BAI’AT DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN ATAS PEMAKNAAN LDII TERHADAP AYAT 18 SURAT AL-FATH)
SKRIPSI
Oleh: Muamar NIM: 105034001247
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat, hidayah serta nikmat yang telah Allah berikan kepada penulis sehingga dengan wasilah itu semua penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Bai’at Dalam Al-Qur’an “(Kajian Atas Pemaknaan LDII Terhadap Ayat 18 Surat Al-Fath)” Shalawat dan salam semoga selalu tercurah keharibaan Nabi Agung, Muhammad Saw., keluarga, sahabat dan orang-orang yang memelihara hadis dan mengikuti Sunnahnya. Sebelumnya penulis ingin mengucapkan ribuan terima kasih kepada semua yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Penulis sadar skripsi ini tidak akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh Karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, M.A., selaku
Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Bustamin, M.Si., selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis. 4. Dr. Lilik Umi Kultsum, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis. 5. Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA., selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingannya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini berdasarkan cara penulisannya, tujuannya, dan manfaatnya bagi masyarakat akademik.
i
6. KH. Aceng Karimullah, B.E., S.E. selaku ketua departemen pendidikan dan dakwah LDII yang telah banyak memberikan informasi kepada penulis tentang apa dan bagaimana LDII 7. Seluruh dosen dan staf pada program studi Tafsir Hadis (TH) atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang diberikan kepada penulis selama menempuh studi. Seluruh karyawan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 8. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua penulis Ayahanda Sa’ad Mursyid dan Ibunda Jannatun yang telah banyak mengorbankan tenaga, pikiran dan materi, yang tiada pernah mengeluh merawat, membimbing dan membiayai penulis sampai sekarang, terima kasih atas apa yang sudah diberikan untuk penulis, semoga itu semua senantiasa mendapat balasan dari Allah Swt. 9. Terima kasih juga kepada Kakak-kakakku, Siti Mujiyati, Nurhikmah, Muhammad Aminuddin, Abdul Kholik(alm), Abdul Hopir, dan Abdul Hakim atas dorongan semangatnya dan keponakan-keponakanku yang selalu bisa membuat penulis tersenyum. 10.
Terima kasih tak lupa pula penulis ucapkan kepada kekasih hati Adinda
Maria Ulvha yang selalu memberi dukungan kepada penulis agar tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 11. Seluruh teman-teman jurusan tafsir hadits angkatan 2005, khususnya Th.C. Haji Yasir, Bang Zulkarnaen, Ust.Suryadi, Habib Muchsin al-Khader, Syahid, Irfan, Samsul Memukau, Afifuddin, Lukman, Jazuli, Noviyanto, Tejar,
ii
Khafidz, Ust.Asep, Wasikh, Noval, Hadi, Ulfah, Sha-sha, Sri, Ummi, Fauziyah, Hidayah, dan Bierjanah. 12. Terima kasih kepada teman-teman keluarga besar The Great (alumni Darul Mujahadah angkatan ke-7), Ust.O-im, Geboy, Verus, Makin, Ucup-tile, Hendy, Yitno, Acong, Ce-u, Toing, Arief, Tatang, Aip, Sundoyo, Rozikin, Anis, Bibeh, Citra. Tieka, Isti dan Royan 13. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FUF UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Umum Islam Iman Jama. Akhirnya
penulis pun menyadari dengan wawasan keilmuan
penulis
yang masih sedikit, referensi dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca, menjadikan penulisan skripsi ini jauh dari sempurna, Namun, penulis telah berupaya menyelesaikan skripsi
ini
dengan kemampuan penulis sebagai
dengan
semaksimal
mungkin
manusia. Oleh karena itu,
sesuai penulis
meminta saran dan kritik yang membangun dari pembaca sebagai bahan perbaikan penulisan ini. Penulis berharap semoga Allah Swt. memberikan balasan yang lebih baik dari semua pihak pada umumnya.
Jakarta, 27 Desember 2010
Muamar
iii
Pedoman Transliterasi Aksara Arab dan Padanannya dalam Aksara Latin Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan Tidak dilambangkan
B
Be
T
Te
Ts
te dan es
J
Je
H
ha dengan garis di bawah
Kh
ka dan ha
D
De
Dz
de dan zet
R
Er
Z
Zet
S
Es
Sy
es dan ye
S
es dengan garis di bawah
D
de dengan garis di bawah
T
te dengan garis di bawah
Z
zet dengan garis di bawah
Hamid Nasuhi dkk, Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, 2005.
iv
ﮬ
'
koma terbalik di atas, menghadap ke kanan
G
Ge
F
Ef
Q
Ki
K
Ka
L
El
M
Em
N
En
W
We
H
Ha
'
Apostrof
Y
Ye
Vokal
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin A
keterangan
I
Kasrah
U
Dammah
Tanda Vokal Latin Ai
keterangan
Au
a dan u
Fathah
Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab
a dan i
v
Vokal Panjang (Madd)
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin Â
Keterangan a dengan topi di atas
Î
i dengan topi di atas
Û
u dengan topi di atas
Syaddah (Tasydid) Syaddah atau Tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya kata:
tidak ditulis
“ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya. Kata Sandang Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf ) (, dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh al-rijâl, bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân. Ta Marbūtah No
Kata Arab
Alih Bahasa
1
Tarîqah
vi
2
al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3
wahdat al-wujûd
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................... viii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Tinjauan Kepustakaan .............................................................. 6 C. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ...................................... 7 D. Tujuan Penelitian ...................................................................... 8 E. Kegunaan Penelitian ................................................................. 8 F. Metodologi Penelitian ............................................................... 9 G. Sistematika Penulisan ............................................................... 11
BAB
II
SEJARAH
SINGKAT
LDII
DAN
DOKTRIN-DOKTRIN
AJARANNYA SERTA CATATAN PARA ULAMA TENTANG LDII A. Sejarah Singkat LDII ..............................................................12 B. Doktrin-doktrin Agama Dalam LDI .......................................18 1. Doktrin manqul ..................................................................18 2. Frase “Amal Shaleh” ..........................................................22 3. Ibadah Ghairu Mahdha LDII .............................................23
viii
C. Catatan Para Ulama Tentang LDII .........................................26 1. KH. Maruf Amien .............................................................26 2. KH. Ali Yafie ....................................................................30 3. Prof. Dr. H. Utang Ranuwidjaya .......................................31 4. Prof. Dr. KH. Said Agil Siradji .........................................33 5. DR. M. Syafi’i Mufid, MA ...............................................36 6. DR. Adian Husaini, MA ...................................................38 BAB III
PENGERTIAN BAI’AT A. Pengertian Tentang Bai’at ....................................................41 1. Pengertian Bai’at Secara Bahasa........................................42 2. Pengertian Bai’at Secara Istilah .........................................43 3. Pengertian Bai’at Secara Syar’i...........................................44 B. Bai’at Dalam Lintas Sejarah ...................................................45 1. Bai’at Di Masa Rasulullah .................................................45 2. Bai’at Pada Masa Khulafaur Rasyidin ...............................53 a. Pembai’atan Abu Bakar as-Shidiq .........................54 b. Pembai’atan Umar Bin Khatab ..............................59 c. Pembai’atan Ustman Bin Affan .............................61 d. Pembai’atan Ali Bin Abi Thalib ............................62 C. Ayat-ayat Yang Terkait Tentang Bai’at .................................64
BAB IV
ANALISA AYAT 18 SURAT AL-FATH A. Pemaknaan Ayat 18 Surat al-Fath menurut LDII ...................69 B. Pendapat Para Ulama Tentang Bai’at .....................................72
ix
C. Analisa Terhadap Pemaknaan Bai’at Menurut LDII .............74 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................84 B. Saran-saran .............................................................................86
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................90 LAMPIRAN
x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tidak dapat diragukan lagi bahwa bai‟at merupakan salah satu aktivitas politik yang paling menonjol. Bai‟at identik dengan sebuah “perjanjian” dan sebagaimana layaknya semua ragam perjanjian. Bai‟at itu sendiri melibatkan dua kelompok, disatu sisi pihak pemimpin dan masyarakat, disisi lain, tidak hanya ulama yang berperan penting dalam proses konsultasi sebelum ba‟ait terwujud, tetapi semua pihak yang bersangkutan, berbakat, berpengaruh dan mempunyai kekuasaan juga turut terlibat dalam proses itu.1 Bai‟at merupakan perjanjian antara manusia yang melibatkan tiga unsur, yaitu: pemimpin, orang-orang yang berbai‟at atau umat, dan apa yang dinyatakan dalam bai‟at, yaitu syariat. Tanggung jawab umat tidak terhenti pada pelaksanaan bai‟at, tapi terus berlanjut dengan tugas yang diemban dalam menjaga agama, melanggar batas serta menurunkannya dari jabatan jika diperlukan.2 Umat Islam di masa-masa sebelumnya hingga masa sekarang sangat memerlukan teladan yang baik dalam usaha menghadapi tantangan zaman yang seringkali menawarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan akidah agamanya, serta membutuhkan contoh akhlak mulia yang telah diajarkan dan diperaktekkan 1
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiya Tentang Pemerintahan Islam. Terj dari judul aslinya The Islamic Theory of Goverment According to Ibn Taymiyyah (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), h.95 2 Asma‟ Muhammad Ziyadah, Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam. Terj dari judul aslinnya, Daurul Mar’ah ash-Siyasi fi Ahdi an-Nbi wa al- Khulafa ar-Rasyidin (Jakarta: Pustaka al-kautsar, 2001), h. 70
1
2
oleh Rasulullah SAW dan kemudian dikuti oleh para ulama dan pemimpin umat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Suatu organisasi pemerintahan yang ditegakkan disebuah negeri untuk mengatur masalah-masalah masyarakat tidaklah berjalan secara otomatis. Selama tidak ada individu-individu yang mampu bekerja untuk mengelolahnya, organisasi tersebut tidak akan bisa hidup, dan masyarakat tidak akan menikmati buah pemerintahan yang baik. Posisi kepemimpinan dalam masalah keagamaan dan kemasyarakatan dalam masyarakat Islam yang dikenal sebagai Imâmah. atau khilãfah.3Seperti yang dikatakan oleh As-Syarastani, perselisihan umat Islam yang terbesar adalah perselisihan menyangkut Imâmah.4 Seiring perjalanan sejarah keberagamaan, perbedaan pemahaman dalam teologi seringkali melahirkan berbagai macam bentuk benturan dan konflik internal. Aqidah atau kenyakinan terhadap doktrin-doktrin agama yang dianut memang sudah menjadi suatu hal yang paling “sakral”, bahkan bisa lebih sakral dari agama itu sendiri. Ketika sebuah keyakinan itu diusik atau bahkan hanya karena ada kelompok lain yang berbeda pandangan dan pemahaman dengan kita, maka ego lantas muncul. Ironis memang, sebuah perbedaan selalu diselesaikan dengan kekerasan, entah itu kekerasan dalam bentuk wacana atau stuktural, bahkan fisik. Seolah-olah itu telah mendarah daging dalam tubuh masyarakat 3
Alamah Sayyid Muhammad Husain Tabataba‟i, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah (Pntj) Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Hidayah,1992),Cet. Ke-1,h.116 4 Ali as-Salas, Imâmah dan Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), Cet.ke-1, h. 16
3
Islam pada umumnya. Padahal ada satu sisi yang tidak bisa kita lupakan, bahwa kita lahir di lingkungan dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang plural. Belakangan ini, umat Islam Indonesia disibukkan dengan fenomena merebaknya aliran sesat, baik yang berkembang dalam batas-batas geografis Indonesia maupun pada tingkat global. Fenomena ini menguras banyak energi dan pikiran umat Islam, padahal sebenarnya energi itu sangat diperlukan untuk menghadapi banyak masalah ; mulai dari bencana, kisruh politik, wabah penyakit, pengembangan mutu pendidikan generasi Muslim, dan masalah-masalah lain yang sangat kompleks. Keterjebakan umat Islam dalam konflik internal menyebabkan yang seharusnya dioptimalkan demi pengembangan umat, justru hampir terkuras habis, dalam banyak kesempatan, umat Islam dalam hal ini ormas-ormasnya tidak sempat merealisasikan rencana strategis organisasi yang telah dirumuskan dalam berbagai perhelatan besar seperti kongres, muktamar, munas, atau yang sejenisnya. Umat Islam seakan “jalan di tempat” pada saat umat lain telah meraih capaian-capaian yang tinggi di bidang sosial, kesehatan, politik, teknologi, dan peradaban. Salah satu respon radikal terhadap kelompok-kelompok yang dituduh aliran sesat adalah politik generalisasi yang cenderung dilakukan oleh sebagian umat pada tingkat massa (grass roots) tanpa melalui proses tabayyun (klarifikasi) terhadapnya. Salah satunya adalah terhadap Lembaga Dakwah Islam Indonesia
4
(LDII), sepanjang pengamatan kami, buku-buku yang membahas LDII hanya mengulas sisi negatifnya saja. Sementara sisi positifnya, nyaris tak tersentuh. Seharusnya, masyarakat diberikan informasi yang lengkap dan seimbang, agar mereka lebih bersifat objektif, sehingga tidak terjebak
dalam mengkonsumsi
informasi yang tidak berimbang. Sikap tersebut akan memunculkan respon yang salah, seperti tindakan anarkhis terhadap LDII yang sedang dalam tahap tabayyun. Dalam menyikapi proses tabayyun ini, masyarakat terutama tokoh-tokohnya semestinya mampu mengambil posisi yang tepat, sehingga tidak menjadi bagian yang justru semakin memperparah keadaan.5 Polemik ini harus segera disikapi dengan bijaksana, baik oleh pemimpin umat dan maupun oleh umat itu sendiri. Terlepas dari kontroversi yang terjadi, timbul pertanyaan kenapa LDII selalu mengalami tindak kekerasan secara wacana. Sehingga muncul pertanyaan, apakah benar LDII mempunyai doktrin-doktrin atau ajaran agama yang berbeda dan pemahaman yang berbeda dengan umat Islam pada umumnya? Sehingga mereka sering terpojokkan. Hal tersebut telah mendorong penulis untuk melakukan pengkajian dan penelusuran secara mendalam tentang permasalahan yang diperdebatkan. Secara umum penulis ingin membahas doktrin-doktrin keagamaan LDII, dan secara khusus penulis ingin mengungkapkan seperti apa dan Bai‟at dalam LDII yang sebenarnya, dan bagaimana LDII mentafsirkan ayat 18 surat al-Fath. karena memang masalah Bai‟at banyak diperbicangkan khalayak ramai. Terutama isu
5
Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII ( Jakarta: Pusat Studi Islam Madani Institute, 2008), h.iii-iv.
5
minor yang dialamatkan kepada LDII yang terletak pada otoritas mutlak yang melekat pada imam yang dibai‟atnya. Sistem Imâmah LDII tersebut, membuat anggota LDII dilarang untuk menerima segala penafsiran yang tidak bersumber dari penafsiran imamnya. Tetapi ketika penulis menemui salah seorang pengurus LDII, LDII berbeda pandangan tentang konsep Imâmah dan Bai‟at dengan apa yang orang katakan diatas. Berkaitan dengan stigma yang dialamatkan kepada LDII, umat Islam masih mendapatkan data yang simpang-siur. Selain itu, LDII masih dalam proses memperoleh klarifikasi secara resmi dari MUI pusat. Dan berkaitan dengan stigma tersebut tidak terlepas dari masalah taqiyah. Taqiyah ini sebenarnya identik dengan konsep Syiah yaitu menyembunyikan sesuatu yang bisa membahayakan diri sendiri, harta bendanya, dan berhati-hati dalam masalah agama, karena adanya larangan-larangan atas kebebasan beragama dan beribadah oleh rezim penguasa yang tiran dan dzalim. Menurut al-Thusi dalm kitab alTibyan, taqiyah adalah: “...menyatakan dengan lisan yang menyalahi hati karena takut kemudharatan diri walaupun yang disembunyikan itu perkara yang benar.”6 Konsep taqiyah ini disinyalir bersumber dari Q.s. Ali „Imran / 3 : 28 dan Q.s. anNahl / 16 : 106.
6
Sebagaimana dikutip dari bahaya paham syiah: satu penjelasan, (Johor Bahru: Bahagian Penyidikan, Jabatan Agama Johor, 2003), hal. 23
6
Artinya; Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali, dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).(Q.S. Ali- Imran: 28)
Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (Q.S. an-Nahl: 106). Pada saat ini klarifikasi tersebut masih dalam proses. Karena permasalahan itulah maka penulis mencoba mengangkat dalam sebuah skripsi, dengan judul: “ BAI‟AT DALAM AL-QUR‟AN “(KAJIAN ATAS PEMAKNAAN LDII TERHADAP AYAT 18 SURAT AL-FATH)”. B. Tinjauan Kepustakaan Pembahasan yang terkait tentang Bai‟at sebagian memang telah dibahas dalam bentuk tulisan-tulisan karena bahasan yang penulis angkat merupakan kajian klasik yang sudah seringkali dibahas. Sebelumnya penulis telah melakukan survey atau pengecekan terhadap judul-judul skripsi yang telah ada di Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan setelah penulis melakukan pengecekan terhadap judul-judul skripsi yang telah ada, penulis setidaknya menemukan dua judul yang membahas tentang Bai‟at. Yang pertama, skripsi dengan judul: Konsep Bai’at dalam al-Qur’an “Studi analisa Surat al-Muntahana ayat: 12”. yang ditulis oleh saudara, Pandapotan mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
7
Jurusan Tafsir Hadis 2002. Yang menurut penulis stressing penulisannya menitik beratkan pada analisa surat al-Muntahana ayat: 12 Yang kedua, skripsi dengan judul: Konsep Imâmah Menurut. Tabataba’i Yang ditulis oleh saudari Rahmah mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat 2005. Yang menurut penulis dalam skripsi ini pula menitik beratkan pada penafsiran Tabataba‟i tentang konsep Imâmah. Terinspirasi dari dua skripsi di atas, penulis tertarik untuk menulis sebuah skripsi yang berjudul: Bai’at Dalam Al-Qur’an (Kajian Atas Pemaknaan LDII Terhadap Ayat 18 Surat al-Fath)” Karena sejauh ini penulis belum menemukan judul yang membahas secara khusus judul tersebut. Oleh karena itu penulis rasa, judul tersebut penting untuk dibahas dan penulis memfokuskan penelitian pada masalah Bai‟at menurut LDII dan juga doktrin-doktrin keagamaan yang diajarkan yang konon banyak dibicarakan khalayak ramai bahwa LDII itu sesat bukan tanpa alasan, karena penulis merasa bahwa penelitian ini sangat penting untuk dibahas guna memenuhi jawaban atas signifikansi sosial yang penulis ajukan di atas, di samping untuk menambah wawasan bagi penulis khususnya. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk menghindari kerancuan dalam pembahasan, maka dalam mengkaji dan menganalisa suatu masalah (baik itu berupa data-data atau yang lainnya), diperlukan adanya pembatasan dan perumusan masalah, agar lebih jelas dan terfokus arah pembahasan yang akan diuraikan nanti.
8
Dari permasalahan yang melatarbelakangi permasalahan ini, maka penulis akan membatasi penelitian sebagai berikut: analisa Bai‟at dalam perspektif LDII terhadap ayat 18 surat Al-Fath. Untuk lebih jelasnya lagi maka penulis merumuskan pokok masalah skripsi ini, bagaimana penafsiran LDII terhadap term Bai‟at sebagaimana yang di fahami dari ayat 18 surat al-Fath? D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian (penulisan) dari skripsi ini antara lain adalah disamping menjawab
atau menyelesaikan
suatu persoalan dalam ilmu
pengetahuan juga guna menambah dan mengembangkan khazanah ke-ilmuan penulis (khususnya) dalam memahami al-Qur‟an. Dan memperkenalkan hakekat Bai‟at yang benar dalam Islam dengan pengertiannya yang benar, dan bagaimana penafsiran LDII terhadap term Bai‟at serta bertujuan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana Theologi Islam (S. Th. I) pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. E. Kegunaan Penelitian Dalam menulis skripsi ini penulis berharap bahwa penelitian ini mempunyai kegunaan: 1. Memberikan sumbangsih bagi kajian Islam terutama di bidang tafsir al-Qur‟an 2. Memberikan
kemanfaaatan,
masyarakat pada umumnya.
khususnya
bagi
penulis
dan
9
3. Berharap
penelitian
ini
mampu
memenuhi
jawaban
atas
signifikansi sosial yang penulis ajukan di atas. F. Metodologi Penelitian Metode penelitian adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan.7 Metode yang digunakan didalam penelitian ini adalah kualitatif. Bagdan dan Taylor (1975: 5) mendefinisikan yaitu cara menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orangorang dan perilaku yang diamati.8 Dalam penelitian kualitatif peneliti terjun langsung untuk melakukan observasi atau wawancara langsung dengan objek yang diteliti (penelitian lapangan). Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif adalah data yang bersifat langsung dan objek penelitian dalam skripsi ini, adalah LDII dan doktrin-doktrin yang merupakan cara pandang hidupnya. 1 Jenis data Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah: a. Data primer, yaitu data-data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Dalam hal ini, sumber utamanya adalah pengurus dan anggota LDII dan buku-buku yang ditulis langsung oleh mereka. b. Data sekunder, yaitu data-data yang memberikan penjelasan mengenai data primer dan menguatkan data primer yang mencakup, buku-buku, dokumen resmi dan hasil penelitian yang berbentuk laporan. 2
Teknik pengumpulan data
7 8
Irawan Soebantono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Rosda Karya, 1996). H.9 Lexy J, Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remadja Karya, 1989)
10
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut: a. Wawancara Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang yang melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari orang lain dengan mengajukan pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu. Teknik ini dilakukan dengan mengacu pada teknik pengumpulan data yang berstuktur yaitu wawancara yang berbentuk pertanyaan yang terfokus pada permasalahan yang ingin diteliti. b. Penelitian kepustakaan Penelitian kepustakaan yaitu sumber data yang dikumpulkan dari buku kepustakaan yang berkaitan dengan objek yang diteliti.9 Dengan cara membaca, memahami,dan menginterpretasikan buku-buku, dokumendokumen yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. c. Analisa data Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang datadatanya
diperoleh
kepustakaan.
melalui
Kemudian
interview data
(wawancara)
yang
dan
terkumpul
studi diolah,
disistematisasikan, dianalisis dan disajikan secara deskriptif. Adapun penulisan skripsi ini menggunakan pedoman penulisan pada buku “Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin Dan filsafat” yang
9
hal.138.
Kailan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, ( Yogyakarta: Paradigma, 2005),
11
disusun oleh tim penyusun UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, tahun 2005. G. Sistematika Penulisan Untuk
memudahkan
penyusunan
skripsi
ini,
penulis
membagi
pembahasannya menjadi beberapa bab, dengan sistematika sebagai berikut: Dalam bab pertama, adalah pendahuluan, dimana akan diuraikan latar belakang masalah, tinjauan kepustakaan, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian serta sistematika penulisan. Bab kedua, penulis akan memaparkan sekilas tentang sejarah berdirinya organisasi LDII, doktrin-doktrin agama LDII dalam paradigma baru, doktrindoktrin yang dianggap masyarakat luas doktin-doktrin tersebut sesat atau pada masa paradigma lama, dan catatan para ulama tentang LDII. Bab ketiga,dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian Bai‟at menurut bahasa, istilah dan syar‟i, sejarah Bai‟at pada masa Rasulullah serta ayatayat yang terkait dengan konsep Bai‟at. Bab keempat, pada bab ini penulis menjelaskan tentang pemaknaan LDII terhadap ayat 18 surat Al-Fath dan pendapat ulama tentang Bai‟at serta analisa terhadap pemaknaan Bai‟at menurut LDII. Bab kelima, merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan dan saransaran yang disertai dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
BAB II SEJARAH SINGKAT LDII DAN DOKTRIN-DOKTRIN AJARANNYA SERTA CATATAN PARA ULAMA TENTANG LDII
A. Sejarah singkat LDII Sebelum menerangkan sejarah singkat LDII penulis akan menerangkan apakah LDII itu? LDII adalah singkatan dari Lembaga Dakwah Islam Indonesia, merupakan organisasi kemasyarakatan yang resmi dan legal yang mengikuti ketentuan UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, serta pelaksanaannya meliputi PP No. 18 tahun 1986. LDII memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), program kerja dan pengurus mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat desa. LDII sudah tercatat di Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang dan Linmas) Departemen Dalam Negeri. 1 Nama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) selalu dikaitkan dengan Islam Jama’ah yang didirikan oleh Nurhasan Ubaidah Lubis. Pemilik nama kecil Madkhal2 itu, merupakan keturunan asli pribumi Jawa Timur. Ayahnya bernama Abdul Azis bin Thahir bin Irsyad. Madkhal lahir di Desa Bangi, Purwosari, Kediri pada tahun 1915.
1
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Direktori LDII 2003 (Jakarta: LDII, 2003), h.
1 2
Dalam buku-buku yang ditulis oleh pihak luar LDII, nama madkhal sering ditulis dengan ejaan Madekal atau Madigol. Tidak jelas kapan ejaan ini digunakan. Barang kalli ini disebabkan karena lidah Jawa yang biasa”keseleo” ketika mengucapkan istilah-istilah Arab. Wallahu a’lam
12
13
Keberadaan LDII selalu dikaitkan dengan nama Islam jama’ah atau Darul Hadits yang didirikan pada tahun 1952, seiring dengan berdirinya pondok pesantren (ponpes) Burengan di Kediri.3 Islam Jama’ah itu sendiri bukanlah gerakan yang memproklamirkan diri, melainkan bahasa pengidentifikasian para pihak.4 Sejak tahun 1963, Ponpes “tempat persemaian kader” tersebut telah diserahkan kepimpinannya kepada Drs. Nurhasyim (alumni IAIN Sunan Kali Jaga, Jogyakarta), dengan tetap menempatkan Ustadz Nurhasan sebagai guru ngajinya. Pada masa pengelolaan pondok inilah, berbagai kekeliruan dalam pengamalan ajaran Islam yang dikenal dengan Islam Jama’ah, didakwah banyak terjadi kesalahan karena itulah, pada tahun 1971 Jaksa Agung Republik Indonesia melarang Islam Jama’ah karena dianggap sebagai aliran sesat.5 Setelah pemilihan umum (pemilu) tahun 1971, Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) didirikan pada tanggal 3 januari 1972 atas arahan pangdam VIII Brawijaya, Mayjen TNI Wijoyo Suyono. Pendirian LEMKARI masih menuai tuduhan sesat, sehubungan salah satu tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk menampung dan mengarahkan para alumni Pondok Burengan atau para pengikut Islam Jama’ah. Merespon tuduhan tersebut, LEMKARI mengeluarkan surat pernyataan No. 165/A-4/VI/1979 tertanggal 20 Juni 1979 yang melarang semua anggotanya untuk mengajarkan ajaran Islam Jama’ah atau Darul Hadits. Terhadap anggota LEMKARI yang masih mengikuti ajaran Islam Jama’ah, Direktorium
3
Penegasan tahun ini disebutkan dalam Riwayat singkat Pondok Burengan Kediri yang ditullis oleh Abdul Rochman selaku pimpinan pondok pada tanggal 2 September 1979. Keterangan resmi ini membantah pernyataan banyak pihak yang menyebut pendiri Islam Jama’ah pada tahun 1951. 4 Wawancara pribadi dengan Aceng karimullah, Jakarta, tanggal 19 Pebruari 2010. 5 Sk Jaksa Agung RI No. Kep-089/D.A/10/1971 tanggal 29 oktober 1971.
14
pusat LEMKARI pada tanggal 9 September 1979 menyatakan akan memecatnya atau menganggap si pelanggar sebagai oknum. Pada awalnya nama LEMKARI hanyalah lembaga yang menampung eks pengikut Islam Jama’ah di Jawa Timur. Di daerah-daerah lain, lembaga yang menampung eks pengikut Islam Jama’ah mempunyai nama yang berbeda. Di Jawa Tengah lembaga penampung eks pengikut Islam Jama’ah dikenal dengan Yayasan Karyawan Indonesia (YAKARI), di Jawa Barat dikenal dengan Lembaga Karyawan Dakwah Islam (LKDI), sedangkan di Jakarta dikenal dengan nama Karyawan Dakwah Islam (KADIM). Untuk menyeragamkan nama berbagai lembaga tersebut, atas arahan Amir Murtono selaku Ketua Umum DPP Golkar, maka pada tanggal 9-10 Februari 1975 diadakan Reuni Alumni Pondok Pesantren Burengan Banjaran kediri. Berdasarkan arahan dan petunjuk Amir Murtono dan kesepakatan peserta reuni, dihasilkan satu nama yaitu Lembaga Karyawan Islam yang disingkat sebagai LEMKARI. Pada tahun 1990, atas dasar pidato pengarahan Rudini selaku Menteri Dalam Negeri, dan Sudharmono SH selaku wakil presiden, LEMKARI mengubah namannya menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dikarenakan nama LEMKARI memiliki kesamaan singkatan dengan Lembaga Karatedo Indonesia. Atas dasar yang arahan kedua pejabat pemerintah tersebut, dan berbagai masukan yang terjadi baik pada sidang-sidang komisi, maupun sidang Paripurna dalam Musyawarah Besar (MUBES) IV LEMKARI tahun 1990, terjadi perubahan nama secara formal yang ditetapkan dalam keputusan MUBES IV LEMKARI No.VI/MUBES-IV/LEMKARI/1990 pasal 3, yaitu mengubah nama organisasi
15
dari Lembaga Karyawan Dakwah Islam yang disingkat LEMKARI, menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia yang disingkat LDII. Masa setelah ini, alumni Ponpes LDII mengalami perkembangan hingga ke mancanegara. Lantaran jauh di negeri orang, untuk menjaga ukhuwah alumni tersebut membentuk perwakilan di Singapura, Malaysia, Saudi Arabia (Makkah), bahkan di Amerika Serikat, Australia, dan Eropa. Untuk mengukuhkan akseptabilitas publik, LDII mengeluarkan konsep Paradigma Baru pada tahun 2005. Dalam Musyawarah Nasional (MUNAS)-nya pada tahun 2005, LDII menegaskan secara mutlak untuk tidak berafiliasi dengan golongan ataupun partai politik manapun. Konsep tersebut pula diterjemahkan sebagai sikap organisasi yang lebih terbuka dengan pihak luar.6 Pengguliran paradigma baru, tonggak perubahan minsed LDII secara formal terjadi pada tahun 2005,7 ketika Munas LDII pada tahun tersebut berhasil mengeluarkan konsep paradigma baru. Konsep tersebut merupakan political will LDII dalam merespon stigmatisasi yang menggiring LDII dalam dakwaan sebagai aliran sesat. Menurut Aceng Karimullah, sebagai ketua departemen pendidikan agama dan dakwah LDII, lahirrnya paradigma baru bermula pada masa kepemimpinan pertama Prof. DR. Ir. KH Abdullah Syam, MSc. Pada tahun 19982005. Kemudian pada Munas VI LDII 2005, konsep ini diperkuat kembali ketika Abdullah Syam terpilih kembali sebagai ketua Umum LDII untuk yang kedua kalinya. Pada Munas VI LDII 2005 ini pula LDII menegaskan sikap politiknya
6
Wawancara pribadi dengan Aceng karimullah. Menurut keterangan pengurus LDII, pada tahun 1986, LDII sebagai ormas tidak berafiliasi pada partai politik apapun (netral). Lalu netralitas ini dipertegas lagi pada Munas VII LDII 2005. 7
16
yang sebelumnya berafiliasi ke Golkar menjadi menerapkan prinsip netral. Tidak berafiliasinya LDII ke golongan dan partai politik mana pun membuat warga LDII leluasa menyalurkan aspirasi politik sesuai dengan hati nurani masing-masing. Aceng Karimullah mengakui, kelahiran paradigma baru juga dilatarbelakangi oleh suasana kerukunan hidup bermasyarakat dan beragama yang semakin dinamis dan bebas, selain juga dilatarbelakangi oleh kebebasan mengiringi Reformasi. Salah satu persoalan yang dituduhkan kepada LDII adalah sikap eklusifitasnya. Sikap tersebut menurut Aceng Karimullah disebabkan oleh paradigma lama yang menerapkan prinsip “tangan kanan shodaqoh, tangan kiri tidak mengetahui “ yang telah membuat berbagai kegiatan LDII terkesan tertutup dan hanya untuk kalangan sendiri. Tetapi dengan paradigma baru yang menerapkan prinsip “waamma bini’mati robbika fahaddits” 8maka kegiatan yang dilakukan oleh warga LDII menjadi lebih terbuka. Juga berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an: “ Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali.” (QS. Al-Baqarah [2]: 271) Tuduhan sebagian kelompok kepada LDII yang terjadi sejak pendirian LEMKARI bukanlah sesuatu yang dinafikan keberadaannya. Hal ini mendorong LDII untuk mengembangkan respon yang berangkat dari prinsip9 :
8
“Terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-menyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Adh-Dhuha [93]: 11) 9 “ Tolaklah (balaslah) perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. “(QS. AlMukminun [23]: 96)
17
Prinsip tersebut membuat LDII cenderung defensif kedalam tanpa berusaha mencari penjelasan dari pihak yang menuduhnya, untuk menghindari polemik. Termasuk dalam hal ini terhadap berbagai buku yang disebarkan ke masyarakat umum yang isinya menyebarkan dakwaan-dakwaan negatif terhadap LDII, sikap resmi LDII sementara ini masih menghindari polemik. Namun demikian sebagai organisasi yang harus legal, LDII merupakan suatu lembaga yang memiliki badan Hukum.10 Dalam paradigma baru, klarifikasi LDII dikembangkan lagi dengan prinsip tabayyun, yang membuat LDII lebih terbuka pada saat diperlukan. Prinsip LDII lebih aktif dalam mengekspos berbagai kegiatan ibadah sosialnya dibandingkan sebelumnya. Misalnya, LDII telah peduli untuk membantu korban bencana alam seperti bencana tsunami di Aceh, gempa bumi di Bengkulu, Yogyakarta, Klaten, bencana banjir dan longsor di Surakarta, serta banjir di Lamongan. Contoh lain adalah ibadah qurban. Pada tahun 2006 digelar secara terbuka dalam kegiatan “Tebar Qurban LDII Jakarta” yang disaksikan oleh sekretaris MUI provinsi DKI Jakarta. Begitu pula dengan kegiatan yang sama pada tahun 2007 yang disaksikan oleh Ketua Umum MUI provinsi DKI Jakarta. Paradigma baru juga ditafsirkan melalui cara bersikap LDII dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok Islam lain tentang “sofware” (perangkat
10
Sejak tanggal 20 pebruari 2008, sesuai dengan keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, No. AHU-18.AH.01.06.Tahun 2008-LDII secara resmi diakui sebagai Badan Hukum
18
lunak) organisasi LDII. Sekarang, prinsip tersebut dikembangkan lagi secara lebih proaktif dengan saling mengunjungi untuk bersilaturrahmi antara LDII dengan tokoh masyarakat dan para ulama serta organisasi sosial kemasyarakatan lain. Misalnya, menerima silahturrahmi dari MUI, MPU Aceh, Majelis Ugama Islam Singapore (MUIS), NU, Muhammadiyyah, dan lain-lain untuk menyaksikan berbagai kegiatan LDII. B. Doktrin-Doktrin Agama LDII Dari hasil peninjauan yang penulis lakukan penulis dapatkan pada Anggaran Dasar Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) bab VI tentang paradigma dakwah ayat 1 yang berbunyi “Lembaga Dakwah Islam Indonesia memiliki paradigma dalam melaksanakan dakwahnya yang merupakan cara pandang tentang diri dan lingkungan dalam kerangka pelaksanaan dakwah dalam rangka mencapai tujuan nasional”11 dari Anggaran dasar ini ada beberapa doktrin agama yang terdapat pada Lembaga Dakwah Islam Indonesia diantaranya sebagai berikut: 1. Doktrin Manqul Secara akademik tentang metode manqul mengundang pengujian dalam dua hal. Pertama, boleh-tidaknya metode manqul diterapkan dalam pengajaran suatu ilmu. Kedua, benar-tidaknya penerapan sistem manqul dilingkungan internal LDII.
11
Lembaga Dakwah Islam Indonesia(LDII),Himpunan Keputusan Munas VI LDII (Jakarta : LDII,2005), h. 64
19
Terhadap pengujian yang pertama, KH Alie Yafie dan KH Said Agil Siradj membenarkan adanya penggunaan metode ini. Meski, menurut KH Alie Yafie, lebih banyak digunakan dalam ilmu tasawuf Manqul berasal dari kata naqala (Bahasa Arab), yang artinya adalah ”pindah.” Manqul artinya belajar secara langsung. Metode ini dikenal dalam pembelajaran ilmu hadîts, yang menuntut perpindahan kalimat hadîts yang sempurna dari satu perawi ke perawi lain. Ilmu yang manqul adalah ilmu yang dipindahkan dari guru kepada muridnya. Dalam pelajaran ilmu tafsir, dikenal istilah tafsir bi al-ma tsur yang berarti menafsir suatu ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an yang lainnya, para sahabat dan tabi’in.12 Dalam ilmu hadîts , manqul berarti belajar hadîts dari guru yang mempunyai isnad sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
12
Tafsir bi al-ma tsur adalah tafsir yang didasarkan pada riwayat manqul dengan urutanurutan yang telah disebutkan dimuka dalam syarat-syarat mufasir yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan as-sunnah karena fungsinya sebagai penjelas bagi ayat-ayat al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat yang diriwayat dari para sahabat karena mereka adalah generasi yang paling memahami kitabullah, atau menafsirkan dengan pendapat kibar at-tabi’in karena pada umumnya mereka mendapatkan ilmunya langsung dari para sahabat. Untuk keterangan lebih lanjut, lihat manna’ al-Qathan, mabahits fi ulum al-Qur’an (Riyadh: maktabah al-Ma’arif, 1981), cet. Ke-8, hal.347 tentang fafsir bi al- ma’tsur; dan hal. 329-332 tentang syarat dan adab yang harus dimiliki seorang mufassir. Dalam defenisi di atas, al-Qhatan menyatakan bahwa tafsir bi al-ma’tsur harus didasarkan pada riwayat yang manqul ( yang pindah, dikutip langsung) dari Rasulullah SAW, sahabat, atau tabi’in. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir sebagaimana disebutkan al-Qhatan adalah (1)memiliki aqidah yang shahi, (2) bersih dari hawa nafsu, sehingga pendapat-pendapatnya tidak digunakan untuk membela kelompoknya secara membabi buta, meski kelompoknya memiliki kesalahan dan kekurangan (3) memulai menafsirkan al-Qu’an dengan al-Qur’an, kemudian dengan sunnah, kemudian dengan pendapat para sahabat, kemudian dengan pendapat kibarattabi’in. Tahap-tahap ini tidak boleh dilewatkan oleh mufassir, (4) menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengannya, (5) memiliki pengetahuan yang baik tentang dasar-dasar ilmu yang berkaitan dengan al-qur’an, (6) memiliki pemahaman yang mendalam dan komprehensif. Yang dimaksud manqul dalam konteks ini adalah bahwa menafsirkan al-Qur’an itu harus didasarkan pada riwayat yang dimanqulkan (dipindahkan) dari rasulullah SAW. Riwayat yang dimanqulkan dari rasulullah ini kemudian disampaikan oleh para sahabat kepada para muridnya (tabi’in), dan seterusnya; dari guru kemuridnya. Namun demikian, manqul tidak bisa dipahami secara sempit, dimana seorang murid hanya mau menerima ilmu dari guru-guru yang sekelompok dengan mangabaikan ilmu dari guru-guru lain di luar kelompoknya. Para Imam
20
Terhadap peraktek metode manqul ini, Syafi’i Mufid menyatakan bahwa ”...praktek manqul sebetulnya sudah ada dalam tradisi ulama-ulama Nusantara, meskipun terminologi ini tidak pernah disebut demikian. Dengan bahasa sederhana Syafi’i mencontohkan, “Saya pernah ngaji kepada seorang guru. Saya membaca kitab Ihya’ Ulumiddin. Setelah tamat membaca Ihya’. Nah, saya bisa membaca kitab Ihya’ seperti begini dari guru saya. Guru saya itu mendapatkan kemampuannya itu dari gurunya. Itulah namanya silsilah. Manqul kalau dipahami sebagai silsilah kayak begitu maka itu adalah hal yang biasa dan wajar. Persoalan muncul jika metode manqul menyebabkan seseorang menganggap hadîts yang diajarkan oleh gurunya itu sajalah yang benar, sementara hadîts yang lain dianggap salah. Padahal jumlah hadîts itu kan ratusan ribu. Nah, bagaimana dia bisa mengatakan hanya gurunya sajalah yang sah meriwayatkan hadîts ini Kan, lagi-lagi ini namanya ekslusif dan disitu letak kekeliruannya...” Pengujian yang kedua berkenaan dengan kebenaran penerapan metode ini di LDII. Secara formal, LDII melalui “Direktorinya”-nya membenarkan adanya praktek metode ini, meski tidak seperti yang dituduhkan oleh banyak pihak. Hal itu dipertegas oleh Aceng Karimullah, beliau mengatakan “bahwa kesan ekslusif dalam
“berguru”
ketika
mengaji,
lebih
karena
persoalan
aksesibilitas
(kemampuan warga LDII untuk menjangkau guru-guru yang dapat mengajarkan kepadanya). Menurutnya, warga LDII yang akan mengaji kepada guru lain harus berpikir, karena sungkan atau karena sebab lain. Bebeda jika mereka mengaji
mazhab besar tidak membatasi sumber ilmu dari suatu mazhab tertentu, bahkan, misalnya, Imam Syafi’i (pendiri Mazhab Syafi’i) berguru pada Imam Malik yang merupakan pendiri Mazhab Maliki.
21
kepada ustadz dari LDII, hal ini bisa dilakukan dengan mudah, tanpa memikirkan ongkos yang harus dikeluarkan. Hal ini sangat mepermudah bagi jama’ahnya.13 LDII juga menyusun himpunan hadîts yang ditulis lengkap dengan sanadsanadnya.14 Hal itu dilakukan warga LDII karena warga LDII belum semuanya mampu memiliki kitab hadîts lengkap seperti kutubus sittah (kitab-kitab hadîts riwayat Bukhori, Muslim, Abu Daud, Thirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah). Kurang intensnya pengajaran ilmu alat (Bahasa Arab) dilingkungan Pesantren LDII, memungkinkan pelaksanaan metode manqul berjalan dengan efektif, jika memang ada politic will dari pihak LDII untuk menerapkan metode tersebut. Terkecuali apabila memang kran keterbukaan mengakses ilmu dari luar juga dikembangkan. Sistem manqul juga diterapkan di Pesantren-pesantren lain seperti NU dan mereka juga diberikan ijazah, namun kesan “menganggap pendapat guru paling benar” jarang atau tidak mencuat di lapangan. Sistem manqul sebenarnya memudahkan kalangan awam masyarakat umum untuk secara praktis memahami isi kitab dengan makna gandul (sebagai contoh: memaknai kitab kuning dalam bahasa yang dipahami pengkajinya). Tetapi ketika sang guru mengatakan bahwa hanya pendapatnya yang paling benar, sedangkan yang lain salah, di situlah muncul persoalan. 13
Wawancara pribadi dengan aceng Karimullah. Dalam definisinya tentang hadîts shahih, Mahmud Thahhan menulis: sebuah hadîts dikatakan sahih apabila memenuhi syarat sebagai berikut: (1) ittishal sanad, yaitu para perawinya menukil hadîts secara langsung dari rawi di atasnya, dari awal hingga akhir sanad, (2) adalah arruwat (rawi yang adil), yaitu setiap rawi yang terrlibat dalam periwayatan hadîts haruslah seorang muslim yang baligh, berakal, tidak fasik, dan tidak melanggar muru’ah, (3) dhabt ar-ruwah, yaitu setiap rawi harus dhabit (teliti), baik dalam hafalan maupun tulisan, (4) hadîts tidak syadz, artinya tidak bertentangan dengan riwayat lain yang lebih tsiqoh atau lebih kuat, (5) tidak adanya illah , yaitu hal-hal kecil yang tersembunyi yang “mencederai” kesahihan hadîts. Lihat Mahmud Thahhan, taisir Mustalah al- hadîts,(Surabaya: syarikah Bengkulu Indah,t.th), cet.ke-1, hal.34-35; lihat juga Muhammad Ajjaj al-khatib, ushul al- hadîts : Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989/ 1409) hal. 304-305, dan kitab-kitab lain yang sejenisnya. 14
22
2.
Frasa ” Amal Shaleh ” Pengalaman yang menggoda warga non- LDII pada saat berinteraksi dengan
kader LDII adalah frasa “amal shaleh”. Dalam bahasa percakapan, kita akan mendengarnya dalam contoh sebagai berikut: “Amal shaleh, dampingi si fulan ke bandara,” atau “Amal shaleh”, jemput si fulan yang mau menemui pak Aceng di Jakarta,” penggunaan Frasa “amal shaleh” seakan telah menjadi frasa atau identitas yang digunakan oleh para kader LDII. Dan siapaun yang pernah merasakan tentang bagaimana frasa “amal shaleh” menjadi suatu identitas dalam interaksi yang unik di tubuh organisasi LDII. Tidak diketahui pasti, kapan frasa “amal shaleh” itu mulai dipergunakan, apakah setelah menjadi LDII atau malah sejak sejak gerakan ini bernama LEMKARI. Dalam prakteknya, penggunaan frasa “amal shaleh” sudah hampir merata di seluruh ranah organisasi LDII atau oleh alumni Ponpes LDII, baik di Indonesia maupun di beberapa negara di Asia Tenggara lainnya. Frasa “amal shaleh” bukanlah suatu yang harus dipersoalkan, karena dari segi subtansi, frasa” amal shaleh” sama sekali tidak melanggar pakem-pakem ajaran Islam yang lazim. Malah dalam beberapa hal, frasa “amal shaleh” mencerminkan implementasi dari nilai-nilai Islam yang luhur. Frasa “amal shaleh” inilah yang membuat LDII masuk dalam kategori sebagai ormas Islam yang ihsan dari sisi pengamalan ajaran Islam pada tataran organisatoris, yang relatif membedakannya dengan ormas-ormas Islam lainnya. Frasa “amal shaleh” dalam LDII telah menjadi fenomena baru, yang menambah khasanah terminmolog keshalehan, yaitu keshalehan organisasional, selain keshalehan individual dan keshalehan
23
sosial. Menurut Aceng Karimullah di LDII tidak dikenal kata “pembantu” seperti dalam masyarakat umumnya. Mereka memanggil pembantu dengan sebutan “tenaga amal shaleh” atau “tenaga amal shalehan” sebuah terminolog yang menurut mereka, dimaksudkan untuk menghormati penyandang profesi ini.
3.
Ibadah Ghairu Mahdha LDII Salah satu kesan yang tidak bisa dinafikan atau diabaikan oleh para ulama
terhadap LDII adalah soal ibadah ghoiru mahdhanya.15 Kesan ini menjadi menarik, karena pada saat yang sama, LDII masih didera isu eksklusifitasnya. Bagaimana sebenarnya kegiatan warga LDII, pihak eksternal LDII secara terbatas hanya dapat melihatnya di Majalah Nuansa yang menjadi “corong” LDII. Majalah ini secara rutin memuat rubrik “Lintas Persada” yang menampilkan profil kegiatan warga LDII di tengah-tengah masyarakat sekaligus menayangkan foto kegiatannya. Dari sampling kegiatan yang diambil sejak pebruari 2007 hingga Pebruari 2008, terdapat 507 kegiatan LDII di seluruh Indonesia termasuk di luar negeri yang terpublikasikan di majalah Nuansa pada periode tersebut. Secara tematik, kegiata LDII pada dua tahun tersebut dapat dilihat dalam lampiran tabel khusus tentang kegiatan Inklusif LDII, (lihat lampiran dalam skripsi ini).
15
Ibadah ghairu mahdhoh disebut juga sebagai ibadah umum, yaitu semua perbuatan yang oleh al-Qur’an dan atau hadîts dikategorikan sebagai perbuatan baik. Perbuatan baik tersebut akan bernilai ibadah kalau dikerjakan dengan niat lillahi ta’ala. Ibadah ini lebih bersifat sosial dalam rangka membina hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Contohnya antara lain adalah: mencari ilmu (sekolah), mencari nafkah, berperilaku sopan, tidak merusak lingkungan, dan justru melestarikan lingkungan. Sebaliknya, ibadah mahdhoh disebut juga ibadah khusus, yaitu ibadah yang ketentuan pelaksanaanya secara rinci diterangkan dalam al-Qur’an dan hadîts . ibadah lebih bersifat ritual dalam rangka membina hubungan manusia sebagai makhluq dengan Allah sebagai al-Kholiq. Contonya antara lain: shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji.
24
Berbagai
kegiatan
LDII
yang
terekam
dalam
majalah
tersebut
menegasikan LDII sebagai sebuah organisasi yang ekslusif dan menegaskan bahwa LDII telah melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya inklusif. Tetapi mengapa label ekslusif masih tetap menempel hingga sampai sekarang? Karena mengingat belum tentu semua kegiatan LDII terpublikasikan dalam rubrik Nuansa Persada, gambaran berikut dapat saja merupakan gambaran minimal kegiatan inklusif LDII. Bardasarkan mayoritas kegiatan yang direpresentasikan dalam rubrik “Lintas Persada” yang diasumsikan sebagai sampel terkini. Ternyata kegiatan LDII masih didominasi oleh kegiatan-kegiatan yang sifatnya hubungan vertikal, baik baik dengan pemerintah dan aparat (Hankam 194 kegiatan [34%]) maupun dengan MUI (124 kegiatan [22%]). Urutan berikutnya adalah kegiatan, internal LDII (118 kegiatan [21%]). Sedangkan hubungan LDII dengan ormas Islam lain (35 kegiatan [6%]) dan dengan tokoh masyarakat (Tomas; 12 kegiatan [2%]), masih relatif sedikit. Bakti
sosial (Baksos) sebagaimana tercantum dalam
mukadimah AD-ART LDII sebagai ibadah ghairu mahdhoh (ibadah sosial), memperoleh porsi 14% (81 kegiatan). Angka presentase tersebut dapat menjadi salah satu ukuran untuk menjelaskan masih perlunya meningkatkan hubungan horizontal warga LDII dan pada saat yang sama hubungan vertikal yang sudah baik perlu dipertahankan.16 Namun demikian, belum semua kegiatan LDII terpublikasikan di rubrik “Lintas Persada” sejumlah kegiatan inklusif LDII yang
16
Walaupun MUI terdiri atas berbagai ormas Islam, tetapi dalam konteks ini penulis masih menganggap MUI masih sebagai pemegang otoritas yang mengeluarkan fatwa. Dengan demikian hubungan LDII-MUI masih dikategorikan hubungan “vertikal”. Tidak karena LDII dengan MUI kemudian LDII otomatis akan dekat dengan ormas-ormas konstituen MUI.
25
tidak direpresentasikan dalam majalah Nuansa Persada juga telah disosialisasikan melalui media website LDII (www.ldii-online.com dan www.ldii.or.id). Adapun doktrin-doktrin atau paradigma lama yang dianut oleh LDII antara lain: a. Doktrin Manqul Bahwa dalam sistem manqul ini, mengharuskan warga LDII untuk menerima transfer ilmu hanya dari kalangan internal LDII17. b. Doktrin Imâmah dan Bai'at Bahwa dalam doktrin nurhasan (tokoh yang di anggap sebagai pemimpin spiritual islam jama'ah) menganggap imam dalam konsep imamah adalah pemimpin spiritual, dan keberadaannya untuk mensahkan islam atau keislaman seseorang. Sitem imamah LDII tersebut membuat semua anggota LDII dilarang untuk menerima segala penafsiran yang tidak bersumber dari penafsiran imamnya. Sedangkan doktrin bai'atnya sebagai beriku: bai'at merupakan janji setia dari kader LDII kepada imam, dalam hal ini Nurhasan; keabsahan bai'at ditentukan oleh ketaatan kader pada imamnya18. c. Mengkafirkan dan Menajiskan Kelompok Lain Doktrin ini adalah sikap sebagian kader LDII yang mudah mengkafirkan dan menajiskan kelompok lain. Hal ini berkaitan 17
Muhamad Amin Jamaludin, Kupas Tuntas Kesesatan Dan Kebohongan LDII Jawaban Atas Buku Direktori LDII, (Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), 2007), h. 25 18 Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII ( Jakarta: Pusat Studi Islam Madani Institute, 2008), h. 21.
26
dengan kedudukan golongan lain yang berada diluar garis keamiran LDII sehingga tidak berbai'at kepada imamnya. Sedangkan yang berkaitan dengan menajiskan orang lain, dimana kader LDII setiap kali bersalaman harus membersihkan tangannya dan tidak bersedia bermakmum kepada golongan lain dan mengelap (ngepel) masjid yang sudah digunakan oleh pihak lain.19 C. Catatan Para Ulama Tentang LDII Berikut ini, penulis akan memaparkan beberapa catatan khusus dari para ulama tentang LDII, diantaranya sebagai berikut: 1. KH Ma’ruf Amien (Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia) Kita bisa mentolelir perbedaan, tetapi tidak bisa mentolelir penyimpangan. Penyimpangan ini harus diamputasi. Kita memberikan kesempatan kepada orang yang menyimpang itu untuk rujuk ilal haq. Kita mengeluarkan fatwa tentang sesatnya suatu kelompok jika kita telah melakukan investigasi secara mendalam terhadap kelompok itu. LDII adalah suatu lembaga yang fatwa terhadapnya terikat dengan Islam Jama’ah, karena ada prinsip-prisip Islam Jama’ah yang dianggap menyimpang. Adapun fatwa MUI khusus tentang LDII tidak ada, namun jika ia menggunakan ajaran-ajaran Islam jama’ah yang prisip-prinsipnya menyimpang itu, maka ia terkait juga dengan fatwa tentang kesesatan Islam Jama’ah. Memang ada satu keputusan Munas MUI ada yang menyinggung 19
Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h. 26.
27
nama. Dalam suatu rekomendasi dinyatakan bahwa “Aliran sesat itu seperti Ahmadiyyah, LDII....” Kalimatnya berbunyi seperti itu. Kenapa LDII dijadikan bagian yang sesat? Karena LDII dianggap sebagai penjelmaan Islam Jama’ah. Sesudah itu, LDII berusaha meninggalkan hal-hal yang menyebabkan kesesatannya itu. Mereka meminta audiensi ke MUI Pusat untuk mensosialisasikan apa yang disebutnya sebagai paradigma baru. Paradigma baru ini menegaskan bahwa LDII tidak menggunakan ajaran Islam Jama'ah sebagai satu landasan, meski dalam beberapa ajaran ada yang sama, yang berkaitan dengan amaliah, bukan I’tiqadiyah. Mereka meninggalkan ajaran Islam Jama'ah seperti menganggap najis kelompok lain. Mereka tidak lagi mencuci bekas tempat shalat orang lain, tidak mengkafirkan kelompok lain. Bahkan, mereka bersumpah di hadapan MUI Pusat bahwa, itu bukanlah taqiyah. Sesudah itu mereka membuat pernyataan tertulis untuk menegaskan perubahan itu. Dalam memandang LDII, MUI Pusat terbagi dalam dua pendapat, Pertama, kita menerima, kemudian kita lakukan penyesuaian ke daerah. Klarifikasi secara nasional diberikan, sedangkan klarifikasi di daerah diberikan secara parsial. Kedua, ada juga kelompok yang sangat mencurigai LDII, dan meminta klarifikasi dilakukan dari tingkat bawah (bottom up), baru klarifikasi nasional. Dengan demikian, ar-ruju’ ilal haq dilakukan secara qaulan wa fi Ian (dalam ucapan dan tindakan), bukan hanya statemen.
28
Ketika LDII dianggap melakukan ar-ruju’ ilal haq, LDII dianggap sebagai entitas yang pernah melakukan penyimpangan, karena LDII dikaitkan dengan Islam Jama'ah. Dalam perjalanannya, LDII memiliki keinginan untuk kembali kepada kebenaran. Namun, ada kelompok-kelompok yang sangat keras, menentang, seolah-olah LDII tidak boleh bertaubat. LDII sekarang dalam tahap verifikasi secara kelembagaan maupun secara grass roots. Saya melihat, secara kelembagaan mereka tidak ada masalah, dari pengurus pusat hingga pengurus daerah memiliki satu kata. Namun di tingkat bawah, kemungkinan masih ada masalah, karena masih ada generasi LDII yang berpegang pada Islam Jama'ah. Namun demikian, kondisi di bawah tidak sepenuhnya bisa kita jadikan indikasi bahwa LDII belum berubah. Kita meminta ketegasan dari pengurus LDII dalam menyikapi kadernya yang masih meneruskan ajaran Islam Jama'ah. Kelompok-kelompok yang tidak patuh harus dinyatakan bukan bagian dari LDII. Sehingga LDII tidak lagi terkontaminasi oleh kelompok-kelompok itu. Saya melihat mereka mempunyai i'tikad baik. Karena itu, saya berpesan kepada ustadz-ustadz kita untuk memandang masalah ini dengan hati yang jernih. MUI 'kan mengajak yang sesat-sesat itu, seperti Ahmadiyah, untuk ruju' ilal haq. LDII adalah organisasi lokal. Lain dengan Ahmadiyah yang merupakan organisasi internasional. Mereka tidak mungkin melepaskan diri dengan pimpinan tertinggi mereka. Dan, karena itu saya nyatakan bahwa pernyataan mereka (Ahmadiyah) itu akal-akalan.
29
LDII boleh saja mengamalkan beberapa ajaran Nurhasan, sepanjang ajaran yang diamalkan itu tidak mengandung kesesatan. Mereka sudah tidak memegang secara penuh ajaran Nurhasan. Mungkin masih ada ajaran yang dipertahankan, tetapi yang sifatnya amaliyah saja. Saya melihat, sudah ada perubahan. Kita harus terus mendorong agar perubahan itu menyentuh sampai ke simpul-simpul paling bawah. Kalau orang mau bertaubat, jangan dilihat masa lalunya, maa madha faata, itu sudah masa lalu. Yang jelas mereka telah berubah. Masa kita mau membongkar Umar bin Khatab masa lalu. Sayyidina Umar masa lalunya kan suka mabuk. Tetapi beliau menjadi sahabat utama Nabi. Kalau anggota di simpul-simpul masih memakai pola lama, itu pasti ada. Sekarang di dalam intern LDII ada pertarungan, antara yang ingin berubah dengan kelompok yang ingin bertahan. Tetapi, kendali organisasi dipegang oleh orang yang ingin berubah secara formal, dari pusat sampai ke wilayah-wilayah. Secara formal, mereka adalah bagian yang sudah berubah. Mereka adalah bagian yang ingin berada di lingkungan MUI. Jadi, menurut saya, kita jangan bertumpu pada simpul-simpul. Simpul-simpul itu harus ki t a bina supaya mereka berubah. Dan pada saatnya LDII harus berani membuat tindakan terhadap jama'ahnya yang tidak mau melakukan perubahan itu. LDII juga harus siap untuk menjaga kemurnian LDII dengan paradigma baru. Pada
30
saatnya, LDII harus berani menindak anggotanya yang bandel, yang masih dalam posisi paradigma lama. 20 2. KH. Ali Yafie 21 (Tokoh Ulama) Saya ingin menyampaikan bahwa memang menarik mengkaji perkembangan Islam di Indonesia. Bagian dari perkembangan tersebut, ki t a harus lihat LDII di situ. Jadi kita tidak boleh (menuding) sembarang, tanpa data dan fakta dari hasil penelitian. Karena saya tidak punya data yang cukup, saya tidak ingin memberikan vonis kepada LDII. Jadi saya anjurkan untuk melakukan penelitian yang mendalam, secara kekerabatan, tidak seperti polisi atau jaksa yang sedang menyelidik, Intinya secara ukuwah Islamiyah. Jadi tahu bagaimana sejarahnya, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya,dan lain sebagainya. Jadi, sebagai ilmuwan, kita tidak boleh ngomong seperti orang awam. Itu harapan saya Saya belum pernah melihat, belum pernah bersentuhan dengan tokoh tokoh LDII. Saya berharap ada kajian yang terbuka tentang LDII, supaya ada ruang untuk tabayyun
20
Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h 73-
78. 80.
21
Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h. 79-
31
3. Prof. Dr. H. Utang Ranuwidjaya22 (Ketua Komisi Pengkajian dan Pengembangan MUI Pusat) konsep paradigma baru LDII sudah bagus kalau dilihat dari paparan yang mereka sampaikan. Hal itu saya kemukakan berdasarkan pemantauan saya di beberapa tempat seperti di Jakarta, Surabaya, Lampung, dan Kediri. Sebenarnya, dengan paradigma baru tersebut, mereka ingin meninggalkan paham-paham yang dulu diwariskan oleh Islam Jama'ah. Bahkan sekarang, justru mereka ingin membersihkan paham-paham Islam Jama’ah tersebut, jika memang masih ada di dalam tubuh gerakan LDII. Paradigma baru LDII adalah suatu cerminan bahwa mereka ingin kembali pangkuan Majelis Ulama Indonesia untuk mendapatkan pembinaa, dan merupakan keinginan bersatu LDII dengan segenap kekuatan Islam Indonesia. Namun demikian, proses sosialisasi paradigma baru LDII yang mereka lakukan baru sampai tingkat PAC, belum sampai ke grass roots. Kalau begitu kenyataannya, sosialisasi tersebut harus terus ditingkatkan dan diupayakan secara cepat dan maksimal. Selama ini, memang kita masih melihat dan mendengar laporan dari para pengurus atau pimpinan Majelis Ulama Indonesia, baik di Provinsi, Kabupaten atau Kota maupun MUI Kecamatan di mana di beberapa tempat masih ada pola-pola lama yang mereka terapkan Tapi pada umumnya, informasi dari MUI Provinsi dan Kabupaten atau Kota menyatakan bahwa sudah bagus pembinaan di internal LDII. Mereka (LDII) juga
22
84.
Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h. 81-
32
sudah membuka komunikasi dengan MUI dan ormas-ormas yang lain, meski di beberapa tempat masih terdapat kekakuan dari pihak LDII sendiri dalam berbaur dan dalam
meninggalkan kesan-kesan
eksklusifnya.
Inilah
sosialisasi
paradigma baru LDII yang sedang dalam proses tersebut. Pengurus LDII, baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten sudah cukup tegas dalam menerapkan paradigma barunya. Bahkan, beberapa kali saya mendengar ucapan dari para pimpinan LDII Provinsi yang mengatakan, "Andaikata masih ada yang menerapkan pola lama dan menjalankan paham paham Islam Jama'ah, maka kepada mereka diminta untuk keluar dari LDII, dan dianggap itu bukan warga LDII. " Jadi, kalau melihat ketegasan semacam itu sih, saya agak optimis bahwa paham-paham tentang Islam Jama'ah secara bertahap akan ditinggalkan oleh organisasi LDII ini. Sebenarnya, ajaran LDII itu perlu pendalaman dan penelitian lebih lanjut, karena di lapangan yang saya temukan hanya di permukaan. Tentunya, jawaban saya tidak begitu valid, karena belum mendalami apa yang terjadi di lapangan. Sebatas yang saya dengar, sebatas apa yang saya lihat, dan kesimpulan dari diskusi-diskusi dengan MUI di Provinsi dan Kabupaten, dimana memang masih ditemukan masalah-masalah implementasi di lapangan terkait dengan paradigma baru LDII. Ini harus terus dipantau sejauh mana mereka jujur, ikhlas, terbuka dan bertanggungjawab untuk melaksanakan paradigma barunya. Apakah itu menyangkut sesuatu yang sangat rahasia, ataupun yang biasa mereka buka itu, mestinya dilakukan pemantauan dan penelitian yang lebih lanjut di lapangan secara mendalam.
33
4. Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj23 (Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) Aliran atau madzhab atau firaq Islamiah itu, sepanjang masa akan tetap ada. Kajian mengenai al-Firaq al-Islamiah (firqah-firqah Islam) dan al-Firaq alKharijah anil Islam (firqah-firqah yang keluar dari Islam) adalah salah satu mata kuliah wajib di Timur Tengah, baik itu di Ummul Qura Makkah maupun di Al-Azhar Kairo. Yang termasuk firqah Islam adalah Mutazilah, Khawarij, Jabariah, Qadariah, Murji'ah, Jahamiah; Syi'ah, Syi’ah Itsna 'Asyariah, Imamiah, dan Zaidiah. Sedangkan firqah yang keluar dari Islam yaitu Syiah Ismailiah, Bahaiyah, Qadianiyah, dan Iain-lain. Kelompok kedua ini dianggap keluar dari Islam karena mereka mengingkari prinsip-prinsip ma’ulima minaddin bidhdharuri (prinsip yang sangat fundamental dalam Islam). Orang atau kelompok yang mengingkari ma'ulima minaddin bidhdharurah24 bisa dikategorikan sesat. Sedangkan kelompok atau orang yang mengingkari ma’ulima minaddin bitta" allum (hasil pemikiran/telaah/ijtihad) tidaklah sesat. Sampai-sampai, golongan Khawarij pun masih dianggap sebagai bagian dari kelompok Islam (firaq Islamiah), padahal mereka telah membunuh Sayidina Ali Karramallahu Wajhah.
23
92
24
Habib setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h. 89-
Hal-hal, prisip-prinsip pokok agama yang sudah final dan pasti, yang tidak boleh dipertentangkan
34
Di dalam Islam terdapat beragam aliran dan golongan. Sebagian besar golongan tersebut tidak bisa dianggap sesat, karena ada dua perbedaan, yaitu perbedaan yang bersifat wacana dan perbedaan yang bersifat aksi/amal, Lha, LDII ini perbedaannya amal. Mereka tidak kita anggap sesat, tetapi mutanaththi’, tanaththu’, orang yang eksklusif, kelompok eksklusif. Namun demikian, LDII masih dalam bagian firqah Islamiah, karena meyakini apa yang disebut ma'ulima minaddin bidhdharurah, meski dalam beberapa hal LDII (menurut beberapa kalangan yang mengamati organisasi ini) berbeda dengan mayoritas ulama dalam menafsirkan ayat tertentu. Perbedaan penafsiran itu sendiri dalam banyak kesempatan dibantah oleh pengurus LDII. Seandainya dugaan para pengamat itu benar, perbedaan itu tidak menyebabkan LDII menyandang label "sesat." Itu tidak sesat, hanya salah atau sempit. Itu tanaththu, mutanatti, hatta Khawarij kita tidak mengatakan sesat. Padahal dia yang membunuh Sayidina Ali, kita tidak mengatakan sesat, tetapi mutasyaddid, mutatharrif. LDII tidak bisa disamakan dengan Ahmadiyah. Ahmadiyah itu sesat karena mengingkari ma’ulima minaddin bidhdharurah, mengakui adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW Saya menanggapi perubahan paradigma LDII secara positif. Paradigma Baru LDII harus disikapi dengan positif. Mereka (LDII) mengakui kesalahan, dalam tanda petik: kesalahan ajarannya atau kesalahan doktrinnya, bukan kesalahan aqidah. Aqidah nggak salah, dari awal nggak salah. Aqidah dia rukun iman yang enam itu. Rukun Islamnya itu sama. Ya seperti pesantren dulu, dimana Bahasa Inggris itu haram. Sekarang, justru
35
membolehkan. NU sendiri, pada Muktamar tahun 30-an Itu mengharamkan pakai dasi atau pakai celana. (Sekarang, tidak). Orang yang menganggap orang lain sesat itu, juga sesat. Man kaffara ahlal kitab (al-Qur'an) fahuwa kafir. Orang yang menganggap sesat orang lain, yang tidak menolak hal-hal prinsip maka ia sesat juga, kecuali yang prinsip tadi. Kita (NU), menghindari bahasa "sesat." Pleno NU di Cisalak Bogor, menyatakan aliran Ahmadiyah adalah aliran yang ditolak oleh mayoritas umat Islam, (tapi) tidak mengatakan sesat, karena sesat itu adalah caci-maki. Kata syatm itu kita hindari. Dalam menyikapi masalah-masalah yang berkaitan dengan perbedaan dalam memahami agama, masyarakat itu tergantung dengan ulama (kyai). Kalau masyarakat NU ya apa kata kyai-nya. Kalau kyainya tambah maju, berkembang, terbuka, maka masyarakatnya akan mengikuti. Oleh karena itu, para ustadz dan dai tidak boleh berhenti belajar, agar wawasan menjadi luas dan siap menerima perbedaan. Asal mereka mau belajar, mereka akan menjadi toleran. Orang kalau mandeg, merasa dirinya pinter, maka ia akan berpandangan sempit. Kalau mau belajar terus, ia akan menjadi toleran, tasamuh. Bukan berarti menghalalkan yang haram, menerima yang sesat, tidak. Tetapi menyikapinya dengan kepala dingin, dengan argumentatif.
36
5. Dr. M. Syafi’i Mufid, MA25 (Peneliti Departemen Agama Republik Indonesia) LDII yang saya ketahui itu kan sebuah organisasi Islam. Yang awalnya dari LEMKARI kemudian menjadi LDII. Nah, sebelumnya ada yang namanya Islam Jama'ah. Sebelum Islam Jama'ah, ada yang namanya Darul Hadits. Jadi, itu proses dimulainya sebuah tafsir terhadap ajaran-ajaran Islam tentang imȃ mah (tentang jama'ah) kemudian implementasinya dalam bentuk gerakan, yang namanya gerakan Islam Jama'ah atau Darul Hadits. Sebetulnya, ajaran inti dari yang kita kenal Islam Jama'ah itu adalah mengenai kejama'ahan dan keimâmahan. Apa yang dipahami dari kawan-kawan Islam Jama'ah itu adalah atsar-nya dari Sayidina Umar yaitu la islama illa bil jama'ah walajamaata illa bil imamah wala imamata illa bithoah wala thoata illa bil bai'at. Kemudian mamata laisa lahu biatun mata mitatan jahiliyatan, haditsnya maupun atsarya. itu, lazim di kalangan umat Islam. Tidak merupakan sesuatu yang aneh, artinya masyhur (umum, dikenal). Yang menjadi aneh pada waktu itu adalah, kalau orang tidak masuk jama'ah, mereka itu dianggap bukan Islam. Itu masalahnya. Nah, ini kekeliruan penafsiran yang banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok. Kemudian oleh Majelis Ulama Indonesia dikatakan sebagai kelompok sesat. Itu adalah klaim kebenaran yang hanya ada pada mereka. La islama illa bil jama'ah. Kata-kata jama'ah itu hanya untuk Darul Hadits, Islam Jama'ah. Kan begitu awalnya. Mestinya tidak begitu. Jadi, Islam Jama'ah adalah Al jama'ah min jamaatul muslimin. Jadi, satu jama'ah dari 25
Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h. 97.
37
jama'ah-jama'ahnya umat Islam. Umat Islam itu banyak jama'ahnya. Tidak satusatunya. Nah, disini yang menjadi krusial itu. Kalau ada orang mengatakan bahwa LDII itu eksklusif, dimana dia menganggap paling benar sendiri, yang kalau ada yang shalat di masjidnya, dia cuci, itu kita kan mengecek, "Apa benar perkataan orang itu." Orang yang ngomong pada kita, yang menyampaikan kepada kita tentang hal-hal yang tidak benar, kita perlu tabayyun. Tabayyun inilah pekerjaan ulama yang mesti dilakukan. Tabayyun, apakah LDII itu sudah berubah, atau masih seperti Islam Jama'ah. Ini soal tabayyun. Jadi, mereka berupaya untuk melakukan perubahan, kita pun mengamatinya, berubah apa belum. Kan begitu tabayyunnya. Kalau sudah paradigma baru seperti itu, mana lagi yang sesat, ya nggak ada. Sepuluh kriteria kesesatan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, tidak bisa diterapkan untuk LDII, kalau seperti yang dinyatakan dari hasil Rakernasnya. Nah, kalau mengenai praktek ini, kan manusia sekian ratus ribu atau sekian juta itu, untuk melakukan perubahan paradigma itu memerlukan waktu. Jadi kalau masih ada sisa-sisa Islam Jama'ah atau Darul Hadits yang dititipkan untuk dibina di LDII belum lurus benar, itu proseslah. Menurut saya LDII itu sebuah organisasi Islam yang bagus, dan itu organisasi Islam yang lahir pasca kemerdekaan. Ormas-ormas Islam ini, yang lahir sebelum kemerdekaan itu sudah berjasa, berjasa mendorong mewujudkan proklamasi kemerdekaan RI, sekaligus mempertahankannya. Itu seperti
38
Syarikat Islam, NU, Muhammadiyah, Persis, Perti, Al Irsyad. Semua itu lahir sebelum Indonesia merdeka, dan itu berhasil menjadikan Indonesia merdeka. Mereka juga berhasil mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Nah LDII dan organisasi
Islam
yang
lahir
setelah
kemerdekaan,
mestinya
mengisi
kemerdekaan ini dengan karya nyata, karya nyata yang persis dengan tujuan kemerdekaan itu. Apa tujuan kemerdekaan itu., ya memakmurkan rakyat Indonesia. Kata-kata memakmurkan Indonesia ini, mesti menjadi orientasi ormas-ormas Islam yang baru, termasuk LDII. Nah, yang saya lihat nyatanya LDII cukup bagus dalam membina ekonomi umat di kalangan warganya. Anggotanya itu tertib teratur. Nah, ini mudah-mudahan ke depan kalau asumsi saya ini benar, ormas-ormas seperti LDII itu bisa memposisikan diri sebagai agent of change dalam kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Maka umat Islam di Indonesia ini akan punya kelanjutan yang bagus. Tapi kalau masih bangga dengan romantika masa lalu, ya ketinggalan kereta. 6 .Dr. Adian Husaini, MA26 (Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) Sejauh yang saya ketahui, MUI saat ini sedang melakukan penelitian dan harus dichek tentang persoalan inti LDII itu. Karena dulu, mereka dikenal (dituduh) dengan (isu-isu) doktrin-doktrinnya seperti ajaran manqul. Mereka (diisukan) mempunyai sanad sendiri dan merasa orang Islam yang lain bukan saudaranya. Bahkan, misalnya, dahulu jika kita menduduki kursi di rumahnya, lalu kursi itu dilap (dibersihkan) lagi. Orang Islam lain dianggap najis dan lain 26
109-112.
Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII, h.
39
sebagainya. Mereka memakai Hadits tentang bai'at. Menurut mereka, kalau seseorang tidak berbai'at, maka orang itu akan mati seperti matinya orang jahiliyah. Yang mereka maksud dengan bai'at di sini adalah harus bai'at kepada imamnya. Nab, karena hal inilah kemudian, umat Islam yang lain menganggap mereka berada di kelompok yang sesat. Jika sekarang mereka mengatakan ada paradigma baru, menurut saya hal itu perlu ditelaah. Apakah mereka betul serius? Apakah benar mereka sudah merevisi ajaran-ajarannya? Apakah benar mereka sudah menganggap se-Islam ini saudara se-Islamnya, dan mereka boleh menikah dengan orang Islam yang lain, dan mereka boleh bermakmum di belakang orang Islam yang lain. Apakah sudah seperti itu? Sebab sejauh ini, meskipun ada banyak perbedaan di antara ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya, tetapi perbedaan itu tidak ada masalah. Termasuk menikah dengan ormas lain juga boleh, tidak menimbulkan masalah. Hal-hal semacam itu, saya kira perlu dievaluasi. Paradigma baru LDII itu perlu dicocokkan. Masalahnya, sekarang ini buku-buku yang beredar di jama'ah-jama'ah LDII itu adalah buku-buku yang lama. Apakah buku-buku dan ajaran-ajaran itu sudah direvisi? Jadi tidak cukup hanya dengan menyatakan bahwa mereka sudah berubah, tetapi kemudian ke dalamnya bagaimana? Sama dengan Ahmadiyah kan? Dalam melihat Ahmadiyah, pemerintah tidak cukup hanya dengan mendengarkan pernyataan mereka, tetapi harus melihat realita di lapangan. Itu yang lebih penting, karena masyarakat melihat sendiri kenyataan di lapangan. Misalnya, masyarakat melihat
40
ada masjid LDII, apakah jama'ah masjid itu sudah berbaur dengan jama'ah yang lain? Kalau dulu mereka tidak mau shalat Jum'at dengan yang lain, mereka membuat jama'ah Jum'at sendiri. Nah, sekarang semua itu sudah berubah atau belum? Jadi, lebih penting praktek di lapangan, dan literatur lama itu harus ada revisi. Saya tidak pernah mendalami LDII, makanya saya tidak mengungkapkan lebih jauh. Meski demikian, kita tidak apriori. Okelah sekarang ada statement seperti itu, kita sambut dengan baik. Menurut saya, di samping menggunakan pendekatan yang tegas seperti fatwa, MUI perlu juga menggunakan pendekatan yang lebih aktif dan persuasif terhadap mereka. Inilah yang disebut dengan dakwah. Barangkali mereka belum tahu, bahwa ada sebagian yang salah dari ajaran mereka. Nah, kita tunjukkan kepada mereka dimana letak kekeliruannya. Di sinilah perlunya MUI berperan lebih aktif.
BAB III PENGERTIAN BAI’AT
A. Pengertian Bai’at setiap orang hampir tidak bisa membayangkan tentang adanya sistem politik yang sehat dan negara yang kuat dan stabil, serta jamaah yang sempurna tanpa adanya keadilan para pemimpin dan kepatuhan rakyatnya. Sedangkan jamaah tidak ada harganya apabila individu-individu mereka tidak diikat oleh sistem (Islam), dan tidak dipersatukan oleh pemimpin yang mengatur urusan mereka. Sementara pemimpin tidak mempunyai bobot dan eksistensinya, apabila ia direndahkan oleh jamaahnya, tidak didengar, dan ditaati. Oleh karena itu Islam menekankan akan urgensi loyalitas kepada jamaah muslim dan ketaatannya kepada imam mereka, serta tidak keluar dari jamaah, kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak.1 Ada beberapa pengertian tentang bai'at dan dalam hal ini bahwa bai'at jika dilihat dari fiqih siyasah di kalangan kaum muslimin setelah pengajuan calon khalifah dan pemilihan dari pihak ahl al-hill wa al-aqd, atau setelah penggantian dari khalifah sebelumnya kaum muslimin diajak untuk memberikan bai'at kepada khalifah. Dalam hal ini akan dibahas sekitar pengertian bai'at.
1
Ramli Kabi‟ Ahmad Shiddiq Abdurrahman, Bai’at Suatu Prinsip Gerakan Islam, “Telaah Bai’at dalam Khalifah dan Jamaah”. Terj dari judul aslinya Al-Bai’ah Fi’n- Nizhami as siyasi al- Islami wa Thathabiqatuha fi Hayati as-Siyasiyah al-Muashirah (Jakarta: el-Fawaz Press, 1993), h. 35
41
42
1. Pengertian Bai'at Secara Bahasa Arti bai'at dilihat dari segi etimologis (lughot) adalah berasal dari bahasa Arab, dengan bentuk kata pokok: b, y dan a atau
.2 Di dalam kamus
bahasa Arab karangan Prof Dr. H. Mahmud Yunus adalah
berjanji dan juga
،
artinya bersetia,
yang artinya palantikan khalifah.3 Sedangkan dari
kamus al-Munawwar karangan A.W. Munawwar kata bai'at adalah عملية بيع:البيعة artinya transaksi penjualan dan ( عقد البيعة )التو ليةartinya: ikatan janji. 4 Dalam asal kata bai‟at terkandung makna: a. Adanya dua pihak yang asaling ber akad secara damai b. Adanya dua barang atau sarana yang saling dipertukarkan oleh dua pihak dalam akad. c. Adanya kerelaan yang sempurna dari dua belah pihak yang berakal, dimana masing-masing mereka mengambil sesuatu yang lebih berharga, sementara yang lainnya mengambil harga5
2
Ramli kabi‟ Ahmad Shiddiq Abdurrahman, Bai’at Suatu Prinsip Gerakan Islam, “ Telaah Bai’at Dalam Khilafah Dan Jamaah”. Terj dari judul Aslinya Al-Bai’ah Fi’n-Nizhami As Siyasi Al-Islami Wa Thathbiqatuha Fil Hayati As-Siyasiya Al-Muashirah, h. 36 3 Muhammad Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidayah Karya Agung, 1997) cet. ke-1, hal. 75 4 A. W. Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984) cet. ke-1, hal. 135 5 Ramli kabi‟ Ahmad Shiddiq Abdurrahman, Bai’at Suatu Prinsip Gerakan Islam, “ Telaah Bai’at Dalam Khilafah Dan Jamaah”. Terj dari judul Aslinya Al-Bai’ah Fi’n-Nizhami As Siyasi Al-Islami Wa Thathbiqatuha Fil Hayati As-Siyasiya Al-Muashirah, h. 40
43
2. Pengertian Bai’at Secara Istilah
Pengertian bai'at secara terminologi (istilah) banyak sekali pengertian mengenai bai'at diantaranya adalah: bai'at diambil dari kata ba'a yang berarti membeli sesuatu dengan harga dan kesepakatan dua orang yang sedang melakukan transaksi dagang dengan cara memukulkan tangan yang satu ke tangan yang lainnya sebagai tanda setuju. Bai'at seperti ini telah berjalan bertahun-tahun dalam tradisi Arab klasik. Bai'at juga memberikan arti kesepakatan kewajiban menjual (ba'i) dan janji setia. Jadi bai'at berarti pemberian janji orang yang membai'at untuk patuh dan taat kepada pemimpin dalam keadaan susah dan lapang, yang disukai dan yang tidak disukai, tidak menentangnya dan menyerahkan urusan kepadanya.6 Ibnu Khaldun mendefinisikan. “... bai'at adalah janji setia, seorang pemberi bai'at tidak akan menentang sedikitpun mentaati dan mematuhi perintah dan tugas yang diberikan kepadanya dalam hal yang disukai maupun yang tidak disukai. Mereka apabila membai'at amir dan memberi ikatan sumpah setia kepadanya mengulurkan tangan ke dalam tangannya sebagai penguat sumpah setia. Yang demikian itu mirip dengan apa yang dilakukan oleh pembeli dan penjual. Bai'at menjadi jabat tangan karena bai'at merupakan bentuk kata benda (masdar) dari kata ba'a....”7
6
Muhammad Abdul Qadir Abu fariz, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Rabani Press, 1987), cet. ke-1, h. 205 7 Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, “Sistem Politik Islam” hal. 205
44
Menurut Dr. Muhamad Abdul Qadir Abu Faris: “... Bai‟at adalah menyatakan janji dari orang yang berbai‟at untuk mendengar, taat kepada pemimpin, baik dalam hal yang menyenangkan maupun pada hal yang tidak di sukai, kesulitan kemudahan loyal kepada pemimpin dan mempercayakan segala urusan kepadanya...”8 Sedangkan menurut T.M. Hasbie Ash-Shiddieqy. “... Bai‟at ialah pengakuan Ummat untuk mematuhi dan mentaati imam yang dilakukan oleh ahlu hilli wal aqdi dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan...”9 3. Pengertian Bai'at Secara Syar'i Adapun pengertian bai‟at menurut syar’i adalah dimana bai‟at tersebut dialamatkan kepada khalifah, jika masih ada di muka bumi. Sehingga maksud bai‟at adalah perjanjian untuk taat, bersumpah setia kepada khalifahnya untuk mendengar dan taat kepadanya, baik dalam hal yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, dalam keadaan mudah maupun sulit. Rasulullah SAW bersabda: “Maka apabila engkau melihat adanya khilafah, menyatulah padanya, meskipun ia memukul punggungmu. Dan jika khalifah tidak ada, maka menghindar.” (HR. Thabrani dari Khalid bin Sabi‟).
Ḫadîts tersebut ditafsirkan bahwa wajibnya bai‟at adalah kepada khalifah. Thabrani mengatakan bahwa yang di maksud “menghindar” dalam hadîts tersebut 8
Ramli Kabi‟ Ahmad Shiddiq Abdurrahman, Bai’at Suatu Prinsip Gerakan Islam, “ Telaah Bai’at Dalam Khilafah Dan Jamaah”. Terj dari judul aslinya Al-Bai’ah Fi’n-Nizhami As Siyasi Al-Islami Wa Thathbiqatuha Fil Hayati As-Siyasiya Al-Muashirah. h. 45 9 T.M. Habsi Ash Shidieqy, Asas-asas Hukum Tata Negara Menurut Syariat Islam, (Yogyakarta: Matahari Masa, 1969), h. 66
45
adalah menghindar dari kelompok-kelompok partai manusia (golongan atau firqoh-firqoh), yang tidak mengikuti seorang pun dalam firqoh yang ada. Dengan kata lain, apabila khlifah atau kekhalifahan sedang vakum maka wajib bai‟at pun tidak ada.
B. Bai'at Dalam Lintas Sejarah 1. Bai'at di Masa Rasulullah Sejarah tidak dapat diperlakukan sebagai rentetan kejadian tanpa pelaku. la tak dapat mengabaikan peranan tokoh agama seperti Nabi Muhammad Saw. Fakta membuktikan bahwa bangkitnya agama, sekte, atau kultus modern lain baik di pelosok desa maupun di pusat metropolitan selalu bersumber dan bergerak dari satu pribadi tokohnya.
Dalam al-Qur'an Allah menegaskan bahwa Muhammad Saw adalah seorang Rasul
(dan tidaklah Muhammad itu kecuali seorang
Rasul). Sebagai Rasul beliau bertugas menyampaikan dan pensarah keseluruhan wahyu yang diterimanya kepada manusia sebagaimana Allah berfirman:
46
Artinya "Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.(Q.s. al-Nahl [16]: 44) Dan Nabi Muhammad sebagai pembuat hukum sebagaimana Allah berfirman:
Artinya "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.(Q.s. Al-Nisa [4]: 105) Serta Rasul pun sebagai suri tauladan bagi umat manusia sebagaimana yang difirmankan oleh Allah di dalam al-Qur'an:
Artinya "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.s. al-Ahzab [33]: 21) Ayat-ayat di atas menerangkan bahwa Muhammad Saw sebagai Rasul, bukan hanya sebagai penyampai dan penjelas keseluruhan wahyu Allah tetapi juga diberi hak legistatif atau hak menetapkan hukum bagi manusia dan hak menertibkan kehidupan masyarakat. Pernyataan tersebut sesuai dengan bukti-bukti sejarah tentang tugastugas yang beliau lakukan setelah di Madinah, peranan luas bukan hanya sebagai Rasul dan pendakwah yang mengajak manusia beriman pada Allah dan sebagai pembimbing spiritual belaka melainkan juga melakukan tugas-tugas dan peran sosial politik serta memegang kekuasaan politik.
47
Muhammad Rasulullah untuk pertama kali mendapat pengakuan sebagai pemimpin dari kelompok Madinah pada bai'at Aqobah I (62I M) dan bai'at Aqobah II (622 M).10 "Pengangkatan" pemimpin negara Islam pertama melalui proses yang unik. Yang d i p i l i h memang rnempunyai kwalitas yang unik, yaitu memegang risalah di samping
pemimpin
masyarakat
politik
Islam
mengajarkan syahadat dan membenarkan eksistensi bai'at. Syahadat bersifat religius sedangkan bai'at bersifat keduniaan. la merupakan lembaga perjanjian antara sesama manusia. Isinya biasa berupa kemauan timbal balik dan kesepakatan politik. Bai'at pada masa Rasulullah Saw bagi laki-laki adalah berbentuk kata-kata disertai jabat tangan, yang intinya adalah ikrar janji setia kepada pemimpin. Sedangkan bai'at yang dilakukan antara kaum wanita dengan Rasulullah adalah dengan kata-kata tanpa disertai dengan jabat tangan. Pada musim haji tahun ke-12 H sesudah kenabian (ba'da bi'tsah) dua belas laki-laki dan seorang wanita penduduk Yatsrib menemui Rasulullah secara rahasia di Aqobah.11 Mereka mengatakan keinginannya untuk masuk Islam sekaligus mengajak Nabi untuk ke Yatsrib guna menyelamatkan negeri mereka dari kemelut perpecahan dan pertumpahan darah yang telah berlangsung selama 40 tahun. Rasulullah kemudian
10
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintah Dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Sudut Pandang al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), cet. II, hal. 70 11 Keduabelas anggota ini dikenal sebagai penelong (Anshor) adalah anggota dua suku besar yang mendominasi Yastrib. Yaitu Aws dan Kharaj. Masing-masing suku ini bercabang dalam klan yang lalu datang. Awf dan Muadz, keduanya putra „Afra;mKlan Zurayq: Rafi bin Malik dan Dakhwan bin Abdul Qoys. Klan Salimah: Uqbah bin Amir. Klan Sawad: Qutbah bin Amir. Klan Salim: abbas bin Ubadah. Klan Awwf: Ubadah bin Samit dan Yazid bin Tsa‟labah alias Abu Abdurrahman. Klan amr bin awf: Umyam bin Sa‟idah, banu Aws diwakili Abul haytsam bin Tayyihan, alias Malik, yang berasal dari klan Abdul asyhal.
48
menyampaikan dasar-dasar agama Islam dan mengajak mereka berbai'at untuk mengukuhkan keimanan mereka, dengan jalan saling memegang tangan erat-erat dan tangan Nabi berada di atas tangan mereka. Adapun materi bai'at (seperti dituturkan oleh 'Ubadah ibn Shamit, salah seorang peserta bai'at) sebagai berikut: "Kami berbai'at dengan Rasulullah di malam Aqobah yang pertama: Bahwa kami tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun; tidak akan mencuri (korupsi), tidak akan berzinah (prostitusi) tidak akan membunuh anak-anak (aborsi), tidak akan rnenyiarkan kabar bohong di antara sesama kami dan tidak akan mendurhakainya (Rasul) dalam hal yang ma'ruf." Isi bai'at Aqobah I bersifat religius dan akhlaqi, ikrar ini hanya semacam tuntutan moral, tidak melibatkan kewajiban mereka terhadap Muhammad kalau keselamatannya
terancam.
Tidak
dicantumankannya
ajakan
perang dan
penggunaan kekerasan membelanya. Kemudian Nabi mengutus Mushab ibn Umayr menyertai mereka untuk mengajarkan ajaran Islam di Madinah. Mushab berhasil melapangkan jalan bagi hijrah kaum muslimin dan Nabi serta perkembangan Islam berikutnya. Dengan usahanya dua tokoh kafilah Aws masuk Islam, yaitu Sa'ad ibn Mu'az dan Asid ibn Hudayr, yang kemudian menjadi pembela Nabi dan Islam dengan gigih dan penuh keikhlasan.12 Bai'at Aqobah I ini disebut juga bai'at an-Nisa (perjanjian wanita) karena dalam bai'at itu ikut seorang wanita bernama Afra binti 'Abid ibn Tsa'labah. Di samping itu pula
12
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), cet. I, hal. 85
49
mungkin juga karena tidak ada acara "jabat tangan" sebagaimana dalam ikrar Aqobah II nanti, ketika Muhammad tidak menjabat tangan dua pengikut wanita. Tahun berikutnya pada musim haji rombongan kaum muslimin Madinah terdiri dari 73 pria dan 2 wanita bertemu dengan Nabi di Aqobah, diantar oleh Mushab bin Umayr. Saat janji itu tiba, mereka menuju ke lembah sempit antara dua bukit. Seorang wajah baru adalah Abdullah bin Amir, ia diajak masuk Islam demi mengubah nasib dan diminta merahasiakan hal ini dari rombongan kafir. Ada dua wanita di antara Anshar ini, yang satu bernama Nusaybah, dan wanita yang satu lagi bernama Asma' alias Umm Mani. Kedua wanita itu ikut berikrar, tetapi tidak menjabat tangan Muhammad, karena Muhammad tidak menjabat tangan wanita. Atau mungkin karena menyangkut urusan kekerasan dan peperangan. la hanya menyatakan syarat dan kewajiban kedua pihak, menanyakan apakah setuju, dan kalau ya. Lalu mengatakan: "teruskan, kami telah berikrar dengan anda. Banyak tokoh kabilah Aws dan Khazraj di dalam rombongan besar i t u mengucapkan bai'at yang kemudian dikenal sebagai bai'at Aqobah II. Isinya sebagai berikut: "Kami akan melindungimu sebagaimana kami melindungi wanita kami. Kami adalah tukang perang dan selalu bertengkar. Jika kami memutuskan hubungan dengan kaum Yahudi, sudikah anda membela kaumku?" Jawab Nabi: "Darahmu darahku, perlindunganmu perlindunganku. Kalian bagian jiwaku. Aku akan memerangi musuh kalian dan aku akan berdamai dengan siapa saja yang berdamai dengan kalian."
50
Bai'at Aqobah II ini juga dinamai bai'at Aqobah besar dan bai'at perang (bay'ah al'Aqobah al-Kubra aw bay'ah al-Harb). Salah satu isi penting dari ikrar Aqobah II ini adalah dicantumkannya ketentuan mengenai perang. Jadi, pihak Anshor berjanji akan membela Muhammad, sekalipun perlu berperang dan berkorban jiwa. Dan Muhammad juga berjanji setia tanpa pamrih menurut ajaran Tuhan. Dalam bulan Dzulqo'dah tahun ke-6 H Rasulullah Saw bersama rombongan muslimin sebanyak 1500 orang berangkat ke Mekkah dengan maksud hendak berumrah, tidak berniat hendak berperang. Setibanya sampai ke tempat bernama Hudaibiyyah mereka berihram umrah, agar orang-orang Mekkah mengetahui bahwa kedatangan beliau ke Mekkah bersama rombongan muslimin tidak bermaksud lain kecuali hendak berziarah ke Baitullah al-Haram sebagai penghormatan. Orang-orang Mekkah yang dari kejauhan melihat Rasulullah Saw bersama rombongannya turun di tempat itu merasa khawatir akan serangan yang hendak dilakukan kaum muslimin. Mereka bertekad hendak mencegah masuknya kaum muslimin ke kota Mekkah dengan segenap kekuatan yang ada pada mereka. Rasulullah Saw mengutus seseorang untuk memberitahu mereka tentang maksud kedatangannya ke Mekkah bersama kaum muslimin. Untuk itu beliau memanggil Umar bin Khattab ra, tetapi Umar menjawab: "Ya Rasulullah, di Mekkah tidak ada seorang pun dari Bani 'Adiy bin Ka'ab (kabilahnya Umar) yang akan marah dan membelaku jika aku diserang. Sebaiknya anda mengutus
51
Utsman bin Affan ra. Di sana ia mempunyai banyak kerabat yang akan melindunginya." Berdasarkan usul Umar kemudian Rasulullah rnemanggil Utsman dan mengutusnya berangkat menemui orang-orang Quraisy di Mekkah. Perundingan antara Utsman dan para pemimpin orang Quraisy memakan waktu yang sangat lama, sehingga Utsman dikabarkan telah terbunuh. Mereka gelisah menantikan Utsman yang tidak kembali juga, dugaan tersebut menjadi kuat bahwa utusan Rasulullah Saw telah terbunuh oleh kaum musyrikin di Mekkah. Kemudian para sahabat telah bertekad tidak akan meninggalkan Hudaibiyyah sebelum mereka menghukum penghianatan orang-orang Mekkah. Sambil berdiri di bawah pohon "Samurah" Rasulullah Saw mengajak semua sahabatnya untuk membulatkan tekad dan bersiap-siap menghadapi kaum musyrikin. Para sahabat pun semuanya menyatakan janji setia (bai'at) kepada Rasulullah mereka mengikrarkan sumpah setia akan tetap membela Allah dan Rasul-Nya dalam keadaan bagaimanapun juga dan seorang pun yang akan lari mengingkari sumpah setia (bai'at) tersebut. Bai'at yang ketiga ini dikenal dengan "Bai'atur-Ridhwan," yang artinya: pernyataan dan janji setia yang diridhoi Allah, peristiwa ini diabadikan di dalam al-Quran surat al-Fath: ayat 18 :
52
Artinya . “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”. (Q.s. al-Fath [48]: 18).
Peristiwa Hudaibiyyah ini terjadi dengan adanya perjanjian dari kedua pihak meskipun proses penulisan naskah perjanjian itu tersendat-sendat, namun akhirnya dapat disepakati juga perjanjian tersebut dan ditandatangani oleh kedua pihak. Perjanjian terkenal juga dengan nama, "Perjanjian Perdamaian Hudaibiyyah" (Shudhul-Hudaibiyyah). Perjanjian itu berisi pokok-pokoknya sebagai berikut:
1.
Kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun.
2.
Jika kaum Quraisy yang tidak seizin walinya memasuki ke pihak Rasulullah maka ia harus dikembalikan kepada kaum Quraiys.
3.
Jika ada seorang muslim pengikut Rasulullah masuk ke pihak kaum Musyrikin Quraisy ia tidak akan dikembalikan kepada Rasulullah.
4.
Orang-orang Arab atau kabilah yang ada di luar perjanjian itu dibolehkan bersekutu dengan salah satu pihak dalam perjanjian menurut keinginanya.
5.
Untuk tahun ini Rasulullah Saw dan kaum muslimin harus kembali ke Madinah, dengan ketentuan akan dibolehkan memasuki Mekkah tahun akan datang dengan syarat:
53
a. Kaum muslimin tidak boleh tinggal di Mekkah lebih dari 3 (tiga) hari.
b.
Kaum muslimin tidak akan membawa senjata selain pedang dalam sarung.13
Setelah beberapa hari tinggal di Hudaibiyyah Rasulullah Saw bersama kaum muslimin kembali ke Madinah, dengan harapan akan kembali ke Mekkah tahun depan. Diantara mereka masih banyak yang kecewa, karena ketidak adilan yang diterima oleh kaum muslimin dalam perjanjian Shulhul Hudaibiyyah tersebut. Hanya keimanan dan kepercayaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya yang dapat menentramkan mereka.
2. Bai'at di Masa Khulafaur Rasyidin Nabi Muhammad Saw tidak menunjuk siapa yang akan menggantikan sepeninggalnya dalam memimpin umat yang baru terbentuk. Memang wafatnya beliau mengejutkan, tetapi sesungguhnya dalam sakitnya yang terakhir ketika beliau mengalami gangguan kesehatan sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) bulan, Muhammad telah merasakan bahwa ajalnya akan segera tiba. Masalah suksesi mengakibatkan keadaan politik umat Islam menjadi sangat tegang. Keadaan itu demikian kritis, pedang hampir saja terhunus dari sarungnya. Masing-masing golongan merasa paling berhak menjadi penerus Nabi. 13
Muhammad al-Hamidi al-Husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw, (Jakarta: Yayasan al-Hamidi, 1996), cet. ke-6, hal. 667
54
Dalam sejarah Islam 4 (empat) orang pengganti Nabi dan meneruskan misinya, mereka adalah pemimpin yang adil dan benar, setelah keempat pemimpin itu dibai‟at oleh kaum muslimin. a. Pembai'atan Abu Bakar as-Siddiq ra Ketika Rasulullah wafat, kaum Anshor berkumpul mengelilingi Sa‟ad bin Ubadah di Saqifah Bani Saidah. 14 All bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin 'Ubaidillah memisahkan diri di rumah Fatimah. Kaum Muhajirin yang l ai n berkumpul mengelilingi Abu Bakar dan Umar bersama Usaid bin Hudhair dari Banu Abdul Asyhal. Kemudian seseorang datang kepada Abu Bakar dan Umar, mengatakan bahwa kaum Anshor telah berkumpul di Saqifah Bani Saidah mengelilingi Sa‟ad bin 'Ubadah. Sejarah mencatat 6 (enam) orang Mekkah yang memasuki pertemuan kaum Anshor di Saqifah pada sore hari Senin 12 Rabiul Awwal 11 H, pada saat Rasul belum dimakamkan, mereka itu adalah Abu Bakar, Umar, Abu 'Ubaidah, Mughirah bin Syu'bah, Abdurrahman bin Auf dan Salim Maula Abu Khuzaifah.15 Dalam pidatonya, Abu Bakar mengatakan: "Kami adalah orang yang pertama masuk Islam. Dan di antara kaum muslim, kedudukan kami di 14
Saqifah adalah nama lembaga permusyawaratan masyarakat Madinah. Saqifah atau bailairung bertempat di suatu tcrnpat selatan 500 m sebelah barat masjid Nabi. Disini terdapat sebuah sumber air yang bernama Bi'r Budha'ah dan sebuah masjid. Marga Sa'idah yang mendiami "desa" ini memiliki semua bailairung (Saqifah) tempat musyawarah yang terkenal dengan nama Saqifah Bani Sa'idah. Disinilah kaum Anshor berkumpul pada saat Rasulullah wafat, untuk mengangkat Sa'id bin Ubadah pemimpin kaum Anshor menjadi pemimpin umat. 15 O. Hashem, Saqifah, suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat, (Depok: Penerbit Yafi, 1989), cet. ke-2, h. 209
55
tengah-tengah, keturunan kami yang mulia, dan kami adalah saudara Rasul yang paling dekat, sedang kamu, kaum Anshor adalah saudara-saudara kami dalam Islam, dan kawan-kawan kami dalam agama. Kalian menolong kami, melindungi kami dan menunjang kami: mudah-mudahan Allah membalas kebaikan kalian. Maka kami adalah pemimpin (umara') sedang kalian adalah pembantu (wuzara), menteri. Orang Arab tidak akan tunduk kecuali kepada orang Quraisy. Tentu sebagian dari kamu mengetahui betul: para pemimpin adalah dari orang Quraisy, (al-a'immah min Quraisy), maka janganlah kalian bersaing dengan saudara-saudara kalian kaum Quraisy yang telah mendapatkan anugrah dari Allah. Dan ketahuilah bahwa kami adalah sahabat Rasul yang pertama, keluarga dan para walinya."16 Dari argumen Abu Bakar ini diketahui "bahwa", Abu Bakar, Umar dan Abu Ubadah adalah kerabat Rasul, dan ketika disampaikan argumen tersebut, kepada Ali, Ali pun berkata: "Bila anda berargumentasi kepada kaum muslimin dengan dekatnya kekerabatan kepada Rasul, bukankah yang lebih dekat lagi kepada beliau lebih berhak dari diri anda sendiri?. Dari argumen Abu Bakar ini diketahui "bahwa", Abu Bakar, Umar dan Abu Ubadah adalah kerabat Rasul, dan ketika disampaikan argumen tersebut, kepada- Ali, Ali pun berkata: "Bila anda berargumentasi kepada kaum muslimin dengan dekatnya kekerabatan kepada Rasul, bukankah yang lebih dekat lagi kepada beliau lebih berhak dari diri anda sendiri?
16
210
O. Hashem, Saqifah, suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat, hal.
56
Dalam pidatonya Abu Bakar yang dilengkapi oleh Ya'kub, Abu Bakar berkata: "Kaum Quraisy lebih dekat kepada Rasul dari pada kalian. Maka inilah Umar b i n Khattab kepada siapa Nabi berdo'a Ya Allah kuatkan imannya (Umar)17 dan yang l ai n adalah Abu Ubadah, yang oleh Rasul disebut sebagai orang terpercaya dari umat ini; pilihlah orang yang kalian kehendaki dari mereka, dan bai'atlah kepadanya. "Tapi keduanya menolak dengan mengatakan," Kami tidak menyukai diri kami melebihi anda. Anda adalah sahabat Nabi, dan orang kedua dari yang dua (dalam gua pada waktu hijrah).18 Dan ketika Abu Bakar mencalonkan dirinya, Umar berkata, "Sementara anda masih hidup? Siapakah yang dapat menggeser kedudukan anda yang telah ditentukan oleh Rasul?" Ya'kub juga menceritakan bahwa Abu Ubadah berkata, "Kawankawan Anshor, kalian adalah yang pertama membela Islam, maka janganlah kamu menjadi orang yang pertarna memisahkan diri dan berubah." Kemudaian Abdurrahman bin Auf berdiri dan berkala: "Kalian memang berjasa tetapi kalian tidak memiliki orang-orang seperti Abu Bakar, Umar dan Ali." Sampai di sini, seorang Anshor yang bernama al-Mundzir bin Arqom menjawab: "Kami tidak
17
As-Syaikhani meriwayatkan dengan sanad keduanya dari Abdullah bin umar ra, dia berkata: dikatakan kepada Umar, "tidakkah anda mengangkat seorang khalifah?" Umar berkata, "kalau aku mengangkat seorang khalifah, maka sungguh ada yang lebih baik dariku yang megangkat seorang khalifah, yaitu Abu Bakar, dan kalau aku membiarkannya, maka telah ada orang yang lebih baik dariku yang membiarkannya, yaitu RasuluIIah saw. Maka orang-orang pun memujinya lantas ia berkata, "dengan harap dan cemas aku mengharapkan andaikan aku selamat darinya dengan keadaan nihil, tidak ada pahala dan tidak ada dosa. Aku tak sanggup menanggungnya baik ketika hidup maupun sesudah mati." 18
hal.212
O. Hashem, Saqifah, suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat,
57
menolak kebajikan-kebajikan yang kalian sebutkan, tetapi sesungguhnya ada seorang di antara kalian yang tidak akan ada seorang pun menolak, apabila ia menginginkan kepemimpinan ini; orang itu adalah Ali bin Abi Thalib. Suasana semakin tegang, perdebatan semakin hangat di pertemuan Bard Saqifah dan ketiaka Abu Bakar akan memenangkan perdebatan itu dengan argumennya, maka Ali adalah orang yang paling tepat memenuhi argumen itu, lalu mereka berteriak: "Kami tidak akan membai'at yang lain kecuali Ali" Bahkan suara-suara itu masih terdengar di saat pembai'atan Abu Bakar berlangsung. Dalam keadaan yang tegang itu dan teriakan-teriakan semakin keras yang mendukung Ali kemudian Umar mengambil tindakan dengan berkata kepada Abu Bakar, "Buka tangan anda wahai Abu Bakar", Umar pun membai'at Abu Bakar yang sebelumnya didahului oleh Basyir bi n Saad. Bai'at orang-orang yang ada di Saqifah adalah bai'at khusus, yang tidak berbeda secara substansial dengan pencalonan Abu Bakar. Ketika Abu Bakar dibai'at di Saqifah keesokan harinya ia duduk di atas mimbar, dan Umar pun berdiri berbicara sebelum Abu Bakar berbicara, "Dan sekalian manusia, sesungguhnya aku telah mengatakan kepada kalian kemarin dengan perkataan yang tidak aku temukan di dalam kitab Allah dan tidak pula ada janji pencalonan seseorang kepada Rasulullah Saw. Akan tetapi aku telah melihat bahwa Rasulullah Saw akan mengurusi urusan kita. Sesungguhnya Allah telah mengabadikan kitab-Nya yang dengan kitab-Nya itu memberi petunjuk
58
kepada Rasulullah Saw. Apabila kalian berpegang teguh dengannya, maka Allah akan memberi petunjuk kepada kalian. Allah telah memberikan urusan kalian kepada orang yang berhak dan terbaik diantara kalian, sahabat Rasulullah Saw, orang kedua diantara dua orang ketika mereka berdua di dalam gua. Maka berdirilah kalian dan bai‟atlah Abu Bakar.” Kemudian orang-orang pun memberi bai‟at kepada Abu Bakar secara umum setelah bai‟at di Saqifah. 19 Setelah itu banyak kabilah-kabilah Arab yang datang ke Madinah untuk membeli keperluan sehari-hari di pasar Madinah yang dibuka pada hari kamis, Umar pun telah menyuruh mereka dari anggota-anggota klan Aslam untuk membai‟at Abu Bakar. Tetapi banyak juga yang tidak membai‟at Abu Bakar dan malah menolak menyerahkan zakat kepadanya. Kaum Khazaj dan Aws sebenarnya membai‟at Abu Bakar dengan segala alasan untuk kelangsungan hidup suku mereka masing-masing dan sebutir alasan untuk memuliakan Abu Bakar. Bagi kaum Muhajirin pembai‟atan ini dijadikan bukti sebagai segala keutamaan Abu bakar. Sedangkan Ali setelah 6 bulan kemudian, sesudah wafatnya Fatimah yaitu 75 hari setelah Rasulullah wafat. Ali tidak membai‟at Abu Bakar bukan karena mengingkari keutamaan Abu Bakar melainkan Ali benar-benar yakin bahwa kekhalifahan itu adalah hak Ali dan Abu Bakar telah merampas darinya. Pembai‟atan Ali terhadap Abu Bakar juga dikarenakan untuk membesarkan
19
Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, hal. 160
59
hati kaum muslimin dan menyelesaikan keresahan kaum muslimin yang sedang menghadapi musibah murtadnya sebagian kabilah Arab.
b. Pembai'atan Umar bin Khattab la bernama Umar ibn Khattab ibn Nufail keturunan Abdul 'Uzza alQuraesy dari Suku „Adi; salah satu suku yang mulia.20 Umar masuk Islam pada tahun kelima setelah kenabian, salah satu sahabat Nabi yang terdekat. Umar bin Khattab adalah seorang yang dapat memecahkan masalah yang rumit tentang siapa yang berhak mengganti Rasulullah dalam memimpin umat setelah wafatnya Rasulullah Saw. dengan memilih dan membai'at Abu Bakar sebagai khalifah Rasulullah sehingga ia mendapat penghormatan yang tinggi dan dimintai nasehatnya serta menjadi tangan kanan Abu Bakar. Setelah Abu Bakar menjabat khalifah selama dua tahun, Abu Bakar jatuh sakit. Dalam keadaan sakitnya itu, Abu Bakar berinisiatif untuk mengangkat Umar sebagai khalifah, namun sebagian para sahabat khawatir terhadap karakter Umar, karena ia dikenal di kalangan para sahabat sebagai orang yang memiliki temperamen keras, tegas dan pemberani. 21 Kemudian Abu Bakar menyuruh orang untuk memanggil Abdurahman bin Auf dan Usman bin Affan. Untuk menuliskan wasiatnya dengan menunjukkan Umar sebagai penggantinya. Surat wasiat Abu Bakar ditulis oleh Usman bin Affan yang bertuliskan sebagai bertkut:
20
Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), cet. ke-1, h. 52 21 Ali Ahmad As-Syalus, Ensiklopedia Sunnah-Syi’ah; Study Perbandingan Aqidah dan Tafsir, (Jakarta, al- Kautsar, 2001), cet. ke-1, h. 20
60
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang" ini adalah wasiat kepada kaum mukminin dari saya, Abu Bakar bin Abi Quhafa. Saya telah mengangkat Umar sebagai khalifah untuk kalian, maka dengarkanlah dan turutilah dia, saya membuat dia jadi penguasa semata-mata untuk kebaikan kalian.22 Setelah wasiat itu tertulis, Umar telah berpakaian rapih dikelilingi oleh teman-temannya di rumahnya sambil menunggu budak Abu Bakar datang membawa surat wasiat tersebut yang kemudian dibacakan secara resmi. Dan ketika Abu Bakar meninggal dunia Umar pergi ke masjid dan menyampaikan pidatonya di hadapan kaum muslimin kemudian mereka membai'at Umar, tidak seorangpun terlambat dalam pembai'atan Umar kecuali Sa'ad bin Ubadah. Kekhalifahan Umar berlangsung dengan lancar dan baik hingga masa akhir. c. Pembai'atan Utsman bin Affan Umar menduduki kekhalifahan selama sepuluh tahun ketika menjelang kematiannya, roda kepemimpinan Umar diserahkan kepada enam orang sahabat. 23
Dalam pemilihan khalifah ini Umar membuat tata tertib sebagai berikut: 1. Khalifah yang dipilih haruslah anggota dari badan tersebut 2. Bila dua calon yang mendapat dukungan yang sama besar, maka calon yang didukung oleh Abdurrahman bin Auf yang di anggap 22
O. Hashem, Saqifah, suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat,
hal.290 23
Keenam Sahabat tersebut adalah: Ustman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqosh, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalha bin Ubaidillah serta Abdullah bin Umar
61
menang. 3. Bila ada anggota dari badan ini yang tidak mau mengambil bagian dalam pemilihan maka anggota tersebut harus segera dipenggal kepalanya. 4. Apabila seorang telah d i p i l i h dan minoritas (salah satu atau dua orang) tidak
mengakuinya,
maka
yang tidak
mengakuinya
kepalanya harus dipenggal, apabila dua calon didukung oleh jumlah anggota yang sama besar, maka anggota yang menolak terhadap pilihan Abdurrahman bin Auf harus dipenggal kepalanya. 5. Apabila dalam waktu tiga hari tidak berhasil memilih khalifah maka
keenam
anggota itu
harus
dipenggal
kepalanya, dan
menyerahkan kepada rakyat untuk mengambil keputusan. Abdurrahman berkata kepada mereka, "Aku bukanlah orang yang patut yang bersaing dalam masalah ini. Akan tetapi jika kalian berkenan aku akan memilih untuk kalian di antara kalian." Tetapi mereka justru memberi dukungan kepada Abdurrahman bin Auf dan khalayak cenderung kepadanya sehingga tampak tidak seorangpun di antara orang-orang yang disebutkan oleh Umar i t u menyamainya. Mereka mengajak berembuk dengan Abdurrahman malam itu hingga pagi harinya, lalu membai'at Utsman. Orang-orang yang berembuk itu, setelah berkumpul di dekat mimbar. Masyarakat luas dari berbagai lapisan diminta hadir. Pada saat mereka telah berkumpul kemudian Abdurrahman menyampaikan pidatonya," Amma' ba'du, wahai kaum muslimin, aku telah mengamati terhadap urusan kalian, dan aku lihat mereka cenderung kepada
62
Utsman. Maka janganlah menjadikan dirimu jalan." Abdurrahman lalu berkata," Aku membai'atmu (wahai Utsman) atas sunnah Allah dan Rasul-Nya serta dua khalifah setelah beliau," Setelah Abdurrahman memberi bai'at kepada Utsman disusul kemudian dengan pemberian bai'at kepada Utsman oleh khalayak umum, kaum Muhajirin dan Anshor, para komandan militer dan kaum muslimin pada umumnya.
d. Pembai'atan Ali bin Abi Thalib Pada tahun-tahun kekhalifahan Utsman bin 'Affan, pemerintahannya sarat dengan kemakmuran dan keberkahan. Khalifah Utsman adalah khalifah yang sangat lama masanya dibandingkan khalifah yang lainnya yaitu selama 12 tahun. Dalam pemerintahan Utsman telah terjadi fitnah yang mengakibatkan Utsman terbunuh. Utsman selalu berusaha memadamkan fitnah tersebut, namun tidak berhasil. Pada saat Utsman meninggal dunia, Sjadzali menerangkan bahwa Madinah saat itu sedang kosong, para sahabat banyak yang berkunjung ke wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan. Para sahabat hanya sedikit yang berada di Madinah, antara lain Thalhah bin 'Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. 24
Kedua sahabat itu menemui Ali dan berkata, "Umat ini harus mempunyai imam."
Ali menjawab, "Aku tidak perlu dalam urusan kalian ini. Siapapun yang akan
24
64
O. Hashem, Saqifah, suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat, hal.
63
dipilih aku akan menerimanya. Mereka berkata lagi, "Kami tidak memilih siapapun selain engkau." Mereka berulang-ulang mendesak kepada Ali agar bersedia menjadi imam, hingga akhirnya mereka mengatakan," Sesungguhnya kami tidak mengetahui apakah ada seseorang yang berhak daripada engkau yang lebih dahulu masuk Islam dan lebih dekat kekerabatannya dengan Rasulullah Saw." Ali masih saja menjawab, "Menjadi wazir itu lebih baik daripada menjadi 'amir." Mereka menjawab, "Demi Allah kami tidak melakukan apapun hingga kami membai'at engkau." Ali berkata," Jika demikian maka bai'atku di masjid, tidak secara rahasia melainkan secara terbuka di masjid." Di saat kaum muslimin telah berkumpul dan berdatangan ke masjid. Ali datang dan naik ke mimbar dan berpidato," Hai, sekalian manusia, sesungguhnya ini urusan kalian yang tidak seorangpun mempunyai hak di dalamnya selain orang yang kalian angkat. Kami kemarin telah berbeda. dalam suatu masalah dan aku tidak suka pada urusan kalian ini kecuali aku diberi amanat atas kalian. Ketahuilah bahwa aku hanya membawa kunci-kunci harta kalian. Aku tidak berhak mengambil satu dirhampun milik kalian itu. Jika kalian mau, aku berikan kepada kalian. Jika tidak, maka aku tidak menjanjikan kepada siapapun." Mereka berkata, "Kami menyepakati atas apa yang kalian perselisihkan
kemarin."Allahumma
saksikanlah!
Zubair
dan
Thalhah
rnembai'atnya. Ali berkata. "Jika kalian ingin membai'atku dan jika tidak aku akan membai'at kalian." Mereka menjawab, "Tidak, melainkan kami membai'at engkau." Keduanya membai'at Ali, yang kemudian diikuti oleh kaum muslimin.
64
Dalam proses pembai'atan Ali sedang terlaksana, api fitnah tetap berkorbar, bahkan bertambah parah dengan jatuhnya korban dari orang-orang yang tidak bersalah oleh pedang saudaranya sendiri di wilayah kaum muslimin. C. Ayat-Ayat Yang Terkait Tentang Bai'at Berbicara tentang ayat-ayat Ba‟at, telah penulis lakukan penelusuran ayatayat al-qur'an tentang Bai'at. Bahwa kata bai ( kata bâ’a – yabî’u – bai’an dan mabî’an (
) adalah bentuk masdar dari ). Dalam al-
Qur‟an, bai‟ dan kata keturunannya tersebut 15 kali, tersebar dalam delapan surah dan sebelas ayat. Dalam hal ini apabila kata itu dirubah wazan (bentuk)-nya menjadi bâya’a – yubâyi’u – muubâya’atan (
) atau al-bai’ah (Indonesia: bai‟at)
maka pengertiannya menjadi naû’un minal mîtsâqi bi badzlith thâ’ah ( salah satu dari bentuk
perjanjian yang pada intinya
menyataka kesediaan untuk berlaku patuh dan setia), demikian AthThabathabai merumuskan di dalam tafsirnya Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Namun, dilihat dari bentuk katanya, yang di dalam hal ini menggunakan wazan (pola) mufa’al
) maka kata mengandung pengertian saling
sehingga baik yang membai‟at maupun yang dibai‟at harus secara timbal balik berjanji setia untuk melakukan kewajiban masing-masing.25. Adapuun ayatayat tersebut sebagai berikut:
25
M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an Kajian Kosa Kata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal. 123-124
65
1. Surat Al-Fath Ayat 10
Artinya: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”. Ayat 18
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”. Dari kedua ayat pada surat al-Fath ini kami menerangkan bahwa Pada bulan Zulkaidah tahun keenam Hijriyyah Nabi Muhammad Saw. Beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Mekkah untuk melakukan 'umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampai di Hudaibiyah beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kamu muslimin. mereka menanti-nanti kembalinya Utsman, tetapi tidak juga datang karena Utsman ditahan oleh kaum musyrikin kemudian tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. karena itu Nabi menganjurkan agar kamu muslimin
66
melakukan bai'ah (janji setia) kepada beliau. merekapun Mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kamu Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai. Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 surat ini, karena itu disebut Bai'atur Ridwan. Bai'atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Utsman dan mengirim utusan untuk Mengadakan Perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Shulhul Hudaibiyah. Yang dimaksud dengan kemenangan yang dekat ialah kemenangan Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi seakanakan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya. 2. Surat al-Mumtahanah Ayat 12
67
Artinya: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Dari ayat 12 surat al-Mumtahanah di atas penulis menjelaskan bahwa ayat ini adalah tentang bai‟at terhadap kaum wanita yang datang kepada Nabi Muhammad Saw, dan Nabi Saw menguji mereka dengan syarat-syarat yang tertera di dalam surat tersebut, dan dalam bai‟at tidak ada anjuran untuk berperang, hanya bersifat ketaatan dan kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka itu. Maksudnya
ialah
Mengadakan
pengakuan-pengakuan
palsu
mengenai
hubungan antara pria dan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak suaminya dan sebagainya. 3. Surat al-Ahzab Ayat 15
Artinya: “Dan Sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah: "Mereka tidak akan berbalik ke belakang (mundur)". dan adalah Perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungan jawabnya”. Ayat 23
68
Artinya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggununggudan mereka tidak merubah (janjinya)”. Sedangkan penjelasan pada ayat 15 dan 23 surat al-Ahzab ialah bai‟at yang menjeaskan tentang keteguhan dalam bai‟at kepada Allah karena keteguhan dan sikap yang kokoh merupakan inti kekuatan Islam dan kaum muslimin. Maksudnya dari
menunggu apa yang telah Allah janjikan
kepadanya yaitu sikap keteguhan ummat untuk selalu taat kepada Allah agar lebih dekat kepada Allah, walaupun dalam hal itu mereka akan menemui banyak masalah ataupun rintangan tetapi mereka memegang teguh akan janjinya bahkan walau harus mengorbankan nyawanya sekalipun.
BAB IV ANALISA AYAT 18 SURAT Al-FATH Bai’at merupakan sisi kegiatan politik yang paling jelas yang dilakukan oleh umat. Dalam pandangan Islam, ba’iat merupakan tiang pancang bagi sistem hukum dan bahkan dalam sejarah Islam pada zaman Rasulullah Saw, bai’at mendahului pendirian suatu negara. Bai’at merupakan dasar masyarakat politik Islam dan perangkat untuk menyatakan kelaziman kepada jalan dan syariat Islam. Ketika Rasulullah Saw menjelang wafatnya, kaum muslimin akan merasakan kekosongan kepemimpinan dan terlihat begitu banyak di hadapan mereka masalah-masalah dan tanggung jawab akibat dari kekosongan itu. Peristiwa Saqifah merupakan awal terbentuknya sistem kekhalifahan dan kepemimpinan pasca Rasulullah. Ada kemiripan pertemuan Saqifah dengan pertemuan nasional atau muktamar luar biasa yang membicarakan nasib umat dalam perjalanannya pada masa yang akan datang. Hasil yang terbesar dalam pertemuan adalah berdirinya institusi kekhalifahan yang sejak saat itu menjadi model pemerintahan Islam atau negara Islam.1
A.
Pemaknaan Ayat 18 Surat al-Fath Menurut LDII
Artinya :”Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah tangan Allah di atas tangan mereka. Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia 1
M. Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Rabbani Press), cet. ke-1, h.
157
69
70
melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”. (Q.S. al-Fath: 10)
Dakwaan penyimpangan tentang bai’at terhadap LDII, sebagai berikut: Bai’at merupakan janji setia dari kader LDII kepada imam, dalam hal ini Nurhasan; Keabsahan bai’at ditentukan oleh ketaatan kader kepada imamnya. Pemahaman tersebut dipersoalkan karena bertentangan dengan pekem-pakem bai’at yang dipahami dalam syari’at, seperti apa yang penulis jelaskan pada bab sebelumnya, dimana bai’at tersebut dialamatkan kepada khalifah, jika masih ada di muka bumi. Sehingga maksud bai’at adalah perjanjian untuk taat, bersumpah setia kepada khalifahnya untuk mendengar dan taat kepadanya, baik dalam hal yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, dalam keadaan mudah maupun sulit. Rasulullah SAW bersabda: “Maka apabila engkau melihat adanya khilafah, menyatulah padanya, meskipun ia memukul punggungmu. Dan jika khalifah tidak ada, maka menghindar.” (HR. Thabrani dari Khalid bin Sabi’).
Ḫadîts tersebut ditafsirkan bahwa wajibnya bai’at adalah kepada khalifah. Thabrani mengatakan bahwa yang di maksud “menghindar” dalam hadîts tersebut adalah menghindar dari kelompok-kelompok partai manusia (golongan atau firqoh-firqoh), yang tidak mengikuti seorang pun dalam firqoh yang ada. Dengan kata lain, apabila khlifah atau kekhalifahan sedang vakum maka wajib bai’at pun tidak ada. Sedangkan menurut LDII konsep bai’at tidak berbeda dengan konsep khalifah. Kajian tentang Ba’iat dalam LDII, tidak diarahkan sebagai wacana memilih pemimpin untuk mendirikan negara tersendiri, tetapi sebatas keilmuan saja. Hal ini sama dengan yang berlaku dalam pemahaman umum orang-orang
71
Islam baik di Indonesia, Malaysia, ataupun beberapa negara berpenduduk Islam lainnya, sehubungan dengan historis, Islam tertampilkan dalam wajahnya yang demikian untuk difahami oleh para penganut agama Islam. Dakwaan tersebut mengundang pertanyaan atas kebenaran pemberlakuan konsep tersebut pada tingkat praktis, Aceng Karimullah misalnya, menyatakan wallahu a‟lam pada saat dipertanyakan bai’at dan karena selama bergabung di LDII fenomena yang didakwakan tersebut tidak dialaminya. Beliau menyatakan bahwa LDII tidak menggunakan atau menganut sistem keamiran yang harus di bai’at. Yang ada hanya keberadaan ketua umum di tingkat DPP dan berbagai tingkat pengurus dibawahnya (ketua DPD Provinsi, Kabupaten atau kota, PC, dan PAC). Masalah keamiran tersebut sebatas masalah keilmuan saja dan nilai-nilainya diperaktekkan di dalam kehidupan bermasyarakat, diperaktekkan di dalam organisasi, di pekerjaan dan diperaktekkan dalam pondok pesantren. Imam juga bukan istilah yang menyeramkan karena kenyataanya sudah lumrah di jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari dengan sebutan lain seperti manager, ketua atau kepala bahkan dalam hadîts ada istilah lain lagi untuk pemimpin ini, yaitu roo‟in (penggembala) kepemimpinan inilah yang dikembangkan di LDII, bahwa pada hakekatnya setiap orang adalah roo‟in sebagaimana diriwayatkan dalam shahih alBukhari:
ُِكّلُكُمْ رَاعٍ وَ ُكّلُكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِّيَ ِته “Setiap kamu sekalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya dari yang dipimpin”( Ḫadîts Riwayat Bukhari) Demikian pula dengan bai’at kata ini juga bukan istilah yang menyeramkan bahkan kata-kata ini juga terdapat di dalam al-Qur’an seperti dalam surat al-Fath ayat 10 atau Mumtahanah ayat 12 yang berbunyi sebagai berikut:2
2
Wawancara pribadi dengan Aceng Karimullah, Jakarta, tanggal 19 Pebruari 2010
72
Artinya :”Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah tangan Allah di atas tangan mereka. Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”. (Q.S. al-Fath: 10)
Artinya: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anakanaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q.S. alMumtahanah: 12) B. Pendapat Para Ulama Tentang Bai’at Bai’at sebagaimana yang telah dijelaskan merupakan janji setia terhadap sistem politik Islam atau kekhalifahan, serta kesetian dan kepatuhan kepada pemimpin. Bai’at erat sekali hubungannya dengan imâmah (kepemimpinan) dalam menjaga agama untuk mengurusi urusan-urusan duniawi. Ada beberapa pendapatpendapat ulama mengenai bai’at yang erat hubungannya dengan imâmah. 1.
Pendapat Jumhur Ulama (Sunnah wal-Jama‟ah) Mereka para jumhur ulama (Sunnah wal-Jama‟ah) mengambil kesimpulan bahwa urusan-urusan umat tidak akan berjalan dengan lancar dan mulus tanpa adanya seorang pemimpin atau imâmah. Dan tidak akan sah seorang menjadi imam (khalifah) kecuali melalui proses
73
bai’at. Dan selama setia terhadap bai’at maka hukumnya wajib, tidak ada bai’at kecuali setelah bermusyawarah dengan kaum muslimin. Jumhur ulama juga mensyaratkan pengangkatan khalifah, yaitu sebagai pengganti Rasulullah SAW harus berasal dari suku Quraisy yang bersifat adil dengan cara bai’at dan musyawarah dengan ada perselisihan dalam beberapa hal, seperti penentuan siapa orang yang sah dibai’at.3 2. Pendapat Ulama Syi’ah Ulama syi’ah dengan berbagai aliran berpandangan bahwa mengangkat seorang imam hukumnya wajib. Tetapi pendapat mereka dengan imâmah bertolak belakang dengan pendapat Jumhur Ulama kaum muslimin. Ulama sekte Zaidiyyah, berpendapat bahwa imâmah tidak diduduki kecuali oleh anak-anak keturunan Fatimah serta anak-anak keturunan Hasan dan Husen. Sebab mereka berpandangan keturunan Fatimah layak menjadi pemimpin dan membawa kepemimpinan yang wajib ditaati. Dan pengangkatan pemimpin ini melalui peroses bai’at seperti dilakukan ketika zaid bin Ali di masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik, golongan ini segera membai’atnya.4 Sedangkan menurut ulama sekte Ismailiyyah jabatan imâmah adalah suatu jabatan “ketuhanan” yang dipilih oleh Allah swt. Menurut sekte ini bahwa yang berhak menjadi imâmah setelah wafatnya Rasulullah adalah Ali bukan Abu Bakar, Umar dan Ustman. Mereka 3
Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah, Study Banding Aqidah dan Tafsir, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), jilid 1, cet. ke-1, hal. 17. 4 As-salus, Esiklopedi Sunnah-Syiah, h. 25.
74
beranggapan kaum muslimin pada saat itu telah meninggalkan salah satu rukun iman,5 karena tidak mengankat Ali sebagai Imam. 3. Pendapat Ulama Ahli Fiqih Berbeda dengan ulam ahli fiqih dari mazhab apapun, yang meletakkan bai’at sebagai bagian hukum Islam yang prinsipil. Tidak terdapat dalam satu bab fiqih pun yang bernama bai’at misalnya. Ulama-ulama fiqih berpendapat bahhwa hukum bai’at tidak pernah ada dalam agama Islam. Bai’at merupakan sebuah tradisi Arab yang sifatnya tidak mengikat.6 Dengan demikian apapun bentuk bai’at yang diberikan kepada seorang imam atau pemimpin apa saja, maka bai’at itu tidak memiliki ikatan yang religius yang suci. C. Analisa Terhadap Pemaknaan Bai’at Menurut LDII Era hijrah Rasulullah merupakan pencerahan atau era baru dalam usaha beliau dalam mengefektifkan dakwah Islam, karena di kota Madinah itu Rasulullah Saw telah mendapatkan dukungan yang kuat dari kalangan umat Islam. Sebagaimana telah diterangkan pada bab sebelumnya bahwa rasulullah Saw untuk pertama kalinya mendapatkan pengakuan sebagai pemimpin dari kelompaok madinah pada bai’at Aqobah I (621 M) dan bai’at Aqobah II (622 M)7. Dengan bsahan (legitimasi) sebagai pemimpin masyarakat Madinah. Walaupun dalam bai’at Aqobah hanya hadir sekelompok orang-orang Arab Madinah, dan perjanjian tertulis hanya dikuti beberapa orang-orang pemimpin atau pemuka setiap suku dari kalangan orang-orang muslim dan non muslim yang
5
As-salus,Esiklopedi Sunnah-Syiah, h. 27. Husein Shihab, al-Huda Jurnal kajian Ilmu-ilmu Islam; Bai‟at dalam al-Qur‟an dan Sunnah, (Jakarta: Pusat Penelitian Islam, 2002), h. 26. 7 J. Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerinyahan dalam Piagam Madinah Di Tinjau dari Pandangan Al-Qur‟an, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), cet. ke-2, h.70 6
75
memiliki warga dan sukunya, namun dapat dikatakan bahwa mereka telah membawa aspirasi segenap penduduk Madinah, yang dalam teknisnya disebut “kehendak rakyat”. Dalam negara demokratis sudah pasti ada, dan mungkin juga tidak dalam negara terbentuk apapun, pemerintah yang sedang berkuasa merupakan “pilihan semua warga negara” artinya, walaupun seluruh rakyat tidak terlibat langsung dalam proses pemilihan pemerintah yang berkuasa sering diklaim sebagai “kehendak rakyat”. Dalam hal ini seluruh rakyat telah memberikan pengakuan terhadap keabsahan Rasulullah Saw sebagai pemimpin umat dalam membangun negara Islam dan mengembangkan kekuatan untuk menduduki kota Makkah yang dikuasai oleh orang-orang Quraisy. Wacana sirah Nabi Saw yang menjelaskan bahwa ada 2 macam bai’at yaitu: 1. Bai’at wajib Ain (Bay‟ah ayniyyah wajibah) atas setiap orang Islam lelaki dan perempuan. Bai’at wajib ain adalah meliputi aqidah dan akhlaq sosial Islam. 2. Bai’at wajib kifayah (Bay‟ah kifayyah wajibah) atas sebagian orang tanpa melibatkan orang lain. Bai’at ini adalah yang berkaitan dengan perkaraperkara yang fardlu kifayah, sperti bai’at untuk melakukan jihad. Melihat dari penjelasan ayat 18 surat al-Fath penulis mencoba untuk menyimpulkan, bahwa bai’at dalam ayat tersebut merupakan bai’at yang terjadi di bawah pohon kayu (Samurah) yang dinamai “Bai’atur Ridhwan”, yaitu bai’at yang telah dilakukan dengan suka rela, dengan kemauan tiap-tiap orang-orang dan dengan kebulatan tekad, sedia berperang dan sedia mati untuk membela Nabi Muhammad Saw dan memperjuangkan Islam. Ini disebabkan karena mendengar
76
kabar bahwa Ustman Bin Affan r.a telah dibunuh oleh orang-orang kafir Quraisy. Yang mana dalam peristiwa kelak akan terjadi perjanjian Hudaibiyyah yaitu perjanjian antara Nabi Saw dengan kaum musyrikiin Quraisy. Umat adalah pemilik yang sah dalam memilih khalifah yang diangkat untuk menjadi pemimpin mereka. bentuk pemilihan dan pencalonan berbeda dan beragam.
Dalam
memilih
pemimpin
atau
imam,
umat
kadang-kadang
menggunakan haknya secara langsung dalam memilih pemimpin, atau m,emilih wakil-wakil mereka untuk diserahi imam dan membai’at kepadanya. Para wakilwakil itu assalah oarang pilihan, tokoh pemikir, praktisi dan para pemuka yang diistilahkan dalam fiqih siyasah dengan a-hill wa al-aqd; atau dengan cara pencalonan seseorang yang diajukan oleh khalifah yang terdahulu untuk menjadi khalifah mendatangkan dan berdasarkan musyawarah dengan ahl a-hill wa al-„aqd terlebih daahulu. Sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar yang mana juga bermusyawarah dengan sejumlah ahl al-hill wa al-„aqd; atau dengan bentuk apapun dengan cara lain yang mungkin terjadi di masa mendatangdengan syarat berdasarkan pada musyawarah serta melibatkan umat.8 Dengan terpilihnya imam atau khalifah sebagai penerus Nabi maka terbentuklah pemerintahan Islam. Nabi Muhammmad Saw adalah seorang pemimpin pertama umat Islam, itu terbukti oleh sejarah dengan terjadinya bai’at terhadap beliau baik di Aqobah ataupun di bawah pohon Samurah. Langkah inilah yang membawa kepada terbentuknya komunitas atau negara Islam yang pertama kali. Pada saat itu unsur-unsur negara telah terpenuhi, yaitu ada teritorial (Madinah), kekuasaan (pemerintah), yang ditaati dan ada rakyat.9
8
M. Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, cet. ke-1, h. 159 Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, (Bandung: Mizan, 1994), cet. ke-2, h. 50 9
77
Untuk memperluas wawasan umat Islam tentang ketaatan, khususnya ketaatan kepada khalifah atau ulil amri, penulis mencoba mengajukan beberapa pendapat ahli pikir dan cendikiawan muslim, antara lain: 1. Imam Ath-Thabary dalam tafsirnya Jâm‟iul Bayân menjelaskan bahwa ulil al-amri itu ialah para raja dan kepala pemerintahan, yang perintahnya untuk taat kepada Allah dan untuk kemaslahatan kaum muslimin.10 2. Imam Baidhawy dalam tafsirnya Anwârut Tanzil menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ulil amri adalah para amir (pemimpin) kaum muslimin pada zaman Rasulullah Saw. Peninggalan para ulil amri itu dipindahkan kepada para khalifah, qâdi, dan kepala para pasukan tentara yang memerintahkan kepada orang banyak supaya menaati mereka. mereka wajib ditaati oleh kaum muslimin selama mereka itu di dalam kebenaran.11 3. Imam Ar-Razy dalam tafsirnya Mafhatihul ghaib menjelaskan bahwa ulil amri yang wajib ditaati oleh kaum muslimin itu ialah ahli ijmak menurut yang telah ditetapkan dalam ushul fiqh. Mereka itu adalah ahli ijtihad tentang hukum keagamaan pada masa itu. Ulil amri juga berarti segolongan umat ahlul halli wal aqdi (kelompok yang ahli dalam mengambil keputusan dan memberi pertimbangan yang sehat demi kepentingan umat). Jadi , yang dimaksud ulil amri itu ialah ahli ijmak dan ahlul halli wal aqdi.12 4. Al-Ashfani mengemukakan empat makna ulil amri, yakni (1) para Nabi yang mengatur kehidupan masyarakat; (2) para amir atau pejabat pemerintahan yang menguasai kehidupan lahiriyah masyarakat; (3) para 10
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), h. 98. 11 12
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h. 98. Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h. 98.
78
filosof yang menguasai kehidupan batin orang-orang tertentu; dan (4) para Nabi yang menguasai kehidupan batin masyarakat umum. 5. Muhammad Abduh juga bependapat bahwa ulil amri adalah sebuah lembaga yang terdiri dari para amir, hakim, ulama, kepala pasukan militer, serta seluruh ketua dan pemimpin masyarakat yang menjadi rujukan dalam masalah kebutuhan dan kemaslahatan umum. Dari beberapa pendapat ini tampak jelas menghimpun unsur-unsur ketua, pemimpin, dan tokoh-tokoh yang memiliki keahlian khusus yang relevan dengan kehidupan ummat. Mereka ini apabila telah bersepakat dalam menetapkan sebuah urusan atau hukum, maka wajib ditaati.13 Para ulama tafsir dan fiqih siyasi membuat empat definisi ulil amri, yaitu: (1) raja dan kepala pemerintahan yang patuh dan taat kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw, (2) raja dan ulama, (3) amir di zaman Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah wafat jabatan itu berpindah kepada qâdi (hakim), komandan militer, dan mereka yang meminta anggota masyarakat untuk taat atas dasar kebenaran, (4) mujahid atau yang dikenal dengan sebutan ahlul halli wal aqdi (yang memiliki otoritas dalam menetapkan hukum).14 Ketaatan kepada ulil amri secara pasti telah diperintahkan oleh Allah sebagai rangkaian ketaatan kepada dzat-Nya dan Rasulullah Saw, mereka itu meski terdiri dari orang-orang yang memiliki sifat terbebas dari semua kotoran kesalahan dan dosa, karena sifat mulia ini juga menjadi karekter Nabi sendiri.15
13
1030.
14
Sihabudin, Ensiklopedi al-Qur‟an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), h.
Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), jilid 2,h. 246. Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis Teologis dan Filosofis, (Jakarta: Lentera, 2004), cet. pertama, h.146. 15
79
LDII mengemukakan bahwa ulil amri adalah ahlul ilmi wal fiqhi yang mana LDII memaparkan bahwa kita harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya kita juga harus taat kepada ulama yang mana ketaatan tersebut harus dibarengi dengan penyembahan, adapun ketaatan kepada Rasulullah tidak disertai dengan penyembahan dan ketaatan kepada ulil amri itu tidak boleh disertai dengan penyembahan dan selama penafsirannya tidak ma’shiat (tidak ada ketaatan kepada makhluk yang bertentangan dengan sang Khaliq).16 Apakah yang dimaksudkan oleh al-Qur’an dengan ulil amri. Bisakah orang yang menduduki jabatan kepala pemerintahan Islam dengan cara merebut kekuasaan dari masyarakat sebagai ulil amri, dengan pengertian bahwa rakyat diwajibkan untuk menaati siapa saja yang menetapkan bagi dirinya sendiri hak untuk berkuasa, sekalipun ia menghabiskan seluruh hidupnya dalam lumuran dosa dan tidak tahu akan kebodohannya? (Bisakah hal itu diterapkan pada orang ) yang sepenuhnya kosong dari kelebihan spritual; yang samasekali tidak menyadari hukum-hukum dan perintah-perintah kepada Allah, merampas hak-hak rakyat demi kepentingan tirani dan hawa nafsu, dan melindungi para penindas dan para pelaku korupsi untuk duduk dalam kekuasaan, sehingga tangisan orang-orang yang tertindas tak berdaya lagi dan mayoritas masyarakat Islam terpenjara dalam borgol kehinaan.17 Jika pernyataan ulil amri diinterpretasikan dengan pengertian seperti itu, maka hal itu akan jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, karena jika penguasa melaksanakan perintah berbeda dengan hukum-hukum Allah dan hukumhukum itu mesti diimplementasikan dan diprioritaskan dari pada hukum-hukum yang lain. Namun juga menyatakan bahwa perintah-perintah para pemegang 16
Wawancara Pribadi dengan Aceng karimullah. Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis Teologi dan Filosofis, cet. pertama 17
80
kekuasaan juga harus ditaati. Meskipun nyata bahwa al-Quran tidak mungkin mensejajarkan dua hal yang bertentangan ditempat yang sama, atau memerintah dan melarang sesuatu yang sama secara beriringan. 18 Di samping itu, kearifan dan akal tidak bisa menerima ide bahwa wajib untuk tunduk kepada penguasa apa saja secara absolute, sekalipun ia melanggar hukum-hukum Allah dan berusaha untuk menghapuskan aturan-aturan Allah dari rnasyarakat. Akankah kebahagiaan dan keselamatan masyarakat bisa diraih dengan mengikuti pemerintahan seperti itu? Apakah pemerintahan seperti itu bisa mendorong kaum muslimin untuk meraih kekuasaan dan harga diri? Apakah orang bisa menisbahkan kepada Allah pandangan yang tidak berdasar dan bodoh sehingga penguasa seperti itu berhak untuk ditaati?
Tentu saja sangat dimungkinkan membatasi ketaatan kepada ulil amri hanya kepada orang-orang yang maklumat dan perintahnya sesuai dengan kriteria hukum Allah dengan mewajibkan kepada kaum Muslim untuk menentang mereka kapan saja jika tindakan-tindakan mereka bertentangan dengannya (dengan hukum Allah). Meskipun demikian, berkaitan dengan pandangan ini, ada beberapa kesulitan yang tidak bisa diabaikan atau dilupakan. Jelas bahwa tidak semua orang memahami detail hukum-hukum Allah sehingga ketika mereka menemui tindakan para penguasa bertentangan dengan agama, maka mereka akan menentangnya. Ketika
masa
tidak
dilengkapi
dengan
prasyarat
pengetahuan keagamaan, bagaimana mereka bisa mengambil sikap yang proporsional berhadapan dengan ketetapan-ketetapan penguasa, dengan
18
Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis Teologi dan Filosofis, cet. pertama
81
menaatinya ketika sesuai dengan kriteria agama dan menentangnya kapan saja ia bertentangan dengan aturan Allah. Lebih jauh lagi, jika seorang muslim menerima hipotesis seperti itu, ketika menaati ketetapan-ketetapan penguasa yang sesuai dengan hukum Allah, maka pada kenyataannya sudah menaati perintah-perintah Allah (dan bukannya mematuhi penguasa itu), maka ketaatan kepada ulil amri berubah menjadi kategori ketaatan yang berbeda.19 Taat kepada penguasa muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam di dalam pemerintahannya, sekalipun dzalim dan merampas hak-hak rakyat, selama tidak memerintah untuk melakukan kemaksiatan dan tidak menampakkan kekufuran yang nyata. hukumnya tetap fardhu bagi seluruh kaum muslimin. Sebagairnana Allah Swt berfirman dalarn surah an-Nisa ayat 59, dan juga Sabda Nabi Muhammad Saw: "Siapa saja yang menaati aku, maka dia telah menaati Allah, dan barangsiapa yang berbuat maksiat kepadaku, maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah. Dan siapa saja telah menaati pemimpinku, maka dia telah mena'ati aku. sedangkan siapa saja yang tidak taat pada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiat kepadakku." (H.R. Bukhari) 20 Dalil tersebut menunjukkan dengan tegas, bahwa ketaatan tersebut hukumnya
wajib. Karena Allah Swt telah
memerintahkan ketaatan kepada
penguasa, amir atau imam. Perintah itu disertai dengan sebuah indikasi yang menunjukan adanya suatu keharusan yaitu Rasulullah menjadikan ketidaktaatan kepada pemimpin itu sebagai sebuah kemaksiatan kepada Allah dan Rasul. Serta dengan adanya penegasan dalam perintah ketaatan tersebut, sekalipun yang menjadi penguasa adalah budak hitam legam, semuanya itu merupakan indikasi 19
Sayid Mujtaba Musawi Lari, Imam Penerus Nabi Muhammad Saw Tinjauan Historis Teologi dan Filosofis, cet. pertama, h. 142-144. 20
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari.
82
yang menunjukan bahwa perintah itu menuntut dengan tegas agar dilaksanakan, rmaka taat kepada seorang penguasa itu hukumnya fardhu.21 Kata ulil amri yang berarti orang yang memegang kekuasaan ini mempunyai arti yang luas, sehingga perkara apa saja yang bertalian dengan Kehidupan manusia, mempunyai ulil amri sendiri-sendiri. Hal inilah senada dengan yang LDII kemukakan bahwa Komandan militerpun harus dianggap sebagai ulil amri. Dalam urusan duniawi, para penguasa dunia harus ditaati, sedangkan penguasa dalam bidang agama harus ditaati dalam soal keagamaan. Peristiwa dalam keagamaan seringkali timbul perselisihan. Dalam hal ini, umat Islam wajib menyerahkan perkaranya kepada Allah dan utusan-Nya. Umat Islam harus mengembalikannya kepada al-Qur’an dan hadîts.22
Karena itu, ulil amri ditaati karena ia menaati Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa diantara ulil amri itu menyuruh dengan apa yang sesuai dengan yang diturunkan Allah atau Rasul-Nya, wajiblah umat menaatinya. Tetapi barangsiapa yang menyuruh (memerintah) dengan menyalahi apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw, perintah itu tidak boleh didengar dan ditaati. Sebab, ketentuan sunah telah mengatur tentang batas-batas ketaatan terhadap ulil amri dan melarang rakyat untuk menaatinya, jika ulil amri menyalahi hukum yang telah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya.23
Berkenaan dengan masalah dan bai'at dan pengaturan masalah-masalah kaum muslimin setelah Nabi wafat, Rasulullah Saw tidak merasa puas dengan pembicaraan umum saja. Beliau langsung berbicara tentang masalah tersebut sejak hari pertama 21
Taqiyudin An-Nabani, Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah dan Realitas Empirik, (Bangil Jatim:Al-Izzah, 1997), h.335-336. 22 Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), h. 95-96. 23
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h. 101.
83
kerasulannya, bersamaan dengan pembicaraan masalah hakikat tauhid dan kenabian, yang dilakukan nabi pada saat itu adalah mengumumkan Ali as sebagai wali, masalahmasalah agama dan kemasyarakatan, dan pengganti beliau dalam mengurus masalah kaum muslimin. Menurut riwayat-riwayat yang diterima, pada hari ketika Rasulullah Saw. Mula-mula diperintah untuk berdakwah secara terbuka kepada masyarakat, beliau memanggil sanak keluarga serta mengumpulkannya. Dalam pertemuan itu beliau mengungkapkan, menegaskan dan mengukuhkan kedudukan Amirul mukminin Ali sebagai pengganti beliau. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Nabi Muhammad Saw: “Barang siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya juga.”
48
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari semua penjelasan tentang konsep imâmah dan bai‟at dalam al-Qur‟an pemaknaan LDII terhadap ayat 18 surat Al-Fath yang penulis paparkan di atas yang terdiri darri bab terdahulu dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa implementasi dan bai‟at dalam kehidupan umat Islam sangatlah dibutuhkan, sebagai wujud dari kesetian umat muslim dan kesetiaan itu bukan saja hanya patuh atau taat terhadap seorang pemimpin, akan tetapi kesetiaan terhadap syari‟at Islam dan tuntutan-tuntutan moral dalam Islam yang ditekankan kepada seluruh kaum muslimin. 2. Dalam ajaran Islam, mengurusi umat itu tergolong kewajiban yang bernilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakkan kecuali dengannya, oleh karena itu pengangkatan seorang pemimpin merupakan hal yang wajib dan harus dilakukan oleh kaum muslimin dalam setiap perkumpulan atau dalam mengurusi umat sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan RasulNya. 3. Paparan diatas tidak menyimpulkan bagaimana wajah LDII yang sebenarnya pada masa kini. Paparan diatas juga mengajak kita untuk membandingkan antara permasalahan yang didakwakan kepada LDII dengan jawaban yang dikemukakan oleh LDII. Dari sekian banyak ajaran
84
85
yang dianggap berbeda dari kaum Salafi adalah tuduhan atas praktek konsep kejama'ahan dan keimâmahan LDII. Hal tersebut bermuara dari pernyataan (atsar) Sayidina Umar RA:
ﻹ "Tidak ada Islam tanpa jama'ah, dan tidak ada jama'ah tanpa imarah, dan tidak ada imarah tanpa ketaatan." Dalam kalangan umat Islam, atsar ini bukanlah suatu yang asing. Hal ini menjadi persoalan ketika orang yang tidak masuk ke dalam jama'ah itu dianggap bukan Islam, alias kafir. Ketika tuduhan kafir (takfir) dimunculkan, resistensi muncul dari kalangan Islam lainnya. Ketika itu pula, kelompok lain melontarkan serangan balasan kepada LDII dengan menuduh bahwa organisasi tersebut merupakan reinkarnasi dari kelompok Khawarij. Namun, Syafii Mufid, peneliti yang pernah mengkaji LDII menegaskan bahwa “...sebenarnya kekhasan dalam berkonsep tidak hanya ada pada LDII, melainkan juga ada dalam kelompok-kelompok Islam lain di Indonesia, bahkan di dunia. Menurutnya, yang menjadi persoalan adalah apabila kelompok tersebut mengembangkan klaim kebenaran dalam konsepsi keber-Islam-annya, yang kemudian dapat memicu perpecahan...” Dalam kerangka pikir Syafii Mufid itulah, LDII sebenarnya sedang menjadi bagian organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia, yang
86
kekhasannya dalam berkonsep telah memunculkan resistensi pihak luar terhadap LDII. Dalam dinamikanya, LDII termasuk ormas yang cepat merespon resistensi tersebut. Organisasi yang berawal dari nama LEMKARI tersebut secara perlahan telah berusaha melakukan perubahan. Kemudian pada tahun 1990, terjadi perubahan artifisial dari LEMKARI ke LDII. Perubahan radikal dari sisi mindset terjadi pada saat Munas VI LDII tahun 2005. Tahun tersebut telah menjadi tonggak berdirinya "LDII Baru" dengan "Paradigma Barunya, yang membuat wajah LDII lebih toleran dan lebih inklusif. Namun demikian, khas "ke-Salafi-an" yang dipertahankan LDII dalam praktek keagamaannya, masih membuat ormas Islam yang satu ini, berada dalam posisi yang masih tercurigai. Dalam posisi konstelatif yang dilematis tersebut itulah, kajian atas berbagai permasalahan LDII yang masih tercurigai, memiliki signifikansi sosial yang tinggi. B. Saran-saran Melihat dari fenomena kehidupan manusia terutama umat Islam yang selalu berkembang dan mengalami perubahan-perubahan secara terus-menerus sesuai dengan perubahan zaman dan berusaha untuk mencapai kehidupan yang Islami, maka penulis menyarankan sebagai berikut: 1. Melihat dari kenyataan sejarah, bahwa Islam adalah agama wahyu yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Kepada manusia, namun bagi umat manusia terutama umat Islam masih mengalami kemunduran
87
dalam mengimplementasikan wacana tentang persoalan agama baik berupa ibadah maupun muamalah. Ini disebabkan umat Islam tidak istiqomah dalam memegang komitmen untuk selalu berpegang teguh pada syariat Islam dan mengkristalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penulis menyarankan kepada umat Islam supaya lebih mendalami, memahami, dan mengkaji lebih luas lagi serta mengamalkannya nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah, baik melalui studistudi penafsiran para mufasir maupun literatur-literatur sejarah yang lain mengenai persoalan kehidupan umat Islam. Sehingga umat Islam mencapai kehidupan yang Islami seperti yang telah terjadi pada pada zaman Rasululah. 2. Bai‟at dalam Islam mungkin masih dipandang oleh sebagian umat Islam hanya merupakan sejarah belaka yang terjadi pada masa Rasulullah atau sahabat. Dan tidak perlu lagi digunakan pada masa sekarang bahkan bai‟at dalam Islam sama sekali sudah hilang dan tidak lagi menjadi persoalan yang penting dalam kehidupan umat Islam untuk mengangkat pemimpin, untuk itulah, kajian ilmiah yang penulis uraikan ini, diharapkan dapat memberikan sedikit masukan terhadap umat Islam untuk lebih memahami lagi tentang makna bai‟at dalam Islam dan merealisasikannya dalam kehidupan. 3. Berkaitan dengan stigma yang dialamatkan kepada LDII, umat Islam saat ini masih mendapatkan data yang simpang siur, selain
88
itu, LDII juga masih dalam proses memperoleh klarifikasi dari MUI pusat. Saat ini klarifikasi tersebut masih dalam proses. Paparan diatas tidak menyimpulkan bagaimana wajah LDII yang sebenarnya pada masa kini. Paparan diatas juga mengajak kita untuk membandingkan antara permasalahan yang didakwakan kepada LDII dengan jawaban yang dikemukakan oleh LDII, Dalam hal ini penulis menyarankan kepada seluruh umat Islam, hendaknya tidak secara terburu-buru dalam menyimpulkan suatu kasus yang menyangkut kekurangan suatu kelompok, apalagi data yang dijadikan untuk menilainya masih simpang-siur (al-qil wa alqal) atau belum jelas sehingga vonis hukuman yang dijatuhkan dkhawatirkan akan salah. Berkaitan dengan ini, riwayat berikut ini patut kita renungkan:
“Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) apabila salah dalam memberikan ampunan, itu lebih baik daripada jika ia salah dalam memberikan hukuman.” (Dikeluarkan oleh al-Turmudzi, al-hakim, dan al-Baihaqi dari hadîts dari Aisya) Wallahu a’lam bissowab
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Ramli Kabi Ahmad Sidiq. Bai’at Suatu Prisip Gerakan Islam. ElFawazz, 1993, Cet. Ke-1. Abu Fariz, Muhammad Abdul Qadir. Sistem Politik Islam. Jakarta: Rabbani Press, tt, Cet. Ke-1. Aceh, Abu Bakar. Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. Solo: CV. Ramadhani, 1998, Cet. ke-1. Al-Bukhârî, Abî Abdillah Muhammad bin Ismâ‟îl. Sahîh Bukhâri, Al-Azhar: Dâr al-Bayân al-„Arabî, 2005. Al-Qur‟an al- Karim dan Terjemahannya. Semarang CV. Toha Putra. Basyir, Ahmad Azhar, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, Bandung: Mizan, 1994, cet. ke-1. Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarief Hidayatullah Jakarta. Pedoman Akademik Tahun 2005/2006. Jakarta: 2005 Hashem, D. Saqifah, Suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat. Depok: PenerbitYafi, 1989, Cet. ke-2. Hasjmi, A. Dimana letaknya Negara Islam. Surabaya: Bina Ilmu Surabaya, 1984, Cet.ke-1. Husaini, H. M. H. Al- Hamidi. Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw. Jakarta: Yayasan al-Hamidi, 1996, Cet. Ke-6. Hassem, Fuad, Sirah Muhammad Rasulullah Suatu Penafsiran Baru, Bandung: Mizan, 1997, cet. ke-2 Islam Syi‟ah. “Leksikon Islam”. Jakarta: PT Pustazet Perkasa,vol. 1. Jabatan Agama Johor. Bahaya faham Syi’ah: Satu Penjelasan. Johor Baru: Penyelidikan, Jabatan Agama Johor, 2003. Jafri, S.Muhammad. Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah dari Syaqifah Sampai Imȃmah. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, Cet. ke-1.
90
91
Jamaluddin, M. Amin. Kupas Tuntas kesesatan dan Kebohongan LDII Jawaban Atas Buku Direktori LDII. Jakarta: LPPI, 2007.
Jindan Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyya tentang Pemerintahan Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1999 Kailan. Metode Penelitian Kualitatif Filsafat. Yogyakarta: Paradigma, 2005. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Direktori LDII 2003. Jakarta: LDII, 2003. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Himpunan Keputusan Munas VI LDII. Jakarta: LDII, 2005. Moleong, J. Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya, 1989. Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: logos Wacana Ilmu, 2000, Cet. Ke-1. Munawir, A.W. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: Pustaka Progresi, 1984, Cet. ke- 1. Musawi, Lari Sayid Mustajab. Imam Penerus Nabi Muhammad Saw, Tinjauan Historis, Teologis, dan Filosofis. Jakarta: Lentera, 2004, Cet. ke-1. Nabani, Faqiyudin. Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah Dan Realitas Empirik. Bangil Jatim: al-Izzah, 1997. Pulungan, J. Suyuti. Prinsip-prinsip Pemerintah Dalam Piagam Madinah di Tinjau Dari Pandangan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1996, Cet ke-2. Qathan, Manna „al. Mabahits fi ulum al-Qur’an. Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif, 1981. Raharjo,M. Dawam. Ensiklopedi al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. ke-1. Salas, Ali. Imâmah dan khilâfah Dalam Tinjauan Syar’i. Jakarta: Gema Insani Press, 1997, Cet. Ke-1. Salus, Ali Ahmad. “Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir”. Ensiklopedi Sunnah Syi‟ah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, vol.1. Setiawan, Habib. dkk. After New Paradigm Catatan Para Ulama Tentang LDII. Jakarta: Pusat Studi Islam Madani Institute, 2008.
92
Setiawan, Habib. Dialog Ulama dan Ormas Islam Dengan Lembaga Islam Indonesia (LDII)” Apa dan Bagaimana LDII Paradigma Baru”. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia provinsi Jakarta, 2008. Shihab, Husaen. Al-Huda Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, Bai’at dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jakarta: Pusat Penelitian Islam, 2002. Sihabudin. Ensiklopedi al-Qur’an: kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Shihab, M. Qurash. Ensiklopedi al-Qur’an Kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Soebantono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Rosda Karya, 1989. Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Aqidah Dan Tafsir. Jakarta: al-Kautsar, 2001, Cet. Ke-1. Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta: al-Husna Zikra, 1995, Cet. Ke-1. Syari‟ati, Ali.Ummah dan Imâmah. Bandar Lampung: YAPI, 1990, Cet. Ke-1. Tabataba‟i, Alamah Sayyid Muhammad Husain., Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, (Pntj) Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1992, Cet. Ke-1 Wawancara Pribadi dengan KH. Aceng karimullah. Jakarta, tanggal 19 februari 2010. Wawancara pribadi dengan KH. Aceng karimullah. Jakarta, tanggal 5 juli 2010. Yunus, Muhammad. Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidayah Karya Agung, 1997. Cet. ke-1. Ziyadah, Asma‟ Muhammmad. Peran Politik Wanita dalam Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Ramli Kabi Ahmad Sidiq. Bai’at Suatu Prisip Gerakan Islam. ElFawazz, 1993, Cet. Ke-1. Abu Fariz, Muhammad Abdul Qadir. Sistem Politik Islam. Jakarta: Rabbani Press, tt, Cet. Ke-1. Aceh, Abu Bakar. Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. Solo: CV. Ramadhani, 1998, Cet. ke-1. Al-Bukhârî, Abî Abdillah Muhammad bin Ismâ‟îl. Sahîh Bukhâri, Al-Azhar: Dâr al-Bayân al-„Arabî, 2005. Al-Qur‟an al- Karim dan Terjemahannya. Semarang CV. Toha Putra. Basyir, Ahmad Azhar, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, Bandung: Mizan, 1994, cet. ke-1. Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarief Hidayatullah Jakarta. Pedoman Akademik Tahun 2005/2006. Jakarta: 2005 Hashem, D. Saqifah, Suksesi Sepeninggalan Rasulullah, Awal Perselisihan Umat. Depok: PenerbitYafi, 1989, Cet. ke-2. Hasjmi, A. Dimana letaknya Negara Islam. Surabaya: Bina Ilmu Surabaya, 1984, Cet.ke-1. Husaini, H. M. H. Al- Hamidi. Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw. Jakarta: Yayasan al-Hamidi, 1996, Cet. Ke-6. Hassem, Fuad, Sirah Muhammad Rasulullah Suatu Penafsiran Baru, Bandung: Mizan, 1997, cet. ke-2 Islam Syi‟ah. “Leksikon Islam”. Jakarta: PT Pustazet Perkasa,vol. 1. Jabatan Agama Johor. Bahaya faham Syi’ah: Satu Penjelasan. Johor Baru: Penyelidikan, Jabatan Agama Johor, 2003. Jafri, S.Muhammad. Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah dari Syaqifah Sampai Imȃmah. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, Cet. ke-1.
87
Jamaluddin, M. Amin. Kupas Tuntas kesesatan dan Kebohongan LDII Jawaban Atas Buku Direktori LDII. Jakarta: LPPI, 2007.
Jindan Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyya tentang Pemerintahan Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1999 Kailan. Metode Penelitian Kualitatif Filsafat. Yogyakarta: Paradigma, 2005. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Direktori LDII 2003. Jakarta: LDII, 2003. Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Himpunan Keputusan Munas VI LDII. Jakarta: LDII, 2005. Moleong, J. Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya, 1989. Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta: logos Wacana Ilmu, 2000, Cet. Ke-1. Munawir, A.W. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: Pustaka Progresi, 1984, Cet. ke- 1. Musawi, Lari Sayid Mustajab. Imam Penerus Nabi Muhammad Saw, Tinjauan Historis, Teologis, dan Filosofis. Jakarta: Lentera, 2004, Cet. ke-1. Nabani, Faqiyudin. Sistem Pemerintahan Islam Doktrin Sejarah Dan Realitas Empirik. Bangil Jatim: al-Izzah, 1997. Pulungan, J. Suyuti. Prinsip-prinsip Pemerintah Dalam Piagam Madinah di Tinjau Dari Pandangan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1996, Cet ke-2. Qathan, Manna „al. Mabahits fi ulum al-Qur’an. Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif, 1981. Raharjo,M. Dawam. Ensiklopedi al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. ke-1. Salas, Ali. Imâmah dan khilâfah Dalam Tinjauan Syar’i. Jakarta: Gema Insani Press, 1997, Cet. Ke-1. Salus, Ali Ahmad. “Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir”. Ensiklopedi Sunnah Syi‟ah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, vol.1. Setiawan, Habib. dkk. After New Paradigm Catatan Para Ulama Tentang LDII. Jakarta: Pusat Studi Islam Madani Institute, 2008.
88
Setiawan, Habib. Dialog Ulama dan Ormas Islam Dengan Lembaga Islam Indonesia (LDII)” Apa dan Bagaimana LDII Paradigma Baru”. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia provinsi Jakarta, 2008. Shihab, Husaen. Al-Huda Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, Bai’at dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jakarta: Pusat Penelitian Islam, 2002. Sihabudin. Ensiklopedi al-Qur’an: kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Shihab, M. Qurash. Ensiklopedi al-Qur’an Kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Soebantono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Rosda Karya, 1989. Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Aqidah Dan Tafsir. Jakarta: al-Kautsar, 2001, Cet. Ke-1. Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta: al-Husna Zikra, 1995, Cet. Ke-1. Syari‟ati, Ali.Ummah dan Imâmah. Bandar Lampung: YAPI, 1990, Cet. Ke-1. Tabataba‟i, Alamah Sayyid Muhammad Husain., Inilah Islam; Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah, (Pntj) Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1992, Cet. Ke-1 Wawancara Pribadi dengan KH. Aceng karimullah. Jakarta, tanggal 19 februari 2010. Wawancara pribadi dengan KH. Aceng karimullah. Jakarta, tanggal 5 juli 2010. Yunus, Muhammad. Kamus Bahasa Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidayah Karya Agung, 1997. Cet. ke-1. Ziyadah, Asma‟ Muhammmad. Peran Politik Wanita dalam Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
89
90