TINJAUAN PUSTAKA
Tipologi Waduk Ir. H. Juanda Waduk biasanya dibentuk dengan membangun dam
melintasi sungai
sehingga air bendungan berada dibelakang dam (Ryding dan Rast, 1989). Biasanya waduk memiliki drainase basin, kedalaman rata-rata, kedalaman maksimum, luas beban perairan yang lebih besar dibanding danau, tetapi dengan waktu tinggal yang lebih pendek dibanding danau. Waduk Ir. H. Juanda merupakan waduk terbesar dari deretan waduk di DAS Citarum. Secara topografi, waduk ini terletak pada suatu cekungan pada ketinggian 111 m diatas permukaan laut. Luas permukaan air waduk 83 km2 dengan kedalaman maksimum 105 m dan daya tampung air 2.97 km3 (Lehmusluoto dan Machbub, 1995). Berdasarkan ciri morfometrik, waduk Ir H. Juanda termasuk perairan terbuka yang cukup dalam, tepian perairan dan daerah derodon sedang, jumlah teluk banyak, garis pantai yang panjang, daerah tangkap hujan luas dan produktifitas perairan umumya didominasi oleh fitoplankton (Suwignyo, 1996). Sumber air waduk ini dari aliran S. Cilalawi, S. Cisomang dan buangan dari waduk Cirata. Dari sumber ini allochtonous serta hara lainnya masuk ke waduk Ir. H. Juanda. Berdasarkan sifat fisik, kimia dan biologinya waduk dibagi menjadi tiga zona yaitu zona mengalir (riverin), transisi dan tergenang (lakustrin) (Thornton et al., 1981 dalam Thornton et al.,1990).
Bentuk gradien longitudinal perairan waduk
Ir. H. Juanda secara umum dibagi dalam zona mengalir (riverin), zona transisi, dan zona tergenang (lakustrin). Zona mengalir di sumber air utama (sumber air yang berasal dari out let Waduk Cirata dan S. Cisomang) dan S. Cilalawi cenderung bervariasi tergantung dari tinggi rendahnya elevasi air (tergantung musim). Menurut Sukimin (1999). pada saat elevasi air rendah, zona mengalir di sumber air utama dapat mencapai sekitar kawasan Jamaras, sedangkan kawasan Pagadungan merupakan zona transisi.
Pada saat elevasi air tinggi
kawasan Jamaras dan Krenceng berubah menjadi zona transisi. Selanjutnya di kawasan S. Cilalawi merupakan zona mengalir, sedangkan kawasan jaring apung merupakan zona transisi.
Zona lakustrin terletak di kawasan waduk.
Pada umumnya zona mengalir cenderung mempunyai arus yang cukup deras,
7
waktu tinggal (residence time) pendek, ketersediaan hara tinggi (allochtonous), serta penetrasi cahaya minimal dan umumnya membatasi produktivitas primer. Lingkungan aerobik karena zona ini umumnya dangkal dan teraduk dengan baik, meskipun degradasi bahan organik membutuhkan oksigen yang signifikan. Sedimentasi yang nyata terjadi di zona transisi dan intensitas cahaya meningkat (Kennedy et al., 1982 dalam Thornton et al., 1990). Pada beberapa titik dalam lapisan mixed (epilimnion) di zona ini, titik kompensasi antara produksi dan dekomposisi bahan organik tercapai. Setelah titik ini, produksi autochtonous dari bahan organik di lapisan epilimnion mulai mendominasi.
Sedimentasi
partikulat inorganik rendah, penetrasi cahaya cukup mendukung produksi primer dengan nutrien terbatas, dan produksi bahan organik melebihi dekomposisi. Sukimin (1999) menyatakan pola arus perairan waduk Ir. H. Juanda sangat dipengaruhi oleh gerakan angin. Pada musim yang berbeda terdapat kecenderungan pola sebaran arus yang berbeda baik pada lapisan permukaan (1.0 m), tengah (10.0 m) dan dekat dasar (30.0 m). Pada musim kemarau, arus permukaan bergerak dari zona mengalir (Warung Jeruk/in let dan S. Cilalawi) ke arah zona lakustrin menuju Dam dengan kecepatan arus berkisar 0.07 − 0.17 m/detik.
Pada musim peralihan (September − November) arah arus di
permukaan cenderung bergerak ke arah Dam dengan kecepatan arus yang lebih tinggi (0.12 − 1.36 m/detik). Sedangkan pada musim hujan (Desember) pola arus di permukaan cenderung berbalik arah. Arus bergerak berlawanan arah dengan jarum jam, yaitu dari daerah lakustrin cenderung menuju zona transisi dan mengalir, sedangkan di bagian barat waduk (kawasan jaring apung ) arah arus menuju ke zona mengalir. Pengaruh pola arus (kecepatan dan arah) yang terjadi di waduk Ir. H. Juanda sangat nyata terhadap beberapa hal seperti faktor fisika (sedimentasi), kimia (kandungan bahan organik) dan biologi (fitoplankton). Laju sedimentasi di daerah KJA berkisar antara 35.04 − 155.84 cm3/m2/hari sedangkan di luar lokasi KJA laju sedimentasi berkisar antara 3.28 − 47.19 cm3/m2/hari (Kartamihardja dan Supriyadi, 1999).
Selanjutnya juga disebutkan bahwa terdapat perbedaan
antara daerah KJA dengan daerah bebas KJA.
Daerah KJA memiliki endapan
yang lebih tebal dibanding daerah bebas KJA.
Sementara pengaruh arus
terhadap faktor biologi misalnya dapat dilihat bahwa semakin jauh dari sungai, kelimpahan dan biomassa fitoplankton semakin tinggi Noryadi (1998).
8
Keberadaan Oksigen Terlarut Sumber Oksigen Terlarut Fotosintesis dan Respirasi Fitoplankton Oksigen terlarut adalah salah satu parameter paling mendasar di perairan karena mempengaruhi kehidupan organisme akuatik (Alabaster dan Llyod. 1980 dalam Hamilton dan Schladow, 1994) dan perubahan kimia di sedimen-interfase (Mortimer,1971, Bostrim et al., 1982 dalam Hamilton dan Schladow, 1994). Fotosintesis menghasilkan oksigen, yang merupakan input utama di perairan yang subur (Seller dan Markland, 1987; Thornton et al., 1990). Fotosintesis bertanggungjawab terhadap pulse oksigen di epilimnion waduk. Umumnya konsentrasi oksigen saat permulaan fajar rendah, lalu tinggi pada siang hari kemudian secara kontinu berkurang sepanjang malam karena kebutuhan respirasi komunitas.
Perubahan oksigen terlarut lebih umum dekat
zona riverine dibanding lakustrin, kecuali di teluk yang besar, dimana tanaman litoral dan blooming fitoplankton sering terjadi (Thornton et al., 1990). Populasi hewan dan tanaman di badan air akan mengkonsumsi oksigen selama proses respirasi. Hal ini menghasilkan CO2, yang akan digunakan untuk fotosintesis.
Fotosintesis terjadi di zona fotik, tetapi respirasi terjadi dimana
saja di dalam perairan (diseluruh kolom air bahkan sampai ke dasar perairan), sehingga hasil bersihnya adalah permukaan air cenderung kaya akan oksigen terlarut, dan berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Seller dan Markland, 1990). Difusi Sumber oksigen terlarut di perairan yang utama adalah difusi udara. Laju transfer oksigen tergantung pada konsentrasi oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen, dan bervariasi sesuai kecepatan angin (Seller dan Markland, 1987). Adsorpsi oksigen dari udara ke air melalui dua cara yaitu : difusi langsung ke permukaan air atau melalui berbagai bentuk agitasi air permukaan, seperti gelombang, air terjun, turbulensi (Welch, 1952). Sumber oksigen terlarut sebahagian adalah reaerasi permukaan (Seller dan Markland, 1987).
Reaerasi permukaan di danau atau waduk dapat terjadi oleh
oleh angin topan yang sangat kuat, menghasilkan gelombang permukaan dan gelombang internal serta arus horizontal yang kuat.
Gelombang permukaan
terlihat jelas, sedangkan gelombang internal terjadi di termoklin (Gambar 2).
9
Gelombang gravitasi internal dengan panjang gelombang yang pendek menjadi tidak stabil dan pecah di tengah danau, dan menyebabkan pengadukan turbulen lokal,
terjadi transfer massa air dari hipolimnion ke epilimnion.
Pembentukan gelombang turbulen ini terutama terjadi di dekat dasar termoklin. Pengadukan vertikal seperti halnya aliran horizontal disebabkan oleh angin dipermukaan. Spiral ekman dapat dianggap sebagai bagian dari gerakan air dengan berbagai kecepatan dan arah yang berbeda. Kontak diantara bagianbagian tersebut menyebabkan perpindahan vertikal massa air dan menghasilkan pengadukan
diantara
masing-masing
bagian
tersebut.
menyebabkan energi untuk pengadukan menjadi
Spiral
Langmuir
lebih terkendali dengan
panjang gelombang kira-kira sama dengan kedalaman termoklin. Pada waktu tertentu evaporative cooling
merupakan tenaga utama penyebab pengadukan
vertikal. Gambar 2 menunjukkan pergerakan air di danau baik vertikal maupun horizontal yang mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut di danau. (Goldman dan Horne, 1983; Wetzel, 2001).
Gambar 2. Gabungan diagram gaya (angin, gravitasi, evaporasi dan rotasi bumi) bumi) dan resultante arus air dan gelombang. Angin memindahkan air, gravitasi membuat aliran horizontal lebih mudah daripada vertikal, evaporasi mendinginkan permukaan air yang kemudian tenggelam, dan rotasi bumi memindahkan aliran permukaan ke kiri (di belahan bumi utara) dan ke kanan di belahan bumi selatan (Goldman dan Horne, 1983).
10
Di waduk Ir. H. Juanda, difusi atau reaerasi oksigen juga terjadi. Reaerasi oksigen terjadi oleh angin yang kuat sehingga terbentuk gelombang permukaan dan arus horizonatal kuat. Hal ini terlihat pagi hari pada pertengahan musim kemarau. Susupan Oksigen Terlarut (Interflow) Susupan oksigen terlarut ke badan air dapat terjadi karena inflow.
Di
waduk inflow yang utama masuk di bagian atas. Residence time tahunan ratarata tidak dapat digunakan sebagai alat ukur yang tepat mengenai pengaruh inflow pada pengadukan waduk. Jika densitas inflow berbeda dengan densitas air permukaan, maka inflow masuk dan bergerak di waduk sebagai arus densitas. Bell (1942) dalam Thornton et al., (1990) mendefinisikan arus densitas sebagai aliran gravitasi dari cairan atau gas, dibawah atau diatas aliran fluida yang densitasnya hampir sama. Perbedaan densitas dapat disebabkan oleh suhu, total dissolved solid dan suspended solid. Di waduk perbedaan densitas terutama disebabkan oleh suhu. Arus densitas masuk ke epilimnion, metalimnion atau hipolimnion tergantung pada perbedaan densitas antara inflow dan waduk (Gambar 3). Jika densitas inflow lebih kecil dari pada permukaan maka inflow akan berada diatas (overflow). Kondisi ini terjadi selama musim semi ketika inflow dari sungai lebih hangat dibanding air waduk. Di waduk Ir. H. Juanda overflow ditemukan pada musim panas, ketika suhu air dari sungai lebih besar daripada suhu waduk.
Gambar 3. Inflow densitas ke waduk (Ford and Johnson dalam Thornton et al., 1990)
11
Beberapa faktor menyulitkan analisis overflow.
Pertama karena gaya
penggerak melebihi tekanan hidrostatik, arus akan menyebar di segala arah tanpa halangan. Kedua perbedaan suhu (densitas) dengan cepat hilang karena panas memindahkan pada udara-air interfase.
Ketiga wind shear langsung
mengalir ke teluk atau mencegah mixing down reservoir. Dispersi horizontal juga akan ditingkatkan dari wind shear. Keempat, hasil mixing vertikal dari wind shear atau pendinginan konvektif mendistribusi arus densitas sepanjang kolom air. Jika densitas inflow lebih besar dari pada densitas air permukaan, inflow akan jatuh kebawah permukaan menjadi underflow (Gambar 4).
Titik jatuh
kadang-kadang dapat terlihat karena turbiditas atau debris yang mengapung, mengindikasikan titik stagnasi atau titik konvergens. Titik jatuh ditentukan oleh keseimbangan gaya adveksi, gradien tekanan yang melintasi interfase yang memisahkan sungai dan air waduk dan gaya resisten (wind bed friction). Posisi titik jatuh sangat dinamis dan berubah sesuai aliran dan densitas (Thornton et al., 1990).
Gambar 4. Pooling (genangan) di titik jatuh (Knapp, 1942 dalam Thornton et al., 1990) Selanjutnya Thornton et al. (1980) dalam Thornton et al., (1990) menyatakan titik jatuh terjadi di zona transisi.
Setelah inflow jatuh, mengikuti
saluran sungai yang lama sebagai underflow. Underflow dapat mencapai dam jika inflow membawa sedimen (Grover dan Howard, 1938 dalam Thornton et al., 1990). Kecepatan dan ketebalan underflow dapat ditentukan dengan asumsi dua sistem lapisan dan keseimbangan aliran antara shear force dan percepatan yang disebabkan gravitasi (Ford dan Johnson dalam Thornton et al., 1990). Entrainmen permukaan air kedalam underflow hasil dari generasi turbulensi oleh kekesatan dasar. Material ini mungkin ditemukan di underflow karena pengaruh
12
angin.
Densitas interflow atau intrusi terjadi jika arus densitas yang
meninggalkan dasar sungai, menyebar secara horizontal kedalam badan air yang terstratifikasi.
Interflow biasa di waduk dan terjadi pada pertengahan musim
panas, ketika suhu inflow lebih kecil dari air permukaan dan lebih besar dari pada suhu air hipolimnetik. Intrusi berbeda dengan overflow dan underflow karena gerakan intrusi sepanjang waduk pada level di mana intrusi dan densitas waduk mirip. Intrusi membutuhkan inflow yang kontinu dan atau outflow untuk pergerakkan. Interflow akan memberi sumbangan oksigen terlarut ke badan air karena interflow membawa air yang sangat tinggi oksigennya (Hrbacek dan Starskraba, 1966 dalam Thornton et al., 1990). metalimnion,
komunitas
Atau jika zona eufotik meluas sampai ke
fitoplankton
akan
bertambah
banyak
sehingga
konsentrasi oksigen maksimum di hipolimnion; disebut juga metalimnetik oksigen maksima.
Metalimnetik oksigen maksima sering terjadi awal musim panas,
sebelum metalimnetik oksigen minima yang terjadi di akhir musim panas (Hutchinson, 1957 dalam Thornton et al., 1990).
Karena densitas inflow secara
kontinu berubah, level dimana intrusi bergerak sepanjang reservoir juga berubah. Khususnya selama badai, ketika densitas inflow berubah dengan cepat karena aliran yang meningkat, perubahan suhu, dan beban padatan. Interflow telah diobservasi mengikuti thalweg saluran sungai tua dan tidak bercampur secara lateral (Ford dan Johnson, 1981 dalam Thornton et al., 1990). Gerakan ini sebagian disebabkan morfometri waduk, bentuk dendritik, perubahan kekasaran dasar, dan atau pembersihan kayu. Hal ini menyangkut variasi lateral kualitas air di waduk. Sering diasumsikan bahwa sekali inflow jatuh dan membentuk underflow atau interflow, unsur pokok beban diisolasi dari permukaan air. Meskipun asumsi ini benar pada beberapa situasi, studi baru-baru ini menunjukkan bahwa mixing secara meteorologi dapat membawa inflow ke permukaan air. Entrainmen ini dapat terjadi karena mixing konveksi pada malam hari dan angin seperti gelombang internal (Carmack dan Gray , 1982 dalam Thornton et al., 1990). Cadangan Oksigen Terlarut Hipolimnion Sumber oksigen terlarut di hipolimnion hampir tidak ada. Setelah stratifikasi suhu yang permanen pada musim panas, danau akan mengalami periode stagnasi, di mana massa air stagnan di bawah termoklin, dengan suhu yang
13
rendah, densitas yang lebih tinggi, lebih kental dari pada lapisan atas, dimana gas-gas dan produk dekomposisi terakumulasi (Welch, 1952). Waduk Ir. H. Juanda terletak di daerah tropis; meskipun terdapat stratifikasi suhu tetapi tidak sampai terbentuk termoklin.
Perbedaan suhu antara
permukaan (epilimnion) dan hipolimnion ada walaupun kecil. terdapat perbedaan densitas antara lapisan atas dan bawah.
Hal ini berarti Sumber oksigen
terlarut di hipolimnion waduk hampir tidak ada, kecuali jika terjadi pembalikkan massa air. Di akhir musim panas dan gugur, suhu udara menurun, permukaan air mulai dingin dan menjadi lebih padat dibanding lapisan dibawahnya. Karena permukaan air tenggelam, teraduk oleh kombinasi arus konveksi dan angin menyebabkan
sirkulasi
epilimnetik.
Penetrasi
permukaan
air
kedalam
metalimnion berlanjut. Akhirnya seluruh volume air tersirkulasi, dan fall turn over dimulai. Transisi dari stratifikasi musim panas yang lemah sampai sirkulasi musim gugur biasanya tiba-tiba dan dapat terjadi dalam beberapa jam, khususnya jika kecepatan angin tinggi (badai)
Cadangan oksigen terlarut
diperoleh pada saat periode sirkulasi ini (Wetzel, 2001). Jenis, Beban dan Penguraian Bahan Organik Sumber Bahan Organik Autochtonous Bahan organik autochtonous adalah bahan organik yang berasal dari perairan itu sendiri, dapat berupa neuston. alga, bakteri, fungi dan protozoa. konsumer.
Selanjutnya disebut
Mikroorganisme neuston meliputi
Neuston terdiri dari produsen primer dan kompleksitas, dan jumlah bahan organik di
kolom air umumnya lebih rendah dibandingkan di tanah.
Berbagai senyawa
dapat larut meliputi karbohidrat, asam amino, asam organik dilepas ke kolom air oleh autochtonous produsen primer.
Secara umum material
autochtonous
memiliki konsentrasi nitrogen yang lebih tinggi dibanding residu tanaman dari allochtonous (Atlas dan Bertha,1998).
Di Waduk Ir. H. Juanda material
autochtonous berupa plankton atau nutrien yang merupakan hasil dekomposisi dari pakan yang tidak termakan dan ekskresi dari budidaya KJA.
14
Autochtonous karbon organik di habitat akuatik umumnya dibentuk melalui produktivitas
primer.
hemiselulosa, lignin.
Polymer
tanaman
yang
utama
meliputi
selulosa,
Lignin adalah yang paling resisten terhadap degradasi
mikroba. Allochtonous Sumber bahan organik di dalam perairan (waduk) berasal dari eksternal (allochtonous) maupun internal (autochtonous).
Sumber bahan organik yang
berupa allochtonous berasal dari sumber titik di drainase basin, non point sources dan land usage (Ryding dan Rast, 1989). Selanjutnya Vollenweider (1968) dan Ahl (1973) dalam
Landner (1976) menyatakan sumber eksternal
dapat berupa run off permukaan, agricultural
and forest drainage, atmosfir,
urban run off, buangan domestik dan buangan dari limbah industri. Di waduk Ir. H. Juanda allochtonous tergantung dari aktivitas di daerah aliran sungai serta run off derah daerah sekitarnya. Dari inlet Cilalawi, masukan ke waduk berasal dari aktivitas pertanian di sekitarnya. Disamping itu waduk juga menerima limbah budidaya KJA dari Waduk Saguling dan Waduk Cirata yang sangat besar. Beban Masukan Internal Beban masukkan internal
adalah bahan organik yang dihasilkan oleh
sirkulasi nutrien di perairan (waduk). Regenerasi nutrien dari biota yakni ekskresi alga, zooplankton, dan ikan secara langsung ke lapisan trofogenik adalah suplai nutrien yang penting untuk fitoplankton, juga dekomposisi bahan organik oleh bakteri di kolom air (Silvey dan Roach, 1964 dalam Landner, 1976). Selanjutnya Liaw (1993) menyatakan pencampuran pada kolom air selain menyebabkan pertukaran oksigen hipolimnetik juga pertukaran nutrien dari permukaan air. Nutrien inorganik oleh ekskresi atau pembusukan detrital dibawah lapisan mixed di difusi dengan laju yang lambat ke atas melewati termoklin. Pada akhir periode stratifikasi musim panas ditemukan konsentrasi nutrien yang sangat tinggi di hipolimnion dan sangat rendah di epilimnion. Hilangnya lapisan termoklin dan pencampuran epilimnetik dengan hipolimnetik mencampur nutrien permukaan sehingga memberi beban nutrien pada badan air (Liaw, 1993). Reduksi karena gas-gas lain juga menjadi beban di perairan. Gas dapat dilepas dari larutan dengan bubling gas lain melalui air.
Hal ini disebabkan
kenyataan bahwa gas akan meninggalkan larutan dan melintasi ruang sampai
15
laju emisi dan kembali menjadi sama. Bubbles naik ke permukaan dan meledak, tidak sempat kembali ke bentuk larutan, karena dilepas ke atmosfir.
Di alam,
dekomposisi gas-gas (karbondioksida, methane, dan lain-lain) terakumulasi di dasar danau, yang dalam jumlah berlebihan naik melalui air dalam bentuk bubbles. Naiknya gas-gas ini dari deposit dasar merupakan proses kontinu, siang dan malam, dan secara kontinu juga membutuhkan oksigen terlarut (Welch, 1952). Pelepasan oksigen terlarut dari epilimnion karena suhu tinggi pada musim panas. Air danau dengan konsentrasi oksigen maksimum dalam jangka pendek selama spring over turn, selanjutnya pemanasan permukaan air mengurangi jumlah kandungan oksigen terlarut di air. Penguraian Bahan Organik Wetzel dan Likens (1991) menyatakan bahan organik di ekosistem perairan berada dalam bentuk senyawa organik terlarut sampai bahan organik partikulat (POM) dalam agregat besar, serta dari organisme hidup yang mati. Mayoritas bahan organik baik terlarut atau partikulat adalah detritus. Metabolisme bahan organik dan interaksi materi ini secara kimia dan biologis sangat ditentukan oleh ukuran bahan organik tersebut. secara
Hanya sedikit bahan organik terlarut yang
langsung digunakan oleh organisme akuatik, sedangkan bentuk
partikulat adalah sumber makanan yang utama. Dekomposisi bahan organik terlarut menghasilkan produk akhir berupa gas, bahan organik partikulat yang harus dikonversi secara enzimatik oleh mikroflora tertentu.
Dekomposisi yang sempurna menghasilkan konversi produk organik
dari fotosintesis menjadi senyawa inorganik (umumnya dioksidasi) sebagai reaktan fotosintesis. Siklus biogeokimia mempengaruhi laju dekomposisi C, N,P, S dan oksigen; meskipun ini penting untuk menyatakan bahwa semua senyawa minor dari
biomassa (kation, trace metal dan lain-lain) juga dilepas.
Jika
tanaman atau hewan tua, lalu mati, baik bahan organik terlarut (DOM) dan partikulat (POM) tersedia untuk degradasi. Rembesan DOM dari sel mati dan autolysis jaringan meningkat selama penuaan dan mencapai maksimum setelah kematian.
Detrital DOM tersedia sebagai sumber energi untuk mikroflora di
sedimen dan air berdampingan dengan partikulat detritus. tergantung pada kapabilitas
Laju degradasi
enzimatik mikroflora dan kondisi lingkungan.
16
Beberapa senyawa DOM lebih stabil dari yang lain tetapi suhu yang lebih tinggi dan
ketersediaan
oksigen
terlarut
akan
mengurangi
retensi
terhadap
oksidasi/refraktility (Wetzel dan Likens, 1991). Partikulat detritus dikolonisasi oleh berbagai mikroflora. Laju degradasinya tergantung pada : (1) komposisi (misal refraktility) dari subtrat spesifik dalam partikel (2) kemampuan mikroba untuk mengambil jaringan (misal ukuran partikel, luas permukaan) (3) laju metabolisme mikrobial sebagai kapasitas enzimatik, suhu, ketersediaan elektron penerima dan mineral nutrien. Pengukuran laju dekomposisi bahan organik in situ sulit.
Biasanya
perubahan dalam berat kering dari jumlah POM yang diketahui diukur dalam waktu tertentu.
Parameter seperti persen bobot yang hilang secara kontinu
berubah dengan bertambahnya waktu dan hanya informasi panen akhir hasil dekomposisi. Proses dekomposisi adalah proses yang kontinu, tetapi lajunya bervariasi tergantung jumlah subtrat dan variabel lingkungan (Wetzel dan Likens, 1991). Laju relatif dekomposisi k, dapat digambarkan sebagai hubungan sederhana terhadap variabel kontroling (Godshalk dan Wetzel dalam Wetzel dan Likens, 1991):
kα
( T )( O )( Nu ) (Re)( Sp )
(1)
Keterangan T
: suhu dalam batas biologi
O
: konsentrasi oksigen terlarut atau elektron penerima
Nu
: nutrien mineral yang dibutuhkan untuk metabolisme mikroba
Re
: inisial jaringan yang refraktil
Sp
: ukuran partikel (ukuran partikel, luas permukaan) Sebagai contoh nilai k akan rendah dan kondisi tidak kondusif untuk
dekomposisi yang cepat jika nilai relatif T, O dan atau Nu rendah. Karena faktorfaktor ini berinteraksi satu dengan yang lain.
Fragmentasi mekanik
oleh
turbulensi air atau hewan dapat menyebabkan nilai yang lebih rendah Sp yang digantikan secara teori, akan meningkatkan laju pembusukkan
meskipun
refraktility konstan atau kondisi lingkungan konstan. Laju relatif dekomposisi k, adalah jumlah detrital karbon yang dimetabolis per unit waktu (contoh POM→DOM, POM→sel mikroba, DOM→CO2 dan lain-lain).
17
Pengukuran suplai bahan organik ke ekosistem akuatik kompleks. dari produk
Input
fotosintesis fitoplankton dan flora litoral harus dievaluasi seperti
halnya bahan organik dari allochtonous yang masuk ke ekosistem akuatik dari atmosfir dan drainase basin.
Asumsi bahwa input allochtonous bahan organik
kecil berhubungan dengan sintesa di danau, dan danau cukup besar untuk mengalami stratifikasi suhu.
Produktivitas autotrofik dapat diestimasi secara
tidak langsung dari perubahan jangka panjang defisit oksigen atau akumulasi DIC (Dissolved Inorganic Carbon).
Asumsinya adalah bahan organik yang
disintesa di zona trophogenik tenggelam ke zona hipolimnetik dan terurai disana. Perubahan oksigen atau DIC hipolimnetik menggambarkan laju loading bahan organik dan dekomposisi.
Beberapa reaksi utama perkembangan anaerobik
hipolimnia dihubungkan dengan dekomposisi bahan organik (Wetzel, 1983 dan Schindler, 1985 dalam Wetzel dan Likens, 1991). Reaksi ini didasarkan pada molekul sederhana organik planktonik material : CH2O + O2 → CO2 +H2O (stadia awal) CH2O + 4 Fe (OH)3 + 8H+ → 4 Fe2+ + CO2 + 11 H2O 2 CH2O + SO42- → S2- +2 CO2+ 2 H2O 2 CH2O → CH4 + CO2 CO2 + NH3 + H2O → NH4+ + HCO3Selanjutnya
jika
kondisi
anaerobik,
akumulasi
ammonium-nitrogen,
orthofosfat, H2S dan methane dapat terjadi (Gunnison et al., 1985). Dekomposisi Aerobik Sebagian besar subtansi organik yang dihasilkan oleh tanaman dan hewan di danau dan sungai didekomposisi dan dimineralisasi melalui metabolisme berbagai organisme akuatik. Khususnya mikroorganisme seperti bakteri, yeast dan jamur yang berperan penting dalam proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik di lingkungan akuatik. Aktivitas mikroorganisme ini, berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap produktivitas organisme akuatik dari berbagai trofik level (Sorokin dan Kadota,1972). Jika detritus dan kolonisasi partikel terdeposisi, nasibnya tergantung pada laju burial dan jumlah oksigen di permukaan sedimen dan dalam daerah interstitial. Di daerah dengan konsentrasi oksigen cukup, bahan organik diasimilasi
dengan suspensi dan
detritivor atau didekomposisi oleh bakteri heterotrofik aerobik (dekomposer). Dekomposer merupakan bagian dari makanan deposit feeder. Detritivor penggali
18
(polychaeta) mengaduk sedimen (bioturbasi) dan menyebabkan oksigenasi. Kebanyakan produk yang dapat larut oleh mikroba terdifusi ke atas di dalam air pore ke sedimen/air interfase dan dikembalikan ke kolom air (Killops, 1993). Berdasarkan mikroorganisme yang berperan
dekomposisi dibagi dalam
dua kategori : (1) pemecahan secara hidrolitik bahan organik polymer tinggi yang merupakan bagian bagian utama dari tanaman dan hewan, menjadi senyawa dengan bobot molekul rendah, dan (2) pemecahan non hidrolitik dari molekul organik yang kecil, umumnya disertai konsumsi oksigen.
Seterusnya proses
terakhir (mineralisasi) molekul organik di lingkungan akuatik dikonversi menjadi senyawa inorganik yang digunakan sebagai nutrien tanaman (Gambar 5).
Gambar 5. Dekomposisi bahan organik di lingkungan akuatik Panah titik-titik dan arsiran mengindikasikan proses dekomposisi di mana mikroorganisme ambil bagian (Sorokin dan Kadota,1972)
Untuk menganalisa mekanisme dekomposisi dan mineralisasi bahan organik di perairan tawar dan untuk menentukan laju reaksi terkait, biasanya digunakan metode biokimia dan geokimia.
Metode biokimia menyangkut
estimasi in situ konsumsi oksigen atau teknik radio isotop, dan geokimia salah satunya dengan analisis kimia air dan sedimen. Sifat-sifat kimia air dan sedimen umumnya mencerminkan kejadian biokimia akibat aktivitas lingkungan itu (Sorokin dan Kadota, 1972).
mikroba di
19
Dekomposisi bahan organik (mineralisasi) terjadi dengan cepat pada kondisi oksik. Laju suplai oksigen ke sedimen adalah faktor kritis dan dipengaruhi oleh ukuran partikel yang tersedimentasi. Ukuran pori butiran halus dari silt dan clay
mengurangi
dengan
cepat
sirkulasi
air
dalam
sedimen
dengan
bertambahnya kedalaman, dan akhirnya, oksigen masuk ke air pore dengan difusi.
Jumlah bahan organik di sedimen mempengaruhi keseimbangan antara
laju konsumsi oksigen selama degradasi aerobik dan laju difusi oksigen ke dalam sedimentari air pore dari kolom air overlying. Oksigenasi terbatas hanya sampai beberapa mm bagian atas sedimen butiran halus, meskipun penetrasi oksigen dapat lebih jauh beberapa cm akibat bioturbasi (Revsbech et al., 1980 dalam Killops dan Killops, 1993). Gunnison
et.al.,
(1985)
menyatakan
pada
dekomposisi
aerobik,
mikroorganisme aerobik, mengkonversi bahan organik yang tersedia menjadi komponen inorganik, karbondioksida, nitrat, sulfat, dan fosfat, dan mengurangi oksigen di perairan.
Pada kondisi tertentu aktivitas bakteri aerobik obligat
(Actinomycetes dan beberapa species Bacillus, Pseudomonas, Corynebacterium dan Flavobacterium) sangat terbatas. Jika konsentrasi oksigen turun dalam sedimen dan kondisi menjadi disaerobik, bioturbasi terhenti. Di danau eutrofik anoksiti biasanya berkembang di lapisan hipolimnion. Dekomposisi Anaerobik. Mineralisasi berlanjut pada kondisi anoksik, karena aktivitas bakteri anaerobik, secara keseluruhan lajunya lebih lambat. Di lingkungan waduk Ir. H. Juanda, penelitian mengenai proses dekomposisi anaerobik belum banyak dilakukan.
Tetapi kasus kematian ikan dalam budidaya di karamba jaring apung
mengindikasikan telah terjadi dekomposisi anaerobik di waduk. Respirasi anaerobik dapat didefinisikan sebagai reaksi biologi dimana oksidasi senyawa inorganik sebagai akseptor elektron; aktivitas ini sejalan dengan energi oksidasi dari senyawa organik atau inorganik (Doetsch dan Clark, 1973; Yoshida, 1975 dalam Gunnison, 1985).
Reduksi senyawa organik
mengikuti langkah sesuai dengan prediksi thermodinamika.
Pertama hampir
semua oksigen terlarut dikonsumsi, bakteria anaerobik fakultatif akan berperan, dan nitrat mulai berkurang. Ketika nitrat habis, mangan oksida akan direduksi, selanjutnya besi oksida, lalu sulfat. Sama halnya pada anaerob obligat, bakteri
20
ini juga mencakup anaerob fakultatif (bakteri yang biasanya aerobik tetapi dapat berfungsi pada kondisi anaerob).
Pada kondisi tidak ada oksigen bakteri
anaerob mengoksidasi bahan organik dengan menggunakan berbagai agen oksidasi (akseptor terminal elektron) : manganase (IV), nitrat, besi (III), sulfat dan bikarbonat.
Proses ini melepas sedikit energi ke dekomposer dibanding
degradasi aerobik dari bahan organik menjadi karbondioksida dan air.
Agen
oksidasi degradasi anaerobik cenderung digunakan karena berkurangnya energi yang kembali. Beberapa bakteri (Clostridium, anaerob obligat, Bacillus, anaerob fakultatif) memecah komponen makromolekular detritus menjadi molekul yang lebih sederhana dengan hidrolisis dan proses fermentasi.
Produk ini adalah
subtrat untuk bakteri anaerobik yang menyempurnakan mineralisasi bahan organik. Jenis yang paling penting adalah bakteri pereduksi nitrat, pereduksi sulfat dan methanogen (penghasil methan). Reduksi nitrat.
Reduksi mikrobial nitrat dibagi menjadi dua kategori :
asimilatori dan dissimilatori. Produk asimilatori reduksi nitrat adalah NH4+ yang bergabung dalam sel (Payne, 1973 dalam Gunnison, 1985). Dissimilatori reduksi NO3- menjadi NH4+ telah dibuktikan penting di air laut maupun air tawar. Pada dissimilatori NO3- menjadi NH4+ ,hasil reduksi dilepas (tidak bergabung dalam sel), dan dihasilkan energi.
Organisme yang membawa dissimilatori NO3-
menjadi NH4+ tidak di data, tetapi Sørensen (1978) dalam Gunnison et al. (1985) mengindikasi bahwa Clostridium perfringens dan Paracoccus denitrificans mampu dalam proses ini. Di lingkungan anaerobik, reduksi respiratori NO3- menjadi N2 menyediakan alternatif O2 respirasi untuk bakteri nitrifikasi, biasanya terjadi di bawah permukaan dan mengurangi niche mikro dalam zona permukaan. Disini NH4+ dioksidasi menjadi NO2- atau NO3- di kolom air aerobik atau lapisan oksidasi di permukaan; nitrogen oksida ionik ini kemudian terdifusi ke dalam zona oksigen yang lebih rendah dimana selanjutnya terjadi denitrifikasi. Di kedua sistem baik air tawar dan air laut, deplesi oksigen dibawah hampir 0.2 mg/L terjadi denitrikasi (Knowles, 1982 dalam Gunnison, 1985).
Produk proses dissimilatori adalah
N2O,NO dan N2. Langkah awal proses reduksi nitrat yaitu reduksi NO3- menjadi NO2-, oleh berbagai bakteri termasuk Bacillus, Clostridium, dan Pseudomonas. Kemampuan reduksi nitrat komplit menjadi N2O dan N2 juga dimiliki oleh heterotrof
sampai
Chromobacterium,
autotrof
contoh
Alcaligenes,
Corynebacterium,
Agrobacterium,
Paracoccus,
Bacillus,
Hyphomicrobium,
21
Hydrogenemonas, Pseudomonas dan Thiobacillus (Knowles, 1982 dalam Gunnison et al., 1985). Reduksi nitrat (denitrifikasi) umumnya dengan cepat diikuti deplesi oksigen dan hasilnya yaitu : CO2, air dan nitrogen (melalui nitrit). Pereduksi nitrat (Pseudomonas, Bacillus, Micrococcus, Thiobacillus denitrificans) adalah anaerobik fakultatif dan menggunakan oksigen
jika suplainya cukup.
Luas vertikal dari zona reduksi nitrat di sedimen laut biasanya sangat terbatas karena konsentrasi nitrat di air pore sangat rendah.
Reduksi sulfat menjadi
penting jika nitrat terdeplesi; hasilnya CO2 , H2O dan H2S.
Pereduksi sulfat
(Desulfovibrio, Desulfobacter) adalah anaerob obligat. Kedalaman zona reduksi sulfat tergantung pada jumlah bahan organik yang ada; tetapi dapat menempati beberapa meter di sedimen pelagik dengan kandungan organik yang lebih rendah. Methanogen (Methanobacillus, Methanococcus) juga anaerob obligat dan mensintesa methan dari produk fermentasi terkecil.
Karbondioksida dan
hidrogen adalah subtrat yang penting, tetapi beberapa species dapat menggunakan senyawa sederhana selain C1 (contoh methanol dan formate) atau C1 yang telah siap (methylated amine).
Sedimen air tawar terdiri dari 70%
methane hasil dari penggunaan asetat, sisanya terdiri dari CO2 dan H2 (Killops, 1993). Faktor dan Penentu Keberadaan Oksigen Terlarut Morfometrik dan Hidrodinamika Meskipun penyebab eutrofikasi hampir selalu berasal dari eksternal yang masuk ke badan air, karakteristik badan air sendiri secara nyata memodifikasi (baik positif maupun negatif)
pengaruh dari faktor-faktor penyebab tersebut.
Beban nutrien eksternal atau di dalam perairan sendiri tidak secara eksklusif mengendalikan produktifitas badan air secara keseluruhan.
Faktor lain dapat
mempengaruhi produktifitas secara tidak langsung, dengan dampak distribusi, ketersediaan dan penggunaan input nutrien (Brezonik, 1969 dalam Ryding dan Rast, 1989). Pengaruh pengurangan input nutrien dari catchment area terhadap ketersediaan nutrien
dan produktifitas alga
tergantung pada besar derajat
struktur fisik dan biotik badan air. Jadi, meskipun beban
nutrien tahunan
sama, tetapi respon perairan dapat berbeda. Perbedaan respon ini meliputi siklus nutrien internal (khususnya struktur jaring makanan dan regenerasi sedimen) dan sifat spesifik basin danau seperti morfologi dan hidrodinamika di dalam perairan.
22
Morfologi basin waduk. Kedalaman rata-rata keseluruhan badan air dan kedalaman hipolimnion secara subtansial memberikan dampak terhadap peningkatan beban nutrien waduk. Kandungan oksigen di hipolimnion selama periode stratifikasi suhu, dan proses yang berhubungan dengan kemunduran kualitas air dan regenerasi nutrien di lapisan ini, tergantung pada besarnya kedalaman rata-rata (Zh) hipolimnion. Untuk jumlah biomassa fitoplankton yang sama yang dihasilkan di zona eufotik, konsumsi oksigen per unit volume kolom air hipolimnetik (yang disebabkan dekomposisi mikrobial dari biomassa alga) lebih besar pada badan air dengan kedalaman rata-rata hipolimnetik yang kecil dibandingkan dengan kedalaman rata-rata hipolimnetik yang besar (Gambar 6).
Gambar 6. Distribusi vertikal konsentrasi oksigen pada akhir stratifikasi musim panas di danau-danau dengan volume hipolimnetik yang berbeda. (Thienemann, 1918 modifikasi Uhlmann,1979 dalam Ryding dan Rast, 1989).
Pada banyak kasus, konsumsi oksigen hipolimnetik yang disebabkan dekomposisi mikrobial digambarkan sebagai :
23
RH =
LH ZH
(2)
Keterangan LH : luas permukaan loading hipolimnion (g/m2day) ZH : kedalaman rata-rata hipolimnion (m) Hasil perhitungan menunjukkan bahwa laju konsumsi oksigen menjadi lebih kecil per unit volume jika kedalaman hipolimnion meningkat. Di danau-danau meromiktik atau oligomiktik dimana hipolimnion tidak mendapat cukup aerasi atmosfir selama periode pembalikkan , konsentrasi oksigen hipolimnetik pada akhir stagnasi dapat sangat rendah, sama jika RH juga sangat rendah. Jadi, biasanya lebih banyak oksigen di hipolimnion pada perairan yang lebih dalam dibanding yang dangkal dengan produktifitas yang sama (Ryding dan Rast, 1989). Bentuk longitudinal badan air juga mempengaruhi kualitas air.
Sebagai
contoh reservoir yang dibuat dari sungai yang berliku-liku dan floodplain sering menghasilkan badan air yang panjang, sempit dan dendritik, yang menerima mayoritas air dan nutrien dari satu anak sungai.
Akibatnya waduk
memperlihatkan gradien longitudinal kualitas air dan kondisi trofik (Jones dan Novak, 1981; Thorton et al., 1982 dalam Ryding dan Rast,1989). Flushing juga akan mempengaruhi lama nutrien terakumulasi dalam badan air. Jika volume in flow (Q) danau atau waduk sangat tinggi dibanding volume basin (V), fitoplankton dapat tercuci dari badan air sebelum mereka tumbuh melimpah pada tingkat yang mengganggu.
Selanjutnya disebutkan
bahwa
waktu tinggal hydraulik (tw) lebih besar dari tiga hari adalah prasyarat untuk pertumbuhan fitoplankton yang melimpah (Ryding dan Rast, 1989). Disamping itu hidrodinamika air juga akan menentukan sinking fitoplankton di perairan. Stratifikasi Suhu dan Lama Waktu Stagnasi Salah satu sifat air yang istimewa adalah densitas maksimum pada suhu 4oC, jadi pemanasan atau pendinginan akan menyebabkan densitasnya berkurang.
Densitas air meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Dengan
kata lain, densitas yang lebih tinggi ditemukan di dasar dan yang lebih kecil diatas (Cole, 1983).
24
Moss (1998) menyatakan untuk danau-danau tropis dan temperate yang hangat, iklimnya adalah musim kering dan musim basah (hujan).
Distribusi
oksigen di perairan yang mengalami stratifikasi dikendalikan oleh kombinasi dari kondisi daya larut, hidrodinamika,input fotosintesis, dan kehilangan secara kimia dan oksidasi metabolik (Wetzel, 2001). Stratifikasi suhu di tropis mungkin terjadi pada musim panas. Di air tawar suhu kolom air stabil akan menurun dengan bertambahnya kedalaman jika suhu air lebih besar 4oC.
Di kebanyakan bagian samudra suhu
potensial berkurang secara teratur dengan bertambahnya kedalaman. Gambar 7 menunjukkan karakteristik variasi suhu dengan kedalaman di badan air hipotetik. Kolom air karena pemanasan oleh radiasi sehingga suhu tertinggi di permukaan. Ombak dan turbulensi oleh angin menciptakan suhu yang hampir konstan dekat permukaan.
Daerah ini disebut lapisan mixed atau epilimnion.
Kedalaman
lapisan epilimnion dapat sangat bervariasi tergantung kekuatan angin dan stabilitas kolom air. Umumnya di danau lapisan epilimnion hanya beberapa meter atau dalam selama waktu tertentu pada musim panas, tetapi mungkin seratus meter atau lebih dalam pada periode tertentu selama musim gugur atau dingin ketika kolom air tidak stabil. Daerah dimana suhu relatif berubah dengan cepat dibawah lapisan epilimnion disebut termoklin atau metalimnion. Di danau termoklin biasanya beberapa meter tebalnya, tergantung pada kedalaman danau (Goldman dan Horne, 1983).
Dibawah termoklin dimana suhu relatif
konstan disebut hipolimnion. Hipolimnion dapat besar atau kecil. Berkurangnya suhu dengan bertambahnya kedalaman akan stabil di samudra dan beberapa kolom air jika suhu >4oC (Gambar 7).
Gambar 7. Variasi suhu dengan kedalaman di kolom air laut yang secara thermal stabil atau di kolom air tawar dimana suhu ≥ 4oC
25
Selanjutnya pada Gambar 8 menunjukkan variasi suhu dan kedalaman di sistem air tawar yang stabil dimana suhu < 4oC. Pada kasus ini kolom air lebih dingin dari pada diatasnya sehingga suhu yang lebih rendah ditemukan di permukaan.
Kolom air meskipun demikan, stabil karena densitas air tawar
meningkat dengan bertambahnya suhu pada suhu dibawah 4oC (Liaw, 1993). Ketika terjadi stratifikasi suhu musim panas, danau memasuki periode stagnan, di mana air hipolimnion menjadi stagnan selama musim panas dan paling tidak sampai awal musim gugur ( fall overturn) di daerah empat musim.
Gambar 8. Variasi suhu dan kedalaman di sistem air tawar yang secara thermal stabil dimana suhu ≤ 4oC.
Tingkat Eutrofikasi − Produksi Primer Eutrofikasi
adalah
istilah
yang
menggambarkan
penuaan
danau.
Eutrofikasi secara alami terjadi dalam waktu yang panjang. Vollenweider (1968) dalam Landner (1976) menyatakan eutrofikasi adalah pengkayaan nutrien yang dikuti oleh kemunduran kualitas air. Definisi yang paling mendasar membatasi eutrofikasi dalam pengertian pengkayaan badan air dengan nutrien inorganik, khususnya nitrogen dan fosfor. Di perairan eutrof kualitas air buruk, dengan konsentrasi oksigen terlarut yang rendah dan biomassa yang ekstensive. Pada beberapa kasus perairan menjadi saturasi dengan nutrien atau hipertrofik. Pada stadia ini pertumbuhan dibatasi oleh cahaya dan suhu, bukan oleh ketersediaan nutrien.
Sistem
ekologis cenderung menjadi tidak stabil dan secara periodik crash akibatnya danau mengalami anoksia total diikuti kematian biomassa dalam skala besar (Seller dan Markland, 1987).
26
Di danau eutrofik, produksi autochtonous bahan organik meningkat dan vegetasi berakar menempati luas permukaan dengan persentase yang lebih besar, sebahagian menyebabkan laju pengendapan badan air. utama
peningkatan kesuburan
adalah meningkatnya
Hasil yang
biomassa autotrof.
Peningkatan biomassa akan mengakibatkan oksigen super saturasi pada siang hari tetapi pada malam hari karena autototrof dan organisme akuatik lainnya berespirasi maka akan terjadi kekurangan oksigen.
Kelimpahan biomassa
akhirnya akan menyebabkan deplesi oksigen, karena dekomposisi fitoplanton yang mati (bahan organik) membutuhkan oksigen dengan cepat. Laju deplesi oksigen paling besar di musim panas ketika produksi primer mencapai puncak. Tingkat Beban Masukan Bahan Organik Tingkat beban masukan bahan organik akan mempengaruhi keberadaan oksigen terlarut di waduk. Beban masukan yang berasal dari dalam (internal) adalah bahan organik yang dihasilkan oleh waduk itu sendiri. berhubungan dengan proses dekomposisi
Hal ini
dan respirasi bahan organik dan
organisme yang dihasilkan atau dari luar perairan (Landner, 1976). Thornton et al., ( 1990) menyatakan pelepasan musiman nutrien dari tempat penyimpanan ke waduk (contoh sedimen) memberikan pengaruh terhadap status nutrien waduk terutama selama periode ketika input dari sumber eksternal minimal (Cooke et al., 1977 dalam Thornton et al., 1990).
Jadi loading internal
sedimen dihubungkan dengan status tropik, dinamika oksigen dan proses sedimentary. Kayu, sampah hutan dan detritus organik lain membutuhkan suplai oksigen. Kondisi anoksik berkembang segera setelah stratifikasi dan seluruh hipolimnion menunjukkan anoksia selama musim panas.
Meskipun beban
eksternal rendah, konsentrasi nutrien hipolimnetik tinggi selama periode awal, potensial dalam pertukaran bahan terlarut melintasi termoklin mixing.
dengan difusi
Pelepasan dari sedimen anoksik dan mixing turbulen menyebabkan
masuknya nutrien ke permukaan air. Di waduk terstratifikasi yang sangat produktif input baik allochtononus maupun autochtonous mengakibatkan hipolimnion anoksik dan akibatnya peningkatan pelepasan nutrien (Van Dollah dan Anderson, 1991 dan Mallin et al., 2002 dalam Malllin et al., (2006). Selanjutnya loading bahan organik hipolimnion dan sedimentasi danau yang eutrofik meningkatkan konsumsi oksigen terlarut.
27
Akibatnya kandungan oksigen hipolimnion makin lama makin kurang, terutama di daerah basin danau dimana dekomposisi lebih intensif. Cadangan Oksigen Terlarut Hipolimnion Menurut Welch (1952) selama stratifikasi musim panas, epilimnion secara kontinu mendapat oksigen. Oksigen ditambahkan dengan sirkulasi. Suhu udara turun di akhir musim gugur, air epilimnion secara lambat dingin, sehingga meningkatkan kapasitas oksigen sehingga sebelum permulaan fall overturn menunjukkan peningkatan oksigen yang lebih besar.
Epilimnion merupakan
volume yang produktif selama periode stagnasi musim panas. Perubahan yang sangat besar terjadi di hipolimnion. Deposit dasar dan suspensi yang mengandung bahan organik mengalami dekomposisi bahkan pada suhu sangat rendah.
Dekomposisi membutuhkan oksigen terlarut dari
sekitarnya, mengurangi oksigen bahkan sampai hilang. Karena perkembangan musim panas, zona kurang oksigen menyangkut peningkatan volume air yang lebih besar, akhirnya mencapai batas lebih rendah dari termoklin dan seluruh hipolimnion
tanpa
oksigen
terlarut.
Waktu
yang
dibutuhkan
untuk
menyempurnakan hasil ini bervariasi dan tergantung pada volume hipolimnion, suhu air hipolimnion, jenis, jumlah dan distribusi deposit organik dasar, pembusukkan bahan organik yang mati (semua jenis bahan partikulat) yang tenggelam dari air bagian atas, respirasi hewan dan tanaman yang hidup di air yang lebih dalam sampai diusir oleh kekurangan oksigen, bubbling ke permukaan dari gas-gas yang terakumulasi di dasar dan populasi bakteri. Operasional Oksigen Terlarut di Epilimnion − Eufotik Oksigen terlarut di epilimion maksimum, dihubungkan dengan oksigen hasil fotosintesis oleh makrofita di zona litoral dan blooming fitoplankton limnetik waduk. dalam
Waduk menunjukkan tingkat heterogenitas secara spasial
produktifitas
longitudinal,
di zona
dan
kecepatan
biomassa aliran,
ketersedian cahaya dan nutrien. berbeda di waduk (Gambar 9).
fitoplankton
waktu
tinggal,
karena padatan
adanya
gradien
tersuspensi
dan
Secara longitudinal terdapat tiga zona yang
28
Gambar 9. Gradien potongan melintang faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas dan biomassa , kepentingan relatif autochtonous dan allochtonous di sepanjang longitudinal waduk (Kimmel et al., dalam Thornton et al., 1990)
29
Bagian atas waduk adalah zona riverin. Dicirikan oleh aliran yang lebih tinggi, residence time yang lebih pendek, ketersediaan nutrien yang lebih tinggi, suspended solid dan peredupan cahaya. Turbiditas abiogenik sering membatasi penetrasi cahaya dan karenanya membatasi kedalaman lapisan fotik. Meskipun biomassa fitoplankton dan produktifitas per unit volume zone fotik tinggi di zona riverin, kedalaman lapisan mixed (zm) biasanya melebihi lapisan fotik (zp) dan akibatnya, luas produktifitas primer dibatasi oleh cahaya ( Thornton et al., 1990). Zona riverin di waduk Ir. Juanda ada dua, yaitu zona riverin inlet sungai Cilalawi, dan zona riverin inlet sungai Citarum.
Zona transisi dicirikan oleh produktifitas
yang lebih tinggi dan biomassa terjadi dihubungkan dengan peningkatan luas basin, berkurangnya kecepatan aliran, meningkatnya
residence
time,
sedimentasi partikel silt dan clay dekat permukaan air, dan peningkatan penetrasi cahaya. Karena ketersediaan cahaya dan nutrien untuk fotosintesis yang cukup, zona transisi adalah yang paling subur di waduk. Zona transisi di waduk Ir. H. Juanda adalah daerah disekitar KJA
antara inlet Cilalawi dan
genangan utama serta zona transisi antara inlet Citarum dan genangan utama. Zona lakustrin, paling dekat dam, dan biasanya residence time yang lebih panjang, konsentrasi nutrien terlarut yang lebih rendah dan partikel suspensi abiogenik, transparansi yang tinggi, dan lapisan fotik yang lebih dalam. Volumetrik produktifitas fitoplankton berkurang (karena keterbatasan nutrien) selama musim pertumbuhan dan didukung daripada nutrien adveksi
terutama siklus nutrien in situ
(Thornton et al., 1990).
mixed umumnya berkurang ke arah
bawah
Kesuburan relatif lapisan
karena
suplai
nutrien adveksi
berkurang dengan meningkatnya gangguan dari inflow anak sungai dan produksi fitoplankton menjadi lebih tergantung pada regenerasi nutrien in situ. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi terhadap kedalaman perairan. Kandungan oksigen di air juga akan bervariasi selama 24 jam. Pada siang hari, produsen primer berfotosintesis dan hewan berespirasi.
Titik dimana konsumsi
oksigen oleh respirasi sama dengan produksi oleh fotosintesis disebut kedalaman kompensasi (untuk sel tunggal) atau titik kritis (populasi). Diatas kedalaman kompensasi ada peningkatan kandungan oksigen terlarut. Selama malam hari, baik tanaman maupun hewan berespirasi, menyebabkan deplesi oksigen (Gambar 10).
Amplitudo variasi ini proporsional terhadap produktifitas
primer biomassa, dan dapat menyebabkan kondisi anaerobik lewat tengah malam di perairan eutrofik dimana konsentrasi oksigen terlarut rendah.
30
Gambar 10. Variabilitas oksigen terlarut pada dua danau yang berbeda status trofiknya (Reproduksi oleh Gower, 1980, Copyright John Wiley& Sons Ltd. dalam Seller dan Markland, 1987)
Beban Bahan Organik dari KJA Karamba menyangkut sebagian area dari danau atau waduk, biasanya berbentuk jaring apung. Pada awal budidaya, stok berukuran kecil dan pelet yang kaya nutrien ditambahkan dengan interval yang sering.
Ikan tumbuh
dengan cepat dan biasanya diakhir budidaya di panen. Karamba berkembang di banyak negara khususnya di Eropa.
Karena penambahan nutrien yang
dibutuhkan ikan (juga ekskresi dari ikan sendiri)
menyebabkan percepatan
eutrofikasi pada badan air (Ryding dan Rast, 1989).
Pengaruh karamba
terhadap lingkungan telah dipelajari di Swedia. Jumlah penambahan nutrien ke badan air dari karamba jaring apung tergantung pada densitas populasi ikan dalam karamba. Studi di Swedia mengindikasikan bahwa, untuk setiap ton ikan yang dihasilkan, resultante input nutrien ke badan air adalah 85 − 90 kg fosfor dan 12 − 13 kg nitrogen (Ryding dan Rast, 1989). Selanjutnya disebutkan hasil ekskresi disebarkan ke kolom air oleh arus, sedangkan padatan (pakan yang tidak termakan dan feses) jatuh ke bawah atau dasar danau atau waduk. Selama sedimentasi, sebahagian pakan yang tidak dimakan dikonsumsi oleh ikan (Philips et al., 1985; Carss, 1990 dalam Beveridge 1996), sedangkan sebahagian lagi pecah menjadi partikel halus. Jumlah nutrien
31
terlarut yang dilepas tergantung pada komposisi faecal dan pakan yang tidak dimakan,serta sifat-sifat fisik seperti suhu, kedalaman air dan turbulensi (Philips et al., 1985 dalam Beveridge, 1996). Penambahan nitrogen ke badan air dari KJA yang beroperasi di Swedia adalah kira-kira 85% dalam bentuk terlarut, terutama urea dan ammonia dari ekskresi ikan. Sisanya 15% adalah bentuk partikulat, terutama dari pakan yang tidak dimakan. Sebaliknya hanya 15 − 20% input fosfor ke badan air dari KJA yang beroperasi dalam bentuk terlarut. Sisanya dalam bentuk partikulat, yang akan mengendap ke dasar sedimen. Hasil penelitian di Swedia menunjukkan kira-kira 5-10% fosfor yang tersedimentasi diregenerasi ke kolom air karena kondisi anoksik dan proses biologis di dasar perairan (Ryding dan Rast , 1989; Beveridge , 1996). Di waduk Ir. H. Juanda kegiatan KJA menghasilkan nutrien N 84.91% dan P 91.32 %. Selanjutnya pada tahun 1996 jumlah unit KJA yang aktif adalah 764 unit.
Jumlah ikan yang dibudidaya 282 ton dengan jumlah
pakan 3780 ton. Jumlah pakan yang terbuang sekitar 1134 ton (Nastiti, et al., 2001). Hipernutrifikasi (peningkatan konsentrasi nutrien terlarut) sering muncul disekitar karamba perairan tawar, dimana arus rendah dan pengenceran terbatas. Perubahan juga muncul pada oksigen terlarut, BOD, COD, kekeruhan dan kedalaman transparansi. Tingkat eutrofikasi tergantung pada karakteristik badan air, ukuran, sifat dan manajemen karamba. Oksigen Terlarut Hipolimnion Laju kehilangan oksigen dari hipolimnion selama stratifikasi musim panas tidak hanya dengan kedalaman, sehingga mengurangi volume hipolimnion, tetapi juga dengan waktu selama periode stratifikasi. Perbedaan jumlah oksigen pada permulaan,selama dan di akhir stratifikasi pada kedalaman dibawahnya disebut defisit oksigen. Dalam bentuk yang paling sederhana, jumlah oksigen defisit berhubungan dengan zona trofogenik. Strata dangkal dengan produksi fotosintesa menonjol, yang mendasari zona trofolitik, strata afotik yang dalam di mana dekomposisi bahan organik dominan. Karena itu jumlah bahan organik yang disintesa di zona trophogenik dan didekomposisi di zona trofolitik direfleksikan dalam laju pemakaian oksigen hipolimnion (Wetzel, 2001).
32
Menurut Wetzel dan Liken (1991) yang dimaksud dengan defisit oksigen adalah perbedaan stratifikasi.
jumlah oksigen yang ada pada awal dan akhir periode
Prinsip dasarnya adalah menghitung jumlah total oksigen di
hipolimnion pada dua waktu yang berbeda (awal dan akhir stratifikasi). Ada beberapa pengertian defisit oksigen. Cole (1983) menyatakan defisit oksigen relatif adalah jika membandingkan kandungan oksigen dengan jumlah oksigen diakhir pembalikkan musim semi ketika konsentrasi oksigen di kolom air sama.
Selanjutnya defisit absolut adalah jika membandingkan kandungan
oksigen dengan kandungan oksigen saat saturasi pada suhu 4oC hypolimnetik areal defisit adalah
sedangkan
dengan menggunakan data volume dan
kandungan saturasi secara teori, akan di peroleh kandungan O2 total yang ada selama sirkulasi musim semi, atau pada saturasi
4oC.
Perbedaan antara
kandungan saat saturasi dan kandungan aktual musim panas dibagi luasan hipolimnion disebut hypolimnetik areal defisit. Defisit oksigen di areal hipolimnetik sejumlah danau mengindikasikan bahwa (1) defisit berkorelasi positif dengan produkitifitas primer fitoplankton (2) secara proporsional defisit berkebalikan dengan transparansi epilimnion (3) danau dengan konsentrasi total fosfor yang lebih tinggi memiliki defisit oksigen yang lebih tinggi pula (4) defisit lebih besar di danau dengan suhu rata-rata hipolimnetik musim panas lebih tinggi (5) defisit oksigen lebih besar di danaudanau dengan kedalaman rata-rata hipolimnetik yang ketebalannya lebih besar. Korelasi terakhir bahwa danau dengan hipolimnion yang lebih tebal memiliki defisit oksigen yang lebih besar dari pada danau dengan hipolimnion yang dangkal (Wetzel, 2001). Gliwicz (1979) dalam Wetzel (2001) mengemukakan analisis bahwa gradien vertikal yang lebih tajam dari suhu perairan di metalimnion (resistensi suhu untuk pengadukan lebih besar), kecepatan sinking partikel organik yang tersedimentasi akan lebih lambat di metalimnion. seston yang tersedimentasi
Akibatnya sebagian besar
dicegah dari epilimnion dan metalimnion yang
turbulen tetapi waktu tinggal nutrien di epilimnion diperpanjang
dengan
pelepasan dari dekomposisi parsial. Jadi, hypolimnetic relative oxygen deficits lebih rendah di danau-danau dengan stratifikasi suhu metalimnetik yang tajam. Produktivitas epilimnetik lebih besar dan konsumsi oksidasi respiratory sebahagian besar sempurna sebelum bahan organik sampai di hipolimnion. Disamping hal tersebut laju deplesi oksigen hipolimnion (HODR) juga
33
dipengaruhi oleh blooming autotrof.
Blooming pada musim panas akan
menghasilkan oksigen supersaturasi pada siang hari dan defisit pada malam hari karena disamping menghasilkan oksigen fitoplankton juga menggunakannya untuk respirasi malam hari. Selain itu pembusukkan yang cepat dari flora litoral yang melimpah atau fitoplankton akan menyebabkan berkurangnya konsentrasi oksigen di danau yang kecil dan dangkal, karena kematian banyak hewan (summer kill).
Selanjutnya disebut bahwa beban bahan organik di hipolimnion
dan sedimentasi di danau-danau eutrofik akan meningkatkan konsumsi oksigen terlarut. Akibatnya kandungan oksigen di hipolimnion makin berkurang selama periode stratifikasi musim panas, biasanya konsentrasi DO dengan sangat cepat berkurang pada kedalaman yang lebih dalam di mana volume
lapisan yang
diekspose terhadap dekomposisi yang intensif di permukaan sedimen kecil.