83
4. ANALISIS SISTEM
4.1 Kondisi Situasional Produktivitas gula yang cenderung terus mengalami penurunan disebabkan efisiensi industri gula secara keseluruhan, mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik gula (melibatkan generasi 1, 2, dan 3 ). Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 1 adalah kelemahan dalam budidaya bibit tebu. Bibit tebu yang akan ditanam dapat berupa 1) bibit pucuk, yang diambil dari bagian pucuk tebu yang akan digiling (umur 12 bulan); 2) bibit batang muda, yang diambil dari tanaman tebu umur 5 – 7 bulan; 3) bibit rayungan, yang diambil dari tanaman tebu khusus untuk pembibitan berupa stek yang tumbuh tunasnya tetapi akar belum keluar; dan 4) bibit siwilan, yang diambil dari tunas-tunas baru dari tanaman yang pucuknya sudah mati. Kualitas bibit antara lain ditentukan oleh varietas tebu yang akan digunakan sebagai bibit tanaman. Varietas tebu yang unggul ditanam antara lain PS 58, PS 56, PS 41, BZ 63, BZ 81, BZ 107 dan klon-klon POY 3016. Varietas tebu ini akan berpengaruh terhadap besarnya rendemen (prosentase kandungan gula) dalam tebu. Selama 20 tahun terakhir (Soetedjo 2002) sudah puluhan varietas baru berhasil ditemukan namun potensi rendemen hanya 12 (dua belas) persen, bahkan rendemen nyata tinggal tujuh persen akibat banyaknya faktorfaktor lain di lapangan. Menurut Soetedjo (2002) PT Perkebunan Nusantara XI di Jawa Timur berupaya mencari terobosan dengan mengembangkan varietas baru tanaman tebu, yaitu varietas R-579. Varietas baru ini mampu menghasilkan rata-rata 10,07 ton gula/hektare atau dua kali lipat dibandingkan produktivitas nasional yang rata-rata 4 ton gula/hektare. Angka itu juga melampaui program akselerasi produksi gula nasional tahun 2007 sebanyak 8,5 ton gula/hektare. Oleh karena itulah, Menteri Pertanian Bungaran Saragih memberikan penghargaan khusus kepada PT Perkebunan Nusantara XI atas pengembangan varietas baru R-579 melalui SK Mentan No 372/TU.210/A/XI/2002. Varietas
84
ini pada musim giling yang sedang berjalan (tahun 2002) dikembangkan di Pabrik Gula Djatiroto, Lumajang dengan produktivitas bervariasi antara 8-15 ton gula/hektare. Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 2 adalah kelemahan dalam budidaya tanaman tebu yang menggunakan sistem budidaya ratoon dengan keprasan (membesarkan tunas setelah tebu di panen) yang lebih dari 3 kali, bahkan hingga belasan kali, dengan pemeliharaan yang kurang memadai sehingga sebagaian besar tanaman banyak terserang hama penyakit. Selain itu, pengelolaan proses tebang, angkut dan giling kurang optimal. Selain kelemahan dalam hal budidaya tanaman tebu, permasalahan pada generasi 2 juga di sebabkan oleh menurunnya luas areal tebu. Menurunnya luas lahan yang ditanami tebu disebabkan oleh adanya kebebasan
petani
untuk
menentukan
pilihan
jenis
tanaman
dan
pembudidayaannya, yang semula segala sesuatunya diatur oleh pemerintah, sejak adanya Inpres Nomor 5 tahun 1998 dan Undang-undang nomor 12 tahun 1992. (Sastrotaruno 2001). Keengganan petani untuk memanfaatkan lahan (yang relatif sempit) yang dimilikinya untuk menanam tebu merupakan akibat dari rendahnya provenue yang ditetapkan oleh pemerintah dibandingkan dengan biaya budidaya tebu yang harus dikeluarkan oleh petani. Selain itu, sistem pengukuran rendemen yang dilakukan oleh pabrik gula lebih banyak merugikan petani, padahal berdasarkan pengukuran tersebut petani akan memperoleh kompensasi terhadap tebu yang diserahkan ke pabrik gula. Menurunnya luas lahan yang ditanami tebu pada akhirnya akan menyebabkan kurangnya produksi tebu yang dihasilkan dan menyebabkan kontinuitas pasokan tebu ke pabrik gula menjadi terhambat. Pabrik gula di Indonesia menurut Ismail (2005) sebagian besar dikelola dalam manajemen BUMN, ada tujuh BUMN sebagai holding company yang mengelola 52 pabrik gula dan tiga perusahaan swasta mengelola enam Pabrik gula. Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 3 adalah rendahnya tingkat efisiensi pabrik gula yang antara lain disebabkan oleh teknologi yang dimiliki telah usang, mesin pabrik yang sudah tua, dan hari giling per tahun yang rendah. Hari giling per tahun rendah disebabkan oleh kontinuitas pasokan
85
bahan baku (tebu) yang rendah. Berdasarkan
hal
tersebut
di
atas,
dapat
disimpulkan
bahwa
permasalahan yang dihadapi meliputi masalah pabrik dan manajemen serta hancurnya hubungan fungsional antar komponen sistem agribisnis gula. Permasalahan-permasalahan tersebut di atas menyebabkan produksi gula menurun dan tidak dapat mencukupi permintaan gula yang terus bertambah akibat
meningkatnya
jumlah
populasi
dan
meningkatnya
pendapatan
masyarakat. Gap yang terjadi dan ketidaktepatan kebijakan pemerintah menyebabkan permasalahan yang dihadapi industri gula nasional semakin besar. Oleh karena itu, in-efisiensi pada industri gula Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan kebijakan ekonomi mikro dan kebijakan ekonomi makro yang mempengaruhinya. Ketidakmampuan industri gula nasional mencukupi kebutuhan gula untuk konsumsi dan input bagi
industri makanan dan minuman
di dalam negeri
disebabkan oleh rendahnya produktivitas dan efisiensi industri gula nasional. P3GI (2008) menyebutkan bahwa peningkatan produktivitas industri gula nasional dapat dilakukan dengan 1) peningkatan areal (lahan) untuk bahan baku (tebu), 2) peningkatan kapasitas giling pabrik gula, dan 3) peningkatan produktivitas pabrik gula. Selain itu, P3GI (2008) juga menyebutkan bahwa peningkatan produktivitas pabrik gula dapat dilakukan dengan 1) peningkatan tebu/ha, dan 2) peningkatan rendemen. Upaya untuk mengatasi permasalahan industri gula nasional melalui peningkatan produktivitas seluruh pabrik gula
yang dilakukan melalui
peningkatan rendemen , pada prinsipnya adalah peningkatan efisiensi proses pada pabrik gula (PG). Hal ini disebabkan karena peningkatan rendemen dapat dilakukan melalui peningkatan gula yang dapat diperoleh dari tebu dan menurunkan kehilangan gula selama proses. Peningkatan produktivitas melalui peningkatan rendemen mempunyai keunggulan tertentu (P3GI 2008) yaitu 1) tidak diperlukannya peningkatan kapasitas giling, 2) tidak diperlukannya peningkatan biaya tebang angkut, dan 3) mengurangi biaya proses produksi gula. Selain itu, permasalahan efisiensi industri gula nasional juga terselesaikan.
86
Secara ringkas, keterkaitan upaya untuk mengatasi
permasalahan
produktivitas industri gula ditunjukkan pada Gambar 34. Pilihan upaya untuk mengatasi
permasalahan
produktivitas industri gula berupa peningkatan
produktivitas PG, adapun pilihan peningkatan produktivitas PG dilakukan melalui peningkatan rendemen. Peningkatan rendemen berarti peningkatan efisiensi PG. Oleh karena itu, produktivitas PG dan efisiensi PG perlu memperoleh perhatian.
Peningkatan lahan tebu
Peningkatan kapasitas giling PG
Produktivitas Industri Gula
Peningkatan tebu / ha Peningkatan rendemen
Peningkatan produktivitas PG
Peningkatan efisiensi PG
Gambar 34 Keterkaitan Upaya untuk Mengatasi Permasalahan Produktivitas Industri Gula Rendahnya rerata produktivitas maupun rerata rendemen dalam kurun waktu lima tahun terakhir jika dibandingkan dengan tahun 1935 menunjukkan perlunya upaya perbaikan kinerja (produktivitas dan efisiensi) industri gula. Upaya perbaikan kinerja dapat melibatkan konflik kebutuhan antar pelaku sistem, keterbatasan sumberdaya, dan kendala eksternal. Selain itu, perlu diperhatikan tujuan dari tahap analisis perbaikan kinerja yang merupakan output dari sistem analisis perbaikan kinerja. Hal tersebut menunjukkan kompleksitas sistem analisis perbaikan kinerja industri gula. Kompleksitas yang dihadapi dalam upaya perbaikan kinerja pabrik gula dan merujuk pada definisi mengenai perbaikan kinerja yang dikemukakan oleh LaBonte (2001) maka untuk mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan analisis perbaikan kinerja industri gula perlu digunakan pendekatan sistem.
87
Dengan pendekatan sistem maka analisis perbaikan kinerja industri gula harus dilihat sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Oleh karena itu, semua faktor (bagian) yang penting dalam mendapatkan solusi permasalahan dan pembuatan suatu model untuk membantu keputusan yang rasional perlu diidentifikasi. Analisis sistem bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi
dari berbagai pemangku kepentingan yang terkait dengan analisis
perbaikan kinerja pabrik gula. Hasil akhir dari analisis sistem berupa masukan dan keluaran serta pengendalian dari sistem yang dirancangbangun dalam bentuk diagram
4.2 Analisa Kebutuhan Merujuk pada Eriyatno (2003),
langkah awal yang dilakukan dalam
pengkajian suatu sistem adalah analisis kebutuhan. Oleh karena itu, analisis sistem dimulai
dengan analisis
kebutuhan berbagai pemangku kepentingan
(stakeholders) yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan analisis perbaikan kinerja industri gula. Pendekatan yang dipilih dalam mengidentifikasi stakeholders terkait dengan sistem analisis perbaikan kinerja yaitu kombinasi dari pendekatan stakeholders value dan ethically critical stakeholder value. Berdasarkan pendekatan tersebut maka stakeholders yang akan dianalisis lebih lanjut terdiri atas 1) petani tebu (dan asosiasi petani tebu rakyat), 2) pabrik gula (milik BUMN dan swasta murni), 3) konsumen (rumah tangga dan industri pangan), 4) pedagang gula, dan 5) pemerintah (sebagai regulator). Selanjutnya,
dilakukan
identifikasi
terhadap
kebutuhan
ke
lima
stakeholders tersebut di atas. Adapun hasil identifikasi kebutuhan stakeholders ditunjukkan pada Tabel 4.
4.3 Formulasi Masalah Untuk memenuhi kebutuhannya setiap stakeholder dihadapkan pada berbagai permasalahan. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi permasalahan yang
dihadapi setiap stakeholder agar sistem yang dirancangbangun dapat
mengatasi permasalahan dan kebutuhan setiap stakeholder dapat terpenuhi.
88
Tabel 4 Daftar Stakeholders dan Kebutuhannya No.
Stakeholder
1
Petani Tebu
2
Pabrik Gula
Kebutuhan -
3
Konsumen
4
Pedagang gula
5
Pemerintah
-
Penentuan Rendemen yang tepat Memperoleh harga di atas harga pokok produksi Perluasan kesempatan kerja Kemudahan memperoleh sarana produksi Peningkatan produksi dan produktivitas lahan Memperoleh pasokan bahan baku sesuai jumlah yang diperlukan Memperoleh pasokan bahan baku dengan kualitas yang baik Memperoleh pasokan bahan baku sesuai jadwal (tepat waktu) Meningkatnya produktivitas Tercapainya skala ekonomi Memperoleh gula dengan harga murah Memperoleh gula yang berkualitas Kontinuitas ketersediaan gula terjamin Kemudahan memperoleh gula Memperoleh harga yang murah Memperoleh keuntungan dari proses distribusi gula Tercapainya swasembada gula Meningkatnya lapangan kerja dan kesempatan berusaha
Adapun hasil identifikasi permasalahan yang dihadapi setiap stakeholder adalah sebagai berikut :
Petani Tebu Permasalahan yang dihadapi petani tebu sebagai pemasok pabrik gula yaitu dalam hal penentuan rendemen tebu, yang sampai saat ini masih menjadi faktor utama belum bersinerginya hubungan antara petani tebu dan pabrik gula. Menurut Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (2010) penentu besarnya rendemen adalah prestasi petani dan prestasi pabrik gula. Namun, saat ini penentuan rendemen tidak memisahkan prestasi petani dengan pabrik gula. Selain itu, prestasi petani sulit dibedakan antar petani. Hal tersebut dapat mengakibatkan menurunnya pendapatan petani. Oleh karena itu, upaya perbaikan dalam hal efisiensi pabrik gula dan sistem penetapan rendemen menjadi hal penting bagi petani tebu.
89
Pabrik Gula Permasalahan yang dihadapi pabrik gula milik BUMN sampai saat ini yaitu rendahnya tingkat efisiensi produksi (yang tercermin dari kehilangan gula (pol) selama proses pengolahan). Akibatnya, rendemen gula yang diterima petani menjadi rendah dan harga pokok gula hablur yang dihasilkan tidak memiliki daya saing. Rendahnya tingkat efisiensi terkait dengan rerata umur mesin yang sudah tua, rendahnya kapasitas giling yang dimiliki pabrik gula, dan rendahnya kecukupan (jumlah), kontinuitas, serta kualitas bahan baku tebu. Oleh karena itu, upaya perbaikan dalam hal
efisiensi produksi pabrik gula dan terjaminnya
pasokan tebu menjadi hal penting bagi pabrik gula.
Konsumen Permasalahan yang dihadapi konsumen rumah tangga dan industri pangan yaitu tingginya harga gula di pasar dalam negeri. Hal ini telah merugikan perekonomian secara keseluruhan, dan menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya daya saing industri makanan dan minuman berbahan baku gula. Tingginya harga gula terkait dengan rendahnya efisiensi dan produktivitas pabrik gula serta terdistorsinya harga gula di pasar internasional. Oleh karena itu, upaya perbaikan dalam hal efisiensi dan produktivitas pabrik gula menjadi hal penting bagi konsumen (rumah tangga dan industri pangan).
Pedagang Gula Permasalahan yang dihadapi pedagang gula yaitu tingkat kompetisi yang tidak mencerminkan kondisi permintaan dan penawaran gula yang sesungguhnya. Hal ini antara lain disebabkan oleh struktur pasar yang bersifat oligopolistik, dalam setiap lelang gula yang dilakukan oleh APTRI atau PTPN hanya beberapa pedagang yang terlibat. Di samping itu, lemahnya penegakan hukum untuk memberantas penyelundupan dan manipulasi dokumen gula impor, telah mempengaruhi penawaran dan harga gula di pasar dalam negeri.
90
Ditinjau dari sisi situasi pasar gula dunia, harga gula dunia di pasar internasional telah terdistorsi. Selain itu, adanya kebijakan domestic support dan export subsidy yang dilakukan oleh negara-negara produsen gula dunia. Kondisi tersebut di atas menyebabkan harga gula dalam negeri jauh lebih tinggi dibandingkan dengan gula impor sehingga sebagian besar pedagang gula dirugikan. Permasalahan ini dapat diatasi dengan mengupayakan perbaikan efisiensi dan produktivitas pabrik gula.
Pemerintah Pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan, dan pertumbuhan industri makanan dan minuman menyebabkan terjadinya akselerasi peningkatan permintaan gula nasional. Di sisi lain, penurunan produksi gula nasional menyebabkan defisit yang harus dipenuhi dan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan impor gula. Ketergantungan terhadap impor gula merupakan ancaman bagi ketahanan pangan nasional sekaligus kehilangan kesempatan pasar dan kesempatan kerja. Hilangnya kesempatan kerja dapat menimbulkan masalah-masalah sosial yang dapat mengganggu stabilitas sosial dan politik. Resiko politik menjadi lebih besar lagi apabila dilihat gula sebagai salah satu komoditas strategis ditinjau dari sistem pertanian dan perekonomian nasional. Berdasarkan hal tersebut di atas, ketergantungan terhadap impor tidak dapat diterima baik secara politik maupun secara ekonomi. Oleh karena itu harus diupayakan peningkatan produksi gula nasional.
Pemerintah mengupayakan
untuk mewujudkan swasembada gula yang sampai saat ini belum tercapai. Swasembada gula dapat dicapai antara lain melalui upaya perbaikan efisiensi dan produktivitas pabrik gula. Hal ini tertuang dalam visi dan misi ke dua yang dicanangkan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009). Untuk mendukung tercapainya visi dan misi tersebut, diperlukan kebijakan yang komprehensif dan integratif dari pemerintah. Integrasi kebijakan melibatkan peran
departemen
terkait
seperti
Departemen
Pertanian,
Departemen
Perindustrian, Departemen Perdagangan, dan Kementrian Badan Usaha Milik
91
Negara. Selain itu, berbagai kebijakan penunjang seperti kebijakan perdagangan, kebijakan fiskal, dan kebijakan moneter harus dirancang secara dan dilaksanakan secara konsisten dan kohoren sehingga efektif dan efisien dalam menunjang tercapainya swasembada gula nasional. Tabel 5 menunjukkan ringkasan hasil identifikasi penyebab permasalahan yang dihadapi setiap stakeholders terkait dengan sistem analisis kinerja pabrik gula. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa seluruh stakeholders menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh rendahnya produktivitas dan efisiensi pabrik gula.
Tabel 5 Hasil identifikasi Penyebab Permasalahan yang Dihadapi Stakeholders Permasalahan
Produktivitas PG Efisiensi PG Pasokan Tebu Penetapan rendemen Struktur Pasar
Petani Pabrik Konsumen Pedagang Pemerintah Tebu Gula Gula √ √ √
√ √ √
√ √
√ √
√ √
√
4.4 Identifikasi Sistem Untuk merancangbangun model sistem penunjang keputusan intelijen untuk analisis perbaikan kinerja pabrik gula, perlu identifikasi keterkaitan atau pengaruh antar komponen sistem. Hasil identifikasi sistem menunjukkan bahwa : a. Keluaran yang dikehendaki yaitu
kinerja pabrik gula,
target kinerja
pabrik gula, dan prioritas perbaikan kinerja pabrik gula. b.
Keluaran yang tidak dikehendaki yaitu hasil pengukuran tidak sesuai dengan kinerja sesungguhnya, target kinerja
di bawah
kinerja
sesungguhnya, dan prioritas perbaikan tidak signifikan meningkatkan kinerja. c. Masukan yang tidak terkendali yaitu
jumlah bahan baku (tebu), dan
kualitas bahan baku (tebu). d. Masukan yang terkendali yaitu
kemampuan sumberdaya (mesin dan
peralatan), fungsi operasional pabrik gula, dan prioritas kompetisi.
92
e. Pengaruh lingkungan yaitu kebijakan pemerintah, iklim (terkait dengan kuantitas dan kualitas tebu sebagai bahan baku gula), dan kondisi sosialekonomi masyarakat.
Adapun diagram input-output sistem analisis perbaikan kinerja pabrik gula secara lengkap ditunjukkan pada Gambar 35.
Lingkungan 1. Kebijakan Pemerintah 2. Iklim 3. Kondisi sosial – ekonomi masyarakat Masukan tak terkendali 1. 2.
Keluaran dikehendaki 1. Kinerja pabrik gula 2. Target kinerja pabrik gula 3. Prioritas perbaikan kinerja pabrik gula
Jumlah bahan baku (tebu) Kualitas bahan baku (tebu)
MODEL ANALISIS PERBAIKAN KINERJA PABRIK GULA
1. 2. 3.
Masukan terkendali Kemampuan sumberdaya (mesin & peralatan) Fungsi operasional pabrik gula Prioritas kompetisi
1. 2. 3.
Keluaran tak dikehendaki Hasil pengukuran tidak sesuai dengan kinerja sesungguhnya Target kinerja di bawah kinerja sesungguhnya Prioritas perbaikan tidak signifikan meningkatkan kinerja
MANAJEMEN PENGENDALIAN
Gambar 35 Diagram Input-Output Sistem Analisis Perbaikan Kinerja Pabrik Gula