PANCASILA BUDAYA BANGSA INDONESIA SEMESTER GANJIL T.A.2011/2012 STMIK “AMIKOM” YOGYAKARTA
D I S U S U N OLEH : NAMA : INDRA NIM
: 11.12.6294
KELOMPOK : J PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN JURUSAN : SISTEM INFORMASI DOSEN : Junaidi idrus, S.Ag., M.Hum
PANCASILA BUDAYA BANGSA INDONESIA I.
LATAR BELAKANG MASALAH Kalau orang bicara tentang pancasila pada masa sekarang pikirannya langsung tertuju pada pancasila yang dirumuskan dalam alinea ke-4 pembukaan undang-undang dasar 1945 (UUD 1945), sebab itulah Pancasila yang secara resmi ditetapkan oleh instruksi Presiden No 12 tahun 1968 (inpres No.
12/1968).
Rumusan
Pancasila
itu
berbunyi:
“…Ketoehanan Jang Maha Esa, kemanoesian jang adil dan beradab, persatoean Indonesia, dan kerakyatan jang dipimpin oleh hikmat kebidjak dalam permoesjawaratan/perwakilan, serta dengan mewoedjoedkan soeatoe keadilan sosial bagi seloeroeh rakjat Indonesia…” (Berita Repoeblik Tahoen II No 7). Dalam notulen sidang Dokoritzu Zyunbi Tyoozakai (Badan Usaha – usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) (BPUPKI) Sebelum menjadi rumusan resmi, Pancasila telah dirumuskan oleh sukarno dalam pidatonya 1 juni 1945 sebagai berikut: Kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan Yang Berkebudayaan. Sukarno mengatakan bahwa kelima sila itu berasal dari prinsip yang terkandung dalam satu perkataan Indonesia yang tulen yaitu gotong royong. Supomo tidak merumuskan Pancasila secara tegas, tetapi dalam pidatonya tanggal 31 Mei dia menyebutkan: Negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, budi pekerti kemanusiaan yang luhur , takluk kepada Tuhan, sistem badan permusyawaratan, dan sistem sosialisme Negara, Dalam merumuskan kelima
asas
itu Supomo mengatakan bertitik tolak dari
lembaga sosial ( struktur sosial ) dari masyrakat asli yang diciptakan oleh kebudayaan Indonesia dan aliran pikiran atau semangat kebatinan bangsa Indonesia. Muhammad yamin yang berpidato pada tanggal 29 mei merumuskan pancasila itu sebagai berikut: peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan, Kesejahteraan Rakyat ( Keadilan Sosial ). Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia (Muhammad Yamin,1959: 79 dan 113, Menurut Hatta dalam pidatonya tanggal 29 Mei Yamin tidak merumuskan pancasila yang diberi tanggal 29 Mei itu sesudah pidato Sukarno, hal ini akan dibicarakan lebih lanjut di bab berikut). Dari uraian itu dapat dipahami bahwa rumusan (formulasi) Pancasila, yang disebut juga sebagai pancasila formal itu mempunyai akar yang dalam pada kegotongroyongan masyarakat Indonesia (sukarno), pada lembaga sosial (struktur sosial) dari masyarakat asli yang diciptakan oleh kebudayan Indonesia, aliran pikiran, dan semangat kebatinan bangsa Indonesia (supomo), pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia (Yamin). Akar-akar Pancasila itu disebut Pancasila material (Notonagaro, 1962:7).
Dengan demikian pengertian pancasila dapat dibedakan menjadi dua yaitu Pancasila formal yang berupa pengertian yang abstrak berupa idea tokoh-tokoh perumus pancasila yang kemudian dituangkan dalam rumusan tertulis dalam dokumen-dokumen penting; dan pancasila material yang hidup dan berkembang dalam sejarah, peradaban, agama, hidup ketatanegaraan, lembaga sosial (struktur sosial asli Indonesia yang bersifat gotong royong). Kedua pengertian pancasila itu memiliki sifat-sifat yang berbeda pula. Dalam Pancasila material belum jelas batas-batas antara sila satu dan sila yang lain seperti halnya pada Pancasila formal. Bahkan mungkin saja orang belum memahaminya sebagai sila-sila atau prinsip-prinsip yang abstrak, tetapi mereka mengejarnya sebagai nilai-nilai kehidupan sehari-hari dalam bidang-bidang sosial, politik pemerintahan, ekonomi, budaya, dan agama. Jadi mereka menjalaninya secara konkret. Sebaliknya Pancasila formal sudah dirumuskan sebagai prinsip-prinsip yang abstrak dan tegas batas-batasnya, sehingga dapat dipahami oleh setia orang sebagai sesuatu yang universal, karena sudah dilepaskan dari ciri-ciri individual dan partikularnya. Pancasila itu dimaksudkan oleh perumusnya untuk pedoman hidup bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dalam Negara Indonesia merdeka yang sedang mereka teliti persiapannya dalam sidang BPUPKI itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pancasila sudah mengalami proses yaitu dari Pancasila material menjadi Pancasila formal, yang dapat dikatakan sebagai Pancasila pembudayaan masyarakat Indonesia dan Pancasila formal akan dijabarkan lagi menjadi pedoman hidup bernegara, berbangsa dan bermasyarakat secara sistematis. Untuk memahami fenomena itu secara jelas perlulah dijawab pertanyaan-pertanyaan : 1. Bagaimana proses Pancasila material menjadi Pancasila formal? 2. Bagaimana proses Pancasila formal menjadi pedoman operasional dalam kehidupan Negara,bangsa dan masyarakat dalam Negara Indonesia Merdeka?
II.
RUMUSAN MASALAH Fokus dari penelitian ini ialah proses terjadinya Pancasila formal dari Pancasila material dan proses penjabaran Pancasila formal menjadi pedoman operasional atau proses transformasi Pancasila sebagai kategoris tematis(Pancasila formal) menajdi kategori operasional (Pancasila sebagai prinsip asasi) (Pengasuh majalah Basis, 1980:69). Dalam menjawab pertanyaan itu diperlukan sumber tertulis yang berkaitan dengan Pancasila material yang sudah berkembang sebagai hasil pembudayaan masyarakat Nusantara mulai tahun 400 Masehi waktu masyarakat Nusantara memasuki zaman sejarah, sampai tahun 1945 waktu Pancasila dirumuskan. Untuk keperluan ini dapat kiranya dipinjam hasil penelitian sejarah yang sudah ditulis baik oleh sarjana Indonesia maupun oleh sarjana asing. Untuk memahami peristiwa perumusan Pancasila diupayakan mendapatkan sumber primer yang tertulis maupun informasi-informasi dari pelaku sejarah yang ditulis dalam buku-buku kecil atau pernyataan-pernyataan lisan yang dapat dijangkau. Dalam proses rasional kajian difokuskan pada pemikiran-pemikiran yang dapat menjawab pertanyaan bagaimana Pancasila material yang bersifat individual dan partikular itu dapat berada dalam pemikiran yang berupa konsep yang abstrak universal yang dipahami sebagai Pancasila, dan apa sebenarnya hakikat dari Pancasila itu sebagai dari pengertian yang abstark dan universal? Pemikiran ini berkaitan dengan pendekatan filsafat yang mengupas tentang keberadaan (ontologia) dan hakikat (kritika) dari objek studinya. Dalam hal ini Driyarkara, Notonegoro, dan pemikiran lain sudah merintisnya sejak tahun 1950-an.
III.
PENDEKATAN A. Pendekatan sosiologis Kecuali dua pendekatan diatas masih ada pendekatan fenomenologis, yaitu dengan mengamati
gejala sosial, pengamat menemukan sila-sila Pancasila yang meupakan prinsip dibalik fenomena sosial itu. Dalam hal ini fenomena sosial yang diamati ialah seorang anggota keluarga yang sakit. Saudarasaudara dan kenalan dari orang yang sakit itu dating menjenguknya. Apakah yang mengerakkan saudara dan kenalan itu menjenguk si sakit? Keikutsertaan untuk merasakan untuk merasakan sakit si sakit sehingga dapat diringankan penderitaanya, sebab para saudara dan kenalan itu manusia yang pernah menderita sakit dan tahu bagaimana penderitaan orang sakit itu. Jadi jika tolak tindakan mereka itu tidak lain dan tidak bukan ialah manusia termasuk dirinya sendiri yang sedang sakit. Disini prinsip kemanusiaan itu menggejla dalam tindakan mereka menjenguk sisakit tersebut. Dirumah si sakit para saudara yang menjenguk tersebut berbincang-bincang untuk mencarikan jalan keluar agar si sakit lekas sembuh dari sakitny. Mereka berdebat tentang pengobatan yang perlu ditempuh oleh si sakit. Saudara-saudara yang masih percaya kepada dukun dan khasiat obat-obatan tradisional mengusulkan agar segera si sakit dicarikan dukun yang sakti. Mereka menunjang ususlnya dengan argumen-argumen yang menunjukkan segi positif dukun, seperti prosedur yang tidak formal, pelayanan yang manusiawi, tidak menarik rekening dengan serta merta, sampai kalau pasien meninggal dunia dukun tidak menarik rekening, bahakan mungkin ikut melayat. Sedangkan saudara-saudara yang maju mengusulkan membawa si sakit ke dokter dan kalu perlu bahkan ke rumah sakit. Mereka juga mengemukakan argumen yang mendukung usulnya,seperti kepastian yang lebih besar untuk menyembuhkan yang dimiliki oleh dokter, kebesihan, serta terbebas dari takhayul dan sebagainya. Maka terjadilah penbicaraan yang ramai akhirnya sampailah pada suatu mufakat bahwa si sakit akan dibawa ke dokter, tetapi juga tidak meninggalkan dukun, sebab dukun dapat mengobati si sakit tanpa kehadiran si sakit. Perdebatan dan kesepakatan itu tentu merupakan gejala dari prinsip musyawarah /mufakat. Setelah mereka mencapai mufakat untuk mebawa si sakit kerumah sakit dan mencarikan dukun yang sakti maka timbul masalah biaya untuk mewujudkan kesepakatan tersebut. Ternyata mereka konsekuen dengan kesepakatannya, mereka yang kaya menawarkan bantuan uang untuk biaya, sedangkan yang miskin tidak menawarkan bantuan uang, sebab mereka tidak mempunyai banyak uang, melainkan meraka menawarkan tenaga untuk mengantar kerumah sakit, mencari dukun dsb., yang tidak berupa uang. Maka terpecahkanlah permasalahan itu dan dibawalah si sakit kerumah sakit. Pemecahan masalah ini jelas merupakn gejala dari prinsip keadilan sosial bagi seluruhnya, bagi si sakit akan mendapatkan pengobatan, saudara yang kaya akan membantu uang yang mungkin cukup banyak,
sedangkan yang miskin membantu tenaga , jadi mereka bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya dan tak ada perkosaan terhadap hak dan kewajiban dari masing-masing individu. Setelah semuanya diupayakan mereka semua berkumpul dan bertafakur mohon kepada tuhan sesuai dengan keyakinan masing-masing untuk mohon kesembuhan si sakit. Demikianlah prinsip ketuhanan itu menggejala pada kelompok yang memanjatkan doa bersama untuk kesembuhan si sakit tersebut. Dengan berusaha bersama untuk memecahakan masalah yang dialami oleh salah seorang dari saudaranya itu kesatuan antara para saudara itu lebih meresap dan akrab. Ini lah gejala prinsip persatuan yang merupakan perekat dari semua kegiatan tersebut. (Bdk. Moertono , seri 3, 1980:8). Ternyata prinsip-prinsip kemanusiaan, musyawarah/mufakat, keadilan sosial, ketuhanan, dan persatuan itu meresapi semua gejala sosial manusiawi. Misalnya dalam hal jual beli, dalam hal ini jual beli kebutuhan sehari-hari yang dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga di pasar yang berbeda dekat rumahnya. Dalam membeli kebutuhan makanan dan minuman itu dia digerakkan oleh kehendaknya untuk menyediakan makanan dan minuman bagi seluruh anggota keluarganya agar dapat melangsungkan hidupnya sebagai manusia yang layak, dn bagi penjual bahan-bahan makanan itu pun terkandung maksud untuk mencari untung agar dapat mencukupi kebutuhan keluarganya akan makanan, pakaian, perumahan, dan pendidikan agar hidup layak sebagai manusia. Jadi jelas di sini tampak prinsip kemanusiaan berada dibelakang itu semua. Dalam hal jual beli tersebut di sini terjadi tawar menawar yang diakhiri dengan penetapan harga yang disetujui oleh kedua belah pihak, sebab si penjual sudah mendapat untung dan pembeli tidak merasa terlalu mahal. Di sini sebenarnya sudah terjadi musyawarah dan mufakat. Setelah harga disepakati maka pembeli wajib membayar harga yang sudah disepakatinya dan berhak mendapatkan barang-barang yang dibelinya, sedangkan si penjual wajib menyerahkan barangnya dan berhak atas harga barang yang dijualnya. Dengan demikian terlaksanalah prinsip keadilan sosial. Dalam hal ini biasanya terjadilah hubungan yang tetap antara penjual dan pembeli, sebab si pembeli menjadi langganan si penjual. Maka di sini tampak prinsip persatuan menggejala. Hubungan yang baik ini biasanya menimbulkan rasa persahabatan yang saling menghendaki keselamatan bagi masing-masing, yang dinyatakan dalam ucapan selamat waktu hari raya Natal atau Idul Fitri disertai doa agar Tuhan melindungi mereka masing-masing. Di sini jelas merupakan fenomena prinsip Ketuhanan.
Dalam gejala sosial sifatnya negative pun rupanya prinsip-rinsip Pancasila itu beroperasi juga, tetapi semuanya negatif
juga. Jadi dalam gejala sosial yang negative berarti korupsi misalnya prinsif
kemanusiaan diingkari atau dilukai, demikian juga prinsif musyawarah/mufakat, prinsip persatuan, prinsif ketuhanan, dan lebih-lebih prinsif keadilan sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode pemikiran yang digunakan oleh kaum fenomenologis dalam merumuskan Pancasila ialah induktif, yaitu dengan menganalisis gejala-gejala sosial manusia Indonesia, mencoba mendapatkan dan merumuskan Panacasila. Ternyata filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl ini dapat juga dipinjam untuk merumuskan pancasila secara filsofis. System Husserl untuk menerobos fenomena sampai ke “barangnya sendiri:” atau hakikat barang yang diamati itu melakukan reduksi atau penyaringan yang berangkat dari fenomena konkret. Menurut dia ada tiga reduksi fenomenologis, reduksi eidetic, dan reduksi transendental, proses inilah yang ditempuh oleh kaum fenomenologis untuk merumuskan Pancasila secara filsofis (Harun Hadiwijono, 1980:140-143). Dengan demikian didekati dengan metode apa pun keberadaan hakikat Pancasila dapat dirumuskan oleh filsafat. Notonegoro menggunakan metode deduktif dengan teori-teori filsafat klasik berhasil menjelaskan keberadaan dan hakikat Pancasila, Driyarkara yang bertitik tolak dari filsafat manusia yang modern dengan metode induktif individual berhasil juga merumuskan Pancasila dan sekaligus menjelaskan hakikatnya sebagai realita kodrat manusia dalam semesta realita, dan akhirnya penganut fenomenologisme juga berhasil menemukan prinsip-prinsip Pancasila
dengan mendekati
fenomena sosial dan menggunakan metode reduksi. Setelah orang mengetahui bahwa sebenarnya pancasila dapat didekati dengan pendekatan filsafat, tentu orang ingin mengetahui lebih lanjut pendekatan dan mrtode yang digunakan oleh para perumus Pancasila dari filsafat negara Indonesia merdeka yang dalam sejarah dikenal sebagai anggotaanggota BPUPKI.
IV.
PEMBAHASAN Proses terjadinya Pancasila formal dari Pancasila material dapat dibedakan menjadi proses
factual dan proses rasional. Dalam proses factual perlu dikaji waktu, tokoh-tokoh pelaku, situasi dan lingkungan yang menyertainya. Dalam hal ini pengamatan tidak dapat dilepaskan dari masa lampau. Maka untuk dapat mendeskripsi dan menganalisisnya secara tepat perlu digunakan metode ilmu sejarah. Dalam mendekati masalah ini dengan metode sejarah perhatian harus dipusatkan pada tokoh-tokoh perumusan Pancasila formal, waktu permusan, dan situasi yang meliputinya, yang di dalamnya terdapat motivasi, lingkungan sosio-politik, dan sebagainya. Dengan demikian masalahnya dapat dirumuskan faktor-faktor apakah yang mendorong tokoh-tokoh itu merumuskan pancasila. Proses Penjabaran pancasila formal menjadi kategori operasional oleh driyarkara sebagai proses transformasi dari Pancasila sebagai kategori tematis yang tempatnya dalam bidang teori menjadi Pancasila sebagai kategori imperatif yang berupa norma-norma terutama norma huku. Kemudian menjadi kategori operatif yang berupa norma asasi, yang tempatny dalam dunia praktis. Dalam hal ini para pemikir transformasi sangat beragam tergantung pada perspektif yang digunakan, perspektif metafisika akan berbeda perspektif filsafat hokum, dan berbeda pula dari filsafat sosial dan filsafat kenegaraan. Dalam kenyataan kategori imperatif ini berupa norma-norma hukum yang berdasarkan konsitusi atau Undang-undang Dasar. Maka untuk menjelaskan masalah transformasi Pancasila formal menjadi kategori imperatif ini paling tepat menggunakan pendekatan ilmu hokum terutama hokum tata negara dan hukum tata usaha negara. Seperti diketahui ilmu hukum tata negara ialah ilmu yang mempelajari hukum yang mengatur wewenang dan tugas lembaga-lembaga negara, sedangkan hukum tata usaha negara mempelajari hukum yang mengatur penggunaan wewenang dan penunaian tugas lembagalembaga negara tersebut. Hukum itu semua berdasarkan pada konstitusi, maka untuk menjelaskannya perlu penelitian konstitusi, maka untuk menjelaskannya perlu penelitian konstitusi dalam hal ini konstitusi negara Indonesia. (Bdk. E. Utrech, 1966:289-351). Seperti telah disebut diatas kategori operatif merupakan norma azazi yang meskipun tidak didasari atau malahan tidak di pahami, bahkan mungkin dipungkiri, tetap menjadi asas perbuatan (Pengasuh Majalah Basis, 1980:69). Dengan demikian Pancasila baik di pahami maupun tidak, tetap menjadi pedoman tingkah laku bangsa Indonesia sebagai pribadi, sebab tertanam begitu dalam. Kategori operatif ini merupakan tujuan akhir transformasi Pancasila dalam hidup bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.
Meskipun kelima sila itu merupakan satuan yang tidak terpisahkan, tetapi dalam pelaksanaannya tetap dapat ditelusuri perbedaan intensitasnya, sebab meskipun satu tetap lima, yang masing-masing tidak sama asasinya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sifatnya lebih asasi daripada sila persatuan indonesia dan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Pertamatama Tuhan memang menciptakan manusia yang menyadari akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasinya. Baru pada awal abad ke-20 manusia Indonesia tampak memiliki kesadaran akan pesatuan Indonesia sebagai satu bangsa yang sama dengan bangsa lain. Akhirnya baru tahun1945 bangsa Indonesia mendapat pengalaman membentuk pemerintahan yang merdeka berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dalam skala nasional. Maka tidak mengherankan kalau penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai pribadi tidak sama tebal tipisnya. Sila Ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan sosial sudah ditranformasikan sebagai kategori operatif lebih lama dan lebih intensif lewat lembagha agama dan lembaga kemasyarakatan daripada sila persatuan dan kerakyatan. Pengertian nasionalisme dan demokrasi modern memeng merupakan hal baru bagi bangsa Indonesia, meskipun akarnya sudah ada pada masyarakat Indonesia sejak lama. Maka dari itu kedua sila itu agak sulit ditransformasikan menjadi kategori operatif bagi bangsa Indonesia sebagai pribadi, dan mungkin cara yang paling tepat untuk itu ialah lewat jalur pendidikan dalam arti luas. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pendekatan yang paling tepat ialah pendekatan ilmu-ilmu sosial, sehingga dapat dijelaskan proses sosialisasi dari setiap pribadi dalam mentransformasikan Pancasila dalam norma-norma sosial, politik dan ekonomi dalam kehidupan sehari hari.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN Nenek moyang bangsa Indonesia yang tersebar di seluruh Nusantara memasuki zaman sejarah pada abad ke-4 mulai dari nuisa terbesar di Nusantara ini yang sekarang disebut Kalimantan. Dari peninggalan tertulis Kutai itulah orang mengetahui bagaimana nenek moyang bangsa Indonedia memanusiakan dirinya sendiri yang oleh Driyarkara disebut membudaya, bekas atau sisa pembudayaan itu disebut kebudayaan. Dari kebudayaan yang ditemukan di Kutai dapat diketahui bahwa nilai yang dikembangkan berkaitan dengan nilai Ketuhanan dan nilai sosio-ekonomis. Kedua nilai itu sangat hakiki untuk mempertahankan
dan mengembangkan kehidupan yang merupakan dasar nilai
kemanusiaan. Rupanya pengembangan nilai-nilai ketuhanan, sosio-ekonomis dan kemanusiaan itu diwujudkan dalam pengukuhan dinasti yang memrintah suatu kerajaan, yang di dalamnya terkandung nilai politik pemerintahan. Nilai-nilai itu berkembang dan sisa-sisanya dapat ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, dan Jawa Timur, yang merupakn kesatuan- kesatuan ploitik kerajaan yang teratur dan berkembang. Dengan demikian berkembang juga nilai-nilai ketuhanan, sosio-ekonomis, kemanusiaan, dan politik pemerintahan itu dalam budaya setiap kesatuan politik yang berkembang tersebut sesuai dengan tantangan dari luar yang di hadapi. Sampai abad ke-15 ada dua kesatuan besar yang kebudayaannya begitu kuat, sehingga menjadi dasar yang tak mudah dihapuskan begitu saja bagi pembudayaan generasi berikutnya. Dua kesatuan politik budaya tersebut ialah Sriwijaya yang berpusat di Sumatera dan Majapahit yang berpusat di Jawa. Kesatuan politik Majapahit runtuh karena kurang cepat mengakomodasikan tantangan baru dari luar yang datang menyerbu, sehingga kerajaanya runtuh, tetapi budayanya bertahan, dan kekuatan baru tersebut memasukinya dan mengakomodasikankannya menjadi suatu budaya baru yang dipesiapkan untuk menjawab tantangan baru juga. Maka setapak demi setapak tumbuh kesatuan-kesatuan kecil kerajaan Islam di Aceh dan Sumamatera Utara, di pantai utara jawa, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan daerah-daerah pantai lai. Sekali lagi nilai-nilai Ketuhanan dan sosio-ekonomis menonjol perkembangannya
untuk
mempertahankan
nilai
kemanusiaan.
Akhirnya
Mataram
berhasil
menyatukannya dalam kesatuan publik yang agak besar dan kuat pada abad ke-17/18. Pembudayaanya bangsa Indonesia yang berlangsung hampir 14 abad itu meninggalkan nilai-nilai ketuhanan, sosioekonomis, kemanusiaan, politik kenegaraan yang memiliki corak khas dikembangkan oleh generasigenerasi secara tradisional. Pada abad ke-18 nilai-nilai Barat yang dibawa oleh orang Belanda dan orang kulit putih lainnya mulai memasuki masyarakat Nusantara. Nilai-nilai Barat yang dikembangkan di Barat itu mempunyai corak lain daripada nilai-nilai budaya yang sudah berkembang di Nusantara. Maka masuknya ke
masyarakat Nusantara dirasakan sebagai tantangan yang agak sulit diakomodasikan, sehingga dirasakan sebagai suatu tekanan yang menimbulkan reaksi-reaksi positif dan negatif yang menimbulkan dialektika dalam proses pembudayaan bangsa Inonesia. Dialektika pertama dilakukan oleh pengemban nilai-nilai tradisional yang merasakan budaya Barat sebagai budaya asing, maka mereka sulit berdialog, sehingga terjadi benturan yang menegaskan identitas
masing-masing. Di sini terjadilah proses ideifikasi yang menunjukkan bahwa budaya
tradisional tidak mampu mengalahkan budaya modern, bahkan terpaksa membiarkan budaya modern. Untuk memanfaatkannya mereka memilih dan mengambil budaya tradisional yang dapat dimasukkan dalam system budaya mereka, sehingga kedudukan mereka semakin kokoh atas orang-orang Nusantara. Kemenangan mereka itu nanti di tegaskan secara kultural lewat multi diskriminasi sehingga nampak luar. Akibatnya menumbuhkan idealisasi pada orang-orang Nusantara. Idealisasi ini muncul setelah proses ideifikasi yang menghasilkan pengetahuan terhadap kekalahan mereka terhadap pendukung budaya modern. Maka tokoh-tokoh tradisional seperti Diponegoro, Imam bonjol, Pattimura, dll. Mewujudkan idealisasi ini lewat nilai-nilai yang mereka miliki yaitu nilai religious dan sosio-ekonomis untuk mempertahankan dirinya sebagai manusia yang harus hidup merdeka. Mereka menyatukan para pengikutnya untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda baik secara fisik dengan perang-perang yang dilancarkan secara kultural dengan mempertahankan lembaga-lembaga dan pranata-pranata yang dipangkunya. Pemanfaatan unusur-unsur tradisional oleh pendukung budaya modern tersebut menyebabkan unsur-unsur tradisional itu menjadi modern, sebab kalau tidak dimodernisasikan tidak dapat dimasukkan dalam system budaya mereka yang sudah modern itu. Dengan demikian di sana-sini bagian-bagian tradisional berkembang menjadi modern, dan ini ternyata membawa perubahan juga pada pendukung budaya tradisional itu. Pendukung budaya tradisional yang dimodernisasikan itu tidak dapat dipisahkan oleh belanda dari sanak keluarga masyarakatnya yang masih tradisional. Dengan demikian kelompok tradisonal yang sudahmodern itu berdiri di tengah-tengah antara budaya tradisonal modern dan sekaligus mereka hidup di dalam kedua masyarakat yang tidak sejajar itu. Dalam situasi demikian mereka mengadakan reideifikasi dan menemukan kelompoknya lebih tinggi daripada pendukung budaya tradisional tetapi lebih rendah daripada pendukung budaya modern. Mereka mulai melihat lebih jelas system budaya yang menghubungkan pendukung budaya modern dan pendukung budaya tradisional. System itu merupakan penjajahan yang dirancang dan dilembagakan untuk keuntungan pihak pendukung kebudayaan modern. Maka mereka mulai mengadakan idealisasi untuk menghapus system modern yang memanfaatkannya budaya tradisional yang memanfaatkan modern untuk mengangkatnya sesuai dengan tantangan zaman yang dihadapinya.
Idealisasi itu mengendap sebab nyatanya
kelompok tradisional
yang sudah dimodernisasi
(tradisio-modernis) itu tidak mampu mengusir pendukung budaya modern yang memanfaatkan budaya tradisional tersebut. Bahkan pendukung budaya modern berhasil mengisolasi mereka untuk mencegah hasil idealisasinya menyebar dan menjadi kenyataan. Namun apa yang tidak dilakukan oleh kelompok tradisio-modernis tadi dapat dilakukan oleh kelompok tradisio-modernis tadi dapat dilakukan pendukung budaya tradisio-modern Indonesia tidak begitu sulit menjalin kerjasama dengan Jepang. Dalam zaman Jepanglah mereka dapat memberi bentuk yang agak nyata pada hasil idealisasi mereka. Di bawah pengawasan Jepang mereka mencoba mengangkat nilai-nilai tradisional yang berakar jauh ke zaman kuna menjadi system nilai yang disusun dengan bantuan konsep-konsep modern dan inilah sebenarnya yang sudah mereka idealisasikan sejak di bawah kekuasaan Belanda. Di sinilah Pancasila dilahirkan dari system nilai-nilai budaya tradisional yang memanfaatkan budaya modern. Dengan demikian mereka menemukan suatu budaya Indonesia yang diharapkan dapat digunakan untuk menjawab tantangan dunia modern. Harapkan itu terpenuhi setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, dan Sekutu belum datang di Indonesia. Mereka memproklamasikan kemerdekaan negara kebangsaan Indonesia yang merupakan awal dari upaya untuk mengoperasikan hasil idealisasi mereka yaitu Pancasila. Secara serentak kelompok tradisi-modernis tersebut mencoba mengoperasikan Pancasila dalam hidup bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Hal ini ternyata tidak mudah, sebab sebelum mereka dapat bekerja secara penuh mereka harus membersihkan system kolonial atau mengadakan dekolonisasi baik secara kelembagaan maupun secara cultural, secara teritoliar dekolonisasi ini baru selesai pada tahun 1964, waktu Irian Barat diserahkan kepada Indonesia sesudah pemerintahan selingan dua tahun oleh PBB. Dalam mengoperasikan Pancasila ini bangsa Indonesia menghadapi dua hal yang harus terusmenerus diberi perhatian.
VI. REFERENSI Adams,Cindy ,Sukarno An Autobiographhy as Told to Cindy Adams, Gunung Agung (HK), Djakarta, 1966. Anderson,R.O.‟G. Benedict, Revoloesi Pemoeda Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946,terjemahan Jiman Rumbo,cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988. AriefPriyadi,penyusun, Wawancara dengan Sayuti Melik, Yayasan Proklamasi,CSIS,Jakarta,1986. Ahmad Subardjo Djojoadisuryo, Lahirnya Republik Indonesia (Suatu tinjauan dan Kisah Pengalaman), P.T. Kinta Djakarta,1972. Benda,Harry J.,Irikura,James K., dan Koichi Kishi, Selectors and Translators, Japanese Military Administration in Indonesia Selected Documents, Southeast Asia Studies, Yale University, 1965. Berita Republik Indonesia Tahun II No.7.15 Februari 1946. Boechari,Ulah Para Pemungut Pajak di dalam Masyarakat Jawa Kuno, Seminar Sejarah Nasional III, Jakarta( Stensilan),1981. Dahm Bernhard, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan,LP3ES, Jakarta, 1987. Drikarya,N.,Tentang Negara dan Bangsa,(Kumpulan Karangan),Kanisius,Yogyakarta,1980. Dwipayana dan Ramadhan,K.H.,Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya Otobiografi, P.T.Citra Lamtara Gung Persada, Jakarta, 1989. Feith, Herbert, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Fifth Printing Cornell University Press, Ithaca and London,1978. Graaf, H.J. De, Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati,Jilid 3, terjemahan,Grafiti Pers, Jakarta, 1985. ______ Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung, Jilid 4,terjemahan Grafiti Pers,Jakarta, 1986. Hall,Kenneth R.,”State and Statecraft in Early Sriwijaya” dalam Kenneth R.Hall and John K.Witmore,eds.,Exploration in Early Southeast Asian History: The Origins of Southeast Asian Statecraft, The Center for South and Southest Asian Studies,
The University of Michigan,1976. Harun Hadiwijono,Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta,1980. Hindley,Donald,”Indonesia 1971:Pancasila Democracy and The Second Parliamentary Election”dalam Asian Survey,January Vol.XII,No.1,1972. Ide Anak Agung Gde Agung,Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat,1985. Ismail Suny,Pergeseran Kekuasaan Eksekutif Suatu Penyelidikan dalam Hukum Tatanegara Aksara Baru,Jakarta,1981. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia,P.T.Bina Aksara, Jakarta,1981. Kahin,George McTurnan, Nationalism and Revolution in Indonesia, Cornell University Press Ithaca and London,1970. Kattsoff,Louis O., Unsur-unsur Filsafat,terjemahan Poedjioetomo, Yogyakarta,1960.(Stensilan). Kedaulatan Rakyat,17 dan 27 Desember 1949. Kementerian Penerangan RI,Perjuangan diKonferensi Meja Bundar(Penyelesaian Pertikaian Indonesia Belanda),Kementerian Penerangan RI,Yogyakarta,1949. Klerck,E.S.De, History of Netherlands East Indies, Volume I, W.L.& J Brusse N.V.Rotterdam,1938. Legge John D, Sukarno Sebuah Biografi Politik,terjemahan Penerbit Sinar Harapan, Jakarta,1985. Lembaran Negara RIS, 1950 Nr.7. Marr David G and A.C.Milner,eds., Southeast Asia in The 9th to 14th Centuries, Institute of Southeast Asian Studies Singapore and The Research School of Pacific Studies Autralian National University, Singapore Mehta, V.R., Hegel and The Modern State An IntroductiontoHegel’sPoliticalThought, Associated Publishing House, New Delhi,1968. Miriam Budiadjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1977. Moertono, Filsafat Pancasila, P-4 dan Aspek Pengamalannya, GBHN.Filsafat Manusia
Filsafat Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1980. Mohamad Roem, Penculikan Proklamasi dan Penilaian Sejarah, Budaya dan Ramadhani, Jakarta dan Semarang, 1970. Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Tinta Mas, Jakarta, 1969. __________ Mohammad Hatta Memoir, Tinta Mas, Jakarta, 1979. Mohammad Hatta etal. ( Panitia Lima), Uraian Pancasila, Mutiara, Jakarta,1977. Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-uindang Dasar 1945, Jilid Pertama, Prapantja,Jakarta, 1959. Nasution, A.H., Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid II, Disjarah AD dan Angkasa, Bandung, 1977. _________” 17 Oktober 1952”, dalam Subagijo I.N., Wilopo 70 Tahun, Gunung Agung, Jakarta,1979. Notonagoro, Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia (Kumpulan tiga uraian pokok-pokok persoalan tentang Pancasila), Universitas Gajah Mada, Jogjakarta,1962. __________ Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantdjuran Tujuh, Djakarta,1971. ___________ Beberapa Hal menganai Falsafah Pancasila, Cetakan Kelima, Universitas Pancasila, Jakarta, 1974. Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, Balai Pustaka, Jakarta, 1981. Osman Raliby, Documenta Historica Sejarah Dokumenter dari Pertumbuhan dan Perjuangan Negara Republik Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1953. Panitia Pasar Malam, Pasar Malam Memperingati Indonesia Merdeka Dikemudian Hari, Jogjakarta, 1942. Pigeaud Th., Java in The 14th Century, Vol.III, Martinus Nijhoff, The Hague, 1960. Pringgodigdo, A.G. Perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer, Universitas Gajah Mada, Jogjakarta, 1969. Pringgodigdo, A.K.3 Undang-undang Dasar, P.T. Pembangunan, Jakarta, 1955.
Prodjo Soegardo, R.W., Buku Pegangan Pamong Praja Daerah Istimewa Jogjakarta, Djawatan Pradja Daerah Istimewa Jogjakarta, 1950. Ricklefs, M.C., Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1772 A History of Division of Java, Oxford University Press, London, 1974. Rouffaer,” Overde Vorstenlanden (1905)”, De Commissie Adarecht, dalam Adatrechtbundels XXXIV Java en Madura. Het Koninklijk Instituut voor de Taal-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Martinus Nijkhoff, „s-Gravenhage,1931. Sartono Kartodirdjo et al., Sejarah Nasional Indonesia III dan IV, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1977. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 Dari Emporium sampai Imperium Jilid I, Gramedia, Jakarta, 1987. Selo Sumardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, terjemahan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1981. Selo Sumardjan dan Seolaeman Soemantri, Setangkai Bunga Sosiologi, Fak. Ekonomi, UI, Jakarta,1964. Simorangkir,J.T.C., Penetapan UUD Dilihat dari Segi Hukum Tata Negara Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1984. Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX, terjemahan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985. Soerjanto Poespo, Filsafat Pancasila Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Penerbit PT Gramedia, Jakarta, 1989. Sri Soemantri, Ketetapan MPR ( S) sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara, Penerbit Remaja Karya CV, Bandung, 1985. Subadio Sastrasatomo, Perjuangan Revolusi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987. Sudarsiman Purwokusumo, Kadipaten Paku Alaman, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1985. Sundhaussen, Ulf, Politik Militier Indonesia 1945-1967 Menuju Dwifungsi ABRI, LP3ES, Jakarta, 1986. Suwarno P.J., Pancasila dalam Kehidupan Bangsa Indonesia (Ditinjau dari Segi Sejarah, Filsafat dan Hukum), Yogyakarta, 1981. ________ Sejarah Birokrasi Pemerintahan Indonesia Dahuludan Sekarang, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1989.