2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tipologi Waduk Cirata Waduk merupakan tempat menampung air yang umumnya dibentuk dari sungai atau rawa dengan tujuan tertentu. Dan biasanya waduk memiliki drainase basin, kedalaman rata-rata, kedalaman maksimum, luas beban perairan yang lebih besar dibanding danau, tetapi dengan waktu tinggal yang lebih pendek dibanding danau (Ryding dan Rast, 1989). Selanjutnya Ilyas et al. (1990) menegaskan, waduk merupakan badan air yang karakteristik fisika, kimia dan biologinya berbeda dari sungai yang dibendung. Dari kualitas airnya, waduk lebih stabil dibandingkan dengan sungai asalnya dan waduk dibuat dan diciptakan oleh manusia untuk tujuan tertentu. Waduk
menunjukkan
tingkat heterogenitas secara spasial dalam
produktifitas dan biomassa fitoplankton karena adanya gradient longitudinal, kecepatan aliran, waktu tinggal, padatan tersuspensi dan ketersediaan cahaya dan nutrient. Secara longitudinal terdapat tiga zona yang berbeda di waduk (Gambar 2). Waduk Cirata merupakan waduk yang berada ditengah-tengah DAS Citarum dan mendapatkan sumber air dari daerah aliran sungai Citarum. Berdasarkan karakteristik, Waduk Cirata berada 200 m dan waduk ini selesai dibangun pada tahun 1988. Volume air pada waktu normal sekitar 2.160.000.000 m3, dengan luas permukaan 6.200 ha, kedalaman rata-rata 34,9 m, status kesuburan mesotrophic hingga Eutrophic, pola pencampuran massa air Oligomictic (rare) (Prihadi, 2004). Selanjutnya Prihadi (2005) mengatakan, waduk ini mulai dioperasikan pada tahun 1988 dengan luasan waduk saat dioperasikan pertama kali adalah 6.200 ha. Kondisi Waduk Cirata pada saat ini telah mengalami degradasi yang sangat serius. Luasan waduk yang makin lama semakin sempit dengan kedalaman air yang makin berkurang, karena Waduk Cirata dimanfaatkan untuk melakukan budidaya ikan dalam KJA. Dari hasil pengamatan di lapang kondisi tersebut banyak berubah, seperti kedalaman rata-rata sepanjang tahun 2003 menurun menjadi 26,3 m terlebih lagi pada bulan Agustus-September kedalaman rata-rata
5
mencapai 20,7 m. Hal ini disebabkan kemarau yang berkepanjangan, sehingga volume air berkurang hingga 30% dari keadaan normal sebelumnya. Pada tahun 2009 jumlah KJA di Waduk Cirata mencapai 51.838 unit KJA (BPWC, 2009), hal ini merupakan jumlah yang sudah melebihi kapasitas yang maksimal sekitar 10 ribuan unit. Akibat dari jumlah yang melebihi dari kapasitas asimilasi berdampak kepada data kualitas air (Tabel 1). Menurut hasil analisis, limbah pakan yang terdapat di Waduk Cirata berdasarkan kaedah Yap dalam Prihadi (2002) adalah limbah pakan yang berada di dasar perairan waduk akibat kegiatan perikanan budidaya sebanyak 279.121 ton, artinya jika luas permukaan 6.200 ha sedangkan luas permukaan kegiatan keramba jaring apung sekitar 158– 198 ha, dari perhitungan ini maka ketinggian limbah pakan sekitar 2 meter. Banyaknya pakan yang berada di dasar perairan tersebut sangat memungkinkan karena tingkat purifikasi air tidak mampu lagi bekerja untuk mensucikan dari limbah organik tersebut, sehingga usaha restorasi waduk perlu dilakukan segera. Tabel 1. Data kualitas air perairan Waduk Cirata pada tahun 2003 Oksigen tertarut (mg/l) Kandungan bahan organik KMnO4 NO3 (nitrate) (ml/l) Alkalinitas (mg CaCO3/l) NH4 (amonia) (ml/l) NO2 (nitric) (ml/l) Total P (fosfor) (ml/l) PO4 (fosfat) (ml/l) Mg (magnesium) Hg (air raksa) (mg/l) Pb (plumbum) Zn2+ Mn (mg/l) Cr Fe Cu Cd mg/L Keasaman (pH) Kecerahan air (cm) Sumber : Prihadi (2004) Keterangan : Nilai rata-rata dan Standar Deviasi
6,5–8,5 (7,3 ± 0,1) 5–64 0,139–1,819 (0,762 ± 0,072) 19,89–48,63 (34,36 ± 0,9) 0,139–4,816 (2,752 ± 0,072) 0,062 3,490 (2,66 ± 0,59) 0,254–1,108 (0,721 ± 0,024) 0,1114 0,996 (0,560±0,024) 32,00 84,00 (59,18 ± 2,24) 0,002–0,018 0,01–0,310 0,02– 0,316 0,06–0,48 0,025–0,63 0,05–3,24 0,00–0,02 0,007–0,012 6,3–8,5 6 0 –1 3 0 (100±8)
6
Gambar 2. Gradien potongan melintang faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas dan biomassa, kepentingan relative autochtonous dan allochtonous di sepanjang longitudinal waduk (Kimmel et al., dalam Thornton et al. 1990; Simarmata, 2007)
Perkembangan KJA di Waduk Cirata terbilang sangat cepat, (Garno & Adibroto, 1999 dalam Prihadi, 2005) mencatat pada tahun 1999 terdapat 27.786 KJA dengan produksi ikan 25.114 ton. KJA menutupi 136 ha atau 2,2% permukaan waduk dan sisa-sisa pakan yang tertampung di dalam waduk ada sekitar 198,376 ton (8,667 ton N dan 1,239 ton P) sedangkan pada tahun 2003 penulis mencatat sebanyak 38.276 unit KJA, sehingga sisa pakan yang berada di dasar waduk adalah sebesar 279.121 ton. Jumlah karamba ini sudah menutupi permukaan Waduk Cirata sebesar 15%–20%.
2.2 Bahan Organik Menurut Ryding dan Rast (1989), sumber bahan organik di dalam perairan berasal dari eksternal (allochtonous) maupun internal (autochtonous). Bahan organik allochtonous merupakan bahan organik yang berasal dari perairan itu sendiri, dapat berupa neuston. Neuston terdiri dari produsen primer dan consumer.
7
Sumber eksternal dapat berupa run off permukaan, agricultural dan forest drainage, atmosfir, buangan domestik dan buangan dari limbah industri (Vollenweider, 1986 dan Ahl, 1973 dalam Landner, 1976). Jumlah bahan organik di kolom air umumnya lebih rendah dibandingkan di tanah. Beban masukan internal merupakan bahan organik yang dihasilkan oleh sirkulasi nutrient di perairan (waduk) (Silvey dan Roach, 1964 dalam Landner, 1976). Waduk yang didalamnya terdapat kegiatan budidaya ikan dalam KJA dengan teknik budidaya secara intensif, pakan yang tersisa banyak mengandung fosfor, sulfat dan nitrogen, sehingga dengan adanya sisa pakan ini akan mempercepat terjadinya proses eutrofikasi diperairan tersebut. Ryding dan Rast (1989) mengatakan, jumlah penambahan nutrien ke badan air dari karamba jaring apung tergantung pada densitas populasi ikan dalam karamba. Studi Swedia mengindikasikan bahwa, untuk setiap ton ikan yang dihasilkan, resultante input ke badan nutrien adalah 85–90 kg fosfor dan 12–13 kg nitrogen. Selanjutnya Beveridge (1996) menyatakan hasil ekskresi disebarkan ke kolom air oleh arus, sedangkan padatan (pakan yang tidak termakan dan feses) jatuh ke bawah atau dasar waduk atau danau. Selama sedimentasi, sebagian pakan yang tidak dimakan dikonsumsi oleh ikan, sedangkan sebagian lagi pecah menjadi partikel halus. Jumlah nutrien terlarut yang dilepas tergantung pada komposisi faecal dan pakan yang tidak dimakan, serta sifat-sifat fisik seperti suhu, kedalaman air dan turbelensi. Penambahan nitrogen ke badan air dari KJA yang beroperasi kira-kira 85% dalam bentuk terlarut, terutama ammonia dan urea dari ekskresi ikan. Sisanya 15% berbentuk partikulat, terutama dari pakan yang tidak termakan. Sebaliknya 15–20% input fosfor ke badan air dari KJA yang beroperasi dalam bentuk terlarut. Sisanya dalam bentuk partikulat, yang akan mengendap ke dasar sedimen. Hasil penelitian di Swedia menunjukkan kira-kira 5%–10% fosfor yang tersedimentasi diregenerasi ke kolom air karena kondisi anoksik dan proses biologis di dasar perairan (Ryding dan Rast, 1989 ; Beveridge, 1996) Bahan organik di ekosistem perairan berada dalam bentuk senyawa organik terlarut sampai bahan organik partikulat (POM) dalam agregat besar, serta dari organisme hidup yang mati. Metabolisme bahan organik dan interaksi materi
8
ini secara kimia dan biologis sangat ditentukan oleh ukuran bahan organik tersebut. Hanya sedikit bahan organik terlarut yang secara langsung digunakan oleh organisme akuatik, sedangkan bentuk partikulat adalah sumber makanan yang utama (Wetzel dan Likens, 1991). Menurut
Simarmata
(2007)
dekomposisi
bahan
organik
terlarut
menghasilkan produk akhir berupa gas, bahan organik partikulat yang harus dikonversi secara enzimatik oleh mikroflora tertentu. Proses dekomposisi adalah proses yang kontinu, tetapi lajunya bervariasi tergantung jumlah substrat variabel lingkungan (Wetzel dan Likens, 1991). Selanjutnya Simarmata (2007) mengatakan, laju relatif komposisi k, adalah jumlah detrial karbon yang dimetabolis per unit waktu. Dekomposisi bahan organik terlarut menghasilkan produk akhir berupa gas, bahan organik partikulat yang harus dikonversi secara enzimatik oleh mikroflora tertentu. Dekomposisi yang sempurna menghasilkan konversi produk organik dari fotosintesis. Simarmata (2007) mengatakan, hipernutrifikasi (peningkatan konsentrasi nutrien terlarut) sering muncul disekitar karamba perairan tawar, dimana arus rendah dan pengenceran terbatas. Perubahan juga muncul pada oksigen terlarut, BOD, COD, kekeruhan dan kedalaman transparansi. Tingkat eutrofikasi tergantung pada karakteristik badan air, ukuran, sifat dan manajemen keramba. Pada proses eutrofikasi ini seringkali diikuti blooming algae. Algae ini seringkali menghasilkan berbagai macam bahan yang toksik yang dapat mematikan hewanhewan yang ada diperairan tersebut (Gorham dan Carmichael, 1980). Menurut Wetzel dan Liken (1991) yang dimaksud dengan defisit oksigen adalah perbedaan jumlah oksigen yang ada pada awal dan akhir periode stratifikasi. Prinsip dasarnya adalah menghitung jumlah total oksigen di hipolimnion pada dua waktu yang berbeda (awal dan akhir stratifikasi). Selanjutnya Cole (1988) menyatakan defisit oksigen relatif adalah jika membandingkan kandungan oksigen dengan jumlah oksigen di akhir pembalikkan musim semi ketika konsentrasi oksigen di kolom air sama. Selanjutnya defisit absolut adalah jika membandingkan kandungan oksigen dengan kandungan oksigen saat saturasi pada suhu 4°C sedangkan hypolimnetik areal defisit adalah dengan menggunakan data volume dan kandungan saturasi secara teori akan di
9
peroleh kandungan O2 total yang ada selama sirkulasi musim semi, atau pada saturasi 4°C. Perbedaan antara kandungan saat saturasi dan kandungan aktual musim panas dibagi luasan hipolimniondisebut hypofimnetik areal defisit. Difisit oksigen di areal hipolimnetik sejumlah danau mengindikasikan bahwa : (1) defisit berkorelasi positif dengan produkitifitas primer fitoplankton (2) Secara proporsional defisit berkebalikan dengan transparansi epilimnion (3) danau dengan kosentrasi total fosfor yang lebih tinggi memiliki defisit oksigen yang lebih tinggi pula (4) defisit lebih besar di danau dengan suhu rata-rata hipolimnetik musim panas lebih tinggi (5) defisit oksigen lebih besar di danau-danau dengan kedalaman rata-rata hipolimnetik yang ketebalannya lebih besar. Korelasi terakhir bahwa danau dengan hipolimnion yang lebih tebal memiliki defisit oksigen yang lebih besar dari pada danau dengan hipolimnion yang dangkal (Wetzel, 2001; Simarmata, 2007). 2.3 Dekomposisi Anaerobik Revsbech et al. (1980) dalam Killops dan Killops (1993) mengatakan, jumlah bahan organik di sedimen mempengaruhi keseimbangan antara laju konsumsi oksigen selama degradasi aerobik dan laju difusi oksigen ke dalam sedimentasi air pore dari kolom air overlaying. Oksigenasi terbatas hanya sampai beberapa mm bagian atas sedimen butiran halus, meskipun penetrasi oksigen dapat lebih jauh beberapa cm akibat bioturbasi. Jika konsentrasi oksigen turun dalam sedimen dan kondisi menjadi disaerobik, bioturasi terhenti. Selanjutnya Gunnison et al. (1985) mengatakan, respirasi anaerobik dapat didefinisikan sebagai reaksi biologi dimana oksidasi senyawa inorganik sebagai akseptor elektron, aktivitas ini sejalan dengan energi oksidasi dari senyawa organik atau inorganik. Reduksi senyawa organik, mengikuti langkah sesuai dengan prediksi thermodinamika. Pertama hampir semua oksigen terlarut dikonsumsi, bakteria anaerobik fakultatif akan berperan, dan nitrit mulai berkurang. Ketika nitrat habis, mangan oksida akan direduksi, selanjutnya besi oksida, lalu sulfat. Sama halnya pada anaerob obligat, bakteri ini juga mencakup anaerob fakultatif (bakteri yang biasanya aerobik tetapi dapat berfungsi pada kondisi anaerob). Pada kondisi tidak ada oksigen bakteri anaerob mengoksidasi bahan organik dengan menggunakan berbagai agen oksidasi (akseptor terminal
10
elektron) : manganase (IV), nitrat, besi (III), sulfat dan bikarbonat. Proses ini melepas sedikit energi ke dekomposer dibanding degradasi aerobik dari bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Agen oksidasi degradasi anaerobik cenderung digunakan karena berkurangnya energi yang kembali. Beberapa bakteri (Clostridium, anaerob obligat, Bacillus, anaerob fakultatif) memecah komponen makromolekular detritus menjadi molekul yang lebih sederhana dengan hidrolisis dan proses fermentasi. Produk ini adalah substrat untuk bakteri anaerobik yang menyempurnakan mineralisasi bahan organik (Simarmata, 2007). Reduksi mikrobial nitrat dibagi menjadi dua kategori asimilator dan dissimilatori. Produk asimilatori reduksi nitrat adalah NH4+ yang dalam
bergabung
sel (Payne, 1973 dalam Gunnison et al. 1985; Simarmata, 2007).
Dissimilatori reduksi NO3- menjadi NH4+ telah dibuktikan penting di air laut maupun air tawar. Pada dissimilator NO3- menjadi NH4+, hasil reduksi dilepas dan dihasilkan energi. Organisme yang membawa dissimilatori NO3- menjadi NH4+ tidak di data, tetapi Sorensen (1978) dalam Gunnison et al. (1985) dan Simarmata (2007) mengindikasi bahwa Clostridium perfringens dan Paracoccus denitrificans mampu dalam proses ini. Reduksi sulfat menjadi penting jika nitrat terdeplesi; hasilnya CO2, H20 dan H2S. Pereduksi sulfat (Desulfovibrio, Desulfobacter) adalah anaerob obligat. Kedalaman zona reduksi sulfat tergantung pada jumlah bahan organik yang ada; tetapi dapat menempati beberapa meter di sedimen pelagik dengan kandungan organik yang lebih rendah. Methanogen (Methanobacillus, Methanococcus) juga anaerob obligat dan mensintesa methan dari produk fermentasi terkecil. Karbondioksida dan hydrogen adalah subtrat yang penting, tetapi beberapa species dapat menggunakan senyawa sederhana selain C, (contoh methanol dan formate) atau C1 yang telah siap (methylated amine). Sedimen air tawar terdiri dari 70% methane hasil dari penggunaan asetat, sisanya terdiri dari CO2 dan H2 (Simarmata, 2007). Menurut Prihadi (2005) dalam keadaan anaerobik, yakni konsentrasi oksigen rendah atau bahkan tidak terdeteksi, maka mikroorganisme aerobik tidak dapat berkembangbiak, tetapi sebaliknya karena tidak adanya oksigen, maka organisme yang bersifat anaerobik akan aktif memecah bahan tersebut secara anaerob. Hasil dari penguraian secara anaerobik dapat dilihat pada Tabel 2.
11
Tabel 2. Bentuk senyawa hasil oksidasi bahan-bahan organik pada kondisi aerobik dan anaerobik. Kondisi Aerobik
Kondisi Anaerobik
C
CO2
C
CH4
N
NH3 + HNO3
N
NH3 + Amin
S
H2SO4
S
H2S
P
H3PO4
P
PO3
Sumber : Fardiaz (1992)
Dari Tabel 2 terlihat bahwa hasil penguraian senyawa yang mengandung karbon dalam kondisi anaerob adalah gas metana, dari senyawa yang mengandung nitrogen adalah ammonia dan amin, dari senyawa yang mengandung sulfur terbentuk gas H2S yang berbau busuk, dan dari senyawa yang mengandung fosfor akan terbentuk komponen fosfor yang mempunyai bau yang menyengat seperti bau anyir (Prihadi, 2005).
2.4
Ketersediaan Oksigen Terlarut Kelarutan oksigen di perairan dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas
dan salinitas (Boyd dan Licthkoppler, 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa sumber oksigen di kolam berasal dari fotosintesis dan respirasi phytoplankton, difusi dari udara, dan interflow (Simarmata, 2007).
2.4.1 Fotosintesis dan Respirasi Fitoplankton Oksigen terlarut merupakan salah satu komponen utama dari daya dukung lingkungan yang dihasilkan dari proses fotosintesis fitoplankton dan makrofita. Banyaknya oksigen terlarut diperairan merupakan salah satu parameter kualitas air yang paling mendasar untuk kehidupan organisme akuatik (Alabaster dan Llyod, 1980 dalam Hamilton dan Schladow, 1994) dan perubahan kimia di sedimentinterfase (Mortimer, 1971, Bostrim et al., dalam Hamilton dan Schladow, 1994; Simarmata, 2007). Oksigen yang terlarut dalam air pada umumnya berasal dari hasil fotosintesis jasad autotrof yang ada dalam air seperti fitoplankton dan tumbuhan air yang hidup di dalam perairan (APHA, 1989). Seller dan Markland (1987) juga
12
mengatakan, fotosintesis menghasilkan oksigen, yang merupakan input utama di perairan yang subur. Thornton et al. (1990) menegaskan bahwa, fotosintesis bertanggungjawab terhadap pulse oksigen di epilimnion waduk. Umumnya konsentrasi oksigen saat permulaan fajar rendah, lalu tinggi pada siang hari kemudian secara kontinu berkurang sepanjang malam karena kebutuhan respirasi komunitas. Perubahan oksigen terlarut lebih umum dekat zona riverine dibanding lakustrin, kecuali di teluk yang besar, dimana tanaman litoral dan blooming fitoplankton sering terjadi (Simarmata, 2007). Oksigen terlarut merupakan zat yang paling penting dalam system kehidupan di perairan, dalam hal ini berperan dalam proses metabolisme oleh makro dn mikroorganisme yang memanfaatkan bahan organik yang berasal dari hasil fotosintesis. Selain itu juga mempunyai peranan yang
penting dalam
penguraian bahan-bahan organik oleh berbagai jenis mikroorganisme yang bersifat aerobik (APHA, 1989), sehingga jika ketersediaan oksigen tidak mencukupi akan megakibatkan lingkungan perairan dan kehidupan dalam perairan menjadi terganggu, sekaligus akan menurunkan kualitas air (Prihadi, 2005). Kebutuhan oksigen bagi ikan mempunyai dua aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang bergantung kepada keadaan metabolisme ikan. Perbedaan kebutuhan okesigen dalam suatu lingkungan bagi spesies ikan tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan struktur molekul sel darah ikan yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah. Ikan memerlukan oksigen guna pertumbuhan, reproduksi (Zonneveld et al., 1991) dan maintenance (Beveridge, 1996). Kebutuhan oksigen bagi ikan bervariasi bergantung kepada jenis ikan, umur dan ukuran ikan. Selain faktor diatas, kebutuhan oksigen juga bergantung kepada faktor lingkungan, seperti temperatur (Beveridge, 1996). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, bila kelarutan oksigen diperairan
tidak
sesuai
dengan
kebutuhan,
maka
akan
mempengaruhi
pertumbuhan, konversi pakan dan kesehatan ikan. Selanjutnya Stickney (2000) dan Wardoyo (1981) juga menyatakan kelarutan oksigen dalam perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain suhu air, salinitas, dan ketinggian lokasi (altitude). Oksigen terlarut akan menurun
13
konsentrasinya dalam air jika suhu air, salinitas, dan ketinggian meningkat, dan sebaliknya. Dan untuk kegiatan budidaya ikan yang komersial memerlukan konsentrasi oksigen dalam air lebih besar atau sama dengan 5 mg/L. Menurut Cholik et al. (1986) dan Sunarti (1992), bila konsentrasi oksigen terlarut tetap sebesar 3 atau 4 mg/L untuk jangka waktu lama maka ikan akan menghentikan aktivitasnya dan pertumbuhan akan berhenti. Kadar oksigen terlarut dalam air juga bisa dijadikan indikator untuk melihat pencemaran yang terjadi pada suatu perairan yakni kandungan oksigen dalam perairan melebihi dari 5 mg/L mengandung arti bahwa perairan tersebut tercemar ringan, jika kandungannya 2–5 mg/L berarti tercemar sedang dan 0–2 mg/L berarti perairan tersebut tercemar berat. Fotosintesis terjadi di zona fotik, tetapi respirasi terjadi dimana saja di dalam perairan (diseluruh kolom air bahkan sampai ke dasar perairan), sehingga hasil bersihnya adalah permukaan air cenderung kaya akan oksigen terlarut, dan berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Seller dan Markland, 1990; Simarmata, 2007) 2.4.2 Difusi Menurut Simarmata (2007) sumber oksigen terlarut di perairan yang utama adalah difusi udara. Laju transfer oksigen tergantung pada konsentrasi oksigen terlarut di lapisan permukaan, konsentrasi saturasi oksigen, dan bervariasi sesuai kecepatan angin (Seller dan Markland, 1987). Selanjutnya Welch (1952) dalam Simarmata (2007), adsorpsi oksigen dari udara ke air melalui dua cara yaitu difusi langsung ke permukaan air atau melalui berbagai bentuk agitasi air permukaan, seperti gelombang, air terjun, dan turbulensi. Seller dan Markland (1987) mengatakan, reaerasi permukaan merupakan salah satu sumber oksigen terlarut. Reaerasi permukaan di danau atau waduk dipengaruhi oleh angin topan yang sangat kuat, menghasilkan gelombang permukaan dan gelombang internal serta arus horizontal yang kuat. Gelombang permukaan terlihat jelas, sedangkan gelombang internal terjadi di termoklin (Gambar 3).
14
Gambar 3. Gabungan diagram gaya (angin, gravitasi, evaporasi dan rotasi bumi) dan resultante arus air dan gelombang. Angin memindahkan air, gravitasi membuat aliran horizontal lebih mudah daripada vertikal, evaporasi mendinginkan permukaan air yang kemudian tenggelam, dan rotasi bumi memindahkan aliran permukaan ke kiri (dibelahan bumi utara) dan ke kanan di belahan bumi selatan (Goldman dan Horne, 1983 dalam Simarmata, 2007).
Pengadukan vertikal seperti halnya aliran horizontal disebabkan oleh angin dipermukaan. Spiral ekman dapat dianggap sebagai bagian dari gerakan air dengan berbagai kecepatan dan arah yang berbeda. Kontak diantara bagian-bagian tersebut menyebabkan perpindahan vertikal massa air dan menghasilkan pengadukan
diantara
masing-masing
bagian
tersebut.
Spiral
Langmuir
menyebabkan energi untuk pengadukan menjadi lebih terkendali dengan panjang gelombang kira-kira sama dengan kedalaman termoklin. Pada waktu tertentu evaporative cooling merupakan tenaga utama penyebab pengadukan vertikal. Pada Gambar 4 menunjukkan pergerakan air di danau baik vertikal maupun horizontal yang mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut di danau (Wetzel, 2001).
2.4.3
Susupan Oksigen Terlarut (Interflow) Inflow dapat menyebabkan terjadinya susupan oksigen terlarut ke badan
air. Residence time tahunan rata-rata tidak dapat digunakan sebagai alat ukur yang
15
tepat mengenai pengaruh inflow pada pengadukan waduk. Jika densitas inflow berbeda dengan densitas air permukaan, maka inflow masuk dan bergerak di waduk sebagai arus densitas (Simarmata, 2007). Bell (1942) dalam Thornton et al., (1990) mendefinisikan arus densitas sebagai aliran gravitasi dari cairan atau gas, dibawah atau diatas aliran fluida yang densitasnya hampir sama. Selanjutnya Simarmata (2007) mengatakan, densitas dapat disebabkan oleh suhu, total dissolved solid dan suspended solid. Di waduk perbedaan densitas terutama disebabkan oleh suhu. Arus densitas masuk ke epilimnion, metalimnion atau hipolimnion tergantung pada perbedaan densitas antara inflow dan waduk (Gambar 4). Jika densitas inflow lebih kecil dari pada permukaan maka inflow akan berada diatas (overflow).
Gambar 4. Inflow densitas ke waduk (Ford and Johnson dalam Thornton et al., 1990).
2.5
Kualitas Air Pada dasarnya kualitas lingkungan perairan (kualitas air) yang terdapat di
suatu perairan akan mempengaruhi kehidupan komunitas biota yang hidup dalam ekosistem perairan tersebut.
16
2.5.1
BOD BOD (Biological Oxygen Demand) adalah banyaknya oksigen yang
diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik. Pada analisis BOD, lama waktu inkubasinya bisa beraneka ragam, namun masa inkubasi yang paling umum adalah lima hari, sehingga diberi istilah BOD. Nilai BOD merupakan parameter yang menunjukkan besarnya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik dalam proses dekomposisi secara biokimia (Boyd, 1981), dengan demikian maka BOD merupakan ukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air dalam waktu lima hari (APHA, 1989 ; Prihadi, 2005). Lama waktu mikroba untuk melakukan dekomposisi sampai mencapai stablitas sempuma tergantung dari keadaan alami substrat dan kemampuan hidup organisme. Dengan demikian maka BOD hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Nilai BOD suatu perairan dipengaruhi faktor-faktor lain yang ada di lingkungannya, yakni suhu, densitas plankton, keberadaan mikroba serta jenis dan kandungan bahan organik. Pada perairan alami yang belum terlalu banyak campur tangan manusia, sumber bahan organik yang masuk ke dalam perairan berasal dari pembusukan tanaman, sehingga nilai BOD-nya rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Jeffries dan Mills (1996) yang mengatakan bahwa perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5–7,0 mg/l. Perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran. Berdasarkan nilai BOD, maka suatu perairan bisa dikategorikan kualitas airnya menjadi perairan tidak tercemar atau tercemar ringan jika mempunyai BOD kurang dari 3 ppm; perairan diklasifikasikan sebagai perairan tercemar ringan jika mempunyai nilai BOD 3–4,9 ppm. Perairan tercemar sedang mempunyai BOD 5,0–15,0 ppm serta perairan yang mempunyai BOD lebih dari 15 ppm dikategorikan pada perairan tercemar berat (Lee, Wang dan Quo, 1978 dalam Prihadi, 2005).
17
2.5.2 Nitrit, Nitrat, Amonia Amonia merupakan salah satu bentuk nitrogen anorganik yang memiliki sifat mudah larut dalam air. Sumber utama senyawa amonia berasal dari sisa pakan yang tidak terkonversi dan kotoran organisme akuatik. Amonia diperairan berada dalam dua bentuk yaitu bentuk ion yang tidak bersifat racun (NH4+) dan bentuk gas (non ionic) yang bersifat racun (NH3) (Ciaccio, 1972). Nitrogen dalam bentuk nitrit adalah bentuk antara nitrat dan amonia, baik dalam proses oksidasi amonia menjadi nitrat maupun dalam proses reduksi nitrat menjadi nitrit, Nitrat pada umumnya merupakan nitrogen anorganik yang terbanyak di ekosistem perairan (APHA, 1989). Nitrogen merupakan gas yang jumlahnya paling banyak di atmosfer, yakni mencapai 78 % dari total gas yang ada di atmiosfer. Oleh karena itu maka sebagian besar nitrogen (N2) yang berada dalam suatu perairan berasal dari difusi udara nitrogen dari udara (atmosfir). Tumbuhan jenis tertentu dapat memfiksasi secara langsung nitrogen dari udara bebas dan kilat pada waktu hujan, sehingga membentuk nitrik oksida (NO), yang akan teroksidasi lebih lanjut membentuk NO3- dan pada akhirnya akan terbawa ke perairan, dengan reaksi : 1 . N2 (g) + O2 (g)
2NO (g)
2. 2NO (g) + O2 (g)
2NO2 (g)
3. 3NO2 + H2O
2H+ + 2NO3- + NO
Jika nitrogen dalam perairan ada dalam bentuk ammonia ataupun ammonium, maka senyawa ini tetap dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik, senyawa tersebut mengalami proses nitrifikasi membentuk nitrat yang pada akhirnya juga akan dimanfaatkan oleh jasad autotrof dalam air. Menurut Effendi (2007) proses pembentukan nitrat (nitrifikasi) terjadi dua tahap, yakni : 1. NH4+ + 1½O2
NO2- + 2H+ + H2O, dan
2. NO2- + ½ O2
NO3-
Amonia yang tinggi akan mempengaruhi permeabilitas ikan terhadap air dan menurunkan konsentrasi ion dalam tubuh, sehingga meningkatkan konsumsi
18
oksigen pada jaringan dan mengakibatkan kerusakan pada insang serta mengurangi kemampuan darah dalam mentransportasikan oksigen (Boyd, 1982).
2.5.3 Oksigen Terlarut (DO) Kelarutan oksigen merupakan salah satu faktor kualitas air yang paling kritis dalam budi daya ikan di kolam, sehingga goncangan oksigen sedikit saja langsung dapat dirasakan oleh ikan. Kelarutan oksigen di perairan dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas dan salinitas (Boyd dan Licthkoppler, 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa sumber oksigen di kolam berasal dari fotosintesis phytoplankton dan difusi dari udara, sedangkan penyebab utama berkurangnya kelarutan oksigen adalah karena respirasi plankton, respirasi ikan, respirasi organisme dasar dan difusi ke udara. Oksigen terlarut merupakan salah satu komponen utama dari daya dukung lingkungan yang dihasilkan dari proses fotosintesis fitoplankton dan makrofita. Banyaknya oksigen terlarut dalam kolam merupakan salah satu parameter kualitas air yang paling peka untuk kehidupan ikan. Menurut Cholik et al. (1986) dan Sunarti (1992), bila konsentrasi oksigen terlarut tetap sebesar 3 atau 4 mg/L untuk jangka waktu lama maka ikan akan menghentikan aktivitasnya dan pertumbuhan akan berhenti. Kebutuhan oksigen bagi ikan mempunyai dua aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang bergantung kepada keadaan metabolisme ikan. Perbedaan kebutuhan okesigen dalam suatu lingkungan bagi spesies ikan tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan struktur molekul sel darah ikan yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah. Ikan memerlukan oksigen guna pertumbuhan, reproduksi (Zonneveld et al., 1991) dan maintenance (Beveridge, 1996). Kebutuhan oksigen bagi ikan bervariasi bergantung kepada jenis ikan, umur dan ukuran ikan. Selain faktor diatas, kebutuhan oksigen juga bergantung kepada faktor lingkungan, seperti temperatur (Beveridge, 1996). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, bila kelarutan oksigen diperairan
tidak
sesuai
dengan
kebutuhan,
maka
akan
mempengaruhi
pertumbuhan, konversi pakan dan kesehatan ikan.
19
Selanjutnya Stickney (2000) juga menyatakan kelarutan oksigen dalam perairan dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain suhu air, salinitas, dan ketinggian lokasi (altitude). Oksigen terlarut akan menurun konsentrasinya dalam air jika suhu air, salinitas, dan ketinggian meningkat, dan sebaliknya. Dan untuk kegiatan budi daya ikan yang komersial memerlukan konsentrasi oksigen dalam air lebih besar atau sama dengan 5 mg/L. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air. Hubungan antara kadar oksigen terlarut jenuh dan suhu ditunjukkan dalam Tabel 3, yang menggambarkan bahwa Semakin tinggi suhu, kelarutan oksigen Semakin berkurang. Tabel 3. Hubungan antara kadar oksigen terlarut jenuh dan suhu pada tekanan udara 760 mm Hg Kadar Oksigen Suhu Suhu (oC) Terlarut (mg/liter) (oC) 0 14,62 14 1 14,22 15 2 13,83 16 3 13,46 17 4 13,11 18 5 12,77 19 6 12,45 20 7 12,14 21 8 11,84 22 9 11,56 23 10 11,29 24 11 11,03 25 12 10,78 26 13 10,54 27
Kadar Oksigen Terlarut (mg/liter) 10,31 10,08 9,87 9,66 9,47 9,28 9,09 8,91 8,74 8,58 8,42 8,26 8,11 7,97
Suhu Kadar Oksigen (oC) Terlarut (mg/liter) 28 7,83 29 7,69 30 7,56 31 7,43 32 7,30 33 7,18 34 7,06 35 6,95 36 6,84 37 6,73 38 6,62 39 6,51 40 6,41
Sumber : Cole (1988)
Boyd dan Licthkoppler (1982) menjelaskan kebutuhan oksigen pada ikan secara umum adalah sebagai berikut : DO<1 ppm adalah konsentrasi letal, 1–5 ppm hidup tapi pertumbuhan lambat, dan DO>5 ppm merupakan konsentrasi ideal bagi kehidupan ikan. Safronios et al. (1996) melaporkan bahwa ikan nila biru (Oreochromis aureus) yang dipelihara di dalam tangki dengan kadar O2 rata-rata 2,63 ppm, 3,75 ppm dan 6,51 ppm memperlihatkan peningkatan berat tubuh
20
seiring dengan bertambahnya konsentrasi oksigen. Pertambahan total berat tubuh dan kecepatan pertumbuhan harian yang paling tinggi juga dicapai pada tangki dengan kadar oksigen tertinggi. Namun nilai konversi pakan dan efisiensi protein yang terbaik dicapai pada pemeliharaan dalam tangki dengan kadar oksigen menengah (3,75 ppm). Kandungan oksigen terlarut pada siang hari tinggi, karena proses fotosintesis secara maksimal. Pada malam dan sore hari kandungan oksigen terlarut turun karena tidak ada sinar matahari, sementara semua organisme perairan
melakukan proses respirasi yang mengkonsumsi oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida. Oleh sebab itu, konsentrasi oksigen terlarut berubah-ubah dalam siklus harian yaitu waktu fajar, konsentrasi oksigen terlarut adalah yang terendah dan semakin naik pada waktu siang hari sampai mencapai titik maksimal lewat tengah hari (Boyd, 1991). Kelarutan oksigen dalam air juga dipengaruhi oleh suhu dan tekanan udara. Menurut Hasting dalam Jangkaru (1984), kebutuhan oksigen oleh ikan adalah 16,48 mg/100 g/jam. Kadar optimum untuk pertumbuhan harus lebih besar dari 5 mg/L (Cholik et al., 1986). Chakroff (1985) menambahkan bahwa kadar oksigen 15 mg/L merupakan kadar tertinggi kritis, dan titik terendah kritis adalah 4 mg/L.
2.5.4 Potensial Redoks Potensial redoks merupakan suatu besaran potensial listrik yang dapat menunjukkan proses dekomposisi bahan organik dalam sedimen berlangsung dalam keadaan reduksi atau oksidasi. Suatu bahan dikatakan mengalami oksidasi jika kehilangan elektron dan dikatakan mengalami reduksi jika menerima elektron (Effendi, 2007). Tebbut (1992) mengatakan, suatu reaksi pada kondisi anaerob memiliki nilai Oxidation-Reduction Potensil (ORP) <50 mV. Selanjutnya Boyd (1990) menyatakan, pada lumpur dasar perairan yang memiliki kondisi anaerob, nilai ORP dapat mencapai -0,1 mV. Menurut Abdunnur et al. (2004) dalam Suwoyo (2009) bahwa proses dekomposisi bahan organik dapat terjadi baik dalam kondisi reduksi maupun oksidasi.
21
2.5.5
pH Tingkat keasaman (pH) adalah suatu ukuran untuk menyatakan besarnya
konsentrasi ion hydrogen sehingga dapat diketahui apakah suatu perairan bereaksi asam atau basa. Nilai pH suatu perairan sangat ditentukan oleh CO2 dan substansi asam. Phytoplankton dan tanaman air lainnya mengambil CO2 selama berlangsungnya proses fotosintesis, sehingga pH perairan meningkat di siang hari dan kembali turun pada malam hari (Boyd dan Licthkoppler, 1982 dan Zonneveld et al., 1991). Pada pemeliharaan ikan, pH memiliki arti penting untuk diketahui karena nilai pH yang ekstrim dapat merusak permukaan insang sehingga menyebabkan kematian pada ikan. Selain alasan tadi, pH juga dapat meningkatkan efek toksid beberapa polutan seperti amonia dan sianida, dan logam berat seperti aluminium (Beveridge, 1996). Boyd dan Licthkoppler (1982) menyatakan kisaran pH pada budidaya ikan adalah sebagai berikut : pH 4 dan 11 adalah titik mati asam dan basa, pH antara 4 dan 6, dan antara 9 dan 10, ikan dapat hidup tapi pertumbuhannya lambat, sedangkan pH 6,5 dan 9 merupakan kisaran optimum bagi kehidupan ikan. Supaya ikan dapat tumbuh maksimal, pH harus tetap ideal dengan fluktuasi yang kecil (Stickney, 1993). Jika dalam suatu perairan terdapat kandungan bahan organik yang tinggi, maka bahan organik tersebut harus diuraikan, untuk ini diperlukan oksigen. Dalam keadaan ada oksigen akan dihasilkan karbondioksida, uap air dan nitrat. Dalam keadaan tidak ada oksigen akan dihasilkan hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3) dan metana (CH4). Hampir semua senyawa yang dihasilkan tersebut bersifat asam yang pada akhirnya akan menurunkan pH. Zat tersebut akan digunakan untuk proses fotosintesis, sehingga kandungan karbondioksida akan menurun, dan ion bikarbonat (HCO3-) akan berubah menjadi CO2 dan ion OH-. Adanya dominasi ion hidroksil ini mengakibatkan pH air meningkat (Prihadi, 2005). Moss (1993) mengatakan, jika dalam suatu perairan terdapat bahan organik yang tinggi, maka hasil dekomposisi bahan organik tersebut diantaranya karbondioksida. Di dalam air karbondioksida ini akan membentuk asam karbonat.
22
Keadaan ini juga bisa terjadi jika 1% dari karbondioksida bereaksi dengan air, sehingga membentuk asam karbonat (Cole, 1988). Pada pembentukan asam karbonat tersebut akan dihasilkan ion hidrogen yang mengakibatkan pH perairan menurun.
2.5.6
Karbon Dioksida (CO2) Karbon dioksida sangat mudah larut dalam air. Konsentrasi CO2 di
perairan ditentukan oleh aktivitas fotosintesis phytoplankton dan respirasi organisme perairan. Bila konsentarasi O2 di perairan meningkat maka pada saat yang bersamaan diikuti oleh penurunan kelarutan CO2, demikian pula sebaliknya. Sehingga pada pagi hari selalu CO2 lebih tinggi dibanding pada sore hari. Konsentrasi CO2 terendah yang masih dapat ditolerir oleh ikan adalah 5 ppm dan konsentrasi tertinggi adalah 60 ppm dengan catatan kelarutan oksigen tinggi (Boyd dan Licthkoppler, 1982). Sebenarnya dengan kadar CO2 lebih dari 10 ppm saja sudah dapat meracuni ikan, karena keberadaannya di darah dapat menghambat pengikatan oksigen oleh haemoglobin (Zonnveld et al., 1991). konsentrasi CO2 antara 50 dan 100 mg/l harus diwaspadai karena dapat menyebabkan ikan stres dan jika dibiarkan akan membunuh ikan. Ikan Seraterodon macrochir di alam dapat mentolerir CO2 hingga lebih dari 75 mg/l. 2.5.7 Alkalinitas Menurut Effendi (2007), alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas juga diartikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH perairan. Penyusun alkalinitas perairan adalah anion bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO32-), dan hidroksida (OH-). Borst (H2BO3-), silikat (HSi03-), fosfat (HPO42- dan H2PO4-), sulfida. (HS-), dan amonia (NH3) juga memberikan konstribusi terhadap alkalinitas. Namun, pembentuk alkalinitas yang utama adalah bikarbonat, karbonat, dan hidroksida. Di antara ketiga ion tersebut, bikarbonat paling banyak terdapat pada perairan alami. Kation utama yang mendominasi perairan tawar adalah kalsium dan magnesium, sedangkan pada perairan laut
23
adalah sodium dan magnesium. Anion utama pada perairan tawar adalah bikarbonat dan karbonat, sedangkan pada perairan laut adalah klorida. Selanjutnya Boyd (1981) mengatakan alkalinitas yang baik dalam penyediaan CO2 adalah 20– 150 mg/L. Menurut Cholik et al. (1986), bila total alkalinitas terlalu rendah dapat ditingkatkan melalui penambahan kapur (pengapuran), dan pada umumnya perairan yang baik (produktif) untuk budidaya ikan mengandung nilai total alkalinitas dan kesadahan yang sama besarnya. Selanjutnya Boyd (1992) mengatakan, pemberian kapur dapat meningkatkan pH lumpur dan menyebabkan tersedianya fosfor untuk jasad nabati. Disamping itu pengapuran juga dapat meningkatkan alkalinitas serta tersedianya CO2 untuk fotosintesis. Persentase ionion utama, yang terdapat dalam perairan tawar dan laut ditunjukkan dalam Tabel 4. Tabel 4. Kation dan anion utama pada perairan tawar dan laut Ion-ion utama Kation : 1. Kalsium (Ca2+) 2. Magnesium (Mg2+) 3. Sodium/Natrium (Na+) 4. Kalium (K+)
Persentase (%) Air tawar Air laut 60,9 19,0 16,6 2,5
3,2 10,1 83,7 3,0
Anion : 1. Bikarbonat (HCO3-) dan Karbonat (CO32-) 72,4 2. Sulfat (SO42-) 16,1 11,5 3. Klorida (Cl-) Sumber : Modifikasi Cole (1983) dalam Effendi (2007)
0,6 12,2 87,2
Bikarbonat, karbonat, dan asam karbonat merupakan sumber utama karbon anorganik di perairan. Karbon anorganik di perairan dapat berasal dari beberapa sumber, yaitu atmosfer, batuan karbonat, siklus biologi karbon, sumber allocthonous (dari luar perairan). Pada awalnya, alkalinitas adalah gambaran pelapukan batuan yang terdapat pada sistem drainase. Alkalinitas dihasilkan dari karbondioksida dan air yang dapat melarutkan sedimen batuan karbonat menjadi bikarbonat. Kalsium karbonat merupakan senyawa yang memberi kontribusi terbesar terhadap nilai alkalinitas dan kesadahan di perairan tawar. Senyawa ini terdapat di dalam tanah dalam jumlah yang berlimpah sehingga kadarnya diperairan tawar
24
cukup tinggi. Kelarutan kalsium karbonat menurun dengan meningkatnya suhu dan meningkat dengan keberadaan karbondioksida. Kalsium karbonat bereaksi dengan karbondioksida membentuk kalsium bikarbonat [Ca(HCO3)2] yang memiliki daya larut lebih tinggi dibandingkan dengan kalsium karbonat (CaCO3)(Cole, 1988). Tingginya kadar bikarbonat di perairan disebabkan oleh ionisasi asam karbonat, terutama pada perairan yang banyak mengandung karbondioksida (kadar CO2 mengalami saturasi/jenuh). Karbondioksida di perairan bereaksi dengan basa yang terdapat pada batuan dan tanah membentuk bikarbonat (HCO3) (Boyd, 1981). Calcite dan dolomite sebenarnya memiliki daya larut yang rendah, namun dengan
keberadaan
karbondioksida
kelarutan
senyawa-senyawa
tersebut
meningkat. Reaksi pembentukan bikarbonat dari karbonat adalah reaksi setimbang dan mengharuskan keberadaan karbondioksida untuk mempertahankan bikarbonat dalam bentuk larutan. Jika kadar karbondioksida bertambah atau berkurang maka akan terjadi perubahan kadar ion bikarbonat. Satuan alkalinitas dinyatakan dengan mg/liter kalsium karbonat (CaCO) atau mili-ekuivalen/liter. Selain bergantung pada pH, alkalinitas juga dipengaruhi oleh komposisi mineral, suhu, dan kekuatan ion. Pada air mendidih, alkalinitas hanya terdiri atas karbonat dan hidroksida. Karbondioksida tidak larut dalam air panas (mendidih), namun terbawa bersama uap air sehingp nilai pH air mendidih dapat mencapai 11. Nilai alkalinitas perairan alami hampir tidak pernah melebihi 500 mg/liter CaCO3. Perairan dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu disukai oleh organisme akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan yang tinggi atau kadar garam natrium yang tinggi. Nilai alkalinitas berkaitan erat dengan korosivitas logam dan dapat menimbulkan permasalahan kesehatan pada manusia, terutama yang berhubungan dengan iritasi pada sistem pencernaan (gastro intestinal). Jika dididihkan dengan waktu yang lama, perairan dengan nilai alkalinitas yang tinggi menghasilkan deposit dan menimbulkan bau yang kurang sedap.
25
Nilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30–500 mg/liter CaCO3. Nilai alkalinitas di perairan berkisar antara 5 hingga ratusan mg/liter CaCO3. Alkalinitas pada perairan alami adalah 40 mg/liter CaCO3 (Boyd, 1981). Perairan dengan nilai alkalinitas >40 mg/liter CaCO3 disebut perairan sadah (Hard water), sedangkan perairan dengan nilai alkalinitas <40 mg/liter disebut perairan lunak (softwater). Alkalinitas perairan berkaitan dengan gambaran kandungan karbonat dari batuan dan tanah yang dilewati oleh air serta sedimen dasar perairan. Nilai alkalinitas tinggi biasanya juga ditemukan diwilayah kering dimana terjadi evaporasi secara intensif. Perairan dengan nilai alkalinitas tinggi lebih produktif daripada perairan dengan alkalinitas rendah. Tingkat produktivitas perairan ini sebenarnya tidak berkaitan secara langsung dengan nilai alkalinitas, tetapi berkaitan dengan keberadaan fosfor dan elemen esensial lain yang kadarnya meningkat dengan meningkatnya nilai alkalinitas. Alkalinitas berperan dalam hal-hal sebagai berikut : 1. Sistem penyangga (buffer) Bikarbonat yang terdapat pada perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi berperan sebagai penyangga (buffer capacity) perairan terhadap perubahan pH yang drastis. Jika basa kuat ditambahkan ke dalam perairan maka basa tersebut akan bereaksi dengan asam karbonat manjadi garam bikarbonat dan akhimya menjadi karbonat. Jika asam ditambahkan ke dalam perairan maka asam tersebut akan digunakan untuk mengkonversi karbonat menjadi bikarbonat dan bikarbonat menjadi asam karbonat. Fenomena inilah yang menjadikan perairan dengan nilai alkalinitas total tinggi tidak mengalami perubahan pH secara drastis (Cole, 1988 dalam Effendi, 2007). 2. Koagulasi kimia Bahan kimia yang digunakan dalam proses koagulasi air atau air limbah. bereaksi dengan air membentuk presipitasi hidroksida yang tidak larut. Ion hidrogen yang dilepaskan bereaksi dengan ion-ion penyusun alkalinitas, sehingga alkalinitas berperan sebagai penyangga untuk mengetahui kisaran pH yang optimum bagi penggunaan koagulan. Dalam hal ini nilai alkalinitas
26
sebaiknya berada pada kisaran optimum untuk mengikat ion hidrogen yang dilepaskan pada proses koagulasi. 3. Pelunakan (water softening) Alkalinitas adalah parameter kualitas air yang harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah soda abu dan kapur yang diperlukan dalam proses pelunakan (softening) dengan metode presipitasi. Pelunakan bertujuan untuk menurunkan kesadahan.
2.5.8
Kesadahan Menurut Effendi (2007) kesadahan (hardness) adalah gambaran kation
logam divalen (valensi dua). Kation-kation ini dapat bereaksi dengan sabun (soap) membentuk endapan (presipitasi) maupun dengan anion-anion yang terdapat di dalam air membentuk endapan atau karat pada peralatan logam. Pada perairan tawar, kation divalen yang paling berlimpah adalah kalsium dan magnesium (Tabel 5), sehingga kesadahan pada dasarnya ditentukan oleh jumlah kalsium dan magnesium. Kalsium dan magnesium berikatan dengan anion penyusun alkalinitas, yaitu bikarbonat dan karbonat. Keberadaan kation yang lain, misalnya strontium, besi valensi dua (kation fero), dan mangan juga memberikan kontribusi bagi nilai kesadahan total, meskipun peranannya relatif kecil. Aluminium dan besi valensi tiga (Kation ferri) sebenarnya juga memberikan kontribusi terhadap nilai kesadahan. Namun demikian, mengingat sifat kelarutannya yang relatif rendah pada pH netral maka peran kedua kation ini sering kali diabaikan. Kesadahan dan alkalinitas dinyatakan dengan satuan yang sama, yaitu mg/liter CaCO3. Tabel 5. Kation-kation penyusun kesadahan dan anion-anion pasangan/ asosiasinya Kation
Anion
Ca2+
HCO2-
Mg2+
SO42-
Sr2+
Cl-
Fe2+
NO3-
Mn2+
SiO32+
Sumber : Sawyer dan McCarty (1978) dalam Effendi (2007)
27
Kesadahan perairan berasal dari kontak air dengan tanah dan bebatuan. Air hujan sebenarnya tidak memiliki kemampuan untuk melarutkan ion-ion penyusun kesadahan yang banyak terikat di dalam tanah dan batuan kapur (limestone), meskipun memiliki kadar karbondioksida yang relatif. Larutnya ion-ion yang dapat meningkatkan nilai kesadahan tersebut
lebih banyak disebabkan oleh
aktivitas bakteri di dalam tanah, yang banyak mengeluarkan karbondioksida. Pada Gambar 5 memperlihatkan penampang melintang tanah yang memperlihatkan proses terlarutnya kation penyusun kesadahan perairan
Gambar 5. Penampang melintang tanah yang memperlihatkan proses terlarutnya kation penyusun kesadahan perairan (Sawyer dan McCarty, 1978 dalam Effendi, 2007)
28
Keberadaan karbondioksida membentuk kesetimbangan dengan asam karbonat. Pada kondisi yang relatif asam, senyawa-senyawa karbonat yang terdapat di dalam tanah dan batuan kapur yang sebelumnya tidak larut berubah menjadi senyawa bikarbonat yang bersifat larut. Batuan kapur (lime stone) pada dasarnya tidak hanya mengandung karbonat, tetapi juga mengandung sulfat, klorida, dan silikat. Ion-ion ini juga ikut terlarut dalam air. Gambar 6 menunjukkan proses pelarutan senyawa karbonat. Perairan dengan nilai kesadahan tinggi pada umumnya merupakan perairan yang berada di wilayah yang memiliki lapisan tanah pucuk (top soil) tebal dan batuan kapur. Perairan lunak berada pada wilayah dengan lapisan tanah atas tipis dan batuan kapur relatif sedikit atau bahkan tidak ada. Air permukaan biasanya memiliki nilai kesadahan yang lebih kecil dan pada air tanah. Perairan dengan nilai kesadahan kurang dari 120 mg/liter CaCO3 dan lebih dari 500 mg/liter CaCO3 dianggap kurang baik bagi peruntukan domestik, pertanian, dan industri. Namun, air sadah lebih disukai oleh organisme daripada air lunak (Effendi, 2007).
2.5.9
Kalsium (Ca) Keberadaan kalsium sangat dipengaruhi oleh reaksi kimia yang melibatkan
karbon dioksida, di perairan senyawa kalsium bersifat stabil dengan keberadaan karbon dioksida. Kadar kalsium pada perairan tawar biasanya kurang dari 15 mg/L, perairan yang berada di sekitar batuan karbonat antara 30–100 mg/L, perairan laut sekitar sekitar 400 mg/L, sedangkan pada brine dapat mencapai 75.000 mg/L (McNeely et al., 1979 dalam Effendi, 2007). Di perairan, senyawa kalsium bersifat stabil dengan keberadaan karbondioksida. Kadar kalsium menurun jika kalsium mengalami presipitasi (pengendapan) menjadi CaCO3, sebagai akibat terjadinya peningkatan suhu, penurunan kadar karbondioksida, peningkatan aktivitas fotosintesis. Wetzel (1975) mengemukakan bahwa sekitar 30% penyusun sedimen dasar danau yang bersifat sadah adalah kalsium.
29
2.5.10 Hidrogen Sulfida (H2S) dan Bakteri SRB Sulfur berada dalam bentuk organik dan anorganik. Sulfur anorganik terutama terdapat dalam bentuk sulfat (SO42-), yang merupakan bentuk sulfur utama di perairan dan tanah (Effendi, 2007). Sulfida berasal dari limbah industri atau dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik yaitu proses reduksi sulfat oleh bakteri pada kondisi anaerob. Bakteri SRB adalah bakteri obligat anaerob yang menggunakan sulfat sebagai akseptor terminal elektron (Moriaty dan Paullin, 1987), selanjutnya Simarmata (2007) mengatakan, jika deplesi oksigen semakin besar maka kondisi perairan semakin reduksif dan akhirnya mencapai anaerob, yang merupakan syarat tumbuh untuk SRB. Di perairan, sulfur berikatan dengan ion hidrogen dan oksigen. Beberapa bentuk sulfur di perairan adalah sulfida (S2-), hidrogen sulfida (H2S), ferro sulfida (FeS), sulfur dioksidasi (SO2), sulfit (SO3), dan sulfat (SO4). Sulfat yang berikatan dengan hidrogen membentuk asam sulfat dan sulfat yang berikatan dengan logam alkali merupakan bentuk sulfur yang paling banyak ditemukan di danau dan sungai (Cole, 1988). Kadar sulfat pada kolom air biasanya berkisar antara 0,02– 0,1 mg/L. Menurut Effendi (2007) kadar sulfide lebih dari 0,002 mg/L mengakibatkan terjadinya gangguan pada sistem pencernaan, kadar fenol lebih dari 0,01 mg/L akan bersifat toksik bagi ikan. 2.5.11 Fenol Fenol merupakan senyawa kimia organik yang terdiri dari suatu gugus OH yang terikat pada cincin aromatik (Fessenden dan Fessenden, 1986; Priatna et al., 1994; Haerudin, 2006). Senyawa ini mudah mengalami oksidasi, pada kadar yang lebih dari 0,01 mg/L, fenol bersifat toksik bagi ikan (Effendi, 2007). 2.5.12 Total Fosfat dan Orto Fosfat (PO43-- P) Fosfor merupakan hara makro yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan jasad autotrof di perairan. Dalam ekosistem perairan fosfor berada dalam bentuk senyawa anorganik yakni ortofosfat, metafosfat dan polifosfat. Sedangkan fosfat organik berada dalam tubuh organisme yang melayang di dalam air, dan umumnya berada dalam bentuk ion fosfat.
30
Fosfat merupakan salah satu senyawa penting untuk sintesis protein dan berperan dalam anabolisme suatu organisme (Wardoyo, 1981). Dalam suatu perairan fosfat dapat berbentuk ortofosfat, polifosfat dan fosfat organik. Namun demikian hanya ortofosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh jasad autotrof (APHA, 1989 ; Prihadi, 2005). Menurut Prihadi (2005), pada umumnya fosfat yang berada di perairan banyak terdapat dalam bentuk fosfat organik dan fosfat anorganik. Sumber utama fosfat anorganik terutama berasal dari penggunaan deterjen, alat pembersih untuk keperluan rumah tangga serta berasal dari industri pupuk pertanian. Sedangkan fosfat organik barasal dari makanan dan buangan rumah tangga. Semua fosfat mengalami proses perubahan biologis menjadi fosfat anorganik yang selanjutnya digunakan oleh tanaman untuk membuat energi. Fosfat sangat berguna untuk pertumbuhan organisme dan merupakan faktor yang menentukan produktivitas badan air. Fosfat yang terlarut dalam perairan pada keadaan normal biasanya berbentuk orto-fosfat yang ada diperairan dalam jumlah yang rendah. Kandungan fosfat terlarut di perairan alam umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l. Jika dalam suatu perairan terjadi masukan bahan pencemar dalam jumlah yang tinggi dan mengakibatkan kandungan fosfatnya cukup tinggi dapat mengakibatkan terjadinya proses eutrofikasi atau keadaan lewat subur yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan plankton yang tidak terkendali (Wetzel, 1975; Prihadi, 2005).
2.5.13 COD (Chemical Oxygen Demand) COD (Chemical Oxygen Demand) menggambarkan kebutuhan oksigen dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi dengan oksidator kalium dikromat. Dengan adanya oksidator kalium dikromat ini seringkali mengakibatkan kemampuan oksidasi yang lebih tinggi dari oksidasi secara biologi, karena dalam uji COD bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat teroksidasi, sehingga nilai COD lebih tinggi dari BOD. Sebagai contoh serat selulosa yang sukar terurai melalui reaksi biokimia pada uji BOD, baru bisa terurai melalui reaksi kimia (Prihadi, 2005).
31
2.5.14 Suhu Suhu air merupakan parameter terpenting yang memberikan pengaruh proses fisiologi terhadap ikan, seperti laju pernapasan, efisiensi makanan dan pencernaan, pertumbuhan, prilaku, reproduksi dan laju metabolisme di dalam tubuh ikan. Kenaikan temperatur akan meningkat laju metabolisme dan bersamaan dengan itu juga akan meningkatkan konsumsi oksigen dan aktivitas gerak ikan (Beveridge, 1996 dan Zonneveld et al., 1991), aktivitas makan, kebutuhan energi maintenan, aktivitas enzim, difusi molekul-molekul kecil, fungsi membran dan kecepatan sintesis protein (Houlihan et al., 1993). Umumnya kecepatan reaksi kimia dan biologi akan meningkat dua kali lipat untuk setiap kenaikan suhu air 10o C (Boyd dan Licthkoppler, 1982 ; Cholik et al., 1986). Hal ini bila terjadi dari kondisi suhu dibawah titik optimal hingga mencapai titik optimal tentu dapat meningkatkan pertumbuhan ikan. Karena peningkatan laju metabolisme diikuti oleh tingginya kebutuhan O2, maka persyaratan O2 terlarut di daerah panas lebih tinggi daripada di daerah dingin. Perubahan suhu yang mendadak dapat menyebabkan ikan mati, meskipun kondisi lingkungan lainnya optimal. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20oC–30oC. Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan. Dalam hal ini intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan akan menentukan derajat panas, yakni semakin banyak sinar matahari yang masuk ke dalam suatu perairan, semakin tinggi suhu airnya. Namun semakin bertambahnya kedalaman, akan menurunkan suhu perairan (Welch, 1980). Menurut Nontji (1987) suhu yang terdeteksi di permukaan air dipengaruhi oleh keadaan metereologi seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi sinar matahari.
32
2.5.15 Kedalaman Kedalaman perairan merupakan parameter penting bagi kelayakan lahan budi daya ikan karena kedalaman menentukan volume perairan, sekaligus dapat mempengaruhi parameter kualitas air lainnya seperti suhu, kecerahan perairan dan arus. Selain itu kedalaman perairan juga akan menentukan lebarnya distribusi dan dispersi bahan pencemar. Dalam hal ini perairan yang dalam, mempunyai volume air yang lebih banyak, akibatnya akan mendistribusikan bahan pencemaran lebih luas, sehingga konsentrasi bahan pencemar di perairan menjadi lebih kecil. Menurut Beverage (1996), kedalaman optimal saat surut antara dasar keramba dengan dasar perairan untuk kegiatan budi daya ikan khususnya dalam KJA adalah 4–5 m.
33