6. APLIKASI MODEL Pengembangan model manajemen risiko pada investasi agroindustri lada bertujuan untuk memprediksi perilaku risiko, memperkirakan pengelolaan risiko dan instrumen yang diperlukan, serta memprediksi kinerja investasi dibawah pengaruh risiko. Untuk mencapai kegunaan tersebut maka perlu dipastikan bahwa model memiliki tingkat akurasi yang memadai. Tingkat akurasi yang memadai memiliki pengertian bahwa model dapat digunakan untuk merepresentasikan sistem nyata untuk tujuan percobaan dan analisis. Representasi yang kredibel dari sistem nyata oleh model ditunjukkan dengan verifikasi dan validasi model. Verifikasi memeriksa penerjemahan model simulasi konseptual (diagram alur dan asumsi) ke dalam bahasa pemrograman secara benar.
Error pada
program komputer dan implementasinya dapat disebabkan oleh data, model konseptual, program komputer, dan implementasi komputer. Verifikasi dilakukan untuk memastikan kesalahan yang berkaitan dengan program komputer. Program SMART INVEST dapat dioperasikan dan memberikan output yang dapat digunakan oleh pelaku pada sistem komoditas lada, investor, dan pemerintah.
Bagi investor, model dapat memberikan gambaran mengenai
kelayakan investasi dan pengaruh risiko terhadap kelayakan investasi.
Bagi
pelaku pada sistem komoditas lada, model dapat memberikan gambaran nilai risiko dan pengelolaan risiko terpadu. Bagi pemerintah, model dapat memberikan panduan dalam penyusunan instrumen pengelolaan risiko sebagai bentuk dukungan fasilitas dari pemerintah dan stakeholder lain. Mekanisme perhitungan, yang diverifikasi melalui pemeriksaan antar variabel serta besaran dan arah dari nilai output, menunjukkan bahwa model dapat melakukan penilaian risiko, agregasi pendapat, agregasi nilai, dan pemetaan nilai sesuai yang diharapkan. Validasi adalah proses penentuan apakah model, sebagai konseptualisasi atau abstraksi, merupakan representasi dari sistem nyata. Teknik validasi yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menilai tingkat kepentingan tujuan model, validasi struktur model, validasi perilaku model, dan validasi implikasi kebijakan.
143
Analisis kesesuaian tujuan dilakukan dengan melakukan analisis situasional. Analisis situasional menunjukkan bahwa kinerja agroindustri lada yang menurun dipengaruhi oleh stagnasi kegiatan investasi peningkatan nilai tambah, sedangkan investasi yang rendah terjadi sebagai akibat tingginya risiko yang ada dalam sistem komoditas lada, pada sisi yang lain proses adopsi teknologi yang berjalan lambat disebabkan oleh rendahnya dukungan fasilitas.
Hal ini
sejalan dengan tujuan pengembangan model yaitu identifikasi dan penilaian risiko, menyusun dukungan fasilitas, dan menilai kelayakan investasi berbasis risiko. Validasi struktur model dilakukan dengan structure verification test dengan cara menganalisis apakah struktur model kontradiksi dengan kondisi nyata, dan face validity test dengan cara menganalisis kesesuaian dengan kondisi nyata. Struktur model terdiri dari manajemen risiko dan analisis finansial serta kelayakan investasi berbasis risiko. Taksonomi risiko yang bersifat holistik memungkinkan diperolehnya gambaran yang memadai atas sistem yang nyata.
Jenis risiko agroindustri
dipengaruhi oleh risiko pada aspek budidaya, pemasaran, kelembagaan dan finansial dengan mekanisme transmisi yang terjadi di dalamnya. Pada kondisi demikian, perhitungan nilai risiko yang berbasis pengetahuan menjadi penting dilakukan. Pada model manajemen risiko, model mampu melakukan akuisisi pengetahuan responden, perhitungan risiko dan agregasi dengan pendekatan logika fuzzy, serta pemetaan pada radar chart, dengan output yang dapat memberikan gambaran yang memadai mengenai besaran dan arah variabel yang dianalisis.
Pada model analisis finansial, model mampu memperhitungkan
keterkaitan antara nilai risiko dan kelayakan investasi. Validasi model perilaku dilakukan dengan menggunakan parameter sensitivity test, dimana dianalisis perubahan perilaku dengan melakukan simulasi yang didalamnya terdapat perubahan nilai beberapa parameter. Pada kasus ini dilakukan pengukuran dan simulasi atas perubahan tiga komponen utama pada agroindustri yaitu kemampuan pembayaran jasa pengolahan, jumlah lada yang diolah, dan tingkat rendemen, selain itu juga dapat dianalisis perubahannya atas dasar risiko yang terjadi. 144
Validasi implikasi kebijakan dilakukan dengan menggunakan behavior prediction test. Model yang dihasilkan dapat memperkirakan bahwa kelayakan investasi akan berubah sejalan dengan intervensi yang dilakukan dalam bentuk pengelolaan risiko. Pada kasus ini, pada kondisi ekstrim dimana tidak dilakukan pengelolaan terhadap risiko, perubahan kinerja sistem berpengaruh terhadap nilai kelayakan investasi dengan arah yang semakin memburuk. Validasi secara keseluruhan dilakukan dengan melihat bagaimana struktur model dan perilaku model mendekati keadaan di dunia nyata. Hal ini dilakukan dengan melihat bagaimana aplikasi model manajemen risiko pada investasi agroindustri lada di Kepulauan Bangka. Uraian terkait hal tersebut terdiri dari: gambaran wilayah dan kinerja komoditas, penilaian risiko, analisis pengelolaan risiko, analisis finansial, simulasi kelayakan investasi berbasis risiko, tatanan kelembagaan, dan keterkaitan ke depan.
6.1 Gambaran Wilayah Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki total luas wilayah sebesar 81.725,14 km2, yang terdiri dari daratan seluas 16.424,14 km2 (20,10%) dan lautan seluas 65.301 km 2 (79,90%). Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terbagi dalam enam kabupaten dan satu kota yaitu: Kabupaten Bangka (2.950,68 km2), Kabupaten Bangka Barat (2.820,61 km2), Kabupaten Bangka Tengah (2.155,77 km2), Kabupaten Bangka Selatan (3.607,08 km 2), Kabupaten Belitung (2.293,69 km2), Kabupaten Belitung Timur (2.506,91 km2), dan Kota Pangkalpinang (89,40 km 2). Penanaman lada tersebar pada seluruh kabupaten dengan melibatkan 18.542 KK petani. Kabupaten Bangka Selatan merupakan sentra produksi lada di Kepulauan Bangka Belitung. Luas lahan terbesar yaitu di Kabupaten Bangka Selatan, dengan luas sebesar 2.098 ha atau 40,31% dari areal lada yang ada. Areal pada Kabupaten Bangka Barat dan Belitung masing-masing sebesar 19,85% dan 18.45% dari luas areal lada yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sedangkan Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung Timur dan Kabupaten Bangka Tengah memiliki luas areal di bawah 10% (Tabel 32).
145
Tabel 32. Sebaran Areal Lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Kabupaten/Kota
Luas (ha)
Bangka Bangka Selatan Bangka Tengah Bangka Barat Belitung Belitung Timur Total
3.315 14.899 2.098 7.338 6.819 2.491 36.960
Sumber: Disbun Babel (2011)
Produksi (ton) Jumlah Petani (KK) 2.200 3.627 552 3.770 4.027 1.426 15.602
1.200 6.124 2.787 2.650 1.873 3.908 18.542
Kontribusi PDRB atas harga berlaku Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2011 yaitu sektor industri pengolahan (20,56%), sektor pertambangan dan penggalian (19,18%), serta sektor Pertanian (18,41%). Kontribusi subsektor perkebunan terhadap sektor pertanian yaitu sebesar 5,73% (BPS 2012). Struktur ekspor Provinsi Kepulauan Bangka Belitung didominasi oleh ekspor barang tambang dan galian yaitu timah, kemudian diikuti oleh ekspor hasil pertanian yaitu lada dan karet. Komoditas lada, karet, dan kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan utama di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada kurun waktu 2004-2009, perkembangan luas areal karet meningkat dengan pertumbuhan 12,79% per tahun, kelapa sawit cenderung tetap, sedangkan lada cenderung mengalami penurunan sebesar 3,95% per tahun (Gambar 32). Luas areal lada pada tahun 2010 mencapai 36.960 ha dengan produksi sebesar 18.542 ton. Penurunan produksi memberikan pengaruh terhadap keberadaan eksportir lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dari sekitar 40 eksportir yang ada sebelumnya, di tahun 2012 hanya tersisa 5 perusahaan eksportir lada. Penurunan produksi yang sangat signifikan menyebabkan penurunan kemampuan ekspor. Kemampuan eksportir dalam melakukan ekspor menurun hingga mencapai 50100 ton/bulan.
146
Gambar 32. Perkembangan Luas Areal Lada, Karet, dan Kelapa Sawit di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Sumber: Disbun Babel (2011)
Pengembangan komoditas lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dipengaruhi oleh kegiatan investasi di dalamnya.
Investasi pada
usahatani lada putih relatif besar, oleh karena itu dilakukan berbagai upaya oleh Pemerintah Daerah untuk menarik investor terlibat dalam program perluasan areal lada. Kabupaten Bangka, sebagai salah satu sentra produksi lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, memiliki lahan potensial perkebunan lada yang dapat dikembangkan seluas 16.494,31 ha, sedangkan lahan yang baru diusahakan masih 2.409,42 ha. Hal ini menunjukkan masih tersedia lahan sekitar 14 ribu ha yang tersebar di enam kecamatan. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten Bangka gencar melakukan promosi investasi untuk perluasan areal lada.
Pemerintah
Kabupaten Bangka Selatan dan Bangka Barat merencanakan pembukaan lahan bagi perkebunan lada, dimana dana untuk pengelolaan lahan, bibit, dan pupuk merupakan bantun dari Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian. Pengelolaan perkebunan lada ini diserahkan kepada kelompok tani lada yang tersebar di sentra produksi lada.
6.2 Penilaian Risiko Penilaian risiko dilakukan terhadap 32 jenis risiko yang ada dalam sistem komoditas lada di Kepulauan Bangka. Risiko tersebut merupakan risiko yang 147
akan dihadapi apabila dilakukan investasi agroindustri lada.
Nilai risiko
menunjukkan peluang dan tingkat keparahan yang akan dialami apabila risiko tersebut terjadi. Hasil penilaian risiko tersebut tersaji pada Tabel 33. Tabel 33. Nilai Risiko Kelompok Risiko
Nama Risiko
Agroindustri (4,84)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Budidaya (6,14)
Pemasaran (8,00) Kelembagaan (5,93) Finansial (4,76)
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Lada tercampur Lada keabu-abuan Kontaminasi perendaman Lada pecah Kontaminasi pencucian Kadar air Serangga ditemukan Kotoran Jamur Penurunan aroma Kadar atsiri Hama Penggerek Batang Hama Penghisap Buah Hama Penghisap Bunga Penyakit Busuk Pangkal Batang Penyakit Kuning Penyakit Kerdil/Keriting Cuaca Lokasi lahan Daya dukung lingkungan Harga Indikasi geografis Subtitusi Produk Persaingan Kerjasama Ketergantungan antar pelaku Manajemen operasional Informasi Suku bunga Nilai tukar Kredit Likuiditas
Nilai Kejadian (0ccurrence) 3,10 6,19 2,89 3,96 2,89 4,19 2,36 3,50 3,50 5,04 5,04 6,19 5,04 4,81 8,51
Nilai Keparahan (Severity) 3,50 4,81 6,65 7,50 6,19 7,50 4,19 6,35 6,19 7,50 7,50 6,19 5,04 3,50 9,25
Nilai Deteksi (Detection) 1,75 4,35 3,50 2,36 3,50 4,81 1,75 1,75 4,19 5,50 5,50 -
Nilai Risiko
6,25 5,73 6,19 5,04 8,51 9,25 7,50 2,69 9,25 8,85 7,04
6,19 6,19 6,65 5,04 8,51 9,25 7,55 6,00 9,25 8,64 9,25
-
6,32 4,77 6,47 5,04 8,51 9,25 7,53 5,98 9,25 8,72 8,32
7,04 5,96 3,50 3,50 6,19 7,04
8,51 5,96 6,19 7,90 5,50 7,90
-
7,90 5,96 4,96 4,76 5,76 7,56
-
3,07 5,17 4,62 5,20 4,45 5,82 3,08 4,39 4,85 6,30 6,30 6,19 5,04 3,96 8,95
Nilai risiko kelompok adalah sebagai berikut: Agroindustri (4,84), Budidaya (6,14), Pemasaran (8,00), Kelembagaan (5,93), serta Finansial (4,76). Secara keseluruhan agregasi risiko investasi agroindustri lada di Kepulauan Bangka adalah menunjukkan status Tinggi dengan nilai sebesar 6,21. 148
Nilai risiko kelompok pemasaran memiliki nilai risiko kelompok terbesar. Hal ini berkaitan dengan tingkat keparahan yang terjadi dan keterbatasan kemampuan petani dalam mengelola risiko tersebut, selain itu kewenangan pengelolaan risiko tidak berada di tangan petani. Nilai risiko kelompok budidaya merupakan nilai risiko terbesar kedua.
Hal ini berkaitan dengan tingginya
serangan organisme pengganggu tanaman, dimana hama dan penyakit tanaman lada memberikan dampak yang sangat parah. Sebanyak 18 responden (42,86%) dan 23 responden (54,76%) menyatakan bahwa serangan penyakit busuk pangkal batang dan penyakit kuning sangat sering menyerang tanaman lada (Gambar
33).
Hal yang sama terjadi pada hama
J
R
penggerek batang, dimana frekuensi serangan relatif sering dan sedang.
B
P
B
P
K
H
P
B
Gambar 33. Penilaian Frekuensi Serangan Hama dan Penyakit Lada Utama
Gambar 34. Tingkat Keparahan Akibat Serangan Hama dan Penyakit 149
Berdasarkan tingkat keparahan yang disebabkan oleh serangan OPT, sebanyak 35 responden (83,33%) menyatakan bahwa akibat serangan tersebut tanaman biasanya hanya akan bertahan kurang dari satu tahun (Gambar 34). Hal ini menunjukkan tingginya tingkat keparahan yang disebabkan oleh serangan OPT. Pada kelompok agroindustri, risiko terbesar adalah penurunan aroma (6,30) dan kadar atsiri (6,30) yang dominan terjadi pada proses penyulingan, mengingat penurunan aroma dapat juga terjadi dalam proses perendaman. Hal ini dapat terjadi karena metode yang tidak sesuai prosedur. Pada kelompok budidaya, risiko terbesar adalah penyakit busuk pangkal batang. Penyakit ini merupakan risiko yang paling ditakuti petani karena dapat menyebabkan kematian tanaman dalam waktu singkat. Apabila serangan jamur terjadi pada satu tanaman dalam suatu kebun, pada jangka waktu yang tidak lama penyakit akan menyebar ke tanaman di sekitarnya. Penyakit akan lebih cepat menyebar pada musim hujan. Risiko terbesar lainnya adalah daya dukung lingkungan (8,51) dan cuaca (6,47).
Daya dukung lingkungan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
dipengaruhi secara signifikan oleh pembukaan tambang timah rakyat. Pemerintah daerah Bangka Belitung menerbitkan Perda No. 6/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, Perda No. 20/2001 tentang Penetapan dan Pengaturan Tatalaksana Perdagangan barang Strategis, Perda No. 21/2001 tentang Pajak Pertambangan Umum dan Mineral Ikutan Lainnya, sebagai peraturan yang memudahkan pembukaan tambang inkonvensional. Selain itu juga terdapat SKEP Bupati Bangka
No.540.K/271/Tamben/2001
tentang
Pemberian
Izin
Usaha
Pertambangan untuk Pengolahan dan Penjualan (ekspor). Ketika ekspor timah marak, maka Menperindag mengeluarkan Kepmen-Perindag No 443/MPP/ Kep/5/2002 tentang larangan ekspor timah berbentuk bijih atau pasir timah.
Pemberian ijin tambang swasta dan tambang inkonvensional di Bangka Belitung telah meningkatkan aktivitas penambangan timah secara tajam. Hal ini kemudian berdampak kepada hilangnya ekosistem hutan yang berganti menjadi area pertambangan, yang melahirkan dampak terjadinya ketidakseimbangan sistem alam. Areal tambang timah yang telah digunakan ditinggalkan dalam 150
bentuk kolam-kolam bekas tambang, yang tidak dapat digunakan lagi sebagai areal pertanian. Pembukaan lahan timah secara besar-besaran berpengaruh terhadap upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan dalam mendukung pertanaman lada. Perubahan cuaca pada fase produksi akan mengakibatkan tidak optimalnya produksi dan mutu lada. Perubahan iklim global akan mempengaruhi tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu: (1) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (2) berubahnya pola curah hujan, serta (3) makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti ElNino dan La-Nina. Perubahan kodisi ini dapat menyebabkan dampak terhadap produktivitas tanaman, organisme pengganggu tanaman, dan kondisi tanah. Temperatur secara langsung berperan terhadap perkembangan biji seperti pengisian biji dan laju produksi bahan kering pada biji. Perubahan jumlah hujan dan pola hujan yang mengakibatkan pergeseran awal musim dan periode masa tanam. Penurunan curah hujan menyebabkan penurunan potensi satu periode masa tanam. Tingginya curah hujan saat pembungaan, proses panen dan setelah pemanenan membuat mutu lada juga menurun. Pada kelompok pemasaran, risiko harga dan risiko persaingan merupakan risiko terbesar dengan nilai 9,25. perdagangan global.
Risiko persaingan terjadi pada ranah
Dominasi lada Vietnam dan ekspansi usaha yang
berkelanjutan dari Vietnam, mempengaruhi struktur persaingan lada di pasar dunia. Perkembangan lada di Vietnam dimulai pada periode 1980-an. Hal ini dilakukan untuk merespon pergerakan harga lada yang terus meningkat. Areal tanam dari Vietnam terus meningkat. Dengan peningkatan kecepatan rata-rata 27,29% per tahun sejak tahun 1996, maka perkebunan lada di Vietnam melampaui tingkat 52.000 ha sejak tahun 2004. Seiring dengan perluasan perkebunan lada, produksi dan ekspor lada Vietnam juga memiliki kenaikan yang luar biasa, yaitu sekitar 30% per tahun sejak tahun 1998. Pada tahun 2001, Vietnam menjadi eksportir lada terbesar di dunia dengan total ekspor 56.506 ton, yang mencapai 151
28,00% dari ekspor dunia. Vietnam telah melakukan pengiriman ke hampir 80 negara dan wilayah (VPA 2010). Fluktuasi
harga
sangat
mempengaruhi
keputusan
petani
dalam
pengusahaan lada selanjutnya, baik dalam keputusan perluasan areal kebun maupun keputusan pemeliharaan kebun secara intensif. Hal ini berkaitan dengan komposisi modal petani yang seluruhnya merupakan modal sendiri. Analisis perkembangan harga pada periode Januari 2001-Mei 2012 menunjukkan bahwa data memiliki fungsi y = 5,23x2 – 323,02x + 22.949 dengan tingkat kepercayaan 91,30% (Gambar 35).
Data periode 2001-2010
menggunakan data harga rata-rata lada putih di tingkat lokal, sedangkan data periode 2011-2012 menggunakan data harga rata-rata lokal dalam USD yang telah dikonversi menggunakan nilai kurs tengah bulanan Bank Indonesia pada periode tersebut.
Fungsi regresi menunjukkan bahwa harga lada putih memiliki
kecenderungan jangka panjang yang terus meningkat.
Pada jangka pendek,
periode kenaikan harga yang diikuti oleh periode penurunan harga akan mempengaruhi keputusan petani dalam proses perawatan kebun lada atau dalam
R
proses pengambilan keputusan perluasan areal.
Gambar 35. Perkembangan Harga Bulanan di Tingkat Petani Periode Januari 2001-Mei 2012 152
Pada aspek kelembagaan, risiko kerjasama (8,72) merupakan risiko dengan nilai terbesar. Bercermin kepada uji coba alat pengolahan di Kabupaten Bangka Tengah dan Bangka Selatan, pemenuhan persyaratan teknis belum cukup untuk menentukan keberhasilan proses adopsi teknologi. Penguatan kerjasama antar pelaku menjadi faktor kunci keberhasilan lainnya, mengingat model agroindustri yang dikembangkan merupakan model penyediaan alat yang digunakan secara bersama dalam suatu sistem pengelolaan.
Oleh karena itu,
hilangnya kerjasama antar pelaku pada rantai nilai akan menyebabkan tidak efektif atau bahkan terputusnya rantai produksi
yang kemudian akan
mengakibatkan kegagalan pada model bisnis pengolahan lada berbasis kelompok. Pada aspek finansial, risiko likuiditas merupakan risiko dengan nilai terbesar yaitu 7,56.
Risiko ini berkaitan dengan manajemen pengelolaan
keuangan, dimana tidak dimilikinya uang tunai atau aktiva jangka pendek yang dapat diuangkan segera untuk memenuhi kewajiban pembayaran.
6.3 Analisis Pengelolaan Risiko Pengelolaan risiko menunjukkan kemampuan petani dalam memberikan respon terhadap risiko. Pada sistem komoditas lada, pengelolaan risiko dapat bersifat pencegahan sebelum risiko terjadi (ex ante) maupun penyelesaian setelah risiko terjadi (ex post), dengan jenis pengelolaan risiko yang bersifat formal maupun non formal. Ditinjau dari sudut pelaku, pengelolaan risiko pada sistem komoditas lada dapat dibedakan menjadi pengelolaan risiko yang dilakukan secara individual atau kelompok. Pengelolaan risiko selama ini dilakukan secara individu dengan konsentrasi kepada penanganan risiko pada aspek budidaya.
Pengalaman
budidaya lada dan pengetahuan yang diturunkan, pada awalnya mampu mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Seiring berjalannya waktu, pada kondisi dimana tekanan lingkungan semakin tinggi, maka diperlukan teknologi yang mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi. Pada kondisi demikian, teknologi dirasa sebagai salah satu alat untuk mengelola risiko, hal ini tercermin dari pendapat sebanyak 18 responden (42,86%) atas hal ini (Gambar 36). 153
Gambar 36. Persepsi Mengenai Teknologi dalam Perannya Mengatasi Permasalahan Kesadaran akan kemampuan teknologi dapat mengatasi permasalahan yang ada, ternyata tidak diikuti dengan tingginya nilai adopsi teknologi. Berdasarkan pengalaman, sebanyak 28 responden atau sebesar 66,67% belum pernah mengakses informasi teknologi (Gambar 37), sebanyak 31 responden atau sebesar 73,81% belum pernah mendapatkan bimbingan tentang teknologi (Gambar 38).
Gambar 37. Pengalaman dalam Mengakses Informasi Teknologi
Gambar 38. Pengalaman dalam Memperoleh Bimbingan Penggunaan Teknologi 154
Kemampuan pengelolaan risiko yang dilakukan secara berkelompok dapat difasilitasi melalui kelompok tani. Keberadaan kelompok tani telah sejak lama ada, namun demikian petani masih belum merasakan peran yang optimal dari lembaga tersebut.
Hal ini tercermin dari pandangan petani terhadap peran
kelompok tani dalam perihal akses lembaga keuangan, pengadaan mesin pengolahan bersama, pengadaan input bersama, serta pemasaran bersama yang dirasa masih sangat tidak memadai dan kurang memadai, serta hanya sebagian kecil yang menyatakan cukup (Gambar 39). Sebagian besar petani mengatakan bahwa akses terhadap lembaga keuangan (73,81%) sangat tidak memadai, sedangkan penilaian tidak memadai bagi peran kelompok tani terhadap pengadaan input, pengadaan mesin pengolahan bersama, dan pemasaran bersama berturutturut adalah sebesar 47,62%, 35,71%, dan 30,95% .
Gambar 39. Penilaian terhadap Peran Kelompok Tani
Secara keseluruhan, kemampuan pengelolaan risiko dapat dilihat pada Tabel 34. Pengelolaan risiko pada aspek agroindustri diduga relatif tinggi. Hal ini didasarkan kepada prosedur pengoperasian alat yang relatif mudah, ketersediaan energi yang memadai, serta kebutuhan kapabilitas operator yang tidak terlalu tinggi dalam mengoperasikan alat dan mesin pengolahan lada. Kemampuan alat dan mesin pengolahan lada dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan mutu lada, akan mendorong terjadinya proses pembelajaran yang berkesinambungan. Hal ini pada akhirnya akan membangun kemampuan pengoperasian alat dan mesin secara optimal. 155
Tabel 34. Kemampuan Pengelolaan Risiko Nama Risiko 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Lada tercampur Lada keabu-abuan Kontaminasi perendaman Lada pecah Kontaminasi pencucian Kadar air Serangga ditemukan Kotoran Jamur Penurunan aroma Kadar atsiri Hama Penggerek Batang Hama Penghisap Buah Hama Penghisap Bunga Penyakit Busuk Pangkal Batang Penyakit Kuning Penyakit Kerdil/Keriting Cuaca Lokasi lahan Daya dukung lingkungan Harga Indikasi geografis Subtitusi produk Persaingan Kerjasama Ketergantungan antar pelaku Manajemen operasional Informasi Suku bunga Nilai tukar Kredit Likuiditas
Nilai Kemampuan Pengelolaan Risiko 8 8 7 8 8 9 9 8 8 7 7 7 7 7 5 5 5 4 7 6 3 5 5 4 4 5 7 5 5 6 6 6
Kemampuan pengelolaan risiko lain yang relatif tinggi adalah pengelolaan risiko pada aspek budidaya.
Hal ini berkaitan dengan dukungan teknologi
budidaya yang selama ini telah ada. Selain itu, pengalaman budidaya lada yang dilakukan secara turun temurun akan membangun pengetahuan yang sangat berarti bagi petani dalam menjalankan usahatani lada. Pengelolaan risiko pemasaran belum berjalan optimal. Hal ini berkaitan dengan sifat pengelolaan yang membutuhkan pendekatan formal pada tingkat rantai nilai secara keseluruhan.
Pengelolaan risiko pada aspek kelembagaan
relatif rendah. Operasionalisasi usaha yang selama ini dijalankan secara individu serta peran lembaga usaha bersama yang masih sangat terbatas menyebabkan rendahnya pengalaman petani menjalankan usaha secara bersama. 156
Pengelolaan risiko finansial akan membutuhkan kemampuan dalam pengelolaan keuangan serta dalam membangun kerjasama dengan pelaku lain yang terlibat dalam transaksi ekonomi usaha.
Sebagai sebuah unit yang
berorientasi kepada pencapaian keuntungan, maka usaha pengolahan lada secara mekanis dituntut untuk diselenggarakan secara profesional.
Rendahnya
pengalaman dalam hal inilah yang diduga akan menyebabkan rendahnya kemampuan pengelolaan risiko pada aspek finansial. Kemampuan pengelolaan risiko dipengaruhi oleh kapasitas individu, kapasitas kelompok, dan dukungan program pemerintah. Pada tingkat individu, kemampuan pengelolaan risiko dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengalaman petani. Sebaran tingkat pendidikan petani lada adalah tidak tamat SD sebanyak satu responden (21,43%), tamat SD sebanyak 21 responden (50,00%), dan sisanya tamat SMP sebanyak sepuluh orang (23,81%) dan tamat SLTA sebanyak satu orang (2,38%). Sebagian besar petani memiliki latar belakang pendidikan tidak tamat SD dan tamat SD (Gambar 40).
SD
SD
SLTA
SMP PT
Gambar 40. Sebaran Tingkat Pendidikan Petani Ditinjau dari sisi pengetahuan, pendidikan formal tersebut diperkaya dengan pengetahuan teknis mengenai lada yang sangat luas. Pengusahaan lada merupakan usaha yang dilakukan secara turun temurun.
Oleh karena itu,
pengetahuan dan pengalaman menjadi faktor lain yang menentukan keberhasilan pengusahaan lada selain dari tingkat pendidikannya.
Dengan sebaran usia
terbesar pada kelompok usia 31-40 tahun, petani memiliki pengalaman melakukan budidaya lada rata-rata selama 17,8 tahun. 157
Selain pengelolaan risiko secara individu, telah dikeluarkan berbagai program pemerintah sebagai upaya pengelolaan secara berkelompok.
Secara
umum, pemerintah telah meluncurkan program dalam upaya mengatasi permasalahan yang ada di tingkat petani. Beberapa program pemerintah yang berpengaruh terhadap kemampuan petani adalah program penyuluhan, sekolah lapang, diseminasi teknologi, dan bantuan pembiayaan. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan di Kepulauan Bangka Belitung menghadapi beberapa kendala yang mengakibatkan proses perubahan perilaku berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan petani belum dapat berjalan dengan optimal. Penyuluhan pertanian sebagai sebuah sistem pendidikan luar sekolah bagi petani dan keluarganya, belum mampu mencapai tujuan perubahan sikap dan perilaku untuk bertani lebih baik (better farming), berusahatani lebih baik (better bussines), hidup lebih sejahtera (better living) dan bermasyarakat lebih baik community),
(better
environment).
serta
menjaga
kelestarian
lingkungannya
(better
Kendala yang dihadapi yaitu: jumlah penyuluh yang tidak
memadai, dan kapasitas penyuluh yang terbatas. Berbagai langkah strategis telah dilakukan oleh pemerintah. Kementerian Pertanian melakukan pengangkatan tenaga penyuluh honorer untuk memperkuat tenaga penyuluhan.
Kementerian Pertanian juga berupaya memperbaiki dan
memfungsikan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), menyediakan kendaraan dinas untuk transportasi penyuluh, serta memperbaiki metoda dan sistem penyuluhan yang selama ini lebih banyak berorientasi pada peningkatan produksi kepada penyuluhan yang berorientasi kepada agribisnis dan peningkatan kesejahteraan petani dan keluarganya. Pada tingkat daerah, Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki sekitar 300 orang penyuluh, yaitu penyuluh pertanian, perikanan, peternakan. Penyuluh tersebut tersebar di desa di enam kabupaten dan satu kota. Pada sisi yang lain, pemerintah memiliki program pembangunan 230 unit posko penyuluh desa yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini bertujuan
untuk
mempercepat
penyampaian teknologi
pertanian kepada
masyarakat, atau sebagai pusat informasi teknologi pertanian di perdesaan. Posko 158
ini merupakan salat satu solusi dalam mengatasi permasalahan rendahnya daya jangkau penyuluh karena jumlah penyuluh yang terbatas. Peningkatan kemampuan petani juga dilakukan melalui pembentukan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). SLPTT merupakan media pembelajaran langsung di lapangan bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengenali potensi, menyusun rencana usahatani, mengatasi permasalahan dalam rangka peningkatan produktivitas dan pendapatan petani.
Dalam SLPTT terdapat satu unit Laboratorium Lapangan
yang merupakan bagian dari kawasan sekolah lapang, yang berfungsi sebagai lokasi percontohan, tempat belajar dan tempat praktek penerapan komponen teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu yang disusun dan diterapkan oleh kelompok tani atau petani peserta SLPTT. Program pemerintah lainnya yaitu melalui Badan Litbang Pertanian adalah dengan terus mengembangkan berbagai program diseminasi hasil-hasil penelitian dan pengkajian. Program ini bertujuan untuk memacu adopsi dan penerapan inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan usahatani. Jika sebelumnya implementasi program pemacuan adopsi teknologi tersebut dituangkan dalam kegiatan Prima Tani, maka mulai tahun 2011 dikembangkan melalui Model Pengembangan Pertanian Perdesaan Melalui Inovasi (MP3MI).
MP3MI
merupakan suatu model kegiatan diseminasi melalui suatu percontohan di lapang yang melibatkan kelompok tani atau gapoktan. Peragaan inovasi yang dilakukan meliputi aspek teknis dan aspek kelembagaan.
Aspek teknis meliputi teknik
budidaya, sedangkan aspek kelembagaan meliputi pemberdayaan kelompok tani atau gapoktan, pemberdayaan kelembagaan pendukung termasuk kelembagaan pasar input dan output. MP3MI di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dilaksanakan di Desa Perpat, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung. Pada aspek pembiayaan, program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) merupakan program Kementerian Pertanian bagi petani di perdesaan
dalam
rangka
meningkatkan
mutu
hidup,
kemandirian,
dan
kesejahteraan. PUAP telah dilaksanakan mulai 2008 di bawah koordinasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) dan berada dalam kelompok pemberdayaan masyarakat. PUAP adalah fasilitasi bantuan modal 159
usaha agribisnis untuk petani baik petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani yang disalurkan melalui Gabungan Kelompok Tani. Kemampuan pengelolaan risiko akan berpengaruh terhadap pencapaian kinerja. Nilai risiko yang tinggi akan membutuhkan kemampuan pengelolaan risiko yang tinggi pula. Apabila kondisi ini tidak dapat dipenuhi, maka akan menimbulkan kerentanan yang dapat mengakibatkan penurunan kinerja dalam bentuk kuantitas, mutu, keuntungan, maupun keberlanjutan. Berdasarkan nilai kerentanan (vulnerability), maka terdapat beberapa risiko yang memiliki nilai risiko tinggi dan nilai kemampuan pengelolaan risiko yang rendah (Tabel 35). Pemetaan nilai kerentanan (vulnerability) secara grafis disajikan pada Gambar 41. Tabel 35. Nilai Kerentanan (Vulnerability) Nama Risiko 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
160
Lada tercampur Lada keabu-abuan Kontaminasi perendaman Lada pecah Kontaminasi pencucian Kadar air Serangga ditemukan Kotoran Jamur Penurunan aroma Kadar atsiri Hama Penggerek Batang Hama Penghisap Buah Hama Penghisap Bunga Penyakit Busuk Pangkal Batang Penyakit Kuning Penyakit Kerdil/Keriting Cuaca Lokasi lahan Daya dukung lingkungan Harga Indikasi geografis Subtitusi produk Persaingan Kerjasama Ketergantungan antar pelaku Manajemen operasional Informasi Suku bunga Nilai tukar Kredit Likuiditas
Nilai Risiko 3,07 5,17 4,62 5,20 4,45 5,82 3,08 4,39 4,85 6,30 6,30 6,19 5,04 3,96 8,95 6,32 6,01 6,47 5,04 8,51 9,25 7,53 5,98 9,25 8,72 8,32 7,90 5,96 4,96 5,76 5,76 7,56
Kapasitas Pengelolaan Risiko 8 8 7 8 8 9 9 8 8 7 7 7 7 7 5 5 5 4 7 6 3 5 5 4 4 5 7 5 5 6 6 6
Nilai kerentanan (vulnerability) 4,93 2,83 2,38 2,80 3,55 3,18 5,92 3,61 3,15 0,70 0,70 0,81 1,96 3,04 -3,95 -1,32 -1,01 -2,47 1,96 -2,51 -6,25 -2,53 -0,98 -5,25 -4,72 -3,32 -0,90 -0,96 0,04 0,24 0,24 -1,56
N
R
K
P
R
Gambar 41. Radar Chart Nilai Kerentanan (vulnerability) Keterangan: 1. Risiko lada tercampur 2. Risiko lada keabu-abuan 3. Risiko kontaminasi perendaman 4. Risiko lada pecah 5. Risiko kontaminasi pencucian 6. Risiko kadar air 7. Risiko serangga ditemukan 8. Risiko kotoran 9. Risiko jamur 10. Risiko penurunan aroma 11. Risiko kadar atsiri
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Risiko hama penggerek batang Risiko hama penghisap buah Risiko hama penghisap bunga Risiko penyakit busuk pangkal batang Risiko penyakit kuning Risiko penyakit kerdil/keriting Risiko cuaca Risiko lokasi lahan Risiko daya dukung lingkungan Risiko harga Risiko indikasi geografis
23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Risiko risiko subtitusi produk Risiko persaingan Risiko kerjasama Risiko ketergantungan antar pelaku Risiko manajemen operasional Risiko informasi Risiko suku bunga Risiko nilai tukar Risiko kredit Risiko likuiditas
Jenis risiko dengan nilai kerentanan tinggi, yang akan menjadi prioritas dalam pemberian dukungan dalam proses pengelolaan risiko, adalah risiko dengan nilai risiko yang tinggi dan nilai kemampuan pengelolaan yang rendah. Risiko tersebut adalah: risiko harga, risiko persaingan, risiko kerjasama, risiko penyakit busuk pangkal batang, risiko ketergantungan antar pelaku, risiko indikasi geografis, risiko cuaca, risiko daya dukung lahan, risiko likuiditas, risiko penyakit 161
kuning, risiko pernyakit kerdil, risiko subtitusi produk, risiko manajemen operasional, dan risiko pembagian informasi. Beberapa risiko yang mendapat prioritas dalam pemberian dukungan fasilitas adalah risiko harga, persaingan, kerjasama, penyakit busuk pangkal batang, serta ketergantungan antar pelaku. Pengelolaan risiko pada sistem komoditas lada memerlukan instrumen pengelolaan risiko dengan prioritas yang berbeda, tergantung dari jenis pengelolaan risiko yang dipilih dan ketersediaan aset pengelolaan risiko yang dimiliki oleh pelaku. Nilai relatif keenam instrumen pengelolaan risiko pada setiap jenis risiko tertera pada Tabel 36.
Tabel 36. Nilai Prioritas Instrumen Pengelolaan Risiko Nama Risiko 1. Lada tercampur 2. Lada keabu-abuan 3. Kontaminasi perendaman 4. Lada pecah 5. Kontaminasi pencucian 6. Kadar air 7. Serangga ditemukan 8. Kotoran 9. Jamur 10. Penurunan aroma 11. Kadar atsiri 12. Hama Penggerek Batang 13. Hama Penghisap Buah 14. Hama Penghisap Bunga 15. Penyakit Busuk Pangkal Batang 16. Penyakit Kuning 17. Penyakit Kerdil/Keriting 18. Cuaca 19. Lokasi lahan 20. Daya dukung lingkungan 21. Harga 22. Indikasi geografis 23. Subtitusi produk 24. Persaingan 25. Kerjasama 26. Ketergantungan antar pelaku 27. Manajemen operasional 28. Informasi 29. Suku bunga 30. Nilai tukar 31. Kredit 32. Likuiditas
162
Teknologi 16,88 9,72 16,33 26,17 12,22 17,17 42,25 32,70 20,74 25,55 23,37 16,58 18,30 18,95
Nilai Instrumen Pengelolaan Risiko ManaPembia- Kebija- Infrajemen yaan kan struktur 6,35 43,65 13,18 7,15 44,28 5,48 13,65 3,04 39,28 6,03 25,83 3,21 15,88 28,61 10,57 3,97 41,58 6,07 23,48 3,76 9,01 41,77 10,98 7,21 24,65 15,61 5,17 3,33 28,82 13,72 10,79 3,80 30,03 28,31 8,47 3,63 14,48 40,64 7,72 3,39 22,78 24,42 13,20 4,81 39,23 25,16 9,41 5,87 39,04 23,17 10,34 5,44 38,96 23,07 10,16 5,42
Kemitraan 12,79 23,84 9,33 14,80 12,89 13,85 8,98 10,17 8,82 8,22 11,43 3,75 3,71 3,44
16,77 16,45 17,20 39,42 5,37 15,07 5,95 25,82 12,63 39,15 17,22
42,71 41,99 39,84 19,27 25,92 5,10 5,51 15,69 33,33 9,67 25,65
22,43 22,27 23,76 9,09 16,43 9,15 12,83 6,41 24,34 14,29 10,73
9,74 10,05 10,17 21,53 8,36 28,62 37,07 38,11 15,23 3,28 4,14
4,95 5,48 5,37 6,57 3,99 38,42 31,97 10,04 8,15 5,23 2,82
3,40 3,77 3,68 4,12 39,92 3,83 6,68 3,93 6,32 28,39 39,43
23,12 17,87 32,45 15,08 14,39 5,47 5,25
16,76 30,23 10,12 39,99 38,79 42,07 42,97
12,86 11,49 7,36 4,58 4,39 3,36 3,34
7,98 9,92 34,25 12,81 4,50 8,22 8,07
5,87 11,99 8,33 17,20 31,10 13,80 13,68
33,41 18,49 7,50 10,33 6,82 27,08 26,68
Sistem Resi Gudang merupakan sebuah terobosan baru dalam menangani fluktuasi harga komoditas. Selain baru diterapkan untuk lada hitam di Lampung, implementasi Sistem Resi Gudang mengalami berbagai kendala dan mengalami fluktuasi baik dari jumlah resi gudang, volume komoditi, nilai barang maupun jumlah pembiayaannya.
Penerapan Sistem Resi Gudang pada lada putih
membutuhkan relatif lebih besar dukungan infrastruktur (31,97), kebijakan (37,07), dan finansial (12,83) dibandingkan dengan instrumen lainnya. Pengelolaan risiko persaingan dilakukan dengan cara peningkatan nilai tambah dan pengembangan pasar. Peningkatan nilai tambah untuk menghasilkan produk yang unik atau berbeda bertujuan untuk memenuhi atau melampaui atribut yang diharapkan konsumen.
Pengelolaan risiko melalui penambahan mutu,
fungsi, dan bentuk dapat dilakukan melalui perbaikan dan pengembangan sistem pengolahan lada.
Pengelolaan risiko melalui penambahan pemenuhan fungsi
tempat, waktu dan kemudahan mendapatkan dapat dilakuan melalui penerapan strategi ceruk pasar (niche market), yaitu strategi menjadi pemimpin pasar di pasar yang kecil. Hal ini dilakukan dengan menciptakan spesialisasi dalam bentuk spesialisasi produk, spesialisasi geografis, spesialisasi harga dan mutu, spesialisasi pelanggan, spesialisasi pelayanan, spesialisasi pemakai akhir, spesialisasi pesanan, spesialisasi produk atau lini produk, spesialisasi saluran pemasaran, atau spesialisasi ukuran pelanggan. Kemampuan melakukan pengelolaan risiko persaingan tersebut belum dimiliki oleh para pelaku dalam sistem komoditas lada. Hal ini berkaitan dengan sistem penjualan produk yang dilakukan dalam bentuk produk curah melalui pengumpul atau pedagang perantara, serta tanpa interaksi dengan konsumen. Dukungan fasilitas yang dibutuhkan secara berurutan adalah ketersediaan, diseminasi, dan adopsi teknologi (39,15), penguatan hubungan kemitraan antar pelaku (28,39), dan dukungan finansial (14,29). Perbaikan kerjasama dilakukan melalui penguatan hubungan kerjasama yang telah ada, perubahan perilaku tentang kompetisi, pengembangan kemampuan keahlian dan kompetensi bisnis, serta peningkatan kemampuan pengambilan keputusan.
Dukungan fasilitas yang diperlukan adalah fasilitasi untuk
meningkatkan peran asosiasi dalam proses penguatan internal maupun dalam 163
proses pengmbangan jejaring dengan pihak lain.
Selain fasilitasi kemitraan
(31,61), kerjasama secara operasional membutuhkan infrastruktur (25,86) dan teknologi (18,39) dalam proses implementasinya. Penanganan serangan organisme pengganggu tanaman yang dilakukan oleh sebagian besar petani adalah pengendalian dengan cara kimia. Langkah ini dilakukan saat harga lada tinggi, namun tidak dilakukan pada saat harga lada turun, mengingat keterbatasan modal petani. Sebagai akibatnya hama penyakit tanaman masih menjadi masalah yang serius pada banyak pertanaman lada. Pengelolaan risiko yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman dapat dilakukan melalui kegiatan pencegahan dan kegiatan penanganan. Pengendalian terpadu yang dianjurkan meliputi teknik budidaya, serta pengendalian secara hayati dan kimiawi. Pengelolaan risiko yang bersifat ex ante dilakukan dengan cara menerapkan budidaya lada anjuran yang dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, pembangunan saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan, pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pembuatan pagar keliling. Pengelolaan risiko yang bersifat ex post dilakukan dengan menggunakan pestisida atau agen hayati. Dukungan fasilitas yang diperlukan adalah manajemen usahatani sesuai anjuran (27,44), dukungan pembiayaan (22,43), dan aplikasi teknologi secara berkelanjutan (16,77). Kerjasama antar pelaku dalam sistem komoditas lada dapat ditingkatkan dengan cara penguatan rantai nilai melalui: perbaikan mutu produk dan memasuki lini produk yang lebih tinggi untuk mendapatkan nilai tambah yang semakin besar, investasi teknologi baru untuk memperbaiki proses dan efisiensi rantai, serta menerapkan fungsi baru pada rantai untuk meningkatkan kinerja pada setiap aktivitas rantai. Selama ini pelaku melakukan aktivitas pada seluruh mata rantai secara individual dengan pendekatan tradisional.
Untuk menerapkan metode
pengeloaan risiko tersebut maka diperlukan dukungan fasilitas dalam bentuk dukungan teknologi (23,12), penguatan manajemen pengelolaan sistem komoditas (16,76)), serta dukungan pembiayaan (12,86).
Melalui dukungan fasilitas ini
maka diharapkan akan terbangun sistem kerjasama antar pelaku yang lebih baik. 164
1.3 Analisis Finansial Keberhasilan pengembangan agroindustri berbasis alat dan mesin pertanian dipengaruhi oleh aspek kelembagaan pasca panen, aspek teknis, aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek ergonomis (Ditjen P2HP 2007). Oleh karena itu aspek manajemen pasca panen, aspek teknis, serta aspek ekonomi menjadi perihal yang dipertimbangkan pada analisis finansial. Aspek manajemen pasca panen menyangkut jenis atau tipe, metoda, mutu, dan waktu operasi. Faktor yang perlu dipertimbangkan dari aspek teknis dalam pelaksanaan operasi pengolahan lada adalah waktu panen, pola pembelian lada, jumlah lada, mutu lada, dan kapasitas operasi alat mesin pasca panen.
Kriteria teknis
mencakup sifat-sifat fisik dan mekanis dari bahan dan produksi, kebutuhan daya, kekuatan bahan dan kontruksi, kerumitan kontruksi, kemudahan perawatan dan perbaikan serta efisiensi penanganannya. Selain kriteria teknis terdapat kriteria tekno ekonomi yang mencakup kapasitas produksi yang tergantung pada beberapa faktor antara lain tipe dan besarnya sarana alat mesin pasca panen, keterampilan pengelola dan operator, ketersediaan dan kualitas tenaga kerja. Analisis rasio biaya input dan output, tingkat pendapatan, dan jangka waktu pengembalian modal merupakan faktor yang dianalisis dari aspek ekonomis. Pada keadaan dimana sarana alat mesin lebih banyak dipakai, maka biaya yang dikeluarkan juga meningkat, sehingga pengelolaan sarana alat mesin pasca panen menjadi kunci keberhasilan penanganan pasca panen.
Analisis
finansial memerlukan asumsi-asumsi yang menjadi dasar perhitungan biaya. Asumsi tersebut dijelaskan pada Tabel 37. Pembiayaan investasi agroindustri lada terdiri atas dua sumber dana, yaitu dari dana, pinjaman bank dan dari modal sendiri. Dana pinjaman yaitu pinjaman dengan sumber dana yang berasal dari bank. Jenis pinjaman yang diberikan yaitu kredit investasi yang diberikan untuk mendirikan suatu usaha baru. Nilai suku bunga yang berlaku untuk pinjaman adalah 17%. Pembayaran pinjaman dilakukan selama lima tahun, dengan pembayaran angsuran pinjaman pokok dan bunga dimulai pada tahun pertama. Dipilihnya jangka waktu pengembalian lima tahun adalah karena waktu tersebut merupakan 165
jangka waktu pengembalian tercepat yang ditawarkan oleh bank. Alasan dipilihnya jangka waktu pengembalian tercepat adalah jika suatu saat jangka waktu pengembalian diperpanjang, maka dapat dipastikan bahwa proyek layak. Tabel 37. Asumsi Analisis Finansial Parameter Produksi
Pembiayaan Pinjaman dan Angsuran Penyusutan Bangunan Penyusutan Mesin Penyusutan Peralatan Pajak Penghasilan
Nilai Asumsi
Satuan
Kapasitas Mesin Periode Pengolahan Periode Pengolahan Kapasitas Produksi Tahun ke 1 Kapasitas Produksi Tahun ke 2-10 Rendemen Upah Pengolahan Produk Samping Persentase Modal sendiri Persentase Pinjaman Bunga Lama Kembali Pinjaman Umur Ekonomis Persentase nilai sisa
500 8 120 90 100 25 1.900 4.000.000 40 60 17 5 20 10
kg buah/jam jam/hari hari/tahun % % kg biji kering Rp/kg Rp/tahun % % % Tahun Tahun %
Umur Ekonomis Persentase nilai sisa Umur Ekonomis Persentase nilai sisa
10 10 10 10 20
Tahun % Tahun % %
Biaya investasi yaitu biaya yang diperlukan pada saat akan mendirikan agroindustri lada. Biaya ini terbentuk atas dua komponen, yaitu modal tetap dan modal kerja (Tabel 38). Modal tetap terdiri dari: biaya tanah dan bangunan, biaya mesin dan peralatan, biaya fasilitas, dan biaya pra operasi.
Modal kerja
merupakan dana yang dibutuhkan dalam menjalankan perusahaan sebelum perusahaan menerima pendapatan atas penjualan.
Modal kerja dihitung
berdasarkan besarnya perkiraan pengeluaran per bulan selama tiga bulan. Pembangunan unit pengolahan lada putih memiliki kapasitas pengolahan sebesar 480.000 kg buah/tahun yang dihitung berdasarkan kemampuan mesin yang dioperasikan selama 500 kg/jam jam per hari. Periode operasi adalah 8 jam per hari selama 4 bulan atau masa panen lada. Investasi yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 213,5 juta yang terdiri dari modal tetap sebesar Rp.152 juta dan modal kerja sebesar Rp. 61 juta. Investasi tersebut dikeluarkan pada tahun ke nol, yaitu saat pendirian pabrik. 166
Tabel 38. Rencana Investasi
Parameter Tanah dan Bangunan
Mesin dan Peralatan
Total Investasi Tetap Biaya Pra Operasi Modal Kerja Total Investasi
Ruang Produksi Luas Ruang Produksi Harga Ruang Produksi Lantai Penjemuran Luas Lantai Penjemuran Harga Lantai Penjemuran Bak Perendaman Luas Bak Perendaman Harga Bak Perendaman Tanah Luas Tanah Harga Tanah Mesin Produksi Jumlah Mesin Produksi Harga Mesin Produksi Peralatan produksi Jumlah Peralatan produksi Harga Peralatan produksi Instalasi Perijinan Modal Kerja Persentase Modal Kerja
Nilai 20.000.000 100 200.000 5.000.000 50 100.000 5.000.000 50 100.000 30.000.000 300 100.000 90.000.000 1 90.000.000 1.000.000 1 1.000.000 1.000.000 152.000.000 500.000 61.000.000 40 213.500.000
Satuan Rp m2 Rp/m2 Rp m2 Rp/m2 Rp m2 Rp/m2 Rp m2 Rp/m2 Rp Unit Rp/Unit Rp Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp Rp Rp % Rp
Besarnya biaya produksi per tahun yang dibutuhkan tertera pada Tabel 39. Biaya tetap terdiri dari: biaya penyusutan, biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya pemeliharaan, pajak, dan biaya penanganan limbah. Biaya variabel terdiri dari bahan pembantu, energi, pengangkutan, dan tenaga kerja langsung. Tabel 39. Biaya Pengolahan Parameter BIAYA TETAP Biaya Penyusutan Bangunan Biaya Penyusutan Mesin Biaya Penyusutan Peralatan Biaya Tenaga Kerja Tidak Langsung Pemeliharaan Bangunan dan Mesin Pajak Bumi dan Bangunan Biaya Penanganan Limbah Sub Total BIAYA VARIABEL Biaya Bahan Pembantu Energi Pengangkutan Biaya Tenaga Kerja Langsung Sub Total Total Pengeluaran
Nilai Tahun 1 (Rp)
Nilai Tahun 2-10 (Rp)
1.500.000 8.100.000 90.000 3.000.000 500.000 100.000 200.000 13.340.000
1.500.000 8.100.000 90.000 3.000.000 500.000 100.000 200.000 13.340.000
4.320.000 17.280.000 8.640.000 21.600.000 49.680.000 63.020.000
2.400.000 19.200.000 9.600.000 24.000.000 55.200.000 68.540.000
167
Pendapatan usaha pengolahan lada diperoleh dari jasa pengolahan dan hasil samping berupa tangkai dan lada enteng yang disuling. Jasa pengolahan adalah sebesar Rp. 1.900/kg dan hasil samping sebesar Rp. 4 juta. Pendapatan usaha diproyeksikan dengan asumsi bahwa pada tahun pertama usaha beroperasi pada kapasitas 90% serta pada tahun kedua dan seterusnya pada kapasitas 100%. Perincian tentang rencana produksi, penerimaan dan proporsi penerimaan usaha selama umur proyek tertera pada Tabel 40. Tabel 40. Perkiraan Kapasitas Pengolahan Lada Parameter Kapasitas Pengolahan (kg buah) Persentase Pengolahan (%) Total Pengolahan (kg kering) Jasa Pengolahan (Rp/kg) Produk Tambahan (Rp) Total Penerimaan (Rp)
Nilai Tahun 1 480.000 90 108.000 1.900 3.600.000 208.800.000
Nilai Tahun 2-10 480.000 100 120.000 1.900 4.000.000 232.000.000
Proyeksi rugi laba digunakan untuk mengetahui tingkat profitabilitas agroindustri lada. Proyeksi rugi laba industri pengolahan lada tertera pada Lampiran 1.
Laba bersih pada tahun pertama yaitu sebesar Rp. 78.706.400 dan terus
meningkat hingga mencapai Rp. 130.768.000 pada tahun ke 6-10. Aliran arus kas dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu arus kas masuk dan arus kas keluar. Arus kas agroindustri lada tertera pada Lampiran 2. Investasi agroindustri lada mencapai titik impas pada 9.263 kg per tahun. Titik dimana hasil penjualan produk pada periode waktu tertentu sama dengan jumlah biaya yang ditanggung sehingga kegiatan tidak memperoleh kerugian juga tidak memperoleh keuntungan. Kriteria investasi yang digunakan antara lain adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), dan Pay Back Period (PBP). Analisa kelayakan pendirian agroindustri lada tertera pada Tabel 41. NPV merupakan selisih dari nilai investasi sekarang dengan nilai penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Apabila nilai penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar daripada nilai sekarang investasi, maka proyek tersebut menguntungkan sehingga dinyatakan 168
layak, begitu pula sebaliknya memberikan informasi mengenai hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel. Hasil dari perhitungan NPV untuk pendirian agroindustri lada yaitu sebesar Rp. 202.796.226.
Nilai tersebut lebih besar
daripada nol, oleh karena itu pendirian agroindustri lada dinyatakan layak sesuai perhitungan NPV. Tabel 41. Kelayakan Investasi Kriteria Investasi
Satuan
Nilai
NPV (DF 17 %) IRR Net B/C Pay Back Period
Rp. % Tahun
202.796.226 45,28 1,95 3,75
IRR merupakan tingkat bunga yang menyamakan nilai investasi saat ini dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa mendatang. Suatu proyek layak dilaksanakan akan mempunyai nilai IRR yang lebih besar dari nilai faktor diskonto, artinya investasi tersebut memberikan manfaat lebih dibandingkan dengan suku bunga yang diberikan oleh bank. Nilai IRR yang dihasilkan yaitu sebesar 45,28%.
Nilai ini lebih besar dibandingkan faktor
diskonto yang digunakan, maka dapat dikatakan proyek agroindustri layak untuk direalisasikan. Analisa yang dilakukan untuk menghitung net B/C adalah dengan menggunakan nilai arus kas yang telah diperhitungkan nilai perubahannya berdasarkan waktu. net B/C yang didapat adalah 1,95.
Nilai tersebut
menerangkan bahwa agroindustri lada layak untuk direalisasikan, karena mempunyai nilai net B/C lebih besar dari satu. Periode pengembalian atau pay back period adalah suatu periode yang menunjukkan berapa lama modal yang ditanam dalam proyek dapat kembali dan menggambarkan lamanya waktu agar dana yang telah diinvestasikan dapat dikembalikan. Hasil perhitungan periode pengembalian adalah selama 3,75 tahun. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa agroindustri lada layak karena waktu pengembalian modal lebih cepat dibandingkan dengan umur proyek.
169
6.4 Simulasi Kelayakan Investasi berbasis Risiko Kelayakan investasi dapat berubah dipengaruhi oleh risiko yang terdapat di dalamnya. Dalam agroindustri lada, risiko yang terjadi dapat mempengaruhi tiga komponen yaitu: kemampuan pembayaran jasa pengolahan, jumlah lada diolah, dan rendemen.
Selain itu, besarnya jumlah lada yang diolah akan
berpengaruh juga terhadap produk samping yang dihasilkan. Analisis menunjukkan bahwa nilai keparahan (severity) kelompok pemasaran menunjukkan nilai terbesar dibandingkan dengan kelompok lainnya, yaitu 8,39.
Nilai bobot kelompok menunjukkan bahwa nilai kelompok
agroindustri memiliki nilai bobot terbesar yaitu 0,25. Simulasi dilakukan dengan memperhitungkan agregasi nilai keparahan (severity) kelompok dan menghitung nilai keparahan (severity) tertimbang berdasarkan bobot kelompok yang telah diperhitungkan sebelumnya. Nilai keparahan (severity) tertimbang yaitu sebesar 7,06 pada skala 10 (Tabel 42). Tabel 42. Agregasi Nilai Keparahan (severity) Kelompok Risiko
Nilai Keparahan (severity) Kelompok
Bobot Kelompok
Nilai Keparahan (severity) Tertimbang
Agroindustri
6,17
0,25
1,56
Budidaya
6,29
0,24
1,48
Pemasaran
8,39
0,19
1,64
Kelembagaan
8,09
0,17
1,38
Finansial
6,87
0,15
1,01
Nilai Keparahan (severity) Agregat
7,06
Besarnya pengaruh yang diberikan terhadap komponen kelayakan investasi dilakukan dengan menjaring penilaian pakar. Penilaian pakar kemudian dihitung sebagai bobot pengaruh tertimbang yang akan menentukan besarnya nilai pengaruh yang dihitung berdasarkan nilai keparahan (severity) agregat. Nilai pengaruh berbasis tingkat keparahan (severity) terhadap kemampuan pembayaran jasa pengolahan, jumlah lada diolah, dan tingkat rendemen berturut-turut adalah sebesar 28,89%, 31,03% dan 10,70% (Tabel 43).
170
Tabel 43. Penilaian Pengaruh Komponen Kelayakan Investasi Komponen yang Dipengaruhi
Agregasi Nilai Pakar
Pengaruh terhadap Jasa Pengolahan Pengaruh terhadap Jumlah Lada Diolah Pengaruh terhadap Rendemen
Bobot Pengaruh Tertimbang
0,75 0,81 0,28
0,41 0,44 0,15
Nilai Pengaruh 0,29 0,31 0,11
Hasil analisis pengaruh risiko diketahui bahwa apabila tidak dilakukan pengelolaan dalam bentuk pencegahan dan atau penanganan risiko, maka risiko tersebut akan memberikan pengaruh terhadap upah sewa pengolahan lada, jumlah lada diolah dan rendemen. Tabel 44. Perubahan Nilai Kelayakan Investasi Kriteria Investasi
Satuan
NPV
Rp.
IRR Net B/C Pay Back Period
% Tahun
NPV K
Nilai (61.303.728) 0,72 45.19
IRR I
P
N K
BC I
PBP B
R
Gambar 42. Perbandingan Nilai Kelayakan Investasi Simulasi yang didasarkan kepada penurunan jasa pengolahan sebesar 28,89%, penurunan jumlah lada diolah sebesar 31,03% , dan penurunan rendemen 171
sebesar 10,70% akan menyebabkan perubahan nilai kelayakan investasi. Perubahan yang terjadi yaitu menyebabkan perubahan nilai NPV menjadi Rp (61,3) juta, net B/C menjadi 0,72, dan Payback Period menjadi 45,19 tahun (Tabel 44). Besarnya perubahan terhadap nilai kelayakan potensial ditunjukkan pada Gambar 42. Proyeksi rugi laba dan Arus kas agroindustri lada berbasis risiko tertera pada Lampiran 3 dan 4.
6.5 Tatanan Kelembagaan Investasi Agroindustri Lada Investasi agroindustri lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung akan melibatkan pihak-pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam proses fasilitasi, koordinasi, pembiayaan, dan peningkatan kapasitas. Stakeholder inti dalam sistem komoditas lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah: petani, kelompok tani, pedagang, penyuluh, lembaga penelitian dan Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L). Pemetaan pelaku yang berperan dalam pengembangan agroindustri lada tertera pada Gambar 43. Pelaku
utama
memberikan
perkembangan komoditas lada.
pengaruh
secara
signifikan
terhadap
Petani sebagai pengambil keputusan, akan
dipengaruhi oleh dukungan atau intervensi pelaku utama lainnya.
BP3L
merupakan lembaga lokal yang berperan dalam upaya meningkatkan produktivitas dan mutu lada putih menurut standar indikasi geografis. BP3L bekerja dengan prinsip koordinasi, partisipasi, dan kemitraan antar stakeholder.
BP3L
beranggotakan pemerintah daerah, dunia usaha (eksportir dan pedagang), petani, lembaga riset, perguruan tinggi.
Keberadaan lembaga ini bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas dan mutu lada putih (Muntok White Pepper) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menurut standar indikasi geografis. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan adalah inisiasi tahap pra produksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Selain peningkatan produksi, kegiatan bertujuan untuk meningkatkan mutu menuju ISO 9000, 14000 (sistem mutu dan keamanan pangan) dan penerapan manajemen rantai pasok (supply chain management).
172
Gambar 43. Pemetaan Pelaku dalam Pengembangan Agroindustri Lada Investasi agroindustri lada dapat dilakukan melalui beberapa sumber pembiayaan diantaranya adalah pembiayaan kredit usaha, investasi pemerintah, dana perwalian (trust fund), dan dana CSR yang secara lebih spesifik yaitu Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Secara umum, model pembiayaan KUR dapat dilihat pada Gambar 44. Dana pemerintah pusat dan dana pemerintah daerah merupakan sumber utama bagi pemberian kredit program yang diperuntukkan pembiayaan kegiatan budidaya lada.
Dana pemerintah dan dana pihak ketiga melalui lembaga
keuangan dapat disalurkan untuk membiayai kegiatan agroindustri perdesaan yang dimiliki Gapoktan atau Badan Usaha Milik Desa. Pemerintah Daerah melalui off taker memberikan jaminan pasar atas produk yang dihasilkan, dan melalui Lembaga Penjaminan Kredit Daerah memberikan jaminan atas kredit yang disalurkan kepada penerima manfaat. Pemerintah Pusat melalui Askrindo dan Jamkrindo sebagai Lembaga Penjaminan 173
Kredit memberikan jaminan atas kredit yang disalurkan. Pemerintah Pusat juga menyediakan berbagai program pembiayaan bagi sektor pertanian yang dapat dimanfaatkan oleh petani lada dan agroindustri lada. Lembaga Keuangan melalui Dana Pihak Ketiga yang dihimpun dari masyarakat, menyediakan sumber dana yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna jasa layanan perbankan.
Berbagai
sumber pembiayaan tersebut dapat dimanfaatkan oleh petani lada bagi tujuan pengembangan perkebunan lada dan oleh agroindustri lada bagi tujuan pe rbaikan sistem pengolahan lada.
Gambar 44. Skema Pendanaan Model Pembiayaan KUR Pengembangan sistem komoditas lada dapat pula dilakukan melalui model pembiayaan investasi pemerintah yang dilakukan melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008
tentang Investasi Pemerintah, yang dimaksud dengan investasi pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau barang dalam jangka panjang untuk investasi 174
pembelian surat berharga dan investasi langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Kewenangan pengelolaan investasi pemerintah dilaksanakan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Kewenangan tersebut meliputi kewenangan regulasi, supervisi, dan operasional. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah, Pusat Investasi Pemerintah (PIP) atau Indonesia Investment Agency (IIA) mempunyai tugas melaksanakan kewenangan operasional dalam pengelolaan investasi Pemerintah Pusat sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PIP merupakan Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia dan menjadi operator investasi pemerintah Indonesia. Adapun cakupan sektor investasi PIP meliputi bidang infrastruktur dan bidang lainnya.
Investasi di bidang
pembangunan infrastruktur sebagai salah satu fokus dari PIP, didasarkan pada alasan bahwa pembangunan infrastruktur merupakan salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran dan terwujudnya stabilisasi makro ekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja. Dasar hukum pelaksanaan tugas PIP adalah: (1) PP Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, (2) PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Investasi Pemerintah, (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.05/2008 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pengelolaan Dana dalam Rekening Induk Dana Investasi, (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.05/2008 tentang Tata Cara Penyusunan Perencanaan Investasi Pemerintah, (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.05/2008 tentang Pelaksanaan Investasi Pemerintah, (7) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.05/2008 tentang Pelaporan atas 175
Pelaksanaan Kegiatan Investasi, dan (8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.05/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Divestasi terhadap Investasi Pemerintah. Mitra Investasi PIP, yaitu: Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pemerintah Daerah, Badan Layanan Umum (BLU) Lainnya, Sektor Swasta, dan Lembaga Keuangan Internasional. Ruang lingkup investasi pemerintah meliputi investasi jangka panjang dan investasi langsung. Ruang lingkup pengelolaannya meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban, serta penga wasan investasi dan divestasi.
Berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi
Pemerintah, investasi pemerintah dilakukan dalam bentuk Investasi Surat Berharga dan Investasi Langsung. Investasi Surat Berharga meliputi investasi dengan cara pembelian saham dan surat utang, sedangkan Investasi Langsung meliputi Penyertaan Modal dan/atau Pemberian Pinjaman.
Investasi langsung
dapat dilakukan melalui kerjasama investasi antara PIP dengan Badan Usaha dan/atau BLU dengan pola Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership atau PPP) dan/atau antara PIP dengan Badan Usaha, BLU, Pemprov/Pemkab/Pemkot, BLUD, dan/atau badan hukum asing dengan pola selain PPP (Non-PPP). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi PIP memiliki tugas memfasilitasi pelaksanaan proyek PPP melalui kegiatan penyediaan dana talangan untuk dukungan Pemerintah. Sesuai dengan Perpres 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah dengan Perpres 13 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden RI Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, peluang PIP dalam investasi dengan pola PPP adalah melalui empat pola yaitu: (1) pola investasi penyediaan lahan infrastruktur, (2) pola investasi konstruksi infrastruktur, (3) pola investasi patungan (joint venture) dengan badan usaha, dan (4) pola investasi persiapan proyek. Investasi pemerintah pada agroindustri lada dapat dilakukan dengan pola investasi patungan (joint venture) dengan badan usaha dengan mekanisme pembiayaan yang tertera pada Gambar 45. Pusat Investasi Pemerintah menyusun 176
nota kesepahaman bersama dengan Badan Usaha dengan penyertaan modal. Investasi dilakukan pada pembangunan fasilitas transportasi, banguna n irigasi, fasilitas air bersih, fasilitas penanganan limbah, fasilitas pembangkit energi dan distribusi, serta fasilitas gudang. Investasi infrastruktur ini akan memberikan dukungan bagi petani, agroindustri, dan eksportir sebagai pelaku utama dalam sistem komoditas lada.
Gambar 45. Skema Investasi Pemerintah Bentuk Investasi Langsung
Investasi agroindustri lada dapat juga menggunakan dana yang bersumber dari CSR. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN mengalokasikan dana program kemitraan untuk usaha kecil termasuk pada sektor pertanian dalam mengembangkan usaha agribisnis. Hal ini didasarkan kepada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor:
316/KMK.016/1994
tentang
Kebijaksanaan Pemanfaatan Sebagian Laba BUMN disalurkan kepada Pengusaha Kecil dan Koperasi, serta Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: 177
KEP-236/MBU/2003 yang diubah menjadi Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: PER-05/MBU/2007 Tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (PKBL-BUMN). Usaha pertanian yang dapat dibiayai adalah kegiatan yang dilakukan mulai dari hulu, budidaya, dan hilir, pada subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Penyisihan dan penggunaan laba dapat diberikan dalam bentuk pemberian pinjaman yang digunakan untuk kegiatan investasi atau membiayai modal kerja yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing lada. Melalui program ini diharapkan akan dapat meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana bagian laba BUMN. Skema pendanaan model pembiayaan CSR pada model PKBL-BUMN tertera pada Gambar 46.
Gambar 46. Skema Pendanaan Model Pembiayaan PKBL-BUMN 178
Pinjaman diberikan untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan usaha. Dana dapat digunakan untuk mendukung pembiayaan kegiatan perkebunan rakyat yang mungkin telah didukung pembiayaannya oleh pemerintah melalui kredit program, atau digunakan secara langsung untuk pembiayaan kegiatan agroindustri. Sumber dana program kemitraan terdiri dari: (1) sumber dana yang dipergunakan bumn untuk program, (2) kemitraan dan bina lingkungan berasal dari penyisihan laba bumn
pembina
setelah
pajak
(laba
bersih)
maksimal
2%,
(3)
jasa
administrasi/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan atau jasa giro dana kemitraan, (4) pelimpahan dana program kemitraan dari BUMN yang lain, serta (5) penyaluran dana dari bumn pembina lain. Suku bunga ditetapkan berdasarkan jenis peruntukannya.
Jasa
administrasi pinjaman dana program kemitraan sebesar 6% per tahun dari limit pinjaman, atau ditetapkan Menteri Negara BUMN. Pinjaman yang diberikan berdasarkan prinsip jual beli, maka proyeksi marjin yang dihasilkan disetarakan dengan marjin 6%.
Pinjaman yang diberikan berdasarkan prinsip bagi hasil,
maka rasio bagi hasilnya untuk BUMN Pembina mulai 10% (10:90) sampai dengan maksimal 50% (50:50). Jangka waktu pinjaman yang bersifat jangka pendek maksimal satu tahun, sedangkan untuk jenis usaha yang panjang akan ditetapkan bersama antara usaha kecil dengan BUMN Pembina/Peyalur dengan mempertimbangkan siklus usahanya.
Dana program kemitraan yang sifatnya pinjaman, resiko macet
ditanggung oleh BUMN Pembina.
Oleh karena itu kinerja pengembalian
pinjaman menjadi acuan bagi BUMN Pembina untuk memberikan pinjaman selanjutnya. Dana program kemitraan disalurkan langsung oleh BUMN Pembina atau melalui
kantor cabang/perwakilan
BUMN
Pembina
di
wilayah
cabang/perwakilan dengan mempertimbangkan dana yang tersedia.
kantor BUMN
Pembina bekerjasama dengan BUMN Penyalur dan atau Lembaga Penyalur. Model pembiayaan lainnya adalah dana perwalian (trust fund). Sejumlah aset finansial dalam bentuk properti, uang, sekuritas (trust) yang oleh orang atau lembaga (trustor/donor/grantor) dititipkan atau diserahkan untuk dikelola dengan 179
baik oleh sebuah lembaga (trustee) dan disalurkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan penerima manfaat (beneficiaries) sesuai dengan maksud dan tujuan yang dimandatkan. Dana perwalian (trust fund) merupakan mekanisme pembiayaan bagi program yang membutuhkan biaya relatif besar secara berkelanjutan dalam jangka menengah atau panjang. Kegiatan yang dibiayai pada umumnya memiliki tujuan: (1) pengentasan kemiskinan, (2) pemberdayaan masyarakat, (3) penanggulangan masalah sosial, budaya, dan kesehatan, (4) pelestarian sumberdaya alam, dan (5) program strategis lainnya. Mekanisme pembiayaan tertera pada Gambar 47.
Gambar 47. Skema Pendanaan Model Pembiayaan Dana Perwalian (Trust Fund) Unit Pengelola Program (Program Management Unit) Dana Perwalian biasanya terdiri dari Komisi Pengarah, Komisi Teknis dan Sekretariat. Wali 180
Amanah (trustee) biasanya dikelola oleh lembaga internasional atau lembaga nasional, tergantung kesepakan antara donor dengan pemerintah. Mitra pembangunan (development partners) adalah pihak donor yang melakukan kerjasama secara bilateral ataupun multilateral. Penerima manfaat (beneficiaries) dari dana perwalian ini yaitu: kementerian atau lembaga, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi massa. Komisi Pengarah bertanggungjawab dalam tiga bidang, yaitu: membuat pedoman kebijakan dan operasional, manajemen, dan monitoring dan evaluasi. Komisi Teknis terdiri dari staf kementerian yang menjadi tuan rumah dari dana perwalian ini ditambah dengan staf kementerian lainnya. Tugas Komisi Teknis adalah memberikan saran kepada Komisi Pengarah urusan teknis, yaitu: mengevaluasi kelayakan usulan proyek, mengembangkan pedoman dan manual, memberikan bantuan teknis dan mengerjakan tugas-tugas lainnya yang dibutuhkan oleh Komisi Pengarah. Unit Pengelola Program dalam pelaksanaan tugas harian akan dibantu oleh Sekretariat, yang mempunyai fungsi: membantu Komisi Pengarah dan Komisi Teknis, menyiapkan laporan, memelihara sistem informasi dan menyelesaikan tugas-tugas lainnya yang diminta Komisi Pengarah dan Komisi Teknis. Beberapa bentuk dana perwalian (trust fund) yang dapat diaplikasikan pada pengembangan agroindustri adalah: dana abadi (endowment fund), dana bergulir (revolving fund), dana menurun (sinking fund), dan mixed trust fund. Dana Abadi (Endowment Fund) yaitu dana yang dititipkan atau diserahkan untuk dikelola secara abadi, tanpa batasan waktu. Dana Bergulir (Revolving Fund) yaitu dana yang dititipkan atau diserahkan untuk dikelola secara bergulir kepada penerima manfaat.
Hal ini dilakukan untuk memperluas cakupan penerima
manfaat secara bergilir. Dana Menurun (Sinking Fund) yaitu dana yang dititipkan atau diserahkan untuk dikelola dan dimanfaatkan kepada penerima manfaat hingga dana tersebut habis secara berkala.
Mixed Trust Fund merupakan
kombinasi antara tiga bentuk dana perwalian (trust fund) yang telah disebutkan. Dana menurun (sinking fund) dapat digunakan untuk membiayai investasi bagi kegiatan penunjang agroindustri lada, sedangkan dana bergulir (revolving fund) dapat digunakan bagi investasi kegiatan utama agroindustri lada dan replikasinya. 181
6.6 Keterkaitan ke Depan dengan Perusahaan Agroindustri Eksportir Lada Ekspor lada mensyaratkan standar mutu yang harus dipenuhi oleh negara produsen, oleh karena itu perbaikan metode pengolahan lada di tingkat petani akan diikuti oleh pengolahan lanjut di tingkat perusahaan agroindustri eksportir lada. Mutu produk yang telah terbentuk dan terjaga pada tingkat budidaya dan pengolahan lada, akan mempengaruhi kinerja perusahaan agroindustri eksportir lada. Perbaikan mutu sebagai akibat dari perbaikan pengolahan lada diharapkan dapat merealisasikan kesediaan membayar lebih tinggi biji lada oleh perusahaan agroindustri eksportir lada. Pengembangan agroindustri perdesaaan dalam bentuk pengolahan bersama yang berbasis petani, membutuhkan keterkaitan ke depan dengan perusahaan agroindustri lada.
Perusahaan agroindustri berperan penting dalam proses
pengolahan lanjut sebagai langkah peningkatan nilai tambah. Proses produksi pada perusahaan agroindustri eksportir lada yaitu meliputi: pembersihan, sortasi biji lada berdasarkan ukuran, pembersihan, sortasi biji lada berdasarkan kehampaan, pemisahan biji lada dengan bagian lainnya, pencucian dan perlakuan mikroorganisme dengan steam treatment, pengeringan, pemisahan biji lada dengan bagian lainnya, serta pengemasan (Nam, 2008). Produk yang dihasilkan adalah lada bersih sesuai dengan standar dari ASTA. Uraian setiap langkah adalah sebagai berikut: pembersihan, pengelompokan biji menurut
ukuran,
pemisahan
batu,
pengelompokan
secara
aerodinamis,
pengelompokan berdasarkan kerapatan, pencucian dan perlakuan terhadap mikroorganisme oleh uap panas, pengeringan, pendinginan, serta penimbangan dan pengemasan. Pada tahap pembersihan, lada dimasukkan ke dalam penampung lada yang dibangun di bawah tanah dan kemudian ditransfer ke saringan benda asing dengan konveyor. Saringan benda asing beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip kinetika, berat, dan volume untuk memisahkan. saringan benda asing dapat memisahkan sekitar 90% benda asing pada lada termasuk: benda asing mikro, makro, dan benda asing benda asing ringan (yang terdiri dari debu). Selain itu, akibat adanya bagian magnetik, saringan benda asing dapat memisahkan besi dan baja dalam 182
bahan baku. Setelah meninggalkan saringan benda asing, lada yang terpilih dalam ukuran dari 2,5-6,5 mm. Pada pengelompokan biji lada menurut ukuran, setelah memisahkan benda asing, lada dipindah ke saringan cadangan oleh conveyor untuk dikelompokkan. Saringan dibedakan menjadi tiga ukuran diameter 4,5 mm, 4,9 mm, dan 5,5 mm. Setelah dibersihkan, lada dikelompokkan menjadi 4 jenis produk: yaitu lada dengan ukuran diameter 2,5-4,5 mm, 4,5-4,9 mm, 4,9-5,5 mm, dan ukuran lebih dari 5,5 mm. Setelah dikelompokkan, lada dimasukkan ke dalam empat tangki. Setelah itu lada akan dicampur berdasarkan kebutuhan pengguna atau diproses lebih lanjut. Tahap setelah pengelompokan berdasarkan ukuran adalah pemisahan batu yang masih tercampur pada lada. Sebelum dimasukkan ke dalam alat pemisah batu, lada masih memiliki batu dengan ukuran yang sama dengan lada. Pemisah batu beroperasi berdasarkan prinsip yang membedakan kepadatan lada dengan ukuran yang sama. Lada ringan akan terangkat oleh aliran udara menciptakan aliran paralel pada saringan untuk keluar. Pada saat yang sama, batu-batu berat akan turun dan keluar. Setelah melalui saringan batu, masih terdapat lada keras dan kenyal karena ukuran yang sama. Lada akan dikelompokkan secara aerodinamis dengan memasukkan lada ke dalam catador. Peralatan ini mengandung aliran udara yang tertiup dari dasar dengan arah vertikal.
Oleh karena itu, lada enteng akan
terangkat dan keluar sementara lada keras akan keluar dengan cara lain. Aliran udara pada mesin catador dapat disesuaikan tergantung pada kualitas lada. Pada tahap selanjutnya dilakukan pengelompokan berdasarkan kerapatan. Setelah tahap di atas, lada masih berbeda dalam bentuk, seperti lada pecah atau atau lada bulat yang masih memiliki batang lada. Pemisah spiral dibuat dengan kepala spiral yang berputar secara vertikal. Campuran lada pecah dan lada utuh dimasukkan ke dalam mulut atas dari pemisah spiral. Di bawah pengaruh gravitasi, lada jatuh ke arah spiral. Alat akan memutar lada utuh. Percepatan alat secara bertahap akan meningkat sampai lada utuh berputar di lereng sekat luar, untuk kemudian dipisahkan. Pada saat yang sama, lada pecah jatuh bebas dari
183
palung spiral dan memiliki gesekan lebih tinggi dari kecepatan aliran, sehingga mengalir lebih dekat pivot spiral dan keluar. Pencucian dan perlakuan terhadap mikroorganisme oleh uap panas dilakukan untuk menghilangkan mikroorganisme berbahaya, terutama bakteri Salmonella. Selama proses menyerap uap panas, lada diangkut melalui drum untuk mengekstraksi air dari lada yang dicuci sebelum memasuki sistem pengeringan. Sistem pengeringan terdiri dari dua tingkat yang saling terhubung, yaitu input layer dan dryng layer. Kapasitas pengeringan lada disesuaikan dengan kelembaban lada untuk mencapai produktivitas yang tinggi dengan menggunakan sistem carambola-shaped outlet screws. Peningkatan panas sistem menggunakan penyemprotan udara otomatis dilakukan untuk mempertahankan aroma lada,. Setelah dikeringkan, lada diangkut ke tangki untuk melalui proses pendinginan, setelah itu dibawa kembali ke catador untuk menghilangkan kotoran termasuk sekam debu dan lada enteng. Setelah itu, lada dipindahkan ke dalam mesin klasifikasi jenis spiral untuk yang kedua.
Tahap selanjutnya adalah
penimbangan dan pengemasan. Penimbangan dilakukan secara elektronik dengan berat 30-60 kg, dimana kapasitas mesin adalah 200 kantung /jam. Mesin dan peralatan yang digunakan terdiri dari: pre-cleaning machine, destoner, catador, gravity separator, pre-washing machine, grader, steam sterilisation, driers, elevators dan conveyors, weighing dan bagging, serta stacking conveyer.
Biaya investasi dengan menggunakan teknologi ini di
Vietnam pada tahun 2008 adalah sebesar VND 6 juta atau sekitar Rp. 2,7M (Nam, 2008). Komponen biaya investasi lainnya terdiri dari tanah, bangunan dan pekerjaan sipil, mebel dan peralatan, kendaraan, biaya pra operasi, dan modal kerja. Perhitungan investasi pabrik pengolah lada bubuk, dengan kapasitas 150 ton/tahun di Ethiopia dengan menggunakan teknologi pengolahan lada dari India dengan menyebutkan persentase biaya invetasi dan biaya produksi (SNNPR 2007).
Komponen biaya investasi lainnya adalah sebesar: tanah (3,08%),
bangunan dan pekerjaan sipil (17,37%), mesin (42,47), mebel dan peralatan (3,86%), kendaraan (7,72%), biaya pra operasi (11,19%), dan modal kerja 184
(14,29%). Selain itu juga diperoleh gambaran mengenai biaya produksi yaitu bahan baku dan bahan lain (80,31%), utilitas (2,08%), perawatan dan perbaikan (1,55%), tenaga kerja langsung (2,99%), overhead pabrik 32,16%), biaya administrasi (2,00%), biaya operasi total (89,93%), depresiasi (6,6%), serta biaya finansial (3,48%). Investasi pabrik pengolah lada di Vietnam dan Ethiopia ini dijadikan dasar penentuan asumsi dengan beberapa penyesuaian pada beberapa komponen sesuai dengan kondisi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Asumsi analisis finansial yang digunakan pendirian pabrik tertera pada Tabel 45. Tabel 45. Asumsi Analisis Finansial Pendirian Perusahaan Agroindustri Parameter Produksi
Pembiayaan Pinjaman dan Angsuran Penyusutan Bangunan, Furniture, Kendaraan Penyusutan Mesin Penyusutan Peralatan Pajak Penghasilan
Kapasitas Mesin Periode Produksi Periode Produksi Kapasitas Produksi Tahun ke 1 Kapasitas Produksi Tahun ke 2-10 Rendemen Harga Produk Produk Samping Persentase Modal sendiri Persentase Pinjaman Bunga Lama Kembali Pinjaman Umur Ekonomis Persentase nilai sisa Umur Ekonomis Persentase nilai sisa Umur Ekonomis Persentase nilai sisa
Nilai Asumsi
400 16 240 0,80 1,0 0,92 85.000 1.200.000 30 70 17 5 20 10 10 10 10 10 30
Satuan kg biji/jam jam/hari hari/tahun % % % Rp Rp/tahun % % % Tahun Tahun % Tahun % Tahun % %
Pembiayaan investasi terdiri atas dua sumber dana, yaitu dari dana, pinjaman bank dan dari modal sendiri. Nilai suku bunga yang berlaku untuk pinjaman adalah 17%.
Pembayaran pinjaman dilakukan selama lima tahun,
dengan pembayaran angsuran pinjaman pokok dan bunga dimulai pada tahun pertama. Biaya investasi yaitu biaya yang diperlukan pada saat akan mendirikan agroindustri lada. Biaya ini terbentuk atas dua komponen, yaitu modal tetap dan modal kerja (Tabel 46). Modal tetap terdiri dari: biaya tanah dan bangunan, biaya mesin dan peralatan, kendaraan, mebel dan peralatan kantor, dan biaya pra operasi. Modal 185
kerja merupakan dana yang dibutuhkan dalam menjalankan perusahaan sebelum perusahaan menerima pendapatan atas penjualan. Pembangunan unit pengolahan lada putih memiliki kapasitas pengolahan sebesar 1.536 ton/tahun yang dihitung berdasarkan kemampuan mesin yang dioperasikan selama 16 jam per hari selama 240 hari. Tabel 46. Rencana Investasi Pendirian Perusahaan Agroindustri Parameter Bangunan Tanah Kendaraan Mebel dan Peralatan Kantor Mesin dan Peralatan
Total Investasi Tetap Biaya Pra Operasi Modal Kerja Total Investasi
Nilai Ruang Produksi Luas Ruang Produksi Harga Ruang Produksi Tanah Luas Tanah Harga Tanah Kendaraan Jumlah Harga Furniture Jumlah Harga Mesin Produksi Jumlah Mesin Produksi Harga Mesin Produksi Peralatan produksi Jumlah Peralatan produksi Harga Peralatan produksi Instalasi Perijinan Modal Kerja Persentase Modal Kerja
600.000.000 300 2.000.000 400.000.000 1.000 400.000 400.000.000 2 200.000.000 100.000.000 1 100.000.000 3.000.000.000 1 3.000.000.000 50.000.000 1 50.000.000 20.000.000 4.570.000.000 100.000.000 1.167.500.000 0,25 5.837.500.000
Satuan Rp m2 Rp/m2 Rp m2 Rp/m2 Rp m2 Rp/m2 Rp m2 Rp/m2 Rp Unit Rp/Unit Rp Unit Rp/Unit Rp/Unit Rp Rp Rp % Rp
Investasi yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 5,837 milyar yang terdiri dari modal tetap sebesar Rp 4,570 milyar. dan modal kerja sebesar Rp. 1,167 milyar. Investasi tersebut dikeluarkan pada saat pendirian pabrik. Besarnya biaya produksi per tahun yang dibutuhkan pada unit pengolahan lada putih tertera pada Tabel 47. Biaya tetap terdiri dari biaya penyusutan, biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya pemeliharaan, pajak, dan biaya penanganan limbah. Biaya variabel terdiri dari bahan pembantu, energi, pengangkutan, dan tenaga kerja langsung.
186
Tabel 47. Biaya Pengolahan Pendirian Perusahaan Agroindustri Parameter
Nilai Tahun 1 (Rp)
Nilai Tahun 2-10 (Rp)
99.000.000 270.000.000 4.500.000 180.000.000 30.000.000 10.000.000 20.000.000 613.500.000
99.000.000 270.000.000 4.500.000 180.000.000 30.000.000 10.000.000 20.000.000 613.500.000
88.473.600.000 153.600.000 122.880.000 245.760.000 88.995.840.000 89.609.340.000
110.592.000.000 192.000.000 153.600.000 307.200.000 111.244.800.000 111.858.300.000
BIAYA TETAP Biaya Penyusutan Bangunan Biaya Penyusutan Mesin Biaya Penyusutan Peralatan Biaya Tenaga Kerja Tidak Langsung Pemeliharaan Bangunan dan Mesin Pajak Bumi dan Bangunan Biaya Penanganan Limbah Sub Total BIAYA VARIABEL Biaya Bahan Pembantu Energi Pengangkutan Biaya Tenaga Kerja Langsung Sub Total Total Pengeluaran
Pendapatan diperoleh dari penjualan produk dan hasil samping berupa tangkai dan lada enteng yang disuling.
Harga produk adalah sebesar Rp.
85.000/kg dan hasil samping sebesar Rp. 1,2 milyar/tahun. Pendapatan usaha diproyeksikan dengan asumsi bahwa pada tahun pertama usaha beroperasi pada kapasitas 80% serta pada tahun kedua dan seterusnya pada kapasitas 100%. Perincian rencana produksi, penerimaan dan proporsi penerimaan usaha selama umur proyek tertera pada Tabel 48. Tabel 48. Perkiraan Kapasitas Pengolahan Lada Parameter Kapasitas Pengolahan (kg) Persentase Pengolahan (%) Total Produksi (kg kering) Harga Produk (Rp/kg) Produk Tambahan (Rp) Total Penerimaan (Rp)
Nilai Tahun 1 1.536.000 80 95.040 85.000 960.000.000 97.052.160.000
Nilai Tahun 2-10 1.536.000 100 1.413.120 85.000 1.200.000.000 121.315.200.000
Kriteria investasi yang digunakan antara lain adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Ratio (Net B/C), dan Pay Back Periode (PBP). Analisa kelayakan pendirian pabrik agroindustri eksportir lada tertera pada Tabel 49. 187
Tabel 49. Kriteria Investasi Pendirian Perusahaan Agroindustri Kriteria Investasi
Satuan
NPV (DF 17 %) IRR Net B/C Payback Period
Rp. % Tahun
Nilai Rp
18,676,357,894 63,55 4,20 1,61
Hasil perhitungan NPV adalah sebesar Rp. 18,7 milyar dengan IRR sebesar 63,55%. Net B/C yaitu sebesar 4,20. Adapun waktu pengembalian yang diperlukan adalah selama 1,61 tahun. Berdasarkan nilai kriteria investasi tersebut maka dapat dikatakan bahwa investasi layak untuk dilakukan. Melalui pendirian pabrik agroindustri eksportir lada ini maka perbaikan pengolahan lada di tingkat petani dapat berlangsung proses produksi yang berkelanjutan sehingga produk diterima oleh konsumen seperti persyaratan yang diminta, serta dapat memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan.
188