PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK IR. H. JUANDA, PURWAKARTA
AFINA PRATIWI
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Semua sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2009
Afina Pratiwi C24052820
RINGKASAN
Afina Pratiwi. C24052820. Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta. Dibawah bimbingan Enan M. Adiwilaga dan Mennofatria Boer. Waduk Ir. H. Juanda (Waduk Jatiluhur) merupakan waduk terbesar di Jawa Barat dengan luas 8300 ha, terletak di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Budidaya ikan dengan Keramba Jaring Apung (KJA) adalah usaha perikanan yang dikembangkan di Waduk ini melalui pemberian pakan sebanyak-banyaknya untuk mengejar produksi dalam waktu singkat. Kondisi tersebut meningkatkan kebutuhan oksigen untuk proses dekomposisi limbah organik sisa pakan dan dari metabolisme ikan. Dalam kondisi anoksik proses penguraian bahan organik menghasilkan gas beracun seperti H2S dan NH3. Jika dalam kondisi ini terjadi umbalan atau pembalikan massa air ke permukaan dapat membahayakan kehidupan ikan bahkan dapat mengakibatkan kematian masal ikan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui variasi ketersediaan oksigen terlarut (DO) melalui pencampuran massa air di beberapa kedalaman di lokasi KJA di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta, sehingga dapat diketahui pengaruhnya bagi kegiatan perikanan. Pengambilan contoh air dilakukan pada tanggal 21 Maret 2009. Berdasarkan penelitian pendahuluan melalui pengukuran oksigen terlarut diperoleh titik–titik pengambilan contoh air dari kedalaman 2, 8, 12, dan 49 meter. Selanjutnya, dilakukan pencampuran massa air (masing-masing 4 kali ulangan) dari kedalaman 2 dan 8 meter sebagai perlakuan 1; kedalaman 2, 8, dan 12 meter sebagai perlakuan 2; dan kedalaman 2, 8, 12, dan 49 meter sebagai perlakuan 3. Parameter utama penelitian ini adalah DO dan parameter pendukung terdiri dari kecerahan, suhu, pH, NH3, dan H2S. Hasil penelitian dikaitkan dengan baku mutu Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 kelas III (kegiatan perikanan) dan data yang diperoleh diuji secara statistik pada selang kepercayaan 95%. Kisaran rata-rata DO dari dasar hingga permukaan adalah 0,6-7,6 mg/l sehingga tipe perairan di Waduk Ir. H. Juanda, khususnya di titik pengamatan, menggambarkan tipe clinograde. Kedalaman zona eufotik di lokasi pengamatan mencapai 4,83 meter. Nilai DO rata-rata dari pencampuran massa air pada perlakuan 1 adalah 4,03 mg/l; pada perlakuan 2 adalah 2,65 mg/l; dan pada perlakuan 3 adalah 2,02 mg/l. Nilai suhu rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 1 hingga 3 berturut-turut adalah 29,6 0C; 29,0 0C; dan 28,1 0C sedangkan nilai pH ratarata berturut-turut adalah 7,34; 6,99; dan 6,67. Nilai amonia rata-rata perlakuan 1 hingga 3 berturut-turut adalah 0,0896 mg/l; 0,1397 mg/l; dan 0,2109 mg/l sedangkan konsentrasi sulfida rata-rata berturut-turut adalah 0,287 mg/l; 0,4695 mg/l; dan 0,6359 mg/l. Berdasarkan data yang diperoleh disimpulkan bahwa perlakuan 3 yang dianggap sebagai kejadian umbalan sempurna (holomictic) memiliki potensi paling buruk bagi kegiatan perikanan dan berpotensi mencemari perairan sehingga pengelolaan sumberdaya perairan yang tepat sangat berperan penting bagi pencegahan dampak buruk kejadian umbalan di lokasi KJA Waduk Ir. H. Juanda.
PENGARUH PENCAMPURAN MASSA AIR TERHADAP KETERSEDIAAN OKSIGEN TERLARUT PADA LOKASI KERAMBA JARING APUNG DI WADUK IR. H. JUANDA, PURWAKARTA
AFINA PRATIWI C24052820
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PENGESAHAN SKRIPSI Judul Skripsi
: Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta
Nama
: Afina Pratiwi
NIM
: C24052820
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui: Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga NIP. 19481207 198012 1 001
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA NIP. 19570928 198103 1 006
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 19660728 199103 1 002
Tanggal Lulus: 3 Agustus 2009
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta”. Skripsi ini disusun sebagai hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2009 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari adanya ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan serta bagi upaya pengelolaan lingkungan perairan dan perikanan.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
2.
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer selaku dosen pembimbing II sekaligus Pembimbing Akademik yang banyak memberikan bimbingan serta masukan selama perkuliahan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.
3.
Dr. Ir. Hefni Effendi, M. Phil selaku dosen penguji tamu dan Ir. Zairion, M.Sc selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis.
4.
Dinas Pendidikan Kabupaten Kutai Kartanegara atas dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor.
5.
Keluarga tercinta; Ayah (alm), Ibu, Kak Nisa, adik-adik ku tersayang (Heru dan Adi) atas kasih sayang, doa, pengorbanan, serta dukungan semangatnya.
6.
Pimpinan Keramba Jaring Apung Zona 5 (Pasir Jangkung) Waduk Ir. H. Juanda dan pemilik keramba jaring apung sebagai lokasi penelitian (Pak Karta, Pak Wajang, dan Pak Hedi).
7.
Seluruh
staf
Laboratorium
Produktivitas
Lingkungan
dan
Perairan
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (Bu Ana, Pak Tony, Kak Aan, Kak Budi, Pak Hery, dan Mas Adon) atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. 8.
Seluruh staff Tata Usaha dan civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.
9.
Teman-teman MSP 42 atas kesetiaannya dalam membantu penulis dalam menyelesaikan perkuliahan (Pipit, Mechin, Agus, Ega, Erys, Adnan, Moro, Muning, Rahmah, Guse, Naila, Tia, Lenggo, Merti, Didi, Shiro, Sumo, Wati, Ipit, Lily, Boli, Silfi, Dono, Puni, Endah, Dinda, Bonit, Daniyal, Anhar, Puput, dan semua teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu).
10. Rekan-rekan Forum Mahasiswa Beasiswa Utusan Daerah Kutai Kartanegara (Muti, Mey, Feny, Nina, Isur, Ari, Yugo, Hadi, Fazrin, Tia, Kak Fajri).
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tenggarong, Kalimantan Timur pada tanggal 5 Februari 1988, merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Achmar (Alm) dan Ibu Umi Anah. Pendidikan formal pertama diawali dari TK Anggrek Tenggarong (1993), SDN 009 Tenggarong (1999), SMPN 1 Tenggarong (2002), dan SMAN 1 Tenggarong (2005). Pada tahun 2005 penulis diterima di IPB melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah).
Setelah setahun melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama, penulis
diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Biologi Laut (2008/2009). Penulis juga aktif di berbagai organisasi seperti sebagai anggota Bidang Kebijakan Publik Perikanan dan Kelautan BEM FPIK (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan) periode 2006/2007;
dan
anggota
Bidang
Kewirausahaan
HIMASPER
(Himpunan
Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan) periode 2007/2008. Penulis juga aktif dalam kepengurusan organisasi mahasiswa daerah yaitu FM BUD KUKAR IPB (Forum Mahasiswa Beasiswa Utusan Daerah Kutai Kartanegara IPB) sebagai anggota Bidang Olahraga dan Seni
periode 2005/2006, Koordinator Bidang
Kewirausahaan periode 2006/2008, dan Wakil Ketua I periode 2008/2009. Penulis juga aktif mengikuti seminar dan berpartisipasi dalam kepanitiaan di lingkungan kampus IPB. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul
“Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Ketersediaan
Oksigen Terlarut pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta”. Penulis dinyatakan lulus pada ujian skripsi tanggal 3 Agustus 2009.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................
xiii
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................... 1.3. Tujuan dan Manfaat ...............................................................................
1 2 3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda ................................................. 2.2. Keramba Jaring Apung (KJA) .............................................................. 2.3. Umbalan (Pencampuran Massa Air) .................................................... 2.4. Oksigen Terlarut-Dissolved Oxygen (DO) ............................................ 2.4.1. Sumber oksigen terlarut ............................................................. 2.4.2. Cadangan oksigen terlarut di hipolimnion ............................. 2.4.3. Penurunan oksigen terlarut di perairan .................................... 2.5. Bahan Organik di Perairan ..................................................................... 2.6. Parameter Fisika-Kimia Penunjang ....................................................... 2.6.1. Kecerahan....................................................................................... 2.6.2. Suhu ............................................................................................... 2.6.3. Derajat keasaman (pH) ................................................................ 2.6.4. Amonia (NH3) .............................................................................. 2.6.5. Hidrogen Sulfida (H2S) ...............................................................
4 5 8 11 11 12 12 14 15 15 16 19 19 20
3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 3.2. Alat dan Bahan ........................................................................................ 3.3. Metode Kerja ........................................................................................... 3.3.1. Penentuan stasiun pengamatan ................................................. 3.3.2. Penentuan perlakuan, titik kedalaman, dan komposisi pencampuran ................................................................................ 3.3.3. Pengukuran data kualitas air ...................................................... 3.4. Analisis Data .......................................................................................... 3.4.1. Analisis deskriptif ........................................................................ 3.4.2. Kedalaman eufotik ....................................................................... 3.4.3. Rancangan Acak Lengkap .......................................................... 3.4.4. Analisis tipe distribusi vertikal oksigen terlarut ..................... 3.4.5. Analisis saturasi oksigen terlarut .............................................. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut .................................................... 4.2. Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Oksigen Terlarut .....................................................................................................
22 22 22 22 24 26 27 27 28 28 28 29
30 33
4.3. Persen Saturasi Oksigen ......................................................................... 4.4. Parameter Fisika-Kimia Penunjang....................................................... 4.4.1. Kecerahan....................................................................................... 4.4.2. Suhu ............................................................................................... 4.4.3. Derajat keasaman (pH) ............................................................... 4.4.4. Amonia (NH3) ............................................................................... 4.4.5. Sulfida (H2S) ................................................................................. 4.5. Pengelolaan...............................................................................................
36 37 37 38 42 45 48 50
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ............................................................................................... 5.2. Saran .........................................................................................................
53 54
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................
53
LAMPIRAN .............................................................................................................
59
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda (Prihadi 2004) .................................
5
2.
Perbedaan jumlah dan luas areal budidaya KJA di Waduk Ir. H. Juanda (Sudjana 2004) .......................................................................
6
Estimasi daya dukung Waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata untuk pengembangan budidaya ikan dalam KJA (Krismono 2004) ................
7
Hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut jenuh dan suhu pada tekanan udara 760 mmHg (Cole 1983 in Effendi 2003) .................
17
Konsentrasi oksigen terlarut rata-rata pada penelitian pendahuluan di lokasi pengamatan .....................................................................................
24
6.
Komposisi air dari setiap kedalaman yang mewakili ..............................
26
7.
Parameter dan metode analisis contoh air selama penelitian .................
27
8.
TSR untuk Rancangan Acak Lengkap ........................................................
28
9.
Distribusi vertikal DO (mg/l) di lokasi pengamatan ...............................
31
10. Konsentrasi DO (mg/l) dari hasil pencampuran air di beberapa kedalaman ......................................................................................................
34
11. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk DO ...........................................
35
12. Distribusi vertikal suhu (0 C) di lokasi pengamatan.................................
39
13. Hasil pengukuran suhu (0 C) melalui pencampuran air di beberapa kedalaman .......................................................................................................
41
14. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk suhu ........................................
42
15. Distribusi vertikal pH di lokasi pengamatan .............................................
43
16. Hasil pengukuran pH melalui pencampuran air di beberapa kedalaman .......................................................................................................
44
17. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk pH ...........................................
45
18. Hasil pengukuran amonia (mg/l) melalui pencampuran air di beberapa kedalaman .....................................................................................
46
19. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk amonia .....................................
47
20. Hasil pengukuran Hidrogen Sulfida (H2S) melalui pencampuran air di beberapa kedalaman ................................................................................
48
21. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk Hidrogen Sulfida .................
50
3. 4. 5.
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema perumusan masalah ..........................................................................
3
2. Tipe distribusi oksigen terlarut secara vertikal di danau/waduk berdasarkan kedalaman (Goldman dan Horne 1983) ..............................
14
3. Diagram yang menggambarkan tipe distribusi CO2, O2, dan temperatur selama musim panas pada danau eutrofik (Goldman dan Horne 1983) .....................................................................................................
18
4. Peta Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta, Jawa Barat ...................................
23
5. Titik pengambilan sampel di lokasi KJA......................................................
23
6. Distribusi vertikal konsentrasi oksigen terlarut ..........................................
32
7. Persen saturasi oksigen terlarut di lokasi KJA di Waduk Ir. H. Juanda .....................................................................................................
36
8. Distribusi vertikal suhu pada saat pengamatan .........................................
39
9. Distribusi vertikal pH di lokasi pengamatan ..............................................
43
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Perhitungan komposisi pencampuran air ...................................................
59
2. Prosedur pengukuran parameter kualitas air ............................................
62
3. Baku mutu berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 ..........................................
64
4. Contoh perhitungan Tabel Sidik Ragam RAL untuk parameter DO (mg/l) ........................................................................................................
65
5. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk kelima parameter (DO, suhu, pH, amonia bebas, dan sulfida) .....................................................................
66
6. Data hasil perhitungan parameter yang diamati .......................................
67
7. Lokasi pengamatan, botol BOD, dan analisis laboratorium ....................
69
1. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Waduk merupakan badan perairan yang sengaja dibuat manusia melalui
pembendungan aliran sungai dan merupakan salah satu lahan potensial pengembangan budidaya ikan dalam keramba jaring apung. Waduk Ir. H. Juanda (Waduk Jatiluhur) merupakan waduk tertua di Indonesia terletak di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat dengan luas 8300 ha serta dapat menampung ± 3 milyar m3 air Sungai Citarum. Fungsi serbaguna Waduk Ir. H. Juanda yaitu sebagai pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pencegah banjir, pemasok air irigasi, kegiatan perikanan, pariwisata, perhubungan air, penyedia air rumah tangga dan industri. Kegiatan budidaya perikanan yang diterapkan di Waduk Ir. H. Juanda adalah Keramba Jaring Apung (KJA). Budidaya ikan dalam KJA merupakan usaha perikanan yang dikembangkan secara intensif, dengan pemberian pakan buatan berupa pelet sebagai pakan utamanya. Pemberian pakan buatan dalam budidaya KJA menyebabkan akumulasi limbah organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan dan sisa ekskresi. Di Waduk Ir. H. Juanda, pemberian pakan adalah dengan sistem pompa, yaitu pemberian pakan sebanyak-banyaknya (Kartamihardja 1995 in Nastiti et al. 2001). Akibatnya terjadi pemberian pakan berlebih (over feeding). Sisa pakan yang tidak termakan dan ekskresi yang terbuang ke badan air memberi sumbangan bahan organik yang pada nantinya akan mempengaruhi besarnya kebutuhan oksigen terlarut untuk proses dekomposisi. Kandungan oksigen terlarut pada waduk berasal dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air, masukan dari aliran sungai, dan dari difusi udara. Oksigen di perairan dimanfaatkan untuk respirasi oleh biota perairan dan proses dekomposisi oleh bakteri aerob. Pada lapisan hipolimnion, kandungan oksigen sangat minim dan bahkan mencapai nol, sehingga jika terjadi dekomposisi bahan organik secara anaerobik pada lapisan ini maka akan dihasilkan gas-gas beracun seperti H2S, NH3, dan CH4 dan jika terjadi proses umbalan (pembalikkan massa air) dari dasar perairan ke permukaan maka gas-gas beracun tersebut akan terangkat ke permukaan. Selain itu ketersediaan oksigen di perairan akan mengalami defisit
akibat pencampuran massa air dari dasar ke permukaan perairan sehingga dapat menyebabkan kematian massal ikan di area KJA tersebut. Hal tersebut pernah terjadi di lokasi keramba jaring apung Waduk Ir. H. Juanda yang menyebabkan kerugian para pengusaha budidaya ikan akibat kematian massal ikan. Defisit oksigen di hipolimnion diduga menjadi penyebab kematian massal ikan saat terjadi umbalan. Sehubungan dengan hal itu, perlu dikaji pola distribusi keberadaan oksigen terlarut di lokasi KJA Waduk Ir. H. Juanda melalui pencampuran massa air yang dianggap sebagai kejadian umbalan. 1.2.
Perumusan Masalah Pada saat terjadinya peralihan musim antara musim kemarau ke musim
hujan intensitas cahaya matahari menjadi berkurang. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya proses umbalan, yaitu pembalikan massa air pada saat suhu di lapisan permukaan terjadi penurunan secara tiba-tiba hingga mencapai kisaran suhu yang lebih kecil daripada suhu di dasar yang selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan biota perairan. Kegiatan budidaya ikan sistem KJA yang dikembangkan di Waduk Ir. H. Juanda memberikan keuntungan ekonomi bagi para pengusaha budidaya ikan karena permintaan akan ikan hasil budidaya di Indonesia yang terus meningkat tajam. Namun disisi lain kegiatan KJA yang tidak terkendali akan merugikan kondisi ekologis perairan karena jumlah pemberian pakan buatan ditingkatkan untuk mengejar produksi dalam waktu yang cukup singkat. Sisa pakan yang tidak termakan dan sisa proses metabolisme ikan akan menjadi limbah organik dan terakumulasi di dasar perairan. Kondisi ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen untuk proses dekomposisi limbah organik tersebut. Jika endapan sisa pakan di dasar perairan semakin tebal maka hal tersebut mengindikasikan semakin menebalnya lapisan anoksik di dasar perairan dan semakin menipisnya lapisan oksik di permukaan. Dalam kondisi anoksik proses penguraian bahan organik terjadi secara anaerobik sehingga akan dihasilkan gasgas beracun seperti H2S, NH3, dan CH4. Jika dalam kondisi ini terjadi pembalikan massa air ke permukaan maka akan membahayakan kehidupan biota perairan dan dapat mengakibatkan kematian masal ikan.
Waduk Ir. H. Juanda telah mengalami stratifikasi temperatur yang akan sangat memungkinkan terjadinya proses umbalan. Masalah umbalan ini telah beberapa kali dialami oleh Waduk Ir. H. Juanda yang mengakibatkan matinya ikan yang dikembangkan di KJA dan terganggunya kehidupan ikan-ikan yang berada di luar KJA karena ketidakmampuan ikan dalam menghadapi keterbatasan oksigen terlarut di perairan. Terbatasnya ketersediaan oksigen terlarut di keramba jaring apung akibat proses umbalan ini perlu dipahami lebih lanjut untuk mengantisipasi dampak dari umbalan terhadap keberlanjutan sumberdaya perairan. Secara skematis rumusan masalah disajikan pada Gambar 1.
Limbah organik (sisa pakan ikan dan hasil metabolisme) biota
Defisit oksigen di lapisan dasar perairan
Dekomposisi dan akumulasi di dasar perairan
Pencampuran massa air (Umbalan) : meromictic dan holomictic
Variasi oksigen terlarut (DO) pada beberapa kedalaman Gambar 1. Skema perumusan masalah 1.3.
Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi ketersediaan
oksigen terlarut (dissolved oxygen) melalui pencampuran massa air di beberapa kedalaman di lokasi perairan keramba jaring apung (KJA) di Waduk Ir. H. Juanda, sehingga diketahui pengaruh dari setiap pencampuran air tersebut bagi kegiatan perikanan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengelolaan budidaya perikanan di Waduk Ir. H. Juanda yang didasarkan pada keberlanjutan sumberdaya perairan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda Waduk merupakan badan perairan yang dibentuk dengan membangun dam
melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir. H. Juanda (Waduk Jatiluhur) merupakan waduk terbesar di Jawa Barat dan tertua di Indonesia yang memiliki fungsi serbaguna.
Waduk Ir. H. Juanda mempunyai luas 8.300 ha dengan kapasitas
waduk mencapai ± 3 milyar m3 yang memiliki fungsi sebagai penyediaan baku air minum dan industri, PLTA, penyediaan air irigasi pertanian, perikanan, pariwisata, dan pengendali banjir. Waduk Ir. H. Juanda terletak ± 11 km ke arah barat daya dari kota Purwakarta tepatnya pada posisi 60 30’ sampai 60 49’ LS dan 1070 14’ sampai 1070 22’ BT (Anonimus 1989 in Widiyastuti 2004). Waduk Ir. H. Juanda dibentuk dengan membendung Sungai Citarum dan anak sungai yang berada di Kecamatan Jatiluhur. Waduk ini mendapat pasokan air dari dua waduk yang berada di bagian hulu sepanjang DAS Citarum, yaitu Waduk Saguling dan Cirata. Sumber air waduk berasal dari daerah pengaliran Waduk Saguling dan Cirata yang juga terdapat keramba jaring apung dalam jumlah yang banyak dan mengakibatkan beban pencemaran terakumulasi di Waduk Ir. H. Juanda (Sudjana 2004). Berdasarkan ciri morfometrik, Waduk Ir. H. Juanda termasuk perairan terbuka yang cukup dalam, jumlah teluk banyak, garis pantai yang panjang, daerah tangkap hujan yang luas, dan produktivitas perairan umumnya didominasi oleh fitoplankton (Simarmata 2007). Menurut Sukimin (1999), ekosistem Waduk Ir. H. Juanda secara gradient longitudinal dapat dibagi kedalam zona mengalir (riverine), zona transisi dan zona menggenang (lacustrine) (perairan tengah, Dam) yang sebagian besar merupakan tempat pengembangan budidaya ikan keramba jaring apung. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda dapat digambarkan dengan beberapa parameter seperti yang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda (Prihadi 2004)
Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Ketinggian dari muka laut (m) Selesai dibangun Volume air × 1000 m3 Luas permukaan (A) (ha) Kedalaman rata-rata (m) Kedalaman maksimum (Zmaks) (m) Status Kesuburan Pola pencampuran massa air Kondisi tanpa oksigen dimulai pada kedalaman (m) 2.2.
Di bagian bawah/hilir 111 1967 2.970.000.000 8.300 35,8 90 Mesotrofik-Eutrofik Oligomictic (jarang)
> 11-20 (anoksik)
Keramba Jaring Apung (KJA)
Keramba jaring apung (KJA) adalah tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang dapat menyebabkan keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran air. Budidaya ikan dalam KJA atau Floating Net Cage merupakan salah satu cara pemanfaatan badan air semaksimal mungkin sebagai media budidaya (Susanti 2003). Menurut Ilyas et al. (1990) in Nastiti et al. (2001), paket teknologi budidaya ikan dalam KJA merupakan salah satu paket teknologi budidaya ikan yang cocok untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya perairan danau dan waduk Indonesia. Beberapa jenis ikan yang dapat dipelihara di KJA adalah ikan mas, nila grass crap, tawes, jelawat dan patin. Paket teknologi KJA merupakan salah satu paket teknologi budidaya ikan yang cocok untuk mengoptimalisasi pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya perairan danau dan waduk di Indonesia; yang luasnya 2,1 juta hektar (Ilyas et al. 1992 in Iskandar dan Suryadi 2000) termasuk Waduk Ir. H. Juanda, Cirata, dan Saguling. Menurut Krismono (1993) in Iskandar dan Suryadi (2000), bila 1% saja dari luas perairan tersebut digunakan untuk budidaya ikan dalam KJA, maka akan dapat menghasilkan 800 ton ikan/hari. Namun, perkembangan KJA yang tidak terkendali akan banyak mengakibatkan kematian ikan yang dipelihara di KJA seperti yang terjadi pada tahun 1996 jumlah ikan yang mati mencapai 1.560 ton dan kerugian mencapai 7 milyar rupiah (Krismono et al. 1996).
Teknologi KJA merupakan sistem budidaya perairan yang relatif baru dibandingkan dengan teknologi budidaya lainnya. Pertama kali diuji coba pada tahun 1974 di Waduk Ir. H. Juanda dibawah pengelolan Perum Jasa Tirta II dan mulai dibudidayakan pada tahun 1988. Berkembangnya budidaya ikan KJA di Waduk Ir. H. Juanda terbukti telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi ikan, konsumsi ikan, peluang usaha, kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan. Namun sejalan dengan hal tersebut timbul permasalahan yang mengganggu pelestarian sumberdaya air waduk maupun usaha perikanan itu sendiri. Jumlah unit KJA di Waduk Ir. H. Juanda mengalami peningkatan yang cukup besar dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 10 tahun saja terjadi peningkatan unit KJA yang cukup besar yaitu pada tahun 1994 jumlah KJA sebanyak 850 unit dengan produksi ikan 1.998 ton/tahun (Krismono 2000) dan jumlah KJA pada tahun 2004 adalah 3.216 unit dengan produksi 12.580 ton/tahun (Sudjana 2004). Jumlah unit KJA hingga saat ini bahkan mencapai 4.714 unit (Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta, 2009). Jumlah unit KJA ini sudah dikategorikan dalam jumlah yang cukup tinggi. Dalam penetapan batas maksimum jumlah unit KJA di Waduk Ir. H. Juanda terdapat perbedaan dari masing-masing instansi terkait seperti yang ditunjukan pada Tabel 2. Tabel 2.
Perbedaan jumlah dan luas areal budidaya KJA di Waduk Ir. H. Juanda (Sudjana 2004) Kriteria
Satuan
Luas waduk Elevasi air minimum Jarak antar unit Luas desain/unit KJA Jumlah KJA maksimum Luas perairan KJA Luas perairan KJA
ha m dpl m m2 unit ha %
POKJA 1996 8.300 90,00 25 453 5.480 209,5 2,52
PJT II 2004 8.300 3216 83 1
SK Bupati 06/2000 8.300 87,65 50 624 2100 131 1,58
Batasan kriteria 6.000 87,65 50 624 962 60 1
Pada perkembangannya, paket teknologi budidaya ikan dalam KJA belum dipahami secara baik oleh petani khususnya dalam cara pemberian pakan. Untuk mengejar keuntungan besar, maka cara pemberian pakan dilakukan dengan sistem
pompa supaya panen lebih cepat. Pemberian pakan dengan sistem ini menyebabkan pakan yang terbuang pada KJA ukuran 7 x 7 x 3 m3 adalah 20-30% dan untuk ukuran 1 x 1 x 1 m3 sebanyak 30-50% (Wahyudi 1996 in Krismono 2004). Dampak pakan yang terbuang akan mengendap ke dasar perairan dan menunjukkan perbedaan antara daerah bebas KJA, daerah KJA baru, dan daerah KJA lama mempunyai endapan paling tebal. Pada
pengembangan
budidaya
ikan
di
KJA
diperlukan
beberapa
pertimbangan agar kegiatan budidaya ikan tersebut tidak melebihi daya dukung dari perairan itu sendiri. Beberapa parameter yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan budidaya ikan sistem KJA dari ketiga waduk di Sungai Citarum dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.
Estimasi daya dukung Waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata untuk pengembangan budidaya ikan dalam KJA (modifikasi Krismono 2004)
Parameter Pakan maks harian (kg) Daya dukung ikan maksimum (kg) Padat tebar KJA (kg/m3) Ukuran keramba (m3) Bobot rataan ikan/KJA (kg) Jumlah maksimum KJA (unit)
Saguling 53.459,67 1.781.988,89 7,5 98 735 2.424,4
Cirata 60.142,1 2.004.737,5 7,5 98 735 2.727,5
Jatiluhur 80.189,5 1.672.983,3 7,5 98 735 3.636,7
Persyaratan KJA berdasarkan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Purwakarta No. 53.32/Kep.234-Diskan/2000 in Sudjana (2004) yaitu: 1. Ukuran petak KJA : 7 x 7 x 3 m3 2. Unit KJA : maksimal 8 petak/unit KJA 3. Ukuran per unit KJA : maksimal 28 × 14 m2 4. Jarak antar unit KJA : minimal 50 m 5. 1 % dari luas waduk efektif : ± 60 ha 6. Dilengkapi gudang pakan dan ruang tunggu: maksimal 4 × 4 m2 7. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan mas, nila/nila merah, patin,ikan hias, dan ikan lain yang cocok serta tidak merusak lingkungan 8. Usia, ukuran, dan padat tebar ikan
9. Jenis pakan ikan yang dipergunakan harus memenuhi Standar Industri Indonesia (SII) dan lolos pengujian dari Pemerintah daerah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Purwakarta Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2002), waktu pemeliharaan tiap periode di Waduk Ir. H. Juanda pada umumnya adalah 2,5 bulan/musim tanam dengan frekuensi panen 2,5 bulan/musim tanam; produksi ikan ratarata/jaring/musim tanam adalah 1.167,14 kg dengan total 23.076.692,08 kg/tahun; dan jumlah pakan rata-rata 1.753,57 kg/musim dengan total adalah 34.671.586,04 kg/tahun. 2.3.
Umbalan (Pencampuran Massa Air) Pada saat terjadinya peralihan musim antara musim kemarau ke musim
hujan intensitas cahaya matahari menjadi berkurang.
Kondisi ini dapat
menyebabkan terjadinya proses umbalan (upwelling), yaitu pembalikan massa air pada saat suhu di lapisan permukaan terjadi penurunan secara tiba-tiba hingga mencapai kisaran suhu yang lebih kecil daripada suhu di dasar yang selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan biota perairan khususnya ikan budidaya di keramba jaring apung. Masalah arus balik ini telah beberapa kali dialami oleh Waduk Ir. H. Juanda berupa naiknya massa air dari dasar ke permukaan secara tiba-tiba. Hal ini juga dapat terjadi pada awal musim hujan saat terjadi penurunan suhu secara mendadak pada lapisan permukaan akibat hujan deras yang terjadi secara tiba-tiba. Waduk Ir. H. Juanda memiliki stratifikasi temperatur yang merupakan salah satu penyebab terjadinya proses umbalan di waduk tersebut. Waduk-waduk yang dibangun di dataran tinggi atau pegunungan sering mengalami umbalan karena morfologinya seperti corong dan cenderung disebabkan oleh suhu.
Menurut
Jangkaru (2003), proses umbalan umumnya terjadi pada badan air dengan permukaan yang sempit dan dalam, serta curam seperti corong atau botol. Dengan bentuk seperti corong dan botol maka proses pengadukan alamiah yang umumnya dilakukan oleh angin tidak terjadi secara rutin. Akibatnya terbentuklah pelapisan dalam kolom badan air termasuk juga pelapisan kualitas air sehingga semakin dalam lapisan air maka akan semakin rendah mutunya. Jika umbalan terjadi pada
badan air yang memiliki stratifikasi atau pelapisan maka dapat berakibat fatal bagi organisme di dalamnya karena kualitas air yang rendah umumnya terdapat di dasar dan akan ikut terangkat ke permukaan tempat ikan hidup. Umbalan tidak berpengaruh terlalu buruk pada air yang jernih, sedangkan pada perairan yang dasarnya kotor tercemar limbah (termasuk limbah pakan ikan) dapat mengancam kehidupan ikan karena massa air yang naik ke permukaan akan membawa senyawa-senyawa beracun yang membahayakan kehidupan ikan.
Jangkaru (2002) menyatakan bahwa penurunan suhu udara pada malam hari, pada waktu hujan, atau pada waktu sinar matahari terhalang oleh awan, asap, debu, atau pelindung lainnya akan menurunkan suhu air permukaan. Jika proses penurunan suhu udara berlanjut sehingga suhu air permukaan sama dengan suhu lapisan bawah maka akan terjadi proses pembauran atau pencampuran air.
Apabila suhu air permukaan terus
berlanjut sehingga lebih dingin dibanding dengan suhu air dasar maka akan terjadi proses pembalikan atau umbalan (upwelling). Goldman
dan
Horne
(1983)
membagi
upwelling
berdasarkan
banyaknya upwelling yang terjadi dalam satu tahun, yaitu : 1). Monomictic : pencampuran massa air yang terjadi satu kali dalam setahun. Biasanya terjadi pada perairan yang beriklim tropis. 2). Dimictic : pencampuran massa air yang terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada permulaan musim semi dan pada musim dingin atau musim salju. 3). Polymictic : pencampuran massa air yang terjadi secara terus menerus dalam setiap tahun. Berdasarkan derajat pencampuran, Goldman dan Horne (1983) membagi upwelling menjadi dua yaitu: 1). Holomictic : pencampuran massa air yang terjadi dari permukaan hingga ke dasar perairan yang terjadi secara sempurna. Siklus pencampuran ini biasanya terjadi setiap tahunnya.
2). Meromictic : pencampuran massa air yang terjadi pada kedalaman tertentu saja dan tidak terjadi secara sempurna hingga ke dasar. Pencampuran ini biasanya terjadi pada perairan yang dalam. Menurut Mann (1978) in Nastiti dan Krismono (2003) faktor yang menyebabkan terjadinya umbalan adalah sebagai berikut : 1). Pendinginan secara konveksi Pendinginan secara konveksi bisa terjadi setiap hari terutama pada perairan yang dangkal di daerah dataran tinggi. Proses pendinginan terjadi pada waktu malam hari yang menyebabkan pendinginan di daerah permukaan. Partikel–partikel air yang dingin dan berat akan tenggelam sampai pada lapisan yang mempunyai suhu atau berat jenis yang sama. Dengan demikian arus konveksi yang timbul menyebabkan perpindahan massa air dari bawah ke permukaan perairan. Proses pendinginan secara konveksi selain disebabkan pendinginan pada malam hari juga disebabkan karena penguapan, ataupun cuaca yang dingin. 2). Angin Angin
topan
akan
menimbulkan
arus
kuat,
memindahkan massa air dari dasar ke permukaan.
yang
mampu
Jangkaru (2003)
menyatakan bahwa angin yang bertiup dengan kecepatan yang tinggi di atas permukaan air yang luas dapat menimbulkan gerakan air vertikal. Angin mengangkat sejumlah massa air lalu akan menumpuk di sisi lain, yang umumnya disebut dengan gelombang.
Ruang kosong yang
ditinggalkan gelombang akan segera diisi oleh lapisan air di bawahnya sehingga terjadilah umbalan. 3). Aliran Sungai Masukan air sungai kedalam perairan waduk ataupun danau akan menimbulkan arus. Arus sungai mempunyai berat yang berbeda dengan air waduk atau danau.
Kedalaman air yang dicapai tergantung kepada
perbedaan berat jenis. Jika berat jenis air sungai lebih besar daripada air waduk atau danau maka air sungai tersebut akan mengalir di bawah air
waduk atau danau. Akan tetapi bila berat jenis air sungai lebih kecil dari air waduk atau danau maka air sungai akan mengalir diatas air waduk atau danau. Pada waduk atau danau yang mengalami stratifikasi, air sungai yang dingin mengalir kebawah hingga mencapai daerah yang mempunyai berat jenis dan suhu yang sama. Daerah ini umumnya diatas hipolimnion. 4). Pasang Surut Proses pemindahan massa air dari bawah ke permukaan disebabkan oleh pasang surut yang umumnya terjadi di pantai. Menurut Azwar et al. (2004), kematian massal ikan yang sering terjadi di KJA disebabkan oleh terjadinya perubahan ekosistem lingkungan secara mendadak karena umbalan akibat dari massa air di lapisan bawah yang memiliki kadar oksigen rendah akibat tingginya pembusukan bahan organik, tingginya NH3-N, H2S, dan gas metan. Ketiga senyawa terakhir ini bersifat toksik bagi ikan, sedangkan ketersediaan oksigen sangat penting dalam mempertahankan kehidupan ikan. 2.4.
Oksigen Terlarut - Dissolved Oxygen (DO)
2.4.1. Sumber oksigen terlarut
Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi, air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003). Menurut Simarmata (2007) sumber oksigen terlarut di perairan berasal dari hasil fotosintesis fitoplankton, difusi udara, dan susupan dari inflow. Di perairan yang subur, fotosintesis merupakan input utama dalam produksi oksigen di perairan.
Pada umumnya konsentrasi oksigen saat
permulaan fajar masih rendah, lalu tinggi pada siang hari, kemudian secara kontinu berkurang sepanjang malam karena kebutuhan respirasi komunitas. Populasi hewan dan tanaman di badan air akan mengkonsumsi oksigen selama proses respirasi dan menghasilkan CO2 yang akan digunakan untuk
fotosintesis.
Fotosintesis terjadi di zona fotik, namun respirasi terjadi
dimana saja baik dari kolom air hingga ke dasar perairan sehingga permukaan air cenderung kaya akan oksigen terlarut dan berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Seller dan Markland 1990 in Simarmata 2007). Selain dari hasil fotosintesis, oksigen terlarut juga bersumber dari difusi udara. Menurut Welch (1952), adsorpsi oksigen dari udara ke air melalui dua cara yaitu difusi langsung ke permukaan air atau melalui bentuk agitasi air permukaan seperti gelombang, air terjun, turbulensi. Di perairan danau dan waduk, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh fotosintesis alga yang banyak terdapat di epilimnion.
Kadar oksigen
maksimum terjadi pada sore hari, sedangkan kadar minimum terjadi pada pagi hari (Effendi 2003). Ketersediaan oksigen terlarut merupakan informasi penting dalam reaksi secara biologi dan biokimia di perairan. Konsentrasi oksigen yang tersedia berpengaruh secara langsung pada kehidupan akuatik khususnya respirasi aerobik, pertumbuhan dan reproduksi. Konsentrasi oksigen terlarut di perairan juga menentukan kapasitas perairan untuk menerima beban bahan organik tanpa menyebabkan gangguan atau mematikan organisme hidup (Umaly and Cuvin 1988 in Effendi 2003). 2.4.2. Cadangan oksigen terlarut di hipolimnion Sumber oksigen di lapisan hipolimnion hampir tidak ada, kecuali jika terjadi pembalikkan massa air. Menurut Cornett dan Rigler (1987) in Krismono (2000), konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion merupakan hasil bersih dari sisa dekomposisi bahan organik di sedimen dasar dan respirasi biota perairan ditambah oksigen yang berasal dari hasil fotosintesis biota pelagis dan bentik serta transport oksigen secara vertikal karena turbulensi. Distribusi oksigen ke dalam kolom perairan lambat kecuali jika terjadi turbulensi kuat.
2.4.3. Penurunan oksigen terlarut di perairan Pengkayaan bahan organik di sedimen akan menstimulasi aktivitas mikroba yang memerlukan oksigen sehingga menimbulkan deoksigenasi pada subtrat dan kolom air diatasnya.
Akibatnya akan menambah
kedalaman lapisan reduktif atau mengurangi lapisan oksik di perairan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan biota di KJA karena oksigen merupakan faktor kritis dalam budidaya ikan.
Stadia kritis terjadi jika
jumlah oksigen di hipolimnion tidak cukup untuk proses degradasi bahan organik, baik allochtonous atau autochtonous (Simarmata 2007). Oksigen merupakan faktor kritis dalam budidaya ikan dikarenakan oksigen merupakan faktor utama dalam mendukung kelangsungan hidup ikan.
Kondisi oksigen yang minim di perairan dapat mengancam
kehidupan ikan dan biota air lainnya, namun jika oksigen mencapai titik jenuh akibat pertumbuhan fitoplankton yang berlangsung dengan cepat seiring dengan peningkatan unsur hara, maka akan membahayakan kelangsungan hidup ikan karena dapat memicu terjadinya eutrofikasi perairan yang mengakibatkan oksigen pada saat malam hari menjadi sangat minim atau bahkan mencapai nol. Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob).
Di
perairan tawar, kadar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/liter pada 0 0C dan 8 mg/liter pada suhu 25 0C (McNeely et al. 1979 in Effendi 2003). Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman,
tergantung
pada
percampuran
(mixing)
dan
pergerakan
(turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Effendi
2003).
Menurut Welch (1952),
ketersediaan oksigen terlarut di perairan akan mengalami penurunan akibat proses respirasi oleh biota air baik hewan maupun tumbuhan di sepanjang hari, dekomposisi bahan organik, inflow dari tanah, dan keberadaan besi di perairan.
Menurut
Effendi
(2003),
ikan
dan
organisme
akuatik
lain
membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup. Pada siang hari ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesis pada lapisan eufotik lebih besar daripada konsumsi oksigen oleh proses respirasi.
Pada malam hari, fotosintesis berhenti tetapi respirasi terus
berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Goldman dan Horne (1983) membagi empat tipe distribusi oksigen terlarut di suatu perairan, yaitu (Gambar 2): a. Tipe orthograde : terjadi pada danau yang tidak produktif (oligotrofik) atau danau yang miskin unsur hara dan bahan organik.
Pada tipe ini konsentrasi
oksigen semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman perairan. Peningkatan oksigen pada kondisi ini lebih diakibatkan oleh penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman.
b. Tipe clinograde : terjadi pada danau yang produktif (eutrofik) dengan kandungan unsur hara dan bahan organik yang tinggi. Pada tipe ini oksigen terlarut semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman atau bahkan habis sebelum mencapai dasar. Penurunan ini diakibatkan oleh adanya proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. c. Tipe heterograde positif dan negatif : pada tipe ini terlihat bahwa fotosintesis dominan terjadi di atas lapisan termoklin dan akan meningkatkan oksigen di bagian atas lapisan metalimnion. d. Tipe anomali : tipe ini terjadi aliran air yang deras, dingin, kaya oksigen dan membentuk sebuah lapisan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri.
Gambar 2. Tipe distribusi oksigen terlarut secara vertikal di danau/waduk berdasarkan kedalaman; (a). orthograde, (b). clinograde, (c). heterograde, (d). anomali (Goldman dan Horne 1983). 2.5. Bahan Organik di Perairan Bahan organik yang terdapat di perairan waduk terdiri dari allocthonous organic matter dan autochthonous organic matter.
Allocthonous
organic matter adalah bahan organik yang berasal dari luar perairan seperti limbah rumah tangga dan sisa aktivitas perairan di sekitar waduk, sedangkan autochthonous organic matter adalah bahan organik yang berasal dari dalam waduk itu sendiri seperti sisa pakan, buangan hasil ekskresi ikan, dan hasil dekomposisi organisme plankton. Akumulasi bahan organik di perairan juga mempengaruhi kelangsungan hidup ikan seperti kematian, akibat defisiensi oksigen karena dipakai untuk menguraikan bahan organik tersebut. Bahan organik dalam KJA terutama berasal dari sisa pakan dan kotoran ikan. Dengan meningkatnya jumlah unit KJA maka secara otomatis bahan organik menjadi berlipat ganda. Bahan organik dari sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan akan semakin bertambah dengan meningkatnya
jumlah unit KJA karena semakin banyak jumlah pakan yang masuk ke perairan.
Selain itu peningkatan jumlah unit KJA juga mengakibatkan
peningkatan bahan organik dari hasil ekskresi ikan karena dengan meningkatnya jumlah unit KJA tersebut maka akan semakin banyak ikan budidaya yang ditebar. Pakan dapat berasal dari pemberian atau tersedia secara alami dalam KJA sedangkan kotoran ikan biasanya berupa sisa-sisa hasil metabolisme ikan. Bahan organik tersebut akan larut dan terkandung dalam air dan sebagian mengendap di dasar yang kemudian akan dimakan dan dirombak oleh
makroorganisme
dan
mikroorganisme.
Dalam
batas
tertentu,
kandungan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan perairan. Namun, jika melampaui batas, bahan organik justru akan menghambat pertumbuhan ikan (Jangkaru 2003). Menurut Vitner et al. (1999) peningkatan konsentrasi bahan organik di perairan diduga karena: (a) pengadukan massa air secara merata, (b) penurunan muka air yang mengakibatkan konsentrasi di perairan menjadi pekat dan kandungan bahan organik menjadi meningkat, dan (c) pengaruh buangan yang makin hari semakin besar dari luar waduk. Jika peningkatan bahan organik terjadi secara terus menerus maka akan memberi dampak seperti: a. Akan bertambahnya beban waduk dalam menampung limbah organik b. Akan berakibat berupa penurunan umur fisiologi dan biologi waduk c. Berdampak berupa menurunnya kualitas air dan kematian ikan bila terjadi perubahan siklus air. Tingginya konsentrasi bahan organik akan meningkatkan pengendapan, kemudian setelah terjadi musim hujan terjadi pembalikkan massa air. Keadaan ini akan memperkaya zat hara dan akan mempercepat pertumbuhan fitoplankton. Pembalikkan yang diiringi blooming plankton akan menurunkan konsentrasi oksigen. Kemudian perairan akan berbau busuk dan mempercepat kematian ikan. d. Menurunnya kualitas air produksi Perusahaan Air Minum (PAM), yang akan berdampak pada menurunnya sanitasi masyarakat konsumen.
2.6. Parameter Fisika-Kimia Penunjang 2.6.1. Kecerahan Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran (Effendi 2003). Kecerahan perairan erat kaitannya dengan jumlah intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu perairan. Perairan tergenang biasanya memiliki stratifikasi secara vertikal yang diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu secara vertikal pada kolom air (Effendi 2003). Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman.
Menurut Effendi (2003),
stratifikasi vertikal kolom air pada perairan tergenang berdasarkan perbedaan intensitas cahaya yang masuk ke perairan dikelompokan menjadi tiga, yaitu : (a). Lapisan eufotik, yaitu lapisan yang masih mendapat cukup sinar matahari. Pada lapisan ini oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis lebih besar daripada oksigen yang digunakan untuk respirasi. (b). Lapisan kompensasi, yaitu lapisan dengan intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya permukaan atau dicirikan oleh hasil fotosintesis yang sama dengan respirasi. (c). Lapisan profundal, yaitu lapisan di sebelah bawah lapisan kompensasi dengan intensitas cahaya yang kecil (disfotik) atau sudah tidak ada lagi cahaya (afotik). Menurut Simarmata (1998), apabila intensitas cahaya ke permukaan menurun, maka ketebalan zona eufotik pun akan semakin menipis. Penyebab peredupan cahaya di Waduk Ir. H. Juanda juga diakibatkan oleh bahan organik terlarut dan total padatan tersuspensi. Menurut Asmawi (1983), nilai kecerahan yang baik untuk kelangsungan hidup ikan adalah lebih besar dari 45 cm. Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan maka akan dapat diketahui batasan masih adanya kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan yang tidak keruh dan yang paling keruh.
2.6.2. Suhu Suhu pada suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman perairan. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi pada perairan tersebut. Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan
suhu
perairan sebesar 10
0C
menyebabkan terjadinya
peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat. Namun peningkatan suhu seringkali disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen terlarut tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi.
Peningkatan
suhu
juga
menyebabkan
dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi
terjadinya 2003).
peningkatan
Adanya hubungan
antara oksigen terlarut dengan suhu di perairan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.
Hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut jenuh dan suhu pada tekanan udara 760 mmHg (Cole 1983 in Effendi 2003).
Suhu Konsentrasi O2 (0C) terlarut (mg/l) 0 14,62 1 14,22 2 13,83 3 13,46 4 13,11 5 12,77 6 12,45 7 12,14 8 11,84 9 11,56 10 11,29 11 11,03
Suhu (0C) 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Konsentrasi O2 terlarut (mg/l) 10,78 10,54 10,31 10,08 9,87 9,66 9,47 9,28 9,09 8,91 8,74 8,58
Suhu Konsentrasi O2 (0C) terlarut (mg/l) 24 8,42 25 8,26 26 8,11 27 7,97 28 7,83 29 7,69 30 7,56 31 7,43 32 7,30 33 7,18 34 7,06 35 6,95
Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas. Kondisi tersebut menyebabkan stratifikasi panas pada kolom air. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan. Dengan kata lain, cahaya mengalami penghilangan atau pengurangan yang semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Cahaya yang mencapai perairan yang diubah menjadi
energi panas
tersebut akan meningkatkan suhu air sehingga jika suhu
dipermukaan menurun secara tiba-tiba maka akan menyebabkan terjadinya perubahan suhu dan berat jenis (densitas) yang selanjutnya akan menyebabkan terjadinya pencampuran massa air (Effendi 2003). Meskipun terdapat stratifikasi suhu di Waduk Ir. H. Juanda tetapi pada perairan ini tidak sampai terbentuk termoklin mengingat Waduk Ir. H. Juanda yang terletak di daerah tropis. Suhu udara di dataran tinggi relatif rendah, demikian juga suhu airnya. Curah hujan relatif tinggi, sebaliknya intensitas sinar matahari rendah. Suhu air di lapisan bawah badan air dalam waduk sedikit lebih dingin dibandingkan dengan lapisan permukaan.
Suhu air lapisan atas dipengaruhi oleh intensitas sinar
matahari. Distribusi suhu air dan oksigen terlarut pada danau eutrofik di musim panas ditunjukkan seperti pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram yang menggambarkan tipe distribusi CO2, O2, dan temperatur selama musim panas pada danau eutrofik (Goldman dan Horne 1983). Pada umumnya danau/waduk yang memiliki kedalaman rata-rata kurang dari 10 meter tidak mempunyai perbedaan suhu yang nyata. Sebaliknya, danau/waduk dengan kedalaman lebih dari 10 meter
mempunyai stratifikasi temperatur sebagai berikut (Goldman dan Horne 1983) : (a). Epilimnion, yaitu lapisan air yang berada di bawah permukaan dengan suhu relatif sama. (b). Metalimnion/termoklin, yaitu lapisan air yang mengalami penurunan suhu cukup besar (lebih dari 1 ºC/m) yang mengarah ke dasar danau/waduk. (c). Hipolimnion, yaitu lapisan dibawah metalimnion, lebih dingin, perbedaan suhu secara vertikal relatif kecil. Massa air bersifat stagnan, tidak mengalami pencampuran, dan memiliki densitas air yang lebih besar.
Lapisan ini cenderung mengandung oksigen terlarut yang
rendah dan relatif stabil 2.6.3. Derajat keasaman (pH) Keasaman atau kebasaan waduk diukur dalam unit pH, dengan skala 1-14. Derajat keasaman (pH) didefinisikan sebagai logaritma negatif dari konsentrasi ion hydrogen.
Keasaman ditunjuk dengan nilai dari 0-7
sedangkan basa dari 7-14. Jika pH perairan di bawah 4 atau 5 maka keragaman spesiesnya sangat terbatas (Goldman dan Horne 1983). Larutan yang bersifat asam (pH rendah) bersifat korosif (Effendi 2003). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah (Novotny dan Olem 1994 in Effendi 2003). 2.6.4. Amonia (NH3) Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Tinja dari biota akuatik
yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia. Sumber amonia yang lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri, dan domestik (Effendi 2003). Amonia dapat terserap ke dalam bahan-bahan tersuspensi dan koloid sehingga akan mengendap di dasar perairan. Amonia di perairan dapat menghilang karena tekanan parsial dalam larutan yang meningkat dengan semakin meningkatnya pH.
Hilangnya amonia ke atmosfer juga dapat
meningkat dengan meningkatnya kecepatan angin dan suhu. Amonia bebas yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik.
Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan
meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu. Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah. Amonia jarang ditemukan pada perairan yang mendapat cukup pasokan oksigen. Sebaliknya, pada wilayah anoksik (tanpa oksigen) yang biasanya terdapat di dasar perairan, kadar amonia relatif tinggi (Effendi 2003). Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/liter (McNeely et al. 1979 in Effendi 2003). Kadar amonia yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02 mg/liter (Sawyer dan McCarty 1978 in Effendi 2003).
Menurut Jangkaru (2003), amonia
sangat bersifat racun terhadap ikan dan organisme hidup lainnya. Dalam suhu yang tinggi dan suasana alkali, konsentrasi NH3 akan meningkat. Air yang mengandung NH3 sebanyak 0,5 mg/l dapat dikategorikan tercemar dan pada konsentrasi 5 mg/l dapat mematikan sebagian besar jenis ikan. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (runoff) pupuk pertanian. Kadar amonia yang tinggi juga dapat ditemukan pada dasar danau yang mengalami kondisi tanpa oksigen (Effendi 2003).
2.6.5. Hidrogen Sulfida (H2S) Hidrogen Sulfida atau H2S pada kondisi perairan anoksik bersifat beracun karena berasal dari sulfat yang terbentuk secara reduksi pada kondisi anaerob oleh bakteri heterotrof (Effendi 2003). Pada perairan alami yang cukup aerasinya biasanya tidak ditemukan H2S karena teroksidasi menjadi sulfat. Reduksi (pengurangan oksigen dan penambahan hidrogen) anion sulfat menjadi hidrogen sulfida pada kondisi anaerob yang dilakukan oleh bakteri heterotrof selama proses dekomposisi bahan organik dapat menimbulkan bau busuk. Pada pH 5, sekitar 99% sulfur terdapat dalam bentuk H2S. Oleh karena itu, toksisitas H2S meningkat dengan penurunan nilai pH.
Kadar sulfida
total kurang dari 0,002 mg/l dianggap tidak membahayakan bagi kelangsungan hidup organisme akuatik (Mcneely et al. 1979 in Effendi 2003). Bakteri heterotrof dapat mereduksi sulfit, tiosulfat, hiposulfat, dan unsur sulfur menjadi hidrogen sulfida. Pada kondisi aerob, hidrogen sulfida segera dioksidasi oleh bakteri Thiobacillus menjadi sulfat. Beberapa bakteri, misalnya Chlorobactericeae dan Thiorhodaceae dapat mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi sulfur. Di dalam perairan dihasilkan hidrogen sulfida yang berasal dari proses dekomposisi bahan yang mengandung protein dan baunya sangat mengganggu. Ketika kandungan oksigen terlarut di perairan habis terpakai untuk proses oksidasi bahan-bahan organik dan suplai oksigen terganggu, maka kondisi perairan akan menjadi anaerob.
Pada kondisi seperti ini
bahan-bahan organik akan mengalami proses fermentasi membentuk asamasam organik yang menyebabkan pH perairan menurun dengan keasaman yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan kematian total ikan. Apabila diperairan tidak terdapat oksigen dan nitrat maka sulfat berperan sebagai sumber oksigen pada proses oksidasi yang dilakukan oleh bakteri anaerob. Pada kondisi ini ion sulfat direduksi menjadi ion sulfit yang
membentuk kesetimbangan dengan ion hidrogen untuk membentuk hidrogen sulfida (Effendi 2003). Pada pH 9 sebagian besar sulfur (99%) berada dalam bentuk ion HS-, jumlah H2S sangat sedikit, permasalahan bau tidak muncul pada kondisi ini. Ion sulfida berada pada pH yang sangat tinggi mendekati 14 dan tidak ditemukan pada perairan alami. Pada pH < 8 kesetimbangan bergeser pada pembentukan H2S yang tidak terionisasi (Effendi 2003).
3. METODE PENELITIAN 3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung
(KJA) di Waduk Ir. H. Juanda Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 4). Kegiatan penelitian berlangsung pada bulan Februari hingga Maret 2009 yang meliputi penentuan stasiun pengamatan, penelitian pendahuluan, pengambilan contoh air, dan analisis contoh air. Pengambilan contoh air di titik pengamatan dilakukan pada tanggal 21 Maret 2009 selanjutnya dilakukan analisis contoh air untuk beberapa parameter di Laboratorium Produktivitas Lingkungan dan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2.
Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vandorn Water Sampler,
Secchi disk, DO-meter digital TOA model DO-20 A, botol BOD, botol untuk contoh air, pH-meter digital TOA model 700 series, ice box, termometer, alat titrasi, spektrofotometer, labu erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, penutup botol dari bahan karet, dan selang aerasi. Bahan-bahan yang digunakan adalah contoh air, penyaring whatman 0,45 µm, aquades, alumunium foil, dan bahan-bahan kimia sebagai bahan pereaksi. 3.3.
Metode Kerja
3.3.1. Penentuan stasiun pengamatan Lokasi pengambilan contoh air dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan hasil survei di sekitar kawasan keramba jaring apung (KJA) Pasir Jangkung (Zona 5) berada pada posisi 060 31’ 55,8” LS dan 1070 20’ 54,5” BT (Gambar 5). Lokasi pengamatan yang dipilih merupakan daerah KJA paling padat yang sedang beroperasi dan paling lama memelihara ikan terhitung sejak terjadinya peristiwa umbalan pada pertengahan Februari 2009. Contoh air yang diambil merupakan sumber data yang dikumpulkan selama pengamatan yang terdiri dari parameter fisika (suhu dan kecerahan) dan parameter kimia (DO, pH, NH3, H2S).
Gambar 4. Peta Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta, Jawa Barat
Gambar 5. Titik pengambilan sampel di lokasi KJA
3.3.2. Penentuan perlakuan, titik kedalaman, dan komposisi pencampuran Sebelum melaksanakan penelitian inti dilakukan penelitian pendahuluan. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pengukuran oksigen terlarut (DO) dengan interval 2 meter dengan tujuan untuk mendapatkan pola sebaran vertikal oksigen terlarut (Tabel 5). Dari sebaran vertikal oksigen terlarut tersebut diperoleh keterwakilan area dan titik–titik kedalaman pengambilan contoh air. Selanjutnya akan diperoleh beberapa perlakuan melalui pencampuran massa air dari keterwakilan area atau titik-titik kedalaman tersebut. Tabel 5.
Konsentrasi oksigen terlarut rata-rata pada penelitian pendahuluan di lokasi pengamatan
Kedalaman (meter)
DO (mg/l)
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 30 40 49 Keterangan :
7,60 6,80 6,20 3,80 3,05 1,80 1,70 1,15 0,90 0,70 0,70 0,60 0,60 0,60
: mewakili kedalaman 0 sd 4 meter : mewakili kedalaman 4 sd 8 meter : mewakili kedalaman 8 sd 14 meter : mewakili kedalaman 14 sd 49 meter
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian pendahuluan (Tabel 5) ditetapkan titik kedalaman 2 meter, 8 meter, 12 meter, dan 49 meter (dasar). Penentuan titik kedalaman didasarkan pada: 1. Keterwakilan konsentrasi oksigen terlarut di tiap kedalaman. Berdasarkan pendahuluan
nilai
konsentrasi
DO
yang
diperoleh
dari
penelitian
maka diperoleh kedalaman 2 meter (6,8 mg/l) yang dianggap
mewakili kedalaman 0 dan 4 meter; kedalaman 8 meter (3,05 mg/l) yang dianggap mewakili kedalaman 6 meter; kedalaman 12 meter (1,7 mg/l) yang dianggap
mewakili kedalaman 10 dan 14 meter; dan kedalaman 49 meter (0,6 mg/l) yang dianggap mewakili kedalaman 16 meter hingga dasar perairan. 2. Keterwakilan konsentrasi oksigen terlarut berdasarkan baku mutu PP no. 82 tahun 2001 untuk kegiatan perikanan. Kedalaman 2 meter (6,8 mg/l) dianggap baik untuk kegiatan perikanan; kedalaman 8 meter (3,05 mg/l) dianggap cukup untuk kegiatan perikanan; kedalaman 12 meter (1,7 mg/l) dianggap di bawah baku mutu bagi kegiatan perikanan; dan kedalaman 49 meter (0,6 mg/l) dianggap berbahaya bagi kegiatan perikanan. 3. Keterwakilan di beberapa kolom air Lapisan permukaan untuk kedalaman 2 meter, lapisan bagian tengah untuk kedalaman 8 dan 12 meter dan lapisan dasar untuk kedalaman 49 meter. Dari titik-titik kedalaman tersebut diperoleh tiga perlakuan yakni perlakuan 1 yang merupakan pencampuran air dari kedalaman 2 dan 8 meter; perlakuan 2 diperoleh melalui pencampuran massa air dari kedalaman 2, 8, dan 12 meter; dan perlakuan 3 yang merupakan pencampuran massa air dari kedalaman 2, 8, 12, dan dasar (49 meter). Perlakuan 1 dianggap sebagai pencampuran massa air sebagian (meromictic) yaitu pencampuran massa air dari permukaan hingga kedalaman 8 meter. Perlakuan 2 dianggap sebagai pencampuran massa air sebagian (meromictic) yaitu dari permukaan hingga kedalaman 14 meter, sedangkan perlakuan 3 dianggap sebagai pencampuran massa air sempurna (holomictic) hingga dasar perairan (pencampuran seluruh titik kedalaman). Komposisi contoh air yang akan dicampurkan sebagai perlakuan didasarkan pada ketebalan lapisan yang terwakili, kedalaman total, dan volume botol kemudian dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus :
Komposisi
jumlah kedalaman yang terwakili volume botol jumlah kedalaman total
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut (Lampiran 1), diperoleh komposisi air dari masing-masing kedalaman yang mewakili seperti yang tercantum pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi air dari setiap kedalaman yang mewakili Perlakuan
DO dan Suhu (ml)
Amonia (ml)
pH (ml)
2
62,5
125
50
8
62,5
125
50
Kedalaman (meter)
1
total volume botol
125
250
100
2
35,7
71,4
28,6
8
35,7
71,4
28,6
2
12
53,6
107,1
42,9
total volume botol
125
250
100
2
10
20,4
8,2
8
10
20,4
8,2
12
15
30,6
12,2
49
89
178,6
71,4
total volume botol
125
250
100
3
3.3.3. Pengukuran data kualitas air 3.3.3.1. DO (oksigen terlarut) DO (oksigen terlarut) merupakan parameter utama dalam penelitian ini. Air contoh untuk analisis oksigen terlarut diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler. Pengukuran DO dilakukan secara vertikal pada setiap kedalaman 2 meter dan setiap perlakuan melalui metode modifikasi winkler (Lampiran 2) dengan menggunakan alat titrasi dan diukur secara in situ. 3.3.3.2. Kecerahan Kecerahan diukur pada titik pengambilan contoh air. Pengukuran kecerahan dilakukan secara in situ melalui metode pembiasan cahaya dengan menggunakan secchi disk. 3.3.3.3. Suhu Suhu diukur pada tiap kedalaman dan perlakuan, melalui metode pemuaian dengan menggunakan thermometer Hg dan dilakukan secara in situ. 3.3.3.4. pH Air contoh untuk analisis pH diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler.
Pengukuran pH diukur di setiap kedalaman dan setiap perlakuan,
melalui metode elektrometrik menggunakan pH meter dan dilakukan secara in situ.
3.3.3.5. Amonia Bebas (NH3) Air contoh untuk analisis amonia bebas diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel 250 ml lalu diawetkan pada suhu 4 0C. Amonia bebas hanya diukur pada tiap perlakuan melalui metode phenate dengan menggunakan spektrofotometer (Lampiran 2) dan dianalisis di laboratorium Produktivitas Lingkungan dan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.3.3.6. Hidrogen Sulfida (H2S) Air contoh untuk analisis hidrogen sulfida (H2S) diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler.
Contoh air dari perlakuan dimasukkan
kedalam botol sampel 500 ml dan di beri Zn acetat serta NaOH untuk mengikat gas H2S agar tidak menguap, setelah itu baru didinginkan. Hidrogen sulfida hanya diukur di setiap perlakuan melalui metode iodometri dengan menggunakan alat titrasi dan dianalisis di laboratorium Produktivitas Lingkungan dan
Perairan,
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Beberapa parameter yang diukur dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Parameter dan metode analisis contoh air selama penelitian
No. Parameter 1. Kecerahan
Unit cm
2.
Suhu
0C
3. 4. 5. 6.
pH DO NH3 H2S
mg/l mg/l mg/l
3.4.
Alat dan Metode Secchi Disk/Pembiasan cahaya Thermometer Hg/Pemuaian pH meter/Elektrometrik Titrasi/Modifikasi Winkler Spektrofotometer/Phenate Titrasi/Iodometri
Keterangan In situ In situ In situ In situ Laboratorium Laboratorium
Analisis Data
3.4.1. Analisis Deskriptif Data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, serta dibandingkan dengan nilai baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 kelas III (Lampiran 3).
3.4.2. Kedalaman eufotik Kedalaman eufotik ditunjukkan oleh lapisan kolom air yang berada di sebelah atas dari kedalaman kompensasi (kolom perairan). Menurut Boyd (1981), pada umumnya kedalaman zona eufotik pada perairan di daerah tropis sekitar dua sampai tiga kali kecerahan secchi disk. 3.4.3. Rancangan Acak Lengkap Data hasil pencampuran massa air yang diperoleh dianalisis dengan model klasifikasi satu arah atau model Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Lampiran 4). Pada rancangan ini, Jumlah Kuadrat (JK) dikelompokkan kedalam JK Total (JKT, yang mencerminkan keragaman total seluruh pengamatan terhadap rataan umumnya), JK Perlakuan (JKP, keragaman antar perlakuan terhadap rataan umum), dan JK Sisa (JKS, keragaman pengamatan di dalam perlakuan atau disebut juga keragaman akibat faktor lain selain perlakuan). Adapun JKT, JKP, dan JKS masing-masing digunakan untuk menentukan kuadrat tengah sumber-sumber keragaman total yang terdiri dari keragaman antar perlakuan (KTP), dan sisa/galat (KTS). Sumber keragaman sisa atau galat sering juga disebut galat percobaan (experimental error). Sumber-sumber keragaman ini diperlukan dalam penyidikan ragam yang hasilnya diringkaskan dalam Tabel Sidik Ragam (TSR) pada Tabel 8 (Boer 2001). Tabel 8. TSR untuk Rancangan Acak Lengkap
Sumber Keragaman Perlakuan Sisa Total
db p-1 p(n-1) pn-1
Jumlah kuadrat JKP JKS JKT
Kuadrat Tengah KTP KTS
Hipotesis yang diuji dinyatakan sebagai berikut: H0 H1
: P 1 = P 2 = … = Pp = 0 : sedikitnya ada satu P1 ≠ 0 ; i = 1, 2, … p
Hipotesis tersebut diuji dengan harapan dapat mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan yang dicobakan.
H0 menunjukkan bahwa ke-p
perlakuan yang dicobakan tidak ada yang berbeda secara statistika atau dengan kata lain tidak diperoleh informasi yang cukup untuk menyimpulkan adanya
perbedaan antar perlakuan. Adapun H1 merupakan hipotesis alternatif yang ingin dibuktikan kebenarannya yaitu bahwa sedikitnya terdapat satu pasang perlakuan yang berbeda nyata dengan yang lain.
Untuk mengetahui perlakuan yang
memberikan hasil berbeda perlu dilakukan uji lanjut melalui uji Beda Nyata Terkecil (Lampiran 5) (Boer 2001). 3.4.4. Analisis tipe distribusi vertikal oksigen terlarut Analisis tipe distribusi vertikal oksigen terlarut dilakukan berdasarkan data oksigen terlarut yang didapat pada setiap kedalaman kemudian dibandingkan dengan tipe distribusi vertikal oksigen terlarut menurut Goldman dan Horne (1983) seperti yang tertera pada Gambar 2. 3.4.5. Analisis saturasi oksigen terlarut Konsentrasi oksigen jenuh (saturasi) akan tercapai jika konsentrasi oksigen yang terlarut di perairan sama dengan konsentrasi oksigen terlarut secara teoritis. Konsentrasi oksigen tidak jenuh terjadi jika konsentrasi oksigen yang terlarut lebih kecil daripada konsentrasi oksigen secara teoritis.
Selanjutnya kondisi super
saturasi terjadi bila konsentrasi oksigen terlarut lebih besar daripada konsentrasi oksigen secara teoritis. Tingkat kejenuhan oksigen di perairan dinyatakan dalam persen saturasi (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003). % Saturasi Oksigen Terlarut =
DO x100% DOt
Keterangan: DO : Konsentrasi oksigen terlarut di air (mg/l)s DOt : Konsentrasi oksigen terlarut jenuh secara teoritis pada suhu tertentu dengan tekanan 760 mmHg (mg/l)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Ketersediaan oksigen terlarut merupakan informasi penting bagi upaya pengelolaan suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan akuatik khususnya respirasi aerob, pertumbuhan dan reproduksi. Konsentrasi oksigen terlarut di perairan juga menentukan kapasitas perairan untuk menerima beban bahan organik tanpa menyebabkan gangguan atau mematikan organisme hidup. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada tanggal 21 Maret 2009 di salah satu lokasi keramba jaring apung Waduk Ir. H. Juanda, distribusi kandungan oksigen
terlarut
cenderung
mengalami
penurunan
seiring
bertambahnya
kedalaman (Tabel 9). Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu keterbatasan cahaya matahari yang masuk ke perairan untuk proses fotosíntesis oleh fitoplankton serta karena akumulasi limbah organik yang tinggi dari sisa pakan dan hasil metabolisme ikan di KJA yang memerlukan oksigen untuk proses dekomposisi bahan organik di dasar perairan. Berdasarkan hasil pengamatan oksigen terlarut (Tabel 9), diperoleh nilai oksigen terlarut yang bervariasi dari permukaan hingga dasar perairan dengan kisaran rata-rata 0,6-7,6 mg/l sehingga semakin dalam perairan maka konsentrasi oksigen cenderung mengalami penurunan. Konsentrasi oksigen terlarut terbesar terdapat di permukaan dengan nilai oksigen berkisar antara 7,5-7,7 mg/l; sedangkan konsentrasi oksigen terendah terdapat pada kedalaman 30 meter sampai dasar perairan sehingga konsentrasi oksigen terlarut cenderung sama yaitu 0,6 mg/l. Hal ini dikarenakan adanya hasil dari proses akumulasi bahan organik (sisa pakan dan feses ikan) serta limbah penduduk yang bermukim di KJA dan jika hal tersebut terus berlangsung maka lapisan anoksik akan semakin tebal seiring dengan bertambahnya waktu. Konsentrasi oksigen terlarut pada kedalaman 4 dan 6 meter menunjukkan perbedaan yang cukup tinggi.
Pada kedalaman 4 meter konsentrasi oksigen
terlarut rata-rata adalah 6,2 mg/l; sedangkan kedalaman 6 meter konsentrasi oksigen terlarut menurun drastis menjadi 3,8 mg/l. Hal tersebut dikarenakan pada
kedalaman 4 meter kemampuan fitoplankton dalam melakukan proses fotosíntesis lebih besar daripada di kedalaman 6 meter. Berdasarkan pengukuran kecerahan di lokasi pengamatan diperoleh kedalaman zona eufotik hingga 4,83 meter; sedangkan pada kedalaman 6 meter cahaya matahari sudah mulai berkurang sehingga pada kedalaman ini oksigen cenderung diperoleh dari distribusi lapisan diatasnya. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut merupakan hal yang wajar karena fotosintesis hanya terjadi di zona fotik, sedangkan respirasi terjadi dimana saja baik dari kolom air hingga ke dasar perairan sehingga permukaan air cenderung kaya oksigen terlarut dan akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Tabel 9. Distribusi vertikal DO (mg/l) di lokasi pengamatan Kedalaman (m)
Ulangan 1
Rata-rata
2
0 2
7,5 6,6
7,7 7,0
7,6 6,8
4 6
6,1 3,7
6,3 3,9
6,2 3,8
8 10
3,1 1,8
3,0 1,8
3,1 1,8
12 14
1,8 1,1
1,6 1,2
1,7 1,2
16 18
0,9 0,7
0,9 0,7
0,9 0,7
20 30
0,7 0,6
0,7 0,6
0,7 0,6
40
0,6
0,6
0,6
dasar*
0,6
0,6
0,6
Keterangan : *kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 49 meter
Berdasarkan distribusi vertikal oksigen terlarut (Gambar 6), ditunjukkan bahwa
konsentrasi
oksigen
terlarut
cenderung
menurun
seiring
dengan
bertambahnya kedalaman. Menurut Goldman dan Horne (1983) tipe distribusi oksigen terlarut (Gambar 6) yang diperoleh dari hasil pengamatan termasuk tipe clinograde yang pada umumnya terjadi pada danau yang produktif (eutrofik) dengan kandungan unsur hara dan bahan organik yang tinggi. Pada tipe ini
oksigen semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman karena adanya proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan Widiyastuti (2004) di lokasi KJA di waduk yang sama menyatakan bahwa tipe distribusi oksigen terlarutnya menggambarkan tipe clinograde. DO (mg/l) 0
2
4
6
8
0 5 10
Kedalaman (m)
15 20
ulangan 1 ulangan 2
25 30 35 40 45 50
Gambar 6. Distribusi vertikal konsentrasi oksigen terlarut Distribusi vertikal oksigen terlarut pada saat pengamatan menunjukkan bahwa pada kedua ulangan tidak terjadi penurunan oksigen hingga mencapai nol karena oksigen masih ditemukan hingga dasar perairan. Pada dasarnya penumpukan limbah organik yang berasal dari sisa pakan dan hasil metabolisme ikan pasti akan membutuhkan oksigen untuk melakukan proses dekomposisi, namun pada kenyataannya oksigen terlarut di lokasi pengamatan masih tersedia hingga dasar perairan meskipun dalam jumlah yang sangat minim. Hal ini didukung hasil penelitian Widiyastuti (2004) yang menyebutkan bahwa deplesi oksigen hanya terjadi pada malam hari akibat dari proses respirasi yang berlangsung secara terus-menerus, sedangkan fotosintesis tidak berjalan. Selain itu, adanya arus balik (upwelling) yang terjadi di Waduk Ir. H. Juanda pada tanggal
11 Februari 2009 mengakibatkan oksigen di dasar perairan menjadi terangkat dan tercampur ke permukaan sehingga oksigen masih tersedia hingga lapisan hipolimnion. Pada dasarnya sumber oksigen terlarut di hipolimnion hampir tidak ada kecuali jika terjadi pembalikan massa air. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui pula bahwa hingga kedalaman 8 meter konsentrasi oksigen terlarut masih dianggap layak bagi kegiatan perikanan karena memiliki kisaran nilai DO 3,0-7,7 mg/l. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 kelas III yang menganjurkan batas minimal konsentrasi oksigen terlarut untuk kepentingan perikanan sebesar 3 mg/l, sedangkan pada kedalaman 10 meter hingga dasar perairan konsentrasi oksigen terlarut sudah tidak layak bagi kegiatan perikanan karena nilai oksigen terlarut pada kedalaman tersebut kurang dari 3 mg/l yaitu berada pada kisaran 0,6-1,8 mg/l. Hal tersebut menandakan kondisi perairan dari kedalaman 10 meter hingga dasar cenderung mendekati kondisi anoksik. Kondisi oksigen terlarut yang minim tersebut dapat membahayakan kehidupan ikan, baik ikan yang berada di dalam keramba maupun yang berada di luar keramba apabila pada nantinya terjadi proses pembalikkan massa air ke lapisan permukaan. 4.2. Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Oksigen Terlarut Berdasarkan pengamatan yang dilakukan melalui beberapa perlakuan (Tabel 10), diperoleh nilai Dissolved Oxygen (DO) rata-rata tertinggi pada perlakuan 1 yaitu 4,03 mg/l. Pada perlakuan 2 konsentrasi DO rata-rata yang diperoleh adalah 2,65 mg/l; dan nilai DO rata-rata pada perlakuan 3 yaitu 2,02 mg/l. Perlakuan 1 memiliki nilai konsentrasi DO yang dianggap masih baik bagi kegiatan perikanan berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 yang menganjurkan nilai DO untuk kegiatan perikanan tidak kurang dari 3 mg/l. Pada perlakuan 2 dan 3 nilai DO sudah berada di bawah baku mutu sehingga dapat mengganggu proses metabolisme dan pertumbuhan ikan dan hanya beberapa ikan saja yang mampu mentolerir kondisi perairan tersebut. Pada perlakuan 3 memiliki nilai DO yang paling buruk dan mendekati kondisi anoksik yang berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan. Kondisi tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya kematian massal ikan budidaya akibat upwelling di Waduk Ir. H. Juanda yang pada umumn ya terjadi pada peralihan musim kemarau ke musim hujan.
Tabel 10.
Konsentrasi DO (mg/l) dari hasil pencampuran air di beberapa kedalaman Perlakuan
Ulangan 1 1 2 3 4 Rata-rata
2 3,81 4,24 4,24 3,82 4,03
3 2,97 2,54 2,54 2,54 2,65
2,12 2,12 2,12 1,70 2,02
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 8 m (62,5 ml ; 62,5 ml) Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 8 dan 12 m (35,7 ml; 35,7 ml; 53,6 ml) Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 8, 12 dan dasar (49 m) (10 ml ;10 ml ;16 ml; 89 ml)
Berbeda dengan hasil pengamatan yang dilakukan Nugroho (2009) di Waduk Saguling yang memiliki nilai konsentrasi DO untuk perlakuan 1 dan 2 yang masih berada pada baku mutu yang dianjurkan (> 3 mg/l) yaitu berturut-turut 4,3 dan 3,21 mg/l; sedangkan untuk perlakuan 3 nilai DO berada di bawah baku mutu yang dianjurkan yaitu 2,2 mg/l. Upwelling atau umbalan merupakan suatu fenomena alam yang tidak dapat diduga dengan pasti waktu terjadinya. Pada pengamatan ini, perlakuan 1 dan perlakuan 2 merupakan salah satu pendekatan untuk mengetahui seberapa besar nilai DO di perairan jika terjadi pencampuran air sebagian (meromictic), sedangkan perlakuan 3 merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui nilai DO jika perairan mengalami pencampuran massa air sempurna (holomictic). Pencampuran massa air sebagian pada umumnya lebih sering terjadi dibandingkan dengan pencampuran massa air sempurna (holomictic).
Meromictic pada umumnya disebabkan oleh
pergerakan angin, suhu, dan masukan aliran air sungai atau masukan inlet dari waduk yang berada diatasnya. Umbalan tidak berpengaruh terlalu buruk pada air yang jernih, sedangkan pada perairan yang dasarnya kotor tercemar limbah (termasuk limbah pakan ikan) dapat mengancam kehidupan ikan karena massa air yang naik ke permukaan akan membawa senyawa-senyawa beracun yang membahayakan kehidupan ikan. Menurut Kurniawan (2009), kandungan oksigen terlarut pada saat terjadi umbalan 11 Februari 2009 lalu pada kedalaman 1-3 meter adalah 0,5-0,09 mg/l, sedangkan pada kedalaman 20 meter, kandungan oksigen terlarutnya sudah mencapai 0 mg/l.
Berdasarkan hasil pengamatan pada perlakuan 3 nilai DO yang diperoleh cenderung lebih tinggi dibandingkan nilai DO pada saat terjadi kematian massal akibat umbalan yang terjadi pada bulan Februari 2009. Hal ini diduga pada saat pencampuran air terjadi difusi udara sehingga mempengaruhi kadar oksigen yang akan diamati. Selain itu, tingginya nilai oksigen terlarut ini diakibatkan oleh distribusi vertikal oksigen pada saat pengamatan yang cenderung berada pada kondisi yang lebih baik dibandingkan sebelum terjadi umbalan pada bulan Februari 2009. Hal tersebut akibat penumpukan bahan organik dari pakan dan sisa metabolisme ikan yang memanfaatkan oksigen untuk melakukan proses dekomposisi, akibatnya lapisan anoksik cenderung semakin tebal dengan bertambahnya hari dan setelah terjadi umbalan pada bulan Februari 2009 tersebut kondisi perairan menjadi lebih baik dan lapisan anoksik pun menjadi berkurang. Hasil dari pencampuran massa air diuji secara statistik berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan hipotesis adalah: H0
: tidak ada perbedaan pengaruh yang nyata antara perlakuan 1, 2, dan 3 terhadap ketersediaan oksigen terlarut
H1
: sedikitnya ada satu perbedaan pengaruh perlakuan terhadap ketersediaan oksigen terlarut. Berdasarkan Tabel Sidik Ragam (TSR) pada Tabel 11, diperoleh nilai F hitung
lebih besar dibandingkan nilai F tabel. Hal ini berarti percobaan memberi kesimpulan untuk menolak H0 atau menerima H1, artinya sedikitnya ada satu perbedaan pengaruh yang nyata dari ketiga perlakuan terhadap ketersediaan oksigen terlarut.
Dalam hal ini, perlu dilakukan uji BNT untuk mengetahui
perlakuan-perlakuan yang memperoleh pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Tabel 11. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk DO SK
db
JK
KT
Perlakuan
2
8,4728
4,2364
Sisa
9
0,4517
0,0502
Total
11
8,9245
F hit 84,42
F tabel 4,26
Berdasarkan uji BNT (Lampiran 5) diketahui bahwa pencampuran massa air dari semua perlakuan memberi pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap
oksigen terlarut. Hal tersebut dikarenakan setiap perlakuan yang diberikan merupakan hasil dari pencampuran massa air yang diambil dari kedalaman yang berbeda-beda yang distribusi oksigen terlarutnya cenderung menurun seiiring dengan bertambahnya kedalaman (Tabel 11 dan Gambar 6) sehingga pencampuran massa air antar perlakuan tersebut akan memberikan hasil yang berbeda pula terhadap ketersediaan oksigen terlarut. 4.3. Persen Saturasi Oksigen Berdasarkan nilai konsentrasi oksigen terlarut yang diperoleh dari hasil pengamatan, didapatkan kadar oksigen yang melebihi nilai jenuh disebut lewat jenuh (supersaturasi). Effendi (2003) menyatakan bahwa kondisi supersaturasi menggambarkan kadar oksigen terlarut di perairan lebih besar daripada kadar oksigen yang terlarut secara teoritis berdasarkan nilai suhu pada tekanan udara 760 mmHg (Tabel 4). Kondisi supersaturasi pada saat pengamatan diperoleh pada kedalaman 0 meter (permukaan perairan) dengan nilai saturasi sebesar 102,29% (Gambar 7). Persen Saturasi (%) 0
50
100
0 5 10
Kedalaman (m)
15 20 25 30 35 40 45 50
Gambar 7. Persen saturasi oksigen terlarut di lokasi KJA Waduk Ir. H. Juanda
Kondisi supersaturasi ini terjadi karena pada saat pengamatan kondisi cuaca sangat cerah (waktu pengamatan pukul 11.00 WIB) dan cahaya matahari bersinar terik hingga ke permukaan perairan sehingga pada kondisi ini proses fotosintesis dari fitoplankton berjalan dengan cepat dan difusi pun tetap berjalan pada permukaan hingga kadar oksigen mencapai titik jenuh. Pada kondisi jenuh tersebut tidak ada lagi oksigen yang mengalami difusi dari udara ke dalam air. Kondisi saturasi yang diperoleh dari hasil pengamatan ini sesuai dengan Goldman dan Horne (1983) yang menyatakan bahwa perairan yang mengalami penyuburan memiliki kejenuhan oksigen berkisar antara 80–250% saturasi. Menurut Jeffries dan Mills (1996) in Effendi (2003), pada saat matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosíntesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi untuk proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat melebihi kadar oksigen jenuh (saturasi) sehingga perairan mengalami supersaturasi. Menurut Effendi (2003), oksigen yang mencapai titik jenuh akibat pertumbuhan fitoplankton yang berlangsung dengan cepat seiring dengan peningkatan unsur hara dapat membahayakan kelangsungan hidup ikan karena dapat memicu terjadinya eutrofikasi perairan sehingga pada saat malam hari oksigen menjadi sangat minim atau bahkan mencapai nol. 4.4. Parameter Fisika-Kimia Penunjang 4.4.1.
Kecerahan Kecerahan merupakan faktor penting dalam mengontrol produktivitas
perairan karena berhubungan dengan tingkat penetrasi cahaya matahari yang akan menentukan laju fotosintesis dan produktivitas primer perairan. Berdasarkan pengukuran kecerahan diperoleh nilai kecerahan dengan kisaran 158,5–161 cm. Nilai kecerahan ini masih berada pada kondisi yang umum di lokasi tersebut. Menurut Henderson dan Markland (1976) in Widiyastuti (2004), nilai kecerahan kurang dari 3 meter dapat digolongkan kedalam status waduk eutrofik sehingga Waduk Ir. H. Juanda ini tergolong sebagai waduk yang tingkat kesuburannya cukup tinggi (eutrofik). Nilai kecerahan yang diperoleh juga masih dianggap baik bagi kelangsungan hidup ikan karena menurut Asmawi (1983), nilai kecerahan yang baik untuk kelangsungan hidup ikan adalah lebih besar dari 45 cm.
Berdasarkan nilai keceraha, kedalaman zona eufotik pada perairan ini berkisar antara 4,76–4,83 m yaitu 3 kali kedalaman secchi disk (Boyd 1981). Hal ini didukung oleh data distribusi vertikal oksigen terlarut (Tabel 9) yang menunjukkan bahwa konsentrasi oksigen mulai menurun drastis di kedalaman 6 meter. Hal tersebut menandakan bahwa kedalaman 6 meter sudah tidak termasuk dalam zona eufotik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Simarmata (2007), dikatakan bahwa nilai kecerahan di Waduk Ir. H. Juanda tidak berpengaruh besar terhadap ketersediaan oksigen terlarut. Hal tersebut dikarenakan kedalaman lapisan eufotik yang tinggi tidak diikuti lapisan oksik yang tinggi. Kecerahan perairan erat kaitannya dengan jumlah intensitas sinar matahari yang masuk ke suatu perairan. Intensitas cahaya yang menurun mengakibatkan ketebalan zona eufotik semakin menipis. 4.4.2.
Suhu Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan.
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi perairan. Hasil pengamatan menunjukkan nilai suhu yang menurun seiring bertambahnya kedalaman (Tabel 12) dengan kisaran rata-rata adalah 27,3–31 0C. Berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 kelas III, suhu yang diperoleh masih layak untuk budidaya perikanan karena berada pada baku mutu yang dianjurkan yaitu 28±3 0C sehingga sebaran suhu di waduk ini masih dapat mendukung kehidupan ikan. Pada saat pengamatan tidak diperoleh lapisan termoklin yaitu lapisan air yang mengalami penurunan suhu cukup besar yaitu lebih dari 1 0C/m (Tabel 12 dan Gambar 8) yang memungkinan adanya stratifikasi sangatlah kecil. Pola sebaran vertikal suhu yang diperoleh di lokasi pengamatan relatif sama dengan pengamatan yang dilakukan Widiyastuti (2004) dan Simarmata (2007) yaitu tidak ditemukannya lapisan termoklin. Lapisan hipolimnion diduga berkisar dari kedalaman 14 meter hingga dasar perairan. Menurut Goldman dan Horne (1983), lapisan hipolimnion merupakan lapisan dengan perbedaan suhu secara vertikal relatif kecil, massa air bersifat stagnan, tidak mengalami pencampuran, dan memiliki densitas air yang lebih besar. Lapisan ini cenderung mengandung kadar oksigen terlarut yang rendah dan relatif stabil.
Tabel 12. Distribusi vertikal suhu ( 0C) di lokasi pengamatan Kedalaman (m)
Ulangan
Rata-rata
0 2
1 31,0 30,5
2 30,9 30,3
4 6
30,0 29,2
29,8 29,1
29,9 29,2
8 10
28,5 28,1
28,6 28,0
28,6 28,1
12 $14
28,0 27,7
27,9 27,6
28,0 27,7
16 18
27,5 27,5
27,6 27,5
27,6 27,5
20 30
27,4 27,3
27,3 27,3
27,4 27,3
40
27,3
27,3
27,3
dasar*
27,3
27,3
27,3
31,0 30,4
Keterangan : *kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 49 meter
Suhu (⁰C) 27.0
28.0
29.0
30.0
31.0
0 5 10
Kedalaman (m)
15 ulangan 1
20
ulangan 2
25 30 35 40 45 50
Gambar 8. Distribusi vertikal suhu pada saat pengamatan
Terjadinya penurunan suhu seiring dengan bertambahnya kedalaman pada saat pengamatan menggambarkan perairan di Waduk Ir. H. Juanda ini memiliki stratifikasi suhu. Adanya stratifikasi suhu ini disebabkan oleh kemampuan intensitas cahaya matahari yang masuk ke perairan karena intensitas cahaya yang masuk ke perairan akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan diubah menjadi energi panas sehingga lapisan permukaan memiliki suhu yang lebih besar dan densitas yang lebih kecil daripada lapisan dibawahnya. Hal ini terjadi karena pengamatan dilakukan pada saat cuaca cerah dan saat matahari bersinar sangat terik. Jika terjadi penurunan suhu secara tiba-tiba hingga suhu di permukaan lebih kecil daripada suhu dibawahnya maka berat jenis air (densitas) di permukaan akan lebih besar daripada di lapisan bawah dan hal ini dapat mengakibatkan terjadinya pencampuran massa air atau pembalikan. Menurut Jeffries dan Mills (1996) in Effendi (2003) kelarutan oksigen akan berkurang seiring dengan peningkatan suhu. Kenyataan di lokasi penelitian tidak sama seperti pernyataan tersebut. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran suhu menunjukkan semakin rendah suhu di dasar perairan maka semakin kecil kandungan oksigennya. Hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang memberi pengaruh lebih besar terhadap ketersediaan oksigen terlarut, seperti dekomposisi bahan organik di dasar perairan serta adanya proses fotosintesis di permukaan. Dekomposisi bahan organik mengakibatkan berkurangnya oksigen di dasar, sedangkan fotosintesis mengakibatan peningkatan ketersediaan oksigen terlarut di permukaan (zona eufotik). Adanya stratifikasi suhu di Waduk Ir. H. Juanda menunjukkan kondisi yang berpotensi mengakibatkan terjadinya proses pencampuran massa air jika suatu saat terjadi penurunan suhu di lapisan permukaan secara tiba-tiba Berdasarkan pengamatan yang dilakukan melalui beberapa perlakuan (Tabel 13), diperoleh kisaran nilai suhu pada perlakuan 1 adalah 29,3-29,9 0C; pada perlakuan 2 memiliki kisaran suhu 28,7-29,3 0C; dan pada perlakuan 3 kisaran suhu yang diperoleh adalah 27,5-28,8 0C.
Nilai suhu rata-rata tertinggi terdapat pada
perlakuan 1 dengan nilai 29,6 0C. Perlakuan 1 merupakan pencampuran dari kedalaman 2 meter dan 8 meter. Selanjutnya nilai suhu rata-rata yang diperoleh dari pencampuran kedalaman 2, 8, dan 12 meter (perlakuan 2) adalah 29,0 0C;
sedangkan suhu rata-rata yang diperoleh dari pencampuran air di kedalaman 2, 8, 12, dan 49 meter (perlakuan 3) adalah 28,1 0C. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai suhu cenderung menurun karena perlakuan 3 merupakan hasil pencampuran dari 4 kedalaman yang berbeda termasuk kedalaman di dasar dengan suhu yang rendah sehingga pada perlakuan 3 nilai suhu yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan nilai suhu pada perlakuan 1 dan 2. Tabel 13.
Hasil pengukuran suhu (0C) melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Perlakuan
Ulangan 1
2
3
1
29,9
29,1
28,3
2
29,5
29,3
28,8
3
29,3
28,7
27,8
4
29,7
28,9
27,5
Rata-rata
29,6
29,0
28,1
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 8 m (62,5 ml ; 62,5 ml) Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 8 dan 12 m (35,7 ml; 35,7 ml; 53,6 ml) Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 8, 12 dan dasar (49 m) (10 ml; 10 ml; 16 ml; 89 ml)
Hasil pengukuran dari ketiga perlakuan yang dilakukan merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui nilai suhu pada saat terjadi pencampuran massa air sebagian (meromictic) dan pencampuran sempurna (holomictic). Berdasarkan hasil yang diperoleh dari ketiga perlakuan menunjukkan bahwa nilai suhu yang diperoleh masih cukup tinggi. Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh suhu di permukaan pada saat pengukuran karena pada dasarnya umbalan terjadi pada saat suhu dipermukaan mencapai suhu yang lebih rendah daripada suhu di lapisan bawahnya karena intensitas cahaya matahari yang berkurang, sedangkan pada saat dilakukan percobaan, suhu di permukaan masih tinggi (Tabel 12) karena pengaruh sinar matahari sehingga hasil pengukuran suhu yang diperoleh pun masih cukup besar. Nilai suhu yang diperoleh pada ketiga perlakuan masih memenuhi baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001, yang menganjurkan kisaran suhu untuk kegiatan perikanan adalah 28±3 0C.
Berdasarkan Tabel Sidik Ragam (TSR) pada Tabel 14, diperoleh nilai F hitung lebih besar dibandingkan nilai F tabel yang berarti bahwa percobaan memberikan kesimpulan untuk menolak H0 atau menerima H1, artinya sedikitnya ada satu perbedaan pengaruh yang nyata dari ketiga perlakuan terhadap suhu. Dalam hal ini, perlu dilakukan uji BNT untuk mengetahui perlakuan mana yang memperoleh pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Berdasarkan hasil uji BNT (Lampiran 5) dapat diketahui bahwa pencampuran massa air dari semua perlakuan memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap suhu (p<0,05) kecuali antara perlakuan 1 dan 2 yang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p≥0,05). Adanya perbedaan antar perlakuan diakibatkan karena pengamatan pencampuran massa air diambil dari kedalaman yang berbeda-beda sehingga pola distribusi suhu cenderung menurun seiiring dengan bertambahnya kedalaman (Tabel 12 dan Gambar 8) akibatnya pencampuran massa air antar perlakuan tersebut memberikan hasil yang berbeda pula terhadap suhu. Tabel 14. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk suhu SK
db
JK
KT
Perlakuan
2
4,5600
2,2800
Sisa
9
1,3800
0,1533
Total
11
5,9400
4.4.3.
F hit 14,87
F tabel 4,26
Derajat keasaman (pH) Kadar pH dapat mempengaruhi toksisitas senyawa kimia di perairan, salah
satunya adalah amonia yang dapat terionisasi yang banyak ditemukan di perairan dengan pH rendah. Berdasarkan hasil pengukuran pH di lokasi pengamatan didapat nilai pH yang cenderung menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Berdasarkan data pada Tabel 15, ditunjukkan bahwa nilai pH rata-rata tertinggi terdapat di permukaan yaitu 8,05 dan pH terendah terdapat di dasar yaitu 6,54. Berdasarkan hasil yang diperoleh di lokasi pengamatan, pH di permukaan hingga kedalaman 6 meter cenderung bersifat basa, sedangkan pH pada kedalaman 8 meter hingga dasar perairan cenderung bersifat asam. Pola sebaran vertikal pH pada lokasi pengamatan dapat dilihat pada Tabel 15 dan Gambar 9.
Tabel 15. Distribusi vertikal pH di lokasi pengamatan Ulangan
Kedalaman (m)
1
Rata-rata
0 2 4 6
8,02 7,86 7,71 7,60
2 8,07 8,01 7,81 7,64
8 10
6,99 6,75
6,86 6,85
6,93 6,80
12 14
6,73 6,72
6,72 6,72
6,73 6,72
16 18
6,70 6,67
6,68 6,66
6,69 6,67
20 30
6,66 6,65
6,61 6,60
6,64 6,63
40
6,62
6,57
6,60
dasar*
6,56
6,51
6,54
8,05 7,94 7,76 7,62
Keterangan : *kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 49 meter
pH 6.0
6.5
7.0
7.5
8.0
8.5
0 5 10
Kedalaman (m)
15 20
ulangan 1 ulangan 2
25 30 35 40 45 50
Gambar 9. Distribusi vertikal pH di lokasi pengamatan
Nilai pH yang diperoleh pada pengamatan kali ini masih dianggap cukup tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widiyastuti (2004) yang menyatakan bahwa
pH di permukaan pada siang hari adalah 6,75.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai pH yang diperoleh dari hasil pengukuran secara vertikal masih memenuhi baku mutu yang dianjurkan bagi kegiatan budidaya perikanan yaitu 6-9. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan melalui beberapa perlakuan (Tabel 16), diperoleh nilai kisaran pH pada perlakuan 1 adalah 7,31-7,39; pada perlakuan 2 memiliki kisaran pH 6,93-7,11; dan pada perlakuan 3 kisaran pH yang diperoleh adalah 6,61-6,74. Nilai pH rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan 1 dengan nilai 7,34; nilai pH rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 2 adalah 6,99; sedangkan pH rata-rata pada perlakuan 3 adalah 6,67. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai pH cenderung menurun karena perlakuan 3 merupakan hasil pencampuran dari 4 kedalaman yang berbeda termasuk kedalaman di dasar dengan pH yang cenderung rendah (asam) sehingga pada perlakuan 3 nilai pH yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan nilai pH pada perlakuan 1 dan 2. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa jika terjadi pencampuran air sempurna, maka perairan akan cenderung bersifat asam. Namun, seluruh perlakuan menunjukkan bahwa nilai pH yang diperoleh masih layak bagi kegiatan perikanan. Tabel 16. Hasil pengukuran pH melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Perlakuan
Ulangan 1
2
3
1
7,32
6,94
6,69
2
7,34
6,93
6,65
3
7,39
6,97
6,74
4
7,31
7,11
6,61
Rata-rata
7,34
6,99
6,67
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 8 m (50 ml ; 50 ml) Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 8 dan 12 m (28,6 ml ; 28,6 ml ; 42,8 ml) Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2,8,12 dan dasar (49m) (8,2ml;8,2ml;12,2ml; 71,4ml)
Menurut Widiyastuti (2004), nilai pH pada siang hari relatif lebih tinggi dibandingkan pH pada malam hari. Hal tersebut dikarenakan adanya proses
fotosíntesis pada siang hari yang banyak menyerap CO2 bebas. Pada kondisi ini, CO2 diperoleh dari HCO3 dengan melepaskan ion hidroksil (OH-) yang akan meningkatkan pH ke arah basa. Oleh karena itu pula nilai pH di permukaan pada lokasi pengamatan cenderung bersifat basa. Berdasarkan Tabel Sidik Ragam (TSR) pada Tabel 17, diperoleh nilai F hitung lebih besar dibandingkan nilai F tabel yang berarti bahwa percobaan yang memberikan kesimpulan untuk menolak H0 atau menerima H1, artinya sedikitnya ada satu perbedaan pengaruh yang nyata dari ketiga perlakuan terhadap pH. Dalam hal ini, perlu dilakukan uji BNT untuk mengetahui perlakuan yang memperoleh pengaruh dari perlakuan yang diberikan. Berdasarkan hasil uji BNT (Lampiran 5) dapat diketahui bahwa
pencampuran massa air dari semua
perlakuan memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap pH (p<0,05). Hal tersebut dikarenakan setiap perlakuan yang diberikan merupakan hasil dari pencampuran massa air yang diambil dari kedalaman yang berbeda-beda dengan pola distribusi pH cenderung menurun seiiring dengan bertambahnya kedalaman (Tabel 15 dan Gambar 9) sehingga pencampuran massa air antar perlakuan tersebut akan memberikan hasil yang berbeda pula terhadap pH. Tabel 17. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk pH SK
db
JK
KT
F hit
Perlakuan
2
0,8920
0,4460
Sisa
9
0,0340
0,0038
Total
11
0,9260
4.4.4.
F tabel
118,24
4,26
Amonia (NH3) Amonia merupakan salah satu senyawa kimia yang bersifat racun bagi biota
perairan jika jumlahnya berlebihan di perairan. Kadar amonia yang tinggi bisa menjadi
indikasi
adanya
pencemaran
bahan
organik.
Berdasarkan
hasil
pengukuran amonia yang dilakukan melalui beberapa perlakuan, diperoleh nilai amonia yang cenderung meningkat dari perlakuan 1 hingga perlakuan 3. Berdasarkan data pada Tabel 18, kisaran amonia yang diperoleh pada perlakuan 1 adalah 0,0068–0,0113 mg/l; pada perlakuan 2 memiliki kisaran amonia 0,0116–0,0151 mg/l; dan kisaran amonia yang diperoleh pada perlakuan 3 adalah
0,0196–0,0227 mg/l.
Nilai amonia rata-rata tertinggi
pada saat pengamatan
terdapat pada perlakuan 3 dengan nilai 0,0213 mg/l; nilai amonia rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 2 adalah 0,0133 mg/l; sedangkan amonia rata-rata pada perlakuan 1 adalah 0,00896 mg/l.
Hal tersebut menunjukkan bahwa dari
perlakuan 1 sampai 3 nilai amonia bebas yang diperoleh cenderung meningkat. Berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai amonia pada perlakuan 3 tidak memenuhi baku mutu untuk kegiatan budidaya perikanan tawar karena nilai ratarata amonia yang diperoleh lebih dari 0,02 mg/l. Tabel 18. Hasil pengukuran amonia (mg/l) melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Perlakuan
Ulangan 1
2
3
1
0,0087
0,0137
0,0212
2
0,0113
0,0127
0,0227
3
0,0068
0,0116
0,0217
4
0,0090
0,0151
0,0196
Rata-rata
0,0089
0,0133
0,0213
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 8 m (125 ml; 125 ml) Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 8 dan 12 m (71,4 ml; 71,4 ml; 107,2 ml) Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 8, 12 dan 49 m (20,4 ml; 20,4 ml; 30,6 ml; 178,6 ml)
Pada pengamatan ini, tidak dilakukan pengukuran amonia bebas di setiap kedalaman sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti sebaran vertikal amonia di lokasi pengamatan. Namun, konsentrasi amonia yang diperoleh dari hasil pengukuran pada setiap perlakuan ini dapat menduga bahwa konsentrasi amonia di permukaan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan lapisan di bawahnya. Hal tersebut dapat dilihat dari perlakuan 1 yang memiliki konsentrasi amonia lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan 2 dan 3 yang pencampurannya berasal dari lapisan dibawahnya bahkan mencapai lapisan dasar.
Kondisi ini terjadi
karena proses dekomposisi bahan organik di dasar perairan yang menghasilkan amonia pada kondisi anaerob, sehingga konsentrasi amonia bebas di dasar lebih besar dan hal tersebut mengakibatkan hasil dari pencampuran massa air pada perlakuan 3 lebih besar dibandingkan perlakuan 1 dan 2. Menurut Effendi (2003),
tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia dan kadar amonia bebas akan semakin meningkat dengan meningkatnya pH namun pada pengamatan ini nilai pH semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Tabel 15 dan Gambar 9). Dari hasil pengamatan diketahui bahwa perlakuan 3 yang diumpamakan sebagai pencampuran sempurna (holomictic) memiliki potensi berakibat buruk bagi kehidupan ikan budidaya. Hal tersebut terjadi karena konsentrasi amonia maupun konsentrasi oksigen terlarut pada perlakuan 3 tidak berada pada baku mutu yang dianjurkan, sedangkan pada perlakuan 1 dan 2 nilai amonia yang terukur masih sesuai baku mutu sehingga jika dilihat dari konsentrasi amonia dari kedua perlakuan maka masih dianggap aman bagi kegiatan budidaya ikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pencampuran massa air sempurna cenderung memberi pengaruh lebih buruk bagi budidaya perikanan karena menurut Effendi (2003) toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu. Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah.
Berdasarkan Tabel Sidik Ragam (TSR) pada Tabel 19, diperoleh nilai F hitung lebih besar dibandingkan nilai F tabel yang berarti percobaan memberikan kesimpulan bahwa sedikitnya ada satu perbedaan pengaruh yang nyata dari ketiga perlakuan terhadap konsentrasi amonia bebas. Berdasarkan hasil uji BNT (Lampiran
5) dapat diketahui bahwa
pencampuran massa air dari semua perlakuan memberi pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap konsentrasi amonia bebas. Tabel 19. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk amonia
SK
db
JK
KT
Perlakuan
2
3,1417 × 10-4
1,5709× 10-4
Sisa
9
2,1878 × 10-5
2,4308× 10-6
Total
11
3,3605 × 10-4
F hit 64,62
F tabel 4,26
4.4.5.
Sulfida (H2S)
Hidrogen Sulfida (H2S) pada kondisi perairan yang anoksik bersifat beracun yang berasal dari sulfat dan terbentuk secara reduksi pada kondisi anaerob oleh bakteri heterotrof (Effendi 2003). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan konsentrasi sulfida dari perlakuan 1 hingga perlakuan 3 cenderung meningkat (Tabel 20). Konsentrasi sulfida tertinggi terdapat pada perlakuan 3 dengan kisaran nilai 0,6292–0,7229 mg/l; pada perlakuan 2 konsentrasi sulfida yang terukur adalah 0,4086–0,5752 mg/l; dan perlakuan 1 dengan kisaran nilai 0,2142–0,4046 mg/l. Berdasarkan data pada Tabel 20 dapat ditunjukkan bahwa nilai sulfida ratarata tertinggi pada saat pengamatan terdapat pada perlakuan 3 dengan nilai 0,6756 mg/l; nilai sulfida rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 2 adalah 0,4988 mg/l; sedangkan sulfida rata-rata pada perlakuan 1 adalah 0,3050 mg/l. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai sulfida yang terukur cenderung meningkat. Hal ini terjadi karena adanya proses dekomposisi bahan organik yang banyak menggunakan oksigen sehingga pada kondisi anoksik hasil dari proses dekomposisi tersebut akan membentuk sulfida (H2S).
Tabel 20. Hasil pengukuran Hidrogen Sulfida (H2S) melalui pencampuran air di beberapa kedalaman Perlakuan (mg/l)
Ulangan 1
2
3
1
0,2142
0,4641
0,7045
2
0,3213
0,5474
0,6459
3
0,2797
0,4086
0,6292
4
0,4046
0,5752
0,7229
Rata-rata
0,3050
0,4988
0,6756
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 8 m Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 8 dan 12 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 8, 12 dan 49 m
Pada pengamatan ini, tidak dilakukan pengukuran konsentrasi sulfida di setiap kedalaman sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti sebaran vertikal
sulfida di lokasi pengamatan. Namun, konsentrasi sulfida yang diperoleh dari hasil pengukuran pada setiap perlakuan ini dapat menduga bahwa konsentrasi sulfida cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Hal tersebut dapat dilihat semakin besarnya konsentrasi sulfida yang terukur dari perlakuan 1 hingga perlakuan 3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai sulfida yang diperoleh pada ketiga perlakuan tersebut tidak memenuhi baku mutu untuk kegiatan budidaya perikanan tawar karena konsentrasi sulfida yang dianjurkan <0,002 mg/l. Namun mengingat adanya parameter lain (DO, pH, dan suhu) yang mampu mendukung kelangsungan hidup ikan budidaya di keramba jaring apung maka tingginya konsentrasi sulfida diduga masih dapat di tolerir oleh ikan budidaya. Berbeda dengan perlakuan 3, pada perlakuan 1 tingginya konsentrasi sulfida tidak diiringi dengan rendahnya DO dan meningkatnya amonia, nilai suhu dan pH yang diperoleh pun masih berada pada baku mutu yang dianjurkan sehingga jika dilihat dari keempat parameter tersebut maka untuk perlakuan 1 masih dianggap layak untuk kegiatan budidaya ikan, sedangkan tingginya sulfida menunjukkan bahwa perlakuan 1 tidak aman bagi kegiatan budidaya perikanan berdasarkan PP No. 82 tahun 2001. Menurut Effendi (2003) pada kondisi aerob, hidrogen sulfida segera dioksidasi oleh bakteri Thiobacillus menjadi sulfat yang tidak berbahaya di perairan dalam jumlah tertentu. Jika konsentrasi sulfida tidak memenuhi baku mutu kegiatan perikanan, diringi dengan kondisi perairan yang miskin oksigen seperti hasil yang diperoleh pada perlakuan 3, maka ikan budidaya yang berada pada keramba jaring apung tersebut cenderung akan mati karena tidak mampu untuk meloloskan diri dari kondisi air yang buruk. Keadaan demikianlah yang biasanya
terjadi
pada
saat
terjadi
umbalan
sempurna
(holomictic)
dan
mengakibatkan terjadinya kematian massal ikan di lokasi keramba jaring apung.
Berdasarkan Tabel Sidik Ragam (TSR) pada Tabel 21, diperoleh nilai F hitung lebih besar dibandingkan nilai F tabel yang berarti bahwa percobaan memberikan kesimpulan untuk menolak H0 atau menerima H1, artinya sedikitnya ada satu perbedaan pengaruh yang nyata dari ketiga perlakuan terhadap konsentrasi hidrogen sulfida.
Berdasarkan hasil uji BNT
(Lampiran 5) dapat diketahui bahwa pencampuran massa air dari semua perlakuan memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap konsentrasi hidrogen sulfida (p<0,05). Tabel 21. TSR Rancangan Acak Lengkap untuk Hidrogen Sulfida
SK
db
JK
KT
Perlakuan
2
0,2750
0,1375
Sisa
9
0,0427
0,0047
Total
11
0,3177
F hit
F tabel
28,97
4,26
4.5. Pengelolaan Waduk Ir. H. Juanda merupakan salah satu waduk yang dibangun di daerah aliran sungai Citarum, Jawa Barat. Pembangunan waduk melalui bendungan di suatu aliran sungai akan merubah ekosistem air mengalir menjadi ekosistem air tergenang. Perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan biota perairan termasuk ikan. Kegiatan perikanan meskipun bukan merupakan fungsi utama waduk namun keberadaannya berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar waduk. Meskipun pada kenyataannya, pemilik budidaya ikan dalam keramba jaring apung sebagian besar adalah investor yang bukan penduduk setempat, sedangkan kegiatan perikanan tangkap justru berkembang secara alami dan pelakunya adalah masyarakat setempat. Pengembangan teknologi KJA di Waduk Ir. H. Juanda telah menimbulkan berbagai permasalahan yang dapat mengganggu kelestarian sumberdaya air waduk dan usaha perikanan itu sendiri. Kegiatan budidaya ikan yang berkembang pesat saat ini telah menurunkan kualitas perairan waduk.
Selain itu, pada
kenyataannya unit-unit KJA yang ada juga berfungsi sebagai tempat tinggal dan warung-warung yang menimbulkan limbah sampah. Keramba jaring apung yang tidak beroperasi lagi serta limbah bekas KJA yang rusak seperti drum bekas, bambu, dan plastik juga dibiarkan mengapung di perairan. Apabila terjadi kematian massal ikan pun para pemilik KJA selalu membuang bangkai ikan ke perairan bebas sehingga menambah pencemaran lingkungan di perairan waduk. Kondisi tersebut selain berakibat langsung kepada petani KJA, juga berpengaruh
buruk bagi Waduk Ir. H. Juanda karena menyebabkan semakin meningkatnya beban pencemaran dan menurunnya kualitas air. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini merupakan salah satu pendekatan dalam upaya pengelolaan sumberdaya perairan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan baik karena faktor alam (upwelling) maupun dari kegiatan manusia yang terlibat di dalamnya. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, daerah keramba jaring apung Pasir Jangkung berpotensi mengakibatkan kematian ikan apabila terjadi peristiwa umbalan (upwelling). Hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya konsentrasi oksigen pada perlakuan 3 yang diumpamakan sebagai pencampuran massa air sempurna (holomictic) serta tingginya kandungan amonia dan sulfida yang melebihi batas baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 kelas III yang pada umumnya kematian massal ikan dalam keramba jaring apung yang terjadi setiap tahun merupakan akibat dari naiknya air dasar waduk yang mengandung bahan beracun dan miskin oksigen ke permukaan perairan di area keramba. Kematian massal ikan disamping merugikan para pembudidaya ikan maupun nelayan juga mengakibatkan terjadinya pencemaran perairan dan mengurangi estetika waduk sehingga diperlukan alternatif pengelolaan berupa: 1)
Pembatasan jumlah unit KJA Jumlah unit KJA di Waduk Ir. H. Juanda sampai saat ini telah melebihi dari
jumlah yang seharusnya karena keberhasilan pemeliharaan ikan di KJA yang meningkat dengan pesat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 10 tahun saja terjadi peningkatan unit KJA yang cukup besar yaitu pada tahun 1994 jumlah KJA sebanyak 850 unit dengan produksi ikan 1.998 ton/tahun (Krismono 2000) dan jumlah KJA pada tahun 2004 adalah 3.216 unit dengan produksi 12.580 ton/tahun (Sudjana 2004). Jumlah unit KJA hingga saat ini bahkan mencapai 4.714 unit (Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta, 2009). Jumlah unit KJA ini sudah dikategorikan dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan tersebut mengakibatkan tidak terkendalinya perkembangan budidaya KJA sehingga perlu dilakukan pembatasan unit KJA yang sesuai dengan daya dukung waduk (Tabel 2). Pembatasan jumlah unit KJA dapat dilakukan dengan cara tidak memberikan izin pembangunan unit KJA baru dan membatasi unit KJA yang boleh beroperasi.
2)
Jenis dan manajemen pakan Pakan yang diberikan harus dapat meningkatkan efesiensi pakan dan
meminimalkan limbah pakan di perairan waduk. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara pemberian pakan yang tepat berdasarkan dosisnya. Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan yaitu dengan cara mengurangi frekuensi pemberian pakan pada kondisi tertentu misalnya pada saat cuaca mendung. 3)
Penerapan Early Warning System Sistem ini dimaksudkan untuk mengembangkan sistem peringatan dini (early
warning) agar dapat mengantisipasi terjadinya umbalan yang menyebabkan kematian massal ikan. Early warning system dapat diterapkan melalui monitoring kondisi perairan (parameter fisika, kimia, dan biologi); monitoring cuaca secara rutin; analisa dan evaluasi hasil monitoring; serta solusi tindak lanjut yang disebarkan langsung kepada pembudidaya KJA dengan cara diberlakukannya larangan untuk melakukan budidaya ikan pada saat memasuki musim hujan. 4)
Penggunaan sistem aerasi Sistem aerasi berguna untuk memperbaiki keterbatasan oksigen terlarut di
lokasi KJA sehingga dapat mencegah terbentuknya gas-gas beracun karena kondisi oksigen yang anoksik. 5)
Restocking ikan-ikan pemakan plankton Prinsip budidaya KJA intensif akan berdampak terhadap penambahan bahan
organik ke perairan yang mengakibatkan terjadinya eutrofikasi sehingga menyebabkan fitoplankton melimpah yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan kualitas air menurun jika tidak ada yang memanfaatkan. Untuk menanggulangi masalah tersebut perlu dilakukan restocking atau penebaran ikanikan pemakan plankton (plankton feeder) yang tidak bersifat kompetitor dengan ikan lainnya seperti ikan tawes, nilem, nila, bandeng, dan sebagainya. 6)
Penyedotan sedimen darí akumulasi bahan organik di dasar perairan Penyedotan hasil akumulasi limbah organik dimaksudkan agar limbah
organik tidak banyak yang terakumulasi di dasar sehingga dapat mengurangi penggunaan oksigen dalam melakukan proses dekomposisi dan mencegah terbentuknya gas beracun (H2S dan NH3) akibat dekomposisi secara anaerob. Penyedotan sedimen bisa dijadikan sebagai pengelolaan alternatif terakhir mengingat perlunya biaya yang sangat mahal.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Secara umum, konsentrasi
DO di lokasi KJA di Waduk Ir. H. Juanda
cenderung menurun seiring bertambahnya kedalaman dengan kisaran rata-rata 0,6 mg/l (pada lapisan dasar) hingga 7,6 mg/l (pada lapisan permukaan). Distribusi vertikal
oksigen
terlarut
menggambarkan
tipe
perairan
clinograde.
Pada
pengamatan diperoleh kondisi oksigen yang mencapai titik jenuh pada lapisan permukaan dengan nilai saturasi mencapai 102,29%. Dari hasil pengukuran suhu, tidak ditemukan lapisan termoklin pada lokasi pengamatan. Kedalaman zona eufotik pada perairan ini mencapai 4,83 m. Berdasarkan uji statistik melalui Rancangan
Acak
Lengkap
disimpulkan
pula
bahwa
seluruh
perlakuan
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap ketersediaan oksigen terlarut, suhu, pH, amonia bebas dan hidrogen sulfida. Berdasarkan hasil pencampuran massa air, disimpulkan bahwa terdapat variasi ketersediaan oksigen terlarut dari berbagai pencampuran massa air (meromictic dan holomictic) di perairan KJA di Waduk Ir. H. Juanda. Pada perlakuan 1 yang dianggap sebagai meromictic hingga 8 meter, diperoleh niai DO yaitu 3,81– 4,24 mg/l dengan rata-rata 4,03 mg/l. Perlakuan 2 sebagai meromictic hingga 14 meter memiliki nilai DO 2,54–2,97 mg/l dengan rata-rata 2,65 mg/l; sedangkan perlakuan 3 yang dianggap sebagai pencampuran air sempurna (holomictic) memiliki nilai DO rata-rata yaitu 1,70-2,12 mg/l dengan rata-rata 2,02 mg/l. Berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut yang diperoleh disimpulkan bahwa jika terjadi meromictic hingga kedalaman 8 meter maka kegiatan budidaya ikan masih dianggap layak (PP no. 82 tahun 2001 kelas III) dibandingkan dengan meromictic 14 meter dan holomictic. Namun, jika dilihat dari konsentrasi sulfida, semua jenis pencampuran massa air baik meromictic maupun holomictic dapat membahayakan kehidupan ikan budidaya. Secara umum berdasarkan parameter fisika-kimia, disimpulkan bahwa kejadian holomictic memiliki potensi paling buruk bagi kegiatan perikanan dan berpotensi mencemari perairan sehingga pengelolaan sumberdaya perairan sangat berperan penting bagi pencegahan dampak buruk dari kejadian umbalan di KJA Waduk Ir. H. Juanda.
5.2. Saran Perlu dilakukan penelitian dengan topik yang sama pada peralihan musim kemarau ke musim hujan dengan titik pengamatan lebih dari 1 stasiun
dan
dilaksanakan selama 24 jam sehingga diperoleh keterwakilan yang lebih baik dari efek umbalan di Waduk Ir. H. Juanda. Secara statistik, disarankan menggunakan uji Rancangan Acak Lengkap dengan Anak Contoh untuk penelitian yang serupa agar contoh yang digunakan dalam
pencampuran
keterwakilannya.
massa
air
dari
setiap
kedalaman
dapat
diketahui
DAFTAR PUSTAKA
[APHA] American Public Health Association. American Water Work Association dan Water Pollution Control Federation. 1998. Standard methods for examination of water and wastewater. 20th ed. American Public Health Association. Washington DC. Asmawi S. 1983. Pemeliharaan ikan dalam karamba. Gramedia. Jakarta. 82 hlm. Azwar ZI, Suhenda N, & Praseno O. 2004. Manajemen pakan pada usaha budidaya ikan di karamba jaring apung. Hlm 37-44. In: [PRPB-BRKP-DKP] Pusat Riset Perikanan Budidaya–Badan Riset Kelautan dan Perikanan–Departemen Kelautan dan Perikanan. Pengembangan budidaya perikanan di perairan waduk: suatu upaya pemecahan masalah budidaya ikan dalam keramba jaring apung. Jakarta. Boer M. 2001. Perancangan percobaan edisi 1. Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 52 hlm. Boyd CE. 1981. Water quality in warm water fish pond. Departement of Fisheries Allied Aquaculture, Agriculture Experimental Station Auburn University. Auburn. Alabama. 52 p. [Disper] Dinas Perikanan Kabupaten Purwakarta. 2009. Dinas Perikanan tertibkan KJA Jatiluhur. http://www.pelita.com/harianumum. [30 Juli 2009] [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Umum Budidaya Perikanan. 2002. Panduan teknis pengelolaan perikanan secara bersama di perairan Waduk Djuanda, Cirata, dan Saguling. 54 hlm. Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm. Goldman GR dan Horne AJ. 1983. Limnology. McGraw Hill Book Company. International Student Edition, Japan. 464 p. Google Earth. 2009. Waduk Jatiluhur. http://www.googleearth.com. [15 Juli 2009]. Google Map. 2009. Waduk Jatiluhur. http://www.googlemap.com. [15 Juli 2009]. Iskandar dan Suryadi. 2000. Konstruksi keramba jaring apung di Waduk Saguling. Hlm 153-160. In: Peningkatan kualitas dan pemanfaatan danau dan waduk berkelanjutan dalam menunjang pendapatan asli daerah. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk, 7 November 2000, Bandung. Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran, Bandung.
Jangkaru Z. 2002. Pembesaran ikan air tawar di berbagai lingkungan pemeliharaan. Penebar Swadaya. Jakarta. 96 hlm. Jangkaru Z. 2003. Memelihara ikan di kolam tadah hujan. Penebar Swadaya. Jakarta. 72 hlm. Krismono. 2000. Perikanan di perairan waduk instalasi penelitian perikanan air tawar, Jatiluhur. Hlm 161-169. In: Peningkatan kualitas dan pemanfaatan danau dan waduk berkelanjutan dalam menunjang pendapatan asli daerah. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk, 7 November 2000, Bandung. Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran, Bandung. Krismono. 2004. Optimalisasi budidaya ikan dalam KJA di perairan waduk sesuai daya dukung. Hlm 75-82. In: [PRPB-BRKP-DKP] Pusat Riset Perikanan Budidaya–Badan Riset Kelautan dan Perikanan–Departemen Kelautan dan Perikanan. Pengembangan budidaya perikanan di perairan waduk: suatu upaya pemecahan masalah budidaya ikan dalam keramba jaring apung. Jakarta. Krismono, Sarnita A, & Rukyani A. 1996. 1600 ton ikan mati di Waduk Jatiluhur. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 1 (1) : 5-7. Kurniawan. 2009. Kematian ikan di Waduk http://www.kompas.com. [12 Februari 2009].
Jatiluhur
berlanjut.
Nastiti AS dan Krismono. 2003. Indikator umbalan dari aspek kualitas air di perairan Waduk Djuanda, Jatiluhur - Jawa Barat. Jurnal Perikanan Indonesia. 9 (4) : 73-83. Nastiti AS, Krismono, & Kartamihardja ES. 2001. Dampak budidaya ikan dalam keramba jaring apung terhadap peningkatan unsur hara N dan P di perairan Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 7 (2) : 22-30. Nugroho A. 2009. Pengaruh pencampuran berbagai kolom air terhadap kadar DO (Dissolved Oxygen) di Karamba Jaring Apung (KJA) di Waduk Saguling, Kabupaten Bandung [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 58 hlm. [Pemprov-Jabar] Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2009. http://www.jabar.com. [15 Juli 2009] [PP-RI] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Sekretaris Negara Republik Indonesia Jakarta. Prihadi TH. 2004. Upaya perbaikan lingkungan untuk menunjang kesinambungan budidaya ikan dalam Karamba Jaring Apung (KJA). Hlm 45-56. In: [PRPBBRKP-DKP] Pusat Riset Perikanan Budidaya–Badan Riset Kelautan dan
Perikanan–Departemen Kelautan dan Perikanan. Pengembangan budidaya perikanan di perairan waduk: suatu upaya pemecahan masalah budidaya ikan dalam keramba jaring apung. Jakarta. Simarmata AH. 1998. Faktor-faktor yang mempengaruhi peredupan intensitas cahaya matahari pada kolom air di Waduk Ir. H. Juanda [tesis]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 66 hlm. Simarmata AH. 2007. Kajian keterkaitan antara kemantapan cadangan oksigen dengan beban masukan bahan organik di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta [disertasi]. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 142 hlm. Sudjana T. 2004. Kebijakan Perum Jasa Tirta II dalam pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Ir. H. Juanda untuk perikanan budidaya. Hlm 1-8. In: [PRPB-BRKPDKP] Pusat Riset Perikanan Budidaya–Badan Riset Kelautan dan Perikanan–Departemen Kelautan dan Perikanan. Pengembangan budidaya perikanan di perairan waduk: suatu upaya pemecahan masalah budidaya ikan dalam keramba jaring apung. Jakarta. Sukimin S. 1999. Pengelolaan dan pemanfaatan perairan Waduk Ir. H. Juanda untuk perikanan yang berwawasan lingkungan. Hlm 12-22. In: Suwignyo P, Soedharma D, Rahardjo MF, Suhatmansyah, Sujiprihati, Gunawan A, Wirawan B, Sulistiono, Effendi I, Saptono A, Kania A, Arifin MA, Saepudin A, & Amir. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk, 30 November 1999, Bogor. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Susanti D. 2003. Pengaruh pemberian pakan yang berbeda terhadap kualitas air, kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan mas (Cyprinus carpio L) di Keramba Jaring Apung [skripsi]. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 35 hlm. Vitner Y, Sukimin S, & Suryadiputra INN. 1999. Kandungan bahan organik dan kualitas perairan Waduk Ir. H. Juanda (Jatiluhur) Purwakarata, Jawa Barat. Hlm 28-34. In: Suwignyo P, Soedharma D, Rahardjo MF, Suhatmansyah, Sujiprihati, Gunawan A, Wirawan B, Sulistiono, Effendi I, Saptono A, Kania A, Arifin MA, Saepudin A, & Amir. Prosiding Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk, 30 November 1999, Bogor. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Welch PS. 1952. Limnology 2nd ed. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York, Toronto, London. 538 p.
Widiyastuti E. 2004. Ketersediaan oksigen terlarut selama 24 jam secara vertikal pada lokasi perikanan keramba jaring apung di Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 68 hlm.
Lampiran 1. Perhitungan komposisi pencampuran air Kedalaman 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 30 40 49
A 7,5 6,6 6,1 3,7 3,1 1,8 1,8 1,1 0,9 0,7 0,7 0,6 0,6 0,6
Komposisi
DO (mg/l) B rata-rata 7,7 7,60 7,0 6,80 6,3 6,20 3,9 3,80 3,0 3,05 1,8 1,80 1,6 1,70 1,2 1,15 0,9 0,90 0,7 0,70 0,7 0,70 0,6 0,60 0,6 0,60 0,6 0,60
Ketebalan kolom air yang terwakili 4 meter (kedalaman 0 sd 4 meter) 4 meter (kedalaman 4 sd 8 meter) 6 meter (kedalaman 8 sd 14 meter)
35 meter (kedalaman 14 sd 49 meter)
tebal kedalaman yang terwakili volume botol jumlah kedalaman total
1. Oksigen terlarut pada perlakuan 1 (pencampuran kedalaman 2 dan 8 m) Kedalaman total untuk perlakuan 1adalah 8 meter, volume botol : 125 ml •
Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 2 meter: 4 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 2 m :
•
125 62,5 ml
Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 8 meter: 4 meter
Untuk air yang dicampur dari kedalaman 8 m :
125 62,5 m
2. Oksigen terlarut pada perlakuan 2 (pencampuran kedalaman 2, 8, dan 12 m) Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 14 meter, volume botol : 125 ml •
Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 2 meter: 4 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 2 m :
•
125 35,7 ml
Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 8 meter: 4 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 8 m :
•
# #
125 35,7 ml
Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 12 meter: 6 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 12 m :
& #
125 53,6 ml
Lampiran 1 (lanjutan) 3. Oksigen terlarut perlakuan 3 (pencampuran kedalaman 2, 8, 12, dan 49 m) Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 49 meter, volume botol: 125 ml •
Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 2 meter: 4 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 2 m :
•
'
Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 8 meter : 4 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 8 m :
•
'
125 10 ml
Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 12 meter: 6 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 12 m :
•
125 10 ml
&
'
125 15 ml
Kedalaman yang terwakili dari titik di kedalaman 49 meter: 35 meter Untuk air yang dicampur dari kedalaman 49 m :
)* '
125 89 ml
4. Amonia pada perlakuan 1 (pencampuran kedalaman 2 dan 8 m) Kedalaman total untuk perlakuan 1 adalah 8 meter, volume botol : 250 ml • •
air yang dicampur dari kedalaman 2 m : 250 125 ml
air yang dicampur dari kedalaman 8 m -
250 125 ml
5. Amonia pada perlakuan 2 (pencampuran kedalaman 2, 8, dan 12 m) Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 14 meter, volume botol : 250 ml •
air yang dicampur dari kedalaman 2 m : # 250 71,4 ml #
•
air yang dicampur dari kedalaman 8 m -
•
air yang dicampur dari kedalaman 12 m -
250 71,4 ml
& #
250 107,1 ml
6. Amonia pada perlakuan 3 (pencampuran kedalaman 2, 8, 12, dan 49 m) Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 49 meter, volume botol : 250 ml
•
air yang dicampur dari kedalaman 2 m :
•
air yang dicampur dari kedalaman 8 m - ' 250 20,4 ml
• •
'
250 20,4 ml
&
air yang dicampur dari kedalaman 12 m - ' 250 30,6 ml air yang akan dicampurkan dari kedalaman 49 m -
)* '
250 178,6 ml
Lampiran 1 (lanjutan) 7. pH pada perlakuan 1 (pencampuran kedalaman 2 dan 8 m) Kedalaman total untuk perlakuan 1 adalah 8 meter, volume botol : 100 ml
8.
•
air yang dicampur dari kedalaman 2 m :
•
air yang dicampur dari kedalaman 8 m - 100 50 ml
100 50 ml
pH pada perlakuan 2 (pencampuran kedalaman 2, 8, dan 12 m) Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 14 meter, volume botol : 100 ml
9.
•
air yang dicampur dari kedalaman 2 m :
•
air yang dicampur dari kedalaman 8 m -
•
air yang dicampur dari kedalaman 12 m -
#
#
100 28,6 ml 100 28,6 ml
& #
100 42,9 ml
pH pada perlakuan 3 (pencampuran kedalaman 2, 8, 12, dan 49 m) Kedalaman total untuk perlakuan 2 adalah 49 meter, volume botol : 100 ml •
air yang dicampur dari kedalaman 2 m : ' 100 8,2 ml '
•
air yang dicampur dari kedalaman 8 m -
•
air yang dicampur dari kedalaman 12 m - ' 100 12,2 ml
•
&
100 8,2 ml )*
air yang akan dicampurkan dari kedalaman 49 m - ' 100 71,4 ml
Lampiran 2. Prosedur pengukuran parameter kualitas air •
Prosedur pengukuran Dissolve Oxygen (DO) a. Ambil contoh air ke dalam botol BOD sampai penuh dan tutup, hindari adanya gelembung udara b. Tambahkan sulfamid acid 0,5 ml (10 tetes) ke dalam botol BOD 125 ml c. Tambahkan 1 ml (20 tetes) larutan MnSO4 d. Tambahkan 1 ml (20 tetes) larutan NaOH + KI, kemudian tutup, aduk (bolak-balik) diamkan sampai mengendap e. Setelah mengendap tambahkan 1 ml (20 tetes) H2SO4 pekat atau sampai endapan larut f.
Pipet 25 ml air contoh dari botol BOD ke dalam erlenmeyer
g. Titrasi dengan Na-Thiosulfat sampai berwarna kuning muda, tambahkan amilum 2-3 tetes. Teruskan sampai tidak berwarna. Catat ml titran yang terpakai
O0 1mg/l3
•
tiosulfat 1ml3 N tiosulfat 8 1000 botol BOD 1ml3 9 reagent 1ml3 vol. sampel 1ml3 botol BOD 1ml3
Prosedur pengukuran Amonia Bebas (APHA, 1998) a. Pipet 25 ml contoh air yang sudah disaring ke dalam bleaker glass 100 ml b. Tambahkan 1 ml phenol Solution, aduk c. Tambahkan 1 ml Sod- Nitroposside d. Tambahkan 2,5 ml Oxidizing Solution, aduk rata e. Simpan / biarkan selama 1 jam tutup dengan Alumunium Foil f.
Ukur dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang ( 640 nm)
Prosedur pengukuran Amonia Bebas % amonia tak terionisasi 1Amonia bebas3
100 1 < antilog 1pKa 9 pH3
Keterangan : pKa : konstanta logaritma negatif yang bergantung pada suhu
Lampiran 2 (lanjutan)
Suhu (oC)
20
22
24
pKa
9,4
9,33
9,27
Suhu (oC)
28
29
30
9,15
9,12
pKa
•
9,09
25 9,24
26 9,21
31 9,06
27 9,18
32 9,03
Prosedur pengukuran Hidrogen Sulfida (H2S) a. Ambil contoh air ke dalam botol sampel sampai penuh dan tutup, hindari adanya gelembung udara b. Tambahkan Zn Acetat 3- 4 tetes / 100 ml c. Ambil air yang berada di atas endapan. d. Ambil endapan dan masukkan ke tabung erlenmeyer. e. Masukkan 2 ml HCl 6 N. f. Titrasi dengan Iodine sampai berwarna coklat g. Tetesi Amilum (2 – 3 tetes) sehingga berwarna biru. h. Titrasi Tiosulfat sampai berwarna putih jernih i. Hitung dengan persamaan:
H0 S
?1ml iodine N iodine3 9 1ml tiosulfat N tiosulfat3@ 16000 ml sampel
Lampiran 3. Parameter
Baku mutu berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 Satuan
Kelas I
II
Keterangan III
IV
FISIKA Temperatur
o
C
deviasi 3
deviasi 3
deviasi 3
Deviasi temperatur dari deviasi 5 keadaan almiahnya
KIMIA
pH
6-9
6-9
6-9
5-9
DO
mg/L
6
4
3
0
NH3-N
mg/L
0,5
(-)
(-)
(-)
Belereng sebagai H2S
mg/L
0,002
0,002
0,002
(-)
Apabila secara alamiah di luar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah Angka batas minimum Bagi perikanan, kandungan amonia bebas untuk ikan yang peka ≤ 0,02 mg/L sebagai NH3 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, S sebagai H2S <0,1 mg/L
Keterangan: Kelas I : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang imempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas II : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas III : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas IV : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Lampiran 4. Contoh perhitungan Tabel Sidik Ragam RAL untuk parameter DO (mg/l) Perlakuan
Ulangan
2,97
2,12
2
4,24
2,54
2,12
3
4,24
2,54
2,12
4
3,82
2,54
1,70
jumlah
16,11
10,59
8,06
kuadrat
65,06
28,18
16,37
rata-rata
4,0275
2,65
2,02
#
C
3
3,81
FK BC D …0 ∑ IJ K
2
1
p (perlakua$n) n (ulangan) = 4
JKP
1
= 3 # )
=
9 LM
34,76100 = 100,6881
#&,##J N #O,*' J N ,O&J
=
9 100,6881 = 8,4728
JKT
= ∑Y2ij – FK = 13,810 < 4,240 < 4,240 < 3,820 < 2,970 < … < 1,703 9 100,6881 = 8,9245
JKS
= JKT – JKP
dbp
=p–1=3–1=2
KTP
= JKP/dbp
= 4,2364
dbs
= p(n – 1) = 9
KTS
= JKS/ dbs
= 0,0502
dbt
= dbs + dbp = 11
F hitung = KTP/KTS = 84,42
= 0,4517
Tabel sidik ragam yang dihasilkan: SK
db
JK
KT
Perlakuan
2
8,4728
4,2364
Sisa
9
0,4517
0,0502
Total
11
8,9245
F hit 84,42
F tabel 4,26
Lampiran 5. Uji BNT (Beda Nyata Terkecil) untuk kelima parameter (DO, suhu, pH, amonia bebas, dan sulfida) Persyaratan yang diperlukan dalam menerapkan uji BNT adalah hanya dapat digunakan jika F hitung yang diperoleh berdasarkan tabel sidik ragam (TSR nyata (lebih besar dari F tabel). Kriteria uji BNT adalah sebagai berikut: Untuk perlakuan 1 dan 2 :
d1,2 = |y1 rata-rata – y2 reta-rata||
Untuk perlakuan 1 dan 3:
d1,3 = |y1 rata-rata – y3 reta-rata||
Untuk perlakuan 2 dan 3:
d2,3 = |y2 rata-rata – y3 reta-rata||
BNTα = tα/2(db sisa) P
0 QRS T
Kaidah keputusan yang harus diambil adalah: d > BNTα
: maka tolak H0
d ≤ BNTα
: maka gagal tolak H0
Parameter
d1,2
d1,3
d2,3
KTS
BNTα
DO
1,3800
2,0100
0,6300
0,0502
0,3584
Suhu
0,6000
1,5000
0,9000
0,1533
0,6263
pH
0,3500
0,6700
0,3200
0,0038
0,0986
Amonia Bebas
0,0043
0,0124
0,0080
2,43 × 10-6
0,0025
Sulfida
0,1939
0,3707
0,1768
0,0047
0,1097
Berdasarkan data diatas ditunjukkan bahwa semua perlakuan dari semua parameter memberi kesimpulan untuk menolak H0 karena nilai dari perbandingan antar perlakuan lebih besar dari BNTα kecuali untuk parameter suhu perlakuan 1 dan 2 yang menunjukkan perbandingan antar perlakuan tersebut daripada BNTα.
lebih kecil
Lampiran 6. Data hasil perhitungan parameter yang diamati
1). Analisis persen saturasi oksigen terlarut
0
31,0
Oksigen tekanan 760 mm Hg 7,43
2
30,4
7,56
6,8
89,95
4 6
29,9 29,2
7,56 7,69
6,2 3,8
82,01 49,41
8
28,6
7,69
3,1
39,66
10 12
28,1 28,0
7,83 7,83
1,8 1,7
22,99 21,71
14
27,7
7,83
1,2
14,69
16
27,6
7,83
0,9
11,49
18 20
27,5 27,4
7,83 7,97
0,7 0,7
8,94 8,78
30
27,3
7,97
0,6
7,53
40 49
27,3 27,3
7,97 7,97
0,6 0,6
7,53 7,53
Kedalaman
Suhu (⁰ C)
DO (mg/l) 7,6
Saturasi Oksigen Terlarut (%) 102,29
2). Data pengukuran amonia bebas Perlakuan/ ulangan
Amonia hasil spektro
Suhu
pKa
pH
Antilog (pKa-pH)
% ammonia
Amonia Total
Amonia Bebas
1/1
0,06
29,90
9,09
7,32
59,29
1,6586
0,0526
0,0087
1/2
0,08
29,50
9,11
7,34
58,21
1,6889
0,0667
0,0113
1/3
0,05
29,30
9,11
7,39
52,60
1,8656
0,0366
0,0068
1/4
0,07
29,70
9,10
7,31
61,52
1,5995
0,0564
0,0090
2/1
0,23
29,10
9,12
6,94
150,31
0,6609
0,2070
0,0137
2/2
0,21
29,30
9,11
6,93
151,71
0,6549
0,1938
0,0127
2/3
0,19
28,70
9,13
6,97
144,21
0,6887
0,1684
0,0116
2/4
0,17
28,90
9,12
7,11
103,04
0,9612
0,1571
0,0151
3/1
0,64
28,30
9,14
6,69
282,49
0,3527
0,5996
0,0212
3/2
0,78
27,80
9,16
6,65
320,63
0,3109
0,7314
0,0227
3/3
0,57
28,80
9,13
6,74
243,22
0,4095
0,5299
0,0217
3/4
0,75
27,50
9,17
6,61
358,92
0,2778
0,7041
0,0196
Lampiran 6 (lanjutan) 3). Data pengukuran hidrogen sulfida Perlakuan/
Volume
ulangan
sample (ml)
1/1
1.000
0,0273
0,0147
0,0130
0,2016
0,2142
1/2
1.000
0,1365
0,1176
0,0190
0,3024
0,3213
1/3
1.000
0,1365
0,1201
0,0160
0,2632
0,2797
1/4
1.000
0,1365
0,1127
0,0240
0,3808
0,4046
2/1
1.500
0,1365
0,0956
0,0410
0,4368
0,4641
2/2
1.500
0,1365
0,0882
0,0480
0,5152
0,5474
2/3
1.500
0,1365
0,1005
0,0360
0,3845
0,4086
2/4
1.500
0,1365
0,0858
0,0510
0,5413
0,5752
3/1
2.000
0,1392
0,0564
0,0830
0,6630
0,7045
3/2
2.000
0,1365
0,0605
0,0760
0,6079
0,6459
3/3
2.000
0,1365
0,0625
0,0740
0,5922
0,6292
3/4
2.000
0,1365
0,0515
0,0850
0,6804
0,7229
N iodine = 0,0273 N N thiosulfat = 0,0245 N
ml I x N I
ml Thio x N thio
Ni-Nt
Sulfida Total
H2S
Lampiran 7. Lokasi pengamatan, botol BOD, dan analisis laboratorium