbBP pada pH 3 dan 4 menghasilkan nilai D ce dan D Y yang berbeda. Namun perbedaan paling besar diperoleh ketika kondisi larutan pada pH 4. Semakin besar perbedaan D dua logam maka semakin besar faktor pisah yang diperoleh.
Perbedaan D Ce dan Y-H2SbBP 45 40 35 30 25 D 20 15 10 5 0
Ce Y
0
1
2
3
4
5
6
pH
Gambar 4.26 Kurva perbandingan D Ce-Y dengan H 2 SbBP sebagai ekstraktan
Perbedaan D Ce dan Y-H2AdBP 18 16 14 12 10 D 8 6 4 2 0
Ce Y
0
1
2
3
4
5
6
pH
Gambar 4.27 Kurva perbandingan D Ce-Y dengan H 2 AdBP sebagai ekstraktan
48
Dari Gambar 4.27 terlihat bahwa ekstraksi dengan H 2 AdBP pada pH 3, 4, dan 5 menghasilkan nilai D ce dan D Y yang berbeda. Namun perbedaan paling besar diperoleh ketika kondisi larutan pada pH 4. Dari kurva yang diperoleh terlihat bahwa ligan H 2 SbBP dan juga H 2 AdBP memiliki kinerja yang lebih baik dalam mengikat ion itrium. Untuk mengetahui ligan mana yang lebih baik dalam memisahkan ion Ce3+ dan ion Y3+ perlu diketahui nilai selektivitas dengan lebih tepat. Tabel 4.3 menunjukkan nilai faktor pisah Y terhadap Ce menggunakan ligan H 2 SbBP dan H 2 AdBP pada berbagai pH. Pemisahan terbaik diperoleh ketika menggunakan ligan H 2 AdBP dengan pH ekstraksi adalah 4. Tabel 4.3 Faktor pisah Y terhadap Ce pada ekstraksi cair-cair pH 2 3 4 5
4.6
H 2 SbBP H 2 AdBP α Y/Ce α Y/Ce 2,5354 5,0273 20,2124 10,0949 40,2399 1,3473 6,2562
Perlindian Pasir Monasit dan Karakterisasi Residu Sisa Perlindian
Pasir monasit yang digunakan dalam perlindian adalah sampel yang berasal dari Bangka. Perlindian dilakukan dengan bantuan NaOH, dimana perbandingan berat NaOH: berat pasir monasit adalah 1:1. Mula-mula NaOH dilarutkan terlebih dahulu dengan sedikit air agar membentuk suatu media peleburan yang baik bagi pasir monasit. Reaksi peleburan akan berlangsung baik jika NaOH dapat bergerak dengan baik dalam wadah pelebur. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengontrolan jumlah air dalam cawan porselein. Namun, pada penelitian ini tidak dilakukan pengontrolan air dengan mempertimbangkan bahwa pada suhu 250oC NaOH berada dalam bentuk lelehan.
Gambar 4.28 Hasil perlindian pasir monasit Setelah peleburan dilakukan selama 2 jam, diperoleh padatan coklat kehijauan (Gambar 4.28). Adapun reaksi yang terjadi selama proses peleburan: 2RE(PO 4 ) + 6 NaOH → RE2 O 3 .3H 2 O + 2 Na 3 PO 4 49
Hasil perlindian merupakan campuran Na 3 PO 4 serta logam tanah jarang dan mineral lain dalam bentuk oksida hidrat. Hasil ini berbeda dengan hasil yang diperoleh Nwe, 2008. Nwe juga melakukan perlindian pasir monasit dengan metoda yang sama, hanya saja perlindian dilakukan pada suhu 140oC selama 3 jam disertai pengontrolan air. Hasil perlindian Nwe bukan berupa padatan melainkan slurry berwarna kuning. Oleh karena itu, terlihat adanya pengaruh pengontrolan air dalam proses perlindian.
Gambar 4.29 Kerak biru didasar cawan porselein Pada saat dilakukan pemindahan hasil perlindian, terlihat adanya kerak berwarna biru didasar cawan porselein (Gambar 4.29). Setelah dilakukan pengujian peleburan blanko (slurry NaOH), diketahui bahwa kerak biru berasal dari reaksi cawan dengan NaOH. Oleh karena itu, kerak biru ini diasumsikan tidak mempengaruhi hasil perlindian.
Gambar 4.30 Pelarutan hasil perlindian Padatan coklat kehijauan yang diperoleh kemudian dilarutkan dengan aqua dm (Gambar 4.30) sehingga diperoleh larutan berwarna kuning dan endapan coklat yang tidak larut dalam air. Residu coklat yang diduga merupakan natrium silikat berjumlah 7,8546 gram (Gambar 4.31). Jika memperhitungkan kadar silikat umumnya dalam pasir monasit (3%), natrium silikat yang diperoleh termasuk sangat banyak. Hal ini dapat dikarenakan tidak adanya pengontrolan air sehingga pergerakan molekul NaOH terbatas dan peleburan belum berjalan sempurna. Residu coklat termasuk senyawa yang tidak higroskopis dengan kadar airnya hanya 2,8%.
Gambar 4.31 Residu coklat hasil perlindian
50
Gambar 4.32 Pola XRD pasir monasit bangka
51
Gambar 4.33 Pola XRD residu coklat 52
Pola XRD dari pasir monasit (Gambar 4.32) menunjukkan adanya kristal LTJ-fosfat, terutama serium-fosfat, terlihat dari puncak karakteristik pada 2Ѳ = 26,990o; 28,840o; dan 46,155o. Selain itu, juga terlihat puncak dari difraksi itrium-fosfat dengan intensitas tinggi, yaitu pada 2Ѳ = 25,890o dan 42,050o. Hasil pola XRD residu coklat menunjukkan adanya kristal natrium dari LTJ yang belum terlarut, dan juga ditemukan natrium-kalsium-silikat. Puncak karakteristik pada 2Ѳ = 28,155o dan 46,655o menunjukkan masih banyaknya kristal natrium-itrium dalam residu coklat. Jika pola XRD pasir monasit dan residu coklat dibandingkan, diketahui bahwa LTJ dalam bentuk fosfat telah terdestruksi menjadi bentuk natrium-nya. Namun, tidak semua natriumLTJ berhasil dilarutkan dalam air, terlihat bahwa natrium-yttrium masih banyak tertinggal dalam residu. Lebih rendahnya intensitas pada pola XRD residu coklat menunjukkan bahwa LTJ dari pasir monasit telah berkurang dikarenakan destruksi dan pelarutan dalam air. Oleh karena itu, destruksi perlu dilakukan secara bertahap dan berulang untuk meningkatkan efisiensi destruksi. Setelah dilakukan pemisahan residu, filtrat kuning dijenuhkan hingga terbentuk kristal berbentuk jarum (Gambar 4.32). Kristal jarum ini diduga merupakan Na 2 HPO 4 . Dengan memisahkan kristal jarum, diperoleh filtrat yang bebas dari Na 2 HPO 4 .
Gambar 4.34 Kristal jarum Na 2 HPO 4 Filtrat yang telah bebas dari Na 2 HPO 4 ditambah dengan HCl hingga pH larutan menjadi 3,5. Pada tahapan ini diperoleh endapan putih yang merupakan ThO 2 (Gambar 4.33).
Gambar 4.35 Pengendapan ThO 2
53
Setelah dilakukan pemisahan Na 2 HPO 4 dan ThO 2 diperoleh filtrat dengan matriks lebih sederhana (Gambar 4.34). Maka, diharapkan filtrat yang bebas dari Na 2 HPO 4 dan ThO 2 ini dapat mempermudah pemisahan lebih lanjut logam tanah jarang dalam filtrat.
Gambar 4.36 Filtrat bebas Na 2 HPO 4 dan ThO 2 Pemisahan LTJ dari filtrat dapat dilakukan dengan bantuan H 2 SbBP dan H 2 AdBP sebagai ekstraktan dengan mengacu pada hasil penentuan kinerja ligan. Kondisi ekstraksi yang diperoleh dari penentuan kinerja ligan pada variasi [ligan] dan pH tidak dapat langsung diterapkan pada crude dengan matriks sangat kompleks karena akan terjadi penyimpangan hasil ekstraksi. Oleh karena itu, semakin sederhana matriks hasil perlindian maka semakin minimal penyimpangan hasil ekstraksi. Untuk mengetahui pengaruh matriks pada hasil ekstraksi serta hasil pemisahan masing-masing logam, perlu dilakukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut.
54