2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda Waduk merupakan badan perairan yang dibentuk dengan membangun dam
melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir. H. Juanda (Waduk Jatiluhur) merupakan waduk terbesar di Jawa Barat dan tertua di Indonesia yang memiliki fungsi serbaguna.
Waduk Ir. H. Juanda mempunyai luas 8.300 ha dengan kapasitas
waduk mencapai ± 3 milyar m3 yang memiliki fungsi sebagai penyediaan baku air minum dan industri, PLTA, penyediaan air irigasi pertanian, perikanan, pariwisata, dan pengendali banjir. Waduk Ir. H. Juanda terletak ± 11 km ke arah barat daya dari kota Purwakarta tepatnya pada posisi 60 30’ sampai 60 49’ LS dan 1070 14’ sampai 1070 22’ BT (Anonimus 1989 in Widiyastuti 2004). Waduk Ir. H. Juanda dibentuk dengan membendung Sungai Citarum dan anak sungai yang berada di Kecamatan Jatiluhur. Waduk ini mendapat pasokan air dari dua waduk yang berada di bagian hulu sepanjang DAS Citarum, yaitu Waduk Saguling dan Cirata. Sumber air waduk berasal dari daerah pengaliran Waduk Saguling dan Cirata yang juga terdapat keramba jaring apung dalam jumlah yang banyak dan mengakibatkan beban pencemaran terakumulasi di Waduk Ir. H. Juanda (Sudjana 2004). Berdasarkan ciri morfometrik, Waduk Ir. H. Juanda termasuk perairan terbuka yang cukup dalam, jumlah teluk banyak, garis pantai yang panjang, daerah tangkap hujan yang luas, dan produktivitas perairan umumnya didominasi oleh fitoplankton (Simarmata 2007). Menurut Sukimin (1999), ekosistem Waduk Ir. H. Juanda secara gradient longitudinal dapat dibagi kedalam zona mengalir (riverine), zona transisi dan zona menggenang (lacustrine) (perairan tengah, Dam) yang sebagian besar merupakan tempat pengembangan budidaya ikan keramba jaring apung. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda dapat digambarkan dengan beberapa parameter seperti yang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda (Prihadi 2004)
Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Ketinggian dari muka laut (m) Selesai dibangun Volume air × 1000 m3 Luas permukaan (A) (ha) Kedalaman rata-rata (m) Kedalaman maksimum (Zmaks) (m) Status Kesuburan Pola pencampuran massa air Kondisi tanpa oksigen dimulai pada kedalaman (m) 2.2.
Di bagian bawah/hilir 111 1967 2.970.000.000 8.300 35,8 90 Mesotrofik-Eutrofik Oligomictic (jarang)
> 11-20 (anoksik)
Keramba Jaring Apung (KJA)
Keramba jaring apung (KJA) adalah tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang dapat menyebabkan keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran air. Budidaya ikan dalam KJA atau Floating Net Cage merupakan salah satu cara pemanfaatan badan air semaksimal mungkin sebagai media budidaya (Susanti 2003). Menurut Ilyas et al. (1990) in Nastiti et al. (2001), paket teknologi budidaya ikan dalam KJA merupakan salah satu paket teknologi budidaya ikan yang cocok untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya perairan danau dan waduk Indonesia. Beberapa jenis ikan yang dapat dipelihara di KJA adalah ikan mas, nila grass crap, tawes, jelawat dan patin. Paket teknologi KJA merupakan salah satu paket teknologi budidaya ikan yang cocok untuk mengoptimalisasi pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya perairan danau dan waduk di Indonesia; yang luasnya 2,1 juta hektar (Ilyas et al. 1992 in Iskandar dan Suryadi 2000) termasuk Waduk Ir. H. Juanda, Cirata, dan Saguling. Menurut Krismono (1993) in Iskandar dan Suryadi (2000), bila 1% saja dari luas perairan tersebut digunakan untuk budidaya ikan dalam KJA, maka akan dapat menghasilkan 800 ton ikan/hari. Namun, perkembangan KJA yang tidak terkendali akan banyak mengakibatkan kematian ikan yang dipelihara di KJA seperti yang terjadi pada tahun 1996 jumlah ikan yang mati mencapai 1.560 ton dan kerugian mencapai 7 milyar rupiah (Krismono et al. 1996).
Teknologi KJA merupakan sistem budidaya perairan yang relatif baru dibandingkan dengan teknologi budidaya lainnya. Pertama kali diuji coba pada tahun 1974 di Waduk Ir. H. Juanda dibawah pengelolan Perum Jasa Tirta II dan mulai dibudidayakan pada tahun 1988. Berkembangnya budidaya ikan KJA di Waduk Ir. H. Juanda terbukti telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi ikan, konsumsi ikan, peluang usaha, kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan. Namun sejalan dengan hal tersebut timbul permasalahan yang mengganggu pelestarian sumberdaya air waduk maupun usaha perikanan itu sendiri. Jumlah unit KJA di Waduk Ir. H. Juanda mengalami peningkatan yang cukup besar dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 10 tahun saja terjadi peningkatan unit KJA yang cukup besar yaitu pada tahun 1994 jumlah KJA sebanyak 850 unit dengan produksi ikan 1.998 ton/tahun (Krismono 2000) dan jumlah KJA pada tahun 2004 adalah 3.216 unit dengan produksi 12.580 ton/tahun (Sudjana 2004). Jumlah unit KJA hingga saat ini bahkan mencapai 4.714 unit (Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta, 2009). Jumlah unit KJA ini sudah dikategorikan dalam jumlah yang cukup tinggi. Dalam penetapan batas maksimum jumlah unit KJA di Waduk Ir. H. Juanda terdapat perbedaan dari masing-masing instansi terkait seperti yang ditunjukan pada Tabel 2. Tabel 2.
Perbedaan jumlah dan luas areal budidaya KJA di Waduk Ir. H. Juanda (Sudjana 2004) Kriteria
Satuan
Luas waduk Elevasi air minimum Jarak antar unit Luas desain/unit KJA Jumlah KJA maksimum Luas perairan KJA Luas perairan KJA
ha m dpl m m2 unit ha %
POKJA 1996 8.300 90,00 25 453 5.480 209,5 2,52
PJT II 2004 8.300 3216 83 1
SK Bupati 06/2000 8.300 87,65 50 624 2100 131 1,58
Batasan kriteria 6.000 87,65 50 624 962 60 1
Pada perkembangannya, paket teknologi budidaya ikan dalam KJA belum dipahami secara baik oleh petani khususnya dalam cara pemberian pakan. Untuk mengejar keuntungan besar, maka cara pemberian pakan dilakukan dengan sistem
pompa supaya panen lebih cepat. Pemberian pakan dengan sistem ini menyebabkan pakan yang terbuang pada KJA ukuran 7 x 7 x 3 m3 adalah 20-30% dan untuk ukuran 1 x 1 x 1 m3 sebanyak 30-50% (Wahyudi 1996 in Krismono 2004). Dampak pakan yang terbuang akan mengendap ke dasar perairan dan menunjukkan perbedaan antara daerah bebas KJA, daerah KJA baru, dan daerah KJA lama mempunyai endapan paling tebal. Pada
pengembangan
budidaya
ikan
di
KJA
diperlukan
beberapa
pertimbangan agar kegiatan budidaya ikan tersebut tidak melebihi daya dukung dari perairan itu sendiri. Beberapa parameter yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan budidaya ikan sistem KJA dari ketiga waduk di Sungai Citarum dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.
Estimasi daya dukung Waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata untuk pengembangan budidaya ikan dalam KJA (modifikasi Krismono 2004)
Parameter Pakan maks harian (kg) Daya dukung ikan maksimum (kg) Padat tebar KJA (kg/m3) Ukuran keramba (m3) Bobot rataan ikan/KJA (kg) Jumlah maksimum KJA (unit)
Saguling 53.459,67 1.781.988,89 7,5 98 735 2.424,4
Cirata 60.142,1 2.004.737,5 7,5 98 735 2.727,5
Jatiluhur 80.189,5 1.672.983,3 7,5 98 735 3.636,7
Persyaratan KJA berdasarkan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Purwakarta No. 53.32/Kep.234-Diskan/2000 in Sudjana (2004) yaitu: 1. Ukuran petak KJA : 7 x 7 x 3 m3 2. Unit KJA : maksimal 8 petak/unit KJA 3. Ukuran per unit KJA : maksimal 28 × 14 m2 4. Jarak antar unit KJA : minimal 50 m 5. 1 % dari luas waduk efektif : ± 60 ha 6. Dilengkapi gudang pakan dan ruang tunggu: maksimal 4 × 4 m2 7. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan mas, nila/nila merah, patin,ikan hias, dan ikan lain yang cocok serta tidak merusak lingkungan 8. Usia, ukuran, dan padat tebar ikan
9. Jenis pakan ikan yang dipergunakan harus memenuhi Standar Industri Indonesia (SII) dan lolos pengujian dari Pemerintah daerah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Purwakarta Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2002), waktu pemeliharaan tiap periode di Waduk Ir. H. Juanda pada umumnya adalah 2,5 bulan/musim tanam dengan frekuensi panen 2,5 bulan/musim tanam; produksi ikan ratarata/jaring/musim tanam adalah 1.167,14 kg dengan total 23.076.692,08 kg/tahun; dan jumlah pakan rata-rata 1.753,57 kg/musim dengan total adalah 34.671.586,04 kg/tahun. 2.3.
Umbalan (Pencampuran Massa Air) Pada saat terjadinya peralihan musim antara musim kemarau ke musim
hujan intensitas cahaya matahari menjadi berkurang.
Kondisi ini dapat
menyebabkan terjadinya proses umbalan (upwelling), yaitu pembalikan massa air pada saat suhu di lapisan permukaan terjadi penurunan secara tiba-tiba hingga mencapai kisaran suhu yang lebih kecil daripada suhu di dasar yang selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan biota perairan khususnya ikan budidaya di keramba jaring apung. Masalah arus balik ini telah beberapa kali dialami oleh Waduk Ir. H. Juanda berupa naiknya massa air dari dasar ke permukaan secara tiba-tiba. Hal ini juga dapat terjadi pada awal musim hujan saat terjadi penurunan suhu secara mendadak pada lapisan permukaan akibat hujan deras yang terjadi secara tiba-tiba. Waduk Ir. H. Juanda memiliki stratifikasi temperatur yang merupakan salah satu penyebab terjadinya proses umbalan di waduk tersebut. Waduk-waduk yang dibangun di dataran tinggi atau pegunungan sering mengalami umbalan karena morfologinya seperti corong dan cenderung disebabkan oleh suhu.
Menurut
Jangkaru (2003), proses umbalan umumnya terjadi pada badan air dengan permukaan yang sempit dan dalam, serta curam seperti corong atau botol. Dengan bentuk seperti corong dan botol maka proses pengadukan alamiah yang umumnya dilakukan oleh angin tidak terjadi secara rutin. Akibatnya terbentuklah pelapisan dalam kolom badan air termasuk juga pelapisan kualitas air sehingga semakin dalam lapisan air maka akan semakin rendah mutunya. Jika umbalan terjadi pada
badan air yang memiliki stratifikasi atau pelapisan maka dapat berakibat fatal bagi organisme di dalamnya karena kualitas air yang rendah umumnya terdapat di dasar dan akan ikut terangkat ke permukaan tempat ikan hidup. Umbalan tidak berpengaruh terlalu buruk pada air yang jernih, sedangkan pada perairan yang dasarnya kotor tercemar limbah (termasuk limbah pakan ikan) dapat mengancam kehidupan ikan karena massa air yang naik ke permukaan akan membawa senyawa-senyawa beracun yang membahayakan kehidupan ikan.
Jangkaru (2002) menyatakan bahwa penurunan suhu udara pada malam hari, pada waktu hujan, atau pada waktu sinar matahari terhalang oleh awan, asap, debu, atau pelindung lainnya akan menurunkan suhu air permukaan. Jika proses penurunan suhu udara berlanjut sehingga suhu air permukaan sama dengan suhu lapisan bawah maka akan terjadi proses pembauran atau pencampuran air.
Apabila suhu air permukaan terus
berlanjut sehingga lebih dingin dibanding dengan suhu air dasar maka akan terjadi proses pembalikan atau umbalan (upwelling). Goldman
dan
Horne
(1983)
membagi
upwelling
berdasarkan
banyaknya upwelling yang terjadi dalam satu tahun, yaitu : 1). Monomictic : pencampuran massa air yang terjadi satu kali dalam setahun. Biasanya terjadi pada perairan yang beriklim tropis. 2). Dimictic : pencampuran massa air yang terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada permulaan musim semi dan pada musim dingin atau musim salju. 3). Polymictic : pencampuran massa air yang terjadi secara terus menerus dalam setiap tahun. Berdasarkan derajat pencampuran, Goldman dan Horne (1983) membagi upwelling menjadi dua yaitu: 1). Holomictic : pencampuran massa air yang terjadi dari permukaan hingga ke dasar perairan yang terjadi secara sempurna. Siklus pencampuran ini biasanya terjadi setiap tahunnya.
2). Meromictic : pencampuran massa air yang terjadi pada kedalaman tertentu saja dan tidak terjadi secara sempurna hingga ke dasar. Pencampuran ini biasanya terjadi pada perairan yang dalam. Menurut Mann (1978) in Nastiti dan Krismono (2003) faktor yang menyebabkan terjadinya umbalan adalah sebagai berikut : 1). Pendinginan secara konveksi Pendinginan secara konveksi bisa terjadi setiap hari terutama pada perairan yang dangkal di daerah dataran tinggi. Proses pendinginan terjadi pada waktu malam hari yang menyebabkan pendinginan di daerah permukaan. Partikel–partikel air yang dingin dan berat akan tenggelam sampai pada lapisan yang mempunyai suhu atau berat jenis yang sama. Dengan demikian arus konveksi yang timbul menyebabkan perpindahan massa air dari bawah ke permukaan perairan. Proses pendinginan secara konveksi selain disebabkan pendinginan pada malam hari juga disebabkan karena penguapan, ataupun cuaca yang dingin. 2). Angin Angin
topan
akan
menimbulkan
arus
kuat,
memindahkan massa air dari dasar ke permukaan.
yang
mampu
Jangkaru (2003)
menyatakan bahwa angin yang bertiup dengan kecepatan yang tinggi di atas permukaan air yang luas dapat menimbulkan gerakan air vertikal. Angin mengangkat sejumlah massa air lalu akan menumpuk di sisi lain, yang umumnya disebut dengan gelombang.
Ruang kosong yang
ditinggalkan gelombang akan segera diisi oleh lapisan air di bawahnya sehingga terjadilah umbalan. 3). Aliran Sungai Masukan air sungai kedalam perairan waduk ataupun danau akan menimbulkan arus. Arus sungai mempunyai berat yang berbeda dengan air waduk atau danau.
Kedalaman air yang dicapai tergantung kepada
perbedaan berat jenis. Jika berat jenis air sungai lebih besar daripada air waduk atau danau maka air sungai tersebut akan mengalir di bawah air
waduk atau danau. Akan tetapi bila berat jenis air sungai lebih kecil dari air waduk atau danau maka air sungai akan mengalir diatas air waduk atau danau. Pada waduk atau danau yang mengalami stratifikasi, air sungai yang dingin mengalir kebawah hingga mencapai daerah yang mempunyai berat jenis dan suhu yang sama. Daerah ini umumnya diatas hipolimnion. 4). Pasang Surut Proses pemindahan massa air dari bawah ke permukaan disebabkan oleh pasang surut yang umumnya terjadi di pantai. Menurut Azwar et al. (2004), kematian massal ikan yang sering terjadi di KJA disebabkan oleh terjadinya perubahan ekosistem lingkungan secara mendadak karena umbalan akibat dari massa air di lapisan bawah yang memiliki kadar oksigen rendah akibat tingginya pembusukan bahan organik, tingginya NH3-N, H2S, dan gas metan. Ketiga senyawa terakhir ini bersifat toksik bagi ikan, sedangkan ketersediaan oksigen sangat penting dalam mempertahankan kehidupan ikan. 2.4.
Oksigen Terlarut - Dissolved Oxygen (DO)
2.4.1. Sumber oksigen terlarut
Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi, air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003). Menurut Simarmata (2007) sumber oksigen terlarut di perairan berasal dari hasil fotosintesis fitoplankton, difusi udara, dan susupan dari inflow. Di perairan yang subur, fotosintesis merupakan input utama dalam produksi oksigen di perairan.
Pada umumnya konsentrasi oksigen saat
permulaan fajar masih rendah, lalu tinggi pada siang hari, kemudian secara kontinu berkurang sepanjang malam karena kebutuhan respirasi komunitas. Populasi hewan dan tanaman di badan air akan mengkonsumsi oksigen selama proses respirasi dan menghasilkan CO2 yang akan digunakan untuk
fotosintesis.
Fotosintesis terjadi di zona fotik, namun respirasi terjadi
dimana saja baik dari kolom air hingga ke dasar perairan sehingga permukaan air cenderung kaya akan oksigen terlarut dan berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Seller dan Markland 1990 in Simarmata 2007). Selain dari hasil fotosintesis, oksigen terlarut juga bersumber dari difusi udara. Menurut Welch (1952), adsorpsi oksigen dari udara ke air melalui dua cara yaitu difusi langsung ke permukaan air atau melalui bentuk agitasi air permukaan seperti gelombang, air terjun, turbulensi. Di perairan danau dan waduk, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh fotosintesis alga yang banyak terdapat di epilimnion.
Kadar oksigen
maksimum terjadi pada sore hari, sedangkan kadar minimum terjadi pada pagi hari (Effendi 2003). Ketersediaan oksigen terlarut merupakan informasi penting dalam reaksi secara biologi dan biokimia di perairan. Konsentrasi oksigen yang tersedia berpengaruh secara langsung pada kehidupan akuatik khususnya respirasi aerobik, pertumbuhan dan reproduksi. Konsentrasi oksigen terlarut di perairan juga menentukan kapasitas perairan untuk menerima beban bahan organik tanpa menyebabkan gangguan atau mematikan organisme hidup (Umaly and Cuvin 1988 in Effendi 2003). 2.4.2. Cadangan oksigen terlarut di hipolimnion Sumber oksigen di lapisan hipolimnion hampir tidak ada, kecuali jika terjadi pembalikkan massa air. Menurut Cornett dan Rigler (1987) in Krismono (2000), konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion merupakan hasil bersih dari sisa dekomposisi bahan organik di sedimen dasar dan respirasi biota perairan ditambah oksigen yang berasal dari hasil fotosintesis biota pelagis dan bentik serta transport oksigen secara vertikal karena turbulensi. Distribusi oksigen ke dalam kolom perairan lambat kecuali jika terjadi turbulensi kuat.
2.4.3. Penurunan oksigen terlarut di perairan Pengkayaan bahan organik di sedimen akan menstimulasi aktivitas mikroba yang memerlukan oksigen sehingga menimbulkan deoksigenasi pada subtrat dan kolom air diatasnya.
Akibatnya akan menambah
kedalaman lapisan reduktif atau mengurangi lapisan oksik di perairan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan biota di KJA karena oksigen merupakan faktor kritis dalam budidaya ikan.
Stadia kritis terjadi jika
jumlah oksigen di hipolimnion tidak cukup untuk proses degradasi bahan organik, baik allochtonous atau autochtonous (Simarmata 2007). Oksigen merupakan faktor kritis dalam budidaya ikan dikarenakan oksigen merupakan faktor utama dalam mendukung kelangsungan hidup ikan.
Kondisi oksigen yang minim di perairan dapat mengancam
kehidupan ikan dan biota air lainnya, namun jika oksigen mencapai titik jenuh akibat pertumbuhan fitoplankton yang berlangsung dengan cepat seiring dengan peningkatan unsur hara, maka akan membahayakan kelangsungan hidup ikan karena dapat memicu terjadinya eutrofikasi perairan yang mengakibatkan oksigen pada saat malam hari menjadi sangat minim atau bahkan mencapai nol. Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob).
Di
perairan tawar, kadar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/liter pada 0 0C dan 8 mg/liter pada suhu 25 0C (McNeely et al. 1979 in Effendi 2003). Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman,
tergantung
pada
percampuran
(mixing)
dan
pergerakan
(turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Effendi
2003).
Menurut Welch (1952),
ketersediaan oksigen terlarut di perairan akan mengalami penurunan akibat proses respirasi oleh biota air baik hewan maupun tumbuhan di sepanjang hari, dekomposisi bahan organik, inflow dari tanah, dan keberadaan besi di perairan.
Menurut
Effendi
(2003),
ikan
dan
organisme
akuatik
lain
membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup. Pada siang hari ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesis pada lapisan eufotik lebih besar daripada konsumsi oksigen oleh proses respirasi.
Pada malam hari, fotosintesis berhenti tetapi respirasi terus
berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Goldman dan Horne (1983) membagi empat tipe distribusi oksigen terlarut di suatu perairan, yaitu (Gambar 2): a. Tipe orthograde : terjadi pada danau yang tidak produktif (oligotrofik) atau danau yang miskin unsur hara dan bahan organik.
Pada tipe ini konsentrasi
oksigen semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman perairan. Peningkatan oksigen pada kondisi ini lebih diakibatkan oleh penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman.
b. Tipe clinograde : terjadi pada danau yang produktif (eutrofik) dengan kandungan unsur hara dan bahan organik yang tinggi. Pada tipe ini oksigen terlarut semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman atau bahkan habis sebelum mencapai dasar. Penurunan ini diakibatkan oleh adanya proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. c. Tipe heterograde positif dan negatif : pada tipe ini terlihat bahwa fotosintesis dominan terjadi di atas lapisan termoklin dan akan meningkatkan oksigen di bagian atas lapisan metalimnion. d. Tipe anomali : tipe ini terjadi aliran air yang deras, dingin, kaya oksigen dan membentuk sebuah lapisan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri.
Gambar 2. Tipe distribusi oksigen terlarut secara vertikal di danau/waduk berdasarkan kedalaman; (a). orthograde, (b). clinograde, (c). heterograde, (d). anomali (Goldman dan Horne 1983). 2.5. Bahan Organik di Perairan Bahan organik yang terdapat di perairan waduk terdiri dari allocthonous organic matter dan autochthonous organic matter.
Allocthonous
organic matter adalah bahan organik yang berasal dari luar perairan seperti limbah rumah tangga dan sisa aktivitas perairan di sekitar waduk, sedangkan autochthonous organic matter adalah bahan organik yang berasal dari dalam waduk itu sendiri seperti sisa pakan, buangan hasil ekskresi ikan, dan hasil dekomposisi organisme plankton. Akumulasi bahan organik di perairan juga mempengaruhi kelangsungan hidup ikan seperti kematian, akibat defisiensi oksigen karena dipakai untuk menguraikan bahan organik tersebut. Bahan organik dalam KJA terutama berasal dari sisa pakan dan kotoran ikan. Dengan meningkatnya jumlah unit KJA maka secara otomatis bahan organik menjadi berlipat ganda. Bahan organik dari sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan akan semakin bertambah dengan meningkatnya
jumlah unit KJA karena semakin banyak jumlah pakan yang masuk ke perairan.
Selain itu peningkatan jumlah unit KJA juga mengakibatkan
peningkatan bahan organik dari hasil ekskresi ikan karena dengan meningkatnya jumlah unit KJA tersebut maka akan semakin banyak ikan budidaya yang ditebar. Pakan dapat berasal dari pemberian atau tersedia secara alami dalam KJA sedangkan kotoran ikan biasanya berupa sisa-sisa hasil metabolisme ikan. Bahan organik tersebut akan larut dan terkandung dalam air dan sebagian mengendap di dasar yang kemudian akan dimakan dan dirombak oleh
makroorganisme
dan
mikroorganisme.
Dalam
batas
tertentu,
kandungan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan perairan. Namun, jika melampaui batas, bahan organik justru akan menghambat pertumbuhan ikan (Jangkaru 2003). Menurut Vitner et al. (1999) peningkatan konsentrasi bahan organik di perairan diduga karena: (a) pengadukan massa air secara merata, (b) penurunan muka air yang mengakibatkan konsentrasi di perairan menjadi pekat dan kandungan bahan organik menjadi meningkat, dan (c) pengaruh buangan yang makin hari semakin besar dari luar waduk. Jika peningkatan bahan organik terjadi secara terus menerus maka akan memberi dampak seperti: a. Akan bertambahnya beban waduk dalam menampung limbah organik b. Akan berakibat berupa penurunan umur fisiologi dan biologi waduk c. Berdampak berupa menurunnya kualitas air dan kematian ikan bila terjadi perubahan siklus air. Tingginya konsentrasi bahan organik akan meningkatkan pengendapan, kemudian setelah terjadi musim hujan terjadi pembalikkan massa air. Keadaan ini akan memperkaya zat hara dan akan mempercepat pertumbuhan fitoplankton. Pembalikkan yang diiringi blooming plankton akan menurunkan konsentrasi oksigen. Kemudian perairan akan berbau busuk dan mempercepat kematian ikan. d. Menurunnya kualitas air produksi Perusahaan Air Minum (PAM), yang akan berdampak pada menurunnya sanitasi masyarakat konsumen.
2.6. Parameter Fisika-Kimia Penunjang 2.6.1. Kecerahan Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran (Effendi 2003). Kecerahan perairan erat kaitannya dengan jumlah intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu perairan. Perairan tergenang biasanya memiliki stratifikasi secara vertikal yang diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu secara vertikal pada kolom air (Effendi 2003). Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman.
Menurut Effendi (2003),
stratifikasi vertikal kolom air pada perairan tergenang berdasarkan perbedaan intensitas cahaya yang masuk ke perairan dikelompokan menjadi tiga, yaitu : (a). Lapisan eufotik, yaitu lapisan yang masih mendapat cukup sinar matahari. Pada lapisan ini oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis lebih besar daripada oksigen yang digunakan untuk respirasi. (b). Lapisan kompensasi, yaitu lapisan dengan intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya permukaan atau dicirikan oleh hasil fotosintesis yang sama dengan respirasi. (c). Lapisan profundal, yaitu lapisan di sebelah bawah lapisan kompensasi dengan intensitas cahaya yang kecil (disfotik) atau sudah tidak ada lagi cahaya (afotik). Menurut Simarmata (1998), apabila intensitas cahaya ke permukaan menurun, maka ketebalan zona eufotik pun akan semakin menipis. Penyebab peredupan cahaya di Waduk Ir. H. Juanda juga diakibatkan oleh bahan organik terlarut dan total padatan tersuspensi. Menurut Asmawi (1983), nilai kecerahan yang baik untuk kelangsungan hidup ikan adalah lebih besar dari 45 cm. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan maka akan dapat diketahui batasan masih adanya kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan yang tidak keruh dan yang paling keruh.
2.6.2. Suhu Suhu pada suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman perairan. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi pada perairan tersebut. Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan
suhu
perairan sebesar 10
0C
menyebabkan terjadinya
peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat. Namun peningkatan suhu seringkali disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen terlarut tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi.
Peningkatan
suhu
juga
menyebabkan
dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi
terjadinya 2003).
peningkatan
Adanya hubungan
antara oksigen terlarut dengan suhu di perairan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.
Hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut jenuh dan suhu pada tekanan udara 760 mmHg (Cole 1983 in Effendi 2003).
Suhu Konsentrasi O2 (0C) terlarut (mg/l) 0 14,62 1 14,22 2 13,83 3 13,46 4 13,11 5 12,77 6 12,45 7 12,14 8 11,84 9 11,56 10 11,29 11 11,03
Suhu (0C) 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Konsentrasi O2 terlarut (mg/l) 10,78 10,54 10,31 10,08 9,87 9,66 9,47 9,28 9,09 8,91 8,74 8,58
Suhu Konsentrasi O2 (0C) terlarut (mg/l) 24 8,42 25 8,26 26 8,11 27 7,97 28 7,83 29 7,69 30 7,56 31 7,43 32 7,30 33 7,18 34 7,06 35 6,95
Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas. Kondisi tersebut menyebabkan stratifikasi panas pada kolom air. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan. Dengan kata lain, cahaya mengalami penghilangan atau pengurangan yang semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Cahaya yang mencapai perairan yang diubah menjadi
energi panas
tersebut akan meningkatkan suhu air sehingga jika suhu
dipermukaan menurun secara tiba-tiba maka akan menyebabkan terjadinya perubahan suhu dan berat jenis (densitas) yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya pencampuran massa air (Effendi 2003). Meskipun terdapat stratifikasi suhu di Waduk Ir. H. Juanda tetapi pada perairan ini tidak sampai terbentuk termoklin mengingat Waduk Ir. H. Juanda yang terletak di daerah tropis. Suhu udara di dataran tinggi relatif rendah, demikian juga suhu airnya. Curah hujan relatif tinggi, sebaliknya intensitas sinar matahari rendah. Suhu air di lapisan bawah badan air dalam waduk sedikit lebih dingin dibandingkan dengan lapisan permukaan.
Suhu air lapisan atas dipengaruhi oleh intensitas sinar
matahari. Distribusi suhu air dan oksigen terlarut pada danau eutrofik di musim panas ditunjukkan seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram yang menggambarkan tipe distribusi CO2, O2, dan temperatur selama musim panas pada danau eutrofik (Goldman dan Horne 1983). Pada umumnya danau/waduk yang memiliki kedalaman rata-rata kurang dari 10 meter tidak mempunyai perbedaan suhu yang nyata. Sebaliknya, danau/waduk dengan kedalaman lebih dari 10 meter
mempunyai stratifikasi temperatur sebagai berikut (Goldman dan Horne 1983) : (a). Epilimnion, yaitu lapisan air yang berada di bawah permukaan dengan suhu relatif sama. (b). Metalimnion/termoklin, yaitu lapisan air yang mengalami penurunan suhu cukup besar (lebih dari 1 ºC/m) yang mengarah ke dasar danau/waduk. (c). Hipolimnion, yaitu lapisan dibawah metalimnion, lebih dingin, perbedaan suhu secara vertikal relatif kecil. Massa air bersifat stagnan, tidak mengalami pencampuran, dan memiliki densitas air yang lebih besar.
Lapisan ini cenderung mengandung oksigen terlarut yang
rendah dan relatif stabil 2.6.3. Derajat keasaman (pH) Keasaman atau kebasaan waduk diukur dalam unit pH, dengan skala 1-14. Derajat keasaman (pH) didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hydrogen.
Keasaman ditunjuk dengan nilai dari 0-7
sedangkan basa dari 7-14. Jika pH perairan di bawah 4 atau 5 maka keragaman spesiesnya sangat terbatas (Goldman dan Horne 1983). Larutan yang bersifat asam (pH rendah) bersifat korosif (Effendi 2003). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah (Novotny dan Olem 1994 in Effendi 2003). 2.6.4. Amonia (NH3) Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Tinja dari biota akuatik
yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia. Sumber amonia yang lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri, dan domestik (Effendi 2003). Amonia dapat terserap ke dalam bahan-bahan tersuspensi dan koloid sehingga akan mengendap di dasar perairan. Amonia di perairan dapat menghilang karena tekanan parsial dalam larutan yang meningkat dengan semakin meningkatnya pH.
Hilangnya amonia ke atmosfer juga dapat
meningkat dengan meningkatnya kecepatan angin dan suhu. Amonia bebas yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik.
Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan
meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu. Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah. Amonia jarang ditemukan pada perairan yang mendapat cukup pasokan oksigen. Sebaliknya, pada wilayah anoksik (tanpa oksigen) yang biasanya terdapat di dasar perairan, kadar amonia relatif tinggi (Effendi 2003). Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/liter (McNeely et al. 1979 in Effendi 2003). Kadar amonia yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02 mg/liter (Sawyer dan McCarty 1978 in Effendi 2003).
Menurut Jangkaru (2003), amonia
sangat bersifat racun terhadap ikan dan organisme hidup lainnya. Dalam suhu yang tinggi dan suasana alkali, konsentrasi NH3 akan meningkat. Air yang mengandung NH3 sebanyak 0,5 mg/l dapat dikategorikan tercemar dan pada konsentrasi 5 mg/l dapat mematikan sebagian besar jenis ikan. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (runoff) pupuk pertanian. Kadar amonia yang tinggi juga dapat ditemukan pada dasar danau yang mengalami kondisi tanpa oksigen (Effendi 2003).
2.6.5. Hidrogen Sulfida (H2S) Hidrogen Sulfida atau H2S pada kondisi perairan anoksik bersifat beracun karena berasal dari sulfat yang terbentuk secara reduksi pada kondisi anaerob oleh bakteri heterotrof (Effendi 2003). Pada perairan alami yang cukup aerasinya biasanya tidak ditemukan H2S karena teroksidasi menjadi sulfat. Reduksi (pengurangan oksigen dan penambahan hidrogen) anion sulfat menjadi hidrogen sulfida pada kondisi anaerob yang dilakukan oleh bakteri heterotrof selama proses dekomposisi bahan organik dapat menimbulkan bau busuk. Pada pH 5, sekitar 99% sulfur terdapat dalam bentuk H2S. Oleh karena itu, toksisitas H2S meningkat dengan penurunan nilai pH.
Kadar sulfida
total kurang dari 0,002 mg/l dianggap tidak membahayakan bagi kelangsungan hidup organisme akuatik (Mcneely et al. 1979 in Effendi 2003). Bakteri heterotrof dapat mereduksi sulfit, tiosulfat, hiposulfat, dan unsur sulfur menjadi hidrogen sulfida. Pada kondisi aerob, hidrogen sulfida segera dioksidasi oleh bakteri Thiobacillus menjadi sulfat. Beberapa bakteri, misalnya Chlorobactericeae dan Thiorhodaceae dapat mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi sulfur. Di dalam perairan dihasilkan hidrogen sulfida yang berasal dari proses dekomposisi bahan yang mengandung protein dan baunya sangat mengganggu. Ketika kandungan oksigen terlarut di perairan habis terpakai untuk proses oksidasi bahan-bahan organik dan suplai oksigen terganggu, maka kondisi perairan akan menjadi anaerob.
Pada kondisi seperti ini
bahan-bahan organik akan mengalami proses fermentasi membentuk asamasam organik yang menyebabkan pH perairan menurun dengan keasaman yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan kematian total ikan. Apabila diperairan tidak terdapat oksigen dan nitrat maka sulfat berperan sebagai sumber oksigen pada proses oksidasi yang dilakukan oleh bakteri anaerob. Pada kondisi ini ion sulfat direduksi menjadi ion sulfit yang
membentuk kesetimbangan dengan ion hidrogen untuk membentuk hidrogen sulfida (Effendi 2003). Pada pH 9 sebagian besar sulfur (99%) berada dalam bentuk ion HS-, jumlah H2S sangat sedikit, permasalahan bau tidak muncul pada kondisi ini. Ion sulfida berada pada pH yang sangat tinggi mendekati 14 dan tidak ditemukan pada perairan alami. Pada pH < 8 kesetimbangan bergeser pada pembentukan H2S yang tidak terionisasi (Effendi 2003).