29 4. ANALISIS SITUASIONAL
Produksi Udang Nasional (ton)
Kinerja Sistem Komoditas Udang Komoditas udang Indonesia pernah mencatat masa keemasan sekitar tahun 1980 an, ditandai dengan komoditas udang windu menjadi primadona ekspor yang menyumbang 15 persen dari total ekspor nonmigas. Produksi udang Indonesia mencapai puncak di tahun 2008 dengan volume produksi 409 ribu ton dengan total nilai Rp10 triliun. Namun tahun 2009, produksi udang nasional menurun menjadi sekitar 338 ribu ton. Tahun 2011 produksi udang nasional mengalami peningkatan dengan total volume produksi sebesar 400 ribu ton (KKP, 2013). Produksi udang nasional ditunjukkan pada Gambar 12. 450000 400000 350000 300000 250000 200000 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 12 Produksi udang nasional Produksi udang nasional dihasilkan dari sentra budidaya udang diantaranya Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Data statistik perikanan budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2011 produksi udang nasional terbesar disumbang oleh Sumatera Selatan sebesar 68.912 ton atau sekitar 17% dari total produksi udang nasional. Jawa Barat menempati urutan kedua sebagai pemasok produksi udang nasional sebesar 56.871 ton dan posisi selanjutnya adalah Jawa Timur sebesar 50.489 ton. Gambaran produksi udang tahun 2011 masing-masing propinsi ditunjukkan pada Gambar 13. 11%
5%
sumatera utara
7%
5%
sumatera selatan
17%
lampung jawa barat jawa timur
5% 12%
11%
NTB Kaltim Sulsel
13%
14%
Sultra lainnya
Gambar 13 Produksi udang tiap provinsi
30 Beberapa sentra produksi udang nasional pada tahun 2011 mengalami penurunan produksi jika dibandingkan pada tahun 2010 walaupun prosentasenya sedikit, seperti dicontohkan Sumatera Utara mengalami penurunan sebesar 8%, Jawa Timur sebesar 0,3%, dan Bali sebesar 36%. Penurunan produksi udang terbesar dialami Provinsi Jambi dengan prosentase 55% dari produksi tahun 2010 sebesar 10 ton menjadi 5 ton pada tahun 2011. Penurunan produksi udang mengakibatkan beberapa perusahaan pengolahan udang berhenti beroperasi. Sejak awal tahun 2009, jumlah perusahaan pengolahan udang di Indonesia yang masih beroperasi menurun drastis hingga kurang dari 50% dari jumlah semula. Sebagai ilustrasi di Sulawesi Selatan pada tahun 2006 terdapat 13 perusahaan pengolahan sedangkan saat ini hanya tersisa 6 perusahaan. Hal yang sama terjadi di Jawa Timur, industri pengolahan yang sebelumnya berjumlah 35 perusahaan di tahun 2006, saat ini hanya sekitar 16 perusahaan yang masih aktif. Di samping jumlah perusahaan yang berkurang drastis, produksi yang dihasilkan oleh setiap perusahaan pun semakin berkurang hanya 30-50 % dari kapasitas terpasang. Saat ini sebagian besar industri hanya bisa mengolah 3-5 ton udang perhari atau sekitar 1000 ton per tahun. (Ilman, 2010). Menurut asosiasi pengusaha pengolahan dan pemasaran produk perikanan (AP5I) pasokan bahan baku industri perikanan sangat terbatas. Jawa Timur hanya mampu memasok bahan baku industri perikanan sebesar 1000 ton per bulan, padahal kebutuhan bahan baku mencapai 6000 ton per bulan sehingga dalam memenuhi keutuhan agroindustri memerlukan pasokan bahan baku dari luar kawasan. Karakteristik pasokan bahan baku dari dalam kawasan dan luar kawasan Minapolitan tentunya berbeda dalam rantai pasokan baik dari segi penyaluran barang maupun sistem pengadaannya. Rantai pasokan merupakan jaringan yang terdiri dari organisasi-organisasi yang saling berhubungan untuk menyelenggarakan pengadaan atau penyaluran barang (Indrajit dan Djokopranoto, 2006). Rantai pasok agroindustri udang merupakan siklus lengkap produksi, mulai dari pertambakan udang untuk menghasilkan produk udang, penanganan pasca panen, sampai ke pengiriman udang ke agroindustri pembekuan udang sebagai konsumen inti dalam wilayah Minapolitan. Karakteristik rantai pasok agroindustri udang sangatlah unik dikarenakan komoditas yang diperdagangkan mudah sekali rusak sehingga perlu penanganan yang cepat dan benar. Selain itu seperti halnya komoditas pertanian lain, komoditas udang memiliki karakteristik musiman dan beragam sehingga salah satu permasalahan yang timbul adalah tidak kontinyu pasokan bahan baku. Pasokan bahan baku yang kurang mengakibatkan kegiatan produksi agroindustri udang seringkali tidak mencapai kapasitas optimalnya. Rantai pasokan agroindustri udang di wilayah Minapolitan terdiri dari produsen bahan baku yaitu petambak udang, kemudian pedagang pengumpul yang terdiri dari pedagang kecil dan pedagang besar, dan agroindustri pembekuan udang sebagai konsumen utama komoditas udang. Masing masing agen dalam rantai pasok agroindustri udang saling bergantung dan terlibat dalam transformasi barang, jasa, informasi dan modal. Gambaran rantai pasok agroindustri udang ditunjukkan pada Gambar 14.
31 Petambak Udang
Pedagang Kecil
Industri Pembekuan Udang
Pedagang Besar
Industri kecil Pengolahan Udang
Distributor
Eksportir
Konsumen Luar Negeri
Konsumen Domestik
Gambar 14 Rantai pasok agroindustri udang Industri kecil dan konsumen domestik merupakan konsumen komoditas udang di luar konsumen utama yaitu industri pembekuan udang. Pemenuhan kebutuhan konsumsi bahan bakunya, industri kecil dan konsumen domestik mengesampingkan kualitas dan lebih memilih harga murah sebagai pilihan dalam membeli udang. Daya beli konsumen domestik yang rendah dan keinginan menekan biaya bahan baku bagi industri kecil menjadi penyebab pemilihan harga sebagai prioritas. Pemenuhan pasokan bahan baku bagi industri pembekuan udang saat ini masih rendah, sebagai gambaran hanya 40% - 50% kapasitas produksi yang digunakan dari kapasitas terpasang. Kondisi ini jika berlangsung lama akan merugikan agroindustri udang mengingat biaya produksi yang ditanggung semakin besar, sehingga dalam jangka waktu tertentu akan mengalami kebangkrutan. Tidak beroperasinya agroindustri udang mengakibatkan terganggunya pemasaran udang dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara umum, mengingat agroindustri udang sebagai konsumen utama komoditas udang. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Timur Tahun 2011 mencatat terdapat 4 agroindustri udang yang beroperasi di Kabupaten Gresik.
Minapolitan Kabupaten Gresik Kabupaten Gresik terletak di sebelah barat laut Kota Surabaya dengan posisi geografis antara 112° sampai 113° Bujur Timur dan 7° sampai 8° Lintang Selatan dan merupakan dataran rendah dengan ketinggian 2 sampai 12 meter diatas permukaan air laut kecuali Kecamatan Panceng mempunyai ketinggian 25dpl. Luas wilayah Kabupaten Gresik sebesar 1.191,25 km2 terbagi dalam 18 Kecamatan dan terdiri dari 330 Desa dan 26 Kelurahan. Secara geografis wilayah Kabupaten Gresik merupakan daerah pesisir pantai, yaitu memanjang mulai dari Kecamatan Kebomas, Gresik, Manyar, Bungah, Sidayu, Ujungpangkah dan Panceng serta Kecamatan Sangkapura dan Tambak yang lokasinya berada di Pulau Bawean. Wilayah Kabupaten Gresik sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Surabaya dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lamongan, sebelah timur berbatasan dengan Selat Madura. Peta Kabupaten Gresik ditunjukkan pada Gambar 15.
32
Gambar 15 Peta Kabupaten Gresik (sumber: http://hilal-setyawan.blogspot.com/2012/04/peta-kabupaten-gresik.html) Kabupaten Gresik di tetapkan sebagai salah satu pengembangan kawasan Minapolitan melalui keputusan menteri kelautan dan perikanan No.32/MEN/2010, khususnya pengembangan komoditas perikanan bandeng dan udang. Kawasan Minapolitan di Kabupaten Gresik terdiri dari kawasan budidaya atau hinterland, dan kawasan Minapolis atau pusat perikanan dan pelayanan yang didalamnya terdapat agroindustri. Sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Gresik, Kecamatan Sidayu dimasukkan sebagai kawasan Minapolis sedangkan Kecamatan Bungah, Dukun, Ujung Pangkah dan Panceng di jadikan sebagai kawasan budidaya atau hinterland. Pemilihan Kecamatan Sidayu sebagai minapolis didasarkan pada letaknya yang strategis dilihat dari segi ketersediaan infrastruktur, pemasaran dan pengolahan komoditas perikanan sedangkan ke empat kecamatan lainya dikarenakan banyaknya aktivitas budidaya maka di tetapkan sebagai kawasan hinterland. Penetapan ini didukung dengan kekayaan sumberdaya alam yang melimpah khususnya perikanan darat, dari 18 kecamatan yang ada terdapat 14 kecamatan menggantungkan kegiatan perekonomiannya pada pembudidayaan perikanan darat. Perikanan darat Kabupaten Gresik menempati luasan 25.539 ha dan menempati urutan kedua setelah pertanian dengan luasan 36.746 ha. Data dinas kelautan dan perikanan Kabupaten Gresik tahun 2010 mencatat sebanyak 23.779 orang pembudidaya ikan di wilayah Kabupaten Gresik. Selain itu juga subsektor perikanan berperan cukup besar terhadap PDRB kabupaten Gresik, BPS mencatat bahwa sumbangan sub sektor perikanan terhadap Produk Domestic Regional Bruto atas dasar harga berlaku pada tahun 2011 sebesar 4.26% seperti tampak pada Gambar 16.
33
Gambar 16 Prosentase subsektor perikanan terhadap PDRB Pada lingkup Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Gresik masuk dalam lima besar penyumbang produksi perikanan Jawa Timur bersama Kabupaten Lamongan, Sumenep, Banyuwangi dan Sidoarjo. Dinas kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur mencatat pada tahun 2007 produksi perikanan Kabupaten Gresik 58.527,9 ton dengan nilai sebesar Rp 599.540.252.000. Tahun 2008 produksi perikanan sebesar 58,797.8 ton dengan nilai Rp 544.702.599.000. sedangkan tahun 2009 dan 2010 produksi perikanan berturut turut sebesar 46.606 ton dan 58.939,68 ton. Ekpor komoditas perikanan Provinsi Jawa Timur dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur pada tahun 2007 ekspor hasil perikanan membukukan total 216.648,97 ton dengan nilai US $ 580.971.927. Volume ekspor hasil perikanan Tahun 2008 sebesar 243.712,598 ton dengan nilai US $ 673.608.502, sedangkan tahun 2009 volume ekspor hasil perikanan sebesar 226.284,85 ton dengan nilai US $ 621.687.819. Komoditas perikanan darat yang diusahakan di Kabupaten Gresik meliput bandeng, udang, mujair, gurame, nila dan lain lain. Pada tahun 2010 produksi bandeng mencapai 28.181,38 ton sedangkan udang mencapai 5.919,05 ton. Produksi udang di Kabupaten Gresik didominasi oleh udang vannamei yang mencapai 72 % dari produksi udang Kabupaten Gresik. Produksi udang dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi yang di sebabkan beberapa faktor baik internal maupun eksternal misalnya serangan penyakit dan banjir. Tabel 2 Produksi udang vannamei di Kabupaten Gresik No Jenis vannamei Produksi (ton) 2006 2007 2008 2009 2010 1 Vannamei payau 1027.02 1237.02 1387.49 1387.49 1916.52 2 Vannamei tawar 1800.24 1890.08 1970.9 1982.16 2340.99 Jumlah 2827.26 3127.1 3358.39 3369.65 4257.51 Sumber: Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kab Gresik. 2011. Potensi pasar untuk udang Vannamei sampai saat ini masih terbuka luas, seberapapun produksi petambak selalu di serap oleh pasar, karena itu diharapkan dengan ditetapkannya Kabupaten Gresik sebagai kawasan Minapolitan, akan terjadi peningkatan aktivitas dan produksi komoditas perikanan khususnya udang vannamei sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Aktivitas kawasan Minapolitan merupakan interaksi antar pelaku yang ada dalam kawasan Minapolitan dan bersinergi, untuk mengelola komoditas perikanan agar mendapatkan keuntungan. Masing-masing pelaku mempunyai peran dan fungsi
34 yang sesuai dengan kedudukan dalam Minapolitan. Pelaku utama dimulai dari petambak sebagai aktor produsen udang. Sebagai pelaku usaha yang berada di hulu, keberadaan petambak adalah mutlak bagi kelangsungan usaha yang lebih hilir lainnya. Petambak di Kabupaten Gresik umumnya mendapatkan tambaknya dari warisan orang tua, sedikit yang berasal dari pembelian hasil jerih payah usahanya. Dinas kelautan, perikanan dan peternakan Kabupaten Gresik pada tahun 2011 mencatat terdapat sekitar 20.981 orang petambak. Aktivitas pertambakan dalam satu tahun melakukan penanaman sekali sampai tiga kali, dengan pola budidaya adalah tradisional plus. Pola tambak tradisional merupakan pola yang paling banyak dipakai oleh petambak. Tambak udang di Kabupaten Gresik luasannya mencapai 32.464 ha yang terdiri atas pola tradisional mencapai 23.808 ha, tradisional plus 8.594 ha, semi intensif 43 ha dan pola intensif sebesar 19 ha. Pola tradisional plus merupakan modifikasi dari pola tradisional dengan adanya tambahan pakan dan kepadatan yang lebih tinggi di banding dengan pola tradisional. Pola tradisional plus tidak hanya mengandalkan pakan alami berupa plankton yang berkembang di areal pertambakan selama budidaya udang, namun ada penambahan pakan buatan untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan udang. Pola tradisional plus tingkat kepadatannya berkisar 8-10 ekor/m2. Hasil produksi perhektar menghasilkan rata-rata 500 kg dengan ukuran ratarata udang yang di hasilkan 80 ekor/ kg. Ukuran udang yang dihasilkan tergantung dari lama budidaya, untuk umur panen sekitar 60 hari akan menghasilkan ukuran udang berkisar 100-150 ekor/ kg sedangkan jika udang di panen pada umur 100 hari bisa menghasilkan ukuran 50-90 ekor/kg. Namun demikian biasanya petambak melihat kondisi serangan penyakit, kalau terdapat serangan penyakit akan di panen lebih awal untuk mengurangi kerugian. Sistem penjualan udang menganut sistem terbuka dimana hasil produksi tambak dijual ke pedagang yang paling menguntungkan, namun ada aturan yang tidak tertulis ketika petambak mendapatkan bantuan pinjaman dari pedagang tertentu, hasil produksinya harus ke pedagang tersebut sesuai harga pasar yang berlaku. Pedagang kecil dan pedagang besar merupakan pelaku yang menjembatani perniagaan udang hasil produksi petambak ke agroindustri. Selain ke agroindustri, udang produksi yang afkir akan di pasok ke agroindustri kecil misalnya industri krupuk. Kelompok pedagang melakukan pembelian langsung ke petambak dan melakukan sortasi untuk memisahkan mutu udang yang didapatkan dari pembelian. Sortasi ini dilakukan secara sederhana dan dilakukan secara manual. Perbedaan sortasi yang dilakukan pedagang kecil dan besar terletak pada tingkat mutu yang lebih spesifik, pedagang kecil melakukan sortasi dengan 4 mutu udang yakni kecil, sedang besar dan afkir sedangkan pedagang besar lebih memperinci mutu yang dihasilkan dari pedagang- pedagang kecil. Perbedaan lain antara pedagang besar dan kecil yaitu kepemilikan modal usaha. Modal usaha pedagang besar tentunya lebih besar di banding dengan pedagang kecil, semakin banyak modal maka volume pembelian udang juga semakin banyak. Agroindustri pembekuan udang dan industri kecil krupuk merupakan pasar bagi pedagang maupun petambak udang. Sebagai industri primer dalam rantai pasok udang, industri ini mempunyai kedudukan yang penting dalam menaikkan dan menurunkan harga komoditas udang. Keberadaan agroindustri memberikan jaminan pasar bagi petambak untuk memasarkan hasil tambaknya. Semakin baik kondisi agroindustri, maka dampaknya akan semakin menguntungkan bagi petambak udang,
35 misalnya perbaikan harga jual udang sehingga pendapatan petambak akan meningkat. Industri pembekuan udang membeli udang segar dari pedagang besar yang kemudian melakukan proses pengolahan menjadi produk olahan udang beku yang langsung di ekspor ke negara tujuan misalnya Amerika, Jepang dan Eropa. Penentuan harga pembelian udang dari pedagang disesuaikan dengan harga pasar dunia dan biasanya antar industri tidak terlalu banyak berbeda. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur mencatat terdapat empat industri pembekuan udang di Kabupaten Gresik. Industri pembekuan udang biasanya melakukan pengarahan terhadap mutu yang diinginkan dan menjaga mutu kepada pemasok, agar mutu udang yang dikirim masih tetap baik dan terjaga kesegarannya agar tidak ditolak oleh industri pembekuan udang. Lembaga permodalan sebagai salah satu pelaku dalam Minapolitan memegang peranan yang penting dalam penyediaan modal, mengingat salah satu kelemahan petambak adalah kurang kuat dalam penyediaan modal usaha akibat keterbatasan akses ke lembaga permodalan. Selama ini penyediaan modal petambak lebih banyak dibantu oleh pedagang kecil maupun pedagang besar dengan imbalan petambak mau menjual hasil panennya ke pemberi modal. Lembaga permodalan khususnya keuangan mikro menjadi salah satu pilihan petambak, karena mampu memenuhi kebutuhan modal dan prosedur yang cukup sederhana. Pelaku lain yang berperan penting dalam klaster Minapolitan adalah pemerintah. Pemerintah mempunyai kewenangan regulasi dalam mengelola sumberdaya perikanan termasuk tambak. Pemerintah membangun infrastruktur guna memperlancar kegiatan budidaya, transportasi bahan baku sampai ke agroindutri dalam kawasan. Penyuluhan guna peningkatan produktifitas tambak merupakan salah satu fungsi pemerintah dalam usaha mengembangkan dan meningkatkan aktifitas Minapolitan. Pemerintah Kabupaten Gresik telah menetapkan kawasan Minapolitan guna peningkatan pemanfaatan ruang yang saling mendukung mulai dari proses produksi di kawasan budidaya, kawasan agroindustri maupun dalam distribusi dan pemasaran. Peningkatan kinerja Minapolitan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus peningkatan pendapatan daerah, karena itu pemerintah sangat berkepentingan untuk mengembangkan kawasan guna meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan.
Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan sistem rantai pasok agroindustri udang di kawasan Minapolitan, menjabarkan beberapa kebutuhan dari elemen-elemen sistem pembentuk rantai pasok agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Pengembangan Minapolitan diusahakan secara operasional dapat memenuhi kebutuhan pelakupelaku yang berperan dalam pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Terpenuhinya kebutuhan elemen penyusun Minapolitan mendorong tercapainya agroindustri udang berkelanjutan di kawasan Minapolitan. Pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis kebutuhan pelaku sistem dilakukan secara bottom up, hasil analisis kebutuhan elemen elemen sistem agroindustri udang di kawasan Minapolitan ditunjukkan pada Tabel 3.
36 Tabel 3 Analisis kebutuhan elemen sistem Pelaku Kebutuhan 1. Petambak Udang - Harga udang stabil - Produksi meningkat - Kepastian pasar udang hasil produksi - Pendapatan meningkat - Peningkatan kesejahteraan 2. Pedagang - Kontinuitas bahan baku dari petambak - Terjaminnya pasar - Harga stabil - Hubungan baik dengan petambak dan agroindustri 3. Agroindustri - Adanya kontinuitas bahan baku udang - Mutu bahan baku udang yang tinggi - Harga bahan baku yang rasional - Meningkatnya volume bahan baku - Peningkatan pendapatan perusahaan - Hubungan baik dengan petambak dan pedagang - Rendahnya pengaduan atas limbah agroindustri 4. Lembaga permodalan - Peningkatan nasabah potensial - Rendahnya resiko pengembalian kredit - Kelancaran pengembalian kredit 5. Masyarakat kawasan - Bertambahnya lapangan kerja - Peningkatan kesejahteraan - Kenyamanan dan keamanan lingkungan 6. Pemerintah - Peningkatan pendapatan petambak - Kelestarian sumberdaya perikanan khususnya tambak - Lapangan kerja bertambah - Peningkatan penyerapan tenaga kerja - Meningkatnya kontribusi pendapatan dari agroindustri udang
Formulasi Permasalahan Formulasi permasalahan merupakan kesenjangan antara pemenuhan kebutuhan pelaku sistem berdasarkan analisis kebutuhan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Eriyatno (1999) kesenjangan yang ada perlu diformulasikan sehingga mencapai taraf definitif. Permasalahan utama dalam pengembangan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang dihadapi dapat diformulasikan sebagai berikut: a. Jaminan pasokan bahan baku Permasalahan utama tidak berkembangnya agroindustri udang secara optimal banyak disebabkan tidak adanya jaminan pasokan bahan baku yang tepat, baik volumenya, mutu, dan waktu. Hal ini disebabkan banyak faktor yang mengganggu proses budidaya baik internal maupun eksternal petambak. Internal
37 meliputi ketersediaan bibit unggul yang mampu tahan terhadap serangan penyakit, jumlah bibit yang tersedia, teknologi budidaya dan biaya produksi yang semakin meningkat. Eksternal lebih ke arah gangguan alam yang banyak menyebabkan perubahan iklim dan banjir. Hal ini menyebabkan terganggunya kontinuitas pasokan bahan baku untuk agroindustri udang. Menurut asosiasi pengusaha pengolahan dan pemasaran produk perikanan (AP5I) pasokan bahan baku industri perikanan sangat terbatas. Jawa Timur hanya mampu memasok bahan baku industri perikanan sebesar 1000 ton per bulan, padahal kebutuhan bahan baku mencapai 6000 ton per bulan. Kesulitan pasokan bahan baku menyebabkan industri pengolahan ikan hanya bisa berproduksi kurang dari setengah kapasitas terpasangnya. b. Standar Kualitas Produk Kualitas produk tambak udang umumnya masih rendah, umumnya disebabkan kualitas bibit udang yang kurang baik, waktu panen yang kurang tepat dan penanganan pasca panen yang kurang baik. Kualitas rendah ditandai dengan ukuran udang kecil, produk tidak segar dan moulting akibat kurang tepatnya penanganan waktu panen. Kondisi ini disebabkan kurangnya pengetahuan dan pendidikan berkaitan dengan budidaya dan penanganan udang. c. Limbah Industri udang Limbah industri udang baik di budidaya maupun di tingkat agroindustri sangat mempengaruhi kualitas lingkungan. Limbah budidaya berupa sisa sisa pakan udang dan obat-obatan akan mempengaruhi produktifitas panen pada musim berikutnya. Banyaknya kandungan limbah budidaya menyebabkan tingkat kematian udang akan meningkat baik disebabkan keracunan maupun kerentanan terhadap serangan penyakit. Limbah agroindustri berupa sisa-sisa grading dan air pencucian akan menimbulkan bau dan kontaminasi di perairan maupun tambak sehingga akan menimbulkan permasalahan baru yang kompleks baik dari sisi lingkungan maupun sosial. Oleh karena itu permasalahan limbah budidaya udang dan pengolahan perlu mendapatkan penanganan yang serius agar keberlanjutan agroindustri udang bisa berlangsung. d. Kelembagaan Hubungan kelembagaan yang terjalin antar pelaku pelaku dalam kawasan Minapolitan umumnya telah ada. Hal ini tercermin pada mekanisme jual beli antara petambak dengan pedagang, pedagang dengan pedagang dan pedagang dengan agroindustri. Namun demikian hubungan kelembagaan ini sifatnya lemah dalam arti hanya bersifat bisnis semata tidak dalam bagaimana menjaga keberlangsungan agar agroindustri hulu sampai hilir bisa tetap berlangsung, egoisme masing masing pelaku dalam mendapatkan keuntungan sebagai penyebab lemahnya kelembagaan yang ada. Oleh karena itu perlu peran pemeritah yang lebih besar untuk memperkuat sistem kelembagaan yang telah ada. Model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan dimaksudkan permasalahan dan kesenjangan yang ada bisa teratasi. Dengan adanya model ini diharapkan pengembangan Minapolitan dapat menyelesaikan permasalahan, aspek apa saja yang seharusnya diperbaiki dan perlu mendapatkan kebijakan yang tepat, sehingga keberlanjutan agroindustri udang pada masa mendatang dapat ditingkatkan.
38 Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang diselesaikan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan sistem. Identifikasi sistem dimaksudkan untuk menentukan batasan sistem dan ruang lingkup penelaahan model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Identifikasi sistem bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap model klaster Minapolitan dalam bentuk diagram. Diagram yang digunakan adalah diagram sebab akibat (causal loop) yang kemudian diterjemahkan dalam diagram input-output (black box diagram). Diagram sebab akibat (causal loop) Causal loop merupakan penggambaran model agroindustri udang di kawasan Minapolitan dan berbagai elemennya yang terkait berikut interaksinya. Pengambaran ini menjelaskan kebutuhan sistem dan permasalahannya serta tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan adalah untuk mengembangkan sebuah model pengembangan yang berdampak positif, baik dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dukungan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan sangat berkorelasi bagi keberlanjutan klaster Minapolitan yang dibangun, jika salah satu dimensi tersebut kinerjanya negatif maka keberlanjutan klaster akan berkurang, seperti dicontohkan misalnya dari sisi ekonomi, salah satu pelaku klaster tidak diuntungkan dengan kegiatan perdagangan komoditas utama dalam klaster maka akan terjadi pelemahan terhadap kinerja ekonomi klaster tersebut, sebaliknya jika kebutuhan bahan baku meningkat didukung harga komoditas bagus akan meningkatkan pelaku pembudidaya untuk memproduksi bahan baku, dengan didukung kelayakan usaha yang semakin meningkat maka keberlanjutan sisi ekonomi sebuah klaster akan meningkat pula. Begitu juga dengan sisi lingkungan misalnya, banyaknya limbah yang dihasilkan dalam kegiatan Minapolitan akan berdampak negatif terhadap daya dukung lingkungan. Banyaknya limbah yang dihasilkan juga akan meningkatkan biaya sosial yang harus di tanggung akibat dampak limbah yang ditimbulkan, begitu juga sebaliknya. Hubungan yang harmonis dan sinergi antar pelaku dalam klaster Minapolitan akan mampu mewujudkan agroindustri udang berkelanjutan. Pengembangan Minapolitan harus juga berdampak positif pada dimensi sosial. Tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi, peningkatan kesejahteraan pekerja merupakan dampak positif yang diharapkan pada pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Hubungan antar elemen sistem pembentuk klaster Minapolitan digambarkan dalam diagram sebab-akibat Model pengembangan Agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang ditunjukkan dalam Gambar 17.
39
+
Kebijakan Pemerintah
+
Sumberdaya Udang
-
Kebutuhan Bahan Baku Industri -
+
-
Kebutuhan Pasar
Keberlanjutan Lingkungan
+ +
+
Potensi Limbah dan Resiko Pencemaran +
-
Keberlanjutan Ekonomi
Biaya sosial
+ +
+
Daya Saing Agroindustri + +
Kelayakan Bisnis Agroindustri
Keberlanjutan Agroindustri Udang di Kawasan Minapolitan +
+
-
Pendapatan Daerah
+
Keberlanjutan Sosial
+
+
+
Kesejahteraan Pelaku Klaster
+
Lembaga Pembiayaan +
Gambar 17 Diagram sebab akibat model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan Diagram input-output (black box diagram). Model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan, dibangun dengan mengakomodasi berbagai kebutuhan elemen sistem yang terkait. Hubungan antar elemen, input maupun output dalam model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan dinyatakan dalam diagram Input-Output (black box diagram) disajikan pada Gambar 18. Penggunaan diagram input-output dapat mengabstaksikan model keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan sebagai kotak hitam, dimana struktur yang ada didalamnya dianggap belum diketahui. Melalui proses dan fenomena tertentu yang terjadi dalam model agroindustri udang di kawasan Minapolitan maka masukan-masukan yang diterima akan diolah menjadi keluaran-keluaran sistem. Mekanisme umpan balik akan mengolah kembali keluaran yang tidak diinginkan menjadi keluaran yang diinginkan. Mekanisme umpan balik yang dapat dijadikan landasan untuk memilih alternatif strategi dalam meningkatkan keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan.
40 INPUT LINGKUNGAN : - Peraturan & Kebijakan Pemerintah - Kondisi Ekonomi Mikro - Perubahan Iklim Global
INPUT TAK TERKONTROL : Harga Produk udang ekspor Perubahan Iklim dan Cuaca Volume Produksi udang luar kawasan Nilai Tukar Rupiah
OUTPUT DIKEHENDAKI: Keberlanjutan ekonomi Keberlanjutan sosial Keberlanjutan lingkungan MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UDANG DI KAWASAN MINAPOLITAN
INPUT TERKONTROL : Struktur Klaster Teknologi Budidaya Kapasitas Produksi Budidaya udang kawasan Teknologi pasca panen Biaya Investasi Usaha Insentif pajak
OUTPUT TIDAK DIKEHENDAKI: Peningkatan produksi melebihi daya dukung lingkungan Pencemaran lingkungan Pengurangan kapasitas agroindustri
MANAJEMEN PENGENDALIAN
Gambar 18 Diagram input-output model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan Diagram input output model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan tergambar proses umpan balik antara output yang dikehendaki dengan input yang masuk. Proses umpan balik memerlukan suatu indikator sebagai dasar tercapainya output yang dikehendaki dalam model pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan. Indikator haruslah mudah diukur, sederhana dan dapat mewakili sistem secara keseluruhan.
Indikator Keberlanjutan Indikator keberlanjutan haruslah sesuai dan mampu mewakili sistem secara keseluruhan apabila tercapai output sistem yang dikehendaki. Penentuan indikator harus selalu terkait dengan tujuan (McCool dan Stankey, 2004). Beberapa kriteria yang digunakan dalam pemilihan indikator adalah sebagai berikut: 1. Indikator merupakan seperangkat variabel kunci yang mampu menggambarkan kinerja sistem yang kompleks secara efektif 2. Nilai indikator dapat digunakan untuk melakukan pengukuran sistem secara efektif, dan dapat menggambarkan keadaan masa mendatang sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu pengambilan kebijakan Menurut Hemphill et al. (2004) kharakteristik indikator harus sesuai dengan maksud pengukuran, akurat dan terpercaya dan informasinya mudah diperoleh. Penetapan indikator keberlanjutan agroindustri udang di kawasan Minapolitan yang sesuai didasarkan pada survey lapang, wawancara mendalam dengan pelaku, narasumber
41 ahli dan pengkajian pustaka yang berkaitan dengan indikator yang biasa digunakan dalam penentuan keberlanjutan pengembangan agroindustry udang di kawasan Minapolitan. Tabel 4 Indikator keberlanjutan pengembangan agroindustri udang di kawasan Minapolitan No Dimensi Indikator Keberlanjutan 1. Ekonomi - Keuntungan petambak - Keuntungan pedagang - Keuntungan agroindustri - Pendapatan Asli Daerah 2. Sosial - Penyerapan tenaga kerja - Potensi biaya sosial 3. Lingkungan - Produksi Udang Kawasan Minapolitan - Kontinuitas produksi udang - Potensi volume limbah