SUMMARY
MODEL-MODEL KEPEMIMPINAN SITUASIONAL By Hendryadi Email :
[email protected] Admin http://teorionline.wordpress.com/
Teori kepemimpinan situasional merupakan pengembangan lanjutan dari teori kepemimpinan trait dan behavior yang dianggap gagal menjelaskan model kepemimpinan yang terbaik untuk berbagai situasi. Kunci untuk efektivitas kepemimpinan dipandang oleh sebagian besar varian Teori Kontingensi dengan memilih gaya yang benar dari pemimpin. Gaya ini tergantung pada interaksi faktor internal dan eksternal dengan organisasi. Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi merupakan suatu teori yang berusaha mencari jalan tengah antara pandangan yang mengatakan adanya asas-asas organisasi dan manajemen yang bersifat universal, dan pandangan yang berpendapat bahwa tiap organisasi adalah unik dan memiliki situasi yang berbeda-beda sehingga harus dihadapi dengan gaya kepemimpinan tertentu. Dari berbagai teori yang berkembang, berikut ini akan diuraikan empat model kepemimpinan situasional yang paling banyak diteliti dalam beberapa tahun terakhir.
MODEL KEPEMIMPINAN KONTIJENSI FIEDLER Least Preferred Coworkers (LPC)
Model kepemimpinan kontijensi Fiedler (1964, 1967) menjelaskan bagaimana situasi menengahi hubungan antara efektivitas kepemimpinan dengan ukuran ciri yang disebut nilai LPC rekan kerja yang paling tidak disukai (Yukl, 2005:251). Teori kontingensi Fiedler menunjukkan hubungan antara orientasi pemimpin atau gaya dan kinerja kelompok yang berbeda di bawah kondisi situasional. Teori ini didasarkan pada penentuan orientasi pemimpin (hubungan atau tugas), unsur-unsur situasi (hubungan pemimpin-anggota, tugas struktur, dan kekuasaan pemimpin posisi), dan orientasi pemimpin yang ditemukan paling efektif karena situasi berubah dari rendah sampai sedang untuk kontrol tinggi. Fiedler menemukan bahwa tugas pemimpin berorientasi lebih efektif dalam situasi kontrol rendah dan moderat dan hubungan manajer berorientasi lebih efektif dalam situasi kontrol moderat.
teorionline artikel manajemen by Hendry at http://teorionlinejurnal.wordpress.com/article/
Page 1
Variabel Situasional Hubungan antara LPC pemimpin dan efektivitas tergantung pada sebuah variabel situasional yang rumit disebut “keuntungan situasional” atau “situational favorability” atau “kendali situasi”. Fiedler mendefinisikan kesukaan sebagai batasan dimana situasi memberikan kendali kepada seorang pemimpin atas para bawahan. Tiga aspek situasi yang dipertimbangkan meliputi : 1. Hubungan pemimpin-anggota: Adalah batasan dimana pemimpin memiliki dukungan dan kesetiaan dari para bawahan, pemimpin mempengaruhi kelompok dan kondisi di mana ia dapat melakukan begitu. Seorang pemimpin yang diterima oleh anggota kelompok adalah dalam situasi yang lebih menguntungkan daripada orang yang tidak. 2. Kekuasaan Posisi : Batasan dimana pemimpin memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja bawahan dan memberikan penghargaan serta hukuman. 3. Struktur Tugas: Batasan dimana terdapat standar prosedur operasi untuk menyelesaikan tugas, sebuah gambaran rinci dari produk atau jasa yang telah jadi, dan indicator objektif mengenai seberapa baiknya tugas itu dilaksanakan. Keuntungan ditentukan dengan memberikan bobot dan mengkombinasikan ketiga aspek situasi tersebut. Prosedur pemberian bobot mengasumsikan bahwa hubungan pemimpin-anggota lebih penting daripada struktur tugas, yang pada akhirnya adalah lebih penting daripada kekuasaan posisi. Kemungkinan kombinasi delapan tingkatan keuntungan yang disebut oktan ini selanjutnya dijelaskan pada Tabel berikut : Tabel 1. Hubungan dalam Model Kontijensi LPC ============================================================= Oktan Hub P-A ST KP Pemimpin efektif ============================================================= 1 Baik Yes Kuat LPC Rendah 2 Baik No Lemah LPC Rendah 3 Baik No Kuat LPC Rendah 4 Baik No Lemah LPC Rendah 5 Buruk Yes Kuat LPC Kuat 6 Buruk Yes Lemah LPC Kuat 7 Buruk No Kuat LPC Kuat 8 Buruk No Lemah LPC Rendah ============================================================= Ket : Hub PA = hubungan Pimpinan – Anggota ST = Struktur Tugas KP = Kekuasaan Posisi
Dari table di atas dapat dijelaskan bahwa situasi yang paling menguntungkan untuk pemimpin (oktan 1) adalah jika ada hubungan yang
teorionline artikel manajemen by Hendry at http://teorionlinejurnal.wordpress.com/article/
Page 2
baik dengan bawahan, sehingga pemimpin memiliki kekuasaan posisi yang cukup besar dan tugasnya sangat terstruktur. Saat hubungan pemimpinanggota baik, para bawahan akan lebih mungkin memenuhi permintaan dan arahan dari pimpinannya, bukannya mengabaikan atau menggagalkannya. Saat seorang pemimpin memiliki kekuasaan posisi yang tinggi, lebih mudah untuk mempengaruhi bawahan. Menurut model ini, saat situasi amat menguntungkan (oktan 1 – 3) dan yang sangat tidak menguntungkan (oktan 8), maka pemimpin yang LPC nya rendah akan lebih efektif daripada para pemimpin yang memiliki LPC tinggi. Saat situasinya menengah dalam keuntungan (Oktan 4 – 7), maka para pemimpin yang memiliki LPC tinggi akan lebih efektif daripada pemimpin yang memiliki LPC rendah.
Instrumen LPC Fiedler menciptakan kuesioner Least Preferred Coworkers (LPC) /
rekan kerja yang paling tidak disukai (LPC). Kuesiner ini berisi set dari 16 kata sifat yang kontras (seperti menyenangkan - tidak menyenangkan, efisien-efisien, terbuka dijaga ketat, mendukungbermusuhan). Nilai LPC ditentukan dengan meminta seorang pemimpin untuk memikirkan semua rekan kerja lama dan yang ada saat ini, memilih salah satu yang paling sulit bekerja sama dengan pemimpin, dan memberikan peringkat orang ini pada sekumpulan skala bipolar. Nilai LPC adalah jumlah peringkat pada skala sifat bipolar ini. Seorang pemimpin yang umumnya kritis dalam memberikan peringkat rekan kerja yang paling tidak disukai akan memperoleh nilai LPC yang rendah, sedangkan seorang pemimpin yang umumnya toleran akan mendapatkan nilai LPC yang tinggi. Interpretasi nilai LPC telah berubah beberapa kali selama ini. Menurut interpretasi Fiedler (1978), nilai LPC menunjukkan hierarki motif seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang LPC nya tinggi terutama termotivasi untuk memiliki hubungan antar pribadi yang dekat dengan orang lain, termasuk bawahan, dan akan bertindak dalam cara yang suportif dan perhatian jika hubungan itu harus diperbaiki. Keberhasilan sasaran tugas merupakan motif sekunder yang akan menjadi penting hanya jika motif afiliasi telah dipenuhi oleh hubungan antar pribadi yang dekan dengan bawahan dan rekan sejawat. Pemimpin yang LPC nya rendah terutama termotivasi oleh keberhasilan sasaran tugas dan akan menekankan perilaku yang berorientasi tugas kapan saja terhadap permasalahan tugas. Motif sekunder dalam membuat hubungan yang baik dengan bawahan akan menjadi penting hanya jika kelompok itu memiliki kinerja baik dan tidak ada permasalahan tugas yang serius. Dukungan Penelitian dan Kritik Sejumlah studi telah dilakukan selama beberapa puluh tahun terakhir untuk menguji teori kontijensi Fiedler. Umumnya studistudi ini dilakukan dalam periode tahun 1970 –an sampai dengan
teorionline artikel manajemen by Hendry at http://teorionlinejurnal.wordpress.com/article/
Page 3
pertengahan 1985-an. Studi-studi seperti Mitchell, dkk (1970); Wearing dan Bishop (1974); Garcie (1981); Peter, dkk (1985); dan lain sebagainya. Beberapa penulis mengkritik kelemahan konseptual yang serius pada model ini. Nilai LPC merupakan ukuran dalam pencarian makna (Schriesheim dan Kerr, 1977). Ashour (1973) menyebutkan bahwa menyebutkan bahwa model LPC benar-benar sebuah teoru karena tidak menjelaskan bagaimana nilai LPC seorang pemimpin mempengaruhi kinerja kelompok. Kekurangan perilaku pemimpin yang jelas dan variabel pengganggu membatasi penggunaan model tersebut. Dan saat tidak ada variabel perilaku, model tersebut tidak memberikan suatu bimbingan untuk melatij para pemimpin untuk bagaimana beradaptasi dengan situasi (Dalam Yukl, 2005:255). Kesimpulan Fiedler (1973, 1977) telah menjawab kecaman, dan perdebatan mengenai validitas model ini masih berlanjut. Namun, ketertarikan dalam teori ini telah melemah seiring waktu disaat teori situasional yang lebih baik dikembangkan. Sebagai teori kepemimpinan situasional yang pertama, paling tidak model ini telah memberikan kontribusi sebagai pendorong ketertarikan yang lebih besar pada variabel situasional dalam menjelaskan efektivitas seorang pemimpin. Dasar dari model kontingensi Fiedler terlibat menilai pemimpin potensial dengan skala gaya kerja mulai dari tugas yang berorientasi pada salah satu ujungnya, untuk berorientasi pada hubungan di ujung lainnya. Kemudian tergantung pada faktor-faktor seperti tingkat stres dalam organisasi, jenis pekerjaan, fleksibilitas dari kelompok berubah, dan penggunaan teknologi, koordinasi disesuaikan sumber daya, orang, tugas dan gaya manajemen yang benar dapat diterapkan. Referensi LPC Fiedler: Alexander J. Wearing and Doyle W. Bishop. (1974). The Fiedler Contingency Model and the Functioning of Military Squads. The Academy of Management Journal, Vol. 17, No. 3 (Sep., 1974), pp. 450-459. Chester A. Schriesheim, Brendan D. Bannister and William H. Money. (1979). Psychometric Properties of the LPC Scale: An Extension of Rice's Review. The Academy of Management Review, Vol. 4, No. 2 (Apr., 1979), pp. 287-290 Ivancevich, dkk. 2007. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jakarta : Erlangga. Robert W. Rice. (1978). Psychometric Properties of the Esteem for Least Preferred Coworker (LPC Scale). The Academy of Management Review, Vol. 3, No. 1 (Jan., 1978), pp. 106-118.
teorionline artikel manajemen by Hendry at http://teorionlinejurnal.wordpress.com/article/
Page 4
Terence R. Mitchell, Anthony Biglan, Gerald R. Oncken and Fred E. Fiedler. (1970). The Contingency Model: Criticism and Suggestions. The Academy of Management Journal, Vol. 13, No. 3 (Sep., 1970), pp. 253-267 Yukl. 2005. Kepemimpinan dalam Organisasi. Jakarta : Index TEORI JALUR TUJUAN KEPEMIMPINAN Path Goal Theory of Leadership
Path Goal theory (teori jalur tujuan) dari kepemimpinan telah dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana perilaku seorang pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahannya. Teori ini pertama kali diungkapkan oleh Evans (1970) dan House (1971). House (1971) memformulasikan teori ini dengan versi yang lebih teliti dengan menyertakan variabel situasional. Teori tersebut semakin dimurnikan oleh beberapa penulis seperti Evans (1974); House dan Dessler (1974); House dan Mitchell (1974; dan House (1996). Konsep Path Goal Theory of Leadership Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena efek positif yang mereka berikan terhadap motivasi para pengikur, kinerja dan kepuasan. Teori ini dianggap sebagai path-goal karena terfokus pada bagaimana pemimpim mempengaruhi persepsi dari pengikutnya tentang tujuan pekerjaan, tujuan pengembangan diri, dan jalur yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan (Ivancevich, dkk, 2007:205). Dasar dari path goal adalah teori motivasi ekspektansi. Teori awal dari path goal menyatakan bahwa pemimpin efektif adalah pemimpin yang bagus dalam memberikan imbalan pada bawahan dan membuat imbalan tersebut dalam satu kesatuan (contingent) dengan pencapaian bawahan terhadap tujuan sepsifik. Perkembangan awal teori path goal menyebutkan empat gaya perilaku spesifik dari seorang pemimpin meliputi direktif, suportif, partisipatif, dan berorientasi pencapaian dan tiga sikap bawahan meliputi kepuasan kerja, penerimaan terhadap pimpinan, dan harapan mengenai hubungan antara usaha –kinerja-imbalan. Model kepemimpinan jalur tujuan (path goal) menyatakan pentingnya pengaruh pemimpin terhadap persepsi bawahan mengenai tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalur pencapaian tujuan. Dasar dari model ini adalah teori motivasi eksperimental. Model kepemimpinan ini dipopulerkan oleh Robert House yang berusaha memprediksi ke-efektifan kepemimpinan dalam berbagai situasi. Variabel Situasional Menurut Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan model-model sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif teorionline artikel manajemen by Hendry at http://teorionlinejurnal.wordpress.com/article/
Page 5
antara karakteristik situasional.
Variabel Kausal Perilaku Pimpinan
pribadi,
tingkah
laku
Variabel Pengganggu Harapan / Valensi bawahan
pemimpin
dan
variabel
Variabel Outcome Upaya dan Kepuasan Bawahan
Variabel Moderator Karakteristik tugas dan lingkungan karakteristik bawahan Sumber : dikutip dari Yukl. (2005:257)
Variabel moderator yaitu karakteristik pribadi yang penting adalah persepsi bawahan mengenai kemampuan mereka sendiri. Semakin tinggi tingkat persepsi bawahan terhadap kemampuan mereka memenuhi tuntutan tugas, semakin kecil kemungkinan bawahan menerima gaya kepemimpinan direktif. Dengan demikian, gaya kepemimpinan direktif dianggap sebagai hal yang mubazir. Selain itu, ditemukan bahwa locus of control mempengarui respon. Individu yang memiliki locus of control internal biasanya akan lebih puas dengan gaya partisipatif, sedangkan individu dengan locus of control eksternal biasanya lebih puas dengan gaya kepemimpinan direktif (dalam Ivancevich, dkk, 2007:205)
Penelitian Mengenai Teori Path-Goal dan Kritik Penelitian yang dilakukan untuk menguji teori path goal antara lain dilakukan oleh Wofford dan Liska (1993) yang meninjau 120 studi survey mengenai teori ini dan melakukan sebuah meta analisis yang memberikan hasil bagi perilaku tugas dan hubungan. Podsakof, dkk (1995) juga melalukan sebuah tinjauan luas atas penelitian mengenai variabel moderator dalam kepemimpinan. Beberapa kekurangan yang dimiliki oleh teori ini seperti dijelaskan oleh Yukl (2005:260) antara lain penggunaan teori harapan sebagai dasar utama untuk menjelaskan pengaruh pemimpin. Model keputusan rasional ini memberikan gambaran mengenai perilaku manusia yang terlalu kompleks dan kelihatan tidak realistis (Behling & Starke, 1973; Mitchell, 1974; Schriesheim & Kerr, 1977). Teori harapan tidak mempertimbangkan reaksi emosional terhadap dilemma keputusan, seperti penolakan atau distorsi dari informasi yang relevan tentang harapan dan valensi. Keterbatasan lainnya adalah kepercayaan pada kategoru luas dari perilaku pemimpin yang tidak terlalu sesuai dengan proses yang menengahi. Lebih mudah membuat hubungan antara perilaku pemimpin dengan motivasi bawahan dengan menggunakan perilaku khusus seperti teorionline artikel manajemen by Hendry at http://teorionlinejurnal.wordpress.com/article/
Page 6
menjernihkan harapan peran, mengakui keberhasilan, memberikan penghargaan yang berhubungan, membuat model perilaku agar mudah ditiru oleh bawahan dan menyampaikan harapan yang tinggi tentang kinerja bawahan (dalam Yukl, 2005:260). Meski dalam revisi terbarunya, House (1996) menambahkan beberapa perilaku khusus dalam upayanya untuk memperbaiki keterbatasan ini, namun teori ini terus memperlakukan setiap perilaku kepemimpinan secara terpisah, tanpa membahas mengenai kemungkinan interaksi antar perilaku atau interaksi dengan lebih dari satu jenis variabel situasional (Osborn, 1974, dalam Yukl, 2005). Rangkuman Meski terdapat banyak keterbatasan, teori jalur tujuan telah membuat kontribusi yang penting bagi studi kepemimpinan dengan memberikan sebuah kerangka kerja konseptual untuk memandu para peneliti agar dapat mengidentifikasikan variabel situasinonal yang berpotensi relevan. Dari sisi positif, model ini merupakan perbaikan dari teori trait dan perilaku. Model ini berusaha menunjukkan faktor mana yang mempengaruhi motivasi untuk melakukan kinerja. Selain itu, pendekatan ini memperkenalkan faktor situasi dan perbedaan individu dalam menjelaskan hubungan antara gaya kepemimpinan dengan aspek sikap (motivasi, penerimaan dan kepercayaan).
Referensi Mengenai teori harapan bisa dilihat http://teorionline.wordpress.com/2010/01/26/motivasi-dalampendekatan-diagnosik/
di
:
Chester Schriesheim and Mary Ann Von Glinow. (1977). The Path-Goal Theory of Leadership: A Theoretical and Empirical Analysis. The Academy of Management Journal, Vol. 20, No. 3 (Sep., 1977), pp. 398-405 Ivancevich, dkk. 2007. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jakarta : Erlangga. Robert J. House. 1971. A Path Goal Theory of Leader Effectiveness. Administrative Science Quarterly, Vol. 16, No. 3 (Sep., 1971), pp. 321-339. Yukl. 2005. Kepemimpinan dalam Organisasi. Jakarta : Index
teorionline artikel manajemen by Hendry at http://teorionlinejurnal.wordpress.com/article/
Page 7
MODEL KEPEMIMPINAN SITUASIONAL HERSEY – BLANCHARD SITUATIONAL LEADERSHIP MODEL
Model kepemimpinan situasional ketiga dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard.Robbins dan Judge (2007) menyatakan bahwa pada dasarnya pendekatan kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard mengidentifikasi empat perilaku kepemimpinan yang khusus dari sangat direktif, partisipatif, supportif sampai laissez-faire. Perilaku mana yang paling efektif tergantung pada kemampuan dan kesiapan pengikut. Sedangkan kesiapan dalam konteks ini adalah merujuk pada sampai dimana pengikut memiliki kemampuan dan kesediaan untuk menyelesaikan tugas tertentu. Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard Situational leadership model (SLM) memberi penekanan lebih pada pengikut dan tingkat kematangan mereka. Para pemimpin harus bisa menilai dengan tepat atau menilai secara intuitif tingkat kematangan pengikut mereka dan menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuaai dengan tingkat kematangan tersebut. Kesiapan disini didefinisikan sebagai kemampuan dan kesediaan seorang pengukut untuk mengambil tanggung jawab perilaku mereka. Ada dua tipe kesiapan yang dipandang penting : pekerjaan dan psikologis. Seorang yang memiliki kesiapan kerja tinggi memiliki pengetahuan dan kemampuan melakukan tugas mereka tanpa perlu arahan dari manajer. Seorang yang tingkat kesiapan psikologis yang tinggi memiliki tingkat motivasi diri dan keinginan untuk melakukan kerja berkualitas tinggi. Orang ini juga tidak membutuhkan supervise. Hersey dan Blanchard mengggunakan penelitian OSU (Ohio State University) untuk kemudian mengembangkan 4 gaya kepemimpinan yang bisa dipakai oleh para pemimpin, antara lain : 1. Telling – menyuruh, pemimpin menetapkan peran yang diperlukan untuk melakukan suatu tugas dan memerintahkan para pengikutnya apa, dimana, bagaimana dan kapan melakukan tugas tersebut. 2. Selling – menjual, yaitu pemimpin memberikan intruksi terstruktur, tetapi juga bersifat supportif. 3. Participating – berpartisipasi, yaitu pemimpin dan para pengikutnya bersama-sama memutuskan bagaimana cara terbaik menyelesaikan suatu pekerjaan. 4. Delegating – delegasi, yaitu pemimpin tidak banyak memberikan arahan yang jelas dan spesifik ataupun dukungan pribadi kepada para pengikutnya
teorionline artikel manajemen by Hendry at http://teorionlinejurnal.wordpress.com/article/
Page 8
Gaya kepemimpinan yang tepat akan tergantung pada orang atau kelompok yang dipimpin. Teori Kepemimpinan Situasional Hersey-Blanchard mengidentifikasi empat tingkat Kematangan M1 melalui M4: M1 – Adalah karyawan yang tidak memiliki keterampilan khusus yang diperlukan untuk pekerjaan, tidak mampu dan tidak mau melakukan atau mengambil tanggung jawab untuk pekerjaan atau tugas. M2 – Adalah bawahan yang tidak dapat mengambil tanggung jawab untuk tugas yang dilakukan, namun mereka bersedia bekerja pada tugas. Mereka adalah pemula tapi memiliki antusiasme dan motivasi. M3 – Adalah karyawan yang berpengalaman dan mampu melakukan tugas tetapi tidak memiliki keyakinan atau kemauan untuk mengambil tanggung jawab. M4 - Mereka berpengalaman pada tugas, dan nyaman dengan kemampuan mereka sendiri untuk melakukannya dengan baik. Mereka mampu dan bersedia untuk tidak hanya melakukan tugas, tetapi untuk mengambil tanggung jawab untuk tugas tersebut.
Situasional Leadership II Hersey dan Blanchard terus bekerjasama dalam pengembangan teori sampai dengan tahun 1977. Setelah keduanya sepakat untuk menjalankan masing-masing perusahaannya, pada akhir tahun 1970, Hersey berubah nama dari Situational Leadership® Theory menadi Situational Leadership®, sedangkan Blanchard menawarkan Kepemimpinan Situasional menjadi “Pendekatan Situasional untuk Mengelola Orang / Situational Approach to Managing People”. Blanchard dan rekan-rekannya terus merevisi Pendekatan Situasional untuk Mengelola Orang, dan pada tahun 1985 diperkenalkan Kepemimpinan Situasional II (SLII). Blanchard merespon beberapa kritik terhadap SLT dengan merevisi model awalnya dan mengubah beberapa istilah. Sebagai contoh, perilaku tugas, perilaku direktif, dan relasi dirubah menjadi perilaku supportif. Keempat gaya kepemimpinan tersebut sekarang disebut sebagai S1 = directing, S2 = Coaching, S3 = Supporting, dan S4 = Delegating. Kesiapan (maturiry) selanjutnya disebut tingkat perkembangan dari pengikut yang selanjutnya dimaknakan sebagai tingkat kompetensi dan komitmen pengikut untuk melakukan tugas.
teorionline artikel manajemen by Hendry at http://teorionlinejurnal.wordpress.com/article/
Page 9
Figure 1. Model Kepemimpinan Situasional II dari Blanchard Picture from : leadershipvibe.net (dimodifikasi)
Kritik terhadap Teori SLM Ivancevich (2007) mencatat bahwa pengetesan terhadap model ini masih sangat terbatas. Bahkan, Marshal Sashkin dan Molly G. Sashkin (2003) mempertanyakan bagaimana pemimpin dapat mengubah atau mengadaptasi gaya kepemimpinan mereka, dan memyesuaikan dengan pengikut atau kelompok. Apakah orang-orang dalam posisi memimpin dapat sedemian adaptif? Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) teori ini tidak didukung secara kuat oleh penelitian ilmiah, dan inkonsistensi hasil penelitian mengenai kepemimpinan situasional ini dinyatakan oleh Kreitner dan Kinicki (2005) dalam berbagai penelitian sehingga pendekatan ini tidaklah akurat dan sebaiknya hanya digunakan dengan catatan-catatan khusus.
teorionline artikel manajemen by Hendry at http://teorionlinejurnal.wordpress.com/article/
Page 10
Referensi : Ivancevich, dkk. 2007. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jakarta : Erlangga. Kreitner dan Kinicki. 2005. Perilaku Organsiasi. Jakarta : Salemba Empat Robbins dan Judge. 2007. Perilaku Organsiasi. Jakarta : Salemba Empat Yukl. 2005. Kepemimpinan dalam Organisasi. Jakarta : Index http://en.wikipedia.org/wiki/Situational_leadership_theory Rekomenasi Paper Colin Silverthorne, (2000) "Situational leadership theory in Taiwan: a different culture perspective", Leadership & Organization Development Journal, Vol. 21 Iss: 2, pp.68 – 74 Jui-Chen Chen, Colin Silverthorne, (2005) "Leadership effectiveness, leadership style and employee readiness", Leadership & Organization Development Journal, Vol. 26 Iss: 4, pp.280 – 288 Gayle C. Avery, Jan Ryan, (2002) "Applying situational leadership in Australia", Journal of Management Development, Vol. 21 Iss: 4, pp.242 – 262 Thomas D. Cairns, John Hollenback, Robert C. Preziosi, William A. Snow, (1998) "Technical note: a study of Hersey and Blanchard’s situational leadership theory", Leadership & Organization Development Journal, Vol. 19 Iss: 2, pp.113 – 116
teorionline artikel manajemen by Hendry at http://teorionlinejurnal.wordpress.com/article/
Page 11