10
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Perairan Waduk Waduk berdasarkan kedalamannya, dibagi atas dua jenis waduk yaitu waduk dangkal, dengan rata-rata kedalaman kurang dari 15 m dan waduk dalam dengan rata-rata kedalaman lebih besar dari 15 m (Purnomo et al. 1993). Sesuai dengan kriteria kedalaman waduk, maka Waduk Cirata merupakan waduk yang dalam, dengan kedalaman rata-rata sekitar 34,9 m (Prihadi 2004). Karakteristik perairan Waduk Cirata secara rinci ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik perairan Waduk Cirata Karakteristik
Waduk Cirata
- Luas Daerah Tangkapan Air (catchment area) (Km2)
4.061
- Tinggi bendungan (m)
125
- Ketinggian dari permukaan laut
200*
- Volume waduk (juta m3)
1.927
- Fungsi
Multi fungsi
- Luas permukaan (ha)
6.200
- Kedalaman rata-rata (m)
34,9 *
- Kedalaman maksimum
106*
3
- Volume efektif (juta m ) - Pengelola (management)
784,9 PT PJB
Sumber: Loebis dan Sariman (2003); * Prihadi (2004);
Chapman (1992) menjelaskan besarnya fluktuasi tinggi muka air waduk tergantung pada siklus penyimpanan dan pembuangan air waduk dan siklus ini berkaitan dengan kondisi iklim dan ketentuan penggunaan air. Pada waduk, bagian tata airnya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga volume, kedalaman, luas, debit inflow/outflow waktu tinggal air diketahui dengan pasti (Balingka 2006). Di sisi lain, parameter fisika dan kimia perairan waduk dapat mengalami perubahan akibat masuknya bahan cemaran ke waduk. Perubahan kondisi fisika dan kimia perairan dapat membahayakan kehidupan dalam perairan tersebut, terjadinya stratifikasi suhu perairan, kandungan oksigen, pH, amonia.
11
Jumlah P yang dibuang dari danau ditentukan dari buangan air di daerah bendungan menggunakan total buangan air setiap bulan dikalikan dengan kosentrasi P. Jumlah beban TP di dalam danau dihitung dari kosentrasi rata-rata TP dikalikan dengan volume danau. Volume danau dihitung menggunakan data tampungan air harian (daily water stage) yaitu data air masuk dan keluar dari danau setiap hari (An & Kim 2003). Waduk yang mempunyai waktu tinggal air yang pendek yakni kurang dari 17 hari, maka nutrien P akan lebih cepat tercuci (terbuang) dari dalam waduk melalui aliran ke luar waduk (outflow) (An & Kim 2003).
2.2. Eutrofikasi dan Status Tropik Perairan 2.2.1. Eutrofikasi Eutrofikasi dapat diartikan sebagai suatu penomena pengkayaan nutrien di perairan (Mason 2002; Tarczynska 2004; Sheng et al. 2006), berupa bahan anorganik yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan mengakibatkan meningkatnya produktivitas primer perairan. Nutrien yang dimaksud adalah nitrogen dan fosfor. (LWSB 2006) tingkat eutrofikasi di danau umumnya ditentukan dari perubahan konsentrasi fosfor, kecerahan dan kandungan klorofil-a yang mempengaruhi perkembangan alga. Eutrofik merupakan bagian dari sistem trofik yang mempunyai potensi konsentrasi nutrien yang tinggi (Carlson 1977). Kriteria perairan eutrofik menurut Puslitbangkan (1992) meliputi: (1) relatif dangkal, (2) kandungan bahan organik tersuspensi dan di dasar perairan berlimpah, (3) kandungan fosfor, kalsium, nitrogen berlimpah dan bahan humus sedikit, (4) kandungan oksigen terlarut di lapisan dalam rendah terutama pada waduk yang mengalami stratifikasi, (5) tanaman air tingkat tinggi berlimpah, (6) plankton secara kuantitatif besar, secara kualitatif bervariasi, umumnya terjadi blooming, dan (7) produktivitas primernya lebih besar dari 750 mg/m3/hari, tingkat kesadahannya tinggi (kandungan Ca dan Mg lebih besar dari 22 mg/l, dan maksimum 50 mg/l). Menurut Kim et al. (2001) eutrofikasi diketahui secara luas sebagai penyebab memburuknya kualitas air di Korea Selatan. Hasil penenlitian yang dilakukan pada sebagian besar waduk di Korea Selatan salama musim panas menunjukkan bahwa Microcystis
merupakan suatu indikator eutrofikasi yang
terjadi akibat aktivitas antropogenik. Pada waktu musim panas terjadi blooming Cyanobacteria di daerah hulu waduk akibat adanya runoff air yang tinggi (high
12
storm water runoff), sedangkan eutrofikasi di daerah hilir waduk blooming Cyanobacteria terjadi setiap tahun disaat laju aliran air lambat dan temperatur tinggi. Dampak eutrofikasi terhadap ekosistem dan permasalahan bagi manusia dapat dijelaskan secara rinci. Mason (2002) menjelaskan bahwa dampak terhadap ekosistem dibagi menjadi lima bagian yaitu: (1) menurunnya keanekaragaman spesies dan diganti oleh biota yang dominan; (2) meningkatnya biomassa flora dan fauna; (3) meningkatnya kekeruhan; (4) meningkatnya laju sedimentasi,
sehingga
memperpendek
umur
(lifespan)
danau;
dan
(5)
berkembangnya kondisi kekurangan oksigen (anoxic). Sedangkan permasalahan eutrofikasi bagi manusia yaitu (1) air dapat membahayakan bagi kesehatan; (2) nilai manfaat air menjadi menurun; (3) meningkatkan vegetasi yang dapat menghambat aliran air dan navigasi; (4) secara komersial punahnya spesies ikan penting; dan (5) pengolahan air minum menjadi sulit dan air tidak dapat dikonsumsi karena terjadi perubahan rasa dan bau. Kelimpahan Cyanobacteria terjadi karena beban nutrien yang tinggi, rasio nitrogen dan fosfor rendah, kondisi air yang hangat, dan kurangnya pemangsa (grazers) plankton yang berukuran besar seperti Daphnia (Mason 2002). Menurut Essink (2006) meningkatnya jumlah nutrien, berpengaruh terhadap perubahan rasio nutrien yang mengakibatkan terjadinya red tide, blooming fitoplankton dan kekurangan oksigen. Efisiensi pemanfaatan nutrien tergantung pada faktor yang saling mempengaruhi terhadap kondisi perkembangan produsen primer. Oleh karena itu, total produksi biomassa yang dihasilkan merupakan tingkat produsen primer, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Grazing fitoplankton oleh zooplankton (produsen tingkat dua) dan pemangsaan oleh ikan (kosumen tingkat tiga) merupakan dasar sistem transfer nutrien (terutama karbon) dalam perairan danau. Efisiensi sistem tergantung pada dua faktor, (1) jumlah biomassa yang terbentuk pada tingkat produsen primer, dan (2) komposisi jenis yang menentukan efisiensi grazing dan jumlah maupun kualitas ikan dalam sistem akhir rantai makanan internal. Dengan matinya organisme perombak pada tingkat pertama, kedua, dan ketiga mengakibatkan terganggunya sistem siklus nutrien dalam perairan danau. Dalam perairan waduk terjadinya arus akibat pengaruh angin dan terbentuknya lapisan termoklin sebagai pengendali utama distribusi panas secara
13
vertikal, bahan-bahan terlarut, dan nutrien dalam kolom air. Memahami tentang hidrodinamika danau maupun waduk adalah penting untuk pengelolaan sumberdaya air dan stratafikasi suhu juga sangat penting dalam kaitan dengan pola waktu pengadukan (mixing) di dalam danau dan waduk (Elci 2008). Perombakan
Eksterna
Input hara
Produsen primer
Grazin
Produsen sekunder
Pemangsaa
Ikan
Perubahan produktivitas primer dan biomassa (klorofil; karbon;
Cahaya
Perubahan kecerahan perairan
Suhu Pencampuran dan stratafikasi
Perubahan kadar oksigen pada lapisan hipolimnion
Sirkulasi hidraulik
Sirkulasi kembali nutrien dan logam; timbulnya gas dari dasar perairan
Morfologi
Penyebab
Akibatnya
Gambar 2 Hubungan sebab akibat terjadinya eutrofikasi (Chapman 1992)
2.2.2. Status Tropik Perairan Tingkat
kesuburan
perairan
waduk
akan
menentukan
pola
pengelolaannya. Perairan waduk yang terlalu subur dapat menurunkan produksi perikanan serta dapat menimbulkan perkembangan gulma air yang sangat cepat (Purnomo et al. 1993). Perairan waduk berdasarkan tingkat kesuburannya dikelompokkan atas perairan oligotrofik (kurang subur), perairan mesotrofik (agak subur), dan perairan eutrofik (sangat subur). Secara rinci ciri yang membedakan status trofik perairan waduk dijelaskan dalam Tabel 2.
14
Tabel 2 Karakteristik status trofik perairan waduk Status trofik Parameter
Oligotrofik
Mesotrofik
Eutrofik
Hipertrofik
Rata-rata total N (μg/l)
661
753
1875
tinggi
Rata-rata total P (μg/l)
8,0
26,7
84,4
>200
Rata-rata klorofil-a (μg/l) Puncak kosentrasi Klorofil-a (μg/l)
1,7
4,7
14,3
>200
4,2
16,1
42,6
>500
Sukadi et al. (2007)
Tingkat trofik danau maupun waduk dapat diketahui dengan mengukur tingginya turbiditas terutama untuk tingkat trofik dalam perairan danau atau waduk yang dangkal. Dan juga dapat mengukur tingkat kecerahan perairan (Secchi disk transparency) untuk menentukan perbedaan nilai status trofik. Selain itu, tingkat tropik dapat diketahui dari tingkat kejenuhan DO pada lapisan permukaan air yang mengindikasikan aktivitas fotosintesis yang intensif, namun DO bisa dipengaruhi oleh hujan. Sebaliknya, konsentrasi DO yang rendah dalam lapisan perairan yang lebih dalam juga menunjukkan akibat dari aktivitas heterotrofik yang intensif, yang diikuti akumulasi hasil penguraian bahan-bahan organik (Kemka et al. 2006). Konsep pembatasan nutrien berdasarkan pada kisaran nutrien yang dibutuhkan oleh alga planktonik (plantonnic algae), bila suplai nutrien fosfor kecil yaitu lebih sedikit dari yang dibutuhkan, maka fosfor akan menjadi faktor pembatas pertumbuhan (Beveridge 2004). Selanjutnya dijelaskan bahwa umumnya dalam ekosistem air tawar, fosfor merupakan faktor pembatas selama fosfor merupakan elemen yang jumlahnya sangat sedikit, namun berpengaruh terhadap perkembangan alga dan tumbuhan air tingkat tinggi. Umumnya di perairan tawar fosfor dijadikan sebagai unsur pembatas karena secara biologi unsur fosfor dibandingkan dengan unsur lainnya jumlahnya lebih sedikit yang dibutuhkan oleh alga. Artinya meningkatnya jumlah fosfor di perairan akan meningkatkan produktivitas perairan (Thompson dan Rhee 1994 dalam Mason 2002). Menurut Sheng et al. (2006) fosfor merupakan salah satu nutrien yang berpotensi membatasi biomassa alga yang dinyatakan dengan rasio total nitrogen (TN) lebih besar dari total fosfor (TP) pada setiap waduk. Besarnya rasio
15
TN dan TP adalah 16:1, dengan demikian fosfor lebih cenderung sebagai faktor pembatas dibandingkan dengan nitrogen. Rahman et al. (2005) menjelaskan rasio molar TN:TP adalah 16 dan rasio massa < 29 merupakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan Cyanobacteria. Lebih lanjut dijelaskan rasio N dan P dapat digunakan sebagai indikator tambahan dalam menentukan status trofik di perairan waduk. Status trofik waduk dan danau terutama dipengaruhi oleh kelimpahan dan komposisi populasi fitoplankton. Fitoplankton yang berukuran kecil mendominasi disaat ketersediaan nutrien rendah, sedangkan fitoplankton berukuran besar menjadi dominan pada danau yang lebih eutrofik (Kemka et al. 2006). Mason (2002) menjelaskan bahwa untuk mengklasifikasikan status trofik danau dapat menggunakan konsentrasi klorofil-a, total fosfor dan kecerahan air (secchi depth). Namun, konsentrasi klorofil-a telah digunakan secara luas untuk menentukan biomassa fitoplankton, ada banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa secara empiris ada hubungan yang erat antara klorofil dengan nutrien terutama fosfor (Phillips et al. 2008). Carlson (1977) menjelaskan nilai klorofil-a merupakan jumlah klorofil yang sangat sesuai untuk menentukan biomassa alga di danau terutama digunakan untuk menentukan tingkat tropik. Lebih ditekankan lagi bahwa untuk tujuan klasifikasi tingkat trofik diprioritskan menggunkan parameter biologi terutama menggunakan indeks klorofil disaat musim panas. Namun dijelaskan juga bahwa menggunakan nilai fosfor, keakuratan nilai indek dari total fosfor tergantung dari ansumsi bahwa fosfor merupakan faktor pembatas utama bagi pertumbuhan alga dan konsentrasi semua bentuk fosfor yang ada merupakan fungsi dari biomassa alga. Menurut Vaidya et al. (2007) produktivitas alga juga berhubungan dengan rasio nitrogen dan fosfor di kolom air. Jika rasio konsentrasi nitrogen terhadap fosfor rendah mengindikasikan danau eutrofik, sedangkan rasio konsentrasi nitrogen terhadap fosfor lebih tinggi ada kemungkinan danau dalam kondisi mesotrofik atau oligotrofik.
2.3. Daerah Tangkapan Air (Catchment Area) Waduk Asdak
(2007)
menyatakan
bahwa
Daerah
Aliran
Sungai
(DAS)
merupakan suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk
16
kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau
catchment area) yang
merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam tersebut. Karakteristik biolimnologi waduk dapat berbeda satu sama lainnya dan sangat dipengaruhi oleh ekologi sungai atau DAS yang dibendungnya. Waduk Cirata memiliki luas daerah resapan (catcment area) lebih kurang 4.061 km2 (Loebis & Syariman 2003), meliputi DAS Citarum yang merupakan DAS utama sumber air waduk dan anak sungai lainnya yang terdiri dari sub DAS Cikundul (USAID 2006), sub DAS Cisokan dan sub DAS Cibalagung (Balingka 2005; Supangat & Paimin 2007). Berdasarkan Perda Propinsi Jawa Barat NO. 2 Tahun 2003 dinyatakan bahwa mempertahankan kawasan-kawasan resapan air atau kawasan yang berfungsi hidrologis untuk menjamin ketersediaan sumber daya air; dan mengendalikan pemanfaatan ruang di luar kawasan hutan sehingga tetap berfungsi lindung. Perlindungan terhadap kawasan sekitar waduk dan situ dilakukan untuk melindungi waduk dan situ dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsinya. Sesuai posisi dan kondisi fisiknya, maka fungsi daerah resapan air adalah wilayah resapan dan tangkapan air waduk yang menjadi sumber ketersediaan air waduk baik secara kuantitas maupun kualitas. Penggunaan lahan yang ada sebagian besar umumnya merupakan kawasan hutan, dan sebagian lainnya perkebunan tanaman keras, serta pemukiman bersifat terbatas.
2.4. Pemanfaatan Lahan (landuse) Keterkaitan biofisik antara daerah hulu dan hilir (waduk) dapat dilihat dari aktivitas perubahan lanskap termasuk perubahan tata guna lahan dan/atau konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu DAS tidak hanya akan memberikan dampak di daerah kegiatan tersebut berlangsung (hulu DAS), tetapi juga akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran air lainnya. Menurut DTKTD (1993) permasalahan utama sehubungan dengan fungsi daerah resapan air waduk adalah menyangkut perkembangan kegiatan pemukiman, industri, pertanian, dan perladangan yang dikhawatirkan baik karena
17
proses kegiatan maupun limbahnya dapat menimbulkan dampak pencemaran dan erosi. Dampak ini pada akhirnya akan bermuara pada waduk yang berada di sebelah bawahnya, dan lebih jauh lagi pada wilayah sebelah hilirnya. Oleh karena itu, pola pemanfaatan lahan di catcment area waduk sangat menentukan kualitas air waduk. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara daerah tangkapan air dengan kondisi perairan waduk. Perubahan sifat fisik daerah resapan waduk menyebabkan perubahan aliran air masuk (hydrograph inflow) yang berdampak terhadap ketersediaan air waduk (Loebis & Syariman 2003); terganggunya tutupan lahan (land cover) daerah tangkapan air mengakibatkan memburuknya kualitas air (Musaoglu et al. 2005), perambahan hutan, sistem pertanian yang kurang memperhatikan prinsip – prinsip konservasi air dan tanah dapat menyebabkan pencemaran kimia serta terjadi pencemaran fisik yaitu sedimentasi yang tinggi terhadap waduk (Balingka 2004). Pada dasarnya pemanfaatan lahan yang tidak dilakukan dengan pola pemanfaatan lahan secara konservasi di daerah resapan air waduk tentu dapat meningkatkan laju runoff yang membawa dampak buruk bagi perairan waduk yaitu mempercepat pendangkalan waduk dan meningkatnya pencemaran non point source dari runoff lahan pertanian terutama unsur nutrien yang berasal dari pemakaian pupuk secara berlebihan. Runoff yang terjadi akibat pemanfaatan lahan di catchment waduk akan masuk ke waduk melalui aliran sungai. Sebagai contoh sungai atau anak sungai yang melewati daerah pertanian, akan membawa sisa pupuk sintetis, pupuk kotoran hewan, dan pestisida dari kegiatan pertanian melalui runoff lahan ketika terjadi hujan. Sungai yang melewati daerah pusat kota dan daerah pinggiran kota, membawa sejumlah besar limpasan (wash off) pupuk dari kebun, limbah yang tidak diolah dari buangan septi tank, pembuangan limbah cair dari buangan limbah rumah tangga, dan sedimen dari pemanfaatan lahan, dan runoff dari lokasi parkiran. Semua sumber pencemaran tersebut dapat berdampak buruk terhadap sumberdaya perairan waduk. Costa-Pierce (2002) menyatakan bahwa tingginya input nutrien dari daerah pemukiman sekitar waduk telah mengakibatkan perairan waduk mengalami kelimpahan plankton sepanjang tahun. Oleh sebab itu, dibutuhkan manajemen yang tepat dalam sistem pengelolaan waduk sehingga dampak
18
pemanfaatan lahan di catchment waduk yang merupakan sumber nutrien ke waduk dapat dikendalikan menjadi sekecil mungkin. Asdak (2007) menjelaskan pengendalian kualitas air dan pencegahan pencemaran yang berasal dari wilayah yang tidak dikenali secara pasti (non-point source) melalui pengaturan luas dan komposisi vegetasi akan ditentukan oleh pola pengelolaan lahan secara komprehensif.
2.5. Sumber Nutrien Makro nutrien yang dikenal dengan enam unsur utama (big six the elements) merupakan bagian yang sangat fundamental membangun kehidupan. Keenam unsur tersebut terdiri atas: Karbon (C), Hidrogen (H), Nitrogen (N), Oksigen (O), Fosfor (P) dan Sulfur (S). Kontribusi N dan P ke perairan secara alami terjadi melalui dua proses yaitu erosi tanah (soil loss) dan deposisi dari udara (atmospheric deposition) (de Lacerda et al. 2006). Sementara itu, untuk deposisi dari udara merupakan fungsi dari luas aliran sungai, curah hujan tahunan dan konsentrasi N dan P (musim kering dan basah). Dari kedua proses tersebut, erosi tanah merupakan sumber nutrien yang berpengaruh terhadap air sungai, soil loss bertambah dengan cepat dari lahan pertanian dan tergantung jenis tanah dan iklim. Siklus nitrogen merupakan siklus yang sangat penting dan kompleks. Proses perubahan anorganik yakni molekul nitrogen di atmosfer menjadi amonia atau nitrat yang disebut fiksasi nitrogen. Nitrogen dalam bentuk ini bisa digunakan di lahan pertanian dan di perairan laut oleh alga. Melalui reaksi kimia, bakteri, tumbuhan dan alga kemudian merubah bahan nitrogen anorganik ini menjadi nitrogen organik dan nitrogen tersedia sebagai rantai makanan secara ekologi. Ketika organisme mati, bakteri merubah bahan organik yang mengandung nitrogen kembali menjadi amonia, nitrat atau molekul nitrogen dan kembali ke atmosfer. Jadi siklus nitrogen tidak hanya penting bagi kehidupan, namun juga dasar pengaturan kehidupan. Menurut Nutrienshina et al. (2003) proses aliran nitrogen secara alami ke perairan dapat berlangsung dengan cara runoff, leaching, dan denitrifikasi. Unsur kimia lain yang termasuk enam unsur kimia penting dalam kehidupan adalah fosfor. Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih sedikit dari pada kadar nitrogen karena sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan sumber nitrogen di perairan (Effendi 2003).
19
Sumber fosfor di perairan berasal dari pelapukan batuan mineral dan dekomposisi bahan organik (Chapman 1992; Effendi 2003). Namun demikian, pasukan fosfor yang cukup tinggi berasal dari aktivitas anthropogenik, seperti penggunaan deterjen (ion fosfor, PO43-) yang masuk ke badan perairan (Khiatuddin 2007), penggunaan pupuk (An & Kim 2003) dan air limbah yang berasal dari perternakan (KLH 2008). Siklus fosfor di alam dapat dilahat pada Gambar 3.
Fosfat anorganik yang terlarut HPO42-, H2PO42- dan polifosfat
Presipitasi Biodegradasi
Desolusi Limpahan pupuk, air limbah dan deterjen
Asimilasi oleh organisme Fosfat organik
Fosfor yang terdapat dalam struktur kehidupan
Fosfat anorganik yang tidak terlarut seperti Ca5(OH)(PO4)3 atau fosfat besi
Fosfat organik dan anorganik di dalam sedimen Gambar 3 Siklus fosfor di alam (Khiatuddin 2007) Siklus fosfor di alam berbeda dengan siklus nitrogen. Fosfor ada di atmosfer hanya dalam bentuk partikel debu yang kecil. Fosfor juga cenderung dalam bentuk senyawa yang tidak dapat larut dalam air. Umumnya fosfor ada dalam kondisi teroksidasi sebagai fosfor, yang berikatan dengan Kalsium (Ca), Potasium (K), Magnesium (Mg), atau Besi (Fe) dalam bentuk mineral (Botkin & Keller 2005).
20
Fosfor jarang ditemukan dalam konsentrasi tinggi di perairan tawar dan fosfor aktif dimanfaatkan oleh tumbuhan air. Secara alami, hampir semua permukaan air konsentrasi fosfor berada dalam kisaran 0,005 – 0,020 mg/L PO4P. Konsentrasi fosfor yang rendah terdapat dalam air yang murni dengan konsentrasi 0,001 mg/L dan konsentrasi yang tinggi mencapai 200 mg/L berada di air salin yang tertutup (Chapman 1992). Meskipun ketersediaan fosfor secara alami di alam jumlahnya kecil, namun fosfor merupakan nutrien yang esensial bagi kehidupan organisme dan fosfor di badan air berada dalam bentuk terlarut dan partikulat. Umumnya fosfor merupakan pembatas nutrien bagi perkembangan alga dan mengendalikan produktivitas primer di badan air. Dengan demikian ada hubungan antara ketersediaan fosfor di perairan dengan tingkat produktivitas perairan. Hasil penelitian Effendi (2003) menunjukkan ada korelasi positif antara kadar fosfor total dengan klorofil-a. Senyawa fosfor anorganik yang biasa terdapat di air adalah senyawa ortofosfor dan polifosfor diperlihatkan pada Tabel 3. Senyawa ortofosfor merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfor harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfor terlebih dahulu, sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Tabel 3 Senyawa fosfor anorganik di perairan Nama senyawa fosfor Ortofosfat: 1. Trinatrium fosfat
Rumus kimia Na3PO4
2. Dinatrium fosfat
Na2HPO4
3. Mononatrium fosfat
NaH2PO4
4. Diamonium fosfat Polifosfat: 1. Natrium heksametafosfat 2. Natrium tripolifosafat 3. Tetranatrium pirofosfat
(NH3)2HPO4 Na3(PO3)6 Na5P3O10 Na4P2O7
Sumber: Effendi 2003
Secara alamiah dari uraian siklus fosfor yang terjadi di alam, maka fosfor di dalam ekosistem selalu berada dalam kondisi yang seimbang dalam mendukung sistem kehidupan. Namun adanya aktivitas manusia maka siklus ini
21
dapat terganggu dan pada akhirnya dapat mengakibatkan ketersediaan unsur nutrien tersebut dapat mengalami kelimpahan maupun kekurangan yang akan menimbulkan permasalahan lingkungan. Hasil penelitian FIFRB (Freshwater Institut of the Fisheries Research) di Danau 227 yang terletak di Ontorio menunjukkan penggunaan pupuk karbon organik
atau
anorganik
tidak
meningkatkan
produksi
alga,
sedangkan
pemupukan dengan nitrogen dan fosfor secara bersamaan terjadi peningkatan produksi alga di danau. Apabila pemupukan hanya dengan nitrogen maka tidak terlihat adanya peningkatan produksi alga, namun pemupukan dengan menggunakan fosfor saja selalu meningkatkan produksi alga di perairan danau. Hasil akhir pemupukan danau disimpulkan bahwa pembatasan suplai fosfor ke danau menjadi faktor kunci pengendalian permasalahan danau akibat eutrofikasi (Mason 2002). Menurut Chapman (1992) nutrien di perairan terdiri dari senyawa nitrogen dan senyawa fosfor. Di dalam lingkungan, nutrien dari senyawa nitrogen dalam bentuk nitrogen anorganik yang meliputi nitrat (NO3-) dan nitrit (NO2-), amonium (NH4+) dan molekul nitrogen (N2). Sedangkan senyawa fosfor sebagai nutrien di perairan dalam bentuk orthofosfor terlarut dan polifosfor dan fosfor bahan organik atau senyawa organik berupa partikulat. 2.6. Sumber Nutrien Antrophogenik (artificial atau cultural) Sumber N dan P antropogenik sangatlah penting dalam lingkup daerah pengamatan yang terdiri dari pertanian, peternakan, budidaya, limbah cair perkotaan, limbah domestik dan industri (de Lacerda 2006; Effendi 2003). Selanjutnya de Lacerda (2006) menjelaskan bahwa umumnya kontribusi N dan P dari aktivitas tersebut bervariasi tergantung dari tingkat perkembangan urbanisasi (urbanization), jumlah penduduk (population) dan luasan lahan pertanian. Mason (2002) menjelaskan bahwa eutrofikasi diklasifikasikan menjadi dua yaitu eutrofikasi antropogenik dan eutrofikasi alamiah. Eutrofikasi antropogenik (Artificial eutrophication) terjadi karena peningkatan nutrien akibat aktivitas manusia, sedangkan eutrofikasi alamiah merupakan peningkatan nutrien bukan disebabkan oleh proses manusia, melainkan aktivitas alam seperti kebakaran hutan, dan letusan gunung api. Botkin dan Keller (2005) menyatakan bahwa terjadinya eutrofikasi dipercepat oleh aktivitas manusia yang menyebabkan meningkatnya jumlah nutiren masuk ke badan air.
22
Pencemaran air permukaan terjadi karena sejumlah besar bahan-bahan yang tidak diinginkan atau berbahaya mengalir masuk ke badan air, dimana terbatasnya kemampuan badan air secara alami untuk membuang bahan-bahan yang tidak diinginkan, melarutkan bahan tersebut sampai pada tingkat konsentrasi tidak membahayakan, atau merombak bahan tersebut menjadi bahan yang tidak membahayakan (Botkin & Keller 2005). Bahan pencemar perairan, sama dengan bahan pencemar lain berdasarkan
sumber
pencemarannya,
Botkin
dan
Keller
(2005)
mengelompokkannya menjadi dua yaitu sumber pencemaran suatu lokasi tertentu (point source) dan sumber pencemaran yang tersebar (nonpoint source). Point source merupakan bahan pencemar yang jelas dan terbatas lokasi sumbernya. Sedangkan nonpoint source merupakan sumber bahan pencemar yang tersebar dan terjadi secara berulang-ulang serta dipengaruhi oleh faktorfaktor seperti pemanfaatan lahan, iklim, hidrologi, topograpi, vegetasi setempat (native vegetation), dan geologi. Effendi (2003) menyatakan bahwa pencemaran yang berasal dari point source bersifat lokal. Efek yang ditimbulkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air. Volume pencemaran dari point source biasanya relatif tetap, contoh kenalpot mobil, cerobong asap pabrik, dan saluran limbah industri. Lebih lanjut Effendi (2003) menjelaskan bahwa sumber pencemaran nonpoint source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak, misalnya limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah permukiman (domestik), dan limpasan dari daerah perkotaan. Pertanian Menurut
Effendi
(2003)
limpasan
dari
daerah
pertanian
yang
menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor. Demikian juga sumber utama nitrogen antropogenik di perairan berasal dari wilayah pertanian yang menggunakan pupuk secara intensif maupun dari kegiatan domestik. Dalam kemajuan industri dewasa ini, nitrogen dari runoff aktivitas pertanian merupakan sumber potensial pencemaran air. Penggunaan pupuk baik kotoran hewan maupun pupuk sintetik dalam jumlah yang besar dari yang dibutuhkan pertanian, maka kelebihan nutrien akan terbawa melalui aliran air permukaan ke dalam perairan (LWSB 2006).
23
Menurut (Mason 2002) ada tiga cara nutrien terbuang dari lahan pertanian: (1) Perlindian/leaching, perlindian nutrien yang terlarut terbawa oleh aliran air; (2) Aliran air permukaan (run-off) yang membawa nutrien; dan (3) erosi, berpindahnya partikel-partikel nutrien dari suatu tempat ke tempat lain. Lebih lanjut Mason (2002) menjelaskan bahwa pada lahan pertanian yang kosong jumlah fosfor yang terbawa oleh aliran air permukaan rata-rata 3 kg per hektar per tahun. Sedangkan di lahan padang rumput jumlah fosfor yang hilang lebih sedikit dibandingkan dengan lahan pertanian yaitu rata-rata 0,5 kg per hektar per tahun. Selanjutnya dijelaskan bahwa secara umum jumlah fosfor yang terbawa oleh air sama dengan 60% dari jumlah penggunaan pupuk di lahan pertanian (Mason 2002). Pencemaran nutrien selain dari lahan pertanian, input nutrien juga dapat berasal dari sisa buangan limbah rumah tangga (limbah domestik) terutama penggunaan deterjen. Domestik Menurut Mulyadi (1999) limbah domestik merupakan buangan berupa bahan-bahan sisa dan tidak berguna dari berbagai aktivitas rumah tangga. Soeparman (2001) menambahkan bahwa limbah cair domestik berasal dari aktivitas MCK (Mandi Cuci Kakus) yang merupakan hasil buangan dari perumahan, bangunan, perdagangan, perkantoran dan sarana sejenisnya. Suprabawati dan Sundra (2007) menjelaskan bahwa pada tiap volume aliran limbah cair, terkandung 99% larutan dan 0,1% padatan. Dari 5056,8 m3 limbah mengandung 5000 m3 air/larutan dan 56,8 m3 padatan dari bahan-bahan organik (70%) dan anorganik (30%). Aliran air permukaan dari daerah urban merupakan sumber bahan pencemaran air potensial yang dapat menurunkan kualitas air aliran sungai yang mengalir ke danau atau waduk (Botkin & Keller 2005). Selanjutnya dijelaskan bahwa hasil penelitian di Danau Washington pada tahun 1930 menunjukkan bahwa fosfor dari instalasi air limbah telah memicu terjadinya pertumbuhan alga dan bakteri. Jumlah nitrogen dan fosfor per orang per hari rata-rata 10,8 g N dan 2,2 g P (Mason 2002). Sedangkan sumber nutrien dari daerah pedesaan berasal dari pertanian, alih fungsi hutan dan dari permukiman pedesaan (rural dwellings).
24
Meningkatnya beban pencemaran air limbah domestik sangat terkait dengan meningkatnya penggunaan lahan domestik dengan berbagai aktivitasnya dalam sistem DAS (Hariyadi 2006). Beban nutrien yang menjadi masalah bagi perairan waduk selain disebabkan oleh dampak aktivitas di eksternal waduk seperti pertanian dan pemukiman juga akibat dari aktivitas yang ada di waduk itu sendiri yaitu aktivitas budidaya perikanan.
2.7. Budidaya Perikanan di Waduk Baird et al. (1996) menyatakan dari review sejumlah hasil penelitian disimpulkan bahwa di daerah empat musim (temprate zone) limbah padat dan nutrien berasal dari sistem budidaya intensif mencemari perairan waduk. Selanjutnya dijelaskan bahwa dari sejumlah data menunjukkan nutrien berpotensi memberikan dampak buruk terhadap ekosistem perairan jika limbah nutrien masuk ke perairan mempunyai flushing rate yang rendah atau hanya jenis spesies tertentu yang dapat dengan mudah berkembang dalam ekosistem. Beberapa aktivitas budidaya ikan sistem intensif yang menghasilkan buangan nutrien P yang berbeda ke parairan, ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel 4 Jumlah buangan nutrien dari budidaya ikan sistem intensif Sistem budidaya
Jenis ikan
Negara
TN
TP
TN/TP
Tambak, Kolam
Trout
Irlandia
83
11
7.5
Keramba
Trout
Polandia
97
23
4.2
Keramba
Trout
Swedia
87
13.5
6.4
Keramba
Trout
Skotlandia
104
27
3.8
Keramba
Yellowtail
Jepang
68
23
3.0
Keramba
Yellowtail
Jepang
109
28
3.9
Keramba
Bream
Jepang
211
62
3.4
108.4
26.8
4.6
Rat-rata Sumber: Beveridge (2004)
Pembesaran ikan dalam KJA di Waduk Cirata pada umumnya dilakukan secara intensif dimana ikan ditebar dengan kepadatan tinggi. Abery et al. (2005) menjelaskan padat penebaran ikan mas (Cyprinus carpio L) atau nila (Oreochromis niloticus) ukuran fingerlings (anak jari) lebih kurang 100 kg untuk
25
satu unit keramba ukuran 7 m x 7 m x 3 m dengan pemberian pakan berkisar antara 10 – 12% dari berat badan per hari. Lebih lanjut, dijelaskan komposisi proksimat (persentase kelambaban, protein, lemak, abu, dan serat) sedikit berbeda dari tipe pakan yang berbeda. Rata-rata persentase kelambaban, protein, lemak, abu, dan serat dalam pakan berturut-turut berkisar antara 11 – 13%, 26 – 28%, 6 – 8% dan 4 – 6%. Azwar et al. (2004) menambahkan bahwa kualitas pakan sangat ditentukan oleh nilai gizi pakan yaitu protein, lemak dan mikro nutrien lainnya seperti vitamin dan mineral. Selanjutnya dijelaskan untuk pembesaran ikan mas kadar protein yang digunakan berkisar antara 26 – 32%, sedangkan untuk ikan nila yaitu antara 20 – 25%. Fosfor dari sisa pakan yang dibuang secara langsung dari aktivitas budidaya mempunyai dampak yang sangat berpengaruh terhadap tingkat trofik perairan waduk (An & Kim 2003). Garno (2006) menjelaskan bahwa satu unit KJA dalam setahun dapat memproduksi
ikan
sebanyak
4,5
ton/tahun.
Kebutuhan
pakan
untuk
memproduksi 1 ton ikan dibutuhkan pakan sebanyak 1,51 ton. Menurut Costa-Pierce (1996) tingkat pengkayaan nutrien dari aktivitas budidaya ikan tergantung dari musim, kualitas air dan jumlah ikan yang stres, kualitas, kuantitas dan jumlah pemberian pakan pellet, efisiensi produksi dan lama pemeliharaan. Selain itu, pengkayaan nutrien juga dipengaruhi oleh jenis (species) ikan yang dibudidayakan, jenis pakan, pengelolaan, arus dan kedalaman air (Beveridge 2004). Kapasitas pengembangan budidaya keramba di danau maupun waduk pada dasarnya berbeda antara produktivitas di badan air awal eksploitasi dan tingkat produktivitas yang diperbolehkan. Salah satu cara untuk menentukan tingkat produktivitas perairan dapat ditentukan melalui kosentrasi fosfor (Beveridge 2004). Tingkat konsentrasi fosfor yang diperbolehkan berbeda untuk badan air dan jenis ikan budidaya seperti ditunjukkan pada Tabel 5.
26
Tabel 5 Nilai tentatif maksimum P yang diperbolehkan dalam perairan tergenang yang digunakan untuk budidaya ikan sistem keramba Maksimum P yang diperbolehkan (mgL-1) 60
Jenis perairan
Spesies
Subtropis
Ikan Salmon
Subtropis
Ikan Mas
150
Tropis
Ikan Mas dan Nila
250
Sumber: Beveridge (2004)
Salah satu isu pengembangan perikanan budidaya di perairan umum seperti waduk dan danau adalah menurunnya kualitas air akibat beban limbah sisa pakan. Umumnya permasalahan muncul disebabkan oleh penerapan budidaya KJA yang tidak berwawasan lingkungan sehingga mengakibatkan penurunan kualitas air bahkan kematian ikan secara masal (Krismono 1998; Haryani 2002). Menurut Costa-Pierce (2002) beberapa hal yang harus diperhatikan untuk keberlanjutan usaha budidaya perikanan waduk yaitu (1) adanya dukungan dari pemerintah dalam bentuk perbaikan teknologi (technical input), (2) penegakan aturan yang jelas untuk mendapatkan izin usaha, (3) adanya sistem pembatasan jumlah keramba, dan pembuangan bahan pencemar, dan (4) adanya komitmen yang jelas antar lembaga terkait untuk mencapai keadilan (equity). Costa-Pierce (1996) menyatakan pembatasan jumlah unit budidaya yang berada di badan air dapat dilakukan dengan menurunkan produktivitas dari aktivitas budidaya dalam usaha untuk menekan terjadinya dampak negatif. Selanjutnya dijelaskan batas atau daya dukung dapat terlampaui dengan lebih cepat manakala usaha budidaya dikelola secara intensif menggunakan sejumlah besar pakan yang berprotein tinggi. Model prediksi penentuan kapasitas lingkungan untuk budidaya keramba bermanfaat untuk membantu menentukan kesesuaian pengembangan budidaya keramba secara bersama dan mengurangi resiko bagi pembudidaya ikan (Beveridge
2004).
Selanjutnya
dijelaskan,
model
secara
umum
lebih
memperhitungkan tentang status tropik perairan waduk dari pada masuknya bahan-bahan toksik atau penyakit ke lingkungan.
27
2.8. Daya Tampung Waduk PerMen LH No. 28 Tahun 2009 dinyatakan bahwa daya tampung danau dan/atau waduk yaitu kemampuan perairan danau dan/atau waduk menampung beban pencemaran air sehingga memenuhi baku mutu air dan status trofik. Daya tampung waduk sangat dipengaruhi oleh morfologi dan hidrologi waduk, khususnya karakteristik laju pembilasan air atau waktu tinggal air, yang tergantung pada volume waduk dan debit air keluar waduk. Danau atau waduk yang memiliki waktu tinggal air kurang dari 20 hari mempunyai kemampuan pencampuran air sehingga plankton tidak dapat tumbuh. Sedangakan danau maupun waduk yang memiliki waktu tinggal air antara 20 sampai 300 hari menyebabkan terjadinya proses stratifikasi. Apabila waktu tinggalnya lebih dari 300 hari akan terjadi stratifikasi yang stabil, serta dapat terjadi akumulasi unsur nutrien dan pertumbuhan plankton yang mengakibatkan eutrofikasi ( KLH 2008). Dalam PerMen LH No. 28 Tahun 2009 dijelaskan bahwa daya tampung beban pencemaran air danau dan/atau waduk tergantung kepada karakteristik dan kondisi lingkungan disekitarnya, yaitu: (a). morfologi dan hidrologi danau dan/atau waduk; (b). kualitas air dan status trofik danau dan/atau waduk; (c). persyaratan atau baku mutu air untuk pemanfaatan sumber daya air danau dan/atau waduk; dan (d). alokasi beban pencemaran air dari berbagai sumber dan jenis air limbah yang masuk danau dan/atau waduk. Daya tampung beban pencemaran air danau/waduk dapat dihitung dengan cara sebagai berikut : (PerMen LH No. 28 TAHUN 2009) a. Daya tampung parameter Pa per satuan luas danau dan/atau waduk yaitu L, merupakan fungsi dari kedalaman rata-rata danau Ž, laju penggantian air danau/waduk yaitu ρ dan kadar parameter yang terbawa lumpur dan mengendap ke dasar danau/waduk. b. Jumlah daya tampung parameter Pa pada perairan danau dan/atau waduk yaitu La, yang merupakan fungsi L dan luas perairan danau atau A.
2.9. Kebijakan Pengelolaan Waduk Kebijakan adalah ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu (Suharto 2008).
28
Dalam pemanfaatan waduk harus memberikan daya guna dan hasil guna yang dikehendaki dalam batas-batas yang optimal dengan tetap menjaga kemampuan dan kelestarian waduk dan sumber alam lain yang berkaitan dalam ekosistem waduk agar manfaatnya berlangsung secara berkelanjutan. Oleh karena itu pemanfaatan dan pengelolaan waduk perlu adanya prosedur dan tata cara yang memperhatikan kelestarian fungsi dan kemampuan ekosistem, serta mengendalikan pecemaran dan dampak negatif dari kegiatan pembangunan. Tundisi dan Tundisi (2003) menjelaskan bahwa ekologi waduk yang dinamis harus dipahami dalam hubungannya dengan pemanfaatan daerah tangkapan waduk (watershed) dan dampaknya. Terutama harus adanya pertimbangan tentang kebijakan baru dan perubahan-perubahan yang diperlukan bagi waduk yang multi fungsi. Sejumlah kebijakan dan ketentuan tersebut meliputi: 1) menjaga proses ekosistem waduk, 2) menjaga keberlanjutan fungsi waduk melalui manajemen yang tepat, 3) membangun sistem monitoring kualitas air yang parmanen yang dapat dipantau setiap saat seperti pemantauan aktivitas watershed, 4) mempersiapkan tim yang multi disiplin ilmu untuk mengembangkan strategi pengelolaan yang terpadu, dan 5) memperkenalkan kemampuan prediksi untuk pengelolaan waduk. Semua stakeholder pengelola dan pemanfaatan danau dan/atau waduk ikut melestarikan fungsi ekosistem, melakukan tindakan konservasi, pemanfaatan yang bijak atas danau dan/atau waduk dan daerah tangkapan airnya agar ekosistem danau dan/atau waduk dapat terjaga kelestariannya sehingga dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi kepentingan dan kesejahteraan penduduk pada masa kini dan masa yang akan datang (KLH 2008). Ada sejumlah ketentuan yang mengatur dalam pengelolaan waduk baik dalam
pemanfaatan lahan di sekitar waduk maupun pemanfaatan
perairan waduk itu sendiri, seperti dijelaskan dalam Tabel 6.
29
Tabel 6 Aturan dan kebijakan dalam pengelolaan waduk No. A.
Bahan kebijakan
Sumber
Pemanfaatan lahan sekitar waduk
1.
Konservasi sumberdaya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam, kawasan hutan, dan kawasan pantai.
UU No. 7 tahun 2004 tentang Konservasi sumberdaya Air (pasal 25 ayat 1 dan 2)
2.
Kawasan di sekitar waduk termasuk kawasan yang berfungsi lindung yang memberi perlindungan terhadap kawasan setempat (perairan waduk), oleh karena itu dalam pemanfaatannya disesuaikan dengan rencana tata ruang pemanfaatan waduk
UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan ruang (pasal 5)
3.
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melaui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. menetapkan kriteria kawasan lindung dari wilayah sekitar waduk. Kawasan lindung tersebut adalah daratan sepanjang tepian waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik waduk antara 100 m dari pasang tertinggi ke arah darat. Tujuannya melilndungi waduk dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsi waduk.
UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan ruang (pasal 36) Kepres RI No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan lindung (pasal 18)
5.
Setiap orang dan atau badan tanpa kewenangan yang sah dilarang: menebang pohon dalam radius/jarak tertentu dari mata air, tepi jurang, tepi danau/waduk, tepi pantai dan anak-anak sungai yang berada dalam kawasan lindung, sesuai peraturan perundang undangan;
Perda Jabar No. 2 tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (pasal 88)
6.
Perlindungan terhadap kawasan sekitar waduk dan situ dilakukan untuk melindungi waduk dan situ dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsinya. Kriteria kawasan sekitar waduk dan situ adalah daratan sepanjang tepian waduk dan situ yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik waduk dan situ sekurang kurangnya 50 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Perlindungan terhadap kawasan sekitar waduk dan situ dilakukan untuk melindungi waduk dan situ dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsinya. Kriteria kawasan sekitar waduk dan situ adalah daratan sepanjang tepian waduk dan situ yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik waduk dan situ sekurang-
Perda Jabar No. 2 tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (Pasal 15 dan 16)
4.
7.
Perda Jawa Barat No. 2 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat (penjelasan pasal 33)
30
kurangnya 50 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. B.
Pemanfaatan perairan waduk
8.
Baku mutu air, daya tampug beban pencemaran PP No. 20 Tahun 1990 dan baku mutu limbah cair ditinjau secara berkala tentang Pengendalian Pencemaran Air (pasal sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. 16) Schmittou 1991 Jumlah KJA yang dapat diizinkan untuk danau dan waduk yang bersifat mesotrof hanyalah sebanyak dua unit KJA mini/ha
9.
10
Jumlah KJA di Waduk Cirata hanya 12.000 kolam SK Gubernur Jabar No. (petak) (1% dari luas perairan waduk). Kepadatan 41 Tahun 2002 KJA juga mempengaruhi terhadap daya dukung perairan waduk
11.
Luas areal waduk yang sesuai bagi peruntukan Rekomendasi dari Balai budidaya ikan adalah 1% dari luas efektif (minimum Penelitian Perikanan Air operasional) waduk. Tawar tahun 1996
12.
Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang berbasis kelas kualitas air dijadikan sebagai bahan penyusunan Baku Mutu Air waduk serta penyusunan daya tampung beban pencemaran air.
PP RI No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
13.
Keterpaduan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dilakukan melalui upaya koordinasi antar pemerintah daerah yang berada dalam satu kesatuan ekosistem air dan atau satu kesatuan pengelolaan sumberdaya air antara lain Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Daerah Pengaliran Sungai (DPS). Dalam koordinasi dan kerjasama tersebut termasuk instansi terkait, baik menyangkut rencana pemanfaatan air, pemantauan kualitas air, penetapan baku mutu air, penetapan daya tampung, penetapan mekanisme perizinan pembuangan air limbah, pembinaan dan pengawasan penataan
PP RI No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air (Penjelasan pasal 2).
14.
Hasil penetapan daya tampung beban pencemaran air danau dan/atau waduk menjadi pertimbangan dalam: a. penetapan rencana tata ruang daerah tangkapan air danau dan/atau waduk; b. pemberian izin kegiatan yang lokasinya dapat mempengaruhi kualitas air danau/atau waduk; dan c. pemberian izin pembuangan air limbah yang masuk ke perarian danau dan/atau waduk.
PerMen LH No. 28 tahun 2009 tentang daya tampung beban pencemaran air danau dan/atau waduk (Pasal 5)
31
15.
Puslitbangkan 1990 (Petunjuk Teknis pengelolaan perairan bagi b. Pada usaha budidaya ikan di perairan waduk, waduk pengendalian harus dilakukan sejak dini terhadap pembangunan dampak negatif yang ditimbulkannya. perikanan) Pengendalian dampak negatif dapat dilakukan dengan membatasi luas area, lokasi, jumlah unit usaha dan teknik budidayanya.
a. Jumlah unit budidaya ikan di suatu wilayah harus disesuaikan dengan daya dukung perairan;
c. Pewilayahan waduk merupakan suatu upaya pengelolaan perairan waduk secara terpadu dan lestari. Secara umum perairan waduk dibagi menjadi 6 kawasan: kawasan bahaya, kawasan lindung, kawasan budidaya ikan, kawasan penangkapan ikan, kawasan perhubungan air, dan kawasan wisata.
2.10. Valuasi Ekonomi Peran valuasi ekonomi terhadap ekosistem dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya adalah panting dalam kebijakan pembangunan. Hilangnya ekosistem atau sumberdaya lingkungan merupakan masalah ekonomi, karena hilangnya ekosistem berarti hilangnya kemampuan ekosistem tersebut untuk menyediakan barang dan jasa. Dalam beberapa kasus bahkan hilangnya ekosistem ini tidak dapat dikembalikan seperti sediakala (irreversible). Pilihan kebijakan pembangunan yang melibatkan ekosistem apakah akan dipertahankan seperti apa adanya, atau dikonversi menjadi pemanfaatan lain merupakan persoalan pembangunan yang dapat dipecahkan dengan menggunakan pendekatan valuasi ekonomi terkait dengan kuantifikasi manfaat dan kerugian (cost) harus dilakukan agar proses pengambilan keputusan dapat berjalan dengan memperhatikan aspek keadilan (fairness). Valuasi ekonomi bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik, dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program pengelolaan sumberdaya alam sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat sumberdaya alam (Duerr 1993). Menurut Barbier et. al. (1997) ada 3 jenis pendekatan penilaian sebuah ekosistem alam yaitu (1) impact analysis, (2) partial analysis dan (3) total valuation. Pendekatan analisis dampak dilakukan apabila nilai ekonomi ekosistem dilihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari akifitas
32
tertentu,
misalnya
akibat
reklamasi
pantai
terhadap
ekosistem
pesisir.
Sedangkan analisis parsial dilakukan dengan menetapkan dua atau lebih alternatif pilihan pemanfaatan ekosistem. Sementara itu, total valuation dilakukan untuk menduga total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada masyarakat. Nilai ekonomi (economic value) dari suatu barang atau jasa diukur dengan menjumlahkan kehendak untuk membayar (CVM, willingness to pay,/WTP) dari banyak individu terhadap barang atau jasa yang dimaksud. Pada gilirannya, CVM merefleksikan preferensi individu untuk suatu barang yang dipertanyakan. Jadi, valuasi ekonomi dalam konteks lingkungan hidup adalah tentang pengukuran preferensi dari masyarakat (people) untuk lingkungan hidup yang baik dibandingkan terhadap lingkungan hidup yang jelek. Valuasi merupakan fundamental
untuk
pemikiran
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development). Memperhitungkan sejumlah nilai manfaat dari danau memrupakan strategi pengelolaan lingkungan yang baru. Nilai air dan ekosistem perairan dibagi dalam empat bagian: 1. Nilai langsung (penggunaan sumberdaya yang konsumtif dan bukan konsumtif) 2. Nilai tidak langsung (fungsi dan jasa ekosistem) 3. Nilai pilihan (manfaat yang diperoleh kedepan) 4. Nilai bukan guna (nlai manfaat yang melekat yang berpengaruh) CFNCRD dan ITTO (2008) menjelaskan bahwa untuk menghitung nilai WTP dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu menghitung nilai dari penurunan kualitas lingkungan yang telah terjadi maupun penghitungan langsung dengan cara melakukan survei lapangan. Dalam WTP, surplus konsumen adalah selisih antara harga yang bersedia dibayarkan konsumen dengan harga aktual yang dibayarkan.
2.11. Pendekatan Sistem dan Pemodelan (modelling) 2.11.1. Pendekatan Sistem Sistem approach (pendekatan sistem) diartikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai secara tentatif mendefenisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif
33
dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang kompleks. Oleh karena itu dalam pendekatan sistem selalu mencari keterpaduan antar kegiatan melalui pemahaman yang utuh. Pada pendekatan sistem menurut Eriyatno (2003),umumnya ditandai oleh dua hal yaitu: (1) mencari semua faktor yang ada dalam mendapatkan solusi baik untuk menyelesaikan masalah, dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Tiga
pola
dasar
yang
menjadi
pegangan
dalam
penyelesaian
permasalahan denagan pendekatan sistem, yaitu: 1) sibernetik (goal oriented), artinya dalam penyelesaian permasalahan berorientasi pada tujuan. Tujuan ini diperoleh melalui need analysis (analisis kebutuhan); 2) Holistik yaitu cara pandang yang utuh terhadap totalitas sistem, atau menyelesaikan permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu; dan 3) Efektif, artinya lebih dipentingkan hasilguna yang operasional serta yang dapat dilaksanakan metodologi dikembangkan sebagai karakter dalam pendekatan sistem, sehingga beragam metode yang ada di berbagai disiplin ilmu lainnya dapat digunakan sebagai alat bantu oleh ahli sistem Menurut Manetsch dan Park (1997), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi berikut: 1) tujuan sistem didefenisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, 2) prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah tersentralisasikan atau cukup jelasan batasannya, dan 3) dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan
untuk
dilakukan.
Sedangkan
menurut
Ford
(1999),
mendefenisikan sistem sebagai suatu kombinasi dari dua arah atau lebih elemen yang saling terkait dan memiliki ketergantungan antar komponen. Lebih lanjut Eriyatno (2003) menytakan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem melalui beberapa tahapan, yaitu: (1) analisis kebutuhan, tujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dari semua pelaku dalam sistem, (2) formulasi permasalahan, yang merupakan kombinasi dari semua permasalahan yang ada dalam sistem, (3) identifikasi sistem, bertujuan untuk menentukan variabel-variabel sistem, (4) pemodelan abstrak, pada tahap ini mencakup suatu proses interaktif antar analisis sistem dengan pembuat keputusan, yang menggunakan model untuk mengeksplorasi dampak dari berbagai alternatif dan variabel keputusan terhadap berbagai kriteria sistem, (5) implementasi, tujuan utamanya adalah untuk memberikan wujud fisik dari sistem yang diinginkan, dan (6), operasi, pada tahap ini akan dilakukan
34
validasi sistem. Pada tahap ini terjadi modifikasi-modifikasi tambahan karena cepatnya perubahan lingkungan dimana sistem tersebut berfungsi. Menurut Pramudya (1989), pendekatan sistem dilakukan dengan tahapan kerja yang sistematis yang dimulai dari analisis kebutuhan hingga tahap evaluasi, seperti disajikan pada gambar 3. Analisis sistem merupakan kajian mengenai struktur sistem yang bertujuan (1) mengidentifikasi unsur-unsur penyusun sistem atau sub sistem, (2) memahami proses-proses yang terjadi dalam sistem, dan (3) memprediksi kemungkinan-kemungkinan keluaran sistem yang terjadi sebagai akibat adanya perubahan dalam sistem. Dengan demikian analisis sistem yang terjadi dapat diartikan sebagai suatu pemecahan masalah atau metode ilmiah yang merupakan dasar dalam pemecahan dalam pengelolaan sistem tersebut. Menurut Pramudya (1989), analisis sistem merupakan studi mengenai sistem atau organisasi dengan menggunakan azas-azas metode ilmiah, sehingga dapat dibentuk konsepsi dan model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk
mengadakan
perubahan-perubahan
struktur
dan
metode
serta
menentukan kebijakan, strategi, dan taktik. Winardi (1989) menyatakan bahwa sistem harus dipandang secara holistik (keseluruhan) dan akan bersifat sebagai goal seeking (pengejaran sasaran), sehingga terjadi keseimbangan untuk mencapai tujuan. Suatu sistem mempunyai input (masukan) yang akan berproses untuk menghasilkan output (keluaran). Pada suatu sistem terdapat umpan balik yang berfungsi sebagai pengatur komponen-komponen sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Sistem yang lebih besar dapat terdiri atas beberapa sub-sistem (sistem kecil) yang akan membentuk suatu hirarki. Perubahan pada suatu komponen dari suatu sistem akan mempengaruhi komponen lain dan biasanya akan menghasilkan umpan balik pada periode yang sama atau pada periode berikutnya. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal (dari dalam sistem) maupun faktor eksternal (dari luar sistem). Sistem dinamis merupakan sistem yang mememiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan input dan interaksi antar elemenelemen sistem. Dengan demikian nilai output sangat tergantung pada nilai sebelumnya dari variabel input (Djojomartono 2000).
35
2.11.2. Penggunaan Sistem Dinamis Sistem dinamik adalah metodologi untuk memahami suatu masalah yang kompleks. Metodologi ini dititikberatkan pada pengambilan kebijakan dan bagaimana kebijakan tersebut menentukan tingkah laku masalah-masalah yang dapat dimodelkan oleh sistem secara dinamik (Richardson dan Pugh 1986 diacu dalam Somantri dan thair 2007). Permasalahan dalam sistem dinamik dapat disebabkan oleh struktur internal sistem, bukan pengaruh dari luar sistem. Secara substansi terdapat 3 alasan yang mendasari penggunaan sistem dinamis yaitu: 1) pendekatan sistem dengan metode sistem dinamis merupakan proses berfikir menyeluruh dan terpadu yang mampu menyederhanakan kerumitan tanpa kehilangan esensi atau unsur utama yang menjadi obyek perhatian, 2) metode sistem dinamis sesuai digunakan untuk menganalisis mekanisme interaksi atau melihat pola keterkaitan antar unsur atau elemen suatu sistem yang rumit, berubah menurut waktu dan mengandung ketidakpastian, 3) dapat mempresentasikan alternatif-alternatif keputusan dengan cepat melalui simulasi model yang dibangun (Coyle 1996).
2.11.3. Pemodelan (modeling) Pemodelan (Modeling) diartikan sebagai suatu gugus pembuatan model (Eriyatno & Sofyar 2007). Pramudya (1989) mendefenisikan model adalah suatu abstraksi dari keadaan sesungguhnya atau merupakan pernyataan sistem nyata untuk memudahkan pengkajian suatu sistem. Sejalan dengan pernyataan tersebut Muhammadi et al. (2001) menyatakan bahwa model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Dalam pelaksanaaan pendekatan sistem, pengembangan model merupakan hal yang sangat penting yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Disamping itu, pengembangan model diperlukan guna menemukan peubah-peubah penting dan tepat serta hubungan antar peubah dalam sistem yang dikaji. Menurut Winardi (1989), model adalah suatu gambaran abstrak dari sistem dunia nyata dalam hal-hal tertentu. Model tersebut memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Suatu model yang baik akan menggambarkan denagan baik segi tertentu yang penting dari perilaku dunia nyata. Dalam membangun suatu model harus dimulai dari konsep yang paling sederhana dengan cara mendefenisikan permasalahan secara hati-hati serta
36
menggunakan analisis sensitivitas untuk membantu menentukan rincian model. Selanjutnya untuk penyempurnaan dilakukan dengan menambahkan variabel secara
gradual
sehingga
diperoleh
model
yang
logis
dan
dapat
merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Dalam memahami perilaku model dapat dilakukan dengan melakukan simulasi model. Menurut Muhammadi et al. (2001) Simulasi dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1. Penyusunan konsep 2. Pembuatan model 3. Simulasi model 4. Validasi hasil simulasi Hasil simulasi dapat digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta mengetahui kecenderunggannya di masa mendatang. Struktur unternal masalah dapat dipahami secara lebih rinci dengan memahami perilaku dan kecanderungannya.