BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka dan Pengembangan Hipotesis 2.1.1. Harga Premium (Premium Price) Netemeyer
et
al.
(2004)
mendefinisikan
kesediaan
membayar harga premium sebagai “besarnya jumlah yang konsumen bersedia bayarkan untuk membeli sebuah merek yang mereka sukai dibandingkan merek yang sejenis atau lebih kecil”. Misalnya dalam kasus merek nasional, mereka membebankan konsumen dengan harga yang lebih mahal (premium price) dibandingkan dengan merek private Sethuraman & Cole (1999). Studi empiris yang dilakukan oleh Apelbaum et al. (2003) menemukan bahwa merek nasional menerima rata-rata 28.7% harga premium ketika kualitas dari merek-merek tersebut lebih buruk dari merek private. Studi yang meneliti tentang kesediaan membayar harga premium menemukan bahwa konsumen akan bersedia membayar harga premium apabila produk yang ditawarkan mempunyai kualitas yang bagus Skuras & Vakrou (2001). Sama halnya, Del Río et al. (2001) meneliti hubungan antara garansi sebuah merek terhadap kesediaan membayar harga premium. Del Río et al. (2001) menemukan bahwa semakin positif persepsi dari produk yang bergaransi maka semakin bersedia para konsumen tersebut membayar harga premium. Menurut Srinivasan et al. (2005) menilai
10
11
harga premium sebagai perbedaan harga maksimal antara merek yang paling disukai dengan merek yang paling tidak disukai, yang dapat diterima konsumen.
2.1.2. Citra Merek (Brand Image) Menurut Aaker (1991) brand image berkaitan dengan asosiasi brand, karena ketika kesan-kesan mengenai suatu brand dalam ingatan konsumen meningkat, maka akan mengakibatkan semakin
meningkatnya
pengalaman
konsumen
dalam
mengkonsumsi atau membeli brand tersebut. Konsumen lebih sering membeli produk dengan merek yang terkenal, karena konsumen merasa lebih nyaman dengan hal-hal yang sudah dikenal sebelumnya. Hal ini mengakibatkan asumsi konsumen bahwa merek terkenal lebih dapat diandalkan, selalu tersedia, mudah dicari, dan memiliki kualitas yang tidak diragukan, sehingga dapat disimpulkan bahwa merek yang terkenal lebih sering dipilih konsumen dari pada merek yang tidak terkenal. Menurut Keller (1993) citra merek telah didefinisikan sebagai suatu informasi terkait dengan merek tertentu yang ada dalam benak pelanggan, yang berarti keyakinan bahwa pelanggan telah mengenal merek dengan baik. Sedangkan kekuatan merek paling sering digambarkan sebagai evaluasi global atau niat untuk berperilaku, seperti niat untuk membeli atau membayar merek Netemeyer et al. (2004). Contoh umum kekuatan merek dan hasil dari citra merek adalah kesediaan untuk membayar harga premium,
12
loyalitas dan kepuasan Aaker (1996), Keller (2001), Netemeyer et al. (2004). Dari hasil penelitian Sondoh et al. (2007) brand image dapat dibentuk oleh lima dimensi utama yaitu: a. Pengalaman (experience) Perasaan yang muncul dengan menggunakan suatu produk atau jasa, manfaat ini memuaskan kebutuhan bereksperimen seperti kepuasan sensori pencarian variasi dan stimulasi kognitif. b. Simbolis (symbolic) Kebutuhan akan persetujuan sosial atau ekspresi personal dan selfesteem seseorang. Konsumen akan menghargai nilai-nilai prestige, eksklusifitas dan gaya fashion dari sebuah merek karena hal ini berhubungan dengan konsep diri mereka. c. Sosial (social) Meningkatkan hubungan dengan mempelajari kebutuhan dan keinginan pelanggan, bahkan akan memberi sesuatu yang sifatnya pribadi atau eksklusif. d. Fungsional (functional) Pemenuhan kebutuhan dasar seperti kebutuhan fisik dan keamana atau pemecahan masalah. e. Meningkatkan penampilan (enhances appearances) Keseragaman yang mampu meningkatkan penampilan dari sebuah produk agar menarik dan bernilai tinggi. Dari beberapa teori yang dikemukakan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa brand image adalah seperangkat
13
keyakinan pada suatu nama, simbol/desaign dan kesan yang dimiliki
seseorang
berdasarkan
terhadap
informasi
suatu
tentang
merek
yang
diperoleh
fakta-fakta
yang
kemudian
menggunakan merek tersebut, sehingga kesan yang muncul ini relatif jangka panjang yang terbentuk dalam benak konsumen. Brand image sangat erat kaitananya dengan apa yang orang pikirkan, rasakan terhadap suatu merek tertentu, sehingga dalam citra merek faktor psikologis lebih banyak berperan dibandingkan faktor fisik dari merek tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Aaker (1996), Keller (2001), Netemeyer et al. (2004), menunjukan bahwa semakin positif citra merek dibenak pelanggan maka kesediaan pelanggan untuk membayar harga premium akan semakin tinggi dan hipotesis dalam penelitian ini adalah: H1: Semakin tinggi citra merek, maka semakin tinggi pula kesediaan pelanggan untuk membayar harga premium.
2.1.3. Kualitas Produk (Product Quality) Aaker (1991) mendefinisikan kesan kualitas sebagai penilaian konsumen terhadap keunggulan atau superioritas produk secara keseluruhan. Kesan kinerja berasosiasi dengan pengukuran kunci ekuitas merek, termasuk variabel spesifik dari keuntungan fungsional. Oleh sebab itu, kesan kualitas didasarkan pada evaluasi subyektif konsumen terhadap kualitas produk. Menurut Garvin (1987), dalam Alma (2011) kualitas adalah keunggulan yang dimiliki
14
oleh produk tersebut. Kualitas dalam pandangan konsumen adalah hal yang mempunyai ruang lingkup tersendiri yang berbeda dengan kualitas dalam pandangan produsen saat mengeluarkan suatu produk yang biasa dikenal kualitas sebenarnya. Zeithaml (1988) mengatakan bahwa pengalaman pribadi terhadap produk, kebutuhan yang unik dan situasi konsumsi mungkin mempengaruhi penilaian subyektif konsumen terhadap kualitas. Kesan kualitas yang tinggi berarti bahwa, melalui pengalaman jangka panjang terhadap merek, konsumen mengenali diferensiasi
dan
superioritas
merek.
Zeithaml
(1988)
mengidentifikasi kesan kualitas sebagai sebuah komponen dari nilai merek maka dari itu kesan kualitas yang tinggi akan mendorong seorang konsumen untuk memilih suatu merek dibanding merek yang lain. Selain itu, dalam literatur pemasaran kualitas yang dirasakan adalah konsep yang paling
penting
Richardson et al. (1994), Oude Ophuis & Van Trijp (1995) dan Acebro'n & Dopico (2000). Studi yang meneliti tentang kesediaan membayar harga premium menemukan bahwa konsumen akan bersedia
membayar
harga
premium
apabila produk
yang
ditawarkan mempunyai kualitas yang bagus Skuras & Vakrou (2001). Anselmsson et al. (2014) dan Kalogeras et al. (2009) menyatakan kualitas produk menjadi penentu dalam harga premium. Studi empiris mengenai hubungan positif antara persepsi kualitas dan harga premium telah diteliti oleh Netemeyer et al.
15
(2004) dan Sethuraman (2000). Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas produk merupakan nilai dari suatu produk yang telah melalui beberapa tahapan proses dengan memperhitungkan nilai dari produk tersebut tanpa adanya kekurangan sedikitpun. Hal Ini menjadikan suatu produk sesuai dengan apa yang diharapkan oleh konsumen. Untuk mencapai kualitas produk yang diinginkan maka diperlukan suatu standarisasi kualitas, cara ini dimaksudkan untuk menjaga agar produk yang dihasilkan memenuhi standar yang telah ditetapkan sehingga konsumen tidak akan kehilangan kepercayaan terhadap produk yang bersangkutan. Pemasar yang tidak memperhatikan kualitas produk yang ditawarkan akan menanggung tidak loyalnya konsumen sehingga penjualan produknya pun akan cenderung menurun. Konsumen senantiasa melakukan penilaian terhadap kinerja suatu produk, hal ini dapat dilihat dari kemampuan produk menciptakan kualitas produk
dengan segala spesifikasinya
sehingga dapat menarik minat konsumen untuk melakukan pembelian dengan harga premium terhadap produk tersebut. Garvin
(1987)
dalam
Perry
&
Charles
(1992)
mengemukakan spesifikasi dari dimensi kualitas produk yang relevan dengan konsumen dapat dikelompokan dalam delapan dimensi yaitu: a. Performance (kinerja) Berhubungan dengan karakteristik operasi dasar dari sebuah produk.
16
b. Reliability (keandalan) Probabilitas
bahwa
produk
akan
bekerja
dengan
memuaskan atau tidak dalam periode waktu tertentu. Semakin kecil kemungkinan terjadinya kerusakan maka produk tersebut dapat diandalkan. c. Serviceability (garansi) Serviceability terkait dengan karakteristik yang berkaitan dengan kecepatan, kompetensi, kemudahan dan akurasi dalam memberikan layanan untuk perbaikan barang. d. Conformance to Specifications (kesesuaian dengan spesifikasi) Yaitu sejauh mana karakteristik operasi dasar dari sebuah produk memenuhi spesifikasi tertentu dari konsumen atau tidak ditemukannya cacat pada produk. e. Durability (daya tahan) Berarti berapa lama atau umur produk yang bersangkutan bertahan sebelum produk tersebut harus diganti. Semakin besar frekuensi pemakaian konsumen terhadap produk maka semakin besar pula daya tahan produk. f.
Features (fitur) Karakteristik
produk
yang
dirancang
untuk
menyempurnakan fungsi produk atau menambah ketertarikan konsumen terhadap produk. g. Aesthetics (estetika) Berhubungan dengan bagaimana penampilan produk bisa dilihat dari tampak, rasa, bau, dan bentuk dari produk.
17
h. Perceived Quality (kualitas yang dirasakan) Kualitas yang dirasakan disini dapat diartikan sebagai percepsi konsumen mengenai reputasi atau citra suatu merek, seperti nilai estetika suatu produk. Berdasarkan hasil penelitian Anselmsson et al. (2014) dan Kalogeras et al. (2009) menunjukan bahwa semakin tinggi kualitas suatu produk maka kesediaan pelanggan untuk membayar harga premium akan semakin tinggi, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: H2: Semakin tinggi kualitas produk, maka semakin tinggi pula kesediaan pelanggan untuk membayar harga premium.
2.1.4. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Program Corporate Social Responsibility (CSR) adalah salah satu kegiatan public relation dalam mempererat hubungan perusahaan dengan publiknya. Corporate Social Responsibility merupakan perwujudan tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan dimana perusahaan tersebut berada. Penerapan Corporate Social Responsibility saat ini berkembang pesat termasuk di Indonesia, sebagai respon dunia usaha yang melihat aspek lingkungan dan sosial sebagai peluang untuk meningkatkan daya saing serta sebagai bagian dari pengelolaan resiko, menuju keberlanjutan dari kegiatan usahanya. Anselmsson et al. (2007) ketika konsumen menganggap bahwa suatu perusahaan memiliki tingkat kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat,
lingkungan
dan karyawannya,
maka
18
kesediaan untuk membayar harga premium untuk suatu produk akan meningkat. Menurut Bowen (1953) kewajiban perusahaan adalah menjalankan usahanya sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Definisi Bowen yang juga disebut-sebut sebagai bapak CSR bertujuan meyakinkan perusahaan tentang perlunya memiliki visi yang tidak hanya berkaitan dengan urusan kinerja finansial perusahaan belaka. Selain mengejar keuntungan, perusahaan harus melaksanakan tanggung
jawab sosial dengan cara
menjalankan usahanya sejalan dengan kepentingan masyarakat sekitarnya. Istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington dalam bukunya Cannibals with Forks: The triple bottom-line of 21st Century Business pada tahun (1997). Dalam bukunya Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan haruslah memperhatikan Profit, People, and Planet (3P). a. Profit (Keuntungan) Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Tidak heran apabila
fokus
utama
dari
seluruh
kegiatan
dalam
perusahaan adalah mengejar profit atau mendongkrak harga saham setinggi-tingginya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Inilah bentuk tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham.
19
b. People (Masyarakat Pemangku Kepentingan) Menyadari bahwa masyarakat merupakan salah satu
stakeholder
penting
bagi
perusahaan,
karena
dukungan dari masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakat, perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada mereka. Selain itu juga perlu disadari bahwa kegiatan operasional perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat. Oleh sebab itu, perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Intinya, apabila perusahaan ingin tetap eksis dan akseptabel maka perusahaan harus menyertakan juga tanggung jawab yang bersifat sosial. c. Planet (Lingkungan) Apabila perusahaan ingin tetap bertahan dalam persaingan industri dan akseptabel dibidangnya, maka perusahaan harus menyertakan tanggung jawab kepada lingkungan. Hal ini bertujuan untuk menanggulangi dampak yang mungkin timbul dari kegiatan operasional perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan adalah sesuatu yang terikat dengan seluruh bidang kehidupan. Semua kegiatan yang dilakukan mulai dari bangun tidur hingga terlelap di malam hari berhubungan
20
dengan lingkungan. Air yang diminum, udara yang dihirup, seluruh peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan. Lingkungan dapat menjadi teman atau musuh, tergantung bagaimana memperlakukannya. Implementasi program CSR yang dilakukan oleh setiap perusahaan memiliki tujuan yang berbeda-beda. Tidak dapat dipungkiri bahwa implementasi CSR akan memberikan dampak dan manfaat terhadap perusahaan. Salah satu hal yang cukup menarik dari keuntungan pelaksanaan program CSR adalah meningkatkan citra perusahaan. Sebuah perusahaan memiliki keinginan untuk mempunyai citra yang baik dimata publik. Berdasarkan hasil penelitian Anselmsson et al. (2014) ketika konsumen menganggap bahwa suatu perusahaan memiliki tingkat kepeduli yang tinggi terhadap masyarakat, lingkungan dan karyawannya, maka kesediaan untuk membayar harga premium akan semakin meningkat, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: H3: Semakin tinggi CSR, maka semakin tinggi pula kesediaan pelanggan untuk membayar harga premium.
21
2.2. Penelitian Terdahulu Johan Anselmsson, Niklas Vestman Bondesson & Ulf Johansson tahun 2014 dengan judul “Brand Image and Customers' Willingness to Pay a Price Premium for Food Brands” Tujuannya untuk memahami keinginan pelanggan, atau keengganan untuk membayar harga premium di pasar untuk konsumen kemasan makanan dan bagaimana citra merek dapat mencapai harga premium. Hasil Penelitian kualitas produk, CSR dan kesadaran merek berpengaruh secara signifkan terhadap harga premium. Dan faktor terkuat yang mempengaruhi harga premium yaitu citra sosial, keunikan dan negara asal produk.
22
2.3. Posisi Studi Penelitian ini didasari oleh beberapa penelitian yang pernah dilakukan beberapa waktu sebelumnya sehingga menggambarkan posisi studi pada tabel dibawah ini: Tabel II. 1 No
Peneliti
1
Michael Laroche, Jasmin Bergeron dan Guido Barbaro-Farleo (2001)
2
Z. Gokalp Goktolga dan Kemal Esengun (2009)
Judul Targeting Consumers Who Are Willing to Pay More for Environmentally Friendly Products
Determining the Factors Affecting The Consumers’ Willingness to Pay Higher Prices for Genetically Unmodified Products: Tomato Case Study In Turkey
Variabel 1. 2. 3. 4. 5.
Demografi Pengetahuan Konsumen Nilai Konsumen Sikap Konsumen Perilaku Konsumen
Faktor Sosial Ekonomi Konsumen meliputi : 1. Jenis Kelamin 2. Usia 3. Tingkat Pendidikan 4. Ukuran Rumah Tangga 5. Pendapatan Bulanan Rumah Tangga 6. Status Ibu 7. Pengeluaran Bulanan 8. Fokus Konsumen
Alat Analisis
Hasil
SEM
Demografi, Pengetahuan Konsumen, Nilai Konsumen dan Sikap Konsumen berpengaruh positif terhadap kesediaan untuk membayar lebih produk ramah lingkungan, sedangkan perilaku konsumen berpengaruh negatif terhadap kesediaan untuk membayar lebih produk ramah lingkungan.
SPSS
Variabel Ukuran Rumah Tangga, Pengeluaran Bulanan, Pendapatan Bulanan dan Fokus Konsumen memiliki pengaruh positif terhadap kesediaan konsumen untuk membayar harga yang lebih tinggi. Sedangkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan status Ibu tidak berpengaruh terhadap kesediaan untuk membayar lebih tinggi.
23
No
Peneliti
Judul
Variabel
Alat Analisis
Hasil
3
Niklas Persson (2010)
An exploratory investigation of the elements of B2B brand image and its relationship to price premium
1. Brand Image 2. Brand Strength
SPSS
Dari hasil penelitian Niklas Persson, diketahui bahwa brand Image berpengaruh positif terhadap brand strength (premium price)
4
Johan Anselmsson, Niklas Vestman Bondesson, Ulf Johansson (2014)
Brand image and customers willingness to pay a price premium for food brands
1. 2. 3. 4.
SPSS
Terdapat pengaruh positif antara semua variabel independen ke price premium, namun ada beberapa variabel yang sangat positif yaitu CSR, Quality dan Social Image
5
Andika Putra Sejati (2016)
Analisis Pengaruh Citra Merek, Kualitas Produk dan Corporate Social Rensposibility Terhadap kesediaan pelanggan Membayar Harga Premium
Sumber: Dari berbagai jurnal penelitian
5. 6. 7. 1. 2. 3. 4.
Awareness Quality Uniqueness Corporate Social Responsibility Social Image Origin Price Premium Citra Merek Kualitas Produk Corporate Social Responsibility Premium Price
SEM
24
2.4. Model Penelitian Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan, hubungan antar variabel yang dikonsepkan dapat digambarkan dalam bentuk model yang mendeskripsikan faktor citra merek, kualitas produk dan corporate social responsibility yang mempengaruhi kesediaan pelanggan untuk membayar harga premium pada produk Eiger. Berikut adalah model dalam penelitian ini:
Model yang dikonstruksi pada studi ini merupakan hasil konstruksi peneliti yang dihasilkan dari kajian literatur studi terdahulu. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kesediaan pelanggan untuk membayar harga premium, sedangkan variabel independennya yaitu citra merek, kualitas produk, dan corporate social responsibility.