2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan dan Klasifikasi Habitat Perairan Dangkal Habitat terumbu karang didefinisikan sebagai rumah alami dari tanaman dan hewan. Tiga sistem lingkungan utama mempengaruhi terumbu karang, yaitu; (i) submarine, (ii) intertidal, dan (iii) supratidal (Tabel 2-1). Masing-masing habitat memiliki karakteristik substrat dan spesies yang berubah sesuai dengan perubahan faktor lingkungan seperti cahaya, variasi suhu diurnal, kandungan oksigen perairan, tingkat sedimentasi, energi gelombang, dan sejumlah hal lainnya, termasuk biota dan pengaruhnya (Frankel 1982). Tabel 2-1 Habitat terumbu karang Sistem lingkungan Lingkungan utama Submarine Interreef channel (off reef floor) Fore reef
Lagoon
Intertidal
Reef crest
Reef flat (Outer and inner)
Beach
Mangrove swamp Supratidal
Cay
Raised reef Sumber: Frankel (1982)
Habitat umum - substrat campuran (pasir/lumpur) - Isolated coral pinnacles - Karang hidup - batu karang (karang mati) - sedimen campuran dalam kantung - laguna karang (“patch”) - substrat campuran (poorly sorted) - “Grass” beds - Karang hidup - Karang batu (karang mati, boulders) - Pools - Karang hidup - batu karang - Pools - sedimen campuran dalam kantung - sedimen campuran - batuan pantai - batu karang dari terumbu yang terangkat - sedimen campuran - pohon - pasir - kerikil - pecahan batuan pantai - vegetasi darat Batu karang
Klasifikasi ekosistem terumbu karang dalam studi penginderaan jauh ditentukan secara geomorfologi, ekologi dan kombinasi keduanya. (i) Kelas geomorfologi dicontohkan terdiri dari; backreef, reefcrest, spur dan groove, forereef, escarpment, patch reef, dan lagoon floor (Mumby et al. 1998),
6
(ii) Klasifikasi ekologi berdasarkan habitat ditentukan melalui pembatasan habitat spesies tanaman, hewan dan substrat. Contoh: koral, dominasi alga, dominasi substrat dan dominasi lamun (Mumby 1998); dan (iii) Kombinasi klasifikasi geomorfologi dan ekologi, secara hirarki dicontohkan atas kelas dasar perairan laguna yang dangkal dengan lamun (kelas ekologi ditentukan lebih detail kedalam densitas spesis) (Mumby et al. 2000). Kenampakan
secara
spasial
habitat
perairan
dangkal
merupakan
lingkungan utama terumbu karang dapat digambarkan pada Gambar 2-2 (Frankel 1982):
Gambar 2-1 Lingkungan utama terumbu karang (Frankel 1982). Skema klasifikasi habitat perairan dangkal atas komponen geomorfologi dan bentik terumbu karang di perairan karang Karibia, Glovers, Biscayne dan Andros disajikan pada Gambar 2-2 (Andrefout 2003):
7
Gambar 2-2 Skema klasifikasi habitat terumbu karang (Andrefout 2003)
8
2.2 Teknik Penginderaan Jauh Habitat Perairan Dangkal Konsep dasar penginderaan jauh karang pertama kali dikembangkan dengan cara penginderaan jarak dekat (proksimal) (Fussell et al. 1986). Menurut Andrefouet dan Riegl (2004) bahwa prosedur proksimal dari pengukuran radiometer in-situ tersebut penting untuk memahami prinsip dasar interaksi energi elektromagnetik dengan permukaan bumi yang mencirikan kenampakan individu karang yang diperiksa dari spectral reflectance (SR). Tujuan umum karakterisasi proksimal karang adalah klasifikasi spektral citra hyperspectral secara konsisten meniru cara pembentukan spektral library kesehatan terumbu karang. Pemanfaatan Radiometer hyperspectral untuk mengukur reflectance in-situ dari spectral downwelling irradiance (DI) dan upwelling radiance (UR) tepat di atas target karang (benthos) (Lawson et al. 2006). Pemetaan habitat perairan dangkal dari satelit dipengaruhi oleh atmosfir dan kolom air. Radiasi harus melalui dua media, yaitu atmosfir dan air, dan naik kembali hingga direkam oleh sensor. Oleh karena itu untuk mengidentifikasi pantulan dasar perairan citra harus dikoreksi secara atmosferik dan kolom air. Ilustrasi kemampuan satelit penginderaan jauh ke badan air disajikan pada Gambar 2-3 (Edwards 1999):
Gambar 2-3 Ilustrasi kemampuan radiasi sensor satelit ke badan air
9
Lima kemampuan remote sensing untuk memaksimalkan penentuan kelas karang, yaitu; (i) diskriminasi kelas dasar ekologi, (ii) separabilitas spektral, (iii) kedalaman attenuasi untuk penentuan kemampuan separabilitas, (iv) ekstraksi informasi separabilitas dengan sensor, dan (v) diskriminasi kelas bentik melalui analisis resultan data (Hedley dan Mumby 2002). Terdapat 5 cara klasifikasi penginderaan jauh habitat terumbu karang (Mumby 1998; 2000), yaitu: pertama, pendefinisian kategori habitat. Pendekatan ini tidak termasuk pengumpulan data baru dan digunakan jika seorang analisis familiar dengan area/skema klasifikasi habitat yang diperlukan. Pendekatan ini relatif murah dan beberapa sering tidak menguntungkan. Penentuan dasar kelas mungkin tidak benar dan tidak sesuai dengan area yang ada, meskipun skema kelas tepat, tetapi mungkin habitat tidak dapat diidentifikasi. Contoh intrepretasi citra tidak akurat hanya didominasi 1 spesies dan klasifikasi hanya difokuskan pada sebagian area; kedua, penelusuran studi aplikasi spesifik. Pendekatan ini memungkinkan diterapkan pada kenampakan permukaan dan tidak difokuskan pada semua area peta habitat. Contoh sebagian area citra didominasi dengan satu spesies dan klasifikasinya hanya difokuskan pada sebagian area; ketiga, klasifikasi
geomorfologi.
Pendekatan
ini
biasa
digunakan
dalam
studi
penginderaan jauh. Klasifikasi ini relatif baik, karena menghasilkan skema klasifikasi standar. keempat, klasifikasi ekologi berdasarkan habitat. Pembatasan habitat pada klasifikasi ekologi biasanya berlaku pada spesies tanaman, hewan dan substrat; dan kelima, kombinasi secara hirarki klasifikasi geomorfologi dan ekologi. Pendekatan ini merupakan gabungan geomorfologi dan ekologi. Umumnya reflektansi substrat perairan dangkal (shallow water) ke iluminasi panas merupakan suatu fungsi dari; (i) reflektansi substrat, (ii) kedalaman air, dan (iii) sifat optik air (bahan organik, total suspended solid/TSS, total dissolved solid/TDS).
Variasi
karakteristik
pengaruh
optik
dalam
kolom
air
erat
hubungannya dengan kedalaman, proses scattering dan absorbsi di kolom air. Peningkatan informasi tipe dasar perairan dapat dikembangkan metode “depth invariant
index”.
Konsep
tersebut
didasarkan
bahwa
reflektansi
radian
merupakan fungsi linear reflektansi substrat dasar dan fungsi eksponensial kedalaman perairan (Lyzenga 1981).
10
Pengaruh kedalaman pada reflektan dasar perairan dapat dihilangkan memerlukan: (i) pengukuran kedalaman untuk setiap pixel citra, dan (ii) pengetahuan karakteristik kedalaman attenuasi dari kolom air (misalnya konsentrasi total dissolved solid/TDS) (Mumby et al. 1998). Koreksi atmosfir dan kolom air berpengaruh terhadap akurasi pemetaan habitat terumbu karang berdasarkan karakteristik spektral dan spasial dari sensor satelit itu sendiri (Nurlidiasari 2004). Spectral signature dari hasil analisis reflektansi spektral yang diukur secara radiometrik menggunakan spektroradiometer dapat dijadikan sebagai kunci penginderaan jauh mendeterminasi ekosistem terumbu karang (Nurjannah 2006). Penggunaan citra satelit berbeda (multispectral scanner/MSS, Landsat TM (thematic mapper), Système Probatoire d'Observation de la Terre (SPOTXS dan SPOT-Pan), airborne multi-spectral imagery (CASI) dapat dilakukan untuk menilai pengaruh koreksi kolom air dan contextual editing untuk pemetaan terumbu karang di Pulau Turks dan Caicos, Barat Inggris. Perluasan titik survey ground truth yang dikumpulkan hingga 600 titik, tercatat bahwa kekasaran resolusi spasial dan spektral sebagian dan campuran sesuai pixel MSS dan SPOT pan menyulitkan klasifikasi. Jika diterapkan koreksi kolom air berdasarkan pasangan citra sinar tampak (visible band) sebagai data input, maka resolusi spasial dan spektral semakin rendah (Mumby et al. 1998a). Sensor satelit SPOT-5 mampu mendeteksi objek di bawah air karena memiliki band sinar tampak hijau (B1), merah (B2) dan inframerah dekat (B3). Kedalaman dapat ditembus oleh B1 (0,49-0,61µm) sekitar 15 m, B2 (0,610,68µm) sekitar 5 m, B3 (0,78-0,89µm) sekitar 0,5 m dan inframerah seluruhnya diserap oleh perairan (CNES 1999 dan Green et al. 2000). Pendekatan koreksi permukaan dan kedalaman air, selain yang tidak terhitung menunjukkan overall accuracy klasifikasi habitat terumbu karang disetiap lokasi berbeda antara citra IKONOS 42 – 84% dan Landsat 42 – 71% (Andrefout 2003). Perubahan deteksi terumbu karang di Taman Laut Karang Florida menggunakan 20 time series citra Landsat-TM dapat dianalisis dengan temporaltexture deviation processing technique. Teknik generalisasi nilai tekstur dalam domain spasial menunjukkan nilai tekstur yang tinggi mewakili perubahan tekstur dan nilai-nilai yang rendah mewakili stabilitas. Sensor Landsat memungkinkan untuk mendeteksi perubahan dalam tingkat komunitas karang dan diperlukan
11
suatu peralatan diagnostik untuk memantau kondisi terumbu karang. Secara temporal, perubahan hanya terjadi dalam dua arah, yaitu; pendahulu dan penerus, sehingga tipe perubahan habitat tidak dapat diidentifikasi (Dobson dan Dustan 2000). Kemampuan sensor multi-spasial dan multispektral dapat diuji melalui pengukuran spectral reflectance (SR) in-situ untuk klasifikasi tiga kelas dasar komunitas karang (terumbu, alga dan karbonat). Pengujian tersebut dilakukan terhadap
dua
sensor
hyperspectral
udara,
yaitu
AAHIS
(Advanced.
Airborne Hyperspectral Imaging System) dan AVIRIS (Air-borne Visible/Infrared Imaging Spectrometer), tiga satelit broadband sensor multi-spektral (IKONOS, Landsat ETM dan POT-HRV), dan dua satelit sensor multispectral sempit (Proto dan Crespo). Resolusi spasial sensor AAHIS, AVIRIS, Proto, Crespo, Ikonos, Landsat ETM, dan SPOT-HRV masing-masing adalah 2, 2, 20, 10, 4, 30, dan 20 m. Analisis menunjukkan ketidakpastian pixel kelas terumbu dalam pixel besar berdasarkan berbagai tingkatan spektrum pencampuran. Namun pixel kecil (2 x 2 m) memberikan spektrum campuran yang lemah. Resolusi spectral dari sensor citra hyperspectral memberikan kontras spektrum yang sangat tinggi antara karang dan alga sebagaimana ditunjukkan statistik penutupan areal yang lebih akurat. Ikonos, Landsat ETM dan SPOT-HRV lemah dalam memberikan pendugaan klasifikasi campuran area penutupan karang atau berdasarkan pixel alga dan karang (Hochberg dan Atkinson 2003). Metode klasifikasi dari beberapa citra satelit yang dikembangkan untuk memetakan habitat terumbu karang dengan tingkat akurasi yang berbeda-beda disajikan pada Tabel 4-7 (De Mazieres 2008): Tabel 2-2 Beberapa teknik penginderaan jauh satelit untuk pemetaan terumbu karang Subyek Metode Referensi Data citra Akurasi pemetaan klasifikasi Andréfouët 3-15 kelas IKONOS • Klasifikasi 77% untuk 4-5 et al. 2003 bentik Landsat kelas, 71% Unsupervised ETM untuk 7-8 dan/atau kelas, 65% supervised dalam 9-11 • Contextual kelas, dan editing 53% untuk lebih dari 13 kelas Landsat: 56% untuk 5-11 kelas
12
Tabel 2-2 Lanjutan... Subyek Referensi pemetaan Andréfouët Geomorfologi & Guzman dan keragaman 2005 bentik
Data citra Landsat ETM Landsat TM
Landsat ETM ASTER SPOT HRV IKONOS MASTER Landsat ETM
Metode klasifikasi
Akurasi
• Intrepretasi visual • Klasifikasi Supervised • Contextual editing • Klasifikasi Supervised
Penilaian kualitatif
• Klasifikasi Unsupervised
Keseluruhan 41 dari 74% sampai 12% untuk lokasi dari 72% sampai 0% untuk tipe bentik 89% dan 81% untuk pasir kasar dan tingkatan yang baik dari diskriminasi habitat Tidak tersedia
Capolsini et al. 2003
3 tingkat klasifikasi (kelas 3,4,5,7,9)
Joyce et al. 2004
5 kelas bentik
Mumby et al. 1998
2 tingkat klasifikasi, 4 (karang, alga, pasir, lamun) – 9 kelas bentik
CASI
• Klasifikasi Supervised • Contextual editing
Neil et al. 2000 Roelfsema et al. 2002
10 kelas geomorfologi Mikroalga bentik (konsentrasi chlorophyll)
Landsat TM Landsat TM
Klasifikasi Unsupervised • Spectral reflectance • Klasifikasi Supervised
Landsat ETM: 48-81% IKONOS: 86%-65%
Keseluruhan 62% dari 11% sampai 82%
Sumber : De Mazieres (2008) Pengembangan algoritma ISODATA untuk memetakan habitat bentik perairan tropik diperoleh overall accuracy 81% (Mishra et al 2006). Klasifikasi unsupervised (berbasis klasifikasi computer atau pengetahuan local habitat, peta local dan pengalaman lapang menggunakan data lapang dari posisi yang diketahui) menghasilkan peta habitat karang dengan overall accuracy rendah <50% dibandingkan >70% menggunakan klasifikasi supervised (Green et al. 2000)
13
2.3 Quickbird Quickbird merupakan satelit resolusi tinggi yang dioperasikan oleh EarthWatch Inc. yang berubah nama menjadi DigitalGlobe sejak September 2001. Quickbird-1 diluncurkan pada 20 November 2000, tetapi gagal mencapai orbit. Quickbird-2 diluncurkan Oktober 2001 (Gambar 2-4). Pada mulanya kedua satelit direncanakan untuk resolusi citra 1 m, namun EarthWatch menerima lisensi untuk mengoperasikan sistem satelit hingga resolusi 0.5 m pada Desember 2000. QuickBird-2 dimodifikasi untuk menambah resolusi citra melalui penurunan orbit satelit, sehingga meningkatkan resolusi pankromatik dari 1 m ke 0.61 m, dan resolusi multispektral dari 4 m ke 2.44 m. Sensor Quickbird-2 (Tabel 2-2), secara simultan mengumpulkan citra panchromatic resolusi 0.61 m dan citra multispektral resolusi 2.44 m. Citra multispektral memiliki empat panjang gelombang, yaitu Band biru, hijau, merah, dan near-infrared (NIR). Citra multispektral digabung dengan citra panchromatic dari lokasi yang sama menghasilkan citra "warna pansharpen" resolusi 0.61 m. Informasi lokasi yang dikumpulkan melalui satelit GPS akurat memetakan skala luas tanpa menggunakan ground control point (GCP).
Sudut pandang
Lebar sapuan Panjang citra Akurasi pengukuran Digitasi radiometrik Tipe Ketinggian Inklinasi Periode Off-nadir revisit Bidang pandang Spektral band 1 (biru) 2 (hijau) 3 (merah) 4 (NIR) Pankromatik
Tabel 2-3 Karakteristik sensor Quickbird-2 Ruang dalam jalur (in-track) dan titik silang jalur (crosstrack) ± 300 dari depan ke belakang, dan samping ke samping 450 (maks) 17 km pada nadir 225 km Sirkulasi error (CE) 23 m, linear error (LE) 17 m pada kepercayaan 90% (tanpa GCP) 11 bit Sun-synchronous 450 km 980 93.4 menit 1 sampai 3.5 hari 544 km sapuan Panjang gelombang 0.45-0.52 µm 0.52-0.60 µm 0.63-0.69 µm 0.76-0.89 µm 0.45-0.90 µm
Resolusi pada nadir 2.44 m 2.44 m 2.44 m 2.44 m 0.61 m
Resolusi diluar nadir 2.88 m 2.88 m 2.88 m 2.88 m 0.72 m
14
Penggunaan satelit Quickbird di kepulauan Las Perlas dari perbandingan beberapa metode klasifikasi citra satelit disajikan pada Tabel 4-9 (Benfield et al. 2007): Tabel 2-4 Akurasi keseluruhan kelas kategori terumbu karang buruk, dan baik untuk citra Quickbird Overall accuracy % Level dan kelas habitat ML C1 C2 C3 E1 E2 Buruk 76.9 74.7 74.9 76.4 87.8 88.6 Sedang 72.3 65.5 67.6 69.1 84.9 85.6 Tinggi 59.1 60.8 62.5 62.5 80.5 81.5
sedang
E3 89.5 87.4 83.5
Ket: maximum likelihood-ML, contextual editing-C1/2/3, dan eCognition-E1/2/3
Quickbird memiliki potensi yang signifikan untuk diskriminasi dan memetakan habitat dasar di lingkungan pesisir tropik, dari metode klasifikasi citra menggunakan algoritma ISODATA (Iterative Self Organising Data Analysis) (Mishra et al. 2006). Klasifikasi citra secara supervised menggunakan algoritma minimum distance dapat digunakan untuk menghasilkan peta bentik dan kedalaman perairan dari citra satelit QuickBird. Resolusi multispektral sensor Quickbird tidak dapat memisahkan secara optimal makroalga merah dari makroalga coklat berdasarkan spektral signature jika makroalga tidak tertutup dengan perairan (Vahtmäe and Kutser 2007).
15
Beberapa referensi karakteristik utama resolusi spasial satelit sangat tinggi untuk penelitian remote sensing perikanan terumbu karang, termasuk satelit Quickbird dengan resolusi spasial 2.5 m disajikan pada Tabel 2-5 (Hamel dan Andrefout 2010):
Lokasi
Resolusi spasial 1.5 m
5.6 m
3.8 m
0.5 m 3.8 m
0.5 m 2.5 m
15
Tabel 2-5 Karakteristik-karakteristik utama beberapa sensor resolusi sangat tinggi Tujuan Target (smber Platform/ Data (penggunaan VHRRS) eksploitasi) sensor Andréfouët Atol Fangau Penilaian stok sumberdaya Kimah raksasa Pesawat Potret udara et al. (Kepulauan (perencanaan survei lapang, (Tridacna terbang berbentuk digital (2005) Tuamotu, French pemetaan habitat, maxima) Polynesia, manajemen/penilaian Samudera pasifik sumberdaya, perencanaan selatan) MPA) ISS Potret angkasa (International Digital resolusi Space Station] tinggi Karang Alacranes Pemetaan habitat terumbu Terumbu Pesawat Potret udara BelloPineda (Teluk Mexico) karang (perencanaan survei karang terbang berbentuk digital lapang, pemetaan habitat, et al. manajemen/penilaian (2005)a sumberdaya, perencanaan MPA) BelloKarang Alacranes Model penilaian kesesuaian Terumbu Pesawat Digital video Pineda (Teluk Mexico) sumberdaya terumbu karang karang terbang permukaan et al. (pemetaan habitat, Potret udara (2006) manajemen/penilaian berbentuk digital sumberdaya) Monitoring terumbu karang Terumbu Pesawat Digital video Bertels et al. Terumbu karang (2008)a Pulau Nukaha (pemetaan karang terbang permukaan batimetri/topografi/habitat, CASI (Compact (Kepulauan Tanimbar, Tenggara manajemen/perencanaan MPA) Airborne Spectrographic Moluccas, Indonesia Imager) Sumber
16
Friedlander et al. (2007)
Hawaii (Samudera Pasifik Utara)
16
Tabel 2-5 Lanjutan... Sumber Lokasi
Tujuan (penggunaan VHRRS) Evaluasi eksisting MPA (pemetaan habitat, perencanaan/manajemen MPA)
Target (smber eksploitasi) Sumberdaya kelautan
Platform/ sensor Pesawat terbang
IKONOS
Gilbert et al. (2006)
Atol Fangatau, Tatakoto, Tubai (Kepulauan Tuamotu dan Australes, French Polynesia, Samudera Pasifik Selatan)
Perbandingan antara stok dan manajemen (perencanaan survey lapang, pemetaan habitat, penilaian /manajemen sumberdaya, manajemen MPA, perbandingan antara lokasi)
Kimah raksasa (Tridacna maxima)
Pesawat terbang
Quickbird
et Pulau Roatan (pantai Honduras, Laut Karibia bagian barat) a tidak difokuskan pada sumbernya Maeder al. (2005)a
Klasifikasi habitat terumbu karang (pemetaan habitat, penilaian/manajemen sumberdaya)
Terumbu karang
IKONOS
Data Potret udara berbentuk digital
Resolusi spasial ?
Citra satelit IKONOS Multispektral Citra Hyperspektral Potret udara berbentuk digital
4m
Citra satelit Quickbird Multispectral IKONOS
2.5 m
? 3.8 m
4m
17
2. 4 Aplikasi ANN untuk Klasifikasi Citra Satelit Prinsip dasar aplikasi ANN supervised untuk klasifikasi citra terdiri dari tiga layer network yaitu; node input layer, bagian tengah (hidden) layer dan output layer berisi elemen processing pada masing-masing node (Gambar 2-5). Pada bagian lain node input layer merupakan suatu interface kedalam data input dan tidak melakukan beberapa processing. Pola Input untuk klasifikasi digunakan kenampakan dari training pixel vektor multi-spectral satu band per node. Kenampakan lain dapat menggunakan spasial pixel neighborhood atau vektor spektral multitemporal (Paola dan Schowengerdt 1995a).
Pola Input pi
Pola Output
Bobot Wji
Bobot Wkj
Fungsi aktivasi
Elemen prosesing
Gambar 2-4
node input
∑S
ƒ(S)
node output
Struktur tradisional tiga layer ANN, elemen pemrosesan dan fungsi aktivasi sigmoid (Schowengerdt 1997; 2007).
18
Karakteristik utama algoritma ANN unsupervised Self Organising Map (ANN-SOM)
dalam
pembentukan
klaster
adalah
preservasi
hubungan
ketetanggaan; seperti jarak sejauh mungkin, vektor data ketetanggaan ruang input yang dipetakan kedalam ruang output. Kenampakan ini membuat ANNSOM sangat berguna dalam analisis data dan visual dimana tujuan umumnya adalah mewakili data dari suatu ruang dimensi tinggi dalam suatu ruang dimensi yang sama lemahnya untuk preservasi struktur internal dari data ruang input (Uriarte dan Martin 2005). Klasifikasi data satelit multispektral tutupan lahan menggunakan algoritma ANN-AdaBoost dapat diterapkan pada urutan tiga lapis umpan-maju jaringan ANN (Freund dan Shapire 1996). Algoritma ANN-AdaBoost dengan pelatihan Kalman filter menjadi efisien melatih setiap neuron dalam jaringan lokal, membuat eksplisit penggunaan matriks kesalahan bobot sinaptik neuron (Shah dan Palmeri 1990). Training Kalman Filter dapat memasukkan data dari bermacam-macam pengertian kedalam sistem pendugaan, pengukuran statistik untuk memperhalus data dan membuang informasi yang bersifat noise (Spence et al. (2008). Kalman filter merupakan suatu sistem linear yang menyatakan kelipatan rata-rata kesalahan (squared error) antara output yang diharapkan dan output aktual dengan meminimalkan input acak saat digeneralisasi secara acak noise dari iterasi konstan per unit band pada tiap frekuensi nilai pixel yang diinginkan (Parker (1994). Pelatihan
klasifikasi
Algoritma
ANN
supervised
untuk
pemetaan
penggunaan lahan dikembangkan metode supervised neuro fuzzy network (SNFN) menggunakan citra satelit SPOT (Lin et al. 2005). Sedangkan survey dan analisis publikasi remote-sensing yang ditemukan mulai tahun 1991 hingga 2004 disajikan pada Tabel 2-6 berikut (Paola dan Schowengerdt (1995a): Tabel 2-6 Contoh aplikasi klasifikasi citra remote sensing menggunakan algoritma ANN Kenampakan Referensi Aerial photograph Kepuska dan Mason 1995; Qiu dan Jensen 2004 ASAS, multiangle AVHRR multitemporal AVHRR NDVI AVHRR, SMMR
Abuelgasim et al. 1996 Yhann dan Simpson 1995; Visa dan Iivarinen 1997; Li et al. 2001; Arriaza et al. 2003 Muchoney dan Williamson 2001 Key et al. 1989
19
Tabel 2-6 Lanjutan … Kenampakan
Referensi
AVIRIS
Benediktsson et al. 1995
ETM+
Fang dan Liang 2003
Fengyun-1C 0.6µm, 1.6µm dan 11 µm bands
McIntire dan Simpson 2002
HyMAP
Camps-Valls et al. 2004
MSS, DEM
Benediktsson et al. 1990a
SPOT
Kanellopoulos et al. 1992; Chen et al. 1995
multitemporal SPOT
Kanellopoulos et al. 1991
SPOT, tekstur
Civco 1993; Dreyer 1993 Ritter dan Hepner 1990; Liu dan Xiao 1991; Bischof et al. 1992; Heermann dan Khazenie 1992; Salu dan Tilton 1993; Yoshida dan Omatu 1994; Paola dan Schowengerdt 1995b; Carpenter et al. 1997); Valdes dan Inamura 2000.
TM
tekstur TM
Augusteijn et al. 1995
rasio TM
Baraldi dan Parmiggiani 1995
airborne TM
Foody GM 2004
airborne TM, airborne SAR
Serpico dan Roli 1995
multitemporal TM
Sunar Erbek et al. 2004
multitemporal TM dan ERS-1 SAR, tekstur SAR
Bruzzone et al. 1999
Contoh penggunaan ANN untuk klasifikasi citra satelit tidak hanya berlaku untuk data remote sensing teresterial diatas. Mulai tahun 2005 hingga 2009 dari beberapa algoritma ANN diterapkan untuk klasifikasi habitat di perairan wilayah pesisir dan lautan (coastal), diantaranya disajikan pada Tabel 2-6 berikut: Tabel 2-7 Contoh aplikasi lainnya algoritma ANN untuk klasifikasi teresterial dan bentik di perairan wilayah pesisir (coastal) Kenampakan Referensi ASTER Hu dan Weng 2009 RADARSAT, ENVISAT, SPOT Konishi et al. 2007 Landsat Arhatin 2007 Quickbird* Mishra et al 2006 Quickbird* Conger et al. 2005 SPOT Lin et al. 2005 * wilayah coastal
20
2.5 Penilaian Akurasi Peta Tematik Sejarah penilaian akurasi peta tematik dimulai sekitar tahun 1975. Tercatat bahwa Hord dan Brooner (1976), van Genderen dan Lock (1977), Ginevan (1979) menyusun kriteria dan teknik dasar untuk menguji akurasi peta secara keseluruhan, dan studi lebih mendalam pada tahun 1980 tentang tujuan dan teknik baru (Aronoff 1982,1985; Rosenfield et al. 1982; Congalton dan Mead 1983; Congalton et al. 1983). Sejak tahun 1980 hingga sekarang banyak peneliti, ilmuwan dan user menemukan cara menilai secara tepat akurasi peta tematik dari data remote sensing sebagaimana diformulasikan oleh Congalton dan Green (2009) pada Tabel 2-8. Tabel 2-8 Contoh matriks uji secara matematik
Dimana: ni+ n+j n njj nii
: jumlah sampel kategori i data klasifikasi citra, dan : jumlah sampel klasifikasi kategori j dalam data referensi : total jumlah unit sampel : total jumlah unit sampel yang benar dalam “kelas x” : total jumlah unit pixel yang benar dalam “kelas x”
dan
21
Penilaian akurasi erat hubungannya dengan akurasi posisi dan tematik (Congalton dan Green 1999; 2009) dan ketidakpastian (Atkinson dan Foody 2002) suatu masalah penelitian remote sensing. Untuk itu penilaian akurasi output spasial, penggunaan referensi data GIS dan satelit perlu memperhatikan: (i) variabel peta, dan (ii) tingkat akurasi klasifikasi berupa bias dan presisi untuk mendeterminasi prediksi dan ketidakpastian. Taylor dan Smith (2006) menilai kebenaran dan kenyataan dari software yang digunakan dapat dengan teknik verifikasi dan validasi. Penilaian akurasi data digital secara efektif dibagi kedalam empat bagian (epoch) (Congalton dan Green 1999; 2009); 1. Penilaian akurasi tidak nyata terbentuk, tetapi lebih terlihat baik dari sebelumnya. Pendekatan ini merupakan sesuatu yang baru di bidang teknologi dan berubah secara cepat untuk menilai bagaimana kegiatan dilakukan. Meskipun teknologi tersebut sudah berusia lebih dari 25 tahun, beberapa analis remote sensing dan pengguna peta masih lemah dalam mengintrepretasi; 2. Penilaian dari lokasi non spesifik. Total luas lahan pada kelas peta terlebih dahulu diperkirakan, diperbandingkan dengan referensi pendugaan. Hal tersebut bukan masalah jika diketahui dimana lokasinya yang spesifik atau tipe vegetasinya. Oleh sebab itu pada bagian kedua ini penilaian berlangsung relatif singkat dan cepat; 3. Penilaian lokasi spesifik sebenarnya melalui pengecekan lokasi yang diperbandingkan dengan peta dan diukur dari akurasi keseluruhan-nya. Keuntungannya mampu memperkirakan kategori penutupan lahan/vegetasi. Metode ini berbeda jauh dengan metode penilaian lokasi non spesifik yang hanya menilai akurasi keseluruhan. Teknik penilaian lokasi spesifik ini dominan digunakan hingga akhir tahun 1980; dan 4. Penilaian akurasi dapat diketahui dari error matrix. Matrik konfusi membandingkan informasi dari referensi lokasi sejumlah area sampel dengan label peta atau citra. Dua label masing-masing sampel diperbandingkan, yaitu: (i) Label data referensi; label atau nilai kelas dari penilaian akurasi lokasi pengumpulan data yang diasumsikan benar, dan (ii) Klasifikasi data atau label peta; label atau nilai kelas dari penilaian akurasi lokasi yang diperoleh dari peta. Salah satu contoh perhitungan matrik konfusi disajikan pada Gambar 2-5.
22
Gambar 2-5 Ilustrasi perhitungan matriks konfusi
Kesalahan posisi untuk banyak penggunaan GPS dimulai dari 30-100 m merupakan hal yang tidak dapat diterima. Untuk mengukur kesalahan yang sering terjadi dan pada waktu yang sama dari informasi spasial yang dikumpulkan, memungkinkan untuk mengkoreksi banyak ketidakakuratan. GPS referensi sedetik untuk mengkoreksi GPS stationer memiliki akurasi yang sangat tinggi (jika akurasi posisi 2-3m dihasilkan, maka memerlukan akurasi <0.5m) (Green et al. 2000). Koreksi GPS ketika GPS receiver mengumpulkan data lapang, akurasinya menjadi sangat penting khususnya pengumpulan data menggunakan citra resolusi tinggi seperti Quickbird. GPS receiver dengan akurasi 2-5m seperti Trimble GeoExplorer II tidak dapat mengumpulkan data yang meregistrasi 2-4m pixel yang benar dari citra Quickbird (Serr et el. 2006). Pada perhitungan GPS receiver 5 detik sudah memadai sebagaimana koreksi global GPS dari pengujian kinematik 7-8 detik dan lebih dari 99% pada koreksi global tersedia dengan interval 1 detik (Kechine et al. 2003).